Title: Slowmotion
Pairing: Jaehyuk/Asahi
in this story junghwan and jeongwoo are much younger than their actual age and jaesahi older than their actual age.
-notes- Italic: flashback
—
Matahari mulai meninggi memancarkan teriknya. Seorang pemuda berkulit putih pucat dengan surai hitam legam menghela napas panjang—sesekali menendang kerikil-kerikil kecil yang bertemu dengan ujung sepatunya. Sebuah amplop coklat dengan ukuran cukup besar berada di genggamannya. Pemuda itu membuka amplop coklat itu kemudian mengeluarkan beberapa lembar sketsa dan ilustrasi hasil karyanya. Pemuda dengan postur tubuh sedikit mungil itu menggembungkan pipinya dan lagi-lagi menghela napas panjang.
“Mengapa sulit sekali mencari pekerjaan di negeri orang?” keluhnya pelan.
Sudah hampir 2 jam dirinya mendatangi beberapa perusahaan desain grafis terkenal di Kota Seoul namun belum membuahkan hasil yang berarti. Bulir keringat mengucur dari pelipisnya. Mencari pekerjaan di siang hari di tengah musim panas memang bukanlah pilihan yang bijaksana.
Kepalanya tertunduk lesu. Rasa lelah juga putus asa menghinggapi pikirannya. Pemuda itu melangkah pelan ketika indera pendengarannya menangkap suara alunan gitar diiringi suara lembut khas milik seseorang yang menyanyikan lagu teranyar dari salah satu boygroup Korea—Treasure. Ia mempercepat langkahnya ketika sepasang kaki lelahnya berhenti di sebuah taman yang siang ini dipenuhi kerumunan orang—melangkah mendekati sumber suara yang menarik perhatiannya.
Seorang pemuda yang kurang lebih seumuran dengannya dengan surai hitam memetik gitarnya sambil menyanyikan alunan lagu favoritnya. Tanpa sadar senyum merekah di kedua sudut bibirnya tatkala mendengar suara indah yang memanjakan telinganya. Sesekali menggerakkan kakinya seirama dengan alunan nada yang dihasilkan petikan gitarnya.
Ia menggerakkan kepalanya lembut ketika pandangannya bertemu dengan pemuda tampan di hadapannya. Waktu terasa berhenti ketika desiran aneh merayapi hatinya. Pandangan lembut yang menatapnya dalam.
Aneh.
Mengapa terasa familiar? Seharusnya ini pertemuan pertamanya lalu mengapa pemuda ini seperti tidak asing?
Lamunannya buyar ketika suara petikan gitar berhenti diiringi riuh tepuk tangan dari orang-orang sekitarnya. Mau tak mau dirinya juga ikut bertepuk tangan meskipun atensinya hilang entah kemana selama seperempat bagian terakhir dari lagu.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya suara berat yang membuatnya berjengit karena terkejut.
Maniknya membulat melihat pemuda yang baru saja menyelesaikan pertunjukkan musiknya berdiri di hadapannya dengan gitarnya yang sudah tersimpan rapi di dalam guitar case-nya.
“A-aku rasa tidak?” jawabnya ragu dengan nada setengah bertanya karena sungguh dirinya juga merasa pemuda ini tak asing baginya.
“Aneh. Entah kenapa aku merasa mengenalmu tapi di saat yang bersamaan aku cukup yakin belum pernah sekalipun bertemu denganmu. Ah, namaku Yoon Jaehyuk,” balasnya seraya menyodorkan tangan kanannya.
“Aku Asahi. Jujur aku juga merasa kau tak asing tapi aku tidak mengingat sama sekali pernah bertemu denganmu,” jawab Asahi sambil membalas jabatan tangannya.
“Suaramu bagus. Permainan gitarmu juga bagus dan kau menyanyikan lagu favoritku,” ucap Asahi lagi sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Deg.
Jantung Jaehyuk terasa berhenti berdetak ketika melihat senyum manis itu. Ada gemuruh aneh di dalam hatinya. Tanpa sadar menyentuh bagian dadanya yang berdenyut melihat pemandangan yang baru saja dilihatnya.
'Perasaan apa ini?' gumamnya dalam hati.
Jaehyuk berusaha menetralkan ekspresinya. Buru-buru mengabaikan perasaan aneh yang baru saja merasuki hatinya.
“Masih banyak yang harus aku pelajari. Tapi, terima kasih atas pujiannya.”
Asahi menatap Jaehyuk dengan tatapan dalam yang mungkin sulit untuk dimengerti. Desir aneh itu datang lagi.
“Hei kau baik-baik saja? Kau melamun,” tanya Jaehyuk sambil menggerakkan tangannya di depan wajah Asahi berusaha menyadarkan pemuda manis itu.
“Ah aku baik-baik saja.”
“Mau minum kopi? Ada cafe yang menjual kopi enak di dekat sini. Jangan salah paham, aku tidak memaksa, hanya bertanya jika kau tertarik.”
Dan entah kegilaan dari mana Asahi mengangguk setuju dengan ajakan pemuda yang bahkan belum genap 1 jam dikenalnya.
Tapi perasaan aneh nan familiar itu terus menghantuinya. Membuatnya tertarik dengan eksistensi pemuda asing yang baru saja ditemuinya tadi.
●●●
at CoffeeLibre, Myeongdong, Seoul..
Jaehyuk membawa nampan dengan dua Ice Americano di atasnya kemudian meletakkan salah satunya di depan Asahi.
“Terima kasih,” ucap Asahi singkat merasa gugup.
“Jadi kau dari Jepang?”
Asahi menyeruput kopinya kemudian mengangguk kecil.
“Aku sudah 3 tahun di sini.”
Jaehyuk mengangguk mengerti. Tidak aneh jika Asahi sudah cukup fasih berbahasa Korea.
“Apa yang kau lakukan di Korea? Bekerja?”
“Ya. Aku sempat bekerja sebagai ilustrator lalu aku memutuskan berhenti untuk mencari pekerjaan yang lebih baik namun aku belum beruntung hari ini,” dengusnya sedikit kesal bercampur lelah.
“Bagaimana denganmu, Jaehyuk-ssi?”
“Jangan panggil aku secara formal seperti itu. Aku rasa kita seumuran. Aku memiliki mimpi menjadi penyanyi. Sudah beberapa kali mengikuti audisi namun kurasa aku belum beruntung juga. Mungkin memang tidak cocok untukku, jadi aku bekerja sebagai penyanyi di salah satu cafe sekarang.”
“Kurasa keadaan kita hampir sama. Mencari peruntungan berusaha meraih mimpi masing-masing.”
Jaehyuk menyesap kopi pahitnya.
“Kurasa bisa dikatakan begitu. Kebetulan sekali ya? Entahlah. Tiba-tiba bertemu denganmu, rasa familiar, juga situasi kita yang hampir mirip.”
“Aku tidak percaya kebetulan.”
Jaehyuk menaikkan alisnya tertarik dengan ucapan lawan bicaranya.
“Kau tidak percaya kebetulan? Jadi, menurutmu pertemuan kita adalah takdir, begitu?”
Asahi kembali menyeruput cairan hitam pekat yang kini sudah becampur dengan es batu yang mencair.
“Aku percaya jika dipertemukan dengan seseorang sudah merupakan garis hidup yang Tuhan ukirkan.”
“Jawaban menarik. Tapi, biarlah seperti itu. Anggap saja memang pertemuan kita sudah digariskan Tuhan,” jawab Jaehyuk dengan senyum terulas di bibir penuhnya.
Asahi memandang dalam senyum yang terukir di wajah pemuda tampan di hadapannya.
Apa boleh menganggapnya seperti itu? Pertemuan keduanya sudah digariskan Tuhan? Belum lagi rasa familiar yang terus menggelayuti keduanya.
“Kau tinggal dengan kedua orang tuamu di sini?”
Jaehyuk menggeleng.
“Aku bahkan tidak mengenal orang tuaku. Aku tumbuh besari di panti asuhan.”
Asahi menatap Jaehyuk sendu merasa tak enak sudah menanyakan hal yang ia tidak sangka jawabannya.
“Maafkan aku, tidak seharusnya aku bertanya.”
Jaehyuk terkekeh pelan melihat raut gugup tergambar jelas di wajah lawan bicaranya.
“Tidak perlu meminta maaf. Memang begitu kenyataannya dan kurasa aku sudah belajar menerimanya sejak dulu. Kau sendiri bagaimana? Merantau sendiri di sini?”
“Begitulah. Orang tuaku menetap di Jepang. Sulit sekali hidup di negeri orang. Dengan penghasilan yang tidak seberapa dan harus menyewa apartemen sendiri cukup memberatkan juga. Tapi, mau bagaimana lagi, kan?”
“Kalau kau mau, kita bisa berbagi sewa apartemen? Apartemenku terletak di pinggir kota dengan harga yang cukup murah. Aku hanya menawarkan, kuharap kau tidak merasa diriku aneh. Jika kau mau, kau bisa melihatnya terlebih dahulu. Itupun jika kau tak keberatan jika harus tinggal dengan anak laki-lakiku yang masih kecil.”
Asahi terbatuk keras akibat tersedak kopi pahitnya. Perkataan Jaehyuk membuatnya terkejut setengah mati.
Jaehyuk sudah memiliki anak? Asahi tidak salah dengar, kan?
Jaehyuk tertawa keras.
“Maaf membuatmu terkejut,” ucapnya masih dengan gelak tawa.
“Dia bukan anak kandungku tapi, aku merawatnya sejak kecil. Dia satu panti asuhan denganku dulu. Usianya baru 5 tahun.”
“Lalu kenapa kau mengatakan dia anakmu? Bukankah lebih cocok menjadi adik?”
Jaehyuk tersenyum. Mengerti akan kebingungan Asahi. Siapapun yang mendengarnya juga pasti akan bertanya hal yang sama.
Mendengar tak ada jawaban lagi-lagi Asahi merutuki dirinya yang ikut campur akan urusan pribadi orang lain. Bahkan pemuda ini adalah pemuda yang baru dikenalnya. Tentu sedikit kurang ajar banyak bertanya hal pribadi.
“Maaf aku banyak bertanya. Lupakan saja,” ucap Asahi seraya menunduk.
“Hei tidak apa-apa. Aku tidak masalah kau banyak bertanya,” kata Jaehyuk sambil menyentuh singkat lengan Asahi membuat pemiliknya berjengit tatkala merasakan sensasi aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdetak cepat. Wajahnya memanas. Ia yakin pipinya memerah sekarang.
Jaehyuk mengulum senyum melihat rona merah menghiasi kedua pipi Asahi. Berusaha menahan tawa sekaligus rasa bahagia yang muncul di hatinya ketika melihat pemuda manis ini tersipu malu.
“Namanya Jeongwoo. Dulu dia tinggal di panti asuhan yang sama denganku. Suatu kali aku berkunjung ke sana untuk menyapa Ibu yang dulu merawatku. Jeongwoo tidak mau lepas dariku dan terus merengek ingin ikut pulang. Aku tidak tega melihat bocah yang masih berumur 3 tahun itu menangis keras. Jadi, aku bertanya pada Ibu apakah bisa aku mengadopsinya. Lalu ya aku mengurus semua berkasnya dan Jeongwoo tinggal bersamaku selama 2 tahun ini. Dia bilang dia selalu ingin punya orang tua dan bertanya dengan polosnya apakah mungkin memanggilku dengan sebutan Appa. Aku setuju saja asalkan itu membuatnya bahagia,” jelas Jaehyuk diakhiri dengan seulas senyum.
Asahi terkesima.
Jaehyuk benar-benar membuatnya terkesima. Bukan hanya karena fisiknya yang sempurna, bukan hanya karena wajah tampan juga suara indahnya, namun juga kebaikan hatinya. Di tengah sulitnya hidup bertahan sendiri, berusaha meraih mimpi dan mencukupi kehidupan sehari-hari, Jaehyuk masih menaruh rasa peduli pada orang lain yang bisa dibilang menjadi tanggungan hidupnya sekarang. Entah berapa banyak orang yang mungkin salah paham dengan keadaannya, tapi Jaehyuk tidak peduli asalkan bocah 5 tahun dengan nama Jeongwoo itu bahagia.
Hari itu, Asahi menyadari sesuatu. Tuhan menggariskan kehidupannya untuk bertemu satu lagi manusia baik yang mungkin akan menjadi bagian dari hari-harinya. Hari itu, Asahi belajar satu hal lagi. Bagaimana rasa peduli dan mengasihi bisa dimulai kapan saja, bukan hanya ketika hidup melimpah dan serba berkecukupan.
Asahi menatap Jaehyuk dalam. Sinar mentari yang masuk melalui celah jendela cafe membuat Jaehyuk terlihat semakin tampan.
“Aku harap tidak merepotkan jika aku berbagi sewa apartemen denganmu. Aku juga ingin bertemu Jeongwoo, anak laki-laki beruntung itu.”
“Beruntung?“
Jaehyuk mengerutkan keningnya tak mengerti.
“Eum! Beruntung,” ucap Asahi semangat.
Jaehyuk terkekeh pelan kemudian tanpa sadar mengacak surai hitam Asahi. Sedetik kemudian menarik tangannya ketika menyadari apa yang baru dilakukannya.
“Ah ma-maaf, lebih baik kita pergi sekarang sebelum langit gelap. Kau bisa melihat apartemenku lebih dahulu sebelum memutuskan untuk pindah.”
Jaehyuk bangkit dari duduknya diikuti Asahi yang mengikutinya dari belakang. Keduanya berjalan beriringan menikmati langit senja yang sebentar lagi menjadi gelap. Semilir angin bertiup lembut.
Jaehyuk menatap pemuda di sampingnya yang sedang menatap langit dengan bibir tipisnya yang membentuk senyum.
Manis.
Helaian surai halusnya yang bergoyang lembut ditiup angin membuatnya semakin terlihat manis.
Hari ini, Jaehyuk mengerti sesuatu. Bahwa di tengah beratnya hidup, Tuhan mampu mempertemukannya dengan orang yang tak terduga yang eksistensinya berhasil menyerap seluruh atensi yang ia punya. Menumbuhkan suatu perasaan baru di hatinya.
●●●
Asahi mengedarkan pandangannya pada apartemen yang tidak terlalu besar namun nyaman. Jaehyuk melangkah masuk ketika sepasang lengan kecil menyambutnya. Otomotis Jaehyuk membungukkan dirinya mengangkat anak kecil itu kemudian memutarnya cepat, mengundang gelak tawa dari anak kecil yang Asahi yakini adalah Jeongwoo.
“Aku rindu Appa. Aku seharian bersama Bibi Kim. Bosannnnnn,” katanya manja.
Seorang wanita paruh baya muncul dengan langkah tergopoh dari arah dapur.
“Ah kau sudah pulang, Jaehyuk-ah. Jeongwoo tidak sabar menunggumu pulang daritadi.”
“Terima kasih sudah menjaganya. Aku harap ia tidak nakal hari ini.”
“Jeongwoo anak baik! Tidak nakal!”
Bibi Kim tertawa kecil sambil mengelus punggung Jeongwoo yang masih berada di pelukan Jaehyuk.
Bibi Kim mengarahkan pandangannya pada Asahi. Asahi mengangguk singkat kemudian tersenyum lembut.
“Siapa pemuda manis ini, eum? Kekasihmu?” tanya Bibi Kim dengan nada menggoda.
“Perkenalkan aku Asahi, teman Jaehyuk,” jawab Asahi dengan telinganya yang memerah menahan malu.
“Ah aku kira kekasihmu. Cepatlah mencari kekasih, Jaehyuk-ah agar kau tidak sendiri terus.”
Jaehyuk menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil melirik ke arah Asahi yang menunduk malu sekarang.
“Baiklah, aku kembali dulu ke apartemenku. Jangan sungkan jika butuh bantuan,” pamit Bibi Kim seraya menepuk pelan pundak Jaehyuk dan melempar senyum pada Asahi.
Asahi membungkuk sedikit kemudian memusatkan perhatiannya pada Jeongwoo yang kini tengah bercanda dengan Jaehyuk di ruang tamu.
“Jeongwoo, kenalkan ini teman Appa. Namanya Asahi. Kau bisa memanggilnya dengan sebutan Hyung. “
Jeongwoo mengerjapkan matanya polos, menatap teman Appa-nya.
“Kenapa tidak panggil Appa juga?”
“Tidak boleh begitu, Jeongwoo-yah. Panggil Hyung eum?'
Jeongwoo mengangguk semangat kemudian menarik lembut bagian bawah celana jeans yang dikenakan Asahi. Asahi menatap lucu anak kecil yang jauh lebih pendek darinya. Sejurus kemudian berjongkok untuk menyejajarkan pandangannya.
“Namaku Asahi. Kau lucu sekali, Jeongwoo-yah,” katanya sambil mencubit gemas pipi Jeongwoo.
Jeongwoo mengerucutkan bibirnya tidak suka namun seketika memberi senyum manisnya.
“Jika mulai beberapa hari lagi Asahi Hyung tinggal di sini, apakah Jeongwoo keberatan?” tanya Jaehyuk.
Jeongwoo menggelengkan kepalanya cepat.
“Tidak keberatan. Jeongwoo punya teman selain Bibi Kim. Jeongwoo senang!” serunya girang sambil melompat semangat.
“Hyung mau main denganku? Aku sedang menggambar sesuatu tadi.”
“Jeongwoo-yah, kau sudah kerjakan pekerjaan rumahmu?” tanya Jaehyuk lagi khawatir jika Jeongwoo lalai dalam menjalankan kegiatan belajarnya.
“Jeongwoo sudah selesaikan semuanya, Appa.”
Jaehyuk mengangguk puas kemudian mengacak surai Jeongwoo.
“Baiklah. Appa tinggal sebentar, ya. Sementara dengan Asahi Hyung dulu ya?”
Jeongwoo mengangguk semangat.
“Aku titip sebentar tidak apa, kan? Aku mau mandi dulu.”
Asahi tersenyum lembut dan menjawabnya dengan satu anggukan.
“Kajja! Kita menggambar bersama!” ajak Asahi semangat.
Energinya selalu naik ketika mendengar kata menggambar ataupun melukis. Seni sudah menjadi bagian hidupnya.
Jeongwoo bertepuk tangan riang lalu menunjukkan kertas gambarnya pada Asahi. Asahi tersenyum lebar kemudian mulai memperhatikan hasil gambar yang baru setengah jadi itu.
“Gambarmu bagus, Jeongwoo-yah. Setelah kau menyelesaikannya, kita bisa mewarnainya bersama,” ucap Asahi lembut sambil mengelus surai kecoklatan bocah laki-laki yang sangat lucu dan menggemaskan ini.
Keduanya sibuk dengan dunianya. Jeongwoo yang sibuk dengan krayonnya dan Asahi yang larut dalam kegiatannya memperbaiki beberapa guratan pada kertas gambar milik Jeongwoo. Sesekali Asahi menggigit bibirnya ketika gambarnya terasa belum sempurna.
Tanpa keduanya sadari, Jaehyuk melihat semuanya dari ambang pintu kamar mandi masih dengan handuk yang melingkar di lehernya. Hatinya menghangat melihat pemandangan di depannya. Lagi, desir aneh itu muncul lagi. Rasanya Jaehyuk seperti pernah melakukan hal ini juga namun Jaehyuk sama sekali tidak mengingatnya sekeras apapun ia mencoba.
Jaehyuk melirik jam dinding. Sudah jam 9 malam. Waktunya Jeongwoo tidur.
Jaehyuk menghampiri keduanya yang masih sibuk berkutat dengan dunianya sendiri.
“Jeongwoo-yah, sudah saatnya tidur. Sudah jam 9 malam, besok harus sekolah kan?”
Jeongwoo mendesah kecewa. Ia masih ingin menyelesaikan gambarnya.
Asahi menyadari perubahan raut wajah Jeongwoo.
“Besok Hyung akan datang lagi. Kita selesaikan gambarnya, eum? Sekarang Jeongwoo tidur dulu.”
“Janji?” ucap Jeongwoo seraya menyodorkan jari kelingkingnya.
“Janji!”
Asahi membalas tautan kelingkingnya lalu mengacak rambut Jeongwoo membuatnya sedikit berantakan.
“Goodnight, Sahi Hyung!” ucap Jeongwoo yang kini berada dalam gendongan Jaehyuk.
“Selamat tidur, Jeongwoo-yah.”
Fokus Asahi beralih pada Jaehyuk sekarang.
“Jaehyuk-ah, kau temani Jeongwoo tidur. Aku akan pulang naik bus. Sudah malam.”
“Jangan pulang sendiri. Aku akan mengantarmu setelah Jeongwoo tidur.”
Asahi menggelengkan kepalanya sambil memberikan senyum manisnya.
“Tidak perlu, Jaehyuk-ah. Bagaimana jika Jeongwoo terbangun dan kau tidak ada? Dia pasti ketakutan mencarimu. Aku bisa pulang sendiri.”
Jaehyuk menghela napas panjang.
“Aku akan mengantarmu. Aku khawatir jika kau pulang sendiri,” katanya tegas masih bersikukuh pada pendiriannya.
“Baiklah jika kau memaksa. Aku tunggu di sini ya sampai Jeongwoo tertidur.”
Asahi menatap Jeongwoo yang mulai terlelap. Jaehyuk membuka pintu kamarnya kemudian meletakkan anak laki-laki 5 tahun itu di tempat tidurnya. Jaehyuk mengelus kepala Jeongwoo sayang kemudian memberikan kecupan singkat pada keningnya.
Jaehyuk menutup pintu kamarnya perlahan ketika mendapati Asahi yang tertidur lelap di sofa ruang tamunya dengan posisi duduk. Jaehyuk menatapnya lembut. Asahi lelah rupanya. Posisi seperti itu pasti tidak nyaman.
Jaehyuk melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Bus terakhir sudah lewat 30 menit lalu. Hatinya juga tidak tega membangunkan pemuda manis yang terlihat sangat lelah.
Jaehyuk menghampirinya perlahan berusaha tidak menimbulkan suara kemudian membaringkan tubuh Asahi di atas sofanya. Sejurus kemudian mengambil selimut dari kamarnya kemudian menyelimuti tubuh kurusnya.
Jaehyuk mengubah posisinya menjadi duduk di lantai kayu apartemennya. Memandangi wajah Asahi yang tampak begitu polos dan tenang. Tangannya terulur menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi keningnya.
Asahi berhasil menyita seluruh atensinya hari ini. Wajah tampannya yang meneduhkan. Senyum manis dengan lesung pipit dalamnya. Bagi Jaehyuk, Asahi sempurna. Makhluk indah ciptaan Tuhan yang tanpa bisa dikendalikan juga perlahan merebut hatinya—memenuhi setiap sisinya. Tanpa celah sedikitpun.
●●●
Cahaya mentari pagi yang masuk melalui celah tirai jendela mengusik tidurnya. Asahi menggerakkan tubuhnya perlahan kemudian mengerjapkan matanya perlahan berusaha menyesuaikan pupilnya dengan cahaya yang memenuhi ruangan.
Asahi terkejut—bangkit dari posisi tidurnya—ketika menyadari dirinya tidak berada di apartemennya. Sedetik kemudian menghela napas lega ketika mengingat dirinya berada di apartemen Jaehyuk semalam. Mengingat pembicaraan terakhirnya semalam—seharusnya Jaehyuk mengantarnya pulang.
'Bodoh! Pasti kau ketiduran semalam, Hamada Asahi,' rutuknya dalam hati.
Asahi mengedarkan pandangannya sambil meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Maniknya menangkap sesuatu. Jaehyuk terlelap dengan posisi kepalanya bertumpu pada meja.
Ah pasti tidak nyaman sekali. Badannya akan terasa sakit.
“Kenapa ia tidak tidur di kamarnya?” gumamnya pelan.
“Jaehyuk-ah,” panggilnya menggoyang bahu Jaehyuk perlahan.
Jaehyuk mengerjapkan matanya sebelum sepasang kelopaknya membuka sempurna.
“Pindah ke kamar, hm? Tubuhmu akan sakit jika tidur seperti ini.”
Entah setan apa yang merasukinya, Jaehyuk menarik Asahi ke dalam pelukannya. Mendekap tubuh mungil itu lama.
Jantung Asahi berdegup kencang. Demi Tuhan rasanya jantungnya seperti melompat dari rongga dadanya. Reaksi Jaehyuk begitu tiba-tiba dan mengejutkan.
“J-jaehyuk-ah..,” kata Asahi pelan.
Mata Jaehyuk membulat. Kali ini kesadarannya sudah penuh dan menyadari apa yang baru saja dilakukannya.
Jaehyuk melepas sedikit kasar pelukannya.
“Ma-maaf aku tidak bermaksud. A-aku...”
Bibir Jaehyuk mengatup. Tidak mampu melanjutkan perkataannya. Bingung harus menjelaskan apa yang baru saja tanpa sadar sudah dilakukannya.
Asahi tersenyum kecil kemudian merengkuh Jaehyuk kembali ke dalam dekapannya.
“Tidak apa-apa. Kadang seseorang membutuhkan pelukan. Tidak masalah,” kata Asahi seraya mengelus punggung tegap Jaehyuk yang menegang di dalam pelukannya. Ia tahu Jaehyuk gugup sekarang dan mungkin merasa tidak enak karena sudah lancang memeluknya. Tapi, Asahi ingin Jaehyuk tahu terkadang seseorang hanya butuh pelukan dan itu bukan masalah besar.
“Terkadang hidup menjadi semakin sulit, dadamu terasa terhimpit sampai kau tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Terkadang lidahmu terasa kelu sampai tak ada satupun kata yang terucap. Kadang kau ingin menangis keras namun rasanya mengeluh adalah percuma. Jika begitu, kau hanya butuh satu hal. Pelukan,” kata Asahi lagi berusaha menyakinkan bahwa dirinya tidak marah atau merasa terganggu dengan pelukan tiba-tiba tadi. Asahi hanya terkejut. Itu saja.
Jaehyuk meresapi setiap perkataan Asahi. Bagaimana bisa orang yang baru bertemu dengannya justru memahaminya dan tahu apa yang paling dirinya butuhkan saat ini.
Terkadang, Jaehyuk juga lelah untuk menjadi kuat. Lelah menghadapi hidup. Selama dua tahun ini, Jeongwoo yang membantunya bertahan dari kesepian.
Jaehyuk merasakan pandangannya menjadi buram ketika kristal bening memaksa keluar dari sepasang maniknya. Jaehyuk melingkarkan lengannya pada pinggang ramping Asahi membalas pelukan hangat yang sudah lama tidak ia rasakan. Seingatnya terakhir kali ia mendapatkan pelukan seperti ini dari sosok Ibu di panti asuhannya dulu.
“Gomawo, Sahi-ya. Kau tahu? Salah satu alasanku membawa Jeongwoo hari itu adalah karena aku tidak ingin dirinya sepertiku.Tumbuh tanpa mengenal kasih sayang keluarga. Tidak pernah mendapatkan pelukan hangat dari Appa ataupun Eomma. Aku ingin Jeongwoo bisa merasakan kehadiran sebuah keluarga meskipun bukan yang sedarah dengannya. Aku ingin Jeongwoo bisa merasakan pelukan hangat,” katanya diiringi dengan isakan halus yang lolos dari bibir penuhnya.
Asahi semakin mengeratkan pelukannya. Semakin mengagumi pemuda tampan nan baik hati yang kini menangis di pelukannya.
“Sekarang kau juga tidak sendiri lagi. Kau punya Jeongwoo—– dan kau juga punya diriku. Mungkin kita baru saja bertemu, belum lama saling mengenal, tapi entah kenapa aku seperti merasa terhubung denganmu. Apapun itu aku ingin berusaha selalu ada untukmu. Kau ingat aku mengatakan kemarin Jeongwoo beruntung? Jeongwoo memang beruntung memiliki Appa sepertimu. Begitu baik, bahkan kau tidak peduli apa yang akan dikatakan orang lain ketika mereka menganggapmu sudah memiliki anak. Yang terpenting bagimu adalah kebahagiaan Jeongwoo dan kurasa tidak mudah melalukan itu. Jadi, kau harus ingat sekarang kau tidak sendir lagi.”
“Jeongwoo juga mau peluk!” seru Jeongwoo yang baru saja keluar dari kamar Jaehyuk masih dengan piyamanya.
Asahi melepaskan pelukannya ketika suara girang Jeongwoo menyambut pendengarannya. Jaehyuk terkekeh pelan seraya mengusap jejak air mata dari pipinya. Jeongwoo tidak boleh melihat Jaehyuk menangis.
“Sini Hyung peluk juga.”
Jeongwoo berlari kecil kemudian menghambur masuk ke dalam pelukan Asahi. Tangan mungilnya terulur meraih ceruk leher Jaehyuk—ikut membawanya ke dalam pelukan.
“Jeongwoo senang! Kita seperti keluarga!”
Asahi tertawa pelan kemudian mengelus sayang rambut Jeongwoo. Semakin membawanya mendekat dalam pelukannya lalu mengecup pipi berisi milik Jeongwoo.
Terlalu lama dalam kesendirian kadang membuat manusia tak berdaya. Tersenyum dan tertawa namun hati terasa kosong. Tersenyum di balik derita. Bukan tidak mau berusaha meraih bahagia, tapi terkadang menunggu uluran tangan yang mampu menyelamatkan.
●●●
Sudah hampir enam bulan Asahi tinggal bersama Jaehyuk dan Jeongwoo. Rutinitas Asahi diisi dengan bekerja sebagai ilustrator di salah perusahaan desain kreatif yang cukup besar di Korea.
Sesekali ia akan menjemput Jeongwoo di sekolahnya ketika jadwalnya tidak begitu padat. Pekerjannya bisa dibilang cukup fleksibel. Pulang jam 5 tepat lalu bisa melanjutkan pekerjaannya di rumah. Asahi bersyukur tidak perlu setiap hari merepotkan Bibi Kim.
Jaehyuk akan menjaga Jeongwoo dari pagi sampai siang hari lalu akan pergi ke cafe pada sore hari tepat setelah Asahi pulang dari kantornya.
“Kau akan bersiap-siap pergi ke cafe? Jadwalmu belakangan cukup padat. Jaga kesehatanmu.”
Asahi melepaskan sepatunya kemudian meletakkan tasnya di sofa.
“Kau mau ikut ke cafe denganku hari ini? Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu.”
“Tapi Jeongwoo? Oh ya! Kemana Jeongwoo?!”
Jaehyuk terkekeh melihat sekilas raut panik dan khawatir tergambar jelas di wajah pemuda manis yang secara perlahan tapi pasti mengisi ruang hatinya.
“Aku menitipkannya pada Bibi Kim untuk malam ini. Aku ingin kau ikut denganku ke cafe. Sekalipun aku belum pernah mengajakmu ke sana.”
“Baiklah. Aku siap-siap dulu. Kau ini penuh kejutan. Tanpa bertanya dulu, sudah mengajakku dengan tiba-tiba seperti ini.”
Jaehyuk menatap punggung Asahi yang menghilang di balik pintu kamarnya. Setelah Asahi tinggal bersamanya, Asahi menempati kamar kosong yang berada tepat di sebelah kamarnya dan Jeongwoo.
Senyum merekah menghiasi bibir penuhnya. Asahi memenuhi pikirannya setiap hari, membuatnya semakin terbuai dengan asa untuk memiliki sosok itu seutuhnya.
●●●
at Boogie-Woogie cafe, Seoul..
Asahi termangu menatap Jaehyuk yang berada di atas panggung. Suara petikan gitar mengalun diiringi suara berat Jaehyuk yang melengkapi suasana malam itu. Atensinya berpaku pada satu titik. Pemuda tampan berjaket hitam yang larut dalam dunianya. Dunia musik yang menjadi kecintaannya.
Asahi menikmati setiap nada tercipta. Sesekali senyum tipis mengembang di bibir penuhnya. Tiba-tiba dadanya berdenyut sakit—terasa sesak, kepalanya terasa pening seperti ditusuk ketika mendengar alunan lagu Jepang milik Fumiya Fuji yang kini sedang dinyanyikan Jaehyuk.
Lagu lama. Pertama kali dirilis tahun 1993. 28 tahun lalu.
Asahi memejamkan matanya erat berusah mengusir rasa pening yang menderanya. Tangannya mengepal kuat meremas kemejanya pada bagian dada. Sekelebat—entah bagaimana mendeskripsikannya—visualisasi muncul tiba-tiba di pikirannya. Seperti potongan ingatan tapi Asahi merasa tidak pernah mengenal memori ini sebelumnya.
“Lagu kesukaanmu,” ucap seorang pemuda tampan pada sosok pemuda lainnya yang berparas manis.
“Eum! Aku menyukainya. Lagu yang romantis.”
Si tampan mengusak surai halus pemuda manis kemudian mengenggam tangannya.
Aneh.
Lagu yang sama seperti yang Jaehyuk nyanyikan sekarang. Asahi jelas mendengarnya. Alunan lagu dari sang penyanyi asli yang berasal dari radio terngiang di telinganya.
Sekelebat wajah samar membayangi pikirannya. Wajah itu samar tapi familiar. Siapa mereka? Kenapa kedua sosok itu muncul di pikirannya? Sebenarnya itu apa? Lalu potongan kisah apa yang baru saja muncul di otaknya? Asing tapi entah kenapa Asahi merasa dirinya berhubungan kuat dengan potongan ingatan tadi.
“Sahi-ya! Kau baik-baik saja?!” tanya seseorang dengan nada panik.
Asahi membuka matanya mendapati Jaehyuk yang menatapnya dengan pandangan khawatir.
“Kau sakit? Wajahmu pucat. Kita pulang ya?!”
Asahi memperhatikan sekelilingnya yang mulai menatapnya penuh tanda tanya. Asahi mencoba mengembalikan kesadarannya.
“Jaehyuk-ah.. bukankah kau seharusnya sedang tampil?”
“Tidak penting. Kita pulang sekarang. Aku khawatir.”
“Tapi aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing.”
“Itu namanya tidak baik-baik saja. Aku akan meminta ijin pada pemilik cafe untuk selesai lebih cepat. Kau lebih penting.”
Asahi hanya menunduk pasrah.
Percuma melawan Jaehyuk jika sudah bersikeras dengan keinginannya.
Asahi membalasnya dengan sebuah anggukan. Tangannya memijit lembut pelipisnya yang masih terasa sedikit pening.
Asahi memegang dadanya. Perasaan aneh merayapi hatinya lagi. Kali ini ditambah perasaan kosong. Seperti ada yang hilang. Seperti ada sesuatu yang pergi dari hidupnya. Tapi Asahi tidak mengerti itu.
Bagaimana kau bisa menemukan sesuatu jika dirimu sendiri tidak tahu apa yang telah hilang?
“Aku sudah mendapat ijin. Kita pulang,” ucap Jaehyuk yang baru saja kembali dari ruangan sang empunya cafe.
Asahi mengangguk pelan kemudian melingkarkan lengannya pada pinggang kuat Jaehyuk.
●●●
Jaehyuk masih memandangi Asahi yang berjalan di sampingnya. Raut khawatir belum juga sirna dari wajahnya. Ia benar-benar takut jika terjadi sesuatu pada pemuda yang selama 6 bulan ini memenuhi perasaannya.
“Aku baik-baik saja, Jaehyuk-ah. Jangan khawatir lagi.”
“Bagaiamana aku tidak khawatir melihatmu kesakitan dan pucat seperti tadi?”
Asahi tersenyum tipis seraya menatap Jaehyuk. Sungguh hati Asahi terasa penuh melihat sorot khawatir dari sepasang manik bening Jaehyuk. Belum pernah dirinya merasakan hal seperti ini. Dipedulikan oleh orang lain yang bukan keluarganya.
Katakan Asahi payah dalam urusan cinta, namun nyatanya pemuda kelahiran Jepang itu tidak pernah sama sekali memusingkan soal urusan hati. Kertas gambar, kanvas, cat air, atau benda apapun untuk menyalurkan bakatnya, adalah hal terpenting untuknya.
Lalu semua berubah. Pertemuan tak terduga yang membuatnya terjatuh dalam.
“Kenapa kau begitu peduli padaku?” tanya Asahi tiba-tiba sambil memandang dalam manik Jaehyuk.
Degup jantungnya menjadi cepat. Tidak ingin berharap tapi tidak bisa membohongi diri jika dalam hati dirinya mengharapkan Jaehyuk menjawabnya sesuai ekspektasinya.
Tentang rasa cinta. Bukan hanya teman biasa.
Hening.
Jaehyuk tampak berpikir dengan pandangan lurus ke depan. Sejurus kemudian menghela napas panjang kemudian menghentikan langkahnya tiba-tiba—membuat Asahi yang berada di sampingnya ikut berhenti mendadak.
Jaehyuk menatap Asahi dalam lalu menangkup wajah manis selembut kapas yang kini terfokus ke arahnya. Jaehyuk mempersempit jarak di antara keduanya masih dengan matanya yang tidak terlepas sedikitpun dari manik kecoklatan milik Asahi. Jantungnya berdegup kencang.
Asahi menatap Jaehyuk dengan mata yang membulat. Hembusan nafas Jaehyuk terasa jelas tatkala wajahnya begitu dekat.
Cup!
Satu kecupan mendarat pada bibirnya. Lembut namun dalam berusaha mencari celah untuk saling beradu lidah. Jaehyuk melumat bibir yang terasa manis yang menjadi mimpinya setiap malam. Lama hingga keduanya hampir kehabisan oksigen yang menipis.
Jaehyuk melepaskan tautan bibirnya kembali menatap Asahi yang baru saja membuka matanya yang terpejam menikmati ciuman lembutnya tadi.
“Tidak perlu lagi tanyakan kenapa aku peduli padamu. Ciuman tadi menjawab semuanya. Aku mencintaimu, Hamada Asahi.”
Kristal bening lolos dari pelupuk mata Asahi. Hatinya bergemuruh sejalan dengan jantungnya yang berdetak puluhan kali lebih cepat.
“Hei kenapa menangis hm? Apakah kau tidak suka aku mengatakannya?”
Asahi menggeleng cepat, buru-buru mengusap air matanya.
“Aku tidak tahu kenapa tapi rasanya aku begitu bahagia hingga mengeluarkan air mata. Dan entah kenapa aku merasa kau pernah mengatakan kata-kata itu berulang kali meskipun aku sadar ini pertama kalinya kau mengungkapkan perasaanmu padaku.”
Ah Asahi merasakannya juga?
Jaehyuk mengira hanya dirinya yang merasakannya. Rasanya Jaehyuk pernah berada di situasi seperti ini, mengucapkan kata cinta berkali-kali, tapi seharusnya ini yang pertama baginya mengatakan perasaannya pada Asahi.
Lantas kenapa terasa tidak asing dan sudah sering diucapkan berulang kali?
“Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku juga tidak tahu kenapa.”
Kening Asahi berkerut. Sebenarnya mereka ini apa? Apa yang sudah semesta lakukan pada mereka berdua hingga merasa pernah mengalami hal serupa tapi tidak jelas seperti apa?
Asahi menggelengkan kepalanya mengusir pikiran yang mau dicari seperti apapun tidak akan ditemukan jawabannya. Setidaknya untuk sekarang.
“Hal itu tidak penting sekarang. Yang terpenting adalah ini,” katanya seraya mengecup singkat bibir penuh Jaehyuk.
“Aku juga mencintaimu, Yoon Jaehyuk.”
Waktu terasa seketika berhenti. Keduanya mengedarkan pandangannya melihat orang-orang di sekitarnya berlalu lalang dengan gerak lambat. Bagaikan sebuah gerak slowmotion. Sekelilingnya melambat diiringi hembusan angin yang bertiup kencang.
Sekelebat demi sekelebat potongan cerita menari-nari di sekitar mereka. Satu per satu bermunculan terpampang nyata di hadapan mereka.
Keduanya saling bertukar tatap—bingung.
Satu potongan memori terputar.
“Arthur-kun, kau indah seperti musim semi, ketika bunga-bunga sakura mekar sempurna. Mulai detik ini sampai seterusnya kita akan bersama selamanya menikmati musim semi, menikmati bunga-bunga merah muda itu bermekaran. Aku akan membahagiakanmu. Jadi, menikahlah denganku.”
“Kau yakin mau menikah denganku? Aku tidak akan bisa memberimu keturunan. Aku laki-laki, Yoonjae-kun. Bagimana dengan keluargamu?”
Yoonjae menatap Arthur lembut kemudian mengecup belah bibir manisnya. Angin musim semi bertiup lembut. Suara gesekan antar bunga sakura yang tumbuh mekar di pohonnya mengalun lembut.
“Aku tidak peduli. Menikah bukan soal hanya untuk mendapat keturunan semata. Aku ingin hidup bahagia denganmu. Kita bisa mengadopsi lalu membesarkannya layaknya anak kita sendiri. Jadi, will you marry me, Arthur-kun?” tanya Yoonjae sekali lagi— kali ini berlutut dengan sekotak cincin yang terbuka—menyodorkannya di hadapan Arthur.
Arthur mengangguk. Pemuda manis dengan surai abu-abu itu tersenyum lebar menampakkan kedua lesung pipitnya.
Yoonjae meloncat girang kemudian menyematkan cincin pada jari manis Arthur. Sejurus kemudian mengecup lama kening pemuda manis yang ia cintai, pemuda manis yang akan menjadi pasangan hidupnya sampai ujung usianya.
Lalu satu lagi..
“Ken-chan, kau bahagia bisa tinggal dengan Papa dan Daddy?”
Anak kecil dengan kulit putih pucat dengan rambut berwarna kecoklatan mengangguk kecil.
“Aku senang akhirnya punya keluarga. Ada Papa dan Daddy. Ken senang!” sahutnya girang sambil melompat.
“Eum! Mulai sekarang Papa akan menjagamu, melindungimu, membuatmu bahagia, merasakan kasih sayang keluarga yang belum pernah kau rasakan,” kata Yoonjae, pemuda blasteran Korea-Jepang, seraya mengacak lembut surai kecoklatan puteranya.
Ken bukan anak kandungnya. Yoonjae dan Arthur bertemu dengannya ketika keduanya mengunjungi panti asuhan tempat mereka berencana untuk melakukan adopsi.
Ken anak yang baik dan pendiam. Tidak banyak bermain dengan teman-teman sebayanya. Rupanya Ken berasal dari Korea. Seorang wanita muda beberapa tahun silam menaruhnya di depan pintu panti asuhan dengan secarik kertas bertuliskan 'kumohon jaga dia' dalam huruf hangul.
Barulah pemilik panti asuhan mengerti bahwa bayi laki-laki yang menangis keras di tengah gemuruh petir malam itu berasal dari Korea.
Tanpa nama. Tanpa identitas.
Pemilik panti memberinya nama Ken yang dalam bahasa Jepang artinya sehat, kuat dan rendah hati.
Tidak peduli bayi laki-laki ini tidak pernah tahu asal usulnya, yang terpenting ia ingin Ken bahagia.
“Aku merasa ini seperti takdir. Ken berasal dari Korea sehingga mudah baginya untuk berkomunikasi denganku,” kata Yoonjae lembut. Tangan kanannya mengelus surai Ken yang kini tertidur di pangkuannya sementara tangan kirinya menggenggam erat tangan Arthur yang lebih mungil darinya. Yoonjae mendekatkan wajah kemudian memagut belah bibir merah milik Arthur, menciumnya lama.
Potongan kisah menyakitkan itu muncul.
Arthur tampak mendudukkan Ken di pangkuannya. Sementara Yoonjae sedang fokus menyetir di sebelahnya. Lagu milik Fumiya Fuji dengan judul True Love—lagu kesukaan Arthur— mengalun di radio. Sesekali Arthur bersenandung pelan menyanyikan lirik yang sudah ia hafal di luar kepala sambil melirik ponselnya.
22 Februari 1994. Beberapa minggu lagi adalah first anniversary pernikahan keduanya.
Yoonjae tersenyum mendengar suara lembut milik pemuda yang resmi menjadi 'suami'nya. Arthur masih bersenandung dengan Ken yang tertawa senang sambil memeluk Papanya. Yoonjae terkekeh pelan mencubit gemas pipi Ken.
BRUK!
Cepat tanpa bisa dihindari. Mobil itu terbalik ketika dari arah berlawanan sebuah truk besar menghadangnya. Hanya jeritan terdengar serta suara parau memanggil-manggil Ken terdengar lirih.
Darah mengucur deras dari sekujur badan Arthur dan Ken. Sementara keadaan Yoonjae tidak kalah parahnya. Darah mengalir dari kepalanya yang terbentur oleh setir mobil.
Arthur membuka matanya pelan. Tangannya berusaha meraih Yoonjae sebelum akhirnya jantungnya berhenti berdetak. Tangannya masih memeluk Ken yang juga terluka parah dan berhenti bernapas.
Malang.
Ironis.
Rupanya kebahagiaan pun tidak ada yang sempurna. Tetap kalah oleh maut.
Asahi mengatupkan bibirnya. Tangannya membekap bibirnya menahan isakan yang lolos dari bibirnya. Dengan cepat tubuhnya merosot ke aspal masih dengan isakan yang memilukan. Beberapa orang yang berlalu lalang menatapnya dengan tatapan iba.
Jaehyuk terdiam di tempatnya. Pikirannya kalut. Hatinya berkecamuk. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dirinya dan Asahi pernah terhubung di masa lalu, di ruang waktu yang berbeda? Sungguh semesta dengan segala misterinya. Tak satupun yang bisa diukur dengan akalnya.
Sekelilingnya kembali berjalan normal. Sesuai dengan ritme bumi yang terus berputar pada porosnya, tapi mengapa rasanya dirinya seperti terjebak di masa lalu? Jaehyuk termenung melihat Asahi yang masih terduduk di aspal dengan air mata masih terus mengalir melewati pipi putihnya yang kini memerah.
Jaehyuk berjongkok menyamakan tingginya dengan Asahi kemudian menarik pemuda manis itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggung sempit yang bergetar bersamaan dengan isakan tangisnya yang menyakitkan.
“Sshhh.. sshhh jangan menangis lagi. Cukup. Hatiku sakit melihatmu seperti ini.”
Gila.
Jujur Jaehyuk tidak pernah percaya akan fenomena di luar akal, namun apa yang baru dialaminya meruntuhkan semua rasa tidak percayanya. Nyatanya hal di luar akalpun bisa menjadi masuk akal ketika kau sendiri yang mengalaminya.
Rasa familiar itu. Perasaan aneh ketika melihat Asahi untuk pertama kalinya. Rasa pernah berada di situasi yang sama. Keping puzzle yang dulu tak beraturan kini menyatu. Bahwa dirinya pernah terhubung dengan Asahi di masa lalu. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya sekedar teman biasa atau kolega.
Lebih dari itu. Mereka adalah keluarga. Menikah dan bahagia. Puluhan tahun terlewati namun ternyata benang takdir masih menghantui.
Jaehyuk sekarang mengerti kenapa dirinya begitu menyukai lagu milik Fumiya Fuji ketika tidak sengaja lagu itu terputar di ponselnya beberapa tahun lalu. Ia merasakan adanya koneksi dengan lagu itu. Kala itu ia tidak mengerti namun sekarang semua menjadi jelas.
Itu lagu favorit Arthur—sosok masa lalu dari diri Asahi.
Terdengar di luar nalar tapi Jaehyuk kira-kira tahu apa kata yang cocok untuk menggambarkan situasi yang mereka alami sekarang.
Reinkarnasi? Pernah dengar itu? Lagi, Jaehyuk merasa hal itu di luar nalar tapi kenyataan menamparnya keras.
Jaehyuk masih mengelus punggung pemuda manis yang terlihat sangat lelah. Menangis pasti menguras emosinya.
“Bagaimana bisa Jaehyuk-ah? Kau dan aku... dulu... aku tak mengerti. Tidak mengerti sama sekali,” ucapnya dengan suara parau seraya menatap manik Jaehyuk dengan tatapan sendunya.
Jaehyuk menyeka jejak air mata yang tersisa di pipi mulus itu lalu mengecup kening Asahi.
“Memang tidak bisa dipahami. Bahkan sulit untuk aku percaya. Tapi mungkin, ini adalah jalan yang harus kita lalui? Rasa tak asing yang selalu kita rasakan, rasa seperti mengenal, rasa pernah mengalami hal serupa. Kita merasakan hal yang sama. Kita dipertemukan di kehidupan berikutnya. Kali ini, untuk mendapatkan akhir yang benar-benar bahagia. Hanya itu yang ingin aku yakini sekarang. Mau dipikirkan seperti apapun, tidak akan pernah bisa dimaknai, jadi biarkan semesta bekerja dengan caranya sendiri.”
“Ta-tapi, Ken-chan... Apakah dia juga terlahir kembali? Sama seperti kita? Mungkinkah ada harapan untuk bertemu dia lagi?” lirihnya sambil meremas kemeja Jaehyuk.
Jaehyuk menghela napas kasar. Sungguh Jaehyuk tidak punya jawaban akan hal itu. Jika diberi kesempatan, ia juga ingin bertemu lagi dengan Ken. Anaknya di masa lalu.
“Jika ditakdirkan, maka kita akan bertemu dengannya di kehidupan sekarang. Kita pulang eum? Malam semakin larut. Kau bisa semakin sakit dan Jeongwoo pasti merindukan kita di rumah.”
Asahi merutuki dirinya melupakan Jeongwoo yang mungkin sekarang sedang menunggunya di rumah. Mengingat Jeongwoo, dirinya jadi terbayang wajah Ken. Ken kelahiran Korea mungkinkah ia lahir kembali di Kota Seoul ini? Bolehkah Asahi berharap?
Jaehyuk merengkuh pinggang ramping Asahi, mendekatkannya ke dalam dekapannya. Mengelus sayang surai halus hitam yang terlihat sedikit berantakan.
“Kau tahu, Sahi-ya? Baik di kehidupan lalu ataupun sekarang, nyatanya hatiku selalu terpaut untukmu,” katanya lembut.
Mau tak mau Asahi tersenyum.
Sama. Hatinya lagi-lagi terpaut pada Jaehyuk
Di kehidupan lalu dirinya adalah Arthur dan Jaehyuk dalah Yoonjae. Pernah bahagia namun berakhir nelangsa.
Kali ini.
Pada masa ini, di hidup yang ia jalani kini, semoga bahagia ini tidak pernah terenggut lagi secara paksa.
●●●
Jeongwoo mengetuk-ngetukkan sepatunya pada aspal. Sesekali berjinjit mengharapkan kedatangan seseorang.
“Huft lama sekali. Bosan.”
Jeongwoo menengadahkan kepalanya melihat langit yang berwarna kelabu. Sebentar lagi akan turun hujan.
Dari kejauhan Asahi berlari kecil dengan payung merah di tangannya.
“Maafkan Hyung terlambat. Tadi ada sedikit urusan. Maaf, eum? Kita beli es krim nanti. Bagaimana?”
Rengutan pada wajah Jeongwoo berubah jadi senyum lebar. Kaki kecilnya melompat senang.
“Kajja!” ajak Asahi sambil menggenggam tangan mungil Jeongwoo.
Rintik hujan perlahan turun. Asahi membuka payungnya kemudian menarik tubuh mungil Jeongwoo agar lebih mendekat padanya.
Sepuluh menit keduanya berjalan dalam hening ketika mereka sampai pada sebuah minimarket yang terletak tepat bersebelahan dengan sebuah gang kecil.
“Sahi Hyung,” panggil Jeongwoo.
“Hm? Ada apa?”
“Beli es krimnya dua ya.”
“Tidak boleh. Satu saja nanti kau batuk lalu Appa-mu marah bagaimana?”
Manik polos Jeongwoo menatap Asahi.
“Bukan buat aku, tapi buat anak laki-laki itu. Pasti dia suka es krim,” jawab Jeongwoo sambil menunjuk ke arah gang kecil.
Asahi mengikuti arah tangan Jeongwoo. Seorang anak laki-laki kecil yang mungkin seumuran dengan Jeongwoo terduduk di tepi jalan dengan tubuh bergetar. Bajunya yang terlihat kotor sudah basah kuyup terkena hujan yang semakin deras.
Manik Asahi seketika membulat.
“Ken-chan?!'' ucapnya dengan nada sedikit tinggi.
Tanpa aba-aba secara refleks berlari dengan payungnya, meninggalkan Jeongwoo yang kini terkena air hujan yang semakin deras. Jeongwoo menatap nanar Hyung yang selama ini menjadi hyung favoritnya.
Kenapa Asahi Hyung melupakannya?
“Ken-chan?! Astaga kau Ken-chan!” seru Asahi dengan air mata yang kini membasahi pipinya.
Anak kecil itu menatapnya bingung dengan bibir yang bergetar karena kedinginan.
“Aku Hwannie bukan Ken-chan. Hwannie takut. Hwannie sendiri.”
Tidak peduli siapa nama anak itu yang Asahi yakin di kehidupan lalu adalah puteranya yang masih kecil saat itu. Saat kecelakaan naas itu merenggut nyawanya.
Asahi tersadar akan sesuatu. Ia meninggalkan Jeongwoo tadi. Asahi menoleh ke belakang berusaha mencari sosok bocah kecil itu tapi nihil. Jeongwoo tidak lagi berdiri di tempat ia meninggalkannya. Asahi panik setengah mati kemudian menarik Hwannie bersamanya.
Layaknya orang gila Asahi masuk ke dalam minimarket dengan langkah tergesa. Namun Jeongwoo tidak berada di sana.
Asahi berlari kencang masih dengan Hwannie yang berada di genggamannya. Tubuh mungilnya ikut terguncang ketika Asahi berlari dengan kecepatan penuh. Asahi mengedarkan pandangannya sambil memanggil nama Jeongwoo. Air matanya mengalir deras. Isakan demi isakan lolos dari bibirnya yang memutih karena hawa dingin.
“Hwannie, Jeongwoo hilang. Aku harus bagaimana?”
Hwannie menatap sendu Hyung manis dan baik hati yang baru ditemuinya.
“Tidak akan hilang. Pasti bisa ditemukan.”
Hati Asahi menghangat mendengar perkataan Hwannie.
Ponselnya berdering. Nama Jaehyuk tertera di sana. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu Jaehyuk akan membencinya setelah ini.
“Jaehyuk-ah..”
Ada helaan napas berat terdengar dari ujung sana.
“Sahi-yah, pulanglah sekarang.”
Sambungan terputus.
Asahi menatap layar ponselnya. Ia bisa membaca situasi. Jeongwoo pasti pulang ke apartemennya sendiri.
Asahi merutuki dirinya. Semua karena kebodohannya. Semua karena ia begitu semangat melihat Hwannie yang ia yakini diri Ken di masa lalu. Wajahnya begitu mirip.
“Kita pulang ya, Hwannie.”
Hwannie hanya mengangguk pelan.
●●●
Asahi membuka pintu apartemen dengan langkah gontai. Hwannie mengekor di belakangnya tertutup oleh tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari bocah kecil itu.
Jaehyuk sedang duduk di sofa ruang tamu dengan Jeongwoo berada di pangkuannya. Plester penurun panas berada di dahinya. Sungguh hati Asahi terasa sakit melihat Jeongwoo demam seperti itu. Dan semua karena dirinya yang egois. Egois sudah melupakan Jeongwoo.
“Maafkan aku, Jaehyuk-ah..A-aku.. tapi Hwannie.. Ken-chan...”
Jaehyuk melirik ke arah anak kecil— yang Asahi sebut dengan Hwannie— yang tertunduk menggenggam erat tangan Asahi.
Sedikit terperanjat mengerti maksud dari perkataan Asahi tadi. Hwannie memang sangat mirip dengan Ken dulu. Jadi, Hwannie adalah anaknya di masa lalu?
Hati Jaehyuk mencelos melihat baju kotor dan lusuh milik anak itu. Jaehyuk yakin anak ini tidak punya keluarga dan dibiarkan berkeliaran di jalan.
“Mandilah dulu, Sahi-ya. Bersihkan tubuh Hwannie juga, lalu kita bicara.”
Asahi mengangguk pasrah. Kepalanya terasa pening. Rasa bersalah menggerogoti hatinya.
Jaehyuk memandang wajah tenang Jeongwoo yang tertidur di pangķuannya. Jujur Jaehyuk sedikit kecewa pada Asahi. Meninggalkan Jeongwoo dan membuatnya menjadi sakit seperti ini. Tapi, menyalahkan bukanlah hal yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Jaehyuk mengerti betul bagaimana perasaan Asahi saat melihat Hwannie.
Lima belas menit berlalu ketika pintu kamar mandi terbuka, menampakkan Asahi dan Hwannie dengan rambut setengah basah.
Asahi menghampiri Jaehyuk dengan langkah ragu. Tangannya memainkan ujung bajunya. Fokusnya beralih pada Jeongwoo yang masih terlelap.
Hatinya terasa sakit.
Tubuh mungil dan bibir pucat itu. Semua karenanya.
Asahi mengulurkan tangannya mengelus surai Jeongwoo dengan sayang. Mencium keningnya yang terasa hangat.
“Maafkan Hyung, karena Hyung kau jadi seperti ini,” lirihnya sendu.
Atensinya kini beralih pada Jaehyuk yang sedari tadi menatapnya lekat.
“Aku tahu kau kecewa, Jaehyuk-ah. Maafkan aku,” ucap Asahi dengan manik berkaca-kaca.
Jaehyuk menghembuskan napasnya kasar. Memejamkan matanya sebentar berusaha mengusir lelah yang menderanya.
“Jujur aku kecewa tapi tak ada gunanya menyalahkan. Aku tahu perasaanmu ketika melihatnya,” balas Jaehyuk dengan maniknya menatap Hwannie yang duduk terdiam di sebelah Asahi.
“Hal itu tidak bisa dijadikan alasan untukku meninggalkannya begitu saja. Aku merasa begitu bodoh dan egois sekarang. Aku hanya.. melihat Hwannie aku..,” ucapnya terbata di sela-sela isakannya.
“Kemarilah, Sahi-ya. Hwannie juga kemari,” kata Jaehyuk lembut dengan senyum manisnya sambil menepuk ruang kosong di sebelahnya.
Asahi mendudukkan dirinya di sebelah Jaehyuk dengan Hwannie di pangkuannya. Tangan kiri Jaehyuk melingkar pada pundak Asahi dan membawanya mendekat, membuat kepala Asahi bersandar pada bahunya. Kemudian tangannya terulur mengelus sayang surai kecoklatan milik Hwannie.
Manik Asahi membulat. Bagaimana bisa Jaehyuk tidak marah sama sekali? Seharusnya Jaehyuk bisa saja berteriak membentaknya, meluapkan semua kecewanya.
“Kadang kita bisa melakukan hal tak terduga untuk seseorang yang kita sayangi. Bahkan melakukan hal gila di luar batas akal. Aku kecewa tapi kurasa sebagai manusia biasa, itu adalah hal wajar.”
Asahi melingkarkan sepasang lengannnya pada pinggang Jaehyuk. Maniknya menatap Jeongwoo mengelus lengan kecil itu lembut. Asahi sangat menyayangi Jeongwoo. Tidak mau kehilangan bocah mungil yang menggemaskan itu.
“Gomawo, Jaehyuk-ah. Aku harap Jeongwoo tidak membenciku.”
“Aku tidak pernah mengajarkan anakku untuk membenci.”
Asahi tersenyum kecil. Jaehyuk benar-benar seperti malaikat tanpa sayap. Lagi-lagi Asahi menyadari betapa beruntungnya Jeongwoo memiliki keluarga seperti Jaehyuk.
“Oh ya, siapa nama lengkapmu, Hwannie?” tanya Jaehyuk.
“Junghwan. Itu nama lengkapku,” jawabnya sambil menunjukkan barisan gigi susunya.
“Mulai sekarang Hwannie tinggal di sini ya. Hwannie tidak akan sendiri lagi. Sekarang, Hwannie punya keluarga.”
“Kau yakin, Jaehyuk-ah? Apakah tidak apa-apa?” tandas Asahi.
“Memang kenapa? Aku ingin Hwannie merasakan keluarga. Kau mau, kan, Hwannie?”
Junghwan mengangguk cepat.
“Hwannie sayang...—–,”
Kata-katanya terhenti.
“Panggil aku Jaehyuk. Jaehyuk Appa.”
Asahi membelalakkan matanya. Memanggil Appa katanya? Dengan mudahnya Jaehyuk menerima. Asahi tersadar tidak pernah sekalipun ia menyuruh Jeongwoo menganggapnya sebagai sosok Ayah.
“Apakah kau tidak masalah ia memanggilmu Appa?”
“Sahi-ya, Hwannie adalah putera kita di masa lalu. Kau tahu itu. Lalu kenapa harus menjadi masalah untukku?” jawabnya dengan senyum merekah.
“Hwannie, panggil aku dengan sebutan Papa. Kau mau? Kau punya dua Ayah sekarang. Jaehyuk Appa dan Papa Asahi.”
Junghwan memandangi kedua 'orang tuanya' dengan pandangan polos. Maniknya berkaca-kaca. Baru hari ini selama hidupnya dirinya merasa bahagia seutuhnya.
Junghwan memeluk Asahi—meletakkan kepalanya pada dadanya. Asahi mengulum senyum mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil yang bersandar padanya.
“Appa..,” lirih Jeongwoo.
“Kau sudah bangun? Jeongwoo sudah lebih baik?”
Jeongwoo mengangguk ketika pandangannya beradu tatap dengan Asahi sebelum akhirnya menyembunyikan wajahnya pada dada tegap Jaehyuk.
“Jeongwoo-yah, maafkan aku, hm? Aku bersalah.”
“Apa Asahi Hyung tidak menyayangiku? Apa Sahi Hyung lebih menyanyangi dia?” tanyanya dengan suara parau sambil menatap Hwannie yang berada di pangkuan nyaman Asahi.
“Hwannie turun sebentar ya. Papa mau berbicara dengan Jeongwoo dulu.”
Hwannie menurut.
“Jeongwoo-yah, Papa menyayangimu.”
Mata Jeongwoo membulat. Jaehyuk juga dalam keadaan yang sama. Apa dia tidak salah dengar? Asahi mengatakan dirinya Papa pada Jeongwoo?
“Papa?” tanya Jeongwoo bingung.
“Hm! Mulai sekarang aku bukan hanya sekedar Hyung yang kau anggap sebagai teman Appamu. Mulai detik ini, kita keluarg. Panggil aku dengan sebutan Papa. Kau punya dua orang tua sekarang. Keluarga utuh.”
Jeongwoo menangis haru kemudian berdiri dan menghambur masuk ke dalam pelukan Asahi.
“Jeongwoo sayang Papa. Maaf Jeongwoo sudah pergi tanpa mengatakan apa-apa. Papa pasti khawatir.”
Asahi menggelengkan kepalanya seraya menghapus air mata Jeongwoo.
“Jeongwoo berhak marah. Papa yang bersalah meninggalkanmu.”
“Jeongwoo-yah.. kau tidak apa-apa kan jika Hwannie tinggal bersama kita? Ia lebih muda 1 tahun darimu. Dia akan menjadi dongsaengmu.”
Jeongwoo menatap Junghwan lama. Dalam hati takut kasih sayang Appanya akan direbut oleh bocah mungil yang lebih muda darinya.
Jaehyuk tahu apa yang Jeongwoo pikirkan. Raut wajah tak relanya menjawab semuanya.
“Junghwannie sama sepertimu dulu. Tidak punya keluarga. Jika dulu kau punya Ibu yang merawatmu, Hwannie ditelantarkan di jalan. Bertahan hidup sendiri selama ini. Tidak ada teman. Benar-benar sendiri. Sama sepertimu, Hwannie juga ingin punya keluarga.”
Jeongwoo memandang serius wajah Jaehyuk yang sedang memberinya pengertian.
Keluarga?
Junghwan berhak atas itu.
Jeongwoo tidak mau sendiri, Junghwan pasti juga seperti itu.
Jeongwoo berjalan ragu menghampiri Junghwan yang masih terduduk di sebelah Asahi. Sedetik kemudian memeluknya.
“Mulai sekarang, panggil aku Jeongwoo Hyung. Yeyyy Jeongwoo menjadi kakak sekarang. Jeongwoo punya saudara!”
Hwannie tersenyum lebar membalas pelukan Jeongwoo.
“Jeongwoo Hyung, Hwannie sayang Jeongwoo Hyung.”
Kristal bening mengalir dari pelupuk mata Asahi. Hatinya terenyuh melihat pemandangan di depannya.
“Kau bahagia, Sahi-ya?”
Asahi mengangguk pelan.
“Sangat. Tidak pernah sebahagia ini.”
“Terima kasih sudah mengijinkan Jeongwoo memanggilmu Papa,” ucap Jaehyuk lalu mencium pipi Asahi. Membuat rona merah muda muncul di kedua pipi pemuda manis itu.
“Jaehyuk-ah, kenapa menciumku? Nanti mereka melihat.”
Jaehyuk tertawa kecil.
“Aku hanya mencium pipimu bukan yang lain. Kenapa kau begitu khawatir?” tanya Jaehyuk dengan nada menggoda—mengundang cubitan pada perut ratanya.
“Appa! Hari ini Junghwannie tidur bersamaku. Appa tidur dengan Papa saja oke?”
Manik Asahi membulat sempurna. Tidur dengan Jaehyuk? Apa-apaan ini?
“Ta-tapi..”
“Ide bagus, Jeongwoo-yah.”
Ucapannya terputus oleh kata-kata Jaehyuk. Asahi menatap Jaehyuk tidak percaya sementara pemuda tampan itu hanya tertawa jenaka.
Pipi Asahi benar-benar terasa panas sekarang. Sekamar dengan Jaehyuk. Ya Tuhan ia sangat malu sekarang.
“Baiklah sudah jam 9. Kalian harus tidur.”
Jeongwoo dan Junghwan melompat semangat kemudian segera berlari ke kamarnya meninggalkan sepasang insan itu berdua di ruang tamu.
Jaehyuk bingung kenapa kedua anaknya menjadi semangat seperti itu ketika disuruh tidur. Biasanya Jaehyuk harus membujuk Jeongwoo terlebih dahulu.
“Kenapa mereka semangat sekali?”
Jaehyuk mengangkat bahunya.
“Entahlah, tapi aku bersyukur Jeongwoo bisa menerima Hwannie.”
“Hidup kadang bisa segila itu, ya. Penuh kejutan. Siapa yang menyangka takdir membawa kita terlahir kembali di kehidupan berikutnya dan dipertemukan? Bukan hanya denganmu tapi juga dengan Jeongwoo dan Hwannie.”
“Hidup memang penuh kejutan. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan dirimu, Jeongwoo dan Hwannie di hidupku. Kita memiliki masa lalu bersama yang terhubung sampai ke kehidupan berikutnya. Aneh dan tidak masuk akal tapi paling tidak, aku bahagia.”
Asahi mendekatkan wajahnya menangkup wajah Jaehyuk. Merasakan setiap hembusan nafasnya yang terasa dekat kemudian mencium belah bibir penuh itu dalam.
Lama.
Lembut.
Menyalurkan semua perasaannya.
Jaehyuk menekan tengkuk Asahi berusaha memperdalam bibir manis Asahi.
Jantung keduanya berdegup kencang, berdetak seirama.
Malam itu, hidup menunjukkan lagi keajaibannya.
Keluarga. Malam itu sebuah ikatan kuat terbentuk. Tidak sedarah namun terasa erat.
Biarkan seperti ini. Perlahan meraih kebahagian satu per satu. Tidak perlu terburu-buru. Entah takdir akan membawa kemana mereka selanjutnya.
●●●
3 years later...

Bunga cherry blossom bermekaran. Musim semi baru saja datang di Korea. Angin musim semi berhembus lembut. Wangi bunga cherry blossom menyapa indera penciuman—menenangkan.
Sepasang kekasih dengan tangan saling bertautan berjalan beriringan. Keduanya memandangi cherry blossom yang merekah sempurna. Membuat sekeliling taman dinaungi bunga-bunga yang tumbuh lebat.
Jaehyuk menatap pemuda manis di sampingnya yang masih menikmati pemandangan musim semi yang indah.
“Sahi-ya..”
“Hm?”
“Sahi-ya..kau indah seperti musim semi, ketika bunga-bunga cherry blossom mekar sempurna. Mulai detik ini sampai seterusnya kita akan bersama selamanya menikmati musim semi, menikmati bunga-bunga merah muda itu bermekaran. Aku akan membahagiakanmu. Jadi, menikahlah denganku.”
Asahi terperanjat.
Kata-kata itu.. persis seperti yang diucapkan Yoonjae.
“Menikah?”
“Aku selalu menunggu momen ini. Ketika aku punya pekerjaan yang lebih baik, lebih mapan. Aku selalu menunggu saat ini. Dan di musim semi tahun ini, aku ingin mengatakannya. Aku ingin menghabiskan hidupku denganmu. Jadi, will you marry me, Hamada Asahi?”
Hening.
Asahi menatap manik Jaehyuk dalam. Ketulusan dan kesungguhan terpancar di sana. Kejadian masa lalu berulang di hari ini. Di tengah musim semi, ketika bunga-bunga bermekaran.
“Kau yakin, Jaehyuk-ah?”
“Aku tidak pernah seyakin ini,” ucapnya mantap.
Asahi menangkup wajah Jaehyuk kemudian mengecup bibir itu singkat.
“Aku juga ingin menghabiskan hidupku denganmu, Yoon Jaehyuk.”
Seulas senyum lebar merekah. Rasanya Jaehyuk ingin melompat tinggi-tinggi, mengatakan pada dunia dengan lantang bahwa Asahi adalah miliknya.
“Puluhan tahun lalu, Yoonjae melakukan hal yang sama untuk Arthur. Menikahinya, membahagiakannya, lalu kebahagiaan itu lenyap seketika dikalahkan takdir. Aku tidak tahu hari depan, tidak punya kuasa untuk mengatur garis takdir, tapi yang kutahu, aku akan terus membahagiakanmu selama aku bisa. Perjalanan masih panjang, tapi aku harap kita bisa terus bersama. Saling menggenggam, tidak melepaskan. Perlahan tapi pasti menjalani hidup, menikmatinya, sambil berharap akan bertemu dengan akhir bahagia. Aku amat mencintaimu, Yoon Asahi.”
Jaehyuk mengecup bibir manis itu sekali lagi. Menggenggam kedua tangan Asahi erat.
“Kau adalah kebahagiaanku, Jaehyuk-ah. Bahkan di tengah kekurangan atau kesulitan sekalipun, kau tetap akan membuatku bahagia. Aku juga mencintaimu, Yoon Jaehyuk. Sangat. Sampai dadaku kadang terasa penuh diisi oleh perasaanku padamu.”
Jaehyuk mengelus surai Asahi kemudian mengecup keningnya. Ia melingkarkan sepasang lengannya memeluk erat pemuda manis yang menjadi sumber kehidupannya.
Jaehyuk menarik lembut tangan Asahi membawanya ke salah satu kursi yang berada di taman. Masih menggenggam erat tangan yang terasa sangat pas dalam genggamannya, Jaehyuk mengeluarkan ponsel dan sebuah earphone dari saku celananya. Ia memasangkan salah satu earphone pada telinga kiri Asahi.
Dahi Asahi berkerut tapi menurut.
Tak lama suara petikan gitar terdengar di sana diiringi suara Jaehyuk yang mengalun lembut.
“Ini lagu kesukaanmu. Pada masa ini maksudku.”
Asahi mengangguk. Ini memang lagu favoritnya. Lagu ketika pertama kali dirinya bertemu Jaehyuk siang itu. Lagu yang membuat hidupnya bertaut sepenuhnya dengan pemuda Korea ini. Lagu yang membawa cinta masa lalunya kembali padanya.
Asahi memejamkan matanya menikmati setiap untaian nada dan kata yang terdengar indah di telinganya.
••...Slow laugh
With a slower pace
Let's walk, hold both hands tightly
So that the end can't be seen
Slow clouds
Always like this
We go in slow motion
Slow-motion...••
Jaehyuk menatap Asahi yang bersandar di pundaknya. Ia terlihat begitu indah sekarang. Matanya yang terpejam di bawah naungan bunga musim semi yang bermekaran. Sesekali surai halusnya tertiup angin.
Hati Jaehyuk berdesir.
Dirinya mengeratkan tautan tangan keduanya. Jaehyuk ikut memejamkan matanya. Menikmati musim semi paling bahagia selama hidupnya.
Asahi.
Jeongwoo.
Dan Junghwan.
Hidupnya benar-benar lengkap sekarang.
Pernah ada sebuah kalimat indah yang sering didengarnya dulu.
Life is miracle unfolding in slow motion.
Dulu, ia tidak begitu mengerti apa makna dari kata-kata itu. Tapi, sepertinya ia mulai mengerti sekarang. Bagaimanapun keadaannya, hidup adalah sebuah keajaiban. Kadang dibuat terjatuh ke lubang gelap lalu kadang merasakan bahagia yang tidak terkira. Langkah demi langkah dijalani. Satu per satu lembaran hari terlewati.
Perlahan tapi pasti. In slowmotion. Biarkan semesta bekerja dengan caranya sendiri.
End.