aphrodita

WATERFALL

“Udah, gak usah diliatin terus. Ayo makan siang dulu. Masih banyak spot yang harus dikunjungin.”

Taehyung mengusap pundak Jeongguk yang saat itu sedang berkutat pada ponselnya dengan sendok yang berada di genggamannya yang lain. Ia tahu bahwa mahasiswanya itu sedang membaca komentar jahat para warga internet.

“Gue cuma gak suka aja kalo lo udah dibawa-bawa, risih tau gak.”

Jawaban Jeongguk tersebut pun membuat Taehyung terkekeh, “Kalau risih gak perlu dibaca lagi, dong? Kita gak bisa ngontrol semua jari netizen. Tapi kita bisa kontrol mata sendiri untuk gak ngeliat semua itu, kan?”

Jeongguk menghela napas, lalu memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia pun meletakkan ponselnya di meja, lalu kembali menyantap hidangan di hadapannya yang sudah mendingin. Keduanya larut dalam aktivitas masing-masing dalam diam. Begitu selesai, sembari menunggu makanan yang mereka santap benar-benar tercerna dengan baik sebelum berpindah pada kegiatan selanjutnya, Jeongguk membuka percakapan.

“Taehyung.”

Yang disebut namanya pun menoleh pada sumber suara, “Hm?”

“Kalo gue nyerahin diri ke polisi aja bisa gak, sih?”

Taehyung terdiam sebentar sebelum bertanya, “Maksud lo?”

“Gue lebih baik dihujat sebagai pembunuh, tapi mau mempertanggungjawabkan semua dengan dipenjara 20 tahun, daripada gue bebas kayak gini. Ini bukan kemauan gue. Gue sampe mohon-mohon sama bokap supaya dia gak usah nebus gue ratusan juta, biarin aja gue dipenjara, kalau perlu seumur hidup. Tapi dengan alasan reputasi dia, dia gak mau kalo gue mendekam di jeruji besi. Gue-“

“Sshh,” sela Taehyung, menarik Jeongguk ke dalam pelukannya, “Udah, Gguk. Gue bawa lo ke sini buat lepas semua penat lo. Bukan buat nambahin beban.”

Jeongguk terdiam untuk beberapa saat. Tidak menghindar, juga tidak membalas pelukan Taehyung. Sampai akhirnya, Jeongguk teringat sesuatu dan menjauh dari dekapan dosennya tersebut.

“Taehyung, mulai sekarang gue mau manggil lo pake Kak.”

“Oh, udah yakin nih?”

Jeongguk menganggukkan kepalanya, “Dari kemarin sebenernya. Cuma kayak berat keluar dari mulut gue. Sekarang mau dicoba.”

“Mana, gue mau denger.”

“Ya nanti lah kalo gue manggil atau nyebut nama lo,” ucap Jeongguk, “Ya udah, ayo. Abis ini kita mau ke mana?”

“Air Terjun Peguyangan,” jawab Taehyung, kemudian menggenggam erat kedua tangan Jeongguk, “Tapi janji dulu satu hal sama gue. Selagi kita masih di sini, jangan bahas apa pun yang bikin lo overthinking, ataupun ngecek hp buat bacain hate comment, setidaknya sampai besok. Nikmatin hidup lo kali ini.”

Jeongguk memperhatikan tangannya yang sedang digenggam, lalu membalas genggaman itu dan menengadah menatap Taehyung seraya tersenyum, “Janji, Kak Taehyung.”

EPILOGUE

“Eliza, tolong dengarkan aku dulu-”

“Telingaku diciptain bukan buat dengerin omong kosong pria hidung belang kayak kamu, Kim Taehyung. Semuanya udah clear. Jadi kamu gak perlu jelasin apa-apa lagi.”

“Liz, aku khilaf…”

“Cih, gampang banget kamu ngomong khilaf khilaf. Sadar umur, Taehyung. Kamu udah 35 tahun. Anak kamu udah dua. Grace 15 tahun, Nico 10 tahun. Udah pada besar semua. Tapi kamu malah main gila di belakangku? Sama sekretaris kamu? Laki-laki? Di mana otakmu?”

Taehyung terlihat kacau. Berlutut sembari memeluk kedua kaki sang istri di ambang pintu kamar keduanya dengan berlinang air mata. Sementara itu, Eliza, wanita cantik yang merupakan istri Taehyung tersebut mati-matian menahan diri agar tidak menangis. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan kedua anaknya yang tengah berdiri di depan pintu kamar masing-masing sembari menyaksikan pemandangan menyedihkan di mana orangtua mereka sedang terlibat dalam adu mulut. Ia ingin tetap terlihat tangguh di depan putra-putrinya. Lagipula, menurut Eliza, menangisi pria bajingan seperti Taehyung hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja.

“Percuma kamu punya wajah tampan dan berpendidikan tinggi. Ternyata kamu bodoh. Kamu pikir aku gak tahu, udah dua tahun ini kamu deketin si Jeon Jeongguk Jeon Jeongguk itu? Inget, Tae. Perusahaan yang kamu pegang itu perusahaan rintisan Ayahku. Otomatis, semua orang yang bekerja di sana itu bawahanku. Termasuk kamu!” hardik Eliza sembari berusaha menjauhkan kedua kakinya dari Taehyung, “Kamu harusnya bersyukur, Ayah mau kasih semua sahamnya dan balik nama perusahaan atas nama kamu, supaya kamu bisa jadi Direktur Utama. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya. Semua pekerja di perusahaan aku suruh untuk awasin kamu. Bahkan Jimin, asisten pribadimu itu. Dia teman lama kamu, kan? Sayangnya dia lebih tunduk ke aku. Karena sekali lagi, Taehyung, kamu bukan siapa-siapa tanpa aku dan Ayahku, kamu tau?”

Taehyung melepas pelukan pada kedua kaki Eliza, lalu bangkit dan mencoba untuk menggenggam tangannya, namun sang istri telah lebih dulu menyingkir.

“Tapi, Liz-”

“Tapi apa? Kamu bercinta sama Jeongguk karena obat perangsang, iya? Bukan di situ masalahnya, Taehyung. Kamu emang dari dulu genit sama dia, ya kan? Aku tawarin beberapa lulusan terbaik universitas unggulan buat jadi sekretarismu, kamu tolak terus. Kamu lebih milih dia yang cuma tamatan SMA. Aku tau, Taehyung. Tapi aku lebih memilih untuk diam dan pura-pura gak tahu apa-apa. Aku belum punya cukup bukti untuk nuduh kamu selingkuh dan aku juga masih mau bertahan demi anak-anak. Tapi sekarang kita harus pisah, dan bertanggung jawablah kamu atas anak itu.”

“Aku… aku tidak tahu di mana Jeongguk sekarang. Sudah satu tahun semenjak peristiwa itu. Dia tidak pernah kerja lagi. Tidak ada yang tahu kabarnya. Jeongguk juga tidak bisa dihubungi.”

“Aku gak peduli. Yang jelas, sekarang kamu pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali. Jabatan kamu juga aku copot. Semua harta kamu aku tarik. Grace dan Nico juga tetep sama aku.”

“Eliza, aku minta maaf. Aku mengaku kalau aku memang sudah tidak mencintaimu lagi sejak Jeongguk bekerja di tempat kita. Aku- aku jatuh cinta padanya. Tapi aku tetap sayang anak-anakku, Liz. Aku mohon. Aku rela hidup susah, asal jangan pisahkan aku dengan Grace atau Nico. Setidaknya, biarkan salah satu dari mereka ikut aku. Please.”

“Mau kamu kasih makan apa mereka, hah? Udahlah, lebih baik kamu cari selingkuhan kamu itu, terus kamu fokus ngurus anak kamu sama dia.”

Maka, Eliza yang sudah benar-benar muak melihat wajah dan mendengar suara Taehyung tersebut, menarik lengan suaminya dan mendorongnya keluar dari kamar, kemudian ia banting pintu itu dan menguncinya. Pandangan Taehyung bertemu dengan Grace dan Nico yang menatapnya dengan penuh kebencian. Tidak membutuhkan waktu lama bagi kedua anaknya tersebut untuk segera memasuki kamar masing-masing, enggan melihat sang ayah lebih lama lagi. Tangisan Taehyung yang semula sudah mereda, kini kembali terdengar. Ia menangis sembari memanggil-manggil nama Grace dan Nico. Namun, jangankan keluar dari kamar. Sahutan atau sedikit pun suara sama sekali tidak terdengar dari putra-putrinya itu.

Dengan begitu, Taehyung menyatakan bahwa ia telah kehilangan segalanya. Keluarga, reputasi, harta benda, bahkan Jeongguk yang ia cintai sekalipun. Baru ia sadari sekarang, bahwa dirinya sangatlah tamak. Ingin memiliki semua, namun tanpa ia ketahui bahwa salah satunya harus tersakiti. Akibatnya, di sinilah Taehyung sekarang, berjalan tanpa arah sembari menyesali segalanya.

Taehyung pikir, peristiwa satu tahun yang lalu itu akan selamanya menjadi rahasia antara dirinya, Jeongguk, dan juga Jimin yang tidak sengaja memergoki mereka. Namun nyatanya, satu keteledoran Taehyung mengacaukan segalanya. Ternyata, Eliza telah mengetahui hal itu sejak dua bulan yang lalu, di mana Taehyung kerap kali mengigau dan menyebut nama Jeongguk dan ‘anakku’ tiap malamnya. Eliza yang memang sudah menaruh curiga sedari dulu terhadap suami dan sekretarisnya itu, tidak serta merta menghakimi suaminya. Yang ia lakukan pertama kali adalah tentu saja mencari tahu melalui Jimin. Dan seperti yang Eliza katakan tadi, bahkan Jimin pun takluk padanya. Asisten pribadi Taehyung tersebut menceritakan apa yang ia lihat pada pesta malam tahun baru beberapa bulan yang lalu itu, serta beberapa informasi tambahan yang Taehyung berikan padanya, seperti perihal obat perangsang. Akan tetapi, Eliza tidak mengambil tindakan apa pun terhadap Taehyung karena ia mencoba untuk mengerti, bahwa peristiwa panas tersebut terjadi karena ‘kecelakaan’ dan ketidaksengajaan. Tidak dapat ditampik bahwa hatinya sangat terluka mengetahui fakta bahwa suaminya telah menyetubuhi orang lain. Tapi, Grace dan Nico-lah yang dijadikan Eliza sebagai alasan untuk tetap kuat.

Hingga akhirnya, puncaknya terjadi pada pagi ini, di mana Eliza tiba-tiba merasakan gelisah dan sesak di dada. Perasaannya tidak enak. Untuk tidur tadi malam dan sarapan pun ia tidak tenang. Kegusaran itulah yang mengantarkan wanita itu untuk mengutak-atik ponsel Taehyung, sampai ia menemukan pesan setahun lalu dari Jeongguk, yang menyatakan bahwa dirinya tengah mengandung. Maka, Eliza tidak lagi dapat menahan segala emosi yang ia pendam selama ini. Pasalnya, pemuda Jeon itu sedang hamil anak suaminya sendiri. Sebagai seorang wanita yang pernah mengandung dan kini telah menjadi ibu dua anak, Eliza tentu mengerti apa yang Jeongguk rasakan sekarang jika harus berjuang sendirian tanpa didampingi oleh siapa pun. Oleh karena itu, dengan berat hati dan mengorbankan kebahagiaan anak-anaknya, Eliza memutuskan untuk bercerai dengan Taehyung.

Sembari meratapi nasib, Taehyung terus berjalan dengan kepalanya yang tertunduk, membuat dirinya bertabrakan dengan pejalan kaki lainnya di trotoar itu. Ia pun menengadah, dan mendapati sosok yang ia kenal tengah berdiri di hadapannya.

“Loh, Taehyung? Sedang apa? Olahraga pagi, ya? Tapi, kok, lesu begitu?” tanya orang tersebut.

Mengetahui bahwa seseorang di depannya ini merupakan rekan kerjanya sesama bos besar, Taehyung segera memperbaiki penampilannya yang terkesan sangat acak-acakan, lalu tersenyum paksa, “Namjoon? Saya baru tahu kalau rumahmu di sekitaran sini juga.”

“Saya memang tidak tinggal di sini, Taehyung. Tapi saya ke sini karena mau berkunjung ke rumah sepupu saya, Jeon Jeongguk, mantan sekretaris kamu.”

Mendengar nama dari entitas yang begitu ia rindukan itu disebut, Taehyung dapat merasakan jantungnya seperti terjun bebas dari rongganya. Napasnya tercekat.

“J- Jeongguk? Ja- jadi, dia selama ini tinggal di sini?”

“Dia baru saja datang kemarin, Taehyung. Selama setahun belakangan, dia melarikan diri entah ke mana. Tidak ada yang tahu, termasuk saya keluarga satu-satunya. Sampai tadi malam, akhirnya dia pulang. Dan ternyata dia selama ini ada di Filipina.”

Kedua manik Taehyung berbinar, memancarkan secercah harapan. Ia pun memegang erat pergelangan tangan Namjoon seraya memohon, “Tolong, Namjoon. Tolong antarkan saya bertemu dengan Jeongguk. Saya mohon.”

“Ah, iya, Taehyung. Tidak perlu sampai seperti ini. Kamu pasti rindu juga dengan dia, kan? Ayo, ikut saya. Tidak jauh dari sini, bisa jalan kaki.”

Taehyung melepas genggaman pada tangan Namjoon, kemudian kembali tersenyum dan tidak lagi dipaksakan. Akhirnya, ia dapat bertemu lagi dengan sang pujaan hati. Dirinya sungguh tidak sabar ingin bertemu dengan buah hati mereka yang pastinya sudah lahir itu. Raut putus asa di wajahnya memudar. Dengan Namjoon yang berjalan di sampingnya, keduanya pun tiba di suatu tempat yang tidak Taehyung duga akan menjadi tujuan mereka.

“Namjoon? Kenapa berhenti di sini?” tanya Taehyung, menoleh ke arah rekan bisnisnya itu.

Namjoon menyunggikan senyuman, memamerkan kedua lesung pipitnya, “Ini rumah Jeon Jeongguk, Taehyung.”

Tanpa menunggu balasan apa pun dari Taehyung, Namjoon membuka gerbang tempat tersebut dan memasukinya, disusul oleh Taehyung yang yang masih tidak percaya dengan apa yang ia saksikan sekarang.

Batu nisan-batu nisan yang tertancap di tanah berlapis rerumputan serta pepohonan tinggi adalah pemandangan yang Taehyung dapatkan begitu memijakkan kaki di sana. Ia pun berlari kecil menyusul Namjoon.

“Namjoon, jangan bercanda. Ini pemakaman, bukan rumah.”

Namjoon yang mendengar hal tersebut pun menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Taehyung, “Kamu bilang, kamu mau bertemu Jeongguk, kan? Itu, tepat di kirimu, jasad Jeongguk bersemayam di sana.”

Taehyung menoleh ke arah yang ditunjuk Namjoon. Betapa terkejutnya ia saat melihat nama Jeon Jeongguk beserta tanggal lahir dan kematiannya tertera di batu nisan. Sekujur tubuh Taehyung lemas. Ia pun jatuh berlutut tepat di samping makam Jeongguk yang masih segar dengan berhiaskan beberapa bunga. Dirinya berharap, bahwa makam ini adalah milik orang lain yang bernama sama dengan cintanya itu.

“Berdasarkan informasi dari Kedutaan Besar, Jeongguk meningal seminggu yang lalu karena tumor ganas. Saya juga tidak tahu alasan kenapa dia pergi ke Filipina. Entah untuk berobat, atau menyendiri. Tadi malam, dia dipulangkan. Dan yang membuat saya semakin terpukul, dia tidak datang sendirian,” tutur Namjoon, berhenti sejenak untuk menarik dan menghela napas, “Ada satu peti mati kecil di samping peti milik Jeongguk, yang ternyata adalah anaknya. Tuhan memang baik sama adik sepupu saya itu. Dia tidak membiarkan Jeongguk sendirian. Di saat Jeongguk menghembuskan napas terakhir, putri kecilnya itu juga mengikuti jejaknya. Anak Jeongguk yang baru berusia tiga bulan itu ternyata mengidap Sepsis.”

Taehyung menggeleng beberapa kali tidak percaya. Ia tidak dapat berucap apa-apa. Air matanya tumpah ruah membasahi nisan Jeongguk yang tengah ia peluk. Sementara itu, Namjoon tampak sedang mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lalu meletakkannya di samping Taehyung.

“Petugas medis menitipkan itu pada saya. Katanya, surat Jeongguk yang mereka temukan di kamarnya, untuk kamu. Saya permisi dulu. Sepertinya kalian membutuhkan waktu untuk berduaan, bukan begitu?”

Namjoon pun beranjak dari sana meninggalkan Taehyung yang masih menangis meraung-raung. Bahkan, bunga-bunga yang menutupi tempat peristirahatan terakhir Jeongguk itu pun diacaknya, pertanda bahwa ia tidak dapat menerima kenyataan bahwa pemilik hatinya telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya, dan takkan pernah kembali.

Seandainya dia tetap bersikap bijak saat mengetahui Jeongguk tengah mengandung dan tidak membiarkannya pergi dari kehidupannya, mungkin sekarang Taehyung sudah bahagia bersama Jeongguk dan juga sang buah hati. Seandainya ia bisa bersikap tegas dengan memilih Jeongguk dan meninggalkan Eliza saat ia menyadari bahwa dirinya tidak lagi mencintai sang istri, mungkin penyesalan ini tidak akan ia rasakan. Lebih baik ia kehilangan keluarga dan harta benda, daripada harus ditinggalkan oleh sosok yang begitu ia dambakan. Seharusnya, ia memilih salah satu, bukan dengan serakahnya ingin memiliki semua. Tetapi, semua tinggallah ‘seandainya’, karena tidak ada lagi yang dapat ia rubah.

Pada akhirnya, hidup adalah pilihan. Kehilangan salah satu tidak seburuk dibandingkan dengan kehilangan segala-galanya.

ARREST

“Apa kalian yakin kalau di rumah ini telah terjadi sesuatu? Karena jika tidak, maka kalian berdua yang akan kami bawa ke kantor polisi dengan dugaan laporan palsu.”

“Yakin, Pak. Sudah dua bulan rumah ini tidak terlihat 'hidup'. Lampu selalu mati, rerumputan di halaman depannya juga tidak dipangkas dan dibiarkan menjulang tinggi seperti itu, tapi kami yakin di dalamnya masih ada orang. Bahkan, terkadang kalau kami melewati rumah ini, sering tercium bau busuk yang menyengat, Pak.”

“Saya juga mulai mencium aroma yang tidak sedap. Bagaimana ini, Choi? Pintu terkunci dari dalam.”

“Tidak ada cara lain selain mendobraknya, Lee.”

Maka, dua perempuan yang tengah berdiri di depan pintu masuk utama rumah mewah tersebut pun menyingkir saat kedua polisi itu mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu. Setelah beberapa kali dobrakan, akhirnya pintu terbuka dan menampilkan pemandangan yang sungguh tidak mengenakkan untuk dilihat. Dimulai dari ruang tamu, ruang tengah, ruang keluarga, ruang makan, hingga dapur, semuanya berantakan. Benda-benda termasuk pecahan-pecahan kaca berserakan. Mereka menyusuri lantai satu rumah tersebut seraya berteriak memanggil siapa pun yang menghuni rumah itu. Tidak ada jawaban, keempatnya pun berpindah ke lantai dua.

Aroma busuk seperti bangkai menyapa indra penciuman mereka begitu memijakkan kaki di lantai dua yang terdapat empat kamar di sana. Mereka pun berpencar untuk melihat keadaan masing-masing kamar. Tidak lama kemudian, terdengar teriakan perempuan yang berasal dari salah satu kamar.

“AAA!!! TOLONG!!!”

Tiga orang yang sedang menyusuri tiap kamar tersebut pun segera menghampiri asal suara tersebut.

“Kim Chaewon? Ada apa?” tanya salah satu polisi wanita yang diketahui bernama Choi Yena itu.

Chaewon tidak bersuara. Kedua bola matanya membulat besar. Satu tangannya ia gunakan untuk menutup mulut, sementara tangannya yang lain bergetar menunjuk ke arah box bayi. Teman Chaewon, Kim Minju, berusaha untuk menenangkan Chaewon yang terlihat sedang shock berat. Sementara itu, Polisi Choi dan Polisi Lee menghampiri box bayi yang digadang-gadang sebagai sumber dari bau tidak sedap tersebut. Dan benar saja, begitu keduanya melihat apa yang dilihat oleh Chaewon beberapa detik yang lalu tersebut, mereka pun terkejut bukan main.

“C-Choi, cepat- cepat hubungi ambulans.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Yena langsung merogoh ponsel dari saku rompi yang ia kenakan dan segera menelepon rumah sakit.

“Minju, apa kalian mengenali siapa pemilik rumah ini?” tanya Polisi Lee yang hanya dijawab oleh Minju dengan gelengan.

Minju hendak membawa Chaewon pergi dari kamar bayi itu karena Chaewon menunjukkan gelagat seakan ingin memuntahkan sesuatu, namun seorang wanita berpenampilan acak-acakan secara mengejutkan muncul di ambang pintu.

“Mau apa kalian?”

Kedua gadis tersebut terhenyak mendengar pertanyaan yang terkesan mengerikan tersebut. Bahkan, Chaewon sampai menangis ketakutan. Polisi Lee dan Polisi Choi yang mendengar ada kehadiran baru di sana pun menoleh dan mendekati wanita itu.

“Selamat pagi,” sapa Polisi Choi, “Apakah Anda penghuni rumah ini?”

“Wah, banyak banget tamu yang datang. Kenapa gak bilang dulu? Kan, bisa saya siapin makanan,” tutur wanita tersebut seraya tersenyum, yang membuat kedua polisi itu saling berpandangan, “Iya, aku yang punya rumah ini. Namaku Eliza. Kalau kalian?”

Eliza, sosok yang nampak tidak terurus itu mengulurkan tangannya dan menatap satu per satu keempat orang yang ada di hadapannya. Begitu tatapannya bertemu dengan Chaewon yang sedang terisak, ia tarik kembali uluran tangannya dan menghampiri Chaewon.

Eliza mengelus-elus rambut gadis 20 tahun tersebut, “Astaga, Sayang. Kenapa kamu nangis? Kamu sedih ya karena ditinggalin sama ayah kamu? Mau jadi anakku aja? Nanti aku rawat kamu dengan sepenuh hati, seperti aku ngerawat anakku. Hihihi.”

Chaewon yang diperlakukan seperti itu pun hanya bisa memejamkan mata dengan erat. Ia sungguh ketakutan dan tidak berani melawan atau menghindar, begitu pula dengan Minju. Sampai akhirnya, suara Polisi Lee menginterupsi.

“Saudari Eliza. Apakah mayat bayi yang berada di dalam box itu adalah anak Anda?”

Eliza berhenti mengelus rambut Chaewon, lalu mengalihkan pandangannya pada polisi tersebut.

“Oh, itu. Iya, dia anakku. Josiah namanya. Ganteng, kan? Kayak ayahnya, Taehyung,” jawab Eliza yang diakhiri dengan kekehannya, “Tapi dia gak guna banget jadi anak. Gara-gara dia, Taehyung pergi ninggalin aku. Ya udah deh, aku bunuh. Aku tindihin kepalanya pakai bantal. Terus aku biarin aja di situ.”

Polisi Choi yang mendengar penjelasan Eliza itu pun geram. Ia hendak mengeluarkan borgol dari waistbag yang ia kenakan, namun ditahan oleh Polisi Lee.

“Sudah berapa lama anak Anda berada di sana?” tanya Polisi Lee lagi.

“Aduh, aku lupa. Aku aja gak tau sekarang bulan apa. Yang jelas, aku ditinggalin sama pacarku pas anak itu baru lahir. Karena aku kesel, aku jadi gak mau bayi itu hidup.”

“Kapan anak Anda lahir?”

“Aku gak inget. Hehehe.”

Sementara itu, Polisi Choi terlihat seperti sedang mencari-cari sesuatu di dalam ruangan yang lebih terlihat seperti gudang daripada kamar. Begitu ia mendapatkan apa yang ia incar, Polisi Choi kembali menghampiri Polisi Lee dan memperlihatkan benda yang ada di genggamannya.

“Lee, lihat ini. Aku menemukan kalender. Di sini, tepatnya di tanggal 1 Agustus, ada tulisan 'Josiah's born day'. Itu artinya, bayi itu lahir pada tanggal 1 Agustus, kan? Dia bilang, kekasihnya pergi begitu anak mereka lahir. Berdasarkan penuturan dia tadi, sepertinya dia membunuh anaknya saat kekasihnya itu pergi. Berarti, korban sudah meninggal tiga bulan yang lalu, Lee. Pantas saja badannya sudah membiru, bahkan hampir menyerupai tengkorak seperti itu.”

“Kalian ngomongin apa, sih?” tanya Eliza seraya menggaruk-garuk kepalanya dengan kasar, bahkan terkesan seperti sedang mengacaki rambutnya sendiri, “Aku gak ngerti!”

Polisi Lee tidak menanggapi apa pun. Ia hanya memberikan isyarat pada Polisi Choi untuk segera menahan Eliza, bertepatan dengan suara sirine yang mulai terdengar. Eliza tidak memberontak saat kedua tangannya diborgol oleh Polisi Choi. Ia justru tertawa senang sembari melompat-lompat.

“Aku udah dijemput, ya? Asiiik! Akhirnya aku keluar juga dari sini!”

Minju dan Chaewon yang menyaksikan hal tersebut pun hanya bisa berpelukan dan saling menenangkan. Kedua gadis yang tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada Eliza itu jelas ketakutan. Bagaimana tidak? Mereka hanya orang asing yang berniat melaporkan kejanggalan yang mereka rasakan, tetapi justru berujung pada keduanya yang harus melihat mayat bayi yang bahkan belum genap berusia satu bulan dan kegilaan sang Ibu yang tega membunuh anaknya sendiri. Minju dan Chaewon pun beranjak dari sana, bersamaan dengan digiringnya Eliza keluar dari rumah tersebut oleh kedua polisi itu.

Begitu sampai di luar rumah, ternyata keadaan sudah cukup ramai. Beberapa warga berkumpul untuk menyaksikan polisi-polisi yang sedang memasang police line. Ambulans yang dihubungi Polisi Choi beberapa menit yang lalu tidak datang sendirian, melainkan bersama dua mobil polisi lainnya. Para petugas medis keluar dari ambulans dengan membawa kantong mayat dan berlari memasuki rumah. Sementara itu, Eliza telah masuk mobil bersama Polisi Lee dan Polisi Choi. Sedangkan Minju dan Chaewon yang ditetapkan sebagai saksi, ikut ke kantor polisi dengan menumpangi mobil lainnya.

Singkat cerita, setelah memberikan keterangan dan dinyatakan tidak terlibat apapun dalam kasus Eliza, Minju dan Chaewon pun diperbolehkan untuk pulang. Sedangkan Eliza, ia menjalani proses pemeriksaan dan didampingi oleh psikiater serta salah satu perwakilan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Korea Selatan. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Eliza dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan dan tidak akan dijatuhi hukuman pidana, melainkan akan direhabilitasi di rumah sakit jiwa. Setelah melalui diskusi panjang dengan pihak kepolisian dan sang psikiater, perwakilan Kedutaan Besar Amerika tersebut sepakat untuk tetap membiarkan Eliza dirawat di sini, dan akan dideportasi ke Florida jika keadaannya sudah berangsur-angsur membaik.

CELL

Terhitung sudah dua bulan Taehyung menjadi penghuni lembaga permasyarakatan. Selama itu pula ia tidak dapat merasakan yang namanya menjalani kehidupan dengan tenang. Semuanya terasa hampa. Hanya dari raganya saja ia tampak hidup. Namun nyatanya, jiwanya telah pergi bersamaan dengan balasan Jungkook terhadap suratnya melalui perantara Barom.

Saat mendengar pengacara mantan suaminya itu menyampaikan pesan-pesan yang Jungkook tujukan pada Taehyung sebagai balasan atas suratnya, ia dapat merasakan nyawanya seperti ditarik paksa oleh malaikat maut.

Sakit. Sakit sekali. Sangat menyakitkan bagi Taehyung begitu mengetahui bahwa Jungkook benar-benar membencinya hingga tak sudi lagi untuk berjumpa.

Dengan begitu, Taehyung menyatakan bahwa dirinya telah ‘mati’.

“Gak guna lagi lo hidup, Taehyung. Gak guna. Mending lo mati aja. Iya, mati. Buat apa lo hidup tapi gak ada Jungkook di sini?”

Beginilah keseharian Taehyung selama mendekam di penjara. Hanya bisa meratapi nasib dan berkali-kali menyakiti dirinya sendiri. Ia kerap kali membenturkan kepalanya pada dinding. Tetapi para sipir setempat selalu berhasil menggagalkan aksi nekat Taehyung tersebut sebelum semakin parah. Seperti saat ini, ia tengah meracau bahwa dirinya lebih baik mati saja sembari membentur-benturkan kepalanya beberapa kali di jeruji besi.

“Mati, mati, mati! Ayo mati, Kim Taehyung!”

Suara dentingan besi yang dihasilkan oleh benturan demi benturan kepala itu tentu saja menarik perhatian dua sipir yang tengah berjaga. Keduanya segera berlari menuju sel Taehyung, membuka gembok, kemudian masuk dan menghentikan tindakan Taehyung dengan meninju wajahnya ia hingga terjerembab.

“Heh, denger ya! Kalo lo mau mati silahkan saja, tapi jangan di sini. Nanti kita yang repot. Lo dari awal sampai sekarang nyusahin terus tau gak?” bentak salah satu sipir.

Taehyung tidak membalas perbuatan sipir tersebut dengan meninju atau sekedar berteriak marah. Ia justru memeluk salah satu kaki mereka seraya memohon.

“Tolong. Tolong bawa gua pergi dari sini. Gua mau ketemu sama Jungkook. Gua minta tolong. Please…”

Salah satu sipir yang sedang dipeluk kakinya oleh Taehyung itu mendecih, kemudian ia sentak kakinya agar Taehyung melepaskannya, “Kita emang mau bawa lo pergi dari sel ini.”

Taehyung yang mendengar hal tersebut pun menengadah dan menatap dua sipir tersebut dengan tatapan yang berbinar dan penuh harapan, “G- gua bebas?”

“Bebas dari sel ini, tapi dipindahin ke sel yang gabung dengan narapidana lainnya.”

Mendengar jawaban itu, Taehyung segera bangkit dan menatap keduanya tidak percaya, “Gak mungkin. Gua udah bayar lebih supaya ditempatin sendiri, tapi kenapa sekarang gua malah mau dipindahin!?”

“Ya karena lo udah gak bakal bisa bayar lagi,” jawab salah satunya.

“Gua bukannya gak bisa bayar lagi, anjing! Pengacara gua yang bakal dateng dan-”

“Pengacara lo lagi jadi buronan karena penggelapan dana, penipuan, dan penyuapan. Harta lo yang udah lo percayain ke dia juga dibawa kabur. Semuanya habis. Tersisa mobil doang. Itu pun disita.”

Taehyung terkekeh remeh, “Cih, lo berdua kali yang nipu gua. Dia udah janji bakal ke sini dan bebasin gua, kok.”

“Iya. Dia pasti bakal dateng ke sini. Tapi bukan dengan uang segepok buat bebasin lo. Dia ke sini buat jadi tahanan juga. Dasar bodoh.”

Taehyung menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berjalan mundur. Kenyataan apalagi ini? Kenapa rentetan peristiwa tragis datang bertubi-tubi dan tak mengenal waktu? Apa memang seperti ini suratan takdirnya sejak lahir? Atau sebenarnya nasib buruk ini tidak akan pernah terjadi jikalau ia tak mencampakkan Jungkook?

Taehyung berbalik menghadap dinding, lalu meninjunya beberapa kali dengan keras hingga ia tak lagi dapat merasakan sakit di buku-buku jarinya.

“ARGGHH! BANGSAT!!”

Sementara itu, kedua sipir yang ada di sana hanya berdiam diri dan menyaksikan sampai Taehyung berhenti. Punggung tangannya luka, atau bahkan mungkin yang lebih parahnya lagi, tulang-tulangnya retak.

Ia jatuh berlutut. Pasrah saat dua sipir tersebut menariknya paksa keluar dari sel itu dan membawanya naik ke lantai dua, di mana sel barunya berada. Ia dimasukkan ke sel yang berisikan tiga narapidana lain. Begitu para sipir pergi meninggalkannya, Taehyung berjalan gontai melewati ketiganya menuju sudut ruangan, kemudian duduk meringkuk dan mengabaikan percakapan tiga pria yang lebih tua darinya itu.

“Oh, jadi ini yang katanya merkosa dan nusuk mantan suaminya sendiri?”

“Iya deh kayaknya, Bos.”

“Ganteng juga, ya. Enaknya kita apain, nih?”

“Bebas, kita serahin semua ke Bos. Kapan lagi dapet yang ganteng gini, kan?”

SNORKELING

Tamatlah riwayatmu wahai Kim Taehyung.

Kiranya begitulah yang ada di batin Taehyung begitu menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dinding yang selama ini ia biarkan bersih tanpa ada wallpaper, lukisan, atau pun pajangan lainnya, kini dihiasi oleh mahakarya Ggukie khas anak kecil yang sedang dalam proses belajar menggambar. Pasalnya, unit-unit di apartemen tempat tinggal Taehyung ini tidak diperbolehkan untuk dirombak atau didekorasi, termasuk dindingnya, kecuali jika sebelumnya sudah meminta persetujuan sang pemilik.

“D- Daddy… nda ceneng, iaa?”

Taehyung yang sedang sibuk memandangi lukisan Ggukie, terinterupsi oleh suara pemuda yang tengah ia gendong seperti koala itu. Dengan perlahan, ia bergerak turun dan duduk bersila, masih membiarkan mahasiswanya tersebut berada dalam dekapan dan duduk di pangkuannya.

Dielusnya rambut Ggukie dengan pelan, kemudian tersenyum, “Seneng, kok. Cuma, sedikit kaget karena gambaran kamu bagus banget, lebih bagus dari yang Ggukie foto waktu itu.”

Ggukie melepas pelukannya, lalu beralih mengalungkan lengannya pada leher Taehyung dan menatap kedua mata sang dosen dengan tatapan memelas, “Maapin Ggukie, Daddy. Taddi Ggukie cali-cali keltac tappi nda nemuuu. Ggukie cumma liat adda cepidol. Jaddi Ggukie ngelukicna di tembok…”

“Gapapa, Ggukie. Nanti bisa-” Taehyung terdiam sejenak, ragu untuk menyebut dirinya sendiri dengan sebutan yang Ggukie berikan untuknya, “Nanti bisa Daddy cat ulang, kok. Habis ini Daddy beliin Ggukie buku gambar sama pensil warna, ya?”

“Cungguh, Daddy!?” pekik Jeongguk dengan tatapan berbinar, “Aciiik! Maacih, Daddy Taehyungie. Daddy Taehyungie memang telbaik!”

“Sama-sama, Ggukie. Nah, sekarang Daddy minta kamu untuk cerita, ini di lukisan kamu ada siapa aja,” pinta Taehyung sembari mengusap-usap sayang punggung Ggukie.

Ggukie menoleh ke belakang, memandangi hasil karyanya, kemudian menyentuh satu per satu objeknya, dimulai dari kiri.

“Yang becal ini Daddy na Ggukie. Tappi bukan Daddy Taehyungie. Daddy acli na Ggukie yang adda di lumah. Teluc ini adda dedekna Ggukie, Ggukie, dan Mommy na Ggukie. Celecai, deh!” cerita Jeongguk, yang diakhiri dengan kekehan kecilnya.

Taehyung bungkam untuk beberapa saat. Ia memperhatikan lukisan Ggukie tersebut dengan seksama. Dan setelah ia perhatikan lebih dalam, ia baru sadar jika lukisan itu terkesan menyeramkan. Bagaimana tidak? Keempat objek yang ada di sana seperti digambarkan sedang gantung diri.

“Ggukie… ini kalian berempat lagi ngapain?” tanya Taehyung, berusaha untuk tetap terdengar setenang mungkin.

“Hmm, appa iaa itu namana? Ggukie lupa! Itu loh, Daddy, yang biacana cuka adda di pantai, yang bica belenang cambil liat-liat ikan.”

“Oh, snorkeling?”

“H-hah? Cenokeling? Iihh, Ggukie nda tawwu…”

Melihat Ggukie yang kebingungan dan menggerutu seperti itu hingga bibirnya mengerucut lucu, membuat Taehyung mencubit gemas kedua pipi yang lebih muda dan melupakan sejenak rasa penasarannya terhadap makna dari coretan-coretan spidol di dinding kamarnya tersebut.

“Kenapa gambar lagi snorkling, hm? Kamu suka, ya?”

Raut wajah Ggukie seketika berubah begitu mendapat pertanyaan tersebut dari Taehyung. Ekspresi yang semula terlihat menggemaskan, kini perlahan memudar dari wajahnya. Rahangnya mengeras dengan gigi yang gemeretak. Binar di matanya lenyap, digantikan oleh tatapan yang terasa kosong, namun menusuk di waktu yang bersamaan. Taehyung yang menyaksikan perubahan mendadak itu dan mengerti situasi serta mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya pun menangkup kedua pipi Ggukie seraya menatap kedua netranya lekat-lekat.

“Hey, Ggukie. Gapapa, okay? Tenang, ya?”

Ia tundukkan kepalanya sembari meremas kedua pundak Taehyung. Dapat ia rasakan bahwa kini dirinya dan dirinya yang lain sedang ‘bertemu’. Keduanya saling sahut menyahut, membuat pikirannya berkecamuk. Lalu, secara tiba-tiba, semuanya menghitam, gelap total. Ia tidak dapat melihat apa pun hingga beberapa saat, sampai akhirnya secercah cahaya muncul dari seberang sana dan berjalan mendekatinya.

“Akak Jeongguk…”

Terdengar suara anak laki-laki yang memanggilnya dengan lirih begitu keduanya saling berhadapan. Terdapat gelas kaca yang di dalamnya berisikan lilin di genggaman anak kecil tersebut, yang merupakan satu-satunya sumber cahaya di sana. Yang disebut namanya pun tersenyum dan berlutut, menyejajarkan wajah keduanya agar saling bertemu pandang.

“Ada apa, Dek Ggukie?”

Jeongguk menyentuh lengan Ggukie, yang tak lain tak bukan adalah dirinya ketika berusia lima tahun, kemudian mengusapnya dengan perlahan.

“Akak Jeongguk pelcaya cama Daddy Taehyungie?” tanya Ggukie.

Jeongguk pun mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ggukie, “Kenapa, hm?”

“Ggukie uga pelcaya cama Daddy Taehyungie. Dia baik, nda cepelti Daddy kita! Ggukie cayang cama Daddy Taehyungie. Akak uga haluc cayang cama dia, iaa? Ggukie yakin Daddy Taehyungie pacti bica jagain kita, Kak!” seru Ggukie sembari melompat-lompat kecil, pertanda ia sangat berantusias.

Jeongguk yang melihat hal tersebut pun terkekeh gemas, kemudian mencubit pelan hidung bocah di depannya itu, “Kalau Ggukie udah yakin kayak gini, Kak Jeongguk gak bisa bantah apa-apa.”

“Akak cetuju cama Ggukie? Kalau cetuju, tiup lilin ini, Kak.”

Maka, tanpa berkata apa-apa dan keraguan sedikit pun, Jeongguk meniup lilin tersebut yang membuat gulita kembali menyambutnya. Namun, hal itu tak berlangsung lama kala ia mendengar suara bariton yang memanggil-manggil namanya. Jeongguk membuka mata lalu menengadah, dan mendapati Taehyung di hadapan dengan dirinya yang tengah dipangku.

“M- maaf…” ucap Jeongguk seraya berusaha menyingkir dari pangkuan Taehyung.

“No,” cegah Taehyung, melingkarkan satu tangannya di pinggang Jeongguk, “Jangan minta maaf. Biasain aja, ya? Karena gue pasti juga bakal terbiasa.”

Jeongguk menunduk lagi sembari memainkan ujung bajunya, “Gu- gue bakal ganti rugi, kok. Nanti biar gue aja yang bayar biaya untuk ngecat ulang dinding lo.”

Taehyung menghela napasnya, kemudian mengapit dagu Jeongguk dengan telunjuk dan ibu jarinya agar ia kembali menengadah dan saling bertatapan, “Gak perlu, Gguk. Lagian gak bakal abis banyak, kok. Orang cuma sedikit gambarannya.”

Jeongguk yang masih malu dan tidak berani menatap Taehyung karena telah menunjukkan dirinya yang lain secara langsung, mengalihkan pandangannya dengan menoleh ke belakang untuk melihat gambar yang ia buat. Ia terdiam sejenak, kemudian disentuhnya salah satu objek yang tadi ia sebut sebagai ‘dedek’-nya.

“Dia meninggal lima tahun yang lalu. Waktu itu kita sekeluarga lagi di perjalanan ke Tanjung Benoa, mau snorkeling. Adek gue pengen banget ngeliat ikan-ikan di laut. Tapi gagal karena mobil kita kecelakaan duluan. Yang selamat cuma gue sama bokap, sementara dia sama nyokap tewas di tempat.”

Taehyung yang mendengar cerita Jeongguk tersebut pun terhenyak. Ia tidak menyangka bahwa pertanyaan yang ia ajukan pada Ggukie sebelum ia kembali menjadi Jeongguk akan dijawab olehnya. Terlebih lagi jawaban tersebut merupakan cerita duka, semakin membuat Taehyung tidak bisa berucap apa-apa. Ia juga tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut perihal kecelakaan dan juga adiknya. Takut jika hal itu hanya akan membuka luka lama.

“Gguk,” panggil Taehyung yang membuat Jeongguk beralih dari lukisannya dan menatap Taehyung kembali, “Apa yang bikin lo masih sanggup bertahan sampai sekarang?”

Jeongguk terkekeh mendengar pertanyaan tersebut, “Gue mau cari kebahagiaan dulu, karena gue gak mau mati dalam keadaan yang menyedihkan begini.”

Mendapat jawaban seperti itu, Taehyung pun tersenyum dan mengangguk-angguk setuju. Tidak ada lagi percakapan yang tercipta. Keduanya terjebak dalam keheningan, saling menatap satu sama lain. Seolah terhipnotis oleh manik Jeongguk yang nampak jauh lebih cantik jika dilihat dari dekat seperti ini, membuat Taehyung mendekatkan wajah pada pemuda yang masih setia duduk di pangkuannya itu dan memiringkan kepalanya. Namun, begitu melihat Jeongguk memejamkan matanya dan ia teringat akan sesuatu, Taehyung pun mengurungkan niat dan menjauhkankan wajahnya.

“Jeongguk.”

Yang dipanggil pun membuka matanya. Wajahnya memerah padam. Jantungnya berdegup kencang.

‘Udah deg-degan gini, ternyata gak jadi’ batin Jeongguk.

“Tiba-tiba, gue kepikiran buat ngajak lo snorkeling. Tapi pasti lo gak mau karena bakal bikin lo keinget sama itu, kan?”

“Gue gak trauma, kok. Lagian, gue emang hobi water sport. Bisa sebulan bahkan seminggu sekali ke Benoa. Tapi itu dulu, sebelum rentetan kejadian gak ngenakin muncul satu per satu, dan bikin gue beralih hobi ke balapan.”

“Kalau gitu, ayo kita ke Nusa Penida besok?”

“Eh? Tapi kenapa? Kok tiba-tiba banget?”

“You’ve been through a lot these past years, Gguk.”

“Terus?”

“Dan lo masih kuat sampai detik ini dengan alasan gak mau mati kalau belum bahagia. Tapi, apa lo pernah apresiasi diri lo sendiri dengan cara reward or treat yourself better?”

Tidak ada respon apa pun dari Jeongguk, baik kata-kata atau pun sekedar anggukan maupun gelengan.

“Belum, kan? Maka dari itu, biar gue yang lakuin semuanya buat lo. Walaupun cuma liburan sebentar, tapi setidaknya gue bakal berusaha bikin lo seneng. Katanya lo mau bahagia, kan? Tapi bahagia itu jangan dicari. Ciptain. Ciptain kebahagiaan lo sendiri. Dan gue di sini, bakal bantu lo sebisa gue.”

Taehyung menghentikan penuturannya sejenak untuk menggenggam erat tangan Jeongguk sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

“Inget, Gguk. Gue yang bakal memperlakukan lo dengan sebagaimana seharusnya manusia diperlakukan. Gak peduli lo siapa, gak peduli apa yang udah lo lakuin, gak peduli walau kita gak ada hubungan apa-apa. Pertama kali gue tau tentang lo, gue langsung ngerasa kalo lo itu tanggung jawab gue. Dan mulai saat ini, gue ada kewajiban atas lo, dan lo ada hak atas gue, meski kita cuma sebatas dosen dan mahasiswa.”

⚠️

“ARGHHH! FUCK YOU, JEON JUNGKOOK! FUCK YOU!”

“Oeekkk… Oeekkk…”

Suara teriakan seorang wanita dan bayi menangis saling bersahutan, memenuhi rumah mewah yang tidak tercium satu pun tanda-tanda kehidupan yang layak. Berantakan layaknya kapal pesiar yang baru saja menabrak gunung es. Gelap, tidak ada satupun penerangan yang menyala walau rembulan bersama bintang-bintangnya telah menyapa. Beberapa barang pecah belah berserakan di lantai. Sang pemilik rumah pun telah beberapa kali menginjak pecahan beling, namun ia abaikan, tidak peduli jika beling-beling tersebut bersarang di telapak kakinya dan sewaktu-waktu dapat membuatnya membusuk.

“DIAM KAMU BAYI SIALAN!”

Wanita yang tak lain tak bukan adalah Eliza itu berjalan cepat menuju kamar Josiah, putranya yang baru saja menginjak usia satu minggu. Bahkan, sekujur tubuh bayi tak berdosa tersebut masih memerah. Jika Josiah saat ini sudah dapat berbicara dan melihat, mungkin ia akan ketakutan setengah mati dan berteriak meminta tolong karena melihat kondisi ibunya yang sangat menyeramkan. Wajahnya lebam karena ia kerap kali meninjunya sendiri, tangan yang dipenuhi noda merah yang mengering karena luka sayatan, tubuh yang mulai mengurus, serta rambut acak-acakan yang bahkan nenek sihir pun masih terlihat jauh lebih baik.

“Kalau kamu gak bisa bawa ayah kamu balik ke sini, lebih baik kamu diam, anak setan!”

Eliza sungguh sudah tidak sadarkan diri ketika berucap seperti itu. Apa dia baru saja mengklaim dirinya bahwa ia adalah setan? Akan tetapi, sepertinya setan pun tidak sudi disandingkan dengan Eliza. Bagaimana tidak? Kini ia tengah mengangkat tubuh anak kandungnya sendiri dengan mencekik lehernya.

“Ayah kamu itu Taehyung, bukan Harry! Tapi ke mana sekarang ayahmu? Udah seminggu dia gak pulang, kamu tau?! Bisa gak kamu suruh ayah kamu pulang?” bentak Eliza sembari mengguncang-guncangkan tubuh Josiah, “BISA GAK!?”

Josiah yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa menangis. Wajahnya yang memerah mulai berubah agaknya menjadi sedikit lebih mengungu, bahkan menuju pucat. Bukannya merasa iba melihat putranya yang terlihat kesakitan itu, Eliza justru tertawa puas. Ia renggangkan cekikan di leher Josiah, kemudian ia peluk erat bayi tersebut. Tawanya yang menggelegar perlahan memudar.

“Utututu. Anakku jangan menangis. Sebentar lagi ayah kamu pulang, kok? Ya, kan? Hihihi…”

Dipeluk seperti itu tentu saja membuat Josiah semakin menangis karena kurangnya pasokan oksigen. Eliza benar-benar mendekap kepala anak lelakinya itu dengan erat di dadanya, tidak memberikan sedikit pun kesempatan untuk Josiah agar bisa bernapas. Mendengar tangisan bayinya, membuat emosi Eliza kembali membumbung tinggi. Ia menjauhkan kepala Josiah dari dadanya, kemudian menatap bayi bernasib naas tersebut dengan tatapan bak seorang psikopat.

“Dasar anak gak tahu diri. Udah dipeluk malah makin berisik. Mau kamu apa, hah!? Mau mati, iya?! Mau mati?” dihempasnya Josiah ke dalam box bayi miliknya, “JAWAB!!!”

Tentu saja Josiah hanya bisa menjawabnya dengan menangis dan terus menangis. Sial baginya dan beruntung bagi Eliza, rumah yang mereka tempati berjauhan dengan tetangga. Melihat putranya yang semakin tidak terkontrol tangisannya, Eliza pun tidak tahan lagi dan segera mencari-cari sesuatu untuk melancarkan aksinya.

Karena tidak kunjung menemukan yang ia inginkan, ia pun beranjak dari kamar Josiah menuju kamarnya bersama Taehyung. Diambilnya bantal yang terbilang cukup tebal yang biasa ia gunakan saat tidur, kemudian kembali ke kamar sang anak. Tanpa berkata apa-apa lagi, Eliza langsung membekap kepala Josiah dengan bantal tersebut hingga ia dapat melihat tubuh Josiah mengalami kejang. Hal tersebut tidak membuat Eliza menghentikan perbuatan kejinya. Ia justru semakin menekan bantal yang besarnya berkali lipat dari kepala anak kandungnya, sampai ia tak lagi mendengar tangisan Josiah dan tubuhnya berhenti mengejang.

“Nah, gitu dong. Mati.”

Question and Answer

Satu setengah jam telah berlalu. Taehyung masih berada di ruangannya, menjawab beberapa pertanyaan dari para mahasiswa kelas H yang silih berganti. Sejujurnya, ia senang jika mahasiswa-mahasiswanya aktif seperti sekarang. Namun, ini sudah melebihi limabelas menit dari waktu yang tertera di jadwal. Belum lagi rasa khawatirnya terhadap Jeongguk yang tiba-tiba menyergap dirinya.

“Baik, teman-teman. Untuk sesi tanya jawab saya berikan satu kesempatan lagi, ya. Karena ini sudah jam 10.30, sudah melebihi jadwal yang seharusnya. Saya persilahkan untuk satu mahasiswa lagi yang mau bertanya.”

Tidak butuh waktu lama, terlihat beberapa mahasiswa, khususnya perempuan, yang menyalakan fitur raise hand pada aplikasi Zoom masing-masing.

“Wah, banyak ya? Ada sepuluh orang. Daritadi yang nanya Kaum Hawa terus tapi. Ini yang Kaum Adam pada ke mana?” candanya, “Okay, saya pilih Im Nayeon saja kalau begitu. Silahkan.”

Yang disebut namanya pun tersenyum lebar dengan memamerkan gigi kelinci, kemudian menyalakan mic-nya, “Pak, saya masih bingung dengan norma yang berkontestasi. Boleh tolong jelaskan ulang, Pak? Sedikit saja.”

Taehyung berdeham, berusaha menyembunyikan rasa kesalnya yang perlahan mulai menguasai, “Tadi bukannya sudah ditanyakan oleh Yoo Jeongyeon? Atau memang penjelasan saya yang kurang jelas?”

“J-jelas, kok, Pak. Sayanya aja yang gak kunjung paham. Maaf.”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Memang sudah tugas saya untuk buat kalian sepaham mungkin. Saya berikan contoh supaya lebih mudah dimengerti,” tutur Taehyung seraya melirik sejenak ke arah pintu dan juga jam tangannya. Entah mengapa, ia merasa cemas berlebihan. Hatinya tidak tenang memikirkan Jeongguk, bahkan sampai berpengaruh pada mood-nya dalam mengajar. Yang biasanya terkesan bersahabat, kini terlihat seperti terburu-buru.

“Contoh norma yang berkontestasi itu bisa kita lihat dari peristiwa yang terjadi di Myanmar, alias isu diskriminatif terhadap Rohingya. Seperti yang sudah kalian ketahui, bahwa negara-negara Asia Tenggara memiliki prinsip non-intervensi yang lahir dari ASEAN Charter. Nah, ini merupakan salah satu contoh normanya, di mana negara-negara Asia Tenggara tidak diperbolehkan untuk ikut campur dengan urusan dalam negeri Myanmar, termasuk konflik tersebut. Sementara itu, negara-negara tetangga seperti Indonesia mengecam keras pemerintahan Myanmar yang telah melanggar Hak Asasi Manusia etnis Rohingya, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengirim bantuan, karena prinsip non-intervensi tadi itu. Jadi ibarat kata, hati nurani sebagai norma A, dan prinsip sebagai nomor B, saling bertolak belakang, sehingga inilah yang disebut dengan kontestasi norma.”

Nayeon di seberang sana terlihat mengangguk-angguk paham, “Oh, seperti itu, ya? Baik, Pak. Terimakasih banyak. Saya sudah mengerti sekarang.”

“Sama-sama, Nayeon,” ujar Taehyung seraya tersenyum, “Teman-teman yang lain sudah jelas, ya? Kalau masih ada yang ingin ditanyakan, bisa tanyakan di grup atau chat saya saja. Okay kalau begitu, saya akhiri kuliah sore ini-”

“Daddy…”

Belum selesai Taehyung menutup kelasnya, terdengar sebuah suara dari belakang yang ia tahu betul siapa pemiliknya. Ia pun menoleh ke sumber suara tersebut, dan mendapati Jeongguk yang sedang berdiri di ambang pintu.

“G- Gguk?”

Taehyung meneguk liurnya dengan susah payah. Panik, karena webcam komputernya masih menyala, bahkan mahasiswanya masih belum meninggalkan kelas. Saking paniknya, ia bahkan tidak sempat mematikan webcam, dan malah membiarkan Jeongguk mendekat dan duduk di pangkuannya.

Sial.

Jeongguk memeluk leher Taehyung dan membenamkan wajahnya di sana, “D- Daddy macih lama? Ggukie kecepian…”

Sungguh, Taehyung tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Kedua tangannya mengalami tremor dadakan. Saat menangani Jeongguk yang tengah ‘kumat’ di chat tempo lalu, terasa mudah baginya. Tapi sekarang, ia menghadapinnya secara langsung, bersama para mahasiswanya yang menyaksikan dari balik layar komputer dengan beragam reaksi, mulai dari terkejut hingga memekik gemas. Tanpa berkata apa-apa lagi, Taehyung langsung mengarahkan kursornya pada tanda X merah di pojok kanan atas layarnya, kemudian mengkliknya.

“Jeongguk-”

“Ih, akak Jeongguk-nya agi nda ada! Ini Ggukie tawuuu~” rengek Jeongguk, atau Ggukie, sembari mengeratkan pelukannya.

Taehyung masih berusaha untuk menenangkan dirinya. Sebenarnya, ia sudah yakin bahwa hal ini bisa saja terjadi kapan pun. Tapi ia tak menyangka jika Jeongguk akan berubah menjadi Ggukie di saat seperti ini. Dia tidak memikirkan reputasi dirinya yang bisa saja menjadi buruk setelah ini, karena yang ia takutkan hanyalah Jeongguk dan juga Ggukie akan berada dalam masalah besar. Taehyung tidak lupa bahwa pemuda di pangkuannya ini adalah anak seseorang yang terpandang, namun abusif di saat yang bersamaan.

“Ggukie,” panggil Taehyung dengan nada suaranya yang sangat lembut dan terdengar sangat mengayomi sembari mengusap-usap pelan punggung Ggukie, “Pindah ke kamar, yuk?”

Ggukie melepas pelukannya dan menatap Taehyung dengan antusias seraya bertepuk tangan kecil, “Ayooo, tapi endong, iaa? Ggukie tadi abic gambal-gambal, mawwu unjukin ke Daddy!”

FLY

“Hari ini lo ada kelas?” tanya Taehyung, membuka percakapan saat keduanya tengah menyantap sarapan.

“Ada, kelasnya Pak Gede. Abis ini, jam sembilan,” jawab Jeongguk seraya menatap Taehyung yang berada di seberangnya.

“Oh, Politik Pemerintahan Amerika Latin, ya?” tanya Taehyung lagi yang dijawab oleh Jeongguk dengan anggukan.

“Gue juga jam sembilan ini ngajar di kelas H,” sambung Taehyung, kemudian menghela napas, “Sayang banget, pengalaman pertama gue jadi pengajar harus lewat daring gini karena pandemi. Padahal pengen ketemu langsung sama anak didik gue”

Jeongguk terkekeh, “Sabar, ya, Bapak Kim Taehyung. Kan ini udah ketemu sama salah satunya.”

“Lebih tepatnya lagi salah dua. Lo sama Ryujin.”

Mendengar nama gadis yang belakangan ini membuatnya kesal disebut, membuat nafsu makan Jeongguk tiba-tiba menguap entah ke mana. Ayam betutu yang tidak pernah gagal menggugah seleranya, kini terasa tidak ada nikmat-nikmatnya sama sekali.

Dirinya pun bangkit dari duduknya, “Gue siap-siap mau kuliah dulu, deh.”

“Loh? Tapi ayamnya belum habis itu, Gguk.”

“Buat nanti siang aja.”

Jeongguk pun melenggang pergi dari ruang makan yang menyatu dengan dapur itu, meninggalkan Taehyung yang kebingungan dengan perubahan Jeongguk yang mendadak. Padahal, sejak bangun hingga sarapan tadi, Jeongguk terlihat jauh lebih baik dari tadi malam yang terlihat sendu. Auranya terasa menyejukkan, walaupun lebam di wajahnya masih di sana. Namun, Taehyung kembali melihat raut wajah Jeongguk yang agaknya murung saat meninggalkan sarapannya yang masih tersisa banyak tersebut. Taehyung pikir, mungkin Jeongguk hanya sedang mengalami mood swing.

Begitu selesai sarapan dan mencuci piring, Taehyung kembali ke kamarnya dan mendapati Jeongguk yang sedang bergelung dalam selimut hingga menutupi kepalanya, membuat Taehyung tertawa pelan karena gemas melihatnya. Ia pun mendekati mahasiswanya itu dan duduk di tepi ranjang.

“Katanya mau siap-siap kuliah. Kok malah tidur lagi, hm?”

Jeongguk yang sedang berkutat pada ponselnya pun sontak menyibakkan selimut karena terkejut mendengar kehadiran Taehyung. Kedua matanya membulat besar menatap dosennya tersebut. Lucu, batin Taehyung.

“Lo ngapain di sini!?”

“Lah, ini kan kamar gue? Wajar dong kalau gue ada di sini.”

Bodoh, rutuk Jeongguk dalam hatinya.

“M- maksud gue, lo udah selesai sarapannya?”

“Udah, Jeongguk. Ini gue mau siap-siap ngajar.”

“Lo kalo ngajar di mana?”

“Di ruangan sebelah kamar ini. Di situ tempat gue belajar, ngajar, kerja, dan hal-hal serius lainnya.”

“Oh, okay. Ya udah gih, sana.”

“Loh, kok ngusir?”

Taehyung kembali dibuat tertawa oleh ucapan dan gelagat Jeongguk yang terlihat seperti sedang salah tingkah. Ia mengusak rambut hitam legam Jeongguk yang terasa sangat halus sebelum beranjak dari sana, yang sukses membuat dirinya ingin berteriak saat itu juga. Namun ia tahan mati-matian karena ia pikir itu hanya akan merusak image-nya sebagai preman Denpasar.

“Oh iya,” Taehyung berbalik begitu dirinya menginjakkan kaki di ambang pintu, “Tau gak? Lo lucu juga, Gguk. Tapi pasti lebih lucu kalau gak dalam keadaan babak belur gitu. Jadi, jangan sampai babak belur lagi, ya?”

Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Jeongguk, Taehyung menutup pintu dan melangkah menuju ruang kerjanya, meninggalkan Jeongguk yang terdiam seribu bahasa dengan jantungnya yang berdegup kencang. Ia dapat merasakan wajahnya memanas.

“Brengsek,” makinya, “Zat adiktif macam apa ini? Kenapa dia lebih bikin ngefly daripada yang biasa gue konsumsi?!”

BLANKET

Taehyung hendak turun dari ranjangnya kala mendengar bel unit apartemennya terus berbunyi. Apalagi saat mengetahui bahwa pelakunya adalah kakak kandungnya, Seokjin beserta sang kakak ipar. Ponselnya juga terus berdering. Notifikasi pesan masuk silih berganti. Namun, Jeongguk yang berada di dalam dekapannya terus menggeleng dan melarangnya, bahkan sampai harus meremas ujung baju Taehyung.

“Jangan ke mana-mana, temenin gue di sini,” ujarnya.

Dengan begitu, Taehyung tidak dapat berbuat apa-apa selain menurut. Lagipula, ia juga merasa malas untuk bergerak. Enggan melepas pelukannya.

“Iya, iya. Tapi itu muka lo jangan dempet-dempet banget di dada gue. Apa gak sakit?”

“Dibilangin gue udah biasa bonyok begini.”

Taehyung tidak merespon apa-apa lagi, hanya diam sembari mengelus perlahan rambut Jeongguk.

Setelah Jeongguk menceritakan perihal tindakan ibu sambungnya yang abusif kepada Taehyung, pria Kim tersebut terdiam untuk beberapa saat, sebelum instingnya mengatakan bahwa Jeongguk membutuhkan tempat untuk bersandar. Maka, tanpa meminta persetujuan dari Jeongguk, Taehyung segera menariknya ke dalam pelukan. Taehyung pikir, mungkin Jeongguk akan mendorong lalu menamparnya dan mengatakan bahwa ia sudah sangat lancang sekali. Namun nyatanya, Jeongguk justru membalas pelukan itu dengan erat, bahkan hingga menangis.

Mereka pun berakhir di sini, berbalut selimut, dengan Jeongguk yang menjadikan lengan kanan Taehyung sebagai bantalan dan membenamkan wajah memarnya di dada dosennya tersebut, serta Taehyung yang melingkarkan satu tangannya di pinggang Jeongguk, sementara tangannya yang dijadikan bantalan oleh mahasiswanya itu sibuk mengelusi rambutnya.

“Jeongguk,” panggil Taehyung, membuat Jeongguk menengadah, “Lo gak risih kita kayak gini? Hmm, maksud gue-”

“Karena kita orang asing?” potong Jeongguk, “Enggak. Justru ini yang gue butuhin dari dulu. Rasa aman. Rasa nyaman. Gue juga gak tau kenapa, padahal ini pertama kalinya kita ketemu. Tapi gue nemu itu semua di lo. Gue tau, gak seharusnya gue percaya sama orang yang baru dikenal. Tapi, boleh gak sih, kalo gue percaya sama lo?”

Taehyung menatap Jeongguk cukup dalam, lalu tersenyum, “Boleh, tapi tetep dibatasin. Just, don’t expect too much, as well. Seperti yang lo bilang tadi, kita sama-sama orang baru di dalam kehidupan masing-masing. Tapi gue gak keberatan, karena gue juga bersedia buat lindungin lo sebisa gue.”

“Serius?” tanya Jeongguk tidak percaya dengan kalimat terakhir Taehyung. Kedua matanya berbinar, yang mampu membuat Taehyung seperti terjebak dalam tatapan Jeongguk itu.

“Serius,” jawab Taehyung sembari menyisiri rambut Jeongguk dengan jemarinya.

“Kenapa lo mau lindungin gue? Kalo lo cuma karena kasian ngeliat gue disiksa sama orangtua gue, di luar sana masih banyak yang lebih parah, bahkan anak-anak kecil. Kenapa lo gak lindungin salah satu dari mereka aja? Lo ngerti kan maksud pertanyaan gue?”

“Iya, ngerti. Kenapa gue mau-mau aja ngejagain lo padahal lo bukan siapa-siapa, padahal lo udah gede, padahal lo sering buat masalah, ya kan?” ucap Taehyung memastikan, yang mendapat anggukan dari Jeongguk, “Karena, ada peristiwa empat tahun lalu yang gak pernah gue kasih tau siapa-siapa, bahkan ke kakak gue sama suaminya yang notabenenya satu-satunya keluarga yang gue punya. Terus, lo ngechat gue pas lo lagi dalam keadaan little, ngebuat gue langsung keinget sama kejadian itu, walaupun lo gak ada sangkut pautnya sama sekali.”

Jeongguk mendengarkan jawaban Taehyung dengan seksama, kemudian mengangguk paham, “Sebenernya gue penasaran, tapi gue yakin lo pasti belum siap buat cerita.”

“Iya, Gguk. Kakak gue aja gak tahu. Nanti gue ceritain ke kalian kalo udah waktunya.”

Jeongguk kembali mengangguk, lalu tersenyum. Untuk pertama kalinya, Taehyung melihat senyuman Jeongguk yang ternyata- ah, Taehyung saja tidak dapat menggambarkannya. Di balik sosok Jeongguk yang terlihat gelap dan menyedihkan, ternyata ia menyimpan senyuman yang sangat menyejukkan hati. Bahkan, Taehyung saja sampai terpesona karenanya, dan menatap bilah bibir Jeongguk yang tipis tersebut. Terlebih lagi, di bawah bibirnya terdapat satu titik hitam yang semakin menambah kesan manis. Cantik. Hanya itu yang ada di pikiran Taehyung sekarang.

“Lo ngapain ngeliatin bibir gue?”

Pertanyaan Jeongguk membuyarkan lamunan Taehyung. Tidak, ia tidak memikirkan hal yang macam-macam. Ia hanya terpaku sesaat karena tidak menyangka, aura Jeongguk bisa langsung berubah seketika hanya dengan tersenyum.

“Senyuman lo bagus, Gguk. Sering-sering, ya?”

“Tiba-tiba banget?” Jeongguk menautkan kedua alisnya, “Lagian gue bakal sering senyum kalo ada yang bikin senyum, kali.”

“Gue yang bakal bikin lo senyum terus tiap hari.”

“A-apaan, sih!?” ditonjoknya perut pria yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu dengan pelan. Malu. Bahkan, Taehyung dapat melihat wajah Jeongguk memerah walaupun bercampur dengan lebam di pipi yang membiru.

Taehyung yang melihat hal tersebut pun terkekeh gemas, “Gak nyangka, ternyata seorang Jeon Jeongguk bisa blushing juga. Bisa clingy juga. Bisa manja juga. Bisa-”

“Diem gak lo?!” sela Jeongguk sembari menatap Taehyung dengan kedua maniknya yang membulat besar, berusaha terlihat setajam mungkin, tapi justru membuat Jeongguk semakin terlihat menggemaskan.

Taehyung pun mengusak rambut yang lebih muda, “Gemes.”

“Malesin, ah,” gerutu Jeongguk sembari berusaha menjauhkan dirinya dari Taehyung, “Pulangin aja gue ke rumah.”

“Jangan, belum aman,” larang Taehyung seraya menarik Jeongguk kembali ke dalam dekapannya, “Lo kenapa, sih, gak tinggal sendiri aja?”

Jeongguk yang semula merajuk, mulai kembali melunak saat merasakan usapan di pinggulnya. Ia sembunyikan wajahnya di ceruk leher Taehyung.

“Gue dari kecil terbiasa dikasih. Terbiasa minta. Jadi gue gak bakal bisa hidup sendiri. Mau kerja juga gak bakal ada yang nerima karena gue pernah punya catatan kriminal, lo pasti udah tau apa. Makanya gue bertahan di rumah, karena gue gak bisa apa-apa tanpa bokap.”

Entah untuk keberapa kalinya Taehyung dibuat terdiam dengan segala cerita Jeongguk. Ia sungguh tidak menduga bahwa ia akan bertemu dengan seseorang dengan kisah yang begitu kelam. Ia pikir, jalan hidupnya-lah yang sudah paling mengenaskan. Ternyata, masih ada yang lebih parah dari dirinya.

“Gue bakal bantu lo.”

Kali ini Jeongguk yang bungkam. Ia mengeratkan pelukannya. Sesekali mengusakkan hidungnya di ceruk leher yang lebih tua.

“Taehyung…”

“Hm?”

“Makasih.”

“Sama-sama, Jeongguk.”

“Lo mau gue panggil apa kalo lagi di luar kuliah? Mas? Kak?”

“Terserah lo aja.”

“Oke, gue pikirin dulu, sekalian membiasakan diri.”

PAIN

“Aaww- sakit, bego!”

“Udah pelan-pelan loh ini. Katanya suka balapan, tapi dikompres dikit kok kesakitan.”

Maka, Taehyung pun mendapat satu cubitan di lengan begitu kalimatnya selesai. Yang dicubit hanya terkekeh, tetap melanjutkan kegiatan mengompres pipi kiri Jeongguk yang lebam.

“Watak lo emang kayak gitu ya, Gguk? Walaupun ke yang lebih tua sekalipun?”

“Lo mau ngompres gue atau mau wawancara?”

Taehyung tertawa pelan, kemudian mencelupkan kain ke dalam air dingin di wadah yang terletak di nakas samping ranjang dan memerasnya, lalu kembali menekan-nekan pipi Jeongguk dengan perlahan, “Galak banget.”

Yang dikatai galak pun hanya memutar malas bola matanya, “Yaudah iya gue jawab, karena lo udah baik mau ngurus gue walaupun lo bukan siapa-siapa. Tapi sebelumnya, gue duluan yang mau nanya.”

“Apa, hm?” tanya Taehyung, menatap kedua netra Jeongguk lekat-lekat dengan satu alisnya yang terangkat.

“Biasa aja kali ngeliatinnya,” tutur Jeongguk sembari memperbaiki posisinya yang sedang setengah berbaring di ranjang dan duduk bersandar pada head bed, “Kenapa lo gak bawa gue ke rumah sakit atau klinik terdekat aja? Kenapa harus ke apartemen lo yang jauh ini?”

Taehyung yang saat itu sedang duduk di tepi ranjang, menghentikan aktivitasnya begitu mendengar pertanyaan Jeongguk. Ia letakkan kain yang ia genggam di nakas. Lalu ia hela napasnya.

“Karena gue tau, tadi lo lagi dalam kondisi ‘itu’. Dan gue yakin, lo pasti gak bakal suka dibawa ke rumah sakit, klinik, atau puskesmas. Anak-anak biasanya bakal rewel kalo dibawa ke tempat-tempat kayak gitu, kan?”

Jawaban dari Taehyung sukses membungkam Jeongguk untuk beberapa saat. Ia meneguk ludahnya dengan susah payah. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana bisa, pria di hadapannya yang bahkan bukan siapa-siapanya, lebih mengerti dirinya dibandingkan dengan orang-orang terdekat? Mengapa harus dosen barunya ini yang mengetahui rahasia yang ia simpan sendiri selama tiga tahun belakangan ini?

“Oh- okay,” Jeongguk mengangguk-angguk paham, “Gue mau nanya satu lagi. Lo emang kayak gini juga ke semua mahasiswa lo?”

“Kayak gini gimana? Sok akrab, sok ngerasa jiwa muda, gitu?” tanya Taehyung yang disambut Jeongguk dengan anggukan.

Taehyung berdeham, “Gue suka kalau deket sama anak didik gue. Gue pengen ngerangkul kalian. Gak ada sekat antara dosen-mahasiswa. Tapi, kalau lagi dalam ruang lingkup perkuliahan, gue tetep menomorsatukan tata krama dan sopan santun.”

“Kenapa?”

“Bukannya sombong, tapi gue S2 S3 di luar, jadinya terbiasa sama cara didik di sana. Gak ada istilah dosen selalu benar. Bener-bener terbuka sama mahasiswanya. Bahkan gak jarang kita hang out bareng. Dan gue pengen terapin itu di sini, setidaknya dimulai dari diri sendiri dulu.”

Jeongguk lagi-lagi hanya mengangguk, walau sebenarnya ia cukup terpukau dengan jawaban dosennya tersebut, “Menarik.”

Taehyung tersenyum, “Sekarang lo jawab pertanyaan gue.”

“Pertanyaan yang mana?” tanya Jeongguk dengan keningnya yang mengernyit sembari berusaha mengingat-ingat, “Oh, yang itu. Hmm, gimana ya? Gue emang kayak gitu. Kayak, ngapain sih gue harus respect sama orang, kalo orang aja gak ada yang hargain gue? Jangankan sama lo yang masih muda, sama yang lebih tua dari lo juga gue gitu. Kecuali dua orang.”

“Dua orang? Siapa?”

“Bokap sama nyokap tiri gue.”

Taehyung tertegun untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Jeongguk menginterupsi, “Kok diem?”

“Gguk,” Taehyung menggeser posisinya sedikit lebih maju dan mendekat pada Jeongguk, “Apa mereka yang udah bikin lo sampai kayak gini?”

Jeongguk tertawa pelan mendengar pertanyaan Taehyung, “Bukan urusan lo.”

“Oh, iya. Bener juga. Gue cuma agak khawatir, I guess? Sampe lupa kalo kita gak sedeket itu,” Taehyung tersenyum kikuk, “Ya udah, lo istirahat dulu di sini, ya? Pasti masih perih, kan? Gue mau lanjutin kerjaan. Kalo ada apa-apa ke ruangan sebelah atau hubungin gue aja.”

Taehyung baru saja hendak bangkit dari duduknya, namun urung kala Jeongguk tiba-tiba memegang pergelangan tangannya dengan erat.

“Nyokap tiri gue baru aja pulang dari luar kota. Gue disuruh jagain bokap biar gak main cewek lagi. Tapi pas tadi dia pulang, dia liat apa yang gak mau dia liat. Dan gue yang jadi sasarannya. Tapi gapapa, gue udah biasa.”