Amara.

Happy ending

“ERIKA COWO LU BERANTEM LAGI!”

Suara teriakan yang menggema ke seluruh ruang kelas mengalihkan perhatian semua orang yang kini tengah merapikan isi tasnya sebelum pulang. Seluruh mata menatap sumber suara sebelum beralih menatap seseorang bernama Erika yang kini tengah berapi-api.

“LAGI?!” sahut Erika balik.

“Buruan! Tuh orang udah hampir bonyok!” seru seseorang sebelumnya.

“Bentar, Din. Kasih tau aja dimana dia,” jawab Erika.

“Anjir dah lu! Di lapangan basket mereka. Buruan ke sana,” ajak Adin setengah memaksa.

“Oke, oke, ayo ke sana!”

Mereka berlari meninggalkan ruangan menuju lapangan basket seperti yang Adin terangkan. Seperti dugaan, benar adanya kini kekasih Erika tengah mencengkram erat leher lelaki di hadpaannya dengan kilatan emosi di kedua matanya. Keduanya sudah nampak lusuh penuh debu dan darah.

“SAN!”

Erika berteriak berupaya menyadarkan kekasihnya untuk segera berhenti. Sontak San, lelaki yang tengah mencengkram leher seseorang di hadapannya, langsung terdiam dan melepas cengkramannya. Perhatiannya teralih kepada Erika yang berlari mendekat kepadanya.

“Erika sayang sudah pulang?” tanya San dengan senyum mengembang. Seolah amarah yang sebelumnya telah lenyap entah ke mana.

Erika melipat tangannya di depan dada dan sesekali menghembuskan nafas kasar penuh kekesalan.

“Ayo jelasin kenapa ini?” ketus Erika.

San segera mengalihkan pandangannya dan menatap bebarapa orang yang berada di sana untuk segera pergi meninggalkan mereka.

“Sana-sana bubar, pulang sana,” lirih San mengusir beberapa orang termasuk lelaki yang adu jotos dengannya.

“San ... ayo jawab!”

Erika menggertak, menahan amarahnya.

San mengusap tengkuk belakangnya, tersenyum takut-takut dan berbisik, “Soalnya dia gangguin pacar San, mana ngatain murahan pula. Siapa yang gak marah!”

San menutup kalimatnya dengan emosi sebelum ia kembali menunduk takut, ia menghindari tatapan mengintimidasi dari Erika.

“Terus?” tanya Erika.

San mendongak tak paham apa yang wanitanya maksud.

“Terus apanya? Ya gue pukul lah bisanya ngomong kek gitu!”

San kembali berapi-api, ia teringat saat di mana ia mendengar kekasihnya direndahkan oleh sekelompok lelaki dari jurusan lain.

Erika tanpa sadar tersenyum, ia menurunkan lengannya dan menghampiri kekasihnya.

“Bagaimana aku tidak takut duniaku runtuh tanpamu bila setitik luka saja tak kau biarkan mendekat?” kata Erika dengan senyuman.

Erika merentangkan tangannya, merengkuh tubuh tinggi San dan mengusap punggungnya. Ia merasa sangat bersyukur telah dipertemukan dengan kekasihnya. Sedang San hanya terdiam, ia masih setengah merasa bersalah juga takut bila apa yang ia lakukan terlalu berlebihan di mata Erika.

“San, terima kasih untuk selalu melindungiku, tapi semua tak melulu diselesaikan dengan kepalanmu sayang, sejujurnya dibanding takut dihina mereka, aku lebih takut engkau hilang dan terluka.”

Erika memeluk erat kekasihnya, kalimat yang ia lontarkan jujur dari relung hati yang terdalam. Ia terlalu mencintai kekasihnya, hingga tak sanggup meninggalknnya.

“Gak ada yang hilang ataupun terluka, Sayang. Jangan khawatir, membuatmu bahagia adalah salah satu tujuan hidupku. Maaf bila kali ini terlalu berlebihan, jangan marah, yaaa,” rayu San.

San merajuk dengan memeluk Erika erat. Sesekali tubuhnya digoyang-goyang guna menggoda kekasihnya. Erika terkekeh kecil sebelum ia mengangguk kecil.

“Udah, ah, yuk pulang,” ajak Erika.

Erika melepas pelukannya dan berjalan menuju keluar lapangan diikuti San yang masih menggandeng tangannya di belakang.

“Ntar peluk semaleman, gak pake nolak, yaaa!”

Lagi-lagi San merajuk dan hanya dibalas anggukan oleh Erika. Sore yang menjadi saksi tentang mereka yang telah saling menemukan.

Apa yang terjadi sore tadi masih terekam jelas dalam benak Aurora, gadis yang kini termenung dalam gelap kamar lembabnya. Sengaja memang ia tak menyalakan lampu karena setiap sudut kamarnya mengingatkannya akan lelaki itu, Tian.

Kejadian di kafe di mana Tian mengenalkannya pada kekasih barunya, menyadarkan Aurora akan dua hal. Pertama, tentang bagaimana semua ini berawal. kedua, tentang bagaimana ia akhirnya terjatuh pada rangkaian kisah cinta semu yang ia angankan. Ya, semua bermula dari teman cerita dan tak lebih dari itu. Namun, kini ia seperti terhantam keras oleh kenyataan, bahwa nyata adanya hanya ia yang jatuh cinta di sini atau memang sejak awal ia jatuh cinta pada ekspetasi semu yang ia bangun seorang diri.

Ironi, memang. Aurora selalu menganggapnya rumah, tetapi faktanya Tian hanya ruang petak yang ia sewa dari seseorang yang sedang menantinya pulang.

Kau datang tak kala sinar senjaku telah redup. Dan pamit ketika purnamaku penuh seutuhnya. Kau yang singgah tapi tak sungguh. Kau yang singgah tapi tak sungguh. Kukira kau rumah. Nyatanya kau cuma aku sewa. Dari tubuh seorang perempuan. Yang memintamu untuk pulang. Kau bukan rumah.

Aurora memutuskan untuk berbaring di atas kasur hangat dengan sisa-sisa kisah keduanya. Ia meletakkan lelahnya, berharap esok kan membaik.


Mentari menyelinap masuk di antara jendela kamar Aurora, membuat si empunya mengerjap dan terbangun dari tidurnya. Tangannya perlahan meraih ponsel, menatap puluhan pesan singkat dan tumpukan panggilan tak terjawab. Sontak ia menatap tajam dan terbangun seutuhnya menatap isi pesan yang masuk.

Segera ia bangkit dan menghubungi satu nama, Winar. Berharap hal buruk tak terjadi pada pemuda itu. Dengan cepat ia menuju kamar mandi dan bersiap dengan kilat.

Kini ia telah berdiri di ruang tengah rumahnya. Sebenarnya ia ingin menyampaikan pesan kepada Echan yang masih terlelap, tapi ia urungkan dan segera ia berlari menuju mobilnya yang ada di garasi.

Tangkas ia menggerakkan kemudi dengan satu tangan dan tangan satunya untuk menghubungi Winar yang sejak tadi tak ada jawaban. Jiwanya yang lelah membuatnya semakin kalut, tanggung jawab yang ia emban sontak membuatnya harus berpikir logis di tengah rentetan peristiwa yang ia alami. Tian dan kisah cintanya yang kandas atau bahkan Echan dengan pengakuan terlarangnya, dan kini bertambah dengan Winar dengan skandal besar yang tercipta di tengah popularitasnya.

Teringat satu nama dalam benak Aurora, sejatinya di saat seperti ini ia akan menghubungi Tian guna menenangkannya tapi kali ini berbeda. Winar masih tak bisa dihubungi, satu-satunya orang yang paham akan Winar hanya Naya. Yakin ia menghubungi Naya dengan harapan akan menemukan sebuah pertunjuk tentang keadaan Winar.

“Halo, Nay, ini Kak Aur,” kata Aurora sedetik setelah panggilannya terhubung.

/“Ah iya kak, kenapa?”/

“Di mana?” lanjut Aurora.

/“Kampus, lagi ujian.”/

“Aah, maaf, yaa. Sebelumnya tahu Winar di mana?” tanya Aurora.

/“Dirumah, mungkin. Aku gak tahu kabar dia dari semalam, Kak. Maaf aku sibuk.”/

“Aah, maaf, maaf. Nay password rumah Winar apa ya?” tanya Aurora.

/“Itu 120613. Maaf, ya, kak aku tutup, bye.“/

“Okaay, thanks yaa.”

Naya menutup panggilan tersebut. Terkesan aneh sebenarnya bagi Aurora karena Naya tak biasanya seperti ini, tetapi ia mencoba menepis apa yang ada dalam pikirannya dan kembali fokus menyetir.


Aurora berulang kali mengetuk pintu rumah Winar, masih berprasangka bahwa Winar baik-baik saja dan membukakan pintu untuknya, menyambutnya masuk dan mendiskusikan masalah semalam. Namun, tidak, Aurora sudah genap berdiri dua puluh menit di depan pintu. Tanpa sahutan den respon apapun. Kesabaran Aurora sudah di ujung, segera ia memasukkan kode rumah Winar yang ia terima sebelumnya. Langkahnya tergesa masuk setelah ia berhasil masuk dan memutar kenop pintu.

Hening tanpa suara.

Langkahnya melambat saat tiba di depan kamar Winar yang sedikit terbuka. Sontak matanya membulat, terkejut ketika mendapati Winar yang tergeletak di lantai dengan puluhan obat tidur tercecer.

“WINAAAR!” teriak Aurora terkejut.

Tak ada respon dari lelaki itu. Cepat Aurora menyeret tubuh Winar keluar rumah menuju mobilnya. Ia sadar tak bisa memanggil bantuan karena akan banyak masalah yang terjadi bila lebih banyak orang yang tahu.

Khawatir menyelimuti wajahnya, kini yang ada dalam benaknya hanya tersisa pikiran bagaimana agar Winar segera sadar. Sejak tiba di IGD, Aurora tak lepas pandangan dari Winar yang sedang ditangani. Tak lama ponselnya berdering, Tian menghubunginya lagi.

Aurora mengabaikan ponselnya yang berdering, sengaja memang karena ia tak ingin pikirannya semakin tergangu. Tak lama Tian mengirimi ia pesan singkat.

59-A817-B0-FBC9-48-DE-9-F87-1-EAECFCC6033

Pesan singkat yang sungguh menusuk hari Aurora, entah apa yang ada di dalam otak Tian saat mengetik pesan itu. Mati-matian ia menahan air mata yang nyaris jatuh, tak mungkin ia meratapi nasib di sini sedang Winar masih tak sadarkan diri.

Tak lama dokter datang menghampirinya, menepuk pelan pundak Aurora yang kini tengah tertunduk memandang lantai.

“Dia sudah sadar, bisa dipindahkan ke ruang rawat inap,” jelas dokter itu singkat sebelum ia meninggalkan Aurora.

“Ah, terima kasih, Dok!”

Aurora berlari menuju bangsal Winar, mendampinginya berpindah tempat menuju ruang rawat inap. Di tengah perjalanan picing matanya mendapati seseorang yang ia kenal. Seketika langkahnya berhenti dan menghampiri pria tersebut.

“LO GENDRA KAN? NGAPAIN DI SINI?” teriak Aurora.

Sontak seluruh pasang mata yang ada di lobby rumah sakit menatapnya dan membuat pemuda di hadapannya terkejut.

“Astagfirullah, Toa Masjid, bisa gak sih pelan-pelan?”

Lelaki bernama Gendra nampak panik meminta maaf kepada seluruh orang yang menatap mereka aneh dan menarik Aurora untuk keluar menuju taman rumah sakit.

“Ish, lepasin, jelasin coba ngapain lo ke sini. Pasti nyari gosip Winar kan?” cecar Aurora penuh curiga. Ia tahu Gendra adalah jurnalis dari salah satu infotaiment ternama, sudah jelas berita Winar menjadi incarannya.

“Ampun dah, gue tuh ke sini mau periksa. Eh, taunya ketemu lo di lobby, kan lumayan ada berita gratisan,” jelas Gendra dengan cengengesan.

“Kurang ajar lo! Gue lagi pusing, kagak paham ini kenapa lu malah manfaatin,” murka Aurora.

“Udah, udah, sini duduk dulu, jelasin ke gue ntar gue bantuin deh. Ya walaupun sekalian gue nyari berita sih. Hehehehe.”

Gendra menunjuk kursi taman di dekatnya dan meminta Aurora untuk duduk bersamanya.

“Semalem tuh gak ada apa-apa, baru pagi tadi gue liat notif chat gue isinya pada nanyain Winar. Pas gue baca taunya isinya skandal Winar nelantarin pacar sama anaknya. Aslian gue kaget dong. Sejak kenal Winar, gue cuman tau dia punya pacar satu dan bukan yang diberitain itu. Yang jelas, tuh cewek yang di berita, kenal Winar dari sebelum kerja bareng gue,” jelas Aurora.

Gendra mencoba menyimak penjelasan Aurora, otaknya berusaha mencerna penjelasan Aurora.

“Terus lo belum tau dari Winar ceritanya gimana?” tanya Gendra.

Aurora menggeleng dan berkata,” tadi pagi gue ke rumah Winar dan nemuin dia udah pingsan overdosis obat. Pacarnya juga gak ngasih penjelasan soalnya lagi sibuk ujian.”

Gendra mengangguk, memahami apa yang sedang Aurora pikirkan.

“Jadi di sini lo juga gatau Winar beneran seperti yang dituduh atau semua cuma isu, ya, kan?” tanya Gendra yang disambut anggukan dari Aurora.

“Terus apa yang bakal lo lakuin? Jelas dong kontrak-kontrak Winar di ujung tanduk nih,” tanya Gendra kembali.

“Yang jelas gue nanya Winar dulu dia mau apa dan yang pasti gue percaya dia. Gue bakal dampingi dia apa pun itu,” terang Aurora mantap.

“Widiih keren, oke nih. Ada patutnya lo juga harus nyari tau tentang nih cewek, Ra. Rada mencurigakan sih dia,” kata Gendra.

“Pastinya, tapi gue sendirian, gak mungkin minta bantuan orang lain,” jelas Aurora putus asa.

“Lah gue ada,” jawab Gendra dengan mata berbinar dan senyum merekah.

“Ntar lo bikin berita,” ketus Aurora.

“Ya namanya nyari duit, gimana sih lo. Lumayan kita sama-sama untung, masalah lo beres dan gue dapat berita,” jelas Gendra berusaha meyakinkan Aurora.

Aurora berfikir sejenak, sesekali jemarinya mengusap dagunya terkesan sangat mempertimbangkan ucapan Gendra.

“Oke, gue setuju. Tapi, tiap berita yang lo buat gue liat dulu bakal ngerugiin gue atau enggak,” tegas Aurora.

“YES!” teriak Gendran dengan tangan terkepal ke udara.

“Udahlah sekarang temenin gue ke Winar, kali aja udah sadar.”

Aurora beranjak dari duduknya melangkah menuju ruangan Winar dan meninggalkan Gendra yang masih senyum-senyum tidak jelas.


Aurora dan Gendra berdiri tepat di depan bangsal Winar. Keduanya menatap nanar Winar yang tengah tidur dengan wajah memucat.

“Ra, kalo gini gue makin yakin isu itu cuman akal-akalan orang yang mau jatuhin dia,” bisik Gendra tepat di telinga Aurora.

Aurora mengangguk kecil, menyetujui pendapat Gendra.

Winar terlihat menggerakkan tubuhnya, ia mulai tersadar. Sigap Aurora menghampiri Winar dan duduk di sampingnya.

“Winar!” teriak Aurora.

Winar mengerjap, mencoba mengumpulkan kesadarannya.

“Kak, ini di mana?” lirihnya.

“Rumah sakit, bego segala obat tidur dimakan semua,” omel Aurora.

“Maaf ....”

Winar menunduk mengalihkan pandangannya dari mata Aurora yang membara.

“Okey, anggap kejadian semalem lo iseng. Tapi, bisa jelasin gak skandal yang ada?” tanya Aurora penuh selidik.

Winar menatap sekilas Aurora dan bergantian menatap Gendra yang tengah terdiam melipat tangan dan mantapnya.

“Jadi semalem habis ketemu lo, gue balik ke temen-temen. Di sana ada temen gue dulu, dia Kanalia. Kana rekan gue semasa jadi model lepas, sejak awal dia terobsesi sama gue sampe segala cara dia lakuin termasuk sengaja nyebar aib mantan gue atau bahkan ngedeketin ortu gue dengan cara gak wajar. Sampai suatu ketika kita lagi ngerayain ulang tahun salah satu temen, kita rayain di bar gitu. Sejak awal gue emang gak pengen mabuk soalnya sadar besok ada jadwal kontrak iklan merk lokal. Tapi, sejak gue keluar sebentar buat jawab telpon, minuman yang gue minum bikin gue mabuk parah. Tanpa sadar gue udah di kamar dan samar gue liat dia, sisanya gue gak inget dan besok paginya gue udah berantakan gue panik dan giliran gue buka hp ternyata kontrak gue iklan dibatalin sepihak. Gue pulang dalam keadaan linglung dan yah itu terakhir kali gue liat Kana sebelum gue nemuin kalo iklan gue di gantiin dia sedangkan alesan pihak merk gue yang ngechat mereka batalin semua. Aneh emang, syukur aja gue gak dimintain ganti rugi dan lain-lain,” jelas Winar.

Aurora terdiam mencerna penjelasan Winar tentang siapa itu Kanalia. Tampaknya dugaan Gendra bahwa wanita ini mencurigakan benar adanya.

“Terus sekarang lo tau gak apa tujuan dia?” tanya Aurora.

“Semalem dia cuma bilang tunggu kejutan dari dia, setelah kabar ini keluar pas gue tanya apa mau dia, dia jawab 'mau hidupmu apapun yang ada di hidupmu'.”

Winar menunduk, pikirannya kini semakin kacau.

“Oh, oke, gue paham sekarang. Mending kita mulai selidikin motif dia kenapa dulu,” sahut Gendra.

Winar dan Aurora menatap seksama Gendra, mengamati apa yang barusan Gendra lontarkan.

“Ngomong-ngomong bukannya dia jurnalis gosip, ya?” tanya Winar heran.

“Oh, emang sih. Tapi gak masalah dia temen kuliah gue, aman. Dia mau bantuin kita kok,” jelas Aurora sembari menepuk pundak Gendra.

Gendra mengangguk berusaha meyakinkan.

“Sama gue gak masalah, gue beneran niat bantuin. Yaaa, sambil nyari berita juga sih,” ujar Gendra dengan senyum lebar.

Winar mengangguk paham, sejatinya ia pasrah dengan semunya.

“Terus lo ada ide kagak?” tanya Aurora pada Gendra.

“Ada, tapi gue butuh waktu buat nyari tahu siapa Kana dan motif di baliknya,” terang Gendra.

Aurora menghembuskan nafas panjang, “oke, kita mulai aja.”

“Kasih gue waktu ntar gue kasih apa aja tentang dia,” kata Gendra dengan penuh keyakinan.

“Boleh, selama Winar masih dirawat kita ada waktu buat semuanya,” ujar Aurora mantap.

Winar menunduk lirih ia berkata, “makasih, kak.”

“Udah, penting lo sehat dulu.”

Winar mengangguk, mengiyakan. Setidakny hatinya sedikit lega.

“Udah gue balik dulu, bye!”

Gendra keluar dari ruangan meninggalkan keduanya. Walau belum ada jawaban yang pasti, namun secercah harapan sudah terasa di hati Winar maupun Aurora.


Sebulan berlalu, Winar sudah pulih dan dipersilahkan pulang dari rumah sakit.

“Gendra bilang dia punya berapa kecurigaan tentang Kana, coba buka email udah gue kirim kesana.”

Aurora lamat menatap layar laptop di hadapannya, bersamaan dengan Winar yang tengah duduk di seberangnya. Mereka tengah bersiap untuk membuat pembelaan atas gugatan yang Kanalia ajukan ke kepolisian.

Benar, tepat tiga hari setelah skandal Winar santer di media, pihak kepolisian mengirimkan surat pemanggilan terhadap Winar sebagai tergugat. Namun, karena belum ada izin dari pihak rumah sakit, pemanggilan ini ditunda hingga kondisi Winar membaik.

Selama sebulan ini Aurora sibuk dengan banyak urusan terlebih harus bolak-balik rumah sakit dan kantor. Data-data yang Gendra berikan cukup mampu digunakan sebagai bukti atas pembelaannya.

“Oh, oke. Jadi, kapan kita maju?”

Winar mantap siap mengambil segala resiko yang ada, tujuannya jelas ingin menuntaskan semua permasalah ini tanpa merugikan pihaknya terutama karirnya.

“Secepatnya, tapi Win, emang kamu siap seandainya sampai harus dipenjara selama proses penyelidikan?” tanya Aurora ragu-ragu.

“Udah resiko gak sih? Mau gimana lagi coba,” ujar Winar pasrah.

Aurora menatap Winar nanar, tak menyangka semua kan seperti ini.

“Oh, ya, kak Tian kemana? Kok gak pernah liat,” tanya Winar.

“Entah, ilang sama pacar barunya.”

Winar mengernyit heran, ia tak pernah mendengar kabar tersebut. Setahunya Tian hanya bersama Aurora seperti sepasang kekasih.

'Drrtt'

Ponsel Aurora bergetar, tanda panggilan masuk. Nama Tian tertera di layar, malas Aurora mengangkat panggilang itu.

“Kenapa?” sahut Aurora.

“Oke, tunggu gue.”

Aurora segera menutup panggilannya, ia beranjak dari duduknya dan memasukkan ponsel ke dalam tas.

“Gue balik dulu, Tian dateng,” pamit Aurora.

Winar mengangguk mempersilahkan Aurora untuk pergi. Ia masih berada di sana karena ada benerapa hal ynag harus ia tuntaskan.


Aurora perlahan memarkirkan kendaraannya di garasi, disana sudah terparkir rapi kendaraan milik Tian yang entah sejak kapan ia tiba. Pintu ruang tamu terbuka sedikit, menampakkan pemandangan yang tak asing sebulan lalu. Sepatu adidas hitam yang dilukis acak dan jaket yang tergeletak di atas sofa, semua nampak seolah hanya ilusi berapa saat ini namun sekarang terasa nyata.

“Aurora!”

Tian memekik bahagia dan segera memeluk temannya erat. Sejujurnya ia sudah rindu sebulan tak berjumpa. Sedangkan respon berbeda yang Aurora tampakkan. Ia justru terdiam membeku dengan dagu yang terlipat, kesal.

“Sejak kapan lo disini?” tanya Aurora.

Tian melepas pelukannya dan beralih menuntun Aurora untuk duduk di sofa, disisinya.

“Tadi pas telpon, udah makan?”

Raut bahagia tak lepas dari wajah Tian, tangannya sibuk mengupas jemari Aurora lembut.

“Kok lu kesini? Cewe lo mana?” cecar Aurora.

Tian menghembuskan nafas dan berkata, “ dia masih di Bali, kontraknya diperpanjang. Gue gabisa nemenin, lagian gue juga kangen lu.”

Senyum lebar kembali merekah di wajah tampannya, bak mendapatkan hadiah. Berbanding terbalik dengan Aurora yang masih bermuka masam.

“Udah gue bakal gantian nemenin lu sekarang,” ujar Tian.

Tiba-tiba ia merentangkan tangannya.

“Sini peluk,” lanjutnya

Aurora membeku, ia tak bergeming. Otaknya masih mencerna semua yang ada dan berdebat dengan akal sehatnya, masih ingat jelas bagaimana Tian terakhir kali bahkan ia juga masih ingat bau parfum yang kekasih Tian kenakan.

Karena tak mendapatkan respon apapun, Tian memutuskan melangkah mendekati Aurora merengkuh tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di pundak kecil Aurora.

“Gue kangen,” bisik Tian dengan tangan mengusap perlahan punggung Aurora.

Sontak akal sehat Aurora mati, kini ia dipenuhi perhatian yang ia rindukan. Segala hal yang ada pada Tian sungguh ia rindukan. Sejujurnya ia ingin meletakkan bebannya dan berbagi bersama Tian.

Aurora membabalas pelukan Tian dan berbisik, “gue juga, selamat datang ke rumah, sayang.”

Tian tersenyum tipis, ia kembali menegakkan kepalanya dan menatap kedua mata Aurora lamat.

“Gue akan selalu pulang kerumah, sejauh apapun gue pergi.”

Aurora terlarut dalam buaian, semua kenangan buruk terhempas begitu saja. Kini ini justru bergelayut manja dipelukan Tian, mencurahkan segala kerinduannya.

Dekapan hangat itu perlahan ditambah kecupan singkat diperpotongan leher Aurora dan perlahan berpindah dihadapan bibir ranum miliknya. Ciuman panaspun tak terelakkan, belaian tangan dari balik kauspun kini berpindah menelusup dan meraba permukaan kulit halus Aurora.

Aurora yang tengah duduk dipangkuan Tian, semakin memperdalam ciumannya. Tautan lidah mereka saling membelit meluapkan jutaan rindu nan cinta keduanya.

“Sejauh apapun, bibir indahmu akan selalu jadi candu bagiku,” ujar Tian sejenak setelah tautan mereka terlepas.

Keduanya meraup nafas dalam-dalam, dua manik mata yang saling beradu, menyelam kedalam relung jiwa masing-masing.

“Mulutmu manis, tapi racun bagiku dan bodohnya aku suka.”

Aurora sudah tenggelam dalam permainan, kini ia terbaring diatas sofa dengan baju terkoyak dan Tian yang tengah menjilat vagina. Sesekali ia menghisap klitoris merah Aurora, tangannya tak tinggal diam, sengaja ia mainkan kedua payudara sintal milik Aurora diremas kuat hingga menimbulkan leguhan merdu dari bibir si empunya.

“Bisa gak sih langsung intinya? Kebanyakan intro gue lemes duluan,” omel Aurora sembari menjambak rambut Tian.

Kekehan kecil keluar dari mulut Tian sebelum ia meniup-niup vagina Aurora. Dengan sengaja ia langsung memasukkan dua jarinya kedalam lubang Aurora, menusuknya dan mengocoknya kasar.

“Good boy hzzzzz,” rancau Aurora.

Satu tangan sibuk mengoyak lubang Aurora, sedang satu lagi tangannya melepaskan ikatan celananya dan mengeluarkan penis besarnya yang sudah tak sabaran.

“Baru sebentar ditinggal, lubangmu sudah sangat lapar rupanya.”

Tian merubah posisinya mensejajarkan peninya tepat dihadapan lubang Aurora. Siap untuk masuk. Dengan perlahan Tian memasukkan penisnya, karena ia tak ingan Aurora kesakitan.

'Jleb'

Aurora mencengkram kuat lengan Tian, melampiaskan rasa sakit di inti tubuhnya.

“Aaahhh masih sangat sempit, apa lu gak main sama echan?” tanya Tian.

Pinggulnya sudah bergerak maju mundur, perlahan dikeluarkan dan melesak masuk menghujam tepat di titik kelemahan Aurora.

“SHIT! Aaahhhh ... dia pulang ke rumah papanya, entah il-anghhh …”

Aurora merancau dan mendesah tanpa jeda, mulutnya tak henti memanggil nama Tian tanda kepuasannya. Tian hanya tersenyum miring, dibawahnya kini Aurora penuh dengan kuasanya. Sodokkannya kini dipercepat, dengan agresif ia mengeluar masukkan penisnya yang sudah membesar.

“Mari kita akhiri dengan cepat, Sayang~”

Tian merubah posisi menjadi duduk, kini Aurora ada dipangkuannya dengan penis yang masih menancap. Payudaranya dihisap kuat disela-sela naik turunnya tubuh Aurora.

Keduanya sudah dimabuk nafsu. Aurora semakin kencang menarik rambut Tian melampiaskan kepuasan dirinya. Penis Tian semakin membesar dan memenuhi lubang Aurora.

“Keluar bareng aja yuk, sekali-kali.”

Tian berbisik dengan nada sensual tepat ditelinga Aurora. Kini keduanya mmepercepat tempo permainan.

“Sekaraaang aahhhhhh .....”

Aurora mendesah panjang kala keduanya melakukan pelepasan, rahimnya sudah dipenuhi cairan cinta milik Tian. Hangat dan memuaskan itu yang dirasakan Aurora saat ini. Ia jatuh terkulai di pelukan Tian.

“Gak ada yang hisa ngalahin permainanmu, beneran. Terimakasih, maaf, love you. Sahabatku,” bisik Tian sebelum keduanya bangkit dan berpindah masuk kedalam kamar.

Aurora terlallu lemas untuk menanggapinya, ia memilih untuk tidur dipelukan Tian dan berharap semoga semua ini hanya mimpi.


Denting jam berbunyi, hembusan angin malam perlahan masuk kedalam kamar yang gelap.

Aurora terbangun dari tidurnya, sekilas ia melihat sesosok lelaki tengah duduk ditepian jendela kamarnya. Ia hanya terdiam dan menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut.

“Sudah bangun?”

Tian tersenyum disela hembusan asap rokoknya.

Aurora mengangguk kecil.

“Ngapain pulang kesini?” lirih Aurora.

Tian menengok sejenak, “karena kamu rumah ku.”

“Bullshit! hahaha”

Tawa getir Aurora memenuhi ruangan yang sunyi.

Tian terdiam, ia masih sibuk memandang langit dan menghisap rokoknya.

“Kamu egois, entah mengapa gue merasa jahat. Padahal gue korban, aah apa gue udah terjebak? nyatanya mengatakan aku kamu lebih terasa nyaman dibandingkan gue lu yang layak di sanding untuk kita, yang cuma sahabat.”

Aurora menunduk dalam, tak berani ia menatap mata Tian. Terlalu getir hatinya.

“Gue yang salah, gue yang egois dan gue yang jahat, Ra. Bukan lu, jangan nangis, lu gak salah.”

Aurora menatap sedikit lelaki di hadapannya.

“Emang, tapi bisa gak sih lu milih satu aja? DAN ITU GUE?!”

Aurora menekankan kalimat terakhir, kalimat yang puluhan hari ia pendam.

“Enggak, lu rumah begitupun dia. Kalian rumah, dan gak mungkin gue ninggalin kalian buat milih.”

Tian menjawab dengan tenang, tangannya mulai mengambil satu putung rokok lagi.

“Brengsek, lu beneran brengsek! Gimana bisa lu jadiin gue rumah, kalo lu punya yang lain?!”

Tian menatap lamat Aurora, “pas lu sama Adam, gue juga rumah lu kan? Sekarang sama saja.”

Skakmat, Aurora seakan ditonjok tepat di ulu hati. Memang benar adanya, saat ia bersama Adam, Tian adalah sosok yang selalu ada dan selalu siap sedia menyediakan pundak dan peluknya untuk menampung luka.

“Definisi rumah antara kita berbeda, gue bukan persinggahan yang lu bisa pergi dan datang sesuka hati.”

Tian membuang rokoknya dan beranjak duduk diatas kasur tepat disisi Aurora.

“Gak ada yang bisa gue jelasin, karena mau apapun sebutan yang lu kasih, gue tetep nganggep lu rumah dan separuh jiwaku.”

Tian mengecup singkat bibir Aurora, menutup perpbincangan sengit keduanya.

“Gue pulang, Cassa minta jemput di bandara. Good night, love you.”

Tian meraih jaketnya yang tergeletak dilantai dan beranjak pergi dari rumah. Ia meninggalkan Aurora yanng kini nampak seperti daging tak bernyawa. Terlalu rumit untuk ia aurai sendiri.

Tangannya cepat meraih ponsel, menelpon seseorang.

“Chan, lu dimana?”

”....”

“Gue butuh lu sekarang.”

”....”


-amara.

Echan memandang kesal hamparan rerumputan di hadapannya. Sesekali ia melempar asal batu-batu di dekatnya untuk melampiaskan kekesalannya.


Semua bermula dari pembicaraannya bersama Nanda, teman sepermainannya.

Siang itu mereka seperti biasa bermain bersama di lapangan terluas di kampung mereka sembari menemani sapi peliharaan keluarga Echan yang harus ia gembala. Keduanya terbaring di bawah pohon setelah usai bermain sepak bola dan menangkap beberapa belalang untuk umpan memancing sore nanti. Nanda yang terbaring tiba-tiba bangkit dan duduk, pandangannya menerawang seolah sedang memikirkan jawaban soal matematika.

“Dirimu iki kek kenopo, Nan? Kok tumben mikir,”tanya Echan.

(dirimu ini kenapa, Nan? Kok tumben mikir.)

“Aku mikir iki, Chan, mbesok nek gede bakal dadi opo?” jawab Nanda penuh tanya.

(Aku memikirkan ini, Chan, besok kalau udah gede bakal jadi apa?)

“Ealah, nek iku wes jelas, Nan.”

(Ealah, kalau itu aku sudah jelas, Nan.)

“Opo emange? Terakhir dirimu ngomong pengen dadi alien, terus kapanane wingi njaluk dadi botol teh pucuk terus saiki opo neh?” cibir Nanda, nadanya sedikit meninggi karena kesal.

(Apa memang? Terakhir kamu ngomong mau jadi alien, terus kapan hari kamu mau jadi botol teh pucuk terus ini apalagi?)

“Eeiih, iki mah tenanan. Aku pengen dadi penyanyi, Nan. Ketoke urip e uenak kek akeh duwek e,” terang Echan dengan suara dan tatapan penuh binar semangat.

(Eeiih, ini beneran. Aku ingin jadi penyanyi, Nan. Kelihatannya hidup enak, mana banyak uangnya.)

“Eladalah, biduan? Kek seng biasane enek nang kantor deso iku, kan?” ucap Nanda.

(Eladalah, biduan? Seperti yang biasa ada di kantor desa itu, kan?)

'PLAK!'

“Aduh! Loro ikilo ngawur eram!”

(Aduh! Sakit ini loh sembarangan kamu!)

Nanda mengaduh kesakitan karena kepalanya dengan sengaja Echan pukul dengan botol air mineral kosong.

Sedang Echan nampak cuek, tak peduli akan kawannya.

“Salah sopo ngarani aku arep dadi biduan, yo gak biduan ngono lho. Kek seng nang tv iku lho, Nan. Mosok gatau delok sih?” gerutu Echan.

(Salah siapa nuduh aku mau jadi biduan, ya bukan biduan yang begitu. Tapi yang seperti di tv itu lho, Nan. Masa iya kamu tak pernah lihat sih?)

“Yo, sepurane, aku ndelok tv mek ndelok bal-balan, eh,” kata Nanda berusaha meluruskan maksud perkataan sebelumnya.

(Ya, maaf, aku lihat tv hanya lihat sepak bola, eh.)

“Lha dirimu pengen dadi opo, Nan?” tanya Echan.

(Terus kamu mau jadi apa, Nan?)

“Aku sih pengen dadi pemain bola kek Mas Yunan ngono lo, kan keren,” terang Nanda dengan pandangan berbinar.

(Aku sih mau jadi pemain bola kayak Mas Yunan gitu lo, kan keren.)

Echan menggeleng dengan nada mencibir ia berkata, “masmu lho pemain bola kampung, ndi onok keren?”

(Mas kamu lho pemain bola kampung, mana ada keren?)

“Ih, ngece, yo, deloken Mas Yunan nek pas main kabeh podo sorak-sorak, Mbak Tati kembang deso ae melu kesemsem. Weslah tak muleh wes arep maghrib. Ayo bali,” ajak Nanda.

(Ih, ngejek, ya, lihat saja Mas Yunan kalau pas main bola semua sorak-sorai, Mbak Tati kembang desa saja ikut jatuh cinta. Ah, sudahlah, aku pulang dulu, sudah mau magrib. Ayo pulang.)

Kini keduanya bangkit dari duduknya dan memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing.


Echan sudah duduk di depan rumahnya, ia telah usai bebersih diri setelah kegiatannya menggembala sapi. Pandangannya kosong menatap halaman rumahnya yang gelap dan hening. Pikirannya kini penuh dengan ratusan rencana yang harus ia lakukan kala meminta persetujuan orang tuanya untuk menjadi penyanyi di kota.

“Kok tumben meneng iki lo biasane berkicau rame kek manuk cucak rowo,” tegur seseorang dari belakang Echan.

(Kok tumben diem ini, biasanya berkicau ramai seperti burung cucak rowo.)

Sontak membuatnya terkejut dan segera memandang seseorang tersebut.

“Eh, Bapak, gak kenopo-kenopo kok, Pak. Echan lagi mikir ae,” jelas Echan.

(Eh, Bapak, enggak kenapa-kenapa kok, Pak. Echan lagi mikir saja.)

Lelaki paruh baya tersebut mengangguk kecil sembari meneguk kopi dari cangkir lurik hijau kesayangannya.

“Pak, nek misal aku moh sekolah maneh, tapi pengen dadi penyanyi oleh gak?” tanya Echan perlahan.

(Pak, semisal aku enggak mau sekolah lagi, tapi mau jadi penyanyi boleh enggak?)

'UHUK!'

Bapak terbatuk, terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Echan.

“BOCAH ANEH-ANEH AE, KAKEAN DOLANAN KARO SAPI YO NGENE IKI!”

(Anak ini aneh-aneh saja, kebanyakan main sama sapi, ya, jadi begini!)

Bapak sudah mengomel dengan nada tinggi, sedangkan Echan hanya menunduk tak memedulikan omongan bapaknya.

“Ayolaaah, Pak. Bapak lak gadah kenalan wong kota, kan? Pokok Echan kudu dadi penyanyi, Pak! YA POKOK HARUS!” terang Echan mantap.

(Ayolah, Pak, Bapak kan punya kenalan orang kota. Pokok Echan harus kadi penyanyi, Pak! YA POKOK HARUS!)

Bapak Echan hanya menggelengkan kepala tak habis pikir dengan apa yang dipikirkan anak lelakinya ini. Sadar bapak tak menganggapinya Echan memutuskan untuk kembali ke kamar, ngambek ceritanya.


Beberapa hari berlalu, Echan masih ngambek sehingga ia mengabaikan bapaknya. Ia menghabiskan hari-harinya seperti biasa. Namun, ia menambah kegiatan baru yakni bernyanyi di hadapan sapi yang sedang ia gembala. Ia terus berlatih tak peduli omongan dari bapaknya. Ia masih yakin bahwa ia amat bisa.

Di tengah kegiatannya bernyanyi, Nanda, teman sepermainnanya, datang menghampiri membawa sebuah pesan dari bapak Echan.

“Dikon muleh saiki, sapimu tak urus e, ndang muleh!” kata Nanda.

(Disuruh pulang sekarang, sapimu kuuruskan, buru pulang!)

Echan mulanya tak percaya hingga beberapa kali Nanda meyakinkan dan akhirnya ia memutuskan percaya dan kini ia berjalan pulang.

Di MKdepan rumah Echan kini ada bapak dan seorang lelaki sepantaran bapaknya tengah berbincang ramah. Echan memelankan langkah kakinya berusaha mendekat tanpa menggangu pembicaraan.

“Bapak, kenopo?” tanya Echan lirih.

(Bapak, kenapa?)

Bapak menoleh ke arah Echan sebelum berkata, ” Eh, Chan! iki lo koncone Bapak, tak kenalno!”

(Eh, Chan! Ini loh teman Bapak, bapak kenalin!)

Echan menatap lelaki yang duduk di sebrang bapaknya, nampak tak asing baginya. Namun, tanpa basa-basi Echan segera salim tanda sopan.

“Iki koncone Bapak seng bakal ngeterno dirimu nang kota, mene nginep e yo nang omah e bapak e yo, gelem, kan?” tanya bapak kepada Echan.

(Ini teman bapak yang bakal nganter kamu ke kota, nanti kamu di kota nginap di rumah bapak ini ya, mau, kan?)

Mata Echan berbinar ia mengangguk dengan semangat, akhirnya cita-cita bisa terwujud perlahan. Petualangn mimpinya baru saja dimulai, ini gerbang akan mimpi besar yang akan ia bangun.


-amara.

Setelah pesan singkat yang Winar kirimkan kepadanya, cepat Echan menuju tempat di mana Winar berada. Dengan kecepatan tinggi Echan menyusuri jalanan. Tak lagi ia pedulikan keramaian jalan yang ia lewati atau berapa lampu lalu lintas yang tanpa sadar ia terabas. Jutaan asumsi buruk serta umpatan ia curahkan entah kepada siapa. Amarah menggelapkan matanya. Kebiasaan buruk Echan yang terus menerus ia lakukan, berprasangka buruk terhadap semua hal. Termasuk kini pada kekasihnya yang seharusnya sangat ia percayai.

Motornya terparkir asal di depan bar, dengan langkah tergesa ia memasuki bar yang mulai ramai. Pandangannya menjelajah seluruh ruangan, mencari sosok Winar. Tak berselang lama Winar menghampirinya.

“Jelasin,” ujar Echan dengan tegas.

“Kabarnya masuk di grup klubnya, ada yang ngeliat kalau anak dari kampus kita yang lagi double degree di sana keluar masuk hotel, lo tau kan angkatan lo yang berangkat ke UScuman Eca?” jelas Winar.

Echan mengepalkan tangannya erat menahan emosi. Winar yang melihatnya segera pergi mengambil air minum untuk Echan, guna meredam amarah.

“Udah nyoba telepon Eca?” tanya Winar sembari menyodorkan air minum.

Echan menggeleng, Winar menghembuskan nafasnya kesal.

“Coba telepon, gue balik ke sana dulu masih banyak yang belum gue beresin di sana, gak usah aneh-aneh pokoknya,” kata Winar sebelum meninggalkan Echan.

Sedangkan Echan masih terdiam terpaku menatap layar ponselnya. Perasaannya yang kacau membuatnya tak sanggup menelepon Eca.

Dengan tatapan tajam dan tanpa basa-basi Echan menekan nomir milik Eca, berharap segera diangkat.

Nihil.

Puluhan kali ia sudah mencoba menghubungi Eca tetapi tak ada jawaban darinya. Echan semakin geram, tanpa sadar ia sudah menghabiskan puluhan botol minuman keras. Kepalanya pening bak dihantam palu godam. Ia semakin kalut.

'Bruk!'

Seseorang tanpa sengaja menumpahkan minuman ke paha Echan yang tengah sibuk dengan ponselnya. Lelaki tersebut menundukkan wajahnya meminta maaf sebelum berbalik meninggalkan Echan. Namun, Echan menahan lengan lelaki tersebut dan cepat melayangkan pukulan tepat ke pipi kiri lelaki tersebut. Sontak membuat keributan di area tersebut. Perkelahian pun pecah, pukulan demi pukulan saling melayang di antara keduanya. Echan yang tengah mabuk berat ditambah dengan emosi yang memuncak semakin hilang akal dan brutal. Petugas keamanan akhirnya berusaha melerai keduanya.

Winar cepat menghampiri Echan yang babak belur. Dipapahnya menuju kursi dan segera ia menghubungi seseorang yang bisa mengurus Echan, Aurora.

Tak lama Aurora tiba dengan muka kusut. Ia tampak panik sekaligus bingung.

“Kak, nih adek lo berulah,” ujar Winar kepada Aurora.

“Brengsek napa lagi sih!”

Aurora geram melihat tampilan Echan yang sekarang acak-acakan. Ditambah bau alkohol yang menyengat dari mulutnya.

“Emosi, biasa Eca lagi,” terang Winar.

Aurora menghembuskan nafas kasar, refleks ia mengusap surau hitam Echan yang berantakan.

“Gue tinggal, Kak, besok kita ketemu lagi buat ninjau tempat syuting.”

Aurora mengangguk kecil, sebelum Winar berlalu meninggalkan mereka. Kini tersisa Echan yang masih tergeletak dan Aurora yang berusaha memastikan Echan tidak terluka parah.

“Aishhh, ayo pulang! kita beresin masalah di rumah. Hari ini apaan sih?! Sial banget!” gerutu Aurora sembari memapah perlahan Echan menuju keluar Bar.


Echan terlelap di kursi penumpang bersama Aurora yang tengah melanjutkan perlahan mobilnya. Beberapa kali Aurora melirik ke sebelah memastikan Echan tak muntah atau terbangun karena tidak nyaman.

Empat puluh lima menit perjalanan menuju rumah dalam keadaan hening. Hanya dengkuran halus terdengar dari mulut Echan.

Kini mereka sudah tiba di rumah Aurora, dengan cepat Aurora menuntun Echan masuk dan membantingnya ke atas sofa ruang tengah.

“Gila capek banget!” keluh Aurora dengan keringat bercucuran.

Ia perlahan melepas cardigan dan celana panjangnya, menyisakan celana pendek dan kaos putih ketat.

Perlahan Echan mengerjap, ia terbagun dan terduduk. Bingung ia mengapa sudah berada di rumah sedangkan yang ia ingat ia masih duduk di atas kursi bar dengan ponsel dan botol minuman.

“Udah bangun?” tanya Aurora dari jauh, ia sedang mengambil minuman dari dapur.

“Kok gue di sini sih? Winar mana?” ujar Echan bingung.

'Tak!'

Aurora memukul keras kepala Echan, melampiaskan kekesalannya.

“Kalo ada masalah dipikir yang bener, jangan malah mabok terus ribut kek orang gila,” omel Aurora.

Echan mengaduh mengusap kepalanya sembari mengingat apa yang barusan terjadi. Tak lama ia menghembuskan nafasnya kesal dan mengusap wajahnya kasar.

“Ah, maaf,” ujar Echan.

“Kalo nggak mau cerita nggak apa, gue juga lagi pusing daripada lu cerita nambah beban hidup gue,” kata Aurora sembari menyodorkan air minum kepada Echan.

“Pasti bang Tian, kenapa lagi?” tanya Echan sebelum meneguk air.

“Dia ngenalin gue ke pacarnya.”

Aurora berbisik, seolah masih tak menyangka hal tersebut terjadi.

“Wow gila, emang bang Tian nggak tau kalo lo demen ama dia?” tanya Echan penasaran.

“Tau, bukan sekali dua kali gue ngomong ke dia,” ujar Aurora sebelum ia bangkit menuju dapur kembali.

“Hahahaha, jalan gue lapang dong ini.”

'Tak!'

“Jalan apaan? Gak usah aneh-aneh,” tegas Aurora.

“SAKIT ANJRIT! Ya jalan gue deketin lu lah, emang apalagi?”

Echan mengusap kepalanya yang telah beberapa kali Aurora pukul.

“Gue tahu percintaan gue gak ada yang beres, tapi setidaknya lu gak usah ikutan nambah.”

Aurora melanjutkan kembali meneguk anggur, ia butuh pelampiasan rasa penatnya.

Tiba-tiba Echan bangkit dari duduknya menuju ke arah Aurora dan duduk dipangkuannya. Cepat ia mengunci tubuh Aurora dan mencium bibirnya ganas. Aurora tersentak, namun ia tak bisa berkutik tubuhnya terkunci rapat.

Refleks Aurora menyiramkan anggur di tangannya ke tubuh Echan hingga membuatnya terkejut dan melepas tautan bibir mereka.

“BRENGSEK!” teriak Aurora kesal.

Aurora berusaha menyingkirkan tubuh Echan dari pangkuannya, namun gagal. Echan justru mengeratkan tubuhnya memeluk Aurora seakan ia akan hancur bila dilepaskan.

“Maaf, maaf kalo gue lancang suka sama lo,” lirih Echan.

Aurora terpaku, ia terdiam tak berkutik. Tak pernah ia temui Echan sedemikian ini.

“Lo punya Eca, inget itu.”

“Eca selingkuh.”

Echan sekuat tenaga menahan air matanya, ia semakin mengeratkan pelukannya ke tubuh Aurora.

“Emang lo liat sendiri?” tanya Aurora.

Echan menggeleng kecil.

“Jangan mudah percaya omongan nggak bener, coba telepon dia lagi. Mending sekarang lo mandi terus tidur,” ujar Aurora melepaskan pelukan Echan.

Pandangan mereka kini saling bertemu. Aurora masih menebak apa isi pikiran dari Echan, ia selalu tampak bahagia dengan senyum lebarnya walaupun ia menyimpan luka yang dalam.

Echan terdiam, ia bangkit dan melangkah gontai menuju kamar tamu tempat ia biasa tidur. Berusaha kembali menjernihkan pikirannya. Begitu pula Aurora yang kini kembali menuju kamarnya.


Pagi yang cerah untuk dua jiwa yang sendu. Kali ini Aurora bangun dengan perasaan kacau setelah ia membuka ponselnya yang penuh dengan pesan singkat dan panggilan telepon yang tak terjawab.

Segera ia berlari mempersiapkan diri dan keluar rumah meninggalkan Echan yang masih terlelap dalam tidurnya.

Satu jam kemudian pintu kamar Echan terbuka, menampilkan sosoknya yang masih setengah mengantuk. Pandangannya menyeluruh ke seluruh ruangan mencari keberadaan Aurora. Namun, ia hanya mendapati pesan kecil yang Aurora tinggalkan.

“Dasar sok sibuk! Mana bisa gue makan kalo gak ada dia,” gerutu Echan.

Perlahan ia membuka kulkas dan mengeluarkan susu dari sana. Meneguknya perlahan sembari tangannya membuka ponselnya.

Kini ia mencoba kembali menghubungi Eca. Dengan penuh keberanian ia menekan nomor telepon Eca. Ia berusaha mengenal emosinya.

Tak lama panggilannya terhubung. Sayup-sayup suara Eca terdengar.

/“Halo.”/

“Halo, Ca.”

/“Kenapa Chan? Kangen ya?”/

“Iya, kangen.”

/“Hahaha, nggak percaya nih aku.”/

Gelak tawa memenuhi telinga Echan, sayup terdengar suara orang lain di sana.

“Suara siapa itu?”

/“Mana ada?”/

“Ada suara cowo di sana, siapa?” tanya Echan curiga.

/“Nggak ada siapa-siapa, Chan.”/

Eca kembali meyakinkan.

“Jangan-jangan bener yang dibilang orang kalo lo keluar masuk hotel bareng cowok?!”

Echan tanpa aba-aba langsung menuduh Eca.

/“SIAPA YANG BILANG?!”/

Suara Eca tak kalah meninggi, ia tak terima dituduh demikian.

“Banyak saksinya! Gak usah ngelak!”

Kini Echan kembali meninggikan suaranya, amarahnya tak terbendung.

/“Chan, gue di sini kuliah nggak ada yang kek lu tuduhin. Gue nggak ngapa-ngapain.”/

Eca mulai terisak, terdengar ia menahan tangisnya.

“Lo, gila Ca!”

/“YA, LO LEBIH GILA CHAN! GUE HAMIL ANAK LO DAN LO NUDUH GUE SELINGKUH?! WARAS KAH LO NGOMONG GITU?!”/

Eca meluapkan emosinya, ia sejujurnya menahan sejak tadi. Termasuk fakta bahwa ia tengah hamil anak Echan.

“Apa?! Mana ada bukti kalo itu anak gue, bukan hasil lo ngelonte di sana?!”

Sejujurnya Echan terkejut mendengar Eca hamil. Ia tak menyangka, namun ia sudah gelap mata. Emosi sudah mengerubungi kalbunya.

/“Chan, lo ... bisa-bisanya ngomong kek gitu.”/

Eca mulai menangis, ia tak sanggup lagi melanjutkan percakapannya.

“Kenapa? Ya, bener 'kan omongan gue? Mending kita putus. Selamat, ya, atas kehamilannya.”

Echan memutuskan sepihak panggilan teleponnya. Ia membanting keras ponselnya hingga layar retak.

Dering telepon menginterupsi pikirannya, dipandangnya sekilas ponsel yang nyaris terbelah itu.

Papa.

Nama yang tertera di layar poselnya. Dengan perasaan malas ia mengambil ponselnya.

“Kenapa?” kata Echan membuka percakapan.

“Pulang sekarang, papa tahu kamu nggak di rumah Bunda. Ada yang mau papa omongin,” jawab Papa Echan.

“Harus?” tanya Echan.

“Kalau mau dijemput paksa juga bisa,” ancamnya.

“Oke, nggak mau,” putus Echan.

“Pulang atau ...”

“Oke aku pulang, jangan ganggu Bunda atau Eca.”

Echan memutus panggilan teleponnya. Bergegas ia bangkit bersiap dan mengambil kunci mobil yang selama ini ia simpan di rumah Aurora.


Eca masih terisak, ia tak menyangka bahwa kekasihnya akan berkata demikian. Sejujurnya ia tengah kalut sejak ia mengetahui fakta bahwa ia tengah mengandung. Ia tak mengenal siapapun di sini, hingga bunda, ibu kandung Echan mengenalkannya pada Alvin, sepupu jauh Echan yang tinggal di sana.

Alvin sejak kemarin sudah membantunya terutama untuk tempat tinggal. Pertemuan Eca dan Alvin di lobby hotel ditengarai menjadi penyebab kesalahpahaman banyak pihak termasuk Echan.

“Why? What's wrong?” tanya Alvin kepada Eca.

Alvin baru keluar dari dapur dengan semangkuk buah yang sebelumnya ia ambil. Sebelum ia pergi ke dapur yang ia tahu Eca tengah berbincang di ponsel bersama Echan. Namun, kini ia mendapati Eca tengah meringkuk menangis di atas tempat tidurnya.

“Dia nggak percaya, Vin. Dia bilang aku selingkuh, dia bilang ini bukan anaknya, dia bilang kita putus ....”

Eca menjelaskan dengan terbata-bata, ditambah tangis air mata yang pecah. Alvin terpaku, ia berusaha mencerna semuanya. Segera ia memeluk erat Eca, menenangkan dan berusaha menyalurkan rasa aman.

Okay, lupakan dia. Mulai sekarang fokus ke dia dan dirimu sendiri,” ujar Alvin sembari menunjuk perut Eca.

Eca tak menjawab, ia hanya terdiam dengan pandangan kosong.


Echan melangkah gontai memasuki rumahnya. Rumah besar ini tampak sepi tanpa kehadiran penghuninya. Perlahan Echan membuka pintu rumah, hening. Rumah ini kosong, baik papa mama ataupun saudara tirinya tak ada disini.

Langkahnya perlahan melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Ketika ia melewati ruang tengah didapati papanya tengah duduk dengan amplop coklat di meja. Tatapan mereka saling bertemu, hingga pria tua tersebut meminta Echan duduk di hadapannya.

“Duduk, buka ini,” ujarnya singkat dengan nada dingin.

Echan tak menjawab, ia segera duduk dan membuka berkas dalam amplop tersebut.

Matanya membelalak saat ia membaca berkas yang ia genggam. Tertulis jelas namanya dalam lembaran form pendaftaran peserta didik salah satu marine academy terbaik di dunia, letaknya Amerika lebih tepatnya.

“Kenapa? Bukannya kamu seneng, bisa deket sama pacar murahanmu?” cibir lelaki paruh baya dihadapan Echan.

Genggaman tangan Echan mengeras, menahan amarah. Lontaran kalimat yang membuatnya semakin emosi hari ini.

Hari ini resmi menjadi hari terburuk baginya, setelah hari di mana ia mendapati ayahnya selingkuh.

“Diam artinya setuju, papa tidak menerima penolakan. Siapkan semuanya sekarang.”

Papa Echan sepihak memutuskan semuanya, beliau segera pergi meninggalkan Echan yang masih terpaku.


Kini Echan berbaring di kasur kamarnya. Memandang datar langit-langit seolah sedang memetakan isi pikirannya.

Suara ketukan pintu menginterupsi lamunannya. Sontak membuat Echan memalingkan pandangannya menuju pintu di sudut ruangan.

“Masuk.”

Seseorang pemuda yang lebih muda darinya memasuki ruangan dengan malu-malu. Entah malu atau takut tepatnya.

“Kak, ayo makan ...” ujar pemuda itu.

Echan meliriknya singkat, padangan tak acuh ia lontarkan.

“Ntar, masih sibuk mikir.”

“Buruan, nanti Alan dikata gak ajak kakak!” gerutu pemuda itu sembari berusaha menggoyang tubuh Echan.

“Brengsek! Berisik lo! Lo enak, jadi anak emas keluarga, hidup tanpa beban dan paksaan, kenapa gak lo aja sih yang di jadiin sasaran papa?” omel Echan meluapkan seluruh kekesalannya.

“Maaf kak, Alan gak tahu ...”

Alan terduduk di tepian kasur, menunduk tak berani menatap mata Echan yang memandangnya nyalang.

Usia mereka terpaut empat tahun, Alan bertemu Echan pertama kali kala papa memutuskan mengenalkan keluarga yang ia sembunyikan ke hadapan istri pertama yakni Bunda dan Echan. Saat itu Echan berusia sepuluh tahun.

Ruang kamar Echan semakin terasa mencekam, terlebih tak ada suara dari keduanya. Alan memutuskn bangkit dan keluar kamar tanpa suara, meninggalkan Echan yang kembali termenung menatap langit-langit.


Hembusan angin malam menerbangkan tirai jendela kamar Echan yang masih terbuka. Tubuhnya menggeliat menahan dingin dan berakhir ia terbangun. Semua sudah gelap dan tanpa suara. Tengah malam sudah, entah berapa jam sudah ia terlelap tanpa sengaja.

Echan bangkit dari tidurnya, menutup jendela dan berjalan keluar kamar saat dirasa perutnya kelaparan.

Langkahnya perlahan menuruni tangga menuju dapur di sisi kiri area rumah. Ia melewati beberapa ruangan termasuk kamar Alan yang sedikit terbuka.

Sayup-sayup ia mendengar rintihan dari dalam kamar. Segera ia membuka pintu kamar Alan. Didapatinya Alan tengah meringkuk kesakitan memegang dada kirinya, tubuhnya basah penuh peluh keringat dingin.

Echan panik, berulang kali ia meneriakkan nama Alan tetapi tak ada respon.

“ALAN!”

Echan berlari keluar kamar mencari mama dan papanya yang tidur di kamar lantai satu. Namun, kamar itu kosong. Pertanda kedua orang itu kali ini tengah melakukan perjalanan bisnis lagi.

Tubuh Alan semakin dingin, segera Echan memanggil ambulans.

“Sabar, ya, sebentar lagi ambulans dateng, sabar,” lirih Echan berulang kali.

Ia memang merasa tak adil antara ia dan Alan, namun sejatinya ia menyayangi saudara tirinya.

Tak berselang lama ambulans tiba. Segera Alan dibopong masuk, tetapi sebelumnya Alan terbata mengucapkan terima kasih kepada Echan.

Echan tak memedulikannya, ia sibuk menata barang Alan yang harus ia bawa. Ia memilih tak ikut ambulans karena butuh waktu untuk menata barang.

Saat ia menata barang, sepucuk surat dari rumah sakit tergeletak di meja belajar Alan. Tertera riwayat penyakit yang Alan derita.

Echan membisu setelah membacanya, tak menyangka bahwa ini terjadi. Ditambah di sebelah surat tersebut terdapat buku catatan harian Alan yang terbuka, jantung Echan seakan dihantam puluhan palu godam rasa penyesalan kini bertumpuk.

Yah, lagi-lagi ia yang egois.


-amara.

Puluhan notifikasi masuk kedalam ponsel Winar, semua mempertanyakan mengenai pemeberitaan yang beredar. Winar memutuskan mematikan ponselnya, berjalan cepat menuju keluar rumah sakit. Ia memutuskan untuk pulang kerumah, menenangkan pikirannya yang kacau. Terlebih kini Naya sudah mendapatkan penanganan dan Aurora bersedia membantunya.

Pikirannya kini penuh dengan banyak hal, terutama mengenai pemberitaan yang beredar. Ia harus segera menyiapkan banyak hal untuk klarifikasi pagi nanti, demi kariernya dan keselamatan Naya.


Kini ia tiba di rumah, ia terduduk lesu di sofa ruang tamu. Pandangannya kosong menatap layar televisi. Ia meraih ponselnya dan kembali menyalakannya. Cepat ia menghubungi Aurora, memastikan kabar Naya.

“Gimana?” tanya Winar cepat saat panggilan tersambung.

“Sudah, dia tidur. Tadi Naya bilang, gak usah khawatir, dia gak apa. Besok selesaiin urusannya dulu baru kesini,” jawab Aurora menyampaikan pesan dari Naya yang tengah terlelap.

“Ah, oke. Terus besok gimana?”

Winar menghembuskan nafasnya lega, satu permasalahannya sudah teratasi. Giliran bagaimana ia menghadapi media esok.

“Bikin pernyataan maaf, jelasin. Nanti perusahaan bakal bantu jelasin, atau kita bikin pengalihan isu. Sebelum semakin meledak, seharusnya sampe kamu beres syuting seharusnya aman.”

Aurora menjelaskan dengan tenang, disaat seperti ini profesionalisme kerjanya saat diperhitungkan.

Winar mengangguk, ia sudah siap membuat pernyataan tertulis. Sebelumnya sudah beberapa kali ia menyiapkan hal seperti ini guna mengantisipasi hal-hal yang kurang menyenangkan.

“Udah sana istirahat, kalo ada apa-apa mending kabari Echan ntar dia yang nemenin atau ke Tian aja, dia lagi free sebelum syuting video klip terbaru nya.”

Aurora menutup panggilannya, menyisakan Winar yang termenung. Beberapa kali ia mengusap wajahnya kasar, sebelum ia akhirnya beranjak menuju kamar tidurnya. Walaupun ia tahu sulit sekali untuk terlelap, tetapi demi ketenangan pikirannya ia harus segera tidur sekarang.


Pagi sudah tiba, terlihat Naya yang kini sudah membaik tengah duduk dibangsalnya mengamati panorama dari balik jendela kamarnya.

“Nay ..”

Naya menoleh ke sumber suara, didapatinya Aurora tengah berdiri di depan pintu.

“Ah, Kak Ura, kenapa?” sahut Naya dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.

“Aku pergi duluan ya, nemenin Winar. Nanti kalo udah kita balik lagi kok,” ujar Aurora.

Naya mengangguk dan tersenyum, “iya kak, semangat buat kalian. Aku gak apa kok, bilang ke Winar nanti kesini aja.”

Aurora mengangguk, langkahnya perlahan meninggalkan ruangan yang menyisakan Naya seorang.

Naya mengeluarkan ponselnya yang tergeletak di nakas samping tempat tidurnya. Tangannya lincah berseluncur di sosial media mengamati berbagai isu yang ada dan mengamati akun tempat ia menulis cerita. Setelah itu ia melanjutkan cerita yang ia tuliskan, hari ini banyak hal yang harus segera ia keluarkan dari kepala kecilnya sebelum meledak dan menghilang.


Waktu berlalu begitu saja, langit mulai gelap, tanpa Naya sadari seseorang mendekatinya. Refleks kepalanya menoleh ke arah seseorang yang masuk. Winar.

Dengan raut lelah yang jelas tergambar diwajahnya, segera Naya merentangkan tangan isyarat bagi Winar mendekat dan memeluknya. Rentangan tangan Naya disambut baik oleh Winar, segera ia mendekat dan masuk ke pelukan Naya, melepaskan segala hal yang ia emban hari ini.

“Sayangku sudah hebat hari ini, terimakasih banyak,” bisik Naya tepat di telinga Winar.

Winar mengangguk, tak ingin berbicara rasanya.

“Sini tidur, ceritain gimana hari ini.”

Naya menepuk pelan kasur sisinya, mempersilahkan Winar untuk berbaring meletakkan lelahnya sejenak. Naya menggeser tubuhnya menyisakan sedikit tempat untuk Winar berbaring.

Perlahan Winar naik keatas kasur dan berbaring menyamping, jarak yang sempit keduanya membuat hembusan nafas keduanya saling bertabrakkan dengan tatapan mata yang saling bertemu.

“Hari ini klarifikasi singkat, perusahaan mutusin kalo yang semalem beneran aku yang di rumah sakit, tapi ... “

Winar sejenak menjeda kalimatnya, menatap kembali Naya yang masih menatapnya hangat.

“Tapi apa?” tanya Naya tak sabaran.

“Tapi kamu dianggap sepupuku, Nay. Bukan kekasih,” lanjut Winar dengan pandangan menunduk, ia menghindari tatapan mata dari Naya.

Naya mengusap pelan surai hitam Winar, ia teramat paham bahwa kekasihnya sangat terluka dengan semua yang terjadi.

“Sayang, kan semua udah pernah kita obrolin, jadi gak apa, udah jadi resiko. Semua demi kebaikan kita, kan?” ujar Naya lembut menenangkan.

Naya sudah amat tahu semua ini akan terjadi, sejak jauh hari ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi semuanya karena ia tak ingin mengganggu karir Winar atau melepaskna hubungan mereka.

Winar kembali menatap mata Naya, tergambar jelas ketulusn didalamnya. Sungguh kini hati Winar penuh dengan rasa syukur karena telah menemukan Naya. Diteggelamkan kepalanya kini ditengkuk kekasihnya, dipeluknya erat seakan mekinta Naya untuk tak pergi dari hidupnya.


Enam bulan telah berlalu, kontrak film beruntun datang kepada Winar. Karirnya kini tengah bersinar sebagai aktor muda berbakat. Profesionalitas yang Winar lakukan dalam pekerjaan cukup diacungi jempol oleh beberapa produser dan produk yang memakainya sebagai brand ambassador.

Sedangkan Naya kini tengah tekun dengan kuliah yang mulai menginjak semester akhir. Beberapa hasil tulisan Naya juga mulai banyak dinikmati pembaca, beberapa kali ia mendapatkan tawaran untuk menerbitkan buku untuk karya-karyanya.

“Nay, kamu dimana?” tanya Winar disambungan telpon yang ia lakukan bersama Naya.

Naya yang tengah berjalan ditengah lorong kampus memilih menepi dan duduk di depan salah satu ruangan. Sore ini cukup lenggang, tak ada aktifitas yang dilakukan mahasiswa lainnya karena sudah mendekati liburan semester.

“Di kampus sayang, kenapa?” tanya Naya kembali.

“Ah, maaf aku gabisa jemput. Maaf juga janji kita seminggu ini batal terus,” jelas Winar dengan nada sendu.

“Eits, gak apa sayang. Kita bisa nonton bareng lagi kalau kamu beres kerjaan, lagian aku bisa pulang sendiri kok naik taksi online. Kamu udah makan, kan?”

Naya berusaha menenangkan kekasihnya, ia berusaha sebisa mungkin menjadi orang yang tak merepotkan bagi Winar. Banyak hal yang kini jadi prioritas Winar selain sekadar menjemputnya.

“Jangan naik taksi deh, bahaya,” gundah Winar.

“Hahaha Naya bukan anak kecil lagi, Win.”

Naya terkekeh, ia mulai merasa gemas terhadap kekasihnya.

“Loh, belum pulang?”

Sebuah suara menginterupsi pembicaraan telpon Naya. Ia Pra, rekan sekelas Naya sekaligus Winar.

“Bentar ya,” bisik Naya kepada Winar.

“Belum Pra, lo juga ngapain belum pulang?” tanya Naya sembari memandang Pra yang ada dihadapannya dengan masih menggenggam ponsel di telinganya.

Pra menggeleng singkat sebelum menjawab, “Belum baru beres dari nyari referensi di perpustakaan.”

Winar terdiam, mencoba menebak dengan siapa Naya berbicara.

“Siapa, Nay?” tanya Winar.

“Pradipta,” jawab Naya singkat.

“Yaudah pulang bareng Pra aja kalo gitu, kasih hpnya biar aku yang ngomong,” sahut Winar cepat.

“Yakin nih?” tanya Naya memastikan kembali.

“Iya beneran, daripada naik taksi sendiri.”

Naya segera menyerahkan ponselnya kepada Pra yang dibalas dengan tatapan bingung oleh Pra.

“Winar mau ngomong katanya,” jelas Naya.

Pra merespon denganmembulatkan mulutnya membentuk huruf o sembari menerima ponsel dari tangan Naya.

“Halo Win, kenapa?” tanya Pra.

“Ah, maaf nih mau ngerepotin dikit,” sahut Winar.

“Kek apaan aja lo ama gue, kenapa kenapa?”

“Tolong anterin Naya pulang ya, keknya kosan lo sama apart Naya gak jauh kan?” pinta Winar dengan nada tak enak.

“Oalah, oke oke. Gue anter dah, gak jauh kok. Aman sama gue,” jawab Pra meyakinkan Winar.

“Makasih banget, Pra. Kapan-kapan gue traktir dah, sekali lagi makasih ya.”

“Alah santai aja napa,” timpal Pra.

“Okelah, kalo gitu tolong kasih hp nya ke Naya lagi dong,” pinta Winar menyudahi percakapannya dengan Pra.

“Oh oke-oke.”

Pra dengan cepat menyerahkan ponselnya kembali kepada Naya yang sedari tadi mengamati percakapan antara Winar dan Pra.

“Kenapa, Win?” tanya Naya setelah ponselnya kembali ke tangan.

“Enggak kok, tadi aku udah bilang Pra kalo pulang bareng dia aja ya. Nanti malem kalo gak ada halangan, aku mampir ke tempat mu,” jawab Winar.

Naya mengangguk kecil, “ oke kalo gitu aku pulang duluan ya. See you.”

Naya menutup panggilannya dan memasukkan ponsel ke tas totebagnya. Segara ia bangkit dari duduknya untuk bersiap pulang.

“Udah siap pulang nih?” tanya Pra dengan tatapan antusias akan pulang bersama Naya.

“Ayo, keburu malem gue mau beresin naskah,” ujar Naya sembari mengambil langkah lebih awal dari Pra.

“Dasar sok sibuk!” ujar Pra sembari menyamai langkah Naya.


Kini Naya telah sampai di apartemennya. Ia sudah selesai mandi dan mulai mengeringkan rambutnya yg sedikit basah. Selama perjalanan tadi banyak hal yang ia bicarakan bersama Pra, mereka cukup dekat sejatinya sebelum Naya dan Pra mulai sibuk dengan magang hingga mengurus data skripsi.

Beberapa pertanyaan terlontar dari Pra, mulai dari naskah Naya hingga mengenai Winar. Rahasia umum sudah Winar dan Naya adalah sepasang kekasih, tapi tak ada yang mempermasalahkn atau bahkan membawanya ke ranah publik karena Naya dan Winar yang bersikap profesional selama ini.

Naya mulai meletakkan handuk digantungannya kembali, ia dengan tenang mulai membuka ponselnya. Memesan makanan. Ia tak mememasa, kulkasnya kosong karena ia lupa untuk membeli bahan makanan di supermarket.

“Hmmm makan apa ya ...” gumam Naya.

Tiga puluh menit berlalu, Naya masih menatap layar ponselnya memilih makanan di aplikasi pesan antar. Tak lama kemudian notifikasi pesan singkat masuk dari Winar.

92-EB33-D7-A1-A4-41-D5-8-BA0-3-F5388-ABFFCE

Naya tersenyum, ia menjawab singkat pesan dari kekasihnya. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan melanjutkan menulis.

Tak berselang lama, suara langkah kaki perlahan mendekat. Naya yang peka segera bangkit dan berjalan menuju keluar kamar. Didapatinya Winar tiba dengan sekantong pizza favorit mereka.

“Eh, sudah datang,” sapa Naya dengan senyum merekah menyambut kekasihnya.

Winar mengangguk sembari mengangkat kantong ditangan kanannya.

“Tuan putri ayo makan.”

Keduanya terkekeh sembari memulai makan malam mereka yang sedikit terlambat.


Makan malam mereka telah usai. Keduanya tengah berbaring di ranjang kamar tidur Naya. Saling memeluk menyalurkan rasa rindu yang menyeruak.

“Kangen ya makanya kek gini,” goda Naya sembari mengusap lembut surai hitam kekasihnya.

Winar mengangguk dan bergumam kecil, “ udah lama gak ngapa-ngapain bareng, maaf sering sibuk.”

“Gak apa sayang, gausa dibuat beban, kan semua ada resikonya masing-masing. Aku gak apa kok, kita sama-sama punya urusan pribadi jadi harus saling menghargai ya, kan?” terang Naya dengan nada tenang, ia jujur tak ingin menjadi penghambat bagi kekasihnya.

Winar mendongak, menatap netra hitam milik Naya. Perlahan ia mengecup kening kemudian turun menuju mata hingga pipi Naya menyisakan bibir tipis Naya. Tanpa Naya sadari Naya menggigit bibir bawahnya yang justru mengundang nafsu bagi Winar.

Sebelum dikecupnya, Winar mengusap perlahan permukaan bibir Naya dengan ibu jarinya dan kini berganti dengan bibirnya. Kecupan singkat kini beralih menjadi kuluman yang mendalam yang membuat kaki Naya tanpa sadar memeluk paha kekasihnya.

Ciuman mereka semakin intens, ditambah mereka saling merekatkan pelukan. Tangan Winar tak tinggal diam, ia mulai meraba lembut permukaan punggung Naya. Usapan lembut dari punggung menuju permukaan perut hingga naik menuju kedua gundukan payudara Naya yang mulai mengencang. Dengan gerakan memutar dan meremas ia memainkan payudara Naya. Sedangkan satu tangannya sudah meraba paha Naya dari balik celana. Usapan lembut penuh candu memenuhi sekujur tubuh Naya membangkitkan gairah dalam tubuhnya.

Perlahan vaginanya mulai gatal, dengan gencar jari Winar meraba permukaan vagina dan mulai memainkan klitoris Naya yang mulai basah. Paha Naya semakin rapat menahan dorongan dalam dirinya, memohon untuk segera mungkin Winar menusuk lubangnya dengan jari-jari yang sedari tadi hanya bermain-main dibawah sana.

Paham akan kode yang diberikan, dua jari Winar sudah menelusup masuk kedalam vagina Naya. Mulai mengocok dengan tempo perlahan hingga cepat. Naya menggelinjang, tautan bibir mereka kini terlepas menyisakan jejak liur yan membasahi bibir hingga sekitar dagunya. Posisi Winar berubah menjadi diatas Naya, perlahan ia melepas ikatan sabuk celananya dan menurunkannya perlahan hingga pertengahan paha. Penis yang sudah berdiri tegak siap ia hadapkan di depan lubang vagina Naya. Digeseknya perlahan membuat Naya mendesis tertahan dengan jemari yang kuat mencengkram pundak kekasihnya.

Dalam sekali hentakan keras, penis besar itu sudah masuk memenuhi vagina Naya merasakan kehangatan yang ada didalamnya.

'Akh..'

Desah Naya tertahan, rasa perih bercampur nikmat membuncah disekujur tubuhnya membuat bulu kuduk nya berdiri. Perlahan otot-otot nya meremas penis Winar, menimbulkan efek desahan nikmat dari lelakinya. Dengan tempo yang tepat Winar mulai menggerakkan penisnya maju mundur menghujam tepat di titik favorit Naya.

Hujaman yang masuk mulai dipercepat kala nafsu sudah memenuhi keduanya. Mereka sama-sama larut dalam kenikmatan. Satu tangan Winar mulai memainkan payudara Naya yang berguncang kesana kemari, diraupnya pula bibir Naya dengan penuh nafsu dan mulai menghisap bergantian bibir atas dan bawahnya.

Pencapaian mereka semakin dekat saat keduanya mulai saling mengeratkan tubuh. Penyatuan kelamin antaranya semakin intens ditambah dengan vagina Naya yang mulai banjir mengeluarkan banyak cairan yang memudahkan penis Winar untuk keluar masuk. Keduanya saling tatap dengan pandangan penuh nafsu.

“To night you look really beautiful, honey.”

Sempat-sempatnya Winar melontarkan kalimat rayuan ditengah kegiatan bercinta mereka. Naya hanya merespon dengan senyuman tipis, tersipu walaupun sejatinya ia sudah lemas akan Hujaman yang kekasihnya lakukan.

Dengan senyum miring, Winar mempercepat tempo tusukannya. Tanpa ampun ia menghujam lubang vagina Naya, terlebih penisnya semakin membesar dua kali lipat dari semula. Sengaja ia mengeluarkan penisnya hingga tersisa diujung dan kemudian dihujamkan kuat-kuat berulang kali hingga Naya mabuk kepayang. Saat puncaknya semakin dekat ia sengaja melepaskan penisnya dan memutar tubuh Naya menjadi menungging tiba-tiba.

Naya yang terkejut namun ia terlalu lemas untuk melawan permainan yang Winar lakukan. Kini ia mengungging dengan kekasihnya yang tengah asik memutar penisnya didalam lubangnya. Sesekali ia menampar bokong sintal Naya yang membuat ototnya semakin mengetat meremas penis Winar.

Dalam sekali hentakan Winar melepaskan cairannya hingga memenuhi seluruh rahim Naya. Rasa hangat menyeruak di seluruh lubang nya. Perlahan Winar melepaskan tautan mereka dan terjatuh disisi Naya yang kini sudah meringkuk.

Beberapa menit tiba-tiba hening, hanya suara nafas keduanya saling beradu. Winar merubah posisi tubuhnya ganti menghadap Naya kemudian menghujani wajahnya dengan banyak kecupan hangat. Tak lupa bisikan kata terimakasih dan sayang tak henti ia lontarkan. Naya tersenyum dalam mimpinya. Ia bersyukur memiliki seseorang yang begitu mencintainya sedalam ini.


Matahari sudah berada diatas kepala, sinarnya sudah mulai menerobos tirai-tirai dan mulai menerangi seluruh ruangan. Naya sudah terbangun terlebih dahulu sebelum Winar. Ia kini sudah mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menggoncang pelan tubuh Winar.

“Ayo bangun sayang udah siang nih,” ujar Naya setengah teriak, tangannya sibuk menggoncang sekaligus menggosok rambutnya dengan handuk.

“Hmmmmm ... Lima menit lagi, *please,” tawar Winar dengan suara parau khasnya. Ia kembali meringkuk di dalam selimut mengabaikan Naya.

“Hei, katanya ada janji ketemu kolega bahas film baru, gimana sih kamu ini!” omel Naya.

Selalu begini drama pagi hari mereka, cukup dramatis. Dengan ancang-ancang Naya melangkah mundur, segera ia melangkah mantap sebelum terjun diatas kasur dan dengan sengaja menimpa Winar.

“AYO BANGUUUN!” teriak Naya.

Winar yang terkejut seketika tersentak dan bangun dari tidurnya. Ia duduk diatas kasur dan menatap kesal Naya yang sedang terkekeh dihadapannya.

“Iyaa iyaaa ini bangun,” gerutu Winar sembari mengusap matanya.

Naya terkekeh, ia bangkit dari kasur dan menepuk pelan puncak kepala Winar.

“Bagus anak pintar, nanti kalo udah turun aku mau bikin sarapan,” ujar Naya sebelum ia berlalu meninggalkan Winar yang masih memasang wajah mengantuk.


Naya tengah duduk di meja makan dengan roti bakar dan susu dihadapannya. Tangannya masih sibuk menatap ponsel ditangannya, ia belum memulai sarapan masih menunggu Winar selesai mandi untuk sarapan bersama. Tak lama Einar sudah datang dengan rambut yg masih basah dibeberapa bagian. Naya hanya menggeleng kecil, kekasihnya memang suka mengundang emosi baginya.

“Pasti males ngeringin rambut, hmm.”

Winar meringis menampakkan gigi rapinya. Sengaja sekali ia melakukan hal ini.

“Dahlah ayo makan dulu nanti ku bantuin,” putus Naya.

Winar mengangguk semangat, “ siap, sayang.”

“Ish dasar,” cibir Naya.

Winar terkekeh, ia sangat suka menggoda kekasihnya.

“Gimana skripsinya? Aman?” tanya Winar disela sarapan mereka.

“Ya begitulah, Untung ada berapa data yang metodenya sama kek temen-temen jadi enak,” jawab Naya.

“Terus buat naskah?”

“Masih setengah, ada yang harus riset lagi buat latar belakang karakternya, untung Pra bisa bantuin.”

Winar mengalihkan pandangannya dari makanan ke Naya, nama Pra tiba-tiba mengusiknya.

“Sering ngobrol sama Pra dong?”

Naya mengangguk, “ lumayan sih, anaknya pinter sih. Oh ya, digrup tadi ada yang rame Lo.”

“Apa yang rame?”

Winar mengerutkan dahinya penasaran.

“Ada yang nanya apa ada anak double degree yang di US, pada jawab ada, ternyata katanya ada yang ngegep si anak ini keluar masuk hotel bareng sama om-om gitu, kan aku keinget Eca kan jadinya,” jelas Naya menceritakan yang tadi ia baca di pesan singkat.

“Lah kan emang cuma Eca yang berangkat ke US? Echan tau gak ya?”

Naya mengendikkan bahunya, tanda tak tahu.

“Nanti deh coba gue ngomong.”

Naya mengangguk setuju dan mereka kembali melanjutkan sarapan mereka sebelum Winar pergi.


Winar kini tengah berkumpul bersama koleganya dan rekan-rekan sesama pemeran film baru yang akan ia perankan. Dari rumah Naya ia menuju restauran hingga sekarang di bar. Semua acara non formal diluar jadwal, makanya Aurora tak turut hadir.

Tak lama ia mendapati Echan yang datang dengan tergesa, menuju meja didekatnya. Segera Winar bangkit menemaninya.

“Jelasin,” ujar Echan dengan tegas.

“Kabarnya masuk di grup klubnya, ada yang ngeliat ada anak dari kampus kita yang lagi double degree disana keluar masuk hotel, lo tau kan angkatan lo yang berangkat cuman Eca buat ke US?”

Echan mengepalkan tangannya erat menahan emosi. Winar yang melihatnya segera pergi mengambil air minum untuk Echan.

“Udah nyoba telpon Eca?” tanya Winar sembari menyodorkan air minum.

Echan menggeleng, Winar menghembuskan nafasnya kesal.

“Coba telpon, gue balik kesana masih banyak yang belum gue beresin disana, gak usah aneh-aneh pokoknya,” kata Winar sebelum meninggalkan Echan.

Sedangkan Echan masih terdiam terpaku menatap layar ponselnya. Perasaannya yang kacau membuatnya tak sanggup menelpon Eca.


Winar kembali ketempatnya, diadapatinya sesosok perempuan yang tak asing dimatanya.

Kanalia. Rekan model yang sempat dekat dengannya sebelum mengenal Naya.

Tatapan Winar sudah berubah asam, tak lagi ia tertarik dengan segala percakapan yang ada. Namun, tiba-tiba Kana mendekati nya, mencoba menempelkan tubuhnya kepada Winar sebelum Winar menghindarinya dan memilih menjauh.

“Sombong sekali kamu,” bisik Kana tepat ditelinga Winar.

Winar tak menggubrisnya, ia memilih meneguk air mineral yang ada di meja.

“Win, kalo kamu nolak aku sekarang, lihat kejutan yang ku buat setelah ini. Selamat menikmati drama kehidupan mu,” ujar Kana dengan nada mengancam disertai senyum yang mencurigakan.

Winar masih mengabaikannya dan memilih untuk berbincang dengan rekan lainnya.

'BRAK!

Berapa saat kemuadian suara bantingan dan perkelahian terpecah. Sontak Winar bangkit dari duduknya terkejut karena suara Echan berada ditengah perkelahian yang terpecah didalam Bar. Segera ia bangkit menghampiri Echan yang sudah setengah babak belur dihajar beberapa orang. Ia pindahkan tubuh Echan ke atas kursi dan mulai mencari kontak seseorang yang bisa dihubungi. Aurora.

Jam masih menunjukkan pukul 8, masih sangat memungkinkan untuk menghubungi Aurora sebelum ia dipastikan terlelap.

Usai mengirim pesan singkat ke Aurora, ia menatap Echan dengan tatapan miris. Tak habis pikirnya atas apa yang telah Echan lakukan barusan. Memulai perkelahian hingga nyaris menghancurkan meja Bar.

Tak lama Aurora tiba, Winar menyerahkan Echan padanya. Ia memilih pulang terlebih dahulu. Ia teringat harus menyiapkan beberapa barang untuk besok sebelum ia berangkat meninjau lokasi syuting.


Sesampainya di rumah, Winar meletakkan barang-barangnya dan mulai membersihkan diri. Sesudahnya ia memutuskan untuk berbaring dan membaca satu persatu pesan singkat dan berita yang beredar.

'Ting!'

Satu pesan singkat dari orang tak dikenal masuk. Dahinya mengernyit karena tak biasa ia menerima pesan asing malam-malam begini. Segera ia membuka pesan tersebut yang ternyata hanya berisi link berita.

24724-AF7-352-B-4-C9-D-A035-3-CA7778300-C5

Matanya membelalak terkejut setelah membaca berita tersebut. Segera ia membuka sosial media dan benar namanya kembali menjadi trending topik tertinggi pencarian. Bukan karena prestasi ataupun perannya dalam film. Namun, berita mengenai skandal ia dengan Kanalia.

Segera ia menghubungi Aurora dengan panik. Namun, panggilannya tidak diterima. Sudah dipastikan Aurora masih bersama Echan. Kini giliran nomor asing masuk menelponnya. Hati-hati Winar menjawab.

“Halo,” ucap Winar terbata.

“Hahahaha menarik, gimana? siap mengikuti drama?” sahut suara diseberang.

“Kanalia, apa mau mu?!”

“Aku mau kamu, hidupmu, semuanya aku mau, Win.”

“Gila! Gimana bisa kamu membuat berita tentang aku yang menelantarkan mu dan bayimu?!”

“Bisa tentu saja, apa saja aku bisa. Hahahaha.”

Winar membanting hpnya dan mengusap wajahnya kasar. Ia tak tahu harus bagaimana. Kehancuran dunianya didepan mata.


Naya masih sibuk didepan laptopnya, menyelesaikan naskahnya yang sempat terhambat. Namun, Taka lama ponselnya bergetar menginterupsinya, sebuah pesan dari Pra.

8-F9-A67-BD-0-DB8-4487-A8-A5-B160-DEAE33-A9

Naya menghembuskan nafasnya kasar. Menutup laptopnya dan kini ia memilih meringkuk dan menangis didalam selimut. Meluapkan rasa kecewanya.

Ditengah tangisnya, Winar yang kini mengirimkan pesan untuknya. sekuat tenaga ia membalasnya. Walau air mata sudah penuh membasahi wajahnya. Ia berusaha tegar menerima semuanya.

D5-B2-A8-C6-C513-4456-8-AD9-190-CE5908327


-amara.

Ares masih termenung di atas bangsalnya. Ia menatap hampa televisi yang berisik menyiarkan berita, tak menyadari Agam yang mendekat ke arahnya dengan membawa nampan.

“Res, makan,” ujar Agam.

Ares menoleh sejenak sebelum memalingkan kembali pandangannya. Tanpa basa-basi Agam segera meletakkan nampan tersebut di pangkuan Ares.

“Makan, biar kita cepet pulang. Apa gak bosen lu liatin tembok mulu?” cecar Agam.

“Gue mimpi lagi,” lirih Ares.

“Sila?”

Ares mengangguk dan mulai bergumam, “dia cantik, Gam. Dia gak pake kaos kek dulu, dia pake gaun putih panjang indah. Rambutnya juga bagus.”

“Sila emang cantik, Res. Sama kek yang lu mimpiin, tapi mau sampe kapan?” tanya Agam miris.

“Ga tau, bayangannya masih ada.”

Ares memutuskan untuk mulai menyuap makanannya perlahan, terpaksa. Agam memandangnya dengan nanar, walau keadaannya juga tak jauh beda. Ia masih saja mengenang Adin di setiap malamnya, menatap nanar jajaran tempat makan yang kerap mereka datangi.

“Gam, Adin gimana?” tanya Ares disela makannya.

Agam terdiam sejenak, lidahnya kelu.

“Kita putus, tepat di hari pas lu bangun.”

Ares hanya mengangguk, tak heran. Ini bukan kali pertama Agam putus dengan kekasihnya.

“Yah, senasib.”

Refleks Agam memukul pelan lengan Ares, kesal.

“Emang temen kek anjing gak ada rasa perhatiannya,” cibir Agam.

“Kan udah sering putus, kenapa panik? Bukannya ada pengganti udahan?” cecar Ares.

“Yah, walaupun ada, posisi Adin beda, Res. Dapet dia tuh butuh usaha tahu,” jelas Agam setengah kesal.

“Apaan? Usaha nikung dia dari kating elektro sampe bikin dua jurusan musuhan? Atau usaha nyembunyiin dia dari cewe lo yang lain?” cecar Ares dengan tatapan menelisik.

“Bajingan lo!” kesal Agam.

“Kalo marah berarti emang bener,” ujar Ares sembari kembali berbaring dan mulai tertidur lagi.

“Lo kalo rese udah sembuh berarti, ish.”

Agam menatap Ares kesal, walaupun benar apa yang dikatakan Ares tetap saja ia masih merasa tak terima. Dulu Agam adalah pemain wanita, dia selalu memiliki wanita lebih dari satu untuk menjadi kekasihnya. Semua sudah menjadi rahasia umum, tapi anehnya setiap wanita yang didekati Agam selalu tak mempermasalahkan hal itu. Hingga Agam bertemu kembali dengan Adin teman saat masa putih abu-abunya. Agam pernah menaruh hati kepada Adin, tapi ia terlalu malu untuk menyatakannya kala itu.

Bahkan saat sudah bertemu, Agam tak bisa langsung menyatakan perasaanya yang ia pendam lama. Adin nyatanya tengah memiliki kekasih dan kekasih Adin merupakan salah satu kakak tingkat yang cukup berpengaruh. Dengan yakin, ia membulatkan tekad untuk mendekati Adin. Usahanya membuahkan hasil, Adin akhirnya jatuh hati padanya. Tapi kekacauan pun terjadi, kakak tingkat tersebut tak menerima perpisahannya dengan Adin dan mulai mengacaukan hubungan antar dua jurusan. Puncaknya saat turnamen futsal di mana Agam yang turut terlibat dalam permainan, terpaksa pulang dengan jalan tertatih dan tangan yang dibebat karena ia nyaris habis dikeroyok masa dari jurusan lawan. Alasannya, Agam dituduh bermain curang padahal nyatanya Agam lah yang sengaja dijegal dan dicurangi. Serta banyak hal yang terjadi setelahnya, semua berakhir saat Adin menemui kakak tingkat tersebut dan menjelaskan bahwa ia benar-benar muak dengan segalanya.

Ares sudah tertidur, lagi. Entah mengapa ia kini seperti putri dalam dunia dongeng yang tertidur dan terbangun hanya untuk meratapi nasibnya. Kini Agam sendiri tengah mematikan ponselnya mengamati grup kelas yang ramai membicarakan isu di kampus.

“Gam,” sapa seseorang.

“Eh, Ruby. Tumben ke sini? Udah beres urusan?” tanya Agam. Tangannya menepuk sofa di sampingnya memberikan isyarat kepada Ruby untuk duduk di sisinya.

“Yah, tapi lu udah liat portal kampus?”

Ruby takut-takut memandang Agam. Memastikan tak ada yang Agam sembunyikan.

“Belum, kenapa emang?” tanya Agam kembali.

“Buka aja dulu, jangan marah tapi,” ujar Ruby.

Segera Agam membuka kembali ponselnya, mencari portal kampus yang Ruby maksud. Seketika matanya membelalak, terpampang jelas foto dirinya tengah memeluk wanita dengan posisi yang canggung. Tertulis jelas dalam keterangan foto bahwa Agam tengah melakukan pelecehan seksual.

“ANJING!” murka Agam. Tangannya mengepal dengan wajah merah padam.

“Maaf, pasti karena gue, lo jadi kena masalah.”

Ruby menundukkan pandangannya, ia sudah menduga akan seperti ini. Seketika pandangan Agam melunak, tiba-tiba juga ia memeluk Ruby.

“Gak apa, bukan salah lo hari itu sedih terus tiba-tiba gue peluk. Maaf lo kebawa ribet jadinya,” ujar Agam dengan nada lembut menenangkan.

Pikirannya sekarang melayang apakah ini penyebab Adin memutuskan hubungan mereka? Atau adakah alasan lain? Seribu pertanyaan kini memenuhi benaknya, tetapi semua tanpa jawaban.

Di tengah kekalutan Ruby dan Agam, sayup terdengar suara rintihan dari Ares. Refleks keduanya memandang bangsal tempat Ares terlelap, tampak cucuran keringat sudah mengucur dari dahinya. Lagi-lagi ia resah dalam mimpinya.

“Lagi,” lirih Agam.

“Sila?” tanya Ruby.

“Ya. Siapa lagi?”

Segera Agam menghampiri Ares, mengguncang tubuhnya perlahan mencoba menyadarkan dari mimpinya. Ruby menatap nanar adik lelakinya, prihatin. Tangannya lembut mengusap lengan Ares. Berusaha meringankan apa yang Ares rasakan.

“Res, bangun!” sentak Agam sembari menggoncang tubuh Ares.

Tak ada sahutan dari Ares, ia masih terpejam dengan raut yang semakin gelisah. Semakin keras Agam menggoncang tubuh Ares, mencoba menyadarkannya. Tak lama Ares terbangun dari tidurnya, linglung tergambar jelas di rautnya. Ruby tanpa sadar mulai meneteskan air mata, sedang Agam tengah terengah berusaha menetralkan jantungnya.

“Syukur deh bisa balik lagi. Lo mimpi apa lagi sih?!” tanya Agam dengan nada kesal.

Ares mengerjap, berusaha menarik nafas dalam-dalam sebelum ia bersuara.

“Sila ngajak ngobrol tadi, giliran gue ajak balik dia pergi.”

Agam mengdengus keras, tak sanggup ia berkata-kata.

“Kak Ruby ngapain di sini?” tanya Ares setelah ia menyadari bahwa ada orang lain di sini.

Ruby terdiam, ia berdiri mematung tak tahu akan menjawab apa.

“Dia shock, masuk portal kampus bareng gue,” jelas Agam sembari duduk dan kembali memainkan ponselnya.

“Emang ada apa?”

Ares terheran, selalu ada-ada saja masalah yang Agam perbuat.

“Skandal pelecahan, gue tersangka dia korban. Kejadiannya pas dia nangisi lo yang lagi sekarat.”

Agam menjelaskan dengan singkat. Tangannya masih sibuk mengetikan banyak kata untuk klarifikasi dan menuliskan permohonan agar berita tadi dihapus.

“Terus gimana?”

“Udah beres kok, aman. Belum meluas, pihak kampus juga udah gue jelasin. Udah, gue mau ke kampus dulu beresin masalah.”

Agam bangkit dari duduknya, meraih tas yang tergeletak di sofa dan mulai berjalan meninggalkan Ares dan Ruby. Pikirannya semakin melayang, apakah Adin salah paham? Atau apakah Adin memang sudah muak dengannya? serta ratusan pertanyaan lainnya.


Kini Agam sudah berada di parkiran kampus. Suasananya cukup sepi mengingat ini sudah sore. Langkahnya gontai perlahan menuju salah satu ruangan kelas. Tanpa ia duga, seorang wanita berjalan dengan elok dari sisi lain. Itu Adin, bersama teman-temannya.

Agam nampak mulai canggung, entah apa yang akan ia lakukan. Namun, seberani mungkin ia menatap mata Adin. Senyum Adin masih sama, masih menenangkan dan masih terlihat ayu nan rupawan.

Kini langkah mereka semakin mendekat, seketika Agam membeku berbeda dengan Adin yang tetap melenggang tanpa memedulikan kehadirannya. Tak ada lagi senyum, sapaan, apalagi pelukan hangat. Semua sudah berlalu semakin semu. Namun, bagi Agam bayangan Adin masih beredar di sekitarnya. Di kampus, di rumah, di kamar, di tempat makan favorit mereka atau bahkan di seluruh jalanan yang mereka lalui bersama.

Baik Ares ataupun Agam keduanya masih sama, masih terperangkap dalam bayangan masa lalu, terbelenggu dalam seribu bayangannya yang telah hilang.

Sendiri aku berbisik Tanpa berkawan Tak akan ada yang ku usik Ku terus berjalan Terbelenggu didalam ruang dan waktu Telusuri jalan yang penuh rintangan

Seribu bayangan dirimu terus melayang Mengisi seluruh khayalku Buka semua luka Ku ingin kau hilang dariku

Tidakkah kau lihat diriku Ingin bertahan Air mataku yang mengalir Mengukir jejak Terbelenggu di dalam ruang dan waktu Telusuri jalan yang penuh rintangan

Seribu bayangan dirimu terus melayang Mengisi seluruh khayalku Buka semua luka Ku ingin kau hilang dariku

1000 Bayang – Baim feat. Asteriska.


-amara.

Dering telpon tak berhenti menginterupsi Luke yang tengah rapat bersama para pemegang saham. Berapa kali ia matikan, tapi telpon tersebut kembali berdering tanda panggilan masuk. Hingga ia terpaksa mematikan kembali ponselnya dan memasukkan kedalam saku jasnya.

Ditengah istirahat rapat, segera ia kembali menyalakan ponselnya dan didapatinya puluhan telpon masuk dari Raja, asisten Renata. Luke mengernyit, sebelumnya ia hanya menanyakan keberadaan Renata yang tiba-tiba tidak hadir rapat dan menghilang, padahal pagi tadi istrinya terlihat baik-baik saja. Segera ia menelpon kembali Raja, memastikan bukan hal penting yang harus disampaikan, pikir Luke.

“Halo,” sahut Raja dari ujung telpon sesaat setelah panggilan terhubung.

“Kenapa, Ja? Maaf tadi gak dijawab,” balas Luke.

“Kakak...” lirih Raja, suranya tercekat seolah tak sanggup untuk bersuara.

“Ya, kenapa dia? Tumben manggil Kakak?” tanya Luke dengan dagu mengernyit, heran.

“Tolongin kakak, pulang sekarang please...” lirih Raja sebelum terdengar suara isak dari ujung telpon.

“Kenapa Renata?” sahut Luke setengah berteriak, refleks ia berdiri dari kursinya panik.

“Seperti biasa...” jawab Raja sebelum panggilan tersebut diputus sepihak oleh Luke.

Cepat Luke memutar tubuhnya kembali ke ruangan, melanjutkan kembali rapat yg tertunda. Namun, pikirannya yang resah membuatnya segera mungkin menyudahi rapat. Dengan tergesa ia keluar ruangan menuju tempat parkir. Pikirannya sekarang kacau memikirkan banyak hal terlebih banyak laporan yang masih belum sempat ia lihat dan periksa.

Sejatinya ia masih belum memahami Renata, setahun bersama tidak membuatnya mengenal istrinya. Masih banyak hal dalam diri Renata yang abu-abu, termasuk tentang keluarganya bahkan tentang Raja sekalipun. Renata dan segala hal yang ia pendam.


Luke tergesa memasuki rumahnya, laporan terakhir Raja membuatnya tak tenang. Langkah kakinya serampangan menuju pintu rumahnya, di halaman jelas terdapat mobil Renata. Namun, saat ia membuka pintu rumah, didapatinya baju Renata dan baju lelaki tercecer hingga didepan pintu kamar tamu yang sedikit terbuka.

Langkahnya mantap menuju kamar tamu, dipandangnya jelas Renata bersama dua lelaki sedang bercumbu panas diatas kasur tanpa busana. Luke berjalan menuju sofa yang ada, memandang keseluruhan adegan yang ada. Hingga manik matanya bertemu dengan Renata saling bertemu, saling tatap.

“Kalo mau dilanjut silahkan, saya tunggu sampai selesai.”

Ketiga pasang mata, menatap ke sumber suara. Aura mencekam memenuhi sudut ruangan. Luke sekeras mungkin menahan amarahnya. Entah ini perasaan marah atau apa, yang jelas ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Semua seperti menghujamnya keras dan berputar dikepalanya.

Dua lelaki yang ada disana segera bergegas pergi, meninggalkan Renata yang terduduk diatas kasur dengan pandangan lurus menatap Luke. Tatapannya kosong, terasa hampa. Namun, sekejap ia tersenyum miring dan mengambil rokok dinakas. Menyalakan perlahan dan menghisapnya seolah tanpa beban. Terlihat jelas bahwa ia menyembunyikan banyak hal dibalik tingkahnya.

Luke terdiam, pandangannya tajam menatap Renata. Sesekali ia menghembuskan nafasnya kasar. Entah pikiran darimana tiba-tiba ia bangkit dan memeluk Renata. Seketika tubuh Renata kaku, terkejut akan perlakuan Luke yang tiba-tiba terlebih Luke juga meraih rokok di tangan Renata dan membuangnya di asbak diatas nakas. Gerakan yang amat sangat mencurigakan. Aura gelap semakin menyerubungi tubuh Luke.

“Ayo mandi dulu,” ujar Luke sembari mengangkat tubuh Renata.

Renata terdiam, ia menuruti semua yang Luke katankan. Termasuk ketika ia tiba-tiba diangkat menuju kamar mandi. Ia seperti tersihir oleh Luke.


Renata sudah menyelesaikan mandinya, tetesan air masih mengalir dari rambutnya yang basah. Dihadapannya kini Luke yang tengah duduk di sofa dengan tangan terlipat didepan dada. Masih dalam diam dan pandangan tajamnya.

“Kenapa gak marah?” tanya Renata.

“Kamu mau aku marah?”

Luke melirik tajam sembari menanyakan kembali pertanyaan Renata. Pertanyaan yang membuat Renata menelan ludahnya kasar.

“Ya, terserah sih,” kilah Renata sembari mengeringkan rambutnya.

Seketika kehengingan kembali menyelimuti ruangan. Aura gelap semakin terasa kala mentari mulai turun di ufuk barat, menyisakkan siluet keduanya. Kedua insan yang berusah berdamai dengan isi pikirannya.

Renata bangkit meninggalkan Luke menuju ruang gantinya, beberapa saat ia berdiri dihadapan lemari, entah pikiran dari mana ia justru memilih dress dengan belahan panjang hingga pahanya, pikirannya kini ingin segera lari dari sini tak memikirkan gaya seperti apa yang harus ia kenakan. Luke yang menyadari hal tersebut mengernyitkan dahinya, merasakan sinyal aneh dari Renata.

“Mau kemana?” tanya Luke dengan nada sedikit meninggi, aura gelapnya masih belum pudar.

“Bar.”

Luke mengusap wajahnya kasar, “ setelah having sex sama dua orang, masih bisa pergi tanpa merasa bersalah?”

“Ya, kenapa emang? Salah?” ketus Renata. Ia sudah bersiap dan mulai duduk didepan meja riasnya merapikan rambut dan riasannya.

Luke menghembuskan nafas kasar, ia duduk tepat dibelakang Renata menatap lurus mata Renata dari cermin.

“Tanpa penjelasan apapun?” tanya Luke dengan nada putus asa.

“Buat apa? Apa yang bakal berubah kalo aku jelasin?” jawab Renata datar.

Seketika hening, hanya terdengar suara dari Renata yang tengah menata rambutnya. Luke terpaku, ia mengamati setiap gerik Renata, matanya tak lepas dari kegiatan Renata.

“Kalo gak ada yang mau diomongin, aku pergi dulu.”

Renata bangkit dari duduknya, namun pundaknya ditahan oleh Luke. Tatapan mata Luke berubah, menjadi lebih kelam dengan emosi yang mendalam. Renata berusaha mempertahankan tatapannya, tak ingin kalah atas intimidasi Luke.

“Kata siapa boleh pergi?”

Pandangan mereka saling bertemu didepan cermin. Saling menatap mendalami isi pikiran masing-masing.

“Kamu mau apa?” tanya Renata sebelum bibirnya dibungkam Luke.

Bibir Luke kini tengah mengulum kasar bibir Renata, menghisap dan menggigitnya tanpa ampun. Diangkatnya tubuh Renata keatas Meja rias, tangannya mendorong pundak Renata hingga menekan kaca yang ada dibelakangnya, memperdalan tautan bibir mereka. Tanpa basa-basi tangan Luke menelusup masuk kedalam gaun Renata, membelai garis potongn gaun yg menyingkap paha mulusnya. Renata mulai gelisah, sentuhan yang Luke berikan menyalurkan sengatan listrik halus ke sekujur tubuhnya.

Refleks tangan Renata mengalung di leher Luke, sama sama memperdalam tautan mereka. Tanpa ia sadari Kaki kirinya sudah diangkat dan ditempatkan dipundak Luke. Tangan Luke menarik keras g-string yang Renata kenakan dan membuangnya asal. Dua jarinya sudah masuk dan mengocok keras lubang Renata, membuat gerakan menggunting memaksanya untuk melebar.

“Ahhh ... hssss ..”

Renata merintih disela ciuman panas mereka, jujur bagian bawahnya terasa perih karena masih kering.

Tanpa aba-aba Luke sudah mengeluarkan penisnya tanpa melepas celananya dan memaksakan masuk kedalam lubang Renata yang masih belum siap.

“Arghhh ...”

Jeritan terdengar dari mulut Renata, ia cukup terkejut hingga melepaskan tautan bibir mereka. Kini lubangnya sudah penuh dengan penis milik Luke. Cepat Luke mulai menggerakkan pinggulnya, memompa lubang Renata acak. Tubuh Renata semakin menggelinjang, terlebih saat Luke menumbuknya tempat di g-spotnya. Perih mulai menjalar di area permukaan vaginanya, saat resleting celana Luke menggesek kasar klitorisnya. Perih namun candu.

“Bisa kita lebih cepat? Gerakan mu terlalu lambat,” oceh Renata disela desahannya.

“Hahaha ... as you wish.”

Luke segera mempercepat pergerakan nya, walaupun lubang Renata masih belum sepenuhnya basah, sehingga terasa kesat dan sulit untuk keluar masuk vaginanya.

Renata semakin melayang, walaupun rasa perih mulai menjalar disekitar vaginanya tapi ia sangat menikmati. Terutama saat Luke mulai mencengkeram payudaranya kuat.

'Plak!'

Refleks Luke menampar bokong sintal Renata yang membuat lubangnya semakin mengetat. Penisnya semakin membengkak, segera ia melepaskan cairan cintanya. Semakin dekat dengan pencapaiannya, semakin cepat pula Luke menggoncang tubuh Renata.

“Karena kamu capek, jadi kita cepetin ya,” bisik Luke tepat ditelinga Renata.

Jemari Renata mencengkram kuat pundak Luke, begitupula dengan kaki nya yang sudah melingkar erat di pinggangnya. Luke mengeluarkan penisnya hingga tersisa kepala penis saja, dalam sekali hentakan ia menusukkan penisnya ke vagina Renata disertai dengan semburan sperma yang melebur hingga mengotori gaun indah Renata.

Keduanya terdiam, cepat Luke melepas penisnya dan melepaskan pelukan Renata terhadapnya. Ia kembali terduduk diatas kasur menatap Renata yang tengah tak berdaya diatas meja rias dengan cairan sperma yang meleleh dari lubang vaginanya.

“Masih gamau jelasin?” tanya Luke.

Renata terdiam, ia masih menetralkan nafasnya.

“Aku kangen mama,” lirihnya disertai matanya yang mulai berkaca-kaca.

Luke terdiam, ini ekspresi yang amat asing. Renata tak pernah sedemikian hancur, segera ia bangkit dan memeluk tubuh Renata.

“Ayo kita ke mama.”


Dua orang tengah berdiri ditengah pemakaman sepi di tengah bukit yang tenang. Mereka Luke dan Renata, Renata dan Luke sudah berganti pakaian dari sebelumnya. Setelah permainan panas keduanya, Luke memutuskan mengantarkan Renata ketempat yang ia inginkan. Tanpa tanya tanpa berusah mencari tahu apapun, ia takut kembali melukai hati istrinya.

“Mama, Rena datang. Mama, selamat ulangtahun ya, maaf Rena gak bisa ajak Papa,” kata Renata berbisik kepada pusara putih yang ada dihadapannya.

Luke hanya terdiam tanpa suara, ia mengamati setiap gerik Renata. Berusaha sekuat mungkin ia menahan rasa ingin tahu.

Malam semakin larut, udara semakin mengigit kulit. Renata masih termangu, matanya menatap nanar nisan putih itu. Masih samaa seperti saat mereka tiba.

“Ayo pulang, udah dingin.” ajak Luke. Tangannya merengkuh pundak Renata pelan, membantunya bangkit dari duduknya.

Renata tak menjawab, ia hanya mengikuti apa yang Luke arahkan. Hingga mereka sampai didalam mobil. Keheningan masih menyelimuti, tak ada salah satu dari mereka yang ingin memulai pembicaaran.

“Mau makan?” tanya Luke sembari menyalakan mobil dan melajukan perlahan.

“Terserah.”

Renata menjawab singkat, tatapannya kosong memandang jalanan yang mereka lalui. Luke menghembuskan nafasnya keras, mencoba kembali bersabar.


Luke memarkirkan kendaraannya pelan didepan sebuah rumah makan sederhana. Rumah makan ayam goreng yang amat terkenal sejak lama.

“Ayo turun, makan dulu baru pulang,” kata Luke.

Renata hanya menjawab dengan anggukan kecil. Perlahan ia turun dari kursi penumpang, selangkangannya masih sakit karena tergores tadi saat mereka bermain.

Pelayan mendatangi tempat duduk mereka, menanyakan pesanan dengan sopan. Luke yang menjawab seluruhnya, sedang Renata sibuk memandang kosong bunga yang ada di meja.

“Terimakasih ya mas,” ujar Luke ramah dengan senyumnya.

Masih tak ada reaksi apapun dari Renata, seketika Luke menatap Renata, mengusap jemarinya pelan.

“Maaf kalo aku salah dan egois, Ren. Maaf kalo belum bisa mengerti, maaf kalau kau belum seutuhnya mempercayaiku.”

Luke mengatakan seluruhnya dengan lembut seolah sedang menyihir Renata. Kini dua netra mereka bertemu, mencoba saling memahami.

“Maaf,” lirih Renata.

“Kenapa maaf?”

“Karena belum bisa menjawab seluruh pertanyaan didalam otakmu.”

Renata menatap sendu suaminya. Iya, suaminya.

“Ya jika itu baik untukmu, mengapa tidak?” ujar Luke dengan senyum menenangkan.

Renata turut tersenyum tipis disertai anggukan kecil.

“Ya, benar. Tapi, kuberikan satu kesempatan bertanya, akan ku jawab jujur,” tawar Renata.

Luke nampak antusias, ia segera menyusun daftar pertanyaan dari dalam otaknya mengurutkna berdasarkan yang plaing ia ingin tahu.

“Siapa Raja? Kenapa dia manggil kamu kakak?”

Dari puluhan ribu pertanyan ini yang ia ajukan. Ia sejati juga penasaran dengan cerita dibalik Renata dengan Papanya, tetapi ia merasa inilah pertanyaan yang saat ini ia ingin tahu.

“Adik, tiri? angkat? atau apalah yang dia inginkan,” jawab Renata tenang.

Luke sudah bersiap untuk mengajukan pertanyaan kembali, sebelum ia dihentikan oleh Renata.

“Kapan-kapan nanti ku ceritain.” tutup Renata singkat.

“Yaaah ...”

Raut kecewa menghiasi wajah Luke, pertanyaannya gagal diajukan.

Renata tersenyum, “kalo lelaki yang dikamar tadi, itu susruhan Papa biar kau gak keluar. Mereka datang ngasih obat dan jadilah seperti tadi.”

Luke tak sanggup berkata, ia tak pernah menyangka sebelumnya. Tak lagi ada percakapan antar kedunya hingga makanan tiba.


Dua minggu sudah semua berjalan membaik. Renata yang mulai tenang memilih bercocok tanam untuk mengisi harinya sembari sesekali menghampiri kantor atau Bar yang ia kelola.

Hari-hari mereka serupa pasangan suami istri yang seutuhnya. Penuh gelak tawa dan kasih sayang. Renata terutama, ia sudah mulai belajar menerima Luke seutuhnya.

Hari ini, Renata merasa aneh dengan tubuhnya yang tiba-tiba mudah lelah, lemas disertai mual yang berlebihan. Tak seperti biasanya. Luke memandang istrinya aneh, sebelum menuju kantor ia memastikan istrinya beristirahat di kamar mereka.

“Udah sana berangkat, aku gak apa kok.”

Renata mendorong pelan lengan Luke, memintanya untuk segera pergi menuju tempat kerja dan tak perlu mengkhawatirkannya.

“Beneran nih? Yakin?” tanya Luke yang tengah memastikan kembali keadaan istrinya.

“Iya udah sana.”

Luke akhirnya beranjak meninggalkan Renata. Tak lama dari kepergian Luke, Renata bangkit dari tidurnya menuju kamar mandi. Ia mencurigai suatu hal. Sigap ia mengeluarkan testpack yang lama ia simpan. Bergegas ia mencobanya karena ia penasaran.

Lutut Renata tak berhenti bergoyang, resah. Ditangannya satu testpack yang sedang ia tunggu hasilnya, sedangkan di meja sudah ada empat buah testpack yang menunjukkan hasil. Tak lama hasilnyabsudah muncul, seketika Renata terdiam.

“Positif.”

Sekujur tubuhnya gemetar menahan tangis. Kini yang ia pikirakan adalah cara menyampaikan kepada Luke mengenai hal ini.

Ya, lembaran baru dunia mereka. Kisah baru yang harus ditulis bersama, bukan hanya Luke atau Renata seorang diri.

“Selamat datang anakku, bahagialah.”


-amara.

Agam terduduk di lorong depan kelas, menanti sang kekasih yang masih ada mata kuliah. Kali ini ia sengaja menjemput lebih awal kekasihnya, Adin, sebagai permintaan maaf karena kemarin terlambat menjemputnya.

Langit semakin sore, ia semakin resah karena meninggalkan Ares terlalu lama di rumah sakit. Tak berselang lama derap langkah terdengar, tanda kelas sudah berakhir. Agam bangkit dan mengamati setiap jengkal manusia yang lewat di hadapannya. Memandang satu per satu manusia yang lewat. Namun, ia masih tak menemukan Adin hingga sepi. Ia kembali terduduk, ponselnya tertinggal di rumah sakit membuatnya tak bisa menghubungi Adin.

Kini ia semakin resah, beberapa kali mengacak rambutnya dan mendengus kesal.

“Agam ....”

Suara lirih lembut memecah kebingungan Agam, didapatinya Adin tengah berdiri di sisinya dengan pandangan sayu dan kacamata yang menggantung di wajah ayunya. Agam menoleh, ia tersenyum tipis menyapa kekasihnya.

“Tumben udah jemput?” tanya Adin.

Agam menarik lengan Adin pelan, kini mereka berjalan beriringan.

“Buat minta maaf kemarin udah telat jemput,” jelas Agam dengan senyuman.

“Hahaha padahal kan gak apa, Gam. Gimana Ares?”

Raut Agam berubah sendu, “Masih memilih tidur sambil mimpiin Sila.”

Sudah jadi rahasia umum tentang keadaan Ares, bahkan kabarnya sudah tersiar di luar flFakultas Teknik. Tak heran Agam sering mendapat pertanyaan mengenai Ares beberapa minggu belakangan ini.

“Sila bagi Ares udah kek nyawa, ya? Bahkan di mimpi pun dikejar,” ungkap Adin.

Ares mengangguk kecil menyetujui pendapat Adin. Kini mereka telah sampai di depan motor Agam, segera Agam menyerahkan helm lebih yang ia bawa untuk Adin.

“Terima kasih. Mau kemana kita?” tanya Adin sembari memeluk pinggang Agam yang bersiap menyalakan kendaraannya.

“Jalan-jalan?” tawar Agam.

“Okay, kapan lagi kan kita night ride.”


Puluhan kilo jalanan kota sudah mereka susuri, di bawah langit malam dan lampu jalanan yang menaungi keduanya. Adin masih memeluk erat pinggang Agam berusaha menyalurkan segala kasihnya.

“Mau makan?” tawar Agam setengah berteriak melawan suara angin.

“Boleh,” jawab Adin.

Segera Agam mengarahkan kendaraannya menuju tempat makan favorit mereka, sate madura depan kantor kecamatan.

Mereka tanpa suara, Adin dengan pikirannya begitu pula dengan Agam. Agam menikmati semilir angin berusaha melepaskan penatnya sehari-hari di rumah sakit dan kampus. Sedang Adin sibuk dengan pikirannya yang berisik tanpa sebab.

Tiba di depan penjual sate, dengan cepat Adin turun dan melepaskan helm yang ia kenakan. Seperti biasa mereka akan memesan dua puluh tusuk sate beserta lontongnya dan duduk di meja kedua dalam tenda.

“Kenapa? Capek ya?” tanya Adin dengan raut khawatir.

Agam menggeleng menepis kekhawatiran kekasihnya.

“Enggak kok, udah biasa.”

“Kenapa kamu masih nunggu Ares? Keluarganya mana?” tanya Adin sembari memainkan ujung tali hoodie miliknya.

“Orang tuanya sibuk, kakak-kakaknya cuman ada Ruby. Yang lain gak peduli sama Ares.” terang Agam.

“Ruby, anak mesin 17?”

Agam mengangguk, “Yap, dia saudara Ares ternyata, dari kecil diadopsi.”

“Terus kenapa kakaknya muncul tiba-tiba?”

Adin kini memandang wajah Agam seksama, rasa ingin tahu memenuhi pikiran dan sanubarinya.

“Keluarga angkat Ruby ngelepas dia tiba-tiba, mau nggak mau Ruby harus nyari lagi keluarga lamanya. Untung dia sekampus sama Ares, jadilah dia nyoba buat nyambung lagi minimal sama adeknya lah.”

Adin mengangguk, tak berselang lama pesanan mereka tiba.

“Gam, gak capek?” tanya Adin disela mengunyah satenya.

“Capek apa? Sama Ares?”

Adin mengangguk, “He'em, kek berlebihan aja kamu.”

“Din, kalo dibilang capek ya capek, tapi kalo kek gini apa Ares nggak capek? Sama aja. Gue nggak boleh egois, maaf ya kalo kesannya menyampingkan kamu.” tutur Agam dengan raut sendu.

“Yaaah mau gimana lagi kan? Kamu juga bakal terus sama Ares,” balas Adin dengan nada lemah.

“Maaf—”

Drrttt ... drrttt ...

Getar dari ponsel Adin menginterupsi pembicaraan mereka. Tertulis jelas nama Agam di layar tanpa telepon dari ponsel Agam yang tertinggal di rumah sakit.

“Ada telpon dari nomermu,” ucap Adin sembari menyodorkan ponsel di hadapan Agam.

Segera Agam menerimanya dan menjawab panggilan tersebut.

“Gam.”

Suara wanita muncul dari seberang panggilan. Tampaknya suara Ruby yang tengah terisak.

“Kenapa? Ada apa?” tanya Agam panik.

“Ares, sadar.”

Ruby menjawab terbata, sedangkan Agam berulang kali menghembuskan nafas penuh syukur.

“Oke, gue ke sana, tunggu.”

Agam segera mematikan ponsel milik Adin dan bangkit dari duduknya. Adin menatapnya bingung mengapa Agam tiba-tiba bangkit.

“Ke mana?” tanya Adin lirih, makanan mereka baru habis setengah.

“Astaga, Ares sadar. Maaf ya kamu pulang sendiri, aku ke rumah sakit sekarang, nanti telpon aku, ya, bye.”

Agam berlari begitu saja keluar tenda menuju motornya. Meninggalkan dua piring makanan yang belum habis. Meninggalkan pula kekasihnya yang terpaku menatap jalanan yang menghapus bayang-bayang dirinya.


Seharian sudah Agam habiskan di tumah sakit. Sejak Ares dinyatakan sadar dari komanya, ia cukup sibuk menanyakan banyak hal kepada dokter hingga mencoba mendampingi Ares. Ia mencoba memulai percakapan kecil tanpa menyinggung perubahan hidup Ares termasuk tentang Ruby ataupun Sila.

Ares masih sangat terkejut, ia sesekali tak bisa membedakan mana mimpi dan mana kenyataan. Kerap beberapa kali ia menanyakan kepada Agam sosok dalam mimpinya atau sosok yang sekelebat ada di hadapannya. Agam bersusah payah menjawab semuanya, ditambah Ruby yang memutuskan untuk pergi menemui ayahnya dan ayah Ares.

Tanpa sadar ia melewatkan puluhan pesan singkat dari Adin. Begitu pula puluhan telpon masuk. Saat Ares terlelap ia sempatkan memandang ponselnya dan membaca salah satu pesan singkat yang masuk.

'Adin jatuh dari tangga kampus dan kini di rumah sakit juga.'

Pesan singkat yang dikirim oleh salah satu rekan dari Adin. Lekas ia bangun dari duduknya dan menanyakan di mana sekarang Adin berada. Kakinya melangkah cepat menuju arah IGD tempat Adin berada.

Didapatinya Adin dengan salah seorang laki-laki lain yang sedang berusaha membantunya berdiri. Dengan cepat Agam mendekat dan menggantikan posisi lelaki tersebut. Sontak Adin pun terkejut, menyadari tiba-tiba Agam sudah berada di sisinya.

“Ngapain di sini?” tanya Adin ketus.

“Kamu jatuh nggak bilang sih?!” jawab Agam kesal.

“Ha?! Konyol, lihat siapa yang sibuk sampe lupa siapa pacarnya?” cibir Adin sembari berusaha menepis tangan Agam.

“Maaf—”

“Nggak usah, kita putus aja.” putus Adin dengan suara mantap.

Agam hanya terpaku, pikirannya mendadak kosong. Tak menyangka Adin berubah secepat ini, dua puluh empat jam yang lalu mereka masih baik-baik saja.

“Oke, kalo emang itu maumu.”

Agam melepaskan lengan Adin dan menuntunnya untuk duduk kembali divatas bangsal. Adin hanya terdiam, tak berusaha mengelak atau memberontak.

“Din, aku nggak tau apa yang bikin kamu kek gini, tapi boleh aku minta peluk buat terakhir kali?” pinta Agam dengan suara lirih.

Adin mengangguk, segara ia merentangkan tangan dan menuntun Agam ke pelukannya. Tanpa sadar Agam memeluk Adin erat, untuk terakhir kali pikirnya. Akhirnya Agam melepas pelukannya serta berusaha melepaskan rasa di hatinya.

“Kenapa nggak nolak?” tanya Adin heran.

“Buat apa aku menahanmu, tapi kamu tidak mau? Setidaknya aku sudah memelukmu dan melepasmu dengan banyak cinta.”

Agam tersenyum menutup penjelasannya. Kini ia memutuskan pergi meninggalkan Adin dari tempat itu dan kembali ke kamar inap Ares.

Agam tak menangis atau menyesali semuanya. Ia tahu dan amat tahu Adin akan jenuh bersamanya. Yang ia pikirkan sekarang adalah kemarahan atas diri sendiri yang tak mampu membuat seseorang bertahan di hidupnya. Agam akan menutup lukanya dengan senyum, baginya ini bukan luka. Namun, sebuah pembelajaran besar bagi hidupnya.

Ia lelaki yang dengan yakin melepas kekasihnya dengan penuh cinta, tanpa beban. Namun, apakah ini akan bertahan menjadi kenangan indah atau justru mimpi buruk.

Ia Agam, terima kasih sudah mengenalnya.


-amara.

Ares berlari menyusuri lorong kampus, lagi-lagi ia terlambat menuju kelas paginya. Dengan kemeja yang belum terkancing sempurna dan tas yang ia sampirkan di salah satu lengannya, ia menuju kelasnya yang berada di lantai tiga gedung fakultas teknik mesin.

“Kalo jalan pake mata, Bangsat!”

Ares menoleh sejenak ke belakang memandang seseorang yang tanpa sengaja ia tabrak. Ia hanya melambaikan tangan tanda permintaan maaf sebelum ia kembali berlari meninggalkan orang tersebut.

Ares terengah-engah, nyaris saja ia terlambat. Ia memilih duduk di sisi seorang wanita yang tengah membaca lembaran jurnal. Sekilas Ares memandang sebelum perhatiannya kembali teralihkan ke dosen yang baru saja tiba.

“Ruby,” kata wanita di sebelah Ares.

“Ha?”

“Gue tahu lo liatin mulu, jadi gue jawab. Ruby nama gue, Ares Antariksa.”

Wanita yang memperkenalkan diri bernama Ruby kini tengah menatap Ares dengan senyum hangatnya. Ditambah ia mengeja nama Ares yang tertera di salah satu lembar laporan yang ia bawa.

“Gak nanya sih tapi makasih infonya,” ujar Ares.

Kini mereka kembali menatap layar LCD yang menampilkan materi, mengabaikan sejenak percakapan singkat mereka.


Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Tengah hari, tanda berakhirnya kelas dan digantikan jam istirahat makan siang. Kini Ares berjalan perlahan, dengan ponsel di tangan menghubungi salah satu kawannya yang hari ini berbeda jadwal dengan dia.

“ARES!” teriak seseorang dari dalam ruangan.

“Ha?” refleks Ares berbalik mencari sumber suara. Didapatinya Ruby melambaikan tangan kearahnya, kali ini ia tak sendiri. Ia bersama dengan seorang wanita dengan gaya kasual dan muka cemberut.

“Gue mau ke kantin. Yuk, ikutan bareng!” kata Ruby antusias sedangkan teman di sebelahnya sudah mulai jengah.

“Gak dulu, gue nunggu Agam,” tolak Ares tanpa memandang Ruby. Ia masih sibuk dengan ponselnya.

“Yaaaah padahal mah-”

“Udah ayo kita makan. Laper tahu. Dia mah mana peduli sama kita orang nabrak juga gak minta maaf.”

Perkataan Ruby dipotong oleh temannya dengan cepat, mereka bergegas meninggalkan Ares yang memandang keduanya heran.

“Gue nabrak dia? Kapan coba?” tanya Ares pada diri sendiri.

Tak berselang lama seseorang menepuk pundak Ares. Dia Agam, lelaki dengan kaos hitam dan hodie yang sengaja ia lepas ditambah topi hitam.

“WOY!” sapa Agam.

“Lu dari mana sih? Lama bener kek dari Arab,” gerutu Ares.

“Santai napa sih? Gue nganter cewe dulu tadi,” jelas Agam membela diri.

“Cewe yang mana lagi brengsek?! Kuliah tuh nyari ilmu bukan ternak cewek,” ujar Ares.

“Kan sambil menyelam minum air,” kelakar Agam ditambah dengan kekehan.

Mereka kini tiba di kantin, tak ada tempat duduk tersisa hanya dua kursi di sisi Ruby dan kawannya.

Agam segera menarik lengan Ares menuju kursi tersebut sebelum terlambat.

“Hai kakak-kakak cantik boleh dong numpang di sini?” tanya Agam sembari menarik kursi di depan Ruby.

“Eh, kalian. Boleh sini duduk aja, kosong kok,” jawab Ruby ramah.

Dengan terpaksa Ares duduk di meja itu. Sebenarnya ia bukan tak suka, ia hanya merasa kurang nyaman di dekat perempuan. Terlebih ia tumbuh di keluarga yang semuanya lelaki hingga ia merasa aneh di dekat perenpuan.

“Btw, gue belum kenal kalian. Kenalin nih gue Agam, ini Ares. Anak mesin 18. Kalian?” tanya Agam memecah kecanggungan.

“Gue Ruby, anak mesin juga, angkatan 17, cuman kemaren cuti jadi gue ambil kelas anak bawah. Terus ini Frisila, panggil aja Sila, dia anak ilkom 17. Katanya mah dia pingin makan di kantin teknik makanya nyamperin gue,” jawab Ruby panjang. Agam dan Ares mengangguk singkat, sedangkan Sila memandang Ruby kesal karena memberikan informasi yang berlebihan tentangnya.

“Res, lo belum dapet tim kan tadi? Sama gue ya, biar gak ribet,” tanya Ruby.

Ares awalnya tak menggubris, ia tengah sibuk dengan bakso yang baru saja datang, namun tangannya sudah disenggol Agam.

“Oh, oke,” jawabnya singkat.

Kini meja mereka penuh dengan percakapan antara Agam dan Ruby sedangkan Sila dan Ares hanya mendengarkan. Tak lama Sila berdiri, membuat Ruby dan Agam menghentikan sejenak percakapan mereka.

“Ke mana?” tanya Ruby.

“Biasa, ikut?”

“Enggak, sana sama Ares aja.”

Ares mengernyit. Sedangkan Sila memandangnya sekilas lalu pergi tanpa kata membuat Ares semakin bingung. Namun, ia segera bangkit menyusul Sila dan berjalan mengekor di belakangnya.

Mereka berhenti di salah satu sudut kampus yang sepi, segera Sila mendudukkan tubuhnya di lantai, tangannya cepat merogoh saku tas mencari sesuatu. Ares menyusul duduk di sebelahnya, terdiam mengamati Sila.

“Ngapain ikut? Mau?” tanya Sila, tangannya menyodorkan sekotak rokok yang sudah ia keluarkan salah satunya untuk ia nyalakan.

“Gak apa, gue punya sendiri. Kaget aja ada cewek anak ilkom ngerokok di kampus,” jawab Ares.

“Emang kenapa? emang rokok punya gender sama punya identitas jurusan? Kan enggak,” terang Sila dengan nada sedikit meninggi.

“Wih, santai napa. Kirain kalem gak banyak ngomong, taunya sama aja berisik,” kata Ares sembari menyalakan rokok miliknya.

Kini mereka saling terdiam dengan asap rokok yang saling bersahut. Tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

“Gak suka aja ngomong depan orang, mana Agam berisik.”

Ares menoleh, terkejut Sila tiba-tiba bersuara.

“Agam kan emang suka ngobrol sama orang, wajar sih.”

“Kalo lo? Kenapa? Gak nyaman ngobrol sama mereka?” tanya Sila.

“Gue gak suka ngobrol sama cewek. Aneh,” jelas Ares singkat.

“Lah, gue juga cewek nih,” protes Sila.

“Enggak, lu beda. Gatau gue kenapa bisa ngobrol sama cewe yang belum genap dua puluh empat jem ketemu. Aneh.”

“Udah gak waras,” ujar Sila.


Sore yang tenang, tapi tidak untuk Ares yang kini tengah menggila di salah satu kursi taman kampus. Ia dan Ruby memutuskan untuk melakukan kerja kelompok bersama.

“Res, coba deh cari dari jurnal kampus A atau B deh, kalo cuman ini kurang,” perintah Ruby tanpa memandang Ares, ia sibuk masih mengetik di laptopnya.

“LAH, KAN TADI UDAH?!” protes Ares yang tak digubris oleh Ruby.

Ares menghembuskan nafasnya kasar, segera ia kembali membongkar data pencarian internetnya mencari kembali jurnal-jurnal yang Ruby maksud.

Perlahan langit mulai menggelap, taman sudah mulai sepi menyisakan mereka berdua. Ares masih sibuk dengan laptopnya, tanpa ia sadari Ruby bangkit meninggalkannya menuju tempat penjualan minum otomatis.

Dengan tenang Ruby kembali dan menyerahkan air minum kempada Ares. Ares mendongak dan menerima uluran air dingin dari Ruby.

“Makasih,” ujar Ares singkat.

Ruby mengangguk dan mendekati Ares, diusapnya perlahan rambut Ares.

“Sama-sama, Res. Lo keren hari ini.”

Ares memandang Ruby heran, tak biasanya seperti ini.

“Udah bereskan? Yuk pulang, gue anter.”

Ares mulai membersihkan perlengkapannya. Ia hari ini membawa sepeda motor kesayangannya, makanya dia bersedia menawarkan tumpangan pada Ruby.

“Oke, ayo pulang. Anter sampe depan kos, ya. Jangan cuma depan gang.”

Goda Ruby yang hanya ditanggapi dengusan dari Ares.


Kini mereka sudah tiba di depan rumah kos Ruby. Jaraknya tak jauh dari tempat Ares, hanya berjarak 20 meter dari kos Ares ternyata.

Ruby melepaskan helmnya sembari turun dari sepeda motor. Dipandangnya sejenak Ares yang tengah duduk di sepeda motornya. Segera ia merengkuh Ares dalam pelukannya sembari membisikkan kalimat singkat.

“Makasih Ares anak baik.”

Setelahnya Ruby segera berlari masuk kedalam kos. Meninggalkan Ares yang penuh tanya.


Keesokan harinya, Ares tengah duduk di sudut kampus yang sepi tempat ia bersama Sila sebelumnya. Segera ia duduk dan menyalakan rokok di tangannya, menenangkan pikiran.

Seminggu sudah ia seperti disesatkan oleh pikirannya sendiri. Ruby yang selalu mengucapkan bahwa ia anak baik, keren dan sebagainya atau bahkan Sila yang tiba-tiba datang merubah konsep berpikirnya tentang orang baru.

“Jangan ngelamun atau lu bakal kesambet setan.”

Sebuah suara yang menginterupsi lamunan Ares. Didapatinya Sila yang tengah berdiri di hadapannya dengan buku di tangan dan tas dipundak.

“Iya, gue kesambet lo,” jawab Ares singkat.

“Rese lo!”

Sebuah jitakan melayang di atas kepala Ares. Sudah kepalang kesal Sila menanggapi perkataan Ares.

“Ngapain kesini?” tanya Ares sembari mengusap puncak kepalanya.

“Biasa, sumpek.”

“Ada apa?”

“Gak ada apa-apa, gue cuman lagi meratapi kebodohan diri aja,” lirih Sila yang kini sudah duduk di sisi Ares dengan rokok di tangan.

“Bukannya emang bodoh?” sahut Ares.

“KAN!”

“Hahahaha, canda, Sayang. Kenapa sih?” tanya Ares mencoba meredam amarah Sila.

“Gue bodoh aja suka sama orang yang baru aja ketemu, mana punya sahabat gue pula,” jelas Sila dengan pandangan menerawang dan senyum tipis.

“Hah, siapa?” tanya Ares heran.

“Ya ada. Semalem gue lihat mereka pelukan di depan kosan, hahaha ngenes gak sih?”

Ares berusaha memahami maksud Sila, kisahnya terdengar tidak asing.

“Maksud lo, gue?” tanya Ares.

“Gak ih, pede banget.” sanggah Sila berusaha mengalihkan pandangannya.

“Gak usah bohong, Sil.”

“Ya gue gak bohong, gue gila aja bisa suka lo yang baru ketemu.”

Ares membuang putung rokoknya, perlahan ia menarik tengkuk Sila dan mengecup bibirnya singkat.

“Lo gak gila sendiri, ada gue.” ujar Ares dengan senyum hangatnya.

Sila mengerjap beberapa kali, berusaha memulihkan akal sehatnya. Ia masih mematung.

“Udah yuk balik, udah jam kelas lagi.”

Ares bangkit dari duduknya, ia menarik lengan Sila untuk berdiri juga. Kini mereka bergandengan tangan menyusuri lorong kampus mengabaikan ratusan mata yang memandang mereka.


Pagi ini Ruby sudah duduk di kelas, dengan jurnal di tangan kiri dan pulpen di tangan satunya. Mencatat materi yang ia lewatkan. Tak lama sosok Ares tiba dari arah pintu dan turut duduk di kursi samping Ruby. Senyumnya merekah, membuat Ruby mengernyit heran.

“Kenapa kok kek ada matahari sih di sini?” tanya Ruby.

“Hehehe ... gak papa,” jawab Ares dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya.

Tak lama Agam menyusul masuk ke dalam ruangan dan duduk di sisi Ruby yang lain. Ia turut heran dengan perilaku Ares yang tak biasa.

“Lo kesambet setan mana?” tanya Agam yang dijawab jitakan keras dari Ruby.

“Omongan lo emang gabisa difilter,” gumam Ruby kesal.

“Ya, kan bener?!” gerutu Agam sembari mengusap kepalanya.

“Gue lagi seneng bisa gak kalian ikut menikmati kebahagian gue?” ungkap Ares kesal.

“Emang ada apa sih?” tanya Agam penasaran.

Ares tersipu, “gue lagi jatuh cinta sama seseorang.”

Ruby dan Agam menatap Ares heran, tak biasanya.

“Siapa?” tanya Ruby pelan.

“Frisila.” jawab Ares dengan senyum.

Ruby dan Agam tak menjawab, mereka terdiam dengan lidah tercekat.


Seorang lelaki tengah duduk di sisi bangsal rumah sakit. memandangi seorang lelaki yang tengah terlelap dalam tidurnya. Sudah genap tiga hari lelaki ini tertidur tanpa ada tanda-tanda akan sadar.

“Dia mau sampe kapan begini?” tanya seorang wanita yang baru saja tiba.

“Sabar, dia hanya terpukul. Sila adalah segalanya, segala hal baru yang harus ia lepaskan dengan cepat.”

“Tapi, Gam. Dia jatuh cinta dengan hantu! Benar dia ketemu Sila, itu sekali sebelum Sila sorenya meninggal kecelakaan.”

“Ruby, sudah. Jangan kita bahas lagi, Ares bangun aja kita udah syukur.”

“Tapi, gue baru ketemu Ares, adek gue, barusan Gam dan dia sekarang tidur setelah mau mati minum racun! GUE HARUS APA?!” jerit Ruby memenuhi ruangan.

Agam hanya terdiam mengusap punggung Ruby lembut. Ia tahu betapa sakit perasaan Ruby, ia tahu betapa berat menerima semuanya. Ares, sahabatnya yang nyaris tak pernah mengenal wanita dalam hidupnya bertemu dengan Frisila, sahabat rekan sekelasnya yang ternyata kakak Ares yang diadopsi 18 tahun lalu. Ruby, sebenarnya tahu bahwa Ares sejak pertama bertemu Sila menunjukan gelagat suka. Namun, takdir berkata lain, Sila kecelakaan sore itu saat pulang kampus dan Ares tak mengetahui itu. Ares selalu menganggap Sila masih ada dan menemaninya menghisap rokok di sudut kampus. Hingga seseorang menjelaskan kematian Sila pada Ares yang membuatnya terkejut dan memutuskan untuk bunuh diri dengan sebotol racun yang entah ia dapat dari mana.

Kini Ares masih terjebak dalam mimpinya, mimpi bersama Sila. Mimpi tentang cintanya, mimpi tentang bahagianya. Mimpi semu, angan-angan yang kosong.


-amara.