alxsglo

rating: t ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ I remember, the way you glanced at me, yes I remember.

ㅤ “Kamu kan yang naksir aku duluan,”

“Oke, yang gak mau diem di barisan, terus sok-sokan pingsan di lapangan pas upacara, nah, itu siapa?”

Mark spontan tertawa keras, jadi teringat kembali pada memori di mana ia pertama kali melihat Yukhei. Saat itu pekan Masa Orientasi Siswa sedang berlangsung, Yukhei adalah salah seorang senior di SMA-nya yang turut serta dalam kegiatan tersebut.

Mark masih ingat bagaimana jantungnya langsung berdebar kencang, dihadapkan pada lelaki yang begitu menawan, begitu tipenya.

Kata Jeno, Mark itu lemah sama lelaki tampan yang tinggi-besar, dan setelah melihat Yukhei, Jeno memang tidak salah.

Dan hal yang menyebalkannya, Yukhei ini tidak hanya tampan, lelaki itu juga merupakan siswa teladan yang menjadi favorit hampir semua guru. Yukhei Wong adalah bintang sekolah.

Mark Lee adalah siswa pujaan sekolah; manis, orangnya asyik, prestasi akademiknya sih pas-pasan, tapi kepribadian dan wajah manisnya menutupi hal tersebut. Mark tetap jadi sorotan sekolah.

Yukhei memang bintang sekolah dan memiliki banyak penggemar, namun tidak seperti Mark, pemuja Mark ini begitu blak-blakan dalam memperlihatkan kekaguman mereka.

Pernah suatu saat Mark ditembak cinta oleh salah satu kakak kelasnya, Jaehyun, seorang bintang sekolah yang dikenal super-duper mempesona namun super-duper arogan juga. Kak Jaehyun bersikukuh ingin menjadi kekasih Mark cukup lama, hingga akhirnya menyatakan bahwa, maaf, kak. Aku sebenernya suka sama Kak Yukhei.

Sejak itu Mark tidak lagi menyembunyikan kekagumannya pada Yukhei. Semua orang di sekolah tahu mengenai bagaimana adik kelas itu naksir berat sama Yukhei. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Ah, tapi malah kamu yang lebih naksir aku.” Kata Mark dengan senyum kecil. Ia pun duduk bersandar ke pohon sambil memejam mata karena sinar mataharinya begitu terik. Yukhei benar, cuacanya cocok untuk berpiknik.

“Hm,” Yukhei mengangguk-angguk, tidak membantah pernyataan tersebut. Karena dialah yang memang pada akhirnya jatuh cinta lebih dalam dan menyatakan perasaannya. ㅤ

When we caught a shooting star, yes, I remember.

I remember all the things that we shared, and the promise we made, just you and I.

I remember all the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn.

Yukhei masih ingat bagaimana mulutnya tiba-tiba mengeluarkan, “Aku juga suka sama kamu Mark.” pada Mark yang pada saat itu sedang kerepotan membawa kotak besar berisi dekorasi pensi, alhasil Mark menjatuhkan kotak tersebut karena terkejut, mengenai kakinya, dan membuatnya harus menghabiskan libur sekolah sepenuhnya di rumah.

“Maaf, pak, saya waktu itu gak sengaja bikin kaget Mark.” Yukhei yang masih remaja langsung bertanggung jawab pada insiden tersebut.

“Oh, iya, kamu ini yang waktu itu nganterin Mark ke rumah sakit, ya?”

“Iya, pak. Saya Yukhei.”

Kemudian Mark tiba-tiba masuk ke percakapan dengan, “Kak Yukhei itu pacar aku, Yah.”

Dan akhirnya secara resmi pacaran, Mark sudah tidak bete lagi mengenai insiden kakinya. Eh, lagipula ia tidak bisa ngambek lama-lama sama Yukhei yang gentle abis.

Mereka pun pacaran cukup lama. Cukup lama hingga bisa menyaksikan kelulusan Yukhei dan merayakan hari jadi Mark.

Mark pada saat itu berpikir, wah, pengin nikah sama Kak Yukhei, kala ia melamun sambil menyaksikan Yukhei gitar-gitaran di sampingnya.

“Yang ulang tahun mau request lagu apa nih?”

“Bebas.”

“Oke, lagunya gimana aku, ya.” Yukhei kemudian tersenyum, ia mulai memetik gitarnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya menyanyikan lagu yang Mark tidak kenal, tapi liriknya cukup romantis.

Ah, aku terlalu naksir sama pacar sendiri kali, ya? Pikir Mark ketika ia begitu gugup terus ditatapi oleh Yukhei sambil dinyanyikan lagu romantis.

Kemudian Mark dibuat bingung ketika Yukhei tiba-tiba berhenti memainkan gitarnya.

“Eh, kenapa?”

Bukannya menjawab, Yukhei malah terus menatap sang pacar, dan perlahan mendekati Mark, menangkup sisi wajah manisnya, lalu …,

Lalu mencium bibirnya.

“Yukhei …”

“Aku sayang kamu, Mark.” Bisik Yukhei, hangatnya deru napas Yukhei menyentuh wajah Mark. Mereka masih begitu berdekatan.

Kening Mark mengernyit, bibirnya bergetar, air mata menggenang di pelupuk mata. “Ihh, Yukhei …!”

Lalu Mark menangis sejadi-jadinya, Yukhei pun segera membawa tubuh kecil Mark ke dalam pelukannya. Dipeluk erat karena gemas sama pacarnya yang cengeng.

“Ah, kamu ulang tahun malah nangis.”

“Siapa yang bikin aku gini coba?!” Rengekan Mark sedikit terbekap karena ia menenggelamkan sisi wajahnya ke dada Yukhei, malah kelewat nyaman cuddling sama mas pacar.

Mereka saat itu sedang berada di kamar Mark. Jendela sengaja dibuka lebar karena gerah, langitnya juga sedang kelihatan bagus.

Ulang tahunnya sih sudah berakhir kemarin, namun Mark ingin merayakannya lagi hanya dengan si doi.

“Maafin aku, sayang.” Kata Yukhei lalu mengecup kening Mark.

“Ya, gak usah minta maaf juga kalau habis bilang gitu.”

“Abisnya kamu nangis segala.”

“Soalnya aku bakalan kangen kamu …, kamu nanti sibuk kuliah.”

“Rumah kita kan gak jauh, yang.”

Mark malah membisu, ia benar-benar kelihatan sedih.

Yukhei meremas pipi Mark, membuat bibir Mark mengerucut, makin kelihatan cemberut. “Yang ulang tahun jangan sedih gitu, ah. Kasih tahu aku, kamu maunya apa coba.”

“Kamu.” Jawab Mark dengan bibir manyunnya.

“Ehhh, yang bener, yang.”

“Iyaa, kamu, kamu aja udah cukup. Pokoknya pengin bareng kamu seterusnya, pengin jadi jodoh kamu.”

Ah. Yukhei jatuh cinta pada Mark untuk yang kesekian kalinya.

Yukhei tersenyum, sambil mengelus pipi Mark, ia membisikkan, “-Okay_, nanti kalau udah siap, aku bakalan lamar kamu. Tapi nikahnya outdoor, ya.”

“¬Yes, yes! Fix kita jodoh! Aku juga kalau ngebayangin pasti di outdoor tapi kayak di padang rumput gitu.”

Pengakuan itu membuat Yukhei terkekeh. “Kamu ngebayangin kita nikah?”

“Iyalah! Aku gak yang lain, hihhh. Pokoknya Yukhei Wong dan Mark Lee di undangan pernikahan kita.”

Karena gemas, Yukhei menghujani Mark dengan ciuman di wajahnya, Mark jadi dibuat geli. Gelak tawa mereka pun menggema di ruangan itu.

“Hmm, nanti pernikahan kita pokoknya outdoor.

Pada ucapan Yukhei, Mark tersenyum gembira, jantungnya berdebar kencang karena antusias membayangkan hari ketika mereka dewasa nanti. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Eh, celana kamu kotor.”

Mark pun melirik bagian celananya yang ditunjuk oleh Yukhei, dan mengerang kesal, ah … celananya terkena noda tanah. Mark keasyikan mengobrol jadi lupa kalau ia sedang mengenakan tuksedo.

“Hari penting gini masa kucel?” Kata Yukhei lalu terkekeh. Ia juga bersandar pada pohon, berjongkok di samping Mark.

“Aku gak kucel, ihhh, kamu tuh yang kucel.” Mark membalasnya sambil menarik-narik kerah tuksedo Yukhei yang kotor, Mark lalu menjulurkan lidahnya untuk menggoda pria itu.

Setelah menyadari noda yang dimaksud Mark, Yukhei tertawa, kemudian tawa gelitiknya itu perlahan berubah menjadi sebuah senyum simpul. Sorot matanya melembut.

“Aku bangga sama kamu, Mark.”

“Hm?”

Jangan senyum kayak gitu, Yukhei. “Sekarang kamu udah bisa bencadain hal itu, artinya …, kamu udah membaik, Mark.”

Mark menghela napas berat ketika Yukhei menggenggam tangannya; tangan yang masih menyentuh tuksedo Yukhei. Punggung tangan Mark pun bersentuhan dengan cincin emas yang ada pada jari manis Yukhei.

Semakin lama Mark berpikir untuk merespon ucapan Yukhei, semakin bulir air matanya menggunung untuk jatuh ke pipi.

“Eh, eh, jangan nangis!”

I miss you.

Oh. Yukhei membisu untuk sesaat. “I’m sorry.

I hate you.

“Mark ….”

You didn’t even say goodbye!” Jemari kecil Mark meremas tuksedo Yukhei, tepat di bagian di mana kain pakaiannya terlukis oleh noda kemerahan; It’s Yukhei’s blood. Tangis Mark pun pecah. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Do you remember?

When we were dancing in the rain in that December.

ㅤ Mark masih ingat bagaimana Yukhei tertawa gembira, kepulan asap keluar dari mulutnya, menunjukkan bagaimana dinginnya udara. Ditambah gerimisnya makin deras, namun tidak di antara mereka yang nampaknya ingin beranjak dari momen ini.

“Dingin, gak?”

Mark menggeleng meski ia sedikit menggigil. “Tapi sampe lagu ini habis, kita ke dalem aja, ya.”

Yukhei menarik tubuh Mark yang basah kuyup untuk dipeluk, mereka masih mengayun tubuh untuk berdansa mengikuti irama lagu.

Keduanya kini sedang berada di halaman rumah orang tua Yukhei, di mana pesta pernikahan Yukhei dengan Mark sebelumnya berlangsung. Pestanya tidak besar-besaran, hanya mengundang keluarga dan beberapa teman dekat.

Dan itulah yang keduanya butuhkan, hanya kehangatan dari kerabat mereka pada hari yang istimewa.

“Gak lucu aja habis nikah malah sakit.” Kata Yukhei.

Membayangkannya membuat Mark terkekeh, ia tidak terkejut bila hal itu terjadi. Mereka memang terkadang melakukan hal-hal konyol seperti ini.

Kemudian ketika lagunya berhenti, Mark mencium Yukhei begitu mesra. Ciuman pertama mereka sebagai pasangan yang telah resmi mengikat janji suci; I love you, I love you so much, don’t ever leave me.

Malam itu, sembari menunggu Yukhei yang pergi membeli makan malam, Mark membuatkan segelas kopi panas untuk Yukhei, yang seharusnya tidak ia lakukan.

Karena bahkan setelah kopinya dingin pun, sang suami tidak pernah kembali. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Jangan nangis, ya. Ini hari penting kamu.”

Mark tidak mendengarkan kata-kata Yukhei, ia hanya terus menangis. Seikat bunga dalam genggaman tangan Mark pun jatuh ke tanah, ke samping batu nisan di mana di sana terukir nama Yukhei beserta hari lahir dan kepulangannya.

“Biarin aja, pestanya juga udahan.”

Mendengar Mark meresponnya, Yukhei pun merasa lega. Topik pembicaraan ini memang masih sensitif untuk Mark, tapi mungkin tidak sesensitif dulu.

“Yang nungguin di mobil itu suami kamu?”

Mark menoleh ke arah di mana sebuah mobil terparkir cukup jauh dari mereka, ada sang suami sedang duduk di kursi kemudinya. Mark mengangguk.

“Orangnya baik?”

“Hmm, baik. Baik banget, lebih oke dari kamu pokoknya.” Jawab Mark dengan nada yang menggoda, ia tersenyum meski wajahnya bersimbah air mata.

Yukhei terkekeh, meski ada rasa cemburu, ia tidak mengatakannya pada Mark. “Good, aku seneng ngeliat kamu bahagia.” Ucap Yukhei, kemudian mengukir sebuah senyum.

I remember.

Senyum Yukhei yang Mark lihat pertama kali ketika mereka masih SMA. Senyum yang sama yang diberikan oleh Yukhei setelah ciuman pertama mereka. Senyum yang diberikan oleh Yukhei saat menonton konser musik favorit mereka. Senyum yang diukir Yukhei ketika ia akhirnya secara resmi mengikat janji suci dengan Mark.

Be happy for me, Mark.”

Okay.”

“Habis ini kamu pulang?” I will miss you.

“Hmm.” Mark mengangguk.

“Hati-hati, ya.” I love you. I love you. I still love you.

Kepala Mark ditundukkan, sedang tidak mau menatap wajah Yukhei yang separuh bersimbah darah. “Aku bakalan sering-sering ke sini.” Gumam Mark.

Yukhei hanya tersenyum pada ucapan itu, tidak bisa memberitahunya bahwa setelah Mark meninggalkan makam ini, Yukhei tidak akan lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di sini.

Goodbye, Mark.” Kali ini Yukhei mengucap kata pisah, kata yang seharusnya Yukhei ucapkan pada malam Desember itu, membuat Mark akhirnya kembali menatap wajahnya.

Mark mencoba menelan tangisannya, ia merasa tercekik ketika membalas ucapannya dengan, “Goodbye, Yukhei.” ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: t ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Semua Alfa tuh sama aja! Kelakuan kalian binal banget, gak ketolongan!”

“Ah, bawel banget sih ini Omega. Lucas! Ini kacung lo bisa dijagain, gak? Kandangin coba!”

Tidak lucu, tapi gelak tawa spontan menggema di koridor, semua siswa menatap Omega tersebut seolah ia badut sekolah yang pantas ditertawakan dan somehow dipandang rendah seperti sekarang ini.

Sang Omega—Mark Lee, menatap tajam segerombolan Alfa yang kini hampir mengerumuninya, termasuk kelompok Alfa eksklusif yang nampaknya memimpin gerombolan siswa Alfa lainnya, mereka berdiri berbaris paling depan, tepat di hadapan Mark.

Gosh! Mencium feromonnya saja membuat Mark muak, apa lagi harus menatap kelompok Alfa itu.

Kelompok Alfa yang dimaksud merupakan 3 orang Alfa yang tersohor di sekolah, mereka ini Alfa dengan darah murni; di mana mereka terlahir dari keluarga Alfa sejati tanpa ada keturunan dari kelas lain, baik Beta maupun Omega.

Mereka terdiri dari Hendery, Xiaojun, dan Lucas.

Dilahirkan dari keluarga Alfa sejati tentunya akan menjadikanmu sorotan orang-orang. Karena selain kau akan mendapatkan karakteristik Alfa yang lebih kuat, orang-orang akan memandangmu berbeda, mereka akan menghormati dan menyanjungmu.

Alfa sejati akan memproduksi feromon yang begitu kentara, yang akan benar-benar meneriakkan bahwa dirimu adalah seorang Alfa yang kuat, hingga Alfa biasa pun akan merasa sedikit terintimidasi karenanya.

Tokoh-tokoh penting serta para pemimpin di dunia ini didominasi oleh mereka yang berdarah murni. Namun mayoritas tidak tertarik untuk membangun keluarga berdarah murni, karena sesungguhnya menemukan pasangan yang tepat dari kelompok yang sama itu begitu sulit. Secara natural, jati diri mereka akan menolaknya; seorang Alfa akan merasa tidak nyaman memiliki hubungan romantis dan seksual dengan sesama Alfa. Sehingga terdapat juga stereotipe di mana orang-orang berdarah murni ini tumbuh dengan orang tua yang saling tidak menyayangi satu sama lain.

Sesungguhnya stereotipe itu tidak jauh dari kenyataan, karena benar adanya bahwa Lucas dan teman-temannya memang tumbuh di keluaga yang tidak bahagia.

Dibesarkan dengan tuntutan dan tekanan kuat dari orang tua untuk selalu melakukan hal yang terbaik tidaklah mudah. Namun pada saat yang sama, hal tersebut merupakan alasan mengapa mereka bisa ada di posisi ini.

Hendery, merupakan atlet renang yang sudah meraih medali di sana-sini. Namanya tidak asing untuk olahragawan lainnya. Ia pernah viral dalam ajang olahraga besar yang disiarkan di televisi nasional sebagai peraih medali emas, meski pada dasarnya orang-orang terpikat karena parasnya yang menawan. Dan Hendery ini begitu sadar bagaimana mempesonanya dirinya. Dialah yang paling sering mematahkan hati anak gadis dan lelaki di sana-sini. Baginya, kisah cinta adalah permainan.

Kalau Xiaojun terlahir dari keluarga militer, semasa kecil ia harus berpindah-pindah tempat tinggal, menyeberang negara atau benua. Prestasinya menjulang begitu tinggi, ia menginjak peringkat tiga besar dalam angkatannya.

Daaan hanya sampai di situ informasi mengenai Xiaojun, Alfa tersebut begitu tertutup dan misterus. Tidak ada hal lain yang bisa diketahui selain rumornya Xiaojun secara pribadi mensponsori klub puisi yang hampir saja ditiadakan.

Alias klub puisi yang sekrenya merebut dari salah satu tempat tongkrongan para Alfa di sekolah ini, yang kini sedang dipermasalahkan ... yang Mark perjuangkan sebisa mungkin.

“Menurut kalian itu lucu?! Aku gak tau Alfa bisa sebodoh kayak kalian!” Mark memekik sekeras mungkin agar bisa terdengar sampai ke barisan Alfa paling belakang.

“Hey, Omega,” kali ini Lucas yang bicara, dia merupakan pemimpin dari ketiga pemimpin Alfa ini. Orang tuanya merupakan donatur sekolah terbesar yang pada dasarnya mensponsori bagian penting sekolah.

Merupakan Alfa sejati, dari keluarga kaya raya, dan memiliki kuasa yang besar di sekolah. Jadi ... bisa dibayangkan bagaimana self-centered-nya Lucas dengan semua privilese yang dimilikinya.

“Lo mau survive di sekolah ini? Gak usah macem-macem.”

Mark merengut pada pernyataan yang menantang tersebut, paling tidak suka direndahkan oleh Alfa yang sok serba-segalanya. Ia mendengus kesal kemudian berdiri lebih tegap untuk menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak merasa terintimidasi. “Kamu pikir aku takut?”

Semua Alfa spontan riuh, banyak yang bersiul dan menggoda Mark sebagai responnya. Tak terkecuali para Alfa ekslusif di depannya. Mereka menyeringai, masih menatap Mark merendahkan.

Lucas pun terkekeh mencemooh, ia perlahan melangkah mendekati Mark.

Hening.

Tidak ada satu pun yang membuat suara terkecuali suara derap langkah Lucas.

Mark berusaha untuk tidak melangkah mundur ketika mencium bagaimana feromon Lucas makin menajam dan ingin membuat dirinya tunduk.

“Lo lagi nantang gue?” Tanya Lucas.

Jiwa Omega dalam dirinya mengatakan untuk segera tunduk pada Alfa di hadapannya, untuk meminta maaf dan menarik kata-kata sebelumnya. Namun ia tidak menunjukkan tanda-tanda kepasrahan tersebut, justru kata hatinya itu ia gunakan sebagai cambuk bagi dirinya untuk tidak tampil lemah.

“Kalau aku tantang, emang kenapa? Takut sama Omega, hah? Sekuat apa sih emangnya kamu?” Mungkin berlebihan, tapi Mark mendorong kencang dada Lucas untuk menjauh darinya, karena jujur saja, Mark tidak tahan dengan feromonnya.

Lucas tidak mengekspektasi Omega itu akan melakukan sesuatu padanya, sehingga ketika ia didorong, kakinya tidak sempat menahannya dan ia harus mundur beberapa langkah—membuat yang lainnya melenguh terkejut.

Tidak ada yang pernah meremehkan sang Alfa seperti itu sebelumnya.

Melihat Lucas yang nampak terperengah, Mark tentu saja makin terpacu untuk memberanikan diri dan mengabaikan naluri Omeganya.

“Kenapa? Mau ngadu?! Go tell your Mommy and Daddy, bilang kalau kamu baru aja dipermalukan dan gak bisa melawan Omega biasa!” Mark makin memprovokasinya meski dapat dirasa dari feromonnya kalau Lucas mulai geram. Perlahan para Alfa yang lain mundur sambil masih menyaksikan momen ini, ingin melihat bagaimana Lucas akan meresponnya.

Dan benar saja, seolah waktu berjalan lebih lambat, Mark dapat melihat Lucas menghampirinya. Ia harus menengadah untuk menghadap Alfa tersebut, terlebih ketika sang Alfa menarik kerah seragam Mark, ada satu tangan Lucas melayang di udara untuk didaratkan ke pipi Mark, Omega tersebut refleks memejamkan matanya erat untuk mengantisipasi sebuah hantaman yang tak terhindarkan, kemudian—

Kemudian!

Pukulan itu tidak pernah terjadi.

Mark mengernyit, merasa ada yang janggal karena masih baik-baik saja, ia pun perlahan membuka matanya untuk melihat bagaimana tangan Lucas masih terangkat karena seseorang mencekal lengannya.

Enough.”

It’s Xiaojun, dari balik kacamatanya, ia menatap Lucas memperingati. “Gak usah buang-buang waktu.”

Lucas melepaskan cengkraman tangan Xiaojun, menghentakkannya kasar. “No, kita yang buang-buang waktu ngasih kesempatan terus ke klub puisi. Gunanya apa buat sekolah? Gak ada!”

Mark ingin berargumentasi bahwa bila tempatnya dijadikan tempat tongkrongan Alfa pun lebih tidak berguna, namun Xiaojun memotong kesempatannya berbicara, “Just let it go. Sekolah ini luas, masih banyak tempat lain.”

Lucas sudah ancang-ancang untuk membalas ucapan Xiaojun, masih banyak hal yang ingin disampaikannya pada Xiaojun mengenai masalah ini, seperti bagaimana temannya itu secara tidak langsung selalu melindungi klub puisi—apa rumornya benar? Xiaojun memberikan sponsor pada klub puisi?

Meski pada akhirnya, mau tidak mau, Lucas mengikuti perkataan Xiaojun karena ia memang akan selalu mengikuti perkataan teman baiknya itu—sahabatnya sedari kecil, teman susah dan senang.

Sehingga, Lucas tidak banyak bicara ketika akhirnya memberikan kesempatan lagi pada klub puisi untuk menggunakan sekrenya dan membubarkan keramaiannya. Namun sebelumnya, Lucas menyampaikan sesuatu pada Mark. “Ini kesempatan terakhir lo, Omega.” Desisnya dengan tatapan tajam. “Sekali lagi berulah, lo out dari sekolah, ngerti?”

Mark tidak langsung meresponnya, ia hanya dapat mengeluarkan feromon yang meneriakkan bahwa, aku marah nih! Dengan kening dan bibir yang mengerut sambil mencoba untuk membusungkan dadanya agar terlihat lebih besar dari perawakannya. “Awas aja kalau ke sini lagi!” Pekik Mark pada Lucas dan teman-temannya yang mulai berjalan menjauh.

Mendengar ocehan Mark, Hendery geleng-geleng kepala yang membuat Lucas tertawa. God, Omega itu begitu menyedihkan. Dan ketika Lucas melirik Xiaojun, ia tidak melewatkan bagaimana temannya tersebut sedari tadi mencuri pandang pada Omega menyebalkan itu

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: g to t ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ Mark pura-pura sibuk dengan sarapan si Dedek, ia terus memutar-mutar sendoknya di butiran nasi yang sama, pokoknya sok-sokan tidak begitu memperhatikan yang sedang dibicarakan suaminya.

“Paling sore juga pulang.” Kata Papa Yukhei agak digumamkan, menyadari bahwa obrolannya ini bukanlah topik favorit Ayah Mark. “Gak apa-apa?”

Dan bukannya menjawab si Papa, Mark malah terus sibuk dengan menyuapkan sendok di tangannya pada sang buah hati. “Dek, aaa dulu ini. Makanannya jangan diemut gitu.”

Si Dedek menggeleng sambil memperlihatkan pipinya yang chubby—ingin menunjukkan mulutnya yang masih penuh makanan. Ayah Mark hanya menghela napas panjang, kesal karena putranya masih saja bandel mengenai hal yang menyebabkan giginya berlubang, mereka bahkan harus ke dokter gigi minggu kemarin.

“Seriusan, cuma sampe sore.” Suara Yukhei mengingatkan Mark bahwa mereka sebenarnya sedang mengobrol, meski hanya satu pihak, karena obrolannya ini gak sensitif. “Soalnya yang mancing minggu kemarin tuh aku gak ikutan, jadi diomongin sama sekantor.”

Yup.

Mereka sedang mengobrolkan soal mancing. Mark jujur masih tidak mengerti apa yang membuat banyak bapak-bapak begitu tertarik pada memancing; Ada Apa dengan Bapak-bapak dan Memancing?

Kenapa harus memancing? Apa ada semacam sekte memancing yang tidak diketahuinya, sampai-sampai para bapak ini bela-belain pergi ke tempat jauh demi duduk lama dan menangkap ikan.

“Ya, terserah aja sih.” Akhirnya Mark memberikan respon, namun kedengaran acuh tak acuh, ia bahkan tidak sama sekali menghadap Yukhei ketika mengatakannya.

“Terakhir kamu ngomong “terserah”, aku tidur di luar ….”

“Nah, itu udah tahu konsekuensinya.” Kali ini Ayah Mark menghadap si Papa, mukanya kelihatan tenang tapi Yukhei yakin ada sesuatu mengerikan yang tersembunyi.

Ayah Mark hendak melanjutkan ucapannya, namun terpotong oleh si Dedek yang meminta suapan nasi. “Ayaaah, aaaa~”

Kemudian obrolan soal memancingnya sempat berhenti sampai di situ. Mark lagi-lagi sok tertarik pada hal lain, ia mengarahkan wajahnya ke televisi di mana kini film Home Alone ditayangkan untuk yang kesekian kalinya, alias film khas liburan keluarga.

Karena … ya! Sekarang memang musim liburan untuk keluarga; Si Dedek, putra mereka sudah lulus dari pre-school playgroup dan akan naik ke TK kelas Nol Kecil; kemudian hari ini hingga dua hari ke depan itu tanggal merah alias cuti bersama, sehingga Papa Yukhei tidak harus ke kantor.

Sejak kemarin-kemarin, tiap Ayah Mark sedang menunggu si Dedek di sekolahan, dia selalu digandrungi oleh para orang tua yang tiada hentinya membahas akan ke mana keluarga mereka pergi.

Ada yang ke Lembang, terus main ke candi Borobudur, staycation di hotel, camping sekeluarga dan hal lainnya yang bikin kuping Ayah Mark panas.

Ketika giliran Mark ditanya, ia hanya hehehe, saya sih paling ngikut keinginan si bapaknya yang satu lagi, padahal dia sendiri tidak tahu apa yang dibicarakannya.

Mark sesungguhnya tidak begitu terganggu bila mereka tidak liburan, lagipula kan bukan kebutuhan yang penting. Ia juga mencoba maklum dan berpikir bahwa mungkin Papa Yukhei ingin menabung untuk pendidikan si Dedek, serta mungkin pemasukan Ayah Mark sebagai agen pulsa dan jualan keripik basreng masih belum cukup.

Nah …, jadi Mark hanya terganggu bahwa dari semua aktivitas menyenangkan atau produktif yang bisa dilakukan, Yukhei memilih memancing.

“Nanti aku coba bawa pulang ikan banyak.”

Ayah Mark menghela napas panjang, ia tidak ingin beradu mulut di hadapan si Dedek. Syukurlah putra mereka nampak asyik bermain dengan Tuan Haechie dan botol minuman karakternya.

“Bukan itu masalahnya, Pa. Cuma gak mau aja orang-orang jadi ngegosip.”

Yukhei langsung dibuat bingung, keningnya mengernyit. “Ngegosip? Maksudnya?”

Ya …, sesungguhnya kecemasan paling utama Mark adalah tetangganya yang mulai bergosip tentang mereka semenjak dirinya suatu hari keceplosan; Mark bilang bahwa Yukhei sering memancing dengan teman kantornya tiap akhir pekan.

Fatalnya adalah dia keceplosan ketika sedang membeli lauk-pauk di warung nasi bu Yeri, dan bu Yeri itu dikenal paling ember dan senang memprovokasi orang. Seperti bagaimana pada saat itu, respon bu Yeri pada informasi mengenai hobi memancing Yukhei adalah, “Hati-hati kalau suami hobi mancing, mas Mark. Tahu soal asisten pemancing di beberapa tempat mancing, gak?

Dan tidak sampai berhari-hari, besoknya Mark langsung dihubungi oleh tetangga dekatnya untuk membicarakan kemungkinan Papa Yukhei yang jajan di luar.

Sumpah, sungguh absurd.

Mark tahu bahwa suaminya bukan orang yang seperti itu. Hubungan dan pernikahan mereka begitu sehat hingga keduanya sudah saling percaya, kecurigaan seperti itu bahkan tidak pernah melintas di pikirannya.

Hingga saat ini pun, gagasan bu Yeri masih begitu absurd untuk Mark. Jadi yang sesungguhnya ia kesalkan adalah gosip para tetangga, yang sulit untuk diabaikan karena mereka begitu ekstrem dalam membuat rumor; pasti mas Mark gak bisa muasin mas Yukhei, ya? Atau, mas Yukhei udah bosen kayaknya. Dan, mas Mark, coba punya anak yang kedua, siapa tahu mas Yukhei jadi sayang lagi.

Mereka mungkin iri melihat rumah tangga yang harmonis dan menyenangkan seperti rumah tangga Yukhei dan Mark, sehingga begitu gencar mencari-cari kekurangan dalam hubungan Papa dan Ayahnya si Dedek.

“Tetangga kita ngegosip gitu? Ya, udah, abaikan aja. Kamu tahu sendirilah yang kayak gitu gak usah ditanggepin.” Respon Yukhei setelah Mark menjelaskan alasan kenapa dia tidak suka bila Yukhei sering memancing.

“Abaikan tapi capek hati juga, Pa.” Ayah Mark kemudian bangkit dan menghampiri Papa Yukhei, ia melirik si Dedek untuk memastikan bahwa putra mereka tidak sedang menyimak obrolan orang tuanya, lalu membisikkan, “Kamu tahu gak? Si Dedek pernah dikatain temennya kalau si Dedek bakal ditinggalin sama kamu buat nikah sama yang lain. Itu anak kecil lho, Pa. Gimana bisa anak kecil ngomong kayak gitu coba? Untung si Dedeknya gak ngerti.”

Menyadari sang Ayah tidak ada di sisinya, si Dedek langsung berbalik untuk berkata, “Ayaaah, mamnya Dedek belum abis.”

Ayah Mark tidak bisa menyembunyikan kekesalannya dari putranya ketika berkata, “Iya, sayang, tunggu sebentar.” Lalu berbisik lagi pada Yukhei, “Ini sih terserah kamu, ya, aku gak larang kamu mancing karena mancingnya, Pa. Aku cuma kesel sama kata-kata orang.”

Suasananya pun intens, begitu intens untuk keluarga ini hingga si Dedek bisa merasakannya. Anak kecil itu memeriksa raut wajah kedua orang tuanya yang nampak ruwet, dan segera menghampiri si Ayah.

Sambil menarik-naik celana tidur Ayah Mark, si Dedek berbisik, “Ayah sama Papa …, kenapa …?”

Belum sempat merespon sang buah hati, Mark dibuat bungkam oleh Yukhei yang tiba-tiba menyemburnya dengan, “Ya, kalau kamu mau lebih milih percaya sama gosip murahan kayak gitu, aku angkat tangan.” Nada bicaranya naik, ingin menunjukkan bahwa ia sama kesalnya dengan Mark. “Aku juga di kantor dikatain sama bapak-bapak,” Yukhei mengambil tas pancingnya, “sama atasan aku juga. Aku harus jilat atasan aku dan kerja gila-gilaan biar gak lepas kesempatan buat promosi jabatan. Aku lakuin ini buat siapa? Buat kamu sama si Dedek.”

Lalu Yukhei pergi begitu saja, pintunya bahkan sedikit dibanting ketika ia keluar.

Mark melongo. Ia benar-benar speechless pada Yukhei yang bersikap begitu kekanak-kanakan dan malu-maluin, apa lagi dilakukan di hadapan si Dedek.

Malangnya, si Dedek yang tidak mengerti apa-apa dan baru pertama kali melihat orang tuanya bertengkar pun segera menangis. Air mata langsung banjir ke pipi.

Aduh, si Wong Yukhei asli ketularan bapak-bapak mancing, jadi drama banget. “Ayah … Papa kenapa m-marah …?” Sambil terisak-isak. “Papa ke mana—Papaaa!” Si Dedek berlari ke arah pintu utama dengan langkah kecilnya, berharap Papanya masih ada di balik pintu dan menjawab panggilannya.

Mark langsung menghampiri putranya kemudian memeluknya, ingin menggendongnya tapi si Dedek sekarang lumayan besar dan berat, jadi hanya dituntun ke hadapan televisi lagi.

Mark membawa putranya ke pangkuannya, memeluknya sambil mengusap-usap punggungnya untuk menenangkan.

“Papa … tadi lupa gak beli ikan, sayang.”

Awas aja si Wong Yukhei pas pulang. Mark begitu mengenal Yukhei hingga dirinya tahu bahwa suaminya itu pasti sedang menyesali ucapannya, karena sikap Yukhei tadi begitu keluar dari karakter sang suami yang dikenalnya—sang Yukhei yang dinikahinya, Papa dari si Dedek.

“Tapi nanti Papa pulang gak …?”

Aduh, hati Mark ikut nyeri. Bisa-bisanya si Dedek sampai berpikir begitu. Hal ini jadi membuat Mark berpikir kalau mungkin si Dedek mulai merasakan efek dari gosip tetangga mengenai keluarga mereka.

“Pasti, sayang. Cuma sebentar, kata Papa, sore juga pulang.”

Masih dalam isak tangisnya, anak itu berkata, “Ayah, janji?” Lalu malah mengacungkan ibu jarinya.

Mark tersenyum pada aksi tersebut, ia membawa ibu jari kecil itu ke bibirnya untuk dikecup basah, membuat si Dedek memekik histeris. “Iyaa, janji, sayang. Papa nanti pulang bawa banyak ikan.”

“Kalau gak dapet ikannya, Dedek kan masih punya si Belut, jadi Ayah jangan marah sama Papa, ya.

Si Belut yang dimaksud itu sebenarnya boneka ular-ularan dari om Johnny. Ya, wujudnya memang boneka ular, tapi entah kenapa bisa disimpulkan oleh si Dedek sebagai seekor belut.

“Ayah mah gak akan marah, sayaaang.” Lalu menghujani wajah si Dedek dengan ciuman yang menggelitik. Meski masih sedikit menangis, tapi akhirnya si Dedek jadi tertawa karena geli.

Kemudian Ayah Mark mencoba untuk melewati hari itu seperti biasanya. Mengurus si Dedek dan keperluan lainnya; mencuci baju yang sudah menumpuk, membuat order keripik basreng, beres-beres rumah, hingga akhirnya petang tiba.

Hahhhh.

Si Dedek untungnya masih ketiduran dari tidur siangnya, seharusnya anak kecil itu sudah mandi sore, namun Mark terlalu lelah untuk bangkit dari sofa yang empuk ini.

Oke, mungkin sepuluh menit lagi aja … Mark mau memejam mata dulu sebentar ….

Tubuh Mark tersentak seketika mendengar suara pintu utamanya tiba-tiba terbuka. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya kemudian memeriksa jam, wah, ternyata ia ketiduran lebih dari sepuluh menit.

Samar-samar Mark melihat Yukhei berdiri tidak jauh menghadap padanya, ia pulang membawa banyak barang.

Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya tatapan Mark jatuh pada sesuatu di genggaman tangan Yukhei, yang nampaknya seperti …

“Maaf.” Sambil mengangkat sebuket mawar merah segar. “Tadi aku gak maksud ngomong gitu, aku keterlaluan.”

Mark menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan. “Jangan keras-keras, si Dedek lagi tidur.” Kata Mark, kemudian memberi gestur ke arah kamar si Dedek.

Okay.” Yukhei lalu mengalihkan tatapannya ke lantai, masih merasa malu atas perbuatannya yang sebelumnya. “Sorry …, tadi aku emosi banget, gak pikir panjang.” Tuturnya. “Kamu bener, aku gak harusnya sering mancing. Tetangga kita yang keterlaluan.”

“Hm.”

Yukhei kemudian mendekati Mark untuk duduk di sampingnya sambil masih membawa buket mawar itu.

Lah, kok bau ikan …. Tapi Mark tidak berkomentar dulu karena ia masih bete.

“Tadi aku gak jadi mancing, malah keliling sambil cari makanan,” tapi kok bau ikan, “tapi aku bilang ke atasan aku, udah gak akan mancing lagi.”

“Terus apa kata mereka?”

Yukhei menggeleng, ia tersenyum pada Mark, senyumnya kelihatan pilu. “Gak usah dipikirin. Nanti aku juga mau coba ngomongin ini ke bapak Kun, siapa tahu kalau sama pak RT gosipnya bisa hilang.”

Ahh, Mark juga salah tidak mencoba mengerti posisi Yukhei. Pria itu pastinya begitu tertekan memikirkan masa depan keluarganya dan usahanya untuk tetap menghidupi mereka semua.

“Kalau beban atau masalah itu jangan disimpen sendiri, Pa.”

Tatapan Mark melembut, ia meraih tangan besar Yukhei, tadinya mau dicium sebagai tanda damai, momennya sudah mulai romantis.

Eh.

Mark buru-buru melepaskan tangan Yukhei ketika sudah dekat bibirnya. Hidungnya mengerut.

“Ih, sumpah kok kamu bau ikan, Pa?”

“Hah—” Yukhei mengendus-endus tangannya, “oh, iya, aku tadi keliling nyari bandeng presto.”

“Lah, udah dimasukin kulkas, belum?”

Kemudian perdebatan mereka berakhir sampai di situ, kepala sudah mulai mendingin, masalahnya terselesaikan. Pada dasarnya mereka berdua memang bukan orang yang dramatis, perdebatan demi perdebatan biasanya akan mereka selesaikan lebih cepat. Jadi insiden tadi tuh terhitung konyol bagi mereka.

Mark sedang memindahkan mawarnya ke sebuah vas ketika tiba-tiba terasa Yukhei memeluknya dari belakang sambil mengecupi lehernya.

“Malem ini aku gak tidur di luar, kan?” Bisik Yukhei dengan nada bicara seperti ketika ia mau meminta jatah, karena Yukhei tahu bahwa ia kedengaran seksi bagi Mark kalau gaya ngomongnya seperti itu.

“Hmm.”

Hm artinya apa?”

Mark kemudian memutar tubuhnya untuk menghadap Yukhei. “Hm tadi artinya kamu bau amis, cepetan mandi. Sekalian bangunin si Dedek, belum mandi juga.”

Hehe, asyik, Ayah Mark yang cerewet kembali; tandanya sudah tidak marah lagi. Yukhei kemudian malah sengaja menarik tubuh Mark ke dalam pelukannya sambil mengecupi sisi wajahnya, membuat pria itu meronta.

“Bau, ihhh!”

“Bau tapi sayang, kan?”

Mark mengerling tapi tidak bisa menahan senyumnya. “Hmm.”

Hm yang ini artinya I love Papa Yukhei, ya?”

“Buruan mandi, ihh,” Mark berusaha mencubit lengan Yukhei tapi, aduh, terlalu kekar jadi gak bisa dicubit ….

“Sun aku dulu, baru aku mandi.”

Mark berdecak kesal sambil geleng-geleng kepala, meski akhirnya ia mengecup pipi Yukhei, lalu deg-degan ala ABG yang baru pacaran ketika Yukhei membalas kecupannya.

Love you, Mark Lee.”

“Hmm.”

Nah, kalau hmm yang itu artinya Love you juga, Wong Yukhei, suamiku dan Papanya si Dedek. ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: t ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Lho, kamu gak makan siang?”

“Nungguin biar bareng, Prof.” Jawab mahasiswa itu santai sambil nyengir kuda, ia segera mematikan rokoknya dan menghampiri Minhyung. “Gak sama dosen yang lain, Prof?”

Minhyung menggeleng, somehow ia tidak berani menatap lelaki di sampingnya. Ah, Lucas—sang mahasiswa sekaligus asisten lab kelas di mana Minhyung mengajar. Mahasiswa itu nampak menawan dalam setelan resminya, namun Minhyung malu untuk mengakuinya atau bahkan memikirkannya. Perasaan seperti itu masih tabu untuknya.

Ah, gimana nih? Prof Minhyung lebih pinter dari saya, kalau umurnya gak jauh-jauh amat, ya, gak apa-apa. Lagian juga, mahasiswa kan udah pada gede, bisa bedain yang mana yang baik dan enggak. Kayak saya sama Profesor, kan?” Pernah Lucas berkomentar begitu ketika Minhyung digodai beberapa mahasiswa sehabis kelas, entah bagaimana caranya topik pembicaraan mereka melenceng dari judul proposal penelitian ke hubungan antara dosen-mahasiswa.

Minhyung memang selalu memberitahu mahasiswanya bahwa dirinya dan mereka tidak terpaut usia yang jauh supaya hubungan mereka tidak kaku.

Akibat hal tersebut, ia mendapat pujian-pujian seperti, “Wah? Berarti Prof. Minhyung pinter banget dong di sekolahnya!” juga digodai …, “Lagi cari pasangan gak, Prof? Saya siap kok.” Dan biasanya Minhyung hanya akan tersipu malu, tidak tahu harus merespon bagaimana karena ia tidak terbiasa mendapatkan banyak perhatian.

Menjadi seorang dosen merupakan pilihan terakhir dalam kariernya, sejujurnya, Minhyung tidak tahu dirinya mau menjadi apa. Ia tidak memiliki cita-cita. Seluruh pilihan hidupnya dibuatkan oleh ibunya yang selama ini selalu mengatur kehidupannya.

“Prof Minhyung.”

“Hm …?”

Dan lagi. Lucas mengukir senyum itu lagi. Mereka melangkah ke gedung pernikahan salah satu mahasiswa yang merupakan salah satu asisten lab juga. “Ngelamunin apa?”

Minhyung melirik Lucas dan menggeleng, mencoba untuk tidak merona hanya karena dipandangi oleh Lucas dengan senyum menawannya. “Kamu udah ngumpulin naskah proposalnya?”

Bukannya menjawab Lucas malah menghentikan langkahnya, yang spontan menghentikan langkah Minhyung juga, membuat dosen itu jadi bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan ucapannya.

“Prof.” Lucas dan dosen tersebut saling berhadapan, Minhyung harus menengadah ketika menatap wajahnya, membuatnya begitu sadar pada bagaimana berbedanya proporsi tubuh mereka. Minhyung feels so small now. “Jangan ngomongin soal kuliah kalau kita lagi berdua, bisa?”

Minhyung mengernyit. “Kenapa emangnya?” tanyanya meski tahu akan ke mana arah pembicaraan mereka. Lagi-lagi ia menunduk ketika merasa tidak dapat menahan tatapan Lucas. Minhyung ingin lari dari momen ini, ia tidak suka pada bagaimana dirinya diam-diam memang selalu mengantisipasi kehadiran mahasiswa yang satu ini.

This is wrong, this feels wrong.

“Saya pengin tahu lebih banyak tentang Profesor, bukan cuma seputar perkuliahan, tapi seputar kehidupannya juga.”

Kemudian Lucas meraih tangan Minhyung untuk digenggam, membuat Minhyung seketika panik.

“Lucas—”

It's fine, Prof.” Ibu jarinya mengelus punggung tangan Minhyung. “Saya gak mungkin ngebiarin yang lalu terjadi lagi.” Kemudian jemari Lucas mengelus jari manis Minhyung, di mana di sana masih terdapat bekas garis melingkar di kulitnya yang mengukir seperti cincin—yang akan selalu mengingatkan Minhyung pada salah satu dari sekian tragedi dalam hidupnya.

Karier kamu gak maju-maju, rumah tangga gak becus. Bisanya cuma malu-maluin keluarga aja. Ini timbal balik kamu sama Ibu?!

Minhyung tidak tahu dari mana Lucas bisa paham apa yang terjadi di masa lalunya, atau apa yang sedang dilaluinya; mungkin dari obrolan pendek di laboratorium? Atau dari obrolan mengenai keluarga pada makan siang bareng di warteg samping kampus?

Sebagai dosen-mahasiswa, tidak dapat dipungkiri bahwa Minhyung dan Lucas memang sering menghabiskan waktu bersama, hingga gosip mengenai hubungan mereka pun bertebaran, dan tidak di antara keduanya yang nampak keberatan dengan gosip-gosip tersebut.

“Minhyung, Lee Minhyung,” Lucas memanggil hanya dengan namanya, yang anehnya tidak terdengar aneh keluar dari mulut lelaki itu. Ia menyeka garis air mata dari pipi Minhyung yang tidak disadarinya. Ini memalukan, Minhyung tidak seharusnya bersikap begini di hadapan Lucas. “Jangan takut buat bahagia, gak bakal ada hal buruk yang terjadi sebagai gantinya.”

Kemudian Lucas menangkup pipinya, kali ini Minhyung tidak menghindar dari sentuhan itu. Masih dengan senyum yang sama, Lucas berkata, “Semua orang pantas bahagia, termasuk saya dan kamu.”

Masih di tempat parkir, tepatnya di samping rindangnya pohon tanjung, mereka berdiri saling berhadapan. Minhyung masih begitu rapi dalam setelan resminya, namun raut wajah sudah tidak keruan; ia tidak terbiasa pada kasih sayang dan hal-hal positif lain dalam hidupnya.

It feels good, he’s scared.

Pada masa di mana Minhyung masih bersama mantan suaminya, ia terlatih dengan menangis dalam sunyi sehingga tidak sedikit pun suara dikeluarkannya, seperti sekarang ini. Bahkan hingga ketika Lucas memejam matanya kemudian membungkuk agar bibir empuknya meraih bibir Minhyung, Minhyung tetap tidak banyak bersuara.

Karena untuk pertama kalinya ia begitu gembira hingga tidak ingin melakukan apa pun yang dapat merusak perasaannya; jangan takut bahagia.

Minhyung baru sadar apa yang sedang terjadi ketika Lucas melepaskan dirinya hanya untuk bertanya, “Eh, maaf, tadi gak tanya dulu. Gak apa-apa saya cium?”

Lucas terdengar begitu polos ketika menanyakannya, Minhyung pun terkekeh sambil mengangguk, air mata masih berlinang.

“Oh, iya. Saya juga gak akan panggil pake “Profesor” lagi kalau di luar kampus.”

Okay.”

“Soalnya aneh kalau pacaran panggilannya gitu.”

Pacaran. Minhyung mengernyit ketika mendengar kata itu. Semakin dewasa, semakin Minhyung merasa jauh dengan hal-hal romantis dan komitmennya. “Hubungannya dibawa pelan-pelan aja.” Adalah pernyataan Minhyung bahwa sebaiknya hubungan mereka tidak sesegera mungkin dibawa ke tahap selanjutnya.

Minhyung ingin menyembuhkan dirinya terlebih dahulu dari begitu banyak trauma; dari momen-momen buruk bersama ibunya yang telah tiada; atau dari perpisahan dengan mantan suaminya yang kejam.

Pada penolakan halus Minhyung, senyum Lucas tidak pernah menghilang. “Saya siap nunggu sampai kapan pun. Kalau kamu kesulitan, jangan ragu buat minta tolong, hm?” Lucas menyelipkan helaian rambut Minhyung ke balik telinganya yang kemudian memerah. Meski gemas pada pemandangan di hadapannya, Lucas tidak menyuarakannya, ia malah berkata, “Hal-hal yang baru emang nyeremin, kamu pernah bilang kayak gitu di kelas.”

“Saya … gak takut ….”

Dusta. Minhyung merasa antusias dan takut pada saat yang sama. Pola pikir di mana ia harus menyakiti dirinya sendiri agar berhak mendapat kebahagiaan itu sulit untuk dihilangkan.

Namun Alam Semesta menyayangi Minhyung dengan menganugerahi Lucas, lelaki penuh ketulusan dan kasih sayang itu seperti dengan mudahnya membaca isi hati Minhyung, sehingga ia memberitahu Minhyung, “Kalau takut pun gak apa-apa,” tatapan matanya melembut, “tapi asal tahu aja, kalau sekarang ada saya yang jagain kamu.”

Bibir Minhyung bergetar, ia segera menunduk, kali ini tidak dapat membendung perasaannya lagi. “Lucas, saya … boleh peluk kamu?” Tanya Minhyung dengan nada bicara yang begitu kecil. Ah, Minhyung memang selalu nampak kecil dibandingkan banyak mahasiswa di kelas, tak terkecuali Lucas.

Dan Lucas menjawab Minhyung dengan menariknya ke dalam sebuah pelukan erat, Minhyung pun membenamkan wajahnya ke dada bidang lelaki jangkung itu, membiarkan dirinya sekali lagi merasa nyaman dalam kebahagiaannya, ia menghela napas panjang.

Minhyung dapat merasakan bibir Lucas yang menggelitik pucuk kepalanya ketika berkata, “Banyak yang sayang sama kamu, Minhyung.”

Minhyung tersenyum.

“Termasuk anak-anak lab yang suka gosipin kita.”

Pada pernyataan itu, Minhyung terkekeh kemudian jadi membayangkan apa yang akan dikatakan orang-orang bila hubungan semi-pacaran mereka terbongkar.

“Tahu gak sih kita sebenarnya dikira udah pacaran?” Gumam Lucas di kepala Minhyung.

“Mereka seserius itu?”

“Hm, makanya kayaknya kalau kita pacaran, mungkin dikira udah nikah diem-diem.”

Pernyataan itu sukses membuat Minhyung tertawa. Ia tahu bahwa Lucas sedang bergurau, namun somehow gambaran masa depan dirinya bersama Lucas membuat jantungnya berdebar karena gembira sekaligus takut—

No.

Karena Minhyung merasa gembira dan antusias.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: general audiences ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Ayaaah!”

“Eh—hey, hey, baby,” Yukhei sesegera mungkin menggendong putranya dan membawanya ke ruangan lain—jauh dari kamar di mana kini Ayah Mark sedang terlelap. Dari wajahnya nampak bahwa Mark begitu kelelahan. “Kenapa, sayang? Mimpi buruk, hm?” tanya Yukhei.

Putra mereka—yang masih berusia empat tahun itu—mengangguk, ia memeluk leher Yukhei erat-erat, jemari mungilnya meremas kemeja Yukhei.

Ahh, dia memang masih mengenakan setelan kantornya. Hampir jam dua belas malam dan baru sampai di rumah. Yukhei selalu merasa bersalah karena ketidakhadirannya di rumah bahkan di akhir pekan.

Sebenarnya tidak pernah ada yang memerintahkannya untuk bekerja keras, tapi ia pikir, selagi masih mampu, lebih baik melakukannya sekeras mungkin.

Juga putra mereka tahun ini sudah masuk pre-school playgroup, memikirkan putranya yang tumbuh besar membuatnya antusias sekaligus cemas, karena kini buah hati mereka mulai mandiri untuk berinteraksi dengan banyak orang asing selain anggota keluarga.

“Papa! Ada monster!” Putranya menggeliat histeris dalam dekapannya, jagoan si Ayah mulai bisa mengeja huruf R dengan jelas.

Yukhei membelai punggung sang buah hati sambil membisikkan, “Sshhh, jangan teriak-teriak, dek, nanti si Ayah bangun.”

“Ada monster di kamar, ihhh, Papa!” Ikut-ikutan berbisik meski masih heboh. “Cepet! Nanti kalau monsternya nyerang Ayah Mark gimana?!”

Yukhei menahan dirinya untuk tidak terkekeh karena gemas pada ucapan putranya, ia tetap ingin menganggap putranya serius, apa lagi dengan bagaimana anak itu nampak ketakutan.

“Oke, monsternya biar Papa usir. Dedek mau ikut Papa ngusir monsternya gak?”

Anak itu mengangguk.

Papa Yukhei menyisir helai rambut putranya yang agak lepek karena keringat, ia perlahan melangkah mendekat lagi ke kamar sang buah hati—yang menghadap kamar Yukhei dan Mark. Langkahnya mengendap-endap, putra mereka seketika bergidik ngeri dalam dekapan Yukhei.

“Papa ..., hati-hati.”

“Iya, sayang.”

“Pa, bentar!” Tiba-tiba putranya menggeliat karena ingin diturunkan, dan ketika buah hatinya diturunkan ke lantai, kaki mungilnya berlari cepat ke arah ruang televisi. Ia kemudian kembali dengan Tuan Haechie, alias boneka Teddy Bear besar berkostum pembajak laut yang sedang menggenggam pedang-pedangan kecil.

“Oke, siap, Pa.” Bisik putra Yukhei sambil menggiring Tuan Haechie yang besarnya hampir menyaingi tubuhnya. Ia pun kembali dalam gendongan si Papa.

Ketika Yukhei membuka pintu kamar putranya pelan, ia tentu saja tidak menemukan apa-apa.

Wah, kamarnya gelap, hanya dibantu oleh cahaya dari lampu tidurnya di sudut ruangan. Uhm ..., oke, somehow Yukhei jadi ikutan takut, tiba-tiba jadi paranoid karena ini kan biasanya awal dari film horor keluarga; kalau Mark menyaksikan peristiwa ini, pasti Yukhei digodai habis-habisan; makanya jangan kelamaan di kantor, Pa. Jadi penakut gini kan kamu.

“Papa, itu deket tempat bobo Dedek!” Desis putranya, ia spontan menyembunyikan wajahnya di balik tengkuk leher Yukhei dan memeluknya erat ketika mereka makin mendekat, genggaman tangan masih tidak lepas dari Tuan Haechie.

Mereka mendekat, dan Yukhei mulai dapat melihat sesuatu ..., ya, ternyata memang ada sesuatu, tapi masih belum jelas. Jadi ia lebih mendekat ..., dan mendekat ... hingga akhirnya—

WAAHHHH!!!”

“Ayaaah!!!”

Spontan putra mereka ikutan menjerit, dikejutkan oleh si Papa yang berseru histeris duluan begitu keras dan tiba-tiba. Anak itu langsung menangis di tempat, tidak peduli kalau bisa membangunkan si Ayah yang pasti lelah sudah seharian mengurusnya.

Aduh ….

Ya …, habisnya bagaimana tidak kaget dihadapkan pada buku cerita dengan sampul berwajah Thomas dari “Thomas & Friends” ...? Ini pasti merupakan salah satu hadiah ulang tahun putranya dari temannya, karena Yukhei tidak ingat kalau putranya menggemari Thomas & Friends.

“Sayang, kenapa?”

Lalu lampu kamarnya menyala, nampak Mark sudah berdiri di ambang pintu, tubuh lesunya disandarkan di sana, tampilan wajahnya jelas-jelas memberitahu mereka bahwa ia baru saja terbangun dari tidur lelapnya.

“Aya—Ayaaaahh!!!” Si Dedek langsung saja ngacir ke pelukan Ayah Mark sambil masih menangis ketakutan, pipi bulatnya begitu merona karenanya.

Mark yang menyaksikan pemandangan tersebut segera berlutut dan membawa putranya dalam dekapan erat. Sang buah hati mengubur wajahnya ke pundaknya.

“Maaf, sayang, Papa kaget.” Yukhei mengambil Tuan Haechie yang sempat terdampar di lantai, satu tangan lagi mencoba memperlihatkan buku cerita Thomas & Friends-nya pada si Dedek. “Bukan apa-apa, tuhhh. Liat siapa nih, si Thomas, kan?”

“Thomas, dek. Itu Thomas yang tadi Ayah ceritain.” Mark mencoba membantu.

Tapi, ya, namanya juga sudah terlanjur kaget. Putranya tidak menggubris orang tuanya sama sekali, juga tidak kunjung meredakan tangisannya, jadi Mark membawa si Dedek ke ruang televisi di mana di sana terdapat sofa panjang yang nyaman untuk ditiduri.

Masih memangku makhluk mungil kesayangannya sambil menepuk-nepuk lembut punggungnya untuk menenangkan, Mark bersandar ke sofanya dengan helaan napas yang panjang; ingin segera terlelap lagi.

“Kamu tadi kenapa teriak segala, Pa?” Tanya Mark, dari nada bicaranya jelas bahwa ia sedang jengkel namun tetap mencoba untuk tenang.

“Tadi kaget, kupikir emang bener ada apa gitu.”

Mark hanya menghela napas panjang lagi sebagai responnya, ia memejam matanya yang masih terasa perih karena kantuk. Oke, kepalanya mulai terasa nyeri berdenyut lagi.

“Bukan apa-apa, dek, tadi mah si Thomas.” Mark mencoba lagi untuk meredakan tangis putranya, ia merasa kasihan membayangkan betapa terkejutnya si Dedek menyaksikan Papa Yukhei heboh sendiri.

Terlihat Yukhei berlutut di samping sofa untuk menyejajarkan dirinya dengan dua orang tersayangnya. “Maafin Papa, dek ...,” bisik Yukhei sambil ikut membelai punggung putranya, “tadi Papa kaget. Thomas-nya udah gak ada, hilang, udah Papa usir.”

Kalimat tersebut berhasil membuat si Dedek berpaling pada Yukhei, wajahnya yang bersimbah air mata membuat hati Yukhei dan Mark terenyuh. “Papa, jangan diusir om Thomas-nya ....”

Eh, gimana …. “Kenapa jangan diusir, dek? Bukannya tadi takut?”

Anak kecil itu menggeleng. “Dedek gak takut sama om Thomas.”

“Terus kenapa jangan diusir?”

“Kata Ayah kalau musim hujan, di luar kan dingin, nanti—nanti om Thomas-nya sakit .... Nginep aja kayak om Hendery, Pa.”

Mark menatap Yukhei dan putra mereka bergantian, lalu tersenyum dan mengecup gemas pipi si Dedek.

Yukhei kali ini tidak bisa menahan diri untuk terkekeh. Ia hapus garis air mata dari wajah putranya, dan berkata, “Oh, siap, kapten. Enggak jadi Papa usir.” Lalu Yukhei sedikit meneriakkan, “Om Thomas, jangan pergi kata Dedek! Nginep aja katanya!”

Lalu Mark menguap, si Dedek pun ikut-ikutan menguap deh, sesi menangisnya sudah berhenti. Menyaksikan hal tersebut, Yukhei bangkit dan sudah membuka kedua tangannya untuk mengambil alih gendongan putra mereka.

“Mau bobonya sama Ayah!” Kata si Dedek cepat sebelum Papa Yukhei dapat menggendongnya. Ia menyembunyikan wajahnya ke leher Mark.

“Dedek gak kangen sama Papa?” Jujur, Yukhei beneran sedih karena anaknya lebih memilih untuk dininabobokan oleh Mark. Mereka akhir-akhir ini jarang bertemu karena kesibukan Yukhei.

Namun terdengar suara pilu si Dedek yang berkata, “Kangen Papa ....”

“Sini bobonya sama Papa.” Yukhei membuka lagi tangannya lebih lebar.

“Gak mau, ah, Papa penakut.”

Mark dan Yukhei spontan tertawa pada komentar itu, dan melihat kedua orang tuanya tertawa, si Dedek sudah tidak setakut dan sesedih sebelumnya, namun ia tetap melekat pada Ayah Mark.

“Ya, udah tidur di sini aja. Gelar kasur gitu atau apa.” Nada bicara Mark mulai melantur, ia memejam matanya lagi, tidak mengindahkan putranya yang kini memainkan pipi Mark.

“Yes! Camping di rumah!” Seru si Dedek antusias, suasana hatinya kembali ceria, seperti lupa pada insiden om Thomas yang mengejutkannya.

Damn …, padahal tadinya Yukhei ingin punya waktu berduaan dengan Mark. Sudah lama mereka tidak bermesraan di rumah, sepanjang perjalanan pulang, Yukhei sempat membayangkan hal apa saja yang ingin dilakukan dan diobrolkan dengan Mark hanya berduaan, tanpa harus menahan diri.

Tapi, yaaa, harus ditunda lagi karena si Dedek kecil ini. Ah, selain rindu pada putranya, Yukhei juga rindu pada Mark.

Sorry.” Bisik Yukhei, kali ini hanya diperuntukkan pada Mark, ia kemudian membungkuk untuk mengecup kening sang suami. Dan tanpa basa-basi lagi, Yukhei mempersiapkan tempat tidur yang digelar di ruang televisi.

Belum juga lima menit Ayah Mark meninabobokan si Dedek, anak itu sudah memejam matanya di atas kasur sambil memeluk Tuan Haechie. Terlihat Mark masih terjaga, ia sedang berbaring di samping putranya sambil memainkan ponselnya.

“Udah makan kamu?” tanya Mark pada Yukhei bisik-bisik, ia lalu mengusap-usap punggung putranya ketika bergerak dalam tidurnya.

“Belum,” jawab Yukhei, matanya sudah menghadap tudung saji di meja makan.

“Masih ada tumis kangkung, pepes tahu, sama tadi beli tempe mendoan pas jemput si Dedek, tinggal diangetin aja.” Bagian akhir kalimatnya agak digumamkan oleh Mark karena nampak ia akhirnya bersiap-siap untuk tidur.

Sungguh, Yukhei begitu salut pada Mark yang harus bekerja dua kali lebih keras di rumah, dan tetap sanggup menjamin kenyamanan semua anggota keluarganya. Aduh, Yukhei gak tahu lagi seberuntung apa bisa dianugerahi Mark sebagai pasangan dalam hidupnya.

“Oke, makasih, Mark Lee sayangku.”

Mata Mark yang sudah terpejam seketika terbuka kembali dan dihadapkan pada Yukhei yang sedang berusaha untuk menahan tawanya. Sudah lama sekali mereka tidak memanggil dengan panggilan-panggilan manis seperti ketika masa pacaran.

Bukan berarti mereka kehilangan bumbu-bumbu romantis dalam hubungan mereka, hanya saja karena begitu terbiasa dengan panggilan “Ayah” dan “Papa” untuk mengajari si Dedek, justru Mark kini merasa canggung dengan panggilan sayang.

“Habis makan jangan langsung tiduran, Pa.” Lalu memejamkan lagi matanya dan tidak mendengar Yukhei merespon untuk beberapa saat hingga akhirnya merasakan ada kecupan di pelipis. “Oh, iya, jangan lupa matiin lampu kamar si Dedek.” Kata Mark untuk yang terakhir kalinya di malam itu karena kantuknya tak tertahankan lagi.

Yukhei harus makan malam dulu dan hanya kuat memberi jeda setengah jam sebelum akhirnya berbaring di samping si Dedek. Anak itu sempat terbangun ketika merasakan kehadiran Papa Yukhei, sehingga ia menggeser tubuhnya untuk lebih melekat pada Papanya.

Hm, dalam keadaan mengantuk, ia pandangi wajah Mark dan putra mereka yang sedang nampak damai dalam tidurnya. Membuat hatinya sedikit bergetar karena inilah yang Yukhei rindukan; momen-momen hangat bersama keluarganya. Hanya mereka bertiga berdekatan di bawah atap yang sama.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: t ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ “Gak usah sok-sokan makanya.”

Mark hanya merengek sebagai responnya. Sedang sakit begini malah dimarahi, bukannya kasihan, disayang-sayang misalnya.

Ia bersandar ke jok mobil dengan pandangan menghadap ke pemandangan di luar kaca jendela, sambil membayangkan dirinya sebagai pemeran utama dalam karya fiksi; karena insiden yang baru terjadi sungguh dramatis dan bodoh.

Ahhh, siapa yang mengira pekan olahraga di kampusnya akan diadakan sejak pagi buta? (Jam 8 pagi, ya, menurut Mark itu terlalu subuh.) Dan siapa yang mengira kalau Yukhei akan bertanding pada sesi pertama? Mark sih tidak mengiranya. Makanya ia enak-enakan nonton drama Korea pada malam sebelumnya hingga jam 3 pagi, sebelum akhirnya dikabari oleh si doi bahwa ia akan bertanding membawa nama anak Jurnalistik pukul 8 pagi.

“Kenapa pake minum kopi segala? Emang kamu udah makan?”

“Blom.” Mark menggumamkannya sambil menahan diri untuk tidak muntah di mobil sang kekasih, aduh, mulutnya mulai terasa pahit. Demamnya juga tidak turun-turun.

“Terus, pake sok-sokan minum kopi, biar apa?”

“Ihhh,” Mark hanya merengek lagi karena, astaga, seriusan, perutnya benar-benar sakit. Sedari tadi ia hanya memeluk hoodie ¬ tebal milik si doi. Mark juga sebenarnya sensitif pada kafein, ia dapat merasakan bagaimana jantungnya kini berdebar kencang, dan tangannya gemetaran, tapi ia tidak mau memberitahu hal ini pada Yukhei, karena takut dimarahi lagi.

“Ini kita ke rumah kamu aja, ya, beb.” Kata Yukhei kemudian membenarkan kacamatanya, bersiap untuk belok ke arah rumah Mark.

“Hah?! Gak, gak!” Mark langsung heboh, untuk sesaat ia lupa bahwa asam lambungnya naik dan masih demam. Ketakutan langsung hadir karena ingat ada abangnya yang pasti sama galaknya kalau tahu apa yang terjadi pada sang adik.

Oh My God, udah deket rumah kamu, lho.”

Dari nada bicaranya, terdengar mas pacar mulai merasa jengkel pada sikap Mark yang terlalu pilih-pilih yang hadir di saat yang tak tepat.

Mark diam dulu sebelum akhirnya merespon Yukhei dengan nada bicara yang kecil, “Di ... di kosan kamu aja .... Minggu ini ada abang aku soalnya.”

Yukhei tidak meresponnya untuk beberapa saat, kegemingannya membuat Mark menoleh dan menyadari bagaimana doi kayaknya emang marah. Ya, siapa yang tidak marah? Lelaki itu harus memutar balik dan mengemudi sepanjang 6km untuk kembali ke kosannya.

“Yukhei,”

Tidak dijawab, kening pacar Mark mengernyit, sepertinya mencoba untuk tidak marah.

“Sayang,” Mark mencoba lagi. Meski sebenarnya ada sisi di hatinya yang menggila, karena jujur, pacarnya kalau sedang marah kayak gitu ganteng banget, huhuhu. “Maaf, ngerepotin kamu.”

Tangan Mark meraih paha Yukhei untuk menarik sebuah respon, namun yang didapat malah malaikat pencabut nyawa yang hampir menjemput mereka. Mobilnya tiba-tiba membuat belokan tajam dan berhenti tiba-tiba, membanting tubuh Mark ke pintu.

Untung jalanannya sepi, jadi sesungguhnya tidak ada yang terancam selain mereka berdua dan gerombolan bebek yang kebetulan akan menyeberang—dari mana datangnya bebek-bebek itu?!

Mark tidak tahu, yang jelas ia dan Yukhei begitu syok hingga mereka berdua membisu sesaat sebelum akhirnya terdengar mas pacar menyentak, “Kamu ngapain sih tadi?! Kan udah tahu aku lagi nyetir!”

Syok hampir kecelakaan dan syok dibentak oleh Yukhei membuat Mark bungkam seketika. Ia sempat lupa kalau dirinya masih merasa tidak enak badan karena rasa takut yang seketika menyelimutinya.

Mark hanya bisa menunduk dalam sambil memainkan jarinya sendiri. Yukhei memang sering menceramahinya ini-itu kalau ada yang salah, tapi ia tidak pernah marah. Selama dua tahun pacaran, Mark hanya pernah melihat Yukhei marah sekali, yakni ketika juniornya di kampus ketahuan mengorupsi dana milik organisasi.

Nah, pastinya Yukhei merasa emosi karena harus mengundurkan diri dari pertandingan yang ditunggu-tunggunya. Jurnalistik memiliki kebanggaan sebagai yang paling unggul dalam pekan olahraga. Jadi Yukhei yang menjadi bagian dari pekan olahraga ini merupakan hal penting, apa lagi olahraga itu termasuk 5 besar prioritas dalam hidup Yukhei.

Sebalnya tidak ada teman yang bisa mengantarkan Mark pulang, semuanya sibuk karena pekan olahraga ini. Kenalan yang tinggal di kosan dekat kampus malah sedang pulang kampung semua.

Kalau pakai taksi, jadi teringat lagi trauma Mark hampir dirampok oleh supirnya ..., semenjak insiden tersebut, Yukhei tidak mau membiarkan Mark pulang dengan orang yang tidak dipercayainya.

Ah, pokoknya drama banget.

Memikirkan Mark bisa bikin Yukhei marah begini, membuat dirinya ingin menangis. Sudah ditahan-tahan, tapi tetap menangis. Maaf-maaf saja, Mark memang anak bungsu yang cengeng. Ia juga terus-terusan berpikiran bahwa, semuanya salah aku. Bego banget, ngerepotin aja bisanya!

Satu tetes, dua tetes, buru-buru Mark mengusap pipinya kasar. Hal ini tentu saja tidak diabaikan oleh si doi.

“Eh?” Yukhei spontan panik. “Beb, kenapa? Kamu luka?” Ia menangkup pipi Mark sambil membantunya menghapus air matanya dan memeriksa rona wajahnya.

Karena masih merasa bersalah, Mark hanya menggeleng lalu menunduk dan memeluk perutnya lagi, sehingga Yukhei menyalahartikan hal ini sebagai sesuatu yang lain. “Perutnya makin sakit, hm?”

Jujur saja, Mark sempat lupa kalau perutnya sakit karena rasa bersalahnya dan memang tidak sesakit sebelumnya. Namun Mark tetap diam dan masih menangis.

Sorry, sorry, aku bakalan ngebut ke kosan aku.” Kata Yukhei dengan nada bicara yang kembali ke mode mas pacar yang perhatian, seolah ia tadi tidak sempat tersulut emosi karena harus menyetir lebih jauh lagi dan hampir terlibat dalam kecelakaan.

Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, dan ketika sampai, Mark segera tidur siang setelah minum obatnya. Dan ketika ia membuka matanya kembali, langitnya menunjukkan bahwa waktunya sudah sore.

Morning.

“Eh ...?”

Yukhei cengengesan. “Becanda, beb.”

Mark menghela napas panjang, ia hendak kembali untuk tidur sebelum akhirnya dihentikan oleh mas pacar. Terlihat Yukhei meletakkan keresek yang diasumsikan berisi makanan di meja. Wanginya kayak sate.

“Tadi aku beliin makanan, tapi kamu malah tidur, jadi aku makan punya kamu.”

Mark tidak segera merespon, ia hanya ingin tidur lagi karena masih mengantuk ... pasti karena begadang. Ia dapat merasakan Yukhei duduk di tepi ranjang, kemudian terasa pipinya disentuh.

“Eh, jangan tidur dulu. Makan dulu, kamu gak sarapan sama makan siang.”

“Hm, nanti aja.” Mark mengubah posisinya untuk memunggungi Yukhei. Kemudian terdengar pacar Mark terkekeh, Yukhei menepuk-nepuk bokong Mark sebelum akhirnya membalikkan tubuh Mark agar bisa menatap wajahnya.

“Si ibu bisa marahin aku kalau tahu anaknya sakit kayak tadi. Pake nangis segala.”

“Ya, abis kamu galak banget. Nyeremin.” Gumam Mark, manyun sedikit karena ia tahu kalau Yukhei suka bibir manyunnya.

Dan benar saja, ia perhatikan bagaimana mata Yukhei melirik bibirnya sekilas. “Masih sakit gak?”

Mark menggeleng. Lalu hening. Mereka masih di posisi yang sama, di mana Mark berbaring nyaman di ranjang kosan Yukhei dan membiarkan si doi mengelus-elus pipinya.

“Maaf, tadi ngerepotin.” Tiba-tiba Mark memecah keheningan. Ia meraih tangan Yukhei yang ada di pipinya dan menggenggamnya.

“Kamu gak ngerepotin, cuma nyebelin aja.”

“Ya, abisnya ...” Habis minta maaf, tetap ingin membela diri. Maklum, kultur anak bungsu yang dimanja di keluarganya, heuheuheu.

“Abisnya apa?”

Abisnya apa, ya ..., gak tahu apa .... Mark habis sakit dan ia hanya ingin dimanjakan, bukannya diceramahi. Ia pun menunduk karena malu.

Lalu seperti membaca pikiran Mark, dan merasa bersalah telah memojokkan pacarnya seharian, Yukhei kali ini yang bilang, “Maafin aku juga, tadi ngebentak kamu.” Sambil kembali menangkup pipi Mark, sedikit diremas karena ingin melihat bibir manyun pacarnya lagi.

“Kenapa tadi pake ngerem kayak tadi segala?”

“Kagetlah, tadi kamu tiba-tiba pegang aku.”

“Tiba-tiba pegang kamu maksudnya? Emang kenapa kalau aku pegang kamu? Perasaan biasa aja.”

Kali ini Mark punya poin. Yukhei berdehem, ia tidak kunjung menjawab kemudian malah bangkit untuk mengeluarkan isi makanan yang memang isinya sate ayam dan lontong.

“Kan jadi inget hadiah ulang tahun.” Akhirnya Yukhei menjawab, agak digumamkan gitu kayak malu-malu, padahal cuma ada mereka berdua di kamar kosannya.

“Hadiah apa maksudnya?” Kening Mark mengernyit, memikirkan maksud dari seluruh kandidat hadiah ulang tahun Yukhei harus dibawa di mobil— “Oh.”

Oh ....

“Aku kan lagi sakit! Sempet-sempetnya inget.” Mark memekik, ia akhirnya bangkit untuk duduk sambil bersandar ketika melihat doi sudah menyiapkan makannya di piring.

“Yaaa, sorry!” Yukhei tersenyum malu, mesem-mesem tidak jelas.

Mungkin karena sudah lama tidak ketemu, ya? Terakhir kali komunikasi pas ngomongin pekan olahraga. Tapi tetap saja, sempat-sempatnya Yukhei teringat pada hadiah ulang tahun dari Mark, alias menerima blowjob pas lagi menyetir mobil.

Orang yang atletis gitu kali, ya? Suka sama tantangan. Mark tidak habis pikir, tapi ia tidak menolak permintaan si doi juga sih, karena kayaknya memang seru hehehe (Gagasan berbahaya, tidak untuk ditiru di rumah. Tapi bisa ditiru di mobil, hihihi).

“Tanggung jawab, ya, kamu bikin nangis anak orang. Aku aduin si abang.”

“Eh!” Yukhei langsung panik mendengar Mark bawa-bawa abang Johnny. “Ucapan itu doa. Hati-hati, beb.” Dia memang takut sama abangnya Mark yang galak. Mark sendiri sebenarnya suka takut kalau bang Johnny dalam mode protektifnya, maka dari itu, ketika tahu sang kakak ada di rumah, mau tidak mau mereka pergi ke kosan Yukhei.

Tidak terbayang kalau si abang tahu mengenai Mark yang jatuh sakit seperti tadi.

“Tuan Mark, apakah pelajaran hidup yang didapat hari ini?” Yukhei duduk lagi di tepi ranjang, sudah siap dengan sepiring sate ayam dan lontong nasinya.

“Kalau nonton drama yang seru, jangan sampai begadang—”

“Jangan sekali-kali minum kopi lagi, ihhh, bandel banget dibilangin.”

Lalu sempat-sempatnya si doi mencubit pipi Mark sambil ditarik-tarik. Emangnya pipi aku slime apa?! Tapi Mark tidak menyuarakan protesnya, hanya manyun dan menunggu disuapin oleh mas pacar.

“Awas, ya, no more kopi-kopi overpriced kayak gitu.”

“Siap, kapten!” Jawab Mark sambil cengengesan.

“Senyumnya kenapa gitu? Bikin aku curiga ada apa-apanya.”

“Enggaaak!” Masih cengengesan sambil berpikir berarti kalau kopinya gak overpriced, boleh ya? Hehehe. Nanti ketika pulang, ia harus menyembunyikan stok serantai kopi Good day-nya.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ fin

rating: t-m implied sexual content. ‎ㅤ ‎ㅤ ‎ㅤ ‎ㅤ ‎‎ㅤ ‎ㅤ Mark pernah berpikir kalau keputusannya ini begitu salah, pertemuannya dengan Wong Yukhei merupakan sebuah malapetaka. Ia sempat berpikir untuk memblokir nomor Yukhei, atau mungkin mengada-ada sebuah situasi di mana ia tidak dapat menemui Yukhei lagi.

Misalnya saja dengan bilang bahwa ia sibuk dengan skripsi?

Tapi Yukhei berteman dengan Dejun, dan Dejun itu orangnya kurang peka dengan situasi dan pelupa, jadi ia bisa saja tanpa sengaja membocorkan alasan sesungguhnya mengapa ia menghindari Yukhei.

Atau beralasan di kosannya, sudah tidak boleh membawa tamu?

Ah, terlalu absurd. Lagi pula bisa saja mereka melakukannya di kosan Yukhei, seperti sekarang ini.

“Kamu kenapa?”

Mark mengerjapkan matanya, sedikit tersentak karena baru sadar bahwa sedari tadi ia melamun. Astaga, Mark Lee, bisa-bisanya habis nyepong malah melamun. “Ya?”

“Lagi gak mood, ya? Sorry, sorry.” Yukhei mengelus ibu jarinya ke pipi Mark untuk menyeka air maninya.

“Eh, bukan.” Mark cengengesan, “cuma ... anu ...,” anu kenapa ...? “keinget sesuatu.”

“Keinget sesuatu? Apa emangnya?” Yukhei memperpanjang percakapannya.

“Itu ... apa sih ..., harus ngasihin fotokopian ke kak Jongin.”

Yukhei mengernyit—aduh, jangan mengernyit kayak gitu pas masih setengah telanjang ..., makin ganteng soalnya ....“Fotokopian apa emangnya?”

“Uhm, kayak habis seminar gitu.”

Tatapan Yukhei seperti sedang menilainya meski akhirnya mengangguk-angguk. Kemudian setelah membersihkan Mark dan dirinya, ia pun mengenakan celananya lagi dan berbaring di ranjang sambil bersandar ke headboard, menggeser sedikit seperti memberi ruang untuk orang lain. Makanya ketika melihat Mark mengenakan cardigan-nya dan nampak bersiap-siap untuk pulang, Yukhei langsung bertanya, “Loh? Kamu langsung pulang?”

Mark mengangguk.

“Aku anterin.”

“Gak usah, kamu bilang kan lagi stress, mending istirahat aja.”

“Gak, ah, harus aku anterin. Kamu jangan pulang sendirian gitu.”

Yukhei menghela napas panjang, ia mengubah posisinya sehingga cahaya mataharinya kini jatuh tepat ke sisi wajahnya yang terlapisi peluh, membuatnya bersinar.

Mark mencoba untuk tidak teringatkan pada tampilan wajah Yukhei yang penuh peluh dan menggambarkan kenikmatan, sambil membisikkan namanya berulang kali ketika ia akan ejakulasi—he should stop.

Tiap kali memikirkan pria itu, Mark tidak akan pernah mengerti, mengapa ia bisa naksir pada Yukhei?

Apa karena Yukhei tampan? Ya, jujur saja, secara fisik, Yukhei benar-benar memenuhi kriteria pria idaman Mark; tinggi-besar, seksi, mempesona, figurnya meneriakkan bahwa ia rajin nge-gym.

Lalu bagaimana dengan kepribadiannya? Ahh, ampun deh. Mark tidak pernah bertemu dengan partner seks seperti Yukhei. Pria itu memperlakukannya seolah mereka ada dalam satu hubungan yang lebih dari sekadar label “Friends with Benefits”, yang membuat Mark bingung dan kesal.

Yukhei memperlakukannya begitu ... lembut, penuh kasih sayang, dan terlalu perhatian sebagai seorang partner seks. Sebegitu istimewanya hingga orang-orang mulai mengira, “Kamu sama si Yukhei jadian?”

Ada poin di mana Mark lupa kalau mereka berdua hanyalah teman untuk seks; siapa yang tidak lupa kalau Yukhei sering menjemputnya di kampus? Sering makan bareng pas istirahat, sering teleponan—ngomongin hal-hal yang gak penting sampai ketiduran, sering deketan kalau ketemu di kampus, dan sering tidur bareng.

Like, sering banget sampai suka digodai oleh teman-teman mereka, “Kayak pasangan baru nikah masa bulan madu.” ‎ㅤ ‎ㅤ ‎ㅤ ‎ㅤ Lantas kenapa? Apa yang menghentikan mereka dari melanjutkan hubungan mereka? ‎ㅤ ‎ㅤ ‎ㅤ ‎ㅤ “Yukhei,”

“Hm?”

“Kayaknya ...” Mark mengalihkan pandangannya ke lantai, “aku udah gak bisa ngelakuin ini lagi.”

Yukhei tidak meresponnya untuk beberapa saat dan hanya menatapnya dengan kening yang masih mengerut. Pria itu menarik napas dalam-dalam sambil meraba-raba meja nakas di sampingnya—mungkin sedang mencari bungkus rokok.

“Maksudnya?”

“Kita gak bisa gini terus—aku gak mau kayak gini terus.”

Pada jawaban itu, Yukhei langsung bangkit dan melangkah untuk menghadap Mark. Mereka berdiri begitu dekat menghadap satu sama lain, hingga Yukhei harus berbisik ketika berkata, “Kayak gini terus gimana, maksudnya? Kamu ada masalah sama hubungan kita?”

Hubungan kita, Mark tersenyum mencemooh, ia mendorong dada Yukhei agar menjauh, lalu membalasnya, “Kita gak ada hubungan apa-apa.”

Mark hendak pergi namun tangannya segera dicekal oleh Yukhei. Begitu aneh bagaimana Yukhei kini nampak kecewa pada kata-kata Mark; bahwa mereka tidak memiliki hubungan apa pun. “Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?”

“Ya, emang bener, kan? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu gak terikat sama siapa pun. Itu perjanjiannya dari awal.”

Yukhei mengerjapkan matanya, ia mendekat lagi ke wajah Mark sampai-sampai Mark dapat merasakan hangatnya deru napas Yukhei. Kedua tangan pria itu memegang bahu Mark.

Kening Yukhei sudah tidak mengernyit lagi, namun ia masih nampak kebingungan. “Mark, bentar,” dan tiba-tiba bertanya, “kamu ... suka sama aku, kan?”

Eh, hah?

“Hah?” Mark malah menyuarakan isi hatinya. Anjrit??? Pede banget. Tapi emang doi bener sih .... “Uhm,” Mark berdehem sambil mengalihkan pandangannya, “Y-ya, emang kenapa kalau aku suka kamu? Mau ngelarang? Silakan, kan kita emang gak ada hubungan—”

Yukhei menciumnya.

Lebih tepatnya mengecup bibirnya sekilas dan sukses membuat Mark mematung.

Anjay, udah kayak drama Korea.

“Ohh, jadi ini alasan kamu akhir-akhir ini agak ngehindar dari aku? Maaf, bikin kamu bingung,” lalu tersenyum lebar. Astaga. Berani-beraninya pria itu tersenyum ganteng di saat seperti ini. Mark ingin marah, tapi gak bisa. Karena kelemahannya itu senyum pria ganteng. “Mark, kayak yang kamu bilang, aku emang _gak terikat sama siapa pun,” kata Yukhei dengan menekankan di bagian akhir, dan menambahkan, “Tapi bukan berarti gak mau.”

Mark tidak langsung menjawab karena harus mencerna kata-kata Yukhei, hingga ketika ia akhirnya paham, Mark pun mengeluarkan, “Oh.” Kemudian langsung deg-degan, panas-dingin, dan panik ketika sadar bahwa Yukhei secara tidak langsung mengatakan bahwa ia ingin sesuatu yang lebih dari hubungannya dengan Mark.

“Ohh, baru ngeh kita pacaran? Kamu pikir kita sering ketemu itu karena apa? Kalau pacaran tuh bukannya gitu, ya?”

Astaga??? Absurd parah.

“Ih!” Mark lalu memukul lengan Yukhei keras. Anjir, Beneran sakit. “Kenapa gak bilang dari dulu?”

“Gak bilang apa?”

“Ya, kita jadian! Kapan kita jadiannya coba?!”

Pada pertanyaan itu, Yukhei menggaruk kepalanya dan cengengesan. “Kita gak pernah bilang, ya? Jadian gimana maksudnya?”

Mark merengek, ia kelihatan gemas kalau sedang kesal. Tapi Yukhei hanya tersenyum. “Ya, kayak,” lalu membuat gestur tidak jelas dengan tangannya, “kayak misal bilang Mark, aku sayang kamu, mau jadi pacar aku, gak?

“Ohh, kayak nembak-nembak cinta ala ABG gitu?”

“Iya!”

Yukhei hanya mengangguk-angguk santai, seolah Mark tidak sedang mengonfrontasi tentang hubungan mereka. “Kamu emang gak mikir kita lagi pacaran?”

“Gimana mikir sampai ke sana kalau kamu status hubungannya aja gak ada? Aku gak paham sama kamu.” Mark berkomentar sambil memijat kepalanya. Ia melepaskan lagi cardigan-nya, tiba-tiba merasa gerah. Kesalahpahaman ini masih tidak masuk akal untuk Mark.

Yukhei meringis sambil menunduk sedikit. “Sorry, Mark. Aku gak pernah pacaran soalnya.”

Anjrit??? Ada saja ucapan Yukhei yang bikin Mark hampir jantungan. “Bullshit, anjir.”

“Serius, Mark.”

Dan, ya, Yukhei emang kelihatan serius. Dia paling tidak bisa berbohong, Mark tahu itu. Pria tersebut memang memiliki tampang pria yang sering memainkan hati orang, tapi Mark mengenal Yukhei cukup lama untuk tahu bahwa pria itu sebenarnya orang paling lembut di antara mereka, juga sangat naif.

“Kamu pacar pertama aku, aku gak ngerti sama hal-hal pacaran gitu.”

“Mustahil, ih! Masa gak ada yang pernah nembak kamu? Gak pernah lihat di film-film?”

“Pas SMA sama pas awal ngampus sih banyak yang ngomong gitu ke aku.”

“Terus?”

Yukhei mengangkat bahu. “Gak tahu, ya, akunya kenal sama mereka juga enggak, orangnya juga pada gak asik. Aku pikir mereka cuma main-main—ah, Mark. Aku gak ngerti soal begituan.”

Wow. Oke, mungkin tanpa disadari, Yukhei memang merupakan pria yang sering memainkan hati orang.

“Ini pertama kalinya juga kamu seks sama orang?” Tanya Mark.

“Iya, kamu yang pertama.”

“Sumpah?! Gak percaya, mustahil banget, ih.”

“Berprasangka buruk mulu kamu. Mark, aku mah gak bisa ngarang cerita.” Yukhei terkikik. “Tanya aja si Hendery.”

Ya, benar juga sih. Masuk akal juga mengetahui Yukhei itu tipikal orang yang cuma gaul dengan orang yang itu-itu aja. Ditambah Yukhei itu naif dan tidak cepat tanggap. Mark menatapnya menilai, kedua tangan dilipat di dada. “Terus kok bisa seksnya gitu?”

“Gitu gimana?”

Eh. “Uhh, yaaa ... gitu ...” Ya, gitu ..., jago banget anjir?! Bikin nagih. “Uhm, pokoknya ... terus kalau sama aku, hubungannya serius?” Mark mengalihkan pembicaraannya.

“Iyalah.”

“Kenapa kamu manggil aku cuma pake nama?”

“Harusnya gimana emang ...,” Yukhei menggaruk-garuk kepala lagi, “Lengkap gitu? Manggilnya “Mark Lee calon suaminya Wong Yukhei'”?”

“Bukan, ih!” Mark terkekeh, senyumnya lebar sebelum kemudian menyadari sesuatu. Buset. Tahu-tahu udah ngomongin calon suami. “Maksudnya kenapa gak manggil aku pake ... apa gitu ...,” yeee, malah dirinya yang malu menyebutnya.

“Manggil gimana?”

“Yaaa, kayak, kalau orang pacaran suka sayang-sayangan.” Mark sedikit menggumamkannya karena entah kenapa malu.

“Ohh,” Yukhei tersenyum, “kirain kamu tipe yang geli kalau digituin. Kamu gak pernah manggil aku kayak gitu sih.”

Astaga, Mark menepuk jidatnya. “Kan dulu aku gak tau kita pacaran.”

“Eh, iya bener.” Yukhei mengerjapkan matanya, kemudian ia terkejut dengan Mark yang tiba-tiba menangis. “Eh, eh, kenapa?!”

Mark masih terisak-terisak sambil merengek sebelum akhirnya menjawab, “Kesel lah!” sambil menepuk-nepuk lengan Yukhei. “Aku selama ini naksir, mikirnya bertepuk sebelah tangan terus kita gak ada apa-apa.”

Yukhei sesegera mungkin menarik Mark dalam pelukan yang amat erat dan menghujani pucuk kepalanya dengan ciuman. “Maaf, sayangkuuuu.” Gumamnya, bibirnya menggelitik pelipis Mark. “Serius, sorry banget, aku bikin kamu bingung. Aku cupu banget soal pacaran.”

Ya, emang! Ngeselin banget, inginnya Mark bilang begitu, tapi tidak jadi, karena ia langsung meleleh ketika keningnya dicium, sambil dibisiki, “Maaf, ya, sayang.”

Marah dan kebingungannya—mengenai bagaimana absurdnya kesalahpahaman ini—disimpan dulu, saat ini Mark masih belum kebal sama pelukan pria ganteng yang baik—meski bisa nyebelin banget karena kenaifannya.

“Calon ayahnya dari anak-anakmu ini dimaafin, gak?”

Mark terkekeh sambil mencubit gemas lengan kekar Yukhei. “Geli, ih!” ‎ㅤ ‎ㅤ ‎ㅤ ‎ㅤ ‎ㅤ fin.