aclinomaniaxx

Bertamu

#Bertamu

.

.

.

.

.

.

.

Pukul 09.00 Sanzu telah selesai bersiap, Sanzu segera memesan ojol menuju alamat yang sudah diberikan oleh seniornya.

Setidaknya butuh 20 menit untuk sampai pada alamat yang ia tuju. Setelah membayar Sanzu membuka pagar putih yang tidak digembok dan melangkahkan tungkainya menuju pintu utama rumah bergaya eropa klasik itu. Tidak bertingkat namun besar dan memiliki halaman yang luas.

Lima kali ia hitung sudah mengetuk pintu namun tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka bahkan respon dari dalam pun tidak ada.

‘Apa lagi tidur ya makanya gak kedengeran?’

Teringat saran Ran, Sanzu menekan bel berharap kali ini ada respon dari pemilik rumah.

‘ting nong’ ‘ting nong’

Dua kali sudah Sanzu menekan bel namun nihil, sama sekali tidak ada respon. Putus asa, ia putuskan jika sekali lagi ia tekan tidak ada respon maka Sanzu akan pulang.

Baru saja jemari lentiknya akan menekan bel, pintu rumah berwarna putih itu terbuka memuncuklan sosok dengan potongan rambut bergaya ubur-ubur ungu nyentrik dengan balutan kaos hitam longgar dan celana panjang abu-abu.

“Gue halusinasi gak si? Panas doang masa halusinasi sih” monolog Rindou.

“Hallo kak.” Sapa Sanzu malu-malu.

“Lah kok ngomong sih? Emang bayangan bisa ngomong?” Rindou masih menganggap dirinya berhalusinasi.

Tangan Sanzu terulur untuk mencubit pelan pipi Rindou. “Kak, ini beneran gue loh? Lo gak lagi halusinasi kayak yang lo pikir.”

“Iya si sakit pipi gue, tapi lo ngapain disini? Tau rumah gue darimana? Jujur gue syok.” ujar Rindo sambil mengusap pelan pipinya.

“Jenguk lo. Dari Kak Ran. Boleh masuk gak gue kak? Pegel jujur berdiri dari tadi gak dibukain pintu.”

“Eh iya iya masuk aja.” Rindou mundur beberapa langkah mempersilahkan Sanzu masuk.

“Kunci gak nih kak pintunya?” Tanya Sanzu berinisiatif memutar kunci.

“Yaiya dong, chiyooo kalau ada maling masuk gimana.” Yang hanya dibalas kekehan ringan oleh Sanzu

“Kak, gue abis belanja nih, niat bikinin lo bubur sih. Boleh gak gue pake dapurnya?” Tanya Sanzu dengan memperlihatkan kantong belanja yang ia bawa.

“Yaelah repot-repot banget, tapi lo pake aja.” Jujur saja Rindou masih belum bisa memproses semuanya.

“Kak, lo tidur lagi aja. Nanti gue bawain ke kamar. Kamar lo yg mana, kak?” Sanzu bertanya kembali sembari menata barang-barang yang ia beli.

Sanzu masuk ke kamarnya? Jujur Rindou ingin pingsan sekarang. “Itu yang di ujung kanan.”

“Okeey, gih tidur lagi.” Ucapan Sanzu dibalas anggukan dan setelahnya Rindou berjalan kembali ke kamarnya.


Sanzu mengetuk pintu bercat putih dihadapannya. Setelah mendapat izin masuk dari pemiliknya barulah Sanzu berani masuk ke dalam.

Maskulin. Itu yang Sanzu pikiran tentang kamar milik Rindou. Cat hitam yang dipoles di dinding, furtinure minimalis, gitar electric dan akustik menghiasi sudut kamar, dan juga aroma musk khas Rindou yang bisa Sanzu hirup serakus mungkin disini.

Nampan berisi bubur dan teh panas ia letakkan pada nakas samping ranjang.

“Gue suapin ya kak?” Tawar Sanzu dan Rindou mengangguk mengiyakan.

Sanzu duduk di pinggiran ranjang. Tangannya terulur memberikan suapan pada Rindou yang bersender dikepala ranjang.

“Gue masih kayak mimpi tau, gue gak nyangka aja lo disini bahkan nyuapin gue.” Rindou memecah hening setelah menelan berapa suapan yang Sanzu berikan.

“Kalau lo bisa bilang bertanggung jawab ke gue karena udah bilang mau deketin gue, berarti gue juga boleh bilang kalau gue juga mau bertanggung jawab karena udah ngasi izin sama lo buat masuk ke kehidupan gue, kak?”

Rindou tersenyum. Bukankah ucapan Sanzu barusan berarti membuka kesepatan lebar-lebar pada dirinya??

“Chiyo, jangan lama-lama ya buka hati buat gue. Iya, gue pernah bilang gue nunggu tapi kalau lo kayak gini gue beneran pengen cepet-cepet milikin lo.” Sanzu mengangguk dan membawa suapan bubur terakhir pada Rindou.

“Tunggu bentar lagi ya, kak. Janji kok gak lama lagi.” Balas Sanzu tersenyum meyakinkan Rindou. Tangannya terulur memberikan segelas teh dan obat untuk Rindou minum.

“Kak, pakai kompres penurun panas mau ya? Gue beli di apotek tadi, biar cepet turun juga panasnya.” Sanzu membuka bungkus kompres penurun panas yang ia bawa.

Rindou merespon dengan mengangkat rambut ubur-ubur yang menutupi dahinya, berinisiatif memudahkan Sanzu memasang kompres didahinya.

“Lucu dah namanya sayonara fever wkwkw, kek bayi gak sih pake ginian.” Rindou terkekeh geli mendapati kompres penurun panas tertempel di dahinya.

“Biar cepet sembuh tau.” Balas Sanzu galak.

“Makasih ya, Chiyo. Buburnya juga enak banget emang udah cocok sih jadi istri gue” Ucap Rindou setengah jahil.

“Gue cowok loh kak?” Balas Sanzu tidak terima setelah mendengar perkataan Rindou.

“Yaudah deh, cocok jadi suami gue kalau gitu.” Rindou meralat ucapannya.

“Sembuh dulu kali, baru ngegombal” Sanzu berniat melayangkan tinju pada lengan Rindou. Namun entah karena refleks Rindou yang bagus sehingga bisa menghindar dengan cepat atau memang sudah nasib, Sanzu meninju ruang kosong dan jatuh terjembab menimpa Rindou.

Hening.

Keduanya masih sama-sama memproses kejadian yang baru saja terjadi di otak mereka. Mendapatkan kembali kesadarannya, dengan muka semerah kepiting rebus Sanzu berusaha bangkit. Namun sayang, Sanzu kurang cepat dari tangan Rindou yang kini sudah memeluk pinggangnya.

“Chiyo, lo bisa dorong atau pukul gue kalau lo gak mau.” Bisik Rindou di telinga Sanzu.

Apa yang terjadi sangat berbeda dengan apa yang Rindou bayangkan. Ia sudah membayangkan Sanzu mendorong atau memukulnya lari berlari pergi meninggalkannya. Namun, yang terjadi adalah Sanzu tetap diam tak bergeming di pelukannya.

Merasa mendapat izin ia pidahkan Sanzu pada celah kosong disampingnya, dengan kedua tangannya yang tetap berada di pinggang Sanzu seolah tidak ingin melepasnya. Kini tubuh keduanya saling berhadapan.

“Chiyo, lo boleh lepas masker lo kok. Gue tau pasti risih pake masker di posisi kayak gini. Tapi kalau gak nyaman gapapa pake aja.”

Sanzu tidak merespon apapun. Tapi bisa Rindou rasakan tubuh Sanzu sedikit gemetar dipelukannya.

“Gue emang gatau gimana kejadiannya sampai lo bisa dapet luka itu. Tapi satu yang harus lo tau dengan atau tanpa luka gimanapun lo tetep Haruchiyo Sanzu, lo tetep cantik. Kalau lo takut gue risih, harusnya balik dari sarapan bubur gue ninggalin lo dong bukannya malah minta izin mau deketin lo? Yang gue mau itu Haruchiyo Sanzu.

Sanzu merasakan panas di pelupuk matanya. Bagaimana Haitani Rindou yang nyaris sempurna ini menginginkan sosok seperti dirinya. Ia merasa tidak pantas dicintai sedemikian dalam oleh Haitani Rindou.

“You deserve love, Chiyo. And i’ll give you affection as much as you want.” ujar Rindou lembut.

Haitani Rindou brengsek. Jika demikian, lantas bagaimana bisa Sanzu menolak apa yang ia tawarkan. Karena sebetulnya Sanzu hanya ingin dicintai.

Sanzu lepas masker hitam yang biasa ia kenakan. Tunjukkan luka yang menghiasi kedua sudut bibirnya.

“Cantik.” Rindou berucap demikian sembari menatap penuh lembut sosok dalam pelukannya itu.

“Lo bisa cerita ke gue apapun kalau emang lo mau. Gue siap dengerin” tambah Rindou

Sanzu tersenyum hingga kedua matanya hilang membentuk garis sebagai respon dan menenggelamkan dirinya di dada bidang milik Rindou.

“Biarin gini dulu ya, Chiyo.” Ucap Rindou mengeratkan pelukannya lagi sebelum kemudian dirinya menuju alam mimpi dan bersama Sanzu.