write.as

In Case You Don’t Live Forever


Tags: Local AU

Author’s Note: Cursing Mentioning of death


Positif

Mingyu langsung otomatis muter kemudinya, ke arah asrama paling legend dari tahun kemarin. Mana Mingyu kira batuk, demam dikit, sama diare dua harinya berujung ke positif COVID-19. Akhirnya bermodal kemandirian, sekitar dua jam yang lalu dia berangkat sendiri ke drive-thru pcr test. Dan karena hasil dia yang positif, terpaksa dia juga harus berangkat sendiri ke Wisma Atlet kebanggaan warga Jakarta. Jarinya mengetikkan digit nomor Maminya, tujuannya untuk mengabari orang rumah.

“Iya Mi, positif. Ini Abang sudah otewe Wisma. Nanti abis ini Abang telepon Soonyoung. Ya mau gimana Mi? Terpaksa diundur, Abang juga enggak mau kayak gini. Iya, Mamiku sayang, Iya, nanti baju Abang dianter Muel aja, kalau diantar Nyong yang ada dia nangis di depan gerbang liat Abang. Iya Mami, Abang bisa jaga diri kok. Aku enggak ada ketemu Bunda sama yang lain sih Mi, jadi kayaknya Nyong aja yang ikut tes. Jangan ke kamar Abang Mi, takutnya ada virus nempel. Bersihin dulu aja kalau mau di kamar Abang, iya-iya sudah Mi Abang mau telepon Nyong dulu. Iya, dah Mi.”

Okay, aman sudah urusan sama Mami. Saatnya telepon Soonyoung, si calon tunangan kesayangan Mingyu. Kalau buat yang satu ini Mingyu harus persiapan mental sih, dia harus bisa tenang biar Soonyoung enggak nangis (tapi akhirnya tetep nangis). Huh! waktunya dialing Soonyoung!

“Hai sayang, lagi dimana? Hasilnya langsung keluar kok, positif hehehe. Ini aku arah Wisma Sayang, kamu besok tes juga ya? Iya, nginep di rumah aku aja, kalau Bunda sama Ayah mau sekalian besok aja berarti ke rumah aku. Iya, kata dokternya langsung cek ke rumah aku. Enggak usah sayang, Muel aja yang nganter. Nanti kamu nangis ih, aku enggak tega liatnya. Iya! Sayang. Aku engga apa-apa kok. Kamu sehat-sehat. Jangan jalan-jalan dulu. Iya, Cintaku. Iya enggak bakal lama kok. Iya, Sayang! Oke, aku juga sudah hampir sampai, dah! Love you too.”

Mingyu sekali lagi memutar kemudi, dia masuk ke area Wisma Atlet, mencari parkiran mobil kosong buat dia semayamin mobilnya selama dua minggu. Setelah sudah dapat tempat paling pas, Mingyu turun sambil bawa hasil tesnya. Di depan sudah ada dokter jaga yang siap menyambut Mingyu, sehabis nyelesain beberapa hal, Mingyu ditunjukin kamar dia selama dua minggu ke depan. Nomor 1797, oke sip! kamarnya luas dan dingin. Mingyu tarik napas, berasa kayak liburan, ditengah hectic-nya kerjaan. Tapi ya gitu, semua yang sudah direncanain jadi tertunda semua. Termasuk acara tunangan dia sama Soonyoung, yang harusnya minggu depan. Ya, apa boleh buat, namanya juga penyakit.

Sekitar dua jam setelah Mingyu nikmatin kamar barunya, notifikasi dari Samuel–adiknya masuk ke HP Mingyu. Katanya Muel sudah di bawah, ngebawain semua kebutuhan Mingyu buat dua minggu kedepan. Jadilah Mingyu keluar dari kamarnya lagi, jalan ke arah lift buat mendatangi Muel.

“Tahanin bentar please!!!”

Dengar ada suara berat yang memekik lumayan kencang, Mingyu menahan pintu lift buat orang itu. Enggak berapa lama ada cowok dengan mata kayak bentuk mata rubah, badan kurus, dan rambut coklat tua jalan ke arah lift Mingyu. Oh, kayaknya ini yang tadi minta tahanin pintu. Mereka tatap-tatapan bentar, saling lempar senyum walau sebenarnya enggak keliatan dari masker. Tapi mata mereka keliatan kok kalau lagi sama-sama senyum.

“Makasih.”

Berbanding lumayan jauh, suara cowok ini waktu bilang terima kasih sama Mingyu agak beda dari waktu dia memekik tadi, yang sekarang suaranya dalem banget, kayaknya palung mariana juga kalah dalam sama suaranya. Lumayan beda juga sama suara Mingyu yang serak-serak basah, tapi entah kenapa suka aja Mingyu dengar suara si cowok ini.

“Sama-sama.”

Abis itu enggak ada yang ngobrol lagi, dua-duanya diam sampai lift sampai lantai satu dan mereka keluar dari kubus besi itu. Enggak kayak Mingyu yang ke arah depan, si cowok itu gerak ke arah kanan. Enggak tahu sih kemana, kan Mingyu belum keliling sini. Tapi ya sudah nanti bisa keliling liat-liat, sekarang saatnya Mingyu ngambil barang-barang dia supaya dia bisa ganti baju karena sumpah Demi Tuhan, hari ini panas banget sampai Mingyu mandi keringat.

Baru aja Mingyu nyampe kamar dia, speaker di lorong tiba-tiba bunyi. Katanya sih panggilan buat semua orang supaya turun dan olahraga sore, untungnya Mingyu belum sempat mandi, jadi dia turun (lagi) buat ngelaksanain olahraga sore bareng pasien yang lain.

Ngeliat tanda di atas kepala, Mingyu akhirnya tahu kemana si cowok mata rubah tadi pergi. Ternyata belok kanan setelah keluar lift adalah jalan menuju lapangan Wisma, lorongnya enggak terlalu jauh tapi waktu sampai ada pintu yang ngebatasin antara indoor dan outdoor. Dia buka pintu besi di depannya, abis itu pemandangan mata Mingyu adalah matahari sore yang cantik banget sama kumpulan orang-orang yang lagi asik jalan santai sambil ngobrol. Mingyu mendengus kecil, skeptis sama pemandangan bahagia di depan mata dia. Beberapa bapak-bapak kelihatan duduk-duduk dan ketawa, tapi abis itu batuk dan narik napas panjang banget kayak nyawa mereka ada di ujung tebing. See? Ngapain gitu loh. Kayak enggak ada harapan juga enggak sih sebenarnya di dalem sini? Pada akhirnya juga kemungkinan orang-orang buat sembuh kecil banget, kalau melihat gimana pasien yang meninggal makin banyak. Iya, Mingyu pasrah. Kata-kata menenangkan yang dia ucapin buat Soonyoung tadi bener-bener cuma omong kosong dia aja, pada akhirnya dia sendiri yang nyerah. Masalahnya gini, orang-orang disini tuh rata-rata sudah beberapa bulan lebih (menurut hasil menguping Mingyu tadi sambil lewat) yang nunjukin, kalau pasien di sini tuh bukannya sembuh malah tambah parah. Ya, ya sudah ... Mingyu ikutan pasrah. Enggak ada gunanya juga semangat, belum tentu dia bakal sembuh juga kan?

“Eh maaf.”

Mingyu lagi-lagi ketemu cowok mata rubah itu, kali ini karena si dia nabrak bahu Mingyu gara-gara keasikan ngobrol sama ibu-ibu di sebelahnya. Mingyu cuma ngangguk dan meneruskan jalan santai dia, enggak peduliin si rubah (kita panggil aja dia si rubah karena Mingyu belum tahu namanya (dan enggak mau tahu juga)) yang ternyata malah nyusul Mingyu. Si rubah enggak ngapa-ngapain abis nyusulin Mingyu, cuma diam sambil ikut jalan sebelahan. Ngerasa risih, Mingyu akhirnya berhenti. Mood Mingyu sudah cukup buruk, dan enggak seharusnya si rubah nambah-nambahin.

“Lo ngapain?”

Muka Mingyu sudah enggak enak, menatap si rubah pun sudah enggak santai banget. Tapi yang diajak ngomong malah senyum (keliatan dari maskernya), matanya yang kecil jadi hilang waktu dia senyum. Tangannya juga menjulur ke depan Mingyu, 100% mau ngajak kenalan.

“Gue Wonwoo, boleh temenan enggak?”

Hah? Dih, ngapain?

“Gue kesini enggak nyari temen.”

Tangan Mingyu ditarik waktu dia mau lanjut jalan lagi, terpaksa bikin dia menghadap ke Wonwoo yang masih senyum lebar.

“Tapi gue nyari temen, dan gue sendirian di sini, terus kayaknya kita seumuran”

Mingyu menarik napas panjang banget, nunjukin kalau dia capek menghadapi Wonwoo.

“Gue enggak nyari temen, Wonwoo. Cari temen yang lain aja.”

“Sebentar aja, toh enggak salah juga ‘kan nambah temen?”

Ngotot, si Wonwoo-wonwoo ini masih nahan tangan Mingyu.

“Gue bilang enggak, Wonwoo!”

Suara Mingyu pengang di telinga Wonwoo, bikin orang-orang menoleh ke mereka. Ngerasa enggak nyaman sama mata orangnya, Mingyu lanjut jalan lagi meninggalkan Wonwoo. Di belakang sana, Wonwoo enggak gerak sama sekali. Baru kali ini ajakan dia buat berteman ditolak sama orang, bikin sekian persen dari diri dia sedih. Buru-buru Wonwoo menggeleng ke diri sendiri, ngingetin kalau dia enggak boleh sedih supaya cepat sembuh. Masih ada besok Wonwoo, siapa tahu besok si tinggi sudah mau diajak kenalan. Iya, semoga besok hari beruntungnya Wonwoo. Semoga.

Mingyu balik ke kamar dia dengan hati keki, kesel sama si Wonwoo yang ternyata heboh banget untuk ukuran cowok. Keliatan manja juga, bikin Mingyu tambah kesel liatnya. Abis mandi Mingyu keluar, duduk di balkon kamar dia yang kebetulan ada sofa. Kata petugas tadi kamar di sebelah kanan Mingyu ada yang ngisi, jadi enggak cuma Mingyu sendirian di lantai ini. Mingyu menengok dikit, penasaran. Enggak, enggak mungkin juga Mingyu mau berusaha ngeakrabin diri sama si tetangga. Dia cuma penasaran.

Enggak lama Mingyu mendengar bunyi pintu dibuka, buru-buru dia duduk lurus kayak semula. Pura-pura enggak peduli sama si tetangga.

“Lo yang tadi bukan sih?”

Anjir, itu suara Wonwoo. Tujuan Mingyu buat menenangkan diri langsung gagal, waktu dengar suara Wonwoo. Kalau tatapan bisa bikin luka, kayaknya Wonwoo bakal luka parah gara-gara ditatap tajam sama Mingyu yang emosinya naik lagi. Yang ditatap malah kayak enggak ada dosa, badannya bersandar di pagar balkon, menghadap ke arah Mingyu sambil senyum manis.

“Mumpung kita tetanggaan, enggak ada alasan buat enggak kenalan ‘kan? Jadi nama lo siapa?”

Jujur Mingyu harus ngacungin dua jempol buat kegigihan si Wonwoo, cowok satu ini benar-benar enggak ada takutnya, padahal sudah dibentak Mingyu tadi di bawah.

“Bukan urus-”

“Pasien Mingyu, obat dan makan malamnya.”

Kampret, pas banget timing-nya. Si Wonwoo langsung cengengesan, merasa menang karena akhirnya tahu nama Mingyu. Mingyu memutar bola matanya, meninggalkan Wonwoo dan membanting pintu balkon (supaya Wonwoo tahu dia enggak mau ngomong lagi sama Wonwoo), terus ngambil makanan dan obat dia. Abis itu beneran enggak ada suara lagi dari Wonwoo, bikin Mingyu sedikit tenang dan bisa tarik napas buat tidur. Dia belum ada menghubungi siapa-siapa sejak tadi sore, terlalu malas ngomong, soalnya ya pasti yang ditanyain cuma 'kamu enggak apa-apa?' Kalau enggak apa-apa ya enggak mungkin Mingyu ada disini. Hadeh! Jadi dia juga enggak ngobrol apapun sama Soonyoung, bener-bener lagi malas ngapa-ngapain. Semangat Mingyu turun 90% abis dia nginjak lantai 1 Wisma Atlet, benar-benar sudah pasrah sama nasib. Kayak... percuma aja Mingyu semangat, toh yang keluar di sini tetap hidup juga enggak sebanyak itu, mending pasrah sekalian. Iya ‘kan?

***

Kalau bukan panggilan buat olahraga pagi, kayaknya Mingyu enggak bakal bangun. Belum lagi bunyi ketukan pintu, yang enggak berhenti-berhenti dari tadi. Siapa lagi kalau bukan Wonwoo? Si cowok mata rubah yang sok semangat dan sok bahagia.

Mingyu disambut sama mata Wonwoo yang menyipit, menunjukan dia lagi senyum lebar dari balik maskernya. Liatnya aja Mingyu sudah pusing, sudah capek duluan sama apapun yang bakal Wonwoo lakukan ke dia hari ini. Mingyu jalan duluan meninggalkan Wonwoo, melangkah cepat pakai kaki jenjang dia biar Wonwoo enggak bisa nyusul. Tapi si Wonwoo-wonwoo ini beneran semangat banget, kakinya ikut lari-lari kecil nyusul Mingyu. Mau enggak mau Mingyu pasrah satu lift lagi sama si Wonwoo–yang astaga! Tuhan, ribut banget. Ada aja yang diomongin, menu makan siang lah, kangen nge-gofood lah, pengen nasi goreng Kebon Sirih lah. Telinga Mingyu panas dengarnya, benar-benar gemas pengen memplester mulutnya Wonwoo. Alhasil begitu pintu lift kebuka, Mingyu ngacir meninggalkan Wonwoo. Lari cepat banget kemanapun, selama Wonwoo ketinggalan jauh di belakang.

Balik ke kamar, Mingyu enggak ketemu Wonwoo lagi, bikin Mingyu sedikit banyak bersyukur enggak harus dengar ocehan Wonwoo. Abis mandi, Mingyu kerja kayak dia biasanya. Lanjut kerja sambil menunggu makanan dan obat diantar ke kamar.

“Pasien Mingyu, obat dan makan siangnya!”

Nah itu dia, yang paling Mingyu tunggu karena kebetulan dia sudah lapar banget. Buka pintu, yang dia lihat bukannya perawat malahan muka Wonwoo. Cowok yang lebih pendek dari Mingyu itu memegang nampan makanan Mingyu, matanya kayak bulan sabit karena ngasihinnya sambil senyum. Agak bingung sih, tapi ya sudah lah yang penting Mingyu makan.

“Makasih”

“Sama-sama!”

Mingyu cepat-cepat balik badan, bukan apa-apa. Cuma malas aja lama-lama depan Wonwoo, takut dia ngoceh lagi kayak tadi pagi. Balik ke dalam, Mingyu langsung makan dan minum obat kayak kemarin. Terus melanjutkan hari dia kayak biasa, untungnya Wonwoo enggak ribut merecoki Mingyu selama sisa hari ini jadi dia bisa tenang.

Buka mata hari ini, enggak kerasa sudah seminggu lebih Mingyu dirawat di Wisma Atlet. 5 hari lagi jadwal dia swab buat yang kedua kali dan kal beruntung, dia bakal dapet hasil negatif dan pulang ke pelukan Soonyoung karena jujur, Mingyu sudah kangen banget sama pacarnya itu.

Ngomong-ngomong soal swab, Mingyu pikir Wonwoo sudah pulang kemarin karena katanya kemarin jadwalnya dia. Tapi hari ini Wonwoo masih ada di taman, ngobrol dan ketawa-ketawa sama orang-orang di taman. Jadi Wonwoo masih positif? Aneh, padahal kalau dilihat Wonwoo itu yang paling semangat di antara semua pasien di sini. Paling cerah sama paling bahagia pokoknya, malah kalau orang enggak tahu, Wonwoo kayaknya bakal dikira volunteer dibanding pasien saking enggak ada tanda-tandanya kalau dia sakit. Kadang ada aja yang dilakuin Wonwoo, yang bikin satu Wisma juga ikutan cerah liatnya. Kayak beberapa hari lalu waktu dia tiba-tiba membagi-bagi balon ke semua pasien buat diterbangin. Waktu ditanya buat apa, katanya anggap aja itu badan kita yang pengen bebas keluar lagi tapi masih enggak bisa jadi diterbangin balonnya biar diwakilkan dulu bebasnya. Ada-ada aja enggak sih? Gemes.

“Bapak Mingyu, makanannya sudah dateng nih!”

Itu Wonwoo, nganterin makanan kayak biasa. Mingyu langsung ngelangkah keluar kayak biasa juga, mengambil makan dengan muka dihiasi senyum lebar nunggu tingkah apalagi yang bakal Wonwoo tunjukin ke dia hari ini.

Eits, tebak-tebakan dulu dong sebelum makanannya diambil. Bunga, bunga apa yang wangi?”

Mingyu pura-pura mikir, padahal jawab apapun bakal tetap salah sama Wonwoo.

“Bunga mawar?”

“Salah! Yang bener bunga tulip, apalagi kalau bunganya dikasih Mingyu”

Tuhkan! Mingyu ketawa denger jawaban Wonwoo, kali ini bonus sama tangan dia yang otomatis ngacak-ngacak rambut tebal Wonwoo. Yang di acak-acak rambutnya langsung menepis tangan Mingyu, memberengut karena rambutnya jadi enggak rapi lagi.

“Nih ya, sebagai hukuman karena jawaban lo salah, lo harus makan di balkon bareng gue. Deal enggak?”

Enggak di-deal-in pun, Wonwoo tetep bakal maksa. Jadi,

Deal

“Yes!”

Wonwoo langsung semangat nyerahin nampan makanan Mingyu, terus cepat-cepat balik ke kamar dia. Ada beberapa bunyi gradak-gruduk sebelum pintu balkon kamar sebelah dibuka, sementara Mingyu sudah duduk rapi di kursi dia menunggu Wonwoo.

“Rusuh amat”

“Hehehe”

Mingyu enggak buta waktu liat pipi Wonwoo munculin semburat merah muda, bikin tambah gemes di muka dia yang sudah gemes. Habis itu, mereka makan dalam tenang. Cuma bunyi sendok sama piring, yang kadang tabrakan agak nyaring. Selalu kayak gini sebenarnya, mereka berdua suka makan diam-diaman karena katanya mau menikmati makanan mereka.

Heuk... heuk...

Hah? Mingyu panik waktu liat Wonwoo sesak napas di depan dia, enggak sempet mikir apa-apa dia langsung ke kamar Wonwoo, untung pintunya enggak dikunci. Melihat sesaknya Wonwoo tambah parah waktu dia masuk ke kamar Wonwoo, Mingyu langsung menggendong Wonwoo. Jujur Wonwoo ringan banget, kayak enggak makan seminggu. Untung lift hari ini enggak selama biasanya, Mingyu enggak sabaran mencet tombol lantai satu dan menutup pintu biar cepat sampai ke bawah.

“Bu! Pak! Tolongin temen saya!”

Perawat dan dokter yang jaga langsung siaga, nyiapin ranjang darurat buat Wonwoo. Setelah Mingyu merebahkan Wonwoo, mereka semua langsung bawa Wonwoo ke ambulans. Sayang Mingyu enggak boleh ikut, jujur dia pengen tahu Wonwoo kenapa. Tapi enggak apa, dia bisa tanya Wonwoo nanti. Ya, biarpun sampai malamnya Mingyu masih kepikiran sama Wonwoo, cowok itu belum pulang dari siang. Kayaknya masih dirawat di rumah sakit, bikin Mingyu tambah kepikiran. Malam itu Mingyu ketiduran, nungguin chat dia yang masih belum dibales Wonwoo.

Insting pertama yang Mingyu lakukan waktu lihat Wonwoo adalah – memeluk cowok itu. Enggak tahu kenapa, tapi suara di belakang kepala dia nyuruh buat melakukan itu. Bikin Wonwoo kaget setengah mati sebenarnya, tapi tetap enggak dilepasin pelukan dari Mingyu. Rambut Wonwoo diusap pelan, kayak ngeluapin rasa khawatirnya Mingyu.

“Sakit apa sih lo?”

Suara Mingyu keredam bahu lebar Wonwoo, tapi tetep menggema di telinga kanan Wonwoo.

“Keselek nasi doang, Mingyu”

Cowok di depan Wonwoo itu melepas pelukan dia, bibirnya mengerucut gemes, bikin Wonwoo pengen narik sampai melar.

“Mana ada orang keselek nasi hampir mati kayak kemarin?”

Wonwoo ketawa, ini orang gemes banget dia sadar enggak sih?

“Beneran, Inggu. Lagian kenapa sih kalau mati? Kan lo juga kemaren bilang enggak semangat hidup, terus pengen mati aja?”

“Ya beda Wonwoo, lo tuh baik, deserve better aja”

Wonwoo narik hidung si jangkung yang lagi nunduk ini, gemes banget sama muka dia yang makin ditekuk.

“Emangnya Inggu enggak baik? You too, deserve better as well. Makanya sembuh bareng-bareng ya, Inggu”

Wonwoo enggak tahan enggak nepuk-nepuk kepala Mingyu, gregetan melihat Mingyu ngangguk-ngangguk, seketika ngingetin dia sama anak anjing tetangga (maksudnya lucu, enggak ngomong kasar kok).

Hari-hari selanjutnya Wonwoo dan Mingyu habisin, dengan pembicaraan yang topiknya enggak habis-habis. Sekarang mereka sudah kayak sumpit, nempel terus berdua. Dari pagi sampai sore ngobrol terus sampai ngantuk. Makin lama disini Mingyu sudah biasa aja, bahkan dia senyum-senyum aja waktu hasil swab kedua dia tetap positif. Tapi, terlanjur nyaman disini bikin dia ngerasa bersalah, waktu Soonyoung skype call dia tadi. Calon tunangannya itu menunggu Mingyu, tapi Mingyu malah enggak mau pulang. Sebenarnya apa yang bikin Mingyu terlanjur nyaman? Suasana? Kerjaan yang enggak numpuk? Atau Won-

***

“Inggu, ih ayo olahraga pagi dulu!!!”

Mingyu malas-malasan membuka pintunya yang dari tadi diketuk Wonwoo. Salahkan Wonwoo yang ngajak dia begadang nonton Sherlock Holmes sampai jam 4 subuh. Mingyu nurut-nurut aja ditarik Wonwoo ke lift, menyenderkan kepalanya ke bahu Wonwoo waktu lift gerak ke lantai satu. Jujur Mingyu masih ngantuk banget, sampai cahaya matahari aja enggak mempan bikin mata dia terbuka lebar. Di depan Mingyu, Wonwoo lari-lari kecil sudah segar lagi padahal sama-sama begadang. Tangan dia masih bertaut sama punya Mingyu, menarik cowok itu keliling lapangan Wisma sambil jogging. Kayak orang pacaran kalau dilihat, bahkan sampai penghuni baru Wisma suka mengira mereka pacaran. Tentu aja, mereka berdua bilang enggak, tapi melihat frekuensi pertanyaan yang sama makin banyak akhir-akhir ini. Bikin mereka malas jawab dan cuma bisa senyum aja tiap ditanya. Emang bakal bikin salah paham, tapi mereka juga enggak ada niatan buat benerin yang salah.

“Nggu, enggak mau telur rebus”

“Dimakan, Nunu. Biar cepat sembuh”

“Enggak enak, Nggu!”

Merengek enggak suka tapi tetep aja Wonwoo buka mulut, waktu Mingyu menyuapi telur rebus ke dia. Tetep makan, padahal muka sudah ditekuk beberapa lapis. Hari ini kayak biasa, Mingyu sama Wonwoo makan bareng. Sambil ngobrol hal-hal random, karena sudah enggak tahu mau bahas apa tapi tetep mau ngobrol.

Uhuk ... heuk ... heuk ...

Baru mau lanjut menyuap, Mingyu sudah harus jatuhin sendoknya. Wonwoo kayak kemarin lagi, kali ini lebih parah. Mingyu berasa deja vu waktu lari-lari gini, otak dia muter ulang memori seminggu yang lalu. Napas Mingyu putus-putus, degup jantung dia cepat banget. Kali ini Mingyu enggak bisa balik lagi ke kamar dia, ada rasa was-was kalau mungkin aja Wonwoo bakal balik dalam waktu dua jam, dan dia harus jadi yang pertama mengantar Wonwoo ke kamarnya. Enggak tahu kenapa, rasanya tiba-tiba kayak Mingyu takut kehilangan Wonwoo.

Enggak peduli sama angin yang dingin, Mingyu tetep duduk di sofa lobi. Nungguin Wonwoo balik, enggak peduli kapanpun baliknya. Sampai matahari tiba-tiba menabrak penglihatan Mingyu, bikin dia cepat-cepat mengusap matanya dan melihat sekitar. Belum ada petugas jaga yang datang, tandanya Wonwoo masih belum pulang. Mingyu membenarkan posisi duduknya, siap-siap menunggu Wonwoo lagi.

Sejam,

Dua jam,

Dua jam setengah,

Tiga jam.

Enggak ada tanda-tanda Wonwoo bakal datang. Sampe satu petugas jaga pagi mendatangi Mingyu, duduk di sebelah Mingyu yang masih setia duduk sampai pantat dia panas rasanya.

“Nungguin pasien Wonwoo mas?”

“Iya, kira-kira dirawat berapa jam lagi?”

“Pasien Wonwoo mah bakal lama mas, kayanya seminggu? Kata dokter tadi sih kemungkinan seminggu”

“Emang Wonwoo sakit apa mas? Bukannya cuma keselek?”

Atuh kalau keselek enggak bakal separah itu mas, asma sama jantung dia kumat itu. Minggu kemaren sudah diperingatin sama dokter sih, asma dia punya potensi besar buat kambuh berkala kalau melihat keadaan paru-paru dia mas. Makanya nanti kalaupun sudah enggak dirawat lagi, si Mas Wonwoo bakalan sering kambuh terus asmanya. Kasian enggak sih mas?”

Kenapa enggak ada yang bilang ini ke Mingyu? Kenapa Wonwoo bilangnya cuma keselek waktu Mingyu nanya? Kenapa ....

***

Hari kelima dan suara Wonwoo sudah merecoki kamar Mingyu lagi. Kayak sebelumnya, hal yang pertama Mingyu lakuin waktu melihat Wonwoo adalah memeluk cowok itu kenceng banget. Bahkan Mingyu rasa, air mata dia bisa aja sudah mengalir ke sweater yang Wonwoo pakai. Mixed feelings banget, rasanya dia kayak melihat nyawa Wonwoo lari-larian di otak dia.

“Inggu kenapa? Hah? Kok nangis, Nggu?”

“Tukang bohong”

Suara Mingyu keredam di sweater Wonwoo, tapi lagi-lagi Wonwoo tetap bisa denger Mingyu. Cowok yang tingginya sebibir Mingyu itu ketawa, renyah banget bikin Mingyu makin ngerasa sesak.

“Udah tahu toh, enggak apa-apa Inggu. I've been living with this diseases my whole life, I've seen worse Nggu.”

“Jangan gitu lagi.”

“Mana bisa aku ngaturnya Ingguu, sudah ih kayak anak kecil aja nangis depan pintu.”

Hari itu mereka habisin dengan Wonwoo, yang enggak lepas dari pelukan Mingyu. Padahal kalau ketahuan petugas bakal dimarahin, tapi enggak apa-apa, enggak bakal ketahuan kok. Mereka nonton film sampai ketiduran di kasur Mingyu, dengan dagu Mingyu nempel di puncak kepala Wonwoo. Ada napas hangat di dada Mingyu, bikin dia tenang.

Hari-hari berikutnya, Mingyu sama Wonwoo masih nempel kayak perangko. Dimana-mana ada mereka sepaket. Lihat aja kepala Mingyu menjulang di tengah orang-orang, abis itu di depan dia persis bakal ada Wonwoo. Penghuni lama Wisma Atlet kadang masih bingung, kok bisa sedeket itu mereka belum pacaran aja. Apalagi kalau melihat gimana cara Mingyu menatap Wonwoo, dan begitu juga sebaliknya. Kalau kata salah satu ABG lantai 3 kemarin sih, cara Mingyu menatap Wonwoo tuh kayak lagi melihat love of his life. Ada-ada aja memang, makanya bikin Mingyu sama Wonwoo ketawa. Padahal ABG berambut sebahu itu enggak salah, mereka berdua aja yang denial.

“Demi Tuhan Nggu, kok belum siap sih? ‘Kan mau swab bareng kitaa”

“Yaampun Nu, cuma ke lantai satu ini kamu sudah kayak mau ke PIM aja”

“Ih biarin Inggu! Harus fresh dong biar hasilnya negatif”

“Enggak ada hubungannya!”

Wonwoo mengerucutkan bibirnya, waktu Mingyu narik hidung mancung dia. Tapi pasrah aja ngikutin Mingyu ke lift. Hari ini swab ke-3 Mingyu dan swab ke-4 Wonwoo, dalam hati mereka berharap semoga ini bakal jadi yang terakhir kalinya. Semoga.

“Hasilnya nanti sore ya, siap-siapin dulu aja bajunya siapa tahu beneran negatif biar besok pulang.”

Mingyu dan Wonwoo ngangguk serempak, abis itu jalan ke lapangan biasa mereka olahraga pagi sama sore.

“Nu, kalau sudah negatif mau apa?”

“Mau beli boba.”

“Boba mulu.”

“Biarin ih! Kalau Inggu mau ngapain?”

“Mau beliin kamu boba?”

“Hih! Dimarahin tapi malah mau dijajanin.”

“Mumpung aku baik hey, entar kalau aku jahat kamunya nangis.”

“Idih geer, yang hobi nangisin aku loh siapaa?”

“Siapa? Enggak tahu tuh.”

“Hidih-hidih.”

Wonwoo nyubit perut Mingyu, geregetan sendiri sama omongan Mingyu. Mingyu yang dicubit cuma ketawa sambil ngacak-ngacak rambut Wonwoo. Tapi disini masalahnya, yang diacak-acak rambut yang berantakan hatinya Wonwoo. Pipi Wonwoo panas, kayaknya kalau dia ngedongak bakal keliatan semburat merah ikut menyebar.

“Nggu ...”

“Hm?”

“Inggu ...”

“Iya, Wonwoo?”

“Minggu ...”

“Kenapa, hm?”

“Kayanya aku suka kamu, Nggu.”

“Nu ...”

“Nggu, maaf Nggu. Aku juga enggak bak-”

“Nu, aku sudah bilang ‘kan? Kita bisa punya apapun disini kecuali perasaan.”

“Aku tahu, Nggu. Tapi coba kamu liat gimana kamu merlakuin aku selama ini? Orang waras mana yang enggak bakal catching feelings?!”

“Nu, kamu sendiri yang bilang kamu enggak bakal jatuh cinta sam-”

“Aku salah, oke?! Aku juga enggak tahu Nggu, tiba-tiba aja aku ngerasain deg-degan aneh tiap deket kamu. Tiba-tiba aja gelisah tiap liat kamu. Enggak tahu Nggu.”

“Nu, jangan dilanjutin ya perasaannya?”

“Enggak bisa Mingyu! Udah terlanjur dalem!”

“Tapi aku punya Soonyoung, Nu! Aku juga punya seseorang yang nunggu aku di rumah, aku enggak bisa ninggalin dia Nu. Mungkin kamu enggak akan peduli karena enggak ada yang nunggu kamu di rumah, tapi aku ada, Nu”

“Iya, emang enggak ada yang nunggu aku, Nggu. Iya. Enggak perlu kamu perjelas juga aku sudah tahu. Bukannya aku bilang gini juga pengen ngehancurin hubungan kamu kok! Aku sadar diri, aku ini penyakitan, bentar lagi mati, dan cuma stranger buat kamu yang masih sehat, punya masa depan panjang, dan yang pasti punya semua yang ada di muka bumi ini. Aku sadar diri kok, Gyu. Makasih sudah dijelasin”

“Nu, enggak gitu Nu. Nu astaga-”

“Enggak gitu gimana Gyu?! Hah! Dari awal emang cuma aku yang tolol sudah percaya dan jatuh cinta sama kamu Gyu”

“Enggak Nu, Enggak. Dengerin aku du-”

“Udah Gyu, enggak ada yang perlu didenger. Maaf kalau aku selama ini selalu ganggu kamu”

“Nu! Wonwoo!”

Sial, sial, sial. Mingyu ditinggal sendirian sama Wonwoo, bikin cowok itu susah payah nyusul Wonwoo yang tiba-tiba cepat banget jalannya.

“WONWOO! Dengerin gue dulu!”

“Enggak perlu gue dengerin bajingan kayak lo”

Pipi kiri Mingyu rasanya ngilu, tonjokan Wonwoo kuat banget buat ukuran orang yang lagi sakit. Dalam beberapa jam kayaknya bakal ada lebam ngewarnain pipi Mingyu. Mingyu enggak bisa menahan Wonwoo lagi, masih shock sama mahakarya Wonwoo di pipinya. Sial banget Mingyu hari ini, banget.

Mingyu balik ke kamarnya, sempat hampir ngetuk pintu Wonwoo tapi dia urungin. Yang selanjutnya dia lakuin cuma duduk, sambil nunggu hasil dia diantar petugas. Dia pegang lagi pipi kirinya, masih terasa ngilu dan dipastikan bakal bertahan 2 sampai 3 hari. Dia penasaran sama apa yang lagi Wonwoo lakuin sekarang. Bahkan sunyinya kamar Mingyu juga enggak bisa bikin dia bisa denger Wonwoo.

Ketukan di pintu bikin Mingyu noleh, ah, hasil. Abis basa-basi dan ngucapin makasih sama petugas, Mingyu nyiapin hati buat ngebuka hasilnya.

Negatif

Harusnya Mingyu seneng sama hasil dia hari ini, tapi dia enggak ngerasain apa-apa. Kira-kira Wonwoo kayak dia juga enggak ya? Apa Wonwoo bakal senang, akhirnya bisa keluar dari sini? Wonwoo, negatif juga kan?

Makin dipikirin makin penuh, enggak, Mingyu harus siap-siap. Kayak yang dia bilang ke Wonwoo tadi, ada Soonyoung yang nunggu dia. Jadi Mingyu harus pulang, secepatnya. Memasang earpod kesayangan dia di telinga, Mingyu muter lagu kesukaan dia buat packing semua barangnya. Ngeredam ribut-ribut di luar kamar dia, enggak peduliin ketukan agresif di pintu kamar dia, karena emang enggak kedengeran sama sekali sama Mingyu. Ninggalin Mingyu asik sama dunianya.

Mingyu langsung pulang malam itu, salam perpisahan dia buat Wonwoo cuma sampai di ketukan pintu dan kalimat 'Wonwoo aku duluan'. Enggak ada sahutan di dalam, bikin Mingyu makin yakin Wonwoo masih marah banget sama dia. Mingyu bisa apa kalau Wonwoo sudah semarah ini? Maaf juga yang ada malah bakal nambah lebam di pipi dia.

Mingyu mendengus miris, keinget sama omongan Wonwoo tadi. Andai Wonwoo tahu kenapa Mingyu ngelarang dia jatuh cinta sama Wonwoo, kayaknya semua enggak bakal kayak gini. Tapi Mingyu juga sengaja enggak bilang, biarin aja keadaan kayak gini. Biarin aja Wonwoo enggak tahu kalau sebenarnya perasaan dia enggak satu arah, biarin aja Wonwoo enggak tahu kalau malah Mingyu yang duluan melanggar omongannya sendiri.

Mingyu muter kemudinya, menarik nafas dalam sebelum keluar dari pagar kebanggaan Wisma Atlet.

Pulang, kata yang rasanya aneh sekarang kalau tahu pulangnya Mingyu enggak ke Wonwoo. Tapi disaat yang sama emang sudah seharusnya, karena rumah Mingyu itu Soonyoung. Cuma Soonyoung.

Saatnya pulang Gyu, sudah kelamaan transitnya.

DONE