1O3Okr

Normal [Final Part. 2]

“Terimakasih sayang, akhirnya aku balik juga kesini setelah sekian lamanya.”

“Kamu baru ninggalin tanah air selama tiga tahun loh, Yar.”

Emang dasar Jaka! Kapan sih nggak pernah nggak nyebelin? Padahal gue udah buat suasana haru gini eh seenaknya aja ngerusak moment manis begitu aja.

Kesel.

“Tapi itu termasuk lama tau, Ka.”

“Nggak betah tinggal disana ya?”

Menurut lo aja Jaka? Mana ada sih yang betah tinggal di negeri orang. Bertemu dengan orang asing setiap harinya, dan juga harus menyesuaikan makan beserta lingkungannya yang sangat beda 180 derajat.

“Sejujurnya iya, kalau nggak harus ikut kamu ya aku sih juga ogah harus tinggal disana dan ninggalin tanah kelahiran aku.”

Lagi, Jaka tertawa. Tangannya yang bebas itu mengusak kepala gue seenaknya. Yang tentu aja membuat gue menggeram kesal.

“Berlebihan banget sih kamu!”

“Kamu udah biasa tinggal disana, jadi udah terbiasa. Sedangkakn aku kan nggak.” cibir gue seraya menampik tangan kiri Jaka.

Sembarangan, rambut gue udah rapi gini seenaknya di berantakin.

Kan nanti nggak cakep lagi.

“Nggak juga kok, aku juga lebih suka tinggal disini dibanding disana. Makanya aku usaha lebih keras lagi supaya bisa pindah kerja di kantor cabang.”

“Yakin? Kamu gapapa ninggalin kantor pusat kamu?”

Sebenarnya sih gue (sedikit) merasa bersalah karna terlalu sering minta Jaka untuk balik kesini, ketempat lahir dan juga tinggal gue selama ini. Sementara dia disana bekerja pun bukan semata-mata demi dirinya sendiri.

“Demi kamu, nanti yang ada aku di ambekin terus.”

“Aku nggak ngambek ya!”

“Tapi ngancam.”

Tuh kan, emang yang namanya Jaka Prasetya itu sangat menyebalkan 1000 kali lipat.

Untungnya sayang!

“Kamu kalau nggak di ancam nggak peka.”

“Lagian kamu tuh minta aku pindah kerja udah kaya nyuruh pindah kost-an aja tau.”

“Kamu sendiri loh yang janji katanya cuma setahun atau paling lama dua tahun, ini sampai tiga tahun lebih, Jaka.”

Meskipun kita berdua terdengar sedang berdebat, tapi percayalah itu nggak sungguhan. Hanya sebuah obrolan ditengah perjalanan panjang kami, supaya nggak bosan.

Maklum hal tersebut sudah sangat lumrah bagi kita berdua. Apalagi keadaan jalan di akhir pekan seperti ini udah pasti sedikit padat, alias macet.

“Ya meskipun aku kerja diperusahaan suaminya om aku tapi kan aku harus tetap mengikuti kebijakan perusahaan tau.”

“Iya iya.”

“Ngambek?”

“Nggak ih, aku cuma kesel aja sama kamu.”

Pasti tau kan setelah gue mengatakan hal itu?

Iya Jaka tertawa, seraya mencubit pipi gue sembarangan.

Tenang, gue udah kebal banget sama tingkah abstrak dia selama ini.

Sejauh ini Dimas merasa kalau dirinya udah berubah menjadi stalker. Dari yang sekedar nanya-nanya mengenai sosok bermasker itu, sekarang malah 'mengintai' setiap aktivitas yang di lakukan oknum bernama Gio tersebut.

Melupakan fakta kalau seseorang yang membuatnya penasaran setengah mati itu adalah cowok.

Iya, Dimas kayanya masih belum bisa menerima sepenuhnya kalau yang lagi di stalknya itu sejenis dengan dirinya.

“Gio.”

Akhirnya sekian beberapa menit bertahan hanya berdiam diri dari kejauhan, Dimas menghampiri dan memanggil orang yang sedari tadi duduk manis sibuk dengan buku tebalnya.

Yang dipanggil mengernyit bingung.

“Sendirian banget?”

“Bukan urusan kamu.”

Mendapat respon yang sedikit ketus membuat seorang Adimas menghela napasnya kasar.

“Anyway, lo nggak engap pake masker mulu?”

“Bukan urusan kamu.”

Dimas memutarkan kedua bola matanya malas. Ternyata sosok yang masih anteng dengan kesibukannya membaca buku itu nggak seramah perkiraannya.

“Atau muka lo buruk rupa ya? Makanya tuh masker nempel mulu di muka.”

Setelah nyeletuk seenaknya kaya gitu, akhirnya pemuda tukang bolos itu mendapat atensi.

“Mau muka aku buruk rupa juga bukan urusan kamu.”

See?

Cuma nambah kosa kata aja.

Dimas terkekeh.

“Lagian gaya apa sih pake masker-maskeran kaya gitu? Sok kecantikan banget.”

Sengaja.

Cowok perawakan tinggi itu emang kayanya sengaja buat mendapatkan sebuah respon.

“Apa kamu bilang?”

“Sok kecantikan.”

“Apa?”

“Kayanya ya muka deh yang pake masker kenapa lo jadi budeg juga?”

“Kamu punya masalah apa sih?”

“Cuma penasaran aja.”

“Kalau mengenai aku yang nggak sengaja pergokin kamu lagi mesum itu, tenang aja aku nggak sebar atau ngaduin kamu ke pihak kampus. Puas?”

“Kenapa sih lo jadi cewek jutek banget.”

“Aku nggak ada urusan sama kamu.”

“Kata siapa?”

RBB (F II)

Dimas menyibukkan dirinya dengan menjadi seorang mahasiswa yang rajin.

Rajin dalam artian, hanya duduk manis dikelas lalu mengabaikan atensi dosen yang mengajar dihadapannya.

Biasanya, ia akan cabut dan lebih memilih bersenang-senang dengan para cewek-cewek.

Nggak pernah peduli dengan masalah absen, tugas, atau segala tetek bengeknya.

Soalnya selama ini masih bisa ia atasi. Seperti dengan menitip absen, menyuruh orang lain mengerjakan tugas ㅡtentunya di bayar, dan pokoknya masih terkendali.

Namun, kali ini pikirannya lagi nggak sinkron. Jadi, anggap aja kalau dirinya dalam tahap kembali ke jalan lurus.

Semenjak ucapan yang keluar dari mulut Hera beberapa hari yang lalu membuat otaknya sedikit konslet.

Jadi, setelah kelasnya selesai dengan tergesa-gesa Dimas segera menemui seseorang yang bernama Livia.

Tenang, kali ini dirinya bukan ingin bersenang-senang tapi hanya memastikan sesuatu yang membuatnya nggak bisa berpikir dengan jernih.

“Jadi, kak Dimas mau nanya apa?”, setelah berdiam diri selama nyaris 45 menit. Sosok cewek berbadan mungil itu menanyakan maksud dan tujuan seorang kakak tingkatnya yang mendadak memanggil dirinya di sela jam istirahat.

“Kamu tau Gio kan?”. Dimas sembari menarik napasnya saat bertanya langsung ke adik tingkatnya tersebut.

“Gio yang mana?”

Dan benar aja. Orang yang bernama Gio di kampusnya ini bukan hanya satu orang aja, melainkan lebih dari satu bahkan bisa lebih banyak.

“Yang suka pake masker, kecil, dan manis.”

Ya ampun saat mengucapkan kata manis, dalam hati seorang bad boy macam Dimas sedikit deg-degan. Entah karna apa.

Malu karena menyebutkan seorang cowok dengan manis, atau merasa sangat berdebar karena memuji sosok yang membuatnya kelimpungan belakangan ini?

“Kak Gio?”

Langsung aja pemuda itu menganggukkan kepalanya.

“Emangnya ada apa kak?”

Ditanya kaya gitu ya Dimas juga bingung.

“Dia cowok ㅡmaksudnya Gio itu anak mana?”

Adik tingkatnya menggaruk kepalanya yang sudah pasti nggak gatel sama sekali, hanya bingung aja menanggapi pertanyaan nggak jelas darinya.

“Kak Gio fakultas ilmu pendidikan semester tujuh, kak. Emangnya kenapa?”

Dimas nggak berkedip, mulutnya terbuka. Dia syok nggak kebayang dengan informasi yang belum seberapa itu.

Pantesan aja Hera memanggilnya dengan sebutan kak. Ternyata emang cowok aneh bermasker itu merupakan kakak tingkatnya ㅡbeda jurusan.

“Dia suka pake masker gitu ya? Maksudnya dia cowok, tapi kaya aneh gitu nggak sih?”

Livia tertawa, yang langsung dikasih tatapan heran.

Apa ada yang salah dengan pertanyaannya?

“Bukan aneh, udah pake masker aja banyak yang ngegodain kak. Apalagi buka masker, yang ada nanti kepincut semuanya.”

“Semenarik itu?”

Livia mengangguk.

RBB (F)

Hera nggak habis pikir sama sikap aneh teman dekatnya.

Iya siapa lagi kalau bukan Adimas Saputra, cowok playboy yang memiliki hobi menganggunya nyaris setiap saat belakangan ini.

Mungkin, kalau di kampus dengan berbagai jurus Hera bisa menghindari sosok pemuda berlesung pipi tersebut. Namun, kali ini ia tidak bisa kabur. Ya soalnya kenekatan lelaki tinggi bermata sipit itu sudah melewati batas dari biasanya.

Nggak biasanya Hera dikejar sampai ke rumah, hanya karena sebuah rasa penasaran yang menggerogoti kepala kopong seorang Dimas.

“Ra.” panggil Dimas sembari mengikuti Hera yang sedang menuju kedapur. Niatnya cewek itu ingin menyeduh segelas kopi, untuk menghilangkan rasa kantuknya. Maklum, ia berniat begadang untuk menyelesaikan tugas dari Pak Arya si pak dosen yang hobinya ngasih tugas melulu.

Yang di ikuti merasa jengah, kemudian menghembuskan napasnya kasar.

“Dim, lo bisa diem nggak sih?”

“Lo pasti tau kan mengenai Gio?”

“Bacot!”, omelnya.

Pasalnya, Hera di serang kebingungan. Kenapa cowok sang penakluk para cewek-cewek di kampusnya itu jadi kepo masalah Gio ㅡyang notabennya adalah cowok?

“Kasih tau gue fakultas atau jurusan Gio deh.” masih berusaha, Dimas memelas kepada Hera yang sekarang sibuk mengaduk kopi instansnya.

Memijat pelipisnya sebentar, Hera menyeruput kopinya sedikit. Lalu menatap heran kearah Dimas.

“Lo masih normal kan?”

Ujungnya, ia menanyakan atas perubahan sikap teman dekatnya.

“Masih, emangnya gue kenapa?”

“Lo nanyain Gio mulu, bangsat!”

“Ada yang salah?”

Hera mengernyit.

Menggelengkan kepalanya, dan tanpa sadar langsung meneguk habis kopinya begitu aja.

“Apa lo udah bosen main sama cewek?”

“Kenapa lo nanya gitu?”

“Soalnya mendadak banget lo kepo sama kak Gio.”

Sekarang Dimas yang mengernyit.

Merasa pernyataan sang sahabat amat sangat membingungkan dirinya.

“Gue penasaran aja, emangnya nggak boleh ya?”

“Nggak percaya aja gue, lagian bukannya nggak boleh sih. Tapi sejak kapan lo nanyain seseorang dan itu cowok pula sampe segininya?”

Nggak ada yang salah dalam nada yang terlontar dari Hera. Hanya aja yang membuat Dimas mengumpat dalam hatinya itu sebuah fakta yang baru aja di dengarnya.

“Gio itu cowok?”

“Jangan bilang lo ngira kalau kak Gio itu cewek deh, Dim?”

Bangsat.