Belajar Cerewet

Kamis siang dan saya memutuskan untuk kembali mengaktifkan akun Instagram setelah berbulan-bulan mematikan sementara. Uniknya, saya tidak tertarik untuk mempublikasikan sebuah Instastory baru atau memasang foto terkini. Saya memerlukan bantuan dari rekan-rekan saya dan (sayangnya) salah satu jaringan paling ramai yang digunakan orang Indonesia adalah Instagram. Bantuan yang saya perlukan terkait dengan kebutuhan riset tentang profesi apoteker dan pengetahuan saya sangat minim mengenai bidang ini. Singkat cerita, melalui beberapa kali “saya kenalkan ke teman saya ya”, akhirnya saya sampai juga pada narasumber-narasumber yang bisa membantu saya dan memberanikan diri untuk berbicara dengan mereka. Dan ternyata saya bisa belajar banyak dari rekan-rekan apoteker.

Jika saya memikirkan kembali pengalaman ini, memang terasa aneh. Sebelum memutuskan untuk melanjutkan studi di Belanda, hal semacam ini tidak mungkin tersbesit di kepala saya. Sepertinya sudah cukup mencari-cari informasi di Internet, bukankah mbah Google tahu segalanya? Terlebih lagi harus berbincang dengan orang-orang baru, malas sekali rasanya. Dasar introvert. Tetapi saat ini saya mengetahui bahwa tidak ada yang bisa menggantikan ilmu yang dibagikan langsung oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang ini. Saya belajar hal ini dari “paksaan” yang terus-menerus saya terima selama menjadi mahasiswa di negara orang. Setiap semester selama tiga semester terakhir, saya diwajibkan untuk berbicara langsung dengan empunya masalah jika ingin menawarkan solusi. Literatur saja tidak cukup.

Banyak pelajaran lain yang saya dapatkan dari pengalaman bersosial di lingkungan yang sangat berbeda. Fakta lain yang sebenarnya sudah lama saya ketahui tapi akhirnya bisa saya verifikasi adalah berbicara bahasa Inggris untuk kehidupan sehari-hari tidak perlu dengan tatabahasa yang sempurna. Kamu hanya perlu bisa dimengerti dan percaya diri. Seringkali saat saya ingin mengutarakan sesuatu justru urung hanya karena tidak tahu bagaimana memformulasikan kalimat dalam bahasa Inggris. Ternyata, tidak ada tuh yang menolak ide saya mentah-mentah karena tatabahasa yang kurang sempurna, asalkan saya memang punya opini yang sesuai dengan topik pembicaraan.

Biarpun bahasa Inggris dalam percakapan bukan hal utama, tetapi kemampuan argumentasi tetap diperlukan. Mau sebrilian apapun ide yang kita miliki, tanpa argumen yang kuat maka akan terdengar loyo di hadapan ide lain. Argumen bukan tentang seberapa ngotot atau seberapa keras suara, tetapi bagaimana membuat pendengar bisa paham dengan pola pikir kita. Ini adalah salah satu hal yang buat saya sangat sulit dan masih terus saya perbaiki. Acap kali pemikiran saya lompat kesana kemari sehingga ketika diutarakan justru membingungkan.

Terkait berargumen, saya punya trik yang sering saya praktikan selama saya di sini. Trik ini terdiri dari dua bagian. Pertama, simplifikasi: mencoba menyederhanakan di pikiran saya, poin apa yang ingin saya utarakan sampai sesederhana mungkin, maksimal dalam dua kalimat. Kedua, mengatur tempo bicara. Ketika kita ingin menyampaikan pendapat, apalagi ketika tensi sedang meninggi, manusia cenderung berbicara dengan cepat dan lantang. Saya menyadari bahwa suatu opini yang sudah jelas kebenarannya di kepala saya belum tentu diterima dengan demikian adanya oleh kawan bicara. Oleh karena itu, saya memilih untuk memastikan pada setiap poin yang saya utarakan, tersampaikan dengan baik dan dapat dimengerti dalam frekuensi yang sama, sebelum melanjutkan ke kalimat berikutnya.

Hal menarik yang ikut terpacu ketika saya ingin memperbaiki kemampuan berargumen adalah bersikap kritis. Sebelumnya, saya cenderung orang yang malas menanggapi pendapat orang lain yang tidak sesuai dengan pemikiran saya. Untuk apa sih, kecuali sudah sampai merugikan saya. Lingkungan semasa saya tumbuh pun memperparah perilaku ini, saya cenderung menghindari konflik dan nerimo. Sayangnya, budaya yang saya alami di sini sangat berkebalikan. Entah apa itu, pasti ada saja yang dikritisi dari setiap pendapat yang diutarakan siapapun. Kadang-kadang saya sampai heran bagaimana mereka bisa sampai berpikir sedetail itu, tetapi lama kelamaan saya belajar bahwa kritik itu pun muncul di pikiran saya, hanya saja selama ini saya memilih untuk tidak mengacuhkannya.

Sekarang saya sering sekali menyampaikan tidak setuju dengan pendapat orang lain. Bersifat kritis saling melengkapi dengan kemampuan berargumen. Terkadang saya memaksa diri untuk selalu berpikir apa kekurangan dari opini orang lain. Hal menarik yang semakin saya sadari adalah bagaimana umur dan pengalaman seseorang tidak menjadi jaminan bahwa apa yang diucapkan pasti benar. Kita bisa bersikap kritis kepada setiap kawan bicara, tidak pandang bulu. Semua tergantung apa yang mereka ucapkan, bukan tentang siapa mereka.

Saya telah dengan sadar memilih jalur karir yang membuat saya berhadapan lebih banyak dengan komputer daripada berhadapan dengan orang lain. Buat saya, komputer itu menyenangkan, kalau kita suruh A maka ia akan berbuat A, dan ketika ia bilang B maka B-lah yang akan ia kerjakan. Berurusan dengan orang lain, terutama dalam pekerjaan, sering saya hindari. Semenjak setahun saya di sini, melalui paksaan dan pengalaman, saya menyadari bahwa sebetulnya kemampuan bersosial adalah hal yang bisa dan perlu dilatih, bukan watak yang sudah digariskan sejak lahir. Tentu saja dalam latihan kita akan mengalami gagal, tetapi hanya itu cara terbaik untuk belajar dan berkembang. Bagaimanapun juga, sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan satu sama lain, bukan?