write.as

A Special Guest


A Suguru Geto x Female Reader x Toji Fushiguro NSFW Fan Fiction.

Bagian ke dua dari cerita My Favorite Assistant Lecturer. Jika belum baca, silakan baca terlebih dahulu.

WARNING: EXPLICIT CONTENT. HEAVY NSFW. Bukan konten untuk yang di bawah umur.

LANGUAGE: Bahasa Indonesia (dan bahasa Inggris dalam dialog).

NOTE: Karakter dalam cerita ini sudah legal. OOC, tidak mencerminkan sifat asli Suguru Geto dan Toji Fushiguro. Cerita ini hanya sebatas fantasi dan tidak dapat dijadikan referensi untuk sex education. Saya tidak membenarkan kejadian yang ada dalam cerita ini. Jadi, dilarang meniru segala adegan yang ditulis dalam kehidupan nyata. Dan juga, perlu diingat bahwa plot dalam fiksi ini boleh jadi tidak masuk akal, dibuat hanya untuk keperluan cerita (dan tolong gunakan proteksi bila belum siap menjadi orang tua!)

TAGS: Porn with plot, Suguru Geto as professor (he’s around 40s), age gap, profanities, dirty talk, hair pulling, spit play, sex without protection, choking, degrading kink, praising kink, face slapping, boobs slapping, double penetration, exhibitionism, squirting, threesome.

Disclaimer: Narasi fan fiction ini murni fiksi dan karakter Jujutsu Kaisen milik Gege Akutami.


Liburan semester hampir tiba. Kamu cukup lega karena telah terbebas dari segala tugas-tugasmu. Tinggal menunggu nilai dan mengisi survei untuk mata kuliah serta dosen pengampu. Kamu mengecek ponselmu setelah menerima notifikasi. Temanmu memberi kabar bahwa nilai dari mata kuliah Suguru sudah diumumkan.

Sebetulnya, kamu tidak begitu khawatir. Sebab kamu mempercayakan Nanami si asisten dosen yang telah membantu sangat banyak perihal tugas besarmu itu. Dan juga, porsi nilai tugas kemarin cukup besar, sehingga dapat menjadi penolong di mata kuliah ini. Namun, jantungmu seperti berhenti berdetak saat melihat huruf B di layar ponsel.

B? Kok cuma B?

Kecewa. Kamu cukup kecewa karena yakin bahwa kamu layak mendapatkan nilai A, atau setidaknya AB. Karena merasa tidak puas, kamu buru-buru menghubungi Nanami.


You: Kak, nilai matkul prof suguru aku B :(

Nanami: Really?

You: Iya :(

Nanami: I’m sorry to hear that. Maaf kalau nggak maksimal bantuin tugas besar kemarin…

You: Boleh protes nilai ngga? :(

Nanami: Kalau mau gitu, sama Prof Suguru langsung. Sama aku gak bisa.

You: Alright.. thanks kak


Masih siang. Kamu berpikir masih ada kesempatan untuk datang ke kampus dan bertemu dengan Suguru. Terdengar tidak sopan memang, namun kamu berusaha untuk menyelamatkan IP-mu semester ini.

Saat sampai di area tata usaha, kamu berjalan menuju ruangan Suguru dan mengetuk pintu.

“Ya, masuk.” suara lembut itu terdengar. Kamu melihatnya sedang sibuk membereskan meja kerjanya.

“Siang, Prof.” kamu duduk di kursi depan meja, berhadapan dengannya. “Saya (Y/N) dari kelas A…”

Raut wajah Suguru yang semula senang seketika berubah. Dahinya berkerut, dan itu membuatmu gugup setengah mati.

“Iya, saya tau kamu. Ada apa, (Y/N)? Mau protes nilai?”

DEG. Kamu mematung beberapa saat sambil merangkai kalimat di benakmu agar tidak dimarahi olehnya, atau kemungkinan terburuknya nilaimu akan diturunkan.

Kamu menarik napas dalam dalam sebelum akhirnya buka suara. “Iya, Prof… saya dapat nilai B. Apakah tugas-tugas saya kurang maksimal ya Prof?”

Tangan Suguru kembali sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Memang kamu maunya dapat nilai berapa?”

“Dapat A, Prof. Atau AB.” jawabmu tanpa basa basi. Perasaanmu campur aduk. Kamu cukup lega karena telah berani berbicara demikian di hadapan Suguru, namun di sisi lain kamu seperti telah masuk ke kandang harimau dan buaya sekaligus.

Tak ada suara. Hening. Dosen pengampu mata kuliahmu dengan bobot 4 SKS itu kini mencari-cari sesuatu di tumpukkan kertas. Lalu ia menyerahkan dua lembar kertas ujian padamu.

“Kerjakan soal UTS kemarin sekarang. Kalau cuma salah satu, saya beri A langsung. Tapi kalau salah banyak, saya turunin jadi BC.”

Kamu meraih kotak pensilmu dari dalam tas dan mengambil pulpen. Tanganmu jadi terasa dingin seketika karena mendadak ujian yang kedua kalinya. Tidak ada persiapan sama sekali. Kamu hanya mengandalkan ingatanmu saat mengerjakan UTS bulan-bulan lalu. Matamu mulai membaca soal-soal di kertas, lalu menulis jawaban di kertas yang disediakan.

Lengang. Kamu bisa mendengar detak jantungmu sendiri saking gugupnya. Mengerjakan soal ujian di hadapan dosen tidak mudah. Semakin lama, konsentrasimu semakin buyar. Terlebih lagi saat kamu merasa Suguru tiada henti memperhatikanmu selama mengerjakan soal.

Empat puluh menit berlalu. Pikiranmu sudah tidak fokus. Kamu menjawab soal terakhir sebisamu. Dan kebetulan, lembar jawaban sudah penuh terisi. Kamu dapat bernapas lega sekarang.

“Sudah selesai?” pria bersuara lembut itu bertanya. Kamu mengangguk ragu-ragu dan menyerahkan lembar jawaban padanya, kemudian memasukkan kotak pensil ke dalam tas. “Baik, saya akan periksa nanti karena mau ada urusan di luar. Kamu boleh keluar.”

“Baik Prof. Maaf mengganggu waktunya.” kamu berdiri dari kursi dan keluar dari ruangan. Ada beberapa mahasiswa yang sedang mengantri di lorong untuk menemui dosen mereka, entah untuk keperluan apa. Yang jelas, saat ini kamu ingin buru-buru pulang.


Malam Hari, Pukul 20:00

Suara notifikasi kembali menyita perhatianmu. Kamu buru-buru mengelap tanganmu yang basah dengan handuk kecil karena habis mencuci piring. Kamu tertegun saat melihat nama pengirim pesan di layar ponselmu.


Prof Suguru: (Y/N), saya sudah periksa hasil ujianmu tadi

You: Iya Prof? Bagaimana hasilnya?

Prof Suguru: Kesalahanmu banyak. Silakan datang ke rumah saya untuk revisi malam ini juga. Saya tunggu

You: Baik Prof. Saya segera ke sana


Waktu menunjukkan pukul 20:00, itu berarti belum larut malam. Kamu meraih jaket dan tas untuk bersiap-siap berangkat. Kalau tidak keliru, rumah Suguru cukup jauh dari kos mu. Kamu ingat betul pernah mengantarkan temanmu untuk menyerahkan tugas semester lalu ke rumahnya. Dan sekarang, kamu hendak berkunjung untuk kedua kalinya.

Perjalanan cukup lancar malam itu. Jalanan cukup ramai dan didominasi pengendara sepeda motor. Jalanan basah bekas air hujan. Ada beberapa genangan air di tepi jalan. Saat berhenti di lampu merah, kamu bergumam dalam hati, senang sekali rasanya dapat bertamu ke rumah Suguru yang cukup besar itu. Kamu tersenyum di balik masker, tidak sabar untuk melihat Suguru dari dekat.

Dua puluh menit kemudian, kamu sudah sampai di depan sebuah rumah tingkat dua berwarna cokelat muda dengan nomor rumah 03 di pagarnya. Tak perlu waktu lama bagi Suguru untuk membukakan pagar dan mempersilakan dirimu untuk masuk. Kamu bernapas lega setelah menaruh helm di atas jok motor.

“Kehujanan gak?” pria berambut cukup panjang itu membuka percakapan selagi menaiki anak tangga menuju pintu utama rumahnya. Ia masih mengenakan kemeja berwarna putih yang lengannya dilipat hingga sikut, lengkap dengan dasinya yang berwarna merah maroon. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam kantong celana hitamnya.

Kamu menggeleng. “Nggak kok, Prof. Saya keluar pas hujannya sudah reda.”

“Oh, alright. Silakan masuk.” Suguru tersenyum tipis.

Kamu melangkah masuk dan terkesima melihat desain interior rumahnya. Minimalis namun terlihat mewah. Justru kelewat mewah karena seingatmu Suguru hanya tinggal sendiri dan belum menikah. Kamu mengikuti pria itu ke lantai dua sambil melihat langit-langit rumahnya yang tinggi.

Tanpa sadar, kini kamu telah masuk ke dalam sebuah ruangan besar nuansa klasik. Ada satu meja besar, lengkap dengan dua kursi yang saling berhadapan—sepertinya satu untuk Suguru, satu untuk tamu. Juga, terdapat rak besar dengan buku-buku yang berjejeran rapi dari atas ke bawah. Ada pula sofa panjang yang berhadapan dengan rak buku. Wangi. Wangi sekali ruangan ini. Jika kamu memiliki ruang kerja seperti ini, kamu berjanji akan belajar sungguh-sungguh tanpa mengenal kata malas.

Suguru duduk di kursi kerjanya yang berwarna hitam, kamu duduk di hadapannya—di kursi yang telah disediakan. Ia memberi hasil lembar jawaban milikmu tadi siang, dengan nilai 60 di ujung atas halaman.

“Nih, nilai kamu segini. Yakin layak dapat nilai A?”

Kamu menelan ludah dan merapatkan kedua pahamu. “Mohon maaf, Prof. Saya tadi tidak fokus saat mengerjakan soal—“

“Kenapa? Bukannya kamu yang minta perbaikan nilai?”

Aduh, berasa disidang aja. Siapapun tolong keluarin gue dari sini. Gak jadi senengnya.

“Iya Prof. Saya mohon maaf karena tidak maksimal.”

Tidak ada jawaban darinya. Pria itu hanya memiringkan kepalanya sedikit sambil memperhatikanmu. Matanya bergerak dari atas ke bawah, seperti memindai ekspresi wajahmu. Gawat, apakah ia tahu bahwa kamu sedang sange?

Ayo, Prof. Kita ngewe aja. Gak usah remedial. Saya udah gak tahan, Prof, batinmu.

Kamu menundukan kepala sambil menggigit bibir bawahmu sendiri ketika sedang membayangkan segala adegan yang ingin kamu lakukannya dengannya. Sial. Sungguh sial. Kamu malah terangsang karena imajinasimu sendiri di waktu-waktu seperti ini. Tidak tepat rasanya.

“Saya gak mau tau. Kamu perbaiki yang salah itu.” Suguru berdiri dari kursinya sambil tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana. “Kalau tidak, kamu gak akan pulang dari rumah saya.” bisiknya lembut di telingamu dari belakang. Deru napasnya terasa hangat di leher, membuatmu merinding. Kamu dapat mencium aroma tubuhnya sedekat ini.

“B-baik Prof…” dengan tangan gemetaran, kamu meraih kotak pensilmu untuk mengambil pulpen dan membaca lembar jawaban yang penuh coret-coretan.

Suguru kembali di kursi kerjanya, membuka laptopnya sambil sesekali melirikmu yang mulai menulis dengan tangan gemetaran di lembar jawaban yang baru. Sungguh, pikiranmu kacau sekali. Kamu tidak dapat berpikir lurus setelah suaranya di telingamu terngiang-ngiang.

Setelah sekitar lima belas menit, kamu tambah gelisah. Badanmu tidak bisa tetap diam di kursi. Tanganmu mengusap-ngusap tengkuk sambil melirik pria di hadapanmu yang ternyata sedang memperhatikanmu sejak tadi. Raut wajahnya tak dapat ditebak, tapi ia terlihat begitu serius memandangimu. Perlahan satu tangannya melepas dasinya, lalu membuka dua kancing teratas kemejanya. Tatapan kalian saling terkunci. Kamu sedikit menganga melihat pemandangan itu.

Ia berdiri, lalu berjalan pelan melewatimu. Kamu dapat merasa bahwa ia sedang berdiri menghadapmu di belakang.

“Kenapa?” ucapnya lembut, lembut sekali. Tangannya menyelipkan rambutmu di belakang kedua pasang telingamu agar ia dapat melihat wajahmu dari samping. “Kamu pikir saya gak tau? Kamu dari tadi gelisah dan ngeluarin suara-suara aneh yang gak saya ngerti. Kamu lagi turned on?”

Kamu menggeleng cepat. “Enggak, Prof—“

“Bohong.” ejeknya. Lagi lagi deru napasnya terasa hangat dan menggelitik di telingamu.

Kamu kembali menghirup aroma tubuhnya dari jarak dekat. Manis, manis sekali aromanya. Seperti wajah dan namanya. Pria itu menarik tanganmu agar berdiri. Napasmu tercekat karena perlakuannya yang tiba-tiba. Kalian saling memandangi wajah satu sama lain selama beberapa saat. Sebelum akhirnya ia angkat bicara.

“Fuck, saya gak tahan.” pria itu menarik dagumu dan mencium bibirmu dalam dalam dengan penuh nafsu. Ia merasa lega karena dapat menyalurkan hasratnya padamu.

Kamu masih tertegun, namun turut memejamkan mata seraya membalas sentuhannya. Kalian saling memagut, menyesap, dan menjilat. Bibirnya terasa manis sekali. Tidak meninggalkan rasa aneh di mulutmu. Kamu balas menciumnya dalam dalam. Kepalanya miring ke kiri dan kanan secara bergantian sambil terus menyesap bibirmu yang manis baginya. Kemudian, ia sedikit mendorongmu hingga bokongmu menubruk sisi meja. Kamu mengeluarkan suara lenguhan yang membuat Suguru mengusap lembut pipimu dengan kedua ibu jarinya.

Ciuman panas itu terlepas.

Suguru membuka mata dan mengusap bibirmu yang basah karena ludahnya—yang sebetulnya bercampur oleh milikmu. Napas hangatnya menerpa bibir.

“Seperti yang saya bilang, kamu gak akan pulang dari rumah saya kalau belum bisa perbaiki jawabanmu yang salah. Now do it.” ia memutar badanmu agar menghadap meja. Badanmu membungkuk karena kursi yang tadi kamu duduki sudah entah berada di mana. Kamu merasa kurang nyaman dalam posisi menungging begini. Namun apa boleh buat, kamu tak mempunya pilihan selain menuruti perintahnya.

Tangan Suguru kini mengambil pulpen dan menuntunmu untuk menulis di lembar jawaban selagi tangan satunya menurunkan celana yang kamu kenakan. “Ayo, tunjukkan ke saya kalau kamu layak dapat A.”

“Ah— Prof—“ desahmu pelan. Tanganmu mulai menulis kata demi kata di lembar jawaban selagi Suguru melucuti celanamu hingga tersisa celana dalam saja. Jantungmu berdebar-debar saat mendengar suara ikat pinggangnya yang ia lepas.

“Mahasiswi nakal kayak kamu gak pantas dapat A.” ucapnya sambil meraih dasi yang tadi ia letakkan di atas meja. “Pantasnya dapat hukuman dari saya. Sekarang buka mulutnya.”

Kamu tidak mengerti maksudnya, namun mulutmu otomatis terbuka lebar. Suguru membekap mulutmu dengan dasi panjangnya. Memang, mulutmu tidak seluruhnya tertutup, kamu hanya menggigit dasi yang melingkar dari wajah hingga bagian belakang kepalamu. Namun itu cukup membuatmu tak dapat berbicara jelas.

“Pwofff—“

Suguru tertawa, setengah mengejek. “Kasian.”

Pria itu membuka resleting celana hitamnya dan mengeluarkan penisnya dari balik celana dalam yang sedari tadi membuat sesak kejantanannya. Ujung penisnya menyentuh bokongmu yang hanya dilapisi celana dalam. Suguru sedikit membungkukkan badannya untuk mendekatkan wajahnya denganmu.

“Who told you to stop writing?” ia mencengkram dagumu dari belakang, kemudian mencium daun telingamu dan mengendus-ngendus rambutmu yang wangi. “Don’t stop writing if you don’t want this to get worse. Understand?”

Kamu terdiam. Bukan karena takut, melainkan karena sudah tidak tahan ingin mencicipi penisnya di dalam lubangmu.

“Understand?” ia memperkuat cengkraman di dagumu. Kamu hanya balas mengangguk dan mendesah. “Good. Good girl.”

Tangan Suguru mengelus bokongmu yang terasa dingin karena AC, lalu ia menamparnya dengan kencang sekali di satu sisi. Membuatmu mengeluarkan desahan panjang dan kakimu tiba-tiba bergetar sebagai reaksinya.

“Hngggg—“ kamu memperkuat cengkraman pada pulpen.

Suguru hanya tertawa pelan di belakangmu, kemudian ia menggeser celanamu ke samping agar vaginamu terekspos. Semilir angin menerpa vaginamu yang basah. Lalu pria itu menggesek-gesekkan dua jemarinya di area kewanitaanmu.

“Pwofff hmngggg!” lagi lagi kamu tak dapat menahan desahan. Kakimu seketika berjinjit karena rasa geli.

“Pepek kamu udah basah, nih.” Jemari Suguru bergerak dari depan ke belakang di vaginamu. “Cantik. Cantik pepeknya.”

Gila. Kamu sudah gila dibuat olehnya. Sentuhan jarinya membuatmu mabuk dan membawamu ke langit ke tujuh. Kepalamu menghadap atas dengan matamu yang berputar ke belakang karena rasa nikmat yang menjalar di area vaginamu. Otakmu seperti sudah terhipnotis, diprogram hanya untuk mengeluarkan desahan-desahan dari mulut atas sentuhannya.

“Kerjain soalnya.” tangan kiri Suguru menundukkan kepalamu agar seperti semula. Ludahmu mulai menetes-netes pada kertas dan membasahi dasi. Namun kamu tetap berusaha untuk menulis jawaban meski dengan tangan gemetar.

“Seneng ya pepeknya dimainin gini?” dua jemarinya ia masukkan ke dalam secara perlahan. Ibu jarinya ia gunakan untuk menggesek klitorismu.

Badanmu tersentak. Suguru membungkukkan badannya dan meraba tubuhmu dengan tangan satunya. Kemudian ia masukkan tangannya ke dalam bajumu dan mengelus perutmu.

“Anggggh.” kamu mengangguk cepat sebagai jawaban atas pertanyaannya. Kamu suka bila vaginamu diberi sentuhan gila di bawah sana. Kamu suka bila ada tangan berurat seperti miliknya yang menggerayangi tubuhmu.

Seketika gerakannya terhenti. Suguru mengeluarkan jari-jarinya, lalu mengarahkan penisnya untuk masuk ke dalam vaginamu yang becek.

“ANGGGH!” kamu menjerit saat merasakan ujung penisnya yang melesak masuk. Perlahan, daging tebal kecokelatan itu seperti membuka paksa lubang kewanitaanmu. Urat-uratnya terasa di dinding bagian dalam.

“Liang pepek kamu sempit banget, cantik.” katanya sambil melingkarkan kedua lengannya di tubuhmu.

Sikutmu masih bertumpu pada meja. Namun pulpen yang kamu genggam kini sudah terlepas, bahkan menggelinding ke bawah. Salivamu menetes membasahi dagumu sendiri. Matamu setengah tertutup. Kertas yang ada di meja sudah lecek dan basah.

Satu hentakkan.

Dua hentakkan.

Tiga hentakkan…

Dan terus berlanjut hingga badanmu tersentak-sentak hebat akibat pinggul Suguru yang terus menubruk bokongmu tanpa ampun. Pria itu menarik rambutmu hingga wajahmu menghadap langit-langit ruangan, lalu tangannya meraih untuk mencekik lehermu.

“Kok bisa?” bisiknya setengah menggeram. “Kok bisa enak gini pepeknya, hah?”

“AHHHNNGGFF!” napasmu tak beraturan. Pedih, nyeri, enak. Semuanya bercampur jadi satu. Kamu mulai menangis di tengah kenikmatan ini.

“Kasian, mulutnya gak berguna ya? Rasain. Minta perbaikan nilai ke saya itu mahal harganya.” Suguru menjulurkan lidah dan menjilat air matamu dari samping sambil terus menghentakkan pinggulnya, menyodokkan penisnya di dalam vaginamu. “Nangis aja yang kenceng, cantik. Kita liat siapa yang bisa nolongin kamu. Gak ada siapa-siapa di sini selain saya. Jadi biar saya kawinin sampe pagi, ya? Oh… fuck. Saya mau keluar.”

Suguru memperlambat gerakannya, lalu memundurkan pinggulnya. Penisnya terlepas dari vaginamu. Pria itu mengocok kejantanannya sendiri dan memuncratkan spermanya di bokongmu. Kepala penisnya ia gesek-gesekkan di lapisan kulit bokongmu yang kenyal.

“Liat tuh, pepek kamu jadi bolong karna kontol saya. Lobangnya jadi gede. Nganga lebar.”

Suguru membuka ikatan dasi yang membekap mulutmu. Pegal rasanya, sehingga kamu mengatupkan bibir dan menelan ludah.

“Kalo pepeknya udah dibikin nganga, harus bilang apa?” ia mencengkram dagumu dengan kasar.

“Hah… hah… m-makasih, Prof…” kamu mengatur napas. “Kosong. Memek aku rasanya kosong, Prof…”

PLAK!

Suguru menampar mulutmu. “Mulutnya nakal banget, diajarin siapa?”

“Diajarin Kak Kento—“

Suguru nampak terkejut, bukan karena ia tahu bahwa kamu pernah melakukan hubungan dengan laki-laki lain, tetapi karena kamu menyebut nama Nanami. “Oh. Udah pernah dikawinin sama Kento juga? Perempuan nakal, pantes enak.”

Ia memutar tubuhmu agar menghadapnya, kemudian mencium bibirmu. Napasnya terdengar kasar, lelaki itu sedang diselimuti nafsu yang sudah ia tahan sejak kamu menginjakkan kaki di rumahnya. Ia berjalan menuntunmu tanpa melepas tautan di bibir, kemudian mendorongmu ke sofa. Kamu tersentak sekali lagi, namun lega rasanya dapat duduk setelah berdiri lama.

Suguru berjongkok di hadapanmu, lalu membuka kakimu lebar lebar hingga menampakkan vaginamu yang becek. Kamu memalingkan wajah, malu bila kewanitaanmu dilihat oleh Suguru. Pria itu memajukan kepalanya, lalu meludahi vaginamu.

CUIH! CUIH!

Kemudian dijilatnya area kewanitaanmu dengan lidahnya. Suguru memejamkan mata, sedang asyik menjilat-jilat santapan kesukaannya malam ini—area kewanitaan dari mahasiswanya yang penuh ambisi soal nilai.

“Ahh. Prof. Geli. Enak. Enak banget memek aku dijilat gitu—“ kamu mengcengkram rambutnya. Masa bodo bila dicap tidak sopan.

Lidahnya bergerak-gerak cepat di bibir vaginamu. “Panggil Om aja, cantik.”

“Ah. AHHH. OM! Om Suguru—“

“Lagi.” Suguru memasukkan dua jarinya ke dalam lubang vaginamu sambil terus menjilat bibir terluarnya.

Kamu menaikkan baju dan bra milikmu hingga payudaramu terekspos, kemudian bermain dengan putingmu sendiri. “Om Suguru... Hnggggh!”

“Lagi, cantik.” pria itu menjilat klitorismu dan mencubit-cubitnya dengan bibirnya.

Tak sadar pinggulmu ikut bergoyang. Tanganmu masih meremas payudaramu sendiri. Matamu setengah tertutup dengan lidah mencuat keluar.

“Hah… hah… Om Suguru— enak bangethh memek akuh dimam sama Om S-suguru. Om suka yah sama memek akuh?”

“Hmm.” Suguru hanya bergumam sebagai jawaban. “Kamu suka ya pepeknya dikobok-kobok begini pake jari?”

Kamu mengangguk sambil memasukkan jari ke dalam mulut dan mengulumnya. “Sukak— suka banget Om. Ayo kobok-kobok memek akuh lagiiih yang kencengggh!”

Suguru mempercepat gerakan jarinya—bahkan menambah satu jarinya untuk dimasukkan ke dalam vaginamu. Jarinya masuk hingga ke sisi paling dalam. Mencolek-colek dindingnya, ingin membuat kamu merasa nikmat.

AH. Kamu ingin sekali keluar, memuncratkan segala cairan beningmu ke wajah tampannya. Tidak peduli jika ia menghina atau merendahkanmu. Kamu hanya ingin menunjukkan betapa nikmat gerakan jemari dan lidahnya.

CURRR!

Dan akhirnya hal yang kamu nantikan datang.

“Om… OM! AKU PIPISHHH!” kamu mati-matian mendorong kepala Suguru agar menjauh dari sana, tetapi pria itu membuka mulutnya, dan lidahnya menyambut cairan orgasme dari dalam kewanitaanmu dengan mata tertutup.

Wajah Suguru basah total. Beberapa helai rambutnya juga demikian. Ia menjilat bibirnya dan menelan ludahnya sendiri—yang bercampur dengan cairan beningmu—sambil mengeluarkan suara ‘Ah’ seperti telah meneguk minuman segar. Ia mengusap wajahnya dan beridiri untuk mensejajarkan kepalanya padamu.

CUIH! CUIH!

Suguru meludahi mulutmu yang terbuka. “Telen.”

Kamu tak memedulikan rasa yang ada di lidah, kamu langsung menelan cairan itu dan membuka mulutmu lagi sambil menjulurkan lidah yang sudah kering.

“Mau lagi? Mau diludahin lagi?” tanyanya sambil mencengkram dagumu.

Kamu mengangguk. “Mau… mau diludahin sama Om Sug—“

CUHH! CUHH! CUIHH!

Belum sempat kamu selesai bicara, Suguru sudah terlebih dahulu meludahi bibirmu lagi. Kali ini terasa lebih basah dan lebih kental. Kemudian pria itu membuka paksa mulutmu dan mencium mu. Kamu tak dapat mengimbangi permainan bibirnya. Nafsu sudah menguasai pria berusia empat puluhan tahun ini. Ciuman itu terasa buru-buru dan basah karena air liurnya di mulutmu. Mulut kalian belepotan. Ludah menetes di mana mana, ia seperti sengaja mengalirkan salivanya ke mulutmu.

“Hmmm. Fuck.” gumamnya selagi ia membuka kancing kemejanya. Tangannya juga membuka kaitan bra milikmu. Baju yang kamu kenakan juga sudah terlepas sekarang.

Kalian berdua telanjang bulat di ruang kerja milik Suguru yang semula rapi dan bersih. Sekarang lantainya becek karena ulahmu. Juga sofa yang kamu dudukin sekarang, menyimpan sedikit genangan air di sudut-sudutnya.

Suguru menggendongmu. Kamu mengalungkan tanganmu di lehernya, kakimu melingkar di tubuhnya layaknya anak koala yang gelayutan di batang pohon. Ciuman kalian belum terlepas. Bibirmu seperti candu baginya. Kamu masih menutup mata sambil menikmati permainan bibirnya yang mendominasi, namun kamu dapat mendengar ia berjalan ke luar kamar dan menuruni anak tangga.

Tiba-tiba kamu merasakan udara dingin menerpa kulit. Suara jangkrik dan alam sekitar terdengar. Suguru melepas ciuman dan meletakkanmu di sebuah gazebo beralaskan kayu yang terletak di belakang halaman rumahnya. Kamu membuka mata. Sekitarmu begitu gelap. Hanya lampu dari dapur yang menerangi, serta lampu taman.

Lutut Suguru bertumpu pada alas gazebo. Kemudian wajahnya mendekat ke lehermu dan memberikan ciuman tipis—sesekali mengendus kulit mulusmu. “As I said, kamu gak bisa pulang ke rumah kalau gak bisa jawab soal dengan benar. Jadi saya gak akan biarin kamu melangkah keluar pagar sampai pagi, atau entah sampai kapan karena bisa jadi saya berubah pikiran.”

Kamu tak menjawab, hanya mengeluarkan lenguhan. Suguru menyisir helai rambutmu yang menempel di pipi, lalu menamparnya keras.

PLAK!

“Gak sopan, diajak ngomong malah ngedesah aja. Gak punya etika sama dosen sendiri. Kamu beneran tolol, hah?” ucapnya sambil mencekik lehermu.

“Akkkgkgkkk— O-ommmm—“ kamu menggenggam tangan Suguru sambil menganga.

Pria itu tersenyum melihatmu yang sedang kesulitan bernapas. Kemudian ia menampar pipimu lagi, kanan dan kiri.

PLAK! PLAK!

“Gak tau malu. Udah pipis sembarangan di ruang kerja orang, sekarang mau maunya diajak kawin di gazebo. Pengen suara desahanmu itu didenger sama satpam yang keliling? Atau tukang nasi goreng?”

“G-gak. M-maunyah didenger Om Sug-uru ajah— akkgkgkkk!” balasmu terbata-bata.

Suguru melepas cengkramannya, lalu melebarkan kedua kakimu. “Kencengin desahanmu itu kalo ada tukang nasi goreng lewat. Biar dia tau kamu lagi keenakan dikawinin dosennya sendiri.” ia mengocok penisnya dan mengarahkannya ke lubangmu.

Kamu hanya menggigit bibir, lalu mengerang panjang saat kejantanan Suguru mulai masuk.

“Sialan. Pepeknya masih enak aja. Enak gak kontol saya?”

Kamu hanya terdiam. Tidak menjawab. Satu jarimu kamu masukkan ke dalam mulut.

PLAK!

“AAAH!” Sebuah tamparan keras mendarat di payudaramu. Rasa perih dan panas mulai menjalar.

“Kalo ditanya itu dijawab.” ujarnya sambil menghentakkan pinggulnya maju dan mundur.

“I-iya. Kontol Om Suguru enyakkhh. Entot akuh yang kenceng Om.”

TEK TEK TEK!

Bunyi kentongan kayu samar-samar terdengar dari kejauhan. Suguru menyeringai sembari pinggulnya terus bergerak. “Mana desahan kamu itu, cantik?” tanyanya.

Kamu pasrah. Lidahmu mencuat keluar sambil mendesah-desah di tengah keheningan malam. “Aaaah! Hnngggg Om Suguru cabul, ngentotin mahasiswanya sendirihh. Tapi aku suka! Kontol Om gede. Nyodok-nyodok memek akuh— AAAH!”

“Bajingan.” Suguru menghentikan gerakan pinggulnya dan mengeluarkan penisnya dari dalam vaginamu, lalu pergi menjauh dari gazebo.

Kamu kebingungan. Ia meninggalkanmu di saat kamu sedang berada di puncak kenikmatan. Kamu bangun, terduduk di gazebo sambil memeluk dirimu sendiri.

Satu menit, dua menit, tiga menit, empat menit, lima menit…

Lengang. Kamu mulai merasa aneh karena Suguru tak kunjung kembali. Namun tiba-tiba kamu mendengar langkah kaki dan suara dua orang sedang berbincang. Matamu terbelalak kaget saat melihat ada tamu yang datang, mereka berjalan dari ruang tamu dan dapur. Suguru membawa dua piring nasi goreng di atas meja. Dan orang itu... sepertinya abang abang nasi goreng. Ia mengenakan kaos oblong berwarna hitam dengan celana putih panjang.

Kamu panik, ingin bersembunyi. Namun Suguru dan abang nasi goreng itu berjalan mendekat gazebo.

“Kenapa? Kok panik sih, cantik?” Suguru—yang sedang mengenakan bathrobe-nya yang berwarna putih—menyeringai padamu. “Sini, Ji. Bantuin saya.” perintahnya.

Abang nasi goreng itu mendekat dan mulai melepas celana putihnya yang lusuh. Penisnya mencuat tegak. Besar… besar sekali. Jauh lebih besar dari milik Suguru. Kamu menganga takjub.

“Neng cantik, simpenannya Pak Suguru ya?” abang nasi goreng itu tersenyum nakal dan mengocok penis besarnya.

“Bukan, Ji. Ini mahasiswa nakal yang minta dinaikin nilainya. Tapi malah lebih pinter ngedesah.” ucap Suguru sambil melepas bathrobe putihnya.

Kedua pria itu sama sama naik ke gazebo. Mereka mengocok penis masing-masing. Suguru membuka kakimu yang tertutup rapat.

“Namanya Toji, jadi jangan panggil dia abang nasi goreng. Dia punya nama. Paham?”

Kamu mengangguk sambil memperhatikan kejantanan abang nasi goreng—yang ternyata bernama Toji—yang sangat besar. Kamu menelan ludah, lalu kedua tanganmu melebarkan bibir vaginamu yang becek agar lubangnya terlihat dan semakin melebar.

“Aduh, eneng. Memeknya cakep bener.” Toji menjilat bibirnya, tergila-gila dengan bentuk vaginamu.

Suguru dan Toji sama sama mengarahkan penisnya ke dalam lubangmu. Dua penis sekaligus dalam satu lubang. Ini pertama kalinya kamu mencobanya.

AH. Enak sekali rasanya ketika dua penis itu sudah sempurna masuk bersama. Kanan dan kiri. Vaginamu terasa amat sangat penuh sesak. Namun sangat nikmat sensasinya.

“AAANGHHH HNNNGGGG! ENAAAK! HEUAAANGG!” kamu mendesah tak karuan. Matamu lagi lagi setengah terpejam. Badanmu tersentak-sentak hebat karena dua pria yang sedang menubruk lubangmu secara bersamaan.

Kamu merasa kewarasanmu sudah hilang. Isi otakmu hanya penis, penis, penis, dan penis dari Suguru beserta Toji.

Toji membungkukkan badan dan meremas-remas payudaramu dengan kasar, kemudian mencium bibirmu. “Slrrrppp. Hmmmhhh.” desahnya saat menjilati lidahmu. Kamu balas menjilat dan memagut bibirnya, meski ciuman yang diberikan Toji sangat berantakan sekali.

“Eneng memeknya imut banget, sempit. Nenennya juga. Hmmppph.” bibir Toji menjilat payudaramu setelah puas mencium bibirmu. Ia menyedot-nyedot putingmu. Kamu mendesah dibuatnya.

Sementara itu, Suguru masih sibuk menggerakkan pinggulnya selagi menonton Toji yang mencumbumu layaknya di video-video dewasa. “(Y/N)… ohhh. Kalau aja kamu udah lulus, saya nikahin kamu. Ah… bangsat. Enak banget lubang kamu.” jari Suguru menggesek-gesek klitorismu, membuatmu mengerang hebat. Keras sekali.

“Liang memek sempit tapi muat dua kontol. Nanti pas udah pasti bolong gede nih, neng.”

CUIHH!

Toji meludahi aerolamu, lalu menjilat dan menyedotnya. “Slrrrpppp. AH.”

Kamu pasrah. Hanya tidur terlentang sambil mengerang tak karuan, serta mencengkram rambut Toji sebagai pelampiasan. Suguru mengerutkan dahi, mengeluarkan erangan dan bergabung dengan Toji untuk mencumbu payudaramu. Memang nikmat surga dunia yang luar biasa. Entah sudah jam berapa dan berapa jam kalian melakukannya di luar, namun kamu tak ingin ini segera berakhir.


Pagi Hari, Pukul 10:15

Alarm berbunyi kencang. Kamu membuka mata. Sinar matahari yang hangat menerpa wajah. Kamu bangun dan melihat sekitar.

Oh. Masih di rumah Prof Suguru, batinmu. Tanganmu meraba-raba tubuhmu sendiri. Kamu baru ingat bahwa Suguru yang meminjamkan baju serta celananya padamu. Ia juga yang rela pergi ke minimarket jam 3 pagi untuk membeli sabun wajah dan sikat gigi untukmu. Sekarang, kamu sedang berada di kamar pribadinya. Cukup luas untuk ditempati sendirian. Kasurnya besar. Sepertinya muat untuk tiga orang dewasa.

Kamu merasa lelah setelah semalaman ‘bermain’ sangat lama dengan Suguru dan Toji—abang nasi goreng yang kebetulan lewat depan rumah dan bergabung bersama kalian. Badanmu pegal, kakimu apalagi. Namun kamu merasa sangat lapar dan memutuskan untuk keluar kamar dan turun dari tangga dengan sangat hati-hati. Entah di mana Suguru berada, yang jelas kamu ingin pergi ke dapur dan memakan apapun yang ada di kulkas.

Sambil mengucek mata dan masih setengah sadar, samar-samar kamu melihat seseorang di ruang tamu yang letaknya berseberangan dengan dapur.

“…(Y/N)?” sahut pria yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

Kamu terkejut setengah mati sambil menutup mulut dengan tangan. “K-kak Kento?!”

Bagian III.