aquarieblack

Oneshoot

#Oneshoot

Tanpa berpikiran macam-macam, Julian segera meletakkan hp nya lalu dengan segera berjalan keluar kamar untuk menghampiri Mahen, asisten pribadi Levin yang sudah berada di depan rumahnya.

Lelaki manis itu menuruni tangga rumahnya dengan langkah ringan, ditambah sebuah kotak merah yang baru saja ia terima juga berada di tangannya sekarang. Entah mengapa Julian membawa kotak itu bersamanya, sepertinya lelaki manis itu tidak sadar.

Begitu Julian membuka pintu depan, dirinya di kaget kan dengan sosok tinggi yang berdiri membelakangi nya.

Jelas saja itu bukan Mahen. Julian sangat hafal dengan postur tubuh Mahen yang sedikit lebih pendek daripada sosok tinggi yang kini berada di hadapannya itu.

Julian jelas tahu, siapa sosok tinggi yang kini tengah membelakanginya itu. Dengan pakaian yang cukup formal, Julian bisa menebak jika sosok itu baru saja pulang dari sebuah pertemuan yang sepertinya sangat penting jika melihat dari outfit yang sosok itu kenakan.

“Hai sayang, Happy birthday.” Ucapnya singkat setelah membalikkan badan sambil memasang senyum hangat yang selalu Julian suka. Lengkap dengan sebuah kue kecil dengan lilin yang menyala di atasnya

“Loh? Kok-” Julian melihat kearah sekitarnya berusaha mencari Mahen yang katanya akan kembali untuk memberika hadiahnya yang lain.

“Kamu nyari siapa?” Tanya sosok di hadapan Julian dengan suara khasnya.

“Nyari Mahen, katanya dia mau balik lagi, kok malah ada kamu?” Tanya Julian dengan polosnya.

“Ya aku hadiahnya, Mahen kesini nganterin aku.”

“Kamu- Gimana- tunggu deh.” Julian menggelengkan kepalanya ketika dirinya bingung untuk bertanya pada sosok itu.

Tawa nyaring sosok tinggi itu terdengar jelas. “Kamu nih gemes banget sih?” Ujarnya sambil menggusak rambut Julian.

“Mending tiup lilin dulu, baru nanti nanya-nanya.” Sosok itu kembali mengangkat kue ditangannya yang tadi sempat terlupakan. Lilin-nya hanya tinggal setengah. Jika lebih lama lagi Julian menunda untuk meniupnya, pasti lilin itu akan mati dengan sendirinya.

“Make a wish dulu ya sayang.”

Mendengar perintah itu, Julian segera menangkupkan kedua tangannya, namu sedikit kesulitan karna kotak merah yang sejak tadi ia bawa. Melihat Julian kesulitan, sosok di hadapan lelaki manis itu segera mengambil alih kotak merah tersebut dan memegangnya.

Julian terlihat tenang ketika berdoa sambil menutup matanya sesaat sebelum meniup lilin.

Fuuuuhhhh

Sosok tinggi itu segera meletakkan kue nya di atas meja yang berada di teras rumah Julian dan segera meraih kedua tangan Julian dan menggenggamnya dengan hangat.

“Happy birthday, Julian.” Ucapnya singkat lalu dengan segera memajukan tubuhnya lalu mengecup kening Julian cukup lama.

“Terima kasih Mas Levin.” Balas Julian dengan lembut kemudian masuk kedalam pelukan lelaki tinggi itu. Menyamankan kepalanya di dada bidang sang lelaki sambil berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh keluar.

Sosok tinggi itu adalah Levin Hadinata, satu-satunya orang terdekat Julian selain keluarganya. Jika di tanya apakah mereka berpacaran? Jawabannya adalah tidak. Keduanya terlihat terlalu dekat untuk dapat dibilang sebagai sepasang teman. Tapi keduanya juga tidak memiliki status yang mengikat mereka. Jadi kita sebut saja jika mereka ini adalah sepasang TTM 🙂.

Levin yang selalu memperlakukan Julian layaknya pujaan hatinya, tetapi setiap di tanya mereka itu sebenarnya apa? Jawabannya selalu sama. Mereka adalah teman.

“Kok kamu nangis sih?” Tanya Levin begitu melepaskan pelukan mereka.

“Aku gak expect aja kalo ternyata kamu yang ada di sini sekarang.” Jawab Julian dengan air mata yang menetes dan membasahi pipinya. Levin dengan cepat menghapus air mata Julian.

“Sssttt. Aku gak mau ah kamu sedih-sedih kaya gini. Kamu happy?”

Julian mengangguk pelan.

“Katanya gak bisa pulang, taunya udah disini. Dasar tukang bohong.” Rajuk Julian sebal.

“Ya kan namanya surprise, kalo aku bilang gak jadi surprise dong sayang.” Levin menarik hidung Julian dengan gemas.

“Mas sakit dong ahhh.” Protes Julian sambil menatap Levin sebal.

“Kamu sejak kapan disini??”

“Tadi jam 9. Aku baru beres meeting langsung flight, dijemput sama Mahen dan langsung kesini. Makanya masih begini tampilannya.” Ujarnya sambil memperhatikan dirinya sendiri.

Sejujurnya, Julian sedikit terpesona. Ralat. Sangat terpesona saat melihat Levin memakai pakaian formal seperti ini, sebuah kemeja dengan lengan yang di gulung sampai siku, dasi yang sudah mulai berantakan. Levin yang seperti itu terlihat lebih menggoda di mata Julian. Levin dengan tampilan seperti ini lah yang menjadi kelemahan seorang Julian.

“Aku tadi liat kamu pas ambil hadiah ku dari Mahen. ” Julian menatap Levin dengan tatapan penuh tanya.

“Iya, aku dari tadi di mobil Mahen hehe.”

“Ih pantesan aja, pas aku tanya kenapa parkir diluar katanya buru-buru masih ada kerjaan. Taunya lagi ngumpetin bosnya toh.” Ucapan Julian barusan berhasil membuat Levin tertawa keras.

“Happy gak ada aku disini?” Tanya Levin memecah keheningan.

“Happy! Makasih ya mas, kamu udah nyempetin untuk dateng. Padahal aku gak expect kamu bakal dateng.”

“Sebetulnya ada yang mau aku omongin dan gak bisa aku tunda lagi. Makanya aku mutusin untuk pulang sebentar dan ketemu sama kamu.” Atmosfer teras rumah Julian tiba-tiba saja terasa semakin dingin. Julian sudah berubah menjadi sedikit defensif, begitu mendengar Levin ingin berbicara dengannya.

“Kamu- Kamu mau ngomong apa?” Tanya Julian dengan nada suara yang terdengar takut.

“Sini duduk,” Levin segera mendudukkan Julian di salah satu kursi, sedangkan dirinya berlutut tepat di hadapan Julian yang terduduk tegang.

“Kamu-”

“Dengerin, aku mau ngomong serius sama kamu. Aku minta kamu untuk dengerin aku sampe selesai baru nanti kamu boleh ngomong. Yaa?” Julian menganggukkan kepalanya pelan, jantungnya sudah berdetak tidak karuan. Dirinya juga tidak bisa menebak apa yang akan di bicarakan oleh Levin. Pasalnya lelaki tinggi itu kini terlihat serius dan raut wajahnya tidak bisa di baca sama sekali oleh Julian.

“First of all, Happy birthday yaa kesayangan aku. Aku berdoa dan berharap semoga kamu selalu di kelilingi sama hal-hal baik, di kelilingi orang-orang baik yang sayang sama kamu. Semoga kamu sehat terus supaya bisa sama aku terus. Sukses untuk segalanya yaa sayang. Terima kasih untuk selalu ada di samping aku selama ini. Aku beneran beruntung banget bisa kenal sama kamu dan jadi orang terdekat kamu.” Levin meraih tangan Julian dan mengecup punggung tangan Julian cukup lama. Setelahnya menatap dalam tepat ke manik mata Julian yang sudah terlihat sedikit berembun.

“Berhubung hari ini ulang tahun kamu, aku mau buat pengakuan sama kamu. Mungkin udah terlalu terlambat karna aku baru bilang ini sekarang. Tapi Julian, aku mau kamu tau kalo aku sayang banget sama kamu, gak ada satu haripun aku gak mikirin kamu. Apalagi kemarin posisinya kita lagi jauh, aku selalu kepikiran sama kamu, apa kamu baik-baik aja, ngapain aja kamu selama gak ada aku, siapa yang jagain kamu selama aku pergi. Pokoknya apapun yang aku pikirin selalu ada kamu di akhirnya.” Levin sengaja menjeda ucapannya untuk melihat reaksi Julian. Lelaki manis itu hanya diam dengan air mata yang sudah mulai turun membasahi pipinya.

“Jangan nangis, aku gak bisa liat kamu nangis kaya gini.” Levin dengan cepat menghapus air mata Julian.

“Julian aku tau, kalo selama ini aku gak jelas, kita gak jelas. Kita deket tapi yaa kita gak ada apa-apa. Makanya sekarang, aku mau memperjelas semuanya. Di hari ulang tahun kamu ini, aku Levin Hadinata mau minta kamu Julian untuk jadi pendamping seumur hidup aku. Aku mau habisin sisa waktu aku selamanya sama kamu.”

Air mata Julian semakin deras begitu mendengar ucapan serius Levin barusan. Levin dengan sigap menghapus air mata Julian yang turun dan sepertinya tidak berniat untuk berhenti.

Levin kemudian mengambil kotak merah yang sejak tadi tergeletak di meja, lalu membukanya dan menyodorkannya tepat di hadapan Julian.

“Julian, aku gak pernah mau main-main sama kamu. Mungkin ini terkesan terlambat tapi sekarang, aku yakin kalo aku mau kamu untuk menjadi pasangan hidupku selamanya. Orang yang akan berbagi segala hal sama aku. Dan aku cuma mau kamu. Jadi Julian, kamu mau kan nikah sama aku?” Tanya Levin dengan lugas tanpa ragu.

Bersamaan dengan tangis Julian yang pecah, lelaki manis itu segera menutup wajahnya dengan kedua tangan dan Levin bisa mendengar suara menangis Julian dengan jelas.

“Hei, kok kaya sedih banget sih? Gak mau ya kamu?” Tanya Levin karna merasa ada yang salah.

Julian dengan cepat menggeleng, namun masih tetap menutup wajahnya. Levin yang gemas segera menarik Julian kedalam pelukannya, berusaha menenangkan sang pujaan hati.

“Ini aku di tolak yaa? Yah sakit hati deh aku di tolak sama kesayangan aku.” Ucap Levin bercanda, sengaja untuk memancing Julian berhenti menangis.

Dengan cepat Julian memeluk Levin dengan erat, seolah Levin bisa saja menghilang kapan saja. Hal itu sukses membuat Levin terkekeh pelan. Lelaki tinggi itu mengecupi pelipis Julian dengan lembut. Berhasil membuat Julian semakin mengeratkan pelukannya.

“Kenceng banget meluknya? Aku gak akan kemana-mana kok. Selama kamu belum jawab, aku gak akan kemana-mana. Jadi mau di jawab dulu?” Tanya Levin dengan lembut.

“Aku mau.” Ucap Julian pelan dengan suara khas orang yang habis menangis.

“Mau apa?? Aku gak ngerti.” Goda Levin.

“Levin jangan kaya gitu,” rengek Julian dengan suaranya yang teredam di dada bidang Levin.

Sukses membuat Levin tertawa, lelaki tinggi itu menjauhkan tubuhnya dari Julian dan menatap mata sembab lelaki manis kesayangannya itu. Levin mensejajarkan wajahnya dengan wajah Julian. Menatap tepat ke manik mata sayu Julian.

“I love you Julian. Kamu mau kan nikah sama aku?” Ucap Levin dengan suara rendahnya, berhasil membuat Julian seperti tersihir dan mengangguk pelan dengan mata mereka yang masih terpaku satu sama lain.

“Be mine?” Levin memundurkan sedikit tubuhnya dan kembali menyodorkan cincin yang memang sengaja ia pilih sebagai hadiah ulang tahun Julian.

Lelaki manis itu, menundukkan kepalanya untuk melihat cincin yang tadi sudah ia buka dan kembali menatap Levin.

Julian terdiam cukup lama sambil menatap Levin dengan lekat. Berusaha mencari sesuatu yang sama sekali tidak ia temukan. Yang Julian liat hanya ada keseriusan di raut wajah Levin.

“Aku mau. Aku mau jadi milik kamu Mas Levin. I love you.” Jawab Julian dengan suara yang sedikit bergetar.

Tanpa membuang banyak waktu, Levin segera memasangkan cincin nya ke jari manis sebelah kiri tangan Julian lalu memberikan sebuah kecupan tepat di atas cincin itu.

“Di jaga baik-baik yaa. Ini tanda bukti keseriusan aku sama kamu. Tunggu semua urusan aku selesai dulu, baru nanti aku dateng ketemu oma opa kamu sama mama papa ku. Tunggu sebentar lagi ya sayang. Hari ini aku sengaja dateng untuk mengikat kamu secara resmi. Kalo selama ini kita cuma temen deket tapi kaya orang pacaran. Sekarang aku udah bisa pamer sama semua orang kalo kamu itu tunangan ku.”

“I love you Julian.”

-Fin-