the kind of jealousy in a relationship that people don't talk about.
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Jeno tidak bermaksud berlebihan, Mark Lee itu benar-benar merupakan pasangan hidup idealnya. Padahal usia merek tidak terpaut jauh, tapi Mark Lee bersikap begitu dewasa, selalu tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan.
Tidak ada hal yang Jeno tidak sukai dari Mark selain bagaimana Mark semakin tidak punya waktu untuknya. Tiap beberapa minggu sekali, pria itu akan ada acara sendiri dengan temannya. “Yakin gak mau ikut?”
“Hm, next time deh, soalnya aku udah ikut yang kemarin-kemarin, kan. Takutnya temen kamu aneh lihat aku terus, apalagi mereka gak pernah bawa partner mereka.”
Jeno sebenarnya benci bagaimana Mark hanya tersenyum dan bilang, “Okay.” Seperti memvalidasi ketakutan Jeno selama ini; Mark dan teman-temannya tidak suka Jeno jalan-jalan dengan mereka. Apalagi kehadiran Jeno di sana malah seperti bayangan, duduk diam di samping Mark, sesekali tersenyum, tidak bisa bergabung dengan percakapan karena tidak mengerti konteksnya, dan menjawab singkat ketika ditanyai sesuatu.
“Atau mungkin kamu mau jalan bareng Jisung lagi?” Mark memberikan ide, dia sepertinya cukup peka untuk menyadari rona wajah Jeno yang berubah. “Dulu kalian sering jalan bareng, kan?”
Jeno mengernyit, dia membayangkan pertemanannya dengan Jisung yang sudah tidak semenyenangkan dulu. “Eh? Iya sih kita akrab, tapi itu sebelum aku sama kamu.”
“Kalau sepeda keliling komplek?”
“Hmm,” kalau enggak sama kamu, aku gak mau, “enggak deh, sekarang lagi musim hujan.”
Mark kelihatan seperti sedang menahan diri untuk tidak menghela napas panjang, mungkin biar tidak kelihatan muak pada sikap Jeno. “Kalau ada apa-apa, kamu langsung hubungi aku, okay?”
“Ya ampun, kayak mau ke mana aja. Udah sana pergiii …!” Jeno terkekeh geli, dia pun mendorong Mark keluar dari pintu utama. “Aku bakalan fine aja kok.”
“Okay kalau gitu ….” Mark ragu-ragu tersenyum.
Jeno mengerling sambil tersenyum, pura-pura marah pada Mark. “Aku oke-oke aja sendirian, aku juga punya kehidupan kali, babe.”
The thing is … Jeno memang tidak punya kehidupan selain bersama Mark. Mungkin kenalan Jeno di mana-mana, tapi ia tidak punya teman selain Mark. Tidak ada hobi ataupun ketertarikan. Gairah dalam berkarier pun tidak ada karena posisinya di perusahaan ini ia dapatkan dari nepotisme.
Ada pikiran kalau mungkin sebenarnya memiliki Mark sebagai kekasihnya merupakan cara Jeno untuk mengisi kekosongan di hidupnya yang membosankan.
Jeno tidak bermaksud berlebihan, tapi Mark Lee itu benar-benar merupakan gambaran hidup idealnya.
Mark punya segudang prestasi yang membuat jalan kariernya begitu mulus, hubungan dengan temannya juga kelihatan asyik, hubungan Mark dengan keluarganya sehat-sehat saja.
Dan Jeno benci bagaimana ia mulai membenci Mark.
“Hubungan kita udah gak sehat, kamu mulai jealous sama aku?” Ah, Jeno diam-diam semakin benci kekasihnya, karena kali ini Mark benar lagi. Di antara mereka berdua, Mark memang yang paling pintar bicara. “Kalau kamu cemburu aku sering jalan bareng temen-temenku, okelah, aku ngerti.” Tutur Mark. “Tapi ini tuh,” Mark menghela napas panjang, ia kedengaran lelah, “kamu akhir-akhir ini bener-bener sensitif. Sering mempermasalahkan hal yang sepele.”
“Ngapain aku jealous sama kehidupan kamu? Sok tahu banget!” Tapi nada bicaranya makin tinggi, emosi terpancing. Jeno mengernyit, rahangnya menegang, dia menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Terus kamu maunya apa? Kenapa marah aku mau jalan bareng temenku? Terakhir aku jalan sama mereka tuh dua bulan yang lalu! Aku sering tolak ajakan mereka karena aku gak mau kamu sendirian.”
“Oh?” Jeno benar-benar kelihatan gusar, merasa tersinggung bahwa Mark secara tidak langsung menyalahkannya atas waktu yang dilewatkan bersama teman-temannya. “Kamu nyalahin aku? Selama ini kamu benci sama aku, kan?! Dan sekarang warna asli kamu keluar ….”
Jeno tidak seharusnya bilang begitu, karena sialan, Jeno kedengaran amat childish, ia merasa dikalahkan dalam perdebatan ini, tapi sudah terlanjur.
Raut wajah Mark langsung berubah, dia kelihatan seperti dikhianati, merasa sakit hati karena kata-kata itu keluar dari mulut kekasihnya sendiri. Orang yang disayanginya. Sehingga tidak mengejutkan ketika Mark tiba-tiba memutuskan, “We need to break up.”
Seharusnya mereka putus hubungan beberapa tahun yang lalu, di mana Jeno bertemu keluarga Mark untuk pertama kalinya, dan merasa cemburu karena Mark memiliki keluarga yang begitu hangat, hidupnya kelihatan baik-baik saja. Membuat Jeno jadi bertanya-tanya … kenapa dia mau menjalin hubungan romantis dan berkomitmen dengan Jeno? Jeno yang bukan apa-apa dibandingkan Mark, apalagi tanpa Mark.
Mendengar Mark akan memutuskan hubungannya, Jeno tidak mau mengakui bahwa ia merasa amat hancur, dalam artian dia merasa dikalahkan; harusnya aku yang putusin hubungan kita duluan. Kenapa jadi aku yang kelihatan lebih butuh Mark?! Aku juga bisa bahagia sendiri!
Nyatanya, Jeno merasa lebih kesepian setelah sendirian. Dia bahkan tertular penyakit seksual akibat kurang berhati-hati dalam gonta-ganti pasangan seks. Tadinya Jeno ingin membuktikan bahwa dia baik-baik saja tanpa Mark, tapi Jeno malah merana.
Hidupnya makin hancur karena tidak ada lagi yang mengecup keningnya di pagi hari, mengenalkannya pada hobi baru, mentoleransi emosinya yang seperti rollercoaster, atau memberikan Jeno validasi yang tidak pernah didapatkan dari siapa pun.
Ingin memulai pertemanan, tapi orang-orang di sekitar Jeno tidak ada yang seramah dan sesabar Mark, sehingga mereka tidak ada yang betah berlama-lama dengan Jeno selain untuk berhubungan seksual.
Karena ego yang tinggi, Jeno mencoba untuk tidak menangisi putusnya hubungan mereka. Tapi kali ini air matanya sulit untuk dibendung ketika suatu hari salah satu partner seksnya bertanya, “Emangnya mantan lo yang terakhir kayak gimana?”
Jadi Jeno harus memeriksa Mark kembali di Instagram, dan menemukan bahwa Mark sudah menikah serta dikaruniai seorang putra yang menggemaskan. Dia kelihatan begitu bahagia; begitu cocok dengan kehidupan ideal Jeno.
Jeno memeriksa Instagram posts Mark di saat-saat mereka putus, dan tidak menemukan hal-hal yang bertanda kalau Mark pernah sedih. Foto-foto Mark bersama Jeno bahkan sudah menghilang. Tidak mengejutkan, tapi Jeno tetap merasa kecewa, merasa dikalahkan.
“Uhm, Instagram-nya udah gak ada kayaknya—gak penting juga sih.” ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin.