aprilsolstice

“chanhee, ciuman yuk.” “nggak mau.”

chanhee pusing. pasalnya, semalam ia dan anak-anak lain main truth or dare dan semua jadi tau kalau chanhee belum pernah ciuman. sekarang, senior yang ia taksir–kak hyunjae–jadi gangguin dia terus, ngajakin ciuman tiap ketemu. belum lagi, mereka satu kos dan satu fakultas. chanhee jadi susah mau menghindari kakak tingkatnya itu.

keluhannya disambut oleh gelak tawa changmin dan kevin saat mereka sedang makan bareng di kantin. chanhee mendengus kesal, melototin kevin dengan galak (kevin yang memberi chanhee pertanyaan sialan itu) sebelum netranya menangkap–

tunggu. itu kan, kak hyunjae?

buru-buru chanhee kabur sebelum yang lebih tua sadar. “chanhee, mau ke mana?” naas, dia keburu dijegat.

“gue ada kelas, kak.” cicit chanhee, ngeles. “gue anter ya?” “nanti kantinnya keburu rame lagi kak–” “gue gak masalah.” batu banget nih orang. pikir chanhee. “gue bukan anak kecil kali”

chanhee berusaha merengut dan memberi tatapan paling galaknya, tetapi respon hyunjae malah ketawa sambil mengusak-usak rambut chanhee.

chanhee tidak tahu, debar jantung akibat jatuh cinta bisa semenyesakkan ini. ia rasa jantungnya satu degupan lagi dari keluar melewati rusuknya. menata hatimu dari porak-poranda sendirian ternyata melelahkan, ya?

“ya, udah.”


hyunjae tidak butuh waktu lama untuk tau bahwa chanhee sebenarnya tidak ada kelas. chanhee tidak mau mengakui itu. jadi di sinilah mereka, berputar mengitari fakultas ilmu sosial dan politik kampus mereka itu. terik matahari tidak begitu chanhee hiraukan sebab yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana cara keluar dari situasi ini.

“hee,” “chanhee,” “udah dulu dong, gue pegel nih” bingo.

“ya udah kalau gitu gue duluan y–” lelaki virgo itu meraih pergelangan tangan chanhee sigap. “gue tau lo gak ada kelas. lo tadi juga belum kelar makan,” runutnya.

chanhee diam terpelongo. skak mat. tidak ada makhluk langit dan bumi bagian manapun yang bisa bantu dia sekarang.

mereka berakhir makan siang bareng hari itu, hyunjae yang traktir.


“chanhee, kenapa?” yang ditanya tetap melamun. pipi chanhee melekat pada bahu hyunjae erat, matanya terpejam. jam menunjukkan pukul sembilan malam dan chanhee baru selesai nugas.

“kenapa apa, kak?” “kenapa lo bohong?” hyunjae tidak perlu menengok untuk tahu chanhee mengulum senyum.

lelaki yang lebih muda itu lalu bangun dari senderannya dan menatap hyunjae polos. lalu iya meraih bibir hyunjae dalam tautan pelan, menyatukan ranum mereka dengan saksama. hyunjae tersenyum dan memperdalam kecupan chanhee, melumat lembut bibirnya.

satu kecup. dua kecup.

chanhee tidak terlihat kehabisan napas setelah aksi mereka–sebaliknya, justru.

“iseng aja, hehe.”

dari awal, hati chanhee memang tidak pernah porak-poranda sendirian.

lima belas menit sudah changmin dan juyeon duduk dalam diam. karena sedang malas beramai-ramai, mereka memutuskan untuk drive through mcd terdekat dan makan di mobil juyeon. tetapi sekarang, diam mengisi ruang antara changmin dan juyeon yang tidak seberapa luas itu. padahal biasanya, tidak ada lengang di antara mereka.

changmin bingung. jarak di antara mereka kecil, tetapi changmin tidak pernah merasa lebih jauh dari juyeon saat ini.

“juyeon... jadi gue salah apa?” ucapnya memecah keheningan. “bukan salah lo, cil,” sanggah yang ditanya. juyeon melihat changmin kikuk. dia tampak berpikir sepersekian detik sebelum berkata “rumah gue gak pernah mati lampu dan gue gak pernah ketiduran.”

changmin mau pingsan detik itu juga.


“jadi... oke gue ngerti. gue gak masalah kalau lo gak merasa sama, tapi gue gak mau kita jadi beda, ju-”

“sebentar.. hah? lo beneran naksir gue?”

dua-duanya bengong. lalu serentak mereka bilang:

“lo kira kenapa gue marah-marah ke younghoon..” “gue kira gue cuman dijadiin bercandaan...”

changmin mendelik. “lo ngeliat gue segitunya, juy? gue gak mungkin tega lah jadiin orang yang gue sayang bercandaan!”

bego. juyeon bego.

juyeon melihat changmin-nya dengan muka merah dan mata berair. tanpa pikir panjang, juyeon meraih changmin dalam dekapan.

“juy- lepasin ih!” “justru karena gue takut... dan karena gue bego...”

mendengar changmin diam, juyeon memutuskan untuk lanjut bicara.

“gue sayang sama lo, changmin. lebih dari yang lo kira..” katanya lembut. “dan bukan sebagai teman.”

changmin nangis.


pada akhirnya, ayam pedas mcd yang mereka pesan sore itu dimakan ketika sudah dingin.

perihal changmin, juyeon tak ingin akhir yang bahagia. ia tidak mau ada akhir, jika itu soal changmin.

Kamu membuka kedua matamu dan melihat dunia yang asing. Yang kamu ingat hanya namamu: Lee Jaehyun, dua puluh empat tahun.


Cahaya lampu fluoresens menerangi ruangan yang kamu pijak. Tidak ada siapa-siapa di situ, kecuali seorang lelaki bermuka pucat yang terbaring di kasur lengkap dengan alat life support. Kamu tidak perlu mendapatkan ingatanmu kembali untuk tahu dua hal: 1. Lelaki itu menggantung hidupnya pada alat-alat biomedis tersebut. dan, 2. Lelaki itu adalah kamu, Lee Jaehyun. Detik itu kamu sadar, kamu seorang hantu.


Pasien bernama Lee Jaehyun nampaknya bukan orang yang lelap dalam kesendirian semasa ia hidup (Kamu tidak tahu pasti apakah Lee Jaehyun masih dalam ranah manusia hidup atau tidak, tetapi untuk menyederhanakan situasi, kamu anggap begitu saja). Vas bunga di nakas tempat tidurnya selalu terisi dengan tulip biru segar, pun airnya selalu diganti. Kamu tidak tahu perihal siang dan malam karena kamar Jaehyun–kamarmu–bukan kamar dengan jendela. Kamu pernah mencoba ke luar, tetapi rasanya ada sesuatu yang menarik kamu untuk tetap di sini.

Hari-harimu kamu isi di antara keadaan ada dan tiada–terkadang, kamu tidak sadarkan diri entah seberapa lama. Ketika kamu membuka mata, dunia masih sama asingnya tetapi kamu setidaknya sudah menemukan familiaritas dengan ruang yang sunyi lepas dari suara alat rekam jantung itu.

Hingga suatu hari, seseorang datang saat kamu sadar.


“Choi Chanhee. Gue Chanhee. Lo benar gak ingat apa-apa, Jae?”

Hantu lain.

Lebih tepatnya, kalian–kamu dan Chanhee–sedang mengalami out of body experience, menurut Chanhee. Karena sama seperti kamu, Chanhee sadar di kamar inap dia sendiri. Bedanya, Chanhee ingat betul keadaan yang mengantarkannya ke situasi ini. Lebih penting lagi, Chanhee ingat siapa itu Lee Jaehyun–Chanhee ingat kamu.

Lee Jaehyun, 24 tahun. Kamu kerap dipanggil Hyunjae untuk menghindari kebingungan karena teman satu angkatanmu ada yang bernama Jaehyun juga. Tinggimu 180 sentimeter, sedikit lebih tinggi dari Chanhee. Kamu penyuka makanan manis. Warna favoritmu biru, dan bunga favoritmu adalah bunga tulip.

Kamu memiliki seorang kekasih bernama Ji Changmin. Choi Chanhee dan Ji Changmin adalah sahabat karib, dari situ Chanhee mengenalmu. Kamu sedang menuju rumah Changmin bersama Chanhee ketika kecelakaan itu terjadi.

(“Bukan salah lo,” kata Chanhee. “Rem sepeda lo blong, kita gak ada kontrol atas itu.” Kamu bohong kalau kamu bilang tidak melihat sinar sedih dan sesal di mata Chanhee.)

Ketika kamu kehilangan kesadaran lagi, kamu bangun dengan suara serak yang berkata, “Hyunjae, maaf tulip birunya habis.”


Kamu terbangun (kali ini bersama tubuhmu) dengan pemandangan seorang lelaki bermata sembab mengganti bunga di vas. Tanpa aba-aba, lelaki itu memeluk kamu erat, tulip biru di tangannya ia abaikan begitu saja. Kamu tak sampai hati untuk bertanya siapa dia, tapi ia bisa merasakan gerak tak nyamanmu dan pandangan bingungmu.

“Kak... kamu kenapa?”

Kamu melihat lelaki itu memandangmu seolah kamu satu-satunya di dunia, seolah kamu batu permata langka di pedalaman tambang. Kamu tidak kenal dia, tetapi ragamu rasanya merindukan sesuatu; ada lubang di hatimu yang menganga, membakar jasadmu dengan gejolak api yang tidak kamu kenal. Begitu kamu artikulasikan bingungmu, kamu bisa melihat runtuhnya dunia lewat dua pasang mata yang menatapmu pilu.

Kamu tahu itu bukan salahmu, tapi kamu bohong kalau batinmu tidak sakit melihat tetes air mata itu.


Anak itu pendiam, pikirmu saat melihat Changmin.

Kini, hari-harimu kamu isi di antara lelap dan cakap dengan Ji Changmin. Ia selalu ada saat kamu membuka mata dan kamu selalu merasakan genggaman kecilnya dalam tidurmu, hangat dan tulus. Ji Changmin tidak banyak bicara tetapi kamu tahu betul dari dalam rusukmu, ada maupun tiada ingatan, tidak ada yang mencintaimu sepenuh hati seperti Changmin.

Kamu bisa rasakan dari lembutnya ia mengganti pakaianmu, pandangan teduhnya tiap mengganti bunga, juga isak tangisnya saat ia pikir kamu terlelap.

Dari Changmin, kamu tahu: Kamu dan dia bertemu saat sekolah menengah pertama dan dekat saat orientasi jurusan kuliah, enam tahun setelah berkenalan. Tinggi kalian beda enam sentimeter dan kamu menyatakan cintamu pada Changmin enam sentimeter di depannya, sebelum menautkan bibir kalian. Kata Changmin, dunia selalu sederhana saat bersama denganmu. Sebab yang ia angankan ada di depannya: kamu, dan selalu kamu.

“Ini semua salahku,” isaknya. “Kak Hyunjae, maafin aku.”

(Detik itu juga kamu ingin bangun dan berkata, “bukan salahmu.” “Bukan salah kamu, Changmin.” Kamu berandai tentang seberapa halus surai Changmin di bawah elusan tanganmu.)


Malam itu Choi Chanhee kritis, kata Changmin. Dalam mimpimu kamu melihat Chanhee memohon berkali-kali seolah ia sedang merapal doa dan kamu, sang pengampun doa. Kamu hanya dapat diam membeku, mengetahui kamu tidak dapat lakukan itu.

Pagi itu, Choi Chanhee meninggal.

Changmin menangis sehari semalam ditemani Kim Younghoon–yang baru semalam kamu ketahui sebagai kekasih Chanhee–yang menangis tidak kalah jadinya.

Malamnya, kamu tidak bisa tidur. Ratapan Chanhee dalam mimpimu kemarin terpatri jelas di ingatanmu:

“Hyunjae, tolong jagain Changmin sama Kak Younghoon.”

Kamu tidur jam tiga pagi dengan mata panas dan bantal yang basah.


Pada akhirnya, ingatanmu tak pernah kembali. Tapi tidak dengan cintamu. Kamu menemukan Ji Changmin sangat mudah untuk dicintai, dan kamu secara sadar jatuh sejatuh-jatuhnya. Ini bukan soal janjimu dengan Chanhee, pikirmu. Kamu sadar sejak kamu pertama kali bangun, lesung pipi Changmin tidak pernah absen dari ruang pikirmu barang sedetikpun.

Pada akhirnya, ingatanmu tak kembali. Tetapi kini kamu dapat mengisi hari-harimu tanpa kekosongan. Kadang kamu menemani Younghoon ziarah ke makam Chanhee, membawa buket bunga iris. Dalam hari jadi ke-enam kamu dan Changmin, kamu memberikannya buket tulip merah.

Irises symbolize promise. Red tulips mean true love.

Bukan salah kamu, kamu pikir. Akhirnya kamu menyadari perkataan Chanhee padamu waktu itu. Semua yang terjadi–dunia memang kejam, tapi itu bukan salahmu. Takdir memang keji, tapi kamu punya Changmin.

Kisah kalian tidak berakhir bahagia, menurutmu. Sebab bila itu soal Changmin, kamu tidak mau ada akhir. Sebab kamu tahu lesung pipi itu akan selamanya punya markah di hatimu.

(Kamu lega mengetahui Chanhee dapat beristirahat dengan tenang.)

Author's note: Hanahaki Disease (花吐き病 (Japanese); is a fictional disease in which the victim coughs up flower petals when they suffer from one-sided love. It ends when the beloved returns their feelings (romantic love only; strong friendship is not enough), or when the victim dies. It can be cured through surgical removal, but when the infection is removed, the victim's romantic feelings for their love also disappear.

Ada peribahasa yang berkata: harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Akan tetapi, Sangyeon menyadari sesuatu sepeninggal adik tingkatnya, Juyeon: manusia mati tak hanya meninggalkan nama, tetapi juga ruang.

Ruang kosong yang muncul begitu Juyeon pergi tidak kasat mata, tetapi Sangyeon menyadarinya layak ruang itu adalah gajah di pelupuk mata. Sangyeon tidak tau sesuatu perihal ketidakadaan dapat menimbulkan rasa sakit yang amat ada dan begitu hebat; sampai Sangyeon rasanya tidak mampu berjalan, pun bangkit dari tempat tidur saja berat.

Mendiang Lee Juyeon adalah adik tingkat sekaligus teman kecilnya, dan ia meninggal akibat wabah yang akhir-akhir ini merebak; Hanahaki. Kata terakhir Juyeon sebelum ia menghembuskan napas (batuk?) terakhir? Kak Sangyeon, Aku sayang kakak.

Juyeon meninggal di tengah-tengah kelopak anyelir merah penuh darah.

Red carnations symbolize deep love and affection. (I love you, ain't that the worst thing you ever heard?)


Ibu Juyeon acap kali berkata bahwa kematian Juyeon bukan salah Sangyeon. Tapi Sangyeon tidak bisa bohong bahwa ia melihat mata perempuan itu selalu sembab, juga pandangan kosongnya tiap ia berpikir tidak ada yang melihat. Ruang kosong yang Juyeon tinggalkan sebesar itu–Sebagai lelaki dewasa berusia 25 tahun, Sangyeon seharusnya tidak asing dengan kematian atau konsep tentang kematian–tetapi ruang yang ditinggalkan Juyeon semakin hari semakin besar sehingga lebih pantas disebut jurang.

Juyeon-nya itu pintar menyimpan rahasia. Pucat wajahnya ia bilang masuk angin, pipi tirusnya ia bilang diet. Kantong mata yang kian mendalam ia bilang nugas, kak dan karena Sangyeon tahu betapa sibuknya mahasiswa arsitektur, Sangyeon percaya.

Sangyeon tidak tahu, di balik mata yang indah itu ada tangisan yang merapal doa tiap malam; Maaf, Kak Sangyeon. Maaf aku jatuh cinta.

Juyeon-nya itu pintar berbohong. Sangyeon hampir terlambat tahu soal virus yang membuat pengidapnya batuk kelopak bunga itu, tetapi dengan senyum Juyeon berkata, “Kakak nggak tau orangnya siapa. Nggak apa-apa, kak.”

Ruang kosong yang Juyeon sisakan setelah kematiannya tidak dapat diisi lagi bahkan bila Sangyeon memiliki bumi dan seisinya, Sangyeon pikir. Juga dengan ruang kosong di seluk beluk hatinya.

Ketika rongga rusuknya mulai ditumbuhi bunga, Sangyeon tidak melakukan apa-apa.


Begini rupanya perasaan Juyeon, Sangyeon pikir. Bunga yang tumbuh di saluran pernapasannya menyesakkan, tetapi Sangyeon lebih pilih itu daripada harus menghadapi kekosongan yang ditinggalkan Juyeon. Bunga di paru-parunya ada dan nyata, tidak seperti kosong relung hatinya.

Sangyeon terbatuk lagi, kali ini sebuah bunga penuh. Tulip putih. Ia tertawa seakan itu hal paling ironis; white tulips mean forgiveness.

Juyeon menjawab permohonan maafnya enam bulan ke belakang ini.


“Juyeon, Kakak maafin kamu. Kakak selalu maafin kamu. Sekarang, Kakak nyusul kamu, ya? Kali ini aku yang minta maaf. Aku sayang kamu, Juyeon. Maaf aku terlambat.”

falling in love with ji changmin is easy. lee juyeon has never been a person who is adept at love and loving, but he loves changmin like he knows the back of his hand.

loving ji changmin is easy. lee juyeon has always found the younger boy's dimpled smile more beautiful than any kind of sunsets and moonrises he's ever seen. everything changmin does is endearing to him and the short seven centimeters between their height add all the more into it.

it was meant to be, him and changmin, juyeon thought. he doesn't know anyone else who fits his hand as easily as changmin does, who always returns his lame jokes with a smile like changmin does, who is as pretty whether he's writhing beneath him or sweating under the sun like changmin is. changmin is everything juyeon's ever known, and he's always been okay with it.

so when changmin said, “juyeon, let's end things between us.” juyeon doesn't understand. “juyeon, it has never come into my mind that this day would come, either..” changmin continued, noticing juyeon's expression.

“lee juyeon, i've fallen out of love with you. i'm sorry.”

–––

all good things must come to an end, juyeon suppose. he didn't know when it all went wrong; at some point, he has thought of another person being in their relationship but he knew changmin better than that. he trusts changmin better than that.

their relationship was beautiful. juyeon doesn't regret spending his youth with changmin and if he had the chance to do it all over again, he will. thanks to changmin, he had a beautiful youth, everything he could ever dream of. long summer days never felt boring with changmin and in retrospect, cold winter nights never felt cold.

in between his long sighs and cigarette takes, juyeon ponders. how did such a beautiful thing come to an end? he and changmin were strong. their friends thought they were going to marry–hell, even juyeon thought so too. he's still not set on what to feel about the whole falling out of love thing.

amidst the silence of his room, juyeon thinks about changmin.

–––

he is a star, that boy. ji changmin shines like no other, burns brightly like a sun does. he's dripping of light and warmth and juyeon is a greedy man in comparison. he thinks of whether or not he ever tainted changmin's light with his existence but changmin, ji changmin–he's a star full of love. the way changmin loves–loved him, juyeon always feel at ease. the way their eyelashes meet when they kiss, the way juyeon's big palm fit the small of changmin's back, everything feels like it was at its place.

lee juyeon has never been a person who is adept at love and loving. love is strange, it's all chemicals, he thought. changmin would laugh at this and say, “everything is chemicals, juyeonie,” with his signature smile. changmin taught him about love and juyeon has never been the same since.

“forever's not our thing, juyo.” changmin used to say, to which juyeon replied with, “what has forever got against your smile?” and they'd laugh together, hands intertwined.

juyeon knows forever is a long time and he thought he doesn't mind spending every second of his forever with changmin, but now changmin is gone and juyeon doesn't know how could he long for a forever when changmin's all he's ever known.

(forever's not our thing, juyeon. deep down juyeon knows changmin meant i'm sorry i never promised you a forever.)

–––

maybe, deep down juyeon has fallen out of love too, a long time ago. juyeon doesn't want to admit when he's started to lost the so-called sparks, he just assumed it's because changmin has became a part of his mundanity. when changmin's smile stop sending warmth to his heart, juyeon's assumed it was a normal thing for couples (and maybe it is, but juyeon doesn't mention how his core has also become cold, with or without changmin).

is this what falling out of love feels like?

juyeon's thought his and changmin's fire would burn gently for centuries to come, but now all that's left are ashes, their memories, and more ashes.

it doesn't hurt as much as he thought it would, but,

“cold, it's so cold.” juyeon mutters. it's frigid, it's ice cold, the kind of chill that doesn't send shivers down your spine but numbs it instead.

it hurts.

changmin, it hurts.

–––

“forever's not our thing, juyo.” “i know.”

i. because i can.

hari itu, kayaknya matahari lagi sayang-sayangnya sama bumi. alias suhunya panas, banget. entah sudah berapa kali younghoon mengucap sumpah serapah—panas banget, gerah banget—sambil mengecek suhu jakarta di ponsel berulang kali, seolah suhunya akan menurun begitu saja. akan tetapi, angka 40°C setia terpatri di layar ponselnya.

younghoon kembali menyeruput es kopi dia (gelas kedua, younghoon hitung. lambung dia bisa protes nanti, atau protes ke matahari sekalian).

“—hoon,” “younghoon!” younghoon hampir tersedak. dilihatnya chanhee menatap dia dengan nelangsa. oh iya. younghoon hampir lupa saking panasnya—dia lagi kencan (younghoon sih anggapnya kencan, gak tau chanhee gimana) sama chanhee di kota tua.

lagian, orang waras mana yang mau-maunya diajak panas-panasan di bawah terik matahari jakarta yang keji bukan main itu kalau bukan karena cinta? (banyak, batin younghoon. cuman dia bersikukuh kalau dia melakukan ini semua karena cinta, ketika dia bisa malas-malasan di kasur jam segini).

“bagi minum loooooo!!!” rengek chanhee. sekilas, younghoon lihat gelas plastik di tangan chanhee sudah kosong. tadi, dia gak mau beli dua gelas tapi siapa yang kuat lawan matahari jakarta? jelas bukan chanhee.

younghoon punya ide.

“bilang apa dulu?” tanya younghoon. “hah?” yang ditanya bingung, mulutnya menganga sedikit. lucu. chanhee selalu lucu di mata younghoon. “menurut lo apa? gue rasa anak kecil juga tau,” jawabnya. “younghoon, apa sih— oh. oooooh” “younghoon, please, gue haus banget nih…”

younghoon knew he set himself up for this.

“bukan itu,” ucap younghoon. ia yakin dirinya sedang menggali kubur lebih dalam ketika dia melanjutkan kalimat tadi dengan “bilang, kak younghoon, gue sayang lo.”

chanhee bengong untuk sepersekian detik sebelum wajahnya memerah semerah-merahnya. “younghoon, ih! yang bener aja? gue cuman mau seciciiippp!!” keluhnya.

“ya udah, kalau gitu cium du—”

perdebatan mereka berakhir dengan chanhee memukul punggung younghoon gemas, sambil menyeruput es kopi dia sampai habis setengah.

younghoon tidak tau mana yang buat jantungnya lebih berpacu, fakta bahwa mereka berbagi ciuman tak langsung (iya, younghoon kayak anak smp baru jatuh cinta) atau omongan kecil chanhee tadi yang hampir tak terdengar: younghoon, gue sayang sama lo.

ii. because i want to.

adakalanya, younghoon berterimakasih pada hujan. akan tetapi, sekarang bukan kala ia mengucap syukur. rintik hujan yang membasahi bumi sore itu tidak memberi tanda ia akan reda dalam waktu dekat. langit mulai gelap dan younghoon sendirian. di. perpustakaan.

perpustakaan kampus younghoon nggak angker, sebetulnya. tapi nggak cukup welcoming juga buat mahasiswa berlama-lama saat sudah gelap. sudah lewat jam tutup pula, makanya younghoon diusir dan sekarang cuma bisa berlindung dari hujan di dekat pintu masuk. ia merapatkan jaketnya dan tampak berpikir sekali, dua kali, sebelum akhirnya merogoh saku untuk meraih sesuatu: pemantik api.

“mau ngerokok ya?” belum sempat younghooon ngapa-ngapain, ia sudah dikagetkan oleh sebuah suara di belakangnya. dengan mata terpejam pun younghoon tau siapa pemilik suara itu: tak lain dan tak bukan, choi chanhee.

(mungkin, younghoon pikir. ada yang patut disenangi dari hujan hari ini.)

“lo ngapain belum pulang?” kilah younghoon. “lo nggak jawab pertanyaan gue, younghoon,” tukas lelaki yang lebih muda. “bagi, sih.”

younghoon mendelik. “ngaku, lo dedemit ya? bukan chanhee?” yang dituduh tidak kalah nyolot. “maksud lo?!?” “chanhee gue enggak ngerokok!” “ya... ya chanhee lo ini penasaran!” jika telinga chanhee memerah sore itu, younghoon tidak sadar.

pada akhirnya, younghoon memutuskan untuk berbagi sebatang rokok dengan teman baiknya. di bawah langit yang mulai gelap, cahaya pemantik api jadi satu-satunya penerangan sore hari itu.

chanhee terbatuk disusul oleh tawa younghoon.

“younghoon, gue beneran bukan demit, btw” “iya, gue tau.” younghoon berani taruhan kalau tidak ada makhluk, baik natural maupun supernatural, yang dapat mengecoh dia apabila itu perihal chanhee, “idih? sotoy banget.” “ya udah, sini gue cium-” sikut ke perut. “i'm starting to think lo beneran pengen gue cium, ya..” oh, chanhee. you have no idea. batin younghoon. “nah, itu chanhee aslinya keluar. dedemit pasti mau lah dicium orang ganteng kayak gu- ADUH! IYA AMPUN!!!”

chanhee pulang menggunakan jaket younghoon malam itu. (adakalanya, younghoon menyukai hujan–lebih tepatnya, apa yang hujan datangkan padanya).

iii. because i'm grateful.

orang selalu bilang jatuh cinta tak lepas dari kupu-kupu yang dirasa dalam perut. berkumpul, merengkuh, dan menyebar. namun orang kerap kali melihat jatuh cinta dari sisi manisnya saja. kadang, merasa bahwa jiwamu terjun masuk jurang juga bagian dari jatuh cinta. seperti yang younghoon rasakan sekarang: chanhee tenggelam.

mereka sedang main arung jeram bareng anak-anak jurusan lain: eric dari hukum. jacob dari psikologi, kevin dan haknyeon dari antropologi, sangyeon teknik sipil, juyeon dari arsitektur. changmin seni tari, sunwoo teknik mesin, dan hyunjae, kedokteran.

younghoon tidak tau pasti bagaimana kronologis kejadiannya–perahu mereka terbalik tepat di area sungai yang berarus deras. ketika younghoon semua berkumpul lagi dengan yang lain, chanhee tidak ada. tanpa pikir panjang, ia menceburkan dirinya kembali ke air.

ruang pikir younghoon saat itu hanya chanhee. choi chanhee, teman kesayangannya yang akan ia beri bumi dan seisinya apabila lelaki yang lebih muda itu mau. choi chanhee yang membuat hidupnya lebih berwarna, seakan younghoon tak tau apa itu warna sebelum bertemu chanhee. persetan dengan takdir, pikirnya. ia tidak butuh takdir selama ia punya chanhee.

***

younghoon sudah setengah sadar waktu ia kembali ke teman-temannya, membawa chanhee yang tak sadarkan diri di punggung.

younghoon setengah sadar waktu temannya ramai-ramai membantu menenangkan dia dan memberikan pertolongan pertama pada chanhee, pikirnya terpusat pada skenario-skenario terburuk di mana–

uhuk ketika ia dengar chanhee tersedak, younghoon langsung bergerak meraih chanhee dalam dekapnya, mencium pelipis lelaki itu seolah-olah hanya ia yang younghoon punya di dunia.

terima kasih younghoon ucapkan pada seluruh entitas di atas langit sana yang mengembalikan chanhee-nya dengan selamat. kamudian secara klise, semuanya menjadi gelap.

iv. because i'm here.

younghoon tidak pernah berpikir bahwa berbagi mie cup dengan chanhee bisa menjadi se-awkward ini. lengang mengisi ruang di antara mereka tanpa satupun suara selain seruputan kuah mie yang hangat.

untuk rekap situasi: younghooon pingsan, lalu ia dibawa ke rumah sakit terdekat. saat ia sadar, hanya chanhee yang menungguinya di kamar. katanya, yang lain sibuk hubungi orangtua younghoon, mengambil pakaian ganti, mengurus administrasi rumah sakit, cari makan, banyak lah pokoknya. chanhee sendiri memilih untuk jagain younghoon dan yang lain setuju-setuju saja; hitung-hitung dia juga habis tenggelam.

belum sempat younghoon bicara, chanhee nangis. buru-buru younghoon letakkan mie-nya dan meraih chanhee dalam pelukan. younghoon tidak tahu itu hari apa atau jam berapa, tetapi chanhee tampaknya belum istirahat banyak, pun sekedar beres-beres saja belum.

“chanhee.. kenapa?” “lo,” isak chanhee. “lo kenapa bego banget sih.. gue juga bisa-bisanya tenggelem gue-” tangan younghoon yang membelai lembut surai legam chanhee membuat lelaki bulan april itu menangis lebih jadi. younghoon pun sadar, tubuh kecil chanhee gemetar hebat.

“nggak apa-apa, gue di sini,” satu usapan pada pipi. satu ciuman pada jejak air mata. “chanhee, gue di sini.”

v. because i love you.

sebenarnya cinta itu seperti apa, sih? pertanyaan itu seringkali terbesit dalam ruang pikir younghoon. teman-temannya mempunyai jawaban tersendiri yang bervariasi. tetapi bagi younghoon, jawabannya sangat sederhana.

cinta itu bukan tentang bagaimana sinar matahari jatuh ke wajah kekasihmu di pagi hari. pun juga bukan tentang buket bunga dan coklat, ataupun lagu-lagu cinta lawas yang mengagung-agungkan rasanya dibakar oleh api sendiri sampai habis tidak bersisa.

bagi younghoon, cinta bukanlah sesuatu yang agung. cinta itu sesederhana bagaimana hatimu terasa penuh dan pipimu terasa sakit karena lelah tersenyum. oleh karena itu ketika chanhee bertanya, “cinta itu sebenarnya kaya gimana, sih?” younghoon hanya melihat chanhee seperti ia menggantung bulan dan bintang lalu meraih ranumnya dalam tautan. “begini, chanhee.” katanya. . . . (kecupan younghoon berkata “chanhee, gue sayang sama lo,” dibalas dengan kecupan chanhee, “gue juga sayang sama lo, banget.”)

+i.

ketika younghoon dan chanhee jadian, teman-teman mereka bereaksi riuh. ada yang bilang 'akhirnya,' 'apa gue bilang!' dan bahkan ada yang mengeluh soal kalah taruhan.

pacaran. memikirikan bahwa dirinya dan chanhee pacaran masih menggelitik perut younghoon layaknya ia abege baru jatuh cinta. tapi ia tidak masalah, karena hatinya terasa penuh dan pipinya sakit karena tersenyum.

“younghoon,” ucap chanhee. mereka sedang menonton netflix berdua, kepala younghoon di pundak chanhee dan dagu chanhee bersandar di kepala younghoon. nampaknya chanhee mulai bosan dengan film pocong yang sedang mereka tonton.

“younghoon ih, aku manggil.” chanhee membetulkan duduknya. “mau cium..”

younghoon cengengesan. dibawanya chanhee dalam ciuman lembut, tangan kanannya di tengkuk leher chanhee dan tangan kirinya di pinggang lelaki yang lebih muda itu. ia bisa merasakan baik chanhee dan dirinya tersenyum.

“kamu genit ya sekarang,” ucap younghoon di sela-sela ciuman mereka. chanhee hanya memutar matanya malas lalu melanjutkan permainan bibir mereka.

younghoon pernah berpikir bahwa ia orang yang sederhana. apa yang hidup berikan, ia terima seada-adanya. akan tetapi, bila itu tentang seorang choi chanhee, younghoon inginkan semua. ia inginkan chanhee dan hangatnya yang terasa seperti rumah, ia butuhkan chanhee layaknya lelaki itu sebuah oasis di padang pasir.

younghoon inginkan chanhee sampai udara di paru-parunya habis, dan ia tersenyum mengetahui chanhee menginginkannya dengan sama.

“gue kalah, ya..”

netramu menangkap chanhee yang mengernyitkan alisnya malas. jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul dua dini hari. menginap di puncak pertengahan semester seperti ini ide konyol, sebetulnya. tapi kamu tak pernah kuasa bilang tidak ke pada binar mata yang indah itu, juga senyum chanhee yang kamu rasa punya kekuatan magis.

jadi di sinilah kalian, berkumpul di ruang tengah sebuah villa sembari menunggu matahari terbit. sunwoo sudah terlelap di lantai sejak tadi, begitu juga eric. hanya changmin, chanhee, kamu, dan jaehyun yang masih terjaga. perkara cerutuk chanhee tadi—kalian sedang bermain poker. baik kamu maupun ketiga temanmu sebenarnya tidak begitu mengerti aturan main poker—sehingga kamu tanya, “memang kartu lo kaya apa, chanhee?”

yang ditanya justru mendelik, “curang lah itu namanya!” desisnya. kamu hanya dapat tertawa. sebab kamu tahu, di balik keluhan-keluhan kecil chanhee ada hati yang bukan main luasnya. sebab kamu tahu, choi chanhee adalah seseorang yang mencintai dunia, meskipun dia tau mencintai dunia itu sulit sekali.

entah sejak kapan, kamu ingin menjadi dunia untuk chanhee.

“younghoon, giliran lo. call atau fold?” kamu tersentak dari lamunanmu. di tanganmu terdapat dua kartu: As sekop dan As hati. Di meja: Queen keriting, 2 keriting, dan King keriting, dengan dua kartu sisanya tertutup.

samar-samar kamu ingat kombinasi apa yang mungkin terjadi, dan berapa peluangmu untuk menang.

“call, deh. all-in.”

“nahhhh, gitu dong! gue all-in juga!!” sorak changmin, diikuti dengan jaehyun yang bilang, “skip. gue fold.” katanya, jelas mengantuk. chanhee tampak berpikir setengah hati sebelum akhirnya memutuskan, “all-in.” . . adakalanya, dunia membalas cinta yang kamu berikan. (hatimu tak seluas hati chanhee, kamu pikir. kamu pun ingin menyayangi dunia, tetapi duniamu hadir dalam wujud laki-laki yang binar matanya tidak pernah absen dari ruang pikirmu barang sedetik pun.)

malam itu kamu pemenangnya. four of a kind. kebetulan, kedua kartu yang tertutup di meja itu adalah kartu As.

(kamu menang malam itu. tetapi jika bicara urusan hatimu, chanhee telah menjadi pemenang tetap sejak puluhan, bahkan ratusan malam yang lalu.)

sudut matamu melihat chanhee yang tertawa lepas, lalu hatimu terasa penuh.

kamu pikir, cinta seperti ini cukup. chanhee dan presensinya yang hangat tidak pernah membuatmu merasa kurang. chanhee dan cintanya yang bertumpah ruah, seperti hadirnya ia dalam dekapmu tanpa kamu pinta, mengusap punggungmu pelan seakan kamu dapat retak sewaktu-waktu.

kamu pikir, cinta seperti ini cukup. bagaimana chanhee membalas tatapan teduhmu dengan senyuman khas-nya. bagaimana tautan jemari kalian melengkapi satu sama lain, hangatmu dan dinginnya, serasi seolah memang seperti itu angan dunia.

kamu pikir, kamu tidak perlu mengartikulasikan apapun. sebab cintamu saja sudah cukup untuk memenuhi rongga-rongga rusukmu.

tetapi dunia punya caranya sendiri untuk membuktikan bahwa kamu salah.

jauh dari dalam lubuk hatimu, kamu tahu tatapan teduhmu tidak akan berbalas. kamu tahu binar mata yang indah itu tidak pernah tertuju kepadamu. sebab seberapa ingin pun kamu menjadi dunia untuk chanhee, kamu tahu dunia chanhee bukanlah kamu.

kalau bisa, kamu ingin memberi chanhee bumi dan seluruh isinya bila itu berarti chanhee akan melihat ke arahmu sedetik saja.

kalau bisa, kamu ingin memohon pada seluruh entitas di langit sana agar kamu menjadi api yang menghangatkan relung kosong hati chanhee di kala gelap malam.

kamu ingin chanhee inginkan kamu sebagaimana kamu menginginkan dia, kamu ingin chanhee tau bahwa dunia—bahwa kamu—mencintai dia sedemikian rupa.

tapi kamu tidak bisa bohong kalau kamu tidak melihat bagaimana chanhee menatap sunwoo yang sedang terlelap seolah bulan dan bintang bergantung padanya. kamu tidak bisa bohong kalau kamu tidak melihat chanhee mengusak lembut ikal kepala sunwoo sambil sesekali mencuri kecup di kening. pelannya chanhee membetulkan selimut sunwoo, tidak pernah dilakukannya kepada kamu.

seharusnya kamu tahu, kemerahan pada pipi chanhee di bawah tatapmu malam itu disebabkan udara puncak yang kian mendingin.

seharusnya kamu tahu, mencintai itu memang sulit. tetapi choi chanhee membuat jatuh cinta begitu mudah, jauh lebih mudah dari membalikkan telapak tangan. sebelum kamu sadar, kamu sudah jatuh sejatuh-jatuhnya.

malam itu kamu mungkin pemenangnya. tetapi di antara sunyi kamu bergumam, “gue yang kalah, chanhee.”