[G]
“Yah,” panggil Gio seraya melirik sang ayah yang sibuk berkutat dengan laptopnya di singgahsananya ㅡalias di meja kerjanya yang jaraknya beberapa meter dari tempat duduknya.
Iya, saat ini Gio sedang berada di ruang kerja pribadi milik sang ayah. Meskipun biasanya ia sangat malas mampir ke tempat yang suasananya keliatan suram lantaran nggak ada suasana santai-santainya tersebut. Padahal, tepat disudut ruangan terdapat perpustakaan mini yang di lengkapi dengan berbagai jenis bacaan di rak buku. Akan tetapi, isi rak buku itu semua hanyalah tentang bisnis bukan komik, atau pun sejenis novel.
“Kenapa kak?” sahutan itu terdengar beberapa menit jeda dari panggilan sebelumnya, membuat Gio mendengus dan merebahkan dirinya diatas sofa empuk yang sebelumnya ia duduki.
“Papa kapan pulang?” tanyanya kepada sosok yang masih fokus dengan laptop di atas meja kerjanya.
“Lusa juga udah balik, kak.” jawab sang ayah yang menggelengkan kepalanya heran.
“Lama banget sih.” Protes Gio yang membuat sang ayah nyaris tertawa.
Ayahnya tau kalau sosok anak semata wayangnya itu sangat manja sama sang papa. Tapi, biasanya kalau udah bersikap kaya gitu ya pasti ada hal yang nggak beres.
Sembari menyingkirkan laptopnya, sang ayah berjalan menghampiri Gio yang masih betah rebahan diatas sofa. Lalu menduduki bagian sofa yang kosong.
“Lusa itu dua hari lagi loh, kak. Bukan dua bulan lagi.” Ledek sang ayah yang membuat Gio mendengus kesal.
“Ih, tetep aja lama. Nggak bisa pulang nanti malem aja?”
Dan sontak aja ayahnya ketawa terbahak mendengar rengekan sang anak.
“Papa kamu itu lagi kerja loh bukan lagi liburan, kak.”
“Aku kangen papa, yah.”
Sang ayah pun mendekatkan dirinya, kemudian mengusak rambut anaknya.
“Kakak, mau cerita apa?”
Gio sempat terdiam, menimang tawaran sang ayah. Apakah ia akan menceritakannya pada ayahnya atau lebih baik menunggu sang papa pulang. Bukannya ia nggak nyaman cerita sama sang ayah, hanya aja tanggapan sang ayah yang lebih terlihat santai dan kadang lebih suka meledeknya itu jadi membuatnya sebal. Walaupun ia tau, sikap sang ayah seperti itu hanya ingin membuatnya nggak sampai kepikiran. Padahal tindakan ayahnya sering bertolak belakang dengan sikapnya yang membuatnya berkali-kali lipat lebih kesal. Sementara papanya, meskipun emang lebih protektif tapi bagaimanapun sikapnya ya bijaksana. Nggak akan melakukan tindakan nekat atau bahkan konyol seperti ayahnya.
“Kak kok malah bengong?”
Gio tersadar dari lamunannya, kemudian mendongak supaya bisa melihat ayahnya yang lagi mengelus kepalanya.
“Masa tadi ada yang ngatain aku sok kecantikan, yah.” mulainya, mengadu kepada sang ayah sembari memasang muka betenya ㅡmengingat perkataan cowok rese' beberapa jam yang lalu tepat di taman belakang kampusnya.
“Terus?” sang ayah sebenarnya paham, ini bukan pertama kali anaknya di bilang seperti itu. Tapi biasanya anak cowok satu-satunya tersebut akan menanggapi biasa aja. Dan kadang malahan sang ayahlah yang akan sangat khawatir. Apakah untuk kali ini sudah sangat keterlaluan?
“Dan juga bilang ke aku kalau jadi cewek jangan jutek.”
Nada Gio berubah sebal, lalu merubah posisinya mendudukan dirinya. Sementara sang ayah melihatnya bingung.
“Sebentar kak, kamu dibilang apa?” sang ayah hanya memastikan bahwa anaknya berkata sesuai apa yang di dengarnya.
“CEWEK JUTEK...”
“Siapa yang bilang kaya gitu?”
“Yang waktu itu aku ceritain sama papa.”
“Kak, itu yang buat kamu dari tadi masang muka asem?”
Gio mendengus kesal, sudah ia duga kalau tanggapan ayahnya akan demikian. Jauh dari ekspetasinya.
“Aku lagi serius loh, yah.” Rengeknya setengah kesal.
“Jangan serius-serius ah nanti jadi jelek.”
Tuh kan, ayahnya itu nyebelin banget. Gio jadi menyesal udah bercerita ke ayahnya tersebut.
“Aku di kira cewek loh, yah!”
“Ya mungkin aja dia suka sama kamu.”
“Dia itu cowok mesum yang pernah aku ceritain ih!”
Sang ayah malah tertawa melihat muka masam anaknya. Sedari tadi ㅡtepatnya sepulang kuliah memang anaknya itu selalu memasang wajah masamnya. Ayahnya mengira kalau anaknya itu cuma capek lantaran jadwal kuliahnya. Akan tetapi, sekarang ayahnya tau penyebab utama dari muka manis anaknya yang berubah bete itu.
“Kak, kamu beneran masih pake masker ke kampus kan?”
Gio hanya menganggukkan kepalanya, sebenarnya kedua orang tuanya menyuruhnya untuk membiasakan diri tanpa masker. Itu malah menimbulkan orang lain berasumsi aneh-aneh. Ya tapi Gio termasuk anak yang keras kepala ㅡmirip sama papanya, makanya kadang mereka masih memaklumi kalau anaknya itu hanya risih kalau udah di liatin atau bahkan sampai ada yang menggodanya.
“Udah coba buat lepas?”
“Yah, kita udah bahas hal ini sekian kalinya loh.”
Sang ayah menghembuskan napasnya.
Untuk masalah yang sering menggoda anak lelakinya iti memang udah biasa. Sang ayah nggak akan masalah tapi ini beda, bagaimana bisa ada yang mengira anak lelaki itu adalah perempuan.
Dan lagi orangnya itu adalah yang pernah anaknya ceritakan.
“Kamu nggak satu fakultas sama dia kan?”
Gio mengerutkan dahinya bingung, “dia siapa, yah?”
“Cowok yang ngira kamu cewek jutek itu!”
“Kayanya nggak, emang kenapa?”
“Bagus, pokoknya kalau bisa hindarin cowok itu. Ok?”
“Yah, yakali...”
“Nggak tau ya, ayah takut dianya naksir kamu terus nanti kamu dideketin. Ayah belum siap.”
“Dramatisir banget sih! Aku sebel ah sama ayah.”
Dan benar aja, ayahnya ketawa terbahak-bahak.
Nyebelin banget sih.
.
.
.
Setelah mendengar aduan dari anaknya mengenai seseorang yang beraninya mengira adalah perempuan. Sang ayah langsung kembali ke kamarnya ㅡpastinya setelah Gio pergi dari ruangan kerja pribadinya, lalu mendial nomor yang lebih mengerti dalam hal ini.
“Apa? Lusa balik, udah kangen?” belum mengucapkan salam udah disemprot aja.
Sabar. Untuk sayang.
“Sayang, kamu balik malem ini juga ya?” pintanya langsung tanpa basa-basi.
Yang diseberang telponnya bingung, “Kenapa? Kakak sakit?”
“Ya bukan sih, tapi ada sedikit masalah.”
“Kalau nggak penting, aku marah loh.”
“Pentinglah, si kakak di sukain sama cowok mesum yang pernah dia ceritain ke kamu.”
“Hah?”
“Nggak gitu sih, jadi dia dikira cewek, terus dikatain sok kecantikan. Mukanya bete banget.”
“Kamu ini ya, panikan banget sih. Lusa aku balik. Nanti aku video call kakak deh.”
“Malem ini juga, untuk sambutan besok ya suruh asisten kamu aja.”
“Kamu cuti jadi nggak guna kalau aku balik loh, lagian nggak enak sama orang yayasan kalau aku nggak kasih sambutan.”
“Plis...”
“Kamu ya! Panikan banget sih.”
“Anak aku itu loh, gimana nggak panik.”
“Dia cowok loh sayang, meskipun cuma sabuk kuning.”
“Jangan mulai deh”,
“Aku seriusan kalau kamu panik ngeri keulang lagi kejadian yang waktu dia berukur delapan tahun cuma karena pipinya di cium sama temennya kamu ngajak kita pindah ke jepang.”
“Ya aku nggak mau anak cowok aku di lecehin ya, meskipun manis gitu.”
“Dramatisir banget sih.”
“Samanya kaya kakak ya kamu itu.”
“Kau yang ngelahirin.”
“Iya tau.”
“Yaudah nanti malem aku usahain balik, kamu jangan macem-macem ya. Kakak udah semester tujuh loh.”
“Nggak, kali ini aku nggak bakalan bikin kakak nggak nyamanlah. Lagian udah kerja di daerah sini juga. Dan lagi,”
“Apa?”
“Capek pindah-pindah mulu. Susah juga ternyata punya anak kaya Gio ya...”
“Kamunya berlebihan, sampe punya sabuk hitam empat biji tuh cuma buat jagain Gio.”
“Udah ya, balik malem ini juga. Lagian tumben acara yayasan luar kota kamu ikutan.”
“Iya iya, bawel banget sih punya suami.”
“Love you.”
“Loveyou too?”