write.as

Pengecut

Sekolah Menengah Atas (SMA) Nirvana sedang disibukkan dengan persiapan Ujian Nasional di awal Bulan depan. Sangat cepat rasanya perjalanan Tiara di sekolah ini yang penuh kenangan. Salah satunya ia bertemu dengan seseorang yang terjebak di masa lalunya dan tidak bisa membalas cinta nya saat itu. Iya, Reno.

Tiara yang baru saja ingin bergegas bertemu Kak Tara, namun langkahnya dihentikan oleh Meyka. Teman satu kelasnya.

“Ra, Lo dicariin wali kelas di Ruang Guru. Semua ketua kelas disuruh ngumpul buat bantu persiapan UN.” Meyka memberitahu Tiara agar menghadap wali kelasnya di ruang guru.

“Oh iya, gue lupa. Thanks ya Mey.” Jawab Tiara

Tiara segera menuju Ruang Guru untuk menemui wali kelasnya. Dan disana ternyata, tidak hanya ketua kelas, melainkan beberapa anggota OSIS inti ikut membantu persiapan UN. Tentu saja ia melihat sosok Ketua OSIS yang sudah membuatnya menangis malam itu.

“Tiara, ayo masuk. Kok diluar saja.” Ucap Bu Zahra selaku wali kelasnya.

“Eh iya Bu. Maaf saya telat.” Tiara memasuki ruang guru dengan tatapan tajam kepada Reno.

Setelah gadis ini masuk, Semuanya langsung mendengarkan intruksi yang diberikan wali kelas masing masing. Ada yang disuruh mengeluarkan bangku dan meja di kelas agar pas dengan siswa siswi yang mengikuti UN setiap ruangannya, ada yang membersihkan papan yang mempunyai noda bercak dari spidol, dan ada yang memilih headset untuk bagian Listening nantinya.

“Tiara sama Reno ya. Bantu pilihin headshet yang bagus. Jangan yang cuma nyala sebelah. Nanti pas bahasa Inggris pada ga denger lagi.” Ucap Bu Zahra yang baru saja memilih Reno sebagai pasangan Tiara dalam tugas ini

“Bu tapi...” Tiara menjawab dengan nada tinggi

“Udah, silahkan dibantu ya. Lebih cepat lebih baik.” Bu Zahra tidak mendengarkan Tiara.

Reno mengambil box yang berisikan puluhan headset. Dia membawa nya ke salah satu meja kosong agar gampang saat dicoba ke laptopnya.

“Ra disini aja ya?” Reno mencoba berbicara kepada Tiara namun tidak ada respon dari gadis yang sudah disakitinya

Tiara mulai mengambil beberapa headset untuk dicoba di laptop miliknya. Ia mencoba tidak memperdulikan pria disampingnya.

“Ra, Lo masih gamau ngomong? Ini udah hampir setahun Lo diemin gue. Kan gue udah jelasin gimana perasaan gue.” Reno menatap Tiara dengan tatapan sendu nya

“Sorry, gue gadenger, lagi dengerin keluaran suara di headshet nya.” Tiara menjawab dengan headset di kupingnya. Sebenarnya ia mendengar apa yang Reno bicarakan. Tapi ia tidak peduli

Selama 30 menit Tiara dihadapkan oleh pria yang ia sangat benci. Kenapa harus dipasangkan oleh Reno, kenapa dia, itu yang ada di otak Tiara.

Setelah mencoba puluhan headset, ia menutup laptop macbook miliknya dan bersiap untuk bertemu Tara yang baru saja memberi pesan kepadanya.

“Bu saya duluan ya. Sisanya saya serahin ke Reno. Yang saya coba ada beberapa yang ga nyala. Jadi saya pisahin di box warna kuning.” Tiara menunjuk box berwarna kuning yang berada diatas meja

Tiara meninggalkan ruang guru dengan ocehan kecilnya sepanjang lorong sekolah.

“Anjir banget, ga banget harus ngobrol sama orang yang gatau diuntung. Ih pait pait deh gue.” Tiara berdiam lalu menghentak kaki nya karena ia sangat benci dipasangkan dengan Reno

Baginya, Reno hanya masa lalu yang tidak perlu dilihat lagi atau bahkan ada perdamaian diantara keduanya. Tiara sudah mempunyai sosok yang membuatnya bahagia. Meghantara Prakasa.


Tepat di pukul 2 siang, pria bernama lengkap Meghantara Prakasa baru saja mendaratkan kendaraan hitamnya alias Si Ganteng di depan sekolah lamanya. Senyum Tara merekah, ketika gadis kesayangannya berjalan mendekat kearahnya.

“Oh ini, yang ngilang terus ngajak belajar.” Tiara melipat tangannya dan mengalihkan pandangannya ke angkot yang baru saja lewat

“Jangan marah marah, cantiknya nanti hilang. Mau emang?” Tara mencoba merayu Tiara dengan gombalannya

“Asal dikasih milkshake buatan barista Cafe Neo 112, gamarah lagi.”

“Iya iya. Ini udah gue bawain. Tadi rada telat karena harus ke cafe dan bawain Lo ini. Ada red Velvet juga kesukaan Lo.” Tara menunjukkan makanan dan minuman yang menjadi favorite Tiara

“Ahhh... Ok. Dimaafin.”

“Yaudah yuk naik? Kita ke jembatan warna warni. Mau?”

“Mauuu.” Jawab Tiara dengan nada excited nya

“Nih gue pasangin dulu helmnya. Biar rambut cantik Lo ga terbang terbangan.” Tara memasangkan helm polisi miliknya di kepala gadis itu. Disusul dengan Tiara yang duduk di jok belakangnya.

“Siap?”

“Siap pak!” Tiara hormat layaknya sedang berhadapan dengan jenderal

Tara sangat ingin menjelaskan apa yang terjadi kepada Tiara di jembatan warna warni. Ia berharap Tiara akan menerima dia dan penyakit nya.

Seperti biasa, perjalanan ke Jembatan yang terletak di tengah kota itu lumayan jauh. Ditambah Tara mengajak Tiara keliling kota terlebih dahulu sebelum waktu sunset tiba.


Sesampainya mereka disana, Tara memarkikan motornya di samping tukang minuman langganan nya.

“Ra, kita duduk di Deket besi pembatas ya. Biar nanti pas sunset, Lo bisa lihat.” Tara memegang tangan Peri cantiknya dan mengajaknya duduk

“Ka, apa Lo akan keluar kota lagi?” Tanya Tiara yang membuat Tara sedikit kaget kali ini

“Ehm, mungkin Minggu depan. Pas Lo UN. Kenapa emangnya?” Tara memasang wajah yang curiga. Curiga kalau gadis kecilnya ini sudah mengetahui nya juga

“Gpp Kak, biar gue ga overthinking lagi.” Jawab Tiara yang meminum milkshake buatan Tara

“Ra, nanti ketika Lo UN, temen gue akan ngebantu Lo belajar ya.”

“Siapa?”

“Ya temen temen gue. Antara Revin, Daren, ataupun Hari. Sebelum Lo ngejelekin mereka lagi, mereka itu pinter kok. Jadi jangan khawatir ya?” Tara tersenyum kecil

“Gue ga khawatir sama mereka. Tapi gue khawatir sama Lo. Lo gasadar ya? Tubuh Lo makin kurus. Pasti makan nya telat terus. Ditambah potongan rambut Lo kependekan. Kaya orang kena kanker aja.” Tiara baru saja menyebutkan ketakutan Tara saat ini. Penyakit mematikannya.

Tara terdiam karena ia semakin yakin kalau Tiara sudah mengetahui hal ini. Tetapi dari siapa. Mamahnya? Tidak mungkin. Teman teman Tara? Punya nomor Tiara saja tidak.

“Ra, Lo udah tau ya?” Tara menundukkan kepalanya

“Iya tau.”

“Maaf ya Ra. Lo boleh marah kok Gpp. Gue emang pengecut.” Tara menatap Tiara dengan matanya yang mulai berkaca kaca kembali.

“Iya emang gue pengen marah. Apalagi pas chat Lo dibales sama temen Lo pas Lo keluar kota. Kakak? Ewh gue aja dengernya jijik. Apalagi Lo ka, hahahaha.” Tiara tertawa yang menandakan bahwa ia belum mengetahui hal itu.

Ternyata gadis ini belum tau. Jantung Tara Yang berdebar debar mulai mereda perlahan.

“Peri cantik?” Tara memegang tangan mungil Tiara dan menatap nya kembali

“Iya ka?”

“Mungkin Lo gapernah denger gue bilang I Love You. And yes, I do love you Tiara Estherlina. Jujur gue bingung untuk mendiskripsikan rasa ini ke Lo Peri cantik. Gue sangat bahagia ada Lo di hidup gue. Lo pemberi warna pada kertas yang sudah tidak sempurna bentuknya. Gue mencoba menjadi seseorang yang memberi perhatian lebih ke pacar gue saat ini. Gue gamau kehilangan orang yang gue sayang untuk kesekian kalinya. Lo tau gue tumbuh dalam keluarga yang sama sekali gapernah membicarakan perasaan masing masing. Tapi saat sama Lo, gue bisa membicarakan hal itu.” Tara memegang erat tangan Tiara dan mengatur nafasnya yang mulai sesak

“Peri cantik, Lo tenang aja ya. Lo udah menjadi tempat yang gue cintai dengan sangat hebat oleh sosok yang lemah ini, bahkan I love you more than myself.” Tara menggerakkan tangannya ke rambut Tiara

“Gue ngerti kak. Makanya gue percaya sama Lo. Dengan Lo bawa gue ketempat ini pun gue yakin something happen. Lo bilang sendiri ini adalah tempat yang Lo datengin ketika lagi banyak pikiran. Jangan jadiin gue beban ya kak? Jadiin gue sebagai sosok yang Bisa membuat semua beban itu ilang.” Tiara menjawab dengan nada sangat lembut kali ini.

“Terima kasih Ra. Apapun yang terjadi nantinya, janji kita malam itu di jembatan ini akan terjalankan. Janji Setia untuk menjaga kehangatan orang yang gue sayang kalau gue gabisa mengunjungi tempat ini lagi.”

Seketika Tara mengingat malam itu. Ia ingat baju pertama yang Tiara pakai kesini, wanginya malam itu, senyumannya, suara gadis yang memanggil nama Tara dengan ciri khasnya. Semua masih terekam jelas diotaknya.

“Apaan sih gabisa ngunjungin lagi. Emangnya nanti pas Lo lulus kuliah, penempatannya diluar kota apa? Terus bakal LDR dong? Eh kok Lo udh tau duluan sebelum lulus?” Tanya Tiara

“Iya. Jauh banget Peri. Mungkin LDR nya akan lama juga. Gue udah tau dong. Kan orang pilihan hehe.” Tara lagi lagi memberi sinyal kepada Tiara bahwa dirinya akan pergi jauh. Bukan di semesta ini, melainkan semesta lainnya.

Tara mengurungkan niatnya untuk memberitahu Tiara detik itu. Ia tidak ingin senyuman Tiara hilang di moment seperti ini.

“Ih jahat banget. Yaudah nanti gue ikut aja sama Lo. Cari kuliah Deket Lo kerja. Gue gamau jauh jauh dari Lo ya kak? Ditinggal beberapa hari aja overthinking nya 3 hari 2 malam. Apalagi ditinggal jauh?” Tiara menyenggol tubuh Tara yang duduk disampingnya

Tara terdiam dan tidak menjawab kalimat yang keluar dari mulut Tiara. Pikiran negatif nya mulai menghinggapi kepalanya.

“Kak, kok tangan Lo memerah gini? Kaya memar? Ini kaya darah beku gitu tapi kok ditangan?” Tiara memegang lengan Tara dan mencoba menyentuh bagian memar yang disebabkan efek samping dari kemo

“Ini kepentok meja belajar. Memarnya parah ya.” Tara mengusap memar tersebut dan menutupinya

“Kata mamah, kalau mau cepet sembuh, dicium. Sini gue cium. Biar cepet sembuh hehe” Tiara mencium lengan Tara yang terdapat luka memar tersebut

“Iya, makasih ya. Tuh langsung sembuh.”

Tak lama kemudian, waktu sunset telah tiba. Pemandangan yang sangat cantik. Ditambah sosok Tiara di jembatan ini, akan menjadi sebuah memori yang akan terkenang disana.

“Kak, foto yuk?” Tiara berdiri dan menarik Tara menuju pembatas jembatan.

“Hahaha dasar anak senja. Yuk.” Tara mengikuti langkah kecil dari gadis kesayangannya tersebut.


“Peri Cantik, besok kelas sampai jam berapa?”

“Gaada kelas kak. Minggu tenang. Jadi free deh. Eh engga deng. Harus belajar hehe.” Ucap Tiara

“Pas kalau gitu. Besok ikut buat passport mau? Abis itu kita belajar pelajaran yang ketinggalan.” Ucap Tara yang akan mulai menjalankan keinginan Tiara dan dirinya

“Passport buat apa kak?” Tiara kebingungan dengan ajakan Tara

“Lupa ya? Kan gue udh janji mau ngajak Lo ke Paris. Ada tempat yang pengen gue kunjungin. Tapi ga sendiri, maunya sama Lo dan temen temen gue. Mau?”

“Wihhhhh beneran ternyata. Mau dong!! Asik Paris, I'm coming!! Merci kak!”

“Sip, besok gue jemput ya pagi pagi. Dapet nomor antrian duluan. Kali ini Lo boleh dandan gpp. Karena Lo akan ngeliat foto itu selama beberapa tahun kedepan.” Tara baru saja memperbolehkan gadis nya ini berdandan ketika bersamanya

“Okayyy. Nanti gue bilang mamah juga deh. Yeay, makasiii kak!!”


Matahari mulai terbenam. Pasangan tersebut pun bersiap siap untuk pulang.

“Ra, tunggu sebentar ya disini. Gue lupa mau kasih sesuatu ke Abang Abang jualan disana. Tolong pegangin sebentar boleh?” Tara melepas helmnya kembali dan jaket miliknya.

“Boleh kak sini. Emangnya mau ngasih apa kak?” Tiara bertanya dari atas motor hitam milik pria tersebut

“Ngasih tips aja. Udah lama ga ketemu soalnya. Dagangnya juga lumayan sepi kayaknya. Tunggu sebentar ya.” Tara berjalan meninggalkan Tiara menuju tempat dagangan langganan nya.

Angin bertiup sangat kencang. Membuat jaket milik Tara yang di sangkutkan di depan motornya terjatuh. Sontak membuat Tiara turun dari jok motor dan mengambil jaket Tara yang terjatuh.

“Eh maaf ya lama peri. Kenapa? Jatuh ya?” Tara kembali ke motornya

“Iya kak, tadi anginnya kenceng banget. Nih pake kak. Lagian ngapain dilepas deh, nanti masuk angin.” Tiara memberi jaket tersebut kepada pemiliknya

“Yuk pulang, nanti anak mamah dicariin hahahaha.”

“Ih apaan sih! Kan sama ka Tara. Mamah pasti gaakan marah.”

“Pegangan, nanti jatuh.” Tara memegang tangan Tiara dan membuatnya memeluk tubuh yang rapuh tersebut

“Mungkin tidak hari ini. Waktunya belum pas. Ketika sudah saatnya, kamu harus tau tentang lelaki yang sedang bertahan hidup ini ya Peri.” Ucap Tara didalam lubuk hatinya paling dalam