aesthusias

Sendy tengah asyik melanjutkan series “Stranger Things”-nya di ruang tengah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.35 WIB namun matanya tidak menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Dirinya masih setia menunggu sang adik.

Pintu rumah terbuka, menampilkan orang yang sejak tadi Sendy tunggu. Tak perlu menunggu lama, Sendy menghampirinya.

Namun, langkahnya terhenti. Ia mencium aroma aneh dari tubuh Hendri. Bau alkohol.

“Bersihin diri lu, temuin gua di depan,” Ucapnya sinis. Sendy tak menyangka adiknya akan seperti ini.


Hendri menjatuhkan bokongnya pada salah satu bangku di teras, yang pasti bersebrangan dengan Sendy. Keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing. Hendri menatap kosong asbak rokok di hadapannya, sementara Sendy menatap tajam adiknya.

“Ga nyangka gua lo berani minum,” Buka Sendy tanpa basa-basi.

Hendri masih terdiam. Ekspresinya tidak dapat ditebak saat ini. “Berapa botol Hen?”

“Gimana kalo mama sampe tau?” Hendri baru mendongakkan kepalanya dan bersuara. “Jangan sampe mama tau,”

Sendy menyeringai dan mendengus. “Cupu lo, berani berbuat tapi ga berani tanggung jawab,”

“Gua ga minum,” Senyum Sendy semakin melebar mendengar pernyataan 'bohong' adiknya.

“Kalo ga minum, lo kenapa bau alkohol? Hendri, Hendri, gua ini lebih tua dari lu. Temen-temen gua hidupnya ga pernah jauh dari alkohol, jadi gua tau gimana baunya. Jangan pernah bohong ke gua,”

“Gua kerja,”

“Kerja? Lo kerja apaan di club? Wah sinting lo,” Kata Sendy makin tidak percaya pada Hendri.

“Gua kerja jadi supir pengganti bang,” Entah mengapa mata Hendri mulai berkaca-kaca. “Supir yang nganterin orang-orang mabok pulang, makanya baju gua bau alkohol terus,”

“Berangkat pagi, pulang malem, pasti mama ngadu ke lo kan? Makanya lo pulang? Kalo mama ga cerita juga lo ga balik,”

“Jaga omongan lo Hen,”

“Kalo lo mikir gua selama ini nongkrong sampe minum-minum lo salah bang. Gua kerja. Apa aja gua kerjain demi uang,” Lanjut Hendri.

“Lo seharusnya ga sesusah itu cari duit Hen. Lo dapet uang dari papa, dari gua bahkan sampe malak kaya kemaren. Lo tau sendiri lo gampang sakit, ngapain diporsir gitu,” Tersirat nada khawatir pada ucapan Sendy.

“Gua dapet kabar dari temen gua, lo kerja jadi barista lah, model lah, ini, itu, buat apa duit lo? Kita ga sesusah itu,”

“Lo yang ga sesusah itu bang,” Balas Hendri sambil tersenyum remeh.

“Lo bilang apa tadi? Dapet uang dari papa?” Hendri berdiri dan menatap Sendy yang masih duduk di hadapannya, lalu menggelengkan kepala.

“Ga pernah” Ucapan Hendri barusan mampu membuat Sendy membulatkan kedua matanya. Mana mungkin Hendri tidak pernah mendapatkan sepeser uang pun dari sang Papa?

to be continued pt. 2


“Jadi kenapa?” Tanpa basa-basi, Fathan membuka suara ketika dua gelas Americano sudah tertata rapi di hadapannya.

Sendy hanya mendecak dan beralih menyesap kopi. “Kenapa apanya?”

“Kenapa lo jadi cuek gini? Diajak nongkrong ga mau, cerita udah kaga pernah, tapi giliran dibilangin malah bilang semuanya ga ngertiin lu,”

Sendy menghela nafas berat. Apa yang diucapkan Fathan bukanlah omong kosong, tapi benar adanya. Selama sebulan lebih, Sendy menjauh dari teman-temannya. Terlebih ia sudah tinggal di kost tidak menginap di rumah Fathan.

“Lo cuek ke kita kaga papa deh, tapi ke keluarga lo Sen? Ke adek lo? Gua shock banget liat chat lo kemaren. Kaya bukan lo yang ngetik,” Sambung Fathan.

“Itu,” Kata Sendy mulai membuka suara. “Itu sebenernya yang jadi masalah,”

“Gua bilang gua sibuk kerja, itu beneran Than. Gua bagian desain dan kerja sama bareng agensi model, beneran kok. Tapi gua ga bakal se stress ini kalo Hendri ga berulah,”

“Berulah gimana maksud lo?” Tanya Fathan penasaran. Karena setahunya, Hendri dan Sendy bagaikan pinang dibelah dua, tidak ada bedanya. Menurutnya juga, Sendy tidak pernah berulah selama ini.

“Dari yang dia kecelakaan, dia minta tolong lu. Gua jujur ngerasa ga enak karena lo selalu gua repotin, ditambah lo direpotin adek gua-”

“Itu santai kali. Hendri seumuran Fendy kan? Mereka udah gua anggep adek sendiri Sen,” Potong Fathan.

“Ga cuma itu,”

“Hendri tiba-tiba sering pinjem uang ke gua. Gua sih gapapa kalo misalkan dia minta kaya biasa, tapi dia bilang minjem berarti bakal gantiin dong?” Fathan mengangguk setuju dengan pernyataan Sendy.

“Tapi ini engga. Biasanya dia minjem cuma beberapa kali, ini sampe hampir tiap hari Than. Bahkan pas gua kerja sekalipun dia minta uangnya segera. Kalo lama, bilang ga jadi tanpa alesan,”

Fathan memilih diam, membiarkan sohibnya ini melanjutkan ceritanya.

“Mama juga ngechat katanya Hendri sering pulang malem bahkan ga pulang tanpa kabar. Ditambah lo pada cerita kalo Hendri kerja macem-macem, gua makin kepikiran sebenernya adek gua tuh ngapain minta uang kalo misalnya udah kerja?” Sendy mengacak rambutnya frustasi. Saat ini isi kepalanya bercampur antara pekerjaan dengan tingkah adiknya.

“Lo ga niat pulang gitu?” Tanya Fathan setelah sekian lama terdiam.

“Ngapain? Makin males gua,”

“Mau lu males sama adek lo, di rumah itu masih ada nyokap lo Sen. Ada bokap lo juga kalo lu lupa,”

“Coba sekali-kali lu tengok. Lo gatau keadaan Hendri sebenernya karena lo ga di rumah Sen,”

Sendy langsung tancap gas begitu membaca chat terakhir dari Hendri. Hendri adalah sosok yang masa bodoh bahkan dengan amukan papanya sekalipun, sama sepertinya. Tapi, kali ini Sendy merasakan perbedaan dari Hendri.

Begitu sampai, Sendy langsung masuk ke ruang tamu dan mengecek keadaan adik dan mamanya yang duduk bersebelahan.

“Lo gapapa? Mama juga oke? Ada yang sakit ga?” Dia marah karena vas bunga pemberiannya hancur, tapi akan lebih marah lagi jika dua orang yang disayanginya terluka.

“Saya jadi bingung sama keadaan rumah ini,” Papa membuka suara seraya menatap kehadiran Sendy.

“Hanya dalam beberapa bulan saja tata krama kalian sudah hilang,”

“Papa kenapa sekarang main lempar barang sembarangan sih? Kalo mama sama Hendri luka gimana?” Tanya Sendy menegakkan punggungnya.

“Saya bingung kenapa adikmu diam saja ketika saya tanya luka di kakinya. Entah bodoh atau bisu,”

“Kamu kenapa tidak memberitahu mama? Papa yakin kamu tau Sen kalau adikmu sakit. Kamu juga tidak menjemput Hendri, gunamu sebagai abang apa?”

“Kalo gatau apa-apa diem bisa ga?” Kesabaran Sendy habis. Ia maju ingin menggapai kerah baju papanya, namun ditahan oleh Hendri.

“Hendri yang minta ga dijemput dan Hendri gamau papa sama mama khawatir karena Hendri kecelakaan. Sesimple itu. Kenapa dipermasalahin sih?” Mama terkejut mendengar pernyataan Sendy.

“Kenapa ga cerita Nak?” Tanya Mama.

“Hendri udah gede ma, ga semua hal harus Hendri ceritain. Lagian juga lukanya udah kering kok,”

“Ternyata lingkungan pertemananmu juga tidak baik ya Hendri?” Celetuk Papa setelah menyesap kopinya.

“Jangan bawa-bawa temen Hendri. Mereka lebih paham Hendri gimana daripada papa,” Jawab Hendri dingin. Ia sangat tidak suka jika seseorang mulai mencela teman-teman yang selalu berada di sisinya.

“Papa tuh kenapa sih? Kenapa semua hal di rumah ini bermasalah?” Tanya Sendy. Jujur saja dirinya sudah merasa muak. Sangat muak.

“Ya memang karena masalah ini bermula darimu,” Sendy mengangkat alisnya heran.

“Saya relakan gengsi saya, mengizinkan kamu kerja di tempat yang tidak stabil dengan harapan kamu bisa menjadi desainer ternama dan kelas atas. Tapi apa hasilnya? Seharusnya kamu ikuti saran saya untuk bekerja di kantor besar atau masuk kepolisian, agar kamu bisa menjaga sopan santun di sini,”

“Jaman saya kecil dulu, tidak ada yang seperti kalian. Ayah saya mendidik saya agar menjadi pria jantan, bekerja pekerjaan laki-laki, bukan pekerjaan perempuan. Setiap melihat keadaan di sini, rasanya saya ingin segera keluar saja-”

“Gausah,” Potong Sendy.

“Semua salah Sendy kan?” Sendy menyeringai. “Papa gausah keluar dari rumah ini, biar Sendy aja yang keluar. Biar sumber masalah kalian hilang,”

Sendy segera pergi menuju kamar. Ia memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam koper kecil yang akan ia bawa.

Entah pergi sejenak atau selamanya, yang pasti dia akan menenangkan pikirannya dahulu.

“Kamu mau ikut pergi juga ga seperti abang kesayanganmu itu?” Sindir Papa.

“Ga mikirin mamamu?” Hendri mengalihkan pandangan ke mama yang sedang menunduk seraya memegangi kepalanya.

“Hendri di sini, mau nemenin mama,”

Di balik canda tawa dan tampang datar yang ditampilkan, Hendri sebenarnya sosok yang penakut. Apalagi hal-hal mengenai mamanya.

“Bagus, kelayapan kemana kamu baru pulang jam segini?” Sendy yang menangkap suara tinggi papa lantas keluar dari kamarnya dan menuju ruang tamu.

Di sana Hendri terlihat baru masuk dengan menggendong tas ransel. Sendy tak menyangka, adiknya akan pulang malam itu juga setelah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya terluka.

“Hendri abis liburan pah, sama Bang Kris, Juan-”

“Kamu ga malu apa?” Hendri menatap papanya dengan datar.

“Kamu asik liburan haha-hihi sama temen-temen kamu yang udah kerja? Kamu dibayarin sama mereka padahal umurmu ga beda jauh. Kamu ga punya malu?” Sendy menghampiri papa berusaha melerai, tapi gerakannya ditahan oleh mama.

“Kalo papa jadi kamu, papa malu banget Hen,” Papa maju selangkah lebih dekat ke Hendri. “Udah ga dapet-dapet kerja, malah sibuk foya-foya? Kamu ada usaha ga sih selama ini?”

“Papa malu Hen denger cerita teman-teman papa di kapal. Mereka cerita anak mereka yang sudah sukses, padahal posisi pekerjaan mereka di bawah papa-”

“Papa kenapa sih tiap pulang marah-marah terus?” Potong Hendri karena telinganya sudah panas mendengar celotehan yang sama setiap papa pulang.

“Papa kalo punya masalah di kapal, selesaiin di kapal. Jangan bawa ke sini,” Hendri beranjak pergi ke kamar dengan langkah pelan, mengingat luka yang ada di kakinya belum kering sama sekali.

“Anak ga tau diuntung! Masih untung papa ga hapus namamu dari KK!”

“Kalo papa mau hapus, hapus aja,” Ucapan Hendri berhasil membuat tiga orang lainnya bergeming. “Emang sejak kapan sih Hendri dianggap anak sama papa?” Lanjutnya lalu menutup pintu kamar.

“Ini semua salah kamu!” Tunjuk papa kepada Sendy. Sendy yang ditunjuk merasa heran.

“Selama papa tinggal kalian bekerja, apa kamu ga ajarin sopan santun ke adikmu hah?”

“Iya, emangnya kenapa?” Sendy maju dengan kepalan di tangannya, namun lagi-lagi mama hanya bisa menahan anak sulungnya tersebut.

“Kalo pun Sendy ngajarin Hendri sopan santun, papa nunjukin sifat sopan itu gak di sini? Engga kan? Kalo engga, kenapa nuntut ini itu?” Mata Sendy berapi-api. Jika ia tidak mengingat siapa orang di depannya, pasti tinjuan sudah melayang sejak tadi.

“Sudah, Nak. Dengerin papamu ya,” Sendy mendengus mendengar pernyataan mama.

“Lain kali bilangin suaminya mah, biar jangan rese kalo pulang,” Sendy kembali ke kamar dengan amarah yang masih memuncak.

“Bagus, kelayapan kemana kamu baru pulang jam segini?” Sendy yang menangkap suara tinggi papa lantas keluar dari kamarnya dan menuju ruang tamu.

Di sana Hendri terlihat baru masuk dengan menggendong tas ransel. Sendy tak menyangka, adiknya akan pulang malam itu juga setelah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya terluka.

“Hendri abis liburan pah, sama Bang Kris, Juan-”

“Kamu ga malu apa?” Hendri menatap papanya dengan datar.

“Kamu asik liburan haha-hihi sama temen-temen kamu yang udah kerja? Kamu dibayarin sama mereka padahal umurmu ga beda jauh. Kamu ga punya malu?” Sendy menghampiri papa berusaha melerai, tapi gerakannya ditahan oleh mama.

“Kalo papa jadi kamu, papa malu banget Hen,” Papa maju selangkah lebih dekat ke Hendri. “Udah ga dapet-dapet kerja, malah sibuk foya-foya? Kamu ada usaha ga sih selama ini?”

“Papa malu Hen denger cerita teman-teman papa di kapal. Mereka cerita anak mereka yang sudah sukses, padahal posisi pekerjaan mereka di bawah papa-”

“Papa kenapa sih tiap pulang marah-marah terus?” Potong Hendri karena telinganya sudah panas mendengar celotehan yang sama setiap papa pulang.

“Papa kalo punya masalah di kapal, selesaiin di kapal. Jangan bawa ke sini,” Hendri beranjak pergi ke kamar dengan langkah pelan, mengingat luka yang ada di kakinya belum kering sama sekali.

“Anak ga tau diuntung! Masih untung papa ga hapus namamu dari KK!”

“Kalo papa mau hapus, hapus aja,” Ucapan Hendri berhasil membuat tiga orang lainnya bergeming. “Emang sejak kapan sih Hendri dianggap anak sama papa?” Lanjutnya lalu menutup pintu kamar.

“Ini semua salah kamu!” Tunjuk papa kepada Sendy. Sendy yang ditunjuk merasa heran.

“Selama papa tinggal kalian bekerja, apa kamu ga ajarin sopan santun ke adikmu hah?”

“Iya, emangnya kenapa?” Sendy maju dengan kepalan di tangannya, namun lagi-lagi mama hanya bisa menahan anak sulungnya tersebut.

“Kalo pun Sendy ngajarin Hendri sopan santun, papa nunjukin sifat sopan itu gak di sini? Engga kan? Kalo engga, kenapa nuntut ini itu?” Mata Sendy berapi-api. Jika ia tidak mengingat siapa orang di depannya, pasti tinjuan sudah melayang sejak tadi.

“Sudah, Nak. Dengerin papamu ya,” Sendy mendengus mendengar pernyataan mama.

“Lain kali bilangin suaminya mah, biar jangan rese kalo pulang,” Sendy kembali ke kamar dengan amarah yang masih memuncak.

“Bagus, kelayapan kemana kamu baru pulang jam segini?” Sendy yang menangkap suara tinggi papa lantas keluar dari kamarnya dan menuju ruang tamu.

Di sana Hendri terlihat baru masuk dengan menggendong tas ransel. Sendy tak menyangka, adiknya akan pulang malam itu juga setelah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya terluka.

“Hendri abis liburan pah, sama Bang Kris, Juan-”

“Kamu ga malu apa?” Hendri menatap papanya dengan datar.

“Kamu asik liburan haha-hihi sama temen-temen kamu yang udah kerja? Kamu dibayarin sama mereka padahal umurmu ga beda jauh. Kamu ga punya malu?” Sendy menghampiri papa berusaha melerai, tapi gerakannya ditahan oleh mama.

“Kalo papa jadi kamu, papa malu banget Hen,” Papa maju selangkah lebih dekat ke Hendri. “Udah ga dapet-dapet kerja, malah sibuk foya-foya? Kamu ada usaha ga sih selama ini?”

“Papa malu Hen denger cerita teman-teman papa di kapal. Mereka cerita anak mereka yang sudah sukses, padahal posisi pekerjaan mereka di bawah papa-”

“Papa kenapa sih tiap pulang marah-marah terus?” Potong Hendri karena telinganya sudah panas mendengar celotehan yang sama setiap papa pulang.

“Papa kalo punya masalah di kapal, selesaiin di kapal. Jangan bawa ke sini,” Hendri beranjak pergi ke kamar dengan langkah pelan, mengingat luka yang ada di kakinya belum kering sama sekali.

“Anak ga tau diuntung! Masih untung papa ga hapus namamu dari KK!”

“Kalo papa mau hapus, hapus aja,” Ucapan Hendri berhasil membuat tiga orang lainnya bergeming. “Emang sejak kapan sih Hendri dianggap anak sama papa?” Lanjutnya lalu menutup pintu kamar.

“Ini semua salah kamu!” Tunjuk papan kepada Sendy. Sendy yang ditunjuk merasa heran.

“Selama papa tinggal kalian bekerja, apa kamu ga ajarin sopan santun ke adikmu hah?”

“Iya, emangnya kenapa?” Sendy maju dengan kepalan di tangannya, namun lagi-lagi mama hanya bisa menahan anak sulungnya tersebut.

“Kalo pun Sendy ngajarin Hendri sopan santun, papa nunjukin sifat sopan itu gak di sini? Engga kan? Kalo engga, kenapa nuntut ini itu?” Mata Sendy berapi-api, jika ia tidak mengingat siapa orang di depannya, pasti tinjuan sudah melayang sejak tadi.

“Sudah, Nak. Dengerin papamu ya,” Sendy mendengus mendengar pernyataan mama.

“Lain kali bilangin suaminya mah, biar jangan rese kalo pulang,” Sendy kembali ke kamar dengan amarah yang masih memuncak.

“Bagus, kelayapan kemana kamu baru pulang jam segini?” Sendy yang menangkap suara tinggi papa lantas keluar dari kamarnya dan menuju ruang tamu.

Di sana Hendri terlihat baru masuk dengan menggendong tas ransel. Sendy tak menyangka, adiknya akan pulang malam itu juga setelah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya terluka.

“Hendri abis liburan pah, sama Bang Kris, Juan-”

“Kamu ga malu apa?” Hendri menatap papanya dengan datar.

“Kamu asik liburan haha-hihi sama temen-temen kamu yang udah kerja? Kamu dibayarin sama mereka padahal umurmu ga beda jauh. Kamu ga punya malu?” Sendy menghampiri papa berusaha melerai, tapi gerakannya ditahan oleh mama.

“Kalo papa jadi kamu, papa malu banget Hen,” Papa maju selangkah lebih dekat ke Hendri. “Udah ga dapet-dapet kerja, malah sibuk foya-foya? Kamu ada usaha ga sih selama ini?”

“Papa malu Hen denger cerita teman-teman papa di kapal. Mereka cerita anak mereka yang sudah sukses, padahal posisi pekerjaan mereka di bawah papa-”

“Papan kenapa sih tiap pulang marah-marah terus?” Potong Hendri karena telinganya sudah panas mendengar celotehan yang sama setiap papa pulang.

“Papa kalo punya masalah di kapal, selesaiin di kapal. Jangan bawa ke sini,” Hendri beranjak pergi ke kamar dengan langkah pelan, mengingat luka yang ada di kakinya belum kering sama sekali.

“Anak ga tau diuntung! Masih untung papa ga hapus namamu dari KK!”

“Kalo papa mau hapus, hapus aja,” Ucapan Hendri berhasil membuat tiga orang lainnya bergeming. “Emang sejak kapan sih Hendri dianggap anak sama papa?” Lanjutnya lalu menutup pintu kamar.

“Ini semua salah kamu!” Tunjuk papan kepada Sendy. Sendy yang ditunjuk merasa heran.

“Selama papa tinggal kalian bekerja, apa kamu ga ajarin sopan santun ke adikmu hah?”

“Iya, emangnya kenapa?” Sendy maju dengan kepalan di tangannya, namun lagi-lagi mama hanya bisa menahan anak sulungnya tersebut.

“Kalo pun Sendy ngajarin Hendri sopan santun, papa nunjukin sifat sopan itu gak di sini? Engga kan? Kalo engga, kenapa nuntut ini itu?” Mata Sendy berapi-api, jika ia tidak mengingat siapa orang di depannya, pasti tinjuan sudah melayang sejak tadi.

“Sudah, Nak. Dengerin papamu ya,” Sendy mendengus mendengar pernyataan mama.

“Lain kali bilangin suaminya mah, biar jangan rese kalo pulang,” Sendy kembali ke kamar dengan amarah yang masih memuncak.

Sendy bergegas lari masuk ke rumahnya setelah memberikan beberapa lembar uang pada pengendara ojek online. Tepat saat ia membuka pintu, tatapan mata sang papa menyambutnya dari ruang tamu.

“Dari mana aja kamu?” Tanya papa dengan nada datar.

“Aku lembur pah, abis ada kegiatan kemarin,” Sendy menghampiri papa, hendak mencium tangannya.

“Lemburnya baru tadi 'kan? Kemarin papa denger kamu party?” Sendy lantas mengurungkan niatnya.

“Gaya banget kamu, belum jadi manager udah berani party-party ga jelas gitu,” Cibir Papa sambil memainkan handphonenya. Tanpa diketahui, Sendy sudah menggertakan gigi saking kesalnya.

“Tapi untungnya kamu udah kerja, punya penghasilan sendiri. Ga kaya adikmu tuh, nganggur doang. Nyusahin aja bisanya. Sekarang, mana dia? Kelayapan?”

“Papah apaan sih-”

“Huss, suruh adekmu pulang. Kalo sampe malam ini ga ada papah lihat batang hidungnya, papah usir dia,” Papa beranjak dari posisinya menuju kamar.

Mama menghampiri Sendy dan mengusap lengan anak sulungnya tersebut. “Coba kamu telpon adikmu, suruh pulang,”

“Hendri lagi liburan mah, biarin dia sekali-kali jalan sama temennya,” Sendy pergi meninggalkan mama. “Lain kali bilangin suami mamah juga buat jaga ucapan, Sendy sakit hati,”

Malam telah tiba. Setelah asyik mendaki gunung dan bercanda gurau, Hendri, Kris, Juan, dan Yahya duduk melingkar pada sebuah api unggun.

“Ya, gimana kuliah? Aman ga lo?” Tanya Kris sebagai kakak tertua.

“Aman bang, tinggal ngurus tugas akhir aja,” Jawab Yahya dan mendapat tepukan bahu dari Juan.

“Lo kalo bingung tanya ke Kris aja, Ya. Gitu-gitu dia cumlaude,” Ucapnya lalu terkekeh.

“Oh iya, Hendri lolos di kafe lu ga bang?” Pertanyaan Yahya sebenarnya agak sensitif untuk Hendri, tapi rasa penasarannya terlalu besar untuk memikirkan hal tersebut.

“Kaga, gua kaga lolos,” Hendri menghela nafasnya. “Gua bingung mau daftar kerja ke mana lagi. Setiap daftar ketolak terus, gua 'kan ga mau repotin abang gua,” Sambungnya sambil menatap kosong api unggun.

“Abang lo belom tau ya kalo lo ga lolos wawancara?” Pertanyaan Juan mendapat gelengan dari Hendri.

“Bang Sendy sebaik itu kok menurut gua, dia ga bakal merasa direpotin apalagi sama adeknya sendiri,” Kata Yahya berusaha menenangkan pikiran Hendri yang kalut.

“Gua kerja apa ya? Kalo kalian ada butuh tenaga atau jasa, bilang gua ya. Gua bantu kok,” Hendri menatap keempat temannya dengan pandangan putus asa.

Dirinya bingung. Tidak, bukan bingung. Melainkan takut. Takut jika ayahnya terus menekan dirinya untuk bekerja dengan “layak” dan berakhir dirinya terbaring lagi di ranjang keras rumah sakit.

“Pasti kok Hen. Nanti pulang dari sini lo bantu gua jaga toko ya. Tapi di sini kita happy happy dulu, ok?” Ujar Kris sambil mengangkat sekaleng cola miliknya yang kemudian disambut hangat oleh Juan, Yahya, dan juga Hendri.

“Nih kopi lo, nanti duitnya gua ganti ya di rumah,” Kata Hendri yang baru aja balik dari kasir buat ngambil dua cangkir kopi.

“Ck, gua baru gajian nih sob. Kaga papa kaga usah ganti,” Decak Sendy lalu menyesap kopi panas miliknya. “By the way, mau curhat apa?”.

“Lo kenal Juan?” Sendy menggelengkan kepala. “Juan temen gua yang kerja di cafe, waktu itu dia bilang ada tawaran kerja jadi pelayan sama barista-”

“Terus lo ke pilih ga?” Tanya Sendy exited.

“Tar dulu nyong belom kelar nih cerita. Belom dipanggil wawancara, kemungkinan minggu depan,” Sendy menganggukkan kepala begitu mendengar jawaban Hendri.

“Itu bagus Hen, lo mau berusaha walaupun dari hal kecil. Gua doain lu lolos ya,” Sendy meminum kembali kopinya.

“Nah itu dia, kalo keterima apa mama sama papa bakal happy? Lo tau sendiri mereka ekspetasi gua kerja gimana,” Hendri menghela nafas berat.

Sendy nepuk bahu Hendri sambil berkata, “Santai brodi, gua bakal bantu ngomong sampe lo bakal diijinin kerja apapun oke? Gua ini abang lu kalo lu lupa,”

Thank you bang,”

“Yo’ai”