alxsglo

Rating: Teen Penulis sengaja tidak mencantumkan peringatan ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Hal yang ada di benak Lucas ketika ia terpilih sebagai seorang tribute adalah sebuah kebanggaan, bagaimana saat itu ia berpikir kalau berpartisipasi dalam Hunger Games merupakan kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak selemah sang ayah pikir. Jika menang, dia bisa mengangkat nama baik keluarga. Jika menang, dia tidak akan jadi pecundang dari Distrik 8 lagi.

Jika menang? Ah, tidak ada jika.

Lucas akan memenangkannya.

Dengan kemampuan bertarung kombatnya, dia akan memenangkan Hunger Games ini. Dengan motivasi yang membara, kemenangan untuk Distrik 8 akan mengudara.

Lantas …,

Mengapa pemandangan Mark Lee yang tergolek lemas di sampingnya membuat tangannya bergetar? Mengapa pemandangan Mark Lee dengan panah yang menembus dadanya membuat Lucas menitikkan air matanya?

Ketika sang partner yang sama-sama mewakilkan Distrik 8 gugur, Lucas tidak bersedih. Ia malah sedikit bahagia, seorang rival berkurang. Lucas bahkan tidak repot-repot untuk melihat ke belakang, menyaksikan Xiaojun terperosok ke jurang.

Namun ini Mark. Dia berbeda.

Kun, sang mentor, selalu berkata padanya untuk tidak melibatkan perasaan romantis dalam Hunger Games. Untuk tidak jatuh cinta karena hal tersebut hanya akan memperburuk performanya di Arena.

Atau mungkin sesungguhnya hal itu tidak benar, Kun selalu tahu bahwa performa Lucas akan tetap mengagumkan bagaimanapun. Kun melihat banyak potensi dalam diri tribute dari Distrik 8 itu, dia tahu Lucas akan memenangkan Hunger Games.

Mentornya tersebut hanya ingin memperlihatkan pada masyarakat, menarik simpati dan hati para sponsor melalui adegan pedihnya ketika Lucas berjuang untuk tetap memendam perasaannya kala kehilangan sang pujaan hati.

Deru napas Mark begitu kasar nan lambat, ia menatap Lucas dengan mata yang sayu, ada senyum lemah terukir di wajahnya.

It’s … fine ….” Lirih Mark, ia menggunakan tenaganya yang tersisa untuk mengangkat tangannya yang berlumur darah dan menangkup pipi Lucas. “Let me go ….

Mulut terkatup rapat agar Lucas tidak mengeluarkan isak tangisnya. Sang ayah selalu mendidiknya bahwa seorang pria tidak boleh menangis agar tidak terlihat lemah.

Pandangan Lucas mengabur oleh air mata, ia menggenggam tangan Mark erat-erat. “Nanti pasti akan ada sponsor yang bantu kamu, please, please, stay …!”

Mark dapat merasakan kain seragam yang dikenakannya basah karena darah. Air mata Mark ikut berlinang, ingin mengatakan kalau dirinya pun tidak mau pergi, tapi tidak bisa. Ingin bilang kalau dia takut mati, tapi tidak bisa.

“Menangkan ini untukku, hm?” Lalu Mark memejam matanya erat dan mengernyit kala rasa sakitnya sudah tidak tertahankan. Racun dari panah yang menancap di tubuhnya itu makin menyebar, tubuhnya makin tak berdaya.

“Mark, kumohon, kumohon—seseorang …!” Lucas berteriak entah pada siapa, ia pun menengadah, mengharapkan Gamemakers akan melakukan sesuatu untuk Mark.

“Selalu akan ada … s-satu pemenang.” Napas Mark makin tersendat, ia nampak susah payah untuk tetap terjaga. Genggaman tangan Mark padanya melemas. “Dan pemenang itu kamu ….”

Lucas tahu momen seperti ini akan datang, akan ada saat di mana dirinya atau Mark yang gugur dari Hunger Games. Hanya saja rasanya Lucas takkan pernah bisa memproses kenyataannya bahwa …

“Mark …?”

Kedipan mata Mark begitu lambat, ia sekali lagi tersenyum pada Lucas sebelum akhirnya membisikkan, “Thank you.” Kedua mata Mark perlahan terpejam.

Lalu hening.

Satu.

Dua.

Tiga.

Mark pergi, dan tak pernah kembali.

Sungguh kebetulan, hujan mulai turun. Tontonan ini jadi begitu dramatis nan sempurna untuk menghibur masyarakat Panem.

Sebuah ledakan meriam pun menggema di Arena, potret Mark Lee dari Distrik 10 terlukis di udara diiringi lantunan himne Panem.

Mark Lee dari Distrik 10 resmi dinyatakan telah gugur.

Perayaan atas Lucas dari Distrik 8 sebagai pemenang Hunger Games ke-66 akan diselenggarakan. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin.

Rating: Teen and Up Warning: Not-so graphic description of violence ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Saya bakalan panggil polisi!”

Mark hanya berkedip dan berkedip, dia duduk di atas lemari sambil mengayunkan kedua kakinya begitu santai.

“Saya gak tahu kamu siapa, kita sama sekali gak kenal, jadi, please, pergi!”

“Gak bisa, Hyuckie …! Mau kamu ngusir aku kayak gimana pun, aku gak akan pergi.”

Donghyuck kemudian mundur beberapa langkah, ia perlahan mengambil sebuah pisau dari meja di belakangnya lalu menodongkannya pada Mark dengan tangan bergetar.

“Donghyuckie, terima aja nasib kamu.” Mark merengek kesal, mulai jengkel karena calon suaminya benar-benar tidak menyambutnya dengan baik. “Kamu jodoh aku! Bayangin kamu bakalan punya suami dari dunia lain! Seru, kan?”

Donghyuck sempat-sempatnya membayangkan dirinya pacaran dengan lelaki bertanduk dan berekor api, kencan di kafe-kafe lucu dengan seorang iblis, menikahinya, hidup bersama Mark, membesarkan putra-putri mereka bersama-sama—

Kemudian terdengar Mark terkikik geli, tangannya menutup mulutnya ketika tertawa. “Yang tadi kamu bayangin itu ramalan dari Renjun, kita cute banget, kan?” Lalu menghela napas panjang dan senyum malu-malu. “Haaa, bahkan sampai punya anak juga.”

“Renjun?”

“Peramal di kerajaan Papi!”

Donghyuck malah tertegun untuk beberapa saat, ia nampak berpikir keras sebelum akhirnya berkata, “Ini … pasti cuma mimpi buruk.”

“Masa sih Hyuckie gak suka aku?” Lalu Mark cemberut, pipinya mengembung. “Hmm, padahal aku suka diundang ke mimpi basah kamu, huh!”

Donghyuck mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian ia melenguh terkejut karena baru sadar kenapa wajah Mark nampak tidak asing. Lelaki dengan bokong yang indah yang selama ini membintangi mimpi basahnya adalah … seorang iblis?! “Oh My God.”

“Memang udah jadi takdir dan naluri kamu buat mimpiin aku kok.”

“Gak mungkin ….”

“Kamu gak bisa tolak aku pokoknya.”

“Emangnya kenapa saya gak bisa menolak? Saya juga punya hak buat menolak.”

Mark kemudian menengadah, seperti sedang mencoba melihat sesuatu menembus langit ruangan ini, lalu berkata, “Nanti Papi aku marah.”

“Terus kalau ayah kamu marah? Memangnya saya harus peduli?”

Mark menggaruk-garuk kepalanya, meski ia mengaku dirinya sebagai seorang iblis, wajah Mark ini sebenarnya nampak naif untuk seseorang yang diciptakan dari seluruh zat jahat di bumi ini. “Ah, Donghyuckie, Papi aku itu orangnya penting, tugasnya banyak, punya koneksi sana-sini di akhirat. Jadi kekuatannya gedeee banget!” Mark membuat gestur dengan tangannya untuk menekankan kata “gedeee”.

“Ayah kamu bakalan bunuh saya kalau saya gak terima perjodohannya, gitu?”

Lalu Mark terkikik dan menggumamkan kata “gemes banget” sambil mengayun-ayunkan kakinya. Donghyuck baru sadar kalau seluruh kuku kakinya itu hitam.

“Bukan bunuh Donghyuckie, ihhh, tapi nanti kiamat.” Mark tersenyum simpul. “Dunianya, phewww …! Hancur gitu, termasuk kamu juga.”

Kiamat.

Donghyuck mengerjapkan matanya, ia melongo untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengeluarkan, “HAH?! Ke-Kenapa?!”

“Yaaa, kan Papi aku orang penting gitu, kalau marah lumayan serem, tapi aku juga gak tahu, soalnya yang pernah dimarahin sama Papi cuma abang aku.” Mark memiringkan kepalanya dengan bibir yang manyun. Dan bisa-bisanya untuk sekejap, Donghyuck berpikir kalau Mark cukup menggemaskan. “Tahu tragedi tsunami di Lanercoast tahun 1800-an?”

What—”

“Itu karena Papi marah sama abang aku, hehehe.”

Donghyuck dapat melihat taring Mark yang tajam ketika iblis itu tersenyum. Entah kenapa penampilan Mark dengan taring, tanduk, sayap, dan ekornya, nampak cocok-cocok saja.

“Kamu bisa mati?” Astaga, Donghyuck begitu frontal.

Tapi Mark kelihatan baik-baik saja mendengar pertanyaan tersebut, karena kemudian ia mengangkat bahunya, dan bilang, “Gak tahu, belum pernah coba. Tapi aku bisa ngerasain rasa sakit kalau—whoa!”

Mark menjerit ketika Donghyuck menarik kakinya, ia refleks memeluk Donghyuck, dan jleb! Donghyuck menusukkan pisau yang sedari tadi ada di tangannya ke perut Mark beberapa kali; Jleb! Jleb! Jleb!

Oh.

“A-Ah …, Donghyuckie …?” Lirih Mark lemah, ia nampak terkejut. Ada air mata menggenang yang siap jatuh ke pipinya, tubuhnya terasa melemas dalam pelukan Donghyuck. “Sakit ….”

Oh, no.

No, no, no!

Wait ..., kamu gak bisa sembuhin diri sendiri …?”

Mark tidak menjawab Donghyuck, lelaki itu hanya mencoba untuk memegang lengan Donghyuck dengan cengkraman yang lemah. Ia menangis, lengannya yang hangat masih melingkar di bahu Donghyuck.

Donghyuck tidak mengira kalau Mark ternyata akan benar-benar merasakan sakit dan bereaksi sama seperti manusia biasa. Ada darah mengalir dari perutnya, menembus kemeja Donghyuck; setelan kantor yang masih belum dilepaskannya.

Astaga, Donghyuck kini resmi jadi seorang pembunuh …? Tapi dia tidak bermaksud melakukannya! Donghyuck pikir dia hanya akan menyakitinya sedikit, Mark kan iblis ... apa lagi dengan kekuatannya seperti ketika tadi membobol pintu rumah Donghyuck dengan tangan kosong, lelaki itu pastilah kuat.

Fuck, fuck, fuck. Donghyuck benar-benar mengacaukan ini semua. Hanya dalam semalam, hidupnya berubah dari seorang pekerja kantoran cupu yang biasa saja menjadi seorang pembunuh keji. Dia bahkan menusuk Mark beberapa kali, fuck.

Please, don’t die on me ….” Donghyuck mencoba mencabut pisau tersebut dari tubuh Mark, namun ia makin panik ketika Mark nampaknya malah tambah kesakitan.

Donghyuck yang gelisah pun membuka pakaiannya yang dilumuri darah Mark, kemudian melemparnya ke sembarang tempat, tidak sadar bagaimana Mark sempat mencuri pandang ke perut kekar Donghyuck.

“D-Dongh-hyuckie …, m-maaf ….”

Donghyuck menggeleng, dia ikut menangis. Entah kenapa, tiba-tiba saja rasa duka yang hebat menyelimuti dirinya, benar-benar seperti baru saja kehilangan orang yang sangat berarti baginya. “Aku yang harusnya minta maaf, Mark.”

Tangan Mark perlahan diangkat untuk menangkup pipi Donghyuck, noda kemerahan itu pun mengenai sebagian wajah Donghyuck, mengotori kacamatanya. “Donghyuckie …, kamu …”

“Y-Ya?”

Mark tersenyum pedih, air mata tak kunjung berhenti mengalir ke pipinya.

“Kamu … ah, … aha … ha … hahahAHAHAHAHA!!!” lalu tertawa lepas begitu saja, tangannya yang penuh darah menutup mulutnya ketika tertawa. “Ah, Donghyuckie! Calon suami aku gemes banget sihhh.” Mark dengan mudahnya duduk menghadap Donghyuck, tangannya kembali ke wajah Donghyuck dan mencubit pipinya. “Ini yang Papi aku suka dari kamu, kamu tuh baik tapi sisi jahatnya seksi banget! Tadi pas kamu gak ragu-ragu buat bunuh aku, kamu pasti lolos jadi menantu Papi aku!”

Oh My Fucking God.” Bisik Donghyuck, masih kelihatan syok.

“Sebentar, aduh, geli ... hehehe.” Mark memegang pisau yang masih menancap di tubuhnya dan mencabutnya begitu saja. Lalu, “Ups!” Darah dari perutnya menciprati ranjang Donghyuck. “Wait, nooo, ranjang kita!”

“Ranjang kita?!” Donghyuck memekik histeris, ini semua rasanya seperti film horor. “Maksudnya kamu tidur bareng saya di sini?!”

“Ihh, Hyuckie!” Mark yang tersipu malu langsung menutup wajahnya, pipinya merona. “Gak usah diucapin kayak gitu.”

Melihat Mark yang tersipu malu anehnya malah membuat Donghyuck sedikit deg-degan, jadi untuk menyembunyikan perasaannya, ia pun berseru, “Stop! Saya gak suka sama kamu!”

“Yaaa, udah tahu sebenernya, jadi kata Renjun memang kamu bakalan menolak aku mentah-mentah, terus akhirnya kamu jatuh cinta sama aku.”

Cinta, Donghyuck bergidik ngeri pada bayangan itu. Kemudian Mark mendekat pada Donghyuck dan tiba-tiba memeluknya erat. Donghyuck pun membeku.

“Aku seneng banget akhirnya bisa ketemu sama pangeran yang nanti bisa selamatin kerajaan Papi aku!”

Mendengar ucapan Mark, sontak bayangan-bayangan aneh—yang kata Mark merupakan sebuah ramalan—muncul di kepala Donghyuck; ada ibunya yang sedang menangis dalam pelukan seorang iblis, kemudian Donghyuck yang bertarung melawan seorang malaikat demi melindungi Mark, ada bayangan Mark yang nampak bahagia bersama putra-putri mereka, Mark yang terkikik geli ketika Donghyuck menghujani lehernya dengan ciuman, Mark yang memekik histeris ketika dikejutkan oleh pelukan Donghyuck di hadapan para pelayan istana, dan gambaran Mark yang tersenyum manis padanya setelah Donghyuck mengucap, I love you.

“Aku gak bisa pergi dari kamu karena kita itu jodoh. Tapi kalau memang ada yang menentang, yaaa, dunia ini berakhir! Sekarang udah ngerti kan, Hyuckie?”

Donghyuck pun pingsan.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

fin.

Rating: t to m ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Itu tante saya, pasti bakalan bahas punya anak. Gak usah banyak ngejawab, kamu senyum aja.”

“Ini syukurannya kapan selesainya sih?” Ia melonggarkan rangkulannya pada Donghyuck karena geraaaah! Mark tidak tahan lama-lama di sini. Di pesta syukuran pindahan rumahnya dengan suami palsunya.

Yup, kalian tidak salah baca.

Mark menikahi seseorang yang sama sekali tidak ia kenali dan cintai. Dia pikir hal ini hanya terjadi di sinema elektronik, film-film romantis, atau karya fiksi mengenai anggota boy band yang digemarinya.

Hal ini benar-benar terjadi di kehidupannya.

AAAAHHHHH, ingin berteriak, tapi tidak bisa. Sebelum pesta ini dimulai, pria di sampingnya ini jelas-jelas memberitahunya bahwa, kamu jangan ngeluarin sikap barbar kamu, bakalan banyak keluarga saya yang harus kita temuin.

Brengsek, Lee Donghyuck. Mark masih tidak terima dikatai barbar oleh si pria angkuh yang kini resmi jadi suaminya.

Lebih barbar mana dengan Donghyuck yang tahu-tahu membuat pesta megah tanpa memeritahu Mark sebelumnya?! Hah?!

“Senyum, senyum!” Desis Donghyuck pada Mark, pria itu kemudian menangkup pipi Mark dan menarik pipi bulatnya untuk memaksakan sebuah senyum. Tante Donghyuck yang sudah mendekat, menyalahartikan aksi Donghyuck itu sebagai sesuatu yang romantis.

“Aduh, mas Donghyuck, gemes banget sama suaminya.”

Dan ketika wanita itu melirik Mark, Mark sesegera mungkin membuat senyum manis andalannya, senyumnya gak terlalu lebar, dia juga sok-sokan menghindari tatapan mereka sambil menunduk sedikit, biar bisa memberikan kesan hihihi aku manis, pemalu, dan lugu. Juga biar cocok dengan imej Donghyuck yang classy.

“Akhirnya yaa, kalau sekarang di rumah gak sendirian lagi, kerasa bedanya karena ada yang nemenin, ya?” Wanita itu menatap Donghyuck dan Mark bergantian.

“Ohh, iya, tante.” Donghyuck mengukir sebuah senyum yang diharap tidak terlalu kelihatan terpaksa. “Bangun tidur jadi gak kesepian lagi.”

“Nah, iya, rumah sebesar itu harusnya diramein.” Kata wanita itu dengan senyum yang aneh, kemudian matanya dipicingkan, dia pun membisikkan bagian selanjutnya, “Kalau bisa sih diramein sama dua momongan juga.” Wanita itu tertawa sambil mencolek-colek Mark.

“Oh, kalau itu sih kayaknya mimpi aja deh, tante! Gak bakalan terjadi.” Respon Mark lalu bergidik ngeri, kemudian tiba-tiba saja ia merasakan Donghyuck menyikut keras perutnya, Mark spontan memegang area tusukan itu dan mengerang. “Ow!”

“Eh, kamu kenapa?” Tanya Donghyuck dengan nada bicara lembut nan sok khawatir yang ingin membuat Mark mencekiknya sekarang juga. “Magnya kambuh, sayang?”

SAYANG??? HHHHHHH.

“Bawa ke belakang coba, mas Donghyuck. Pasti suaminya capek keliling buat nyapa tamu.” Tante Donghyuck menyarankan, dia kelihatan benar-benar khawatir.

Right. Di antara mereka, Donghyuck memang yang paling pintar bersandiwara. Dari luar, Donghyuck memang tipikal pria misterius yang begitu dreamy. Personanya diketahui berwibawa nan karismatik, semua yang dikatakan Donghyuck dapat dengan mudah dipercayai orang-orang.

Jadi dengan Mark yang kambuh magnya sebagai tumbalnya, mereka berdua pun mempersilakan diri untuk pergi dari keramaian sebentar, tidak lupa Mark pura-pura kesakitan perut dan sengaja bersandar seenaknya pada Donghyuck yang jadi kerepotan karena Mark itu berat ….

Ketika tidak ada siapa-siapa, Donghyuck tanpa masalah menyeret Mark, tidak memedulikan Mark yang kerepotan mengikuti langkah kaki cepat Donghyuck.

“Ah, aw, aw, aw. Pelan-pelan, ih!”

Donghyuck menyeret Mark ke halaman belakang, tepat di dekat tempat air mancur di mana Donghyuck suka diam-diam melamun sambil merokok pada malam hari.

Mark tidak tahu banyak soal Donghyuck, tapi dia tahu kalau pria itu sudah melepaskan kacamatanya, lalu tangannya berkacak pinggang, dia akan marah.

“Aku gak salah, kamu juga pasti mikirnya sama kayak aku.” Mark langsung mencuri kesempatan Donghyuck untuk berbicara.

Donghyuck memijati kepalanya, salah satu kebiasaan sang suami yang Mark perhatikan akan muncul kalau sedang menahan amarahnya. “Mark, kamu lebih tua dari saya. Berarti udah dewasa, kan? Bisa bedain waktunya kamu bersikap kayak gitu sama siapa dan kapan.”

“Oke, aku lebih tua tapi seenggaknya sikap aku gak kayak bapak-bapak yang kaku!” “Maksudnya?” Nada bicara Donghyuck ikut naik.

“Tante kamu gak kelihatan ada masalah kok sama apa yang aku bilang. Becanda dikit emang kenapa sih?”

“Ya, karena emang respon kayak gitu yang tante saya mau. Suaminya itu jurnalis!” Desis Donghyuck, wajahnya begitu dekat pada Mark. “Inget Mark, apa pun yang kita bilang itu bakalan jadi konsumsi publik dan bisa nyerang balik.”

Ugh. Mark hanya bisa menghela napas berat, karena iya, Donghyuck memang benar. Pernikahan palsu mereka ini bisa menyerang balik.

Singkat cerita, pernikahan mereka merupakan salah satu cara untuk memperbaiki nama The Lees yang mulai ternodai oleh para generasi barunya.

The Lees merupakan kumpulan keluarga konglomerat dengan marga “Lee” dari klan yang berbeda, mereka dikenal sebagai kumpulan keluarga terhormat. Generasi demi generasi, The Lees tidak berhenti memukau rakyat biasa dengan catatan prestasi dan kedermawanan mereka.

Sampai akhirnya beberapa tahun terakhir, nama The Lees jadi tercoreng.

Entah itu catatan kriminal ataupun perilaku bodoh di publik, semuanya diperparah oleh para generasi barunya yang makin sedikit bersedia untuk meneruskan garis keturunan.

Anggaplah Donghyuck dan Mark terpilih sebagai pasangan, yang katanya akan meneruskan garis keturunan The Lees, yang cocok menjadi konsumsi publik, alias pengalihan isu.

Okay, maafin aku.” Kata Mark, dia kedengaran memang menyesal. Kemudian Mark memeluk tubuh Donghyuck erat.

E-Eh?

Donghyuck mencoba melepaskan dirinya dari Mark. “Kamu apa-apaan—”

“Ssshh! Aku denger ada orang.”

Oh ….

Donghyuck pun mengenakan kacamatanya lagi. Dan benar saja, ada suara derap langkah kaki yang mendekat, ketika dia mengintip ke balik punggung Mark, ada sesosok pria tinggi-besar yang sedang berjalan ke arah mereka.

“Mark?”

Mendengar suara yang itu, Donghyuck dapat merasakan Mark tersentak dalam pelukannya. Mark terbelalak, jantung lelaki itu langsung berdegup kencang.

Ah, The Jungs; Jung Sungchan.

Bagian dari kelompok keluarga The Jungs yang dikenal publik sebagai keluarga dengan visual yang godlike, tak terkecuali Sungchan ini.

Setelah mengetahui siapa yang sedang menghampiri mereka, Mark tentu ingin melepaskan dirinya dari Donghyuck, namun lelaki itu malah memeluknya makin erat. Oke, terlalu erat malah.

“Donghyuck, lepasin! Itu Sungchan!” Bisik Mark menggeliat dalam pelukan Donghyuck yang terasa meremas tubuhnya. “Aku kenal orangnya!”

“Saya gak peduli itu siapa, tapi ini hukuman buat kamu karena tadi gak nurut sama kata-kata saya.”

Mark dapat merasakan tangan Donghyuck di punggung kepalanya, kemudian tangan itu mendorong kepala Mark supaya wajahnya tenggelam ke bahu Donghyuck. “Dong—hmmpphh—”

“Oh, sorry,” kata Donghyuck pada Sungchan, satu tangannya lagi sok-sokan mengelus punggungnya, “Mark lagi emosional, biasalah …, pernikahan.”

OH MY GOD, si tukang ngibul!

Akhirnya setelah sekian lama mencari jati diri, Mark punya cita-cita juga, yakni mencekik Lee Donghyuck.

“Ah ….” Sungchan mengangguk-angguk, ia menatap tangan Donghyuck yang merengkuh tubuh Mark begitu intens, merasa ada yang aneh tapi tidak mengatakan apa pun. “Okay.”

Tidak butuh waktu yang lama untuk Donghyuck menyadari bahwa Sungchan ini memiliki hubungan yang tidak biasa dengan Mark, bukan sekadar teman pastinya bila diperhatikan dari reaksi Mark saat ini. Mereka memiliki kisah di masa lalu.

“Mark, kalau udah … selesai, let’s talk, yeah?” Kata Sungchan yang hanya bisa menatap punggung Mark yang bergetar; malah dikira sedang menangis.

“Maaf, Jung Sungchan, kan?” Tanya Donghyuck. “Kalau ada yang mau dibicarain sama suami saya, langsung dibicarain aja di sini.”

SI KUNYUK??? APA-APAAN SIH???

“Oh, uhm,” Sungchan tersenyum canggung, “obrolannya agak personal gitu sih, pak.”

Pak.

Bapak.

Mata Donghyuck rasanya kedutan. Donghyuck dipanggil “bapak” …. Selain oleh rekan kerjanya, Donghyuck tidak pernah dipanggil begitu karena jelas-jelas Donghyuck bukan bapak-bapak.

“Saya kan bagian dari kehidupan personalnya Mark, jadi saya juga berhak tahu.”

NAJISSS, SI KUNYUK NYEBELIN BANGETTTT. Pokoknya kalau ada rumor buruk mengenai Donghyuck sebagai suami yang posesif dan tidak memberikan Mark privasi, salahkan saja Donghyuck!

“Ah, oke, uhm,” dari raut wajah Sungchan, jelas-jelas pria itu nampak sedang menahan emosinya, “cuma mau bilang … Mark,” kemudian tatapan dan nada bicaranya melembut. Sungchan menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengeluarkan, “do you really love him?”

Eh, wadawww.

Oke. Donghyuck tidak akan pernah mengira yang dimaksud personal itu akan sepribadi ini. Jadi Donghyuck benar, Sungchan dan Mark memang punya cerita bersama.

Pada pertanyaan sensitif itu, Mark melemas dalam pelukannya, tidak lagi mencoba untuk melepaskan dirinya atau apa pun. Dan ketika Donghyuck memisahkan jarak di antara mereka, dia disambut oleh wajah Mark yang bersimbah air mata. Oh.

Go home, Sungchan. Ayah kamu pasti gak mau ngeliat kamu deket-deket aku lagi.”

“Mark—”

Lalu Mark mencium bibir Donghyuck. Oh My God. Begitu tiba-tiba hingga Donghyuck malah membeku di tempat.

“Kenapa diem aja?” Bisik Mark, bibir mereka bersinggungan. “Kiss me.”

Dalam kontrak pernikahan palsu mereka, sandiwara seperti kecupan-kecupan kecil atau pun ciuman memang sudah tertera sebagai bagian dari komitmen ini, di mana keduanya setuju dan baik-baik saja akan hal itu.

Mereka pertama kali berciuman di hadapan wedding arch di mana mereka mengikat janji suci palsu mereka—menghadap publik yang ikut berbahagia atas pemandangan romantis itu.

Ciuman kedua kalinya pada awal masa bulan madu mereka di Australia; tidak tahu bagaimana caranya paparazzi dapat menguntit mereka hingga ke sana, tapi Donghyuck dan Mark pada saat itu begitu cepat tanggap dengan berciuman sambil berpegangan tangan.

Lalu kali ini untuk yang ketiga kalinya.

Donghyuck membisikkan, “Close your eyes.”

Pria itu menangkup pipi Mark, ibu jarinya diam-diam menyeka air mata di sana. Donghyuck kemudian mendekatkan wajahnya, dan akhirnya mencium Mark. Donghyuck dapat merasakan tangan sang suami meremas bahunya ketika mereka berciuman.

Mungkin Donghyuck terlalu larut dalam sandiwaranya ini hingga Mark yang menghentikan ciuman mereka sedikit mengejutkannya.

I’m sorry,” kata Mark yang awalnya Donghyuck pikir untuknya, “Sungchan, gak seharusnya kita ketemu lagi.”

Sungchan menatap punggung Mark beberapa saat, seperti berharap Mark akan berbalik padanya, hingga akhirnya dengan berat hati pria itu pergi, tatapannya tidak pernah teralihkan dari Mark sebelum benar-benar menghilang.

Donghyuck melihat Mark mencoba menyembunyikan wajahnya yang pasti kelihatan tidak keruan karena tangisannya.

“Aku cuci muka dulu, nanti balik lagi—”

Donghyuck mencekal lengan Mark, lalu tanpa kata, pria itu memegang sisi wajah Mark, dan menghapus air matanya.

“Kalau kamu jalan keluar sana sekarang, nanti kamu ngelihatin muka kamu yang jelek ini ke tamu udangan saya.”

IHHHHH. Mark ingin mengomel, tapi ia tidak punya tenaga, dan membiarkan Donghyuck mengelusi bagian wajahnya yang banjir oleh air mata.

Mark hanya bisa memperhatikan wajah Donghyuck dari dekat, dari sini dia baru sadar bahwa wajah suaminya itu ternyata dihiasi rasi bintang.

“Jangan nangis lagi hari ini, pasangan saya gak boleh jelek.” Kata Donghyuck sebelum akhirnya menautkan tangannya dengan tangan Mark, dan kembali ke area di mana pesta syukuran pernikahannya masih dilaksanakan. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ DING DING!

“Uhh …,” Mark mengernyit, ia menoleh ke jendela, melihat mataharinya sudah tinggi.

DING DING!

Sekali lagi bel rumahnya berbunyi, Mark sempat mengharapkan ada seorang asisten rumah tangga yang membukakan pintunya, tapi dia lupa kalau perjodohan ini juga mengharuskan mereka hidup tanpa asisten rumah tangga, katanya demi mencegah gosip mengenai hubungan palsu mereka yang menyebar.

“Mark! Coba buka pintunya, saya lagi mandi!” Seru Donghyuck dari kamar mandi yang hampir tidak terdengar oleh Mark yang kini ada di ruang televisi.

Ha-ha. Ya, mereka tidur terpisah, punya kamar masing-masing karena, males banget tidur sama bapak-bapak! Serta Donghyuck tidak akan tahan pada Mark yang sering mengigau dalam tidurnya.

Tapi Mark sepertinya ketiduran menonton series yang seru kemarin malam, makanya dia terbangun di sofa.

DING DING!

Tamu macam apa yang datang tanpa diundang seperti ini? Mark merengek, ia menggeliat dulu di atas sofa untuk meregangkan tubuhnya, sebelum akhirnya perlahan beranjak untuk melihat monitor sekuriti pintu utama.

Ia menggosok-gosok matanya, takut salah lihat.

Huhhh.

Ada seorang lelaki mengenakan jaket kebesaran yang menutupi sebagian tubuhnya, jadi Mark tidak dapat melihat jelas siapa orang itu selain hanya bisa melihat gaya pakaiannya yang sederhana dan … norak.

Mark mengernyitkan keningnya. Maaf, tapi orang itu yang pasti bukan dari kalangannya atau pun seorang wartawan.

Mark menekan tombol mic-nya untuk berbicara pada tamunya melalui monitor itu. “Maaf … ini siapa, ya? Ada keperluan apa?”

“Halo, uhm, saya mau ketemu sama mas Donghyuck.”

“Dari siapa, ya?”

“Bilang aja saya Jeno.”

Jeno … eh, siapa? Mark tidak pernah dengar namanya sama sekali. Wajahnya juga kelihatan begitu lugu. Dari cara bicara Jeno, terdengar ada logat yang memberitahu bahwa Jeno tidak datang dari kota besar.

Jadi Mark pun pergi ke kamar Donghyuck, langsung menyelonong karena Mark kebiasaan ingin membuat Donghyuck jengkel, dan lupa kalau Donghyuck mungkin saja sudah selesai mandi, kemudian—

“WAAAHHHH!!!” Mark langsung histeris. “Mata aku, ihhh!”

“Aduh, ketuk pintu dulu, Mark!” Donghyuck buru-buru membenarkan lilitan handuk di pinggangnya.

Apa yang dilihat Mark sebenarnya tidak begitu jelas karena ia buru-buru memejam matanya, tapi ia tetap dikejutkan oleh Donghyuck tanpa busana.

“Siapa suruh kamu mandi jam segini?!” Mark memang suka tidak mau kalah. “Udah gak telanjang?” Tanya Mark masih memejam matanya, pipinya menghangat, berusaha melupakan apa yang dilihatnya sekilas.

“Hm.”

Mark perlahan membuka matanya dan berdecak kesal, karena Donghyuck masih setengah telanjang, dan tidak protes karena he looks good …, tapi Mark tidak akan mengakui hal itu. “Ada tamu tuh.”

“Siapa?”

“Gak tahu, tapi katanya namanya Jeno.”

Mendengar namanya, raut wajah Donghyuck berubah, dia pun buru-buru berlari ke lemari pakaiannya. “Mark, jangan dibuka pintunya. Biar saya aja.”

Kenapa jangan di buka? Memangnya siapa? Tamu penting?

Oh ….

Apa jangan-jangan orangnya spesial, ya …. Mantan pacar atau masih pacaran?

HEHEHEHE, Mark mencium bau kesempatan untuk balas dendam.

“Donghyuck.”

“Hm?” Dia tidak begitu fokus pada Mark ketika mengubek-ubek lemari pakaiannya hingga akhirnya harus menoleh karena lelaki itu tidak kunjung meresponnya.

Donghyuck dihadapkan pada Mark yang perlahan melangkah mundur menuju pintu utama, dan ketika pandangan mereka bertemu, Mark menghentikan langkahnya, dia tersenyum nakal.

“Mark, jangan.” Donghyuck terbelalak. Jarak mereka cukup jauh, jadi bila mereka harus balapan ke pintu utama, pasti Mark duluan yang sampai.

“Nanti aku bilangnya ke Jeno apa, ya …,” Mark terkikik puas, “uhm, mungkin, Donghyuck-nya lagi emosional, biasalah pernikahan, gitu kali, ya?”

“Mark Lee!”

Lalu Mark berlari sekencang mungkin ke pintu utama, disusul Donghyuck yang kerepotan mengenakan baju, celana, dan kacamatanya di tengah mengejar Mark.

Namun tentu saja Mark duluan yang sampai di pintu utama, ia tidak basa-basi dan langsung membukanya, disambut oleh sosok lelaki yang sama yang tadi dilihatnya di monitor sekuriti.

“Hai, saya Jeno …,” lelaki itu tersenyum kecil, “uhm, saya mau ketemu mas—”

“Mark Lee!”

Donghyuck menarik lengan Mark, karena terlalu kencang, tubuh mereka malah bertabrakan dan berakhir dengan mereka yang merangkul tubuh satu sama lain supaya tidak jatuh.

“Jen—Jeno?” Kata Donghyuck sedikit tersengal-sengal. “Kamu … balik lagi.”

Ah, Lee Jeno, adalah seorang Lee dari keluarga biasa-biasa yang memang memiliki masa lalu bersama Donghyuck. Jeno itu seseorang yang istimewa tanpa status lebih dari sekadar teman, meski mereka melakukan hal-hal yang lebih dari sekadar teman lakukan.

Perbedaan status sosial pasti akan mengecam hubungan Donghyuck dan Jeno, sehingga hubungan mereka dan eksistensi Jeno harus tetap tersembunyi. Demi kebaikan mereka.

Donghyuck sesungguhnya tidak pernah-pernah secara jelas mengakhiri hubungan mereka karena tidak tega.

Bisa dibilang, pernyataan Mark mengenai Donghyuck yang seperti bapak-bapak itu ada benarnya. Lebih tepatnya bapak-bapak yang sudah lama tidak pacaran dan bingung soal kehidupan romantisnya.

Donghyuck adalah Donghyuck, pria brengsek yang tidak tahu caranya mengatasi patah hati, dia malah kabur dan meninggalkan Jeno kebingungan tanpa kabar.

Tapi Jeno ada di sini. Muncul di hadapan mereka dengan raut wajah yang menunjukkan bahwa dia jelas-jelas patah hati.

“Oh …,” Jeno tidak segera melanjutkan ucapannya, dia melihat Donghyuck dan Mark bergantian, mencoba membaca situasinya dengan memeriksa penampilan mereka. “Mas Donghyuck …, kamu …”

Menyadari apa yang Jeno tangkap dari pemandangan ini, dia mencoba melepaskan dirinya dari Mark. “Oh, J-Jeno, Kita cuma—”

Kemudian terasa Mark segera meraih lengan Donghyuck untuk digandeng, suami palsunya itu tiba-tiba bersandar nyaman—atau kelewat nyaman pada bahu Donghyuck.

Lalu gaya bicara Mark dibuat sok-sokan naif, ahh, dia begitu mendalami karakter ini. “Ada apa, ya …? Pagi-pagi gini mau ketemu suami saya ….”

Jeno melenguh terkejut, dia menatap Donghyuck tidak percaya. “Kamu beneran nikah, mas?”

Mark mengangkat tangan Donghyuck dan memperlihatkan bagaimana mereka mengenakan cincin pernikahan yang sama. “Kita emang beneran nikah …. Mas Donghyuck, ini siapa?”

Lalu malah Jeno yang menjawab, “Saya pacarnya Donghyuck.”

Wanjir, lugu tapi frontal abis.

Mungkin dia mulai kesal melihat Mark tidak kunjung lepas dari “pacar”-nya.

“Jen, kita ngomongnya di dalem aja.” Donghyuck menyarankan, sudah membuka pintu lebih lebar.

“A-aduh, mas ….” Tiba-tiba Mark menjatuhkan tubuhnya begitu dramatis pada Donghyuck yang langsung cekatan mendekapnya. “Aku tiba-tiba pusing sama mual,” lalu Mark pura-pura ingin muntah, “morning sickness aku makin parah, kayaknya … calon baby-nya ikut stress gara-gara ada yang ngaku-ngaku jadi pacar kamu, mas.”

OH MY GOD.

Mendengar ucapan Mark, Jeno terbelalak, dia menatap Donghyuck penuh kekecewaan dengan air mata yang sudah siap jatuh ke pipi. “Mas, bilang apa yang dia bilang itu bohong ….”

Astaga.

Donghyuck makin kebingungan, ia nampak berpikir keras bagaimana harus memulai percakapan ini. Donghyuck tahu kalau hubungan mereka takkan pernah memiliki kesempatan.

Pria itu memijati kepalanya dan menghela napas panjang, Donghyuck akhirnya berkata, “Maafin mas.” Oh.

Mendengar kata-kata itu, Jeno membuka mulutnya untuk mengeluarkan respon, tapi tidak satu patah kata pun diucapnya. Ia pun perlahan meninggalkan mereka berdua sambil menutup mulutnya supaya isak tangisannya tidak terdengar.

Donghyuck mencoba untuk tidak memperlihatkan emosinya, namun begitu jelas dari bagaimana pria itu kini hanya diam, emosinya pasti campur aduk.

Mark takkan pernah tahu apakah Donghyuck masih memiliki ruang untuk Jeno di hatinya, apakah kini yang ingin Donghyuck lakukan adalah mengejar Jeno, mungkin bilang padanya, maaf, mas masih sayang kamu, dan gak mau kamu pergi.

Anehnya, memikirkan hal itu malah membuat hati Mark tidak nyaman. Huh.

Mereka hanya masih di situ, sibuk dengan pikiran masing-masing hingga kemudian Donghyuck baru sadar kalau Mark masih keenakan bersandar padanya.

Donghyuck spontan mendorong tubuh Mark. “Hih!”

“Aw!” Suasana emosional mereka pun luntur, dan kembali ke rumah tangga palsu mereka yang penuh dengan bumbu menyebalkan. Mark mengelus-elus bahunya yang membentur ambang pintu. “Yeee! Siapa juga yang mau deket-deket sama bapak-bapak kayak kamu?!”

“Kamu lebih tua, tapi manggil saya bapak-bapak. Kalau saya bapak-bapak, terus kamu apa? Fosil?”

F-FOSIL …?! “Lee Donghyuck, brengsek!”

Ahh, yup, melalui rumah tangga palsu ini, Donghyuck dan Mark perlahan mulai saling mengenal satu sama lain melalui hal-hal yang tidak terduga.

Namun sesulit apa pun itu rumah tangga palsu ini, tidak di antara keduanya yang nampaknya akan menyerah. Meski ada drama di sana-sini, tapi keduanya menghadapinya begitu baik dan kompak.

Selayaknya sepasang kekasih sungguhan. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ BREAKING NEWS: The Lees Akan Menyambut Anggota Keluarga Baru – Mark dikabarkan tengah mengandung buah hatinya yang pertama dengan Donghyuck.

Donghyuck dan Mark—yang sedang menonton siaran berita tersebut—langsung menghela napas berat bersamaan.

Here we go again.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

fin

rating: g ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Mas pergi bentar, ya?”

Mark tidak segera menjawab Yukhei, ia pelan-pelan melirik si mas pacar yang kini duduk di tepi ranjang, lalu merengek karena astaga, Mark kangen banget. Dia ingin memeluk kekasihnya itu tapi tidak bisa.

Tolong salahkan gerimis kemarin dan dirinya yang melewatkan makan siang, hingga keesokannya Mark terbangun dengan tubuh lemas dan menggigil, ia pun harus absen dari bekerja. Mark mau tidak mau menghubungi Yukhei yang masih ada di kantor.

“Temenin aku sampe tidur.” Gumam Mark dengan mata separuh terbuka, ia nampak hampir tenggelam dalam selimutnya.

“Nanti sore mas balik lagi.”

“Kalau ada apa-apa sama aku, gimana …?”

“Ya, kamu makanya jangan keluar kasur dulu. Tunggu aja sampe mas pulang.”

Mark langsung manyun, ia berpaling dari Yukhei, dan perlahan mengubah posisinya untuk memunggungi sang kekasih sambil mengernyit karena demamnya membuat kulitnya sensitif terhadap sentuhan.

Melihat Mark ngambek seperti itu, Yukhei langsung terkekeh. Yukhei mencondongkan tubuhnya untuk menatap wajah Mark kemudian mengelusi punggung yang dibalut selimut itu. “Kamu sakit kayak gini jangan ngambek, nanti sembuhnya makin lama.”

“Ya, habisnya …, kan aku kangen.”

Tangan Yukhei kemudian menelusuri helaian rambut Mark untuk dibelai lembut, ia tersenyum ketika terlihat Mark mencoba untuk mengintip Yukhei dari pantulan cermin di seberang ranjang.

“Segitu kangennya sama mas, hm?” Yukhei tersenyum, ia perlahan bangkit dan mengangkat selimut itu, lalu masuk ke dalamnya untuk berbaring di samping Mark. Yukhei kemudian sempat-sempatnya mengecup leher sang kekasih.

“E-eh, mas ….” Mark berusaha untuk tidak menunjukkan keterkejutannya ketika Yukhei melingkarkan tangannya ke perut Mark dan memeluknya dari belakang.

“Katanya kangen.”

“Ya …, emang.” Mark menggenggam tangan Yukhei yang memeluknya. “Tapi mas bau parfum ruangan kantor.”

Yukhei tertawa, getaran dadanya terasa sampai ke punggung Mark. “Emang kamu tahu bau parfum kantor mas kayak gimana?”

Mark diam sebentar, kemudian merengek, dari suaranya kedengaran bahwa ia merasa lelah dan ingin segera terlelap. “Pokoknya baunya tuh bau habis mas dari kantor.”

Kemudian hening, hanya ada suara deru napas mereka berdua dan bisingnya televisi dari luar yang lupa dimatikan. Yukhei hanya masih mengelus-elus perut Mark, tidak ada yang berkutik di antara mereka berdua untuk waktu yang cukup lama.

Yukhei mengintip wajah Mark dari pantulan di cermin. Kekasihnya itu memejam matanya, nampak begitu tenang.

Yukhei pikir Mark sudah terlelap, ia hendak bangkit hingga akhirnya terasa Mark menarik lengan Yukhei untuk menghentikannya, kemudian terdengar Mark merengek, “Mas, ih ….”

“Eh, kirain udah tidur.”

“Mas jangan pergi, soalnya aku gampang kebangun.”

“Kan belum ngambil baju, sayang.”

“Kata aku juga, mas tinggal di sini aja sama aku ….”

Kenapa pembicaraannya jadi ke sini …, Yukhei tidak tahu, tapi mungkin ini efek demamnya. Yukhei meletakkan telapak tangannya di dahi Mark lagi, ternyata memang masih hangat.

Baiklah, mungkin juga karena Mark memang selalu membicarakan bagaimana rumah yang dikontraknya ini terlalu besar untuknya sendiri, jadi kenapa Yukhei tidak pindah saja ke sini yang jelas-jelas lebih enak dibanding kos-kosannya.

“Nanti ya, sayang.” Jawab Yukhei akhirnya, mengenai pindahannya. “Kan gak enak kata tetangga, masa pacaran tinggal bareng.” Takut digosipin yang enggak-enggak karena kumpul kebo, wilayah di mana Mark tinggal ini dipenuhi orang tua yang konservatif. Tapi Mark sih fine-fine saja di sini dan bisa cepat akrab dengan tetangga, karena Mark secara natural memang supel dan menyenangkan.

Tapi Mark tidak peduli, yang selalu dipermasalahkan olehnya hanyalah Yukhei yang tidak tinggal bersamanya.

Mark mendengus kesal, pipinya mengembung. “Bodo amat kata tetangga.”

Ya, sebenarnya memang bodo amat pada apa kata tetangga. Tapi Yukhei tahu kalau suatu hari mereka digosipkan hal-hal yang negatif, pasti Mark yang akan langsung terpengaruh meski dia bilang “bodo amat”.

Ramah dan supel begitu juga, Mark ini cukup rapuh hatinya, dia mudah sakit hati.

Serta Yukhei hanya ingin menunggu momen yang tepat, yakni menunggu hingga tabungan untuk melamar Mark terkumpul.

Ah, ya, Yukhei sudah membuat bekal untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.

Tabungannya sedikit lagi terpenuhi, jadi Yukhei hanya harus bersabar sebentar, dan semuanya akan jauh lebih nyaman. Ia juga ingin membuat momennya spesial.

“Pokoknya nanti pasti kita tinggal bareng, percaya sama mas.” Kata Yukhei. “Suatu saat mas bisa bareng sama kamu seterusnya, okay?”

Hening.

Yukhei mengernyit ketika merasa genggaman tangan Mark terlepas darinya, ia pun berbisik, “Sayang …?”

Tidak ada respon.

Yukhei memeriksa Mark dari pantulan di cermin, dan ternyata kini lelaki itu nampak pulas dalam tidurnya. Tubuh Mark melemas dalam pelukan Yukhei, mulutnya yang sedikit terbuka menandakan bahwa ia memang sudah terlelap.

Yukhei tersenyum kecil karena gemas pada pemandangan kekasihnya yang nampak mungil dalam gumpalan selimut. Yukhei perlahan dan begitu hati-hati melepaskan dirinya dari Mark, lalu bangkit. Pria itu membenarkan letak selimut Mark, kemudian membungkuk untuk mengecup pipi Mark yang terasa hangat.

Perlahan Yukhei menjauh dari kekasihnya yang kini pulas dalam kepompong selimutnya, berusaha keras untuk tidak membangunkan Mark. Karena kesayangan Yukhei itu kalau terbangun dari tidur kemudian ditambah sedang sakit, manjanya akan sangaaat ekstra …!

Meski hal yang ingin Yukhei lakukan saat ini juga adalah memeluk gemas tubuh kekasihnya erat-erat, menghujaninya dengan ciuman, dan tetap membuat tubuh kecil itu hangat dalam pelukannya.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

fin

rating: m to e ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Awalnya dimulai dari sebuah “hey” pada sebuah pesta yang diadakan oleh tetangga apartemennya. Mark masih ingat bagaimana menawannya senyum Donghyuck waktu itu. Gosh … Donghyuck, salah satu tetangga yang sering ditemuinya. Mereka beberapa kali berpapasan di tangga, atau di rooftop ketika Mark hendak menjemur seprai, juga di minimarket seberang gedung apartemen.

Donghyuck merupakan pria yang tepat untuknya, pikir Mark. Ia terlalu cocok sebagai pendamping hari-hari Mark.

Humoris, berwibawa, menyenangkan, baik hati, dan yang paling penting, Donghyuck membuat Mark begitu nyaman.

Tapi masalahnya, Donghyuck ini sudah punya kekasih.

Jeno, merupakan orang yang sama menariknya seperti Donghyuck. Hubungan mereka membuat Mark iri, cemburu, namun Mark tidak bisa membenci Jeno; he’s such a nice guy. Mereka memang begitu cocok.

Dan harus Mark akui bahwa ia juga ingin ada di posisi Jeno. Bisa tiap hari bangun dengan presensi Donghyuck di sisinya, makan malam bersama, bisa berpegangan tangan dengan pria itu, memeluk tubuhnya, bisa mencium bibirnya—

“Kamu juga bisa kalau mau, Mark.”

“Hm?” Mark kemudian berdehem, mencoba untuk menyembunyikan bahwa dirinya baru saja menatap kekasih orang lain penuh nafsu.

Jeno tersenyum, ia mengukir senyum khasnya yang membuat siapa pun pasti merasa gugup karena wajah manisnya.

“Sama Donghyuck, kamu emangnya gak mau seks sama Donghyuck?”

Astaga, Mark hampir tersedak ludahnya sendiri saking terkejutnya mendengar perkataan itu keluar dari mulut Jeno, kekasih Donghyuck sendiri.

“Maksudnya …?” Jantung Mark berdebar kencang, ia meremas sofa yang kini sedang didudukinya.

“Aduh, gimana ngomongnya, ya,” kemudian senyum Jeno jadi canggung, ia menggaruk-garuk kepalanya. Ketika Jeno melirik Donghyuck, pria itu ternyata sedang memperhatikan mereka. Lalu akhirnya Jeno berkata, “Jadi, gini …”

Jeno menjelaskan bagaimana dirinya ini memiliki ketertarikan menyaksikan kekasihnya sendiri seks dengan orang lain, dan bagaimana elemen seksual ini merupakan hal penting untuk hubungan Jeno dengan Donghyuck.

Katanya mereka sudah melakukan ini tidak begitu lama, namun partner mereka sebelumnya sudah tidak bisa lagi melakukannya karena harus pindah jauh.

“Terus … kok aku?”

Jeno malah nampak terkejut ketika Mark bertanya begitu. “Oh?” Jeno mengerjapkan matanya. “Aku pikir kamu suka sama Donghyuck.” Ia mengatakannya begitu santai, seolah mereka tidak sedang membicarakan bagaimana Jeno menawarkan Mark untuk seks dengan kekasihnya sendiri.

Dan tentu saja, tentu saja, dasar Mark Lee yang lemah pada pria menawan seperti Donghyuck, ia tidak bisa menolak penawaran ini. Bahkan Mark pikir, peristiwa ini seperti mimpi.

Bedanya, Mark tidak lagi harus memimpikan penis Donghyuck di dalam tubuhnya, tidak lagi harus menggunakan dildo untuk mengoyak lubang hangatnya dan membayangkan bahwa penis Donghyuck-lah yang melakukannya.

Mark sejujurnya tidak pernah tahu sepenuhnya mengenai hal yang disetujuinya tersebut, ia pikir hal ini hanya akan dilakukan beberapa kali dan menjadi pengalaman menarik dalam hidupnya.

Ia tidak pernah membayangkan bahwa terlibat dalam kehidupan seks Donghyuck dan Jeno memang begitu menyenangkan, serta yang paling penting, seks dengan Donghyuck sangat menggairahkan.

Ekspektasi Mark terhadap Donghyuck begitu tinggi, dan pria itu tidak mengecewakannya.

Mark ingat saat pertamanya dengan Donghyuck, ada Jeno yang duduk di samping mereka. Awalnya Mark merasa canggung karena ia tidak pernah mengalami hal seperti ini, serta baginya, seks selalu merupakan hal yang intim dan khusus untuk sepasang manusia.

“O-oh …, Donghyuck …!”

Dalam fantasi liar Mark, ia selalu membayangkan Donghyuck dengan penis besar yang bisa membuat anusnya perih, yang memenuhi rektumnya.

Ternyata Donghyuck melampaui ekspektasinya.

Pria itu seperti sudah mengenal Mark bila dinilai dari bagaimana ia langsung mengetahui ke sudut mana harus menghujam penisnya, di mana letak titik sensitif Mark, atau seberapa lentur tubuh Mark agar Donghyuck bisa menghujam penisnya lebih dalam.

Hal menarik lainnya adalah bagaimana Mark malah makin bergairah disaksikan oleh Jeno. Desahan Mark bersautan dengan erangan-erangan kecil dari mulut Jeno, kekasih Donghyuck itu nampak begitu menggoda ketika memompa jarinya ke dalam dirinya sendiri sambil mengocok penisnya.

Jiwa Mark hampir melayang ketika Donghyuck melumat bibirnya, menciumnya penuh birahi sambil mendorong pinggulnya pada Mark terus-menerus. Dan ketika mereka hampir mendekati klimaks, Mark disuguhkan pemandangan Donghyuck dengan kening yang mengernyit dan mulut sedikit menganga—seperti ingin berteriak karena begitu menikmati bagaimana penisnya bergesek di dalam Mark.

Pada akhirnya Jeno-lah yang pertama klimaks, kemudian disusul Donghyuck dan Mark hampir bersamaan.

Aktivitas erotis yang tidak biasa ini lama-kelamaan jadi biasa untuk Mark, karena bukan hanya dari segi sisi sensual, namun ia pun begitu nyaman tiap kali berkumpul bersama pasangan itu.

Nampaknya Donghyuck dan Jeno pun turut nyaman berada dekat dengan Mark hingga memberikan penawaran lain, yakni mengajaknya untuk tinggal dengan mereka.

Awalnya Mark menolaknya, karena sesungguhnya bila ia harus tinggal dengan mereka, rasanya sama seperti mengambil langkah lebih jauh dari yang seharusnya dalam hubungan ini. Sedangkan persetujuan awal hanyalah Mark berperan sebagai seorang partner dalam kehidupan seks Donghyuck dan Jeno.

“Gak apa-apa kalau nolak kok. Jeno sebenernya yang ngusulin ini, terus aku pikir, kenapa enggak? Kita udah nyaman sama kamu.” Tutur Donghyuck. “Tenang aja, kita bukan ngajak hubungan poliamori. Semuanya tetep sama, cuma nanti kamu tinggal sama kita.” Donghyuck separuh bergumam, matanya—yang hanya separuh terbuka karena mengantuk—membuatnya nampak makin menawan.

Mark hanya menatap Donghyuck untuk beberapa saat, dengan jantung yang berdegup kencang, Mark menikmati keindahan wajah lelaki di sampingnya. Mereka kini sedang berbaring berdampingan di ranjang, dengan Mark yang menyandarkan kepalanya pada lengan Donghyuck.

Donghyuck tersenyum kecil melihat Mark yang tidak kunjung memberikannya jawaban.

Dan ketika Donghyuck menyisir helaian rambutnya yang lepek karena keringat, Mark berusaha untuk tidak melirik jari Donghyuck, jari yang baru saja memainkan puting susu Mark beriringan dengan hujaman penis Donghyuck hingga klimaks; Donghyuck—Donghyuck …! Jangan stop, please …!

Atau bagaimana jemari yang sama itu mengelus pipi Mark untuk menghapus jejak air matanya ketika dua hari yang lalu Mark dientot di ambang pintu kamar.

Okay.” Kata Mark akhirnya.

Okay?

“Aku bakalan pindah ke sini. ”

Senyum kecil Donghyuck semakin lebar, ia melirik Jeno yang sedang tertidur pulas di samping Mark, dan berbisik, “Thank you, Mark, udah ngasih kita kesempatan. Jeno juga pasti seneng kamu ada di sini.”

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Hal yang pertama kali Mark lihat ketika ia keluar dari kamarnya adalah Jeno yang sedang duduk sambil memeluk kedua kakinya di ruang makan, ada dua botol minuman keras yang kosong di meja.

Hidup selama hampir dua tahun dengan Donghyuck dan Jeno membuat Mark hafal gaya hidup dan detail kecil mengenai mereka. Makanya, Jeno yang minum-minum sendirian seperti ini tidak mengejutkannya, namun Mark baru pertama kali melihat Jeno nampak begitu muram dalam keadaan mabuk.

Biasanya lelaki itu akan menghentikan dirinya sebelum benar-benar mabuk dan segera pergi tidur, bukannya diam melamun, larut dalam mabuknya.

“Jeno ...?”

Yang dipanggil pun menoleh ke sumber suara dengan gerakan yang begitu lambat, ia tersenyum lemah pada Mark.

Whoa, Jeno nampak benar-benar kacau. Mata merahnya yang sembab, air mata membasahi pipinya yang merona, kantung matanya mencekung.

“Hey ….” Gumamnya. “Gak bisa tidur?”

03:18. Mark mengernyit, lalu menghela napas panjang sambil mengelusi perutnya. “Hmm, lagi gak enak badan, kayaknya keracunan makanan.”

Mendengar Mark berkata begitu, Jeno ikut mengernyit dan langsung duduk tegak, tiba-tiba terlihat khawatir. “Mau aku buatin teh?”

“Eh, gak usah. Bisa bikin sendiri kok.”

“Enggak apa-apa, aku yang bikinin. Aku masih … belum mabuk ….” Tangan Jeno bergetar ketika ia menopang tubuhnya pada meja untuk berdiri. “Kamu lagi sakit, mending istirahat di kamar aja.”

“Jeno—” Mark ingin menghentikan Jeno yang hendak berlalu ke dapur untuk mengambil gelas, namun malah dirinya sendiri yang harus berhenti karena tiba-tiba saja ia merasa mual lagi. Mark mengerang, ia refleks meraih kain sweater Jeno dan meremasnya.

“Astaga! Mark, kamu gak apa-apa?!”

Mark hanya bisa mengangguk dengan mata terpejam.

“Aku aja yang buatin, ya, kamu istirahat aja di kamar.”

Ketika Mark menatap Jeno, dalam sorot mata kekasih Donghyuck itu, di sana hanya ada kecemasan dan rasa lelah. Mark mencoba mencari kebencian yang mungkin sebenarnya disembunyikan oleh Jeno. Misalnya saja, aku nyesel pernah ngusulin ke Donghyuck buat kamu tinggal di sini! Atau, kapan kamu pergi? Ngerepotin banget sih!

Namun tidak pernah ada, Jeno selalu tulus berbaik hati pada Mark. Tidak pernah sedikit pun menunjukkan tanda bahwa ia membenci Mark.

“Mark, makasih, ya, udah ada di sini. Kamu ngebantu banyak …” tiba-tiba saja Jeno berucap begitu, tatapannya mengawang untuk beberapa saat, “ngebantu aku sadar sesuatu ….”

“Sadar sama sesuatu?”

Jeno hanya tersenyum, kali ini senyumnya begitu pedih, ia terlihat berusaha sekuat mungkin untuk tidak menitikkan air matanya lagi.

Dan pertanyaan Mark tidak pernah terjawab.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Mark tidak memiliki waktu untuk memperhatikan keadaan sekitarnya, yang ada di pikirannya pada saat itu hanyalah bagaimana tabungannya makin menipis dan ia masih belum menemukan pekerjaan yang baru setelah kena PHK.

Untungnya, Donghyuck dan Jeno begitu pengertian dengan tidak mewajibkan Mark untuk membayar tagihan selama menganggur.

Yang akhirnya membuat Mark berusaha untuk membayarnya dengan mengerjakan pekerjaan rumah; bersih-bersih apartemen, menyiapkan makan malam untuk mereka, dan mencucikan pakaian mereka.

Seperti saat ini, bagaimana Mark mencucikan pakaian kotor mereka bertiga yang mulai menumpuk.

Hari ini adalah hari Minggu, namun Jeno tidak ada di rumah.

Oh, ya, Mark mulai menyadari hal ini, bagaimana Jeno makin jarang pulang. Dan ketika ditanya kenapa, Jeno akan menjawabnya dengan, oh … kerjaan di kantor makin numpuk, kemudian diakhiri dengan senyum lelahnya. Jadi Mark tidak bertanya lebih panjang, karena ia tahu bagaimana menjengkelkannya ditanyai panjang-panjang mengenai pekerjaan yang menjenuhkan.

“Mark? Kamu lihat celana aku yang biru?”

“Oh. Uhm,” Donghyuck muncul dalam keadaan masih segar sudah mandi—helaian rambut dan kulit tubuh kekarnya basah. Ia hanya mengenakan handuk yang melilit area pribadinya, membuat Mark spontan salah tingkah. Mark segera mengalihkan pandangannya dengan pipi yang merona. “Masih belum kering, ambil aja yang ada dulu.”

Melihat Mark yang salah tingkah, Donghyuck tertawa. “Kamu udah pernah lihat aku telanjang, aku juga pernah ngeliat kamu. Kenapa malu gitu?”

Mark hanya tertawa canggung, masih menghindari tatapan Donghyuck. “Ada yang bilang kalau di luar ranjang tuh beda lagi.”

Lalu tidak ada respon. Donghyuck bergeming cukup lama, ia juga tidak segera pergi, sehingga Mark akhirnya memberanikan diri untuk menatapnya lagi.

“Donghyuck …?”

Pria itu masih tidak mau meresponnya, ia hanya menatap Mark dalam-dalam, kemudian perlahan tangannya menangkup pipi Mark.

Oh.

Wajah Donghyuck makin mendekat padanya.

Pria impiannya itu pun menciumnya. Tanpa ada Jeno.

Yang langsung membuat Mark mendorong tubuh Donghyuck untuk menjauh, ia melenguh terkejut. “Jeno-nya b-belum pulang ….”

Donghyuck menatap Mark untuk beberapa saat. Ada sesuatu yang membuat tatapan Donghyuck jadi sendu ketika Mark menyebut nama Jeno.

Mark sadar bahwa hubungan Donghyuck dan Jeno sedang tidak baik. Ia pernah terbangun di malam hari pada Jeno yang sepertinya tersulut emosi sambil menangis, serta Donghyuck yang mengulang kata “I’m sorry”.

Hubungan tidak baik itu membuat situasi Mark canggung, karena ia tidak pernah secara resmi ada dalam hubungan mereka, namun pada saat yang sama, sedikit terlibat di dalamnya.

Jadi ketika Donghyuck yang kini setengah telanjang menatap Mark penuh nafsu, perasaan Mark begitu rumit.

“Dongh—hmmph.”

Bunyi kecipak dari bibir basah yang beradu, deru napas yang memburu, serta lenguhan nikmat yang keluar dari mulut Mark dapat terdengar di sana.

Jantung Mark berdegup kencang, ia meremas lengan Donghyuck ketika dapat merasakan penis mereka yang bersentuhan.

Aaahhh …, Donghyuck ….” Mark memegang bahu erat Donghyuck ketika pria itu menciumi lehernya sedangkan tangannya meremas bokongnya.

“Kamu pernah klimaks tanpa aku kocok gak sih? Aku lupa.”

“Hah …?” Mark tidak menangkap ucapan Donghyuck karena begitu larut pada aktivitas ini, dari raut wajahnya jelas bahwa ia sangat menikmati hal ini.

“Tanpa aku ngocok kamu, kamu pernah klimaks?”

“O-oh, uhm,” Mark menelan ludahnya, menarik napas dalam-dalam, dan berkata, “sering kalau sendiri.” Apa lagi kalau sambil bayangin kamu. “Tapi kalau sama kamu belum.”

“Sama aku belum?” Donghyuck tersenyum lebar, senyum menawannya begitu menghipnotis. Ia membalikkan tubuh Mark, memerangkapnya di dinding. Lalu membisikkan, “Kamu ketinggalan hal paling enak. Tapi kalau kamu emang pasti bisa, ya, soalnya Jeno juga suka.”

Jeno.

Jeno, dan Jeno lagi. Jeno yang merupakan kekasih Donghyuck.

Wait, Donghyuck,”

Donghyuck memegang celana Mark, hendak melepaskannya namun dihentikan oleh ucapan Mark.

“Hm?”

Cepat, Mark! Bilang kalau kamu merasa bersalah seks dengan Donghyuck tanpa Jeno, hentikan ini semua—tapi … Mark menginginkan ini, bukan?

Setelah akhirnya bisa berhubungan seks dengan Donghyuck, Mark sebagai manusia serakah dan tidak pernah puas, menginginkan hal yang lebih dari itu.

Ia selalu berfantasi tentang seks yang begitu intim dengan pria impiannya. Tanpa ada siapa pun yang menyaksikan selain dirinya, Donghyuck, dan Alam Semesta yang mungkin kecewa pada Mark, karena Alam Semesta tahu bahwa Mark pada akhirnya akan berkata,

“Enggak apa-apa, uhm …,” Mark perlahan tersenyum menggoda meski Donghyuck tidak dapat melihatnya, “bisa dibikin enak, gak?”

Pada pertanyaan itu Donghyuck tertawa, getaran dadanya menyentuh punggung Mark. “Kirain kenapa, bukan Donghyuck Lee kalau kamu gak dibikin enak, sayang.”

Sayang.

Mark tidak pernah dipanggil seperti itu sebelumnya oleh Donghyuck. Jantungnya berdebar makin kencang, pipinya menghangat.

Clean, kan?”

Mark mengangguk.

Donghyuck mengambil pelumas dan kondom dari sebuah rak dekat mesin cuci yang Mark sama sekali tidak tahu ada di situ sebelumnya. Mungkin … mungkin Donghyuck dan Jeno dulu sering melakukannya di sini.

Ah, lupakan dulu Jeno.

Karena sekarang yang malah dientot oleh Donghyuck di ruang mesin cuci adalah Mark, yang tubuhnya dipompa oleh penis Donghyuck adalah Mark, yang dibuat menjerit dan mendesah dengan nada merengek, “a—ah, aaah …! Donghyuck, lebih kenceng, please” adalah Mark.

Serta yang dibuat hampir kehabisan napas karena terlalu menikmati seks yang begitu terburu-buru hingga akhirnya ejakulasi …

… hanyalah Mark.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Mark, kamu pengin nikah dan punya anak gak sih?”

“Kenapa emangnya?”

Tatapan Jeno pada langit yang luas begitu kosong. Ia menyesap teh hangatnya sebelum akhirnya menjawab, “Membangun keluarga tuh bukan aku banget.”

Huh. Mengenal Jeno selama hampir dua tahun bukan berarti mengenal lelaki itu sepenuhnya. Jeno bukan tipe yang akan memulai percakapan seperti ini, dan Mark selalu berpikir kalau Jeno orang yang family-oriented.

“Uhm … kalau aku … belum kepikiran.”

¬Right …,” Jeno mengangguk-angguk, “aku juga belum kepikiran …” tuturnya, “atau mungkin gak akan pernah kepikiran.”

Dipertemukan lagi dengan Jeno seperti ini membuat Mark baru sadar bahwa dia lupa kapan terakhir kali berhubungan seks dengan Donghyuck dan Jeno.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Malam itu Donghyuck dan Mark mengobrol panjang lebar. Pillow talk kali itu dilakukan setelah seks di ruang televisi tanpa adanya Jeno lagi.

Sejujurnya Mark merasa bersalah telah menikmati sesi seks diam-diam ini, dan rasa bersalahnya ini makin diperburuk dengan Jeno yang selalu bersikap baik padanya.

Ah, selain baik dan rupawan, Jeno ini orang yang terpelajar. Dia bekerja di sebuah perusahaan untuk posisi yang penting. Jeno ini juga begitu penyayang. Meski jelas bahwa hubungannya dengan Donghyuck sedang tidak baik, ia tetap berusaha untuk memastikan bahwa orang di sekitarnya baik-baik saja.

Astaga, Jeno begitu sempurna.

Yang membuat Mark paham bahwa suatu hari akan ada Donghyuck mengatakan ini padanya, “Minggu kemarin aku ngelamar Jeno.”

What?

“Aku bilang sama Jeno kalau aku gak bisa hidup tanpa dia, dan mau nikahin dia.”

Mark mengerjapkan matanya, butuh beberapa saat sebelum akhirnya ia bisa merespon Donghyuck dengan, “Terus … ditolak?”

“Oh, he said yes.” Donghyuck tersenyum miris, “Tapi pas ngomongin soal kemungkinan punya anak, uhm …, dia langsung nolak. Dia bilang dia gak ada rencana punya anak.” Donghyuck membisu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya melanjutkan, “Aku sedih sama marah sebenarnya, karena jadi seorang ayah itu mimpi aku.”

Mark hanya masih mendengarkan Donghyuck.

“Marah karena aku baru sadar kenapa Jeno suka ngehindarin obrolan soal punya anak, dan aku kesel karena waktu itu aku maksa opini aku soal berkeluarga ke Jeno.” Lalu membisikkan, “You know, Jeno itu orangnya kelewat sabar dan baik. But I made him cry that night.”

Mark tidak merespon Donghyuck, karena pria itu kini malah kedengaran seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.

“Tapi ini jadi bikin aku sadar kalau berkeluarga atau punya anak sama Jeno itu bukan mimpi aku.” Kata Donghyuck, ia kemudian mengukir sebuah senyum kecil. “Mimpi aku itu buat hidup sama Jeno, dan ngebahagiain dia seterusnya ….”

“Kamu sesayang itu sama Jeno?” Tanpa sadar keluar dari mulut Mark.

Pertanyaan Mark melebarkan senyum Donghyuck, tatapannya melembut. Ah, Mark langsung berpikir bahwa mungkin ia tidak seharusnya menanyakan hal yang pasti akan menghancurkan hatinya.

“Oh, Mark …. Jeno itu orang yang susah ditebak. Secara keseluruhan orangnya biasa-biasa aja, tapi bisa ngagetin dengan sisi lainnya yang gak biasa.” Senyum Donghyuck tidak pernah sirna. “Yang nyaranin aku buat seks cuma berdua sama kamu untuk sementara waktu, itu juga Jeno, you know. Mau kayak gimana pun Jeno, aku udah terlanjur cinta sama dia.”

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Ketika Donghyuck bilang kalau Jeno bisa mengejutkannya dengan sisi lainnya, mungkin ada benarnya. Apa lagi ketika tiba-tiba saja, di tengah-tengah sedang menonton televisi, Jeno berkata pada Mark, “Aku pernah aborsi sekali, tapi aku belum siap ngasih tahu Donghyuck.”

Jeno melewatkan bagian di mana dirinya jatuh depresi untuk waktu yang cukup lama setelah aborsi tersebut.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Mark mengerang, kakinya lemas, kepalanya terasa begitu berat, ia memegang keramik wastafelnya erat-erat ketika harus memuntahkan makan malamnya untuk yang kesekian kali.

Astaga, perutnya benar-benar terasa tidak nyaman. Dan ia hanya ingin tidur, tapi pada saat yang sama tubuhnya terlalu tidak enak untuk tidur.

Sesungguhnya ia sempat terpikirkan kenapa ia akhir-akhir ini begitu lesu dan sakit. Donghyuck dan Jeno bahkan menyarankannya untuk pergi memeriksakan kondisinya ke dokter, namun Mark menolak. Mark bahkan sempat begitu emosional ketika Jeno pernah memaksanya untuk ke dokter.

Mark tidak ingin menghadapi kenyataannya.

Mark tidak ingin mengetahui alasan di balik dirinya yang kerap mengalami mual-mual dan muntah, pening di kepala, dan nafsu makan yang berubah.

Tapi pada saat yang sama, gejalanya makin kompleks, ia makin paranoid.

Setelah hampir satu jam menangis dalam sunyi di kamar mandi, Mark akhirnya memberanikan dirinya untuk mengambil langkah.

Ada dua buah test pack yang sudah siap untuk memperlihatkan hasil dari tesnya. Namun Mark lagi-lagi menundanya dengan melamun, memikirkan apa yang harus dilakukan setelah melihat hasilnya, sambil berharap bahwa akan ada keajaiban yang menunjukkan hasil negatif.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Tidak, jangan sarankan Mark untuk aborsi karena ia pikir ia tidak bisa melakukannya. Juga jangan sarankan adopsi, ia tidak bisa membayangkan memberikan buah hatinya pada orang lain.

Tapi sebelum ke tahap itu, hal yang harus Mark lakukan terlebih dahulu adalah memberitahu Donghyuck dan Jeno. Mereka berhak tahu karena ini juga buah hati Donghyuck, sedangkan Jeno masih merupakan kekasih Donghyuck.

“Hey, Mark. Sarapan dulu sini.” Sambut Jeno, ia nampak berseri-seri.

Huh. Pemandangan yang tidak biasa. Jeno akhirnya berada di ruangan yang sama dengan Donghyuck.

Ada Donghyuck yang sedang merokok di balkon, sedangkan Jeno nampak lahap menyantap roti lapisnya.

Meski mereka tidak berdekatan, tapi Jeno kini nampak baik-baik saja berhadapan dengan kekasihnya. Mark menyimpulkan bahwa mereka mungkin sudah berbaikan, tapi ia tidak menanyakan hal tersebut.

Mark perlahan mendekati meja makan, di mana kini ada roti lapis dan segelas jus jeruk untuknya. Ia melirik ke arah balkon, Donghyuck nampaknya sedang melamun.

“Jeno, uhm, ada yang mau aku omongin,” Mark menghentikan dirinya sebelum duduk, ia pun berdiri di samping meja makan di hadapan Jeno. Karena kedengaran serius, Jeno langsung memberikan Mark seluruh perhatiannya.

Okay.

“Ini juga menyangkut Donghyuck, uh …,” Mark menelan ludahnya, ia menghindari tatapan Jeno, tidak sanggup menyaksikan reaksi yang akan diberikan Jeno bila ia akhirnya memberitahunya. Bagaimana caranya Mark memberitahu Jeno kalau dia mengandung buah hati kekasih Jeno? “Aku mau ngasih tahu kamu sama Donghyuck kalau …” say it! “Kalau aku …” bilang pada Jeno, kalau kekasihnya akan menjadi seorang ayah! Kalau hanya kamulah yang bisa mewujudkan impian Donghyuck untuk jadi seorang ayah! “Uhm …, k-kalau aku …”

“Kalau kamu … kenapa Mark?”

Mark menarik napas dalam-dalam, dan ketika ia melirik Donghyuck yang masih ada di balkon, tatapan mereka pun bertemu.

Untuk beberapa saat, Mark malah membayangkan kehidupan di mana hanya ada dirinya dan Donghyuck, hidup berbahagia karena telah mewujudkan impian Donghyuck sebagai ayah dari putra-putri Mark.

“Kenapa, sayang?” tanya Donghyuck—

—pada Jeno.

Kemudian terlihat Donghyuck mulai menghampiri mereka berdua, Mark pun makin gugup.

“Hey, Mark, it’s fine, pelan-pelan aja ngomongnya.” Jeno memberikan sebuah senyum untuk menenangkan Mark, ia kemudian menghampiri Mark dan meraih tangannya.

Ada sebuah cincin tersemat di jari Jeno.

Kemudian Mark menoleh pada Donghyuck, yang kini ternyata sama-sama mengenakan cincin di jari manisnya.

Jantung Mark berdebar makin kencang.

“Kamu denger Donghyuck pas ngelamar aku kemarin …?” Jeno kemudian berbisik. “Gak usah dipikirin, Mark. Kamu tetep tinggal di sini kok, kita masih suka kalau kamu di sini. Pernikahannya nanti gak akan mengubah apa pun selain status aku sama Donghyuck.”

“Kamu gak apa-apa, Mark?” Tanya Donghyuck, akhirnya bergabung dalam percakapan.

Dan ketika Mark menunduk lagi, ia baru sadar tangan yang digenggam oleh Jeno itu kini bergetar hebat. Ada bulir air mata yang mengalir ke pipinya.

Oh My God, Mark, kamu kenapa?” Jeno langsung dibuat panik hingga ia akhirnya segera memeluk Mark.

Dalam pelukan Jeno, Mark samar-samar dapat melihat Donghyuck yang nampak kebingungan sekaligus khawatir. Pria itu kemudian menjulurkan tangannya untuk menghapus air mata Mark, dan berkata, “Kita bakalan selalu ada buat kamu, Mark.”

Kita: di mana tidak pernah ada Mark di dalamnya.

Dari situlah Mark memutuskan bahwa mungkin … mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir antara Donghyuck-Jeno dengan Mark, serta sang buah hati yang takkan pernah mereka ketahui keberadaannya.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

fin

rating: t to m ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Lo semua ini muka-muka pecundang Bojong Seoul, gak usah kebanyakan gaya, anjing!”

“Yang kebanyakan gaya siapa? Yang bawa orang hampir se-RT siapa, ha?” Sungchan berlebihan soal bawa orang hampir satu RT, tapi memang benar si Lucas membawa sekumpulan orang yang lebih banyak.

Mata Lucas menelusuri tongkat bisbol yang ada di tangan gerombolan lawannya, dan tersenyum mencemooh. “Gua gak usah bawa apa-apa dan bakal ngalahin lo.”

Yaaa, begitulah perkelahian geng motor “Bigrez”—di mana Lucas merupakan salah satu anggotanya—melawan geng mobil “Monoraker”—yang ada Sungchan sebagai anggotanya.

Asal tahu saja mereka ini tidak menyandang status penting di gengnya. Bukan pemimpin atau semacamnya. No, no, no, mereka tidak begitu. Namun mereka masih memiliki pengaruh yang besar dalam gengnya.

Lucas dan Sungchan ini semacam salah satu dari sekian anggota yang berasal dari keluarga gedongan, mereka juga mengenyam pendidikan di SMA swasta elite yang populer karena diisi anak-anak borjuis/anak-anak hits Bojong Seoul.

Bisa dilihat dari bagaimana dari geng Bigrez di wilayah Bojong Seoul, Lucas termasuk ke dalam orang-orang yang mengendarai motor sport atau vespa keluaran terbaru.

Atau bagaimana Sungchan mengendarai Ferrari merah-nya yang bisa ditukar dengan sebuah rumah kecil di tengah kota.

Dan bila ditambah kemampuan bertarungnya, keduanya meningkatkan standar dan imej geng masing-masing.

“Maju lo, bangsat!”

Lalu murid-murid itu pun ricuh ketika kerumunannya mulai pecah, satu per satu saling beradu tinju. Dan tentu saja Monoraker ini tidak melupakan senjata khas mereka ketika berkelahi, yup, si tongkat bisbol tadi itu.

Tongkat bisbol ini sebenarnya ikon Monoraker, dikarenakan para pendirinya atau yang menjadi generasi pertama anggota Monoraker merupakan kumpulan anak-anak klub bisbol Bojong Seoul.

Tak terkecuali Sungchan, yang kini mengayunkan tongkat bisbolnya ke sana kemari mengarah titik lemah lawannya, yang menyebalkannya tidak satu pun kena karena Lucas ini sangat atletis, terima kasih kepada latihan rutin boxing-nya.

“Anak mama kemampuannya cuma segini?” Kata Lucas dengan nada mencemooh, napasnya terengah karena harus menghindari hantaman demi hantaman dari tongkat bisbol Sungchan.

“Bacot, anjing!”

Bug!

Satu hantaman tongkat bisbol mengenai rusuk Lucas, lalu dua, tiga, empat pukulan, dan dia pun berusaha menahan erang kesakitannya karena, ya, emang sakit banget, anjinggg. Fuck. Lucas terbiasa mendapatkan hantaman dari sarung tinju, bukan sesuatu sekeras dan seberat tongkat bisbol besi.

Sungchan mulai memukulnya bertubi-tubi, yang masih Lucas bisa tahan rasa sakitnya. Namun perlahan ia mulai melemah, tubuhnya pun ambruk di situ.

Gemuruh dan bising erangan dari orang-orang yang berkelahi di sekitarnya masih terdengar riuh.

“Langsung tepar lo?” Sungchan terus memojokkan Lucas dengan melayangkan pukulan ke lengan lawannya lalu terkekeh. “Bisanya cuma segini doang? Letoy banget, anjing! Si Mark tahu kalau lo selemah ini?”

Mark.

Mendengar nama Mark, seolah mengingatkan Lucas mengapa perkelahian ini dimulai, dan mengapa Lucas begitu muak melihat wajah Sungchan.

Oke …, sebenarnya …

Sebenarnya alasan tawuran ini begitu sepele … sepele dan tidak penting, like sangat childish dan benar-benar tidak penting, yakni karena Lucas mendengar Sungchan mendeklarasi bahwa ia akan memacari Mark dan menyingkirkan Lucas.

Yup ….

Hanya karena itu.

Sungchan bahkan belum mengambil aksi untuk mendekati Mark, namun nampaknya ia paham betul hal tersebut bisa membuat Lucas gusar, dan Sungchan—yang senang membuat onar—malah makin sengaja menyebarkan berita bahwa Sungchan dan Mark sudah pacaran.

“Gak usah bawa-bawa Mark, anjing!”

Dirasuki amarah, dengan gigi yang digertakkan Lucas menahan serangan Sungchan dan bangkit, ia pun menangkap pukulan tongkat bisbol yang hendak melayang ke sisi wajahnya, merebut benda itu dari tangan Sungchan, dan melemparnya ke sembarang tempat.

Lucas meraih kerah seragam Sungchan, lalu, bug! Bug! Bug!

Lucas menjotos wajah lelaki jangkung di hadapannya tanpa ragu dan tanpa jeda, bertubi-tubi, tidak memberikan waktu untuk Sungchan memproses apa yang sedang terjadi.

Dan salah satu gaya berkelahi Lucas adalah, dia selalu menyerang titik yang sama; ingin meninggalkan jejak semacam “Lucas was here” dengan memberi luka dalam pada lawannya.

Jadi Lucas sedari tadi menjotos pipi Sungchan, yang pasti begitu keras hingga darah menodai bibir dan hidungnya, tubuh Sungchan melemah dan ia pun terbaring di jalan.

Tapi brengseknya Sungchan justru kelihatan santai-santai saja.

Mata Sungchan mengarah ke balik tubuh Lucas, ia malah tersenyum malas pada Lucas dan terkekeh lemah, seperti mencemooh, padahal dari wajahnya jelas-jelas dia sudah babak belur. Sungchan seperti pasrah saja.

“Kenapa lo senyum-senyum, goblok?!” Desis Lucas kesal. Ia hendak melayangkan satu pukulan lagi, namun sebuah suara yang tidak asing segera menghentikan aksinya.

“Ngapain kalian?”

Oh.

Spontan Lucas berbalik ke sumber suara, dan tentu saja, di sana ada … Mark.

Dari raut wajahnya begitu jelas bahwa ia sedang kesal dihadapkan pada pemandangan yang menyambutnya ini.

Mark menyilang kedua tangannya sambil mengunyah permen karet, ia menatap Lucas tajam. “Ngapain diem aja?! Suruh semuanya berhenti!”

“O-oh, iya …” Kata Lucas, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ia langsung berdiri tegap. “Woy …! Woy! Bubar!” Serunya pada orang-orang di sekitarnya yang masih adu jotos.

Namun tidak begitu didengar karena yang lainnya masih sibuk melampiaskan amarah mereka, hingga akhirnya terdengar Mark meneriakkan, “Kalian semua, BUBAR!”

Sontak semuanya membeku mendengar suara Mark. Dan seperti baru sadar ketahuan melakukan hal buruk, mereka semua segera menunduk merasa malu dan takut.

Karena, ya, memang seharusnya begitu.

Bagaimana tidak takut kalau harus dihadapkan pada adik bang Johnny, alias sang panglima tempur geng motor paling besar yang disegani di Bojong Seoul, alias geng “Ekstasi” yang merupakan raja dari semua geng motor/mobil.

“Gak denger tadi gue ngomong apa?” Nada bicara Mark begitu dingin, padahal tidak berteriak atau apa, tapi ia terdengar mengerikan. “Bubar.”

Sesegera mungkin gerombolan tawuran ini pun berpencar untuk bubar, mereka semua berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan Mark.

“Mark, beb, hey …, sorry,” Lucas yang sudah ada di sisi Mark itu berbisik, “ini cuma berantem biasa—”

Cuma berantem biasa?” Mark mengulangnya, ia melirik Lucas tajam. “Gue gak bakal ngadu ke abang gue soal ini, tapi lo inget kan peraturan dan konsekuensinya apa?”

“I-iya, sayang, aku inget kok ….” Lucas memeriksa keadaan sekitar, berjaga-jaga kalau bang Johnny ternyata sedang mengawasi.

Mark kemudian tiba-tiba menarik tangan besar Lucas, meraih jari manisnya dan berkata, “Ini,” sambil menarik-narik jari manis itu, “sekali lagi lo berulah kayak gini dan bawa-bawa geng, bukan cuma ini yang hilang, nyawa lo juga.”

Lucas menelan ludahnya, mengangguk-angguk tanpa kata.

Ucapan Mark itu bukan sekadar hiperbol, bahwa benar adanya nyawa bisa melayang bila seorang anggota geng melanggar peraturan yang sudah ditetapkan; salah satunya adalah dilarang tawuran membawa anggota geng mobil/motor apabila menyangkut masalah pribadi.

Dan konsekuensi dari pelanggaran pertama adalah jari manis yang harus dipotong sebanyak satu ruas.

Mark tidak harus bertanya apa alasan mereka tawuran, karena hal seperti ini pernah terjadi ketika ia memacari kak Jongin, seniornya, yang begitu posesif dan senang bertingkah impulsif. Mereka harus putus setelah tawuran demi “cinta” seperti ini, tapi karena ketahuan bang Johnny, kak Jongin juga harus kehilangan satu ruas jari manisnya.

Mark menarik bahu Lucas, dan berjinjit untuk membisikkan, “Lo bawa nama Bigrez, gak usah norak, okay?” Kemudian mengecup pipi Lucas dan mendorong tubuhnya ke samping. “Minggir.”

Mata Mark mengitari pandangannya pada para pelajar yang masih diam di pinggir jalan karena luka berat. Melirik ke sana kemari sambil geleng-geleng dan berdecak kesal, ia melirik Lucas, memberikannya tatapan yang meneriakkan, I’m gonna fucking kill you.

Ditatap tajam seperti itu, Lucas langsung menunduk.

Lalu pandangan Mark pun jatuh pada lelaki yang terkapar tidak jauh di hadapannya, yang begitu babak belur terutama di bagian wajah, tidak lain tidak bukan salah satu bintang utama tawuran ini, Jung Sungchan.

Kemudian seperti sadar sedang diperhatikan oleh sang pujaan, Sungchan tiba-tiba mengaduh kesakitan, mengerang sambil memegangi perutnya, kakinya dilemaskan.

“Aduh … aduh, please, siapa pun tolong gue ….” Lirih Sungchan, tiba-tiba nampak tidak berdaya … apa-apaan si anjing, lebay banget …. Juga kenapa Sungchan pakai pegang-pegang perut segala? Lucas tidak menghantamnya di sana!

“Hey, astaga!” Seru Mark khawatir. “Kamu gak apa-apa?”

Pakai “aku-kamu”, oke, what the fuckkkk.

Lucas tidak akan mengakui hal ini pada siapa pun, tidak bahkan pada dirinya sendiri; bahwa sesungguhnya Sungchan itu begitu tipe Mark. Mark selama ini hanya mengencani lelaki tampan yang tinggi-besar.

Lucas langsung terbelalak melihat Mark menghampiri Sungchan yang entah kenapa kelihatan lemas dan begitu tidak berdaya, padahal tadi masih kuat-kuat saja Lucas hantam dengan pukulannya.

“Kayaknya … kayaknya kena bekas operasi, aduh,” lalu Sungchan mengerang, mendramatisasi adegannya, “aku sebenarnya gak tahu ke sini karena apa, ikut-ikutan disuruh ke sini aja.”

Operasi apaan, si anjing?! Yang ada clubbing sama balapan liar terus.

Sungchan melirik Lucas yang nampak berapi-api. Tidak begitu jelas, tapi Sungchan sedang mencoba untuk tidak tersenyum penuh kemenangan.

“Kamu dari Monoraker, kan?”

Sungchan mengangguk.

“Coba kunci mobil kamu mana? Aku anter pulang.” Kata Mark, tangan Mark disimpan di atas tangan Sungchan yang memegangi perutnya.

Oke, cukup. Mark keterlaluan! “Beb, gak usah dipeduliin. Dia pasti bisa pulang sendiri.”

“Siapa yang duluan ngajak tawuran di sini?” Mark bertanya langsung pada poinnya, sehingga Lucas langsung dibuat bungkam, karena, ya … memang betul Lucas yang menantang duluan dan mengusulkan tawuran ini.

Ketika Mark sedang berbicara pada Lucas, Sungchan sempat-sempatnya menjulurkan lidahnya mencemooh pada Lucas.

“Tuh! Tuh! Beb!” Kata Lucas heboh sambil menunjuk-nunjuk Sungchan, “masa melet-melet sama aku?!”

Sungchan pun pura-pura batuk, batuknya dibesar-besarkan dengan menjulurkan lidahnya.

“Lucas Wong,” kata Mark, ia menatap Lucas tidak percaya, “lo gak punya hati banget.” Mark geleng-geleng kepala, lalu menghadap kembali pada Sungchan, tatapan Mark melembut seketika.

Anjinggg.

Mark meraih tangan Sungchan, mencoba membantunya untuk bangkit. “Bisa jalan sampe mobil kamu, kan? Aku anter pulang.”

“Oh, gak usah …, nanti aku baikan kok.”

Aku-kamu … astaga, Lucas makin muak, inginnya menghabisi Sungchan sekarang juga. Tapi ia harus sabar, masih ada Mark ….

Gini nih Mark Lee, dia itu bisa menjadi orang paling galak sedunia, tapi paling lembut pada saat yang sama. Ini adalah salah satu dari sekian hal yang Lucas sukai mengenai Mark, yang membuatnya naksir berat.

Tapi setelah dipikir-pikir, kelembutan hatinya juga bisa membuat Lucas frustrasi seperti sekarang ini. Bagaimana Mark mencoba membantu Sungchan untuk bangkit dan hendak menuntunnya ke mobil.

“Beb, aku aja yang anterin dia.” Lucas mencoba menghentikan mereka, ia ingin meraih lengan Sungchan untuk dirangkul namun tangan Sungchan tiba-tiba kaku dan tidak bisa ditarik. Sungchan diam-diam memelototi Lucas.

“Ah, sorry, masih trauma tadi ditonjoknya sadis ….” Kata Sungchan, lalu sok-sok meringis kesakitan. “Dianter sama Mark aja kalau Mark bersedia itu juga.”

“Ehh, segitunya ya si Lucas ngehajar kamu …?”

“Beb! Sumpah dia tuh ngibul! Dia fine-fine aja!” Lucas langsung menyembur, lagi-lagi berapi-api.

“Yang tadi bohong sama gue bilangnya langsung pulang, itu siapa, ya?”

Lagi-lagi Lucas dibuat bungkam.

Di sini Lucas tidak bisa melawan. Kenapa? Karena Melawan apa kata Mark itu artinya menyambut pemakaman untuk diri sendiri, mengingat bagaimana geng Ekstasi bisa begitu bengis pada orang-orang yang mengganggu mereka. Membayangkan apa yang bisa dilakukan bang Johnny untuk memberi Lucas pelajaran, membuatnya bergidik ngeri.

Lucas pun hanya bisa menyaksikan bagaimana perlahan Mark dan Sungchan pergi ke arah di mana mobil Sungchan diparkirkan.

Si Sungchan tentu saja sok-sokan tertatih ketika berjalan biar bisa “jatuh” ke rangkulan Mark, dan Lucas hanya bisa berkomat-kamit lemah, “Bangsat …, awas aja.” Sambil melihat bagaimana Sungchan begitu keenakan melekat pada Mark … yayangnya Lucas …, bebinya, dan belahan jiwanya.

Lucas mengepalkan tangannya erat ketika memikirkan bahwa tawuran dan main keroyokan memang ide yang buruk, mungkin ia memang seharusnya menghabisi Sungchan dengan cara yang lain.

Lucas menyeringai, membayangkan seluruh skenario buruk yang bisa terjadi untuk membalaskan dendamnya.

Oke, Jung Sungchan, kalau memang dia memilih untuk perang, tunggu pembalasan dari Lucas.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: teen ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Dari sisi ini, Donghyuck dapat melihat figur Minhyung yang duduk di kursi penonton. Ia nampak mungil, tenggelam dalam jaket dan syal tebalnya.

“Lee Minhyung!” Donghyuck berteriak gembira—masih terbawa suasana menyambut Olimpiade Musim Dingin tahun ini; sebuah pertandingan penting bagi sekolah dan dirinya, yang membawa Donghyuck makin dekat pada masa depan cerahnya.

Akan ada orang-orang penting di pertandingan tersebut yang bisa mensponsori Donghyuck dan membantunya masuk ke universitas ternama.

Bukan rahasia lagi kalau Lee Donghyuck adalah bintang sekolah, atlet hoki es yang sering membawa tim ke kejuaraan, perannya dalam tim ini begitu penting.

Ditambah lagi dia mengencani murid teladan seperti Minhyung, keduanya makin menjadi sorotan sekolah.

“Kangen sama aku?” Donghyuck melambaikan tongkat hoki esnya pada sang kekasih, kemudian merasa kikuk pada bagaimana lelaki itu hanya tersenyum lemah dan melambaikan tangannya. Biasanya Minhyung akan membalas sapaannya dengan energi yang sama.

Donghyuck mengernyit, meski terhalang pembatas antara ice rink dan kursi penonton, namun ia tetap mendekati Minhyung. “Babe, kamu kenapa …?”

Minhyung buru-buru menggeleng kepalanya, senyumnya begitu kaku. “Aku enggak apa-apa, kamu fokus latihan aja!”

Donghyuck melirik anggota timnya, kemudian pelatihnya, lalu tanpa ragu berkata, “Kamu diem di situ, ya. Aku samperin kamu.”

“Donghyuck—”

Coach! Aku break dulu, ada urusan sebentar aja!” Tanpa menunggu respon sang pelatih, Donghyuck berlalu begitu gesitnya di atas ice rink menuju gerbang yang menuntun ke ruang ganti.

Tentu saja anggota tim yang lain kesal bagaimana Donghyuck dapat lolos begitu mudahnya, namun tidak ada yang protes karena performa Donghyuck tidak akan pernah mengecewakan.

Donghyuck menemui Mark dalam seragam latihannya, bercucuran keringat. Mereka kini ada di sudut lorong sekolah, berdiri di area yang jarang dilewati banyak orang.

“Minhyung …? Sayang, lagi ada masalah?”

Pangkal hidung Minhyung yang memerah, serta matanya yang sembab menandakan bahwa ia telah menangis. Ia mencoba menyembunyikan dirinya yang masih terisak-isak, namun gagal.

“Hey, hey, ada aku,” Donghyuck mengeratkan genggaman tangannya pada sang kekasih, mengusap punggung tangan Minhyung dengan ibu jarinya, “kasih tahu aku kenapa, pasti aku bantu selesain masalahnya buat kamu.”

Bibir Minhyung bergetar, ia menunduk ketika air matanya jatuh ke pipi. “Aku takut kamu kecewa sama aku ….”

“Aku gak akan pernah kecewa sama kamu, sayang.” Tutur Donghyuck lembut, tangannya kemudian menangkup pipi Minhyung, menghapus garis air matanya. “Please? Aku sedih lihat kamu sedih gini …, aku sayang sama kamu, and I care about you.”

Minhyung menggeleng, tatapannya mengabur karena air matanya. “Donghyuck, maaf …”

“Kenapa kamu minta maaf?”

Minhyung meringis. “Aku … aku ….”

It’s fine, pelan-pelan aja.” Donghyuck mengelus pipinya.

“Donghyuck, I’m …” kali ini tatapan mereka bertemu, Minhyung nampak ketakutan, bibirnya bergetar ketika akhirnya berkata, “I’m pregnant.

Dan hal yang pertama kali ada di pikiran Donghyuck pada saat itu, adalah bagaimana Minhyung pastinya amat kesulitan sendirian ketika pertama kali mengetahuinya. Dan bagaimana Donghyuck merasa kesal pada dirinya sendiri karena ia tidak ada untuk Minhyung ketika sang kekasih membutuhkannya saat itu.

“Donghyuck, aku—aku gak minta buat kamu tanggung jawab, cuma mau kasih tahu kamu, dan aku … aku pilih buat besarin bayinya …,” Minhyung refleks memeluk perutnya yang masih datar, “maafin aku, Donghyuck …. Aku kecewain kamu ….”

Donghyuck mencoba untuk tidak ikut menangis, ada bagian kecil kata hatinya yang berteriak dan ikut menangis; beasiswa? Mimpi menjadi atlet ternama? Restu orang tua?

Meski kini yang hanya ada di pikirannya hanyalah, aku gak bakalan biarin Minhyung sendirian.

Donghyuck langsung merengkuh tubuh sang kekasih, memeluknya erat, membiarkan Minhyung menangis lebih kencang. “Minhyung, sayang, kamu gak usah minta maaf. We’ll figure this out together, I promise. Aku gak bakalan tinggalin kamu.”

“Tapi kuliah kamu—”

“Yang penting buat aku sekarang itu kamu,” kata Donghyuck sambil membayangkan bagaimana ia harus menyerah pada mimpinya, “Kamu dan anak kita.”

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

Dan ketika Donghyuck mengatakan kata-kata yang begitu tulus nan menjanjikan itu di masa mudanya, tidak ada yang mengira bahwa bertahun-tahun kemudian akan ada hari di mana Minhyung yang jauh lebih dewasa itu meneriakkan, “Pokoknya aku ingin cerai!” serta ada putri mereka yang sudah remaja berkata, “Berisik, ih, Ayaaah! Berantemnya nanti dulu, lagi seru filmnya.”

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: general ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Sayang, sini salim dulu sama Ayah.”

Yang dipanggil malah mengerucutkan bibirnya, anak kecil itu bahkan memunggungi sang ayah, kepalanya ditundukkan. Kayaknya ngambek.

Kali ini Ayah Donghyuck berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan putranya, ia melirik jam tangannya dan melihat bagaimana dirinya akan terlambat lima menit. “Dedek, kok gitu sama Ayah? Marah sama Ayah?”

Si Dedek tidak berkutik, ia malah bersembunyi di balik kaki Papi Mark sambil sedikit-sedikit mengintip Ayah Donghyuck.

“Kenapa gak mau salam sama Ayah, hm?” Kali ini Mark yang bertanya, ia kemudian menggendong putra bungsu mereka sambil mengeluarkan erangan yang menandakan bahwa si Dedek sudah besar dan berat.

“Ayaaah! Cepet! Kakak nanti telat ke upacara!”

Nah, yang berteriak heboh itu si Kakak atau putri sulung mereka, ia kelihatan bete melihat ayahnya masih saja santai ngobrol dengan yang lain. Si Kakak menyilangkan kedua tangan di dada, ia bersandar ke kaca mobil, tepat di samping stiker stick figure yang menggambarkan keluarga mereka disertai tulisan, “Ayah Donghyuck, Papi Mark, Kakak, Dedek”.

“Ya, udah, dadah Dedek!” Donghyuck melambaikan tangannya.

Kiss bye-nya gimana, sayang? Itu dadah kata Ayah,” bisik Mark pada putranya, “dadah Ayah ….” Malah Mark yang membantu tangan kecil si Dedek untuk dilambaikan pada Donghyuck.

Akhirnya bangkit, Donghyuck menghela napas panjang melihat si Dedek masih kelihatan ngambek, pipi mengembung, bibir mungilnya manyun.

“Nanti ayah bawain si Olaf lagi, ya.”

Pada kata-kata Donghyuck, bukannya melunakkan hati putra mereka, anak kecil itu malah memeluk Mark makin erat, ia menyembunyikan sebagian wajahnya di bahu Mark. Reaksi tersebut membuat Donghyuck sedikit kikuk karena putra-putri mereka akan menggila bila Donghyuck membawa pulang mainan baru.

“Ngantuk kali, mas. Kemarin malem kebangun terus soalnya.” Mark berkomentar sambil mengelusi punggung si Dedek.

Si Dedek yang tidurnya tidak nyenyak berarti tidur Mark ikutan tidak nyenyak. Donghyuck memperhatikan bagaimana kantung mata Mark mencekung, dan Donghyuck merasa begitu bersalah karena ia pun berkontribusi pada kurangnya tidur Mark dengan sering pulang larut malam.

“Kamu langsung tidur, ya. Aku nanti pulangnya malem lagi, mau makan di luar aja.” Kata Donghyuck.

“Okay.” Jawab Mark, ia berusaha untuk menyembunyikan kekecewaannya dengan memberikan senyum simpul setelah Donghyuck mengecup pipinya.

Lalu kebetulan putri mereka protes kembali sambil menghentakkan sepatu rodanya yang merangkap sebagai sepatu sekolah yang trendy. “Ayah lama banget, ih!”

Akhirnya Donghyuck pergi dengan berat hati, ia sesungguhnya sangat rindu pada si Dedek. Mereka ini hampir jarang bertemu, karena akhir-akhir ini tiap kali Donghyuck pulang, keluarga sudah tidur, dan ketika semuanya terjaga, Donghyuck harus pergi ke kantor.

Jarangnya Donghyuck dan si bungsu bertemu membuat putranya itu tidak banyak bicara di sekitar Donghyuck, Mark pernah bilang bahwa putra mereka malah jadi pendiam bila ada Donghyuck.

“Dedek, tadi kenapa sama Ayah gitu, hm? Marah sama Ayah?”

“Nggak ….”

Nah, kali ini si bungsu mau berbicara meski ia nampak begitu asyik menggambar sesuatu pada balik kertas halaman draft novel terbaru karya Mark. Di sisi Dedek tentu saja ada boneka kesayangannya—si Olaf—pemberian Donghyuck.

“Terus kenapa kayak gitu …?” Mark mengalihkan pandangannya dari laptop-nya, dan bisik-bisik, “Ayah nakal sama Dedek?”

Anak kecil itu tidak langsung menjawab, ia malah menunduk, tanda-tanda bahwa ia akan mengatakan sesuatu yang membuatnya merasa malu, dan akhirnya berbicara lagi dengan nada yang murung, “Papih …,”

“Hm?”

“Nanti … Ayah pulang, kan …?”

Mark mengerjapkan matanya.

Oh ….

Pertanyaan itu sukses membuat Mark membeku di tempat, ia langsung melepaskan kacamatanya dan menghampiri si Dedek yang sepertinya pura-pura sibuk dengan gambarannya, karena ia makin menunduk.

Mungkin bila suasananya tidak murung begini, Mark akan mengambil foto dulu, dan mengunggahnya ke WhatsApp, ingin memamerkan putranya yang kini begitu gemas, mungkin diberi caption: Makin bsr malah makin lucu cimol kesygn ayah sm papi….

Ah, ya, putra mereka diberi panggilan “Cimol” karena potongan rambut batok kelapanya, yang membuat kepalanya nampak makin bulat. Donghyuck bukan hanya yang awalnya memberikan panggilan ini, namun ia jugalah yang memotong rambutnya si Dedek menggunakan baskom plastik sebagai cetakannya.

Donghyuck dan si Dedek itu dulu begitu menempel, si bungsu juga amat dimanja oleh sang ayah, mereka dulu banyak melakukan hal-hal bersama. Sedangkan si Kakak lebih senang hangout sama Papi Mark.

“Dedek kangen sama Ayah …?” Tanya si Papi. Satu … dua … tiga …, anak kecil itu menghadapkan wajahnya ke Papi Mark dengan air mata yang siap jatuh ke pipi, dan akhirnya menangis. Mark pun segera merengkuh tubuh kecilnya untuk digendong sambil ditimang-timang.

“Oh, sayang …, cup, cup, cup. Kangen Ayah, ya, hm?”

“Papih …,” kata si Dedek di sela-sela tangisannya, “mau—Dedek mau Ayah … kangen Ayah ….”

“Iya, sayang, maafin Ayah, yaa, Ayah juga pasti kangen sama Dedek.”

Mark mengecup kening si Dedek sambil mengelus-elus punggungnya dan multi-task mengotak-atik laptop-nya untuk membuka kontak Mas Suami pada aplikasi Video Call.

Si bungsu hanya masih tersedu-sedu duduk di pangkuan Papi Mark, namun ketika melihat tampilan aplikasi Video Call dan foto profil kontak si Ayah—yang mengenakan kacamata hitam dan nampak serasi dengan si Papi di pesisir pantai—perlahan tangis si Dedek jadi mereda.

Anak kecil itu tidak begitu mengerti ketika Mark mengirim beberapa pesan pada Donghyuck, jadi ia diam saja.

Papi Mark Sayang: mas kalo lg free, lgsg vc ya Papi Mark Sayang: ini si dd, darurat pkoknya…. Mas Suami is calling.

ㅤ Pada nada tunggunya, si Dedek langsung sumringah. Meski belum diangkat, tapi anak itu begitu fokus pada layar laptop yang menampilkan wajah si Ayah.

“Ya, sayang?” Terdengar suara lo-fi Donghyuck dari laptop Mark, pria itu masih lengkap dengan tampilan setelan kantornya. Donghyuck membenarkan letak kacamatanya dan melonggarkan dasinya. “Ada apa? Kenapa sama si Dedek?” Ia terdengar panik, suaranya menggema, kelihatannya pria itu berada di tangga darurat.

“Ini …,” Mark membantu menghapus air mata dari pipi putranya, “Dedek katanya kangen sama Ayah, ya?”

Mendengar hal tersebut, Donghyuck langsung tersenyum pilu. Ia melemaskan bahunya dan bersandar di dinding. “Ohh, Dedek kesayangan Ayah sampe nangis, iya? Kangen banget sama Ayah?”

Lalu hening.

Hal ini terjadi lagi, ketika Donghyuck berbicara, si bungsu malah diam.

Si Dedek malah berkutat pada boneka Olafnya yang ternyata sedari tadi tidak dilepasnya.

“Coba, mas, minggu ini pulangnya tepat waktu. Mau ulang tahun si Dedek masa malah ngejauh gitu?” Kali ini Mark yang berbicara.

“Ya, kan, biar nanti pas di Bali bebas, jadi aku gak usah mikirin kerja.”

“Kerja bisa dicicil, kan? Orang lain juga gak gila-gilaan kayak kamu.”

Si Dedek yang menyaksikan perdebatan orang tuanya hanya melongo, ia menatap Ayah Donghyuck dan Papi Mark bergantian. Merasa terintimidasi, jadi ia hanya memeluk Olafnya lebih erat.

Sebenarnya mertua Mark pernah menceramahi mereka mengenai kebiasaan buruk ini, bagaimana Donghyuck dan Mark tertangkap berdebat di hadapan putra-putri mereka, yang tentunya tidak akan memberikan efek yang baik. Rumah tangga mereka memang tidak sempurna, tapi keduanya selalu mau memperbaiki diri.

“Hm, okay.” Akhirnya Donghyuck berbicara.

“Hm?”

“Aku nanti pulangnya cepet,” kata Donghyuck, Mark langsung bernapas lega mendengarnya, “Dedek mau Ayah beliin Olaf lagi, gak? Nanti Ayah bawa buat Dedek.”

Si Dedek menghindari tatapan Donghyuck dan menggeleng, ia menunduk lagi kemudian berkata, “Dedek mau main sama Ayah ….”

“Oohhh, Dedek ….” Kata Donghyuck dan Mark kompak, tersentuh hatinya.

“Sayangkuuu.” Papi Mark memeluk gemas putranya yang ada di pangkuannya, meremas tubuh itu erat, membuatnya memekik dan tertawa menggelitik ketika si Papi menghujaninya dengan ciuman di pipi.

Pemandangan manis itu sukses membuat Donghyuck tersenyum gembira, ia ingin screenshot gambarnya tapi lupa lagi caranya meski sudah diajari si Kakak berulang kali, dan tidak sengaja malah mengakhiri panggilannya.

“Eh …, si mas malah ditutup.”

Namun setelah panggilan itu berakhir, suasana hati si Dedek sepertinya sedikit naik. Ia tidak semurung sebelumnya.

Mark bahkan bisa fokus pada kerjaannya cukup lama, dan putranya masih nampak baik-baik saja. Ia sepertinya begitu asyik memainkan boneka Olafnya, si Dedek dan Olaf nampak sedang berpura-pura liburan di Bali seolah “Bali” merupakan sebuah tempat mandi bola.

Dan ketika terdengar deru mesin suara mobil di depan rumah, Mark langsung menghela napas panjang.

Kecewa.

Ia tahu bahwa suara itu berasal dari mobil keluarga Bapak Jaemin dan Jeno—alias tetangga mereka yang begitu baik hati bersedia membiarkan si Kakak ikut pulang dengan jemputan orang tua temannya bila Ayah Donghyuck tidak bisa menjemput.

Ketika Mark keluar, betul saja, ia disambut oleh pemandangan sebuah mobil sedan dan si Kakak yang berlari ke arah Mark.

“Aduh, pak, makasih banyak lho. Tadi saya minta Ayahnya Kakak buat jemput, tapi kayaknya lagi sibuk. Ngerepotin terus jadinya.” Kata Mark pada Jaemin yang masih ada dalam mobilnya.

“Oh, iya, gak apa-apa. Gak ngerepotin, rumahnya sebelahan ini.” Lalu tersenyum. “Mari, pak.”

Mark pun membalas senyumannya.

Dan ketika pria itu pergi untuk memarkirkan mobilnya, kebetulan ada Jeno yang sedang menyiram tanaman, ia segera menyambut sang suami dan putri mereka dengan kecupan.

Pemandangan itu membuat Mark mengernyit, karena:

1.) Mark jadi ingat, suatu malam Donghyuck pernah bilang padanya ada gosip dari grup bapak-bapak kantor yang sering bersepeda bareng, gosip mengenai Bapak Jaemin yang sering main-main dengan wanita, yang Mark tidak percaya karena Pak Jaemin nampaknya bukan orang yang seperti itu.

Tapi kini rasanya Mark ingin percaya pada gosip itu, karena; 2.) Mark iri melihat bagaimana manisnya hubungan mereka. Untuk sepasang orang tua yang sudah lama menikah, hubungan Pak Jaemin dan Jeno itu terlalu manis dan mesra ala-ala FTV ABG.

Sedangkan Mark, ia lupa kapan terakhir kali Donghyuck pulang tepat waktu. Mereka sebenarnya jadi jarang bertemu karena proyek besar yang Donghyuck dapat. Inilah mengapa Donghyuck bekerja gila-gilaan, karena setelah proyek ini selesai, mereka sekeluarga berencana liburan ke Bali sekalian merayakan ulang tahun si Dedek.

“Papih …, Ayahnya mana …?”

Si Dedek kelihatan begitu kecil berdiri dengan kepala menengadah pada Mark, tangan mungilnya meremas celana Mark.

“Ohhh, Ayah lagi bawa Olaf, sini sayang. Hap!” Papi Mark menggendong putranya sambil menepuk-nepuk pelan bokongnya. “Dedek makin berat, ih. Jagoan Papi makin gede, ya, hm?” Ia akhirnya membawa putranya masuk kembali ke rumah dan mengalihkan pikirannya agar tidak terus kepikiran Donghyuck. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Donghyuck menguap, lalu menguap lagi tapi kali ini tanpa suara ketika mendekati kamar si Dedek dan si Kakak yang ditutup rapat. Pasti semuanya sudah pulas bila rumahnya amat hening nan gelap begini.

Pria itu membuka pintu kamar buah hatinya dan mengendap-endap ke dalam untuk meletakkan kantung besar berisi boneka Olaf yang lebih besar, dan tas gendong The Powerpuff Girls yang merupakan request si Kakak. Donghyuck pun perlahan mendekati putra-putrinya yang nampak damai dalam tidurnya.

Ia membenarkan letak selimut si Kakak kemudian mengecup keningnya. Ah, Donghyuck dapat merasakan bagaimana anak perempuannya makin besar, si sulung kini tidak mau lagi dicium keningnya oleh Ayah dan Papi, katanya, kayak anah kecil tahu!

Kemudian Donghyuck beralih pada si Dedek.

Aduh …, Donghyuck benar-benar sayang dan kasihan pada si bungsu ini. Putranya itu tumbuh di saat kedua orang tuanya begitu sibuk dengan dunia kerjaannya dan tidak memiliki waktu yang banyak.

Berbeda dengan si Kakak yang ketika kecilnya dihujani perhatian yang lebih banyak. Selain dari orang tuanya, juga dari kakek-neneknya, karena pada saat itu kondisi ekonomi Donghyuck dan Mark tidak sebaik sekarang ini, sehingga Donghyuck dan Mark harus tinggal dengan mereka beberapa tahun.

Melihat si Dedek yang nampak sedang memeluk Olafnya dan tidur pulas membuat Ayah Donghyuck menyadari bagaimana dirinya begitu rindu pada buah hatinya itu. Mereka dulu sering bermain bersama, dan Donghyuck itu memang dinilai yang paling asyik bila bermain dengan anak kecil. Makanya si Dedek begitu menempel pada Donghyuck.

Donghyuck mengelus pipi bulat si Dedek dan terkekeh lemah, ia kemudian mengecup kening putranya yang membuat putranya mengernyitkan kening.

Oh, ya, Donghyuck lupa cukuran ….

Donghyuck menggaruk-garuk janggut tipisnya sambil tersenyum, ia pun meninggalkan kamar putra-putrinya dan pergi ke kamarnya dengan Mark.

Donghyuck sudah melepaskan dasi dan jasnya, sudah siap masuk ke kamar, ia memutar kenop pintunya, sudah siap melihat pemandangan suaminya yang tidur pulas di ranjang.

Lah?

Tapi …

Tapi!

Pintunya tidak bisa dibuka ….

Ia coba sekali lagi, didorong lebih keras. Tidak bisa. Didorong dengan kakinya, tidak bisa juga.

Donghyuck menghela napas panjang. Ia pun mengetuk pintunya pelan-pelan dan membisikkan, “Sayang …? Ini aku udah pulang.”

Hening.

Donghyuck melirik ke arah pintu putra-putrinya dulu, lalu mengetuk pintu kamarnya lagi lebih kencang. “Sayang? Ini mas, aku ini kekunci dari luar?”

Tidak lama setelahnya, Donghyuck mendapatkan sebuah notifikasi chat dari Papi Mark Sayang: mas tidur di ruang tv, jgn brisik2. Nnti dd bangun lg, td hbs nangisin km

Aduh ….

Begitu, ya ….

Donghyuck pikir, ia memang pantas untuk dihukum seperti ini. Meski inginnya kini ia memeluk Papi Mark, tapi bila memang inginnya sang suami begitu, Donghyuck tidak bisa protes.

Dalam hubungan mereka, memang Mark yang lebih tahu banyak mengenai berumah tangga, dan biasanya pria itu selalu benar. Akan Donghyuck gunakan hukumannya ini sebagai sebuah renungan dan peringatan.

Lalu akhirnya setelah beres mandi dan menggunakan pakaian tidur yang masih ada di jemuran, Donghyuck berjalan terseok-seok ke ruang televisi, dan ambruk di sofa besar di depan televisi. Ia melempar kacamatanya ke meja dan menyalakan televisi dengan volume suara yang kecil, lalu memindahkan salurannya ke tayangan pertandingan sepak bola.

Donghyuck menghela napas berat, ia dapat merasakan bagaimana lelah matanya dan inginnya hanya berbaring di balik selimut, memeluk Papi Mark kesayangannya ….

Ya, bola ditendang bebas, dioper ke Guppy. Oleh Guppy digiring ke gawang, dan, dan, dan—Ayah … belum bobo …?”

Tubuh Donghyuck spontan tersentak mendengar suara kecil yang mengejutkannya itu, ternyata ia sudah tidak fokus menonton dan hampir saja tertidur.

Dari arah sumber suara, kini nampak si Dedek berdiri sambil menyembunyikan sebagian tubuh mungilnya di balik sofa, ia memeluk boneka Olafnya ke dada.

“Lho, Dedek? Kebangunin sama Ayah? Ayah berisik?”

Si Dedek hanya menggeleng. Dari cara anak kecil itu berkedip, begitu jelas bagaimana ia masih mengantuk.

“Yuk, bobo lagi.”

Donghyuck hendak bangkit dan menuntun kembali putranya ke kamar, namun suara kecil si Dedek menghentikannya, “Mau bobo sama Ayah ….”

Ini pertama kalinya lagi putranya mau berbicara padanya dalam satu kalimat yang panjang, karena biasanya si Dedek hanya mengangguk, merengek, dan menggeleng padanya.

Donghyuck tersenyum kecil, ia membuka kedua tangannya untuk menyambut si Dedek yang berlari kecil ke arahnya sambil masih menyeret si Olaf. “Sini, sayang. Bobo sama Ayah.” Lalu akhirnya memeluknya erat dan mencium basah sisi wajahnya.

“Ayah … tunggu.” Kata si Dedek tiba-tiba, ia melepaskan dirinya dari Donghyuck, kaki kecilnya berlari ke arah kamarnya kemudian kembali dengan selembar kertas untuk diberikan pada sang ayah. Dan ketika Donghyuck melihat pemberian si Dedek, hati Donghyuck langsung terenyuh.

Di selembar kertas itu ada gambar yang terlihat seperti si Dedek yang sedang menggenggam tangan Olaf dan Ayah Donghyuck, lalu ada Papi Mark dan si Kakak di sisi mereka, dilengkapi gambar rumah sebesar orang-orangannya, serta pesan yang sepertinya dibantu si Kakak, bertuliskan: Kangen Ayah

Astaga.

Inilah momen-momen di mana Donghyuck begitu bersyukur dianugerahi putra-putrinya. Hatinya langsung tersentuh, Donghyuck tersenyum lebar pada si Dedek yang sepertinya ingin menangis.

“Sini, sayang, Ayah juga kangen.” Dan akhirnya si Dedek menangis keras dalam pelukan erat Ayahnya, suaranya tidak dikontrol, ia menangis hebat sehingga Donghyuck harus membawanya ke halaman belakang. “Shh, Dedek, maafin Ayah, sayang .... Jagoan Ayah kangen sama Ayah, hm?” Sambil ditimang-timang dan mengusap-usap punggungnya untuk menenangkan.

“Ayah jangan kerja ….” Kata Dedek dengan R yang masih belum jelas. Ia memeluk leher Donghyuck erat, tidak mau lepas.

“Iya, sayang, Ayah cuti.”

Putranya itu menatapnya tidak mengerti.

“Nanti bisa main sama Ayah, tapi sekarang Dedek tidur dulu, ya.” Kemudian ketika Donghyuck berbalik, hendak kembali ke ruang televisi, ia langsung menemukan Papi Mark yang bersandar di sofa sambil memeluk dirinya.

“Maaf, tadi gak bisa tepat waktu lagi, kebetulan tiba-tiba ada yang mendesak banget.” Kata Donghyuck ketika akhirnya pandangannya bertemu dengan mata Mark.

“Terus itu kenapa si Dedek nangis?”

“Iya, kangen sama aku.”

Oke, tatapan kesal Papi Mark … serem banget. Donghyuck perlahan mendudukkan dirinya di samping Mark dengan si Dedek yang nampak lelah sudah menangis berkali-kali hari ini. Ia tergolek lemas dan masih terisak-isak kecil dalam pangkuan Donghyuck.

“Aku udah nyerah buat yakinin kamu pulangnya tepat waktu, mas.”

“Aku cuti.”

“Hah?”

“Nanti aku izin sakit aja.”

Pada pernyataan itu, Mark menatap Donghyuck untuk beberapa saat, ia mencoba memproses ucapan Donghyuck sebelum akhirnya perlahan ada senyum mengembang di wajahnya. “Makasih, mas.”

Donghyuck membalas senyuman Mark, mereka berdua sama-sama terlihat lelah. Menjadi orang tua memang melelahkan. Padahal mereka dulunya ini diketahui sebagai pasangan yang hampir tidak bisa lepas dari satu sama lain, namun sejak kedatangan buah hati mereka, gaya hidup dan prioritas mereka langsung berubah drastis.

Mark kemudian mendekat untuk menyisir helaian rambut si Dedek yang lepek karena keringat.

“Papih belum bobo …?” Gumam si bungsu sambil melihat Papi Mark setengah sadar, anak itu kelihatan bisa langsung tertidur bila memejam matanya lebih lama.

“Papi bobonya kalau Dedek juga bobo.”

“Dedek mau bobo sama Ayah.”

“Hmm, Papi gak diajak?”

Si Dedek diam cukup lama, Mark dan Donghyuck pikir putra mereka itu sudah tertidur hingga akhirnya terdengar, “Oke, sama Papih …. Sama Olaf ….”

Mau membawa Dedek ke kamar Ayah Donghyuck dan Papi Mark, tapi takutnya si Kakak nanti iri, apa lagi mengetahui Donghyuck tidak akan masuk kerja, bisa-bisa dia juga ingin bolos sekolah.

Pada akhirnya Mark membawa seluruh keperluan untuk Donghyuck dan putra mereka tidur di sofa, namun ketika ia kembali, ia malah disambut pemandangan sang suami dan buah hati yang sudah memejam mata di sofa.

Kalau suara dengkuran Ayah Donghyuck sudah mulai terdengar, itu artinya dia sudah benar-benar terlelap. Ada si Dedek yang menjadikan perut si Ayah sebagai tempat tidurnya.

Pemandangan manis itu sukses membuat Mark tersenyum lagi, ia pun pelan-pelan menyelimuti mereka berdua. Dengkuran Donghyuck makin keras hingga akhirnya tiba-tiba saja berhenti dengan sebuah lenguhan terkejut, Donghyuck ternyata terbangun.

“Eh, sayang ….”

“Mas tidur di sini aja sama Dedek.” Mark bisik-bisik. “Aku di kamar, ya.” Lalu hendak pergi ke kamar untuk tidur kembali, namun niatnya langsung diurungkan ketika Donghyuck memanggilnya.

“Sayang,”

“Hm?”

Hening.

Mark menunggu untuk beberapa saat, tapi masih tidak kunjung dijawab, Donghyuck hanya malah menatap Mark dengan mata yang hanya separuh terbuka, jadi Mark bertanya lagi, “Apa, mas?”

“Enggak apa-apa, pengin aja ngeliat muka manis kamu.”

Mark berdecak kesal tapi tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Dulu semasa pacaran, Donghyuck memang sering menggodanya, dan sepertinya kata-kata manis Donghyuck masih memberikan efek yang sama pada Mark. Yaaa, sedikit deg-degan gitu deh.

“Ih, gombal terus.” Mark protes tapi masih tersenyum, ia kemudian mengecup bibir Donghyuck sekilas. “Pas pagi jangan lupa matiin lampu luar.”

“Hmm.” Respon Donghyuck dengan mata yang sudah terpejam, dan entah bagaimana caranya, ia masih saja sempat menepuk bokong Mark ketika sang suami berlalu. Ahhh.

Mark mungkin sudah cukup lama menjadi Papi dari anak-anaknya, sudah bukan orang tua yang baru, namun ia begitu ingin mengabadikan momen indah ini dan mungkin pamer pada dunia melalui status WhatsApp-nya, bilang kalau, s’lalu trims sm mas donghyuck, suamiku tersyg …, ayahnya kk dan dd …. my family is my happiness ….

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: t to m ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Sebulan berlalu, dan Donghyuck pikir hatinya takkan pernah bisa pindah dari sang pujaan—Mark Lee, Mark, sayang. God, Donghyuck bahkan rindu menyebut namanya, ia rindu mendengar suaranya, merengkuh tubuhnya, mengecup bibirnya, dan membuatnya tersenyum.

Donghyuck merindukan kehadiran Mark.

Langitnya begitu cerah untuk hari yang menyedihkan ini. Donghyuck berdiri mematung di hadapan pintu apartemen baru Mark sudah hampir setengah jam. Tiap kali ia ingin mengetuk pintu itu, Donghyuck selalu khawatir pada apa yang akan menyambut pemandangannya.

Apa Mark ada di rumah? Apa Mark sendirian? Memiliki roommate? Apa dia kini sudah memiliki kekasih? Fuck, Donghyuck bahkan tidak berpikir sampai ke sana. Mark mungkin sudah hidup bahagia dengan kekasih barunya.

“Donghyuck …?”

Ah, yeah, tidak mungkin Donghyuck bisa pindah ke lain hati.

Pemandangan di hadapannya kini menyadarkan Donghyuck bahwa ia masih saja merindukan kekasihnya itu. Mark tidak membuka pintu itu lebar, ia berdiri di ambang pintu.

“Oh, hey, uhm,”

Mark nampak … sama kacau-balaunya. Suaranya terdengar serak, dari aromanya begitu jelas bahwa ia sedang menikmati minum-minuman keras. Mark hanya mengenakan kemeja putih yang begitu kebesaran untuknya, menampilkan kakinya yang telanjang. Kemejanya pun dikenakan tidak benar, sehingga kulit bahunya dapat terlihat sedikit.

Ah, ya, dulu Donghyuck sering membuat bekas gigitan di leher hingga ke bahu Mark.

“Kenapa … ke sini? Tahu apartemen aku dari siapa?” Mark menarik napas dalam-dalam, ia berusaha untuk menghapus garis air matanya dan menyisir helaian rambutnya.

“Mark,” Donghyuck berusaha untuk tersenyum, namun senyumnya malah kelihatan pedih, “I miss you.”

Whoa, Mark nampak terkejut pada Donghyuck yang begitu to the point. Mark tidak melewatkan bagaimana mata Donghyuck melirik bibirnya sekilas.

Jangan! Hati Mark menjerit, jangan melakukan kesalahan yang sama! Apa kamu mau disakiti lagi?!

“Donghyuck …? Kita udah putus—”

I know, ada hal yang harus aku bicarain sama kamu.”

Kali ini mata Mark yang melirik bibir Donghyuck, no, no, no, stop looking! Lalu tatapannya turun ke tangan Donghyuck yang dulu senang mencekiknya ketika mereka sedang melakukan hubungan seksual.

Mark menelan ludahnya. “Mau ngomong soal apa emang?”

“Uhm, aku boleh masuk dulu, gak?”

Dan tatapan itu lagi. Tatapan menyedihkannya, tatapan yang selalu membuat hati Mark luluh untuk yang kesekian kalinya, dan tersakiti untuk yang kesekian kalinya pula.

Namun mungkin hati Mark begitu murah dan mudah untuk dibeli.

Donghyuck menyilangkan kedua tangannya di dada, seperti ingin memperlihatkan bagaimana kini tubuhnya sedikit lebih kekar dari sebelumnya, ia tersenyum pilu pada Mark. “Kalau gak boleh juga gak apa-apa, sorry, aku ganggu kamu—”

No,” Mark segera mencekal lengan Donghyuck ketika mantan kekasihnya itu hendak pergi. Mark merasa begitu kotor ketika kini yang hanya ada di pikirannya hanyalah bagaimana ia ingin Donghyuck sesegera mungkin untuk mencumbunya. “You can stay.

Dan untuk yang kesekian kalinya, Donghyuck membiarkan Mark jatuh ke dalam lubang kesalahan yang sama.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: m to e ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Oh, Minhyung. Kamu udah pulang?”

Minhyung bahkan tidak melirik mereka sedikit pun, ia hanya berlalu tanpa berkutik. Tatapannya kosong, seolah ia tidak pernah dihadapkan pada pemandangan yang menurutnya menjijikkan; sang ibu yang duduk mesra dalam pangkuan kekasih barunya—seorang pria tampan yang jauh lebih muda.

Entah bagaimana caranya, namun setelah diingat-ingat, ibunya hanya mengencani pria-pria yang usianya jauh lebih muda darinya. Minhyung pikir mungkin ini ada hubungannya dengan kepergian ayah mereka.

“Hey! Ibu ngomong sama kamu lho.”

Langkahnya terhenti namun tetap tidak menghadap sumber suara. Aroma rumah mereka seperti minuman keras dan asap rokok. Minhyung mual rasanya.

“Aku gak mau ngomong sama ibu.”

Lalu, BAM!

Pintu kamar Minhyung dibanting ketika ditutup kembali, membuat dinding papan rumahnya bergetar. Untuk beberapa saat, Minhyung hanya berdiri di dalam kamarnya, ia membekap mulutnya untuk menahan tangisnya agar hanya menjadi deru napas yang kasar.

“Mungkin Minhyung capek, sayang.”

“Capek apa sih emangnya? Udah enak-enak aku kasih rumah, makan, bisa aku sekolahin sampe selesai. Masih untung mau aku tampung.”

Semuanya.

Semua suara dapat Minhyung dengar di rumah kecil bobrok mereka ini melalui dinding tipisnya. Mulai dari tetes air dari pipa yang bocor di kamar mandi, bising sofa butut mereka tiap kali ada yang bergerak, dan tiap bising yang dibuat sang ibu dan kekasihnya di luar kamar—tak terkecuali percakapannya, dan semua hal yang mereka lakukan.

Termasuk gelak tawa mereka, lenguhan penuh nikmat ketika mereka berciuman. Sang ibu bahkan tidak mencoba untuk menahannya mengetahui Minhyung ada di rumah.

Tidak ada bedanya dengan ibu. Pria itu—atau yang lebih dikenal sebagai ‘om Yukhei’—sama-sama vokalnya ketika mengekspresikan bagaimana nikmatnya mencumbu ibu Minhyung.

Terkadang Minhyung mendengar Yukhei menggeram, terkekeh, atau melenguh. Mungkin, mungkin Yukhei melenguh nikmat ketika ibunya meremas penis Yukhei, mungkin Yukhei menggeram ketika sang ibu menggesekkan selangkangannya ke paha Yukhei.

Hal yang paling Minhyung benci dari dirinya adalah bagaimana ia tumbuh menjadi seseorang yang sama seperti ibunya.

Minhyung menemukan dirinya berbaring di tempat tidur sambil mengocok penisnya pada suara yang dibuat Yukhei.

“Tunggu, lagi ada Minhyung.” Sang ibu berbisik.

Untuk beberapa saat, Minhyung tidak mendengar apa pun setelahnya, kemudian terdengar Yukhei menghela napas berat dan bising dari sofa.

Jam 23:19.

Ah, ya, ibunya harus pergi untuk mengurus “bisnisnya”. Bisnis yang dimaksud yakni mengambil stok sabu-sabu dari seorang rekan lama, yang sudah mempertemukan sang ibu dengan Yukhei.

Terkadang ibunya langsung pulang, terkadang ia kembali di pagi hari bila ada utang yang harus dibayarnya dengan hal lain.

Anehnya, Yukhei tahu mengenai hal ini, mengenai bagaimana sang kekasih mencumbu pria lain untuk menyelesaikan urusannya.

Yukhei seperti tidak keberatan mengetahui hal tersebut, karena mungkin pria itu juga melakukan hal yang sama. Pergi ke sana kemari, berganti pasangan seks meski menyandang status sebagai kekasih ibu Minhyung.

Yukhei adalah definisi pria tampan yang akan kautemui sebagai model dalam poster pakaian gaya maskulin di mall-mall besar. Wajahnya yang begitu indah dipadukan dengan figur tubuhnya yang ideal hingga membuat Minhyung bertanya-tanya, bagaimana bisa Yukhei berakhir di situasi yang serupa dengannya? Dan bagaimana bisa pria itu tertarik pada ibu Minhyung?

Sang ibu selalu berkata bahwa mungkin dia menemukan pasangan yang tepat untuk melengkapi keluarga mereka ketika membicarakan Yukhei.

Yang menurut Minhyung begitu aneh dan canggung, karena Minhyung dan ibunya terpaut usia yang tidak jauh. Wanita itu mengandung putranya ketika ia berada di pertengahan masa 20-an. Sedangkan usia Yukhei nampaknya lebih dekat dengan Minhyung, membuat merekalah yang jauh lebih cocok sebagai pasangan.

“Minhyung.”

Minhyung tersentak, ia spontan menarik tangannya dari dalam celananya dan bangkit ketika melihat Yukhei sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. “E-eh, om. Kalau mau masuk, ketuk dulu ….”

Yukhei tersenyum. Derap langkahnya yang mendekati kamar Minhyung pasti terdengar, hanya saja mungkin Minhyung sedang melamun. “Mirae udah pergi.”

“Oh, iya ….”

Minhyung melirik Yukhei dan memeriksa tampilannya; pria itu setengah telanjang. Tanpa mengenakan atasan dan hanya mengenakan celana denim, memamerkan penampilan tubuhnya yang indah.

“Jadi …” tiba-tiba Yukhei nampak gugup, ia berusaha menyembunyikannya dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celananya sembari mengalihkan pandangannya ke piala-piala yang dipajang di sebuah rak. “Soal yang udah-udah, mau kita omongin?”

Yang udah-udah.

Yang “udah-udah” maksudnya ketika Yukhei meraba-raba pahanya? Ketika meremas pantatnya? Atau ketika pria itu menciumnya penuh nafsu di dapur? Mungkin ketika Minhyung mencoba membuat Yukhei ejakulasi dengan menghisap penisnya selama Mirae menerima telepon di luar? Atau ketika Yukhei mengentot Minhyung di sofa sembari menunggu Mirae kembali? Atau ketika Yukhei mengatakan, “Kamu lebih baik dari ibu kamu” setelah sang ibu memakinya habis-habisan?

Minhyung tidak begitu ingat bagaimana awalnya, namun hal ini sudah berlangsung cukup lama. Dan tidak di antara mereka yang nampaknya ingin menghentikannya.

“Diomongin gimana, om …?”

“Minhyung, uhm,” Yukhei mendekat padanya, ia pun duduk di samping Minhyung. “Saya cuma mau mastiin kalau kamu baik-baik aja sama yang udah kita lakuin.”

Minhyung mengerjapkan matanya, jadi tidak mengerti maksud Yukhei. “Maksudnya?”

“Maksudnya kalau saya waktu itu ngelewatin batas, kamu langsung bilang sama saya.”

“Oh …, oke. Enggak kok, om.” Minhyung menggeleng dengan kepala yang ditundukkan, membuat helaian rambutnya yang kini makin panjang itu menghalangi separuh wajahnya. Dari sudut pandangannya, Minhyung dapat melihat bagaimana tangan Yukhei mendekat ke wajahnya untuk menyingkap helaian rambut Minhyung ke balik telinganya.

“Minhyung,”

Akhirnya menatap wajahnya lagi. “Ya?”

Dan Yukhei menciumnya, melumat bibir Minhyung begitu bersemangat dan terburu-buru, membuat penis Minhyung berkedut antusias. Pada dasarnya, ia tidak tahu mengapa ia melakukan hal ini dengan Yukhei, atau mengapa ia begitu menikmati bagaimana Yukhei mengecupi lehernya.

Masih beradu bibir, perlahan Yukhei membaringkan tubuh Minhyung, tangan lelaki itu pun otomatis melingkar ke punggung Yukhei.

Kemudian Yukhei menurunkan tangannya ke bokong Minhyung untuk diremas, mereka pun saling menggesek penis, Yukhei menelan semua desahan Minhyung dalam ciumannya. Kening Minhyung mengernyit ketika jemari Yukhei memainkan puting susunya, ia seketika mencakar punggung Yukhei dan memutuskan ciumannya.

“Cepet, om. Takut ibu keburu pulang.” Kata Minhyung seraya membuka pakaiannya tergesa-gesa. Untuk beberapa saat, Yukhei tertegun pada ucapan Minhyung. Kata “ibu” seolah menampar Yukhei dengan realita, bahwa ia menikmati tidur dengan putra dari kekasihnya sendiri.

Meski pada akhirnya, ia tetap melakukannya; diam-diam mencumbui Minhyung tanpa sepengetahuan Mirae. Atau mungkin Mirae sudah tahu? Ah, Yukhei tidak peduli, begitu pun Minhyung.

Karena ketika akhirnya penis Yukhei masuk ke dalam Minhyung, memompa tubuh lelaki itu kencang, membuat Minhyung hampir menjerit seperti, “Om …! Ya ampun—ha-ah, ah!

Mereka berdua seperti lupa akan siapa mereka, lupa akan dunia, dan yang hanya ada dalam pikiran adalah bagaimana nikmatnya seks ini. Bagaimana gilanya Yukhei menggerakkan pinggulnya, membuat suara yang begitu kotor; Yukhei senang menggunakan banyak pelumas, begitu becek, lengket, dan basah.

Minhyung itu salah satu dari sekian orang yang bila dientot dan akan mendekati klimaks, dia tidak bisa diam. Jadi Yukhei harus memegang kedua kaki Minhyung, dipaksa untuk dibuka lebar dan ditarik agar Yukhei bisa menggenjot tubuh Minhyung lebih cepat.

Ahhh, Minhyung.” Yukhei menahan dirinya untuk tidak mengentot Minhyung dengan kecepatan yang brutal. Pemandangan Minhyung yang tergolek lemas dengan kening yang mengernyit, mulut sedikit terbuka, matanya terbuka separuh karena dibuat nikmat, membuat Yukhei makin terangsang. “Enak, sayang?”

“Iya—ahhh—hngg, om!”

Lubangnya semakin sempit, erangan Minhyung makin melengking, napasnya makin tak beratur. Yukhei menggeram ketika harus mengeluarkan penisnya dan mengocoknya cepat untuk mengeluarkan air maninya ke perut Minhyung.

Sedangkan untuk Minhyung, Yukhei perlu mengoyak dua jarinya ke dalam tubuh Minhyung terutama di titik tertentu sembari menggosok kepala penisnya.

Dengan desahan panjang yang menandakan bahwa ia begitu menikmati jari Yukhei, Minhyung akhirnya ejakulasi, mengeluarkan air maninya ke perut dan dadanya.

Yukhei masih memainkan jarinya di dalam Minhyung membuatnya menggeliat karena merasa sensitif, pada akhirnya Minhyung menghentikan Yukhei dengan memegang tangannya. “Udahan, ah, om.”

Lalu diakhiri dengan Yukhei yang membantu membersihkan Minhyung, mereka bahkan mandi bersama.

Jam 00:20.

Sang ibu belum kembali juga, wanita itu bisa kembali kapan saja, namun Yukhei tidak melepaskan dekapannya dari Minhyung. Mereka kini berbaring di ranjang kecil Minhyung, saling berdempetan, dengan Minhyung yang memainkan jarinya pada kulit dada Yukhei, tepat di bekas luka tusuk.

“Om …, gimana kalau kita ketahuan ibu?”

“Ya, gak gimana-gimana.” Jawab Yukhei begitu santainya.

“Om sayang sama ibu?”

Satu detik, dua, tiga. “Sayang.”

Dusta. Minhyung tahu, mereka berdua tahu bahwa Yukhei baru saja berdusta, bahwa Mirae mungkin hanyalah satu dari sekian wanita yang akan pria itu buang setelah ia merasa bosan. Namun Minhyung tidak berkata apa pun.

Justru, hati Minhyung merasa sedikit berdesir.

Sejujurnya ia merasa sedikit gembira mengetahui Yukhei hanya bermain-main dengan Mirae. Bahwa akan ada hari di mana ibunya mungkin menangisi kebodohannya karena telah mempercayai kata-kata manis Yukhei.

Akan ada hari di mana Mirae mendapatkan karma buruknya atas seluruh hal yang diperbuatnya pada orang-orang tak bersalah, seperti sang mantan suami juga Minhyung.

“Minhyung …,” dalam cahaya yang redup ini, wajah Yukhei nampak indah, senyumnya yang menawan membuat jantung Minhyung berdebar kencang. Ia mengukir senyum yang membuat Minhyung harus menahan napasnya. Untuk beberapa saat, Minhyung berfantasi mengenai masa depannya yang indah, di mana ada Yukhei di dalamnya.

“Kalau saya ajak kamu pergi … ninggalin semuanya termasuk Mirae …, apa kamu mau?”

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin