write.as

END GAME

Atra masih diam sejak Marcel menjemputnya, hanya bicara jika memang ada pertanyaan penting yang sekiranya perlu jawab. Marcel pun sepertinya sadar kalau Atra enggan untuk diganggu, jadi ia memilih diam sesekali mencuri pandang ke arah sosok di sampingnya.

Sejujurnya Atra sendiri bingung kenapa harus merasa kesal kalau pun memang Marcel pergi dengan perempuan lain — tidak bisa dijelaskan. Anehnya, saat merasa kesal seperti sekarang pun Atra ingin Marcel berada dekat dipandangannya; pokoknya ia ingin rasa kesalnya di temani.

“Maaf ya.” yang di sisi sebelah kanan sedikit mencondongkan tubuhnya dengan tangan yang bersandar pada armrest agar dapat melihat jelas wajah lain di sebelah kiri saat lampu jalan berubah merah.

“Keselnya jangan lama-lama, ya?” suara itu melembut; intonasinya persis seperti sedang membujuk anak kecil yang tengah merajuk.

“Atra.” merasa tidak ada respon, Marcel menekan kalimatnya membuat yang diajak bicara menoleh, aduh Marcel kenapa berpuluh-puluh kali lebih tampan kalau lagi mode serius seperti ini.

“Apa? Gua gak kesel, Cel.” ucapannya menggantung, “Kesel sedikit tapi gua gak tau kenapa gua kesel, harusnya gua gak kesel tapi gua kesel. Jangan ketawa anjing.” kalimat yang diucapkan tanpa koma berhasil membuat perut Marcel tergelitik, tawanya hampir meledak kalau saja Atra tidak melayangkan tatapan menusuk, padahal dari sekian panjang kalimat yang Atra ucap bisa dipersingkat menjadi cemburu, ‘gua cemburu’ apa susahnya bilang begitu?

“Iya, iya, kesel sedikit, ‘kan?” Atra menganggukan kepala meng-iya-kan ucapan Marcel.

“Yaudah kalo gitu keselnya gua temenin.” tangan Marcel terulur memberikan usapan lembut pada surai kecokelatan milik Atra, membuat yang dibelai berkomat-kamit dalam hati untuk tidak langsung luluh.


”Gua sambil ngerjain tugas ya.” Marcel lebih dulu memposisikan tubuhnya pada sofa panjang yang terletak di bagian sudut kamar Atra, selanjutnya ia fokus berkutik dengan laptopnya.

Sementara sang tuan rumah memilih untuk merebahkan tubuhnya setelah mengganti pakaian dengan kaos dan celana pendek. Mulai dari rebahan, berguling-guling, main Twitter, main Instagram, nonton video TikTok, baca artikel semua hal Atra lakukan sampai tubuhnya tengkurap, perhatiannya jatuh pada sosok Marcel yang berada tidak jauh dari jangkauan.

Badan Marcel adalah salah satu gambaran ideal tubuh seorang laki-laki, dada bidang, bahu lebar, lingkar pinggang dan lingkar pingul proposional, juga, otot yang penuh; untuk bagian wajah, jangan ditanya, oke, tampan. Atra mulai berpikir kalau Marcel benar-benar tahu cara menggunakan kelebihan fisiknya untuk memancing perempuan di luar sana, tidak heran juga kalau mereka diluaran terus mengejar Marcel dan rela mengantre untuk memiliki ‘status’ dengannya. Toh, siapa yang ingin menyia-nyiakan kesempatan flexing punya pacar sempurna dalam segi fisik? (setidaknya bagi kebanyakan/beberapa orang).

Tanpa sadar Atra menghembuskan napas, kalau Marcel menjadi pacarnya — bagaimana ya? Dari kelebihan fisik saja sudah dipastikan akan membuat Atra kewalahan menghadapi mereka yang (mungkin setidaknya ada satu atau dua orang) masih mengharapkan perhatian Marcel. Tapi sungguh, saat Atra bilang ia sanggup berperang, artinya ia benar-benar sanggup.

Tiba-tiba Atra terpikirkan sesuatu. Apa ia harus coba mendengarkan saran Harvi? Tidak, tidak, bukan saran tentang ‘coba crot di muka’ tapi tentang… confess duluan?


“Marcel.” Atra membawa langkahnya mendekati Marcel yang masih fokus dengan tugasnya.

“Kenapaa?” yang dipanggil menoleh; mendapai sosok yang sejak tadi ia harapkan perhatiannya berdiri dengan raut yang menyiratkan keraguan.

“Masih lama gak ngerjain tugasnya?”

“Udah selesai kok.” walaupun faktanya belum, ia akan menjawab ‘selesai’ untuk prioritas.

“Ngantuk ya?” Atra menggeleng sebagai jawab; dengan cepat Marcel menutup laptop yang semula berada dipangkuan, menjauhkan benda tersebut ke atas meja di samping sofa.

“Sini.” ia mengulurkan tangan, disambut baik oleh Atra yang langsung memposisikan tubuhnya di antara paha Marcel; kemudian menenggelamkan kepalanya pada dada bidang laki-laki itu.

“Sorry,” ujar Atra dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Gua gak maksud kesel sama lu.” karena gue sendiri gak tau kenapa ngerasa kesel, (bagian terakhir ia ucapkan dalam hati), sementara jemarinya bermain di lengan Marcel membetuk pola acak.

“Tra, gua mau ngomong sesuatu.” ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sementara satu tangan lainnya yang sejak tadi melingkar dipinggang Atra bergerak memberi elusan lembut.

“Gua juga mau ngomong sesuatu.” kini giliran Atra mengeluarkan pernyataan setelah mendengar ucapan Marcel.

“Gua duluan!” ucap keduanya secara bersamaan.

“Gua duluan, Cel.”

“Enggak, enggak. Yang kali ini gua duluan yaa.”

Atra menggeleng, Marcel menghembuskan napas.

“Gua dulu please.” dengan sengaja Atra melingkarkan tangannya pada leher Marcel, kemudian memasang raut memelas, yang tentu saja membuat Marcel frustasi, tolong jangan tatapan itu lagi.

“Astaga.” ia mengacak rambutnya; gemes banget cok jeritnya dalam hati.

“Boleh ya?” masih dengan raut memelas; pokoknya Atra harus mengatakan ‘sesuatu’ itu duluan; tidak ada alasan khusus, ia hanya ingin duluan untuk kali ini.

“Iyaaa, oke. Mau ngomong apaa?”

Atra diam, aduh, tadi perasaan lidahnya tidak kelu, tapi kenapa sekarang ia jadi merasa tercekat,

“Lumaugakjadipacargua?”

“Hah?” bohong kalau Marcel tidak mendengar ucapan Atra, justru ia mendengarnya sangat jelas walaupun laki-laki di pangkuannya berbicara dengan cepat; ia ingin menjahili Atra saja.

“Itu, lumaugakjadipacargua?”

“Gua gak ngerti, coba pelan-pelan.” Atra mendengus saat mendengar ucapan Marcel.

“Lu tuh naksir gak sih sama gua?” kali ini lebih jelas, tapi dengan pertanyaan yang berbeda.

“Gimana ya, Tra.” Marcel tetaplah Marcel; rese.

“Yaudah skip aja, Cel.” selama ini pure nganggep teman kali ya sekilas kemungkinan itu memenuhi kepala Atra, dan jika memang benar… duh jadi malu.

Atra berdehem untuk melegakan tenggorokannya, dalam hati ia bersumpah akan melupakan apa yang telah diucap, toh, tidak masalah kalau hanya berteman, mungkin yang kemarin mereka lakukan hanya iseng terbawa suasana.

Atra berhenti mengalungkan lengannya pada leher Marcel; bersiap lepas dari pelukan namun tangan yang melingkar pada pinggangnya menahan lebih cepat.

“Mau kemana? Gua belom ngomong, sekarang giliran gua.”

Lupa, “Iya, lu mau ngomong apa?”

“Sorry ya, Tra.” tuh kan.

“”Lu gak ada salah sama gua, cepet mau ngomong apaan, Cel.” Marcel tidak kuasa menahan tawa saat melihat raut kusut wajah dihadapannya.

Alih-alih merespon ucapan Atra, Marcel bergerak melepas sebuah gelang yang melingkar pada lengan kirinya; memindahkan benda tersebut ke lengan Atra. Itu gelang punya Marcel, kenapa jadi pindah ke tangan dia?

“Ini gelang hadiah ulang tahun dari Bunda sama Ayah, sempet gua pake lama sekitar dua tahun.” maniknya tidak henti melihat benda berkilau yang melingkar pada lengan Atra, tak lama senyumnya mengembang.

“Gua suka banget sama gelang ini,” jemari Marcel bergerak mengisi ruas jemari Atra yang kosong. “Saking gua suka sama gelang ini, gua balikin ke kotaknya, gua simpen lagi karena takut rusak atau ilang.”

“Ternyata pas kemarin gua buka kotaknya, gelangnya masih bagus, gua masih suka banget setiap liat gelang ini. Malah sekarang rasanya jadi lebih… berharga.”

Ada jeda disana.

Selain gelangnya yang memang indah dan harganya yang sudah pasti mahal, gelang itu juga sangat berharga bagi Marcel, terlebih sekarang, karena benda tersebut adalah salah satu bukti keharmonisan keluarganya dulu, saat mereka masih bersama memiliki waktu untuk merayakan hari bahagia Marcel bertambah usia.

“Would you keep it for me?”

Tatapan Marcel bukan lagi pada gelang yang melingkar pada lengan Atra, melainkan pada maniknya.

“Tolong dipakai ya, Tra. Gua gak akan biarin gelangnya ilang, gua gak akan biarin orang yang pake gelang ini lepas.”

Atra mengangguk. He said Yes.

Atra tahu Marcel akan menjaga gelang ini, Atra tahu Marcel akan menjaga sesuatu yang sangat dia hargai — Atra tahu, Marcel akan menjaganya.

“Gelangnya pasti aman, gak akan ilang, gak akan pergi kemana-mana.” Atra menangkup kedua rahang tegas milik Marcel, menyatukan kening mereka.

“I love you, Tra.”

”I know. I love you too.”

Senyum keduanya mengembang, tidak hilang di tengah ciuman lembut mereka.

“Iya gua mau jadi pacar lu, Tra.” jawab Marcel saat ciuman keduanya terputus.

“Anjing.”

Tak memberi jeda lebih lama, Atra menjemput bibir Marcel untuk kembali bercumbu. Marcel bersumpah akan mencium Atra sampai pasokan udara mereka menipis, sampai laki-laki manis di dekapnya memohon untuk berhenti, karena sungguh, malam ini bibir ranum yang sedang ia nikmati terasa jauh lebih manis dan tebal.

“Uuuumph!”

“ATRAAAAA.” “LO DI DALEM GAK SIH?” “TRAAAA.”

Atra melepas ciuman mereka sepihak, dengan cepat menoleh ke arah pintu kamar; terkunci — itu suara Sena, kembarannya.

“YAAA?”

“Kenapa di kunci?! Tolong ingetin Ibu gue nginep di tempat Lia dua hari ya!” teriak Sena.

Atra menghembuskan napas lega, sementara Marcel hanya terkekeh sambil terus menggesekan hidungnya pada pipi Atra. Duh anak kembar ini ada-ada aja pikir Marcel.

“O-oke.”

“Tenang aja kali ini gue janji beneran cuma di rumah Lia! GAK AKAN KETEMUAN SAMA MARCEL.” Atra menelan ludahnya kasar, melihat Marcel yang tersenyum kearahnya sambil menggeleng.

“Yaa oke.”

Hening, suara dari luar sudah hilang Atra menghembuskan napasnya lega, gila, untung pintunya sempat di kunci.

“Panik yaaa.” ledek Marcel saat melihat Atra yang masih terdiam.

“Jangan rese.”

“Iyaa sayangku.”

“Cel! Stop cium ciummmm.”

“Gak mau, tadi siapa yang mulai?”

Anjing

Marcel serius tentang mencium Atra sampai pasokan udara menipis karena ia benar-benar melanjutkan kegiatan mencium-melumat-menghisap bibir Atra sampai sang empunya mengerah. — Sudah, biarlah dua anak adam itu menikmati malam peresmian mereka menjadi sepasang kekasih.