TEMAN
Setelah bertahun-tahun menjalani hidup, akhirnya Jungkook dapat merasakan arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Tidak ada lagi penderitaan. Tidak ada lagi penyiksaan yang membelenggunya. Yang ada hanya kebahagiaan. Setidaknya untuk lima tahun belakangan ini.
Terlebih lagi, kehidupannya sekarang semakin lengkap dengan kehadiran hasil cintanya bersama Taehyung. Hidupnya juga sudah serba berkecukupan berkat usaha kulinernya yang ia rintis empat tahun lalu. Persahabatannya dengan Yugyeom pun kembali utuh. Somi sang adik kembali tinggal bersamanya sejak tiga tahun silam setelah dinyatakan bebas kanker.
Sementara itu, Eliza telah meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat saat ia dipulangkan ke Florida dua tahun yang lalu. Sedangkan Taehyung, ia benar-benar tidak pernah menjenguknya dan tidak mengetahui keberadaannya hingga sekarang.
Hari ini, Jungkook genap berusia 28 tahun. Walaupun usianya sudah terbilang cukup matang dan buah hatinya kerap kali menanyakan di mana ayahnya, Jungkook belum memiliki niat untuk menjalani asmara dengan siapa pun, apalagi sampai menikah. Sempat terlintas di pikiran Jungkook untuk menemui Taehyung di penjara dan memperkenalkan anak mereka, namun urung karena Jungkook merasa belum saatnya.
Maka di sinilah Jungkook, masih di apartemen yang sama, menunggu kehadiran kawan-kawan untuk merayakan ulang tahunnya dengan berpesta kecil-kecilan. Tentunya pesta kali ini ramah keluarga, karena Yoongi dan Hoseok yang sudah menikah satu tahun yang lalu itu telah mengadopsi anak berusia enam tahun, serta Jaehyun dan Rose yang pastinya akan mengajak anak mereka untuk ikut serta dan bermain bersama dengan Jungkook kecil.
Waktu menunjukkan tepat pukul tiga sore, yang berarti acara akan dimulai tiga jam lagi. Namun, Jungkook dapat mendengar suara bel unitnya berbunyi beberapa kali.
“Baru jam segini udah ada yang dateng aja? Oh, palingan si Somi mau bantuin masak kali, ya?” monolog Jungkook yang saat itu tengah memasak odeng kesukaan anaknya. Somi memang tinggal di unit terpisah dengan Jungkook atas permintaan Somi sendiri karena sudah terbiasa dan lebih nyaman tinggal sendiri.
Jungkook pun mencuci tangannya sebelum beranjak dari dapur dan menuju ke arah pintu utama. Ia tidak sempat melihat siapa tamu tersebut melalu interkom karena ia yakin itu adalah adiknya. Begitu pintu terbuka, alangkah terkejutnya Jungkook tatkala mendapati siapa tamunya. Tamu yang tak ia undang dalam pestanya. Bahkan, tidak pernah ia harapkan untuk datang kembali.
“T- Tae- Taehyung? Kak Hyungsik?”
Tidak hanya satu, namun dua orang. Akan tetapi, yang membuat Jungkook semakin kaget adalah kondisi Taehyung saat ini, di mana ia terduduk di kursi roda dengan Hyungsik di belakangnya. Keheningan tercipta beberapa saat karena Jungkook benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa karena rasa tidak percaya yang mendominasi tubuhnya.
Melihat Jungkook yang terpaku seperti itu, Hyungsik pun membuka mulut, “Jungkook, kita boleh masuk, gak?”
Jungkook tidak menjawab atau pun sekedar mengangguk. Ia hanya menyingkir dari ambang pintu dan membiarkan Hyungsik masuk dengan mendorong kursi roda Taehyung. Ia menutup pintu terlebih dahulu sebelum menghampiri dan berdiri di hadapan keduanya.
Jungkook dan Taehyung saling bertatapan. Masih belum ada satu pun dari mereka yang bersuara. Taehyung terlihat seperti sedang takjub dengan keadaan Jungkook yang terlihat sangat baik-baik saja, bahkan beribu-ribu kali lipat terlihat lebih cantik dan awet muda. Sementara Jungkook, ia masih bingung dengan apa yang ia lihat di depannya saat ini. Baginya, semua terlalu tiba-tiba tanpa aba-aba.
Taehyung nampak sedang berusaha untuk berdiri dari kursi rodanya. Hyungsik hendak membantu, namun ditepis oleh Taehyung. Setelah hampir berhasil bangkit dengan kedua tangan yang masih menopang pada arm rest, Taehyung hendak melangkahkan satu kakinya ke depan untuk mendekati Jungkook. Namun naas, bahkan belum sempat melangkah, Taehyung sudah jatuh terlebih dahulu di hadapan mantan suaminya itu.
“Astaga, Taehyung!” seru Hyungsik dan Jungkook bersamaan.
Taehyung mengangkat satu tangannya sebagai isyarat agar Hyungsik tidak mendekat. Sementara Jungkook yang masih belum bisa mencerna rentetan kejadian ini, perlahan berlutut dan menangkup kedua pipi Taehyung untuk mengarahkan pandangan mereka agar saling bertemu.
“Taehyung… Kenapa?”
Kedua tangan Jungkook bergetar di wajah Taehyung kala melihat kedua netra pria 30 tahun itu sedekat ini. Hilang sudah kesan tajam dan menusuk yang biasa Taehyung berikan kala menatap seseorang. Yang Jungkook bisa lihat hanyalah penderitaan dan penyesalan. Kedua mata Taehyung seolah-olah berbicara, memohon pengampunan atas dosa-dosa yang telah ia perbuat. Apalagi ketika keduanya mulai berkaca-kaca, semakin menambah kesan lemah pada diri Taehyung yang kondisinya saja sudah mengenaskan seperti sekarang.
“J- Jungkook… Aku mohon, minta sama Tuhan, cukupkan semuanya. Aku udah gak kuat lagi. Aku udah gak sanggup nerima semua karma kamu...” tutur Taehyung dengan suaranya yang serak, seraya memegang erat kedua pergelangan Jungkook.
“Tae-”
“Taehyung kehilangan semuanya. Dia kehilangan anak yang dia pikir anaknya. Dia juga kehilangan harta karena semua habis dibawa pengacaranya yang ternyata penipu. Dia kehilangan sahabat-sahabatnya. Dan bahkan yang paling menyakitkan, dia kehilangan kamu,” potong Hyungsik, yang membuat Jungkook menegadah dan menatap teman Taehyung tersebut.
“Selama di penjara, Taehyung hampir hilang akal. Dia dihantui rasa bersalah. Besar keinginannya untuk ketemu kamu dan minta maaf. Sampai akhirnya, dia nekat kabur. Tapi sayangnya, waktu kejar-kejaran dengan polisi, dia ditabrak ambulans yang lagi melaju kencang,” lanjut Hyungsik, “Jangan tanya kenapa Taehyung repot-repot kabur padahal dia bisa saja membayar lagi. Karena ya itu tadi, dia benar-benar kehilangan semuanya. Dan akibat kecelakaan itu, dia harus mendapatkan perawatan intensif dan pemulihannya sampai memakan waktu dua tahun. Setelah itu, dia kembali menjalani masa tahanan dua tahunnya. Begitu bebas, Taehyung gunakan waktunya untuk terapi satu tahun supaya dia bisa jalan lagi. Dia gak mau ketemu kamu dalam keadaan seperti ini. Tapi Tuhan berkehendak lain. Taehyung lumpuh permanen karena tulang ekornya rusak total. Seperti yang kamu lihat sekarang.”
Jungkook menggeleng-geleng tidak percaya dengan cerita Hyungsik dan menatap Taehyung kembali yang ternyata sudah menangis dalam diam sejak Hyungsik bercerita. Maka, Jungkook pun tak kuasa untuk menahan air matanya. Didekapnya kepala Taehyung yang kini menangis meraung-raung di dada Jungkook. Kedua insan yang pernah saling mengisi hati satu sama lain itu bertukar rasa rindu melalui tangisan. Terutama Taehyung dengan segala rasa berdosanya yang kini ia luapkan.
“A- aku… Aku… Aku nyerah, Kook… Hiks… Aku nyerah…”
Jungkook menggeleng beberapa kali, kemudian menghujani pucuk kepala Taehyung dengan beberapa kecupan. Ia tidak sanggup berkata dan berbuat apa-apa lagi selain menenangkan Taehyung dalam dekapannya, padahal dirinya sendiri pun sedang menangis pilu. Ia tidak menyangka jika Taehyung akan mendapat balasan seperti ini. Ia pikir, dengan menerima kenyataan bahwa Josiah bukan anaknya dan mendekam di penjara, sudah cukup sebagai karma untuk Taehyung. Ternyata, dia menerima siksaan yang lebih pedih daripada dua hal tersebut.
Setelah sekiranya lima menit keduanya menangis, Jungkook melepas dekapannya begitu tangisannya reda. Ia menyisir rambut Taehyung dengan jemari, kemudian menghapus jejak air mata di pipi Taehyung menggunakan ibu jarinya, lalu tersenyum.
“Kamu gak akan mau nyerah lagi kalau kamu lihat mereka,” ujar Jungkook.
“M- mereka? Mereka siapa, Kook?” tanya Taehyung yang masih sedikit terisak.
“Ayo, bangun dulu.”
Jungkook, dibantu Hyungsik, memapah Taehyung dan mendudukkannya kembali di kursi roda. Setelah itu, Jungkook beranjak dari ruang tengah tersebut menuju salah satu kamar yang seingat Taehyung tidak pernah ada di lantai satu itu. Beberapa saat kemudian, Jungkook keluar dari sana bersama dengan dua balita di kedua sisinya. Satu perempuan, satu laki-laki. Mereka pun berjalan mendekati Taehyung.
Taehyung menoleh ke belakang dan menatap Hyungsik dengan bingung. Hyungsik hanya membalasnya dengan senyuman dan menepuk-nepuk pelan pundak Taehyung. Ia kembali memusatkan atensinya pada Jungkook yang kini berlutut di hadapannya.
“Heejin, Minho,” ucap Jungkook sembari menoleh pada kedua balita itu secara bergantian, “Ini Ayah kalian, Sayang.”
“Ayah?” tanya balita perempuan bernama Heejin itu yang disambut dengan anggukan dan senyuman Jungkook.
“Ayah!”
Berbeda dengan reaksi Heejin yang masih kebingungan, Minho yang merupakan saudara kembarnya justru berseru senang sembari menjulurkan tangannya pada Taehyung dan melompat-lompat kecil, pertanda ia meminta untuk dipeluk.
Tanpa berpikir apa-apa lagi, Taehyung langsung menyambut uluran tangan Minho, yang tak lain tak bukan adalah putranya, kemudian menggendong dan memeluknya erat.
“A-anak Ayah…”
“Anak kamu, Taehyung. Namanya Kim Minho. Dan yang cantik ini, namanya Kim Heejin. Tapi kayaknya Heejin masih bingung. Soalnya dia baru aja bangun tidur. Ya kan, Sayang?” Jungkook mengusak pelan rambut putrinya tersebut.
“Kamu… sematkan margaku di nama mereka?” tanya Taehyung, menatap Jungkook dengan tatapannya yang mulai kembali memancarkan binarnya.
“Gak ada alasan buat gak pakai marga kamu, Taehyung. Gimana pun juga, kamu ayahnya anak-anak.”
“Paaa, tapi kok Om ini balu muncul cekalang? Ijin nda pelcaya ah kalau dia Ayahna Ijin,” gerutu Heejin. Bibirnya mencebik. Kedua tangan ia lipat di depan dadanya.
“Sayang, gak boleh gitu. Jangan panggil Om, ya? Panggil Ayah. Ayah baru muncul karena harus kerja buat beliin Heejin sama Minho mainan banyak-banyak, loh.”
“Gapapa, Kook. Jangan dipaksa. Minho udah langsung mau nerima aku aja udah syukur banget. Heejin pelan-pelan aja, okay?”
Yang disebut namanya hanya berkacak pinggang dan memalingkan wajah, yang justru membuat tiga pria dewasa di sana terkekeh gemas.
“Kak Hyungsik, boleh tolong ajak anak-anak ke kamar? Aku mau ngomong sama Taehyung.”
“Gak mawuuu! Ino macih mawu cama Ayah!” seru Minho seraya memeluk Taehyung semakin erat dan menelusupkan wajah mungilnya di ceruk leher sang Ayah.
“Minho Sayang, Ayah gak ke mana-mana, kok. Ayah di sini. Nanti kalau udah selesai, Ayah nyusul ke kamar. Nanti Minho tidur sama Ayah, gimana?” usul Taehyung yang dihadiahi anggukan antusias oleh Minho.
Minho melepas pelukannya dan turun dari tubuh Taehyung yang dibantu oleh Jungkook. Hyungsik pun menggenggam tangan Minho dan Heejin, kemudian beranjak dari sana menuju kamar Si Kembar. Begitu dipastikan pintu tertutup, Jungkook mendorong kursi roda Taehyung mendekat ke sofa. Dipapahnya Taehyung agar duduk di sana, kemudian disusul dirinya yang duduk di sisi ayah dari anak-anaknya tersebut.
“Taehyung, maaf. Aku gak kasih tau kamu soal kehamilanku. Aku juga gak biarin kamu kenal sama anak-anak kamu, dan semuanya justru terjadi di saat seperti ini. Aku cuma gak mau kamu kepikiran di penjara dan malah bikin kamu stress pas tau ternyata kamu punya anak dari aku, sementara kamu mendekam di balik jeruji besi dan gak bisa ngapa-ngapain. Tapi sebenernya, aku emang udah ada rencana untuk bawa mereka ke kamu.”
Taehyung menggenggam erat kedua tangan Jungkook dan tersenyum. Wajah yang sebelumnya bermuram durja itu, kini mulai diliputi secuil kebahagiaan. Digenggamnya kedua tangan Jungkook dengan erat sembari tersenyum.
“Aku ngerti. Lagipula, sekarang aku bersyukur banget karena bisa ketemu mereka di saat mereka masih kecil kayak gini. Aku gak bisa bayangin kalau mereka udah besar baru ketemu sama aku. Pasti berat banget. Beruntung Minho mau nerima, walau Heejin masih belum.”
Jungkook tidak memberikan reaksi atau jawaban apa pun selain membalas genggaman Taehyung. Jungkook tahu, pasti Taehyung akan melanjutkan kalimatnya.
“Jungkook, aku gak tahu harus apa lagi untuk buktiin ke kamu kalau aku bener-bener nyesel. Aku juga udah gak tau harus ngomong apa lagi selain maaf. Takutnya, kalau aku terlalu banyak bicara, aksinya malah gak ada. Aku gak minta kamu untuk langsung nerima aku lagi. Tapi setidaknya, izinin aku untuk berjuang, kali ini sendirian tanpa bantuan siapa pun dan dengan cara yang bersih.”
“Coba kasih tau ke aku, apa keinginan terbesar kamu sekarang?”
“Aku mau jadi ayah yang bertanggung jawab untuk anak-anak. Aku mau bisa deket sama mereka. Bahkan, kalau aku boleh meminta lebih, aku mau kita saling mencintai lagi, Kook. Tapi setelah apa yang udah aku perbuat ke kamu, permintaan terakhir kayaknya gak mungkin. Walaupun begitu, aku akan tetap berusaha.”
“Selain itu.”
“Selain itu?”
“Iya, selain itu. Apa keinginan terbesar kamu sebelum kamu datang ke sini? Ayo, diingat-ingat lagi.”
Taehyung terdiam sebentar, berusaha untuk menerka-nerka apa maksud Jungkook, sebelum akhirnya ia teringat sesuatu, “Oh, iya. Aku mau bisa jalan lagi.”
“Nah, kalau begitu, tunjukin usaha kamu lewat itu. Aku yakin kamu pasti bisa pulih lagi, kok. Aku bakal bantu kamu, aku bakal selalu dampingin kamu sampai kamu sembuh. Semua aku lakuin demi anak-anak. Kamu juga gitu, harus berjuang demi Heejin dan Minho.”
“Pasti, Kook. Pasti,” kata Taehyung dengan yakin, “Kalau begitu, sekarang kita ini apa?”
“Kamu maunya apa?”
Taehyung nampak berpikir sejenak, “Teman?”
Jungkook yang mendengar hal tersebut pun tersenyum dan mengangguk.
“Teman.”
Taehyung dan Jungkook pun mengakhiri percakapan mereka dengan berpelukan, sebelum suara Minho yang meminta ayahnya untuk segera menyusulnya, terdengar lantang dari dalam kamar.
Di hari ia bertambah umur ini, ternyata Tuhan telah mempersiapkan hadiah terindah untuk Jungkook, dan tidak akan terganti maupun ternilai harganya.
— END