“Ini sebenernya sih persiapannya udah di angka delapan puluh lima persen, Mr. Ya paling nggak kita sanggup selesai tepat waktu, jadi project ini pun bisa berjalan dengan lancar.” Ucap Umemiya, menatap laptopnya —sambil mengupdate perihal list kerjaannya tersebut.
“Syukur-syukur kendalanya sedikit, lebih bersyukur lagi kalau sampai nggak ada.” Lanjutnya, yang masih sibuk dengan meng-scroll data di laptopnya itu.
“Kayanya sih itu aja, udah nggak ada hal lain lagi. Palingan tinggal monitoring aja terus supaya nggak ada yang kelupaan, Mr. Dan sebenernya kita cukup meeting di ruang meeting, kantin, atau ruang kerja nggak harus keluar kaya gini. Tapi, menurut Mr, apa masih ada yang perlu ditambahkan, kah?”
“Lo kalau sama Mr. Tomiyama serius kaya gini juga, ya?”
“HAH?”
Akhirnya Umemiya mengalihkan pandangannya dari arah layar laptopnya kearah atasannya tersebut, dan memberikan ekspresi yang bingung.
“Karna yang gue denger, lo sama Mr. Tomiyama tuh selain sering diskusi bareng, atmosfir kalian berdua tuh kelihatan lebih akrab, nggak canggung gitu.”
“Ah, Mr. Tomiyama itu masih butuh bimbingan aja karna baru terjun di bidang sektor ini. Jadi, harus banyak diskusi sama beliau supaya lebih mudah di mengerti. Selain itu emang orangnya yang santai jadi kaya terlihat akrab gitu.”
Sosok Takiishi dihadapannya pun hanya menganggukan kepalanya sebagai tanda mengerti.
“Gimana kabar lo, Umemiya?”
Bukan, bukan pertanyaan seperti ini yang diharapkan oleh Umemiya. Dirinya hanya ingin melakukan seputar bahasan mengenai kerjaan saja, sebagai tanda mereka masih bersikap profesional.
“Kabar saya selalu nggak baik kalau berurusan project besar kaya gini, Mr.”
“Yang gue tanyain bukan soal kerjaan, Umemiya. Lo tau itu, kan?”
“Kalau bukan soal kerjaan, berarti udah nggak ada lagi yang perlu dibahas, kan?”
“Lo baik-baik aja, Me?”
“Bisa dilihat kalau saya baik-baik aja, kan?”
“Umemiya Hajime...”
“Cukup, bersikap profesional. Selain kerjaan nggak ada lagi yang harus dibahas.”
Chika Takiishi terdiam, Umemiya pun bangkit dari duduknya dan kemudian pergi begitu saja.
Hal yang di takutkan dirinya sepertinya pun terjadi, inilah yang menjadi alasan terbesarnya kenapa ia selalu berusaha menjaga jarak dengan atasannya tersebut.
Karna bagaimana pun Umemiya masih sedikit takut jika harus kembali mengingat tentang kejadian yang sangat ingin dilupakannya itu.
. . .
“Hiragi...”
“Ya? Lo butuh gue jemput?”
“Kenapa lo balikan sama Sako?”
“Tiba-tiba banget bahas hubungan gue sama Sako?”
“Kenapa Sako tuh tolol banget harus nerima lo kembali?”
“Lo pikir hasil akhir yang buruk akan selalu disebut gagal? Ada yang namanya remedial, Me. Dan hasil itu bisa lebih baik dari yang sebelumnya. Segala sesuatu nggak bisa lo anggap cuma dari berhasil atau gagal, kadang ada kesempatan yang namanya memperbaiki.”
“Anjing dah, gue nggak paham kalimat panjang lo itu.”
“Lo mana bisa paham, kalau dari case kita aja udah beda, Me.”
“Apa gue resign aja ya, Gi?”
“CEMEN BANGET LO, UMEMIYA HAJIME.”
240703❤️