aprilsolstice

Beomgyu tidak pernah semenyesal ini soal pilihan-pilihan hidupnya. Masuk sastra asing padahal ditentang orangtua? Beomgyu tidak menyesal. Ketemu Linguistik yang menghancurkan IPK-nya juga, Beomgyu tidak menyesal. Tapi this one takes the cake– nyari ribut sama kakak tingkat yang dia kenal sebatas nama? lalu menyetujui untuk makan bareng sama dia?

Beomgyu kayaknya udah gila, deh.

Yeonjun–Kak Yeonjun–bukan kali pertama Beomgyu dapat teman sekelompok yang bisa dibilang beban. Sering, justru. Makanya dia sebel banget. Tapi dia nggak bisa bohong kalau Kak Yeonjun itu pintar ngomong. Presentasi tadi lancar;lancar sekali, bahkan. Pak Yudha tidak mendeteksi adanya sedikitpun drama kecil di antara kelompok mereka.

Tapi Beomgyu tidak sempat memikirkan hal itu. Otaknya masih berada pada momen di mana Kak Yeonjun mengacak-ngacak rambut dia–pakai bilang you did well segala; malesin banget! Beomgyu kepikiran sepanjangan hari–Kalau Taehyun dan Kai tau pasti dia diledekin sebulan.

“Bengong aja Gyu, gak bakal gue tatar sumpah.”

Sontak Beomgyu berhenti dari lamunannya. Di depannya sekarang ada Kak Yeonjun dan berpiring-piring irisan daging yang siap untuk dibakar.

“Siapa juga yang takut ditatar,” ujar Beomgyu, merengut. Yang bersangkutan justru nyengir nggak jelas dibanding memilih untuk menjawab.

“Ini yang masak gue aja ya, sebagai permintaan maaf––Loh, Ningning? Karina? Sunwoo? Ngapain kalian?”

“Gue yang ajak.” Giliran Beomgyu yang nyengir. “Lo minta maafnya ke semua orang dong harusnya, Kak.”

Muka Yeonjun yang awalnya cengengesan karena berhasil modusin adik tingkatnya itu langsung berubah drastis. Tentu, dia tidak masalah direcokin begitu karena memang salah dia tapi Yeonjun nggak bohong soal tanggal tua dan isi dompetnya yang miris itu.

Melihat itu, Beomgyu tertawa lepas.


Beomgyu sebenarnya cenderung pemalu, tapi entah gimana suasana di meja makan nomor sembilan tersebut sangat hidup. Karina dan Ningning tertawa cekikikan, Sunwoo bantuin Kak Yeonjun masak sambil sesekali ngeledekin dia, dan Beomgyu sendiri menikmati percakapan yang ada. Mereka jadi tanya-jawab soal magang dan tetek bengeknya, ghibahin dosen, ngeluh, ya classic college student things.

“Gyu, sini.” Kata Yeonjun tiba-tiba.

!?!?>>@??!??!?!>>!>!>!!?!!?!>

Muka Beomgyu merah padam. Pasalnya, ada saos di pinggir bibir Beomgyu dan Kak Yeonjun yang ngebersihin pakai jempolnya sendiri itu dengan tanpa rasa bersalah menjilat jempolnya.

“Enak,” katanya. “Lo makan kayak bayi deh, Gyu.” lanjutnya lagi.

Sunwoo, Karina, dan Ningning yang heboh cie-cie sudah tidak terdengar lagi oleh Beomgyu. Kalau asap bisa keluar dari kepalanya, pasti kepalanya sekarang sudah mengebul karena malu.

Sebelum Kak Yeonjun dapat berkata apa-apa, Beomgyu buru-buru berdiri. “Gue–gue mau ke toilet.”

Lalu dia kabur, tanpa melihat telinga Yeonjun yang memerah juga.

sebelum ada younghoon, choi chanhee tidak percaya cinta sejati.

sebelum ada younghoon, chanhee tau cinta itu ada. cinta ada saat ia menyalim ibunya sebelum pergi dan sesudah pulang, dibalas dengan elusan lembut di rambut. cinta ada saat ia menyisihkan kursi di kereta tempo hari ke mahasiswa yang tertidur saat berdiri, dibalas dengan senyum malu-malu, lengkap dengan terima kasih tanpa henti. cinta ada di setiap sudut jakarta, kota di mana chanhee lahir dan tumbuh besar. di beceknya jalanan penuh kubangan air pasca hujan besar, di tempat nasi goreng langganan chanhee, bahkan—chanhee yakin akan hal ini—di gedung-gedung megah pencakar langit. chanhee yakin, cinta itu ada di mana saja.

(tapi cinta yang chanhee inginkan, ia tidak tahu ada di mana. cinta yang panas dan membara, melahap segala hal layaknya api unggun saat kamu pertama kali berkemah untuk pramuka. cinta yang berapi, berderu melawan angin dan badai. )

choi chanhee, 22 tahun, sadar cinta tidak harus selalu seperti itu. choi chanhee menemukan cinta yang sederhana di kim younghoon. api yang meluap itu mengecil menjadi hangat. choi chanhee sadar ia tidak perlu api unggun ketika younghoon sehangat matahari dan sepengertian obor kala chanhee menjelajah malam.

umur 22 tahun, choi chanhee belajar kesederhanaan dari kim younghoon. cinta memang begitu adanya; tidak seperti di dongeng-dongeng, ataupun di film-film. younghoon tidak perlu berteriak aku cinta kamu!!! di depan orang banyak dengan dramatis, karena tidak berkata apapun chanhee tau younghoon mencintainya.

cowok itu, kim younghoon, sederhana sekali; tatapannya teduh dan senyumnya selalu punya markah di hati chanhee. tawanya mengisi relung hati chanhee yang paling dalam, dan seperti sulap hari chanhee yang sebelumnya suram menjadi berseri lagi. youngoon selalu ada buat chanhee, dalam bentuk dekap, peluk yang hangat. dalam bentuk kata yang tidak muluk-muluk, tapi konsisten. dalam bentuk ciuman lembut, yang berkata aku sayang kamu.

mencintai younghoon rasanya tidak seperti tenggelam, tidak seperti dilahap api; tapi chanhee sayang, sayang sekali. tiap dia dihujani ciuman-ciuman kecil di pipi dan perpotongan lehernya, tiap ranumnya dilumat habis oleh younghoon hingga dia kehabisan napas; younghoon tidak perlu beri chanhee bunga dan coklat untuk memberi tahu chanhee bahwa ia disayang sedemikian rupa.

perkara cinta dan eksistensinya, chanhee temukan semua di kim younghoon.


sebelum ada chanhee, kim younghoon tidak percaya ia mampu menyayangi seseorang sedemikian rupa.

kim younghoon takes pride in his life choices. hidupnya lurus-lurus saja dan younghoon tidak masalah. teman-temannya bercerita soal cinta dan bagaimana rasanya perutmu dipenuhi kupu-kupu, but younghoon is fine with not having any of it. some says normality is a paved road; it's comfortable, but no flowers grew. younghoon tidak masalah; ia suka hidup biasa-biasa saja. dia tidak masalah bila jalannya tidak penuh dengan bunga-bunga. jalan yang younghoon pilih tidak penuh liku dan duri, seperti yang younghoon harapkan.

akan tetapi, hidup sepertinya ingin menertawai younghoon dengan memberinya sebuah variabel yang tidak pernah ia perhitungkan.

bagi younghoon, variabel itu adalah seorang choi chanhee.

mereka bertemu secara klise––di atap sekolah, saat younghoon, anak ipa, ingin belajar dan chanhee, anak ips, ingin merokok. dan bisa ditebak, mereka cekcok.

tapi siapa sangka, pertemuan itu jadi awal choi chanhee masuk tanpa izin ke hidup younghoon dan mengubah tatanan hatinya untuk selama-lamanya.

kim younghoon, 17 tahun, sadar ternyata hidup punya banyak hal yang bisa ditawarkan selain tenggelam dalam buku-buku dan rumus matematika. jatuh cinta, ternyata, semudah itu. seperti kata teman-temannya, perut younghoon rasanya penuh dengan kupu-kupu. choi chanhee hanya perlu ada dan younghoon ingin bertekuk lutut memberinya dunia.

umur 17 tahun, younghoon belajar cara hidup sehidup-hidupnya dari chanhee. cinta memang begitu adanya; dari jantungnya yang ingin lompat setiap chanhee menggenggam tangannya hingga nadinya yang berdesir setiap melihat cowok yang lebih muda itu. dia ingat waktu chanhee pertama kali mengajaknya bolos untuk nonton film. hari itu, kupu-kupu mulai bermunculan di perut younghoon.

dan sekarang, lima tahun lamanya, kupu-kupu itu belum pergi. cowok itu, choi chanhee––younghoon loves unraveling him. binar di mata legamnya itu cantik, cantik sekali. younghoon paling suka binar mata itu dan bagaimana dia bisa menebak senyum chanhee asli atau tidak dengan presensi binar itu. cowok itu pintar menyembunyikan sakitnya di balik senyum, dan younghoon bangga menjadi satu-satunya orang yang dapat dengan presisi menebak apa yang ada di balik senyum chanhee. apalagi, bila binar itu kembali setelah younghoon menghujani chanhee dengan ciuman-ciuman kecil. chanhee-nya itu memang tidak pandai berkata-kata, tapi binar matanya ekspresif sekali. selalu, younghoon tau, chanhee mencintainya kembali. sebab tatapan lembut chanhee berkata; aku sayang kamu.

mencintai chanhee rasanya seperti menyelam tanpa tenggelam. tanpa younghoon akui pun, ia tau cowok taurus itu seperti separuh napasnya. meski dia anak sastra, chanhee tidak perlu kata-kata manis untuk younghoon tahu bahwa dia dicintai sedemikian rupa. dari hadirnya dia dalam bentuk dekap dan kecupan lembut. dari omelannya ketika younghoon sakit, sigap dengan bubur yang ajaibnya tak pernah hambar kalau chanhee yang menyuap. dari tawanya yang menggema meski younghoon tahu, lawakannya tidak selucu itu.

perkara cinta dan eksistensinya, younghoon temukan semua di choi chanhee.

Pukul tiga pagi, hujan gerimis sedang jatuh membasuh bumi dengan lembut. Denis nampak setengah kebasahan waktu dia sampai di depan kamar kos Rigel, lengkap dengan dua bungkus nasi goreng langganan mereka. Sambil nyengir, dia bilang “Sorry telat, Gel.”

Yang bersangkutan bisa ditebak membuka mulutnya dengan protes–hujan gini kenapa nekat nerobos, sih!–tapi dia sigap dengan air putih hangat dan handuk kecil di tangan, seakan mengetahui hujan-hujan pun si Denis akan tetap datang.

(“Denis,” kata Cakra waktu itu. “Lu dari kapan pacaran sama Rigel?” katanya. Yang ditanya sontak tertawa sampai wajahnya memerah. “Kita,” kata Denis di sela-sela tawanya, “Cuman temen.” Meski Cakra tidak percaya, Rigel hari itu memungut kepingan-kepingan hatinya yang berceceran.)

Tanpa diberi tahu pun, Rigel sadar bahwa ada batasan-batasan di antara persahabatan yang seharusnya tidak dia lewati. Tapi seperti di tengah permainan judi, dunia seringkali memberimu kartu-kartu yang tidak kamu sangka; bagi Rigel, kartu itu adalah Denis.

Cowok gondrong dengan alis tebal itu datang layaknya hujan di tengah hari yang terang: secara tiba-tiba, pelan-pelan, lalu turun begitu derasnya sampai Rigel tidak tahu lagi dunia tanpa Denis itu seperti apa.

Rigel tidak tahu definisi cinta yang sebenar-benarnya seperti apa; tapi bagi Rigel, hatinya yang terasa penuh setiap melihat tatap teduh Denis cukup menjadi bukti bahwa dia jatuh cinta. Cinta, bagi Rigel, datang dalam bentuk cowok setinggi 183 centimeter dan senyum manis yang selalu bertengger dengan nyaman di relung hati dan ruang pikirnya.

Jadi teman saja pun Rigel tidak masalah; karena dari awal mereka memang hanya itu: teman. Presensi Denis cukup untuk Rigel. Menjadi yang harus kelabakan takut Denis masuk angin cukup untuk Rigel. Menjadi yang membasuh rambut Denis dengan handuk selagi ngomel-ngomel cukup untuk Rigel. Denis buat hatinya terasa penuh, membuat rongga-rongga tubuhnya terasa hangat. Dan yang terpenting, Rigel jadi manusia pertama yang dengar Denis tertawa atau menangis. Jadi, bagi Rigel status itu tidak penting.

Apa yang ada di antara mereka, Denis dan Rigel, cukup membuat dia bahagia.

Sebab sejatinya berada dalam lingkup ini nyaman; Rigel tidak harus pusing memikirkan kemungkinan dan ketidakmungkinan seandainya ia berharap lebih. Rigel tidak harus takut apa yang ada di antara mereka akan hancur. Selama mereka menjadi one call away satu sama lain, Rigel tidak masalah.

Pagi harinya, Cakra membuka kamar kos Rigel hanya untuk menemukan dua bungkus nasi goreng yang kosong dan dua orang laki-laki yang tertidur bertumpu pada satu sama lain.

kamu bangun dengan pusing kepala yang hebat dan sahabatmu yang tertidur telanjang di sebelahmu, tangannya melingkar pas di pinggangmu. kamu butuh beberapa detik untuk meregistrasi keadaan sebelum akhirnya asam lambungmu mengambil alih dan kamu buru-buru ke toilet, menumpahkan isi perutmu yang ternyata tidak banyak itu.

(sekilas kamu melihat bayanganmu di cermin, tubuhmu sama polosnya dengan sahabatmu. tidak ada benang sehelai pun, tetapi juga tidak ada tanda–kamu malu memikirkan ini–ciuman atau gigitan. jika apa yang sebenarnya terjadi sesuai dengan pikiranmu, maka ada yang tidak beres.)

ketika kamu kembali ke kamarmu, hyunjae sudah bangun.

dia menatapmu sama bingungnya, “semalam kita ngapain, younghoon?”


malam itu, kamu ingat. nilai ujian tengah semester sudah keluar dan hyunjae mendapat angka yang menurutnya tidak terlalu baik, jadi dia mengunjungi kamar kosmu dengan botol minuman keras di tangan.

(hyunjae dan tingkahnya itu terkadang membuat kamu lupa kalian sudah cukup umur. hyunjae dan senyum isengnya itu membuat kamu merasa kamu masih muda dan selalu akan muda.)

kamu kadang lupa, dinding-dinding hyunjae bisa runtuh juga. di balik tingkah-tingkah ajaibnya itu, hyunjae adalah manusia yang bekerja keras bukan main. di balik senyum isengnya itu, hyunjae sering berpikir jahat pada dirinya sendiri.

biasanya dekapanmu cukup untuk hyunjae namun nampaknya malam itu, hyunjae ingin lebih. jadi sebagai teman yang baik, kamu ikut mabuk bersama hyunjae. sambil sesekali menghiburnya di sela-sela sloki, “lo udah berusaha sebaik mungkin, je. you did well, you always do.

kamu mungkin tidak mengerti perkara praktikum dan matematika, tapi perkara hyunjae, apapun akan kamu lakukan jika itu berarti memastikan senyum iseng hyunjae adalah senyum yang benar-benar dari hatinya.

kamu mungkin menaruh hati pada sahabatmu sendiri, tapi kamu lebih baik disuruh membelah gunung dan lautan ketimbang menhancurkan persahabatanmu dengan lelaki yang sedikit lebih muda itu.


“kita mabuk semalem kayaknya,” menurut lo aja, younghoon. “terus gue-kita– gue gak tau pasti kita ngapain sih, tapi kayaknya enggak ngewe.” ucapmu.

untuk pertama kalinya sejak kalian kenal, kamu tidak bisa baca ekspresi hyunjae.

“younghoon, lo kok bisa biasa aja sih?” kilat mata hyunjae bersinar menusuk bagian hatimu yang paling dalam. sakit. kamu tidak suka lihat hyunjae sakit seperti ini–rasanya sesak.

“maksud lo?” “ya biasa aja gitu! lo gak tau gue tuh– gue tuh takut banget...” kamu mendengar suara hyunjae meninggi panik. kamu bingung. “lo kenapa sih, je? is the idea of us so freaky to you?” kamu bisa lihat mata hyunjae berkaca-kaca. “maksud–ah lo bodoh banget! justru sebaliknya, hoon...” katanya pahit.

kamu termangu, kaget. kini giliran kamu yang panik. hyunjae sekarang nangis dan kamu buru-buru menariknya dalam pelukan. “je...”

kamu mungkin tidak mengerti perkara praktikum dan matematika, tapi perkara hyunjae, kamu paham betul cowok itu sekarang sedang takut. kamu pun, sama takutnya. kamu bisa dengar pacuan jantungmu dan hyunjae membalap satu sama lain.

“lo deg-degan kedengeran banget, je.” “lo juga, bego.” “je, gue juga.” “juga apa?” “gue juga mau ada kita,” kamu menarik diri dari dekapanmu dan menatap hyunjae dalam-dalam. “hyunjae, gue sayang sama lo. *not in a friend way.” katamu. “nggak papa kalau lo gak merasa sama, je, tapi kalau boleh gue tetep mau ada kita. gue tetep mau kita sahabatan.”

(pikirmu, kelakar orang perkara sayang lebih dari teman itu bodoh karena presensi hyunjae sudah cukup dan dari awal toh, kalian berteman baik. pikirmu, kelakar lebih dari teman itu tidak benar adanya karena kamu menyayangi hyunjae seada-adanya, teman atau bukan tidak masalah. kamu hanya ingin presensi hyunjae di sisimu.)

hyunjae menatapmu tidak percaya. “lo tuh.. udah begini dan lo bisa-bisanya bilang begitu!!” katanya ngambek. “gue sayang sama lo juga, bego! sebagai teman, sebagai kekasih juga!! lo kira kenapa gue takut banget–hey!” hyunjae terdiam saat kamu menangkup kedua pipinya dengan tanganmu. ada jejak-jejak air mata dari semalam.

“gue kayaknya harus bilang makasih ke dosen lo–aduh! jangan dicubit!” kamu melihat hyunjae yang merengutkan bibirnya sebal lalu berkata, “hyunjae, boleh gak?”

biasanya dekapanmu cukup untuk hyunjae namun nampaknya pagi itu, hyunjae ingin lebih. dia mengangguk memberi sinyal kepadamu dan kamu menautkan bibirmu dengannya dalam kecupan.

satu kali, dua kali.

“je tapi lo tau 'kan, berapapun nilai lo, lo tetep hyunjae yang gue sayang?” “younghoon, don't kill the mood. gue mau dicium sekarang, bukan pep talk.“ “haha, siap paduka!!”

pagi itu menjadi pagi yang panjang untuk kalian berdua.

semua orang tau, juyeon suka banget sama changmin.

jadi, waktu cowok itu bawa bunga ke sekolah dan naruh bunganya di meja changmin, tidak ada yang bilang apa-apa. hari ini, dia bawa bunga camelia. changmin's favorite. camelia means love, affection, and adoration. pas banget buat remaja kasmaran kayak juyeon.

semua orang tau, juyeon sayang banget sama changmin.

jadi, waktu cowok itu mencatat ulang pelajaran barusan untuk changmin, tidak ada yang bilang apa-apa. hari ini, catatannya lumayan banyak. tapi juyeon senyum terus. (karena semua hal yang dia lakukan buat changmin itu bukan beban, katanya. hyunjae yang mendengar itu hanya bisa membatin sedih).

“semua orang tau, katanya. lucu banget nggak sih, kita?” senyum juyeon. “changmin, aku mau cerita.” lanjutnya.

“tau nggak, tadi pas aku nyatetin catetan kimia buat kamu, ada tupai di jendela? tupainya mirip kamu, cil. ngetuk-ngetuk jendela gitu sampai aku nengok. atau jangan-jangan tupainya beneran kamu?”

tawa juyeon disambut hening.

“jangan ngambek gitu, aku bercanda... btw, tadi kimia belajar stoikiometri. susah banget, aku nggak ngerti. kira-kira kevin mau nggak ya tutorin kita lagi?”

“aku bawain bunga lho, bunga favorit kamu. camelia cantik banget, ya? aku awalnya paling suka tulip tapi kayaknya sekarang camelia bunga favoritku. soalnya ngingetin aku sama kamu.”

hening lagi.

“hehe, maaf gombal... changmin, aku udah tau lho mau kuliah di mana. aku bakal belajar keras banget, kamu tau? aku gak takut lupa istirahat sampai mimisan, kan ada kamu.”

“changmin... changmin, jangan diem aja dong, aku kangen.”

lagi-lagi, ratapan juyeon disambut hening. lagi-lagi, juyeon berharap batu nisan di depannya bisa merespon cakapnya.

semua orang tau juyeon dan changmin seperti pasangan sehidup semati.

jadi waktu changmin kecelakaan saat menuju rumah juyeon, semua menaruh iba. jadi waktu changmin pergi dari dunia, semua bersimpati pada juyeon. ketika juyeon bersikukuh changmin masih ada dan hanya sedang koma di rumah sakit, semua hanya bisa menatap sedih. waktu juyeon membawa bunga dan mencatat catatan untuk changmin, tidak ada yang bilang apa-apa.

juyeon bilang, what is reality compared to changmin's presence? dan teman-temannya hanya bisa membatu.

harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan ruang.

mungkin ini cara juyeon mengisi ruang kosong selepas changmin pergi. dan lagi, semuanya hanya bisa diam.

a story that takes place one winter.

Just like a spell that's still unbroken Or maybe it's some kind of curse Hey, I'm still holding on to my thoughts Hey, what kind of tomorrow Should I look for in this town?


kepingan salju kota seoul waktu itu gak akan pernah gue lupakan. ritme salju yang jatuh dan ritme senandung lagu lo, gak akan pernah gue lupakan. pun dengan hangat genggam tangan lo di suhu -2ºC, akan gue bawa ke kubur gue, atau sampai ingatan gue gak mampu. tapi juyeon, gue gak ingat gue harus apa kalau gak ada lo?

baik gue dan lo tau perkara hidup dan mati itu salah satu misteri dunia. gue pikir gue gak perlu takdir, juyeon. gue gak perlu takut mati dan lenyap dari dunia ini, karena hidup begini-begini aja. hari-hari gue monoton dan gue rasa gue hilang pun dunia gak akan peduli, tapi lo;lo dan tingkah lo yang kadang di luar akal, lo dan senyum lo yang indahnya sampai ke luar dunia (ini gue gak gombal!!), gue mulai tau akan hari esok dan perkara angan dan ingin.

gue mulai berangan-angan tentang dunia, juyeon. tentang lo–bukan karena lo dunia gue, tapi gue mau membuka dunia buat lo. dinding rumah sakit ini gak ada artinya buat gue, tapi dinding gak kasat mata yang lo bangun itu; gue mau ngeruntuhin itu.

(tapi gue gak bisa, dan gak akan bisa. senyum lo selalu simpan kesedihan yang gue gak bisa tau tapi gue bisa paham, bisa rasakan.

karena relung jiwa gue pun, sama kosongnya. gue tahu gimana rasa sakit atas ketidakadaan itu begitu ada).

lo genggam tangan gue dan kita berangan-angan apa yang kita lakukan tentang masa depan. lo usap pergelangan tangan gue seakan luka-luka gue bukan hal yang najis dan untuk pertama kalinya, gue menangisi mereka.

gak ada yang indah dari semua ini, ju. tapi ingatan gue merapal senandung lo setiap gue pikir dunia akan jatuh bersama gue di dalamnya. hati kita mungkin dingin dan rusak, tapi senyum dan genggaman tangan lo–hangat, semuanya hangat. gue pikir gak butuh takdir, gue cuman butuh lo.

gue kangen, banget. nggak ada lagi yang recokin kamar gue habis gue konsultasi, nggak ada lagi yang ngingetin gue buat minum obat. nggak ada yang peluk gue setelah gue lagi-lagi dapet pandangan kecewa dari orangtua sama dokter. nggak ada lagi yang bisa gue cium like i won't do anything else for the world. nggak ada yang senyum ketika dunia gue runtuh dan sekarang, dunia gue runtuh dan gak akan bisa balik lagi ke semula.

tapi gue gak menyesal ketemu lo, ju. walaupun kita harus berpisah kayak gini, gue gak akan lupa. kepingan salju kota seoul waktu itu, hangat tangan lo, gumam senandung lo. mungkin gue akan lupa lo pake sweater apa dan kita turun di bus nomor berapa. tapi kabur dari rumah sakit sama lo, ketemu lo, sayang sama lo; gak ada satupun yang gue sesalin.

gue gak butuh takdir, gue cuman butuh lo. tapi lo memilih takdir dibanding gue and now i'm left holding on to pieces of you. gak ada satupun belati dan merk rokok yang bisa isi ruang kosong yang lo tinggalin, juyeon.

juyeon, gue takut. pernyataan bodoh seperti you'll always live in our hearts forever itu masih sebodoh pertama kali gue denger, ju. lo di atas akan ketawain gue, bilang gue terlalu edgy, tapi pada asalnya gak ada yang abadi dan lo–keberadaan lo, gue gak mau mereka hilang gak ada sisanya selama gue di dunia. gue takut, ju. kita berdua cuman dua remaja kesepian dan meski gak banyak, semua kenangan gue sama lo berarti. gue minta maaf lo harus menghabiskan beberapa tahun terakhir di hidup lo sama orang kayak gue tapi lo akan marahin gue karena jangan minta maaf terus, jae, sambil ngusak kepala gue halus.

jae, lo orang yang berarti di dunia, lo bilang. sayangi diri lo, ya? lanjut lo biasanya.

tapi seperti hipokrit, lo gak melakukan itu ke diri lo sendiri. (gue tau di balik sayangi diri lo, ya? ada karena gue gak bisa ngelakuinnya sepenuh hati. ada maaf, gue terlalu tenggelam dalam kekosongan hati gue. ada hyunjae, gue gak janji selalu bisa sama lo seperti yang gue suka janjiin.)

gue harus apa, juyeon? di kota yang kini nggak ada lo, gue harus gimana mengawali dan mengakhiri hari gue? gue harus apa biar dunia gak runtuh lagi?

udah setahun dan dunia gue masih runtuh, ju. dinding rumah sakit yang gue kira gak ada artinya itu lo lompatin setahun lalu, tepat lima belas januari, sehari setelah kita main kabur ke luar. senyum lo ke gue waktu itu nggak ada bedanya, pandangan lo ke gue sama teduhnya. ciuman lo juga, sama hangatnya. gak ada yang berbeda kecuali keadaan dan ketiadaan lo, tapi seluruh dunia seakan hancur. yang lo tinggalkan cuman surat berawal hyunjae, gue sayang sama lo. dan berakhir maaf, ya. serta ruang kosong di hati dan dunia gue.

(lo curang, juyeon. lo tau gue selalu maafin lo dan lo minta maaf buat ini dan gue gak bisa harus gak maafin lo, sama kayak gue gak bisa maafin diri sendiri.)

mungkin hari esok itu akan terus ada, tapi baik sepuluh maupun lima puluh tahun lagi, gue tau matahari gak pernah akan ada lagi buat gue.

“i'm telling you, oh yeah. i'll softly whisper. tonight, tonight, you are my angel.” (One OK Rock, Wherever You Are)

Juyeon wondered if this is his first life with Changmin in it. In this world, Changmin's hair were royal blue, and he didn't love him back. Juyeon found the dimpled smile he come to love so much belong to another, and when Juyeon gave up his life for the country–for Ji Changmin, the archbishop looked at him gently, the full moon being the sole light between them. “Juyeon, you're okay,” Ji Changmin said, voice uncharacteristically trembling. “I'm sorry about this life. you're going to be okay, Juyeon. I swear it.” Changmin's sad eyes were the last thing Juyeon's see in that world.


I don't need a reason I just want you baby Alright alright Day after day (One OK Rock, Wherever You Are)

He's a watchmaker in this life. Changmin runs the flower shop across. His hair was red, and he fell in love first. He said the gentle hands Juyeon used to take care of his gears is akin to how he handles his flowers. With love and longing. It didn't take long for Juyeon to fall in love in return. He doesn't need a reason and all his watches can't construct eternity–he just wants Changmin. Quoting a poet from a faraway time; Changmin, waktu itu fana. Kita yang abadi.

(Being a watchmaker, Juyeon knows. In the end, all these gears just attempt to tell time, not standing for it.)


You and I, our love story It's just as I imagined. After the curtain rises, a one-man show starts Though I'm always by your side, after all, I'm nothing but an audience. (PRETENDER, Official Hige Dandism)

Several lifetimes and Juyeon has came to realization that: 1. Changmin's hair colors didn't mean anything–now, there is a way to quickly change one's own hair appearance. It never meant anything to begin with. 2. Lee Juyeon always–always meet Ji Changmin, in every lifetime. Sometimes they're sworn enemies, other times they're just strangers who pass each other by chance. Juyeon hates the latter more. 3. Lee Juyeon is not the main character.

(Which is ironic to his name, Juyeon suppose. But he doesn't mind.)

As an audience, Lee Juyeon made looking for the star of his stage his life mission. As if making up for the times he doesn't come to him, Lee Juyeon burns in the cold absence of Ji Changmin.

(are we soulmate, now? he thinks. or am I just a wanderer?)


I am not the one, the love of your entire life. It's hard to say, but I can't deny Still, I can't decide to leave. (PRETENDER, Official Hige Dandism)

Ji Changmin's hair colors did not mean anything, but his dimpled smile and easy smile does. Juyeon knows he'll always fall in love with it. Sometimes Juyeon think about when the last time will be, even though he knows he'll always see Ji Changmin in the next life and the next but as an audience, he isn't always needed.

Still, he can't decide to leave.

For all the stars he's seen, nothing could ever burn as brilliantly as Ji Changmin. For all the wonders he's come to, nothing could ever compare to Ji Changmin. Even when he doesn't return to him in that lifetime, Juyeon never pay a mind to the price of a forever when it comes to Ji Changmin.

After all, he knows he'd gladly run across ten, twenty-five, a million lifetimes to find the one where Ji Changmin returns to him.

(and Changmin would do the same).

Menurut Younghoon, tiap orang punya sinarnya sendiri. Seperti bintang, seperti kepingan salju–tiap orang diukir dengan sinar yang unik. Selalu menyala layaknya api, kadang sinar seseorang begitu brilian dan Younghoon tidak dapat melakukan apapun selain melihat.

Menurut Younghoon, sinar paling indah itu milik Chanhee. Mantan kekasihnya itu bersinar layaknya rasi bintang polaris, tempat di mana ia mencari rumah. Chanhee bersinar baik dalam amarah maupun gelak tawa, pikir Younghoon.

Younghoon tak benar-benar ingin berpisah waktu itu. Tetapi puncak masa adolesensnya penuh dengan luapan emosi dan satu hal berujung ke hal lain–membuat benang merah di antara ia dan Chanhee menjadi serabut yang rumit. Younghoon pikir lebih baik memutus semuanya, tetapi takdir membawanya ke sini–membawa Chanhee ke sini.

(Younghoon tau dia harus berterima kasih pada Sangyeon. Kini ia jelas sadar ia masih cinta, dan semua berkat hubungan palsu ini. Konyol, memang–takdir suka konyol.)


10 September 2021, tengah malam.

Younghoon masih bangun. Pun juga Chanhee, meski ia pura-pura tidur. (Younghoon tau, karena dalam sadarnya Chanhee tidak akan memeluknya dalam tidur).

“New,” panggilnya. “Chanhee. Choi Chanhee, gue tau lo belum tidur.”

Chanhee balik badan, kini wajah mereka hanya terpaut beberapa sentimeter.

“Apa? Ini ospek-ospekan lo lagi?” Perkataan Chanhee ketus tapi dalam gelap, Younghoon bisa lihat ia senyum–atau menahan senyum, lebih tepatnya.

“Bisa dibilang gitu.” Enggak, nggak bisa dibilang gitu. “Kenapa, hoon?” “Gue mau ngomong.” Chanhee terlihat gugup. “Nggak bisa besok aja?” “Nggak. Gue mau sekarang.” “Hhhh yaudah... ada apa?” “Kalo gue bilang gue masih sayang, gimana?”

Chanhee langsung terduduk kaget dan otw berdiri–sebelum kepalanya tersantuk.

“Eh kalau lo nggak ngerasa sama, nggak papa–” “Kim Younghoon, lo bener-bener harus ngomong ini tengah malem?”

Chanhee menyalakan lampu.

Younghoon lihat, mukanya semerah tomat.

(Cinta itu seperti apa, sih? Pertanyaan yang umum beredar.

Bagi Younghoon, cinta itu seperti Chanhee.)

“Kenapa emangnya?” Younghoon nyengir.

Chanhee tampak speechless.

“Lo.. lo serius?” “Serius, lah.” “Younghoon, ih!” “Gue serius beneran.” Tangannya meraih pergelangan tangan Chanhee.

“Chanhee, ini konyol banget karena kita lagi pura-pura tapi gue masih sayang,” ucap Younghoon. “Gak seharusnya gue ngeiyain lo dulu waktu putus.”

“Chanhee, kok gak jaw-” Younghoon diam saat Chanhee menciumnya. Seperti refleks, Younghoon menaruh tangannya di tengkuk Chanhee dan memperdalam ciuman mereka.

“Ini,” kata Chanhee di sela-sela ciuman mereka. “Ini jawaban gue.”

“Ada apa nih, warga...” Banyak, pikir Chanhee. Ada banyak hal yang patut dibicarakan.

Di antara satu dari sejuta probabilitas sendiri, berapa besar peluang kamu akan berakhir satu grup kerja dengan mantan kekasihmu yang tidak bisa kamu benci, sebagaimanapun kamu mau terlihat seperti itu?

Chanhee pikir, peluang Hitler mati di Garut lebih besar daripada harus terus berada dalam kontak dekat pasca putus dengan Younghoon karena tuntutan kerja. Namun nyatanya? Semesta menunjukkan Chanhee bahwa ia ada di puncak komedi.

(Chanhee suka matematika. Peluang mata dadu dan uang koin, ia bisa hitung. Integral dan derivatif, ia bisa cari. Peluang Younghoon masih cinta? Chanhee tidak berani. Mata gelap Younghoon yang pernah begitu ingin ia selami itu, kini Chanhee tidak bisa membacanya.)

Younghoon melihat Chanhee yang kehilangan fokus dengan bingung. Pasalnya, lelaki yang lebih muda itu merupakan seseorang yang penuh tekad. Meski dalam kebohongan, Younghoon menikmati setiap detik dengan Chanhee.

(Younghoon suka literatur. Ia merasa senang mengakrabkan dirinya dengan majas dan diksi indah. Younghoon percaya di balik simbolisme-simbolisme rumit, kenyataan bisa ia ungkap. Perihal Chanhee? Younghoon tidak berani. Lelaki dengan tubuh kecil yang begitu ingin ia dekap itu, kini terlalu rumit bagi Younghoon.)

Lengang mengisi vlive Younghoon dan Chanhee selama beberapa menit. Ada tatap tak tertangkap dan juga damba yang tidak diartikulasikan.

“Chanhee,” panggil Younghoon. Sebelum Chanhee dapat menjawab, ranumnya telah bertaut dengan Younghoon saat ia menengok. Chanhee memejamkan matanya dan membalas ciuman Younghoon.

Mungkin, pikir Chanhee. Mungkin aku masih cinta.


“Kenapa lo lakuin itu?” tanya Chanhee. Lelaki yang lebih tua itu hanya cengengesan gugup. “Sorry ya gak izin,” maafnya.

“Enggak papa,” sahut Chanhee kikuk. “Aba-aba dulu lain kali,” finalnya. Ia dapat merasakan pipinya memerah dan jantungnya berpacu, tetapi baik ia dan Younghoon hanya bertatap dalam diam.

Chanhee merasa seperti ia penipu kelas kakap; tapi kini ia tidak tau, apakah korbannya fans mereka, atau dirinya sendiri.

16 Juli, pukul sepuluh pagi.

Sangyeon paham betul, sebagai seorang leader ia harus belajar sepuluh bahasa; bahasa tak kasatmata dan tersirat teman-temannya di kala susah dan senang. Sangyeon paham, and he's more than happy to. Lewat kesepuluh temannya, ia juga belajar soal cinta dan mencinta. Rekan-rekan kerjanya itu semuanya baik dan Sangyeon tidak pernah lelah belajar bahasa mereka, baik yang diartikulasi maupun tidak. Sangyeon anggap mereka sebagai lebih dari teman atau adik; mereka adalah ekstensi dari Sangyeon sendiri, pun Sangyeon ekstensi dari mereka.

Seperti kutipan dari TikTok yang sering lewat itu: We are a mosaic of everything we have ever loved, dan Sangyeon setuju.

Oleh sebab itu, ia paham telah terjadi sesuatu di antara New dan Younghoon semalam. Baik lelaki musim semi maupun musim panas itu diam dalam presensi satu sama lain, suatu kejadian yang sporadis. Sangyeon tak ingat kapan ini terakhir kali terjadi, tapi yang jelas dia pusing.

Relasi antara New dan Younghoon bisa dideskripsikan dalam banyak rupa, tetapi lengang yang diisi kekikukan di udara bukan salah satunya. Tidak biasanya mereka tidak berkelahi–tidak biasanya mereka diam.

Ada sesuatu yang tak beres, pikir Sangyeon.


16 Juli, tengah malam.

“Younghoon,” “Kim Younghoon!” “Young- Hei! Lo dengerin gue gak sih?!”

Chanhee mendecak frustrasi. Pasalnya, ia baru selesai pindahan dari kamarnya ke kamar Younghoon. Karena ia malas-malasan, sekarang langit sudah gelap dan hari telah berganti. Younghoon diam bersender di depan tangga bunk bed yang harusnya–harusnya–Chanhee bisa naiki dan tidur sekarang karena ia lelah dan ia mau istirahat.

“Younghoon, minggir ihhh!!!” Yang bersangkutan tidak bergeming. Ia menatap Chanhee iseng, layaknya orang gabut padahal mereka ada online fansign besok.

“Nggak mau,” katanya. Kemudian dia beranjak tepat di hadapan Chanhee, wajah mereka terpaut beberapa sentimeter. “Lo gue ospek dulu.” Younghoon senyum, iseng.

Muka Chanhee memerah karena amarah. Kemudian disikutnya Younghoon dan ia buru-buru naik tangga bunk bed itu tetapi–

Chanhee terpeleset di anak tangga paling tinggi, dan ia merasakan dirinya jatuh.

Tapi kok, tidak sakit?

Chanhee membuka matanya dan mendelik begitu melihat Younghoon. Tampaknya, Younghoon yang menangkap dia saat jatuh dan sekarang posisi mereka klise sekali–pacar pura-pura-nya itu menggendong Chanhee seperti pangeran dengan kedua tangannya.

“Lo ngapain!?”

Chanhee jatuh, kali ini beneran.

Kelingkingnya biru, dan mereka tidur sekasur malam itu.