Apa yang terjadi sore tadi masih terekam jelas dalam benak Aurora, gadis yang kini termenung dalam gelap kamar lembabnya. Sengaja memang ia tak menyalakan lampu karena setiap sudut kamarnya mengingatkannya akan lelaki itu, Tian.
Kejadian di kafe di mana Tian mengenalkannya pada kekasih barunya, menyadarkan Aurora akan dua hal. Pertama, tentang bagaimana semua ini berawal. kedua, tentang bagaimana ia akhirnya terjatuh pada rangkaian kisah cinta semu yang ia angankan. Ya, semua bermula dari teman cerita dan tak lebih dari itu. Namun, kini ia seperti terhantam keras oleh kenyataan, bahwa nyata adanya hanya ia yang jatuh cinta di sini atau memang sejak awal ia jatuh cinta pada ekspetasi semu yang ia bangun seorang diri.
Ironi, memang. Aurora selalu menganggapnya rumah, tetapi faktanya Tian hanya ruang petak yang ia sewa dari seseorang yang sedang menantinya pulang.
Kau datang tak kala sinar senjaku telah redup.
Dan pamit ketika purnamaku penuh seutuhnya.
Kau yang singgah tapi tak sungguh.
Kau yang singgah tapi tak sungguh.
Kukira kau rumah.
Nyatanya kau cuma aku sewa.
Dari tubuh seorang perempuan.
Yang memintamu untuk pulang.
Kau bukan rumah.
Aurora memutuskan untuk berbaring di atas kasur hangat dengan sisa-sisa kisah keduanya. Ia meletakkan lelahnya, berharap esok kan membaik.
Mentari menyelinap masuk di antara jendela kamar Aurora, membuat si empunya mengerjap dan terbangun dari tidurnya. Tangannya perlahan meraih ponsel, menatap puluhan pesan singkat dan tumpukan panggilan tak terjawab. Sontak ia menatap tajam dan terbangun seutuhnya menatap isi pesan yang masuk.
Segera ia bangkit dan menghubungi satu nama, Winar. Berharap hal buruk tak terjadi pada pemuda itu. Dengan cepat ia menuju kamar mandi dan bersiap dengan kilat.
Kini ia telah berdiri di ruang tengah rumahnya. Sebenarnya ia ingin menyampaikan pesan kepada Echan yang masih terlelap, tapi ia urungkan dan segera ia berlari menuju mobilnya yang ada di garasi.
Tangkas ia menggerakkan kemudi dengan satu tangan dan tangan satunya untuk menghubungi Winar yang sejak tadi tak ada jawaban. Jiwanya yang lelah membuatnya semakin kalut, tanggung jawab yang ia emban sontak membuatnya harus berpikir logis di tengah rentetan peristiwa yang ia alami. Tian dan kisah cintanya yang kandas atau bahkan Echan dengan pengakuan terlarangnya, dan kini bertambah dengan Winar dengan skandal besar yang tercipta di tengah popularitasnya.
Teringat satu nama dalam benak Aurora, sejatinya di saat seperti ini ia akan menghubungi Tian guna menenangkannya tapi kali ini berbeda. Winar masih tak bisa dihubungi, satu-satunya orang yang paham akan Winar hanya Naya. Yakin ia menghubungi Naya dengan harapan akan menemukan sebuah pertunjuk tentang keadaan Winar.
“Halo, Nay, ini Kak Aur,” kata Aurora sedetik setelah panggilannya terhubung.
/“Ah iya kak, kenapa?”/
“Di mana?” lanjut Aurora.
/“Kampus, lagi ujian.”/
“Aah, maaf, yaa. Sebelumnya tahu Winar di mana?” tanya Aurora.
/“Dirumah, mungkin. Aku gak tahu kabar dia dari semalam, Kak. Maaf aku sibuk.”/
“Aah, maaf, maaf. Nay password rumah Winar apa ya?” tanya Aurora.
/“Itu 120613. Maaf, ya, kak aku tutup, bye.“/
“Okaay, thanks yaa.”
Naya menutup panggilan tersebut. Terkesan aneh sebenarnya bagi Aurora karena Naya tak biasanya seperti ini, tetapi ia mencoba menepis apa yang ada dalam pikirannya dan kembali fokus menyetir.
Aurora berulang kali mengetuk pintu rumah Winar, masih berprasangka bahwa Winar baik-baik saja dan membukakan pintu untuknya, menyambutnya masuk dan mendiskusikan masalah semalam. Namun, tidak, Aurora sudah genap berdiri dua puluh menit di depan pintu. Tanpa sahutan den respon apapun. Kesabaran Aurora sudah di ujung, segera ia memasukkan kode rumah Winar yang ia terima sebelumnya. Langkahnya tergesa masuk setelah ia berhasil masuk dan memutar kenop pintu.
Hening tanpa suara.
Langkahnya melambat saat tiba di depan kamar Winar yang sedikit terbuka. Sontak matanya membulat, terkejut ketika mendapati Winar yang tergeletak di lantai dengan puluhan obat tidur tercecer.
“WINAAAR!” teriak Aurora terkejut.
Tak ada respon dari lelaki itu. Cepat Aurora menyeret tubuh Winar keluar rumah menuju mobilnya. Ia sadar tak bisa memanggil bantuan karena akan banyak masalah yang terjadi bila lebih banyak orang yang tahu.
Khawatir menyelimuti wajahnya, kini yang ada dalam benaknya hanya tersisa pikiran bagaimana agar Winar segera sadar. Sejak tiba di IGD, Aurora tak lepas pandangan dari Winar yang sedang ditangani. Tak lama ponselnya berdering, Tian menghubunginya lagi.
Aurora mengabaikan ponselnya yang berdering, sengaja memang karena ia tak ingin pikirannya semakin tergangu. Tak lama Tian mengirimi ia pesan singkat.

Pesan singkat yang sungguh menusuk hari Aurora, entah apa yang ada di dalam otak Tian saat mengetik pesan itu. Mati-matian ia menahan air mata yang nyaris jatuh, tak mungkin ia meratapi nasib di sini sedang Winar masih tak sadarkan diri.
Tak lama dokter datang menghampirinya, menepuk pelan pundak Aurora yang kini tengah tertunduk memandang lantai.
“Dia sudah sadar, bisa dipindahkan ke ruang rawat inap,” jelas dokter itu singkat sebelum ia meninggalkan Aurora.
“Ah, terima kasih, Dok!”
Aurora berlari menuju bangsal Winar, mendampinginya berpindah tempat menuju ruang rawat inap. Di tengah perjalanan picing matanya mendapati seseorang yang ia kenal. Seketika langkahnya berhenti dan menghampiri pria tersebut.
“LO GENDRA KAN? NGAPAIN DI SINI?” teriak Aurora.
Sontak seluruh pasang mata yang ada di lobby rumah sakit menatapnya dan membuat pemuda di hadapannya terkejut.
“Astagfirullah, Toa Masjid, bisa gak sih pelan-pelan?”
Lelaki bernama Gendra nampak panik meminta maaf kepada seluruh orang yang menatap mereka aneh dan menarik Aurora untuk keluar menuju taman rumah sakit.
“Ish, lepasin, jelasin coba ngapain lo ke sini. Pasti nyari gosip Winar kan?” cecar Aurora penuh curiga. Ia tahu Gendra adalah jurnalis dari salah satu infotaiment ternama, sudah jelas berita Winar menjadi incarannya.
“Ampun dah, gue tuh ke sini mau periksa. Eh, taunya ketemu lo di lobby, kan lumayan ada berita gratisan,” jelas Gendra dengan cengengesan.
“Kurang ajar lo! Gue lagi pusing, kagak paham ini kenapa lu malah manfaatin,” murka Aurora.
“Udah, udah, sini duduk dulu, jelasin ke gue ntar gue bantuin deh. Ya walaupun sekalian gue nyari berita sih. Hehehehe.”
Gendra menunjuk kursi taman di dekatnya dan meminta Aurora untuk duduk bersamanya.
“Semalem tuh gak ada apa-apa, baru pagi tadi gue liat notif chat gue isinya pada nanyain Winar. Pas gue baca taunya isinya skandal Winar nelantarin pacar sama anaknya. Aslian gue kaget dong. Sejak kenal Winar, gue cuman tau dia punya pacar satu dan bukan yang diberitain itu. Yang jelas, tuh cewek yang di berita, kenal Winar dari sebelum kerja bareng gue,” jelas Aurora.
Gendra mencoba menyimak penjelasan Aurora, otaknya berusaha mencerna penjelasan Aurora.
“Terus lo belum tau dari Winar ceritanya gimana?” tanya Gendra.
Aurora menggeleng dan berkata,” tadi pagi gue ke rumah Winar dan nemuin dia udah pingsan overdosis obat. Pacarnya juga gak ngasih penjelasan soalnya lagi sibuk ujian.”
Gendra mengangguk, memahami apa yang sedang Aurora pikirkan.
“Jadi di sini lo juga gatau Winar beneran seperti yang dituduh atau semua cuma isu, ya, kan?” tanya Gendra yang disambut anggukan dari Aurora.
“Terus apa yang bakal lo lakuin? Jelas dong kontrak-kontrak Winar di ujung tanduk nih,” tanya Gendra kembali.
“Yang jelas gue nanya Winar dulu dia mau apa dan yang pasti gue percaya dia. Gue bakal dampingi dia apa pun itu,” terang Aurora mantap.
“Widiih keren, oke nih. Ada patutnya lo juga harus nyari tau tentang nih cewek, Ra. Rada mencurigakan sih dia,” kata Gendra.
“Pastinya, tapi gue sendirian, gak mungkin minta bantuan orang lain,” jelas Aurora putus asa.
“Lah gue ada,” jawab Gendra dengan mata berbinar dan senyum merekah.
“Ntar lo bikin berita,” ketus Aurora.
“Ya namanya nyari duit, gimana sih lo. Lumayan kita sama-sama untung, masalah lo beres dan gue dapat berita,” jelas Gendra berusaha meyakinkan Aurora.
Aurora berfikir sejenak, sesekali jemarinya mengusap dagunya terkesan sangat mempertimbangkan ucapan Gendra.
“Oke, gue setuju. Tapi, tiap berita yang lo buat gue liat dulu bakal ngerugiin gue atau enggak,” tegas Aurora.
“YES!” teriak Gendran dengan tangan terkepal ke udara.
“Udahlah sekarang temenin gue ke Winar, kali aja udah sadar.”
Aurora beranjak dari duduknya melangkah menuju ruangan Winar dan meninggalkan Gendra yang masih senyum-senyum tidak jelas.
Aurora dan Gendra berdiri tepat di depan bangsal Winar. Keduanya menatap nanar Winar yang tengah tidur dengan wajah memucat.
“Ra, kalo gini gue makin yakin isu itu cuman akal-akalan orang yang mau jatuhin dia,” bisik Gendra tepat di telinga Aurora.
Aurora mengangguk kecil, menyetujui pendapat Gendra.
Winar terlihat menggerakkan tubuhnya, ia mulai tersadar. Sigap Aurora menghampiri Winar dan duduk di sampingnya.
“Winar!” teriak Aurora.
Winar mengerjap, mencoba mengumpulkan kesadarannya.
“Kak, ini di mana?” lirihnya.
“Rumah sakit, bego segala obat tidur dimakan semua,” omel Aurora.
“Maaf ....”
Winar menunduk mengalihkan pandangannya dari mata Aurora yang membara.
“Okey, anggap kejadian semalem lo iseng. Tapi, bisa jelasin gak skandal yang ada?” tanya Aurora penuh selidik.
Winar menatap sekilas Aurora dan bergantian menatap Gendra yang tengah terdiam melipat tangan dan mantapnya.
“Jadi semalem habis ketemu lo, gue balik ke temen-temen. Di sana ada temen gue dulu, dia Kanalia. Kana rekan gue semasa jadi model lepas, sejak awal dia terobsesi sama gue sampe segala cara dia lakuin termasuk sengaja nyebar aib mantan gue atau bahkan ngedeketin ortu gue dengan cara gak wajar. Sampai suatu ketika kita lagi ngerayain ulang tahun salah satu temen, kita rayain di bar gitu. Sejak awal gue emang gak pengen mabuk soalnya sadar besok ada jadwal kontrak iklan merk lokal. Tapi, sejak gue keluar sebentar buat jawab telpon, minuman yang gue minum bikin gue mabuk parah. Tanpa sadar gue udah di kamar dan samar gue liat dia, sisanya gue gak inget dan besok paginya gue udah berantakan gue panik dan giliran gue buka hp ternyata kontrak gue iklan dibatalin sepihak. Gue pulang dalam keadaan linglung dan yah itu terakhir kali gue liat Kana sebelum gue nemuin kalo iklan gue di gantiin dia sedangkan alesan pihak merk gue yang ngechat mereka batalin semua. Aneh emang, syukur aja gue gak dimintain ganti rugi dan lain-lain,” jelas Winar.
Aurora terdiam mencerna penjelasan Winar tentang siapa itu Kanalia. Tampaknya dugaan Gendra bahwa wanita ini mencurigakan benar adanya.
“Terus sekarang lo tau gak apa tujuan dia?” tanya Aurora.
“Semalem dia cuma bilang tunggu kejutan dari dia, setelah kabar ini keluar pas gue tanya apa mau dia, dia jawab 'mau hidupmu apapun yang ada di hidupmu'.”
Winar menunduk, pikirannya kini semakin kacau.
“Oh, oke, gue paham sekarang. Mending kita mulai selidikin motif dia kenapa dulu,” sahut Gendra.
Winar dan Aurora menatap seksama Gendra, mengamati apa yang barusan Gendra lontarkan.
“Ngomong-ngomong bukannya dia jurnalis gosip, ya?” tanya Winar heran.
“Oh, emang sih. Tapi gak masalah dia temen kuliah gue, aman. Dia mau bantuin kita kok,” jelas Aurora sembari menepuk pundak Gendra.
Gendra mengangguk berusaha meyakinkan.
“Sama gue gak masalah, gue beneran niat bantuin. Yaaa, sambil nyari berita juga sih,” ujar Gendra dengan senyum lebar.
Winar mengangguk paham, sejatinya ia pasrah dengan semunya.
“Terus lo ada ide kagak?” tanya Aurora pada Gendra.
“Ada, tapi gue butuh waktu buat nyari tahu siapa Kana dan motif di baliknya,” terang Gendra.
Aurora menghembuskan nafas panjang, “oke, kita mulai aja.”
“Kasih gue waktu ntar gue kasih apa aja tentang dia,” kata Gendra dengan penuh keyakinan.
“Boleh, selama Winar masih dirawat kita ada waktu buat semuanya,” ujar Aurora mantap.
Winar menunduk lirih ia berkata, “makasih, kak.”
“Udah, penting lo sehat dulu.”
Winar mengangguk, mengiyakan. Setidakny hatinya sedikit lega.
“Udah gue balik dulu, bye!”
Gendra keluar dari ruangan meninggalkan keduanya. Walau belum ada jawaban yang pasti, namun secercah harapan sudah terasa di hati Winar maupun Aurora.
Sebulan berlalu, Winar sudah pulih dan dipersilahkan pulang dari rumah sakit.
“Gendra bilang dia punya berapa kecurigaan tentang Kana, coba buka email udah gue kirim kesana.”
Aurora lamat menatap layar laptop di hadapannya, bersamaan dengan Winar yang tengah duduk di seberangnya. Mereka tengah bersiap untuk membuat pembelaan atas gugatan yang Kanalia ajukan ke kepolisian.
Benar, tepat tiga hari setelah skandal Winar santer di media, pihak kepolisian mengirimkan surat pemanggilan terhadap Winar sebagai tergugat. Namun, karena belum ada izin dari pihak rumah sakit, pemanggilan ini ditunda hingga kondisi Winar membaik.
Selama sebulan ini Aurora sibuk dengan banyak urusan terlebih harus bolak-balik rumah sakit dan kantor. Data-data yang Gendra berikan cukup mampu digunakan sebagai bukti atas pembelaannya.
“Oh, oke. Jadi, kapan kita maju?”
Winar mantap siap mengambil segala resiko yang ada, tujuannya jelas ingin menuntaskan semua permasalah ini tanpa merugikan pihaknya terutama karirnya.
“Secepatnya, tapi Win, emang kamu siap seandainya sampai harus dipenjara selama proses penyelidikan?” tanya Aurora ragu-ragu.
“Udah resiko gak sih? Mau gimana lagi coba,” ujar Winar pasrah.
Aurora menatap Winar nanar, tak menyangka semua kan seperti ini.
“Oh, ya, kak Tian kemana? Kok gak pernah liat,” tanya Winar.
“Entah, ilang sama pacar barunya.”
Winar mengernyit heran, ia tak pernah mendengar kabar tersebut. Setahunya Tian hanya bersama Aurora seperti sepasang kekasih.
'Drrtt'
Ponsel Aurora bergetar, tanda panggilan masuk. Nama Tian tertera di layar, malas Aurora mengangkat panggilang itu.
“Kenapa?” sahut Aurora.
“Oke, tunggu gue.”
Aurora segera menutup panggilannya, ia beranjak dari duduknya dan memasukkan ponsel ke dalam tas.
“Gue balik dulu, Tian dateng,” pamit Aurora.
Winar mengangguk mempersilahkan Aurora untuk pergi. Ia masih berada di sana karena ada benerapa hal ynag harus ia tuntaskan.
Aurora perlahan memarkirkan kendaraannya di garasi, disana sudah terparkir rapi kendaraan milik Tian yang entah sejak kapan ia tiba. Pintu ruang tamu terbuka sedikit, menampakkan pemandangan yang tak asing sebulan lalu. Sepatu adidas hitam yang dilukis acak dan jaket yang tergeletak di atas sofa, semua nampak seolah hanya ilusi berapa saat ini namun sekarang terasa nyata.
“Aurora!”
Tian memekik bahagia dan segera memeluk temannya erat. Sejujurnya ia sudah rindu sebulan tak berjumpa. Sedangkan respon berbeda yang Aurora tampakkan. Ia justru terdiam membeku dengan dagu yang terlipat, kesal.
“Sejak kapan lo disini?” tanya Aurora.
Tian melepas pelukannya dan beralih menuntun Aurora untuk duduk di sofa, disisinya.
“Tadi pas telpon, udah makan?”
Raut bahagia tak lepas dari wajah Tian, tangannya sibuk mengupas jemari Aurora lembut.
“Kok lu kesini? Cewe lo mana?” cecar Aurora.
Tian menghembuskan nafas dan berkata, “ dia masih di Bali, kontraknya diperpanjang. Gue gabisa nemenin, lagian gue juga kangen lu.”
Senyum lebar kembali merekah di wajah tampannya, bak mendapatkan hadiah. Berbanding terbalik dengan Aurora yang masih bermuka masam.
“Udah gue bakal gantian nemenin lu sekarang,” ujar Tian.
Tiba-tiba ia merentangkan tangannya.
“Sini peluk,” lanjutnya
Aurora membeku, ia tak bergeming. Otaknya masih mencerna semua yang ada dan berdebat dengan akal sehatnya, masih ingat jelas bagaimana Tian terakhir kali bahkan ia juga masih ingat bau parfum yang kekasih Tian kenakan.
Karena tak mendapatkan respon apapun, Tian memutuskan melangkah mendekati Aurora merengkuh tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di pundak kecil Aurora.
“Gue kangen,” bisik Tian dengan tangan mengusap perlahan punggung Aurora.
Sontak akal sehat Aurora mati, kini ia dipenuhi perhatian yang ia rindukan. Segala hal yang ada pada Tian sungguh ia rindukan. Sejujurnya ia ingin meletakkan bebannya dan berbagi bersama Tian.
Aurora membabalas pelukan Tian dan berbisik, “gue juga, selamat datang ke rumah, sayang.”
Tian tersenyum tipis, ia kembali menegakkan kepalanya dan menatap kedua mata Aurora lamat.
“Gue akan selalu pulang kerumah, sejauh apapun gue pergi.”
Aurora terlarut dalam buaian, semua kenangan buruk terhempas begitu saja. Kini ini justru bergelayut manja dipelukan Tian, mencurahkan segala kerinduannya.
Dekapan hangat itu perlahan ditambah kecupan singkat diperpotongan leher Aurora dan perlahan berpindah dihadapan bibir ranum miliknya. Ciuman panaspun tak terelakkan, belaian tangan dari balik kauspun kini berpindah menelusup dan meraba permukaan kulit halus Aurora.
Aurora yang tengah duduk dipangkuan Tian, semakin memperdalam ciumannya. Tautan lidah mereka saling membelit meluapkan jutaan rindu nan cinta keduanya.
“Sejauh apapun, bibir indahmu akan selalu jadi candu bagiku,” ujar Tian sejenak setelah tautan mereka terlepas.
Keduanya meraup nafas dalam-dalam, dua manik mata yang saling beradu, menyelam kedalam relung jiwa masing-masing.
“Mulutmu manis, tapi racun bagiku dan bodohnya aku suka.”
Aurora sudah tenggelam dalam permainan, kini ia terbaring diatas sofa dengan baju terkoyak dan Tian yang tengah menjilat vagina. Sesekali ia menghisap klitoris merah Aurora, tangannya tak tinggal diam, sengaja ia mainkan kedua payudara sintal milik Aurora diremas kuat hingga menimbulkan leguhan merdu dari bibir si empunya.
“Bisa gak sih langsung intinya? Kebanyakan intro gue lemes duluan,” omel Aurora sembari menjambak rambut Tian.
Kekehan kecil keluar dari mulut Tian sebelum ia meniup-niup vagina Aurora. Dengan sengaja ia langsung memasukkan dua jarinya kedalam lubang Aurora, menusuknya dan mengocoknya kasar.
“Good boy hzzzzz,” rancau Aurora.
Satu tangan sibuk mengoyak lubang Aurora, sedang satu lagi tangannya melepaskan ikatan celananya dan mengeluarkan penis besarnya yang sudah tak sabaran.
“Baru sebentar ditinggal, lubangmu sudah sangat lapar rupanya.”
Tian merubah posisinya mensejajarkan peninya tepat dihadapan lubang Aurora. Siap untuk masuk. Dengan perlahan Tian memasukkan penisnya, karena ia tak ingan Aurora kesakitan.
'Jleb'
Aurora mencengkram kuat lengan Tian, melampiaskan rasa sakit di inti tubuhnya.
“Aaahhh masih sangat sempit, apa lu gak main sama echan?” tanya Tian.
Pinggulnya sudah bergerak maju mundur, perlahan dikeluarkan dan melesak masuk menghujam tepat di titik kelemahan Aurora.
“SHIT! Aaahhhh ... dia pulang ke rumah papanya, entah il-anghhh …”
Aurora merancau dan mendesah tanpa jeda, mulutnya tak henti memanggil nama Tian tanda kepuasannya. Tian hanya tersenyum miring, dibawahnya kini Aurora penuh dengan kuasanya. Sodokkannya kini dipercepat, dengan agresif ia mengeluar masukkan penisnya yang sudah membesar.
“Mari kita akhiri dengan cepat, Sayang~”
Tian merubah posisi menjadi duduk, kini Aurora ada dipangkuannya dengan penis yang masih menancap. Payudaranya dihisap kuat disela-sela naik turunnya tubuh Aurora.
Keduanya sudah dimabuk nafsu. Aurora semakin kencang menarik rambut Tian melampiaskan kepuasan dirinya. Penis Tian semakin membesar dan memenuhi lubang Aurora.
“Keluar bareng aja yuk, sekali-kali.”
Tian berbisik dengan nada sensual tepat ditelinga Aurora. Kini keduanya mmepercepat tempo permainan.
“Sekaraaang aahhhhhh .....”
Aurora mendesah panjang kala keduanya melakukan pelepasan, rahimnya sudah dipenuhi cairan cinta milik Tian. Hangat dan memuaskan itu yang dirasakan Aurora saat ini. Ia jatuh terkulai di pelukan Tian.
“Gak ada yang hisa ngalahin permainanmu, beneran. Terimakasih, maaf, love you. Sahabatku,” bisik Tian sebelum keduanya bangkit dan berpindah masuk kedalam kamar.
Aurora terlallu lemas untuk menanggapinya, ia memilih untuk tidur dipelukan Tian dan berharap semoga semua ini hanya mimpi.
Denting jam berbunyi, hembusan angin malam perlahan masuk kedalam kamar yang gelap.
Aurora terbangun dari tidurnya, sekilas ia melihat sesosok lelaki tengah duduk ditepian jendela kamarnya. Ia hanya terdiam dan menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut.
“Sudah bangun?”
Tian tersenyum disela hembusan asap rokoknya.
Aurora mengangguk kecil.
“Ngapain pulang kesini?” lirih Aurora.
Tian menengok sejenak, “karena kamu rumah ku.”
“Bullshit! hahaha”
Tawa getir Aurora memenuhi ruangan yang sunyi.
Tian terdiam, ia masih sibuk memandang langit dan menghisap rokoknya.
“Kamu egois, entah mengapa gue merasa jahat. Padahal gue korban, aah apa gue udah terjebak? nyatanya mengatakan aku kamu lebih terasa nyaman dibandingkan gue lu yang layak di sanding untuk kita, yang cuma sahabat.”
Aurora menunduk dalam, tak berani ia menatap mata Tian. Terlalu getir hatinya.
“Gue yang salah, gue yang egois dan gue yang jahat, Ra. Bukan lu, jangan nangis, lu gak salah.”
Aurora menatap sedikit lelaki di hadapannya.
“Emang, tapi bisa gak sih lu milih satu aja? DAN ITU GUE?!”
Aurora menekankan kalimat terakhir, kalimat yang puluhan hari ia pendam.
“Enggak, lu rumah begitupun dia. Kalian rumah, dan gak mungkin gue ninggalin kalian buat milih.”
Tian menjawab dengan tenang, tangannya mulai mengambil satu putung rokok lagi.
“Brengsek, lu beneran brengsek! Gimana bisa lu jadiin gue rumah, kalo lu punya yang lain?!”
Tian menatap lamat Aurora, “pas lu sama Adam, gue juga rumah lu kan? Sekarang sama saja.”
Skakmat, Aurora seakan ditonjok tepat di ulu hati. Memang benar adanya, saat ia bersama Adam, Tian adalah sosok yang selalu ada dan selalu siap sedia menyediakan pundak dan peluknya untuk menampung luka.
“Definisi rumah antara kita berbeda, gue bukan persinggahan yang lu bisa pergi dan datang sesuka hati.”
Tian membuang rokoknya dan beranjak duduk diatas kasur tepat disisi Aurora.
“Gak ada yang bisa gue jelasin, karena mau apapun sebutan yang lu kasih, gue tetep nganggep lu rumah dan separuh jiwaku.”
Tian mengecup singkat bibir Aurora, menutup perpbincangan sengit keduanya.
“Gue pulang, Cassa minta jemput di bandara. Good night, love you.”
Tian meraih jaketnya yang tergeletak dilantai dan beranjak pergi dari rumah. Ia meninggalkan Aurora yanng kini nampak seperti daging tak bernyawa. Terlalu rumit untuk ia aurai sendiri.
Tangannya cepat meraih ponsel, menelpon seseorang.
“Chan, lu dimana?”
”....”
“Gue butuh lu sekarang.”
”....”
-amara.