Normal [Final Part. 2]
“Terimakasih sayang, akhirnya aku balik juga kesini setelah sekian lamanya.”
“Kamu baru ninggalin tanah air selama tiga tahun loh, Yar.”
Emang dasar Jaka! Kapan sih nggak pernah nggak nyebelin? Padahal gue udah buat suasana haru gini eh seenaknya aja ngerusak moment manis begitu aja.
Kesel.
“Tapi itu termasuk lama tau, Ka.”
“Nggak betah tinggal disana ya?”
Menurut lo aja Jaka? Mana ada sih yang betah tinggal di negeri orang. Bertemu dengan orang asing setiap harinya, dan juga harus menyesuaikan makan beserta lingkungannya yang sangat beda 180 derajat.
“Sejujurnya iya, kalau nggak harus ikut kamu ya aku sih juga ogah harus tinggal disana dan ninggalin tanah kelahiran aku.”
Lagi, Jaka tertawa. Tangannya yang bebas itu mengusak kepala gue seenaknya. Yang tentu aja membuat gue menggeram kesal.
“Berlebihan banget sih kamu!”
“Kamu udah biasa tinggal disana, jadi udah terbiasa. Sedangkakn aku kan nggak.” cibir gue seraya menampik tangan kiri Jaka.
Sembarangan, rambut gue udah rapi gini seenaknya di berantakin.
Kan nanti nggak cakep lagi.
“Nggak juga kok, aku juga lebih suka tinggal disini dibanding disana. Makanya aku usaha lebih keras lagi supaya bisa pindah kerja di kantor cabang.”
“Yakin? Kamu gapapa ninggalin kantor pusat kamu?”
Sebenarnya sih gue (sedikit) merasa bersalah karna terlalu sering minta Jaka untuk balik kesini, ketempat lahir dan juga tinggal gue selama ini. Sementara dia disana bekerja pun bukan semata-mata demi dirinya sendiri.
“Demi kamu, nanti yang ada aku di ambekin terus.”
“Aku nggak ngambek ya!”
“Tapi ngancam.”
Tuh kan, emang yang namanya Jaka Prasetya itu sangat menyebalkan 1000 kali lipat.
Untungnya sayang!
“Kamu kalau nggak di ancam nggak peka.”
“Lagian kamu tuh minta aku pindah kerja udah kaya nyuruh pindah kost-an aja tau.”
“Kamu sendiri loh yang janji katanya cuma setahun atau paling lama dua tahun, ini sampai tiga tahun lebih, Jaka.”
Meskipun kita berdua terdengar sedang berdebat, tapi percayalah itu nggak sungguhan. Hanya sebuah obrolan ditengah perjalanan panjang kami, supaya nggak bosan.
Maklum hal tersebut sudah sangat lumrah bagi kita berdua. Apalagi keadaan jalan di akhir pekan seperti ini udah pasti sedikit padat, alias macet.
“Ya meskipun aku kerja diperusahaan suaminya om aku tapi kan aku harus tetap mengikuti kebijakan perusahaan tau.”
“Iya iya.”
“Ngambek?”
“Nggak ih, aku cuma kesel aja sama kamu.”
Pasti tau kan setelah gue mengatakan hal itu?
Iya Jaka tertawa, seraya mencubit pipi gue sembarangan.
Tenang, gue udah kebal banget sama tingkah abstrak dia selama ini.