aesthusias

Keesokan paginya, Hendri dan Sendy sudah duduk manis di ruang makan, sementara mama baru aja kembali dari dapur sambil membawa dua piring berisikan nasi goreng. Di sela-sela kegiatan, mama mulai bersuara, “Semalam ternyata papa nelpon, kalian di chat ya?”

Hendri dan Sendy hanya saling bertukar pandang. “Iya ma,” Jawab Hendri singkat yang sebenarnya dia berharap mamanya tidak mengetahui apa yang papanya ucapkan padanya.

“Kamu ga coba daftar kerja lagi Hen?” Tapi dewi fortuna belum berpihak ke Hendri. Hendri meneguk segelas air lalu beranjak ke dapur sambil membawa piring nasi gorengnya.

“Hendri mau main seharian sama Bang Kris dan yang lain. Jangan nelpon,” Katanya sambil memindahkan nasi goreng tadi ke tempat makan dan masuk ke kamar.

“Mau sampai kapan sih mah bahas kerjaan terus ke Hendri?” Sendy mulai angkat bicara. “Sendy tau seberapa susahnya cari kerja sekarang, apalagi kerja kantoran yang terpandang,” Sendy melirik mama sebentar.

“Sendy juga masih bisa nambahin duit jajan Hendri kok,”

“Tapi nanti kamu direpotin Sen-”

“Lebih ngerepotin kalo Hendri sakit lagi karena berusaha menuhin ekspetasi papa. Emang pas Hendri sakit karena sibuk cari kerjaan yang “pantas” menurut papa, papa dateng buat jenguk atau rawat Hendri? Engga mah,” Sendy meneguk segelas air dan menghela nafas. “Sendy berangkat kerja dulu. Kali ini biarin Hendri main sampe malem,”

“Ayo woi ngumpul” ajak Riyan yang sudah membawa botol beer kosong dari dapur. Sesuai rencana, mereka berlima akan bermain truth or dare sampai pagi. Atau setidaknya menghabiskan malam dan lanjut mengobrol sampai pagi.

“Bang Derrel sama Koh Wildan mana?” Tanya Hayden yang baru saja menjatuhkan bokongnya pada sofa ruang tengah.

“Abis masak,” Balas Wildan dari luar sambil membawa sepiring daging BBQ yang baru saja diangkat, terbukti dari asap yang mengebul di atasnya.

“Masak apaan bang lu cuma maen hp,” Sela Derrel tak terima karena dialah yang memasak daging itu sejak tadi. “Maen hp nyengir-nyengir dia, gua ngeri dah hahaha,” Goda Derrel.

“Lo aman kan?” Tanya Teja pada Wildan dan Wildan hanya menunjukkan senyuman manisnya.

Mereka duduk melingkari botol beer yang sudah ditidurkan. Orang yang berhak memberikan pertanyaan adalah orang yang memutar botol pertama kali atau setelah dirinya berhasil menjawab/melakukan tantangan. Permainan pun dimulai. Satu persatu mereka mulai menjawab pertanyaan atau melakukan tantangan.

“Derrel!!” Jerit semuanya kegirangan. Karena sedari tadi Derrel tidak mendapat giliran ToD tapi terus-terusan menjadi kompor.

“Truth!” Kata Derrel.

“Tanyain bang Wil,” Ucap Riyan dan Wildan memikirkan pertanyaan apa yang akan dilontarkan.

“Mau nembak Luna kapan?” Semua mata kini tertuju pada Wildan. Mereka merasa bingung dengan sikap Wildan yang tidak biasa ini. Selama beberapa menit terdiam, Wildan melanjutkan ucapannya.

“Cepetan sih saran gua, keburu direbut,” Lanjutnya seraya tersenyum penuh arti.

“Kata gua yang ini,” “Ga ah, warnanya mencolok banget, coba pake ini,” “Norak banyak payetnya, kalo ini gimana?” “Ah elu gimana sih rel, Hayden mau wisuda bukan rayain ulang tahun ke lima,” “Apaan sih bang-”

“Kalian udah belum debatnya?” Tanya Luna memecah pertengkaran mereka berdua. Sesaat setelah menginjakkan kaki di butik pakaian formal ini, Derrel dan Teja mulai mengambil berbagai macam dress dan berdebat.

Luna beralih mengambil beberapa setel dress dari genggaman Teja dan Derrel. “Aku cobain semua deh, nanti aku pilih yang mana yang aku suka ya?”

Teja dan Derrel mengangguk dan menunggu di depan kamar ganti. Memang dasarnya wanita, pasti memakan waktu dalam berganti baju sekali pun.

“Lo ngapain ikut?” Tanya Derrel kepada Teja.

“Lah elo yang ngapain? Kan gua yang ngajak Luna jalan,” Balas Teja tak terima.

“Gua juga ngajak Luna beli baju. Lu ngapain ngajak Luna jalan?”

Teja menatap Derrel dengan tatapan heran lalu tertawa meremehkan. “Segitu posesifnya lu sama dia? Pacar aja bukan,”

“Otw,” Ucapan yang keluar dari mulut Derrel tak terduga oleh Teja. Ternyata sebegitu 'ambis' nya Derrel dalam memenangkan hati Luna.

“Kalo gua nikung lu gimana?” Rahang Derrel mengeras. Tangannya yang mengepal siap ia lemparkan ke pipi Teja hingga..

“Aku suka yang ini, cocok ga?” Luna keluar menggunakan dress dengan lengan agak tembus pandang.

“Ganti, tangan lo kemana-mana nanti masuk angin,” Jawaban Derrel melunturkan senyuman Luna.

“Cocok kok, itu aja Lun. Atau mau nambah lagi?” Gantian Teja yang berbicara sekarang.

Luna menggeleng. “Ini aja, kalo kebanyakan yang ada aku bingung,”

“Yaudah ganti bajunya ya, gua tunggu di kasir,” Luna pun masuk lagi ke kamar ganti.

Derrel menatap Teja tajam sekarang. Teja hanya tersenyum lalu mendekat pada Derrel.

“Rel, lo terlalu percaya diri deketin Luna. Sampe bisa-bisanya lo mikir lo doang yang suka sama dia? Hahaha lucu juga,” Kekeh Teja.

“Maksud lo apa bang?”

“Yang suka sama Luna bukan lo doang. Tapi ada gua

dan satu orang lagi,”

Pip! Pip!

Pintu apartemen terbuka setelahnya, menampilkan Derrel dengan berbagai barang bawaannya. Luna yang sedang menyisiri rambut Louis di ruang tengah langsung hadir untuk membantu.

“Sini kak, aku bantuin,” Ucapnya sambil mengambil beberapa paper bag.

“Eh? Iya thank you,” Derrel juga mulai membawa kopernya ke dalam. Dia segera merebahkan diri di ruang tengah yang kemudian dihampiri oleh Bella.

“Duh Bel, gua kangen banget sama lo,”

“Kak mau makan ga? Tadi aku masak terus tinggal dipanasin,” Tawar Luna.

“Emang bisa masak?” Goda Derrel sambil terkekeh.

“Ck, bisa laaah!”

Derrel tertawa lalu menegakkan tubuhnya. “Boleh deh, masak apaan emangnya?”

“Sup ayam hehe,” Luna lantas menyalakan kompornya dan mulai menyiapkan meja makan.

Kini Derrel beralih ke meja makan. Dia hanya menatap Luna tanpa niatan membantu.

“Yang lain kemana?”

“Hari ini sibuk semua. Tadi ada Riyan sama Kak Wildan, cuma Riyan akhirnya nongkrong terus Kak Wildan mau dinner sama keluarganya,”

Derrel hanya ber-oh ria mendengar penjelasan Luna. Teringat akan sesuatu, Derrel kembali ke ruang tengah. Sementara Luna sudah selesai menata meja makan.

“Nih, oleh-oleh buat lo,” Derrel menyerahkan paper bag berukuran besar khusus untuk Luna.

“Gede banget? Aku kan pesen makanan doang,” Luna mengintip ke dalam paper bag.

Tangannya meraih beberapa barang di dalam lalu mengeluarkannya. Beberapa buku dan alat tulis ditemani beberapa snack kecil adalah isi dari paper bag yang diberikan Derrel.

Belum sempat berucap, Derrel mendahului. “Gua sengaja beli ini supaya lo semangat belajar Lun. Urusan beasiswa gua udah kontak temen gua. Nanti kalo butuh bantuan belajar bisa tanya kita-kita aja,”

Luna tak bisa berucap. Matanya menatap beberapa buku yang ada di hadapannya kini lalu beralih menatap Derrel yang tengah tersenyum.

Tiba-tiba saja Luna memeluk Derrel. Wajahnya ia sembunyikan di tubuh Derrel. Yang dipeluk hanya bisa terdiam bingung, terkejut, dan agak salah tingkah.

“Makasih ya, kalian semua baik banget sama aku. Padahal aku cuma pet sitter disini,” Suara Luna bergetar.

Derrel mengusap rambut Luna seraya berkata, “Lo tuh bukan cuma pet sitter, lo lebih dari itu Lun,”

Entah apa yang dipikirkan Derrel, tiba-tiba saja dia mengecup kepala Luna. Luna terkejut lantas menatap Derrel yang lebih tinggi darinya. Derrel masih tersenyum, otaknya masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Sampai senyumannya luntur dan matanya membulat.

“Wihhh ada yang baru balik nih!” Teriakan Riyan dari ruang tamu membuat Luna dan Derrel melepaskan pelukannya.

“W- woi iya nih, gua bawa oleh-oleh,” Derrel menghampiri Riyan di ruang tengah dan mereka saling bercengkrama.

Levin yang kembali bersama Riyan pergi ke dapur untuk minum. Dia menatap Luna yang tengah mematung.

“Lun? Lo ga kesurupan kan?”

“Eh? Eh engga kak,” Luna lalu melangkahkan kakinya ke kamar sementara Levin merasa masa bodoh dengan sikap Luna yang bisa di bilang agak aneh.

“Nih, cobain yang varian ini. Leon Louis belom pernah soalnya,” Teja kembali dengan satu kantung makanan kucing berwarna pink.

“Ini buat apa bang?” Tanya Levin.

“Biar bulunya ga rontok. Louis lagi rontok bulunya,” Teja menatap Monika dan Nia yang baru datang.

“Eh temennya Luna ya? Mau minum apaan biar sekalian gua pesenin?” Tawarnya.

“Eh kayanya kita aja kak yang pesen sekalian mau liat-liat dulu. Ayok Ni,” Ajak Monika yang sudah bangkit dari duduknya.

Monika dan Nia memesan minuman dan sebuah kue kecil untuk dilahap saat mengobrol nanti.

“Eh lo pada udah bayar ya?” Tanya Levin kepada keduanya saat sudah kembali.

“Iyaa... kenapa?” Tanya Nia bingung.

“Yah aturan ga usah, kan hari ini Bangkur mau traktir,” Goda Levin sambil menatap Kurnia. Yang ditatap terkejut tentunya.

“Nanti kalo mau nambah ambil aja, gua yang bayar,” Ucap Kurnia dan disambut gembira oleh semuanya.

Mereka berbincang ringan. Mulai dari berkenalan hingga karir masing-masing.

“Wih pasti jadi sih. Bangkur ada penerusnya nih, kasih wejangan coba,” Kata Teja setelah mendengar kisah Monika yang akan menjadi Ketua BEM.

“Oh iya kak Kurnia dulu ketua BEM juga ya,” Sambung Nia yang baru teringat akan hal tersebut.

“Ya intinya bertanggung jawab aja sih, terus lebih sabar, rangkul semua anggota lu supaya mereka ga ngerasa dijauhin,” Jawab Kurnia dengan santai.

“Keren banget nih abang-abang satu,” Kata Levin lalu tertawa.

Nia menyenggol bahu Luna. Luna menengok dan Nia membisikkannya sesuatu.

“Mumpung waktunya tepat,” bisik Nia. Luna mengangguk menyetujui sarannya.

“Hmmm, btw...”


“Hmmm, btw...” Semua mata kini tertuju pada Luna.

“Kenapa Lun?” Teja bersuara.

“Waktu itu kak Kurnia nawarin aku buat kuliah...

... aku terima tawarannya kak,”

Kurnia yang sedang minum kopi tersedak mendengar pernyataan tak terduga dari Luna. Padahal ia sudah siap jika Luna menolak tawarannya. Levin menepuk-nepuk bahu Kurnia sampai dia tenang.

“Beneran?? Gua ga maksa lho, kalo lu ga mau ya ga papa,”

“Beneran kok kak, dia udah pernah curhat ke kita,” Balas Monika.

“Lu mau ambil jurusan apa?” Tanya Teja.

“Sastra mungkin?”

“Sastra Cina? Nanti belajar sama si Kowil,” Tebak Levin namun Luna menggelengkan kepalanya.

“Sastra Korea. Aku mau jadi translator,”

Kurnia, Luna, Hayden, dan Hafiz kini tengah duduk di suatu restoran tak jauh dari kantor Kurnia berada. Mereka memesan masing-masing makanan yang diinginkan dan mulai obrolan ringan.

“Apis mah ga ada keturunan Sundanya,” Kata Hayden di tengah obrolan.

“Sotoy,”

“Emang iya pis?” Tanya Luna.

“Ada atuh. Nenek Apis dulu blasteran Sunda,”

“Bokap nyokap lo?” Saut Hayden.

“Jakarta sih, tapi Apis dulu tinggal sama nenek di Bandung jadi keseringan ada logat Sunda nya,” Jelas Hafiz singkat.

“Oh iya kak, katanya mau ngomongin sesuatu. Ngomong apa?” Pandangan Luna kini beralih ke Kurnia.

“Nanti itu abis makan aja, sekarang makan dulu,” Jawabnya setelah seroang pelayan datang dengan dua nampan berisikan makanan.


Tidak lama kemudian, piring yang tadinya terisi oleh makanan yang ditata rapih dan cantik, kini hanya tinggal sisa dengan noda-noda bekas makanan. Hafiz, Hayden, dan Luna asik menyantap es krim sementara Kurnia menghabiskan cola miliknya.

“Ayo ngomong bang, keburu sore nanti keburu lupa,” Kata Hayden membuka obrolan.

“Oke,” Kurnia menegakkan tubuhnya dan berdehem, membuat fokus ketiga pemuda lainnya tertuju pada Kurnia.

“Jadi Lun, waktu malem-malem lu ke kamar gua sebelum nginep, lu kan nunjukkin chat ke gua dan sorry gua ga sengaja ngeliat isi chat lo sm Jordan yang atasnya,”

Luna menghela nafas, tahu arah pembicaraan ini.

“Maksud gua ngajak makan sekalian ngomong tuh ngomongin ini. Hmm.. lo mau kuliah ga tahun depan? Gua bisa bantu lo belajar Lun,” Tanya Kurnia berhati-hati.

“Iya Lun, lo bisa minta bantuan Bang Kur atau kita bisa kok biayain lo buat bimbel,” Tambah Hayden.

“Betul Lun, Apis di ajarin Aa' Kurnia teh Alhamdulillah lolos SBM pilihan pertama hehe,” Sambung Hafiz sambil cengengesan.

“Kalo Kak Hayden kan jurusan Komputer, kamu apa pis?” Tanya Kurnia ke Hafiz.

“Apis jurusan Kesejahteraan Sosial Lun. Padahal apis gapyear 2 tahun alias ga belajar kaya saingan Apis yang lain,” Jawab Hafiz dan Luna hanya ber-oh ria.

“Gua ga maksa kok Lun, kalo lo emang mau lanjut kerja it's okay. Cuma kalo lo kuliah di jurusan yang lo mau, mimpi lo bisa kegapai,” Kurnia kembali menegak cola nya.

“Kalo aku bilang ke kakak aku mau jadi dokter hewan, bisa?” Pertanyaan Luna barusan membuat yang lainnya terbelalak, apakah ini tandanya Luna setuju?

Tanpa memakan waktu yang lama, akhirnya mereka sampai di rumah sakit Kwangya. Teja memarkirkan mobilnya dan segera turun bersama Luna.

“Jor, lo dimana?” Tanya Luna pada Jordan yang ada diseberang telepon.

“Oke cepet ya gua di lobi,”

Tak lama kemudian, Jordan menunjukkan batang hidungnya. Teja dan Jordan saling melempar senyum sebagai sapaan.

“Ayo kak ikut, temennya ajak aja sekalian,” Jordan memimpin jalan. Luna dan Teja pun mengekorinya.

Mereka kini tiba di lantai tiga. Lantai dimana ayahnya Luna di rawat. Di depan sebuah ruangan bernama Dandelion, terlihat seorang wanita dewasa sedang duduk sambil memegangi kepalanya.

“Ibu,” Panggil Luna dan benar itu adalah ibu dari Luna dan Jordan, Ibu Jesika. Matanya terlihat sembab seperti habis menangis selama berjam-jam. Melihat kondisi itu, Luna langsung memeluk ibunya erat.

“Luna, kamu pulang juga Nak. Maaf ibu ga kasih kabar kamu tentang hal ini,” Tangis Jesika pecah lagi melihat putrinya yang menunjukkan ekspresi khawatir.

“Sekarang keadaan ayah gimana bu?” Luna menatap ibunya. Jesika menatap kearah jendela ruangan dihadapan mereka kini.

“Ayah belum siuman,”

Mata Jesika kini beralih menatap Teja yang sedari tadi diam di belakang. Jesika menghampirinya dan menggenggam tangan Teja. Jesika mengucapkan terima kasih padanya karena sudah mau mengantarkan Luna jauh-jauh dari kota.


Waktu berlalu. Langit sudah mengubah warnanya menjadi orange. Jam di dinding menunjukkan pukul 5 sore. Jordan menghampiri Teja yang sedang menikmati angin sepoi-sepoi di balkon.

“Bang,” Panggil Jordan. Teja pun menengok dan menepuk bahu Jordan.

“Bokap lo masih gimana?”

Jordan menggeleng menandakan ayahnya belum sadar juga.

“Lu pulang aja ke rumah sama kakak gua, nginep sekalian aja. Udah mau malem biasanya bahaya, jalanan banyak truk gede,” Saran Jordan.

“Eh? Ga usah kaga papa, gua pulang abis anterin Luna ke rumah,”

“Nginep aja bang, nanti tidur di kamar gua. Gua mau tanya-tanya ke lo soal laki-laki. Kalo nanya ke Ka Luna gua malu,”

Teja mengangguk paham. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun, Jordan pasti banyak ingin tahu apalagi mengenai pubertas.

“Yaudah gua nginep. Lo pulang kapan? Mau sekalian ga sama kakak lo?”

“Bentar lagi aja, nemenin ibu ngurus administrasi lanjutan,”

“Oke, gua pulang duluan ya sama Luna,”

“Yoi, hati-hati bang,”

“Berarti ada kesempatan buat deketin lu dong?”

Luna mengalihkan pandangannya ke Derrel yang sepertinya salah tingkah.

“Bukan gua enak aja! Maksudnya kalo ada cowo gitu mau deketin lu- lu kan terkenal nih, nah kalo ada yang mau deketin lu gapapa?” Jelas Derrel yang sebenarnya ngeles.

“Hmm, gapapa sih. Asalkan dia baik ga nyakitin aku atau orang yang aku sayang,” Jawab Luna setelah berpikir.

“Oh iya kak,” Panggilan Luna membuat Derrel menatapnya. Namun tak lama dia membuang muka.

“Besok hari terakhir di Bali kan? Ada agenda kemana ga?”

Derrel menggeleng. “Kenapa?”

“Temenin aku belanja ya? Oleh-oleh buat temen,”

“Kenapa harus gua? Kan banyak yang laen,” Mungkin terkesan nyolot, tapi sebenarnya Derrel ingin tahu kenapa Luna memilihnya untuk menemani belanja.

“Aku mau beliin makanan buat temen aku. Kakak kan suka masak tuh, pasti tau makanan khas yang enak, yayaya? Mau ga?”

“Iya iya, besok gua samper,”

Wildan baru turun dari mobil sembari merapihkan bajunya. Dia melihat Luna bersusah payah membawa pet cargo lantas berkata, “Sini Louis gua aja yang bawa,”

Luna memberikan pet cargo itu ke Wildan karena jujur saja ukuran yang besar ditambah terdapat Louis yang memiliki berat badan kurang lebih 4kg membuat lengannya sakit.

“Lun, jadi?” Tanya Hayden ikut berdiri di samping Luna.

“Eh? Jadi kok kak. Cuma nanti aku cek dulu ada perlu bersih-bersih atau ga hehehe,”

“Ngapain lu berdua? Pacaran ya?” Celetuk Wildan sambil terkekeh.

“Enak aja, gua mau ngajakin Luna main game. Katanya dia suka ngegame juga,” Jawab Hayden.

“Wih keren juga lu Lun. Kok lu ga pernah ngajak gua ngegame den?”

“Yah, gua mau ajakin lu jaga toko papi. Giliran lu free gua nya bimbingan,”

“Eh kak Hayden ga bimbingan?” Tanya Luna sambil menekan tombol lift menuju lantai 7.

“Engga, cuma sebentar lagi kelar kayanya. Udah mau bab terakhir, semangatin gua dong,” Pinta Hayden yang sebenarnya bercanda.

“Semangat!” Balas Wildan dan Luna bersamaan.

“Derrel ya?” Tegur Hayden saat Luna terpaku pada layar handphonenya.

“Derrel emang iseng Lun. Suka reply ini itu, ga cuma di sosmed. In real life juga begitu dia,” Hayden memberikan sepotong sosis yang sudah siap santap ke Luna. Luna mau tak mau menerimanya.

“Tapi aku takut kalo fansnya ka Derrel ngamuk gimana?”

Hayden terkekeh. “Fans Derrel banyak yang jadi suscriber gua juga. Kalo yang udah dewasa mah, mereka santai aja. Yang sering ngamuk tuh yang bocil-bocil SD,”

“Ooh. Eh, ka Hayden tuh nge YouTube apa sih? Sama kaya ka Derrel ya?”

Hayden menggeleng. “Kalo Derrel dia banyakan daily life kaya masak, vlog, qna. Gua game. Lo suka maen game gak Lun?”

“Sukaa! Tapi ga jago,” Jawab Luna exited.

“Nanti pulang vaksin Louis mabar mau? Gua gendong,”

Melihat reaksi Luna yang kurang paham, Hayden segera mengkoreksi. “Maksudnya gua backing. Sorry kalo bahasa game gua keluar hehehe,”