aphrodita

TERLAMBAT

Sudah dua minggu terakhir Jungkook semakin dekat dengan Pak Taehyung. Pulang pergi sekolah bersama, makan di rumah makan pinggir jalan atau restoran bintang lima setiap malamnya, hingga video call dengan kedok ‘membantu mengerjakan tugas’. Sejatinya, hal tersebut terbilang cukup tabu di lingkungan sekitar mereka. Apalagi, setiap sekolah di sana melarang keras hubungan antara guru dan siswa yang melampaui batas. Namun pengecualian untuk keduanya, yang didekatkan melalui jalur kerasukan.

Namun, ada yang berbeda di pagi itu, di mana Jungkook tidak berangkat sekolah bersama wali kelasnya tersebut. Sebelumnya, Pak Taehyung sudah akan menjemputnya, tetapi ia tolak dengan dalih bahwa dia akan absen karena sakit. Padahal, itu hanya alasannya saja karena saat itu ia tengah menyiapkan sarapan spesial untuk Pak Taehyung.

Sesungguhnya, Jungkook sama sekali tidak bisa memasak, dan baru mempelajari resep nasi goreng tanpa bumbu instan tadi malam. Bahkan, ia sampai melakukan sepuluh kali percobaan sampai ia rasa nasi goreng buatannya suda benar-benar layak untuk dicicipi oleh Pak Taehyung. Kegiatannya itu berlangsung hingga pukul 12 malam, sampai dirinya tertidur dengan posisi duduk di kursi dan kepalanya ia rebahkan di meja makan. Semua itu ia lakukan sebagai balasan karena Pak Taehyung sudah mau menemaninya di saat semua orang menjauhinya yang masih dirasuki oleh Nancy. Tidak peduli dengan rasa sakit di leher akibat enam jam tertidur dengan posisi seperti itu, menyebabkan ia kesulitan jika harus menolehkan kepalanya.

Maka, di sinilah ia sekarang, melangkahkan kakinya dengan riang gembira menyusuri koridor sekolah dengan senyuman merekah di wajah cantiknya. Ya, Jungkook memang terbilang cukup cantik untuk ukuran seorang laki-laki. Tidak heran mengapa ia stigma anak manja, sok polos, dan kemayu melekat kuat padanya.

Jungkook hendak menuju ruang guru untuk memberikan kotak makan di genggamannya itu pada guru favoritnya. Namun, langkahnya terhenti saat ia melewati UKS dan tak sengaja melirik ke dalam melalui luar jendela. Walaupun jendela itu berbahan kaca riben dengan tinted hitam, tapi Jungkook tetap dapat melihat dua sosok yang ia kenali di sana. Jungkook tidak dapat menyembunyikan keterkejutan, sekaligus kesedihannya. Bekal untuk Pak Taehyung lepas dari genggamannya dan jatuh, membuat makanan yang berada di dalamnya tumpah ruah dan mengotori lantai. Ia menutup mulutnya yang terbuka. Kedua manik indahnya berkaca-kaca.

Di dalam sana, Pak Taehyung kesayangannya, dan Ryujin sahabatnya sejak sekolah menengah pertama, tengah berpelukan dengan erat.

Alle Vongole

Saat ini, Pak Taehyung dan Jungkook sedang berada di salah satu restoran Italia di dekat sekolah mereka. Bukan, ini bukan kemauan Jungkook, melainkan gurunya. Seperti yang Pak Taehyung katakan tadi, ia ingin menghabiskan waktu berdua bersama muridnya tersebut. Entah, berada di dekat Jungkook membuat Pak Taehyung nyaman, terlepas dari siapa sosok yang sekarang sedang bersemayam dalam tubuh itu. Menurutnya, tidak ada bedanya, karena Jungkook tetap menggemaskan.

“Tadi gimana di sekolah? Teman-teman kamu jadi menjauh, ya?” tanya Pak Taehyung, membuka percakapan selepas mereka memesan pesanan masing-masing.

Jungkook yang saat itu duduk di samping Pak Taehyung dan masih melihat-lihat menu, menolehkan kepalanya dan menatap gurunya itu, “Iya, Pak. Tapi gapapa, namanya juga lagi kesurupan. Hehehe.”

Pak Taehyung tersenyum dan mengangguk paham. Sejujurnya, Pak Taehyung sama sekali tidak merasakan takut atau semacamnya. Melihat gigi kelinci Jungkook ketika ia terkekeh, membuat Pak Taehyung total lupa bahwa muridnya ini sedang dirasuki oleh iblis. Sama sekali tidak ada kesan menyeramkan.

Lucu, pikir Pak Taehyung.

Maka, satu tangannya pun terangkat untuk mengusap rambut Jungkook yang terasa sangat halus. Diperlakukan seperti itu tentu membuat Jungkook nyaman, dan tak segan untuk menyandarkan kepalanya di pundak Pak Taehyung sembari memeluk lengannya.

Keduanya pun terjebak dalam keheningan. Hanya bertemankan suara derasnya hujan yang mengguyur di luar sana, didukung dengan alunan live jazz music di restoran tersebut, yang membuat nuansa romansa semakin kental.

Tidak lama kemudian, pelayan restoran datang dengan nampan berisikan satu loyang margherita pizza, satu porsi alle vongole spaghetti, dan dua cangkir hot americano. Pelayan wanita tersebut memperhatikan dua orang di hadapannya dan memberikan tatapan yang aneh. Setelahnya, pelayan itu pun pergi dengan bergidik, pertanda ia tidak biasa melihat pemandangan di mana laki-laki terlihat begitu ‘lengket’ dengan laki-laki lain. Pak Taehyung tidak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk mengambilkan satu slice pizza dan ia berikan pada Jungkook.

“Jungkook, ayo saya suapin-”

Ucapan Pak Taehyung tersendat tatkala ia mendapati murid yang terpaut delapan tahun dengannya itu sedang tertidur lelap, membuat ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya seraya terkekeh pelan karena merasa gemas.

“Astaga, anaknya malah tidur. Mau dibangunkan tapi tidak tega.”

Posisi Jungkook saat itu masih sama, yaitu bersandar pada pundak dan memeluk lengan Pak Taehyung. Sebenarnya, Pak Taehyung merasa kesulitan jika harus menyantap hidangannya dengan satu tangan. Tapi kembali lagi, ia tidak sampai hati untuk membangunkan Jungkook yang bahkan tetap lucu saat sedang terlelap. Pipinya yang bersinggungan dengan pundak Pak Taehyung, membuatnya semakin terlihat gembil. Ditambah dengan bibir bawahnya yang sedikit maju. Pak Taehyung hampir hilang akal dibuatnya.

Setelah menyantap tiga potong pizza dan menyeruput habis kopinya, Pak Taehyung mulai merasakan pergerakan dan mendengar suara Jungkook. Siswanya itu terbangun, sembari mengucak mata dan menguap. Ia jauhkan kepalanya dari pundak gurunya, lalu melepas pelukan di lengan yang cukup kekar tersebut. Jungkook mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar bahwa meja di hadapannya sudah terisi dengan loyang yang menyisakan tiga potong pizza, spaghetti dan americano pesanannya yang sudah mendingin, dan satu cangkir milik Pak Taehyung yang telah kosong. Kedua bola mata Jungkook membulat besar, yang mana hal tersebut terlihat sangat menggemaskan di mata Pak Taehyung.

“P- Pak, maaf. Aku ketiduran…” tutur Jungkook, kemudian ia tundukkan kepalanya.

Pak Taehyung pun menangkup satu pipi Jungkook yang bersemu merah untuk ia tengadahkan kembali agar pandangan keduanya saling bertemu, kemudian ia tepuk-tepuk pelan, “Sudah, tidak apa-apa. Ayo pulang? Pasti kamu masih ngantuk, kan? Makanan sama minumannya dibungkus aja, biar kamu makan di rumah.”

Jungkook pun hanya mengangguk patuh dengan bibir merah mudanya yang mengerucut lucu. Lagi-lagi Pak Taehyung dibuat gemas olehnya. Ia pun mencubit pelan pipi Jungkook, menjadikannya semakin merona.

Jungkook malu. Malu karena jatuh tertidur di saat yang tidak tepat, juga malu karena Pak Gurunya bersikap sangat manis padanya.

ESCAPE

Memasuki bulan kelima di penjara, Taehyung mulai merasa frustasi akibat tindakan abusif dan pelecehan yang ia dapat dari ketiga ‘teman’ selnya. Tak ada satupun sipir yang menindaklanjuti hal tersebut. Entah karena mereka tidak tahu, atau lebih memilih untuk acuh. Di awal tahun seperti ini, di mana pada umumnya orang-orang akan membuka lembaran baru, Taehyung justru masih terjebak dengan masa lalunya. Masa lalu yang ia anggap belum selesai.

Maka, Taehyung pun sudah membulatkan tekadnya untuk menyelesaikan itu semua. Ia telah merencanakan dengan matang upaya untuk kabur. Taehyung benar-benar merindukan Jungkook. Ditambah dengan perasaannya yang menyatakan dengan kuat, bahwa Jungkook tengah berbadan dua saat ini. Biar kata badai menerjang sekali pun, Taehyung akan tetap mengejar Jungkook sampai ia dapat menebus semua rasa bersalahnya.

Di sinilah ia berada, tepatnya di halaman belakang lembaga permasyarakatan tempat ia mendekam. Pagi itu, tahanan-tahanan di sana tengah menjalani aktivitas masing-masing, mulai dari beolahraga hingga sekedar bercengkrama dengan sesama tahanan, diawasi oleh para sipir. Taehyung hanya duduk diam sembari memperhatikan situasi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia beranjak dari sana dengan dalih ingin ke kamar mandi. Ia pun dikawal oleh salah satu sipir menuju kamar mandi umum. Saat memasuki koridor yang cukup sepi, Taehyung pun menjalankan rencananya.

Secara tiba-tiba, Taehyung menyerang sipir tersebut dengan mendorongnya cukup keras sampai kepala sipir itu berbenturan kuat dengan dinding. Tangannya yang bebas dari borgolan (mengingat saat itu para tahanan sedang beraktivitas pagi sehingga borgol pun dilepaskan), dimanfaatkan oleh Taehyung untuk membentur-benturkan kepala sipir tersebut, mengakibatkan sang sipir langsung tidak sadarkan diri di tempat.

Awal yang mudah, pikir Taehyung saat itu.

Ia pun berlari kencang menuju pintu utama tempat tersebut. Kala itu, Dewi Keberuntungan seolah-olah sedang berpihak padanya. Semua sipir masih berada di halaman belakang. Petugas lainnya, polisi-polisi, dan pejabat lembaga setempat juga tidak berada di sekitar sel, dikarenakan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aksinya terbilang mulus sampai dia berhasil keluar dari sana dan terus berlari tanpa arah.

Akan tetapi, hal tersebut tak berlangsung lama tatkala ia mendengar sirine saling bersahutan. Dan benar saja, begitu ia menoleh ke belakang, beberapa mobil polisi tengah melaju ke arahnya. Taehyung pun berlari semakin kencang di sepanjang sisi jalan raya ibukota. Dirinya hampir tertabrak oleh kendaraan yang berlalu-lalang untuk beberapa kali, karena ia tidak memedulikan lampu lalu lintas yang mengindikasikan bahwa pejalan kaki harus berhenti saat di persimpangan, dan tetap berlari menyeberangi jalan demi jalan. Sesekali ia juga akan memilih gang-gang kecil sebagai alternatif, agar polisi-polisi itu kehilangan jejaknya.

Namun, sangat disayangkan, nasib naas seakan-akan belum puas untuk menyapa Taehyung. Ketika ia keluar dari gang tersebut yang ternyata berujung pada jalanan besar tanpa berhenti sejenak untuk sekedar menoleh ke kanan-kiri, sebuah ambulans yang tengah melaju kencang menabraknya hingga ia terpental beberapa meter sebelum tubuhnya mendarat di aspal. Ambulans tersebut pun berhenti mendadak, diikuti oleh beberapa kendaraan lainnya. Sopir ambulans dan mobil-mobil lainnya di sana berhamburan keluar untuk menolong Taehyung, yang kondisinya sangat mengenaskan saat itu. Bersimbah darah, dengan kedua mata yang masih terbuka dan cairan merah yang keluar dari mulutnya setiap ia terbatuk.

“J- uhuk- Ju- Jungkook… uhkhh…”

Dalam kondisi seperti itu, yang Taehyung ingat tetaplah Jungkook, Jungkook, dan Jungkook. Setelah menyebutkan nama mantan suaminya tersebut, ia tidak dapat merasakan, melihat, dan mendengar apa pun, bersamaan dengan penglihatannya yang menghitam.

PIKET

Bel terakhir kegiatan belajar mengajar di sekolah unggulan seantero kota itu berdering, menandakan bahwa waktunya pulang telah tiba. Seperti biasa, menjelang pulang, para wali kelas akan mendatangi kelasnya masing-masing untuk memperingati para siswa agar menjalankan tugas piket sesuai jadwal. Kebetulan, di hari Selasa ini merupakan tugas Jungkook, Eunwoo, Ryujin, Yuri, dan Hitomi untuk membersihkan kelas mereka sebelum pulang. Namun, Selasa sore kali ini suasananya tentu berbeda dengan yang sudah-sudah. Pasalnya, keempat siswa tersebut harus ‘terjebak’ bersama Jungkook yang sedang dirasuki Nancy.

“Kalian tidak perlu takut. Saya akan mengawasi kalian sampai selesai,” tutur Pak Taehyung yang seolah mengerti akan situasi.

Pria 25 tahun tersebut pun berdiri di depan kelas dan bersandar pada papan tulis sembari melipat kedua tangannya di depan dada, mengawasi keempat muridnya yang sedang melaksanakan tugas masing-masing.

Sementara itu, Jungkook justru asyik bergelayut pada lengan Pak Taehyung. Ia sandarkan kepalanya pada bisep gurunya itu sembari terkekeh senang.

“Pak~“ dengan suara manjanya, Jungkook menoleh ke arah Pak Taehyung dan sedikit mendongak, “Anter aku pulang, ya?”

Pak Taehyung tidak melirik Jungkook sedikit pun. Pandangannya masih ia fokuskan ke depan.

“Iya, Jung— maksud saya, Nancy.”

Mendengar jawaban Pak Taehyung, Jungkook pun terkikik geli, “Bapak kalau mau manggil Jungkook juga gapapa, kok.”

“Maksud kamu?” tanya Pak Taehyung yang akhirnya menoleh pada Jungkook, “Tadi pagi kamu marah saya panggil Jungkook.”

“Ung... k-kan biar Bapak nyaman,” Jungkook menunduk, lalu menggerak-gerakan telunjuknya seperti membuat lingkaran di lengan Pak Taehyung.

Jujur, pria Kim itu sebenarnya sudah memperhatikan Jungkook sejak ia masih duduk di kelas 11. Jungkook beberapa kali menarik perhatiannya dengan tingkah-tingkah polosnya. Terutama saat ia menjadi guru pembimbing olimpiade Ekonomi, yang kebetulan Jungkook merupakan salah satu pesertanya pada saat itu.

Pak Taehyung beralih dari Jungkook, dan kembali memusatkan atensinya pada murid-muridnya yang lain, “Anak-anak. Saya duluan, ya? Saya harus mengantar Jungkook. 5 menit lagi kalian sudah boleh pulang.”

Keempat teman Jungkook di sana pun serentak mengiyakan.

Pak Taehyung, entah ia sadari atau tidak, merengkuh pinggang ramping Jungkook dengan posesif dan membawanya keluar dari kelas.

Jungkook? Tentu saja dia senang. Kapan lagi tangan besar gurunya itu bertengger di pinggangnya, kan? Tidak peduli dengan tatapan sinis para siswa yang mengiringi langkah mereka selama di perjalanan menuju lahan parkir, tempat di mana Audi A3 Pak Taehyung diparkirkan.

Begitu keduanya masuk mobil, di mana Jungkook duduk di kursi penumpang samping kemudi, ia bertanya, “Pak, kok pulang sekarang? Aku kan mintanya nanti. Aku masih mau liat mereka piket!”

Pak Taehyung yang mendengar pertanyaan sekaligus protes Jungkook, menolehkan kepalanya dan menatap muridnya itu dengan tatapan menghunus.

“Saya mau cepat-cepat berduaan dengan kamu, Jeon Jungkook.”

Setan Imut

Di luar Kelas XII IPS 1 mendadak ramai. Para siswa berkerumun untuk menyaksikan apa yang terjadi dari balik jendela. Pintu kelas dikunci, hanya ada beberapa orang di dalam yang sedang menangani Jungkook. Mereka adalah lima pemuka dari masing-masing agama, sang wali kelas yang kerap disebut namanya oleh Nancy yang tengah merasuki Jungkook, dan Nako.

“Bagaimana ini, Pak Ustadz?” tanya Eunwoo (udah kayak di ftv-ftv adzab).

Yang ditanyai tidak menjawab, sibuk merapalkan doa-doa sembari memegangi kepala Jungkook. Beruntung, iblis yang berada di dalam tubuhnya tidak memberontak. Justru, ia terkesan sangat tenang. Bahkan, senyuman manis terukir di wajahnya, walaupun tetap terkesan menyeramkan mengingat siapa sosok di balik senyuman itu. Jungkook bisa setenang itu tentu saja karena Pak Taehyung berada di sisinya, saling bergenggaman tangan.

Terdengar helaan napas dari Pak Ustadz, “Maaf, semuanya. Saya tidak bisa mengeluarkan ‘dia’. Ini bukan job desc saya. Si Nancy ini gak mempan dibacain ayat suci.”

Ketiga petinggi agama lainnya di sana mengangguk menyetujui. Sudah empat dari mereka turun tangan, kecuali salah satunya, yaitu seorang Pastur.

“Saya tidak akan berusaha untuk mengeluarkan Nancy. Mau dibagaimanakan pun, dia tidak akan keluar kecuali jika dia dan Jungkook sendiri yang menghendaki. Itu artinya, mereka berdua harus saling berkompromi. Jika Nancy yang berkehendak, maka dia akan selamanya berada di tubuh Jungkook. Sebaliknya, jika Jungkook berhasil melawan, maka Nancy akan pergi dengan sendirinya. Tapi, tidak perlu khawatir, karena setelah saya perhatikan, Nancy ini tidak berbahaya dan bisa beradaptasi. Dia bisa menyesuaikan dan bertindak seperti Jungkook,” papar Pastur tersebut, “Hanya saja...”

“Hanya saja apa?” tanya Pak Taehyung tidak sabaran.

“Selama Nancy masih bersemayam di tubuh Jungkook, Anda harus tetap berada di dekatnya agar dia tenang. Jika tidak, maka dia akan berbuat sesuatu yang mungkin berbahaya bagi Jungkook atau sekitarnya. Seperti saat ini, kalian harus selalu bergenggaman tangan. Coba Anda lepas genggamannya sebentar, dan kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya.”

Maka, Pak Taehyung pun menuruti perkataan Pastur itu dengan melepas genggaman tangannya pada Jungkook. Dan benar saja, iblis tersebut langsung bereaksi dengan menendang-nendang dan berteriak tidak karuan.

Jungkook yang saat itu sedang duduk di lantai dikelilingi oleh tujuh orang lainnya di sana itu pun segera menghamburkan dirinya ke dalam dekapan Pak Taehyung dan memeluknya dengan erat. Ia sandarkan kepalanya di dada wali kelasnya itu.

“Iihh, Pak Taehyung! Kok dilepas sih genggamannya?! Gak mau gak mau gak mau!! Pokoknya Pak Taehyung punyaku! Gak boleh jauh-jauh!!”

Dengan demikian, Taehyung pun tak dapat berbuat apa-apa selain pasrah. Sekolah tempat ia mengajar memang terkenal dengan suasana mencekam dan rentetan peristiwa kesurupan massal. Namun kali ini, semua terasa berbeda. Jauh dari kata menyeramkan. Justru Taehyung sedikit merasa gemas dengan tingkah anak didiknya yang kini tengah mengusakkan hidung di dadanya itu.

NANCY

Waktu telah menunjukkan pukul 12 siang, pertanda bahwa saatnya istirahat kedua para siswa SMAN 5 telah tiba. Bel pun berdering, terdengar cukup memekakkan indra pendengaran. Siswa-siswa berhamburan keluar kelas, mengejar aktivitas masing-masing. Mulai dari pergi ke kantin, lapangan olahraga, hingga perpustakaan. Namun, terdapat satu entitas di sana yang tidak kunjung beranjak dari bangku kelasnya, lebih tepatnya lagi kelas XII IPS 1.

“Jungkook, ai atuh kamu kenapa? Kok diem aja? Hayuk ke kantin.”

“Kunaon maneh, Jung? Geura, ih. Aing teh laper.” (Kenapa kamu, Jung? Cepet, ih. Aku tuh laper.)

Kedua sahabat sosok yang sedari tadi bungkam dan tak menunjukkan pergerakan apa pun itu terus mengguncang pundaknya, bahkan menarik-narik lengannya. Sosok yang diketahui bernama Jungkook itu tetap bergeming dan menundukkan wajahnya. Hingga akhirnya-

“Pak Taehyung...”

Eunwoo dan Ryujin, kedua teman Jungkook tersebut terkejut saat mendengar suara perempuan yang mereka yakini berasal dari Jungkook. Keduanya saling berpandangan, kemudian Ryujin menyentuh pelan lengan Jungkook.

“Jungkook, maneh henteu kunananon, kan?” tanya gadis itu. (Jungkook, kamu gak kenapa-napa, kan?)

Hening untuk beberapa saat, sebelum Jungkook mengangkat kepalanya dan menatap Eunwoo beserta Ryujin dengan tatapan kosong.

“Mau Pak Taehyung...”

Ryujin pun terbelalak. Ia mundur selangkah dan mencengkram kuat pergelangan tangan Eunwoo. Ia total ketakutan. Jungkook terlihat sangat pucat. Teman sebangkunya itu juga terdengar sangat berbeda.

“J- Jungkook?” Eunwoo memberanikan diri untuk membuka suara, “Kenapa tiba-tiba nyebut wali kelas kita?”

BRAK!

Secara mengejutkan, Jungkook bangkit dari duduknya dan menggebrak meja, membuat Eunwoo dan Ryujin mundur beberapa langkah, serta tiga murid lainnya yang masih berada di dalam kelas menoleh ke arah Jungkook.

“Aku Nancy! Aku bukan Jungkook!! Aku mau sama Pak Taehyung!!!”

Suara Jungkook terdengar melengking, membuat kedua sahabatnya benar-benar menjauh dari sana dan menghampiri tiga teman sekelas mereka yang hanya memperhatikan Jungkook dengan seksama. Tiba-tiba, tawa menggelegar khas pemeran antagonis menggelegar, yang tak lain tak bukan berasal dari Jungkook. Kelima siswa yang menyaksikan peristiwa menyeramkan itu pun saling berpandangan dengan tatapan penuh rasa takut yang menyelimuti, kecuali salah satu dari mereka yang bernama Nako, gadis indigo berdarah Jepang yang ia dapat dari ayahnya.

“Guys,” ucapnya setenang mungkin, “Itu Nancy. Penunggu di sini. Siapapun panggil Pak Taehyung. Biar aku yang jaga Jungkook.”

WORTHY

Taehyung bergerak turun dari ranjang, sementara Jeongguk bangkit dan duduk di tepiannya. Keduanya memperbaiki penampilan mereka yang agaknya berantakan. Kemudian, seseorang yang baru saja memergoki mereka yang tengah bercumbu mesra itu berjalan mendekati keduanya.

Jeongguk sedikit mendongak untuk menatap orang tersebut yang menatapnya dengan penuh sulutan amarah, “A- Ayah? Tau darimana Jeongguk-”

“Bilang sama dosenmu ini, tidak semua aktivitas harus dipublikasikan di sosial media,” potong pria itu, yang tak lain tak bukan adalah ayah Jeongguk, “Jadi ini alasan kamu tidak pulang behari-hari?”

Taehyung yang khawatir jika pimpinan universitas tempat ia mengajar itu akan bermain tangan pada putranya pun bergeser berdiri menghadang Jeongguk dari hadapan pria tua tersebut, “Pak Jeongsu, saya mohon-”

“Diam, Kim Taehyung. Saya tidak berbicara dengan Anda,” sela Jeongsu seraya menyingkirkan Taehyung dari hadapannya, dan kembali menatap sang anak, “Enak ciumannya, Jeon Jeongguk? Huh? Oh, atau kamu sudah diperkosa olehnya?”

Baik Jeongguk maupun Taehyung tidak ada yang menjawab. Keduanya lebih memilih untuk diam dan membiarkan Jeongsu melanjutkan kalimatnya.

“Memalukan sekali, Jeon Jeongguk. Anak macam apa kamu ini? Mau ditaruh di mana muka Ayah? Tidak cukup untuk kamu selama ini sudah buat Ayah menanggung semua akibat dari ulah-ulahmu itu? Sekarang apalagi?” tutur Jeongsu, melirik sekilas ke arah Taehyung, lalu kembali menatap Jeongguk, “Memiliki hubungan dengan orang yang jauh lebih tua darimu? Sesama jenis? Kamu ingin mengikut jejak ibumu? Iya? Dasar jalang!”

Jeongsu hendak melayangkan satu tamparan pada Jeongguk, namun pergelangan tangan pria itu sudah terlebih dahulu dicengkram oleh Taehyung. Keduanya berpandangan, saling bertukar tatapan penuh emosi. Taehyung menatap atasannya itu dengan nyalang. Rahangnya mengeras, pertanda bahwa ia sedang marah besar sekarang. Setelah beberapa detik menahan tangan Jeongsu, Taehyung pun melepaskannya.

“Jeongguk itu darah daging Anda, dan tidak semestinya Anda memperlakukan dia seperti itu, apalagi sampai mengatainya jalang, Pak Jeongsu,” ucap Taehyung dengan intonasi yang datar, namun sarat akan emosi, “Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan anak Anda, dan saya tidak pernah menyentuhnya lebih. Kami di sini karena saya merasa kasihan dengan Jeongguk, jadi saya ajak dia untuk berlibur sejenak. Dan untuk yang tadi itu, murni karena saya hanya terbawa suasana.”

Entah, mendengar dua kalimat terakhir Taehyung, Jeongguk merasakan sakit yang luar biasa dibandingkan dengan ketika ayahnya sendiri mengatainya jalang. Sedari tadi dia hanya bungkam dan menerima semua hardikan sang ayah. Namun kali ini, ia tidak dapat membendungnya lagi. Tanpa berkata apa pun, Jeongguk bangkit dari duduknya dan segera beranjak dari kamar itu, meninggalkan kedua pria di sana yang meneriaki namanya. Taehyung pun melangkahkan kakinya hendak mengejar Jeongguk, akan tetapi tertahan karena Jeongsu mencengkram pundaknya.

“Berani mendekati anak saya, maka pekerjaan Anda menjadi taruhannya.”

Taehyung melirik tangan Jeongsu di pundak dengan ujung matanya, lalu menepis tangan pria itu seraya berkata, “Dia pantas untuk diperlakukan dengan layak. Maka dari itu, mulai sekarang, Jeongguk menjadi milik saya.”

Setelahnya, Taehyung melenggang pergi dari sana dan berlari menyusuli Jeongguk.

SUNSET

“Ah, akhirnya rebahan juga.”

Jeongguk merentangkan kedua tangan begitu punggungnya menyentuh empuknya ranjang villa tempat ia dan Taehyung akan bermalam.

“Capek, ya? Tidur gih,” ucap Taehyung seraya duduk di tepi ranjang dan memandangi Jeongguk.

“Gue masih mau liat sunset dulu. Untung kamar ini backview nya pantai. Jadi pas buat liat matahari terbenam.”

Taehyung hanya mengangguk mengiyakan seraya tersenyum.

Waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh, pertanda bahwa sang surya akan tenggelam limabelas menit yang akan datang. Taehyung pun bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati pintu kaca yang tertutup tirai putih dan menyibaknya, lalu membuka pintu tersebut sehingga angin pantai menerpa wajah tampannyanya. Jeongguk yang merasakan semilir angin pun ikut bangkit menyusul Taehyung dan berdiri di sisinya. Tidak ada yang bersuara di antara mereka berdua untuk beberapa menit. Hanya suara deburan ombak yang memecah keheningan. Sampai akhirnya, Jeongguk berdeham yang membuat perhatian Taehyung teralihkan padanya.

“Kenapa, Gguk?”

“Lo pernah ke sini, Kak? Atau, kapan terakhir kali lo liburan kayak gini?”

“Pernah, tapi ke bagian timurnya. Dan itu juga liburan terakhir gue, sebelum berangkat ke Amerika buat lanjutin studi. Kalau lo?”

“Ini pertama kalinya gue ke sini. Kalau liburan, terakhir yang mau snorkeling itu. Tapi itupun gak jadi, kan. Karena kita keburu kecelakaan duluan.”

Jeongguk tetap menitikberatkan fokusnya pada pemandangan di hadapannya, sementara Taehyung, ia masih menatap pemuda di sampingnya tersebut, kemudian mengusap-usap punggungnya dengan perlahan.

“Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi, okay? Nanti lo gue ajak ke Trunyan.”

Jeongguk menoleh ke arah Taehyung dengan tatapan tajamnya, lalu mencubit perut pria itu, “Gila kali, ya? Emang lo gak tau Trunyan itu tempat apaan?”

Taehyung yang ditatap seperti itu dan mendapat serangan mendadak, justru terkekeh karena gemas sebelum menjawab, “Tau. Itu desa yang mayat-mayatnya gak dikubur di tanah, tapi diletakkin di bawah pohon, kan?”

“Nah, itu lo tau. Ngapain mau ngajak gue ke sana coba?” tanya Jeongguk sembari berkacak pinggang, yang mana hal tersebut justru terlihat lucu di mata Taehyung.

“Tengkorak-tengkoraknya kan dipagerin, jadi gak bakal loncat ke lo juga. Masa preman Ibukota sama gituan doang takut,” cibir Taehyung, kemudian terkikik geli.

“Gue gak takut ya, brengsek. Tau ah, Kak. Lo nyebelin banget!”

Jeongguk merajuk. Ia hendak berbalik dan meninggalkan Taehyung lalu kembali merebahkan diri di ranjang, namun tertahan saat Taehyung secara tiba-tiba merengkuh pinggang sempit Jeongguk, mengikis jarak antar keduanya.

“K- Kak? Lo ngapain? Jangan deket-deket. Bau.”

Jeongguk berusaha untuk menjauhkan wajahnya dan mendorong dada Taehyung, namun lingkaran tangan pria Kim di pinggangnya tersebut semakin erat.

“Cantik.”

Mendengar suara bariton Taehyung yang memujinya itu, membuat Jeongguk meremang dan meneguk ludahnya dengan susah payah. Taehyung menatapnya begitu dalam. Wajahnya datar tanpa ekspresi apa pun. Jantung Jeongguk pun semakin berdegup dengan kencang dibuatnya. Terlebih saat satu tangan Taehyung yang lainnya naik menangkup pipi kirinya.

“Gue laki, sialan. Mana ada gue cantik.”

“Gue kagum sama lo, Gguk. I admire you so much.”

Suara Taehyung yang berat, dalam, namun tetap terkesan lembut itu sukses membuat Jeongguk terdiam. Apalagi ketika Taehyung menyelipkan rambutnya di belakang telinganya, yang mampu menjadikan wajah Jeongguk bersemu merah. Ia pun semakin terbawa suasana. Keadaan semakin didukung oleh pemandangan pesisir di belakang mereka yang mengagumkan, dengan angin sepoi-sepoi, deburan ombak yang menenangkan, serta mentari yang mulai meninggalkan singgasananya, menjadikan cakrawala bersemburat jingga bercampur nila. Ia pun mulai membiasakan diri dan menyamankan posisinya yang sangat dekat dengan pria yang memiliki tatapan setajam elang ketika sedang berburu mangsa itu..

“Kak Taehyung-”

Belum sempat Jeongguk menyelesaikan kalimatnya, ia dibungkam oleh bibir Taehyung yang mendarat di bibirnya. Tentu saja ia terkejut. Tapi sayangnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sekujur tubuhnya terasa kaku begitu Taehyung tidak lagi sekedar menempelkan bibir, namun juga mulai mengecupinya beberapa kali sehingga menimbulkan suara decakan. Biasanya, ia yang akan memimpin ketika sedang berciuman dengan wanita-wanita bayarannya. Namun kali ini, Jeongguk mati kutu.

Taehyung mencumbui Jeongguk tanpa menuntut balasan. Ia melakukannya dengan pelan, seakan-akan hanya ingin memberikan kecupan-kecupan sayang. Namun, tidak butuh waktu lama, setelah membulatkan tekad, Jeongguk pun akhirnya membalas ciuman tersebut. Bahkan, ia mengalungkan lengan pada leher Taehyung dan memejamkan kedua matanya. Taehyung yang menerima sinyal baik dari Jeongguk pun tersenyum dan memiringkan kepala serta menekan tengkuk Jeongguk untuk memperdalam penyatuan bibir keduanya.

Taehyung mulai melumat bibir Jeongguk. Ciuman yang semula terkesan lembut, kini terlihat seperti berkabut nafsu. Di sela-sela berciuman, Taehyung melangkahkan kakinya masuk kembali ke kamar, diikuti dengan Jeongguk yang berjalan mundur. Didorongnya Jeongguk dengan pelan ke atas ranjang, kemudian ia tindih tubuh tersebut. Tangannya yang tidak tinggal diam pun ia masukkan ke baju Jeongguk, lalu mengelusi pinggulnya peralahn, membuat Jeongguk sedikit menggeliat.

Segalanya terasa memabukkan. Jeongguk tidak lagi segan untuk menunjukkan kebolehannya. Keduanya bercumbu semakin panas, liar, dan basah. Saliva mengalir indah di dagu masing-masing. Saling membelit lidah, menjilat dan menghisap bibir satu sama lain, bahkan Taehyung yang semakin tidak terkontrol pun tidak ragu untuk menyingkap baju yang Jeongguk kenakan dan mengelusi dadanya.

Akan tetapi, semuanya harus terhenti tatkala suara pintu yang dibuka dari luar terdengar, membuat Taehyung dan Jeongguk melepas tautan mereka yang membentuk benang saliva, kemudian menoleh ke arah pintu dan terkejut setengah mati mendapati sosok yang mereka tidak sangka-sangka akan datang di saat-saat seperti ini.

“Kalian berdua!? Apa-apaan ini?!”

WATERFALL

“Udah, gak usah diliatin terus. Ayo makan siang dulu. Masih banyak spot yang harus dikunjungin.”

Taehyung mengusap pundak Jeongguk yang saat itu sedang berkutat pada ponselnya dengan sendok yang berada di genggamannya yang lain. Ia tahu bahwa mahasiswanya itu sedang membaca komentar jahat para warga internet.

“Gue cuma gak suka aja kalo lo udah dibawa-bawa, risih tau gak.”

Jawaban Jeongguk tersebut pun membuat Taehyung terkekeh, “Kalau risih gak perlu dibaca lagi, dong? Kita gak bisa ngontrol semua jari netizen. Tapi kita bisa kontrol mata sendiri untuk gak ngeliat semua itu, kan?”

Jeongguk menghela napas, lalu memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia pun meletakkan ponselnya di meja, lalu kembali menyantap hidangan di hadapannya yang sudah mendingin. Keduanya larut dalam aktivitas masing-masing dalam diam. Begitu selesai, sembari menunggu makanan yang mereka santap benar-benar tercerna dengan baik sebelum berpindah pada kegiatan selanjutnya, Jeongguk membuka percakapan.

“Taehyung.”

Yang disebut namanya pun menoleh pada sumber suara, “Hm?”

“Kalo gue nyerahin diri ke polisi aja bisa gak, sih?”

Taehyung terdiam sebentar sebelum bertanya, “Maksud lo?”

“Gue lebih baik dihujat sebagai pembunuh, tapi mau mempertanggungjawabkan semua dengan dipenjara 20 tahun, daripada gue bebas kayak gini. Ini bukan kemauan gue. Gue sampe mohon-mohon sama bokap supaya dia gak usah nebus gue ratusan juta, biarin aja gue dipenjara, kalau perlu seumur hidup. Tapi dengan alasan reputasi dia, dia gak mau kalo gue mendekam di jeruji besi. Gue-“

“Sshh,” sela Taehyung, menarik Jeongguk ke dalam pelukannya, “Udah, Gguk. Gue bawa lo ke sini buat lepas semua penat lo. Bukan buat nambahin beban.”

Jeongguk terdiam untuk beberapa saat. Tidak menghindar, juga tidak membalas pelukan Taehyung. Sampai akhirnya, Jeongguk teringat sesuatu dan menjauh dari dekapan dosennya tersebut.

“Taehyung, mulai sekarang gue mau manggil lo pake Kak.”

“Oh, udah yakin nih?”

Jeongguk menganggukkan kepalanya, “Dari kemarin sebenernya. Cuma kayak berat keluar dari mulut gue. Sekarang mau dicoba.”

“Mana, gue mau denger.”

“Ya nanti lah kalo gue manggil atau nyebut nama lo,” ucap Jeongguk, “Ya udah, ayo. Abis ini kita mau ke mana?”

“Air Terjun Peguyangan,” jawab Taehyung, kemudian menggenggam erat kedua tangan Jeongguk, “Tapi janji dulu satu hal sama gue. Selagi kita masih di sini, jangan bahas apa pun yang bikin lo overthinking, ataupun ngecek hp buat bacain hate comment, setidaknya sampai besok. Nikmatin hidup lo kali ini.”

Jeongguk memperhatikan tangannya yang sedang digenggam, lalu membalas genggaman itu dan menengadah menatap Taehyung seraya tersenyum, “Janji, Kak Taehyung.”

Pria tiga puluh tahun tersebut membalas senyuman Jeongguk, kemudian melepas genggaman tangannya. Kedua insan itu pun beranjak dari warung kecil tempat mereka mengisi perut selepas beraktivitas dalam air dan bergegas masuk mobil yang mereka sewa untuk menuju lokasi selanjutnya yang tidak kalah menakjubkan.

WATERFALL

“Udah, gak usah diliatin terus. Ayo makan siang dulu. Masih banyak spot yang harus dikunjungin.”

Taehyung mengusap pundak Jeongguk yang saat itu sedang berkutat pada ponselnya dengan sendok yang berada di genggamannya yang lain. Ia tahu bahwa mahasiswanya itu sedang membaca komentar jahat para warga internet.

“Gue cuma gak suka aja kalo lo udah dibawa-bawa, risih tau gak.”

Jawaban Jeongguk tersebut pun membuat Taehyung terkekeh, “Kalau risih gak perlu dibaca lagi, dong? Kita gak bisa ngontrol semua jari netizen. Tapi kita bisa kontrol mata sendiri untuk gak ngeliat semua itu, kan?”

Jeongguk menghela napas, lalu memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia pun meletakkan ponselnya di meja, lalu kembali menyantap hidangan di hadapannya yang sudah mendingin. Keduanya larut dalam aktivitas masing-masing dalam diam. Begitu selesai, sembari menunggu makanan yang mereka santap benar-benar tercerna dengan baik sebelum berpindah pada kegiatan selanjutnya, Jeongguk membuka percakapan.

“Taehyung.”

Yang disebut namanya pun menoleh pada sumber suara, “Hm?”

“Kalo gue nyerahin diri ke polisi aja bisa gak, sih?”

Taehyung terdiam sebentar sebelum bertanya, “Maksud lo?”

“Gue lebih baik dihujat sebagai pembunuh, tapi mau mempertanggungjawabkan semua dengan dipenjara 20 tahun, daripada gue bebas kayak gini. Ini bukan kemauan gue. Gue sampe mohon-mohon sama bokap supaya dia gak usah nebus gue ratusan juta, biarin aja gue dipenjara, kalau perlu seumur hidup. Tapi dengan alasan reputasi dia, dia gak mau kalo gue mendekam di jeruji besi. Gue-“

“Sshh,” sela Taehyung, menarik Jeongguk ke dalam pelukannya, “Udah, Gguk. Gue bawa lo ke sini buat lepas semua penat lo. Bukan buat nambahin beban.”

Jeongguk terdiam untuk beberapa saat. Tidak menghindar, juga tidak membalas pelukan Taehyung. Sampai akhirnya, Jeongguk teringat sesuatu dan menjauh dari dekapan dosennya tersebut.

“Taehyung, mulai sekarang gue mau manggil lo pake Kak.”

“Oh, udah yakin nih?”

Jeongguk menganggukkan kepalanya, “Dari kemarin sebenernya. Cuma kayak berat keluar dari mulut gue. Sekarang mau dicoba.”

“Mana, gue mau denger.”

“Ya nanti lah kalo gue manggil atau nyebut nama lo,” ucap Jeongguk, “Ya udah, ayo. Abis ini kita mau ke mana?”

“Air Terjun Peguyangan,” jawab Taehyung, kemudian menggenggam erat kedua tangan Jeongguk, “Tapi janji dulu satu hal sama gue. Selagi kita masih di sini, jangan bahas apa pun yang bikin lo overthinking, ataupun ngecek hp buat bacain hate comment, setidaknya sampai besok. Nikmatin hidup lo kali ini.”

Jeongguk memperhatikan tangannya yang sedang digenggam, lalu membalas genggaman itu dan menengadah menatap Taehyung seraya tersenyum, “Janji, Kak Taehyung.”