amaltheaan

Beberapa orang pernah menanyakan “Kematian itu bentuknya seperti apa?”, biasanya aku hanya akan terkekeh dan berkata ia laki-laki dewasa dengan wajah tampan yang selalu datang dengan kereta kuda. Setelahnya aku akan mendapat tawa dari mereka.

Padahal aku mengatakan hal yang sebenarnya.

Masih sangat terpatri dalam memoriku saat itu usiaku tigabelas tahun, ibu mengajakku bermalam di rumah nenek. Malam itu hujan turun deras, Ibu menyuruhku tidur lebih cepat, dan seperti anak baik pada umumnya aku menurut.

Ibu tidak memelukku malam itu, aku tidur sendirian.

Dalam tidurku, aku menemukan diriku sendiri berdiri di depan sebuah nisan besar tidak bernama yang berada di tengah-tengah hamparan bunga lili putih. Aku ketakutan, sungguh, meski pun bunga-bunga di sekitar makam ini tampak cantik, dan membuatnya tidak menyeramkan tetap saja sesuatu dalam diriku merasa sangat tidak nyaman.

Aku langsung menjauh dari makam itu, sambil mencari jalan keluar dari padang bunga cantik itu. Namun berkali-kali aku berlari, aku selalu kembali pada nisan tadi. Aku berjongkok mengatur napasku yang tersenggal, lalu mulai menangis kencang sambil memanggil ibuku.

Sejurus kemudian aku mendengar suara kaki kuda yang mendekat, kupikir ibuku datang menjemput dengan kuda milik paman. Aku segera berdiri dan mengusap air mataku. Sayangnya ketika aku menatap ke arah suara, aku malah menemukan kereta kuda megah berwarna hitam dengan corak api berwarna emas dan tiga ekor kuda hitam gagah yang menariknya berhenti di dekatku.

Pintu kereta kuda itu terbuka seolah menyuruhku untuk masuk ke dalamnya. Maka dengan tergesa aku berlari dan naik ke dalam kereta kuda itu.

Sesaat setelah aku masuk ke dalamnya, pintu kereta itu tertutup kencang.

“Anak malang. Kamu tersesat, Felix?”

Mataku membulat kala menatap laki-laki tampan di depanku, ia bahkan tahu namaku.

“Kenapa kamu tahu namaku?” tanyaku kala itu yang langsung mengundang tawanya.

“Aku tahu nama semua orang, semuanya tercatat dalam buku kerjaku.”

Aku mengernyit bingung dengan jawabannya. Laki-laki itu terlihat aneh, “Memangnya kamu siapa?”

“Aku kematian.”

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, sejujurnya aku tidak ingin percaya pada laki-laki itu. Tapi di satu sisi pemampilannya tampak sedikit meyakinkan, ditambah ada celurit dengan gagang panjang yang tersandar di sebelah laki-laki tampan ini.

Eh tunggu— kalau benar laki-laki ini adalah kematian, maka—

“Apa aku sudah mati?” tanyaku dengan jantung yang bertalu kencang.

Laki-laki yang mengaku kematian itu tertawa, “Belum, waktumu untuk hidup masih sangat panjang. Kamu hanya tersesat di wilayahku,” katanya. Lalu ia menepuk kursi kosong di sebelahnya, “Kemari, duduk, aku antar kamu pulang.”

Aku menelan ludah susah payah, lalu duduk di tempat yang ia tunjukan padaku.

“Kamu tidak takut?”

“Tidak. Kamu bilang aku belum mati, dan aku masih bisa hidup lama. Jadi aku tidak takut padamu.”

Kematian tertawa, “Baik, kamu memang anak yang unik. Sekarang kamu bisa turun.”

Aku mengernyit lagi, tidak ada satu menit kereta kuda itu berjalan ia sudah menyurhku untuk turun. Apa benar ia mengantarku pulang?

Pintu kereta kuda itu terbuka lebar. Aku melirik keluar, dapat kulihat pekarangan rumah nenekku yang penuh dengan bunga. Ia benar-benar mengantarku pulang.

“Terima kasih,” kataku sambil turun dari sana.

Laki-laki itu tersenyum lebar, “Selamat tidur, Felix.”

Sejak terbangun dari mimpi aneh itu hidupku jadi mengerikan.

Nenek membangunkanku pagi itu, ketika aku menatap matanya aku dapat melihat bayangan nenek yang terbaring di rumah sakit dengan dokter yang menuduk pasrah dan monitor yang menunjukkan garis lurus. Aku sungguh terkejut, kupikir itu hanyalah sebuah mimpi buruk, hingga aku mencubit diriku sendiri, mencakar tanganku, sakitnya sangat terasa tapi aku tidak pernah bangun.

Kuceritakan semuanya pada Ibuku, ia hanya tersenyum dan mengelus kepalaku berkata bahwa semuanya hanya imajinasi.

Aku mempercayainya.

Hingga seminggu setelahnya, nenek meninggalkan kami dengan keadaan yang sama seperti apa yang kulihat pagi itu.

Aku menangis kencang ketika nenek dimakamkan. Setelah acara pemakaman selesai, Ibu menghampiriku dan memelukku.

“Kamu diberkati, Felix,” bisiknya.

Setelahnya ia melepas pelukan dan mengelus pipiku. Matanya menatap tepat mataku, dan semua bayangan kematian ibuku terekam jelas di kepalaku. Kucoba mengalihkan pandanganku pada ayah, bayangan lain muncul. Kualihkan lagi pada orang-orang di sekitarku, bayangan-bayangan itu benar-benar ada di kepalaku.

Rasanya sangat menyakitkan, pusing, mual bercampur jadi satu.

Jadi, menurutmu apakah ini berkat atau kutukan?

“So what is this?” tanya Abian sambil menunjuk kotak yang Jinendra bawa sebelumnya.

That's all yours.”

Abian mengernyit, heran.

“Actually Lixiano said that I should give it to you.”

Mata Abian membulat sejurus kemudian ada senyum kecut yang timbul di bibirnya, “Sorry, Ji.”

Jinendra menggeleng, “Kak, lo udah denger rumor soal gue, Fe dan Bunda kan?”

Yang lebih tua mengangguk.

“Rumor itu salah. Sejujurnya Fe ...”

Ada jeda sejenak, laki-laki tembam itu terlihat menahan tangisnya.

“Mungkin lo pikir Fe pergi karena lo, tapi sejujurnya bukan lo alasannya kak, Bunda selalu siksa Fe buat kesalahan kecil yang dia lakuin. Patah tulang itu bukan karena jatuh, tapi karena dia nahan pukulan bunda. Belasan tahun Felix selalu kena hukuman itu dari bunda, gue tahu punggungnya engga pernah bersih dari bekas cambukan atau pukulan.

Dan alasan kenapa gue memilih buat nurutin permintaan Fe buat nolak lo adalah itu. Felixiano engga pernah menerima cinta dari bunda, sedikit pun, Bunda selalu salahin dia bahkan untuk semua prestasi yang dia raih. Gue pengen Felixiano juga dapetin sayang dari orang yang dia sayang, tapi sialnya, gue juga sayang sama lo.”

Jinendra terkekeh, “Gue ngerti lo kecewa sama Felixiano. Tapi gue juga salah, kak.”

Abian menggigit bibir bawahnya, terlalu banyak informasi yang ia terima. Bekas luka di punggung Felix, patah tangannya, semua alasan-alasan kecerobohan yang sering laki-laki kecil itu ucapkan adalah kebohongan?

Ada kekecewaan yang timbul dalam hatinya, ia mengerti kalau ini adalah sesuatu yang sangat pribadi untuk dibagi padanya, tapi bukankah mereka sudh berjanji akan membagi beban bersama?

“Sehatusnya dia masih bisa di sini sampai kelulusan, tapi karena gue...”

“Bukan salah lo, Jinedra.”

“Gue harusnya jujur sama dia soal perasaan gue dari awal, bukan malah diem dan cemburu waktu dia berhasil bikin lo buka hati.”

“Gue bilang itu bukan salah lo!”

Abian menarik pergelangan laki-laki itu dan membawanya dalam peluk. Sesaat setelahnya isakan mulai terdengar dari yang lebih muda membuat rasa bersalah menggelung di dalam dada Abian. Tangannya mengelus pelan punggung laki-laki virgo itu.

“Gue juga salah, Ji. Kita semua salah, Fe, Lo dan gue. Dan semuanya udah terjadi, engga ada gunanya kita salah-salahan.”

Dalam beberapa saat keduanya larut dalam haru. Yang muda semakin mengenggelamkan kepalanya di dada yang lebih tua. Sementara yang tua berusaha menenangkan yang muda.

“Lo masih sayang banget sama Fe, kan, Kak? Maafin gue.”

“Ji, gue yang harusnya minta maaf, gue kesannya mainin lo. Gue sadar kalau gue sayang Felixiano tapi gue malah jadian sama lo.”

Jinendra terkekeh.

“Kak?” Pelukan itu dilepas secara sepihak oleh yang lebih muda, meninggalkan jejak-jejak air mata di kaus polos yang Abian kenakan.

Dengan pipi yang masih basah dan bibir yang masih bergetar, Jinendra memaksakan dirinya untuk tersenyum, ia mengangkat jari kelingkingnya ke udara, “Can we be friends?”

Abian termenung sejenak, matanya fokus pada jari kelingking Jinendra. Ia menganggukan kepalanya berkali-kali sambil mengaitkan jari keduanya. “Of course!”

Jinendra tersenyum lebar. Ia terkekeh di antara sesak yang ia rasakan setelah menangis cukup lama. “Lo harus buka kotak itu, Kak. Lixiano ninggalin itu buat lo, katanya 'tolong kembaliin sama pemiliknya.' Gue salah karena nyimpen kotak itu terlalu lama, harusnya sebelum lo ajak gue sama-sama gue kasihin itu ke lo.”

Abian menghela napas, ia mengalihkan pandangannya pada kotak hitam yang berdiri kokoh di atas kasurnya.

Tangan-tangan kokohnya mulai membuka tutup kotak itu, kerutan di jidatnya tampak kala matanya menangkap beberapa barang yang sangat ia hafal ada di dalam sana. Ia mengambil barang itu satu per satu.

Ada satu buku besar berisi bungkus bengbeng yang ditempel di setiap lembarannya, lengkap dengan notes kecil tertulis tanggal dan penjelasan mengenai kapan dan mengapa Abian memberinya bengbeng itu.

Ada hoodie yang ia berikan pada Lixiano ketika pacarnya itu mencuri hoodie miliknya. Bau khas laki-laki berambut pirang itu menguar, memaksa masuk ke indera penciuman Abian. Perasaan hangat mulai menjalar di dalam dadanya, perasaan yang sama setiap kali ia melihat Felixiano dan menggenggam tangannya. Ah ia rindu.

Semakin ia buka semua barang-barang yang pernah ia berikan pada Felixiano membuat hatinya semakin menghangat, kepalanya juga penuh dnegan ingatan-ingatan manis yang pernah mereka lalui sebelumnya. Rasanya terlalu menyakitkan.

Barang terakhir yang ia keluarkan adalah gelang hitam yang entah kapan ia berikan pada laki-laki itu. Kotak hitam itu kosong sekarang, sama seperti dirinya, kosong, tanpa Felixiano ataupun kenangan manis mereka.

Tangan Jinendra mengamit buku berisi bungkus bengbeng yang sebelumnya Abian keluarkan, “Hahaha ya tuhan, ini yang dia buat setiap kali gue liat dia cuci bungkus bengbeng di wastafel? Gue kira dia punya projek kerajinan tangan.”

Abian ikut tertawa, “Gue engga pernah tau dia bisa simpan beginian.”

“Kak, mungkin buat kak Bian semua ini hal sepele, tapi kadang kalau cinta semuanya jadi punya makna sendiri.”

Yang tua terkekeh pelan. Matanya kembali memperhatikan barang-barang yang berserakan di atas kasurnya. Ia hapal semuanya, tapi rasanya ada yang kurang.

“Gue bantu beresin, ya?”

Abian mengangguk. Jinendra mulai mengambil satu per satu barang dan memasukannya kembali ke kotak. Mata Abian terpaku pada pergelangan tangan Jinendra, ada sebuah gelang dengan liontin infinity yang pernah ia berikan sebelumnya.

“Gue punya inisial lo di leher gue, dan lo juga punya inisial gue di leher lo.”

Matanya mengerjab, “Ji, bentar!”

Abian mengamit satu per satu barang di sana, memeriksa semuanya, mencari satu lagi benda yang pernah ia berikan pada Felixiano.

“Nyari apa, Kak?”

“Kalung!” Abian menunjukan kalung yang masih ia kenakan pada Jinendra, kalung emas dengan liontin bulat yang berukir huruf 'f' di sana.

Jinendra mengernyit, “Kayanya engga ada di sini kak.”

Abian masih mengacak barang yang Felix berikan padanya di atas kasur, “Lo yakin di kamarnya engga ada yang ketinggalan?”

Yang ditanya mengangguk, “Kalung itu engga pernah Fe lepas, Kak. Terakhir di bandara gue inget dia masih pakai kalung di lehernya.”

Kalimat yang Jinendra ucap membuatnya berhenti, ia terduduk di ujung kasur.

“Emang kenapa sama kalung itu, Kak?”

“Kalung itu tanda kalau gue buka hati gue buat dia, dan buat dia dirinya ke gue.”

Dalam beberapa saat hening mendera.

“Ji, kalau kalung itu masih Felixiano pakai, gue masih ada harapan buat ketemu dia lagi kan? Gue masih bisa perbaikin semuanya kan?”

Jinendra menghela napasnya berkali-kali kala kakinya menapaki jalanan yang beberapa waktu lalu selalu ia datangi. Tangannya perlahan memegang pagar besi di hadapannya dan membukanya.

Lagi-lagi Jinendra harus menahan rasa kalut dalam hatinya saat matanya menatap lurus rumah yang dulu ia tinggali bersama Felixiano dan Bundanya. Ia segera melangkah dan membuka kunci rumahnya.

Hal pertama yang Jinendra lihat ketika ia masuk ke dalam rumah itu adalah ruang tamu yang berisi barang-barang yang sengaja ditutupi kain putih. Seprcik kenangan masuk ke dalam kepalanya, mengenai Lixiano dan dirinya yang sering kali duduk bersama sambil menyalakan ac di sana.

Ia tersenyum kecut. Rindu.

Semakin kakinya melangkah masuk semakin banyak kenangan yang kembali dalam kepalanya. Membuat matanya terasa panas juga hatinya yang terasa sesak.

Kakinya berhenti di depan kamar dengan pintu bercat coklat dan gantungan bertuliskan “Felixiano” tergantung di sana. Ia memutar knop pintu dan membukanya.

Bau debu menguar, membuat hidung Jinendra terasa gatal. Matanya menatap lurus ruangan kosong di depannya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam.

Jinendra berhenti di depan sebuah kotak hitam yang ada di pojok ruangan, sejujurnya kotak itu Felix titipkan padanya untuk dikembalikan pada seseorang. Namun ego Jinendra yang cukup tinggi membuatnya belum memberikan kotak itu.

Setelah sebulan kotak itu dibiarkan berdebu di kamar ini, hari ini Jinendra akan mengembalikannya pada pemiliknya.


“Kak aku di bawah.”

Abian turun tergesa setelah membaca pesan dari Jinendra. Ia segera membuka pintu rumahnya ketika ia sampai di pintu depan.

“Ji?” Mata Abian menatap lurus pada kotak hitam yang Jinendra bawa. Kemudian ia mengambil alih kotak hitam itu, “Ini apa?”

Yang muda tidak menjawab, ia hanya mengikui Abian masuk ke dalam rumah.

Abian membawa Jinendra ke dalam kamarnya. ia menyimpan kotak hitam yang Jinendra bawa di atas kasur. Setelahnya ia mempersilakan Jinendra duduk di sisi lain ranjang dan ia mengambil tempat di sebelahnya.

“Kamu mau ngomong apa, Ji?”

Jinendra tersenyum kecut.

“Ayok putus, kak.”

Abian sepenuhnya tahu bahwa kalimat lengkap itu akan keluar dari mulut mungil laki-laki tupai itu, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini.

Ia juga sepenuhnya mengerti bahwa ini adalah salahnya. Salahnya yang tidak bisa mengerti dirinya sendiri dan mengamil keputusan yang cukup membuat orang di sektarnya sakit.

“Oke, let's break up.”

Abian tersenyum canggung kala matanya menangkap Jinendra yang baru keluar dari kelasnya. Jinendra membalas senyum itu dengan tidak kalah canggung, beberapa hal yang terjadi di antara mereka sebelumnya membuat keduanya menjadi sedikit renggang. Ini adalah pertama kalinya mereka berhadapan dan berbicara langsung.

“Eum... Kak Bian mau ngomongin apa nih?” tanya Jinendra saat keduanya berjalan menuju parkiran.

Abian menggaruk tengkuknya yang terasa tidak gatal, “Anter lo pulang dulu deh, ya? Biar ngomongnya enak.”

Lawan bicaranya hanya menganggukan kepala dan mengikuti langkah Abian menuju ke parkiran untuk mengambil motor. Setelahnya mereka langsung menuju rumah Jinendra yang sebenarnya cukup jauh dari sekolah mereka.

Di perjalanan tidak ada satu pun dari mereka yang mau membuka topik pembicaraan, keduanya larut dalam pikirannya masing-masing.

Setelah berkilometer mereka tempuh, akhirnya mesin motor Abian dimatikan. Jinendra turun dari motor dan membuka helm yang ia kenakan. Abian juga melakukan hal yang sama.

“Makasih kak. Ayok masuk dulu sebentar,” kata Jinendra sambil membuka kunci rumahnya.

Sementara Abian masih berdiri di dekat motornya sambil mengatur napasnya. Ia sedikit gugup dengan apa yang akan ia sampaikan kepada Jinendra.

“Masuk kak,” ujar Jinendra mempersilakan Abian untuk masuk ke dalam rumah.

Yang lebih tua langsung saja mengikuti Jinendra masuk ke dalam rumah. Setelahnya Jinendra mempersilakan Abian duduk di ruang tamu.


Sepuluh menit.

Selama sepuluh menit mereka duduk berhadapan tidak ada satupun dari mereka yang membuka suara. Tidak Abian, tidak juga Jinendra. Atmosfer di sekitar keduanya terasa sangat canggung.

“Eumm Kak Bian mau ngomong apa?”

Akhirnya Jinendra memberanikan dirinya untuk bertanya pada Abian.

“Eum.. Ji.”

Mata Jinendra menatap Abian dengan saksama, begitu juga dengan Abian.

“Gue tau mungkin kesannya gue buru-buru dan agak kurang sopan, tapi gue rasa gue harus ngomong ini sama lo.”

Jinendra mengernyit bingung, “hah? kenapa kak?”

“Lo tau kan gue sayang sama lo?”

Mata Jinendra sempat membulat. Ia sedikit terkejut dengan yang diucapkan oleh Kakak Kelasnya itu.

“Tapi kak...”

“Gue cuma mau ambil kesempatan lagi, gue mau kembaliin semua yang harusnya jadi punya kita, Ji.”

“hah?”

“Lo masih sayang sama gue kan?”

Bimbang melingkupi Jinendra. Ada rasa senang yang melingkupi dirinya tapi di sisi lain ia merasa sangat bersalah pada kembarannya.

Tapi bukan salahnya kan kalau ia memang masih sangat menyayangi Abiandra?

“Um... iya kak.”

“Kalau gitu lo mau kan jadi pacar gue?”

Felixiano menatap kembarannya yang duduk tepat di kursi sebelahnya. Kembarannya itu sibuk memasukan barang-barang miliknya di atas meja ke dalam tas sekolahnya sebab bel pulang sudah berbunyi dua menit lalu, dan sang guru baru saja keluar dari ruang kelas. Tangan Felixiano menopang daunya di atas meja, matanya masih memeprhatikan Jinendra tanpa mengatakan sepatah kata.

Merasa diperhatikan, Jinendra menghentikan aktivitasnya, ia menutup tas sekolahnya dan mengikuti Felixiano menopang dagunya di atas meja. Keduanya saling bertatapan.

“Apa?” tanya Jinendra pada Felixiano yang mulai menampilkan senyuman jahil.

Yang ditanya terkekeh pelan, “Lo kok engga cerita sama gue?”

Jinendra mengernyitkan dahinya, bola matanya berputar bingung, “Cerita apa, Fe?”

Tidak menjawab, Felix hanya menggedikan bahunya sambil terus menampilkan senyuman jahil pada kembarannya itu. Matanya melirik ke arah sekitar melihat satu per satu teman-temannya keluar dari kelas.

“Itu loh, soal Kirino.”

Kerutan di dahi kembarannya itu semakin terlihat jelas, “Kirino?”

“Iya, Ji. Kirino nembak lo, kan?”

Raut wajah Jinendra berubah masam, ia menghela napasnya, “Iya tadi pagi.”

“Terus, lo terima engga?”

Yang ditanya menggelengkan kepalanya, tangannya mengamit jaket yang ia simpan di senderan kursinya.

“Engga lo terima?”

“Engga tahu, Fe. Belum gue jawab.”

Felix menganggukan kepalanya berkali-kali, “Kenapa?”

“Engga tahu, gue engga tahu jawabannya.”

“Kalau menurut gue terima aja, Ji.”

Jinendra menghela napasnya, “Kenapa lo selalu minta gue terima Kak Ino, sih, Fe?” tanyanya pelan.

Yang ditanya tersenyum kecil, ia mengusak rambut Jinendra, “Soalnya gue tahu kalau Kirino itu beneran sayang sama lo. He will protect you. Dan kalau gue lihat hubungan lo sama Kirino emang deket banget kan akhir-akhir ini? Lo juga pasti suka sama dia, kan?”

Jinendra terkekeh, “Lo tuh sok tahu Fe.”

“Hm?”

“Masih kurang apa lo minta gue buat nolak Kak Bian dulu? Masih mau ngatur gue harus sama siapa?”

Felix mengernyit, ia bingung dengan perkataan yang keluar dari mulut kembarannya itu. “Ji?”

“Gue sayang sama Kak Bian, Fe! Gue sukanya Kak Bian dari dulu. Tapi lo tiba-tiba minta gue nolak dia dan sekarang lo minta gue buat terima Kak Ino. Lo tuh maunya apa, Felixiano?”

Felixiano hanya menatap Jinendra tidak percaya, mulutnya hanya sanggup terbuka dan tertutup tanpa tahu apa yang harus ia katakan.

clap, clap, clap

Tepukan tangan kencang terdengar dari arah pintu, “Jadi gitu, Felixiano?”

Kedua laki-laki virgo itu sontak menatap ke arah suara, di depan kelas sudah berdiri Abiandra sambil menatap sinis ke arah Felix. Sementara yang ditatap tidak mempu berkata-kata.

“Kak Abin...”

Hazelnya menatap Jinendra, “Ji, lo engga pernah bilang,” bisiknya pelan.

“Licik ya?”

Felixiano susah payah ia menelan ludahnya sendiri. Kala mulutnya siap untuk melemparkan penjelasan, matanya menangkap tatapan Abiandra yang terlihat kecewa bercampur benci? entahlah tatapannya terlalu menusuk tidak dapat didefinisikan, tatapan yang sama dengan tatap yang bundanya beri setiap kali ia masuk ke dalam ruangan itu.

Seketika nyali Felixiano ciut, ia menundukan kepalanya. Ada rasa sesak dalam dadanya, entah karena Abian atau karena rasa bersalahnya pada kembarannya. Semuanya terlalu abu-abu.

“Fe?”

Detik berikutnya Felixiano memilih untuk berlari dan keluar dari kelas meninggalkan dua orang lain yang sama-sama terluka.

Jinendra menatap Kirino yang kini duduk di teras rumahnya dengan kantong plastik berisi ice cream di tangannya. Ia segera mengambil tempat duduk di sebelah laki-laki itu.

“Nih, ice cream oreo” kata Kirino sambil menyodorkan satu cone es krim pada Jinendra.

“Lo ngapain ke sini?”

Kirino mengamit tangan Jinendra dan memaksanya untuk menggenggam es krim yang ia berikan. “Gue tadi lewat, terus iseng aja mampir.”

“Lewat apaan? Rumah gue di kompleks, dan agak jauh dari jalan raya, aneh kalau lo pake alasan cuma lewat.”

Yang tua terkekeh, “Iya deh, gue sengaja ke sini.”

“Ngapain?”

“Ketemu lo.”

Kerutan seketika tercetak jelas di kening Jinendra, “Emang lo ada urusan apa sama gue?”

“Memangnya kalau ketemu lo gue harus ada urusan dulu?”

Jinendra menggaruk tengkuknya, ia sedang kesal dengan Felixiano dan Abiandra, sekarang Kirino malah menambah rasa kesal dalam dirinya. “Ya maksud gue tujuan lo ketemu gue tuh apa?”

Kirino menggeleng, “Gue tahu lo tuh pasti lagi bosen dan kesel karena kembaran lo lagi pacaran sama Abian kan?”

Yang diajak bicara memutar bola matanya, “Gue engga kesel sama mereka.”

“Really?” tanya Kirino dengan kepala yang dimiringkan, “Lo engga perlu bohong sama gue, Jinendra,” lanjutnya sambil mencolek hidung Jinendra membuat sang empunya memundurkan kepalanya.

Jinendra menghela napas, “Wajar engga sih kalau gue jealous sama mereka?”

“Engga,” jawab Kirino yakin.

Mendengarnya Jinendra mendecih, “Lo kan engga tahu posisi gue.”

“Engga wajar karena lo punya gue.”

Mata Jinendra membulat mendengar jawaban Kirino.

“Bukan gitu, maksud gue, ada gue, Jinendra.”

“Kak ...”

“Gue engga confess muka lo engga usah merah gitu, dimakan es krimnya, cair tuh lumer di tangan lo.”

“Jadi ... arsitektur?” tanya Felix sambil membukakan lunch box milik Abian. Tangannya mengambil potongan buah melon di dalam box dengan garpu dan menyuapi Abian.

Yang ditanya menganggukan kepala, “Melonnya manis. Kamu pinter milih buah ya?”

“Apaan itu kan Ibu yang beli bukan aku,” kata Felix, bola matanya berputar hiperbola. “Jangan ngalihin pembicaraan, Kak, jadi kamu mau ambil arsitektur?”

Abian meringis, “Sebenernya arsitektur itu plan A, aku belum punya plan B atau C, you know what i mean?

Felix mengangguk-anggukan kepala, tangannya masih sibuk dengan melon yang ia pegang. “Tapi SNMPTN bentar lagi loh, kak. Seenggaknya kak Abin harus udah mikirin back up plan.

Yang lebih tua tidak menjawab, ia malah melihat-lihat sekitarnya. “Kalau buat universitas aku kepikiran ITB atau mungkin UB, tapi jurusannya tetep arsitektur.”

“Ngebet banget arsi, ya?”

“Engga juga, aku udah bilang, aku engga punya rencana lain.”

Felix mengerti, remaja seperti mereka terkadang lupa kalau setelah masa SMA berakhir mereka harus sudah menyiapkan tujuan yang lebih serius untuk masa depan mereka. Ia juga sama seperti Abian tidak punya rencana untuk masa depannya nanti selain plan A yang sudah ia susun sejak lama.

“Kalau kamu gimana?”

Pikiran Felix buyar, ia menatap Abian, “Aku? Aku mau kejar beasiswa ke Aussie.”

Mendengar jawaban Felix, Abiandra seketika mengernyit, “Langsung ke Aussie? Engga akan coba di Indonesia?”

Felix menggelengkan kepalanya, “Engga tertarik.”

Kerutan di dahi Abian semakin tampak, ia mengerti kalau Felixiano itu jenius, tetapi kenapa ia bilang bahwa ia tidak tertarik untuk mencoba di negaranya?

Menangkap kebingungan di wajah Abian, Felix terkekeh, “Aku bukan engga mau di Indonesia, tapi kayanya udah cukup aja aku di sini. Aku mau tinggal di Aussie sama Chris.”

“Chris?” tanya Abian, ia semakin bingung dengan jawaban Felixiano.

“Iya, aku pernah cerita soal dia kan?”

“Yang kamu bilang orang penting di hidup kamu itu?”

Felix mengangguk semangat, senyumnya semakin lebar, “Aku bakalan ambil jurusan bisnis di sana, terus tinggal sama Chris dan Skylar.”

Tidak ada jawaban dari pacarnya, Felix jadi sedikit curiga, ia menolehkan kepalanya untuk memeriksa pacarnya. Yang ia lihat adalah Abian yang menundukan kepalanya dengan wajah yang tertekuk.

“Kenapa?”

Abian mendongak menatap Felixiano, “Kita LDR dong?”

“Oh iya,” jawab Felix dengan suara yang mengecil. Ia baru sadar kalau sekarang ia sudah memiliki Abian sebagai pacarnya, jika rencananya benar-benar terwujud dan Abian tetap meneruskan kuliahnya di Indonesia, mereka akan terpisah jauh.

“Tapi kan masih lama, kak.”

Hening.

“Kak?”

“Chris sepenting itu ya sampe kamu kelihatan pengen banget tinggal sama dia di Aussie.”

Ada nada yang tidak bisa Felix definisikan di kalimat yang meluncur dari mulut pacarnya itu. Ia sempat mengernyit sebentar sebelum akhirnya menyemburkan tawa.

“Iya lah kak, penting banget. Dia kan kakak aku.”

Felixiano baru saja menutup pintu rumah ketika ia mendengar dengan jelas suara Bunda berteriak dari ruang tengah. Ia sempat mengernyit bingung apa yang membuat bundanya begitu marah sebab ia sadar betul bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan.

Dengan jantung yang berdebar, Felix memberanikan dirinya untuk melangkahkan kaki ke arah suara. Kala ia sampai di ruang keluarga ia melihat Jinendra duduk di sofa sembari menundukan kepala, sementara Bunda berdiri di depannya dengan wajah yang terlihat murka.

Felix mengalihkan pandangannya saat Bunda melirik ke arahnya. Ia sempat bertukar tatap dengan Jinendra sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berbalik. Ia tidak tahu duduk permasalahan antara Bunda dan Jinendra, mungkin ini hanya kesalahpahaman, dan Bunda Jinendra tidak akan sampai hati memperlakukan Jinendra seperti dirinya.

“Bunda, Jiji juga pengin bebas kaya Fe.”

Langkah Felix terhenti kala namanya disebutkan.

“Apa yang Bunda lakuin ke Jiji selama ini juga engga adil, Bunda.”

Plak!

Felix memejamkan matanya kala suara tamparan itu terdengar nyaring, rasanya pasti sangat perih.

“JINENDRA! Kamu dan Felixiano itu berbeda. Makanya Bunda perlakuin kalian dengan beda, Bunda tahu apa yang terbaik buat kalian. Bunda cuma minta kalian nurut aja.”

Hening.

Felix masih tidak berani memutar tubuhnya, pun ia tidak berani untuk melangkah pergi dari tempatnya sekarang.

“Kita emang beda, Bunda. Tapi tetep aja Bunda terlalu engga adil!”

“JINENDRA!”

Dan teriakan kedua membawa keberanian Felix untuk memutar tubuhnya. Ia segera masuk ke ruang tengah dan menarik lengan Jinendra, membawa kembarannya dengan paksa dari sana.


Jinendra duduk di meja yang berada di depan mini market sambil menggoyang-goyangkan kakinya mengusir kebosanan. Beberapa kali ia melirik ke arah mini market tempat kembarannya yang sedang membeli entah apa di dalam.

Tidak lama kembarannya keluar dari sana dengan membawa sebungkus camilan dan dua kotak susu.

Jinendra menatap Felix yang sibuk menancapkan sedotan pada susu full cream miliknya, kembarannya itu juga sibuk membukakan sebungkus roti untuknya.

“Kenapa?” tanya Felix ketika ia sadar Jinendra tidak melepaskan pandangan darinya.

Yang ditanya tidak menjawab, ia hanya mengambil roti di hadapannya dan menyuapnya sedikit demi sedikit. Jujur ia memang lapar setelah tadi ia tidak sempat makan apa pun sebab terlalu panik menerima pesan dari Bundanya.

Felix terkekeh pelan, ia juga ikut menyantap roti miliknya. “Gue tahu lo masih marah sama gue, tapi gue engga bisa biarin lo sendirian.”

Jinendra diam. Jujur saja egonya masih di atas awan, ia tidak ingin memaafkan Felixiano begitu mudah. Rasa cemburunya masih sangat tinggi.

“Btw, makasih ya, Ji.”

“Hah?”

“Makasih udah bilang sama Bunda kalau perlakuan dia sama kita engga adil.”

Jinendra membeku.

“Gue selalu mikir, kalau jadi lo pasti enak banget ya? Bunda sayang sama lo. Lo anak sempurnanya Bunda.”

Jinendra menggeleng, “Jadi gue engga seenak yang lo kira, Fe. Semua yang gue lakuin udah diatur sama Bunda, gue capek.”

Felix tersenyum simpul, ia menepuk bahu Jinendra. Keduanya saling bertatapan sebelum akhirnya Felix menghamburkan dirinya dalam pelukan kembarannya.

Jinendra berniat untuk memesan ojeg online ketika ia keluar dari kelasnya. Jari-jarinya menari lincah di atas layar dengan mata yang fokus menatap layar ponselnya.

Laki-laki itu melangkahkan kakinya menuju gerbang depan ketika akhirnya ia selesai memesan ojeg online dan mendapatkan driver. Beberapa kali ia mengedrkan pandangannya ke sekitar untuk antisipasi ia akan melihat kembarannya dan Abian yang sedang ia hindari.

Setelah berjalan dari kelasnya, ia sampai di dekat gerbang menunggu driver yang akan menjemputnya.

“Di sini ternyata. Gue tungguin di depan kelas kok engga kelihatan perginya tadi?”

Kepala Jinendra seketika memutar ke sebelah kirinya, tepat dimana seseorang yang tiba-tiba menggenggam tangannya dan berbicara padanya. Ia sudah bersiap untuk menghempas genggaman itu kala matanya bertemu dengan jelaga hitam milik kakak kelasnya.

Laki-laki scorpio itu tersenyum kepadanya membuat Jinendra mengurungkan niat dan membiarkan tangan Kirino menggenggamnya.

“Ngapain nungguin gue?”

“Kan mau jalan.”

Mata Jinendra membulat, “Tadi bilangnya kalau gue bolos lo engga mau.”

Kirino menggedikan bahunya. Melihat respon itu Jinendra terkekeh, “Tapi gue udah pesen gojek loh.”

“Engga apa-apa, jangan di-cancel nanti gue yang bayar.”

Belum sempat Jinendra menanggapi perkataan Kirino, sebuah motor berhenti di hadapan mereka. Bapak berjaket hijau itu mengambil ponselnya, “Jinendra.”

Jinendra segera menghampiri motor itu, disusul Kirino di belakangnya.

“Pak, dia engga jadi naik,” ucap Kirino ketika bapak itu memberikan helm kepada Jinendra. “Tapi saya bayar, kok. Bapaknya bisa ikutin rute sesuai pesanan aja biar nambah poin bapak,” lanjutnya sebelum bapak itu menjawab apa-apa.

Kirino memberikan selembar uang limapuluh ribu kepada bapak itu sambil mengatakan tidak perlu memberikan kembalian. Setelahnya driver ojeg online itu menancap gas meninggalkan mereka.

“Jadi lo mau jalan kemana?” tanya Jinendra.

“Gojek yang lo pesen tadi mau ke mana?”

“Kelapa Gading.”

Kirino mengernyit, “Lo mau ke mall?”

Sementara Jinendra menggedikan bahu dan berjalan mendahului Kirino menuju parkiran.


Felix mengernyit kala hazel-nya menangkap laki-laki yang sekarang berstatus pacarnya itu duduk di depan perpustakaan sambil menatap ponselnya.

“Kak Abin ngapain di sini?”

Yang ditanya menyimpan ponselnya dan menatap Felixiano sambil menyunggingkan senyum pada laki-laki virgo itu.

“Hai!” ucapnya.

Felix terkekeh, ia mengambil tempat di sebelah Abian, “Ngapain di sini?”

“Nunggu pacar aku.”

Wajah Felix seketika berubah merah. Namun dengan cepat Felix segera mengehela napasnya untuk menetralisir debar yang ia rasakan, “Aku kan tadi bilang engga usah nungguin aku, lama tau.”

Abian mengusak surai Felix gemas, “Engga enak kalau pulang sendiri.”

Mendengar jawaban Abian, Felix mengernyit, “Kenapa? Bukannya enak ya? Jadi ringan jok belakangnya kosong.”

“Engga. Engga enak, engga ada yang peluk.”

Plak

“ADUH SAKIT LIXIE!”

Refleks tangan Felix memukul paha Abian, wajahnya memerah padam lebih merah dari sebelumnya. Ia memang selalu memeluk Abian di atas motor, kadang ia bahkan sengaja menyelipkan tangannya ke dalam saku jaket Abian. Hanya kebiasaan kecil, ia tidak tahu Abian akan menggodanya begini.

“Aku engga akan peluk lagi!”

Abian tertawa, “Kalau kamu engga peluk, aku engga akan jalanin motornya.”

“Ya udah aku pulang naik busway!”

“Memangnya tega?”

“Ya iya.”

“Yakin?”

“Tau ah!”

Felix mengerucutkan bibirnya, dengan wajah yang dibuat seakan merajuk. Sementara Abian terkekeh geli.

Keduanya terdiam, hingga Felix membuka ponselnya. Tidak sengaja Abian menangkap laki-laki virgo itu menatap chat room-nya dengan sang kembaran, terlihat laki-laki pecinta tupai itu sama sekali tidak membalas pesan Felix.

Laki-laki virgo itu menghela napasnya dan menyimpan kembali ponselnya dalam kantung celananya. Ia menunduk sesaat.

“Engga usah sedih gitu,” kata Abian sambil mengusak surai Felix, “Nanti kamu ngomong langsung aja sama Jiji.”

Felix tersenyum kecil sambil mengangguk. Tidak lama setelahnya pembimbing olimpiade yang Felix tunggu datang, ia segera pamit pada Abian dan masuk ke dalam perpustakaan.

“Kamu jadinya cuma beli mie rebus?” tanya Abian ketika Felix kembali dari deretan kedai di kantin sekolah.

Yang ditanya tersenyum kecil sambil memperlihatkan dua butir telur rebus yang juga ia beli di kedai mie.

“Sama telur rebus,” katanya, ia meletakan satu telur di sebelah mangkuk bakso milik Abian. “Satunya buat Kak Abin.”

Abian mengambil telur itu dan mengupasnya. Ia lalu memisahkan putih telur dan kuning telur miliknya, setelahnya ia menaruh putih telur miliknya di mangkuk mie milik Felix, dan mengambil kuning telur milik Felix.

Felix memperhatikan semuanya dalam diam, “Thank you.”

Yang lebih tua terkekeh, “Makan yang banyak!”

Keduanya langsung kembali fokus pada makanan masing-masing. Mata Felix mengedar ke sekitar mencri sosok dua manusia yang biasanya mengganggu mereka, “Kak Iga sama Kak Yoffie mana?”

Abian mengernyit, “Iga ke ruang club, Yoffie ngikut katanya engga mau ganggu.”

“Dih, ganggu apaan, padahal seru kan makan rame-rame.”

Abian terkekeh. Ia melanjutkan makannya. Sementara Felix kembali mengedarkan pandangannya hingga matanya menemukan Jinendra yang berjalan dengan kepala celingukan mencari bangku kosong.

“Ji! Sini!” Felix memanggilnya sambil melambaikan tangan.

Abian menoleh ke arah Jinendra, ia yakin kalau laki-laki itu melihat ke arah Felix, tetapi bukan seperti biasanya Jinendra malah acuh dan melenggang keluar dari kantin.

Sejurus kemudian ia melirik pacarnya dan menemukan laki-laki itu tersenyum kecut sembari melanjutkan makanannya.

“Kalian berantem?” tanya Abian, memang bukan urusannya hanya saja agak aneh melihat si kembar ini tidak akur, apalagi jika Jinendra yang menghindari Felix.

Yang ditanya menggedikan bahu, “Engga tahu, dia tiba-tiba marah.”

“Tiba-tiba?”

Felix mengangguk.

“Jadi kamu kemarin maksa nginep di apart Eric karena berantem sama Jiji?”

Felix mengangguk lagi. “Abis engga enak kan kalau serumah diem-dieman. Terus bete juga kemarin dia bentak aku.”

“Udah tanya kenapa? Kamu buat salah?”

Kali ini Felix menggeleng, “Aku engga salah apa-apa deh.”

“Mau kubantu tanyain engga?”

“Engga usah, nanti aku sendiri yang tanya.”

Abian menganggukan kepala, ia mengelus surai Felix sebelum akhirnya kembali sibuk dengan makanannya.