aesthusias

“Ayo,” Ajak Kurnia sambil menaruh kartu ke dalam dompetnya.

“Loh kita ga nungguin kak?” Kurnia menggeleng.

“Leon udah gua titipin. Kan kita mau ke kantor gua dulu ambil barang. Oh iya sama sekalian ke tempat makan yuk? Gua nemu tempat bagus kemarin,”

Luna mengangguk. Dia pun mengekori Kurnia menuju mobilnya. Setelah memanaskan mobil sebentar, Kurnia mulai mengendarai mobilnya yang berwarna hitam itu menuju kantor tempat dia bekerja.

“Lo mau ikut turun?” Tanya Kurnia begitu mereka sampai.

“Boleh kak?”

Kurnia gemas dengan Luna lantas mengacak rambutnya perlahan. “Boleh lah, kenapa kaga? Ayo,”

Kurnia memimpin jalan memasuki gedung agensi musik ternama itu. Yup, pekerjaan Kurnia adalah menjadi salah satu produser musik di sana. Maka dari itu tak jarang Kurnia sampai menginap karena sibuk membuat lagu.

Mereka tiba di lantai 5. Lantai dimana ruangan Kurnia berada. Setelah menekan beberapa angka yang diyakini sebagai password, Kurnia mulai masuk ke ruangannya. Luna merasa kagum dengan ruangan Kurnia. Rapih dengan nuansa hitam putih dan tak lupa terdapat beberapa ornamen karakter kartun yang sayangnya Luna tak tau namanya, namun dia yakin harganya pasti jutaan rupiah.

Kurnia membuka loker yang ada di bawah mejanya. Dia tersenyum menatap paper bag yang ada di sana lalu segera mengambilnya.

“Woi, ngelamun aja hahaha,” Goda Kurnia melihat Luna yang masih mengitari ruangannya. “Ayo, nanti keburu malem,”

Mereka berdua kembali masuk ke mobil. Kurnia mulai mengendarai mobilnya. Setelah melewati jalan tol, mereka masuk ke daerah yang bisa dibilang asri dengan beberapa pepohonan menghiasi pinggir jalan. Luna membuka jendela merasakan udara sore yang menyegarkan.

Mobil mereka berhenti di salah satu restoran yang memberi view langsung ke arah pantai. Kurnia dan Luna masuk dan menuju bangku yang sudah di pesan Kurnia sebelumnya.

“Mau pesen apa?” Tanya Kurnia saat keduanya sudah duduk berhadapan di balkon restoran.

“Hmmm, pasta aja deh kak. Minumnya terserah kakak,”

“Oke, pasta satu, rotinya dua sama minumannya cocktail aja dua,” Ucap Kurnia kepada pelayan yang berdiri di sebelahnya.

Begitu pelayan pergi, keduanya hening sambil menatap pantai yang begitu indah sore ini. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Lun,” Panggil Kurnia. Luna mengalihkan pandangannya ke Kurnia yang sudah memegang sebuah kotak yang ia keluarkan dari paper bag.

“Gua punya hadiah buat lu,” Kurnia membuka kotak itu dan terdapat sebuah kalung dengan gambar hati menghiasi ujungnya. Kurnia mengambil kalung itu dan berencana ingin memakaikannya ke Luna.

“Eh kak buat aku? Gausah simpen buat kakak aja,”

“Tapi gua maunya ini buat lu,” Kurnia mulai memakaikan kalung itu ke Luna dan sesuai perkiraannya, sangat cocok dengan Luna. “Gua kasih karena gua mau bilang makasih udah bantu bantu kita. Bahkan bukan cuma bantu ngurus peliharaan, segalanya lo bantu. Makasih ya Lun,”

Luna tersenyum sampai pipinya memerah. “Hehehe iyaa sama-sama kak. Kalian udah baik ke aku, ya aku harus baik ke kalian,”

“Mau gua fotoin?” Luna mengangguk setuju dengan tawaran Kurnia dan mulai berpose di depan kamera. Bahkan keduanya tak segan saling tertawa.

Saat Luna tengah melihat hasilnya, Kurnia tersenyum. Dia berulang kali ingin mengungkapkan hal ini namun selalu di tunda. Maka inilah saatnya.


“Luna,” Panggil Kurnia untuk ke sekian kalinya hari ini.

“Iya kak, kenapa?” Tanya Luna menatap Kurnia.

Kurnia balas menatap mata Luna. Lalu membuang pandangannya segera. Sedikit berdehem akhirnya dia membuka suara.

“Kalo ada yang nyakitin lu, bilang ke gua ya. Gua siap jadi sandaran lu kalo lu sedih,”

Luna tersenyum mendengar kebaikan Kurnia. Sekali lagi dia bingung, terbuat dari apa hati lelaki tertua ini.

“Iya kak, makasih ya atas semuanya,” Luna terlihat berpikir dan kembali bertanya. “Tumben kakak ngomong begitu, kenapa?”

“Gapapa, gua cuma mau ngelindungin lu doang,” Jawab Kurnia lalu menatap jauh ke pantai di hadapannya kini.

Gua bohong Lun. Gua suka sama lu. Seandainya lo tau..

Seandainya kau tau ku tak ingin kau pergi Meninggalkanku sendiri bersama bayanganku Seandainya kau tau aku 'kan selalu cinta Jangan kau lupakan kenangan kita selama ini

Vierra – Seandainya


Dan di sini Riyan. Disalah satu restoran Prancis ternama sedang asik berbincang dengan pria paruh baya yang diyakini sebagai manager restoran tersebut.

“Iya, jadi kalo bisa buat dessert jangan terlalu manis ya. Soalnya pada ga begitu suka yang terlalu manis,”

“Oh ada acara minum wine? Boleh deh,” Pria paruh baya itu segera pergi begitu selesai dengan urusannya.

Riyan berkeliling restoran, mengagumi gaya klasik yang diambil sebagai tema utama restoran tersebut. Meja VVIP dia pesan khusus untuk abang-abangnya dan agar obrolan lebih seru tanpa gangguan dari luar.

Riyan duduk di salah satu kursi dan memainkan handphonenya. Sampai pintu pemisah ruangan biasa dan VVIP terbuka, menampilkan Kurnia dan Teja dengan muka yang- tidak biasa.

“Kenapa bang?” Tanya Riyan berfirasat tidak enak.

Kurnia menghela nafas dan Teja mengusap punggungnya. Perasaan Riyan makin kalut. Takut hal yang tidak diinginkan terjadi.

Tak lama dari kejauhan datang Hayden yang sudah digandeng oleh Levin dan Derrel di kedua sisinya. Sementara Wildan dan Luna mengikuti di belakang. Riyan langsung menghampiri Hayden dan memegang kedua lengannya.

“Bang lo kenapa? Kok begini sih?” Hayden terdiam menggeleng seraya menghela nafasnya. Pikiran Riyan kini penuh dengan pikiran negatif.

'Bang Hayden, ga lolos sidang?'

“Udah semua duduk dulu ya,” Kata Wildan dan semuanya mulai duduk di bangku masing-masing.

Pelayan mulai membawakan hidangan pembuka yaitu sebuah roti. Tidak ada sambutan ceria, semuanya diam sibuk dengan pikirannya sendiri.

Setelah makan dalam diam, hidangan utama mulai berdatangan satu persatu. Mulai dari pasta sampai daging steak yang sebenarnya sangat menggiurkan. Namun mereka masih terdiam.

Riyan orang yang sangat tidak nyaman dengan kondisi seperti ini mulai angkat bicara dengan berhati-hati. “Bang, lo... ga lolos ya?” Hayden mengangkat kepalanya, menatap Riyan.

“Eh bang, ga papa. Kita semua bisa bantu abang buat-”

“Tapi boong,” Kata Hayden sambil menunjukkan secarik kertas.

“Hah?”

“Tapi beneran-

Beneran boong!” Hayden tertawa melihat ekspresi bingung Riyan. Begitu pula dengan yang lain.

Riyan masih bingung dan butuh penjelasan dari semuanya. “Gimana sih bang? Lo gausah sok kuat deh, mata lo gabisa boong,”

Betul kata Riyan, mata Hayden yang sembab tidak bisa berbohong. Hayden tersenyum mengetahui adiknya itu sempat khawatir.

“Riyan,” Panggil Kurnia dan Riyan menengok.

“Hayden lolos. Cumlaude,”


Kurnia masuk ke apartemen disusul oleh Riyan dengan muka yang murung. Semua anggota rumah sudah menunggu di ruang tengah lantaran khawatir dengan keadaan si bontot mereka.

“Riyan, duduk sini. Gua tadi beli kue,” Ajak Teja sambil menunjukkan sepotong kue coklat. Ya, saat Kurnia pergi menjemput Riyan, Teja, Wildan, dan Hayden pergi mencari kue yang diharapkan dapat mengembalikan mood Riyan.

Riyan duduk di tengah mereka yang tengah membentuk lingkaran. Kurnia pun ikut duduk. Riyan membuka topi dan menunjukkan peluh di pelipisnya serta matanya yang sembab.

Tidak ada yang berbicara. Mereka membiarkan Riyan makan kue dan bercerita dengan sendirinya. Luna menatap dari dapur sambil menggendong Leon.

“Bang tolongin gua,” Serak. Suara Riyan menunjukkan dirinya habis menangis.

“Kenapa?” Tanya Kurnia selaku laki-laki tertua di rumah ini.

“Tugas gua ada yang dapet C,” Riyan memegangi dahinya pusing. Luna membawakan secangkir air hangat dan menaruhnya di hadapan Riyan. Wildan tersenyum dan bergumam ucapan terima kasih.

“Dosen gua bilang salahnya ini ini ini. Udah gua betulin tapi masih C juga. Katanya tadi juga kesempatan terakhir, tapi tadi masih salah juga. Gua takut ngulang semester bang,” Riyan mulai sesegukan. Teja yang duduk di samping kirinya mengusap punggung Riyan.

“Gua harus gimana bang,” Tanya Riyan putus asa.

“Siapa dosennya? Coba gua hubungin sini,” Riyan memberikan handphone nya pada Kurnia.

“Yang namanya Pak Setyo bang,”

Kurnia mulai mencari nomor Pak Setyo dan berusaha menelpon menggunakan handphone miliknya. Kalau pakai handphone Riyan takut tak dijawab.

“Halo? Apa benar dengan Pak Setyo saya berbicara?” Sapaan itu menjadi permulaan diskusi yang panjang disertai negosiasi antara Kurnia dan Pak Setyo. Semua yang mendengar merasa tegang karena tak jarang Kurnia menghela nafas berat. Teja berusaha menenangkan Riyan yang sudah sangat putus asa.

Ya, okelah. Riyan boleh mengirimkan tugasnya lagi dengan deadline 3 hari dan harus mendapatkan nilai minimal B. Ini benar-benar kesempatan terakhir. Kamu juga sebagai abangnya kalau bisa dibantu ya adikmu,” Final Pak Setyo yang membuat semuanya terkejut. Fyi, karena terlalu lama menelpon, Kurnia mengaktifkan loud speaker pada panggilannya.

“Baik pak, terima kasih atas kesempatannya. Saya akan bantu adik saya. Terima kasih banyak pak. Selamat malam pak,”

Semua orang bernafas lega. Bahkan Riyan kembali nangis dengan kencang.

“Heh, udah woi kenapa nangis?” Tegur Derrel.

“Gua terharuuu, pak Setyo tuh susah diajak nego. Ini kesempatan emas bangett,” Jawabnya sambil masih tersedu-sedu.

“Nah karena ini kesempatan emas, makan dulu nih kue. Isi stamina abis itu lanjut kerjain tugas. Kita bantuin, tenang,” Kata Wildan dan diangguki oleh Riyan. Ia mulai menghapus air matanya dan kembali menyantap kue yang menggiurkan tersebut.

Kurnia tersenyum. Matanya tak sengaja melirik Luna yang tengah tersenyum namun dengan mata yang berkaca-kaca. Kurnia menghampiri Luna dan menepuk pundaknya.

“Hey, kenapa nangis?” Luna, sebagai wanita pada umumnya, yang ditanyakan hal seperti itu rasanya ingin tambah menangis.

“Terharu, kalian kaya keluarga banget,” Tangisan Luna pecah. Rumah ini memiliki rasa seperti rumah aslinya. Ya bisa dibilang, dia rindu rumahnya.

Hal yang dialami Riyan sama seperti kejadiannya saat SMP dulu. Dimana gurunya bersikeras berkata dia menyontek padahal kenyataannya Luna hanya menaruh kepalanya di meja lantaran merasa tak enak badan. Kurnia seperti sosok ayahnya yang membujuk kepala sekolah. Teja seperti ibunya yang menenangkan dirinya. Sementara Wildan dan Derrel seperti adiknya yang menggoda dirinya agar tidak menangis lagi.

“Sini sini, kita pelukan bersama,” Ucap Hayden dan mereka pun berpelukan bersama. Merasakan hangatnya teman yang sudah seperti saudara sendiri.


Kini semuanya sudah berkumpul di kamar Riyan. Fyi, pihak travel memberikan 4 kamar. Kamar pertama diisi oleh Kurnia, Riyan, dan Levin. Kamar kedua diisi oleh Teja dan Wildan. Kamar ketiga diisi oleh Hayden dan Derrel. Sementara Luna menempati kamar sendiri karena dia satu-satunya perempuan. Dan hotel yang mereka tempati juga berbintang, membuat satu kamarnya sangat luas bahkan memiliki ruang tengah.

“Oke game kali ini tuh werewolf!” Seru Hayden sambil mengarahkan kamera ke kawan-kawannya. Mereka lantas bersorak bahagia.

“Siapa mau jadi mc?” Tanya Kurnia inisiatif.

“Aku aja boleh ga? Karena ini kan konten kalian, jadi kalian biar bisa seru-seruan hehe,” Kata Luna menunjuk dirinya sendiri.

“Nah, boleh-boleh. Ini urutan malemnya ya, lu kudu inget-inget peran kita. Atau di catet dulu boleh,” Hayden memberikan selembar kertas berisi skenario bermain dan peran yang akan muncul.

“Oke siap. Jadi kita mulai sekarang nih?” Tanya Luna setelah berdiri.

“MULAIII!” Seru ketujuh pria di hadapannya.


“Sekarang ini ada 7 kartu. Masing-masing kartu isinya warga biasa, werewolf, penerawang, dan dokter. Ada 2 werewolf dan 3 warga biasa. Nah kalian masing-masing ambil kartu, ga boleh ditunjukkin ke siapa siapa loh ya,” Ucap Luna sebagai permulaan bermain game.

Masing-masing dari mereka mulai melihat kartu apa yang mereka dapat. Ekspresi mereka tidak dapat ditebak. Bahkan kini mereka saling melirik satu sama lain, berusaha menebak peran.

“Malam pun tiba. Nunduk ya semua,” Semua menundukkan kepala.

“Werewolf angkat kepala kalian dan liat siapa temen kalian,” Dua kepala terangkat. Yang satu tersenyum dan yang satu terkejut tak meyangka. Luna mulai mencatat nama mereka, takut lupa.

“Siapa yang mau kalian makan malam ini?” Setelah diskusi singkat, keduanya setuju me'makan' salah satu laki-laki yang masih menundukkan kepalanya.

“Oke tundukin kepala kalian lagi. Sekarang penerawang, angkat kepalanya dan pilih siapa yang mau diterawang,” Satu laki-laki mengangkat kepalanya. Menunjuk pria di sebelahnya. Luna menggelengkan kepala tanda dia bukanlah werewolf yang dimaksud.

“Tundukin kepalanya lagi. Sekarang dokter, angkat kepala dan mau selamatin siapa?” Satu kepala terangkat dan memilih menyelamatkan seorang pria yang duduk paling ujung kanan.

“Oke, pagi pun tiba,” Semua kepala terangkat dan Luna siap mengumumkan sesuatu.

“Sayang banget, malam kemarin, Kak Teja di makan werewolf,”

“ANYING BARU MAEN LOH GUA,” Emosi Teja namun sambil tertawa. Semuanya pun ikut tertawa, karena biasanya Teja sangat jago dalam permainan werewolf.

“Mulai diskusi 2 menit!”

Mereka mulai berdiskusi satu sama lain. Tidak, lebih tepatnya menuduh satu sama lain.

“20 detik lagi,”

“Oke oke, werewolfnya Derrel,” “Woi apaan dah gua diem,” “Lu kali bang Wil,” “Kalo lu kill gua, nyesel lu Yan,”

“Oke, vote sekarang!” Mereka saling menunjuk. Derrel mendapat 3 vote dan Wildan mendapat 3 vote juga. Mereka pun memberikan pembelaan masing-masing. Vote terbanyak diraih oleh Wildan.

“Oke, kak Wildan di kill warga. Malam pun tiba,” Kata Luna yang tersenyum melihat ekspresi pasrah Wildan.

“Padahal bukan gua loh,” “Udah diem bae lu, dah jadi mayat kita,”

“Werewolf angkat kepala kalian dan pilih siapa yang mau dimakan,” Dua orang mengangkat kepalanya. Yang satu memilih anggota yang satu saling meledek dengan Teja dan Wildan.

“Anjiiiirr,” Keluh Wildan. “Hus ngoceh mulu mayat,” Tegur Teja.

Ya, yang mengangkat kepala adalah Derrel salah satunya. Derrel menunjuk seseorang disampingnya dan sepakat memakannya.

“Oke, tundukkin kepala. Penerawang, mau nerawang siapa?” Luna menoleh ke Wildan dan tersenyum jahil. Ya, Wildan adalah penerawang dalam permainan kali ini. Dia menunjuk Teja dan Luna menggeleng.

“Dokter, angkat kepala dan mau ngelindungin siapa?” Seorang berambut gondrong mengangkat kepalanya dan menunjuk orang yang berada di ujung kiri.

“Pagi pun tiba,” Semua mengangkat kepala seraya mengucapkan good morning dan basa-basi lainnya. “Sayang sekali semalam Hayden dibunuh oleh werewolf,”

Hayden yang mendengar itu ternganga tak percaya. Teja dan Wildan mengajaknya duduk bersama di sebelah Luna dan Hayden mau tak mau mengikutinya.

“Any sus?” Tanya Kurnia dan Riyan mengangkat tangan.

“Gua gua! Werewolfnya bang Derrel sama bang Levin!”

“Weh anjing kok gua?” Keluh Derrel tak terima.

“Au nih bocil asal nuduh aja njir,” Imbuh Levin.

“Kenapa lo milih Derrel sama Levin?” Tanya Kurnia.

“Soalnya pas Luna bilang werewolf tunjuk satu orang gua ngerasa ada angin-angin di sebelah gua. Kan sebelah gua bang Derrel,” Sebuah kata kunci namun cara pengucapan Riyan yang unik membuat seisi ruangan tertawa.

“Belakang lo AC yan, jangan sampe gua sentil jakun lu,” Bela Derrel dan Riyan hanya cengegesan. “Terus kenapa lu nuduh Levin?”

“Mukanya mencurigakan,”

“Astagfirullah gua ceburin lo ke laut. Muka gua emang begini Yaann dari orok, dari owek owek udah begini,” Keluh Levin atas pernyataan tak masuk akal Riyan.

“Tapi menurut gua sih emang dua-duanya werewolf Yan,”

“Astaga Tuhannn,” Keluh Levin lagi yang mengundang gelak tawa.

“Lu warga bang?” Tanya Riyan.

“Tadulu, karena ini sisa 4 berarti ini ronde terakhir kan?” Luna mengangguk atas pertanyaan Kurnia.

“Gua itu dokter. Gua awal juga lindungin Levin tapi daritadi gua liatin sikapnya aneh. Makanya yang ronde kedua, pas Hayden ke kill, gua lindungin lu Yan,” Ujar Kurnia.

“Bener kan bang?” Tanya Riyan dan Kurnia mengangguk.

“Ayo vote. 3,2,1,” Dan Levin mendapatkan 3 vote alhasil Levin gugur.

“Menang kita bang? Menang kan??” Riyan berdiri dan melompat-lompat bahagia.

“Wes pasti dong,” Jawab Kurnia.

“Dan permainan kali ini dimenangkan oleh.... WEREWOLF,” Senyuman Riyan luntur dan wajahnya menunjukkan ekspresi kebingungan. Lagi dan lagi seisi ruangan tertawa oleh sikap Riyan.

“Gua yaan dokter guaa. Abang kesayangan lu werewolf nyeett,” Ujar Hayden sambil tertawa.

“Sorry dek sorry, gua werewolf bareng Derrel,” Ucap Kurnia sambil mengacak rambut Riyan.

“Anjir gua percaya aja lagi sama omongan bang Kur, anjiiirrr,” Riyan menjambak pelan rambutnya tak percaya.

“Lu lagian ga jelas segala milih gua Yan Yan. Pake muka gua segala dibilang mencurigakan nying,” Keluh Levin dan mendapat rangkulan minta maaf dari Riyan.

“Siapa yang milih gua buat di kill pertama kali hah?” Tanya Teja.

“Itu bang Kur bukan gua hahaha,” Jawab Derrel yang masih tertawa.

“Kur, aku kira kita spesial,” Perkataan dramatis Teja menjadi penutup permainan kali ini.


Kurnia masuk ke apartemen disusul oleh Riyan dengan muka yang murung. Semua anggota rumah sudah menunggu di ruang tengah lantaran khawatir dengan keadaan si bontot mereka.

“Riyan, duduk sini. Gua tadi beli kue,” Ajak Teja sambil menunjukkan sepotong kue coklat. Ya, saat Kurnia pergi menjemput Riyan, Teja, Wildan, dan Hayden pergi mencari kue yang diharapkan dapat mengembalikan mood Riyan.

Riyan duduk di tengah mereka yang tengah membentuk lingkaran. Kurnia pun ikut duduk. Riyan membuka topi dan menunjukkan peluh di pelipisnya serta matanya yang sembab.

Tidak ada yang berbicara. Mereka membiarkan Riyan makan kue dan bercerita dengan sendirinya. Luna menatap dari dapur sambil menggendong Leon.

“Bang tolongin gua,” Serak. Suara Riyan menunjukkan dirinya habis menangis.

“Kenapa?” Tanya Kurnia selaku laki-laki tertua di rumah ini.

“Tugas gua ada yang dapet C,” Riyan memegangi dahinya pusing. Luna membawakan secangkir air hangat dan menaruhnya di hadapan Riyan. Wildan tersenyum dan bergumam ucapan terima kasih.

“Dosen gua bilang salahnya ini ini ini. Udah gua betulin tapi masih C juga. Katanya tadi juga kesempatan terakhir, tapi tadi masih salah juga. Gua takut ngulang semester bang,” Riyan mulai sesegukan. Teja yang duduk di samping kirinya mengusap punggung Riyan.

“Gua harus gimana bang,” Tanya Riyan putus asa.

“Siapa dosennya? Coba gua hubungin sini,” Riyan memberikan handphone nya pada Kurnia.

“Yang namanya Pak Setyo bang,”

Kurnia mulai mencari nomor Pak Setyo dan berusaha menelpon menggunakan handphone miliknya. Kalau pakai handphone Riyan takut tak dijawab.

“Halo? Apa benar dengan Pak Setyo saya berbicara?” Sapaan itu menjadi permulaan diskusi yang panjang disertai negosiasi antara Kurnia dan Pak Setyo. Semua yang mendengar merasa tegang karena tak jarang Kurnia menghela nafas berat. Teja berusaha menenangkan Riyan yang sudah sangat putus asa.

Ya, okelah. Riyan boleh mengirimkan tugasnya lagi dengan deadline 3 hari dan harus mendapatkan nilai minimal B. Ini benar-benar kesempatan terakhir. Kamu juga sebagai abangnya kalau bisa dibantu ya adikmu,” Final Pak Setyo yang membuat semuanya terkejut. Fyi, karena terlalu lama menelpon, Kurnia mengaktifkan loud speaker pada panggilannya.

“Baik pak, terima kasih atas kesempatannya. Saya akan bantu adik saya. Terima kasih banyak pak. Selamat malam pak,”

Semua orang bernafas lega. Bahkan Riyan kembali nangis dengan kencang.

“Heh, udah woi kenapa nangis?” Tegur Derrel.

“Gua terharuuu, pak Setyo tuh susah diajak nego. Ini kesempatan emas bangett,” Jawabnya sambil masih tersedu-sedu.

“Nah karena ini kesempatan emas, makan dulu nih kue. Isi stamina abis itu lanjut kerjain tugas. Kita bantuin, tenang,” Kata Wildan dan diangguki oleh Riyan. Ia mulai menghapus air matanya dan kembali menyantap kue yang menggiurkan tersebut.

Kurnia tersenyum. Matanya tak sengaja melirik Luna yang tengah tersenyum namun dengan mata yang berkaca-kaca. Kurnia menghampiri Luna dan menepuk pundaknya.

“Hey, kenapa nangis?” Luna, sebagai wanita pada umumnya, yang ditanyakan hal seperti itu rasanya ingin tambah menangis.

“Terharu, kalian kaya keluarga banget,” Tangisan Luna pecah. Rumah ini memiliki rasa seperti rumah aslinya. Ya bisa dibilang, dia rindu rumahnya.

Hal yang dialami Riyan sama seperti kejadiannya saat SMP dulu. Dimana gurunya bersikeras berkata dia menyontek padahal kenyataannya Luna hanya menaruh kepalanya di meja lantaran merasa tak enak badan. Kurnia seperti sosok ayahnya yang membujuk kepala sekolah. Teja seperti ibunya yang menenangkan dirinya. Sementara Wildan dan Derrel seperti adiknya yang menggoda dirinya agar tidak menangis lagi.

“Sini sini, kita pelukan bersama,” Ucap Hayden dan mereka pun berpelukan bersama. Merasakan hangatnya teman yang sudah seperti saudara sendiri.