write.as

ada banyak yang ingin dilakukannya kepada dokter kim wooseok.

“bagaimana?”

“sedikit lebih asin daripada biasanya, tapi nggak apa-apa,” dahi pemuda itu mengkerut, sambil mengeksaminasi potongan kukis di antara ibu jari dan telunjuknya. jinhyuk memperhatikan cara sang dokter mengunyah kukis tersebut—pelan dan menikmati, bibir bawahnya belepotan remah yang dengan segera dikulumnya bersih. “shouldn’t we head back, coach?”

bola mata jinhyuk mengikuti trayek pandang sang dokter dan mendapati separuh lembayung senja detroid yang membentang luas di hadapan mereka rupanya lumayan keruh dengan awan mendung. coach jaehwan benar. prediksinya, tidak butuh hitungan jam sampai butiran hujan pertama turun dari langit untuk bergabung kembali ke tanah.

“sebentar lagi, dok,” jawab jinhyuk, sisi badannya bersandar pada beton pembatas balkon. ada senyum kecil yang nyaris retas saat itu juga kala sang dokter membuat kontak mata dengannya untuk sepersekian detik, meskipun tatapan itu sengaja dijatuhkan pada kerjapan mata selanjutnya.

pemuda itu memasukkan potongan kukis lagi ke dalam mulutnya.

ada banyak yang ingin dilakukannya kepada dokter kim wooseok—dan ini bukan dalam artian tidak senonoh yang acap kali sempat jadi bahan tuduhan coach jaehwan terhadapnya, meskipun beberapa memang tidak bisa dipungkiri jinhyuk secara tidak langsung mengarah ke sana. membawa ibu jarinya sendiri ke bibir bawah sang dokter untuk menghapus remah kukis yang masih menyisa di sana, contohnya. atau menggamit tangannya yang lentik itu dan mengelusnya penuh afeksi, sembari ia membuat catatan mental apakah kulit di sana memang sehalus dan selembut kelihatannya.

“ada rencana apa akhir pekan ini, coach?”

tapi ada banyak juga yang ingin dilakukannya kepada dokter kim wooseok—sepadan dengan seberapa keras otaknya berputar mencari cara supaya kedua mata itu tidak sendu lagi. untuk jadi dan sengaja bersikap bodoh di hadapan sang dokter, demi menyaksikan kerlingan matanya yang jenaka serta seutas senyum yang barangkali hanya akan bertahan selama beberapa detik. gestur-gestur, besar maupun kecil, yang akan dilakukan jinhyuk secara sukarela kalau itu artinya dia bisa membuat pagi dan malam sang dokter terasa lebih mudah, lebih tidak berbayang kesedihan akan mendiang suaminya.

hal-hal yang akan dilakukan jinhyuk jika dan hanya jika sang dokter mengizinkannya beredar di dalam hidupnya.

“saya? minggu harus menghadiri acara keluarga,” jawab jinhyuk. gemuruh dari langit di ujung sana terdengar seperti ultimatum pertama, tapi itu sama sekali tidak membuatnya bergerak dari posisinya, masih memandangi sang dokter yang juga tidak berkutik di sampingnya.

ada gumam pelan dari yang bersangkutan. “pasti menyenangkan, coach.”

“sebaliknya,” jinhyuk mengerang pelan, “saya justru menghindari acara-acara seperti ini. supaya tidak di-inquire macam-macam oleh kerabat...”

“tentang pekerjaan?”

“itu,” gumam jinhyuk, “tapi lebih utamanya, tentang pilihan hidup saya.”

jauh, jauh lebih utamanya lagi, tentang bagaimana saya ingin mereka tahu bahwa dokter adalah satu-satunya pilihan hidup saya, jinhyuk ingin bilang begitu. malang, yang bersangkutan malah balik tersenyum, menatapnya seolah-olah tidak sadar bahwa dialah subjek dari pembicaraan ini.

“saya yakin, coach,” dokter wooseok menoleh kepadanya. ada sesuatu dari senyum itu yang tidak pada tempatnya, tapi jinhyuk tidak bisa mendefinisikan apa. dari sudut ini, mata cokelatnya nampak berkaca-kaca. “orang seperti coach... pasti tidak akan kesulitan menemukan pilihan hidup.”

gemuruh kedua, dan awan mendungnya terlihat jauh lebih dekat daripada beberapa saat sebelumnya. jinhyuk tersenyum merunduk.

“orang seperti saya,” jinhyuk memulai, sambil mengangkat wajahnya lagi. “orang seperti saya—di mata dokter orang yang seperti apa?”

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀

(dearest, darling, beloved...)

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀

pertanyaan itu nampak seperti bom waktu, jika ditilik dari ekspresi yang terpancar di wajah sang dokter sekarang. bibirnya bergerak secara autopilot, meloloskan sebuah bisik yang begitu samar, tercerai-berai bersama angin sore yang berhembus di antara mereka.

“orang seperti coach...”

jinhyuk mengangguk penuh afirmasi, “orang seperti saya, dok.”

liontin sang dokter yang di awal tadi dipakaikannya muncul lagi ke permukaan, dibawa oleh tangannya sendiri. kebiasaan yang diperhatikan jinhyuk ditekuni sang dokter manakala ia tengah berpikir—seolah-olah memori akan mendiang suaminya itu membuatnya berpikir jauh lebih jernih, lebih waras, lebih yakin. entah memori yang seperti apa yang punya kekuatan sedemikian magis, tapi itu sukses dalam membuat dokter wooseok menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara.

“orang seperti coach,” ia memulai, suaranya lebih tenang daripada biasanya, “mungkin maksud saya orang yang sangat pemberani, ya.”

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀

(...my love, my life...)

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀

gemuruh ketiga jauh lebih keras dan disertai kilat.

“orang seperti coach,” lanjut sang dokter lagi, “di mata saya, adalah orang yang selalu berusaha mencari terang di antara semuanya yang gelap... dan percaya, bahwa pasti ada kebaikan di setiap diri kita...”

jinhyuk melepaskan sandarannya dari beton pembatas balkon.

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀

(...kim wooseok.)

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀

“orang seperti coach—”

dokter kim wooseok menolehkan kepalanya dan mendapati wajah coach lee jinhyuk berjarak hanya sekian napas darinya.

perbedaan tinggi di antara mereka mengharuskan yang lebih tinggi untuk merunduk menyamakan level mata mereka, dan kalau jinhyuk selama ini berpikir mata itu berwarna cokelat gelap dari jauh, memandangnya dari jarak dekat membuatnya sadar bahwa mata sang dokter sesungguhnya berwarna hampir hazel—hanya pinggiran luar irisnya saja yang berwarna cokelat gelap. tak henti-hentinya jinhyuk berusaha memetakan fitur wajah itu ke seluruh ruang dan sudut otaknya yang tersisa: hidungnya yang mungil. tulang pipinya yang tinggi. lekuk dahinya yang prominen. bekas luka di bawah mata kirinya.

“one no from you,” bisik jinhyuk, begitu pelan. dirangkumnya salah satu sisi dagu sang dokter lembut, merasakan hatinya loncat sampai ke bulan manakala ia mendapati yang bersangkutan merespon malu-malu kepada gestur itu. “one no from you, and i’ll stay away forever.”

mata sang dokter terpejam perlahan.

jinhyuk mengartikannya sebagai bukan tidak.

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀

tik.

tik.

tik.

tik.

tiktiktiktiktiktiktik

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀