alxsglo

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Jeno tidak bermaksud berlebihan, Mark Lee itu benar-benar merupakan pasangan hidup idealnya. Padahal usia merek tidak terpaut jauh, tapi Mark Lee bersikap begitu dewasa, selalu tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan.

Tidak ada hal yang Jeno tidak sukai dari Mark selain bagaimana Mark semakin tidak punya waktu untuknya. Tiap beberapa minggu sekali, pria itu akan ada acara sendiri dengan temannya. “Yakin gak mau ikut?”

“Hm, next time deh, soalnya aku udah ikut yang kemarin-kemarin, kan. Takutnya temen kamu aneh lihat aku terus, apalagi mereka gak pernah bawa partner mereka.”

Jeno sebenarnya benci bagaimana Mark hanya tersenyum dan bilang, “Okay.” Seperti memvalidasi ketakutan Jeno selama ini; Mark dan teman-temannya tidak suka Jeno jalan-jalan dengan mereka. Apalagi kehadiran Jeno di sana malah seperti bayangan, duduk diam di samping Mark, sesekali tersenyum, tidak bisa bergabung dengan percakapan karena tidak mengerti konteksnya, dan menjawab singkat ketika ditanyai sesuatu.

“Atau mungkin kamu mau jalan bareng Jisung lagi?” Mark memberikan ide, dia sepertinya cukup peka untuk menyadari rona wajah Jeno yang berubah. “Dulu kalian sering jalan bareng, kan?”

Jeno mengernyit, dia membayangkan pertemanannya dengan Jisung yang sudah tidak semenyenangkan dulu. “Eh? Iya sih kita akrab, tapi itu sebelum aku sama kamu.”

“Kalau sepeda keliling komplek?”

“Hmm,” kalau enggak sama kamu, aku gak mau, “enggak deh, sekarang lagi musim hujan.”

Mark kelihatan seperti sedang menahan diri untuk tidak menghela napas panjang, mungkin biar tidak kelihatan muak pada sikap Jeno. “Kalau ada apa-apa, kamu langsung hubungi aku, okay?”

“Ya ampun, kayak mau ke mana aja. Udah sana pergiii …!” Jeno terkekeh geli, dia pun mendorong Mark keluar dari pintu utama. “Aku bakalan fine aja kok.”

Okay kalau gitu ….” Mark ragu-ragu tersenyum.

Jeno mengerling sambil tersenyum, pura-pura marah pada Mark. “Aku oke-oke aja sendirian, aku juga punya kehidupan kali, babe.”

The thing is … Jeno memang tidak punya kehidupan selain bersama Mark. Mungkin kenalan Jeno di mana-mana, tapi ia tidak punya teman selain Mark. Tidak ada hobi ataupun ketertarikan. Gairah dalam berkarier pun tidak ada karena posisinya di perusahaan ini ia dapatkan dari nepotisme.

Ada pikiran kalau mungkin sebenarnya memiliki Mark sebagai kekasihnya merupakan cara Jeno untuk mengisi kekosongan di hidupnya yang membosankan.

Jeno tidak bermaksud berlebihan, tapi Mark Lee itu benar-benar merupakan gambaran hidup idealnya.

Mark punya segudang prestasi yang membuat jalan kariernya begitu mulus, hubungan dengan temannya juga kelihatan asyik, hubungan Mark dengan keluarganya sehat-sehat saja.

Dan Jeno benci bagaimana ia mulai membenci Mark.

“Hubungan kita udah gak sehat, kamu mulai jealous sama aku?” Ah, Jeno diam-diam semakin benci kekasihnya, karena kali ini Mark benar lagi. Di antara mereka berdua, Mark memang yang paling pintar bicara. “Kalau kamu cemburu aku sering jalan bareng temen-temenku, okelah, aku ngerti.” Tutur Mark. “Tapi ini tuh,” Mark menghela napas panjang, ia kedengaran lelah, “kamu akhir-akhir ini bener-bener sensitif. Sering mempermasalahkan hal yang sepele.”

“Ngapain aku jealous sama kehidupan kamu? Sok tahu banget!” Tapi nada bicaranya makin tinggi, emosi terpancing. Jeno mengernyit, rahangnya menegang, dia menyilangkan kedua tangannya di dada.

“Terus kamu maunya apa? Kenapa marah aku mau jalan bareng temenku? Terakhir aku jalan sama mereka tuh dua bulan yang lalu! Aku sering tolak ajakan mereka karena aku gak mau kamu sendirian.”

“Oh?” Jeno benar-benar kelihatan gusar, merasa tersinggung bahwa Mark secara tidak langsung menyalahkannya atas waktu yang dilewatkan bersama teman-temannya. “Kamu nyalahin aku? Selama ini kamu benci sama aku, kan?! Dan sekarang warna asli kamu keluar ….”

Jeno tidak seharusnya bilang begitu, karena sialan, Jeno kedengaran amat childish, ia merasa dikalahkan dalam perdebatan ini, tapi sudah terlanjur.

Raut wajah Mark langsung berubah, dia kelihatan seperti dikhianati, merasa sakit hati karena kata-kata itu keluar dari mulut kekasihnya sendiri. Orang yang disayanginya. Sehingga tidak mengejutkan ketika Mark tiba-tiba memutuskan, “We need to break up.”

Seharusnya mereka putus hubungan beberapa tahun yang lalu, di mana Jeno bertemu keluarga Mark untuk pertama kalinya, dan merasa cemburu karena Mark memiliki keluarga yang begitu hangat, hidupnya kelihatan baik-baik saja. Membuat Jeno jadi bertanya-tanya … kenapa dia mau menjalin hubungan romantis dan berkomitmen dengan Jeno? Jeno yang bukan apa-apa dibandingkan Mark, apalagi tanpa Mark.

Mendengar Mark akan memutuskan hubungannya, Jeno tidak mau mengakui bahwa ia merasa amat hancur, dalam artian dia merasa dikalahkan; harusnya aku yang putusin hubungan kita duluan. Kenapa jadi aku yang kelihatan lebih butuh Mark?! Aku juga bisa bahagia sendiri!

Nyatanya, Jeno merasa lebih kesepian setelah sendirian. Dia bahkan tertular penyakit seksual akibat kurang berhati-hati dalam gonta-ganti pasangan seks. Tadinya Jeno ingin membuktikan bahwa dia baik-baik saja tanpa Mark, tapi Jeno malah merana.

Hidupnya makin hancur karena tidak ada lagi yang mengecup keningnya di pagi hari, mengenalkannya pada hobi baru, mentoleransi emosinya yang seperti rollercoaster, atau memberikan Jeno validasi yang tidak pernah didapatkan dari siapa pun.

Ingin memulai pertemanan, tapi orang-orang di sekitar Jeno tidak ada yang seramah dan sesabar Mark, sehingga mereka tidak ada yang betah berlama-lama dengan Jeno selain untuk berhubungan seksual.

Karena ego yang tinggi, Jeno mencoba untuk tidak menangisi putusnya hubungan mereka. Tapi kali ini air matanya sulit untuk dibendung ketika suatu hari salah satu partner seksnya bertanya, “Emangnya mantan lo yang terakhir kayak gimana?”

Jadi Jeno harus memeriksa Mark kembali di Instagram, dan menemukan bahwa Mark sudah menikah serta dikaruniai seorang putra yang menggemaskan. Dia kelihatan begitu bahagia; begitu cocok dengan kehidupan ideal Jeno.

Jeno memeriksa Instagram posts Mark di saat-saat mereka putus, dan tidak menemukan hal-hal yang bertanda kalau Mark pernah sedih. Foto-foto Mark bersama Jeno bahkan sudah menghilang. Tidak mengejutkan, tapi Jeno tetap merasa kecewa, merasa dikalahkan.

Uhm, Instagram-nya udah gak ada kayaknya—gak penting juga sih.” ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin.

rating: general audiences content warning: male pregnancy ㅤ ㅤ ㅤ “Papi, ayo main ….” Anak keduanya berdiri di samping ranjang di mana Mark kini seperti terdampar di sana. Aduh, kalau bukan karena Mark dan Donghyuck kebobolan anak ketiga, Mark gak mau deh tekdung lagi. Engap banget, mau tiduran aja serba-salah posisinya.

“Enggak, ah, Papi di sini aja.” Kata Mark sedikit bergumam karena wajahnya separuh terbenam ke bantal, ia malas mengubah posisinya. “Dedek mainnya sama si Aa aja.”

“Aa kan belum pulang.”

Untuk sesaat, jantung Mark berdegup kencang, kok si sulung belum pulang?! Dia melirik jam di dinding, mendapati hari sudah agak siang. Tapi Mark baru ingat kalau si Aa kini sudah masuk SD, sekolahnya pasti lebih lama. “Oh, iya ya. Si Aa masih sekolah ….”

Mendengar kata “sekolah”, putranya langsung menunduk dan memeluk boneka kesayangannya lebih erat, ciri khas kalau dia ingin menyembunyikan kesedihannya.

Mark mengerti betul kesedihan si dedek yang merasa ditinggal kakaknya yang duluan masuk Sekolah Dasar. Ya, siapa yang tidak sedih? Usia mereka hanya terpaut 1 tahun, jadinya ke mana-mana selalu bersama. Di Taman Kanak-Kanak pun terkenal sebagai adik-kakak yang paling heboh kalau salam sama guru.

Belum lagi karena kehamilannya, Mark makin ke sini makin mudah lelah untuk main lama-lama dengan si dedek yang kian enerjik.

“Ya, udah, dedek mainnya di sini aja sama Papi, ya.” Kata Mark, dia pun bangkit dengan napas yang berat, karena memang dedek bayi dalam perutnya juga makin besar. “Dedek mau main apa? Mau mewarnai? Atau … mau main sama Panda?”

Panda adalah boneka beruang yang sedang dipeluk si dedek, tapi anak kecil itu nampaknya tidak tertarik dengan hal yang disebutkan.

“Atau mau main sama Ayah?”

“Ayah lagi lash ….” Maksud si dedek si Ayah sedang sibuk bekerja di studio seninya, sedang mengelas sesuatu karena mesinnya pasti kedengaran sampai keluar. Akan ada sebuah galeri seni baru yang dibuka dan membutuhkan salah satu karya Donghyuck, jadi pasti si Ayah sedang sibuk-sibuknya, tidak bisa diganggu karena nanti malah keasyikan main sama anak-anak.

“Kalau gitu, dedek mau dibacarin cerita gak sama Papi?”

Melihat si Papi mengeluarkan iPad dari laci, perhatian si dedek langsung tertarik! Menurut dedek, benda kotak itu sungguh ajaib dan menyenangkan. Tapi kedua orang tuanya tidak memperbolehkannya untuk memainkannya lama-lama, jadi ini kesempatan yang langka untuknya.

“Mau, piiihhh …!” Mood si bungsu seketika berubah, dia berteriak histeris dan lompat-lompat untuk berjuang naik ke ranjang yang tingginya hampir sebahunya.

Mark pun menyesuaikan dirinya di atas ranjang, ia mendekap bahu buah hatinya sambil membacakan sebuah cerita dari iPad-nya tentang petualangan seekor kelinci.

Setelah beberapa saat, terdengar langkah kaki khas si Ayah menuju kamar. Dari kejauhan dia sudah teriak, “Ayaaang, ini kamu yang beli baju bayi bukan—”

“Ssshhh …! Ayah, ih, jangan keras-keras,” si dedek mencoba bisik-bisik meski tetap terdengar keras, “nanti Papi sama dedek bayinya bangun.”

Perhatian si Ayah pun langsung teralihkan pada Mark yang terlelap di samping si dedek. Dia kelihatan pulas sampai mulutnya menganga kecil dengan iPad dalam dekapannya. Harus pelan-pelan karena kalau Mark terbangun sekarang, kemudian melihat Donghyuck yang baru dari studio itu menggendong si dedek … mampus saja si ayah! Dimarahin habis-habisan!

Katanya Mark, si ayah somehow jadi bau kalau habis mengelas meski sudah ganti baju. Donghyuck ingat, pertama kali Mark bilang begitu karena dia muntah-muntah setelah dipeluk Donghyuck yang habis bekerja.

Kalau kata Donghyuck sih, itu karena si Papi aja yang lagi hamil, jadi indera penciumannya serba-sensitif. Karena kalau kata si Aa sama si Dedek, mereka bilangnya, ayah baunya kayak ayah, yang Donghyuck interpretasikan sebagai tidak bau apa-apa.

“Dedek mandi sama ayah di belakang, yuk.” Suara Donghyuck makin lama makin menjauh ke arah halaman belakang, di mana mereka sepertinya akan mandi di shower samping kolam renang.

Kemudian setelah merasa keadaan di sekitarnya begitu sunyi, Mark pun perlahan membuka matanya, dibuka sedikit-sedikit karena takutnya si ayah masih ada di kamar.

Sebenarnya Mark memang sungguh ketiduran, sampai akhirnya teriakan si ayah yang menyebut-nyebut baju bayi membangunkannya, tapi dia langsung pura-pura tidur lagi karena tidak mau diceramahi soal dirinya yang akhir-akhir ini banyak online shopping; kemarin dia baru belanja vacuum cleaner, COD biar si ayah yang langsung bayar, hehehe.

Juga karena Mark sebenarnya terlalu mager untuk pindah posisi lagi sekarang. Perutnya sedari tadi penuh gas, belum lagi si jabang bayi yang cukup aktif di dalam perutnya, seperti sampai menekan ke rusuk dan rasanya nyeri.

Mark elus-elus perutnya meski sepertinya tidak mempan, pada akhirnya dia pun keluar dari kamar. Mark duduk di sofa yang menghadap ke jendela besar dan menampilkan si ayah sama si dedek malah main-main di kolam renang, hingga akhirnya Mark pun tertidur pulas lagi. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: teen warning: contains things that might be triggering

ㅤ ㅤ ㅤ Dalam hidup Jaemin, ada beberapa masalah yang tidak dapat diselesaikan ataupun dihindari. Jaemin terkadang hanya bersikap seolah ia tidak peduli, takkan ia pikirkan.

Karena begitulah bagaimana Jaemin selama ini bertahan hidup.

Misalnya saja, seperti bagaimana dirinya terlahir dari keluarga yang serba-tidak-berkecukupan. Jaemin belajar membaca ketika menginjak usia dua belas tahun, tidak pernah yang namanya duduk di bangku sekolah.

Kecuali duduk di bangku sekolah setelah menyemir sepatu seorang guru di sana, ya, Jaemin pernah melakukannya.

Dalam hidup Jaemin, ada beberapa masalah yang memburuk, dan selama masalah itu memburuk, semakin Jaemin tertampar oleh kenyataan bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki masalahnya. Kali ini Jaemin tidak bisa bersikap tidak acuh—bahkan Jaemin harus cepat-cepat menyelesaikannya karena kalau tidak—

“Eh, mas, dedek bayinya nendang!” Seruan gembira Jeno menarik perhatian Jaemin, kekasihnya itu meraba-raba lengan Jaemin untuk kemudian ditarik ke perutnya, di mana terasa tendangan-tendangan kecil dari bayi mereka. “Katanya, halo, ayaaah, gitu kali, ya?”

“Bayinya ngomong sama kamu tadi?”

“Hmm, dedek bayinya lebih suka sama aku …! Hehehe.” Jeno tersenyum ke arahnya meski pandangannya kosong.

Kecelakaan di tempat kerja Jeno beberapa tahun yang lalu merenggut penglihatannya secara permanen. Mungkin tidak akan permanen kalau mereka memiliki biaya untuk mengobatinya.

Tapi tidak apa-apa, mereka sudah belajar kalau ada beberapa masalah dalam hidup mereka yang tidak bisa diselesaikan.

Dibiarkan saja, katanya. Pasrahkan dirimu, maka hatimu akan tenang—brengsek. Omong kosong. Hal itu hanya berlaku bagi orang-orang yang beruntung.

Katanya tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, tapi kali ini Jaemin tidak bisa menyelesaikan masalahnya.

Semuanya hanya bisa dipendam sendirian karena ia tidak mau membebani siapa pun. Jaemin dapat melihat bagaimana kisah hidupnya akan berakhir, dan tidak ada hal yang bisa dilakukan untuk mengubah takdirnya.

Seperti menyaksikan dirimu sendiri jatuh ke jurang dalam gerakan yang diperlambat.

Sudah hampir sebulan Jaemin merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, kemudian tidak hanya itu, terkadang darah mengalir dari hidungnya. Gejalanya juga memburuk, staminanya menurun sehingga ia pun tidak bisa bekerja lama-lama di pabrik. Tapi Jeno jangan dulu tahu.

Sampai bayi mereka lahir, jangan sampai Jeno tahu.

Itu pun kalau Jaemin masih diberikan waktu untuk menyaksikan kelahiran buah hati mereka—buah hati yang sesungguhnya tidak pernah mereka harapkan. Hanya buang-buang uang.

Tidak bisa aborsi karena mereka tidak memiliki biayanya, tidak tega memberikannya kepada pihak manapun karena Jeno nampaknya mulai menyayangi buah hati mereka.

Atau mungkin Jeno hanya berpura-pura menyayangi buah hati mereka untuk menemukan sedikit kebahagiaan dalam hidupnya. Mungkin Jeno berpikiran hal yang sama seperti Jaemin mengenai buah hati mereka, hanya saja Jeno tidak ingin membebani Jaemin.

Menikah secara legal saja tidak mampu, mereka mau sok-sokan berkeluarga.

“Mas, kok diem aja?” Bisik Jeno, dia mulai kedengaran khawatir. “Ada masalah …?”

Lamunan Jaemin buyar seketika, dia memaksakan sebuah tawa gembira sebelum akhirnya menjawab. “Eh, enggak ada masalah apa-apa. Cuma kaget aja bayinya bisa nendang-nendang kayak tadi.”

“Biar bisa kayak pemain bola yang mas sukain, kan!”

Dalam hidup Jaemin, ada beberapa masalah yang tidak dapat diselesaikan ataupun dihindari. Jaemin terkadang hanya bersikap seolah ia tidak peduli, takkan ia pikirkan.

Karena begitulah bagaimana Jaemin selama ini bertahan hidup.

Akan begitulah hidup Jaemin seterusnya, sampai mungkin hidupnya tidak bisa diteruskan, dan, ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ tamat.

Rating: General ㅤ ㅤ ㅤ Ketika Jisung membuka matanya lagi, dia dihadapkan pada pemandangan salju pertama di tahun ini.

Salju, ah, sudah lama Jisung tidak menyaksikan salju secara langsung begini. Biasanya dia harus melihatnya dari dalam ruangan sambil membayangkan sensasi dinginnya tiap butiran salju yang turun dan meleleh di wajahnya.

Namun bukan hanya pemandangan salju yang menyambutnya, ada juga sekumpulan orang yang berdiri jauh di atasnya, mengelilinginya. Mereka semua menangis, beberapa ada yang hanya memasang wajah muram. Termasuk Mark yang kini hanya membekap mulutnya dengan sehelai sapu tangan.

Untuk sebuah acara yang menyedihkan, mereka semua berpakaian rapi.

Dan ketika mereka selesai dengan acaranya, Jisung ditinggal sendirian, dia pun duduk kebingungan di samping sebuah batu nisan.

Happy birthday, Park Jisung.”

Tubuh Jisung tersentak, dia spontan bangkit dan mundur beberapa langkah dari posisinya. Pria asing tiba-tiba saja mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya, bukannya itu mengerikan?!

“Kenalin, gue Chenle.” Pria bernama “Chenle” itu menjulurkan tangannya, Jisung pun menjabatnya, lalu—_WAAAAHHHH!!!! TANGANNYA KOK NEMBUS??? _ Jisung yang panik begitu kontras dari tawa puas Chenle. Dia masih tersenyum lebar ketika mengatakan, “Ah, paling seneng lihat reaksi orang baru tiap gue gituin.”

“Kamu bisa ilmu hitam?!”

“Ilmu hitam? Gila, jauh banget mikirnya.”

Jisung perhatikan baik-baik tampilan Chenle, dia mengenakan jaket kulit yang menutup sebagian perutnya yang ternyata … sobek … darah segar yang mengering melekat ke pakaiannya …. Kaki Chenle tidak menapak ke tanah ….

Oh.

“H-HANTUUUUUU!!!!” Jisung berteriak histeris, dia hanya bisa mondar-mandir panik sambil berharap keluarganya kembali kemari menjemputnya.

Pada pemandangan aneh itu, Chenle hanya geleng-geleng dan merespon, “Hantu kok takut sama hantu.”

Jisung masih menatapnya ngeri, dia memeriksa tampilan Chenle dari ujung kepala sampai ke kaki yang melayang itu, HIHHHH. “Uhhh …, tapi kok tahu nama sama ulang tahun aku?”

“Sumpah? Masih gak sadar juga?” Chenle geleng-geleng lagi. “Wah, lemotnya lo ini kasus yang langka.” Kemudian ia dengan santainya mengetuk-ngetuk batu nisan besar di sampingnya yang bertuliskan, ㅤ ㅤ

Park Jisung 27 July 2061 – 27 July 2082 Yang tersayang, selalu hidup dalam hati kami
ㅤ ㅤ

Jisung mengerjapkan matanya, menggosoknya cukup keras, dan hanya bisa mengeluarkan, “Hah …?”

Yeah.” Chenle menyeringai kecil, gigi putihnya ternyata dinodai darah, tapi pria itu kedengaran santai. Chenle sempat berekspektasi Jisung akan bereaksi lebih heboh dari sebelumnya, tapi lelaki itu hanya termangu untuk beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum kecil.

“Syukur deh.” Masih dengan senyum yang sama.

“Syukur?”

“Hm, males kemoterapi. Gak enak tahu.” Kata Jisung pelan, kemudian memaksakan tawa dan menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Sempat akan menangis dan emosional tapi perhatiannya teralihkan lagi ketika baru sadar kalau ia masih mengenakan setelan pasien dari rumah sakit. “Eh, kok baju aku masih kayak gini?!”

“Oh, kalau soal itu, jadi lo bakalan tetep pake baju yang terakhir kali lo pake sebelum meninggal.”

“Ih?! Padahal aku pasti udah cakep banget pake jas!” Jisung mengentak-entakkan kakinya dan mengernyit geli pada bagaimana payah tampilannya dibandingkan Chenle.

Ya, bagaimana tidak? Pria itu kelihatan keren dengan kaos dan jaket kulit hitamnya, kaki dibalut skinny jeans yang dilengkapi sepatu boots.

Sedangkan Jisung? Dia harus terjebak dalam setelan pasien rumah sakit tanpa alas kaki. Eh, tunggu dulu! Kok kakinya menapak?!

“Ya, lo juga bisa ngambang di udara gitu kalau mau.” Jawab Chenle seperti membaca pikirannya. “Sekarang kita ngumpul sama yang lain.”

Chenle tiba-tiba saja menepuk bahu Jisung—holy shit, it’s fucking cold. “Sama yang lain gimana?”

“Hantu yang lain lah!”

“Oh, pantes sepi ….” Jisung mengitari pandangannya dan tidak menemukan siapa-siapa.

“Kalau mau malem, kita ngumpulnya di rumah kosong.”

Jisung mengerjapkan matanya. “Ngapain?”

“Ya, nongkrong aja sih. Jadi setan tuh cukup gabut.” Chenle mengangkat bahu sebelum akhirnya tersenyum penuh arti. “Atau lo mau langsung terjun nakut-nakutin orang?”

“Ih, kasian banget. Jangan, ah—” Jisung langsung menghentikan dirinya sendiri pikirannya mulai berubah ketika mengingat kalau ada satu manusia yang tidak ia kasihani, “Eh, tapi …”

Chenle tersenyum.

“Kalau orang yang mau ditakutinnya jauh, kita tetep bisa datengin orangnya?”

“Pernah denger cerita horror di kendaraan umum? Ya, kita naik bus.”

Jisung langsung menyalin senyum Chenle. “Oke, kita ke rumah aku kalau gitu!”

Menariknya Chenle tidak banyak bertanya soal bagaimana Jisung ingin menakuti orang yang ada di rumahnya. Chenle hanya kembali menapakkan kakinya ke bumi kemudian mulai berjalan beriringan bersama Jisung.

Meski Chenle tidak bertanya soal siapa yang akan ditakut-takuti oleh Jisung, tapi Jisung tetap bermulut ember dan berbagi cerita soal bagaimana ia memiliki teori kalau kakak tirinya terlibat dalam kematiannya.

“Kakak lo ngeri juga, ya.” “Hm …, ngomong-ngomong soal kematian,” kata Jisung agak bisik-bisik, “kamu kok bisa … ada di sini?”

“Gue dijambret gitu di parkiran.” Respon Chenle cukup cepat, seperti sudah berlatih untuk momen ini berkali-kali, namun ia tetap kelihatan santai.

“Ya ampun, lain kali hati-hati.” Eh …. Lain kali? Jisung meringis kemudian tersenyum canggung. “Eh, gak ada lain kali, ya? Nyawa kamu udah keburu melayang, hehehe. Sorry.”

“Biasanya sih orang bilang ‘sorry’ gak sambil cengengesan kayak lo.”

“Okeee,” Jisung pun ancang-ancang dulu sebelum akhirnya membuat bibirnya manyun sedikit, andalan ketika dia ingin kelihatan gemes setelah melakukan kesalahan, “sorry, abang ganteeeeng …!” Serunya dengan suara melengking,

“Eh, stop! Stop!” Chenle buru-buru membekap mulutnya sambil mengitari pandangan. “Malu-maluin gue!”

Jisung menyingkirkan tangan Chenle dari mulutnya dan protes, “Tangannya bau tanah, ih ….”

“Makanya jangan bawel.”

“Oke siap, abang ganteng.”

Chenle pun geleng-geleng, kemudian sedikit memunggungi Jisung dan sok-sokan memejamkan matanya untuk tidur meski sebenarnya hantu kan tidak bisa tidur (karena sedang tidur selamanya). Pria itu ingin sok-sokan tidak peduli untuk mengabaikan jantungnya yang berdegup kencang ketika dipanggil “abang ganteng” oleh hantu semenggemaskan Jisung. ㅤ ㅤ

fin

Rating: Mature CW // Mpreg ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

Renjun hanya ingin menumpang makan malam. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, dia memiliki tradisi makan malam lebih mewah dari biasanya untuk menyenangkan dirinya. Meski sudah lama sejak Renjun terakhir kali beribadah, tapi ia tidak pernah lupa untuk mendoakan anak-anaknya yang sudah sekolah lebih tinggi darinya dan meninggalkan rumah; semoga anak-anakku bahagia selalu di mana pun mereka berada.

Kali ini, Renjun berencana untuk makan malam di sebuah warung. Dia memakirkan becaknya di samping pohon yang meneduhi sebuah warung.

Warung yang kelihatan biasa saja sampai akhirnya setelah ia menghabiskan makan malamnya, dia ditanyai, “Sudah menikah, mas?”

“Menikah?” Renjun balik bertanya, kali ini ia berkesempatan untuk memperhatikan wajah pemilik warung itu. Hm. “I … ya, saya pernah menikah.”

“Pernah?”

Kalau sang pemilik warung tidak memiliki wajah yang rupawan, Renjun mungkin tidak akan repot-repot untuk menanggapi pertanyaan absurd itu. Tapi di sinilah dirinya, menjawab mas-mas di hadapannya dengan, “Iya, istri saya udah gak ada.”

“Oh ….” Lelaki itu tersenyum kecil, tubuhnya mendekat ketika dengan santainya bertanya, “siapa tahu mas tertarik buat dipuasin sama pelayan yang ada di sini. Apalagi pas malem dingin kayak gini, pasti lebih enak, mas ….”

Renjun mengernyitkan keningnya.

“Tenang, mas. Gak mahal-mahal kok, nanti mas bisa pilih orangnya juga. Saya pasti murahin soalnya lagi sepi warungnya ….”

“Kalau sama kamu juga gak mahal?”

“Eh?” Lelaki itu spontan salah tingkah, seperti baru pertama kali ditanyai begitu. Dia pun pura-pura sibuk dengan mengisi botol Aqua kosong Renjun dengan teh panas, kemudian menggumamkan, “Saya udah bersuami, mas ….”

Sebenarnya Renjun hanya bergurau, dia tidak berniat untuk melakukan hal aneh apa pun. Niatnya kan hanya makan malam sampai kenyang, lalu kembali ke becaknya untuk tidur. Kalau anak-anak pada tahu bapaknya main-main di warung begini, mereka pasti makin enggan pulang. “Katanya bisa pilih orangnya? Ya udah gak apa-apa.”

Renjun mengeluarkan lembaran uang yang lecek dari saku celananya, menyodorkannya pada lelaki di hadapannya, dan hendak pergi. Namun ia segera dicegat.

“Eh, sebentar mas!” Dia kedengaran panik. “Iya, bisa kok sama saya.”

“Kalau terpaksa mah saya gak mau.”

“Enggak kok, mas ….” Nada bicaranya terdengar begitu kecil hingga suara tayangan Dangdut Academy dari televisi hampir meredam ucapannya. “Mau ya, mas …?”

Renjun tidak segera meresponnya, perhatiannya malah teralihkan pada luka-luka kecil dan lebam di lengan lelaki di hadapannya. Penjaga warung itu kini kelihatan gelisah karena Renjun malah membisu.

Bukannya menjawab dengan “ya” atau “tidak”, Renjun malah mengeluarkan beberapa lembar uang tambahan dari kantung kecil yang sering dibawanya ke mana-mana; bank berjalannya. Karena sudah lama kehilangan KTP-nya, dia pun hanya bisa menyimpan tabungannya dalam sebuah kantung. “Segini cukup, kan?”

“Oh, cukup mas.” Jauh lebih dari cukup. Lelaki itu merasa makin gugup terus dipandangi oleh Renjun, apalagi Renjun seperti begitu fokus pada perutnya. Perutnya yang mulai membesar karena mengandung buah hati pertamanya. Refleks, dia pun menutupi perutnya dengan kedua tangannya. “S-Saya hamilnya belum besar kok, jadi belum kelihatan banget.”

Pada pernyataan itu, Renjun menghela napas panjang. Ia pun berkata, “Kamu gak usah ngapa-ngapain saya kok. Tapi karena saya lagi ulang tahun, saya ada keinginan kalau kamu lagi beribadah, tolong doain anak-anak saya supaya bahagia terus.”

Dengan begitu, Renjun pun pergi dengan botol Aqua yang sudah diisi ulang dengan teh panasnya, dan tak pernah kembali. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: explicit ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Mark tidak menyembunyikan tatapannya ketika pak Dejun masuk ke gedung olahraga kampus untuk mengambil entah-itu-apa karena ah, Mark malah hanya bisa fokus pada bagaimana lengan kekar si bapak tercetak di kemejanya. Dosennya itu tidak lagi mengenakan jas yang membuatnya kelihatan rapi, rambutnya juga berantakan, dan ia kelihatan sedikit lelah. Pasti karena festival olahraga nanti, padahal dia tidak harus ikut andil, tapi pria itu memang terlalu baik hati.

Bapak Dejun memang tipikal dosen muda yang canggung, dia mudah terintimidasi oleh para mahasiswa yang cerewet, dan kalau kata Mark sih si bapak ini cukup culun.

Mungkin kecuali hari ini, di mana si bapak mengeluarkan feromon Alfanya yang membuat Mark sedikit deg-degan.

“Oh.” Kata si bapak ketika ia dihadapkan pada Mark yang sedang santai-santai di atas matras milik anak karate.

“Hehe … sore, pak.”

Si bapak hanya membalas senyum Mark dan tidak bertanya sebelum akhirnya pergi. Ia nampak begitu kerepotan ketika mencoba membuka pintu dengan kedua tangannya yang dipenuhi peralatan olahraga. Hingga akhirnya si bapak bilang, “Aduh ….” Yang kemudian diketahui sebagai pintu gedung yang terkunci dan si bapak tidak tahu cara membukanya, begitu pun Mark. Sungguh kebetulan bagaimana keduanya sedang tidak punya pulsa dan akses pada internet. Aaaahhh, brengsek.

Mereka berdua duduk saling berjauhan, begitu canggung awalnya, keduanya sok-sokan sibuk dengan ponsel mereka yang tidak berguna.

Jadi mereka terjebak di dalam gedungnya, dan hanya bisa berharap akan ada orang yang ingat kalau mereka hilang.

Tapi tentu saja semua orang sedang sibuk dengan persiapan festival olahraga kampus, langit makin gelap, di luar sudah amat gaduh.

Sehingga tidak ada akan yang menyadari ketika Mark tiba-tiba saja mengeluarkan cairan dari lubangnya yang menandakan bahwa ia kini bergairah. Dan bukan heat tentu saja. Hanya nafsu sesaat yang akan hilang sendirinya. Normal. Tapi canggung saja karena dirangsang oleh feromon Alfa dosennya sendiri.

“Aduh …,” Mark kemudian cengengesan, “maaf ya, pak.”

Padahal si bapak kelihatannya toleran terhadap hal seperti ini, bapak Dejun yang Mark ketahui akan mengabaikannya meski situasinya jadi makin canggung. Sehingga entah apa yang membuat si bapak tiba-tiba bilang, “M-Mau saya bantu …?” Dan berakhir dengan mengobok anus Mark hingga membuatnya merintih-rintih kecil di atas matras.

Mark mengeluarkan cairan hangat lebih banyak yang melicinkan lubangnya. Dan hal tersebut sepertinya mempengaruhi si bapak, karena dia kemudian ragu-ragu meremas penis dalam celananya. Bapak Dejun melirik Mark sekilas, seperti ingin meminta izin untuk melepaskan hasrat seksualnya sendiri tapi malu.

Hal tersebut membuat Mark terkekeh karena si bapak gemesin juga, dan pada akhirnya ia bilang, “Santai aja, pak. Penis bapak pasti udah sesek banget, kan? Mau saya bantuin juga?”

Untuk beberapa saat, Mark nampak tertegun. Seperti baru sadar situasi mereka dan berpikir kalau, anjing, gila banget. Gue ngewe sama pak Dejun?!

Wajah si bapak ketika keenakan dikocok penisnya itu kelihatan amat menggairahkan, Mark tidak ingin mengakuinya tapi ia makin terangsang karena ekspresi yang dibuat si bapak; kening mengernyit sambil menahan geramannya.

Cincin pernikahan pak Dejun yang menggores dinding anus Mark membuat Mark makin dibuat gila akan nafsunya. Kalau kamu Omega, hal ini tidak akan menyakitimu. Dibantu dengan cairan kental yang terus-terusan membanjiri anusnya, jari si bapak keluar-masuk begitu lancar.

Mark baru ingat kalau si bapak ini baru menikah, ia pun jadi membayangkan dirinya dientot di kamar si bapak ketika suaminya sedang tidak ada. Merasakan penisnya menerobos anusnya, membanjirinya dengan peju. Mungkin ia akan berteriak kencang hingga membuat tetangga pak Dejun menggosipkan mereka; seorang profesor seks dengan mahasiswanya.

“A-Ah …! Bapak!” Anus Mark menyempit, membayangkan fantasi liarnya, penisnya berkedut-kedut, penis si bapak yang di tangan Mark juga makin menegang dan berat dan—aaahhh …!

“Aduh.” Si bapak mengernyit, kakinya bergetar lemas ketika ia akhirnya mengeluarkan pejunya yang mengotori perut Mark. Dan kalau boleh jujur, Mark ingin terus mengocok penis pak Dejun sampai mungkin dia knotting dan memendam peju di dalam anus Mark, menghamili Mark lagi dan lagi—

“Bapak, enak banget, astaga …!”

Akhirnya Mark pun klimaks dari kocokan jari dosennya, cairan kental membasahi pantat dan matras klub karate yang ditidurinya. Dan sungguh kebetulan bagaimana tiba-tiba saja seorang mahasiswa membuka pintu gedung olahraga yang tadinya terkunci, memergoki aktivitas tidak senonoh mereka. Anjing, it’s Hendery.

“Mark, lo tidur siang apa hibernasi sih—eh, ASTAGA?! K-Kalian ngapain?!” ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Fin

Rating: General ㅤ ㅤ ㅤ

“Loh mas Hakim tumben gak sama teh panasnya?”

Bujangan itu hanya tersenyum tipis sebelum berkata, “Enggak, saya pesen minum dari luar.”

Mbak Maharani, alias wanita yang pemilik warteg ini hanya bisa mengangguk-angguk. Tidak ingin memperlihatkan kalau ia sebenarnya sedikit sakit hati karena pelanggannya membawa minum dari luar. Pasalnya si mas Hakim selalu memuji mbak Maharani kalau teh tawar panasnya lebih enak dari teh panas abang-abang bubur di depan gang kos-kosannya; katanya wangi dan tidak kepahitan.

“Eh, mas Hakim,” kata si mbak tiba-tiba, tubuhnya dicondongkan ketika hendak berbisik, “saya titip warteg dulu sebentar boleh, ya? Ini katanya saya harus ke TK-nya si kakak.”

Mas Hakim setuju-setuju saja, karena sekolah anaknya mbak Maharani ini masih bisa dijangkau dengan jalan kaki sebentar. Dan si mbak ternyata memang pergi tidak lama, ia kembali lagi sambil tertawa-tawa karena anaknya mengatakan sesuatu yang lucu namun kemudian,

“Ibu … sebenernya kakak pulang soalnya disuruh bang Hakim pulang.” Kata putra sulungnya, dia nampak begitu polos ketika mengatakannya.

Mbak Maharani hanya mengernyit sedikit, berusaha untuk tidak terlihat terlalu terkejut di hadapan putranya. “Maksudnya gimana, kak? Kok disuruh sama bang Hakim?”

Pertanyaan itu terjawab ketika kebetulan mereka sampai di rumah mereka alias ketika mereka ada di warteg mbak Maharani, mereka disamput oleh sebuah, “Selamat ulang tahun, mbak!” dari beberapa tetangganya termasuk putri bungsunya yang ada dalam gendongan mas Hakim.

Ini akan terdengar aneh, tapi mas Hakim nampak begitu mempesona saat ini. Mungkin karena hal sepele, namun bagaimana lihainya mas Hakim dalam menggendong si bungsu sambil membawa sekotak donat J.CO selusin yang dihiasi lilin kecil, membuat Maharani sedikit deg-degan.

Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh teringatkan mas Hakim yang berbeda dengannya. Meski usia mereka tidak terpaut jauh, tapi dunia mereka cukup berbeda.

Mas Hakim yang berasal dari keluarga baik-baik dan mungkin terpelajar, tentu saja dia akan selalu terlihat mempesona. Lagi pula mas Hakim ini secara teknis masih anak sekolahan, masih bergelut dengan dunia perkuliahan.

Berbeda dengan Maharani yang sudah harus mengecap pahitnya hidup ketika hamil di luar nikah, saat itu Maharani masih kelas 2 SMA. Meski ia bisa menamatkan sekolahnya, tapi ia harus pindah jauh-jauh dari Bojong Jeju karena katanya, malu-maluin si bapak banget kamu, dan menikahi pacar yang menghamilinya pada saat itu.

Tentu saja pernikahan mereka tidak bertahan lama. Mantan suaminya itu masih belum begitu dewasa ketika dilemparkan peran “ayah” kepadanya. Maharani harus bertahan dalam pernikahan yang tidak membahagiakan selama dua tahun sebelum akhirnya mereka berpisah.

Lalu di sinilah dirinya.

“Ya ampun, kalian ….” Mata Maharani berkaca-kaca, ia tersenyum dengan bibir bergetar. Mereka kemudian menyanyikan lagu ulang tahun sebelum akhirnya meminta mbak Maharani tiup lilin.

“Berdoa dulu sebelum tiup lilin.” Kata mas Hakim dengan sebuah senyum paling menawan yang pernah dilihat Maharani. Cahaya lilin yang menerangi separuh wajah mas Hakim membuatnya makin tampan.

Maharani pun memejam matanya ketika berdoa:

Ibu Pertiwi, tolong kirimkan padaku pria yang paling tepat untukku dan anak-anakku, aku janji akan membahagiakan pria yang membuat kami bahagia nantinya ….

Dan ketika Maharani membuka matanya kembali, ia disuguhkan pemandangan mas Hakim dan putri bungsunya yang tersenyum gembira padanya.

“Semoga terkabul ya, mbak.” ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

Fin.

rating: teen to mature

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Donghyuck menghela napas panjang, ia menjilat bibir keringnya, perutnya terasa sakit. Donghyuck mengerang. Ia berbaring nyaman di atas sofa kulit di ruangan kerjanya dengan kedua tangan dilipat di dada.

“Minhyung itu manusia, Donghyuck.”

Yes, a cute one with nice ass.” Tatapan Donghyuck mengawang ke langit ruangan ini, seperti sedang melamun. Memang sedang melamun sih, ia sedang membayangkan tentang, “Bayangkan aku dan dia tinggal di Woodbay, mungkin kita akan punya dua anak. Ohh! Apa aku harus membangun water park di halaman rumah nanti?” Donghyuck bergumam keras-keras. “Ya, mungkin. Dia bilang kan dia suka berenang.”

“Dia tidak pernah mengatakannya padamu, kau mengupingnya berbicara.”

Donghyuck hampir saja bertransformasi ke sisi gelapnya—irisnya bersinar merah, ia kesal karena sedari membicarakan Minhyung, asisten pribadinya selalu menamparnya dengan fakta yang tidak enak.

“Lagi pula,” kata Jeno—sang asisten pribadi, “keluargamu tidak akan menerimanya dengan baik.”

Donghyuck kembali sibuk dalam angannya untuk beberapa saat, sebelum kemudian spontan bangkit dari posisi, akhirnya menghadap Jeno yang duduk tegap di sofa seberangnya seperti seorang terapis. “Oke, aku harus bertanya pada Renjun!”

What? Kenapa tiba-tiba membahas Renjun?”

“Renjun itu kan berpengalaman dalam hal ini ..., you know ..., love life. Mungkin dia tahu apa yang harus kulakukan.” Donghyuck bangkit dan mengambil jasnya yang tergeletak di meja. Ia tidak mengindahkan Jeno yang hendak meresponnya, Donghyuck terus berbicara, “Untuk meeting nanti,” ia melirik Rolex emas di tangan kirinya, “cover me, okay?”

Hal itu merupakan sebuah pertanyaan retorik karena Donghyuck sudah melenggang keluar ruangan tanpa menunggu respon asisten pribadinya.

Jeno menghela napas panjang, menjadi asisten salah satu anggota klan vampir terhormat ‘Moonlanders’ memang diperlukan kesabaran yang ekstra. Apa lagi Donghyuck ini merupakan salah satu penerus generasi termuda yang mendapatkan perhatian banyak dari keluarga; artinya yang paling disayang, yang paling manja, dan yang paling merepotkan.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

Donghyuck tidak sama sekali terkejut ketika ia membuka pintu kemudian disambut oleh pemandangan Renjun yang separuh telanjang dibalut selimut dan tiga wanita di ranjangnya.

Donghyuck bahkan tidak sungkan untuk duduk di tepi ranjang tersebut, dan tidak terpengaruh oleh Renjun yang dengan santainya menyuruh seluruh wanita itu pergi.

I need help.”

Kesadaran Renjun masih belum pulih sepenuhnya, jadi ia mengerang, membuat gestur pada Donghyuck yang artinya tunggu dulu. Tangannya meraba nakas di sampingnya, mengambil sepuntung rokok untuk dinyalakan.

What is it again?” Akhirnya Renjun berbicara.

Tanpa basa-basi, ia berkata, “Aku tertarik pada seseorang.”

“Dan?”

“Renjun, kau tidak mengerti? Aku menyukai seseorang.” Donghyuck berdeham, tidak terbiasa dengan hembusan asap rokok dari mulut Renjun.

Renjun memicingkan matanya, ia bersandar pada headboard ranjangnya santai. Tidak merespon untuk beberapa saat sebelum kemudian berkata, “Maksudmu ... jatuh cinta?” Ketika melihat reaksi Donghyuck yang mengkonfirmasi dugaannya, Renjun hanya terkekeh. “Vampires don’t fall in love.”

Ugh, mitos. Tentu saja kita jatuh cinta.”

Ada senyum aneh di wajah Renjun, ia menatap Donghyuck menilai. “You know what, aku baru ingat kau ini bukan murni Moonlanders.” Ughhh, here we go again, membahas dirinya yang lahir dari pasangan vampir-manusia. “DNA manusia yang ada dalam dirimu itu yang mungkin membuatmu begini. You’re too much of a softie for a vampire.”

Well, orang yang kusukai ini manusia, jadi masuk akal saja kalau aku bisa jatuh cinta pada manusia.”

Oh, lord, that makes everything even worse.”

Donghyuck mengerang, “Kau sama sekali tidak membantu.” Ia menghempaskan tubuhnya di ranjang Renjun, diam beberapa saat sebelum kemudian spontan bangkit lagi ketika ingat kalau air mani Renjun yang mengering masih menempel di ranjang tersebut. “Kalau begitu, bagaimana caranya kau mendapatkan wanita-wanita itu?”

Huh?”

“Bagaimana caranya kau membuat mereka jatuh cinta padamu?”

Pertanyaan naif itu membuat Renjun langsung tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di mansion besar itu.

“Oh, Donghyuck. Those women don’t love me, dan aku juga tidak mencintai mereka. Gosh, bahkan kata-kata cinta pun membuatku geli.” Renjun bergidik ngeri, “It’s so … human.”

“Tapi … aku menyukai Minhyung.”

Renjun tertawa, ia hampir terbatuk karena rokok yang dihisapnya. “Itu namanya nafsu.”

Huh?”

You want to fuck him.” Ucap Renjun. “Well, kalau kau mau pakai cara tradisional untuk mendekati seseorang. Berikan manusia itu hadiah.”

“Ohhh!”

“Berikan apa yang sedang diinginkan atau dibutuhkannya. Kau tau apa yang diinginkannya, kan?”

Donghyuck tersenyum lebar. “Yup, Minhyung pernah bilang,” Donghyuck sebenarnya pernah menguping, “dia ingin berbelanja di mall sambil keliling-keliling. Jadi kita ke mall dan berbelanja bersama?”

Okay, cute. Awal yang bagus.” Renjun mengangguk-angguk puas. “Mendekati tanpa menakuti.”

“Kalau begitu aku hanya harus membeli mall-nya agar Minhyung bisa keliling-keliling dan belanja sepuasnya, kan? Nanti kita bisa berduaan lama-lama!”

Haduh, Renjun spontan menghela napas panjang, selalu merasa lelah berbicara dengan vampir blasteran manusia yang naif ini.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ to be continued tapi boong.

rating: mature to explicit ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀

Yukhei paling sebal kalau Mark sudah melakukan hal ini ketika mereka lagi enak-enakan.

Seperti sekarang ini, di mana mereka sedang enak-enaknya petting. Yukhei menciumi leher pacarnya, sesekali memberi gigitan kecil yang membuat Mark mendesahkan nama Yukhei. Sudah benar-benar enak, cara Mark menyebut nama Yukhei dalam desahan tiap kali mereka seks selalu sukses membuat Yukhei makin sange.

Apa lagi ditambah dengan bagaimana beceknya bibir memek Mark di antara penis Yukhei, lalu rengekan Mark tiap kali kepala penis Yukhei menggesek klitors Mark; ahh, sayang, kontol kamu enak banget, please, pengen langsung dimasukin ….

Fuck, yang, pengen ngentot kamu tiap hari kalau belum dimasukin aja seenak ini.”

“Yanggg, cepet kontolin aku—” tapi tentu saja harus dirusak oleh Mark yang tiba-tiba menepuk bahu Yukhei, dan berseru, “ahh, yang, aku lupa!”

Yang mengejutkan Yukhei karena dia langsung ambruk di atas tubuh Mark. “Aduh, jangan ngagetin gitu, yang.” Penis Yukhei hampir terpeleset masuk ke vagina Mark, cukup membuat Yukhei jantungan karena ia tidak memakai kondom. Hehe, meski kemungkinannya kecil, tapi ia belum mau menghamili anak orang (padahal cuma petting juga kan bisa membuahi). “Lupa apaan?”

“Lupa tadi gak nyalain tombol buat masak nasi. Ihh, minggir, mau ke kosan dulu.”

“Astaga.” Yukhei mengerang kesal, ia kemudian malah memeluk tubuh mungil Mark erat-erat dan menenggelamkan wajahnya di antara leher orang kesayangannya. “Ya, udah nanti juga bisa dinyalain.” Gumam Yukhei, bibirnya menggelitik leher Mark.

“Gak mau, biar pas pulang aku bisa langsung makan.”

“Nanti aku aja yang beliin nasi, yang.”

“Boros dong kalau beli di luar, kan aku udah masak nasi.”

“Sumpah, yang, nasi doang mah gak boros.”

“Tuh, kamu tuh gitu, kebiasaan.” Mark mendorong tubuh Yukhei untuk menyingkirkannya, si mas pacar pun terguling ke samping. “Nasi doang itu duit, jangan disepelein.” Mark mulai masuk ke mode ceramahnya. “Jangan sampe aku nanti denger kamu minjem duit sama si Dejun pas akhir bulan.”

Kali ini Yukhei yang merengek, damn, Mark memang benar sih. Pengeluaran kecil seperti itu memang bisa membuat Yukhei berakhir melarat di akhir bulan.

Lalu Mark bangkit, ia sudah berdiri di samping ranjang, namun tubuhnya segera ditarik oleh pacarnya. Yukhei memeluk perut Mark, ia menyandarkan wajahnya ke selangkangan Mark. “Ahhh, please, yang, ini mah gak bisa ditundaaa!” Yukhei mengecup vagina Mark, dan berbisik, “Tega banget kamu ninggalin aku di saat kayak gini.” Kemudian membuat gestur ke penis tegangnya. “Aku udah super ngaceng padahal.”

Mark berdecak kesal dan menoyor kening mas pacar, mendorongnya jauh dari vaginanya, kemudian menghela napas berat. “Ya, udah sini aku kocok sampe kamu keluar.”

Yukhei berteriak gembira kemudian menarik kembali tubuh Mark dan mengecup memek basah itu. “Nanti sebelum kita ngewe lagi, jangan lupa pencet tombol masak nasinya, kalau gak, aku pencet tombol kamu yang ini!” Kemudian Yukhei menekan klitors Mark yang spontan membuat pacarnya menjerit. ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀

Rating: Teen Mpreg/Male pregnancy. Penulis sengaja tidak mencantumkan peringatan lainnya. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Mark, kita gak akan pernah kembali ke masa lalu. This is us now.”

Donghyuck yang dulu tidak akan berkata begitu pada Mark, tidak akan membuat kekasihnya berlinang air mata, dia tidak akan memberikan Mark tatapan yang begitu dingin.

“Maksudnya … kamu gak mau makan malam sama aku lagi?”

Mark, I don’t love you anymore, inginnya itu yang dikatakan Donghyuck pada kekasihnya, namun ia malah membisu. Bahkan ketika Donghyuck berlalu dan mendengar Mark membisikkan, “Kamu masih sayang sama aku, kan?” Donghyuck tetap membisu.

Mark pada akhirnya menitikkan air matanya dan segera membalikkan tubuhnya ketika dirasa air matanya tak kunjung berhenti. Sesekali terdengar isak tangis kecil dari Mark.

“Jangan tunggu saya buat makan malam.”

Begitu menyedihkan bagaimana Mark mencoba untuk menghapus air matanya yang tak berhenti mengalir deras, ia pun kembali menghadap kekasihnya, dan berkata, “Donghyuck, aku kangen sama kamu.”

“Kamu juga gak usah bikin saya sarapan besok, dan seterusnya.”

“D-Donghyuck …?” Aku lagi mengandung anak kita, bukannya kamu selalu mau jadi seorang ayah? Baby-nya sedih kalau kamu sedih, jangan marah-marah lagi, please?

Tapi Mark harus menelan informasi tersebut, merasa tidak enak kalau berita yang begitu membahagiakan harus diungkap pada saat begini. Bayi mereka juga pasti tidak suka disambut oleh ayahnya yang sedang muram.

Refleks Mark mengelus perutnya yang mulai membesar. Ia sengaja mengenakan pakaian kebesaran untuk menyembunyikan berita ini dari Donghyuck agar bisa jadi sebuah kejutan yang menggembirakan.

Dan mungkin bisa mengembalikan Donghyuck yang dulu, yang mencintainya.

Meski tentu saja, dunia takkan pernah adil.

Donghyuck tetap begitu dingin padanya.

Mereka bahkan tidak saling bertatap muka hingga keesokan harinya, di mana Donghyuck harus dipertemukan kembali dengan Mark dalam keadaan berlumuran darah di sebuah mobil ambulans. Dan tak bernyawa.

Katanya sebuah kecelakaan, Mark hanya menyeberang jalan cepat-cepat untuk mengejar waktu. Mungkin untuk mengejar Donghyuck sebelum ia pergi bekerja, kemudian membuatkan sarapan yang selalu dihidangkannya pada Donghyuck di pagi buta begini, sambil berharap bahwa mungkin hal kecil yang dilakukannya itu akan membuat sikap sang sang kekasih berubah ketika pulang nanti. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin