amaltheaan

Abian membuka pintu kamarnya setelah mendengar beberapa kali ketukan dari luar. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah lucu pacarnya yang tertekuk kesal.

Laki-laki berdarah Aussie itu menatap Abian dengan mata yang menyipit dan mulut yang mengerucut, “Kenapa aku engga boleh nginep di rumah Eric?”

Sesaat setelahnya laki-laki itu langsung menerobos masuk dan mendaratkan pantatnya di atas ranjang Abian.

Abian terkekeh kecil, ia mengikuti Felix duduk di atas ranjang, “Ya ngapain coba kamu nginep di rumah orang?”

Yang ditanya mengernyit sebelah tangannya meraih bantal di ranjang dan menggunakannya sebagai tumpuan siku sementara tangannya digunakan untuk menopang dagu, “Aku lagi males aja di rumah.”

“Kenapa?”

Gedikan bahu adalah jawaban yang Abian terima, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kecil pacarnya itu. Ia menghela napasnya, berusaha mengerti kalau Felix memang tidak ingin cerita.

Mata Abian tiba-tiba tertuju pada tangan kiri Felix yang tadi siang ia antar untuk ganti perban.

“Lix,” panggilnya sambil meraih tangan kiri Felix, membuat sang empunya mengalihkan pandangan. “Ini kamu beneran jatuh, kan?”

Felix mengernyit, mulutnya semakin mengerucut, “Aku udah berapa kali bilang, Kak Abin, ini tuh jatuh di tangga. Kenapa Kak Abin nanya mulu?”

Abian terkekeh, “Soalnya tadi kata dokter ...”

“Kaya benturan benda tumpul?”

Abian mengangguk.

“Kak Abin mikir apa coba?”

Sorry, ini engga ada hubungannya sama punggung kamu, kan? Engga ada yang nyakitin kamu, kan?”

Pupil mata Felix melebar, tubuhnya seketika menegang. Jantungnya berpacu cepat. Ia meremas bantal di pangkuannya kuat-kuat untuk mengurangi rasa gugup dan takut dalam hatinya. Ia tertawa kencang sesaat setelahnya.

“Siapa yang mau nyakitin aku?”

Abian tersenyum kecil, tangannya mengusak surai pirang pacarnya itu, “Ya aku kan khawatir sama pacarku.”

“KAK!”

Wajah cantik Felix tiba-tiba saja berubah merah padam, hingga menjalar ke telinganya, membuat Abian terkekeh karena pacarnya itu terlihat sangat lucu.

“Lucu banget pacarku.”

“KAK ABIN!”

Sekali lagi Felix memekik akibat panggilan dari Abian. Kali ini disertai dengan cubitan kecil pada perut laki-laki leo itu.

“Aw! Sakit dong, Lixiano. Jangan cubit, harusnya kamu cium pacarmu ini.”

Kalau saja Felix tega ia sudah menendang laki-laki di depannya itu, “AKU PULANG AJA DEH!”

Sedangkan lawan bicaranya malah tertawa kencang, sambil memeluk tubuh Felix, menahannya agar tidak beranjak dari posisinya saat ini. “Jangan pulang dong, kan mau bobo di sini?”

“IBU! KAK ABIN MESUM!”

Dan teriakan itu memanggil Nyonya rumah naik ke kamar anaknya untuk memisahkan keduanya.

“Udah?” tanya Abian setelah Felix menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman.

Felix mengangguk, “Udah, kok. Cuma bentar ngomongin jadwal aja.”

“Oke, mau berangkat langsung ke klinik? atau mau mampir dulu?”

“Langsung aja,” jawab Felix sambil tersenyum. Ia pikir lebih cepat pergi ke klinik akan lebih cepat juga dia pulang, ada beberapahal yang harus dia lakukan di rumah.

Abian menuruti apa kata Felix, dia langsung mengendarai mobilnya menuju klinik fisioterapi yang biasa Felix datangi.

Butuh waktu sekitar 40 menit bagi mereka sampai di klinik itu. Felix sudah melakukan resevasi sebelumnya jadi sesampainya di sana dia langsung dapat menemui dokter ortopedi di sana. Abian ikut masuk ke dalam menemani Felix.

Dokter yang menangani Felix menyambut mereka ketika mereka masuk ke dalam ruangan, “Ada masalah sama tangannya?”

Felix menggeleng, “Agak gatel aja dok, sama masih kerasa nyeri kalau malem-malem.”

Dokter yang mendengarnya mengangguk, tangan dokter itu dengan telaten membuka perban Felix. Terlihat jelas memar yang ada di tangan Felix, “Kamu serius ini karena jatuh?”

Abian mengernyit mendengar pertanyaan dokter, dia menatap Felix.

Sementara Felix mengangguk yakin, “Iya jatuh di tangga.”

Dokter yang menangani mengernyit dan melirik Abian, “Tapi memarnya lebih mirip kalau kamu menangkis benda tumpul.”

Felix dengan cepat mengelak, “Aku jatuh kok.”

Abian hanya menatap Felix, ada sedikit kecurigaan yang muncul di dirinya pada Felix.


Setelah selesai mengganti perban, Felix dan Abian pergi ke apotek yang berada di sebelah klinik untuk menebus obat pereda nyeri. Kebetulan apotek itu sedang penuh sehingga Felix dan Abian perlu mengantri.

“Haus engga?” tanya Abian pada Felix.

Felix mengalihkan perhatiannya pada Abian, “Dikit, kenapa?”

“Oh aku beli minum dulu, ya?” katanya sambil langsung berajak dari posisinya.

Felix masih duduk dan menunggu antriannya ketika ponsel di atas kursi yang sebelumnya Abian duduki bergetar. Ia melirik benda kotak itu, tangannya sontak mengambil benda itu, takut kalau benda itu hilang.

Tanpa sengaja dia melihat foto yang terpampang di layar, potret kembarannya yang tengah tersenyum dan berpose seperti kelinci.

Ia tersenyum kecut, jarinya menekan tombol lock dan menyimpan benda itu.

Tidak lama, Abian kembali dengan sekantung snack di tangannya. Ia kembali duduk di sebelah Felix, “Kamu lihat hp aku engga?”

Felix tidak menjawab, tetapi tangannya langsung menyerahkan ponsel milik Abian.

“Makasih.”

Tidak ada jawaban dari pacarnya. Wajah laki-laki itu tampak tidak bersahabat. Abian pikir mungkin Felix merasa kesal karena antriannya masih cukup banyak. Ia membuka ponselnya tanpa rasa curiga, hingga ketika layar itu menyala ia menyadari kenapa pacarnya terlihat kesal.

Abian terkekeh, tangannya mengarahkan kamera ponselnya pada laki-laki di sebelahnya.

cekrek

Suara shutter dari kamera ponsel Abian terdengar, membuat Felix menoleh.

“Kamu ngapain?” tanyanya sambil menatap Abian curiga.

Sementara yang ditanya sibuk menatap layar ponselnya. Sejurus kemudian Abian menunjukan layar ponselnya pada Felix, “Aku lupa ganti kemarin, lihat tuh cowo aku cantik banget, galak.”

Mata Felix menangkap potret dirinya yang terlihat galak di layar ponsel Abian. “IH! Aku udah pernah kasih foto aku yang bagus, itu aku jelek banget.”

Abian tertawa, “Cantik tau, galak. Jadi kalau orang liat hp aku mereka bakalan langsung mundur, 'pacarnya galak'.”

Felix mendecih, “KAk! ganti.”

“Engga mau.”

Felix mendengus kesal, dia berniat meraih ponsel Abian dan menggantinya. Namun speaker apotek itu memanggil namanya.

Maka Felix pergi mengambil obatnya masih dengan wajah yang kesal.

“Loh? Dekki mana?” tanya Felix ketika Abian datang ke depan rumahnya dengan jalan kaki.

Yang ditanya menggeleng pelan, “Dekki dibawa ayah ke bengkel buat servis rutin,” katanya.

Mulut Felix membulat beroh ria, “Terus kita naik apa?”

Abian mengangkat tangannya dan menunjukan kunci mobil pada Felix, “Ayah kasih pinjam mobilnya.”

Felix terkekeh pelan. Setelahnya kedua laki-laki itu berjalan menuju tempat Abiandra memarkirkan mobilnya. Abian membukakan pintu penumpang untuk Felix.

“Thanks.”

Abian tersenyum senang kemudian dia masuk dan duduk di kursi pengemudi.

Keduanya saling diam. Atmosfer di sekitar jadi sedikit aneh, mungkin saja karena ini pertama kalinya mereka berdua dalam mobil dengan status yang berbeda.

“Eung ... jadi canggung ya?”

Felix menoleh ke arah Abian, ia terkekeh kecil, “Sedikit, sih.”

Tangan Abian menekan tombol on pada radio di mobilnya, “Biar engga terlalu canggung, mau puter musik?”

Maka Felix membuka ponselnya dan memutar driving playlist miliknya. Lantunan musik mengalun dan Abian mulai mengendarai mobilnya pelan.

Sesekali Abian dan Felix saling melirik dan tersenyum, tapi masih belum mengeluarkan sepatah kata untuk berbincang. Sungguh aneh rasanya, mereka yang biasanya membicarakan hal-hal random jadi tidak bisa berkata-kata karena sibuk memilih topik di kepalanya masing-masing.

“Lix!”

“Kak.”

Mata mereka membulat ketika suara mereka memanggil satu sama lain bersamaan.

“Kamu dulu deh,” kata Abian.

Felix memalingkan wajahnya yang memerah, benar-benar terasa seperti mimpi. Felix pikir tidak akan secepat ini. Ia mengembuskan napasnya pelan, “Itu ... eum ... Gu— aku tadi pagi bikin makan siang buat kamu, jadi nanti jangan jajan, ya?”

Laki-laki virgo itu kembali memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona yang muncul di wajah manisnya.

Abian terkekeh, “Kamu lucu.”

“Diem, kak,” kata Felix masih memalingkan wajahnya.

Abian membiarkan Felix menetralkan keadaannya yang sekarang terlihat sangat malu. Setelah agak lama dia kembali bertanya, “Nanti pulang sekolah kamu mau kemana?”

“Maksudnya ada kegiatan engga?”

Felix berpikir sejenak, “Oh aku kayanya mau ke klinik minta ganti perban aja, ini agak gatel.”

“Aku temenin ya?”

Felix mengangguk, “Boleh.”

Setelahnya keduanya larut dalam pikiran masing-masing.

“Kak?”

“Kenapa?”

Nothing.

Abian melirik Felix, “Kenapa? Bilang aja kalau ada yang pengen kamu sampein.”

Felix meringis sebentar, “Kayanya aku belum bilang makasih?”

“Makasih untuk?”

Thanks for trying with me.

Abian terkekeh, ia mengelus surai lembut pacar barunya itu. “No need to thank me. Aku yang mau, kamu engga perlu bilang makasih, okay?”

Abian sampai di McD yang biasa mereka kunjungi setelah beribadah. Matanya mengedar mencari laki-laki berpipi tembam itu di sana. Namun dia tidak menemukannya.

Maka Abian memutuskan untuk menunggu di luar restoran cepat saji itu. Sebab sejujurnya Abian tidak ingin membeli apa pun di sini.

Sekitar lima menit Abian menunggu di depan, Jinendra belum datang juga. Beberapa kali Abian menghubungi Jinendra menanyakan dimana anak itu, tetapi tidak ada jawaban.

Beberapa saat kemudian Jinendra datang, dia berjalan dengan kepala tertunduk.

“Ji!”

Yang dipanggil langsung mendongakan kepala dan berlari mendekati Abian. Dia langsung menggandeng tangan Abian, “Kak ada yang ngikutin gue.”

Abian mengernyit, dia melirik ke belakang Jinendra, ada seorang laki-laki yang dari penampilannya seperti berusia sekitar 40 tahunan yang berjalan tidak jauh dari Jinendra.

“Udah ayok masuk.”

Kedua remaja itu masuk ke dalam restoran, Jinendra memesan ayam goreng sedangkan Abiandra hanya membeli mcflurry.

Abian melirik ke orang yang sebelumnya Jinendra bilang mengikutinya, laki-laki tua itu masuk dan memesan makanan juga mengambil meja yang tidak jauh dari meja mereka.

“Kak, om itu ngikutin gue dari gue keluar gereja,” bisik Jinendra.

“Udah jangan lo liatin, biarin aja.”


“Kak Bian mau ngomong apa?”

Akhirnya Jinendra membuka percakapan antara mereka.

Yang lebih tua tersenyum kecil dan memberikan sebuah gelang bergantungan infinity, “Happy Birthday, Jinendra.”

Jinendra sontak menerima gelang itu dengan senang hati, dia kemudian mengenakannya di tangan kirinya.

“Ji sebenernya gue mau ngomong soal perasaan gue ke lo.”

Mendengar kalimat yang diucapkan oleh kakak kelasnya itu, Jinendra terdiam. Ada rasa senang dalam hatinya ketika Abiandra akan membahas perasaannya lagi, tetapi ada rasa cemas juga takut kalau dirinya akan menyakiti kembarannya.

“Kak Bian ...”

“Sebelum lo ngelarang gue buat bahas itu, gue bukan mau nembak lo lagi.”

Seketika tubuh Jinendra menegang.

“Gue mau bilang kalau gue bakal berhenti buat sayang sama lo.”

Entah harus menganggapi apa, Jinendra diam. Dalam hatinya terasa kecewa ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang dia sayangi juga.

“Gue cuma mau bikin semuanya jelas buat gue, buat lo dan buat Felixiano.”

Mata Jinendra melebar ketika mendengar nama kembarannya disebut, meskipun dia kini sedang merasa patah hati, dia juga tidak mau kembarannya merasakan hal yang sama. Ditambah lagi Felixiano lebih menyanyangi Abiandra daripada dirinya.

“Maksud lo apa kak?”

Abiandra terkekeh sebentar, “Gue mau coba buat buka hati gue buat Felixiano.”

“Lo engga jadiin dia pelarian kan?”

Yang lebih tua menggeleng, “Makanya gue temuin lo sekarang, buat bikin semuanya jelas. Gue mau bilang gue berhenti, gue nyerah buat dapetin lo.”

Jinendra menundukan kepalanya.

Abian mengusak kepala Jinendra pelan, “Gelangnya lo boleh simpan, atau terserah lo, itu hadiah terakhir dari gue.”

“Oh ... dan gue engga tahu lo sama Kirino udah sejauh apa, tapi gue harap lo bisa bahagia sama apa pun keputusan lo.”

Yang lebih muda tersenyum kecut, “Thanks, Kak Bian.”

Abiandra mengangguk dan melirik jam tangannya. Sebelum dia berniat beranjak dari tempat duduknya dan berpamitan pada Jinendra.

Namun matanya menangkap laki-laki tua yang Jinendra sebut mengikutinya sedang memperhatikan mereka berdua.

“Kak, jangan dulu pergi, gue takut.”

Maka Abian memutuskan untuk tinggal di sana hingga laki-laki mencurigakan itu pergi.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu nyaring yang kesekian kalinya Felix dengar. Dia mendecak kesal, “Gue engga mau diganggu, Ji.”

Tok tok tok

“Fuck!”

Akhirnya Felix memutuskan untuk menghampiri kembarannya agar anak itu berhenti mengganggunya. Felix bangun dari ranjangnya, tangan kecilnya mengusap wajahnya kasar sebelum membuka pintu di hadapannya.

“Jinendra, gue—”

Kalimat itu tergantung ketika Felix menyadari sosok yang mengetuk pintunya berkali-kali itu bukan Jinendra, melaikan laki-laki yang dia hindari. Maka dengan cepat tangannya kembali menarik pintu itu.

Namun laki-laki leo itu lebih cepat, dia malah masuk ke dalam kamar Felix dan menutup pintu ruangan itu.

“Lix?”

Felix menghela napasnya kasar, dia meraih jaket yang tergantung di belakang pintu dan mengenakannya asal karena tangannya masih dalam balutan gips. Setelahnya laki-laki virgo itu keluar dari kamarnya.

Abian segera mengikuti Felix dari belakang.


Kedua pemuda itu memutuskan untuk duduk di atas ayunan taman kompleks, oh tidak, Felix yang tiba-tiba saja pergi ke taman kosong di ujung kompleks dan duduk di atas salah satu ayunan di sana. Sementara Abian hanya mengikuti kemana Felix pergi.

“Lixiano?”

Tidak ada jawaban dari lawan bicaranya, jangankan jawaban, menoleh atau melirik saja dia tidak mau.

Abian menghela napasnya pelan, kemudian dia terkekeh, “Kayanya gue engga suka lo diem aja.”

Yang diajak berbicara melirik Abian dengan tatapan sinis, “Ya emangnya kapan lo suka sama gue?”

Laki-laki leo itu malah tertawa geli, “Hey, dengerin gue dulu.”

Tangan Abian memegang rantai ayunan yang diduduki Felix membuatnya berhenti agar sang penumpang bisa mendengarkannya dengan jelas.

“Gue minta maaf, gue tahu salah gue besar karena engga datang ke pesta yang gue buat.” Abian sengaja menjeda perkataannya, dia melirik Felixiano yang menunduk dalam. “Gue engga berharap lo maafin gue langsung juga sih.”

Felix meringis, “Lo cuma minta maaf sama gue? Gimana sama Eric, Hoshea, Kak Iga, Kak Yoffie?”

Abian diam.

“Lo tahu rasanya dua jam nunggu di depan kue ulang tahun buat lo yang lo sama sekali engga berani buat nyalain lilinnya? Lo tahu rasanya disuruh nunggu tapi yang ditunggu engga datang?”

Abian masih diam.

“Gue ngerti lo itu mau rayain hari spesialnya Ji, tapi kenapa gue yang disuruh nunggu?”

Felixiano mulai berkaca-kaca. Dia memalingkan wajahnya sambil mengatur napas menahan tangisnya. Dia benci jadi lemah, dia tidak mau menangis.

Abian mengamit tangan Felix, “Gue engga suka lo nahan diri kaya gitu, kalau lo mau nangis, nangis aja Lixiano.”

“Emang kapan lo suka sama gue sih kak?” tanya Felix sambil tertawa sinis.

Abian memilih untuk menghela napasnya dan tersenyum simpul. Dia kemudian turun dari ayunan dan berdiri di depan Felix. “Udah belum?”

Yang ditanya mendongak, raut wajah Felix datar menatap lurus pada Abian.

“Udah lo tumpahin semua kesel lo sama gue hari ini?”

Abian menunduk, dia berlutut menyetarakan tingginya dengan Felix yang duduk di atas ayunan.

“Sini coba liat gue,” katanya. Tangan laki-laki leo itu memegang dagu Felix membuat keduanya bertatapan. Abian terkekeh melihat wajah Felix yang masih kesal.

Tangan Abian masuk ke dalam saku jaketnya mengeluarkan kotak kecil berwarna hitam. Dengan cepat dia membuka kotak itu dan mengalungkan tangannya pada leher Felix, memasangkan rantai kecil dengan liontin berbentuk lingkaran sebagai gantungannya.

“Liat,” katanya sambil memegang liontin itu, membuat Felix sontak melirik ke sana. “Ada inisial gue di sini.”

“Gue inget dulu lo pernah cerita kalau lo pengen punya kalung beginian karena Taylor punya kalung yang sama pake inisial Joe Alwyn. Gue inget lirik yang lo teriakin tiap kali lagu soal kalung itu keputer, 'I want to wear his initial on a chain round my neck.'

Geli rasanya mendengar Abian menyanyikan penggalan salah satu lagu kesukaannya itu. Bukan karena suara Abian yang jelek, tapi karena respon aneh tubuhnya akibat suara rendah itu.

Abian terkekeh lagi, “Sekarang lo punya inisial gue di kalung lo,” katanya.

Tangan Abian beralih mengamit liontin miliknya, “Gue juga punya inisial lo di kalung gue.”

“Kak ...”

Akhirnya Felix mengeluarkan suaranya, “Tapi inti liriknya bukan itu.”

“Gue tau. 'Not because he owns me, but cause he really knows me,' itu kan?”

Felix mengangguk pelan. Iya memang dia pernah bilang kalau dia sangat ingin kalung berinisial orang yang paling mengerti dirinya, dan Felix memang selalu mengharapkan orang itu Abiandra Selatan.

“Tapi buat ngewujudin apa yang lo mau itu, gue butuh bantuan lo Felix.”

Felix mengernyit, heran. “Kak ...”

“Felixiano, lo mau kan bantuin gue? Help me to know you better, sampe gue bener-bener ngertiin lo kaya Joe Alwyn ke Taylor Swift.”

Felix terkekeh pelan, “Gue selalu lakuin itu kak, gue selalu berusaha, masalahnya ada di diri lo. Lo beneran mau kenal gue apa engga?”

Tangan Felix menyentuh dada Abian, “Tentuin dulu siapa yang beneran mau lo buat tahtanya di sini. Jangan lo bilang kaya gini ke gue, tapi besok lo bakal mabuk sama Jinendra dan lupa sama omongan lo sendiri.”

Abian menggeleng, “Gue engga pernah lupa, Lixiano. When I say I'll try, I really mean it.

“Terus tadi itu apa? Lo—”

Bibir merah itu dikecup pelan oleh yang lebih tua, sengaja untuk menghentikan ucapan laki-laki virgo itu.

“Gue belum selesai, biarin gue bilang apa yang harusnya gue bilang di pesta ulang tahun lo.”

Felix tersenyum kecil.

“Felixiano,” Abian mengamit tangan kanan Felix dan membawanya ke dadanya lagi. “Bantuin gue bangun tahta lo di sini, karena gue juga mau sayang sama lo sebanyak lo sayang sama gue.”

“Jesus Christ!”

“Gue belum selesai, Lixiano.”

“Lo mau kan jadi pacar gue?”

And what do you do when the one who means the most to you Is the one who didn't show?
Felix yakin ada yang teman-temannya sembunyikan. Mereka bersikap terlalu aneh. Eric yang biasanya sangat malas pergi ke gereja malah mengajaknya untuk pergi bersama. Hoshea yang biasanya akan mengikuti ibadah sore malah ikut bersama dirinya dan Eric untuk makan siang di Cafe yang Eric bilang makanannya sangat enak.

Yang lebih membuatnya semakin yakin adalah fakta bahwa hari ini ulang tahunnya.

“Lo berdua tahu kan gue engga suka rayain ulang tahun?”

Hoshea yang duduk di kursi penumpang depan menoleh ke arah Felix yang tiba-tiba saja mendekat ke kursi depan.

“Iya tau,” kata Eric, matanya fokus menatap jalanan. “Memangnya kita mau rayain ulang tahun lo? Geer banget lo.”

Felix mencebik, “Lagian lo berdua aneh banget. Lo tiba-tiba pergi gereja, Hoshea tiba-tiba milih buat ikut kita.”

Mendengar penuturan Felix, Hoshea memutar matanya hiperbolis, “Udah deh Lix, lo bilang kita aneh mulu. Lagian bagus juga kalau Eric jadi rajin ke gereja. Gue juga udah bilang bokap mau ikut ibadah malem.”

Mata Felix memicing, dia masih tidak percaya pada teman-temannya.

Lima belas menit kemudian mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah cafe yang sama sekali belum pernah Felix kunjungi. Kedua temannya bergegas turun dari mobil, Felix mengikuti mereka.

“Lix, maaf ya?” kata Hoshea sebelum akhirnya menarik Felix dan menutup matanya dengan kain hitam.


“Fel? Gue nyalain aja lilinnya ya?”

Hoshea menatap Felix yang masih duduk di kursinya. Laki-laki virgo itu menolak untuk menyalakan lilin ulang tahun sebelum sang pemberi ide perayaan ini datang.

Wiraga datang dari lantai pertama cafe, wajahnya terlihat kesal. Buku-buku jarinya memutih akibat terlalu erat memegang ponsel di tangannya, “Udah lix nyalain aja lilinnya. Udah dua jam si Setan engga datang juga.”

Felixiano menunduk sebentar, tangan kanannya meremas pelan gips tangan kirinya, mengalihkan rasa kecewa yang dia rasakan pada rasa sakit yang menjalar di sana. Hazel-nya menatap wajah keempat laki-laki lain di dalam ruangan, raut wajah mereka sama lelahnya.

Laki-laki virgo itu menghela napas, “Ya udah, potong aja kuenya langsung. Gue tau lo semua laper juga.”

“Engga gitu konsepnya.”

Eric berdiri dan mengambil pematik di atas meja. Tanpa persetujuan Felix, dia menyalakan lilin berbentuk angka 19 itu.

“Happy birthday to you”

Eric mulai menyanyikan lagu ulang tahun untuk Felix. Diikuti ketiga pemuda lainnya dalam ruangan.

“Happy birthday to you”

Senyum mulai mengembang di wajah Felix, seharusnya sedari tadi dia lakukan saja ini tanpa harus menunggu Abian datang. Sebab ternyata suara dari teman-temannya saja sudah membuat hatinya menghangat.

“Make a wish!”

Felix melipat tangannya dan memejamkan mata. Dalam hati dia mengucap doa yang selalu dia panjatkan pada Tuhan, sebelum akhirnya dia meniup lilin itu.

“Potong dah kuenya,” ucapnya sambil mengambil piring kecil dan mulai memotong kue itu untuk teman-temannya.

Ketiga pemuda lain segera menyerbu kue dan memakannya. Setelah itu mereka juga mulai menikmati makanan lain yang sebelumnya sudah mereka pesan.

Sorry, makanannya jadi dingin gara-gara gue,” ujar Felix pelan.

“Halah, udahlah, Lix. Dingin juga enak,” kata Yoffie.

Yang lain tampak mengangguk dan terkekeh kecil. Mereka pasti sudah sangat lapar.

“Lo juga makan.” Hoshea mengambil spaghetti di piring milik Felix dan menyuapi laki-laki virgo itu.

Tunggu gue ya?

Helaan napas kasar Felix embuskan, rasanya dia benar-benar kecewa pada Abiandra.

Tunggu? Sampai kapan dia harus menunggu laki-laki itu?

“Jadi ...

Ini akhirnya ya?”

Changbin menoleh ke arah laki-laki di sebelahnya, mata indah laki-laki manis itu berkaca-kaca menatap orang-orang di sekitarnya, oh lebih tepatnya menatap teman-temannya yang sedang heboh berfoto atau sekadar berbincang di tengah gedung. Sementara mereka berdua duduk di sofa mewah yang berada di atas podium depan gedung yang mereka sewa.

“Akhirnya apa?” tanya Changbin sambil mengeratkan gandengan tangan mereka.

“Hm?”

Yang ditanya menatap Changbin, dia menyunggingkan senyum.

“Ini akhir cerita kita?”

Yang tua mengernyit, “Maksud kamu?”

“Kalau kita ada dalam film, ini ujungnya, kan? Aku dan kamu sebagai tokoh utama udah ketemu happy ending. Setiap film disney yang aku tonton juga gitu.”

Changbin terkekeh, dia meraih wajah suami manisnya itu dan menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinganya, “Tapi beberapa film juga diawali sama pernikahan, jadi ini bukan akhirnya, Bokkie.”

Felix memiringkan kepalanya, dia mengernyitkan hidungnya. “Iya, tapi itu season dua engga sih?”

Changbin tidak kuat menahan tawanya, rasanya dia ingin mencubit pipi laki-laki manis itu.

“Felix!”

Kedua mempelai pengantin itu sontak menoleh ke arah suara, Minho menghampiri mereka dengan sebuket bunga lily putih kesukaan Felix. Laki-laki scorpio itu menatap Changbin sekilas sebelum membetulkan posisi jas adiknya dan memberikan buket bunga yang dipegangnya.

“Kita foto bareng-bareng abis itu lempar bunga, terus siap-siap berangkat ke Jeju.”

Tangan Felix menerima buket itu, setelahnya Minho memanggil teman-teman Felix dan Changbin agar naik ke atas podium untuk berfoto bersama.

Beberapa kali mereka berfoto bersama dengan gaya yang berbeda-beda, kini semua teman-teman mereka berkumpul di depan podium dengan Felix dan Changbin yang membelakangi mereka bersiap untuk melemar buket bunga.

“Mau taruhan?” tanya Changbin pada Felix sebelum teman-temannya mulai menghitung mundur.

Yang muda sontak mengernyit, “Taruhan apa?”

“Siapa yang bakal dapat bunganya?”

Felix tertawa pelan, “Boleh. Kalau menang, hadiahnya apa?”

Changbin berpikir sejenak, “Yang kalah harus turutin semua kemauan yang menang.”

“Semua?”

“Iya, semuanya.”

“Otay. Kayanya ... Seungmin.”

“Ok. Aku Jeongin.”

Keduanya terkekeh pelan sebelum suara kencang dari teman-temannya mulai menghitung mundur menginterupsi.

“Satu!”

“Dua!”

“Tiga!”

Tangan kedua mempelai terayun ke belakang melepaskan buket bunga itu. Sejurus berikutnya kedua mempelai itu berbalik memperhatikan keramaian yang tertuju pada dua orang yang bersamaan menangkap buket itu.

“YA ELAH, JEO NGALAH DONG! AKU DULUAN YANG DAPET,” ujar laki-laki manis yang kini menampilkan wajah cemberut kesal pada laki-laki yang lebih muda darinya.

Sedangkan laki-laki lain yang masih menggenggam buket bunga itu menggerutu, “Mana ada! Gue duluan.”

Beberapa menit mereka berebut buket itu, sementara Felix dan Changbin saling bertatap dan tertawa bersama.


“Jisung, lu udah bawa kopernya Felix kan?”

Yang ditanya mengangguk dengan mulut penuh, “Udah, gue udah masukin ke mobil mereka.”

Minho mengangguk, sebelum melenggang menghampiri Felix yang sedang berdiri di depan gedung memeluk bantal leher bergambar anjing miliknya.

“Akak, jagain Snowy ya! Nanti seminggu lagi aku pulang,” kata Felix sambil memeluk tubuh kakak kesayangannya.

Minho membalas pelukan Felix, matanya lurus menatap Changbin, “Jagain adek gue!” ucapnya galak.

Yang diajak bicara terkekeh, “Pasti gue jagain suami gue, lo tenang aja, dia pulang dalam keadaan utuh.”

“Bin, udah semua barang lo?”

Changbin menoleh ke arah Chris yang memeriksa bagasi mobil yang akan dikendarai mereka menuju bandara.

“Udah, aman!”

Chris mengangguk dan menutup garasi mobil mereka.

Sepasang suami itu segera masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman masing-masing. Felix masih menurunkan kaca mobilnya, dan menatap teman-temannya yang melambaikan tangan padanya.

“Have fun!”


Perjalanan dari Seoul ke Jeju bukanlah perjalanan yang lama. Hanya satu jam perjalanan dengan pesawat dan sekitar 30 menit dari bandara ke vila yang mereka sewa. Kini Changbin sedang duduk di balkon sambil meminum segelas kopi, sementara Felix sedang sibuk membersihkan diri.

Mata Changbin menatap langit. Sejujurnya dia masih tidak percaya kalau sekarang dia dan Felix benar-benar menikah.

Terlalu tidak realistis. Oh ayolah, apa yang realistis dari menikahi hantu penghuni apartemenmu?

“Abin...”

Suara Felix yang terdengar parau menyapa indera pendengarnya. Kepala si manis menyembul dari balik pintu kamar, matanya terlihat merah dan samar-samar Changbin bisa mendengar suara isakan dari sana.

“Kenapa?”

Changbin langsung masuk membawa mug yang masih berisi setengahnya. Dia menutup pintu balkon, lalu masuk ke dalam kamar mengikuti si manis yang juga kembali masuk ke dalam.

Mata Changbin menatap tubuh mungil Felix yang masih terbungkus bath robe, dia berjongkok di hadapan koper yang terbuka lebar.

“Kenapa, sayang?” tanya Changbin menyetarakan dirinya dan ikut melihat ke dalam koper.

Pupil mata Changbin sontak melebar melihat isi koper milik suami manisnya itu. Koper berwarna pink pastel itu berisi beberapa lingerie transparan lengkap dengan aksesoris dan beberapa sex toys. Pipi Changbin terasa panas, menjalar hingga ke telinga dan seluruh wajahnya, salahkan otaknya yang langsung menjelajah berfantasi.

Sementara Felix menatap Changbin frustasi.

“Ini gimana?” katanya dengan suara sengau yang langsung membawa Changbin kembali ke dunia nyata.

Changbin berdehem sejenak, dia menghela napasnya dan menutup koper itu.

“Ini koper Akak, koperku ada gantungan kucingnya,” kata Felix.

Changbin cukup terkejut, Minho dan Chris memiliki fantasi yang menarik, sebab Changbin juga sempat melihat beberapa telinga kelinci dan kucing di dalam koper itu.

Laki-laki virgo itu masih berjongkok sambil menatap Changbin, matanya mulai berkaca-kaca lagi, “Terus aku pakai apa selama di sini?”

Tangisan mulai terdengar dari Felix, “Plushie aku juga di koper.”

Changbin sebenarnya menahan dirinya untuk tidak mencium Felix yang terlihat gemas di matanya. Dia menarik laki-laki itu dalam peluk, “Kamu pakai baju Abin dulu, ya? Nanti besok kita beli baju buat ganti.”

Tangan Changbin mengelus pelan punggung Felix, menenangkannya.

Cukup lama hingga Felix berhenti menangis dan mendongak menatap Changbin, “Beneran engga apa-apa pake baju Abin?”

“Iya, udah ya? Jangan nangis,” kata Changbin sambil mengusap pipi tirus laki-laki itu. “Lagian kok bisa ketuker kopernya?”

Felix menggeleng, “Jiji yang bawa dari kamar Akak, aku udah bilang punyaku ada gantungannya.”

Changbin terkekeh, “Udah engga apa-apa, sekarang pake baju ya? Kamu bisa masuk angin kalau pake bath robe terus.”

Dia berdiri, dengan niat mengambil baju tidur untuk Felix dari kopernya. Namun, tangannya ditahan oleh suami kecilnya, “Aku mau ambil baju dulu buat kamu.”

“Engga usah.”

Changbin mengernyit, heran.

“Kalau aku pakai baju, cape. Nanti juga dibuka lagi kan?”

Kalimat yang keluar dari mulut manis Felix membuat Changbin terkejut. Tidak ada dalam skenarionya bahwa malam ini dia dan Felix akan melakukan itu.

“Yang, kalau kamu masih belum siap, aku engga apa-apa kok, aku engga mau kaya waktu dulu.”

Felix mencubit perut Changbin pelan, “Kali ini aku beneran.”

Changbin menaikan sebelah alisnya, sudut bibirnya juga terangkat, “Jangan nyesel ya?”

Tangan kokoh itu langsung menyambar tubuh Felix dan mengangkatnya ke atas ranjang. Dia tatap sejenak wajah manis suaminya sebelum bibirnya melahap bibir merah laki-laki virgo itu.

Semakin lama ciuman mereka semakin menuntut, lidah Changbin mulai menginvasi mulut Felix yang juga pelan-pelan berusaha mengimbangi Changbin. Lelehan saliva entah milik siapa menuruni dagu Felix. Sesekali lengguhan juga terdengar darinya.

Tidak lama Changbin akhirnya melepas tautan keduanya. Benang saliva tercipta kemudian terputus dan menetes di dagu Felix, pelan-pelan Changbin mengusapnya.

Mata Changbin menjelajah wajah suaminya yang cantik, mulai dari bibir, hidung, pipi, dan berhenti tepat di matanya.

“Kamu beneran kan?” tanyanya sekali lagi, Changbin masih harus meyakinkan suaminya itu sebelum mereka benar-benar melakukannya. Changbin tidak mau menyakiti Felix, dia hanya mau membuat Felixnya nyaman dan aman bersamanya.

Felix mencebik, “Beneran.”

Changbin tersenyum, dia menegakan badannya dan lalu kembali menatap Felix, kali ini bukan hanya menjelajah wajah, tapi juga keseluruhan tubuh suaminya yang terbungkus bath robe. Di matanya tubuh kecil itu rapuh, sepertinya dia harus bermain dengan perlahan.

“Abin?”

Changbin kembali menatap wajah Felix.

“Ini mau Abin yang buka atau aku buka sendiri?” tanya Felix sambil menggenggam tali bath robe yang dia kenakan.

Ah sepertinya ini akan jadi malam yang panjang bagi mereka berdua.

“Gue suka Felix.”

Adalah kalimat yang Changbin ucapkan sebelum akhirnya alkohol merenggut kesadarannya.

Dan entah bagaimana caranya ketika Changbin membuka mata, sosok Lee Felix yang sangat dia sukai itu ada di hadapannya. Changbin rasanya ingin merutuki pengaruh alkohol yang membuat otaknya berhalusinasi.

Sekarang sosok itu malah tersenyum padanya, wajah tirus itu terlihat begitu manis.

“Bin—”

Persetan dengan halusinasi! Changbin hanya ingin memeluk sosok kecil di hadapannya itu dengan erat. Ia mau merasakan kehangatan tubuh laki-laki virgo itu, sekali saja.

Debaran di jantungnya semakin menggila ketika hidungnya mencium wangi khas laki-laki berambut pirang itu. Ini benar-benar halusinasi, bukan?

Kenapa rasanya seperti kenyataan?

Berapa banyak alkohol yang dia minum hingga dia tidak bisa membedakan kenyataan dan halusinasi?

Puas memeluk tubuh ramping itu, Changbin melepasnya. Manik legamnya menatap sayu manik hazel di depannya, ia terkekeh pelan. Sungguh ini adalah halusinasi terbaik yang pernah ia alami.

“Gue pengin cium lo.”

Kalimat itu meluncur begitu saja, sedetik berikutnya Changbin benar-benar menabrakan bibir mereka. Ia menyesap manisnya bibir laki-laki virgo yang selalu ada dalam lamunannya itu.

Cukup lama bibir keduanya menempel, hingga Changbin melepasnya. Matanya menatap Felix yang kembali bersandar di bangku pengemudi, laki-laki virgo itu tampak mengatur napasnya. Felix tampak sangat cantik di matanya.

“Lo cantik ...”

Pujian itu lepas begitu saja dari bibirnya. Namun manik legamnya bisa menangkap hazel itu berlapis selaput tipis dan bibir merah laki-laki itu bergetar. Ah, Changbin mencelos, Felix mungkin saja tidak suka dia menciumnya.

Laki-laki virgo itu mungkin saja memiliki seksualitas yang berbeda dengan dirinya.

”... Lily.”

Maka dengan terburu dia menyebutkan satu nama perempuan yang ada di kepalanya. Berharap jika Felix mendengar itu dia akan mengira Changbin menciumnya karena mabuk dan tidak akan marah padanya.

Tuk

Dengan sengaja Changbin menghantamkan kepalanya ke dashboard mobil. Rasa pusing kembali menyerang kepalanya, entah pengaruh alkohol atau karena hal bodoh yang baru saja dia lakukan.

Ah Seo Changbin, setelah ini apa yang bakal lo lakuin?

“Bin, turun, yuk?”

Why would you ever kiss me?
Felix memperhatikan segerombolan siswa yang bermain di pesisir pantai, dari pengamatannya mereka terlihat asik bermain air dan pasir. Beberapa dari mereka ada yang berenang hingga hampir ke tengah laut. Ada juga yang sibuk menggendong temannya dan melemparnya ke dalam air. Sesekali Felix ikut menertawakan perilaku mereka. Pasti sangat menyenangkan bergabung dengan anak-anak lain. Sayang sekali Felix tidak bisa. Bukan karena dia tidak punya teman, Felix hanya lupa tidak membawa pakaian cadangan. Padahal tadi pagi Chris sudah berkali-kali mengingatkan soal barang apa saja yang harus dia bawa, sayang Felix ceroboh dan meninggalkan tas kecilnya yang berisi pakaian ganti di sofa ruang tamu rumahnya. Maka Felix lebih memilih duduk di atas matras yang digelar di sisi pantai sambil memeluk lututnya. "Kenapa lo malah duduk di sini?" Felix mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang tiba-tiba menghampirinya. Hazel milik Felix dapat melihat rambut laki-laki itu basah dan celananya bertabur pasir. "Gue engga bawa baju ganti, Changbin. Jadi gue mendingan diem aja," jawabnya. Laki-laki yang dipanggil Changbin itu mengernyit, "Lo engga ikutan nginep kan?" Felix menggeleng, "Chris bakalan jemput gue nanti malam." "Ya udah ayok main!" Tanpa aba-aba tubuh kecilnya diangkat ke udara, "Changbin!" Changbin berlari menuju bibir pantai dan membanting pelan tubuh Felix ke dalam air dangkal. "CHANGBIN!" Felix merajuk, wajahnya tampak kesal dengan bibir yang maju ke depan, "Gue udah bilang engga bawa baju ganti!" Yang dimarahi malah tertawa, tangannya mengusak surai Felix sambil memindahkan beberapa anak rambut yang menghalangi matanya, "Gue bawa lebih, nanti lo pakai dulu punya gue." Setelahnya Changbin mulai memeluk Felix dari belakang, mengangkat badan itu dan membawanya menuju ombak. Tawa lepas dari keduanya ketika ombak menerjang tubuh mereka, sekujur tubuh mereka basah. "Lebih asik ikut main kan daripada lo duduk liatin doang?" Yang ditanya tersenyum lebar sambil mengangguk. Detik berikutnya kedua laki-laki itu berlarian di atas pasir setelah salah satunya menciprat air pada yang lain. Dalam waktu dua jam, Felix dan Changbin sudah berpakaian rapi, mereka memutuskan untuk mandi setelah melihat matahari terbenam. Kini Felix dan Changbin duduk bersebelahan dengan teman-teman lain mengelilingi api unggun. "Sweater gue anget kan?" tanya Changbin pelan. Felix mengangguk, sweater biru yang dipinjamkan oleh Changbin tadi memang membalut tubuhnya dengan baik, hingga dia tidak merasa kedinginan meski pun angin pantai cukup kencang. Changbin menatap Felix, kerutan muncul di dahinya, "Kayanya sweater-nya lebih cocok lo yang pakai." "Huh?" "Jadi lebih cakep." Ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perut Felix, rasa hangat pun ikut timbul dan menjalar dari pipi hingga membuat kulit putihnya berubah kemerahan. Laki-laki virgo itu tersipu malu kala Changbin memujinya secara terang-terangan. Beberapa bulan ini Felix selalu merasakan semua keanomalian ketika Changbin memperlakukannya dengan 'spesial'. Ah, entah ini benar-benar spesial atau hanya perasaan Felix saja, yang pasti tiap kali Changbin memujinya, menyentuh rambutnya atau sekadar menggenggam tangannya dia akan merasakan kupu-kupu di perutnya. Felix tahu itu tandanya dia memiliki perasaan lebih pada laki-laki leo itu. "Lo udah hubungin Chris?" Felix mengangguk, "Udah, katanya ... lagi di jalan," kata Felix seikit terpotong sebab dia menguap. Felix meregangkan tubuhnya pelan, lalu memeluk lutut dan menenggelamkan kepalanya di antara lututnya. "Ngantuk ya?" "Huum." Laki-laki leo itu menggeser posisi duduknya hingga berhimpitan dengan Felix. Dia kemudian mengusak surai Felix pelan, "Sini bobo di pundak gue, kalau nunduk gitu pegel." "Engga apa-apa?" tanya Felix sambil mendongakan kepalanya. Changbin mengangguk, tangannya meraih pundak Felix merangkulnya hingga kepala laki-laki itu mendarat di pundaknya. Keduanya hanya duduk sambil menunggu kakak lelaki Felix menjemputnya. Sementara teman-temannya sibuk memanggang daging dan menyanyi. "Bin?" "Hm?" "Ini beneran sweater-nya engga apa-apa gue pake?" Changbin mengangguk tanpa mengeluarkan suara. "Felix? Belum dijemput?" Suara lembut dari seseorang membuat Felix yang tadinya memejamkan mata sambil bersandar di pundak Changbin mendongak demi melihat siapa yang bertanya padanya. Hazel milik Felix menangkap sosok perempuan cantik yang mengenakan hoodie kebesaran dengan celana bomber berdiri menatapnya sambil memegang food tongs di tangannya. Changbin tersenyum pada perempuan itu, terlihat agak canggung. Namun tetap berusaha tenang, "Belum, Ly. Chris masih di jalan." Perempuan bernama Lily itu menganggukan kepala, senyumnya semakin lebar membuat wajahnya terlihat semakin manis, "Ikutan makan dulu aja. Kalian laper kan?" Felix melirik Changbin yang kini menegakan badannya. Laki-laki leo itu terlihat antusias dari matanya yang berbinar, "Iya, nanti gue ke sana." Setelahnya Lily melenggang menuju ke arah teman-teman lain yang sedang memanggang daging. Felix masih melirik ke arah Changbin, jelaga laki-laki itu masih tertuju lurus pada Lily. Bahkan senyum di bibirnya tidak hilang sama sekali. Felix menggigit bibir bawahnya, rasa kecewa bercampur cemburu menggelung dalam dadanya. Sepertinya akan ada yang patah. "Lix, Chris udah dateng." "Gue balik duluan ya? Sweater-nya gue balikin besok." Tanpa menoleh ke arah Changbin, Felix berdiri dan meninggalkan Changbin menuju mobil kakaknya.
Minggu lalu merupakan perayaan yang meriah bagi siswa kelas 12 yang baru saja selesai dengan ujian akhir mereka. Hari ini sekolah mengadakan acara khusus untuk merayakan kelulusan siswa-siswinya. Maka di sinilah Felix sekarang duduk di salah satu meja dengan beberapa temannya, ada Jisung, Seungmin, dan Jeongin serta Hyunjin dan pacarnya, Jean yang ikut bergabung dengan mereka. Perbincangan mengenai perempuan mulai menaik ke permukaan mengenai Jeongin yang bertemu dengan crush-nya dan Jisung yang sudah berani mengajak perempuan bernama Clara untuk berdansa dengannya nanti. Sementara Felix hanya diam sambil menanggapi beberapa cerita dari teman-temannya itu dengan senyum. Di antara teman-temannya sepertinya hanya dia yang berbeda. "Lo gimana, Lix?" tanya Jisung sambil menepuk pelan pundak Felix. Felix tersenyum canggung, "Gue?" "Iya, lo ajak siapa buat dansa nanti?" Hazel Felix berputar, kepalanya berpikir keras, sejujurnya Felix tidak punya kandidat yang bisa dia ajak untuk berdansa nantinya. Kepalanya hanya berisi Changbin. Rangkulan terasa di pundaknya, ada usapan pelan juga dia rasakan. Ketika kepalanya menengok, sosok Seungmin yang dia lihat sedang tersenyum simpul padanya, "Engga usah tanya Felix, dia mungkin aja engga nyaman buat ada di kerumunan orang banyak, iya kan, Lix?" Felix mengangguk pelan, dalam hatinya dia ingin mengucap terima kasih pada sahabatnya itu. Beberapa menit selanjutnya teman-temannya turun ke tengah aula untuk berdansa dengan pasangannya masing-masing. Tersisa Felix dan Seungmin yang masih duduk di meja. Keduanya saling diam menikmati alunan musik yang menggema sambil meminum jus yang mereka pegang. "Seungmin, kenapa lo engga ikutan turun?" Yang ditanya terkekeh pelan, "Mau turun sama siapa? Lo tau sendiri pacar gue engga ada di sini," jawabnya santai. Felix mengedarkan pandangannya ke seluruh area, mencari satu sosok dambaannya. Kala hazel itu berhasil menangkap sosok laki-laki leo itu, dia meringis. "Lo sendiri kenapa engga turun?" Felix akhirnya memutus perhatiannya dan beralih kembali berbincang dengan sahabatnya. "Engga. Lagian siapa yang mau turun sama gue?" Mata Seungmin memicing, "Memangnya lo udah ajak Changbin?" Seketika tenggorokan Felix terasa panas, dia tersedak ludahnya sendiri. Seungmin terkekeh, "Gue tahu, Felix." Mata Felix kembali memperhatikan Changbin yang sedang bersama perempuan yang tentu saja Felix kenali. Gadis dengan tubuh semapai dan wajah yang cantik, tipe ideal seorang pacar. Felix menggeleng, "Dia engga akan mungkin mau sama gue, Seungmin." Seungmin melirik tepat kemana mata Felix memandang. Laki-laki itu menangkap Changbin dengan Lily. "Karena dia straight?" Yang ditanya mengedikan bahunya. Dia mendongakan kepala menatap lurus ke langit-langit aula yang berhias bintang dan beberapa balon. Pikirannya melayang, Felix ingin mengiyakan perkataan Seungmin. Changbin straight, laki-laki leo itu jelas menyukai Lily, dari caranya menatap perempuan itu minggu lalu ditambah lagi sekarang mereka sedang saling menggenggam dan berdansa di tengah aula. Sudah jelas tidak ada celah bagi Felix untuk mendapatkan hati Changbin, ah jangankan hati, perhatian pun sepertinya tidak akan lagi dia dapatkan. Buktinya laki-laki leo itu sama sekali tidak berbicara dengannya selama acara berlangsung, padahal Changbin biasanya akan bergabung dengan teman-temannya. Lily sudah mencuri semuanya. Atau mungkin hanya Lily yang Changbin butuhkan. Felix menghela napasnya, "Daripada itu, gue ada pikiran lain." Seungmin kembali menatap Felix, "Apa?" "Kalau dia tahu gue gay,—" "Fel, dia engga homophobic, dia masih temenan sama gue yang jelas-jelas pacaran sama kakak lo." Felix memutar matanya, "Ya karena lo engga 'suka' sama dia." Seungmin diam. Benar juga, Changbin mungkin bukan orang yang homophobic,tapi kita tidak pernah tahu reaksinya jika Changbin sadar kalau Felix jatuh cinta padanya. Ada banyak kemungkinan yang mampir di pikiran Seungmin, tapi yang paling mengganggu adalah bagaimana jika Changbin menjauhi Felix atau yang paling buruk hingga membencinya? Keduanya menghela napas bersamaan, sepertinya memikirkan hal itu di tengah-tengah perayaan kelulusan bukanlah hal yang bagus. Maka Seungmin menawarkan untuk mengambilkan cupcake dan jus lagi untuk Felix.
Felix memutuskan untuk pulang ketika jam di aula menunjukan pukul 11.20 malam karena dia berjanji untuk pulang sebelum tengah malam pada Chris. Dia keluar dari aula dan menuju gerbang sekolah untuk mencari taksi. "Bin? Bangun dulu coba, gue mau panggil Wooyoung." Suara lembut itu menyapa indera pendengaran Felix, tanpa sengaja Felix menoleh ke asal suara. Di sana ada Lily yang sedang sibuk menopang Changbin. Perempuan itu terlihat kesusahan, maka Felix menghampirinya untuk menawarkan bantuan. "Kenapa Ly?" tanya Felix. Hazel-nya tidak lepas dari sweater biru yang tempo hari Changbin pinjamkan padanya, sweater itu kini melekat di tubuh Lily. Ya memang dia tidak spesial, pasti Changbin juga memuji Lily yang tampak cantik dalam balutan sweater itu. Felix menggeleng, berusaha mengusir pikiran-pikiran yang hinggap di kepalanya. "Ini dia teler," kata Lily sambil menunjuk Changbin. Felix membelalak, pasalnya tidak ada minuman keras di dalam aula, bagaimana bisa Changbin mabuk? Lily menangkap raut bingung di wajah Felix, "Kerjaannya Wooyoung sama Yeonjun, mereka main truth or drink si Changbin kebanyakan minum," tuturnya. "Lo bisa tolong panggil Wooyoung? Gue engga bisa nyetir." Laki-laki virgo itu mengerjap, "Gue bisa nyetir, kok. Sini kuncinya!" Lily menyerahkan kunci mobil milik Changbin pada Felix. Sejurus kemudian Felix segera membuka pintu kursi penumpang dan membantu Lily untuk menaikan Changbin ke dalam mobil. Setelahnya Lily berpamitan pada Felix untuk pulang bersama teman-temannya, meninggalkan Felix berdua dengan Changbin di dalam mobil. Felix melirik Changbin yang masih tidak sadarkan diri di kursi penumpang. Dia menghela napasnya pelan, tangan kecilnya terulur berniat untuk menyentuh pipi laki-laki itu. Namun belum sempat kulit mereka bersentuhan, Felix kembali menarik tangannya. Dia tidak mau menyentuh Changbin tanpa ada persetujuan dari sang empu. Tangannya beralih meraih seat belt dan memasangkannya agar Changbin aman. Setelah itu dia langsung menancap gas menuju rumah si leo. Perjalanan dari sekolah menuju rumah Changbin tidak terlalu jauh, hanya sekitar tigapuluh menit, kebetulan jalanan juga tidak macet. Hingga akhirnya mereka bisa sampai sebelum pukul 12 malam. Setelah memarkirkan mobil di depan rumah Changbin, Felix menepuk pelan , pipi Changbin. "Bin? Bangun, yuk! Udah sampe rumah," ucap Felix tubuhnya condong ke arah Changbin, tangannya mengusap pipi Changbin dan melepas seat belt laki-laki itu. Yang dibangunkan membuka matanya perlahan. Senyum tiba-tiba saja terbit di bibirnya. Felix ikut tersenyum, "Bin—" Tubuh kecil Felix ditarik ke dalam pelukan tanpa aba-aba. Laki-laki virgo itu terlalu kaget hingga hanya terdiam dengan mata membelalak. Sedangkan Changbin menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Felix. Beberapa menit, Changbin tidak bergerak dalam pelukan itu. Tangannya benar-benar melingkar di pinggang ramping Felix yang terbalut kemeja putih. Keduanya hanya diam, Felix sibuk menetralisir segala kenaomalian dalam tubuhnya saat ini, sementara Changbin entah apa yang ada di pikiran pemuda itu. Changbin melepas pelukan mereka, dia terkekeh pelan sambil menatap manik Felix, "Gue pengin cium lo." Belum sempat yang muda menjawab, bibir mereka sudah bertabrakan. Mata Felix membelalak, terlampau kaget sekaligus tidak menyangka, tetapi detik berikutnya dia memejamkan matanya menikmati kecupan yang Changbin daratkan di bibirnya. Setelah kecupan itu terlepas, Felix bernapas lega. Dia kembali mundur dan duduk di kursi pengemudi menyenderkan punggungnya di sana. Jantungnya masih berpacu kencang di dalam sana dan ribuan kupu-kupu masih berkepakan di perutnya. "Lo cantik ..." Perasaan Felix di dalam hatinya membuncah, rasanya hatinya mau meledak mendengar pujian langsung dari Changbin. Bibirnya bergetar menahan senyuman dan entah kenapa matanya terasa panas. "... Lily." Dan kata terakhir yang keluar dari mulut Changbin sukses membuat semua hal dalam hatinya meledak. Air mata yang menggenang di pelupuk jatuh bersamaan dengan kepala Changbin yang terhantuk pada dashboard mobil. Untuk beberapa menit Felix ingin mengubur dirinya sendiri yang merasa senang karena berpikir kalau Changbin benar-benar ingin menciumnya. Kenyataannya laki-laki leo itu membayangkan sosok lain selama mengecup bibir merahnya. Sosok yang lebih sempurna dari dirinya dan tentu saja sosok yang teramat Changbin cintai. It's fine, Felix "Bin, turun, yuk?" Maka dengan hati-hati Felix menegakan tubuh Changbin dan membantunya keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
FIN

“Tumben banget bawa mobil,” kata Felixiano setelah membuka pintu kursi penumpang dan mendaratkan pantatnya di sana.

Tangan kanannya sibuk menarik sabuk pengaman dan mengenakannya dengan baik. Sedangkan Abian menatap Felix tidak percaya, matanya lurus pada tangan kiri Felixiano yang tertutup perban tebal berlapis gips.

“Tangan lo kenapa?” tanya Abian.

Yang ditanya hanya terkekeh pelan, “Jatuh.”

Tentu saja bohong.

Abian mengernyit, “Jatuh gimana? Kok bisa sampe gini? Ini patah?” tanyanya bertubi-tubi.

Kalau dijelaskan mungkin Abiandra merasa sangat khawatir pada laki-laki virgo ini, dia menghilang seharian dan muncul dengan tangan yang tergulung perban. Bisa saja laki-laki ini sengaja menghindarinya karena keadaan tangannya.

Felix tertawa, “Semalam kan gue sama Eric naik pake tangga darurat, eh licin, terus gue jatuh.”

“Ini patah apa cuma keseleo?”

“Dislokasi sendi sama retak. Pergelangan tangan gue nahannya kekencengan, jadi sendi gue malah rapat, terus karena keguling-guling ya ulnanya retak, nggg ... hampir patah.”

Ah Felixiano memang pembohong yang handal. Nyatanya keretakan tulang yang dia alami adalah akibat dari menahan pukulan yang dilayangkan bundanya. Lalu dengan kesoktahuannya dia membetulkan posisi tangannya sendiri hingga sendinya mengalami dislokasi.

Tangan Abiandra mengusak pelan surai Felix, dia mendecak, “Lain kali hati-hati, lo tuh gampang banget jatuh.”

Felix terkekeh, “Udah gue engga apa-apa, ayok jalan.”

Abian memilih untuk diam, dia maish menatap tangan Felix. “Itu sembuhnya lama?”

“Engga,” jawab Felix. Dia lalu mengalihkan perhatiannya pada jalanan, “Ayok jalan!”

“Berapa lama?”

“Engga lama, Kak.”

“Iya berapa lama, Felixiano?”

“Satu sampe dua bulan.”

Abian kembali diam. Kalau selama itu si virgo tidak bisa mengikuti turnamen bulan depan.

“Turnamen—”

“Udah engga apa-apa, Kak Abin. Ayok jalan, katanya mau cari kado kan?”

Abian menatap Felix, dia mengelus surai Felix sekali lagi, “Ya udah, lo mau beli apa?

Yang ditanya pura-pura berpikir, matanya berputar sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jarinya, “Apa yaaa? Gue penginnya beli waktu lo, gimana?”

Abiandra terkekeh, sesuai dugaannya laki-laki virgo itu tidak akan meminta benda. Sejak kemarin dia selalu dengan jujur berkata ingin Abiandra sebagai kadonya.

Honestly gue beneran engga punya wishlist barang yang gue pengin sih. Gue juga engga terlalu suka the idea ngerayain ulang tahun. Kemaren gue iseng aja bahas kado.”

Abian tersenyum simpul, “Ya udah, mau pulang aja?”

Felix menggeleng, “Jangan pulang dulu, night drive aja gimana?”

Yang lebih tua mengangguk lalu mulai menyalakan mesin mobilnya dan menjalankan kendraan itu di jalanan.


Sekitar beberapa jam mereka mengelilingi Ibu Kota dan terjebak macet di sana sini, akhirnya Abiandra mengendarai mobilnya menuju rumah. Jam digital yang ada di mobil menunjukan angka 11, sebenarnya Felix sedikit protes karena menurutnya ini masih siang.

“Jangan pulang dulu, ih,” katanya ketika mobil Abiandra mulai memasuki kawasan perumahan.

“Ya udah, mau kemana lagi?”

“Engga tau.”

Abiandra memelankan laju kendaraannya kemudian berhenti di dekat warung kopi langganan mereka. “Mau nasi goreng engga? Lo pasti laper kan?”

Felixiano mengangguk, “Gue yang turun?”

“Engga usah, hujan. Diem aja, gue yang telepon abangnya.”

Sekitar dua puluh menit kemudian dua piring nasi goreng mereka terima. Keduanya sama sekali tidak keluar dari dalam mobil karena hujan masih mengguyur jalanan Ibu Kota.

Dua anak adam itu makan dalam diam, tidak ada yang membuka percakapan. Hingga Felix merasa bosan, “Kak, boleh nyalain radio engga?”

Abian mengangguk, “Sambungin aja spotify lo. Mau puter 22, kan?”

Felix mengernyit, dia menepuk paha Abian, “ENAK AJA! GUE MASIH SEMBILAN BELAS!”

Tawa Abiandra menyembur, “Ya lo ganti aja liriknya jadi nineteen whoooo.”

Felix tertawa kencang mendengar kalimat Abian, dia mengamit ponselnya dan menyambungkannya dengan radio di mobil Abian. Jari-jarinya bergulir di layar kemudian menemukan satu lagu yang ingun dia dengar.

Suara gitar terdengar bersamaan dengan suara lembut Taylor Swift.

Felix ikut bersenandung sambil mengunyah nasi gorengnya. Lalu Beberapa saat setelahnya kaca mobil mereka diketuk oleh Bang Asep, dia membawa satu buah roti bakar berukuran besar, katanya hadiah untuk Felix yang mau berulangtahun, maka keduanya mengucapkan terima kasih dan kembali menutup kaca mobilnya.

“Bisa tau dari mana si Bang Asep?”

“Facebook lo kali. Bang Asep kan kecanduan facebook.

Felixiano tertawa, “Sumpah itu facebook gue isinya engga jelas, terakhir gue buka pas gue SMP.”

“Oh isinya pasti alay banget. Gue inget dulu lo pernah ngirim ke wall gue 'Cemungud ea'.”

Felix memukul paha Abian, “Apaan, kapan? Engga pernah.”

Tawa Abiandra semakin keras, dia membuka ponselnya, “Mau gue cek facebook gue?”

Felix melebarkan matanya, “Engga usah anjir ngapain? Engga pernah tau.”

Keduanya sibuk tertawa dan berebut ponsel sebab Abiandra memaksa untuk mengecek halaman facebook-nya dan Felix menolak untuk melihat. Dia sebenarnya tidak ingat pernah mengirimkan semacam itu, tetapi kalau benar kan malu.

Hingga suara dari jam digital di mobilnya mengalihkan perhatian keduanya. Abiandra mengamit roti bakar yang sebelumnya diberikan oleh Bang Asep. Dia kemudian menyalakan ponselnya yang layarnya menampilkan gambar lilin.

“Ayok tiup lilin!”

Felixiano menanggapinya dengan tertawa, dia lalu memejamkan matanya. Bibir mungilnya tersenyum, memanjatkan doa dalam hatinya, sebelum hazel-nya kembali terbuka dan meniup lilin virtual yang Abian siapkan di ponselnya.

“Yeay! Happy birthday!”

Tubuh Felix ditarik dalam pelukan hangat Abian. Dia mengelus kepala Felix dalam peluknya. Dia lalu meraih pundak Felix dan melepas pelukan keduanya.

Hazel bertemu jelaga. Dahi mereka saling bertautan, “Beneran gue tanya, lo mau apa?”

Alunan musik dari spotify Felix kini sudah berganti, masih dari penyanyi yang sama.

This slope is treacherous This daydream is dangerous This slope is treacherous And I, I, I like it

Ah penyanyi itu benar, hubungan ini berbahaya. Felixiano bahkan tidak tahu hati laki-laki di depannya ini untuk siapa, tapi nothing safe worth the drive, so he takes it.

Bibir tipis laki-laki virgo itu tertarik sebelah, membentuk seringai, “Gue mau lo.”