1O3Okr

[I]

“Have fun ya, kak. Kalau misalnya nanti emang capek nyetirnya langsung bilang ke Mer aja biar di gantiin sama supir cadangannya itu.”

“Iya papah.”

“Dan satu lagi, nggak usah bawa masker ya? Udara di puncak masih lumayan bagus kok. Nggak bakalan buat kamu terkena polusi.”

Gio mendengus kesal lantaran sang papa harus menyita masker miliknya.

Lagian, meskipun di dalam mobil dan udara puncak masih terbilang bagus. Tetap aja mata orang-orang yang melihatnya itu kadang membuatnya risih.

Papa sama ayahnya itu paham nggak sih?

“Udah ah, buruan. Di tungguin sama Mer di bawah tuh. Jangan manyun mulu.” Sang papa mengingatkan untuk segera bergegas sembari mencubit pipi sang anak.

“Iya ini juga udah kelar, pah.” dengan menyingkirkan tangan sang papa, Gio bersiap dengan tas backpack-nya. Lalu melangkahkan kakinya keluar kamar yang di ikuti sang papa dari belakang.

“Jangan sampe ada yang ketinggalan, ok?”

Gio hanya menganggukkan kepalanya, kemudian berjalan menuruni anak tangga perlahan.

Disana sudah ada Merinda, dengan sang ayah yang tumben banget jam segini udah ada dirumah. Biasanya, sang ayah pulang sekitar jam 09.00 malam keatas.

“Ayah tumben udah balik?”, Gio bertanya dengan nada menyindir.

Sang papa yang mendengarnya hanya menggelengkan kepalanya heran, “sengaja loh itu ayah kamu udah pulang karna mau liat kamu berangkat.”

Dengan malas Gio pun merotasikan kedua matanya.

Yang benar saja? Dirinya hanya pergi selama 2 hari dna itu hanya ke puncak, bukan mau pergi selama 2 tahun ke bulan ya.

Kesal.

“Nah gitu, anak ayah lebih ganteng loh kalau tanpa masker.”

Entah itu pujian atau hinaan, yang jelas Gio membencinya.

G

“Mau ya kak?”.

“Nggak mau.”

“Plis...”

Harus berapa kali sih Gio menolak permintaan adik sepupunya itu?

Lagian ya, Merinda kan tau kalau Gio itu orangnya mageran. Mana mau sih pergi jauh-jauh gitu cuma buat acara yang unfaedah?

“Cari yang lain aja sih, Mer.”

Merinda sengaja memasang muka sedih ala-ala ㅡalias akting doang, sembari gerutu pelan yang sebenarnya sih masih kedengaran sama Gio. Toh, dia emang sengaja biar kakak sepupunya itu luluh dan mau bantuin dirinya tersebut.

“Kenapa sih harus gue?”, tanya Gio setengah malas. Sedangkan Merinda memanyunkan bibirnya sok lucu.

Nggak lupa juga, yang lebih muda masih memasang muka memelas supaya dikasianin sama yang lebih tua.

“Ya kalau kita cari orang lain lagi takut nanti cancel mendadak lagi, terus ya tau pasti biayanya tuh bisa nggak sesuai budget kak. Lagian, kita kesana kan bukan di mobil mulu. Nggak lucu aja misalnya duit yang kita kumpulin ini abis cuma buat supir doang.”

Gio hanya merotasikan kedua bola matanya malas, “tapi ada yang gantiin gue nyetir kan?”

Merinda menganggukkan kepalanya semangat, meskipun dalam hati dirinya berdoa semoga aja Hera menemukan 1 orang lagi buat cadangan supir nanti.

Kalau nggak yang ada nanti dia malahan di amuk sama kakak sepupunya tersebut.

Tampang emang boleh manis, tapi kalau udah ngamuk ya si Gio itu sangat menyeramkan.

“Yaudah oke kalau gitu.” Ucapnya final yang langsung mendapat pelukan erat dari adik sepupunya itu.

. . .

Hera nggak tau apa yang terjadi dengan teman dekatnya itu, soalnya sikap Dimas semakin aneh dari biasanya.

Kali ini, sosok yang sedari hanya memegang bagian dadanya itu hanya terdiam. Dan juga menghembusan napas perlahan.

“Dim, lo sehat?”. Pertanyaan dari Hera membuat Dimas menoleh ke arah sahabat dekatnya tersebut. Kemudian hanya menggelengkan kepalanya ragu.

“Makanya makan yang bener jangan ngerokok mulu sih!” Omelnya sambil menoyor pelan kepala Dimas, sementara yang di toyor hanya melirik sinis.

“Lo tau nggak, Ra?” biasanya, seorang Dimas bakalan protes kalau udah di toyor kepalanya. Katanya, gitu-gitu kepalanya masih di bayarin fitrah. Tapi, kali ini tumben nggak protes barang sedikit pun. Malah menanyakan hal udah jelas Hera nggak tau apa.

“Lo punya riwayat penyakit parah ya, Dim?”

“Amit-amit, mulut lo racun banget.”

Hera cuma menampilkan cengirannya, “ya lagian lo aneh banget sih, kaya orang mau mati.”

“Bangsat ngedoain gue yang nggak-nggak!”

“Emang lo kenapa sih, Dim?”

Sebenarnya Dimas ragu mau menceritakan kejadian beberapa jam yang lalu sama sahabatnya itu. Selain itu, dirinya pun juga bingung mau mulai cerita dari mana?

Apakah dari masalah dirinya yang penasaran akan sosok yang bernama Gio?

Atau pas ia yang sampai nekat jadi seorang stalker hanya karna orang yang bernama Gio?

Ya atau bisa juga langsung ke intinya aja gitu, bagaimana reaksi dirinya yang berlebihan pasca oknum yang bernama Gio itu membuka maskernya?

“Dim? Lo jangan bilang beneran nggak sehat ya?”, teguran dari Hera membuat Dimas sadar dari melamunnya.

“Gimana ya, Ra. Tadi gue nggak sengaja cuma sekedar liat muka orang gitu, eh masa ya gue kaya sesak napas gitu. Itu kenapa ya?” Dimas mulai bercerita, di bumbui dengan kebohongan. Soalnya, dia masih sayang nyawanya alias nggak mau mengambil resiko kalau menceritakan kejadian yang sebenarnya.

Bisa-bisa di amuk sama Hera.

“Lo nggak jatuh cinta pada pandangan pertama kan?”

Kata yang terlontar dari Hera, meskipun terdengar asal tebak membuat Dimas tertawa. Hal itu menimbulkan Hera melihat Dimas dengan heran.

“Apaan?”

“Love at first sight?”

“Kebanyakan nonton drama korea begini nih.”

Hera memasang muka betenya, kemudian berkata 'terserah' dengan kesalnya.

“Yang bener aja? Cuma liat mukanya doang gue suka gitu sama orang? Mustahil banget.”

“Lagian gue cuma ngasal elah, makanya jangan cerita yang aneh-anehnya.”

“Isengin lo doang, Ra. Abisnya lo kaya khawatir gitu.”

“Bangsat emang. Oh iya gue lupa kan play boy kaya lo mana bisa jatuh cinta ya?”

Ejekan Hera membuat Dimas diam, lalu mengendikkan kedua bahunya.

“Lo weekend ini gabut kan?”

“Kenapa?”

“Mau jadi supir cadangan nggak?”

“Kemana?”

“Puncak sih. Tapi kurang supir, kasian soalnya kalau nggak gantian gitu.”

“Males ah, mending dirumah tiduran daripada bermacet-macet ria.”

“Yaelah, Dim. Ayolah, kalau lo nggak mau gue udah nggak tau mau minta tolong lagi.”

“Sewa supir aja sih.”

“Kawanan gue bukan modelan kaya lo semuanya kali, lagian Merinda udah nyumbang mobilnya.”

“Nggak ada cowoknya males gue, nanti cengok.”

“Ada kak Gio, eh tapi...”

“Kalian beneran nggak ada yang bisa nyetir?”

“Nggak ada kecuali Merinda sama Denish, tapi kan dia nggak bisa ikut. Itu aja yang bawa mobilnya Rena punya pacarnya.”

“Yaudah, gue mau. Kasian amat sih. Tapi nggak gratis ya?”

“Terpaksa banget elah, lagian nanti dikasih uang rokok. Tenang aja.”

“Tadi kayanya lo bilang gue jangan ngerokok mulu.”

“Istilahnya begok! Itu duit cuma ucapan makasih aja.”

“Ya aja gue mah.”

“Oke, nanti gue kabarin lagi!”

“Sip.”

[G II]

“Mas,” panggil Dimas sambil melirik sosok yang sedari tadi sibuk dengan tab-nya.

Dirasa nggak ada respon, cowok yang sedang rebahan sambil men-scroll random layar ponselnya itu pun menghembuskan napasnya kasar.

“Mas!”. Panggilnya lagi, untuk kali ini dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Dimas merasa nggak seperti biasanya ia mendapati seseorang yang lebih tua tersebut terlihat serius dengan tab-nya.

Sedangkan orang yang di panggil sedari tadi melirik sinis, “apa sih dari tadi lo manggil mas mes mas mes aja? Nggak tau apa orang lagi sibuk?”. Omelnya kepada sosok yang lebih muda, lalu kembali fokus dengan kerjaannya tersebut.

“Yaelah kan gue mau nanya, mas.”

“Nanya tinggal nanya doang, Dim.”

“Lo lagi ngapain sih?”, akhirnya Dimas bangun dari rebahannya, kemudian menghampiri sosok yang lebih tua.

“Lagi kerjalah, makanya jangan ganggu gue.”

Dimas mengernyitkan dahinya bingung, pasalnya ini sudah bukan jam kerja lagi. Emang kakak sepupunya itu sibuk ngerjain apa sih?

Seharusnya kalau pun kerjaannya belum kelar kan ya tinggal lembur di kantornya aja dong.

“Menurut mas, gue punya riwayat asma nggak sih?”. Dimas mulai bertanya kepada sosok yang masih sibuk dengan mengetikan di layar tab-nya.

Entah apa yang sedang dikerjakan oleh kaka sepupunya tersebut, yang penting Dimas penasaran dengan sesuatu yang mendadak menimpa dirinya siang tadi.

“Random banget sih, Dim! Lagian sejak kapan sih lo punya asma? Kalau pun iya udah sembuh kali ah kan hobi lo renang.”

Sahutan yang lebih terdengar dengan nada sewot itu nggak di pedulikan oleh Dimas, karena bagaimana pun dirinya mendapat jawaban atas pertanyaannya.

“Mas...”

“Bentar, gue minta approval dulu. Abis itu lo bebas mau gangguin gue deh ya.”

Kadang tuh sebenarnya Dimas agak sebal sama kakak sepupunya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Sosok yang udah kaya kakak kandungnya itu adalah satu-satunya yang bisa menjadi pendengar yang baik. Ia nggak bisa mengandalkan kedua orang tuanya, soalnya mereka berdua nggak ada yang bisa di ajak ngobrol. Maklum terlalu sibuk. Sedangkan kakaknya, ya sama aja sih. Semenjak lebih memilih tinggal di luar kota ngurusin usahanya sendiri, kaya udah lupa kalau punya adik. Nggak peduli lagi sama dirinya.

Jadi, mau nggak mau Dimas hanya bisa lari ke apart kakak sepupunya yang selalu ada saat dibutuhkan olehnya.

Bahkan kayanya dirinya itu lebih sering berada di samping kakak sepupunya itu di banding dengan anggota keluarga kandungnya. Malahan dulu, pas Dimas masih duduk di bangku smp sampai sma yang selalu datang ke sekolah ya mas Han ini .

Perbedaan umur mereka nyaris 10 tahun, tapi nggak terlalu keliatan signifikan. Yang ada udah kaya cuma beda 1 atau 2 tahun aja.

Mukanya mas Han ini emang awet muda, padahal kalau sama Dimas sering banget misuh-misuh.

Apa karena pacarnya lebih muda makanya ke tularan muda kali ya? ㅡoups.

“Jadi ada masalah apa lagi lo?”.

Selama Dimas melamun, ternyata kakak sepupunya itu udah menyelesaikan pekerjaannya.

“Bukan masalah sih, cuma aja...” Dimas menggantungkan kalimatnya, lalu meneguk air mineral yang ada di atas meja. Padahal itu air minum punya Mas Han.

Definisi magadir emang.

“Apa? Cuma aja mas harus ke kampus lo gitu?”.

Dimas merotasikan kedua matanya malas, merasa di suudzonin sama yang lebih tua.

Mentang-mentang dulu dirinya selalu menarik kakak sepupunya itu kalau lagi ada masalah.

“Ya nggaklah, ngapain coba?”

“Biasanya lo kesini tuh bawa masalah, Dim.”

Dimas mendengus kesal, meskipun yang di katakan kakak sepupunya itu ya ada benarnya.

“Gue mendadak sesak napas tadi mas.” Adunya, sedikit ragu. Tapi, emang beberapa jam yang lalu setelah mengetahui fakta yang mengejutkan mendadak dirinya kaya orang asma yang susah bernapas.

Itu yang membuat Dimas heran. Padahal cuma karena ngeliat muka manis si Gio.

ㅡmelupakan fakta kalau Gio itu cowok

Sialan.

“Lo sakit? Sebat terosss!”.

Lagi, Dimas menghembuskan napasnya perlahan.

Capek emang sama orang kaya mas Han. Suudzon mulu.

Sudutin Dimas terus yang emang (biasanya) bermasalah.

“Terus jantung gue juga deg-degan masa ya mas.”

“Kurangin ngerokok, kan udah gue bilang ya. Ngeyel sih!”.

Marah-marah mulu, kadang Dimas ngerasa ya mas Han tuh lebih cocok jadi bapaknya di banding jadi kakak sepupunya.

Ya tapi kan, emang selain menjabat sebagai kakak sepupu, Mas Han ini udah merangkap sebagai orang tua (wali)nya. Yang kalau liat kelakuan minus Dimas langsung ngomelin.

“Mas...”

“Apalagi sih? Mas mes mas mes mulu?”

“Ngomel mulu dih, sebel ah gue.”

Lagian Dimas nggak tau diri banget, udah dateng mendadak, gangguin kerjaan yang belum kelar, terus bacot banget. Bagaimana yang lebih tua nggak speneng?

“Nanti gue bilangin Nata, buat nemenin lo periksa ya?”

“Kenapa nggak lo aja sih?”

“Gue lagi hectic banget elah. Udah gede juga kan? Jalan sendirilah, tau kan tempat prakteknya Nata?”

“Gue ngeri kalau dateng nggak sama lo, mas.”

“Pacar gue nggak ngegigit ya njir.”

“Dia kalau ngeliatin gue kaya apaan aja. Kan udah di bilang gue nggak homophopic.”

“Ngerilah, tampang bad boy kaya lo.”

“Sialan lo, mas.”

[G]

“Yah,” panggil Gio seraya melirik sang ayah yang sibuk berkutat dengan laptopnya di singgahsananya ㅡalias di meja kerjanya yang jaraknya beberapa meter dari tempat duduknya.

Iya, saat ini Gio sedang berada di ruang kerja pribadi milik sang ayah. Meskipun biasanya ia sangat malas mampir ke tempat yang suasananya keliatan suram lantaran nggak ada suasana santai-santainya tersebut. Padahal, tepat disudut ruangan terdapat perpustakaan mini yang di lengkapi dengan berbagai jenis bacaan di rak buku. Akan tetapi, isi rak buku itu semua hanyalah tentang bisnis bukan komik, atau pun sejenis novel.

“Kenapa kak?” sahutan itu terdengar beberapa menit jeda dari panggilan sebelumnya, membuat Gio mendengus dan merebahkan dirinya diatas sofa empuk yang sebelumnya ia duduki.

“Papa kapan pulang?” tanyanya kepada sosok yang masih fokus dengan laptop di atas meja kerjanya.

“Lusa juga udah balik, kak.” jawab sang ayah yang menggelengkan kepalanya heran.

“Lama banget sih.” Protes Gio yang membuat sang ayah nyaris tertawa.

Ayahnya tau kalau sosok anak semata wayangnya itu sangat manja sama sang papa. Tapi, biasanya kalau udah bersikap kaya gitu ya pasti ada hal yang nggak beres.

Sembari menyingkirkan laptopnya, sang ayah berjalan menghampiri Gio yang masih betah rebahan diatas sofa. Lalu menduduki bagian sofa yang kosong.

“Lusa itu dua hari lagi loh, kak. Bukan dua bulan lagi.” Ledek sang ayah yang membuat Gio mendengus kesal.

“Ih, tetep aja lama. Nggak bisa pulang nanti malem aja?”

Dan sontak aja ayahnya ketawa terbahak mendengar rengekan sang anak.

“Papa kamu itu lagi kerja loh bukan lagi liburan, kak.”

“Aku kangen papa, yah.”

Sang ayah pun mendekatkan dirinya, kemudian mengusak rambut anaknya.

“Kakak, mau cerita apa?”

Gio sempat terdiam, menimang tawaran sang ayah. Apakah ia akan menceritakannya pada ayahnya atau lebih baik menunggu sang papa pulang. Bukannya ia nggak nyaman cerita sama sang ayah, hanya aja tanggapan sang ayah yang lebih terlihat santai dan kadang lebih suka meledeknya itu jadi membuatnya sebal. Walaupun ia tau, sikap sang ayah seperti itu hanya ingin membuatnya nggak sampai kepikiran. Padahal tindakan ayahnya sering bertolak belakang dengan sikapnya yang membuatnya berkali-kali lipat lebih kesal. Sementara papanya, meskipun emang lebih protektif tapi bagaimanapun sikapnya ya bijaksana. Nggak akan melakukan tindakan nekat atau bahkan konyol seperti ayahnya.

“Kak kok malah bengong?”

Gio tersadar dari lamunannya, kemudian mendongak supaya bisa melihat ayahnya yang lagi mengelus kepalanya.

“Masa tadi ada yang ngatain aku sok kecantikan, yah.” mulainya, mengadu kepada sang ayah sembari memasang muka betenya ㅡmengingat perkataan cowok rese' beberapa jam yang lalu tepat di taman belakang kampusnya.

“Terus?” sang ayah sebenarnya paham, ini bukan pertama kali anaknya di bilang seperti itu. Tapi biasanya anak cowok satu-satunya tersebut akan menanggapi biasa aja. Dan kadang malahan sang ayahlah yang akan sangat khawatir. Apakah untuk kali ini sudah sangat keterlaluan?

“Dan juga bilang ke aku kalau jadi cewek jangan jutek.”

Nada Gio berubah sebal, lalu merubah posisinya mendudukan dirinya. Sementara sang ayah melihatnya bingung.

“Sebentar kak, kamu dibilang apa?” sang ayah hanya memastikan bahwa anaknya berkata sesuai apa yang di dengarnya.

“CEWEK JUTEK...”

“Siapa yang bilang kaya gitu?”

“Yang waktu itu aku ceritain sama papa.”

“Kak, itu yang buat kamu dari tadi masang muka asem?”

Gio mendengus kesal, sudah ia duga kalau tanggapan ayahnya akan demikian. Jauh dari ekspetasinya.

“Aku lagi serius loh, yah.” Rengeknya setengah kesal.

“Jangan serius-serius ah nanti jadi jelek.”

Tuh kan, ayahnya itu nyebelin banget. Gio jadi menyesal udah bercerita ke ayahnya tersebut.

“Aku di kira cewek loh, yah!”

“Ya mungkin aja dia suka sama kamu.”

“Dia itu cowok mesum yang pernah aku ceritain ih!”

Sang ayah malah tertawa melihat muka masam anaknya. Sedari tadi ㅡtepatnya sepulang kuliah memang anaknya itu selalu memasang wajah masamnya. Ayahnya mengira kalau anaknya itu cuma capek lantaran jadwal kuliahnya. Akan tetapi, sekarang ayahnya tau penyebab utama dari muka manis anaknya yang berubah bete itu.

“Kak, kamu beneran masih pake masker ke kampus kan?”

Gio hanya menganggukkan kepalanya, sebenarnya kedua orang tuanya menyuruhnya untuk membiasakan diri tanpa masker. Itu malah menimbulkan orang lain berasumsi aneh-aneh. Ya tapi Gio termasuk anak yang keras kepala ㅡmirip sama papanya, makanya kadang mereka masih memaklumi kalau anaknya itu hanya risih kalau udah di liatin atau bahkan sampai ada yang menggodanya.

“Udah coba buat lepas?”

“Yah, kita udah bahas hal ini sekian kalinya loh.”

Sang ayah menghembuskan napasnya.

Untuk masalah yang sering menggoda anak lelakinya iti memang udah biasa. Sang ayah nggak akan masalah tapi ini beda, bagaimana bisa ada yang mengira anak lelaki itu adalah perempuan.

Dan lagi orangnya itu adalah yang pernah anaknya ceritakan.

“Kamu nggak satu fakultas sama dia kan?”

Gio mengerutkan dahinya bingung, “dia siapa, yah?”

“Cowok yang ngira kamu cewek jutek itu!”

“Kayanya nggak, emang kenapa?”

“Bagus, pokoknya kalau bisa hindarin cowok itu. Ok?”

“Yah, yakali...”

“Nggak tau ya, ayah takut dianya naksir kamu terus nanti kamu dideketin. Ayah belum siap.”

“Dramatisir banget sih! Aku sebel ah sama ayah.”

Dan benar aja, ayahnya ketawa terbahak-bahak.

Nyebelin banget sih.

. . .

Setelah mendengar aduan dari anaknya mengenai seseorang yang beraninya mengira adalah perempuan. Sang ayah langsung kembali ke kamarnya ㅡpastinya setelah Gio pergi dari ruangan kerja pribadinya, lalu mendial nomor yang lebih mengerti dalam hal ini.

“Apa? Lusa balik, udah kangen?” belum mengucapkan salam udah disemprot aja.

Sabar. Untuk sayang.

“Sayang, kamu balik malem ini juga ya?” pintanya langsung tanpa basa-basi.

Yang diseberang telponnya bingung, “Kenapa? Kakak sakit?”

“Ya bukan sih, tapi ada sedikit masalah.”

“Kalau nggak penting, aku marah loh.”

“Pentinglah, si kakak di sukain sama cowok mesum yang pernah dia ceritain ke kamu.”

“Hah?”

“Nggak gitu sih, jadi dia dikira cewek, terus dikatain sok kecantikan. Mukanya bete banget.”

“Kamu ini ya, panikan banget sih. Lusa aku balik. Nanti aku video call kakak deh.”

“Malem ini juga, untuk sambutan besok ya suruh asisten kamu aja.”

“Kamu cuti jadi nggak guna kalau aku balik loh, lagian nggak enak sama orang yayasan kalau aku nggak kasih sambutan.”

“Plis...”

“Kamu ya! Panikan banget sih.”

“Anak aku itu loh, gimana nggak panik.”

“Dia cowok loh sayang, meskipun cuma sabuk kuning.”

“Jangan mulai deh”,

“Aku seriusan kalau kamu panik ngeri keulang lagi kejadian yang waktu dia berukur delapan tahun cuma karena pipinya di cium sama temennya kamu ngajak kita pindah ke jepang.”

“Ya aku nggak mau anak cowok aku di lecehin ya, meskipun manis gitu.”

“Dramatisir banget sih.”

“Samanya kaya kakak ya kamu itu.”

“Kau yang ngelahirin.”

“Iya tau.”

“Yaudah nanti malem aku usahain balik, kamu jangan macem-macem ya. Kakak udah semester tujuh loh.”

“Nggak, kali ini aku nggak bakalan bikin kakak nggak nyamanlah. Lagian udah kerja di daerah sini juga. Dan lagi,”

“Apa?”

“Capek pindah-pindah mulu. Susah juga ternyata punya anak kaya Gio ya...”

“Kamunya berlebihan, sampe punya sabuk hitam empat biji tuh cuma buat jagain Gio.”

“Udah ya, balik malem ini juga. Lagian tumben acara yayasan luar kota kamu ikutan.”

“Iya iya, bawel banget sih punya suami.”

“Love you.”

“Loveyou too?”

RBB . . .

“Kenapa sih lo jadi cewek jutek banget.”

Gio mengacak rambutnya kasar, kemudian melempar bantalnya sembarangan diatas kasurnya itu.

Ia pun menatap langit-langit kamarnya, sembari menghembuskan napasnya kasar.

Nggak habis pikir sama sosok cowok yang pernah ia pergoki sedang mesum tersebut.

Selama ini, dirinya nggak pernah pernah dilecehkan seperti ini. Ia akui, emang mukanya terbilang manis. Bukan ukuran cowok manly seharusnya

Sepanjang dirinya kuliah nyaris selama 7 semester, nggak pernah satu pun orang lain mengira dirinya itu adalah cewek ㅡmeskipun kenyataannya emang ia memiliki wajah yang manis.

Dan sering kali Gio mendapati beberapa mahasiswa maupun mahasiswi yang menggodai dirinya tersebut. Makanya, ia lebih suka menggunakan masker guna menghindari hal itu, namun tetap saja ada orang yang masih melakukan pelecehan secara halus tersebut terhadap dirinya.

Gio emang selalu menyebut orang yang hobi menggodai muka manisnya itu dengan pelecehan. Karna nggak seharusnya mereka seperti itu.

Lagian, siapa yang mau sih punya manis kaya

Gio masih nggak habis pikir sama sosok cowok yang kurang ajarnya mengatakan dirinya sok kecantikan ㅡdengan kata lain, dirinya di kira cewek. Padahal, selama ini belum pernah ada yang salah sangka mengenai status gendernya. Meskipun, wajahnya memang bisa di katakan manis layaknya cewek kebanyakan. Namun, dirinya nggak pernah merasa di lecehkan seperti itu.

Iya, Gio menanggap bahwa dirinya telah di lecehkan secara halus. Sudah jelas-jelas kalau gendernya itu cowok. Dari sudut manapun ㅡwalaupun menggunakan masker sekalipun penampilannya terlihat cowok. Tapi, bagaimana bisa sosok cowok yang pernah ia pergoki sedang melakukan hal mesum itu menyangka dirinya adalah cewek.

Sok kecantikan.

Lagian, dirinya itu menggunakan masker karna memang terlalu lelah dengan mulut-mulut yang suka sekali menggodainya tersebut.

Memangnya ia cowok apaan?

17 vs 37

. . .

Rury Narendra x Ezar Abiyu

Present

Rury seorang Senior Manager di sebuah perusahaan retail ternama. Ia tinggal di sebuah apartement yang nggak jauh dari kantornya ㅡlagian, bisa di bilang dirinya sudah terbiasa tinggal seorang diri. Dan lagi, emang nyaris 5 tahun belakangan ini dirinya masih aja betah menyandang sebagai seorang single. Meskipun sudah memasuki usia yang (sangat) matang, namun ia nggak kunjung juga untuk menjalin hubungan yang serius.

Alih-alih lebih memilih pacaran yang menurutnya akan menghabiskan waktu, lebih baik dirinya fokus bekerja guna masa depannya.

Karena ia ingin sekali membuktikan kepada ibunya, bahwa dirinya bisa sukses dan menjadi seseorang yang mandiri. Nggak seperti yang di takutkan oleh sang ibu selama ini. Apalagi, Rury hanya menginginkan sang ibu nggak memanjakannya terus dan juga nggak menginginkan sama sekali mengenai usaha keluarga milik keluarganya, yang di tinggalkan oleh mending sang ayah yang sekarang lebih di urus oleh sang om alias adik kandung ayahnya yang sudah jengah meneruskan usaha sang ayah.

Bagaimana pun dirinya bercita-cita ingin mempunyai usaha sendiri seperti beberapa temannya. Walaupun, banyak yang menyarankan akan lebih baik mencari pendamping terlebih dahulu.

Dulu, memang ia sempat memikirkan untuk menikah di usia sekitar 28 tahunan. Saat itu Rury masih menjabat sebagai Senior Supervisor. Lalu tanpa di sangka, 9 tahun kemudian dirinya pun mendapatkan promosi menjadi seorang Senior Manager.

Perjalanan karirnya memang lancar, akan tetapi tidak pada perjalanan kisah cintanya. Sangat bertolak belakang sekali.

Sebagai seorang yang normal, tentu saja ia memiliki jumlah mantan pacar yang lumayan banyak. Bahkan bukan hanya sekitarab 5 orang lagi, melainkan belasan atau bahkan sampai puluhan. Di antara temannya, ya dirinyalah yang memegang nomor satu dalam hal mengoleksi mantan.

Salah satu sahabatnya yang bernama Putra, sudah menikah dan mempunyai satu orang anak, hanya mengoleksi mantan sebanyak 7 orang saja. Itu pun, dirinya harus bertanggung jawab karna pacar yang terakhir hamil duluan. Kini, ia mempunyai usaha cafe dan mungkin anaknya sekitar usia 17 tahun.

Ada lagi Robert, yang mengoleksi mantan pacar sekiranya lebih dari 10 orang. Cuma dirinya berhenti ketika harus dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Sekarang ia hidup bahagia, namun sayangnya belum juga dikaruniani seorang anak. Kalau nggak salah itu karna kandungannya lemah, jadi beberapa kali positif hamil berakhir dengan keguguran.

Lalu si brengsek Haidar, yang kerjaannya nggak mau komitmen alias cuma mau one night stand aja. Katanya sih sekarang dia lagi ngejar gebetannya.

Terus juga ada si yang paling muda, yaitu Danish. Anaknya lucu. Moodbooster banget. Dari semuanya ya Rury paling dekat sama Danish ini karna selain nggak ngebosenin anaknya kreatif banget cari bahan obrolan. Dan juga mereka bekerja di satu perusahaan, hanya aja beda divisi. Kalau Rury sebagai senior manager, nah Abiyu masih di tahap assisten manager.

Mereka berlima masih saling komunikasi, meskipun Putra harus tinggal di luar kota semenjak kejadian MBAnya.

Agresif [11 part 2]

Sepulang sekolah, gue merasa makin aneh. Kenapa tumben banget mama gue ngeliatin gue udah kaya liatin orang asing gitu.

Serem nggak sih?

“Sekolahnya gimana dek?”, mendadak mama gue mendekat dan duduk di sebelah gue, sembari mengelus kepala gue.

Ya maklum gue anak bungsu, jadi meskipun udah gede gini tetap aja kaya masih di manja.

“Baik-baik aja ma.” sahut gue seraya menyandarkan kepala gue di bahu mama gue.

Emang yang paling nyaman itu adalah bersandar pada orang tua khususnya ibu ya.

“Kalau lagi ada masalah bisa cerita kok.”

Udah pasti gue pun mengernyitkan dahi gue bingung.

“No judgement.” ucap gue.

Dikeluarga gue emang kita di wajibkan jujur. Jadi, kalau misalnya ada yang mau cerita harus real atau berkata sebenarnya. Dan yang mendengarkan nggak boleh judge gitu.

“Tapinya jangan tersingung.”

Gue pun menganggungkan kepala gue pelan.

Iya satu lagi. Maksud dari jangan tersinggung itu kalau misalnya di kasih saran, masukan atau mungkin solusi ya kitanya nggak boleh tersinggung. Harus nerima, dan wajib bilang terimakasih.

Itu yang di terapkan dalam keluarga gue sedari gue kecil. Atau mungkin sejak kakak pertama gue berumur 7 tahun kali ya. Katanya biar anak-anak mereka itu jujur dan nggak menyembunyikan masalah yang nantinya berakibat fatal.

“Jadi mau cerita dari mana?”

Suara mama gue menyadarkan gue dari lamunan, kemudian gue pun kembali menegakan badan dan memposisikan badan supaya bisa berhadapan sama mama gue.

“Kalau misalnya ada yang suka kita dan kitanya nggak suka...”, nggak tau kenapa ucapan gue menggantung, membuat mama menatap penasaran.

Kembali gue pun menghembuskan napas perlahan.

“Terus kita suruh dia jaga jarak gitu, gapapa kan ma?”

Mama gue itu lebih parah dari papa gue, jadi kalau dia mendengarkan cerita anaknya yang menurutnya lucu atau aneh bukannya ketawa tapi sok berlaga mikir macem detective yang lagi nanganin kasus berat aja.

Sedangkan papa gue, lebih kearah ketawa ngakak sampai yang cerita itu bertanya-tanya apa emang sereceh itu apa ceritanya sejenis lelucon?

“Ma?”

Dengan pelan gue pun menepuk bahu mama gue, yang kemudian menghentikan aksi mariㅡ berpikirㅡkerasnya.

“Kalau misalnya kamu nggak suka dan nyuruh dia jaga jarak, ya gapapa.”

Gue merasa lega, tapi ternyata kayanya mama gue masih melanjutkan omongannya tersebut.

“Tapi ya dek, kalau kamu nggak suka dan nyuruh dia jaga jarak ya harusnya kamu nggak kepikiran dong. Kecuali kamunya juga suka. Berarti itu tanda tanya besar.”

“Karna aku nggak suka makanya nyuruh dia jaga jarak, kasian aja sia-sia dan buang waktunya gitu, ma.”

“Kenapa sampe mikir kaya gitu? Kalau orang nolak nggak suka cuma satu alesannya. Nggak mikir kemana-mana, itu berarti kamu peduli sama dia dan itu kemungkinan kamu suka sama dia.”

“Ma, orang yang aku suka itu cowok.”

Setelah gue berkata kaya gitu, mama gue terdiam.

Mungkin lagi mencerna, atau lagi syok, atau kayanya lagi meredam amarahnya.

Entahlah.

“Ya terus kenapa?”

“Nggak mungkin aja, maksudnya masa dia yang cowok suka sama aku yang cowok juga?”

“Dek, kamu tau mba Iin kan?”

Gue pun menganggukan kepala gue. Mba Iin atau sebenarnya bernama Nindya ㅡkakak sepupu dekat gue itu emang dulunya pernah punya pengalaman sepet alias pahit sih.

Ditinggal nikah karna calonnya suka sama cowok.

Tapi kan beda.

“Masalahnya nggak seberat mba Iin lah ma.”

Gue pun merotasikan kedua bola mata gue.

“Maksud mama, ya contohnya ada. Inget ya, selain nggak boleh tersinggung kan nggak boleh beralesan, ngeles, sama menyangkal dek.”

Ya, dalam peraturan itu ada beberapa point yang sebenarnya membantu. Tapi disini gue ngerasa kaya di tuduh menyangkal.

Yang seharusnya nggak boleh gue lakukan.

“Sekarang mama tanya, kamu beneran nggak suka sama dia?”

“Lagian, mau ujian juga ma.”

Mama gue mencubit pipi gue gemas. Cuma ya sakit banget cubitannya, sejenis lagi kesel.

“Fokus masalahnya, kamu bilang ada yang suka sama kamu dan itu cowok.”

Gue lagi-lagi menganggukan kepala gue sebagai menyetujui ucapan mama gue.

“Terus kamu suruh jaga jarak sama kamu? Karna menurut kamu ya kamu nggak suka sama dia?”

Menganggukkan kepala gue kesekian kalinya.

“Tapi selain itu kamu juga berpikir kalau suka sama kamu itu buang waktu dan sia-sia? Belom lagi kamu mau ujian kan?”

“Iya, ma.”

“Itu kamu menyangkal. Kalau kamu beneran nggak suka sama dia ya tinggal tolak aja nggak usah mikir kemana-mana, iya nggak?”

Ini gue di skak mati ya?

“Kamu mau ujian, fokus sama urusan sekolah kamu. Ya gapapa, tapi harusnya kamu nggak usah beralesan kaya menjadikan penolakan kamu gitu.”

“Ma...”

“Apa?”

“Maksud mama aku juga suka sama dia?”

“Ya coba tanyain itu sama diri kamu sendiri deh.”

Setelah itu mama gue bangkit dari duduknya, tapi masih berdiam diri memperhatikan gue yang masih bingung.

“Mama emang nggak setuju juga sih kamu pacaran menjelang ujian akhir gini.”

Punya mama kaya gini banget sih?

Tiba-tiba aja random gitu.

“Mama mau kamu keluar dari ruangan ini ya kamu apa adanya. Kalau kamu suka ya bilang jangan menyangkal dengan segala alesan.”

“Tapi kan ma...”

“Mama emang nggak bolehin kamu pacaran, tapi ya pedekate sih bolehlah. Asal kamu bisa masuk universitas yang kamu mau, setelah itu kamu bebas dibolehin pacaran.”

Agresif [11]

Gue hanya bisa menatap Arga dari kejauhan.

Semenjak masalah salah paham gue ke adik kelas satu tersebut selesai, kita semakin jauh. Ah, tepatnya gue yang mendorong Arga untuk jaga jarak sama gue.

Entah kenapa waktu itu gue malahan berpikiran lebih baik sosok pembuat onar disekolah tersebut berhenti mendekati gue. Soalnya, gue ngerasa masih banyak yang lain ㅡyang lebih baik dari gue.

Kali ini, Arga langsung setuju sama permintaan gue. Jadi, belakangan tuh kehidupan gue balik kaya dulu.

Bedanya, kalau dulu pikiran gue cuma mata pelajaran, tugas, belajar, kantin, bahkan perpus. Kali ini kayanya cuma Arga, Arga, Arga dan Arga.

Apa iya gue masih waras?

“Melamun aja lo!” seperti biasa, Yoga masih aja hobi ngagetin gue yang mendadak diem alias bengong. Sedangkan dia, menyingkirkan buku paket tebal dan menatap gue heran.

“Lo beneran baik-baik aja?”

Kali ini dia bertanya sedikit khawatir, sebenernya ya kalau tampangnya nggak serius kaya gini udah pasti gue ketawain. Tapi yang malahan tertahan, dan gue pun menganggukan kepala gue sebagai jawaban 'ya'.

Udah tau kan kalau seorang Yoga udah pasti nggak puas dengan respon kaya gitu. Jadi, dia menghembuskan napasnya kasar. Dan dengan kurang ajarnya tuh buku tebal yang beratus halaman di gebukin ke badan gue.

“Sakit ㅡbangsat! Ga, seriusan lo napa sih?”

Gue mencoba menahan kebrutalan sahabat semonyet gue yang satu itu, bukannya menjawab tapi tuh anak malah menatap gue dengan memicingkan matanya penuh selidik.

Yaelah.

“Lo beneran udah nyelesaiin masalah lo sama Arga?”

“Udah.”

“Sampe tuntas?”

“Iya.”

“Lo yakin dengan keputusan lo itu?”

“Yakin.”

Saat gue menjawab, Yoga menggelengkan kepalanya. Lalu membuka asal buku paket gue yang sedari tadi dipegang sama dia.

“Lo sendiri aja nggak yakin, Ja.”

“Gue nggak tau.”

“Mau gue saranin nggak?”

“Lo belom aja ngerasain di posisi kaya gue, nyet.”

“Ya gue emang belom, tapi kali aja saran gue ini berguna buat lo, nyet.”

“Lo ngerasain dulu, baru lo ngomong kaya gini.”

“Elah, lo mah ngeles mulu kaya kang bajai.”

“Pusing gue, mendingan gue persiapan ujian akhir deh.”

“Jadi cuma karna mau ujian lo kaya gini?”

Kali ini gue yang menghembuskan napas gue kasar, sembari mengambil buku paket gue.

“Lagian udah mau lulus juga, gue ngasih kesempatan pun nggak guna.”

“Pikiran lo doangan yang cetek banget kaya empang.”

“Udah gue bilang lo nggak ngerasain kaya gue, Ga.”

“Tapi, seenggaknya gue masih bisa kasih lo saran, Ja.”

Yoga itu emang keras kepala, yang kalau orang punya masalah dia ngerasa punya solusi bakalan maksa banget dia paham sama situasi yang ada.

Tapi, sebaliknya kalau dia yang lagi kena masalah. Panikan, dan beneran nggak bisa mikir.

Dia lebih parah dari gue, cuma ya kadang sok aja ngerasa lebih baik.

Tahi kotoklah.

“Tapi Ja, daripada lo makin nyesel ya nantinya mendingan lo coba pikirin lagi deh.”

. . .

RBB (G)

“Apa gue punya penyakit asma ya, mas?”.

“Mana ada sih, setau gue ya lo nggak ada riwayat penyakit asma dek. Jangan ngawur ah!”,

“Seriusan mas, tadi gue mendadak ngerasain sesak napas?”

“Lo kebanyakan ngerokok kali, dek.”

“Udah berkurang ngerokok gue, palingan sehari dua sampe tiga batang doangan.”

“Lo udah periksa?”

“Beloman, mau minta periksa pacar lo aja mas...”

“Tumbenan, biasanya lo nggak pernah akur sama dia.”

“Pacar lo aja kayanya ngeri banget sama gue.”

“Gimana nggak ngeri kalau lo ngeliatin dia dari ujung ke ujung dengan tatapan sinis udah gitu kaya jijik gitu.”

“Padahal gue cuma heran aja kenapa bisa cowok kaya dia tuh suka sama lo mas...”

“Kurang ajar! Gitu-gitu dia yang ngejar gue tau!”

“Kenapa lo bisa suka sama dia?”

“Nggak tau, mungkin takdir.”

“Awal pertemuan lo sama dia gimana?”

“Kepo banget, biasanya lo nggak peduli.”

“Ya aneh aja, dia dokter anak. Sedang kan lo direktur perusahaan retail.”

“Jodoh.”

“Gaya banget.”

“Emangnya lo, kebanyakan nidurin orang doangan. Belom aja kena karma.”

“Ya nggaklah.”

“Belom aja.”

“Gimana rasanya jatuh cinta mas?”

“Rasain sendiri, nggak bisa gue kasih testinya. Soalnya bakalan beda.”

“Lo tinggal satu atap gini, apa nggak khilaf tiap hari?”

“Kadang, cuma ya gue juga harus tau diri.”

“Kenapa?”

“Pake nanya, nyokap sama bokapnya belom ngerustui.”

“Meskipun lo anak seorang direktur? Lo keturunan orang tajir kan mas.”

“Dia juga dari keluarga berada, cuma kan tau kalau anak semata wayang...”

“Terus kenapa tante sama om gampang banget ngerestuin kalian?”

“Kalau lo lupa ya gue anak ketiga dari enam bersaudara. Kakak pertama gue, kembar cewek. Udah nikah dan punya anak juga. Terus adek gue lagi kuliah, dan yang paling kecil smp. Dan cowok itu cuma gue sama si bungsu.”

“Halah, palingan lo pelet biar langsung acc kan?”

“Sialan, nggaklah. Lagian emang pacar gue ini manis, pasti nyokap sama bokap gue terenyuh. Apalagi emang anaknya udah

Bangsat.

Menurut Dimas, dirinya nggak punya riwayat penyakit asma. Selama ini ia di nyatakan sehat walafiat, ya mungkin sesekali penyakit ringan seperti demam, flu, atau sejenis batuk pernah hinggap menyerangnya. Namun, dalam beberapa hari bakalan sembuh dengan cukup istirahat atau pun dengan minum obat.

Sejak rasa penasarannya menyeruak tentang mahasiswa yang nggak sengaja memergokinya sedang mesum beberapa waktu silam, kayanya otak Dimas semakin nggak bisa berfungsi dengan baik.

Belakangan sikapnya pun menjadi tanda tanya besar.

Setau Hera, tipikal seorang Dimas itu nggak betah kalau seharian nggak menanggapi keganjenan cewek-cewek diluar sana. Tapi beberapa waktu belakangan ini, sepertinya hidayah mulai memasuki ke diri teman dekatnya tersebut.

“Dim,” panggil Hera, menyela aktivitas Dimas yang sedang mengerjakan tugas.

Iya, ini seriusan kok. Makanya hal ini yang membuat Hera kebingungan setengah mati.

Apa jangan-jangan seseorang yang masih serius bergelut dengan tugas dari dosennya itu mempunyai sebuah penyakit mematikan? Sehingga, lebih memilih untuk bertaubat. Kembali ke jalan yang benar di banding meneruskan kebejatannya itu?

“Kenapa sih lo, Ra?”. Tanya Dimas heran, soalnya ngerasa di liatin dengan tatapan yang bikin dirinya bergidik ngeri.

Sementara yang ditanya malah menampilkan muka sedihnya.

“Kalau lo punya penyakit kronis mematikan bilang aja, daripada lo aneh kaya gini. Dim...”

Demi apa?

“Bangsat banget omongan lo, Ra.” Dimas merasa tersinggung. Bagaimana bisa sahabatnya itu secara nggak sengaja mendoakan dirinya cepet mati.

“Udah nggak usah sok mengelak, Dim. Gue emang nggak tau lo sakit apa, tapi sikap lo belakangan yang aneh tuh kaya tanda-tanda gitu tau.”

“Ra...