aphrodita

NEGATIF

“Baik kalau begitu. Saudara Jeon Jungkook kami nyatakan bebas dan tidak terbukti bersalah atas dugaan percobaan pembunuhan. Terimakasih atas kerjasamanya. Kami dari pihak kepolisian memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahpahaman yang terjadi.”

Jungkook tidak merespon apa pun, baik dengan kata-kata, ekspresi, atau gesture tubuh. Ia langsung bangkit dari duduknya dan beranjak dari ruang pemeriksaan, meninggalkan Yugyeom, Taehyung, Eliza, dua petugas keamanan apartemen, dan dua polisi yang bertugas di sana. Segera setelah Jungkook dibawa ke kantor polisi oleh dua petugas tersebut, Taehyung, Yugyeom, dan Eliza segera menyusulnya untuk memberikan kesaksian. Entah karena merasa bersalah atau takut Jungkook akan melakukan hal yang lebih nekat lagi, Taehyung dan Eliza yang sempat berlaku kejam pada Jungkook, bersedia untuk memberikan keterangan tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Tempat Kejadian Perkara. Lagipula, para polisi juga tidak melihat ada tindakan Jungkook yang mengancam nyawa orang lain di CCTV. Mereka justru menyaksikan bagaimana Jungkook memaksa ketiga orang itu untuk membunuhnya.

“Jungkook!” panggil Taehyung sembari berlari kecil ke arah Jungkook yang disusul oleh Eliza dan Yugyeom, “Tunggu!”

Jungkook menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu kantor polisi, kemudian berbalik dan mendapati ketiganya sudah berada di hadapannya, “Ya?”

“Kook, aku gak nyangka kalau bakal jadi kayak gini. Anggep aja pembelaan kita tadi sebagai permintaan maaf ke kamu. Aku tahu kamu gak mungkin maafin aku gitu aja. Tapi, aku sama Eliza cuma mau hidup dengan tenang selepas ini. Kita gak mau hidup dalam bayang-bayang rasa penyesalan.”

Ingin rasanya Jungkook tertawa lagi. Apa kata Taehyung tadi? Hidup dengan tenang? Bagaimana bisa dia menginginkan kehidupan yang tenang setelah hampir membuat Jungkook kehilangan akal sehat? Bahkan di saat seperti ini pun mereka masih mementingkan kepentingan pribadi?

“Tenang aja. Aku udah maafin kalian. Aku gak akan bales dendam atau semacanya karena aku udah gak mau berurusan lagi sama kalian berdua. Biar Tuhan yang melakukannya. Jadi aku mohon, apapun yang terjadi di masa depan, jangan pernah muncul di depanku lagi untuk minta bantuan atau mohon-mohon, apalagi berlutut, bersujud, atau bahkan sampai cium kedua kakiku, karena aku gak akan terperangkap di neraka yang sama untuk kedua kalinya.”

“Kamu kok ngelunjak? Udah bagus mau kita belain tadi, malah gak tau terimakasih kayak gini. Siapa juga yang mau cium kedua kaki kamu? Lebih baik aku cium kaki anjingku, tau gak? Udah ah, Taehyung, ayo kita pergi!”

Eliza baru saja memegang pergelangan tangan kiri Taehyung dan hendak menariknya keluar dari kantor polisi, namun terhenti karena tiba-tiba ia merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. Wanita tersebut meringis sembari mencengkram pergelangan tangan Taehyung dan memegangi perut besarnya itu. Cairan merah segar terlihat mengalir indah di tungkai jenjangnya yang tidak tertutup karena ia mengenakan daster ibu hamil selutut dan menodai ubin kantor polisi yang berwarna putih gading itu. Jungkook dan Yugyeom sempat terkejut, akan tetapi ia lebih memilih acuh dan membiarkan itu menjadi urusan Eliza dan Taehyung. Eliza mengaduh kesakitan, bahkan sampai berteriak minta tolong.

“L- Liz? Kamu- kamu kenapa?” tanya Taehyung panik sembari memapah Eliza yang hampir terjatuh.

“A-ah… aku- aku kayaknya mau melahirkan, Taehyung. Ayo cepet… uuhh- sakit!”

Taehyung tidak lagi bertanya dan segera membopong Eliza keluar dari tempat tersebut dan beranjak ke area parkir. Walau sebenarnya, Taehyung sempat bingung, bukankah seharusnya Eliza melahirkan dua bulan lagi? Tapi Taehyung tidak mau membuang-buang waktu dengan memikirkan hal tersebut. Mungkin, anaknya akan lahir secara prematur, pikirnya. Maka, keduanya pun kini sudah berada di dalam mobil dan melaju menuju rumah sakit.

Sementara itu, Yugyeom dan Jungkook, masih di tempat yang sama-

“Jungkook, gue minta maaf dan gue nyesel udah khianatin persahabatan kita. Gue bakal resign dari pekerjaan gue, bakal keluar dari group chat, bakal jauhin kalian untuk introspeksi, dan gue gak bakal muncul di hadapan lu kecuali lu yang minta. Tapi, Kook, sebelum gue pergi dari kehidupan lu, gue mau nanya sesuatu,” tutur Yugyeom, “Gue tadi ke apart lu buat liat keadaan lu, karena kata Mingyu, lu minta tolong ke dia buat beliin testpack. Jadi, hasilnya gimana?”

Tanpa berpikir panjang dan juga dengan wajah datarnya, Jungkook menjawab, “Negatif.”

Ya, Jungkook sudah memutuskan untuk tidak memberitahukan kehamilannya pada siapa pun, termasuk Taehyung. Ia tahu bahwa perpisahannya itu sesungguhnya tidak sah di hadapan Tuhan karena ia diceraikan di saat sedang hamil, tapi ia memilih abai karena ia sudah tidak sanggup lagi untuk mempertahankan apa pun, kecuali bayi di dalam kandungannya.

PUTU

Jeongguk baru saja hendak mengeluarkan BMW S 1000 RR race bike miliknya dari garasi, namun urung begitu mendengar suara tangisan anak kecil. Ia pun turun dari motor balapnya tersebut, lalu berjalan menghampiri sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia begitu melihat sosok bocah perempuan yang diperkirakan berusia lima tahun sedang meringkuk di depan pagar rumahnya malam-malam seperti ini. Bahunya naik turun karena sesenggukan. Jeongguk pun berlutut dan mengelus perlahan rambut gadis itu.

“Halo, cantik? Kamu kenapa malem-malem gini sendirian di sini? Kok nangis? Orangtua kamu mana?” tanya Jeongguk dengan nada bicaranya yang sangat lemah lembut, berbanding terbalik dengan penampilannya yang terlihat sangar dengan anting di telinga, tindik di lidah, dan tato yang menutupi hampir seluruh telapak tangan kanannya.

Gadis tersebut pun mengangkat kepalanya. Walaupun bermandikan gulitanya langit malam, penerangan dari lampu jalanan masih mampu memperlihatkan bagaimana sembabnya kedua mata itu, yang sukses membuat Jeongguk tidak tega. Apalagi saat anak perempuan itu menghamburkan diri ke dalam pelukan Jeongguk. Ia pun kasihan dibuatnya.

“H-hiks… Papi cama Mami na Putu teliak-teliak di lumah… Hiks… Putu atut, Kak~”

Jeongguk mengusap-usap dengan pelan punggung bocah tersebut, “Jangan takut, Putu. Ada Kak Gguk di sini, okay? Kakak anter ke rumah kamu, ya? Nanti kakak suruh Papi Mami Putu supaya gak teriak-teriak lagi.”

“Putuuu!”

Begitu mendengar teriakan dari seorang pria dewasa dari seberang jalan sana, Jeongguk segera melepas pelukan itu dan menoleh ke asal suara. Pria tersebut berlari menghampiri Jeongguk dan Putu yang kini sedang menggenggam erat pergelangan tangannya, pertanda ia sedang ketakutan. Jeongguk pun mengusap punggung tangan Putu untuk menenangkannya, kemudian menatap kedua netra yang menyiratkan kekhawatiran itu.

“Putu! Astaga, Sayang. Maafin Papi, Nak.”

Jeongguk dapat melihat pria dewasa yang menyebut dirinya sebagai papi dari anak kecil itu langsung membawa sang anak ke dalam gendongannya dan memeluknya erat, kemudian menghujani pucuk kepalanya dengan beberapa kecil.

“Pulang sama Papi, ya? Papi janji gak akan marahin Mami lagi.”

Jeongguk yang melihat hal tersebut pun bangkit, lalu tersenyum. Bukan, bukan senyuman penuh haru atau semacamnya. Melainkan senyum yang memancarkan rasa sakit dan pahitnya kehidupan. Menyaksikan pemandangan di hadapannya ini membuat sesuatu dalam dirinya bergejolak. Ia pun berusaha mati-matian agar sesuatu itu tidak menguasai dirinya dalam keadaan seperti ini.

“Putu, pulang sama Papi kamu, okay?” ucap Jeongguk sembari menepuk-nepuk pelan pundak Putu yang tidak lagi terdengar suaranya, kemudian menatap pria di hadapannya itu, “Om, lain kali kalau berantem sama istri, jangan di depan anak. Rawat dan didik anak Om dengan tepat, biar gedenya gak jadi kayak saya.”

Setelah berucap seperti itu, Jeongguk segera berlari masuk rumahnya, meninggalkan pagar yang masih terbuka dan juga Putu beserta Papinya yang masih berdiam diri di luar sana.

PUTU

Jeongguk baru saja hendak mengeluarkan BMW S 1000 RR race bike miliknya dari garasi, namun urung begitu mendengar suara tangisan anak kecil. Ia pun turun dari motor balapnya tersebut, lalu berjalan menghampiri sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia begitu melihat sosok bocah perempuan yang diperkirakan berusia lima tahun sedang meringkuk di depan pagar rumahnya malam-malam seperti ini. Bahunya naik turun karena sesenggukan. Jeongguk pun berlutut dan mengelus perlahan rambut gadis itu.

“Halo, cantik? Kamu kenapa malem-malem gini sendirian di sini? Kok nangis? Orangtua kamu mana?” tanya Jeongguk dengan nada bicaranya yang sangat lemah lembut, berbanding terbalik dengan penampilannya yang terlihat sangar dengan anting di telinga, tindik di lidah, dan tato yang menutupi hampir seluruh telapak tangan kanannya.

Gadis tersebut pun mengangkat kepalanya. Walaupun bermandikan gulitanya langit malam, penerangan dari lampu jalanan masih mampu memperlihatkan bagaimana sembabnya kedua mata itu, yang sukses membuat Jeongguk tidak tega. Apalagi saat anak perempuan itu menghamburkan diri ke dalam pelukan Jeongguk. Ia pun kasihan dibuatnya.

“H-hiks… Papi cama Mami na Putu teliak-teliak di lumah… Hiks… Putu atut, Kak~”

Jeongguk mengusap-usap dengan pelan punggung bocah tersebut, “Jangan takut, Putu. Ada Kak Gguk di sini, okay? Kakak anter ke rumah kamu, ya? Nanti kakak suruh Papi Mami Putu supaya gak teriak-teriak lagi.”

“Putuuu!”

Begitu mendengar teriakan dari seorang pria dewasa dari seberang jalan sana, Jeongguk segera melepas pelukan itu dan menoleh ke asal suara. Pria tersebut berlari menghampiri Jeongguk dan Putu yang kini sedang menggenggam erat pergelangan tangannya, pertanda ia sedang ketakutan. Jeongguk pun mengusap punggung tangan Putu untuk menenangkannya, kemudian menatap kedua netra yang menyiratkan kekhawatiran itu.

“Putu! Astaga, Sayang. Maafin Papi, Nak.”

Jeongguk dapat melihat pria dewasa yang menyebut dirinya sebagai papi dari anak kecil itu langsung membawa sang anak ke dalam gendongannya dan memeluknya erat, kemudian menghujani pucuk kepalanya dengan beberapa kecil.

“Pulang sama Papi, ya? Papi janji gak akan marahin Mami lagi.”

Jeongguk yang melihat hal tersebut pun bangkit, lalu tersenyum. Bukan, bukan senyuman penuh haru atau semacamnya. Melainkan senyum yang memancarkan rasa sakit dan pahitnya kehidupan. Menyaksikan pemandangan di hadapannya ini membuat sesuatu dalam dirinya bergejolak. Ia pun berusaha mati-matian agar sesuatu itu tidak menguasai dirinya dalam keadaan seperti ini.

“Putu, pulang sama Papi kamu, okay?” ucap Jeongguk sembari menepuk-nepuk pelan pundak Putu yang tidak lagi terdengar suaranya, kemudian menatap pria di hadapannya itu, “Om, lain kali kalau berantem sama istri, jangan di depan anak. Rawat dan didik anak Om dengan tepat, biar gedenya gak jadi kayak saya.”

Setelah berucap seperti itu, Jeongguk segera berlari masuk rumahnya, meninggalkan pagar yang masih terbuka dan juga Putu beserta Papinya yang masih berdiam diri di luar sana.

⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️

“Ayo kita pakai elevator satunya lagi aja, Sayang.”

Sayang.

Satu panggilan yang biasa ia gunakan bersama Taehyung, kini terasa seperti sedang berusaha untuk merusak gendang telinganya begitu Jungkook mendengar panggilan itu disebut oleh wanita lain.

Taehyung dan Eliza baru saja hendak berbalik, namun berhenti begitu suara Jungkook yang bergetar terdengar, “Tunggu.”

Jungkook melangkah keluar dari elevator, mendekati dua sosok yang sebetulnya tidak ingin ia temui lagi ini. Ia dapat melihat bagaimana Eliza menggenggam Taehyung begitu erat, seperti apa yang biasa ia dan Taehyung lakukan. Jungkook tersenyum pahit, kemudian menatap Eliza sebentar, lalu Taehyung.

“Mau apa lagi? Inget, kita udah gak ada hubungan apa-apa. Kita udah pisah. Tinggal tunggu resmi nanti di pengadilan,” ketus Taehyung, “Kamu mau apa? Harta? Tenang aja, kamu akan tetep dapet bagiannya. Unit apartemen itu juga udah balik nama atas nama kamu, kok. Udah aku beli lunas, gak sewa lagi, jadi kamu gak perlu pusing mikirin gimana cara bayarnya.”

Belum kering luka di hati tadi pagi, kini Taehyung kembali menggoreskan luka baru dengan menganggap semua cinta dan derita Jungkook dapat dibayar dengan harta. Jungkook berusaha untuk setegar mungkin. Senyuman di wajahnya tidak luntur, tetap ada di sana. Namun bibirnya nampak bergetar. Matanya berkaca-kaca.

“Jujur, Taehyung. Aku gak butuh apa-apa dari kamu. Aku cuma mau kamu untuk selalu ada buat aku. Awalnya, aku tetap akan bertahan di samping kamu walaupun kamu selingkuh. Tapi begitu tau kalau selingkuhan kamu hamil, aku lebih memilih untuk mengalah,” tutur Jungkook, “Karena aku mengerti, anak kalian pasti lebih membutuhkan kamu ketimbang aku yang gak bisa ngasih kamu anak, ya kan? Bayi yang ada di kandungan itu juga gak salah apa-apa. Jadi aku gak mau egois dan memutuskan untuk ikhlasin kamu pergi dari hidupku. Toh, anak kalian udah lebih dulu ada sebelum pernikahan kita.”

“Udah bicaranya? Kalau begitu permisi, aku sama Taehyung harus ke dokter kandungan.”

Eliza melangkah maju sedikit, menekan tombol elevator yang menunjukkan anak panah ke bawah.

Ting!

Pintu elevator pun terbuka dan menampilkan satu lagi sosok yang Jungkook tidak pernah duga akan hadir di momen yang tidak tepat seperti ini.

“Yugi?”

Yugyeom tampak sedikit terkejut kala melihat Jungkook tidak sendirian di sana. Seingatnya, unit Jungkook dan Taehyung berada di satu lantai selanjutnya.

“Lu ngapain di sini sama mereka, Kook?” tanya Yugyeom begitu ia melangkah keluar, dan kembali terkejut mendapati Eliza dan Taehyung yang bersandingan dengan mesra, “Ini maksudnya apaan?”

“Gua sama sahabat lo ini udah cerai, Yugyeom. Sekarang, lo bisa ambil bekas gua itu. Udah gak kepake juga. Gak perlu lagi lo diem-diem pasang kamera pengintai di kamar dia terus lo nikmatin tubuhnya dari jarak jauh,” ujar Taehyung, datar.

Jungkook dapat merasakan dunianya runtuh seketika begitu mendengar untaian kalimat Taehyung yang sangat sadis. Bekas. Sudah tidak terpakai. Apalagi saat Taehyung mengatakan satu fakta yang baru saja ia ketahui, bahwa Yugyeom pernah melecehkannya.

“Yu- Yugi…”

“Jungkook, gue bisa jelasin. Gue gak berniat untuk jadiin lu fantasi seksual gue atau semacamnya. Gue masang kamera di kosan lu dulu karena gue cuma pengen jagain lu aja.”

Taehyung terkekeh, “Bullshit.”

“MAU LU APA ANJING!?”

Yugyeom kepalang emosi. Ia langsung menerjang tubuh Taehyung hingga punggung pria Kim tersebut membentur dinding cukup keras. Dicengkramnya kerah kemeja Taehyung. Membuat tubuh mantan suami sahabatnya itu sedikit terangkat.

Yugyeom menatap Taehyung dengan nyalang dan napasnya yang memburu, “Lu bilang sama gue, lu gak bakal jalanin rencana itu lagi. Tapi apa sekarang? Hah? Apa, Bangsat?”

Satu bogeman mentah mendarat di perut Taehyung yang sanggup membuatnya sedikit terbatuk. Eliza yang melihat peristiwa tersebut pun mundur dan sedikit menjauh, mengingat ia sedang hamil besar. Sementara Jungkook, ia merasa sangat pusing melihat Yugyeom yang terus berteriak dan menghajar Taehyung. Belum lagi kata-kata Yugyeom soal ‘rencana’. Ia ingin mengikuti jejak Eliza yang menjauh, namun urung karena ia harus melerai pertikaian ini dan menanyakan tentang rencana apa yang Yugyeom maksud.

“Rencana apa?”

Taehyung dan Yugyeom menoleh ke sumber suara yang terdengar seperti orang kehilangan arah tersebut, membuat Yugyeom melepas cengkramannya pada Taehyung, kemudian mendekat pada Jungkook. Begitu hendak menyentuh pundaknya, Jungkook langsung menepis tangan Yugyeom.

“Rencana apa, Kim Yugyeom?” tanya Jungkook, dengan intonasi dan nada yang tidak menunjukkan emosi apa pun.

“Rencana aku dan Taehyung yang menggunakan kamu sebagai selingan agar kita bisa menikah lagi,” jawab Eliza mengambil alih, kemudian berjalan mendekati Yugyeom dan Jungkook, “Sewaktu Taehyung masih di Florida karena aku kecelakaan, kita udah sepakat untuk menikah kembali. Tapi karena kita udah nikah cerai tiga kali, jadi mau gak mau aku sama Taehyung harus nikah sama orang lain dulu tiga bulan, baru itu kita bisa sama-sama lagi. Jadi sebenernya, Taehyung kembali ke sini itu bukan untuk kamu, tapi untuk aku.”

Jungkook menoleh pada Taehyung, “Apa itu benar, Tae?”

“Awalnya memang begitu. Tapi seiring berjalannya waktu, aku gak bohong kalau aku bilang aku beneran cinta sama kamu. Kamu bisa tanya sama Eliza, aku sempat mau membatalkan rencana itu. Aku juga menikahi kamu sungguh-sungguh. Tapi aku juga pria normal yang ingin punya anak kandung, Jungkook.”

Keheningan tercipta. Tidak ada yang membuka suara sama sekali. Semua menunggu reaksi Jungkook. Sampai beberapa detik kemudian, Jungkook pun merespon. Namun, respon yang ia berikan sungguh berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan oleh ketiga orang lainnya di sana.

Tidak ada isakan apalagi tangisan. Yang terdengar justru tawa Jungkook yang menggelegar. Tawa yang sama sekali tidak terkesan lucu sebagaimana yang biasa Jungkook berikan. Tawanya terdengar sangat memekakkan telinga. Terkesan menyeramkan di pendengaran, namun di satu sisi dapat membuat siapa pun yang mendengarnya merasa iba.

“Setelah menghilang enam bulan, terus Taehyung dateng lagi ke Korea dengan rencana busuknya. Bahkan mantan istrinya udah hamil, terus Jungkook dinikahin, abis itu diselingkuhin, digugat cerai. Sekarang malah ditambah Yugyeom yang udah Jungkook anggep sahabat, ternyata diem-diem pernah jadi penguntit dan melakukan pelecehan? Hahaha. Lucu.”

Jungkook bermonolog dan berjalan mundur sembari menatap Eliza, Taehyung, dan Yugyeom satu per satu secara bergantian. Ketiganya cukup takut melihat Jungkook yang tiba-tiba bertingkah seperti orang tidak waras. Apalagi saat Jungkook mengambil kapak yang biasa digunakan untuk menghancurkan kaca pelindung alat pemadam kebakaran yang terpajang di dinding, lalu berjalan cepat ke arah Eliza. Wanita itu pun terhenyak, namun kakinya terasa sangat sulit digerakkan untuk sekedar lari dari Jungkook yang terlihat seperti ingin membunuhnya.

“BUNUH AKU, ELIZA! BUNUH!!”

Jungkook berteriak tepat di wajah Eliza sembari memaksanya untuk memegang kapak tersebut. Yang diteriaki tentu saja ketakutan. Ia memejamkan matanya. Kapak itu pun tidak berani ia pegang.

Jungkook menoleh pada Taehyung dan Yugyeom yang tercekat di tempat, “KENAPA KALIAN SEJAHAT ITU SAMA AKU? AKU ADA SALAH APA SAMA KALIAN? KALIAN ITU SAMA AJA BUNUH AKU PERLAHAN! KENAPA GAK SEKALIAN AJA PENGGAL KEPALAKU?”

Jungkook melangkah menjauh dari Eliza dan mendekati Taehyung, mengacungkan kapak merah tersebut tepat di wajahnya, “Ini yang kamu mau, kan? Kamu mau aku mati? Lakuin sekarang, Taehyung. Lakuin!”

“J- Jungkook...”

“Apa? Mau minta maaf? Nyesel? Basi, Taehyung.”

Tidak mendapat respon lagi dari Taehyung yang masih belum bisa mencerna apa yang tengah terjadi saat ini, Jungkook mendekat ke arah Yugyeom, memegang tangannya, lalu menyerahkan kapak tersebut.

“Yugyeom sahabat terbaik Jungkook, kan? Kalau gitu ayo, Yugyeom. Akhiri penderitaan Jungkook. Buat apa Jungkook hidup tapi dikelilingi orang-orang jahat yang padahal Jungkook sayang banget? Mending Jungkook nyusul ayah bunda.”

“Berhenti! Jatuhkan kapak itu sekarang juga!”

Belum sempat Yugyeom bereaksi, tiba-tiba terdengar suara pria dewasa dari ujung koridor sana yang membuat mereka menoleh ke sumbernya. Dua petugas keamanan berlari menghampiri mereka. Yugyeom pun melempar jauh kapak yang ia genggam ke sampingnya.

“Kami melihat kejadian ini melalui CCTV,” kata salah satu petugas, “Dan Anda, Saudara Jeon Jungkook, kamar 1029, anda ikut kami ke kantor polisi.”

HELLEVATOR

Entah sudah berapa jam Jungkook bergelung dalam selimut, menelan semua pahitnya kenyataan, sendirian, tak bertemankan oleh siapa pun, termasuk satu-satunya tempat bergantungnya yang tak lain tak bukan adalah sang suami. Jikalau seorang istri pada umumnya selalu ditemani oleh suaminya ketika sedang mengalami gejala awal kehamilan, maka hal tersebut tidak berlaku bagi Jeon Jungkook. Ia merasakan betapa sakit dan tidak enaknya kondisi tubuhnya saat ini. Mual, perut kram, pusing, dan sebagainya. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan luka di hatinya yang menganga lebar akibat sayatan demi sayatan yang ditorehkan oleh belahan jiwanya, Taehyung.

“Taehyung…”

Mungkin sudah keseribu kalinya Jungkook menyebut nama itu dengan lirih sejak ia mengetahui bahwa suaminya bermain gila di belakangnya. Tatapannya kosong. Tidak ada satu tetes pun buliran kristal yang keluar dari kedua manik yang sebelumnya indah, kini berubah menjadi seperti tidak ada lagi harapan yang terpancar. Kelenjar air matanya seolah-olah tidak mau bekerja, pun dengan organ tubuhnya yang lain. Mati rasa.

Sedari pagi hingga menjelang petang, Jungkook terus seperti ini. Tidak ada pergerakan, tidak ada suara kecuali ‘Taehyung’ ‘Taehyung’ dan ‘Taeyung’. Sampai akhirnya ia tersadar, bahwa ia tidak boleh terus menerus terpuruk. Ia harus bangkit. Karena dirinya tidak lagi menghidupi diri sendiri, melainkan ada satu kehidupan lainnya di sana yang harus ia pertahankan.

“Sayang, maafin Papa…”

Jungkook menoleh ke bawah, mengusap pelan perut ratanya. Ia sudah sempat putus asa. Namun begitu mengingat hasil cintanya dengan Taehyung yang bahkan belum berusia satu bulan, seketika secercah cahaya untuk melanjutkan kehidupan kembali meneranginya. Ia tidak boleh menyerah dengan keadaan. Ia harus berjuang demi sang buah hati, walaupun harus berdiri di kaki sendiri sekali pun.

“Temenin Papa, ya? Kita jalanin semuanya berdua aja gapapa kan, Nak? Papa yakin kamu akan jadi anak yang tangguh, walau tanpa figur Ayah sekali pun.”

Jungkook tersenyum. Hatinya sedikit lega ketika menyadari bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia hampir gila karena mengetahui bahwa sosok yang ia cintai sampai mati itu tega meninggalkannya dan memilih yang lain. Ia hampir gila karena mengira dirinya akan kembali menderita sendirian lagi. Tapi bagaikan datang di waktu yang tepat, malaikat kecil itu hadir untuk menemani Jungkook.

“Kita ke rumah kakek sama nenek kamu, yuk? Papa mau jenguk, sekalian ngenalin kamu ke mereka. Udah malem sih, tapi gapapa. Papa gak sabar mau kasih kabar bahagia ini ke kakek nenek.”

Jungkook menyingkirkan selimut yang membalutnya, lalu bangkit dan turun dari kasur. Ia berjalan mendekati cermin dan menatap pantulan dirinya di sana. Terlihat kacau sekali. Rambut berantakan, wajah dan bibir yang pucat pasi, bahkan hampir meng-ungu, dan terlihat seperti mayat hidup. Kemudian ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, lalu tersenyum.

“Harus kuat, Kook. Demi anak kamu.”

Jungkook pun mengambil sisir dan merapikan rambutnya, memoles wajahnya dengan sedikit bedak, dan mengaplikasikan tinted lipbalm pada bibirnya yang kering itu. Setelah merasa dirinya sudah cukup pantas untuk ‘bertemu’ dengan orangtuanya, Jungkook pun memakai jaket dan berganti celana, kemudian melangkah keluar dari unit apartemen tersebut dan menggunakan elevator untuk menuju ke lantai dasar. Namun, ketika baru saja bergerak turun satu lantai, elevator itu berhenti dan pintunya terbuka, menampilkan dua sosok di luar sana yang tidak disangka-sangka Jungkook akan ia temui di saat seperti ini.

“E- Eliza? Tae- Taehyung?”

Maka, Jungkook dapat merasakan, bahwa elevator itu seketika berubah menjadi neraka baginya.