SNORKELING
Tamatlah riwayatmu wahai Kim Taehyung.
Kiranya begitulah yang ada di batin Taehyung begitu menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dinding yang selama ini ia biarkan bersih tanpa ada wallpaper, lukisan, atau pun pajangan lainnya, kini dihiasi oleh mahakarya Ggukie khas anak kecil yang sedang dalam proses belajar menggambar. Pasalnya, unit-unit di apartemen tempat tinggal Taehyung ini tidak diperbolehkan untuk dirombak atau didekorasi, termasuk dindingnya, kecuali jika sebelumnya sudah meminta persetujuan sang pemilik.
“D- Daddy… nda ceneng, iaa?”
Taehyung yang sedang sibuk memandangi lukisan Ggukie, terinterupsi oleh suara pemuda yang tengah ia gendong seperti koala itu. Dengan perlahan, ia bergerak turun dan duduk bersila, masih membiarkan mahasiswanya tersebut berada dalam dekapan dan duduk di pangkuannya.
Dielusnya rambut Ggukie dengan pelan, kemudian tersenyum, “Seneng, kok. Cuma, sedikit kaget karena gambaran kamu bagus banget, lebih bagus dari yang Ggukie foto waktu itu.”
Ggukie melepas pelukannya, lalu beralih mengalungkan lengannya pada leher Taehyung dan menatap kedua mata sang dosen dengan tatapan memelas, “Maapin Ggukie, Daddy. Taddi Ggukie cali-cali keltac tappi nda nemuuu. Ggukie cumma liat adda cepidol. Jaddi Ggukie ngelukicna di tembok…”
“Gapapa, Ggukie. Nanti bisa-” Taehyung terdiam sejenak, ragu untuk menyebut dirinya sendiri dengan sebutan yang Ggukie berikan untuknya, “Nanti bisa Daddy cat ulang, kok. Habis ini Daddy beliin Ggukie buku gambar sama pensil warna, ya?”
“Cungguh, Daddy!?” pekik Jeongguk dengan tatapan berbinar, “Aciiik! Maacih, Daddy Taehyungie. Daddy Taehyungie memang telbaik!”
“Sama-sama, Ggukie. Nah, sekarang Daddy minta kamu untuk cerita, ini di lukisan kamu ada siapa aja,” pinta Taehyung sembari mengusap-usap sayang punggung Ggukie.
Ggukie menoleh ke belakang, memandangi hasil karyanya, kemudian menyentuh satu per satu objeknya, dimulai dari kiri.
“Yang becal ini Daddy na Ggukie. Tappi bukan Daddy Taehyungie. Daddy acli na Ggukie yang adda di lumah. Teluc ini adda dedekna Ggukie, Ggukie, dan Mommy na Ggukie. Celecai, deh!” cerita Jeongguk, yang diakhiri dengan kekehan kecilnya.
Taehyung bungkam untuk beberapa saat. Ia memperhatikan lukisan Ggukie tersebut dengan seksama. Dan setelah ia perhatikan lebih dalam, ia baru sadar jika lukisan itu terkesan menyeramkan. Bagaimana tidak? Keempat objek yang ada di sana seperti digambarkan sedang gantung diri.
“Ggukie… ini kalian berempat lagi ngapain?” tanya Taehyung, berusaha untuk tetap terdengar setenang mungkin.
“Hmm, appa iaa itu namana? Ggukie lupa! Itu loh, Daddy, yang biacana cuka adda di pantai, yang bica belenang cambil liat-liat ikan.”
“Oh, snorkeling?”
“H-hah? Cenokeling? Iihh, Ggukie nda tawwu…”
Melihat Ggukie yang kebingungan dan menggerutu seperti itu hingga bibirnya mengerucut lucu, membuat Taehyung mencubit gemas kedua pipi yang lebih muda dan melupakan sejenak rasa penasarannya terhadap makna dari coretan-coretan spidol di dinding kamarnya tersebut.
“Kenapa gambar lagi snorkling, hm? Kamu suka, ya?”
Raut wajah Ggukie seketika berubah begitu mendapat pertanyaan tersebut dari Taehyung. Ekspresi yang semula terlihat menggemaskan, kini perlahan memudar dari wajahnya. Rahangnya mengeras dengan gigi yang gemeretak. Binar di matanya lenyap, digantikan oleh tatapan yang terasa kosong, namun menusuk di waktu yang bersamaan. Taehyung yang menyaksikan perubahan mendadak itu dan mengerti situasi serta mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya pun menangkup kedua pipi Ggukie seraya menatap kedua netranya lekat-lekat.
“Hey, Ggukie. Gapapa, okay? Tenang, ya?”
Ia tundukkan kepalanya sembari meremas kedua pundak Taehyung. Dapat ia rasakan bahwa kini dirinya dan dirinya yang lain sedang ‘bertemu’. Keduanya saling sahut menyahut, membuat pikirannya berkecamuk. Lalu, secara tiba-tiba, semuanya menghitam, gelap total. Ia tidak dapat melihat apa pun hingga beberapa saat, sampai akhirnya secercah cahaya muncul dari seberang sana dan berjalan mendekatinya.
“Akak Jeongguk…”
Terdengar suara anak laki-laki yang memanggilnya dengan lirih begitu keduanya saling berhadapan. Terdapat gelas kaca yang di dalamnya berisikan lilin di genggaman anak kecil tersebut, yang merupakan satu-satunya sumber cahaya di sana. Yang disebut namanya pun tersenyum dan berlutut, menyejajarkan wajah keduanya agar saling bertemu pandang.
“Ada apa, Dek Ggukie?”
Jeongguk menyentuh lengan Ggukie, yang tak lain tak bukan adalah dirinya ketika berusia lima tahun, kemudian mengusapnya dengan perlahan.
“Akak Jeongguk pelcaya cama Daddy Taehyungie?” tanya Ggukie.
Jeongguk pun mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ggukie, “Kenapa, hm?”
“Ggukie uga pelcaya cama Daddy Taehyungie. Dia baik, nda cepelti Daddy kita! Ggukie cayang cama Daddy Taehyungie. Akak uga haluc cayang cama dia, iaa? Ggukie yakin Daddy Taehyungie pacti bica jagain kita, Kak!” seru Ggukie sembari melompat-lompat kecil, pertanda ia sangat berantusias.
Jeongguk yang melihat hal tersebut pun terkekeh gemas, kemudian mencubit pelan hidung bocah di depannya itu, “Kalau Ggukie udah yakin kayak gini, Kak Jeongguk gak bisa bantah apa-apa.”
“Akak cetuju cama Ggukie? Kalau cetuju, tiup lilin ini, Kak.”
Maka, tanpa berkata apa-apa dan keraguan sedikit pun, Jeongguk meniup lilin tersebut yang membuat gulita kembali menyambutnya. Namun, hal itu tak berlangsung lama kala ia mendengar suara bariton yang memanggil-manggil namanya. Jeongguk membuka mata lalu menengadah, dan mendapati Taehyung di hadapan dengan dirinya yang tengah dipangku.
“M- maaf…” ucap Jeongguk seraya berusaha menyingkir dari pangkuan Taehyung.
“No,” cegah Taehyung, melingkarkan satu tangannya di pinggang Jeongguk, “Jangan minta maaf. Biasain aja, ya? Karena gue pasti juga bakal terbiasa.”
Jeongguk menunduk lagi sembari memainkan ujung bajunya, “Gu- gue bakal ganti rugi, kok. Nanti biar gue aja yang bayar biaya untuk ngecat ulang dinding lo.”
Taehyung menghela napasnya, kemudian mengapit dagu Jeongguk dengan telunjuk dan ibu jarinya agar ia kembali menengadah dan saling bertatapan, “Gak perlu, Gguk. Lagian gak bakal abis banyak, kok. Orang cuma sedikit gambarannya.”
Jeongguk yang masih malu dan tidak berani menatap Taehyung karena telah menunjukkan dirinya yang lain secara langsung, mengalihkan pandangannya dengan menoleh ke belakang untuk melihat gambar yang ia buat. Ia terdiam sejenak, kemudian disentuhnya salah satu objek yang tadi ia sebut sebagai ‘dedek’-nya.
“Dia meninggal lima tahun yang lalu. Waktu itu kita sekeluarga lagi di perjalanan ke Tanjung Benoa, mau snorkeling. Adek gue pengen banget ngeliat ikan-ikan di laut. Tapi gagal karena mobil kita kecelakaan duluan. Yang selamat cuma gue sama bokap, sementara dia sama nyokap tewas di tempat.”
Taehyung yang mendengar cerita Jeongguk tersebut pun terhenyak. Ia tidak menyangka bahwa pertanyaan yang ia ajukan pada Ggukie sebelum ia kembali menjadi Jeongguk akan dijawab olehnya. Terlebih lagi jawaban tersebut merupakan cerita duka, semakin membuat Taehyung tidak bisa berucap apa-apa. Ia juga tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut perihal kecelakaan dan juga adiknya. Takut jika hal itu hanya akan membuka luka lama.
“Gguk,” panggil Taehyung yang membuat Jeongguk beralih dari lukisannya dan menatap Taehyung kembali, “Apa yang bikin lo masih sanggup bertahan sampai sekarang?”
Jeongguk terkekeh mendengar pertanyaan tersebut, “Gue mau cari kebahagiaan dulu, karena gue gak mau mati dalam keadaan yang menyedihkan begini.”
Mendapat jawaban seperti itu, Taehyung pun tersenyum dan mengangguk-angguk setuju. Tidak ada lagi percakapan yang tercipta. Keduanya terjebak dalam keheningan, saling menatap satu sama lain. Seolah terhipnotis oleh manik Jeongguk yang nampak jauh lebih cantik jika dilihat dari dekat seperti ini, membuat Taehyung mendekatkan wajah pada pemuda yang masih setia duduk di pangkuannya itu dan memiringkan kepalanya. Namun, begitu melihat Jeongguk memejamkan matanya dan ia teringat akan sesuatu, Taehyung pun mengurungkan niat dan menjauhkankan wajahnya.
“Jeongguk.”
Yang dipanggil pun membuka matanya. Wajahnya memerah padam. Jantungnya berdegup kencang.
‘Udah deg-degan gini, ternyata gak jadi’ batin Jeongguk.
“Tiba-tiba, gue kepikiran buat ngajak lo snorkeling. Tapi pasti lo gak mau karena bakal bikin lo keinget sama itu, kan?”
“Gue gak trauma, kok. Lagian, gue emang hobi water sport. Bisa sebulan bahkan seminggu sekali ke Benoa. Tapi itu dulu, sebelum rentetan kejadian gak ngenakin muncul satu per satu, dan bikin gue beralih hobi ke balapan.”
“Kalau gitu, ayo kita ke Nusa Penida besok?”
“Eh? Tapi kenapa? Kok tiba-tiba banget?”
“You’ve been through a lot these past years, Gguk.”
“Terus?”
“Dan lo masih kuat sampai detik ini dengan alasan gak mau mati kalau belum bahagia. Tapi, apa lo pernah apresiasi diri lo sendiri dengan cara reward or treat yourself better?”
Tidak ada respon apa pun dari Jeongguk, baik kata-kata atau pun sekedar anggukan maupun gelengan.
“Belum, kan? Maka dari itu, biar gue yang lakuin semuanya buat lo. Walaupun cuma liburan sebentar, tapi setidaknya gue bakal berusaha bikin lo seneng. Katanya lo mau bahagia, kan? Tapi bahagia itu jangan dicari. Ciptain. Ciptain kebahagiaan lo sendiri. Dan gue di sini, bakal bantu lo sebisa gue.”
Taehyung menghentikan penuturannya sejenak untuk menggenggam erat tangan Jeongguk sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.
“Inget, Gguk. Gue yang bakal memperlakukan lo dengan sebagaimana seharusnya manusia diperlakukan. Gak peduli lo siapa, gak peduli apa yang udah lo lakuin, gak peduli walau kita gak ada hubungan apa-apa. Pertama kali gue tau tentang lo, gue langsung ngerasa kalo lo itu tanggung jawab gue. Dan mulai saat ini, gue ada kewajiban atas lo, dan lo ada hak atas gue, meski kita cuma sebatas dosen dan mahasiswa.”