write.as

Beep Beep....

Jiva tau siapa orang yang membunyikan klakson di luar rumahnya. Bahkan dari kejauhan suara deru motornya pun ia sudah tau siapa pemilik kendaraan tersebut.

Seharian ini setelah pernyataan Japa, ia tidak menjawab maupun menanggapi. Tapi saat ini ia tidak bisa bungkam lagi. Soal jawaban, Jiva sendiri sudah memikirkan. Dirinya tidak pernah menyukai seseorang, bahkan membicarakan orang lain kepada Japa pun tidak pernah. Begitu juga sebaliknya. Soal punya rasa suka atau tidaknya kepada Japa, Jiva memang masih ragu, tetapi ia tidak ingin kehilangan sosok yang selalu ada di dekatnya. Tapi begitu ia memikirkan Japa bersama orang lain, perasaan Jiva terluka.

Beep Beep...

Suara klakson kembali berbunyi. Dengan santai Jiva membuka pintu rumah dan berkata, “Brisik lo.” Matanya tertuju ke motor Japa. Biasanya ada kresek berisi makanan untuknya di stang motornya. Tetapi kali ini tidak ada, dan kebiasaan Japa akan mengajak keluar untuk makan malam.

“Mana nasi padang gue?” teriak Jiva pura-pura tidak paham. Jiva tidak terlihat kaku di depan Japa. Melihat Japa setelah pernyataannya tadi, Jiva sedikit grogi.

“Nasi padang mulu nggak bosan lo? Ambil jaket sama helm, kita cari yang hangat-hangat,” jawab Japa berteriak.

Jika biasanya Jiva menjawab dengan candaannya “Yang hangat ya kelon” tapi kali ini ia urungkan karena perasaan kakunya kepada Japa.

Tanpa  menjawab, Jiva pun kembali ke dalam untuk mengambil jaket dan helm. Setelahnya ia bergegas menemui Japa yang bersandar di sepeda motornya dengan kedua tangan yang terlipat di dadanya, menatap Jiva penuh tanya.

“Kenapa jawabannya nggak kayak biasa?” tanya Japa.

“Lo mau gue jawab apa? Kelon? Yang ada lo gue tidurin!” jawab Jiva dengan mata melotot menatap Japa.

“Yang sering bawain lo makan siapa?”

“Lo.”

“Yang lebih sering boncengin tiap kita touring siapa?”

“Imbang. Lo sama gue sering gantian, ya!”

“Nggak. Lebih sering gue,” jawab Japa tidak mau kalah. “Lalu yang sering ngepatpat tiap tidur siapa?”

“Apa-apaan! Siapa yang ngepatpat?! Kagak ada anjir!”

“Gue. Nggak tau kan? Tiap kita tidur bareng pasti gue kebangun pas lo udah tidur, terus gue patpat kayak gini biar tidurnya nyenyak.” Japa mengulurkan tangannya ke kepala Jiva yang sudah menggunakan helm.

Sontak Jiva melangkah mundur dan mengelak. “Mana ada! Nggak usah sembarangan. Gue nggak ngerasa dipatpat, berarti gue udah tidur nyenyak. Ngapain juga lo patpat pas gue tidur nyenyak?! Emang aneh lo!”

“Jadi maunya pas belum tidur gitu?”

“Mending lo diam!”

“Nggak mau.” Japa meraih pergelangan tangan Jiva, menariknya mendekat. “Nggak sadar apa selama ini lo selalu kalah tiap kita onani barengan pas nonton video porno straight? Itu karena gue nggak bisa sehorny itu. Jadi gue harus dengerin desahan lo dulu baru bisa— anjing!!!!” teriak Japa kesakitan tiba-tiba lututnya mendapat tendangan dari Jiva.

“Nggak usah banyak bacot ya, Pa!”

“Iya, Papi— aduh duh.....” teriak Japa lagi saat mendapat tendangan yang keduanya kalinya. “Va, dengerin dulu. Ini gue seriusan nggak bohong.”

“Apa?! Sekali lagi bercanda, gue nggak mau ikut lo makan!”

“Gue nggak bercanda, ini beneran. Emang kedengaran porno, tapi gue beneran beberapa kali membuktikan itu sejak gue mulai ada rasa sama lo.”

“Sejak kapan?”

“Udah lama, sejak pertama kalinya gue mimpi basah...”

“Uhuk!!” Jiva tersedak ludahnya sendiri mendengar cerita Japa. Jiva sangat tau kapan Japa mengalami mimpi basah, yaitu saat keduanya sama-sama berada di kelas dua SMP.

“Gue nggak bohong, Va. Gue aja kaget, bisa-bisanya waktu itu gue mimpi...”

“Stop! Nggak usah diceritakan yang itu!” cegah Jiva karena merasa malu sendiri.

“Oke nggak cerita yang itu, tapi semakin ke sini gue nggak mau kehilangan lo karena takut kalo lo tau kebenarannya gue suka sama lo, lo bakal pergi dari gue. Karena itu gue selalu memendam perasaan gue. Paham nggak? Kalo ditanya lebih spesifik lagi kayaknya gue nggak bisa menjelaskan. Lebih tepatnya gue suka lo ada di sini gue.”

“Pa....”

“Boleh dijawab sekarang? Gue nggak suka nunggu. Ahh...” Japa pun kembali naik ke atas motornya, “Kalo lo mau menerima gue sebagai kekasih lo, naik sekarang. Kalo nggak mau, balik masuk ke rumah, tungguin gue beliin maem.”

“Kenapa disuruh balik?”

“Ya gue malu lah anjir!”

“Hahahaha...... bisa malu juga? Tapi dengerin gue dulu deh.”

“Apa?”

“Sama kayak lo, kalo disuruh menjelaskan secara detail perasaan gue ke lo nggak bisa. Gue pikir karena gue terbiasa sama lo, kemana-mana sama lo. Tapi, Pa, kalo disuruh membayangkan lo sama orang lain, gue nggak bisa,” jelas Jiva, lalu merangkak naik ke atas motor membonceng Japa.

“Kita pacaran.”

“Mm.”

[]