Amara.

Happy ending

Hari ini senyum cerah menghiasi wajah tampan Tian, tak hentinya ia tersenyum sepanjang hari membaca artikel berita hingga puluhan pesan singkat yang masuk kedalam ponselnya.

“Selamat ya!” ujar salah satu rekan kerja Tian.

Tian mengangguk, membalas salaman dari rekan kerjanya satu persatu.

Hari ini kabar penjualan album pertamanya keluar, respon positif dari penggemar hingga non-penggemar membanjiri sosial media. Debutnya tak sia-sia, enam bulan persiapan album membuahkan hasil yang memuaskan. Ponselnya berdering pesan tanda singkat masuk, dari grup.

Tian tersenyum dengan celotehan yang Echan lontarkan dan pesan panjang yang Aurora kirim penuh pujian dan kata selamat. Hatinya penuh dengan bunga kali ini.

Urusannya di studio telah usai, manajer mempersilahkan ia pulang lebih awal dari biasanya. Bebas latihan, katanya. Tian menyambut antusias hal ini. Segera ia menuju tempat parkir tempat mobilnya berada. Tak lupa pesan singkat ia kirim kan kepada Aurora. Seperti rutinitas biasanya.


Tian sudah memarkirkan kendaraannya di basement gendung kantor Aurora. Tak lupa ia mengirimkan pesan singkat bahwa ia sudah sampai. Tak lama Aurora membuka pintu penumpang dengan senyum sumringah. Dengan semangat Tian yang siap merentangkan tangannya meminta pelukan.

“Hadiahku mana?” rengek Tian. Aurora terkekeh kecil sebelum ia mengarahkan pelukannya dan menghujani pipi Tian dengan kecupan.

“Udah nih,” ujar Aurora.

“Ada yang belum,” kata Tian menggantung.

“Apa?”

“Let's get high together, honey.”

Bibir Tian terangkat sedikit, penuh tatapan nakal.

“As you wish!”

“Tapi bisa dimulai dari sekarang?” lanjut Aurora.

Tian mengangkat sebelah alisnya bingung berusaha menebak apa yang akan Aurora lakukan. Tanpa sadar Aurora sudah membelai penisnya yang masih tertutup jeans.

“Emang lo gaada duanya, Ra,” kekeh Tian sembari melanjutkan menyetir.

Aurora membalasnya dengan senyum miring, tangannya segera membuka kancing jeans Tian dan menurunkan perlahan resletingnya. Lihai tangannya sudah berhasil mengeluarkan penis Tian yang masih terkulai dari sangkarnya. Diusapnya perlahan ujung hingga pangkal penis Tian.

“Long time no see, cutie!”

Aurora menyapa penis Tian disertai kecupan kecil yang ia layangkan keseluruh penjuru penis. Sedang Tian curi-curi melirik tingkah Aurora, berusaha fokus mengemudi. Sengaja ia memilih jalanan yang lengang dan jauh dari keramaian takut tertangkap kamera cctv jalanan atau mengganggu pengendara yang lain. Tindakan yang ceroboh memang, namun sudah kepalang nafsu.

Perlahan Aurora membasahi bibirnya sebelum ia ganti menjilati pangkal hingga ujung penis Tian. Menyapunya perlahan sebelum memasukkan kedalam mulut hangatnya. Setengah bagian penis berhasil masuk dan sisanya diremas perlahan oleh jemari lentik Aurora. Aurora membuat gerakan keluar masuk hingga memutar ditambah hisapan diujung penis membuat Tian mendesis perlahan. Penisnya perlahan menegang dan membesar memenuhi mulut Aurora.

Semakin cepat Aurora mengeluar masukkan penis tersebut diserertai pijatan kecil di dua bola kembar milik Tian. Semakin keras Tian meremas kemudi, kala semakin keras Aurora menghisap penisnya. Lidah Aurora bermain-main di ujung penis Tian, menimbulkan sensasi menggelitik diseluruh tubuh Tian. Tanpa sadar penis Tian membesar semakin mengacung dan menegang. Segera ia menepikan kendaraannya di jalanan sepi tepi taman dekat rumah Aurora. Refleks Tian memegang kepala Aurora memperdalam tusukan penisnya hingga ke pangkal tenggorokan Aurora membuat gerakan memompa dengan cepat. Tak berselang lama cairan Tian membanjiri mulut hangat Aurora. Segera ia telan perlahan dan disapunya lidah dengan sensual dihadapan Tian.

“Gimana? Enak?” tanya Aurora kembali duduk dengan sempurna.

Tian kembali melajukan kendaraannya setelah ia mengembalikan posisi celannya, “pake nanya segala, ya enak lah. Mau lanjut sini apa dirumah?”

“Dirumah ada Echan, mau bertiga lagi?” tanya Aurora balik.

“Boleh lah sekali, nanti nambah lagi.”

Tian mengerlingkan matanya genit. Tangannya sudah meraba paha dalam Aurora yang tersingkap dari celana pendeknya. Menyalurkan getaran halus menuju inti tubuh Aurora. Aurora menggigit bibir bawahnya, menahan desahan sedang pahanya semakin terbuka lebar. Mobil melaju perlahan, begitu pula tangan Tian yang menjalar perlahan menekan-nekan klitoris Aurora. Digeseknya beberapa kali hingga menimbulkan desahan tertahan dari Aurora.

Tangan Aurora semakin mencengkram sabuk pengaman, menyalurkan hasratnya yang tertahan. Jari Tian sudah menelusup masuk kedalam celana Aurora sebelum dering ponsel Aurora menginterupsi kegiatan mereka. Segera Aurora mengambil ponselnya dan mengangkat telfon tersebut. Dari Echan. Sedang Tian kembali fokus menyetir, jarak ke rumah sudah dekat.

“Apa chan?” tanya Aurora.

“Masih lama gak sih kalian ini? Lama banget pasti aneh-aneh hayo!” sahut Echan dari sebrang telfon.

“Sembarangan mulut lo! Udah deket tinggal belok!” sanggah Aurora.

“Yah mau nitip cola di indimarket,” ujar Echan kesal.

“Beli sendiri napa sih!” sahut Tian sembari mengemudi.

” Males nanti ditinggalin kalo ada apa-apa, mending nitip deh!” gerutu Echan.

“Udah-udah, kita udah sampe depan rumah nih, tutup dulu kita keluar.”

Aurora segera mematikan ponselnya dan meletakkan kembali kedalam tas. Tian sudah memasuki garasi rumah Aurora. Dipandangnya Echan sudah berdiri didepan pintu rumah dengan tangan terlipat di dada dengan muka tertekuk kusut.

“Tuh muka kenapa sih?” tanya Tian sembari mendorong tubuh Echan masuk kedalam rumah.

“Lama banget,” gerutu Echan.

Aurora hanya terkekeh, segera ia masuk rumah dan pergi menuju kamarnya. Ia ingin segera mandi dan mengganti pakaian kerjanya. Sedang Tian dan Echan memutuskan untuk bermain game baru hadiah dari Echan kepada Tian. Biar gak bosen kerja mulu, begitu alasan Echan saat ditanya mengapa hadiahnya kaset video game.

Tak berselang lama Aurora keluar kamar dengan tank top ketat dan celana pendek ketatnya. Tak lupa rambut yang ia gelung tinggi hingga menampakkan leher jenjangnya yang indah. Ia menerobos duduk dintara Tian dan Echan yang sedang fokus bermain game. Hingga ia bersandar di pundak Tian dan mengganggu jalannya permainan mereka.

“Katanya mau pesta? Pesta apaan pada begini,” sendu Aurora sembari melipat tangannya didepan dada sintalnya yang tanpa bra.

“Diem dulu napa, Ra.”

Echan tak kalah mengomel balik kepada Aurora yang tengah berisik. Aurora menatap jengkel Echan, segera ia lancarkan serangan dengan menggelitik tubuh Echan hingga tumbang. Posisinya sekarang Echan berada dibawah Aurora. Dengan segera Echan melepas konsol gamenya dan merengkuh tubuh Aurora. Diraupnya bibir ranum yang ada dihadapannya dengan ganas sebagai bentuk pembalasan. Kakinya juga menahan tubuh Aurora untuk bangkit. Tian hanya memandang keduanya yang saling memiting. Namun, ia tak melewatkan kesempatan untuk meremas bokong sintal Aurora. Beberapa kali ia meremas kuat disertai dengan tusukan di lubang Aurora. Menggelitik klitoris Aurora, sengaja membuat Aurora resah.

Echan sudah berpindah menjilati leher Aurora menciptakan kissmark yang beragam. Tian dengan cepat menurunkan celana Aurora, menampakkan bokong sintal Aurora. Beberapa kali Tian memukul ringan bokong Aurora membuat Aurora mendesah. Jari Tian sudah masuk satu kedalam lubang vagina Aurora, dibuatnya gerakan keluar masuk hingga memutar dengan beragam tempo. Membuat Aurora semakin resah menggeliat didalam dekapan Echan yang sekarang mulai mengeluarkan dada sintal Aurora.

“Chan benerin posisi dong,” kata Tian mengeluarkan jarinya hingga menimbulkan leguhan panjang dari bibir Aurora.

Echan segera bangkit, merubah posisi Aurora menjadi menungging dengan pantat menghadap Tian dan Ia yang berada dibawah Aurora menghisap dadanya yang menggantung seperti anak sapi kehausan.

Tian mengeluarkan penisnya yang sudah berdiri, menggesekkan perlahan dihadapan lubang vagina Aurora sebelum menyentakkannya masuk hingga membuat tubuh Aurora melengkung dan jemarinya mencengkram sofa kuat-kuat.

“ARH!” jerit Aurora saat dadanya sengaja diperas kuat oleh Echan ditambah lubangnya yang tiba-tiba dimasukki penis besar Tian.

Rasa nikmatnya menjalar keseluruh tubuh, terlebih saat Tian sudah mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur perlahan hingga ia menyentak lubang vagina Aurora sekali lagi sampai membentur dinding vagina Aurora. Echan masih khidmat menikmati dada Aurora, tak menggubris Tian maupun Aurora yang sudah resah mencengkram sofa.

“Aaahhhh ... fasteeerrr ... gue mau keluar, please.”

Rancau Aurora diselama permainan mereka, ia sudah tak kuat ingin segera melepas cairannya. Otot-otot vaginanya sudah semakin mengetat, meremas penis Tian yang masih mengaduk lubang vaginanya.

“Barengan yaa,” jawab Tian mempercepat sodokannya.

Ia segera mempercepat gerakannya, hingga membuat tubuh Aurora bergetar hebat. Dalam sekali hentak sperma Tian menyembur memenuhi rahim Aurora. Sensasi hangat menjalar ke sekujur tubuh Aurora. Perlahan Tian melepaskan penisnya dan pindah duduk ke sisi tubuh Aurora dan Echan yang sudah berubah posisi juga.

Kini echan berada di bawah Aurora, penisnya sudah siap ganti menusuk lubang Aurora. Dituntunnya pinggul Aurora mengarahkan penisnya tepat masuk kedalam lubangnya.

“JLEB.”

Didiamkan sejenak sebelum dengan cepat Echan menuntun pinggul Aurora naik turun. Gerakan perlahan berubah menjadi brutal dan tidak terkontrol. Berulang kali penis Echan menghatam tepat di g-spot Aurora. Membuatnya mabuk kepayang. Sedang Echan semakin cepat menggerakkan pinggul Aurora, tak sabar ingin segera sampai pecapaiannya.

“Ura, sekalian ya keluarin dalem,” ujar Echan yang dibalas anggukan cepat Aurora.

Dengan dada yang memantul kesegala arah, Aurora mempercepat gerakan tubuhnya naik turun. Dengan cepat sprema Echan menyembur memenuhi rahimnya hingga meluber keluar. Tubuh Aurora segera limbung sebelum Tian dengan sigap menangkap tubuhnya, hingga tautan kelaminnya dengan Echan terlepas menyisakan cairan yang meluber dari lubangnya.

Tian menggendong Aurora menuju kamarnya, meninggalkan Echan yang tergeletak dengan terengah-engah.

Tak berselang lama ponsel Echan berdering. Nama Eca tertera dilayar. Segera ia mengangkat ponselnya. Sungguh ia sudah menantikan kabar kekasihnya yang sedang berada di Amerika.


Tian merapikan kembali pakaian Aurora sebelum ia turut berbaring disisi Aurora. Mereka memutuskan tidur sebelum Aurora membisikkan kalimat singkat tepat ditelinga Tian.

“Gue cinta banget sama lu, tolong sekali lihat gue sebagai orang yang lo cintai lebih dari sekedar sahabat.”

Aurora lekas menutup mata tertidur, terlihat jelas ia malu mengatakan hal tersebut. Tiba-tiba tangan Tian mengusap surai hitamnya lembut, menyalurkan rasa kasih sayangnya.

“Gue suka kita yang sekarang, kupikir sudah lebih dari cukup,” bisik Tian sebelum ia turut memejamkan mata.

Aurora tak tidur, dia merasakan hatinya yang diremas kuat-kuat oleh harapan yang dibangun Tian. Hubungan tanpa kejelasan antar keduanya.


-Empat hari setelah hari itu.-

Tian menggenggam erat tangan wanita dihadapannya. Tersenyum lembut dengan penuh sayang. Hari ini Tian tak bersama Aurora maupun Echan. Ia berpamitan akan melakukan syuting video klip, walaupun sebenarnya ada acara lain yang ia lakukan.

Tian akan menyatakan cintanya kepada wanita anggun dihadapannya. Tian tersenyum malu-malu, wajahnya memerah malu.

“Cassandra, kita resmi pacaran ya.”

Tian menutup kalimatnya dengan senyum dan dibalas anggukan singkat dari wanita dihadapannya. Ponsel Tian berdering, Aurora menelponnya. Pandangan Tian sumringah menyambut panggilan telpon tersebut, segera ia mengangkatnya.

“Dimana?” tanya Aurora dari seberang telpon.

“Kafe R, kenapa?” jawab Tian singkat.

“Gue kesana ya, gak ganggu kan?” tanya Aurora kembali.

“Enggak kok, aman sini aja, ajak Echan.”

“Echan pergi tiba-tiba keknya ketemu Winar, gue otw. Bye.”

“Bye.”

Tian menutup panggilannya dan segera ia meletakkan ponselnya. Ia memandang kekasih kembali.

“Nanti kukenalin sama sahabatku ya,” ujar Tian antusias. Cassandra mengangguk antusias ia penasaran dengan sosok Aurora yang beberapa kali disinggung Tian dalam percakapan mereka.


Tak berselang lama Aurora sampai. Dengan cepat ia mencari letak meja tempat Tian berada. Ditemukannya Tian berada di sudut kafe dengan sesosok wanita dihadapannya.

Langkahnya berat untuk mendekat. Namun, dengan segenap jiwa dan pikiran positif ia berjalan mendekat. Hatinya bergetar kala memandang Tian menggenggam erat tangan wanita dihadapannya.

“Ra, sini. Kenalin ini Cassandra, sekarang resmi pacarku.”

Tian mengenalkan keduanya dengan senyum sumringah dan ringan. Cassandra menyambutnya dengan senyum malu-malunya. Sedang Aurora sendang memaksakan senyumnya tetap pada tempatnya. Jujur hatinya sudah sakit, seperti diremas kuat.

Tian menarik Aurora untuk duduk disisinya dan memulai percakapan singkat yang ditanggapi antusias oleh Cassandra dan Aurora yang hanya menjawab singkat tanpa ada tenaga.

Jujur ia membenci cinta, ia benci cinta yang kini membelenggunya dengan Tian. Ia membencinya. Segera ia bangkit, sudah tak mampu menahan amarah dan luka hatinya.

“Gue balik duluan ya, ada janji lain.”

Tian belum sempat menyanggah perkataan Aurora. Namun, Aurora sudah kepalang pergi. Aurora berjalan cepat sembari menahan airmatanya untuk turun. Cepat ia menuju sedan hitamnya, membuka pintu kemudi dengan paksa. Ia masuk dan menangis sejadi-jadinya. Ia hancur bersama harapannya yang ia susun. Ditengah tangisnya ia memandang ponselnya, terdapat satu pesan dari Winar.

31-E58963-5-D7-B-49-FD-AC37-35-E0-F1-FD71-B8

Segera ia menjemput Echan, satu-satunya manusia yang bisa meredakan luka batinnya.


-amara.

“Aku semalam bermimpi kita mengenakan pakaian putih, indah sekali. Kau dengan gaun putih panjang sedang aku setelan hitam putih yang menawan,” kata lelaki yang kini tengah menyesap teh di tangannya. Pandangannya memandang jauh menerawang dengan senyum yang sulit dimaknai.

Kekehan kecil muncul dari sudut lain ruang tengah itu. Sesosok wanita tak seberapa tinggi dengan kulit kuning langsat dan kaos rumah yang sudah lusuh.

“Hentikan omong kosongmu, aku muak.”

Wanita itu memutar gelas susunya, melampiaskan kekesalannya.

“Apa salahku? Kan cuma mimpi,” ujar lelaki itu kembali.

“Langit, mau sampai kapan kita begini?” tanya wanita itu lirih. Setiap kata yang ia lontarkan penuh rintihan yang tertahan.

“Sampai kita tahu siapa yang memulai semuanya,” jawab Langit tegas. Nyalang matanya menatap si wanita.

“Pandanganmu seolah semua salahku, terima kasih,” cibir si wanita yang mati-matian menahan air mata yang nyaris turun dari mata indahnya.

“Ayo berpisah.” tegas Langit dalam satu tarikan nafas.

“Kita sudah tak bisa bersama, Sab. Kau, aku hanya akan saling melukai,” lanjutnya sebelum ia bangkit dari duduknya dan meninggalkan Sabrina, wanita itu, dalam keadaan diam tanpa suara.

Pagi yang indah dengan mentari yang menyinari dunia menjadi saksi dua insan yang akhirnya melepaskan ikatan, menghapus janji-janji yang pernah terucap. Setiap orang telah berubah baik Langit maupun Sabrina. But, everyone changes.


Tiga tahun sebelumnya ...

Gerimis di siang hari menemani dua insan yang sedang menanti datangnya bus di salah satu sudut halte. Sama-sama mengeratkan jaket mereka, melawan udara dingin yang menerpa.

Lelaki itu menatap singkat wanita di sisinya, mengamati setiap gerik yang ia lakukan. Dia Langit, lelaki tinggi dengan senyum cerah. Sedang wanita yang tengah ia amati adalah Sabrina, wanita hangat dengan aura menawan. Tanpa sadar mereka saling tertarik, saling mengamati dan saling memendam rasa.

“Hai, butuh jaket?” tawar Langit.

“Ah, tidak terima kasih,” tolak Sabrina.

Awal yang indah dalam kisah mereka, sederhana namun berkesan.


Ini tahun kedua mereka bersama. Tak ada lagi sambutan pagi penuh hangat atau ucapan selamat tidur yang menenangkan. Langit yang tenggelam dengan dunianya ataupun Sabrina yng sibuk menyelami karirnya. Semua sibuk dengan dunia masing-masing.

“Langit, ayo kita makan malam bersama,” ajak Sabrina di tengah menata tumpukan berkas di meja.

Langit masih sibuk dengan ponselnya, ia mengabaikan Sabrina.

“Langit!”

Lelaki itu menoleh sekilas, sebelum kembali memainkan ponselnya.

“Aku sudah makan bareng Daren tadi, kamu makan sendiri aja.”

Sabrina menghembuskan nafasnya, ia terlalu lelah untuk berdebat. Segera ia bangkit dari duduknya menuju dapur memasak untuk dirinya sendiri.

Kejadian ini hanya satu dari sekian banyak hal di mana mereka sudah sama-sama lelah dengan keadaan. Hingga suatu saat mereka berdebat tentang siapa yang lebih capek di dunia ini. Menggelikan.

“Sabrina, kamu selalu egois! Lihat aku capek jemput kamu pulang kerja terus!” teriak Langit dari balik kemudi.

Sabrina menatapnya dengan tatapan malas, energinya sudah habis hari ini.

“Terus ngapain pake jemput? Aku juga capek tau hari ini!” balas Sabrina tak kalah keras.

“Aah! sudah terserah lah! Habis ini aku mau ke club bareng Daren,” kata Langit jengah.

“Mabuk lagi, mabuk lagi! Mau sampe kapan? Ha!” cecar Sabrina kesal.

“DIAM!”

Teriakan Langit menutup perdebatan sore mereka. Lagi dan lagi.


Menabung luka dan memupuknya hingga subur. Sama-sama sudah tenggelam dalam ego masing-masing. Kata cinta yang pernah ada sudah terlalu basi diucapkan. Kini mereka memeluk luka mereka sebagai masa lalu yang entah layak atau tidak dikenang. Mereka sempurna melepaskan. Sempurna menjadi orang lain. But everyone changes.


-amara.

Hujan membasahi tubuh kedua insan yang kini tengah menepi disalah satu sudut tempat parkir pusat perbelanjaan. Cukup jauh dari kendaraan mereka yang terletak dua blok dari tempat mereka berdiri.

“Kan, sudah dibilangi kalo tadi bawa payung, ngeyel kan,” gerutu Naya sembari mengusap kedua tangannya kedinginan.

Sedang Winar lelaki yang berdiri disebelahnya hanya terdiam sesekali melihat jam ditangan.

“Tunggu bentar biar aku ambil mobil.”

Winar segera berlari menuju ke kendaraannya menerobos hujan meninggalkan Naya yang berdiri mengusap lengannya menahan dingin.

Tak berselang lama mobil honda jazz mendekat ke arah Naya, segera ia membuka pintu mobil dan masuk disamping Winar.

“Dingin ya?” tanya Winar sembari mengatur suhu ac.

Naya mengangguk, bibirnya membiru dan tubuhnya mulai menggigil.

“Lepas gih bajunya ganti sama hoodie dibelakang,” kata Winar.

Naya terkejut, refleks ia menutupi dadanya.

“Gamau lah bisanya kamu.”

Winar terkekeh dan kembali melajukan kendaraannya menuju rumah.


Kini mereka berjalan beriringan menuju unit apartemen milik Naya. Dengan baju yang setengah basah membuat bra Naya tercetak jelas. Beberapa kali Winar menelan ludah melihatnya.

Pintu lift sudah terbuka, cepat mereka masuk kedalamnya dan menekan tombol lantai unit Naya. Suasananya terasa hening hingga yang terdengar hanya deru nafas keduanya yang saling beradu ditambah sesekali suara menggigil dari bibir Naya. Winar yang berada disebelahnya sigap memeluk Naya berusaha membagi kehangatan tubuhnya. Namun, Naya masih saja menggigil. Entah dorongan darimana tiba-tiba saja Winar meraup bibir Naya dan mengulumnya perlahan membuat si empunya terkejut. Perlahan Naya mulai mengikuti permainana dari Winar, ia justru mengalunkan tangannya dileher sang kekasih dan merapatkan tubuhnya mencari kehangatan dari tubuh Winar.

Winar mendorong perlahan tubuh Naya kearah tembok, memperdalam tautan bibir mereka dan sesekali meraba punggung Naya dari balik kemejanya yang basah. Tiba-tiba ia mengangkat pinggang Naya dan menggendong kekasihnya tanpa melepas tautan bibir mereka. Tak lama pintu lift terbuka, mereka segera keluar dari lift dengan keadaan Naya masih digendongan Winar. Walau tautan bibir mereka sudah terputus, tapi lidah Winar kini sudah menjelajah area leher hingga pundak Naya yang tersingkap. Perjalanan dari lift menuju pintu apartemen Naya terasa panjang saat Winar tak hentinya menhisap leher Naya menciptakan banyak kissmark.

Tangan Naya segera memasukkan kode pengaman pintu. Dengan cepat saat pintu terbuka, Wina menurunkan Naya dari gendongannya dan mendorong kekasihnya rapat menuju pintu. Tangannya cepat melepas satu persatu kancing baju Naya hingga menyisakan bra hitam yang masih menutupi payudara kekasihnya. Dimainkan dada sintal Naya dari balik bra membuat Naya semakin membusungkan dada. Winar tersenyum miring dengan refleks kekasihnya yang sudah dimabuk kepayang terlebih satu kaki Naya sudah naik menggantung dipinggul Winar. Roknya tersingkap menampakkan paha mulusnya dan celana dalamnya yg sudah basah akan cairannya sendiri.

Seakan mengerti kode yang diberikan, Winar dengan cepat mengeluarkan dada sintal Naya dari branya tanpa melepas bra tersebut. Menghisapnya seolah bayi kelaparan, ditambah tangannya meraba perlahan paha dalam Naya dan sesekali menekan-nekan klitoris Naya dari balik celana. Satu jarinya sudah masuk menusuk lubang Naya. Keluar masuk hingga wanitanya merancau tak karuan. Winar menambah lagi jarinya dan mengocoknya semakin cepat. Kaki Naya yang mulanya berdiri tegak gemetar tak kuat menahan lojakan nafsu yang menyerangnya.

“Sayang akhhh .... bisa gak pindah dulu,” rancau Naya kakinya gemetar sudah tak sanggup menahan beban tubuhnya.

“Sekali-kali nyoba sambil berdiri,” jelas Winar.

Ia perlahan melepas celana dalam Naya dan dibiarkan menggantung di kaki kanannya. Lidahnya juga menjilati perpotongan leher Naya seseklai menghisapnya perlahan. Tangan Naya sigap melepas sabuk dan kancing celana Winar. Melepaskan penis yang sudah tegak dari sangkarnya.

“Sudah ahli rupanya,“bisik Winar disertai seringai dibibirnya.

Jarinya kembali menerobos lubang Naya, membuat gerakan seperti menggunting untuk leberkan lubangnya. Perlahan ia mendekatkan kepala penisnya dihadapan lubang vagina, menggeser pinggul Naya supaya mendekat ke tubuhnya dan dalam sekali sentak penis tersebut masuk menhantam g-spot Naya.

“AKH!”

Naya mencengkram kuat pundak Winar. Tubuhnya terkejut tiba-tiba ada benda asing masuk kedalam tubuhnya. Dengan perlahan Winar menggerakkan pinggulnya berlawan arah, memompa lubang vagina Naya menusuknya tepat di g-spotnya. Dengan cepat penis tersebut keluar masuk, sengaja beberapa kali Winar mengeluarkan hingga tersisa ujungnya saja dan menyentakkan kembali masuk kedalam.

“Aaahhhh ... ffasteeerrr ..”

Naya mendesah tanpa henti membuat Winar semakin cepat menggerakkan penisnya. Dalam berapa hentakan vagina Naya semakin menyempit meremas penis Winar kuat tanda semakin dekat pecapaiannya.

“Sekali-kali nyoba keluarin didalem ya?” tanya Winar ditengah tusukkannya.

Naya mengangguk sudah terlampau lemas dia menompang tubuhnya dalam keadaan seperti ini. Cepat Winar segera menuntaskan pecapaiannya yang sudah dekat. Dalam sekali hentak ia menyemburkan spermannya kedalam vagina Naya. Kaki Naya sudah tak sanggup lagi menahan tubuhnya yang nyaris limbung. Dengan sigap Winar menahan Naya dengan lengannya, melepaskan penisnya dan menurunkan kaki Naya.

Winar sudah menggendong Naya menuju kasurnya, ditidurkannya diatas kasur dengan perlahan. Dilepaskan satu persatu sepatu dan dirapikan kembali pakaian Naya. Sedang Naya sudah terkulai lemas memilih untuk tidur mengabaikan apa yang dilakukan kekasihnya. Winar pergi menuju kamar mandi untuk berbersih diri sebelum ia nanti membantu Naya untuk mandi.


Tengah malam Naya bergerak resah, tubuhnya kini demam. Winar merasakan gerakan resah dari kekasihnya, ia terbangun dan menengok Naya yang basah kuyup dengan keringat ditambah suhu tubuhnya yang tinggi. Segera ia bangkit dari tempat tidur dan mengganti pakaian Naya dengan baju hangat. Diambilnya kompres untuk meredakan demam Naya. Tangannya cepat mempersiapkan barang yang ia bawa menuju rumah sakit.

“Nay, ayo ke rumah sakit sekarang ya,” ujar Winar cepat sembari menggendong Naya.

Ia tergesa keluar dan turun menuju parkiran mobil. Perlahan ia menurunkan Naya di kursi penumpang sebelum ia berlari menuju kursi pengemudi. Raut panik tak lepas dari wajahnya, pikirannya sudah kalut, takut terjadi apa-apa terhadap kekasihnya.


Kini Naya sudah mendapat perawatan medis. Ia hanya demam efek kehujanan siang sebelumnya. Winar sudah berdiir dihadapn meja resepsionis, melakukan urusan administrasi untuk Naya. Sayup-sayup ia mendengar bisikan dari para perawat dan beberapa anggota keluarga pasien yang lalu lalang disana. Namun, ia tak menggubrisnya. Tak lama ponselnya berdering nama Aurora tertera dilayar. Segera ia mengangkat panggilan telpon tersebut.

“Dimana?” tanya Aurora dari seberang telpon.

“RS, Naya sakit,” jawab Winar singkat.

“Bodohkan, dibilangin kalo keluar sekarang hati-hati Winar, lihat namamu trending di twitter. Kontrak filmmu baru aja mulai, Win.”

“Terus kalo Naya sakit gue diem gitu?!” bentak Winar.

“Balik sekarang Naya gue yang urus sama Echan, pikirin besok mau bikin klarifikasi apaan ke media.”

Aurora memutus sepihak panggilannya. Winar mengusap wajahnya resah. Amarahnya memuncak, tak pernah ia bayangkan kontrak kerja yang ia miliki sekarang teramat merugikan ia dan Naya.

Tanpa ia sadari Naya sudah berada dibelakangnya dengan kursi roda yang didorong oleh seorang perawat. Ia mendengar semua, ia semakin sadar bahwa ia hanya penghambat bagi Winar.

“Win, pulang aja,” lirih Naya.

Winar berbalik semakin panik dengan tergagap ia berkata,” terus kamu gimana?”

Naya tersenyum mengusap pelan wajah cemas Winar.

“Aku gampang nanti ada Kak Aura,” putus Naya sebelum ia meminta perawat mengantarkan ia menuju kamar rawat inap.

Winar terpaku, ia tak tahu harus bagaimana. Notifikasi ponsel menyadarkannya kembali. Benar, kabar miring sudah beredar. Sedang ia tak mungkin mengungkap keberadaan Naya. Detik ini ia benar-benar merasa sia-sia akan semua pecapaiannya. Ia hancur.


-amara.

Malam semakin gelap, semakin sunyi hanya suara rintik hujan dan petir yang saling bersautan. Laura masih sibuk dengan kamera dan ponsel pintarnya, menata foto-foto yang berhasil mereka abadikan sebelumnya. Sedang Arka terdiam mengamati gerak-gerik Laura.

“Yah mati,” ujar Laura sembari menggoyangkan ponselnya memastikan ponselnya benar-benar padam.

Arka hanya menggeleng, merebut ponsel Laura dan meletakkannya diatas tas.

“Mending tidur, Laura.”

Laura mengerucutkan bibirnya sebal. Ia masih ingin mencatat kesehariannya dan menata foto yang ia dapatkan hari ini.

Laura berbaring diatas alas tidur yang disiapkna Arka sebelumnya sedangkan Arka duduk menjauh ditepian tenda.

“Ngapain jauh-jauh, Ka. Sini deketan,” ujar Laura.

Arka menggeleng ia menolak karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Laura tak tinggal diam, ia segera menarik lengan Arka hingga mereka terjatuh bersamaan dengan Arka berada diatas Laura.

“Maaf.” Kata Arka cepat sembari ia berguling dari atas Laura.

“Ehm .. its okay. Kita punya air?” tanya Laura gugup.

“Ada, sebentar.”

Cepat Arka meraih tasnya dan mengambil air minum. Diserahkannya botol air yang tersisa setengah ke Laura.

“Terimakasih,” kata Laura sebelum ia meneguk air putihnya.

Arka mengangguk singkat, lagi-lagi ia memandangi lamat Laura.

“Kenapa?” tanya Laura heran.

“Ah tidak,” sanggah Arka tergagap.

“Kalo mau nanya, nanya aja.”

Laura kembali berbaring, kini ini tidur dengan posisi miring menghadap Arka.

“Kenapa tiba-tiba liburan sendiri?”

Arka bertanya dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar ditambah dengan pandangan takut menyinggung Laura.

“Hahahaha itu yang mau ditanyain?”

Laura terbahak, sedang Arka mengangguk kecil.

“Liburan sendiri karena melarikan diri, melarikan diri dari dunia yang semakin gatau maunya apa.”

Laura merubah posisinya menjadi berbaring, pandangannya mererawang memandang langit-langit tenda.

“Why?”

Arka kini turut berbarisng disebelah Laura, ikut memandang langit-langit tenda yang diterpa hujan.

“Jenuh, dunia terasa semakin memuakkan, Ka.”

Laura mengusap wajahnya sebelum ia memandang wajah Arka dari samping.

“Apa pekerjaanmu sehari-hari?” tanya Arka.

“Penulis, yang sudah mati idenya,” lirih Laura.

“Kenapa mati?”

“Hati ku mati, pikiranku mati.”

Laura kembali memiringkan posisinya, bersamaan dengan Arka yang merubah posisinya juga. Kini mereka saling menatap.

“Lalu, boleh aku memelukmu?” tanya Arka malu-malu.

Laura mengangguk, memepersilahkan Arka memeluknya. Arka mempersempit jarak mereka, kini mereka saling memeluk dalam keadaan berbaring.

“Laura, sejujurnya aku mengenalmu sejak lima tahun lalu.”

Laura mengernyitkan dahinya bingung.

“Dimana?”

“Aku, penggemar buku mu sejak pertama kali terbit. Sehabis senja, judul buku pertamamu. Tanda tanganmu bahkan masih kusimpan rapi,” terang Arka.

Laura terkejut, ia tak menyangka bahwa ada seseorang yang masih mengingat karya pertamanya.

“Bagaimana bisa?”

“Tentu bisa, bahkan aku juga mencintaimu, Laura.”

Arka mengatakannya dengan sangat jelas, ditambah senyum hangat diwajahnya. Sedang Laura hanya terpaku, memandang Arka heran.

Dengan cepat Arka mengecup bibir Laura, singkat dan tanpa paksaan. Kemudian ia bergegas membalik tubuhnya menutupi wajahnya yang memerah.

Sedang Laura terpaku memegang bibirnya. Pikirannya kini kalut, tak pernah ia menyangka teman pemandu wisatanya ternyata penggemarnya yang juga mencintainya. Belum lagi juga ia teringat Damar, kekasihnya yang menghilang tanpa kabar setelah ia pergi.


-amara.

Tiga bulan sudah berlalu sejak kejadian itu, Echan masih menghindar dan Eca yang kehabisan kata untuk menjelaskan situasinya bagaimana, semakin runyam. Sejak hari itu pula, Echan banyak menghabiskan waktunya di rumah Aurora atau bersama teman-temannya. Dia mengabaikan Eca, walau tak sepenuhnya. Ia masih saja menghampiri rumah Eca walau hanya sampai pekarangnya, masih terlalu tinggi egonya.

Lain Echan lain pula Eca, ia terbiasa hidup sendiri. Kala Echan memilih menjauh, Eca semakin mantap menjalani hidupnya menutupi semua kesedihan yang ia alami. Berangkat kuliah, merawat tanaman, sesekali pula ia terlihat pergi menuju tempat kursus untuk persiapannya double degree. Bila ditanya apakah ia tahu Echan mengamatinya dari jauh, ia kan mantap menjawab tahu. Entah dari Jevano rekan sekelasnya atau dengan mata kepalanya sendiri memandang yang Echan terdiam diseberang rumahnya. Ia tak ingin memaksa kekasihnya, tak ingin memperburuk suasana.


Riuh ramai memenuhi suasana dibalik panggung acara malam ini. Acara konser yang di garap oleh Echan dan kawan kawan sebagai event organizer. Semua berjalan lancar, raut kelelahan dan bahagia bercampur menjadi satu menghiasi wajah para manusia yang terlibat. Namun, tak berlaku bagi Echan, ia sudah kelimabelas kalinya menghembuskan nafas panjang. Jevano yang duduk disampingnya memandangnya heran, tak biasanya seorang Echan sekalut ini.

“Sekali lagi lo ngehela nafas, gue sediain balon dah buat lo tiup, setidaknya nafas lo guna dikit,” ujar Jevano.

Echan memandangnnya singkat sebelum berkata, “ orang kalut lu katain mulu sih, dasar gak peka.”

“Mikir apaan? Eca? Sono samperin masalah diselesaiin jangan kegedean ego, ntar nyesel kek gue,” ketus Jevano yang ditutup dengan suara lirih, terasa penuh penyesalan di akhir katanya.

Echan refleks mengangguk kecil sebelum ia kembali menghela nafas. Ia kembali terdiam, sesekali ia melirik jam diponselnya. Denting notifikasi pesan menginterupsinya, satu pesan masuk, terpampang nama Ura di layar ponsel.

Segera ia mengambil jaket yang tergeletak disalah satu kursi dan berlari keluar dari ruanngan menuju tempat parkir. Terdengar sayup-sayup suara Jevano menanyakan ia akan pergi kemana, tapi tak digubrisnya.


Aurora baru saja selesai dengan laporan mingguan yang terpaksa ia bawa pulang, hari ini Tian tak disini. Tian sedang melakukan persiapan album baru yang akan liris tiga bulan lagi, sehingga rumah ini terasa hampa karena hanya ada ia dan Echan.

Derum suara kendaraan menginterupsi keheningan malam, Aurora hafal ini suara motor milik Echan. Setengah jam yang lalu ia memang mengirim pesan singkat di grup menanyakan kemana perginya Echan maupun Tian hari ini.

Aurora bergegas turun bermaksud menyapa Echan sekaligus mengambil cemilan malam untuk menemaninya merekap data yang tersisa. Didapatinya Echan berjalan lesu dengan muka tertekuk menuju salah satu kursi ruanng makan.

“Itu muka emang kusut kek cucian ya?” tanya Aurora yang kini duduk disisi Echan.

Echan melirik Aurora singkat, sebelum tiba-tiba ia memeluk Aurora menenggelamkan kepalanya diantara ceruk leher Aurora.

“Eh, ada apa sih?” ujar Aurora heran.

“Eca,” lirih Echan.

Aurora melepas pelukan Echan mengusap pperlahan pucuk kepalanya sebelum menjitaknya pelan.

“Duh! Sakit Ura!” gerutu Echan mengaduh kesakitan.

“Makanya punya otak dipake bego! Dulu kan Tian udah bilang, urusan lo beresin dulu sama Eca, jangan asal kabur. Kalian sama-sama lelah tapi gak ada yang mau melepas, harusnya tiga bulan ini kalian sama-sama belajar,” omel Aurora panjang.

“Gue masih gak berani, takut.”

Echan menunduk, memainkan jemarinya kalut.

“Takut tapi lo tiap hari ngejogrok depan rumahnya, dah mending lu sana dah kalo beres baru balik sini,” usir Aurora sembari menarik lengan Echan untuk berdiri.

Echan menurut tanpa suara, ia didorong hingga depan rumah. Pandangannya nanar menatap pintu rumah yang ditutup Aurora, pertanda ia harus benar-benar pergi. Langkahnya perlahan menuju motornya yang terparkir, kembali mengenakan helm dan melajukan kendaraannya menuju rumah Eca.


Lima belas menit sudah Echan berdiri didepan gerbang rumah Eca. Tak berusaha mengetuk atau melangkah maju menuju pintu rumah. Nyamuk dan udara dingin sudah menerjang dia. Namun, ia masih tidak bergeming.

Eca memandang dari blakon kamarnya, ia iseng keluar menyegarkan penat dari kegiatannya membaca materi kuliah dan didapatinya Echan yang berdiri dibawah naungan cahaya lampu jalan. Segara ia turun menuju pakarangan rumahnya.

“Chan ...” sapa Eca lirih.

Echan mendongak, didapatinya Eca sudah berdiri dihadapannya dengan jaket hitam miliknya yang menutupi piyama biru yang Eca kenakan.

“Hai ...”

Echan meruntuki kebodohan dirinya, padahal ia sudah menyusun jutaan kalimat untuk diucapkan kepada Eca.

Eca terkekeh, ia menarik lengan Echan menuju kedalam rumah.

“Kalo mau ngomong didalam aja yaa, dingin.”

Mereka kini terduduk di ruang tamu, dengan segelas coklat panas yang Eca buat beberapa saat setelah mereka masuk rumah. Sama-sama diam tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Echan menghela nafa panjang sebelum ia memberanikan diri menatap manik hitam Eca. Ditatapnya kekasihnya lamat tiga bulan wajah cantik itu tak berubah, masih sama seperti biasa bedanya raut lelah yang tersirat jelas melalui garis hitam bawah matanya semakin jelas.

“Apakabar?” tanya Echan memecah kesunyian.

“Seperti yang kamu lihat, baik seperti biasa. Kamu? Sehat? Rajin makan? Masih suka ngopi?”

Eca refleks mengatakan semuanya, cerewet seperti biasa.

“Hahaha, sungguh benar-benar.”

Haechan terkekeh, sedang Eca bingung dan menatapnya miring.

“Apaan coba?”

Eca masih terheran karena Echan masih terkekeh. Tanpa suara Echan meletakkan gelasnya, bangkit berjalan menuju kursi Eca. Eca menatapnya heran, dimana sekarang Echan merentangkan tangannya membawa tubuh Eca kedalam pelukannya.

“Maaf, aku kangen.”

Echan berbisik tepat ditelinga Eca, dengan nada rendah penuh keputusasaan. Eca terpaku, mendadak sekujur tubuhnya kaku dan menegang. Lidahnya kelu, namun airmatanya perlahan terjatuh. Pertahanannya runtuh, ia menangis dalam pelukan hangat kekasihnya.


Tiga bulan berlalu sejak malam itu, tak ada satupun dari mereka yang mengungkit permasalah sebelumnya. Mereka sama-sama masih memendam pertanyaan tanpa ada niatan meluruskan satu sama lain. Namun, semua berjalan seperti semula. Echan yang sesekali mampir ke tempat Eca maupun Eca yang menjalani kegiatannya untuk persiapan kuliahnya.

“Hari ini mau ngapain?” tanya Echan sembari memainkan ponselnya diatas kasur Eca.

“Istirahat mumpung gaada kelas kursus,” tukas Eca yang sedang merapikan meja belajarnya.

“Kamu berangkat kapan?” tanya Echan kembali.

“Dua minggu lagi,” lirih Eca.

Echan berguling mendekat kearah Eca, memandangi wajah kekasihnya dari jauh. Secara tiba-tiba merentangkan tangannnya, meminta Eca datang memeluknya.

“Sini,” kata Echan singkat.

Pelukannya disambut Eca, kini mereka salaing memeluk diatas kasur.

“Tumben manja?” tanya Eca.

“Gak boleh?”

Eca menggeleng sebelum mengecupi wajah kekasihnya. Mereka terkekeh bersama. Kecupan-kecupan kecil itu berubah menjadi kuluman panas antar keduanya, lidah mereka saling berbelit mengabsen satu persatu gigi mereka masing-masing.

Tangan Echan juga sudah tak tinggal diam, ia mulai meraba punggung belakang Eca, melepaskan pengait branya membebaskan payudara padatnya. Diremasnya payudara sebelah kiri bak mainan squishy yang kenyal membuat si empunya membusungkan dada dan merapatkan kakinya kearah Echan.

Seolah mendapat respon positif, Echan segera melepas tautan bibir mereka beralih mengecupi leher hingga menyisahkan bekas merah kebiruan. Diturukan perlahan celana yang melekat ditubuh Eca hingga turun disekitar lutut. Tangannya mulai meraba paha dalam Eca hingga menuju area intim Eca yang tidak tertertutup apapun. Berawal dari hanya usapan singkat hingga jari tengah Echan yang mulai menulusup kedalam liang hangat Eca. Jarinya membuat gerakan menggunting seolah membuka bibir vagina Eca agar terbuka. Sesekali jemarinya keluar masuk dan memutar mengocok liang vagina Eca. Tak hentinya Eca menggelinjang merasakan sensasi kenikmatan yang Echan perbuat. Gerakannya semakin resah ditambah dengan Echan yang menghisap putingnya kuat-kuat.

Tangan Eca sudah mengacak rambut Echan, melampiaskan segala rasa nikmat yang membuncah. Tanpa ia sadari Echan sudah menurunkan celananya, menampakkan kejnatanannya yang sudah mengeras. Dengan sigap ia membuka paha Eca lebar, memposisikan kepala penisnya didepan liang vagina Eca menggesekkannya perlahan. Desisan serta desahan meluncur dari mulut Eca, tangannya mencengkram erat pundak Echan.

Dalam sekali hentak Echan memasukkan penisnya kedalam vagina Eca. Teriakannya tertahan bibir Echan yang sigap mengulum bibir atas Eca. Perlahan digerakkan pinggulnya menumbuk tepat di g-spot Eca membuat wanitanya semakin terbang penuh kenikmatan. Lengan Eca semakin erat mengalung di leher Echan, merapatkan tubuh keduanya memperdalam tusukan.

Echan berguling merubah posisi menjadi diatas kekasihnya. Mempercepat tempo tusukannya terlebih saat vagina Eca semakin mengetat meremas penis Echan.

“Aahhh .. kenapa masih sempit sih?” rancau Echan disela-sela tusukkannya.

Eca tak sanggup menjawab ia hanya menggeleng dan mendesah tanpa henti. Kakinya semakin rapat menekan pinggul Echan, otot-otot vaginanya juga semakin tegang memijat penis yang ada didalamnya.

“Chaaan, mauuu keluaaarrrhhh ...”

“Barengan!”

Semakin cepat memompa penisnya keluar masuk, mempercepat pelepasannya. Dalam sekali hentak penisnya tersisa ujung kepalanya melesak masuk bersamaan dengan semburan sperma yang memenuhi rahim Eca. Leguhan panas keduanya menutup pelepasan mereka, ditambah cairan yang merembes keluar dari lubang vagina yg membesahi sprei yang ada dibawahnya.

Echan menahna tubuhnya sebelum terjatuh menimpa kekasihnya, dikecupnya singkat puncak kepala dan bibir Eca sebelum ia berguling memeluk Eca dari samping. Sedang Eca sudah lemas dan tertidur, sebelum ia menyadari penis Echan belum dilepas dari lubangnya.

“Ini mau dibiarin aja?” tanyanya.

“Iya, biar nanti kalo main gak kelamaan.”

Echan menjawab singkat sebelum tertidur yang membuat Eca hanya menggeleng kesal.


Sebulan berlalu, Eca sudah berangkat menuju Amerika untuk double degree-nya. Keberangkatannya dipercepat beberapa hari dari jadwal. Kini Echan menghabiskan waktunya bersama Aurora, dirumahnya.

“Gimana Eca?” tanya Aurora.

“Aman, biasa aja. Tumben nanya?”

Echan menatap Aurora yang duduk disampingnya, menatapnya heran.

“Ya gak apa sih,” jawab Aurora.

“Bang Tian mana?” tanya Echan dengan mulut penuh makanan.

“Rekaman video klip yang baru, paling balik besok.”

Echan mengangguk melanjutkan kembali acara makannya.

“Lu sama Eca masih gaada bahas kenapa kalian dulu berantem?”

Echan menggeleng dan menjawab, “ enggak, males bahas sakit hati ntar.”

“Goblok!” maki Aurora.

Denting notifikasi menginterupsi keduanya, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Echan. Dari Winar.

Echan yang semula memandang datar ponselnya kini berubah geram. Segera ia meraih jaketnya dan pergi begitu saja meninggalkan Aurora yang terheran.

Sebuah pesan singkat yang merubah segalanya.

F7-BA6-E1-C-2-DAC-42-A2-8-E26-51816-BF1073-A

Luke memasuki area pekarangan rumahnya, rumah bersama istrinya, Renata. Namun, kali ini terlihat sepi, bergegas ia mengeluarkan koper dari bagasi dan menyeretnya perlahan menuju kedalam rumah meninggalkan supir yang kini memutar kendaraannya kembali. Rasa letih tergambar jelas di mukanya, perlajanan panjang telah ia lakukan.

Perlahan ia memasuki ruang keluarga, terasa hampa tanpa kehadiran siapapun. Pesan singkat kepada Renata sudah ia kirimkan sebelumnya, meminta Renata segera pulang, banyak hal yang ia ingin bicarakan. Enam bulan sudah mereka resmi menjadi suami istri dimata hukum dan agama, tetapi semua terasa hampa tanpa rasa atau apapun yang menyertainya.

Setelah pernikahan, ia segera mengambil alih perusahaan dan mengurus beberapa cabang di luar negeri. Resiko pernikahan bisnis, tanpa cinta bahkan tanpa kata-kata manis didalamnya. Hari ini, Luke ingin merubah semuanya, membuat lembaran baru mencoba memahami Renata yang misterius.


Kini Luke sudah berganti pakaian, kaos dan celana santai sebagai pilihan, ia menatap datar layar televisi dihadapannya. Sesekali matanya curi-curi pandang kearah pintu seolah sedang menanti seseorang. Jarum jam masih menunjukkan pukul tiga sore tapi semua terasa lambat karena ia sendirian dirumah tanpa siapapun.

Tak berselang lama suara langkah kaki mendekat ke arah pintu bersamaan dengan suara derit pintu tanda seseorang masuk. Ia Renata, dengan dress hitam pendeknya melenggang masuk. Lebih cepat dari permintaan Luke sebenarnya, tapi bukankah lebih cepat lebih baik?

Good girl, pulang cepat tanpa mabuk walaupun masih bau alkohol,” terang Luke sembari memandang Renata dari ujung kaki hingga kepala.

Renata memutar matanya jengah, “ enam bulan gak pulang, sekali pulang isinya nyindir. Balik aja sono ke Paris.”

Luke terkekeh, Renata memang demikian, ia selalu mengatakan apapun yang ada dipikirannya tanpa pandang bulu.

“Sana mandi, nanti aku pesenin makanan,” tukas Luke. Ia mendorong pelan tubuh Renata kearah kamar tidur mereka, memintanya segera mandi.

“Agak terkejut tapi okelah, treat me like a queen, hubby,” sahut Renata sebelum menuju kamar mandi.

Luke tak menggubrisnya, ia segera meraih ponsel dan memesan makan untuk mereka berdua.


Renata sudah berganti pakaian, menjadi lebih santai dengan celana pendek dan kaos kebesarannya. Jika seperti ini image wanita pesta seakan memudar, ia nampak seperti wanita muda sebayanya. Kini mereka duduk bersama saling berhadapan menyantap makanan mereka. Hening, tak ada suara lain selain dentingan sendok dan garpu diatas piring. Luke sesekali memandang Renata mencoba berkata tetapi ia urungkan.

“Kalo ngomong, ngomong aja gak usah sok liatin,” ucap Renata ditengah kegiatannya mengunyah.

“Besok, Papa mu ngundang makan malam,” kata Luke terjeda.

“Iya tahu,” sahut Renata.

“Serah terima perusahaan, saham terbesarnya dikasih ke aku, sepuluh persennya baru ke kamu,” jelas Luke.

Renata meletakkan sedok garpunya, menatap datar Luke.

“Tapi bakal ditambah kalau kamu jadi istri beneran, minimal dua tahun, selanjutnya terserah.”

Luke melanjutkan penjelasannya dengan mantap, ia tak main-main dengan ucapannya. Sungguh ia ingin memulai kehidupan pernikahan yang layak.

“Tawaran yang menarik, kita mulai darimana?”

Renata terkekeh, menyetujui penawaran dari Luke. Baginya tak ada yang lebih berharga dari uang, makanya ia begitu mudah menyetujui.

What if we watch netflix while eating popcorn?” tawar Luke kepada Renata sebelum ia menyudahi makannya.

Renata mengangguk, menerima tawaran Luke.

“Okay, sini piringnya.”

Renata segera berdiri dari duduknya, mengambil piring kotor mereka dan bergegas mencuci piring. Sedang Luke merapikan meja makan mereka. Terlihat harmonis, seperti pasangan pada umumnya.


Luke dan Renata kini berada di kamar mereka, bergelung bersama dibalik selimut saling memeluk dengan pandangan fokus menikmati serial yang sedang mereka tonton. Tanpa suara selain dari televisi, bahkan popcorn sudah mereka singkirkan dari kasur. Luke membelai rambut Renata perlahan, refleks ia melakukannya. Sedang Renata hanya diam tak menanggapi.

Drtt drtt..

Dering telpon menginterupsi mereka, dering dari ponsel Renata. Segera ia bangkit meriah ponselnya dan keluar kamar menerima panggilan. Luke terdiam memandangnya yang ia pikirkan mengapa istrinya terlihat begitu sibuk dibandingkan dia, terlebih ini sudah mulai malam lewat jam operasional kantor.

Lima belas menit berlalu, Renata belum juga kembali ke kamar. Tak sabaran Luke bangkit dari kasur, didapatinya sang istri didepan wastafel kamar mandi kamar mereka. Tangan kanan masih memegang posel ditelinga sedang satunya memijat kepalanya. Entah apa yang sedang dibicarakan di panggilan ponsel tersebut.

Luke memeluk Renata perlahan dari belakang, mulai mengecupi leher belakang Renata yang terekspos karena rambutnya yang diikat keatas. Ciuman disekitar leher perlahan berubah menjadi jilatan, sontak membuat Renata terkejut dan memandang kesal Luke dari pantulan cermin. Sedang Luke tak menggubrisnya, justru ia kini mengulum telinga kiri Renata.

Renata mati-matian menahan desahannya, sekeras mungkin ia menggigit bibir bawahnya terlebih kini Luke mulai meremas dadanya. Pembicaraan telponnya belum usai, tapi terpaksa terpotong saat Luke mengambil ponselnya dan mematikan sambungan telpon tersebut.

“Bisa-bisanya lagi sama suami tapi telponan sama yang lain,” bisik Luke tepat ditelinga Renata.

“Aaahhh ... urusan bisnis baru, Luke berhenti main-main aahh,” keluh Renata.

Renata tak hentinya menggesek pahanya, menahan tangan Luke untuk meraba area intimnya. Namun, semakin Renata merapatkan pahanya semakin gencar Luke meraba dan mengusap permukaan vaginanya.

Dengan cepat Luke membopong tubuh Renata menuju kamar mereka kembali, Renata memukul perlahan punggung Luke, ia terkejut dengan hal yg baru saja terjadi. Direbahkan tubuh Renata perlahan dan dibukanya pahanya lebar sebelum ia menindih tubuh dan mulai mencumbu kembali bibir ranum Renata.

Tangan Luke mulai menyingkap kaos yang Renata kenakan, menampilkan payudara sintal yang tak tertutup bra. Dipilinnya puting merah muda yang menegak karena terangsang sentuhan lembut yang Luke berikan. Renata perlahan mengalunkan lengannya di leher Luke sesekali menjambak rambutnya, pahanya pun turut naik dan melingkari pinggang Luke. Kode meminta permainan lebih, terlihat jelas Renata teramat menikmati setiap sentuhan yang ada.

Deru nafas yang saling memburu terdengar bersahutan. Mereka melepas pangutan mereka dan berlomba mengambil nafas dengan pandangan yang tak lepas satu sama lain. Luke tersenyum tipis sesekali ia mengecup singkat bibir Renata sembari melepas perlahan kaos dan celana pendek yang Renata kenakan. Renata sempurna telanjang, tubuh molek bak dewi yang menjadi pujaan setiap insan. Ditambah tato matahari yang menghiasi dada atas sebelah kirinya.

Luke meraba tato tersebut perlahan, menciumi setiap jengkalnya.

“Kenapa matahari?” tanya Luke disela kegiatan kecup jilat yang ia lakukan.

“Hidup baru, sudah saatnya aku memulai hidup baru,” jelas Renata singkat.

Luke hanya mengangguk, hidup Renata di matanya masih terasa abu-abu, semakin ia berusaha menyingkap semakin banyak pula pertanyaan yang menggantung.

Luke kini menghisap puting Renata, mengulumnya seolah bayi kelaparan. Tangannya sudah meraba area vagina Renata yang bersih tanpa bulu, terasa gemuk dari yang terakhir ia tahu. Perlahan jari tengahnya sudah menerobos masuk, vagina yang lapar berkedut semangat saat Luke menambahkan jemarinya dan mengocoknya perlahan. Tanpa sadar Renata menggerakkan pinggulnya berlawan arah, memperdalam jarinya masuk kedalam vaginanya. Dadanya semakin membusung membuat wajah Luke semakin tenggelam diantara dada sintal Renata.

Desahan Renata tak henti memenuhi sudut ruangan, peluh sudah memenuhi sekujur tubuh mereka, walaupun Luke masih mengenakan pakaiannya lengkap.

“Luke, mau sampai kapan begini aaahhh,” tanya Renata di sela desahannya.

Luke tersenyum, ia tahu Renata tak menyukai permainan yang bertele-tele. Namun, sengaja ia membuatnya demikian, supaya Renata tahu rasanya begitu dicintai.

“Kenapa? Mau cepetan?” goda Luke dengan sengaja. Ditambah ia menggosok klitoris Renata perlahan, membuat si empunya semakin menggelinjang.

Renata mengangguk tak sabaran, ia sudah lelah ingin segera masuk ke intinya.

Dengan cepat Luke bangkit dan melepas seluruh pakaiannya termasuk celana pendeknya hingga menampilkan kejantanannya yang berdiri tegak dengan cum yang sudah menetes diujungnya. Dibukannya paha Renata lebar sebelum ia mulai menggesekkan ujung penisnya di depan liang vaginanya. Nafsu menjalar keseluruh tubuh keduanya, dalam sekali hentak penis besar tersebut sudah sepenuhnya masuk kedalam vagina hangat Renata.

“AKH-”

Jeritan Renata tertahan oleh bibir Luke yang tiba-tiba mengecupnya. Jemarinya menggenggam sprei erat, menyalurkan rasa sakit yang menjalar. Tautan bibir mereka semakin dalam, begitupula dengan Renata yang sigap menaikkan pahanya ke pinggul Luke dan menggerangkan perlahan seakan ingin memijat penis Luke.

Luke yang paham akan tersebut segera mengangkat pinggulnya, menyisakan kepala penisnya saja sebelum ia melesakkan kembali penisnya masuk menghantam dinding rahim Renata keras. Renata terlihat sangat menikmati permainan ini tangannya mulai mengusap pelan punggung Luke menyalurkan setiap rasa yang ia terima.

Tautan bibir mereka terputus, Luke memandang Renata yang terengah dibawahnya. Ditambah tempo tusukan yang ia percepat semakin mengguncang tubuh Renata membuat dadanya memantul seksi. Luke teramat menyukai saat istrinya takluk dibawah kukungannya. Vagina Renata semakin menyempit, pecapaiannya sudah dekat.

“Aaahhhh Luke aku mau keluaaar ...”

Renata merancau, pecapaiannya sudah dekat. Sedang Luke mempercepat temponya segera menyusul pecapainnya Renata.

“Seben-taaar...”

Renata mencengkram erat punggung Luke, pelepasannya sudah sangat dekat. Sebelum Luke semakin liar menusukkan penisnya dan menyemburkan spermanya bersamaan.

Kaki Renata jatuh terkulai, kelelahan. Walaupun ia sering bermain entah mengapa ini terasa panjang dan melelahkan. Sedang Luke perlahan melepaskan penisnya yang terkulai dan mengecupi setiap sudut wajah istrinya sebelum ia berguling dan memeluk Renata dari samping.

“Terimakasih sayang, semoga dia jadi anak yang baik,” bisik Luke tepat ditelinga Renata sembari memgusap perut Renata lembut.

Renata hanya terkekeh, ia terlalu lemah menanggapi perkataan Luke dan memilih terlelap dipelukan Luke.


Keesokan sorenya, Renata dan Luke sudah terduduk rapi dengan setelan mewah mereka diruang tamu rumah Renata. Dikelilingi dengan anggota keluarga yang lain yang memandang Renata jengah karena gaun dengan pundak terbuka yang ia kenakan. Namun, tak digubris baik Renata maupun Luke.

Seharian ini mereka menyusun segala skenario yang ada sebelum menghadiri acara makan malam keluarga Renata. Cukup sakral dan mencekam. Aura perebutan harta sangat terasa. Baik dari paman-paman Renata maupun sepupu jauhnya yang seakan tak terima Renata dan Luke yang menerima semuanya.

Tak berselang lama lelaki paruh baya dengan rambut setengah putih memasuki ruangan, membuat seisi ruangan berdiri menyambut kehadirannya.

“Sudah duduk saja,” kata pria tersebut.

Semua orang mengangguk dan kembali ke duduknya. Lelaki tersebut memandang Renata dan Luke bergantian, sebelum senyum sumringah ia pancarkan.

“Aduh anak mantu ku tersayang datang juga, bagaimana Paris? Ada masalah?” tanya pria tersebut, ia adalah Papa Renata.

“Aman, Pa. Semua normal,” jawab Luke.

Papa Renata mengangguk, segera ia mengintruksikan untuk segara memulai makan malam.

Disela-sela suapannya Papa Renata menatap putrinya, seolah mencari tahu mengapa putri semata wayangnya memilih terdiam.

“Renata, tiga puluh menit sudah makan malam berlangsung, tapi satu detikpun kamu belum menyapa papamu?” tanya Papa Renata.

Renata menghentikan suapannya, menatap sekilas lelaki itu sebelum ia kembali memandang piringnya yang nyaris kosong.

Luke menyenggol lengan Renata perlahan menggeleng singkat seolah mengingatkan Renata kembali.

Renata mendengus sebelum berkata, “ tampaknya anda bahagia pak tua tanpa saya dirumah, bagaimana istri mudanya? Jadi yang mana?”

Papa Renata melirik dengan senyum sinis terpampang diwajahnya. Seluruh mata diruangan itu menatap tajam Renata. Luke yang memahami situasinya segera memanggil Raja, asisten Renata mendekat untuk menyerahkan berkas yang ia bawa.

“Pa, ini ada berkas kerjasama dengan Royal Corp. bisa dilihat, keuntungannya besar buat kita kurang lebih 500 milliar dollar,” terang Luke berusaha mengalihkan pembicaraan.

Papa Renata menatap sekilas berkas tersebut dan tersenyum.

“Memang mantu kebanggaan,” kata Papa Renata sebelum kembali melanjutkan makannya.


Renata dan Luke sudah kembali dari acara makan malam tersebut, seperti dugaan sebelumnya, saham terbesar jatuh ditangan Luke sedang Renata hanya memiliki sepuluh persen dari bagiaannya.

Renata menatap lesu jalanan yang mereka lalui. Terlihat pikirannya sangat kalut. Luke sesekali mencuri pandang kepada istrinya yang tiba-tiba berubah.

“Gak usah liat-liat ntar nabrak,” kata Renata.

“Ups, ketahuan. Lagian kenapa sih acara beres masih aja sebel,” ujar Luke penuh rasa penasaran.

“Ya, ngelihat pak tua makin kaya dan bahagia, memuakkan.”

Renata memberikan tatapan jijik dengan pandangan yang menerawang jauh.

“Apa salah Papamu bahagia?” tanya Luke.

“Beraninya dia bahagia setelah membuang Mama dan memilih hidup dengan gundik-gundiknya,” terang Renata.

Luke terdiam, terlihat jelas kode dari Renata untuk tak melanjutkan pembicaraan ini.

Tabir abu-abu kehidupan Renata kembali terbuka, Luke kembali memilih terdiam dengan tanda tanya besar dikepalanya.


Luke tergesa memasuki rumahnya, laporan terakhir Raja membuatnya tak tenang selama rapat bersama pemegang saham lainnya. Langkah kakinya serampangan menuju pintu rumahnya, di halaman jelas terdapat mobil Renata. Namun, saat ia membuka pintu rumah, didapatinya baju Renata dan baju lelaki tercecer hingga didepan pintu kamar tamu yang sedikit terbuka.

Langkahnya mantap menuju kamar tamu, dipandangnya jelas Renata bersama dua lelaki sedang bercumbu panas diatas kasur tanpa busana. Luke berjalan menuju sofa yang ada, memandang keseluruhan adegan yang ada. Hingga manik matanya bertemu dengan Renata saling bertemu, saling tatap.

“Kalo mau dilanjut silahkan, saya tunggu sampai selesai.”

Ketiga pasang mata, menatap ke sumber suara. Aura mencekam memenuhi sudut ruangan.


-amara.

Derum suara kendaraan perlahan memasuki pelataran garasi rumah Aurora. Echan yang lari dari rumah Eca segera memasuki rumah Aurora, dibukanya kenop pintu dengan cepat setelah ia sadari bahwa pintu tersebut tak terkunci. Langkahnya tertahan sejenak memandangi ruang tengah yang berantakan. Bau alkohol yang menyengat dan sesekali tercium bau sperma sisa orang bercinta.

Tatapannya curiga mencoba mencari jawaban siapa yang mengacaukan rumah Aurora dangan sengaja ini, ditambah ia menemukan botol minuman yang kemarin sengaja ia pesan untuk keperluan event. Segera ia melangkahkan kaki menuju kamar Aurora, pikirannya sudah mengerucut pada dua orang yakni Aurora dan Tian. Namun, ia masih berusaha menepis pemikirannya.

Perlahan ia memutar kenop pintu kamar Aurora, terpampang jelas pemandangan pagi ini. Aurora dan Tian yang tanpa busana tertidur bersama. Echan tahu ia bukan maniak seks, tapi yang ia tahu seks setidaknya mengurangi kekalutan pikirannya saat ini. Pemikiran instan yang konyol sejatinya.

Tanpa aba-aba ia segera merebahkan tubuhnya disisi Aurora yang terlelap dan memulai aksi jahilnya. Pagi yang panjang untuk mereka bertiga dan awal pagi yang rumit juga bagi mereka.


Echan memeluk Aurora dari belakang, selain payudara, Echan juga meraba vagina Aurora. Membuat Aurora terkejut. Namun, sebelum ia berteriak mulutnya sudah dibungkam Echan dengan tangan.

“Ura, kan udah dibilang, kalo kelon ajak-ajak. Mana permen Echan dimakan juga,” bisik Echan.

Aurora menggeliat resah, lubangnya mulai ditusuk acak.

“Jadi sekarang gantian ya!” bisik Echan dengan senyum sumringah.

Aurora terpaku, mulutnya masih dibungkam oleh tangan Echan. Desahannya tertahan terlebih disebabkan oleh jemari Echan yang mulai membelai permukaan vaginanya tanpa aba-aba, juga ia dengan sengaja memasukkan jari tengahnya kedalam lubang vagina Aurora dan mengocoknya brutal.

Cepat Aurora menggigit jari tangan Echan yang membungkam mulutnya, ditepis tangan Echan yang mengocok lubangnya brutal tapi gagal. Jari Echan malah bertambah dan semakin dalam ditusukkan.

“BOCIL BRENGSEK!” desis Aurora. Namun, tak ditanggapi oleh Echan yang masih saja mengocok lubang vaginanya dan meremas payudara yang terbuka.

Tian yang terlelap disebelahnya sedikit terusik, matanya diusap beberapa kali sebelum ia sempurna sadar memandang Aurora yang dikukung oleh Echan. Pandangannya kini tertuju pada Echan yang sedang menjilati leher Aurora, sedang gadis itu hanya menggeliat sembari menggigit bibir bawahnya menahan desahan.

Tatapan Aurora jelas meminta tolong kepada Tian agar menyingkirkan Echan dari segala kegiatannya, tapi nihil. Tian justru menikmati pemandangan dihadapannya dan meraih dasi yang entah sejak kapan ada di sudut nakas Aurora.

“Yaaan, aaahh ... jangan pake iket-iket segala ....”

Aurora memohon sembari mendesah, ia bukan tak mau tetapi kegiatan yang semalam masih membuatnya kelelahan. Tian mengurungkan niatnya dan meletakkan kembali dasi tersebut.

Echan menghentikan kegiatannya tiba-tiba dan membalik tubuh Aurora menjadi terlentang. Aurora terengah-engah, menormalkan nafasnya.

“Gimana mau dilanjut, apa gak usah?” tanya Echan sembari melepas jaketnya.

Sedang Tian menatapnya dengan senyum yang tak dapat diartikan.

“Oke, tapi gaada yang boleh brutal!”

Aurora memberikan lampu hijau yang disambut semangat dua lelaki dihadapannya. Dengan sigap Tian meraup bibir Aurora dengan ganas sembari meremas payudaranya dan memilin putingnya gemas. Sedangkan Echan sudah menjilati vagina Aurora mulai dari permukaannya hingga menusuk-nusukkan lidahnya kedalam inti tubuh Aurora.

Aurora memeluk erat leher Tian, berusaha menyalurkan semua hasratnya. Begitupula dengan pahanya yang rapat menekan kepala Echan untuk menjilatnya semakin dalam. Sekujur tubuhnya sudah penuh akan nafsu, ia menggelinjang melepaskan banyak cairan dan menahan desahannya di sela-sela tautan panasnya.

Tanpa Aurora sadari Tian sudah mengocok penisnya perlahan, bersiap ia masukkan kedalam mulut hangat Aurora. Tautan bibir itu tergantikan dengan penis besar yang digerakkan keluar masuk mulut Aurora. Dari bawah Echan melirik sekilas dari kegiatannya mengulum kecup jilat vagina Aurora, tanpa sadar ia tersenyum miring. Ia turut melepas celananya, menyisakan penis yang mengantung diantara selangkangannya.

Perlahan ia arahkan kepala penis tersebut kedepan lubang vagina Aurora yang berdenyut meminta diisi, didorongnya penis tersebut masuk kedalam lubang vagina dalam sekali hentak. Membuat Aurora tersedak penis Tian yang ada dimulutnya. Terbatuk-batuk sehingga Tian melepas penisnya dan memastikan Aurora baik saja sedang Echan hanya nyengir tak bersalah.

Saat dirasa Aurora sudah membaik, Tian mengecupi kembali bibir Aurora perlahan, turun hingga menuju kedua dada sintalnya. Sedang Echan mulai menggerakan pinggulnya berlawanan arah, perlahan namun tepat sasaran menumbuk di g-spot Aurora.

Desahan Aurora menggema diseluruh ruangan, peluh mereka bertiga menyatu menjadi satu. Ditambah kini Echan semakin brutal memompa lubang Aurora, dan putingnya yang dihisap kuat-kuat oleh Tian.

Vagina Aurora semakin mengetat, tanda puncaknya semakin dekat. Echan yang merasakan hal tersebut segera mungkin melepas penisnya sebelum ia kelepasan. Dengan cepat ia melepas penisnya seketika saat spermanya muncrat ke segala arah diatas permukaan tubuh Aurora. Tian hanya menggelengkan kepalanya, sebelumnya ia sudah beranjak menjauh sebelum terkena semburan.

Echan jatuh terduduk ditepi kasur, rautnya puas walaupun nafasnya terengah-engah, kini ia berganti posisi dengan Tian, giliran ia yang menyusu dari dada Aurora sembari memerasnya. Sedang Tian, sudah memasukkan penisnya kedalam vagina Aurora yang licin akan cairannya.

Tian menghentakkan penisnya berulangkali, sesekali juga ia memutar pinggulnya.

“Aaahhhh ... kalian gila memang gilaa ..”

Rancau Aurora, lubangnya tak ada habisnya meminta diisi penis.

“Kalo mau sering juga gapapa sih, tinggal siapa yang siap,” sahut Echan yang masih sibuk menciptakan banyak kissmark diarea perut dan dada Aurora.

Aurora hanya mengangguk semangat, jemarinya kini menggenggam erat sprei dibawahnya yang sudah berantakan. Vaginanya ditumbuk habis-habisan oleh Tian, tenaga sudah habis tak terhitung sudah berapa pelapasan yang ia keluarkan.

“Ra, gue mau keluar,” kata Tian mempercepat tempo nya.

Aurora mengangguk pasrah terserah apa yang Tian lakukan. Echan kini sudah menyingkir dan memilih tidur disisi Aurora. Tian semakin brutal memompa lubang Aurora, dalam sekali hentak ia melepaskan cairannya didalam rahim Aurora merembes hingga membasahi paha dan pantat Aurora.

“TIAN!”

Aurora mendelik, ia tersadar dengan apa yang baru saja Tian lakukan. Ceroboh sekali. Sedang Tian justru tertawa sembari mengambil tisu untuk mengelap vagina Aurora dan penisnya yang penuh cairan.

“Lu gila!” gerutu Aurora kembali.

“Sekali-kali, Ra. Gue mandi dulu, kalian jangan main lagi kita makan habis ini.”

Tian meninggalkan Aurora yang masih tergeletak di kasur dengan posisi yang ambigu, ditambah Echan yang berbaring disisinya tertidur dalam keadaan masih menggenggam dada Aurora.

“Chan, bangun lu!” teriak Aurora tepat ditelinga Echan.

“Ehmmm... Ura berisik, mending lu ikutan tidur dah,” rajuk Echan.

Aurora menghembuskan nafasnya kesal, ia memilih ikut tertidur.


Kini ketiganya sudah terbangun, sudah pula menyelesaikan mandi walaupun Aurora harus dibantu Tian untuk bangkit dari kasur menuju kamar mandi.

Aurora duduk disebelah Tian, sebrangnya ada Echan yang menunduk menatap gelas berisi air.

“Jelasin coba lu sama Eca ada apa?” tanya Aurora.

Echan menatap wajah Aurora dan Tian bergiliran, mencoba menghindari pertanyaan ini. Namun, nihil. Tian justru mengedikkan bahunya tak peduli.

“Eca mau ke US dan papa masih maksa gue buat jadi kek dia,” lirih Echan.

“Terus lo marah ke Eca?” cecar Aurora.

“Bukan marah, Kak. Gue benci ditinggalin, gue benci manusia yang bilang gue ngalakuin ini demi lu buat kebaikan lu, munafik.” Tegas Echan, tatapannya juga penuh rasa kekecewaan.

“Terus sekarang gimana?” lanjut Aurora.

“Gue pindah sini, numpang. Papa tau rumah Bunda, rumah Eca, bahkan rumah Jevano. Gue mau nyoba mulai hidup baru,” jelas Echan memelas.

“Oke, lu tinggal sini sementara. Gantiin gue yang mulai sibuk, gabisa jagain nih orang lagi,” sahut Tian tiba-tiba.

Aurora tak bisa berkata-kata kembali, jujur ia juga kesepian dirumah ini, ia beranggapan dengan adanya Echan setidaknya malam berat sejak kehilangan Adam ia sedikit membaik.

“Oke lu tinggal disini, tapi beresin dulu masalah lu sama Eca,” putus Aurora.


6 bulan kemudian.

Aurora bergegas mengambil tasnya dari meja kerjanya, berlari kecil menuju lift dan menekan tombol yang mengarah ke parkiran basement gedung. Disana sudah ada Tian dengan mobil sedan hitam barunya, hasil album pertamanya yang sukses besar. Malam ini mereka akan mengadakan perayaan kecil-kecilan di rumah Aurora. Tentu saja bersama Echan.

Aurora membuka pintu penumpang dengan senyum sumringah. Begitupula Tian yang siap merentangkan tangannya meminta pelukan.

“Hadiahku mana?” rengek Tian.

Aurora terkekeh kecil sebelum ia mengarahkan pelukannya dan menghujani pipi Tian dengan kecupan.

“Udah nih,” ujar Aurora.

“Ada yang belum,” kata Tian menggantung.

“Apa?”

“Let's get high together, honey.”

Bibir Tian terangkat sedikit, penuh tatapan nakal.

“As you wish!”

“Tapi bisa dimulai dari sekarang?” lanjut Aurora.

Tian mengangkat sebelah alisnya bingung. Tanpa sadar Aurora sudah membelai penisnya yang masih tertutup jeans.

“Emang lo gaada duanya, Ra,” kekeh Tian sembari melanjutkan menyetir.


– amara.

Echan melangkahkan kakinya keluar dari rumah Aurora menuju ke sepeda motor yang terparkir di garasi. Miliknya yang sengaja ia tinggalkan. Bagi Echan rumah Aurora adalah rumah ketiga setelah rumah Bundanya dan rumah Eca, kekasihnya. Echan sebenarnya memiliki satu rumah lagi milik Papa dan Mama tiri-nya, jauh lebih mewah tapi ia tak menyukainya.

Dilajukan motornya perlahan menuju rumah Eca, pikirannya melayang entah kemana seperti ada perasaan yang hilang. Ia dan Eca sudah bersama hampir tiga tahun, sama-sama bertemu karena satu jurusan dikampus. Namun, akhir-akhir ini baik Echan maupun Eca terdapat banyak hal yang disembunyikan.

Jarak rumah Aurora dan rumah Eca tak jauh, hanya terpisah tiga blok perumahan. Kini Echan sudah melepas helm dan sepatunya sebelum masuk kedalam rumah semi modern milik keluarga Eca. Tangannya sudah terampil membuka password rumah.

“Sayaaaaaangggggg ....”

Echan berteriak dari ruang tamu, mencari keberadaan Eca. Tak ada sautan suara satupun. Echan beranjak menuju dapur, mengambil beberapa minuman dan makanan ringan sebelum ia beranjak menaiki tangga.

Dari balik pintu kamar Eca, terdengar suara isakan kecil. Echan segera mungkin membuka pintu panik.

“LU KENAPA?!”

Eca hanya menatap datar Echan dengan ekspresi datar tak bersalah. Ia justru mengangkat tangannya meminta minuman yang Echan bawa.

“Mau minum, haus,” pinta Eca datar.

“Kirain nangis kenapa ternyata nonton drama, dasar!” gerutu Echan sembari melempar kaleng minuman.

“Mumpung liburan, ngapain lagi?” ujar Eca melanjutkan dramanya kembali, mengabaikan Echan yang menatapnya kesal.

Tanpa aba-aba Echan menghentikan drama dari laptop Eca dan menyingkirkannya dari tempat tidur. Dengan kilat ia menggulingkan tubuh Eca, memeluknya serta menciumi perpotongan lehernya.

“Eiitss, kenapa lagi?”

Eca berusaha memberontak melepaskan pelukan Echan tapi gagal karena perbedaan kekuatan. Ia terdiam tanpa berniat menjawab pertanyaan Eca. Tangannya mengusap lembut punggung Eca dari balik kaosnya.

“Kalo ada apa-apa tuh cerita, jangan tau-tau nyosor begini. Dikata gue bisa baca pikiran apa,” omel Eca.

Tangannya mengusap surai coklat Echan lembut, menyampaikan rasa sayangnya.

Echan hanya menggeleng, “gaada apa-apa kok, eh, vitaminmu ketinggalan di rumahnya Ura.”

Echan mengalihkan pembicaraan dnegan cepat.

'Tuk!'

Eca menyentil gemas dahi Echan.

“Vitamin apaan! Tulisannya doang vitamin c, bentuknya gummy bear tqpi aslinya Arginmax, kan?” omel Eca.

Echan menyengir tak merasa bersalah karena keisengannya.

“Tadi katanya mau ngajakin nonton pornhub,” goda Echan.

“GUE BERCANDA! lagian inimasih pagi bego lu! Ngapain kek yang manfaat, kebiasaan kita kalo libur gini mulu.”

Eca melepas pelukannya dari kekasihnya, tidur terlentang sembari memikirkan kegiatan yang bisa mereka lakukan.

“Mall?” tawar Echan.

“Gamau bosen,” tolak Eca.

“Terus ngapain?” tanya Echan kembali.

“Ke taman yuk! Piknik!”

Eca penuh antusias, manik matanya berbinar.

“Boleh, tapi ayo kita main game.”

Echan tersenyum miring, tanda bahaya bagi Eca. Ia paham Echan akan melakukan hal aneh kembali.


Mereka berdua kini sudah berada di taman kota, diatas karpet merah yang dibawa mereka dari rumah. Echan tertidur diatas paha Eca yang tertutup rok biru selututnya, disebelahnya tergeletak beberapa makanan ringan dan minuman yang mereka bawa. Namun, ada yang aneh dari Eca, ia hanya terdiam sesekali menggeliat dan keringatnya bercucuran. Tampak resah sekali.

“Chaaan, dilepas yaa,” pinta Eca setengah berbisik ditelinga Echan.

Echan bangkit dari tidurnya, terkekeh singkat mengamati kekasihnya yang semakin resah.

“Kenapa emang? Gatel udah?” tanya Echan dengan nada mengejek.

Eca menatapnya sayu sembari menggigiti bibir bawahnya menahan desahan.

“Kamu kenapa sih aneh-aneh, Chaaaan.”

Echan terkekeh kembali, “kalo gini aja manggilnya kamu, giliran biasanya lo gue, dasar. Sabar yaa baru aja setengah jam masa udah pulang lagi.”

Eca menggeliat resah, beberapa kali ia mencoba bangkit dari duduknya kemudian duduk kembali. Sedang Echan mengeluarkan ponselnya, memainkan aplikasi pengontrol getaran vibrator yang kini mengaduk vagina Eca perlahan. Eca memelas menatap kekasihnya, mencoba meringankan penderitaannya. Namun, sedetik kemudian Echan justru mempercepat getaran yang ada membuat Eca berteriak tanpa sengaja.

“Aah! Lu gila apa!”

Dipukulnya lengan Echan dengan keras, menyampaikan kekeasalannya.

“Hahahaha gimana nyerah?” ledek Echan.

“YAA GUE NYERAAH PLEASE AYO PULANG!”

Eca menenkankan setiap kata dalam kalimatnya, mencoba melampiaskan seluruh kekesalannya. Sedang Echan hanya tertawa terbahak-bahak.

“Yaudah kalo gitu sini, pangku dulu. Sambil ngomong seseksi mungkin,” jelas Echan sembari menepuk-nepuk pahanya.

Eca mendengus kesal, ia ingin segera mengakhiri permainan konyol ini. Celana dalamnya yang basah sudah sangat membuatnya tak nyaman. Namun, jika tak segera menuruti permintaan lelakinya permainan ini akan semakin lama. Segera ini duduk dipangkuan Echan dengan paha yang terpaksa ia buka, aliran darahnya berdesir kencang menuju inti tubuhnya menimbulkan sensasi menggelitik.

“Sayaaang ..... ayo pulaaanggg ... kita main kek biasanyaaa.”

Echan semankin terkikik, dipeluknya sang kekasih.

“Oke, kita pulang nanti sampe rumah jangan kabur,” bisik Echan seduktif.


Tanpa banyak bicara Eca segera menarik lengan kekasihnya menuju kamar tamu dibawah. Akal sehatnya sudah hilang, yang ia pikirkan adalah sesegera mungkin menuntaskan nafsunya. Dengan sigap Eca menautkan bibir mereka, meraupnya tanpa ampun saling menautkan lidah. Sedang lelakinya memilih pasif mengikuti setiap langkah yang ada.

Dengan cepat Eca melepas kaos putih milik Echan dan melemparkannya secara acak. Disusul ia melepas gesper dan menurunkan jeans yang Echan kenakan menyisakan boxer hitam yang menutupi kejantanannya. Tangan Eca meremas-remas penis kekasihnya dari balik boxer membuat Echan meringis penuh nikmat atas hal tersebut.

Kini tangan Echan beralih menurunkan resleting dress biru muda Eca, satu tangannya menyingkirkan rok Eca, meraba paha dalamnya menuju permukaan vaginanya. Masih terasa getaran dari vibrator didalamnya, tanpa sadar celana dalam Eca sudah basah akan cairannya sendiri. Jari Echan kini menarik perlahan vibrator dan melemparkannya ke salah satu sudut kasur. Nafas lega tanpa sadar Eca hembuskan disela-sela ciuman panas mereka.

Jari tengah Echan masuk menusuk-nusuk lubang vagina Eca dan mengusap klitorisnya perlahan. Secara tiba-tiba ia menusukkan kedua jarinya kedalam vagina, mengeluar masukkan sembari menggelitiknya acak. Eca menggelinjang, mendesah panjang melepas tautan bibir mereka.

“Aaahhh ... bisa gak sih langsung aja dimasukiin aaahhh..”

Echan tersenyum miring dengan sigap ia melepas dress yang Eca kenakan, mengecupi setiap inci leher dan pundak Eca yang terbuka menyisakan banyak bekas merah. Tangannya melepas tautan bra dan membiarkan terjatuh diantara lengan Eca. Sedang Eca tak tinggal diam dengan mandiri ia melepas celana dalamnya yang basah dan boxer milik Echan. Menggosokkan penis Echan dihadapan lubang miliknya.

Jemari lentiknya menuntun penis Echan masuk kedalam lubangnya, sedang Echan semakin asik dengan dada Eca menghisapnya seperti bayi kehausan. Eca meringis kesakitan, terasa aneh saat kepala penis masuk kedalam lubangnya. Ia terdiam sejenak meraup udara banyak-banyak sebelum mendorong pinggulnya membiarkan penis tersebut masuk sempurna.

Kini Echan berbaring dengan Eca diatas perutnya yang tengah asik memantulkan tubuhnya kesana kemari. Lubangnya terasa penuh dan candu karena terus menerus ditumbuk dengan penis besar Echan. Payudara sintal Eca diremas oleh Echan tanpa ampun guna menambah dorongan nafsu.

“Ca, kalo gini kamu cantik banget sampe bulan aja kalah, Aaahhhhhh! Sakit Ca! Jangan tiba-tiba diputer gituuuu.”

Ditengah permainan panasnya, Echan masih sempat menggombal membuat Eca jengah dan memutar pinggulnya yang membuat penis Echan seperti diperas.

“Chaaannn aku capeeek mauuu keluaaar ....”

Eca melambatkan temponya, lututnya sudah lemas tanpa daya. Dengan sigap Echan merubah posisinya menjadi Eca dibawah kukungannya. Tempo nya semakin acak dan brutal tanpa ampun.

“Aah .. aahh..aaahh..”

Desahan mereka saling bersahut, sesekali Echan mendorong kuat pinggulnya memperdalam tusukannya membuat tubuh Eca semakin melengkung menahan tusukan.

Tak berselang lama penis Echan membesar, mempersulit tusukannya. Dalam sekali hentak ia menyemburkan seluruh spermanya kedalam rahim Eca, bersamaan dengan cairan Eca yang meluber diantara lubang vaginanya.

Echan melepas tautan kelamin mereka, meraup nafas banyak-banyak sebelum ia turut berbaring di sisi Eca yang kini memejamkan matanya kelelahan. Echan mengecup pelan dahi Eca, menyalurkan rasa sayangnya.

“Makasih ya,” lirih Echan sebelum ia bangkit meraih boxer dan kaosnya.

Eca hanya mengangguk, ia menyeret selimutnya dan tertidur tak memperdulikan apa yang kekasihnya lakukan.


Echan kini duduk di teras samping rumah Eca, mengambil sebatang rokoknya dan menyalakan perlahan dan menghisapnya penuh penghayatan sembari ia membuka ponselnya. Ponselnya penuh notifikasi grup kuliah dan kerja. Namun, ada satu nama yang begitu mengusik dirinya. Papa. Echan berdiri menuju dapur, mengambil sebotol minuman keras yang sengaja ia simpan dikulkas milik Eca. Ia kembali duduk diteras sembari menengguk perlahan minumannya.

Beberapa detik ia hanya memandang kolom pesan tanpa berniat membukanya. Dengan segenap hati ia membaca pesan tersebut tetapi semua berubah, raut wajahnya mengerut dan tatapannya menjadi nyalang penuh emosi.

Screenshot-20210706-232853-Me-Mi-Message

Echan meletakkan kembali ponselnya, menengguk kembali minuman ditangan diselingi dengan hisapan rokok. Ia terlalu membenci takdir yang berjalan, membenci kenyataan hidupnya.

Tiga jam Echan habiskan dengan merenung, menghabiskan satu kotak rokok dan dua botol minumannya. Matanya sudah lelah, walaupun otaknya masih tak berhenti berfikir. Ia putuskan untuk bangkit dan kembali ke kamar bersama Eca.

Dipandanginya wajah Eca lamat, betapa bersyukur ia bertemu seseorang yang tak lari darinya saat seluruh dunia seakan menekannya. Kamar tamu ini kosong, ia putuskan membawa Eca kembali kekamar miliknya. Digendongnya perlahan menaiki tangga dan ia letakkan diatas kasur perlahan tanpa berusaha membuatnya terbangun. Ia juga sigap membuka lemari baju Eca memilihkan kaos dan celana yang nyaman untuk Eca kenakan saat tidur.

Setelah tuntas memakaikan baju, ia turut berbaring disisi Eca. Dipeluknya sang kekasih erat sebelum bersama menuju alam mimpi.


Mentari mulai menampakkan sinarnya, menyelinap diantara gorden kamar Eca. Eca masih meringkuk didalam pelukan kekasihnya, sebelum ia tersadar bahwa langit sudah berangsur terang. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya, mengumpulkan kesadarannya, sebelum ia bangkit menuju kamar mandi.

Tak berselang lama Echan terbangun menyadari kekasihnya tak ada disisinya, ia kini terduduk mengumpulkan kesadarannya.

'Ting!'

Denting pesan masuk muncul di desktop laptop milik Eca yang menarik perhatian Echan. Dibukanya notifikasi email yang masuk. Echan yang semula masih setengah sadar, kini sadar sempurna membaca pesan yang masuk. Pandangannya memastikan kembali pesan yang masuk, kemudian mengamati meja belajar Eca. Tatapannya kacau, menjadi penuh emosi.

Tanpa sadar Eca sudah berdiri disisinya, memperhatikan seluruh gerak herik Echan yang resah.

“Chan..” lirih Eca.

“Sejak kapan kamu daftar double degree ke Amerika?” tanya Echan mengintimidasi.

Eca hanya terdiam menunduk.

“JAWAB CA! SEJAK KAPAN KAMU GAK NGOMONG?! SEJAK KAPAN KAMU MAU NINGGALIN AKU?!”

Echan penuh emosi, teriakkannya menggema diseluruh ruangan. Segera ia mengenakan kembali pakaiannya, mengabaikkan Eca yang mematung.

Echan keluar dari kamar menuju keluar rumah, meninggalkan Eca yang mulai terisak.

Dalam bisiknya Eca berkata, “biar papamu mau nerima anak yatim kek aku, Chan.”

Namun, suara itu tak pernah sampai ditelinga Echan. Tak akan pernah sampai.


-amara.

Winar mengetuk pintu apartemen perlahan sembari bersandar pada tembok di sisi pintu, berusaha menahan dari rasa kantuknya. Tak berselang lama Naya, sang kekasih, membuka pintu dengan piyama tidurnya, wajahnya terheran menatap Winar yang mengantuk dan berbau alkohol.

“Kan ... kebiasaan mabok mulu mentang-mentang besok libur,” oceh Naya sembari memapah Winar masuk ke dalam.

“Huusst ... jangan ngomel, Sayang. Echan tadi yang ngajak. Sekalian nemenin Mbak Auro yang lagi patah hati,” bela Winar.

Naya meletakkan tubuh Winar di atas kasur miliknya, melepaskan jaketnya perlahan mencoba membuat lelakinya lebih nyaman.

“Kok kasian Mbak Auro,” Naya bergumam sembari kembali ke meja belajarnya, membuka laptop dan melanjutkan mengetik narasi yang sempat tertunda. Tangannya lincah melenggang di atas keyboard, sesekali ia membenahi letak kacamata dan meneguk air dari cangkir kecilnya.

Ia adalah penulis lepas di platform twitter, menulis fiksi penggemar dengan tema yang beragam termasuk salah satunya, romance. Naya melakukan ini di sela kegiatannya menjadi mahasiswa tingkat. Hal itu dilakukannya hanya sebagai pelepasan stres.

Tanpa sadar waktu berlalu, jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, ekor matanya melirik ke arah Winar yang sedang terlelap. Ia menjeda kegiatannya sebentar untuk meregangkan otot, melepas stres dari tubuhnya yang sudah kaku sedari tadi. Pikirannya sekarang penuh dengan alur cerita yang akan ia tuliskan, berusaha menuangkannya tanpa menimbulkan kerancuan bagi pembacanya.

Di tengah konsentrasinya menulis, tiba-tiba ada yang memeluk lehernya. Ketika menoleh, kepalanya tertahan oleh kepala Winar yang sudah menelusup di perpotongan lehernya.

“Kebangun, ya?” tanya Naya sembari mengusap surai hitam Winar.

Winar mengangguk kecil dan bertanya, “kamu pasti belum tidur kan?”

Naya hanya terkekeh kecil, sedang Winar berdecak kesal. Dengan cepat Winar mengecupi leher Naya serta menjilatinya tanpa ampun. Naya masih berusaha berkonsentrasi terhadap tulisannya walaupun ia harus menahan geli. Naya berusaha menepis kepala Winar tapi gagal karena Winar semakin erat dan meninggalkan bekas kissmark di lehernya.

“Hmmmmmzz ... bisa dieem gak siih,” gerutu Naya di tengah desahan yang ia tahan.

Winar menggeleng singkat mengabaikannya, ia justru mengulum telinga Naya dan meremas dada Naya dari belakang. Tangan satunya menelusup ke balik piyama Naya, mengusap perut datarnya. Sedang Naya, tangannya masih sibuk menjaga ketikannya yang mulai acak, menghapus kemudian mengetiknya kembali, berulang-ulang.

Winar semakin usil, selain tangannya memainkan puting Naya dari luar piyama, ia juga menulusup di balik celana Naya menuju ke area intimnya. Mengusapnya perlahan dari balik g-string, sesekali tangannya menekan-nekan area klitoris Naya. Jarinya menyingkap g-string yang menjadi penghalang dan memainkan klitorisnya perlahan.

Naya mengepalkan tangannya gemas, ia sudah tak sanggup menahan desahan dan lonjakan nafsunya. Sedang pelaku semuanya hanya tersenyum tanpa rasa bersalah. Winar mengarahkan bibirnya untuk mencium Naya, ciuman yang berawal dari kecupan singkat berubah menjadi lumatan dan hisapan. Semakin kuat Winar menghisap bibir Naya semakin kuat pula Winar mengocok lubang Naya dengan jemarinya.

Naya semakin merancau dan menggeliat, tangannya sudah menjambaki rambut Winar untuk melampiaskan hasratnya. Pahanya semakin melebar berharap Winar semakin dalam menusukkan jemarinya. Namun, siapa sangka tiba-tiba Winar menghentikan semuanya dan melepas tautan bibir mereka.

“Heheheh udah sana lanjut, aku mau mandi bentar ya.”

Winar terkekeh menuju kamar mandi meninggalkan Naya yang mana mukanya sudah merah padam. Ia sudah berada di puncak nafsunya, sedangkan Winar justru mempermainkannya. Naya segera menutup laptopnya dan bangkit menuju lemari. Di bukanya kotak besar yang ternyata berisi banyak pakaian minim miliknya. Dipilihnya salah satu dengan model paling minimalis. Naya memilih bra yang hanya menutup putingnya dan g-string renda warna merah mencolok. Ia juga mengeluarkan dadu permainan favorit mereka, dadu seks. Berisi beraneka style seks yang bisa mereka lakukan.

Tak berselang lama Winar keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah dan handuk di pinggang. Didapatinya Naya dalam posisi menungging di atas kasur menampilkan bongkahan pantat montoknya yang tak tertutupi dan lubang vagina yang berkedut. Dada sintalnya juga menggantung seolah memanggil Winar segera mendekat.

Winar tersenyum miring, ia berkata dengan semangat.

Let's play the game!

Naya tersenyum sembari menjilati bibirnya sensual, semaksimal mungkin menggoda Winar.

Winar mendekat, mengusap bongkahan pantat Naya lembut sesekali diremasnya sehingga membuat Naya mendesah.

“Mau langsung apa pake dadu nih?” tanya Winar.

“Dadu yuk! Lama gak dimainin,” jawab Naya penuh semangat.

Kini Winar sudah duduk di atas kasur dengan Naya berada di pangkuannya. Tangannya memutar dadu yang ada, menjatuhkannya asal di atas kasur.

“Waaw, kesukaanmu nih,” ujar Winar antusias setelah muncul gambar dari salah satu bagian dadu. Mereka merubah posisi mengikuti apa yang tergambar, posisinya kini Winar berbaring dengan Naya berada di atas mukanya, duduk bertumpu lutut agar tak menimpa Winar. Sedang Winar di hadapkan langsung dengan lubang Naya yang becek. Lidahnya kini mengeksplor lubang Naya, menjilatnya dan menghisapnya. Tangannya juga tak tinggal diam dalam sekali hentak ia melepas bra Naya, membuat dadanya memantul kesana kemari. Diremas dan dipilinnya kedua puting Naya. Sedang Naya meremas rambut Winar dan mendesah tak karuan, titik sensitifnya begitu dimanjakan.

“Ahhhhhh .... gantian sekaraang aaah aku yang muter dadunyaaaah ...”

Naya berpindah posisi sebelum Winar mangacaukan permainan mereka, ia segera meraih dadu tersebut dan melemparnya. Winar yang melihatnya tersenyum usil, ia tahu akan melakukan apa. Segera ia merubah posisi terlentang dengan punggung menyadar di kepala kasur dan diikuti oleh Naya.

“Eiitss, sebelum hisap ini, ambil vibrator yang kemarin dong, yang baru,” cegah Winar sebelum Naya mendekat kepadanya.

Naya mengernyit kebingungan, tapi ia tetap bangkit dan mengambil vibrator yg dimaksud Winar dari laci nakasnya. Ia menyerahkan kepada Winar, tetapi malah dikembalikan padanya.

“Masukin dulu itu ke lubangmu, bawa sini remotnya,” pinta Winar.

“Biar apa?” Naya terheran dengan apa yang Winar inginkan.

“Biar enak, udaaah cepetan,” putus Winar.

Naya akhirnya mengiyakan, perlahan ia masukkan vibrator kecil yang belum menyala ke dalam lubangnya.

“Aaahhhh ... .”

Satu desahan lolos saat ia berusaha memasukkan vibrator itu. Tak lama vibratornya bergetar cepat, membuat Naya sempat limbung karena terkejut. Sedang Winar tersenyum usil.

Sesaat setelah membiasakan diri dengan vibrator yang ada di dalam lubangnya, ia merangkak ke arah selangkangan Winar. Ia melepas handuk yang menutupi kejantanan prianya. Dengan posisi menunging, ia menggenggam penis Winar yang sudah mengacung sempurna dan basah akan cum di ujungnya. Segera ia masukkan penis tersebut ke dalam mulut hangatnya, menghisap dan mejilati setiap sudutnya. Pahanya semakin mengatup dan bokongnya semakin menungging saat Winar dengan sengaja mempercepat tempo getaran vibrator yang ada. Mulut Naya tersumpal penis membuatnya kesulitan mendesah.

“Aaahhhh yeaaah hisaap teruusss sayaang ...”

Winar sudah merancau, tangannya kini beralih menjambak rambut Naya membuatnya naik turun mengeluar-masukkan penisnya. Vagina Naya yang terus menerus diaduk oleh vibrator membuatnya semakin basah, cairannya sudah merembes hingga paha dalam Naya.

Penis Winar semakin membesar, ditariknya keluar dari mulut Naya sebelum spermanya keluar ia bergegas meraih kondom yang selalu tersedia di nakas Naya. Segera ia merobek dan memasangnya cepat dibantu Naya. Dengan cepat ia meraup bibir Naya menghisapnya dengan brutal, kini posisinya sudah berubah dengan Winar yang berada di atas tubuh Naya. Dibukanya lebar-lebar paha Naya dan ditarik keluar vibrator yang sedang bergetar itu. Perlahan ia mengarahkan kepala penisnya dihadapan lubang vagina Naya, dalam sekali sentak ia dorong masuk kedalam membuat Naya mencakar punggung Winar. Walaupun sudah sering rasanya masih terasa menyakitkan saat penis itu masuk ke dalam vaginanya.

Winar berusaha mengalihkan rasa sakit Naya dengan memperdalam ciuman mereka dan remasan pada payudaranya. Perlahan cengkraman Naya melonggar dan mulai menggoyangkan pinggulnya resah. Winar yang mendapat sinyal segara memulai tusukannya dengan tempo perlahan. Ia melepas tautan bibir mereka, beralih menghisap payudara Naya seperti bayi yang kelaparan. Nanya menggelinjang merancau tak karuan. Winar semakin mempercepat ritme tusukannya, memperdalam tusukannya seakan penisnya ditelan habis oleh vagina Naya. Semakin rapat vagina Naya mencengkram, semakin cepat pula Winar memompa.

Manik mata mereka kini bertemu, Winar menghapus jejak keringat di dahi Naya tanpa memperlambat tempo sodokkannya. Tergambar jelas dari tatapannya ia begitu mencintai wanitanya, begitu pula Naya yang teramat mencintai Winar walaupun ia sedang berusaha menahan sebisa mungkin desahannya lolos.

“Uuuhhh yeaaah, bentaar lagi aku keluaar,” ujar Winar.

“Samaaaahhh barengan yaaa,” sahut Naya disertai anggukkan.

Winar kembali menautkan bibir mereka, memperdalam ciuman disertai dengan memperdalam tusukkannya. Temponya semakin acak di saat ia sudah hampir mencapai puncaknya. Ia mengeluarkan penisnya hingga tersisa ujungnya saja dan mendorongnya dalam sekali hentakan bersamaan dengan ledakan sperma yang keluar. Begitu pula Naya yang menggelinjang saat itu juga klimaks, cairan Naya meluber membasahi sprei yang ada.

Mereka menghirup nafas dalam-dalam bersama, berlomba siapa yang meraup udara paling cepat. Winar mengecup puncak kepala Naya singkat, sebelum ia berguling berbaring di sisi Naya. Dengan cepat ia melepaskan kondom yang ia kenakan, mengikatnya dan membuangnya ke tempat sampah di sudut ruangan. Sedang Naya masih terlentang dengan paha terbuka. Namun, matanya sudah setengah terpejam, Winar segera meraih selimut dan menutupi tubuh mereka berdua. Naya segara meringkuk di dalam pelukan Winar dan terbang ke alam mimpinya, tak berselang lama Winar pun menyusulnya untuk tidur.


– amara.

Aurora mengetuk layar ponselnya resah, menanti jawaban atas puluhan pesan yang ia kirim kepada sang kekasih, Adam. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, biasanya Adam akan mengetuk pintu rumahnya dan memeluk Aurora hangat menjelang tidurnya.

Satu pesan singkat masuk tetapi bukan dari kekasihnya. Namun, dari salah seorang rekan kerjanya, Echan.

“BRENGSEK!” umpat Aurora sembari bergegas meraih jaketnya.

Ia berlari menuju garasi rumahnya menuju mobil sedan miliknya. Sebelum menyalakan kendaraan, ia teringat sesorang yang harus dihubungi segera, Tian. Tian adalah sahabat Aurora, sahabat karib yang kini sedang sibuk dengan kegiatannya menjadi seorang pendatang baru dunia hiburan.

Tangannya cepat mengetik pesan singkat sebelum melempar ponselnya asal. Kini kendaraannya sudah melaju cepat menyusuri jalanan, pikirannya kalut penuh dengan pertanyaan yang saling membelit.


Bar L letaknya jauh dipusat kota, berbanding dengan rumah Aurora yang berada di area pinggir kota. Suasananya terasa hening walaupun Aurora memutar radio untuk menemaninya. Namun, entah mengapa terasa mencekam.

Kendaraan Aurora sudah terparkir rapi di sisi kanan Bar. Bergegas ia keluar tanpa sempat mengambil ponselnya. Pandangannya acak menjelajah seluar area Bar. Nihil, tak ada sosok Adam disana. Secara tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang, dengan cepat ia menoleh kebelakang. Didapatinya Echan dan Winar disana dengan sebotol beer ditangan masing-masing.

“Anjing, mana Adam?”

Aurora menyingkirkan tangan Echan sebelum meneriakinya.

“Noh, lantai atas, VVIP room bareng 'tante',” ujar Echan sembari menyesap minumannya.

“Tante yang lo maksud Renata kating kita?” sahut Winar.

Echan mengangguk singkat, “yap, mana lagi.”

“Edan!”

Winar menggelengkan kepalanya, memandang sejenak Aurora yang sudah kalut menahan emosi.

“Kak, saran gue tunggu aja penjelasan dia. Kalo lo kesana, bukan makin beres tapi makin gila lo,” ucap Winar sembari mengusap lengan Aurora.

“Iya nih, Ura mending lu ikutan kita dah,” bujuk Echan.

Echan, Winar, Jevano dan Luke adalah rekan sepermainan. Winar bergabung karena Echan dan Jevano adalah rekan bisnisnya dalam event organizer dan bintang iklan pemula. Sedang Aurora adalah penanggung jawab Winar dari perusahaan talent artis muda. Cukup lama mereka saling mengenal hingga mereka akrab.

Aurora terdiam masih berusaha mencerna semua hal agar ia tetap berfikir logis tapi nyatanya tidak, justru semakin lama semakin kalut. Tanpa aba-aba ia meninggalkan Winar dan Echan yang saling tatap kebingungan. Kakinya melangkah mantap menuju lantai dua tempat hiburan malam ini. Langkahnya melambat saat ia berjalan melewati pintu-pintu yang ada di lorong. Langkahnya terhenti, didapatinya dengan mata kepalanya sendiri kekasihnya dalam pelukan wanita lain, Renata. Terlihat Adam tertawa terbahak dengan dikelilingi banyak wanita, padahal nyatanya Adam tak pernah seperti itu saat bersama Aurora bahkan saat mereka sudah hampir dua tahun bersama.

Aurora membatu, dadanya sesak hingga tanpa sadar airmatanya mulai jatuh perlahan. Tanpa sengaja tatapan Aurora bertemu dengan Adam. Terlihat kepanikan yang dialami Adam hingga ia bergegas keluar ruangan menemui Aurora.

“Rora, ngapai kamu disini?” tanya Adam dengan tatapan penuh kasih. Tangannya mengusap lembut lengan Aurora.

Aurora menepis tangan Adam dan mundur perlahan, “kalo gak bahagia sama aku, bilang aja. Jangan kek gini, Dam. Kerasa hina banget, tiap hari ngemis kasih sayang,” cecar Aurora dengan suara terbata yang diselingi isak tangis.

“Maaf,” lirih Adam dengan pandangan menunduk.

“Kita putus aja,” putus Aurora memandang nyalang lelaki dihadapannya.

Adam yang semula menunduk kini menatap kedua manik mata Aurora dalam, berusaha memaknai setiap kata yang terlontar.

“Kalian ngapain? Dam, kita masih ada urusan yang belum beres.”

Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi, pandangan keduanya beralih ke sumber suara.

“Tunggu, nanti kita lanjut.”

Adam segera kembali ke dalam ruangan meninggalkan Aurora yang mematung.


Tiga jam tanpa kejelasan dari Adam. Aurora menanti di area lantai satu Bar hingga mabuk parah, tersisa ia dan Echan sedang Winar sudah pulang meninggalkan mereka. Echan masih terdiam mengamati Aurora, dengan berpangku tangan dan pandangan menganalisis setiap tubuh Aurora. Entah apa yang ia pikirkan.

Sejenak kemudian, Echan mendapati Adam melenggang keluar Bar tanpa sedikitpun melirik Aurora yang sudah tertidur.

“Cih, brengsek!” gerutu Echan, tampak sia-sia mereka menanti sekian lama.

Yang kini Echan pikirkan hanya bagaimana cara mereka pulang, terlebih Aurora yang datang dengan mobil sedang mereka sama-sama mabuk.

Tangannya meraih ponsel Aurora, dengan cepat ditekannya angka satu pada panggilan cepat dari kontak Aurora, Tian. Tak berselang lama sambungan telpon itu tersambung.

“Bang, Ura mabuk, jemput sini.”

“Masih di Bar L?”

“Masih, mobil Ura disini juga. Buruan pala gue pening.”

“Bacot lo bocil, tungguin.”

“Yoi.”

Echan menutup ponsel Aurora dan kembali meneguk botol terakhir dimeja.


Echan nyaris terlelap sebelum sebuah suara menginterupsinya menuju alam mimpi.

“Bangun bocil! Biar Aur gue yang bawa, lu jalan sono.”

Omel Tian setelah tiba dilokasi, Echan hanya mengerjap energinya sudah menguap karena mengantuk, dipaksanya kakinya melangkah keluar.

Kini ketiganya sudah berada didalam mobil Aurora, Tian sengaja datang dengan taksi online supaya bisa membawa kendaraan Aurora kembali. Dirapikannya rambut Aurora yang menutupi mukanya serta dipasangkan seatbelt ditubuh Aurora. Sedang Echan sudah terlelap dikursi penumpang bagian belakang dengan posisi yang tidak jelas. Dipacunya kendaraan dengan perlahan karena sejujurnya Tian juga kelelahan setelah melakukan jadwal kegiatannya sebagai pemusik.


Mobil terparkir sempurna di garasi, perlahan Tian membuka pintu penumpang kemudian menggendong Aurora dengan bridal style menuju kedalam rumah. Sebelumnya ia sudah meneriaki Echan untuk segera bangun dan masuk kedalam rumah.

Dibaringkan Aurora dikasurnya, tak lupa ia melepas sepatu dan jaket yang dikenakan. Kini tubuhnya juga ambruk disisi kanan Aurora, secara tiba-tiba tubuhnya dipeluk erat oleh Aurora. Namun, ia sudah tak punya tenaga untuk melawan dan memilih untuk turut tidur bersama Aurora.

Matahari sudah mulai naik, sinarnya mulai menelisik disela-sela jendela kamar. Pagi yang dingin membuat dua sejoli ini semakin erat berpelukan dalam tidurnya. Begitu nyenyaknya mereka tidur hingga tak sadar jika Echan sudah berdiri dihadapan mereka dengan tangan bersedekap.

“IKUTAAAN DOONG KALO MAU KELONAN!”

Teriak Echan sembari menyusup diantara Aurora dan Tian.

Tian mengerjap, terkejut dengan apa yang sedang terjadi, refleks ia memukul kepala Echan.

“Anjing lo bocil! Ganggu mulu,” gerutu Tian sebelum ia membalik tubuhnya membelakangi Echan yang cengengesan.

Sekarang giliran Echan yang memeluk Aurora dengan pandangan memelas.

“Uraaaaa, banguuun napa jangan kek orang matii ... masakin gue kek,” rengek Echan mengguncang tubuh Aurora.

Aurora menggeliat kecil, matanya terbuka lebar terkejut mendapati dua orang lelaki ini ditempat tidurnya. Berapa menit kemudian ia tersadar dan justru mengeratkan pelukannya pada Echan.

“Gue lagi patah hati tapi sempetnya lo nyuruh-nyuruh gue anjir!”

Aurora menggerutu sembari memjamkan matanya kembali.

“Ngapain lo galauin laki anjing macem Adam, Ra. Orang ada kita berdua, kurang apa idup lo,” sahut Tian lirih.

Echan mengangguk menyetujui pernyataan Tian.

“Ya beda,” sanggah Aurora.

“Beda apaan sih, Ur. Kita sama-sama cowo, nemenin juga bisa, diajak kelon juga ready,” goda Echan sembari menciumi pipi Aurora singkat.

Aurora menahan kepala Echan sebelum mendaratkan kembali bibirnya di pipinya dan bangkit dari tidurnya.

“Udah ah, bangun gue masakin nih,” kata Aurora sembari meninggalkan kamar disusul Echan dibelakangnya, sedang Tian memilih kembali terlelap dalam tidurnya.


Aurora sudah mengenakan apronnya dan menguncir asal rambutnya yang menampakkan leher jenjangnya. Ia sudah sigap membuka kulkasnya dan memilah bahan masakan yang ia akan buat. Sedang Echan sudah duduk di meja makan dengan ponsel ditangan, rutinitas paginya menghubungi kekasihnya.

Susana hening hanya diinterupsi suara-suara dari dapur Aurora. Echan juga masih terfokus pada ponselnya hingga tanpa sadar Aurora sudah berdiri dihadapannya dengan beberapa piring ditangan.

“Kenapa? Eca lagi?” tanya Aurora memecah keheningan.

“Yaa begitulah,” jawab Echan malas sebelum ia meletakkan ponselnya.

“Kalian kenapa sih emang? Keliatan haha hihi mulu padahal aslinya kek saling nyakitin, toxic.”

Aurora duduk dan mulai menyantap pasta buatannya sesekali ia memandang Echan jengah.

“Kalo ngomong ngaca dulu kek, liat siapa yang semalem galau sampe mabok ngeliat cowonya jadi simpenan tante,” sindir Echan.

“Gue pacaran dari kuliah sampe sama-sama kerja, udah tahunan bangsat! Gimana gak galau gue,” ucap Aurora kesal.

“Lo tuh udah gak cinta, lo cuman sayang kenangannya, makanya berat pas putus. Orang dari dulu keliatan kalian pacaran kek formalitas,” cecar Echan sembari mengaduk pasta dipiringnya.

“Brengsek juga tuh mulut pernah masuk sekolah gak sih?” umpat Aurora terhadap Echan yang kini nyengir tak bersalah.

“Liat tuh Bang Tian, orang bakal ngira kalian pacaran kalo gak tiba-tiba aja si Adam nyempil pas kalian nongkrong,” sindir Echan.

“Kalo ngomongin gue tuh pastiin gue kagak ada, lagian makan kok gak ajak-ajak sih,” sahut Tian tiba-tiba. Ia menyahut piring pasta milik Aurora dan memakannya.

“Bisa gak sih lo ambil piring sendiri?” gerutu Aurora.

“Gak, males. Ra, gue masih butuh penjelasan lo semalem kenapa?” tegas Tian sembari menunjuk Aurora dengan garpu ditangan.

Echan melirik keduanya ia bergumam singkat, “oke, gue gak ikutan dah.”

Aurora menatap balik manik mata Tian, mencari tahu jawaban apa yang Tian inginkan serta berusaha menyangkal permintaan Tian.

“Aaah, oke gue jelasin. Adam berapa minggu ini semakin aneh, tiba-tiba punya mobil baru, tas branded, hp keluaran terbaru, tanpa ada kejelasan darimana. Kantor dia gak lagi ngadaiin promosi jabatan atau malah nambah gaji karyawannya, kok gue tau sih? Ya, Jae yang sekantor sama dia yang ceritain. Tapi yang makin bikin gue mikir aneh, dia dihari tertentu dan jam tertentu bakal ngilang tanpa kabar ... “

Aurora menjeda kalimatnya sembari menarik nafas panjang kemudian dilanjut kembali ceritanya.

“Hp nya mati total, tapi besok malemnya dia udah duduk disini dengan senyumnya sama bawa makan malem buat nemenin kita netflix. Gue gak mikir aneh-aneh lah, sampe nih bocah message gue pas gue panik nyari dia. Taunya dia bareng tante-tante dan Renata, you know-lah siapa dia. Gue liat dengan mata kepala sendiri disana, otak gue menghubungkan semua situasi yang ada sampe gue sadar gue goblok banget selama ini. Gue yang ngemis ke dia tiap hari buat mencintai gue, tapi gue sadar kalo gue sama dia udah sama-sama hampa. Gaada yang namanya cinta buat ngiket kita, bahkan buat sekedar seks pun kita jarang jadi udah sehambar itu,” tutur Aurora panjang lebar, pandangannya kini menerawang jauh memikirkan kejadian semalam.

Tian mengangguk kecil, diletakkannya sendok dan garpu diatas piring. Tangannnya kini terlipat didepan dada, pandangannya lurus tajam menatap Aurora.

“Terus masih mau dilanjut?”

Aurora semakin menunduk sejujurnya ia bingung dengan perasaannya, terasa kosong tapi entah tak tahu bagaimana ia menerjemahkan perasaannya.

“Dah lah gue pergi dulu, Bang, Ur. Kalian lanjut yee, baik dah habis ini. Oh ya, nanti ada paketan atasnama Ekhsan nitip terima ya, sama nitip vitamin dikulkas ntar malem diambil. Bye semuaaa.”

Echan bangkit dari duduknya, ia memutuskan untuk tidak terlibat lebih jauh permasalahan ini. Sedang kedua orang lainnya menatap kepergian Echan tanpa suara.

“Gue gak sedih, Yan. Gue cuman ngerasa kosong,” lirih Aurora melanjutkan percakapan mereka sejenak setelah Echan pergi.

“Ada gue, Ra. Ada gue buat lo, jangan pernah ngerasa kosong gue bakal nemenin lo,” tutur Tian tulus sembari diusap lembut tangan sahabatnya.

Aurora mengangguk, tanpa sadar airmatanya menetes. Segera Tian bangkit dan memeluk Aurora erat berusaha membagi energi positif bagi Aurora.


Aurora menghabiskan waktunya didepan televisi, menyalakan mellow drama favoritnya dan menangis tersedu tiada henti. Ia sengaja memutar drama sedih untuk melepas stresnya ia sendirian, Tian sejak siang sudah pergi dari rumah ada jadwal latihan vokal.

Denting bel rumah menggema, Aurora menjeda televisinya dan bergegas bangkit dari sofanya. Dibukanya pintu rumah dan didapatinya petugas paket dengan boks beras ditangan.

“Buat Ekhsan ya, pak?” tanya Aurora.

“Benar, ini ya kak. Tolong tanda tangan dulu bukti penerimanya,” jelas petugas paket.

Aurora mengangguk, menandatangi berkas dan segera menerima paket. Kemudian ia masuk kembali kedalam rumah sejenak setelah petugas itu pergi. Ia mengamati paket Echan yang cukup besar, diletakkannya diatas meja makan sejenak sebelum ia membuka kulkas.

“Lah Echan ninggalin gummy bear nih, mana tulisannya vitamin c, mayan deh gue makan aja,” guamam Aurora sembari memakan gummy bear ditangan.

Ia meninggalkan kulkas dan kembali mengamati kardus paket milik Echan, pikiran usilnya kini sudah mengembara, berniat membuka paket tersebut. Dengan semangat ia merobek kardus paket tersebut dengan gunting. Perlahan mulai nampak isinya, yakni dua botol minuman keras berharga mahal.

“Sejak kapan nih bocah koleksi beginian, buka satu kali ya. Hmmm kenapa gerah sih tiba-tiba.”

Aurora mengibaskan tangannya kegerahan, keringatnya tiba-tiba mengucur deras. Tergesa ia membuka botol minuman digelas dan menenggaknya serampangan yang membuat kaosnya basah. Minuman yang ia teguk membuatnya semakin haus, ia akhirnya menambahkan es batu dan menuangnya kembali. Meminumnya dengan tergesa sebelum ia berjalan sempoyongan menuju sofanya.

Pandangannya semakin kabur, diketuknya berapa kali kepalanya agar kembali tersadar. Bajunya kepalang basah, ia berusaha melepasnya dan menyisakan bra tanpa tali yang ia kenakan. Gerakannya semakin resah, tiba-tiba vaginanya terasa gatal. Beberapa kali ia mengeratkan kedua pahanya menahan rasa yang ada. Tiba-tiba nafsunya membuncah, ia semakin resah dengan tanpa sadar ia segera melepas celananya menyisakan g-string hitam yang menutupi kemaluannya.

Jarinya liar menggesek klitorisnya dan mulai mengeksplor area vaginanya yang terasa gatal dan basah. Mulai ia menusuk-nusuk jarinya kedalam lubangnya sedang tangan satunya mulai menjamah payudaranya dan melepas branya. Diremasnya perlahan dan ditarik-tariknya putingnya gemas. Ditengah kesibukannya memuaskan diri, tanpa sadar seseorang menonton setiap kegiatan dari Aurora. Seorang pria duduk dihadapan Aurora dengan tangan bersedekap dan paha terbuka, sudut bibir kirinya terangkat, setengah terkejut dengan tontonan yang ia lihat.

Aurora masih menikmati kegiatannya tanpa peduli sekitar, tangannya semakin aktif mengocok lubangnya sendiri. Memijat kuat-kuat dadanya seolah sedang memerah susu. Matanya menutup menikmati setiap sentuhan.

“Aaaahhhh gataaallll ...”

Aurora mendesah tiada henti, melampiaskan luapan nafsu yang membuncah.

Tian semakin gerah, dilihatnya Aurora semakin liar dengan menyodorkan pantatnya dihadapannya. Dengan cepat Tian bangkit dan meremas bongkahan bokong sintal dihadapannya membuat si pemilik tersentak. Ditambah jemarinya mengusap klitoris Aurora naik turun dan menusuk-nusuknya. Aurora terkejut dan berdiri mencoba menatap siapa yang ada dibelakangnya tapi pundaknya ditahan oleh tangan Tian.

“Lu habis makan apaan jadi kerasukan gini?” bisik Tian ditelinga Aurora.

Aurora menggeliat geli, selain bisikan Tian ia juga menggeliat karena tangan Tian meraba klitorisnya perlahan.

“Gatau, punya Echan aaahhhh ... kalo mau ganggu doang mending pergi aaahhhhh, oooh yeeess ...”

Desah Aurora semakin menjadi saat dua jari Tian sudah mulai masuk mengocok lubangnya perlahan.

“Yakin mau gue pergi? Mulut lo bilang pergi tapi lubang lo kagak, Ra. Dia lapar makan jari gue.”

Tian melijat leher Aurora dan memberinya kecupan perlahan, berbanding dengan dua jarinya yang semakin ganas mengaduk dan menusuk lubang Aurora. Tangan satunya sudah ia gunakan untuk menarik-narik puting Aurora gemas, tak lupa ia remas seperti squishy.

“Aaaaahhhhh ...... gantiin penismu aaaaaahhhhh ayolaaahh ...”

Aurora mulai meraba penis panjang milik Tian dari balik jeans pendeknya. Meremasnya dari luar sebelum Tian menyingkirkan tangan Aurora.

“Ra, lo yakin?”

Aurora mengangguk tak sabaran.

“Oke, lo yang ngeluarin kalo gitu, buktiin seberapa pengen lo.”

Tian tersenyum menggoda, ia melepas jarinya dan membalik tubuh Aurora menghadapnya. Aurora mendengus sebal, tapi nafsu sudah menyerubungi seluruh tubuhnya ia bergegas melakukan apa yang Tian mau.

Kini ia duduk bertumpu lututnya berhadapan langsung dengan penis didepan matanya. Ia memegang pinggul Tian dan membuka resleting celananya dengan gigi, berusaha menggoda sebaik mungkin. Saat sudah mencapai ujung, celana tersebut diturunkan hingga terjatuh diantas pergelangan kaki Tian. Terpampang jelas gundukan didepan matanya, dielus perlahan dan dikecupinya sengaja membuat Tian jengah.

“Please, put it in your fucking sexy mouth, Ra!”

Aurora hanya terkekeh sebelum ia menarik seketika boxer hitam Tian. Penisnya sudah mengacung sempurna, terasa hangat begitu Aurora menggenggamnya. Ia takjub dengan ukuran dan urat yang berada disekitarnya. Terlalu lama Aurora mengagumi penis tersebut hingga Tian memutuskan medorong penisnya ke depan mulut Aurora, membuat Aurora terkejut.

Dengan sigap Aurora memasukkan setengah penis Tian kedalam mulut hangatnya, menjilati seluruh bagian penis serta menghisapnya kuat. Tian mengdesah tak karuan dan mendorong kepala Aurora untuk semakin masuk tak lupa dijambaknya rambut panjang Aurora menyalurkan rasa nikmat. Aurora semakin liar mengeluar masukkan penis dari dalam mulutnya dan memijat penis yang tak muat didalam mulutnya. Semakin cepat tempo hisapan hingga penis tersebut sudah membesar siap mencapai puncak kenikmatan. Tian mempercepat sodokkannya kedalam mulut Aurora, sebelum ia menyemburkan spermanya kedalam mulut Aurora. Sperma tersebut meluber ke sekitar mulut Aurora, ditelannya habis semua serta dijilatnya sensual area bibirnya menghapus setiap bekas sperma.

Tian menarik nafasnya cepat, sejenak kemudian diangkatnya Aurora dari tumpuannya. Diraupnya bibir Aurora dengan ganas; mulai dihisapnya atas bawah bibirnya bergantian, lidahnya berangsung meneroboh masuk dan mengabsen gigi serta membelit lidahnya. Cumbuan panas tiada henti ini disertai Tian yang mendorong tubuh Aurora jatuh keatas sofa, ditumpu tubuhnya dengan lutut yang berada ditengah-tengah paha Aurora yang terbuka lebar. Penisnya sudah kembali tegak, sengaja ia gesek-gesekan dimuka lubang vagina Aurora tanpa berniat memasukkannya. Tangannya meremas kedua payudara Aurora dengan gemas seolah keduanya mainan.

Aurora menggeliat resah, tangannya sudah beberapa kali berusaha memasukkan penis Tian kedalam lubangnya, tapi tertahan. Tian melepas tautan bibjr mereka, membiarlan Aurora meraup nafas banyak-banyak, tatapannya lembut memandang Aurora.

“Lanjut?” tanya Tian singkat.

Aurora mengangguk menyetujuinya, pria yang dihadapannya memang bukan kekasihnya, tetapi sahabat lamanya yang ia sangat percayai.

Perlahan Tian mendorong penisnya masuk, Aurora mendesis saat kepala penisnya masuk. Sementara itu Tian terdiam kembali sebelum Aurora memberikan sinyal untuk lanjut. Didorongnya seketika penis itu kedalam vagina Aurora membuat sang pemilik lubang tersentak. Lubangnya terasa penuh, vaginanya menjepit erat penis Tian.

“Aaahhhhh.....”

Tian menunduk membisikkan sebuah kalimat, “Lubang mu nikmat sayang.”

Aurora tersipu sejenak sebelum ia kembali menggelinjang saat Tian mulai menggenjotnya tak sabaran. Kini lutut Aurora dijadikannya pegangan untuk memperdalam tusukan, sedang Aurora mencakar asal sofa. Suara desahan mereka saling bersaut bersamaan dengan suara hujaman penis Tian kedalam vagina Aurora yang semakin cepat.

Aurora semakin menggeliat saat ia akan mencapai puncaknya. Tangannya keras mencengkram sofa dibawahnya.

“Aaahhhhhhhh .... aku mauuu sampaaaiii,” rancau Aurora.

“Keluarin ajaaaaa,” sahut Tian.

Aurora melepaskan cairannya, menjadikan lubangnya semakin licin bagi Tian untuk memompa penisnya. Tian merubah posisi Aurora tiba-tiba, memutarnya sehingga menungging. Semakin cepat ia menusuk lubang Aurora dalam posisi demikian. Terlebih dengan begini dada Aurora yang menggantung terlihat semakin sensual, bongkahan pantat yang ada dihadapan Tian juga tak luput ia remas dan tampar.

“Aaaahhhhh ..... “

Desahan panjang Aurora lolos begitu saat Tian menampar pantatnya, ditambah ia semakin mengetatkan lubangnya membuat penis Tian semakin terasa diperas. Tian mempercepat temponya pecapaiannya semakin dekat dan dirasa Aurora semakin kecapekan.

“Ra, gue keluarin diluar ya, gak lucu tahun depan lo nimang anak gue,” kata Tian disela ia memompa lubang Aurora tiada henti.

Aurora hanya mengangguk, salahnya juga tadi lupa mengingatkan memakai kondom. Lagipula kondom terakhir yang ia simpan letaknya dikamar cukup ribet mengambilnya sekarang.

Dalam hentakan yang semakin acak, penis Tian tiba-tiba semakin membesar. Dalam sekali hentak Tian melepas penisnya dari vagina Aurora sehingga spermanya menyembur acak ke tubuh Aurora dan ke sofa disekitarnya. Ia jatuh terduduk dengan terengah-engah berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya. Sedangkan Aurora sudah jatuh meringkuk, lelehan cairan membasahi seluruh tubuhnya, terlampau lelah baginya untuk membersihkan.

Tian memungut kembali boxernya, memakainya acak. Ia menggendong Aurora menuju kamarnya, dikecupnya beberapa kali pucuk kepala Aurora. Perlahan ia pindahkan tubuh Aurora dari gendongannya ke kasur sebelum ia turut menyusul tertidur disampingnya. Direngkuhnya tubuh sahabatnya erat, mereka mencapai mimpi bersama.


Fajar sudah mulai menyingsing, dua insan ini masih sibuk dialam mimpi. Semakin erat pelukan mereka terlebih Aurora yang tidur tanpa busana. Sebenarnya berapa menit yang lalu ia terbangun dan terkejut karena ia tanpa busana. Tapi teringat kegiatan panasnya ia hanya tersipu dan memutuskan untuk merengkuh tubuh Tian dan mengecup perlahan leher jenjang Tian. Tangannya juga iseng meraba penis Tian yang terbagun di pagi hari, digenggamnya dan ia kembali tertidur.

Tanpa mereka berdua sadari, seseorang memasuki pintu rumah. Dengan setelan training dan topi hitam ia masuk. Didapatinya ruang tengah berantakan bau alkohol dan sperma. Echan mendelik, ia segera berlari menuju kamar Aurora dan benar ia menjumpai Tian dan Aurora yang tertidur bersama.

Senyumnya terangkat sebelah, hal liiar sudah memenuhi otaknya. Bergegas ia tidur disisi Aurora, meraba dada Aurora yang bebas tanpa penutup.

Echan memeluk Aurora dari belakang, selain payudara, Echan juga meraba vagina Aurora. Membuat Aurora terkejut. Namun, sebelum ia berteriak mulutnya sudah dibungkam Echan dengan tangan.

“Ura, kan udah dibilang, kalo kelon ajak-ajak. Mana permen Echan dimakan juga,” bisik Echan.

Aurora menggeliat resah, lubangnya mulai ditusuk acak.

“Jadi sekarang gantian ya!” bisik Echan dengan senyum sumringah.


-amara.