Masih, dengan Jelas

Wonjin x Serim

Angst, galau.

Rate T


Masih Serim ingat dengan jelas, bagaimana mereka pertama kali bertemu,

kemudian menyadari kehadiran pemuda itu di hari-hari yang berlalu setelahnya,

bagaimana mereka sering berpapasan,

yang kemudian ia beranikan diri dengan sebuah sapaan.

Uluran tangan, tanda pertemanannya diterima dengan baik,

tapi Serim juga tidak menyangka momen kecil itu bisa menjungkirbalikkan dunia seseorang.

Serim yang saat itu menghadiri seminar tentang kesehatan atas ajakan teman baiknya, Woobin, tidak sengaja memungut pulpen jatuh yang ternyata adalah milik Wonjin, seorang adik tingkat yang berada dua tahun di bawahnya. Penampakan Wonjin di waktu itu sangatlah lucu, dengan kaca mata bulatnya juga hoodie berwarna jingga yang kelihatan sekali tidak disimpan dengan baik, menerima kembali pulpen miliknya yang diulurkan Serim dengan canggung dan berlalu begitu saja tanpa mengucapkan kata terima kasih.

Kesal karena perlakuan tidak sopan yang ia terima dari seseorang yang ia duga sebagai anak baru, Serim pun jadi menyadari kehadiran pemuda itu di kesempatan-kesempatan berikutnya yang ia kesali, kenapa harus terjadi. Lama memerhatikan, ia jadi tahu sedikit banyak tentang seseorang yang bernama Ham Wonjin itu. Prodinya adalah Ilmu Komunikasi. Sering membawa laptop ke mana-mana, dan berbicara sendiri entah kepada siapa sambil memandang layar laptop yang tidak Serim ketahui sedang menayangkan apa karena jarak yang jauh, tapi cukup untuk bisa melihat bibir itu bergerak mengucapkan sesuatu.

Hari dimana ia ditinggalkan oleh teman-teman karena berbagai kesibukan adalah awal dari hubungan yang tidak Serim duga

“Hei, boleh aku duduk di sini.”

“Silakan.”

Uluran tangan kemudian diulur pada dia yang masih mengabaikan, sampai Serim harus berdehem lumayan keras baru pandang itu mengalih ke sini.

“Aku Serim, kau?”

“Wonjin.”


Masih belum menghilang dari ingatan, bagaimana pemuda itu menyatakan rasa dengan cara yang kaku,

dan masih membekas juga, bagaimana perasaan asing itu muncul ketika kakinya melangkah, memasuki sebuah hunian asing yang entah kenapa terasa begitu familiar untuk kali pertama.

Wonjin memperkenalkannya sebagai seseorang yang tengah dekat dengannya. Tidak ada label pasti yang mereka gunakan untuk membuat orang lain mengerti, karena biar mereka berdua saja yang menjalani yang tahu, tapi dari senyuman kecil sang ditunjukkan sang Ibu, Serim tahu bahwa wanita itu memaklumi.

“Makan yang banyak ya. Masih ada lagi kok di dapur.”

“Iya, Tante. Makasih.”

Ia juga masih ingat betapa canggungnya suasana setelah itu, sampai-sampai mengharuskan mereka untuk segera pulang, dan membuat syalnya tertinggal, yang mana baru Serim sadari setelah dua minggu berganti.

“Kalau gitu, kami pulang dulu.”

“Apa ga nginep aja? Udah malem lho ini.”

“Ga usah, besok ada kelas pagi soalnya.”

“Ya udah, kalau gitu, hati-hati.”

“Pamit dulu, Tante. Makasih banget untuk hari ini, dan maaf kalau ngerepotin.”

“Ga apa-apa, Tante seneng Wonjin bawa temennya untuk main ke rumah.”

Ia meminta agar Wonjin mengambilkan syal itu untuknya yang mana langsung Wonjin sanggupi, tapi masih belum kembali juga ke tangan empunya, bahkan setelah puluhan musim berganti.


Retakan gelas pertama, yang Wonjin tidak sadari, menusuk tepat di hati ketika bahkan selirik atensi pun tidak pemuda itu curahkan untuknya. Dirinya sibuk tenggelam dalam obrolan yang tidak bisa Serim ikuti, berujung pada pertengkaran yang tidak bisa mereka hindari.

“Kamu kenapa marah, sih?” Dia bertanya dari sisi meja makan yang berlawanan pada Serim yang tengah mencuci piring bekas mereka makan.

“Aku ga marah. Siapa yang bilang aku lagi marah?” Kalimat itu memang tidak menunjukkan amarah, tapi jelas kalau suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.

“Kamu ga bilang, tapi gelagatmu nunjukin kalau kamu lagi marah.” Setumpuk pirik yang sudah dikumpul kini ia angkat untuk diletakkan pada wastafel, menambah beban pekerjaan Serim, pun hatinya begitu.

Membersihkan tangan sekilas, kini ia membalik badan pada Wonjin yang sedang berada di depan kulkas. “Aku cuma ga bisa ngikutin kamu.”

“Ngikutin? Ngikutin ke mana emangnya?”

“Ngikutin semua obrolan kamu dan temen-temen kamu.” Serim tahu bahwa nada bicaranya mulai naik, dan seharusnya tidak begini, tapi apa yang bisa ia lakukan dikala hatinya mulai menyempit? Wonjin jelas tidak akan mengerti apabila ia tidak memuntahkan itu semua di depannya.

“Temen-temen aku udah baik lho, ngajakin kamu ngobrol duluan, tapi kamunya aja yang diem. Cuma ngangguk atau geleng-geleng kepala pas ditanya.”

Kan.

Pemuda itu masih memiliki temperamen tinggi. Ciri khas anak muda, sebenarnya, dan Serim tahu bahwa seharusnya ia yang bisa melunak di sini, tapi tidak ketika dirinya disingkirkan begitu saja saat tadi meminta atensi.

“Itu karena, mereka orang asing bagiku, Wonjin!”

“Terus karena mereka orang asing, kamu ga suka?”

“Aku ga bilang aku ga suka. Aku bukan ga suka sama temen-temenmu, tapi aku ga suka sama sikapmu yang beda saat sama mereka.”

“Beda kenapa? Aku biasa aja.”

“Kamu beda. Kamu beda, Wonjin. Kamu ga ngeliat aku sama sekali, dan lebih milih sibuk ngobrol sama temenmu itu! Kamu juga nepis tanganku pas aku mau pegang tanganmu.”

Tangan Wonjin sedang berada di atas meja ketika cerita tentang nostalgia sedang seru-serunya membumbung tinggi di udara. Serim tidak mengetahui apapun tentang bagian hidup Wonjin yang satu itu, karena Wonjin tidak pernah menceritakan hal itu padanya, dan di saat ia meminta agar tolong melirik ke mari lewat usapan tangan, Wonjin malah membuat tangannya tersimpan rapi di atas meja.

“Siapa yang nepis? Aku ga nepis apa-apa sama sekali!? Serim-”

“Itu karena kamu sibuk sama temen-temenmu!”

“Ya, itu karena aku udah lama ga ketemu mereka. Lagi juga, kamu yang minta untuk dikenalin ke temen-temenku. Kamu tuh kenapa sih, aku ga ngerti. Aku ga ngerti sama sekali sama apa yang kamu omongin, dan aku ga ngerti apa yang jadi masalahnya di sini?”

“Kamu! Kamu yang jadi masalahnya di sini karena kamu terlalu asik sama temen-temenmu sendiri! Aku cuma minta agar kamu ngeliat ke arahku, tapi apa yang kamu lakuin? Kamu naruh tanganku kembali di atas meja, Wonjin.” Mata ia pejamkan dalam setelah itu lalu bertanya dengan suara yang dikecilkan. “Apa aku sebegitu ga pantesnya buat kamu? Kamu malu? Kalau orang-orang tahu bahwa kita menjalin hubungan?”

Air mata yang sedari tadi ditahan kini tidak bisa ia bendung lagi. Serim tidak bisa melakukan konversasi ini lebih lanjut atau hubungan mereka yang jadi taruhannya. Maka dari itu ia berbalik, hendak menyendiri, “Hyung,” tapi Wonjin keburu lebih cepat menggenggam ujung jemarinya, “Hyung,” menarik lengannya lembut kemudian mengusap air mata yang sudah keluar. Jemari hangat itu menyisir surainya yang menutupi dahi, kemudian sebuah kecupan pun ia terima. “Hei, aku ga mau kita bertengkar, oke?” Kedua tangan itu lalu turun mengusap lengan, “Maaf,” kemudian menarik tubuhnya semakin mendekat, “Maaf kalau aku udah nyakitin kamu secara ga sengaja,” memeluknya erat, “Maafin aku, ya?” sambil mengusap-usap belakang kepalanya lembut. Serim mengangguk, dan keduanya tetap berada dalam posisi itu sampai masing-masing dari mereka berdua menyadari bahwa apa yang telah diperdebatkan adalah hal sepele yang sama sekali tidak pantas untuk dipermasalahkan.

Mereka lalu tertawa. Lebih tepatnya, menertawakan kebodohan diri sendiri yang sampai bisa-bisanya membesar-besarkan hal kecil seperti tadi. Ponsel yang tergeletak di nakas dalam kamar pun kemudian diambil, dan sebuah lagu romansa klasik bernuansa 70an terputar. Membuat keduanya tenggelam dalam suka cita yang mereka buat sendiri, dalam gelora asmara yang keduanya saling bagi.

Pelukan Wonjin adalah yang ternyaman.

Kecupan bibir yang ditabur di tiap inci tubuhnya adalah yang terhangat,

dan kata-kata manis merangkai puja yang keluar dari mulutnya adalah doa yang semakin membuat Serim jatuh cinta. Ia jadi semakin percaya bahwa Wonjin adalah yang ditakdirkan untuknya, karena pemuda itu berkata, bahwa Serim lah yang ia inginkan sebagai masa depannya.

Akan tetapi, manusia hanya bisa berencana. Sebab Tuhan lah, yang menentukan segalanya.

Mudah bagi Wonjin untuk meminta maaf dan menjaga kembali gelas yang mulai retak, karena mudah juga baginya untuk kembali berbuat salah, dan bersikap bahwa itu semua tidak apa-apa.

“Kamu jalan sendiri ke tempat kerja gapapa kan? Aku turunin di sini, atau mau kamu yang bawa motornya? Biar aku naik kereta.”

“Kamu emangnya mau ke mana sih, Jin? Ini juga cuma sebentar kok,” cuma untuk meminta izin cuti beberapa hari dikarenakan ia akan pulang ke kampung halamannya sore ini. Neneknya baru saja meninggal, Serim mendapatkan kabar itu sore kemarin saat ia masih berada di tempat kerja. Ibunya bilang kalau ia tidak usah terburu pulang ke rumah, karena pasti jasad neneknya sudah dikebumikan ketika Serim datang, tapi tetap, ia merasa harus cepat datang, karena ia neneknya adalah orang berharga yang sering menemani Serim kecil ketika ditinggal sendirian oleh kedua orang tua yang sibuk bekerja, sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

“Maaf banget, tapi temenku yang ngajak join project bareng tadi tiba-tiba bilang buat ngadain meeting dadakan,

Jadi ini alasannya mereka berhenti di pinggir jalan.

”... karena dia udah nemuin investor yang mau danain project kita.”

Serim segera mengambil alih kemudia ketika Wonjin turun dengan terburu. Bahkan mesin motor belum dimatikan dan ia sibuk melihat ke arah ponsel sekarang.

“Harus banget sekarang?”

“Ya.”

“Tapi kamu udah janji mau nemenin aku.”

“Tapi aku juga ga bisa ngelewatin kesempatan ini. Maaf, aku pergi duluan!”

... tapi sayang, harapan akan hubungan yang ia ingin bawa ke tahap selanjutnya, hancur begitu saja.

“Wonjin!”

Teriakannya sia-sia, karena Wonjin malah semakin mempercepat laju larinya walau Serim memintanya untuk berhenti.

“Wonjin!!!”

Tiga hari kemudian ketika ia sudah kembali dari desa, semuanya berubah. Wonjin tidak lagi menyempatkan waktu pagi untuk sarapan bersama. Sekedar membangunkannya untuk bangkit dari tempat tidur pun tidak. Apalagi ciuman di dahi saat akan pergi dan ucapan hati-hati di jalan.

Malam pun kini menjadi terlalu sunyi sebab tidak ada lagi obrolan tentang hari ini. Wonjin lebih memilih untuk langsung mandi dan mengerjakan entah itu apa daripada menerima ajakannya untuk makan malam bersama. Pria itu bilang bahwa ia sudah makan di luar, dan Serim pun hanya bisa meletakkan cangkir teh yang ia buat di meja ruang tamu, karena sepertinya pria itu tidak ingin diganggu.


Titik hancurnya adalah ketika orang-orang di sekitar mereka mulai terlalu peduli dengan apa yang Serim dan Wonjin sendiri jalani di saat keduanya sibuk tak sempat berkomunikasi dari hati ke hati.

Wonjin diterima di salah satu perusahaan teknologi ternama di Asia. Awalnya hanya bertugas membantu-bantu staff saja, namun lama kelamaan, ia bisa mendapatkan reputasinya sendiri di kalangan karyawan sementara Serim semakin banyak digandrungi oleh warga media sosial. Ya, ia memutuskan untuk meniti karir sebagai seorang influencer dan juga motivator yang sering mengisi seminar ke sana-sini, beberapa kali juga sempat dipanggil untuk mengisi acara di sebuah stasiun televisi, dan ini adalah salah satu dari sekian banyaknya hari dimana ia harus bergerak ke sana ke mari, tidak seperti Wonjin yang kerjaannya hanya duduk menatap laptop setiap hari atau setidaknya, itu yang ia tahu.

“Ibumu tadi telepon.”

Kabar yang ia dapat saat keluar dari kamar mandi membuat bibir itu memancarkan sumringah yang kentara. Wonjin hanya melihat itu sekilas sebelum kembali menatap layar televisi di depan. Tidak benar-benar memperhatikan sebab pikirannya melayang ke mana-mana. Ia juga mengabaikan Serim yang mendudukan diri di sampingnya, dengan jarak yang dekat.

“Oh ya? Ibu bilang apa?”

“Dia bilang kangen sama anaknya, pengen juga cepet gendong cucu. Terus khawatir sama kamu karena katanya ga ada yang ngurusin.”

Serim memang belum sempat menghubungi Ibunya akhir-akhir ini karena rutinitas yang sangat padat. Kalau ia tahu akan begini akhirnya, pasti ia sempatkan untuk mengirimkan beberapa pesan yang mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

“Wonjin, maaf. Aku belum bilang tentang kamu ke Ibu.”

“Gapapa,”

Sungguh? Apa bisa begitu? Apa Wonjin tidak merasa tersinggung karena,

“Apa yang dibilang sama Ibu kamu itu bener.”

... dia lah yang seharusnya merasa sedih di sini, bukan Serim. “Maksud kamu?”

“Apa yang dibilang sama Ibu kamu itu bener, kalau anaknya udah pantas buat nikah. Umurmu udah cukup buat nikah,” kembali, ia mengulang itu agar Serim mengerti, yang mana malah semakin menyiramkan minyak di hati yang sudah resah.

“Terus?” Apa masalahnya? Apa yang berusaha Wonjin utarakan di sini dengan muka sepat masam begitu?

“Aku rasa kamu pantas untuk mempertimbangkan saran dari Ibumu.”

“Kamu mau menikah?” Ia menanyakan itu dengan hati-hati, serta berharap dari hati kecil yang paling dalam bahwa jawabannya,

“Aku ga cocok untuk itu.”

“Kenapa?” Raut wajahnya begitu pias, pun tak bisa Serim sembunyikan nada kecewa, tapi Wonjin sama sekali tidak menunjukkan empati, dan malah berpura-pura menjadi rasional di saat seperti ini. “Karena menikah itu sulit.”

“Apanya yang sulit?” Ia tidak mengerti.

“Semuanya.” Memang.

Tapi yang ingin Serim tahu adalah, “Lalu, bagaimana dengan kita? Kamu ga mau, suatu saat nanti, kita menikah?”

Ada hening yang membuat napasnya tercekat. Serim yakin bahwa ia menggenggam pergelangan tangan itu dengan erat, tanda bahwa ia mengharapkan sesuatu dari Wonjin akan kelanjutan hubungan mereka berdua akan dibawa ke mana, tapi sorot mata lugas yang jarang ia temukan terlihat begitu nyata di kedua jelaga kelamnya saat berkata, “Kalau kamu serius ingin menikah, bukan aku orangnya.”

“Kenapa!?” Refleks, ia berteriak. “Kenapa, Wonjin? Kenapa!? Padahal kamu yang,” mengusulkan untuk memulai semua ini. Padahal kamu yang bilang bahwa aku akan selalu ada bersamamu. Kamu juga yang, “ngajakin aku tinggal bareng, tapi kenapa,”

“Tinggal bareng dan menikah itu dua hal yang berbeda, Serim.”

“Apa bedanya!?”

Apa? Tolong beritahu Serim dimana letak perbedaannya, kalau apa yang mereka lakukan, sudah lebih dari apa yang seharusnya hanya teman serumah lakukan.

“Kita cuma harus mendaftarkan pernikahan itu ke kantor, dan mengurus berkas-berkasnya, meskipun bukan di sini.” Itu bisa dilakukan karena keduanya sudah berpenghasilan tetap. Biaya tak lagi menjadi masalah. “Kita juga ga perlu ngadain pesta besar-besaran,” dan Serim hanya ingin “Kamu, dan aku yang mengikat janji di hadapan Tuhan, itu aja udah cukup.” Kedua tangannya menggapai pada sisi wajah pria yang lebih muda, hanya untuk ditolak begitu saja dengan kalimat, “Pikiranmu terlalu simpel, Hyung.”

“Pikiran kamu aja yang terlalu ribet. Apanya yang susah dari melakukan semua itu kalau kita sama-sama?” Serim harus teguh dengan pendiriannya jika ingin meyakinkan Wonjin, dan ia akan terus melakukan itu sampai Wonjin mempertimbangkan sarannya dengan baik, tapi kenapa pemuda itu menggeleng dan malah semakin menghindari pandangan matanya? Wonjin yang biasanya tidak akan seperti ini, karena Wonjin yang biasanya selalu mendengarkan setiap perkataannya dengan baik. Dia menghormati Serim yang memiliki pengalaman lebih banyak, dan menerima semua saran yang Serim berikan di waktu dulu, tapi kenapa sekarang,

“Aku ga mau ngelakuin sesuatu yang ribet.”

... semuanya berbeda? Wonjin terasa begitu asing dan jauh walau Serim yakin, ia mengenal pemuda itu dengan baik.

“Ribet apa-”

“LALU BAGAIMANA DENGAN PANDANGAN ORANG-ORANG, huh? Kamu yakin, mau pakai cincin di jemari manismu itu kalau lagi kerja? Terus ditanyai tentang siapa pasanganmu? Gimana orangnya, dan segala macam hal lainnya!? Belum lagi kamu suka anak kecil. Habis itu mau apa? Adopsi? Atau minjem rahim perempuan lain buat dibuahi? Terus kalau gitu, anaknya nanti anak siapa? Anak aku? Atau anak kamu? Perlu kamu tahu, kalau mendapatkan hak asuh atas seorang anak itu ga mudah! Habis anaknya lahir, kamu mau apa? Aku ga bisa nyempetin waktu buat ganti popok bayi, dan kamu pasti sibuk di luaran sana!”

Yang Serim rasakan selanjutnya adalah panas, sebab telapak tangannya sudah terangkat dan bertemu dengan pipi itu dalam satu tamparan keras yang ia usahakan sekuat tenaga. Matanya lalu membulat, terkesiap, tidak menyangka tentang apa yang baru saja dilakukan, tapi lebih dari itu, “Kenapa kamu,” kenapa Wonjin bisa berkata buruk seperti itu padahal rencana dan pertimbangannya saja belum mereka buat? Belum sempat juga mereka bicarakan dengan baik dari hati ke hati. “Aku ga tahu kenapa, tapi kamu berubah.” Sejak kapan semuanya mulai berubah? Ini bukan tahun kedua atau ketiga dimana ia baru mengetahui sisi buruk dari orang yang sedang menundukkan kepala di hadapannya ini. Ini adalah tahun ke-enam. Semua yang Serim miliki, sudah ia berikan kepadanya, begitu juga sebaliknya, tapi kenapa Wonjin tidak menyangkal semua tuduhan Serim yang memojokkan dirinya?

“Ya, dan itu hal yang wajar. Setiap orang berubah, mau kamu suka itu atau engga.”

Seperti biasa, yang Serim lakukan ketika sesuatu tidak berjalan dengan baik adalah berlari. Ia akan berlari menghindari masalah itu terlebih dulu sebelum menyiapkan hati untuk menghadapinya nanti, tapi Wonjin juga keburu sudah mengenal baik dirinya, maka dari itu dia tidak membiarkan Serim berlari.

Dengan teriakan penuh kekesalan yang sukses membuat Serim terkejut, pria itu membawakan sebuah kabar, yang Serim harap tidak ia dengar di kala itu.

“Bagus. Ini waktu yang bagus buat berpisah, karena aku ga bakal ada di sini lagi tahun depan.”

“Maksud kamu?”

Aku dapat promosi buat pindah ke kantor cabang yang ada di Jepang.”

“Lalu?”

“Aku terima.”

“Kenapa, baru bilang sekarang?”

“Karena aku rasa ini waktu yang tepat?”

Bisa-bisanya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu dengan wajah tanpa dosa, dan Serim pun jadi tak sungkan untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya kala itu. “Kamu adalah manusia paling buruk yang pernah aku temui.”

Serim kira, Wonjin akan mendepaknya keluar dari apartemen setelah itu, tapi ternyata tidak. Pemuda itu yang pergi. Pergi entah ke mana meninggalkan, Serim sendiri. Bahkan baju-bajunya yang ada di lemari pun sudah menghilang ketika Serim terbangun di keesokan hari. Wonjin benar-benar siap untuk pergi, dan pemuda itu tidak main-main. Entah berapa hari lagi yang harus Serim lalui tanpa mengetahui bahwa ia akan kehilangan dirinya kalau pertengkaran itu tidak terjadi?

Hatinya langsung terasa kosong, dan kacau adalah apa yang ia hadapi di beberapa hari setelahnya. Bahkan telepon yang ia dapat dari Wonjin seminggu kemudian hanya ia perhatikan dalam diam tanpa adanya niat untuk menjawab. Pikirnya, untuk apa menghubungi jika hanya untuk kembali mematahkan hatinya? Sudah cukup ia mendengar, dan sudah cukup juga ia membaca balon-balon chat yang pemuda itu berikan untuk mari mengakhirinya dengan baik. Serim hanya terlalu enggan untuk kembali meladeni, karena ia pasti tidak akan bisa melepaskannya pergi, dan hanya kembali menyakiti diri sendiri setelah itu.


Usia ke-31, seharusnya menjadi hal yang seru untuk dirayakan,

... tapi di saat yang lain sibuk memakan kudapan yang Ibunya siapkan, Serim di sini hanya memandang ke arah luar jendela, berharap pada sebuah keajaiban yang tidak akan mungkin terjadi.

“Rim, dimakan itu lho, makanannya. Ibu udah masak banyak banget buat kamu, masa mau ga dimakan?”

“Iya, Yah. Belum lapar aja,” balasnya diiringi dengan senyuman kecil agar sang Ayah tidak khawatir.

Semua yang ada di sana tahu, bahwa Serim tidak seperti dirinya sendiri pada hari biasa. Maka dari itu mereka segera mengundurkan diri setelah acara selesai, terkecuali satu orang.

“Rim.”

“Ya?”

“Mau sampai kapan, mikirin dia terus? Udah bertahun-tahun lewat. Kamu udah jadi orang, begitu pun juga dia. Jadi, kamu ga usah khawatir mikirin dia lagi.”

“Emangnya siapa yang aku pikirin? Sok tahu, kamu.”

“Kamu bisa bohong, tapi mata mengatakan segalanya, Rim. Jangan berusaha keras untuk memperbaiki masa lalu yang udah lewat. Lebih baik, fokus sama apa yang ada di depanmu. Ya?”

“Woobin, aku,” aku tidak bisa. Ia tidak bisa menerima rasa dari seseorang yang ia anggap hanya sebagai seorang sahabat saja, apalagi membalasnya dengan alasan kebaikan yang Serim tahu, tidak buruk juga untuk dilakukan. “Aku ga bisa-”

Woobin mendesiskan konsonan yang menenangkan di detik selanjutnya seraya memeluk Serim erat, baru kemudian memberi kado yang ia ambil dari saku mantel miliknya. “Ga banyak, tapi kuharap kamu suka.”

“Makasih.”

“Sama-sama. Aku pulang dulu.”

“Hati-hati di jalan.”

Di saat Serim menyembulkan senyum sendi atas hadiah yang ia terima dari Woobin, di belahan bumi lain, terdapat your type of salary man yang sedang menenggak bir kalengan dengan tenang, dengan ditemani oleh suara seseorang dari kanal YouTube yang tidak ia ikuti, tapi ia pantau beberapa saat sekali.

“Halo! Kembali lagi dengan aku, Serim,”

Dari balik kaleng yang hendak disisip, bibir itu menyunggingkan senyum yang terlihat geli seraya membatin bahwa orang yang sedang bercuap-cuap saat ini, sama sekali tidak berubah, dari segi fisik maupun kepribadian.

End.