asahiiikun

Title: Slowmotion

Pairing: Jaehyuk/Asahi

in this story junghwan and jeongwoo are much younger than their actual age and jaesahi older than their actual age.

-notes- Italic: flashback

Matahari mulai meninggi memancarkan teriknya. Seorang pemuda berkulit putih pucat dengan surai hitam legam menghela napas panjang—sesekali menendang kerikil-kerikil kecil yang bertemu dengan ujung sepatunya. Sebuah amplop coklat dengan ukuran cukup besar berada di genggamannya. Pemuda itu membuka amplop coklat itu kemudian mengeluarkan beberapa lembar sketsa dan ilustrasi hasil karyanya. Pemuda dengan postur tubuh sedikit mungil itu menggembungkan pipinya dan lagi-lagi menghela napas panjang.

“Mengapa sulit sekali mencari pekerjaan di negeri orang?” keluhnya pelan.

Sudah hampir 2 jam dirinya mendatangi beberapa perusahaan desain grafis terkenal di Kota Seoul namun belum membuahkan hasil yang berarti. Bulir keringat mengucur dari pelipisnya. Mencari pekerjaan di siang hari di tengah musim panas memang bukanlah pilihan yang bijaksana.

Kepalanya tertunduk lesu. Rasa lelah juga putus asa menghinggapi pikirannya. Pemuda itu melangkah pelan ketika indera pendengarannya menangkap suara alunan gitar diiringi suara lembut khas milik seseorang yang menyanyikan lagu teranyar dari salah satu boygroup Korea—Treasure. Ia mempercepat langkahnya ketika sepasang kaki lelahnya berhenti di sebuah taman yang siang ini dipenuhi kerumunan orang—melangkah mendekati sumber suara yang menarik perhatiannya.

Seorang pemuda yang kurang lebih seumuran dengannya dengan surai hitam memetik gitarnya sambil menyanyikan alunan lagu favoritnya. Tanpa sadar senyum merekah di kedua sudut bibirnya tatkala mendengar suara indah yang memanjakan telinganya. Sesekali menggerakkan kakinya seirama dengan alunan nada yang dihasilkan petikan gitarnya.

Ia menggerakkan kepalanya lembut ketika pandangannya bertemu dengan pemuda tampan di hadapannya. Waktu terasa berhenti ketika desiran aneh merayapi hatinya. Pandangan lembut yang menatapnya dalam.

Aneh.

Mengapa terasa familiar? Seharusnya ini pertemuan pertamanya lalu mengapa pemuda ini seperti tidak asing?

Lamunannya buyar ketika suara petikan gitar berhenti diiringi riuh tepuk tangan dari orang-orang sekitarnya. Mau tak mau dirinya juga ikut bertepuk tangan meskipun atensinya hilang entah kemana selama seperempat bagian terakhir dari lagu.

“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya suara berat yang membuatnya berjengit karena terkejut.

Maniknya membulat melihat pemuda yang baru saja menyelesaikan pertunjukkan musiknya berdiri di hadapannya dengan gitarnya yang sudah tersimpan rapi di dalam guitar case-nya.

“A-aku rasa tidak?” jawabnya ragu dengan nada setengah bertanya karena sungguh dirinya juga merasa pemuda ini tak asing baginya.

“Aneh. Entah kenapa aku merasa mengenalmu tapi di saat yang bersamaan aku cukup yakin belum pernah sekalipun bertemu denganmu. Ah, namaku Yoon Jaehyuk,” balasnya seraya menyodorkan tangan kanannya.

“Aku Asahi. Jujur aku juga merasa kau tak asing tapi aku tidak mengingat sama sekali pernah bertemu denganmu,” jawab Asahi sambil membalas jabatan tangannya.

“Suaramu bagus. Permainan gitarmu juga bagus dan kau menyanyikan lagu favoritku,” ucap Asahi lagi sambil menyunggingkan senyum manisnya.

Deg.

Jantung Jaehyuk terasa berhenti berdetak ketika melihat senyum manis itu. Ada gemuruh aneh di dalam hatinya. Tanpa sadar menyentuh bagian dadanya yang berdenyut melihat pemandangan yang baru saja dilihatnya.

'Perasaan apa ini?' gumamnya dalam hati.

Jaehyuk berusaha menetralkan ekspresinya. Buru-buru mengabaikan perasaan aneh yang baru saja merasuki hatinya.

“Masih banyak yang harus aku pelajari. Tapi, terima kasih atas pujiannya.”

Asahi menatap Jaehyuk dengan tatapan dalam yang mungkin sulit untuk dimengerti. Desir aneh itu datang lagi.

“Hei kau baik-baik saja? Kau melamun,” tanya Jaehyuk sambil menggerakkan tangannya di depan wajah Asahi berusaha menyadarkan pemuda manis itu.

“Ah aku baik-baik saja.”

“Mau minum kopi? Ada cafe yang menjual kopi enak di dekat sini. Jangan salah paham, aku tidak memaksa, hanya bertanya jika kau tertarik.”

Dan entah kegilaan dari mana Asahi mengangguk setuju dengan ajakan pemuda yang bahkan belum genap 1 jam dikenalnya.

Tapi perasaan aneh nan familiar itu terus menghantuinya. Membuatnya tertarik dengan eksistensi pemuda asing yang baru saja ditemuinya tadi.

●●●

at CoffeeLibre, Myeongdong, Seoul..

Jaehyuk membawa nampan dengan dua Ice Americano di atasnya kemudian meletakkan salah satunya di depan Asahi.

“Terima kasih,” ucap Asahi singkat merasa gugup.

“Jadi kau dari Jepang?”

Asahi menyeruput kopinya kemudian mengangguk kecil.

“Aku sudah 3 tahun di sini.”

Jaehyuk mengangguk mengerti. Tidak aneh jika Asahi sudah cukup fasih berbahasa Korea.

“Apa yang kau lakukan di Korea? Bekerja?”

“Ya. Aku sempat bekerja sebagai ilustrator lalu aku memutuskan berhenti untuk mencari pekerjaan yang lebih baik namun aku belum beruntung hari ini,” dengusnya sedikit kesal bercampur lelah.

“Bagaimana denganmu, Jaehyuk-ssi?”

“Jangan panggil aku secara formal seperti itu. Aku rasa kita seumuran. Aku memiliki mimpi menjadi penyanyi. Sudah beberapa kali mengikuti audisi namun kurasa aku belum beruntung juga. Mungkin memang tidak cocok untukku, jadi aku bekerja sebagai penyanyi di salah satu cafe sekarang.”

“Kurasa keadaan kita hampir sama. Mencari peruntungan berusaha meraih mimpi masing-masing.”

Jaehyuk menyesap kopi pahitnya.

“Kurasa bisa dikatakan begitu. Kebetulan sekali ya? Entahlah. Tiba-tiba bertemu denganmu, rasa familiar, juga situasi kita yang hampir mirip.”

“Aku tidak percaya kebetulan.”

Jaehyuk menaikkan alisnya tertarik dengan ucapan lawan bicaranya.

“Kau tidak percaya kebetulan? Jadi, menurutmu pertemuan kita adalah takdir, begitu?”

Asahi kembali menyeruput cairan hitam pekat yang kini sudah becampur dengan es batu yang mencair.

“Aku percaya jika dipertemukan dengan seseorang sudah merupakan garis hidup yang Tuhan ukirkan.”

“Jawaban menarik. Tapi, biarlah seperti itu. Anggap saja memang pertemuan kita sudah digariskan Tuhan,” jawab Jaehyuk dengan senyum terulas di bibir penuhnya.

Asahi memandang dalam senyum yang terukir di wajah pemuda tampan di hadapannya.

Apa boleh menganggapnya seperti itu? Pertemuan keduanya sudah digariskan Tuhan? Belum lagi rasa familiar yang terus menggelayuti keduanya.

“Kau tinggal dengan kedua orang tuamu di sini?”

Jaehyuk menggeleng.

“Aku bahkan tidak mengenal orang tuaku. Aku tumbuh besari di panti asuhan.”

Asahi menatap Jaehyuk sendu merasa tak enak sudah menanyakan hal yang ia tidak sangka jawabannya.

“Maafkan aku, tidak seharusnya aku bertanya.”

Jaehyuk terkekeh pelan melihat raut gugup tergambar jelas di wajah lawan bicaranya.

“Tidak perlu meminta maaf. Memang begitu kenyataannya dan kurasa aku sudah belajar menerimanya sejak dulu. Kau sendiri bagaimana? Merantau sendiri di sini?”

“Begitulah. Orang tuaku menetap di Jepang. Sulit sekali hidup di negeri orang. Dengan penghasilan yang tidak seberapa dan harus menyewa apartemen sendiri cukup memberatkan juga. Tapi, mau bagaimana lagi, kan?”

“Kalau kau mau, kita bisa berbagi sewa apartemen? Apartemenku terletak di pinggir kota dengan harga yang cukup murah. Aku hanya menawarkan, kuharap kau tidak merasa diriku aneh. Jika kau mau, kau bisa melihatnya terlebih dahulu. Itupun jika kau tak keberatan jika harus tinggal dengan anak laki-lakiku yang masih kecil.”

Asahi terbatuk keras akibat tersedak kopi pahitnya. Perkataan Jaehyuk membuatnya terkejut setengah mati.

Jaehyuk sudah memiliki anak? Asahi tidak salah dengar, kan?

Jaehyuk tertawa keras.

“Maaf membuatmu terkejut,” ucapnya masih dengan gelak tawa.

“Dia bukan anak kandungku tapi, aku merawatnya sejak kecil. Dia satu panti asuhan denganku dulu. Usianya baru 5 tahun.”

“Lalu kenapa kau mengatakan dia anakmu? Bukankah lebih cocok menjadi adik?”

Jaehyuk tersenyum. Mengerti akan kebingungan Asahi. Siapapun yang mendengarnya juga pasti akan bertanya hal yang sama.

Mendengar tak ada jawaban lagi-lagi Asahi merutuki dirinya yang ikut campur akan urusan pribadi orang lain. Bahkan pemuda ini adalah pemuda yang baru dikenalnya. Tentu sedikit kurang ajar banyak bertanya hal pribadi.

“Maaf aku banyak bertanya. Lupakan saja,” ucap Asahi seraya menunduk.

“Hei tidak apa-apa. Aku tidak masalah kau banyak bertanya,” kata Jaehyuk sambil menyentuh singkat lengan Asahi membuat pemiliknya berjengit tatkala merasakan sensasi aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdetak cepat. Wajahnya memanas. Ia yakin pipinya memerah sekarang.

Jaehyuk mengulum senyum melihat rona merah menghiasi kedua pipi Asahi. Berusaha menahan tawa sekaligus rasa bahagia yang muncul di hatinya ketika melihat pemuda manis ini tersipu malu.

“Namanya Jeongwoo. Dulu dia tinggal di panti asuhan yang sama denganku. Suatu kali aku berkunjung ke sana untuk menyapa Ibu yang dulu merawatku. Jeongwoo tidak mau lepas dariku dan terus merengek ingin ikut pulang. Aku tidak tega melihat bocah yang masih berumur 3 tahun itu menangis keras. Jadi, aku bertanya pada Ibu apakah bisa aku mengadopsinya. Lalu ya aku mengurus semua berkasnya dan Jeongwoo tinggal bersamaku selama 2 tahun ini. Dia bilang dia selalu ingin punya orang tua dan bertanya dengan polosnya apakah mungkin memanggilku dengan sebutan Appa. Aku setuju saja asalkan itu membuatnya bahagia,” jelas Jaehyuk diakhiri dengan seulas senyum.

Asahi terkesima. 

Jaehyuk benar-benar membuatnya terkesima. Bukan hanya karena fisiknya yang sempurna, bukan hanya karena wajah tampan juga suara indahnya, namun juga kebaikan hatinya. Di tengah sulitnya hidup bertahan sendiri, berusaha meraih mimpi dan mencukupi kehidupan sehari-hari, Jaehyuk masih menaruh rasa peduli pada orang lain yang bisa dibilang menjadi tanggungan hidupnya sekarang. Entah berapa banyak orang yang mungkin salah paham dengan keadaannya, tapi Jaehyuk tidak peduli asalkan bocah 5 tahun dengan nama Jeongwoo itu bahagia.

Hari itu, Asahi menyadari sesuatu. Tuhan menggariskan kehidupannya untuk bertemu satu lagi manusia baik yang mungkin akan menjadi bagian dari hari-harinya. Hari itu, Asahi belajar satu hal lagi. Bagaimana rasa peduli dan mengasihi bisa dimulai kapan saja, bukan hanya ketika hidup melimpah dan serba berkecukupan.

Asahi menatap Jaehyuk dalam. Sinar mentari yang masuk melalui celah jendela cafe membuat Jaehyuk terlihat semakin tampan. 

“Aku harap tidak merepotkan jika aku berbagi sewa apartemen denganmu. Aku juga ingin bertemu Jeongwoo, anak laki-laki beruntung itu.”

“Beruntung?“ 

Jaehyuk mengerutkan keningnya tak mengerti.

“Eum! Beruntung,” ucap Asahi semangat.

Jaehyuk terkekeh pelan kemudian tanpa sadar mengacak surai hitam Asahi. Sedetik kemudian menarik tangannya ketika menyadari apa yang baru dilakukannya.

“Ah ma-maaf, lebih baik kita pergi sekarang sebelum langit gelap. Kau bisa melihat apartemenku lebih dahulu sebelum memutuskan untuk pindah.”

Jaehyuk bangkit dari duduknya diikuti Asahi yang mengikutinya dari belakang. Keduanya berjalan beriringan menikmati langit senja yang sebentar lagi menjadi gelap. Semilir angin bertiup lembut.

Jaehyuk menatap pemuda di sampingnya yang sedang menatap langit dengan bibir tipisnya yang membentuk senyum.

Manis.

Helaian surai halusnya yang bergoyang lembut ditiup angin membuatnya semakin terlihat manis.

Hari ini, Jaehyuk mengerti sesuatu. Bahwa di tengah beratnya hidup, Tuhan mampu mempertemukannya dengan orang yang tak terduga yang eksistensinya berhasil menyerap seluruh atensi yang ia punya. Menumbuhkan suatu perasaan baru di hatinya.

●●●

Asahi mengedarkan pandangannya pada apartemen yang tidak terlalu besar namun nyaman. Jaehyuk melangkah masuk ketika sepasang lengan kecil menyambutnya. Otomotis Jaehyuk membungukkan dirinya mengangkat anak kecil itu kemudian memutarnya cepat, mengundang gelak tawa dari anak kecil yang Asahi yakini adalah Jeongwoo.

“Aku rindu Appa. Aku seharian bersama Bibi Kim. Bosannnnnn,” katanya manja.

Seorang wanita paruh baya muncul dengan langkah tergopoh dari arah dapur.

“Ah kau sudah pulang, Jaehyuk-ah. Jeongwoo tidak sabar menunggumu pulang daritadi.”

“Terima kasih sudah menjaganya. Aku harap ia tidak nakal hari ini.”

“Jeongwoo anak baik! Tidak nakal!”

Bibi Kim tertawa kecil sambil mengelus punggung Jeongwoo yang masih berada di pelukan Jaehyuk.

Bibi Kim mengarahkan pandangannya pada Asahi. Asahi mengangguk singkat kemudian tersenyum lembut.

“Siapa pemuda manis ini, eum? Kekasihmu?” tanya Bibi Kim dengan nada menggoda.

“Perkenalkan aku Asahi, teman Jaehyuk,” jawab Asahi dengan telinganya yang memerah menahan malu.

“Ah aku kira kekasihmu. Cepatlah mencari kekasih, Jaehyuk-ah agar kau tidak sendiri terus.”

Jaehyuk menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil melirik ke arah Asahi yang menunduk malu sekarang.

“Baiklah, aku kembali dulu ke apartemenku. Jangan sungkan jika butuh bantuan,” pamit Bibi Kim seraya menepuk pelan pundak Jaehyuk dan melempar senyum pada Asahi.

Asahi membungkuk sedikit kemudian memusatkan perhatiannya pada Jeongwoo yang kini tengah bercanda dengan Jaehyuk di ruang tamu.

“Jeongwoo, kenalkan ini teman Appa. Namanya Asahi. Kau bisa memanggilnya dengan sebutan Hyung. “

Jeongwoo mengerjapkan matanya polos, menatap teman Appa-nya.

“Kenapa tidak panggil Appa juga?”

“Tidak boleh begitu, Jeongwoo-yah. Panggil Hyung eum?'

Jeongwoo mengangguk semangat kemudian menarik lembut bagian bawah celana jeans yang dikenakan Asahi. Asahi menatap lucu anak kecil yang jauh lebih pendek darinya. Sejurus kemudian berjongkok untuk menyejajarkan pandangannya.

“Namaku Asahi. Kau lucu sekali, Jeongwoo-yah,” katanya sambil mencubit gemas pipi Jeongwoo.

Jeongwoo mengerucutkan bibirnya tidak suka namun seketika memberi senyum manisnya.

“Jika mulai beberapa hari lagi Asahi Hyung tinggal di sini, apakah Jeongwoo keberatan?” tanya Jaehyuk.

Jeongwoo menggelengkan kepalanya cepat.

“Tidak keberatan. Jeongwoo punya teman selain Bibi Kim. Jeongwoo senang!” serunya girang sambil melompat semangat.

“Hyung  mau main denganku? Aku sedang menggambar sesuatu tadi.”

“Jeongwoo-yah, kau sudah kerjakan pekerjaan rumahmu?” tanya Jaehyuk lagi khawatir jika Jeongwoo lalai dalam menjalankan kegiatan belajarnya.

“Jeongwoo sudah selesaikan semuanya, Appa.”

Jaehyuk mengangguk puas kemudian mengacak surai Jeongwoo.

“Baiklah. Appa tinggal sebentar, ya. Sementara dengan Asahi Hyung  dulu ya?”

Jeongwoo mengangguk semangat.

“Aku titip sebentar tidak apa, kan? Aku mau mandi dulu.”

Asahi tersenyum lembut dan menjawabnya dengan satu anggukan.

“Kajja! Kita menggambar bersama!” ajak Asahi semangat.

Energinya selalu naik ketika mendengar kata menggambar ataupun melukis. Seni sudah menjadi bagian hidupnya.

Jeongwoo bertepuk tangan riang lalu menunjukkan kertas gambarnya pada Asahi. Asahi tersenyum lebar kemudian mulai memperhatikan hasil gambar yang baru setengah jadi itu.

“Gambarmu bagus, Jeongwoo-yah. Setelah kau menyelesaikannya, kita bisa mewarnainya bersama,” ucap Asahi lembut sambil mengelus surai kecoklatan bocah laki-laki yang sangat lucu dan menggemaskan ini.

Keduanya sibuk dengan dunianya. Jeongwoo yang sibuk dengan krayonnya dan Asahi yang larut dalam kegiatannya memperbaiki beberapa guratan pada kertas gambar milik Jeongwoo. Sesekali Asahi menggigit bibirnya ketika gambarnya terasa belum sempurna.

Tanpa keduanya sadari, Jaehyuk melihat semuanya dari ambang pintu kamar mandi masih dengan handuk yang melingkar di lehernya. Hatinya menghangat melihat pemandangan di depannya. Lagi, desir aneh itu muncul lagi. Rasanya Jaehyuk seperti pernah melakukan hal ini juga namun Jaehyuk sama sekali tidak mengingatnya sekeras apapun ia mencoba.

Jaehyuk melirik jam dinding. Sudah jam 9 malam. Waktunya Jeongwoo tidur.

Jaehyuk menghampiri keduanya yang masih sibuk berkutat dengan dunianya sendiri.

“Jeongwoo-yah, sudah saatnya tidur. Sudah jam 9 malam, besok harus sekolah kan?”

Jeongwoo mendesah kecewa. Ia masih ingin menyelesaikan gambarnya.

Asahi menyadari perubahan raut wajah Jeongwoo.

“Besok Hyung akan datang lagi. Kita selesaikan gambarnya, eum? Sekarang Jeongwoo tidur dulu.”

“Janji?” ucap Jeongwoo seraya menyodorkan jari kelingkingnya.

“Janji!”

Asahi membalas tautan kelingkingnya lalu mengacak rambut Jeongwoo membuatnya sedikit berantakan.

“Goodnight, Sahi Hyung!” ucap Jeongwoo yang kini berada dalam gendongan Jaehyuk.

“Selamat tidur, Jeongwoo-yah.”

Fokus Asahi beralih pada Jaehyuk sekarang.

“Jaehyuk-ah, kau temani Jeongwoo tidur. Aku akan pulang naik bus. Sudah malam.”

“Jangan pulang sendiri. Aku akan mengantarmu setelah Jeongwoo tidur.”

Asahi menggelengkan kepalanya sambil memberikan senyum manisnya.

“Tidak perlu, Jaehyuk-ah. Bagaimana jika Jeongwoo terbangun dan kau tidak ada? Dia pasti ketakutan mencarimu. Aku bisa pulang sendiri.”

Jaehyuk menghela napas panjang.

“Aku akan mengantarmu. Aku khawatir jika kau pulang sendiri,” katanya tegas masih bersikukuh pada pendiriannya.

“Baiklah jika kau memaksa. Aku tunggu di sini ya sampai Jeongwoo tertidur.”

Asahi menatap Jeongwoo yang mulai terlelap. Jaehyuk membuka pintu kamarnya kemudian meletakkan anak laki-laki 5 tahun itu di tempat tidurnya. Jaehyuk mengelus kepala Jeongwoo sayang kemudian memberikan kecupan singkat pada keningnya.

Jaehyuk menutup pintu kamarnya perlahan ketika mendapati Asahi yang tertidur lelap di sofa ruang tamunya dengan posisi duduk. Jaehyuk menatapnya lembut. Asahi lelah rupanya. Posisi seperti itu pasti tidak nyaman.

Jaehyuk melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Bus terakhir sudah lewat 30 menit lalu. Hatinya juga tidak tega membangunkan pemuda manis yang terlihat sangat lelah.

Jaehyuk menghampirinya perlahan berusaha tidak menimbulkan suara kemudian membaringkan tubuh Asahi di atas sofanya. Sejurus kemudian mengambil selimut dari kamarnya kemudian menyelimuti tubuh kurusnya.

Jaehyuk mengubah posisinya menjadi duduk di lantai kayu apartemennya. Memandangi wajah Asahi yang tampak begitu polos dan tenang. Tangannya terulur menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi keningnya.

Asahi berhasil menyita seluruh atensinya hari ini. Wajah tampannya yang meneduhkan. Senyum manis dengan lesung pipit dalamnya. Bagi Jaehyuk, Asahi sempurna. Makhluk indah ciptaan Tuhan yang tanpa bisa dikendalikan juga perlahan merebut hatinya—memenuhi setiap sisinya. Tanpa celah sedikitpun.

●●●

Cahaya mentari pagi yang masuk melalui celah tirai jendela mengusik tidurnya. Asahi menggerakkan tubuhnya perlahan kemudian mengerjapkan matanya perlahan berusaha menyesuaikan pupilnya dengan cahaya yang memenuhi ruangan.

Asahi terkejut—bangkit dari posisi tidurnya—ketika menyadari dirinya tidak berada di apartemennya. Sedetik kemudian menghela napas lega ketika mengingat dirinya berada di apartemen Jaehyuk semalam. Mengingat pembicaraan terakhirnya semalam—seharusnya Jaehyuk mengantarnya pulang.

'Bodoh! Pasti kau ketiduran semalam, Hamada Asahi,' rutuknya dalam hati.

Asahi mengedarkan pandangannya sambil meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Maniknya menangkap sesuatu. Jaehyuk terlelap dengan posisi kepalanya bertumpu pada meja.

Ah pasti tidak nyaman sekali. Badannya akan terasa sakit.

“Kenapa ia tidak tidur di kamarnya?” gumamnya pelan.

“Jaehyuk-ah,” panggilnya menggoyang bahu Jaehyuk perlahan.

Jaehyuk mengerjapkan matanya sebelum sepasang kelopaknya membuka sempurna.

“Pindah ke kamar, hm? Tubuhmu akan sakit jika tidur seperti ini.”

Entah setan apa yang merasukinya, Jaehyuk menarik Asahi ke dalam pelukannya. Mendekap tubuh mungil itu lama.

Jantung Asahi berdegup kencang. Demi Tuhan rasanya jantungnya seperti melompat dari rongga dadanya. Reaksi Jaehyuk begitu tiba-tiba dan mengejutkan.

“J-jaehyuk-ah..,” kata Asahi pelan.

Mata Jaehyuk membulat. Kali ini kesadarannya sudah penuh dan menyadari apa yang baru saja dilakukannya.

Jaehyuk melepas sedikit kasar pelukannya.

“Ma-maaf aku tidak bermaksud. A-aku...”

Bibir Jaehyuk mengatup. Tidak mampu melanjutkan perkataannya. Bingung harus menjelaskan apa yang baru saja tanpa sadar sudah dilakukannya.

Asahi tersenyum kecil kemudian merengkuh Jaehyuk kembali ke dalam dekapannya.

“Tidak apa-apa. Kadang seseorang membutuhkan pelukan. Tidak masalah,” kata Asahi seraya mengelus punggung tegap Jaehyuk yang menegang di dalam pelukannya. Ia tahu Jaehyuk gugup sekarang dan mungkin merasa tidak enak karena sudah lancang memeluknya. Tapi, Asahi ingin Jaehyuk tahu terkadang seseorang hanya butuh pelukan dan itu bukan masalah besar.

“Terkadang hidup menjadi semakin sulit, dadamu terasa terhimpit sampai kau tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Terkadang lidahmu terasa kelu sampai tak ada satupun kata yang terucap. Kadang kau ingin menangis keras namun rasanya mengeluh adalah percuma. Jika begitu, kau hanya butuh satu hal. Pelukan,” kata Asahi lagi berusaha menyakinkan bahwa dirinya tidak marah atau merasa terganggu dengan pelukan tiba-tiba tadi. Asahi hanya terkejut. Itu saja.

Jaehyuk meresapi setiap perkataan Asahi. Bagaimana bisa orang yang baru bertemu dengannya justru memahaminya dan tahu apa yang paling dirinya butuhkan saat ini.

Terkadang, Jaehyuk juga lelah untuk menjadi kuat. Lelah menghadapi hidup. Selama dua tahun ini, Jeongwoo yang membantunya bertahan dari kesepian.

Jaehyuk merasakan pandangannya menjadi buram ketika kristal bening memaksa keluar dari sepasang maniknya. Jaehyuk melingkarkan lengannya pada pinggang ramping Asahi membalas pelukan hangat yang sudah lama tidak ia rasakan. Seingatnya terakhir kali ia mendapatkan pelukan seperti ini dari sosok Ibu di panti asuhannya dulu.

“Gomawo, Sahi-ya. Kau tahu? Salah satu alasanku membawa Jeongwoo hari itu adalah karena aku tidak ingin dirinya sepertiku.Tumbuh tanpa mengenal kasih sayang keluarga. Tidak pernah mendapatkan pelukan hangat dari Appa ataupun Eomma. Aku ingin Jeongwoo bisa merasakan kehadiran sebuah keluarga meskipun bukan yang sedarah dengannya. Aku ingin Jeongwoo bisa merasakan pelukan hangat,” katanya diiringi dengan isakan halus yang lolos dari bibir penuhnya.

Asahi semakin mengeratkan pelukannya. Semakin mengagumi pemuda tampan nan baik hati yang kini menangis di pelukannya.

“Sekarang kau juga tidak sendiri lagi. Kau punya Jeongwoo—– dan kau juga punya diriku. Mungkin kita baru saja bertemu, belum lama saling mengenal, tapi entah kenapa aku seperti merasa terhubung denganmu. Apapun itu aku ingin berusaha selalu ada untukmu. Kau ingat aku mengatakan kemarin Jeongwoo beruntung? Jeongwoo memang beruntung memiliki Appa sepertimu. Begitu baik, bahkan kau tidak peduli apa yang akan dikatakan orang lain ketika mereka menganggapmu sudah memiliki anak. Yang terpenting bagimu adalah kebahagiaan Jeongwoo dan kurasa tidak mudah melalukan itu. Jadi, kau harus ingat sekarang kau tidak sendir lagi.”

“Jeongwoo juga mau peluk!” seru Jeongwoo yang baru saja keluar dari kamar Jaehyuk masih dengan piyamanya.

Asahi melepaskan pelukannya ketika suara girang Jeongwoo menyambut pendengarannya. Jaehyuk terkekeh pelan seraya mengusap jejak air mata dari pipinya. Jeongwoo tidak boleh melihat Jaehyuk menangis.

“Sini Hyung peluk juga.”

Jeongwoo berlari kecil kemudian menghambur masuk ke dalam pelukan Asahi. Tangan mungilnya terulur meraih ceruk leher Jaehyuk—ikut membawanya ke dalam pelukan.

“Jeongwoo senang! Kita seperti keluarga!”

Asahi tertawa pelan kemudian mengelus sayang rambut Jeongwoo. Semakin membawanya mendekat dalam pelukannya lalu mengecup pipi berisi milik Jeongwoo.

Terlalu lama dalam kesendirian kadang membuat manusia tak berdaya. Tersenyum dan tertawa namun hati terasa kosong. Tersenyum di balik derita. Bukan tidak mau berusaha meraih bahagia, tapi terkadang menunggu uluran tangan yang mampu menyelamatkan.

●●●

Sudah hampir enam bulan Asahi tinggal bersama Jaehyuk dan Jeongwoo. Rutinitas Asahi diisi dengan bekerja sebagai ilustrator di salah perusahaan desain kreatif yang cukup besar di Korea.

Sesekali ia akan menjemput Jeongwoo di sekolahnya ketika jadwalnya tidak begitu padat. Pekerjannya bisa dibilang cukup fleksibel. Pulang jam 5 tepat lalu bisa melanjutkan pekerjaannya di rumah. Asahi bersyukur tidak perlu setiap hari merepotkan Bibi Kim.

Jaehyuk akan menjaga Jeongwoo dari pagi sampai siang hari lalu akan pergi ke cafe pada sore hari tepat setelah Asahi pulang dari kantornya.

“Kau akan bersiap-siap pergi ke cafe? Jadwalmu belakangan cukup padat. Jaga kesehatanmu.”

Asahi melepaskan sepatunya kemudian meletakkan tasnya di sofa.

“Kau mau ikut ke cafe denganku hari ini? Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu.”

“Tapi Jeongwoo? Oh ya! Kemana Jeongwoo?!”

Jaehyuk terkekeh melihat sekilas raut panik dan khawatir tergambar jelas di wajah pemuda manis yang secara perlahan tapi pasti mengisi ruang hatinya.

“Aku menitipkannya pada Bibi Kim untuk malam ini. Aku ingin kau ikut denganku ke cafe. Sekalipun aku belum pernah mengajakmu ke sana.”

“Baiklah. Aku siap-siap dulu. Kau ini penuh kejutan. Tanpa bertanya dulu, sudah mengajakku dengan tiba-tiba seperti ini.”

Jaehyuk menatap punggung Asahi yang menghilang di balik pintu kamarnya. Setelah Asahi tinggal bersamanya, Asahi menempati kamar kosong yang berada tepat di sebelah kamarnya dan Jeongwoo.

Senyum merekah menghiasi bibir penuhnya. Asahi memenuhi pikirannya setiap hari, membuatnya semakin terbuai dengan asa untuk memiliki sosok itu seutuhnya.

●●●

at Boogie-Woogie cafe, Seoul..

Asahi termangu menatap Jaehyuk yang berada di atas panggung. Suara petikan gitar mengalun diiringi suara berat Jaehyuk yang melengkapi suasana malam itu. Atensinya berpaku pada satu titik. Pemuda tampan berjaket hitam yang larut dalam dunianya. Dunia musik yang menjadi kecintaannya.

Asahi menikmati setiap nada tercipta. Sesekali senyum tipis mengembang di bibir penuhnya. Tiba-tiba dadanya berdenyut sakit—terasa sesak, kepalanya terasa pening seperti ditusuk ketika mendengar alunan lagu Jepang milik Fumiya Fuji yang kini sedang dinyanyikan Jaehyuk.

Lagu lama. Pertama kali dirilis tahun 1993. 28 tahun lalu.

Asahi memejamkan matanya erat berusah mengusir rasa pening yang menderanya. Tangannya mengepal kuat meremas kemejanya pada bagian dada. Sekelebat—entah bagaimana mendeskripsikannya—visualisasi muncul tiba-tiba di pikirannya. Seperti potongan ingatan tapi Asahi merasa tidak pernah mengenal memori ini sebelumnya.

“Lagu kesukaanmu,” ucap seorang pemuda tampan pada sosok pemuda lainnya yang berparas manis.

“Eum! Aku menyukainya. Lagu yang romantis.”

Si tampan mengusak surai halus pemuda manis kemudian mengenggam tangannya.

Aneh.

Lagu yang sama seperti yang Jaehyuk nyanyikan sekarang. Asahi jelas mendengarnya. Alunan lagu dari sang penyanyi asli yang berasal dari radio terngiang di telinganya.

Sekelebat wajah samar membayangi pikirannya. Wajah itu samar tapi familiar. Siapa mereka? Kenapa kedua sosok itu muncul di pikirannya? Sebenarnya itu apa? Lalu potongan kisah apa yang baru saja muncul di otaknya? Asing tapi entah kenapa Asahi merasa dirinya berhubungan kuat dengan potongan ingatan tadi.

“Sahi-ya! Kau baik-baik saja?!” tanya seseorang dengan nada panik.

Asahi membuka matanya mendapati Jaehyuk yang menatapnya dengan pandangan khawatir.

“Kau sakit? Wajahmu pucat. Kita pulang ya?!”

Asahi memperhatikan sekelilingnya yang mulai menatapnya penuh tanda tanya. Asahi mencoba mengembalikan kesadarannya.

“Jaehyuk-ah.. bukankah kau seharusnya sedang tampil?”

“Tidak penting. Kita pulang sekarang. Aku khawatir.”

“Tapi aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing.”

“Itu namanya tidak baik-baik saja. Aku akan meminta ijin pada pemilik cafe untuk selesai lebih cepat. Kau lebih penting.”

Asahi hanya menunduk pasrah.

Percuma melawan Jaehyuk jika sudah bersikeras dengan keinginannya.

Asahi membalasnya dengan sebuah anggukan. Tangannya memijit lembut pelipisnya yang masih terasa sedikit pening.

Asahi memegang dadanya. Perasaan aneh merayapi hatinya lagi. Kali ini ditambah perasaan kosong. Seperti ada yang hilang. Seperti ada sesuatu yang pergi dari hidupnya. Tapi Asahi tidak mengerti itu.

Bagaimana kau bisa menemukan sesuatu jika dirimu sendiri tidak tahu apa yang telah hilang?

“Aku sudah mendapat ijin. Kita pulang,” ucap Jaehyuk yang baru saja kembali dari ruangan sang empunya cafe.

Asahi mengangguk pelan kemudian melingkarkan lengannya pada pinggang kuat Jaehyuk.

●●●

Jaehyuk masih memandangi Asahi yang berjalan di sampingnya. Raut khawatir belum juga sirna dari wajahnya. Ia benar-benar takut jika terjadi sesuatu pada pemuda yang selama 6 bulan ini memenuhi perasaannya.

“Aku baik-baik saja, Jaehyuk-ah. Jangan khawatir lagi.”

“Bagaiamana aku tidak khawatir melihatmu kesakitan dan pucat seperti tadi?”

Asahi tersenyum tipis seraya menatap Jaehyuk. Sungguh hati Asahi terasa penuh melihat sorot khawatir dari sepasang manik bening Jaehyuk. Belum pernah dirinya merasakan hal seperti ini. Dipedulikan oleh orang lain yang bukan keluarganya.

Katakan Asahi payah dalam urusan cinta, namun nyatanya pemuda kelahiran Jepang itu tidak pernah sama sekali memusingkan soal urusan hati. Kertas gambar, kanvas, cat air, atau benda apapun untuk menyalurkan bakatnya, adalah hal terpenting untuknya.

Lalu semua berubah. Pertemuan tak terduga yang membuatnya terjatuh dalam.

“Kenapa kau begitu peduli padaku?” tanya Asahi tiba-tiba sambil memandang dalam manik Jaehyuk.

Degup jantungnya menjadi cepat. Tidak ingin berharap tapi tidak bisa membohongi diri jika dalam hati dirinya mengharapkan  Jaehyuk menjawabnya sesuai ekspektasinya.

Tentang rasa cinta. Bukan hanya teman biasa.

Hening.

Jaehyuk tampak berpikir dengan pandangan lurus ke depan. Sejurus kemudian menghela napas panjang kemudian menghentikan langkahnya tiba-tiba—membuat Asahi yang berada di sampingnya ikut berhenti mendadak.

Jaehyuk menatap Asahi dalam lalu menangkup wajah manis selembut kapas yang kini terfokus ke arahnya. Jaehyuk mempersempit jarak di antara keduanya masih dengan matanya yang tidak terlepas sedikitpun dari manik kecoklatan milik Asahi. Jantungnya berdegup kencang.

Asahi menatap Jaehyuk dengan mata yang membulat. Hembusan nafas Jaehyuk terasa jelas tatkala wajahnya begitu dekat.

Cup!

Satu kecupan mendarat pada bibirnya. Lembut namun dalam berusaha mencari celah untuk saling beradu lidah. Jaehyuk melumat bibir yang terasa manis yang menjadi mimpinya setiap malam. Lama hingga keduanya hampir kehabisan oksigen yang menipis.

Jaehyuk melepaskan tautan bibirnya kembali menatap Asahi yang baru saja membuka matanya yang terpejam menikmati ciuman lembutnya tadi.

“Tidak perlu lagi tanyakan kenapa aku peduli padamu. Ciuman tadi menjawab semuanya. Aku mencintaimu, Hamada Asahi.”

Kristal bening lolos dari pelupuk mata Asahi. Hatinya bergemuruh sejalan dengan jantungnya yang berdetak puluhan kali lebih cepat.

“Hei kenapa menangis hm? Apakah kau tidak suka aku mengatakannya?”

Asahi menggeleng cepat, buru-buru mengusap air matanya.

“Aku tidak tahu kenapa tapi rasanya aku begitu bahagia hingga mengeluarkan air mata. Dan entah kenapa aku merasa kau pernah mengatakan kata-kata itu berulang kali meskipun aku sadar ini pertama kalinya kau mengungkapkan perasaanmu padaku.”

Ah Asahi merasakannya juga?

Jaehyuk mengira hanya dirinya yang merasakannya. Rasanya Jaehyuk pernah berada di situasi seperti ini, mengucapkan kata cinta berkali-kali, tapi seharusnya ini yang pertama baginya mengatakan perasaannya pada Asahi.

Lantas kenapa terasa tidak asing dan sudah sering diucapkan berulang kali?

“Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku juga tidak tahu kenapa.”

Kening Asahi berkerut. Sebenarnya mereka ini apa? Apa yang sudah semesta lakukan pada mereka berdua hingga merasa pernah mengalami hal serupa tapi tidak jelas seperti apa?

Asahi menggelengkan kepalanya mengusir pikiran yang mau dicari seperti apapun tidak akan ditemukan jawabannya. Setidaknya untuk sekarang.

“Hal itu tidak penting sekarang. Yang terpenting adalah ini,” katanya seraya mengecup singkat bibir penuh Jaehyuk.

“Aku juga mencintaimu, Yoon Jaehyuk.”

Waktu terasa seketika berhenti. Keduanya mengedarkan pandangannya melihat orang-orang di sekitarnya berlalu lalang dengan gerak lambat. Bagaikan sebuah gerak slowmotion. Sekelilingnya melambat diiringi hembusan angin yang bertiup kencang.

Sekelebat demi sekelebat potongan cerita menari-nari di sekitar mereka. Satu per satu bermunculan terpampang nyata di hadapan mereka.

Keduanya saling bertukar tatap—bingung.

Satu potongan memori terputar.

“Arthur-kun, kau indah seperti musim semi, ketika bunga-bunga sakura mekar sempurna. Mulai detik ini sampai seterusnya kita akan bersama selamanya menikmati musim semi, menikmati bunga-bunga merah muda itu bermekaran. Aku akan membahagiakanmu. Jadi, menikahlah denganku.”

“Kau yakin mau menikah denganku? Aku tidak akan bisa memberimu keturunan. Aku laki-laki, Yoonjae-kun. Bagimana dengan keluargamu?”

Yoonjae menatap Arthur lembut kemudian mengecup belah bibir manisnya. Angin musim semi bertiup lembut. Suara gesekan antar bunga sakura yang tumbuh mekar di pohonnya mengalun lembut.

“Aku tidak peduli. Menikah bukan soal hanya untuk mendapat keturunan semata. Aku ingin hidup bahagia denganmu. Kita bisa mengadopsi lalu membesarkannya layaknya anak kita sendiri. Jadi, will you marry me, Arthur-kun?” tanya Yoonjae sekali lagi— kali ini berlutut dengan sekotak cincin yang terbuka—menyodorkannya di hadapan Arthur.

Arthur mengangguk. Pemuda manis dengan surai abu-abu itu tersenyum lebar menampakkan kedua lesung pipitnya.

Yoonjae meloncat girang kemudian menyematkan cincin pada jari manis Arthur. Sejurus kemudian mengecup lama kening pemuda manis yang ia cintai, pemuda manis yang akan menjadi pasangan hidupnya sampai ujung usianya.

Lalu satu lagi..

“Ken-chan, kau bahagia bisa tinggal dengan Papa dan Daddy?”

Anak kecil dengan kulit putih pucat dengan rambut berwarna kecoklatan mengangguk kecil.

“Aku senang akhirnya punya keluarga. Ada Papa dan Daddy. Ken senang!” sahutnya girang sambil melompat.

“Eum! Mulai sekarang Papa akan menjagamu, melindungimu, membuatmu bahagia, merasakan kasih sayang keluarga yang belum pernah kau rasakan,” kata Yoonjae, pemuda blasteran Korea-Jepang, seraya mengacak lembut surai kecoklatan puteranya.

Ken bukan anak kandungnya. Yoonjae dan Arthur bertemu dengannya ketika keduanya mengunjungi panti asuhan tempat mereka berencana untuk melakukan adopsi.

Ken anak yang baik dan pendiam. Tidak banyak bermain dengan teman-teman sebayanya. Rupanya Ken berasal dari Korea. Seorang wanita muda beberapa tahun silam menaruhnya di depan pintu panti asuhan dengan secarik kertas bertuliskan 'kumohon jaga dia' dalam huruf hangul.

Barulah pemilik panti asuhan mengerti bahwa bayi laki-laki yang menangis keras di tengah gemuruh petir malam itu berasal dari Korea.

Tanpa nama. Tanpa identitas.

Pemilik panti memberinya nama Ken yang dalam bahasa Jepang artinya sehat, kuat dan rendah hati.

Tidak peduli bayi laki-laki ini tidak pernah tahu asal usulnya, yang terpenting ia ingin Ken bahagia.

“Aku merasa ini seperti takdir. Ken berasal dari Korea sehingga mudah baginya untuk berkomunikasi denganku,” kata Yoonjae lembut. Tangan kanannya mengelus surai Ken yang kini tertidur di pangkuannya sementara tangan kirinya menggenggam erat tangan Arthur yang lebih mungil darinya. Yoonjae mendekatkan wajah kemudian memagut belah bibir merah milik Arthur, menciumnya lama.

Potongan kisah menyakitkan itu muncul.

Arthur tampak mendudukkan Ken di pangkuannya. Sementara Yoonjae sedang fokus menyetir di sebelahnya. Lagu milik Fumiya Fuji dengan judul True Love—lagu kesukaan Arthur— mengalun di radio. Sesekali Arthur bersenandung pelan menyanyikan lirik yang sudah ia hafal di luar kepala sambil melirik ponselnya.

22 Februari 1994. Beberapa minggu lagi adalah first anniversary pernikahan keduanya.

Yoonjae tersenyum mendengar suara lembut milik pemuda yang resmi menjadi 'suami'nya. Arthur masih bersenandung dengan Ken yang tertawa senang sambil memeluk Papanya. Yoonjae terkekeh pelan mencubit gemas pipi Ken.

BRUK!

Cepat tanpa bisa dihindari. Mobil itu terbalik ketika dari arah berlawanan sebuah truk besar menghadangnya. Hanya jeritan terdengar serta suara parau memanggil-manggil Ken terdengar lirih.

Darah mengucur deras dari sekujur badan Arthur dan Ken. Sementara keadaan Yoonjae tidak kalah parahnya. Darah mengalir dari kepalanya yang terbentur oleh setir mobil.

Arthur membuka matanya pelan. Tangannya berusaha meraih Yoonjae sebelum akhirnya jantungnya berhenti berdetak. Tangannya masih memeluk Ken yang juga terluka parah dan berhenti bernapas.

Malang.

Ironis.

Rupanya kebahagiaan pun tidak ada yang sempurna. Tetap kalah oleh maut.

Asahi mengatupkan bibirnya. Tangannya membekap bibirnya menahan isakan yang lolos dari bibirnya. Dengan cepat tubuhnya merosot ke aspal masih dengan isakan yang memilukan. Beberapa orang yang berlalu lalang menatapnya dengan tatapan iba.

Jaehyuk terdiam di tempatnya. Pikirannya kalut. Hatinya berkecamuk. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dirinya dan Asahi pernah terhubung di masa lalu, di ruang waktu yang berbeda? Sungguh semesta dengan segala misterinya. Tak satupun yang bisa diukur dengan akalnya.

Sekelilingnya kembali berjalan normal. Sesuai dengan ritme bumi yang terus berputar pada porosnya, tapi mengapa rasanya dirinya seperti terjebak di masa lalu? Jaehyuk termenung melihat Asahi yang masih terduduk di aspal dengan air mata masih terus mengalir melewati pipi putihnya yang kini memerah.

Jaehyuk berjongkok menyamakan tingginya dengan Asahi kemudian menarik pemuda manis itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggung sempit yang bergetar bersamaan dengan isakan tangisnya yang menyakitkan.

“Sshhh.. sshhh jangan menangis lagi. Cukup. Hatiku sakit melihatmu seperti ini.”

Gila.

Jujur Jaehyuk tidak pernah percaya akan fenomena di luar akal, namun apa yang baru dialaminya meruntuhkan semua rasa tidak percayanya. Nyatanya hal di luar akalpun bisa menjadi masuk akal ketika kau sendiri yang mengalaminya.

Rasa familiar itu. Perasaan aneh ketika melihat Asahi untuk pertama kalinya. Rasa pernah berada di situasi yang sama. Keping puzzle yang dulu tak beraturan kini menyatu. Bahwa dirinya pernah terhubung dengan Asahi di masa lalu. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya sekedar teman biasa atau kolega.

Lebih dari itu. Mereka adalah keluarga. Menikah dan bahagia. Puluhan tahun terlewati namun ternyata benang takdir masih menghantui.

Jaehyuk sekarang mengerti kenapa dirinya begitu menyukai lagu milik Fumiya Fuji ketika tidak sengaja lagu itu terputar di ponselnya beberapa tahun lalu. Ia merasakan adanya koneksi dengan lagu itu. Kala itu ia tidak mengerti namun sekarang semua menjadi jelas.

Itu lagu favorit Arthur—sosok masa lalu dari diri Asahi.

Terdengar di luar nalar tapi Jaehyuk kira-kira tahu apa kata yang cocok untuk menggambarkan situasi yang mereka alami sekarang.

Reinkarnasi? Pernah dengar itu? Lagi,  Jaehyuk merasa hal itu di luar nalar tapi kenyataan menamparnya keras.

Jaehyuk masih mengelus punggung pemuda manis yang terlihat sangat lelah. Menangis pasti menguras emosinya.

“Bagaimana bisa Jaehyuk-ah? Kau dan aku... dulu... aku tak mengerti. Tidak mengerti sama sekali,” ucapnya dengan suara parau seraya menatap manik Jaehyuk dengan tatapan sendunya.

Jaehyuk menyeka jejak air mata yang tersisa di pipi mulus itu lalu mengecup kening Asahi.

“Memang tidak bisa dipahami. Bahkan sulit untuk aku percaya. Tapi mungkin, ini adalah jalan yang harus kita lalui? Rasa tak asing yang selalu kita rasakan, rasa seperti mengenal, rasa pernah mengalami hal serupa. Kita merasakan hal yang sama. Kita dipertemukan di kehidupan berikutnya. Kali ini, untuk mendapatkan akhir yang benar-benar bahagia. Hanya itu yang ingin aku yakini sekarang. Mau dipikirkan seperti apapun, tidak akan pernah bisa dimaknai, jadi biarkan semesta bekerja dengan caranya sendiri.”

“Ta-tapi, Ken-chan... Apakah dia juga terlahir kembali? Sama seperti kita? Mungkinkah ada harapan untuk bertemu dia lagi?” lirihnya sambil meremas kemeja Jaehyuk.

Jaehyuk menghela napas kasar. Sungguh Jaehyuk tidak punya jawaban akan hal itu. Jika diberi kesempatan, ia juga ingin bertemu lagi dengan Ken. Anaknya di masa lalu.

“Jika ditakdirkan, maka kita akan bertemu dengannya di kehidupan sekarang. Kita pulang eum? Malam semakin larut. Kau bisa semakin sakit dan Jeongwoo pasti merindukan kita di rumah.”

Asahi merutuki dirinya melupakan Jeongwoo yang mungkin sekarang sedang menunggunya di rumah. Mengingat Jeongwoo, dirinya jadi terbayang wajah Ken. Ken kelahiran Korea mungkinkah ia lahir kembali di Kota Seoul ini? Bolehkah Asahi berharap?

Jaehyuk merengkuh pinggang ramping Asahi, mendekatkannya ke dalam dekapannya. Mengelus sayang surai halus hitam yang terlihat sedikit berantakan.

“Kau tahu, Sahi-ya? Baik di kehidupan lalu ataupun sekarang, nyatanya hatiku selalu terpaut untukmu,” katanya lembut.

Mau tak mau Asahi tersenyum.

Sama. Hatinya lagi-lagi terpaut pada Jaehyuk

Di kehidupan lalu dirinya adalah Arthur dan Jaehyuk dalah Yoonjae. Pernah bahagia namun berakhir nelangsa.

Kali ini.

Pada masa ini, di hidup yang ia jalani kini, semoga bahagia ini tidak pernah terenggut lagi secara paksa.

●●●

Jeongwoo mengetuk-ngetukkan sepatunya pada aspal. Sesekali berjinjit mengharapkan kedatangan seseorang.

“Huft lama sekali. Bosan.”

Jeongwoo menengadahkan kepalanya melihat langit yang berwarna kelabu. Sebentar lagi akan turun hujan.

Dari kejauhan Asahi berlari kecil dengan payung merah di tangannya.

“Maafkan Hyung terlambat. Tadi ada sedikit urusan. Maaf, eum? Kita beli es krim nanti. Bagaimana?”

Rengutan pada wajah Jeongwoo berubah jadi senyum lebar. Kaki kecilnya melompat senang.

“Kajja!” ajak Asahi sambil menggenggam tangan mungil Jeongwoo.

Rintik hujan perlahan turun. Asahi membuka payungnya kemudian menarik tubuh mungil Jeongwoo agar lebih mendekat padanya.

Sepuluh menit keduanya berjalan dalam hening ketika mereka sampai pada sebuah minimarket yang terletak tepat bersebelahan dengan sebuah gang kecil.

“Sahi Hyung,” panggil Jeongwoo.

“Hm? Ada apa?”

“Beli es krimnya dua ya.”

“Tidak boleh. Satu saja nanti kau batuk lalu Appa-mu marah bagaimana?”

Manik polos Jeongwoo menatap Asahi.

“Bukan buat aku, tapi buat anak laki-laki itu. Pasti dia suka es krim,” jawab Jeongwoo sambil menunjuk ke arah gang kecil.

Asahi mengikuti arah tangan Jeongwoo. Seorang anak laki-laki kecil yang mungkin seumuran dengan Jeongwoo terduduk di tepi jalan dengan tubuh bergetar. Bajunya yang terlihat kotor sudah basah kuyup terkena hujan yang semakin deras.

Manik Asahi seketika membulat.

“Ken-chan?!'' ucapnya dengan nada sedikit tinggi.

Tanpa aba-aba secara refleks berlari dengan payungnya, meninggalkan Jeongwoo yang kini terkena air hujan yang semakin deras. Jeongwoo menatap nanar Hyung yang selama ini menjadi hyung favoritnya.

Kenapa Asahi Hyung melupakannya?

“Ken-chan?! Astaga kau Ken-chan!” seru Asahi dengan air mata yang kini membasahi pipinya.

Anak kecil itu menatapnya bingung dengan bibir yang bergetar karena kedinginan.

“Aku Hwannie bukan Ken-chan. Hwannie takut. Hwannie sendiri.”

Tidak peduli siapa nama anak itu yang Asahi yakin di kehidupan lalu adalah puteranya yang masih kecil saat itu. Saat kecelakaan naas itu merenggut nyawanya.

Asahi tersadar akan sesuatu. Ia meninggalkan Jeongwoo tadi. Asahi menoleh ke belakang berusaha mencari sosok bocah kecil itu tapi nihil. Jeongwoo tidak lagi berdiri di tempat ia meninggalkannya. Asahi panik setengah mati kemudian menarik Hwannie bersamanya.

Layaknya orang gila Asahi masuk ke dalam minimarket dengan langkah tergesa. Namun Jeongwoo tidak berada di sana.

Asahi berlari kencang masih dengan Hwannie yang berada di genggamannya. Tubuh mungilnya ikut terguncang ketika Asahi berlari dengan kecepatan penuh. Asahi mengedarkan pandangannya sambil memanggil nama Jeongwoo. Air matanya mengalir deras. Isakan demi isakan lolos dari bibirnya yang memutih karena hawa dingin.

“Hwannie, Jeongwoo hilang. Aku harus bagaimana?”

Hwannie menatap sendu Hyung manis dan baik hati yang baru ditemuinya.

“Tidak akan hilang. Pasti bisa ditemukan.”

Hati Asahi menghangat mendengar perkataan Hwannie.

Ponselnya berdering. Nama Jaehyuk tertera di sana. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu Jaehyuk akan membencinya setelah ini.

“Jaehyuk-ah..”

Ada helaan napas berat terdengar dari ujung sana.

“Sahi-yah, pulanglah sekarang.”

Sambungan terputus.

Asahi menatap layar ponselnya. Ia bisa membaca situasi. Jeongwoo pasti pulang ke apartemennya sendiri.

Asahi merutuki dirinya. Semua karena kebodohannya. Semua karena ia begitu semangat melihat Hwannie yang ia yakini diri Ken di masa lalu. Wajahnya begitu mirip.

“Kita pulang ya, Hwannie.”

Hwannie hanya mengangguk pelan.

●●●

Asahi membuka pintu apartemen dengan langkah gontai. Hwannie mengekor di belakangnya tertutup oleh tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari bocah kecil itu.

Jaehyuk sedang duduk di sofa ruang tamu dengan Jeongwoo berada di pangkuannya. Plester penurun panas berada di dahinya. Sungguh hati Asahi terasa sakit melihat Jeongwoo demam seperti itu. Dan semua karena dirinya yang egois.  Egois sudah melupakan Jeongwoo.

“Maafkan aku, Jaehyuk-ah..A-aku.. tapi Hwannie.. Ken-chan...”

Jaehyuk melirik ke arah anak kecil— yang Asahi sebut dengan Hwannie— yang tertunduk menggenggam erat tangan Asahi.

Sedikit terperanjat mengerti maksud dari perkataan Asahi tadi. Hwannie memang sangat mirip dengan Ken dulu. Jadi, Hwannie adalah anaknya di masa lalu?

Hati Jaehyuk mencelos melihat baju kotor dan lusuh milik anak itu. Jaehyuk yakin anak ini tidak punya keluarga dan dibiarkan berkeliaran di jalan.

“Mandilah dulu, Sahi-ya. Bersihkan tubuh Hwannie juga, lalu kita bicara.”

Asahi mengangguk pasrah. Kepalanya terasa pening. Rasa bersalah menggerogoti hatinya.

Jaehyuk memandang wajah tenang Jeongwoo yang tertidur di pangķuannya. Jujur Jaehyuk sedikit kecewa pada Asahi. Meninggalkan Jeongwoo dan membuatnya menjadi sakit seperti ini. Tapi, menyalahkan bukanlah hal yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Jaehyuk mengerti betul bagaimana perasaan Asahi saat melihat Hwannie.

Lima belas menit berlalu ketika pintu kamar mandi terbuka, menampakkan Asahi dan Hwannie dengan rambut setengah basah.

Asahi menghampiri Jaehyuk dengan langkah ragu. Tangannya memainkan ujung bajunya. Fokusnya beralih pada Jeongwoo yang masih terlelap.

Hatinya terasa sakit.

Tubuh mungil dan bibir pucat itu. Semua karenanya.

Asahi mengulurkan tangannya mengelus surai Jeongwoo dengan sayang. Mencium keningnya yang terasa hangat.

“Maafkan Hyung, karena Hyung kau jadi seperti ini,” lirihnya sendu.

Atensinya kini beralih pada Jaehyuk yang sedari tadi menatapnya lekat.

“Aku tahu kau kecewa, Jaehyuk-ah. Maafkan aku,” ucap Asahi dengan manik berkaca-kaca.

Jaehyuk menghembuskan napasnya kasar. Memejamkan matanya sebentar berusaha mengusir lelah yang menderanya.

“Jujur aku kecewa tapi tak ada gunanya menyalahkan. Aku tahu perasaanmu ketika melihatnya,” balas Jaehyuk dengan maniknya menatap Hwannie yang duduk terdiam di sebelah Asahi.

“Hal itu tidak bisa dijadikan alasan untukku meninggalkannya begitu saja. Aku merasa begitu bodoh dan egois sekarang. Aku hanya.. melihat Hwannie aku..,” ucapnya terbata di sela-sela isakannya.

“Kemarilah, Sahi-ya. Hwannie juga kemari,” kata Jaehyuk lembut dengan senyum manisnya sambil menepuk ruang kosong di sebelahnya.

Asahi mendudukkan dirinya di sebelah Jaehyuk dengan Hwannie di pangkuannya. Tangan kiri Jaehyuk melingkar pada pundak Asahi dan membawanya mendekat, membuat kepala Asahi bersandar pada bahunya. Kemudian tangannya terulur mengelus sayang surai kecoklatan milik Hwannie.

Manik Asahi membulat. Bagaimana bisa Jaehyuk tidak marah sama sekali? Seharusnya Jaehyuk bisa saja berteriak membentaknya, meluapkan semua kecewanya.

“Kadang kita bisa melakukan hal tak terduga untuk seseorang yang kita sayangi. Bahkan melakukan hal gila di luar batas akal. Aku kecewa tapi kurasa sebagai manusia biasa, itu adalah hal wajar.”

Asahi melingkarkan sepasang lengannnya pada pinggang Jaehyuk. Maniknya menatap Jeongwoo mengelus lengan kecil itu lembut. Asahi sangat menyayangi Jeongwoo. Tidak mau kehilangan bocah mungil yang menggemaskan itu.

“Gomawo, Jaehyuk-ah. Aku harap Jeongwoo tidak membenciku.”

“Aku tidak pernah mengajarkan anakku untuk membenci.”

Asahi tersenyum kecil. Jaehyuk benar-benar seperti malaikat tanpa sayap. Lagi-lagi Asahi menyadari betapa beruntungnya Jeongwoo memiliki keluarga seperti Jaehyuk.

“Oh ya, siapa nama lengkapmu, Hwannie?” tanya Jaehyuk.

“Junghwan. Itu nama lengkapku,” jawabnya sambil menunjukkan barisan gigi susunya.

“Mulai sekarang Hwannie tinggal di sini ya. Hwannie tidak akan sendiri lagi. Sekarang, Hwannie punya keluarga.”

“Kau yakin, Jaehyuk-ah? Apakah tidak apa-apa?” tandas Asahi.

“Memang kenapa? Aku ingin Hwannie merasakan keluarga. Kau mau, kan, Hwannie?”

Junghwan mengangguk cepat.

“Hwannie sayang...—–,”

Kata-katanya terhenti.

“Panggil aku Jaehyuk. Jaehyuk Appa.”

Asahi membelalakkan matanya. Memanggil Appa katanya? Dengan mudahnya Jaehyuk menerima. Asahi tersadar tidak pernah sekalipun ia menyuruh Jeongwoo menganggapnya sebagai sosok Ayah.

“Apakah kau tidak masalah ia memanggilmu Appa?”

“Sahi-ya, Hwannie adalah putera kita di masa lalu. Kau tahu itu. Lalu kenapa harus menjadi masalah untukku?” jawabnya dengan senyum merekah.

“Hwannie, panggil aku dengan sebutan Papa. Kau mau? Kau punya dua Ayah sekarang. Jaehyuk Appa dan Papa Asahi.”

Junghwan memandangi kedua 'orang tuanya' dengan pandangan polos. Maniknya berkaca-kaca. Baru hari ini selama hidupnya dirinya merasa bahagia seutuhnya.

Junghwan memeluk Asahi—meletakkan kepalanya pada dadanya. Asahi mengulum senyum mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil yang bersandar padanya.

“Appa..,” lirih Jeongwoo.

“Kau sudah bangun? Jeongwoo sudah lebih baik?”

Jeongwoo mengangguk ketika pandangannya beradu tatap dengan Asahi sebelum akhirnya menyembunyikan wajahnya pada dada tegap Jaehyuk.

“Jeongwoo-yah, maafkan aku, hm? Aku bersalah.”

“Apa Asahi Hyung tidak menyayangiku? Apa Sahi Hyung lebih menyanyangi dia?” tanyanya dengan suara parau sambil menatap Hwannie yang berada di pangkuan nyaman Asahi.

“Hwannie turun sebentar ya. Papa mau berbicara dengan Jeongwoo dulu.”

Hwannie menurut.

“Jeongwoo-yah, Papa menyayangimu.”

Mata Jeongwoo membulat. Jaehyuk juga dalam keadaan yang sama. Apa dia tidak salah dengar? Asahi mengatakan dirinya Papa pada Jeongwoo?

“Papa?” tanya Jeongwoo bingung.

“Hm! Mulai sekarang aku bukan hanya sekedar Hyung yang kau anggap sebagai teman Appamu. Mulai detik ini, kita keluarg. Panggil aku dengan sebutan Papa. Kau punya dua orang tua sekarang. Keluarga utuh.”

Jeongwoo menangis haru kemudian berdiri dan menghambur masuk ke dalam pelukan Asahi.

“Jeongwoo sayang Papa. Maaf Jeongwoo sudah pergi tanpa mengatakan apa-apa. Papa pasti khawatir.”

Asahi menggelengkan kepalanya seraya menghapus air mata Jeongwoo.

“Jeongwoo berhak marah. Papa yang bersalah meninggalkanmu.”

“Jeongwoo-yah.. kau tidak apa-apa kan jika Hwannie tinggal bersama kita? Ia lebih muda 1 tahun darimu. Dia akan menjadi dongsaengmu.”

Jeongwoo menatap Junghwan lama. Dalam hati takut kasih sayang Appanya akan direbut oleh bocah mungil yang lebih muda darinya.

Jaehyuk tahu apa yang Jeongwoo pikirkan. Raut wajah tak relanya menjawab semuanya.

“Junghwannie sama sepertimu dulu. Tidak punya keluarga. Jika dulu kau punya Ibu yang merawatmu, Hwannie ditelantarkan di jalan. Bertahan hidup sendiri selama ini. Tidak ada teman. Benar-benar sendiri. Sama sepertimu, Hwannie juga ingin punya keluarga.”

Jeongwoo memandang serius wajah Jaehyuk yang sedang memberinya pengertian.

Keluarga?

Junghwan berhak atas itu.

Jeongwoo tidak mau sendiri, Junghwan pasti juga seperti itu.

Jeongwoo berjalan ragu menghampiri Junghwan yang masih terduduk di sebelah Asahi. Sedetik kemudian memeluknya.

“Mulai sekarang, panggil aku Jeongwoo Hyung. Yeyyy Jeongwoo menjadi kakak sekarang. Jeongwoo punya saudara!”

Hwannie tersenyum lebar membalas pelukan Jeongwoo.

“Jeongwoo Hyung, Hwannie sayang Jeongwoo Hyung.”

Kristal bening mengalir dari pelupuk mata Asahi. Hatinya terenyuh melihat pemandangan di depannya.

“Kau bahagia, Sahi-ya?”

Asahi mengangguk pelan.

“Sangat. Tidak pernah sebahagia ini.”

“Terima kasih sudah mengijinkan Jeongwoo memanggilmu Papa,” ucap Jaehyuk lalu mencium pipi Asahi. Membuat rona merah muda muncul di kedua pipi pemuda manis itu.

“Jaehyuk-ah, kenapa menciumku? Nanti mereka melihat.”

Jaehyuk tertawa kecil.

“Aku hanya mencium pipimu bukan yang lain. Kenapa kau begitu khawatir?” tanya Jaehyuk dengan nada menggoda—mengundang cubitan pada perut ratanya.

“Appa! Hari ini Junghwannie tidur bersamaku. Appa tidur dengan Papa saja oke?”

Manik Asahi membulat sempurna. Tidur dengan Jaehyuk? Apa-apaan ini?

“Ta-tapi..”

“Ide bagus, Jeongwoo-yah.”

Ucapannya terputus oleh kata-kata Jaehyuk. Asahi menatap Jaehyuk tidak percaya sementara pemuda tampan itu hanya tertawa jenaka.

Pipi Asahi benar-benar terasa panas sekarang. Sekamar dengan Jaehyuk. Ya Tuhan ia sangat malu sekarang.

“Baiklah sudah jam 9. Kalian harus tidur.”

Jeongwoo dan Junghwan melompat semangat kemudian segera berlari ke kamarnya meninggalkan sepasang insan itu berdua di ruang tamu.

Jaehyuk bingung kenapa kedua anaknya menjadi semangat seperti itu ketika disuruh tidur. Biasanya Jaehyuk harus membujuk Jeongwoo terlebih dahulu.

“Kenapa mereka semangat sekali?”

Jaehyuk mengangkat bahunya.

“Entahlah, tapi aku bersyukur Jeongwoo bisa menerima Hwannie.”

“Hidup kadang bisa segila itu, ya. Penuh kejutan. Siapa yang menyangka takdir membawa kita terlahir kembali di kehidupan berikutnya dan dipertemukan? Bukan hanya denganmu tapi juga dengan Jeongwoo dan Hwannie.”

“Hidup memang penuh kejutan. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan dirimu, Jeongwoo dan Hwannie di hidupku. Kita memiliki masa lalu bersama yang terhubung sampai ke kehidupan berikutnya. Aneh dan tidak masuk akal tapi paling tidak, aku bahagia.”

Asahi mendekatkan wajahnya menangkup wajah Jaehyuk. Merasakan setiap hembusan nafasnya yang terasa dekat kemudian mencium belah bibir penuh itu dalam.

Lama.

Lembut.

Menyalurkan semua perasaannya.

Jaehyuk menekan tengkuk Asahi berusaha memperdalam bibir manis Asahi.

Jantung keduanya berdegup kencang, berdetak seirama.

Malam itu, hidup menunjukkan lagi keajaibannya.

Keluarga. Malam itu sebuah ikatan kuat terbentuk. Tidak sedarah namun terasa erat.

Biarkan seperti ini. Perlahan meraih kebahagian satu per satu. Tidak perlu terburu-buru. Entah takdir akan membawa kemana mereka selanjutnya.

●●●

3 years later...

Bunga cherry blossom bermekaran. Musim semi baru saja datang di Korea. Angin musim semi berhembus lembut. Wangi bunga cherry blossom menyapa indera penciuman—menenangkan.

Sepasang kekasih dengan tangan saling bertautan berjalan beriringan. Keduanya memandangi cherry blossom yang merekah sempurna. Membuat sekeliling taman dinaungi bunga-bunga yang tumbuh lebat.

Jaehyuk menatap pemuda manis di sampingnya yang masih menikmati pemandangan musim semi yang indah.

“Sahi-ya..”

“Hm?”

“Sahi-ya..kau indah seperti musim semi, ketika bunga-bunga cherry blossom mekar sempurna. Mulai detik ini sampai seterusnya kita akan bersama selamanya menikmati musim semi, menikmati bunga-bunga merah muda itu bermekaran. Aku akan membahagiakanmu. Jadi, menikahlah denganku.”

Asahi terperanjat.

Kata-kata itu.. persis seperti yang diucapkan Yoonjae.

“Menikah?”

“Aku selalu menunggu momen ini. Ketika aku punya pekerjaan yang lebih baik, lebih mapan. Aku selalu menunggu saat ini. Dan di musim semi tahun ini, aku ingin mengatakannya. Aku ingin menghabiskan hidupku denganmu. Jadi, will you marry me, Hamada Asahi?”

Hening.

Asahi menatap manik Jaehyuk dalam. Ketulusan dan kesungguhan terpancar di sana. Kejadian masa lalu berulang di hari ini. Di tengah musim semi, ketika bunga-bunga bermekaran.

“Kau yakin, Jaehyuk-ah?”

“Aku tidak pernah seyakin ini,” ucapnya mantap.

Asahi menangkup wajah Jaehyuk kemudian mengecup bibir itu singkat.

“Aku juga ingin menghabiskan hidupku denganmu, Yoon Jaehyuk.”

Seulas senyum lebar merekah. Rasanya Jaehyuk ingin melompat tinggi-tinggi, mengatakan pada dunia dengan lantang bahwa Asahi adalah miliknya.

“Puluhan tahun lalu, Yoonjae melakukan hal yang sama untuk Arthur. Menikahinya, membahagiakannya, lalu kebahagiaan itu lenyap seketika dikalahkan takdir. Aku tidak tahu hari depan, tidak punya kuasa untuk mengatur garis takdir, tapi yang kutahu, aku akan terus membahagiakanmu selama aku bisa. Perjalanan masih panjang, tapi aku harap kita bisa terus bersama. Saling menggenggam, tidak melepaskan. Perlahan tapi pasti menjalani hidup, menikmatinya, sambil berharap akan bertemu dengan akhir bahagia. Aku amat mencintaimu, Yoon Asahi.”

Jaehyuk mengecup bibir manis itu sekali lagi. Menggenggam kedua tangan Asahi erat.

“Kau adalah kebahagiaanku, Jaehyuk-ah. Bahkan di tengah kekurangan atau kesulitan sekalipun, kau tetap akan membuatku bahagia. Aku juga mencintaimu, Yoon Jaehyuk. Sangat. Sampai dadaku kadang terasa penuh diisi oleh perasaanku padamu.”

Jaehyuk mengelus surai Asahi kemudian mengecup keningnya. Ia melingkarkan sepasang lengannya memeluk erat pemuda manis yang menjadi sumber kehidupannya.

Jaehyuk menarik lembut tangan Asahi membawanya ke salah satu kursi yang berada di taman. Masih menggenggam erat tangan yang terasa sangat pas dalam genggamannya, Jaehyuk mengeluarkan ponsel dan sebuah earphone dari saku celananya. Ia memasangkan salah satu earphone pada telinga kiri Asahi.

Dahi Asahi berkerut tapi menurut.

Tak lama suara petikan gitar terdengar di sana diiringi suara Jaehyuk yang mengalun lembut.

“Ini lagu kesukaanmu. Pada masa ini maksudku.”

Asahi mengangguk. Ini memang lagu favoritnya. Lagu ketika pertama kali dirinya bertemu Jaehyuk siang itu. Lagu yang membuat hidupnya bertaut sepenuhnya dengan pemuda Korea ini. Lagu yang membawa cinta masa lalunya kembali padanya.

Asahi memejamkan matanya menikmati setiap untaian nada dan kata yang terdengar indah di telinganya.

••...Slow laugh

With a slower pace

Let's walk, hold both hands tightly

So that the end can't be seen

Slow clouds

Always like this

We go in slow motion

Slow-motion...••

Jaehyuk menatap Asahi yang bersandar di pundaknya. Ia terlihat begitu indah sekarang. Matanya yang terpejam di bawah naungan bunga musim semi yang bermekaran. Sesekali surai halusnya tertiup angin.

Hati Jaehyuk berdesir.

Dirinya mengeratkan tautan tangan keduanya. Jaehyuk ikut memejamkan matanya. Menikmati musim semi paling bahagia selama hidupnya.

Asahi.

Jeongwoo.

Dan Junghwan.

Hidupnya benar-benar lengkap sekarang.

Pernah ada sebuah kalimat indah yang sering didengarnya dulu.

Life is miracle unfolding in slow motion.

Dulu, ia tidak begitu mengerti apa makna dari kata-kata itu. Tapi, sepertinya ia mulai mengerti sekarang. Bagaimanapun keadaannya, hidup adalah sebuah keajaiban. Kadang dibuat terjatuh ke lubang gelap lalu kadang merasakan bahagia yang tidak terkira. Langkah demi langkah dijalani. Satu per satu lembaran hari terlewati.

Perlahan tapi pasti. In slowmotion. Biarkan semesta bekerja dengan caranya sendiri.

End.

Title: Your Jae (🐶) Loves You {SongFic!AU}

Pairing: Jaehyuk/Asahi

When I walk with you

I feel that you love me

When I match footsteps with you yeah

The way I feel so happy

Seorang pemuda bersurai kecoklatan membuka kunci apartemennnya. Sejurus kemudian membungkukkan tubuhnya ketika anjing chow-chow kesayangannya yang berbulu cokelat muda menyambutnya.

“Ah kau sudah pulang, Sahi-ya,” kata seseorang dari arah dapur.

Pemuda dengan nama Asahi itu tersenyum kecil mendengar suara berat namun lembut milik kekasihnya. Asahi melangkahkan kakinya menuju dapur, mendapati kekasih tampannya sedang duduk manis dengan beberapa hidangan yang tersaji di meja makan.

“Kau sudah memesan makanan, Jaehyuk-ah? Sudah kubilang tunggu aku sampai di rumah. Kalau kau terluka bagaimana? ucap Asahi seraya mengenggam lengan kekar Jaehyuk, memeriksanya takut pemuda tampan ini terluka.

“Aku memang buta, Sahi-ya. Tidak bisa melihat lagi. Tapi bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku baik-baik saja. Aku sudah mengenal setiap sudut apartemen ini. Jangan khawatir,” katanya sendu.

Asahi menatap manik teduh Jaehyuk yang memandangnya kosong. Masih teringat jelas di benak Asahi bagaimana manik itu selalu berbinar setiap kali menatapnya. Masih teringat jelas bagimana sepasang manik indah itu menatapnya lembut.

Andai malam naas saat kecelakaan maut itu tidak pernah terjadi, mungkin Asahi masih bisa melihat sorot indah manik kekasihnya itu.

Pandangan Asahi berubah sendu. Belum terbiasa melihat pemandangan di depannya. Hatinya berdenyut sakit ketika melihat Jaehyuk yang dulu bersemangat kini cahaya kehidupannya redup.

“Maafkan aku. Aku hanya mengkhawatirkanmu. Aku tahu kau bisa melakukannya sendiri. Aku bangga padamu, Jaehyuk-ah.”

Asahi menangkup wajah Jaehyuk kemudian mengecup keningnya singkat. Jaehyuk tersenyum lembut ketika merasakan bibir tipis kekasihnya menyentuh keningnya.

“Kita makan sekarang eum?”

Asahi menganggukkan kepalanya kemudian menikmati hidangan di hadapannya. Sesekali maniknya melirik Jaehyuk yang tampak sedikit kesulitan untuk menyuap makanan ke mulutnya. Sungguh mata Asahi terasa menghangat sekarang tatkala air mata memaksa menyeruak dari sepasang netranya. Sungguh Asahi ingin membantu Jaehyuk tapi dirinya tahu Jaehyuk akan merasa tidak berguna jika Asahi melakukan semuanya untuknya.

“Aku terlihat menyedihkan eum?” tanya Jaehyuk tiba-tiba seakan bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Asahi.

Jaehyuk memang tidak bisa melihat pemuda manis itu tapi tinggal seatap selama bertahun-tahun tentu membuatnya sangat mengenal pemuda manis kelahiran Jepang yang menjadi kekasihnya selama 4 tahun.

“Kau tidak terlihat menyedihkan. A-aku hanya belum terbiasa bahkan masih sulit untuk menerima kenyataan.”

Hening.

Hanya detik jam dinding yang terdengar mengisi sunyi di antara keduanya.

“Maaf membuatmu sedih,” lirih Jaehyuk singkat.

Asahi menggelengkan kepalanya.

“Kita hadapi bersama. Aku akan terus berjalan di sampingmu, melangkah bersama. Mungkin sekarang terasa sulit bagiku terlebih bagi dirimu, tapi bahagia pasti akan datang lagi. Asalkan kita selalu bersama,” jawab Asahi meyakinkan seraya meremas lembut tangan Jaehyuk. Berusaha menyalurkan kekuatan di sana.

Jaehyuk tersenyum tipis kemudian menepuk pelan punggung tangan Asahi. Menggenggamnya erat seakan pemuda manis ini adalah tumpuan hidupnya.

Anjing chow-chow yang seakan mengerti tentang perasaan kedua tuannya berlari kecil menghampiri tuannya kemudian mengusakkan bulu-bulunya pada kaki Jaehyuk.

Jaehyuk terkekeh pelan kemudian mengelus pelan bulu anjing kesayangannya.

“Chow-chow selalu menemaniku setiap hari. Ketika kau pergi kerja, aku tidak kesepian.”

Asahi tertawa kecil melihat anjingnya yang begitu manja pada Jaehyuk.

“Kalian berdua itu sama.”

“Hm? Apa maksudmu? Aku seperti anjing begitu?”

“Kau itu tampan Jaehyuk-ah tapi terkadang tingkahmu lucu like a cute little puppy. Kau juga selalu manja dan terus menempel padaku jika kau ingin sesuatu. Aku merasa kalian berdua sama.”

“Tapi kau jauh lebih menyukaiku kan dibanding chow-chow?”

“Mengenai itu aku harus memikirkannya lagi,” canda Asahi bermaksud menggoda Jaehyuk yang kini merengut sebal.

“Ohhh begitu ya! Berani menggodaku sekarang hm?!” seru Jaehyuk seraya berdiri dan mengalungkan lengannya pada ceruk leher pemuda manis di hadapannya. Membawanya ke dalam pelukan hangat seraya mengelus lembut surai halus kecoklatan itu. Sesekali menghirup wangi rambut Asahi yang sangat disukainya.

“Aku tahu mungkin ini permintaan sulit. Apalagi dengan keadaanku seperti ini. Mungkin seharusnya aku sadar diri, tapi bolehkah aku meminta untukmu agar tidak pernah pergi?” ucap Jaehyuk sendu.

Bagaimanapun ia sadar akan keadaannya sekarang. Ia akan banyak menyusahkan. Bagaimanapun dirinya tahu Asahi bisa saja meninggalkannya bersama lelaki yang lebih baik darinya. Tapi, bolehkah Jaehyuk meminta? Bolehkah menjadi egois sekali ini saja?

Asahi melepaskan dekapan Jaehyuk—memberi jarak di antara keduanya. Tangan kanannya terkepal kemudian memukul pelan kepala Jaehyuk.

“Bodoh. Pertanyaan macam apa itu? Tanpa perlu kau minta pun aku tidak pernah sekalipun berniat pergi dari sisimu. Sudah kubilang kita akan menghadapi semuanya bersama. Jadi, jangan bertanya seperti itu lagi. Kapanpun dan bagaimanapun keadaannya, aku tidak akan pernah pergi, Jaehyuk-ah,” jelasnya kemudian mengalungkan lengannya pada pinggang Jaehyuk seraya menyandarkan kepalanya pada dada tegap Jaehyuk.

Nyaman.

Hangat.

Bagaimana bisa Jaehyuk berpikir bahwa ia akan pergi dari hidupnya ketika dekapan hangat Jaehyuk adalah tempatnya pulang? Tempatnya bersandar dari segala kesesakkan dunia.

Suara gonggongan anjing menyadarkan sepasang kekasih yang sedang larut dalam dunianya. Asahi tersenyum kecil kemudian memeluk anjing chow-chow yang memandangnya dengan tatapan memelas.

“Kau juga ingin dipeluk eum? Chowie, selama aku tidak di rumah, aku titip Jaehyuk ya? Pastikan ia tidak terluka. Bisa kan?” ucap Asahi sambil memeluk anjingnya.

Seakan mengerti anjing itu mengonggong sekali lagi. Asahi terkekeh pelan lalu mengacak bulu berwarna coklatnya yang terasa lembut.

“Huft aku iri pada Chowie. Kau terlalu menyayanginya. Aku cemburu.”

Asahi mendelik. Kali ini memukul lengan Jaehyuk.

“Bodoh. Kau bahkan cemburu pada anjingmu sendiri.”

“Biarkan saja. Aku memang selalu cemburu pada semua makhluk apapun bentuknya yang menyentuhmu.”

Jaehyuk kembali menarik kekasihnya membuat wajah keduanya hanya berjarak sejengkal kemudia mengecup bibir manis itu dalam.

Ah, andai saja Jaehyuk bisa melihat rona merah yang ia yakini menghiasi kedua pipi kekasihnya. Andai indera penglihatannya masih berfungsi dengan baik, tentu Jaehyuk bisa melihat wajah manis yang selalu membayangi pikirannya setiap hari.

Jaehyuk buru-buru mengusir pikiran buruknya. Merutuki dirinya yang kurang bersyukur. Dengan keterbatasan yang ia punya, Asahi masih ada di hidupnya.

Is a fragrant scene

The waves crash lightly

I feel like something new Whenever and wherever,

I will always be next to you

🐶🐶🐶

As we both look at the same thing

If I embrace you like this

Even if we don’t exchange words

As we look at each other

You smile for me

Suara deru ombak menyapa pendengaran. Laut biru membentang luas di depannya. Ombak menggulung memecah di tepi pantai. Kicauan burung terdengar diiringi hembusan angin lembut.

Asahi menatap Jaehyuk yang duduk di sampingnya dengan mata tertutup—menikmati hembusan angin lembut yang meniup wajahnya, membuat surai hitamnya bergerak lembut. Tangan kanannya mengelus lembut bulu Chowie yang berada di atas pangkuannya.

Tanpa sadar kurva sempurna terbentuk di sudut bibir Asahi. Melihat Jaehyuk dengan ketenangannya membuat dirinya seakan ikut terhanyut.

“Sudah lama aku tidak merasa seperti ini. Tenang juga lega. Pantai selalu membuatku lebih baik,” kata Jaehyuk. Kali ini membuka matanya. Pandangannya lurus ke depan.

“Kau dan obsesimu pada pantai. Aku ingat dulu kau selalu merengek memaksaku untuk menemanimu ke pantai meskipun tugas kuliahku sedang menumpuk.”

“Nyatanya kau menyukainya kan? Ketika kau sedang stress dan penuh tekanan, pergi ke pantai dan mendengar suara debur ombak membuatmu tenang.”

Asahi menganggukkan kepalanya walaupun Jaehyuk tidak dapat melihatnya. Harus dirinya akui pantai juga merupakan salah satu tempat yang membuatnya tenang ketika pikirannya sedang kalut.

“Sahi-ya,” panggil Jaehyuk lembut.

“Hm?”

“Apakah sulit hidup bersamaku? Aku tidak bisa bekerja lagi dan terkadang aku butuh bantuanmu untuk melakukan sesuatu. Apakah sulit?”

Asahi menghela napas panjang. Jujur Asahi merasa sulit. Melihat kekasihnya yang selalu menjaganya kini terkesan tak berdaya.

“Bohong jika aku mengatakan tidak sulit, Jaehyuk-ah. Ada rasa sakit di sini ketika melihatmu kesulitan melakukan hal yang sebelumnya dengan mudah kau lakukan,” katanya sendu sambil menunjuk dadanya.

“Lalu kenapa kau tidak pernah sekalipun berniat meninggalkanku? Kau tampan sekaligus manis. Kau sukses di karirmu. Masih banyak lelaki lain yang lebih pantas untukmu dibanding diriku.”

Asahi menghembuskan napasnya kasar. Tangannya terulur menangkup wajah Jaehyuk memaksa pemuda itu untuk menatapnya.

“Harus berapa kali aku katakan? Aku tidak akan pergi. Aku tidak peduli, Jaehyuk-ah. Akan selalu ada orang lain yang terlihat lebih baik atau sempurna. Tapi, mencintai dengan tulus bukan hanya perihal fisik semata. Bukan hanya tentang kelebihan dan kesenangan, tapi juga tentang menerima kekurangan. Bagiku, kau sudah yang terbaik Jaehyuk-ah. Tidak peduli seberapa sulit tidak peduli berapa banyak tetes air mata yang akan hadir di kemudian hari, kau selalu yang terbaik.”

Kristal bening menetes begitu saja melewati pipi Jaehyuk. Ketika pertama kali bertemu Asahi, dirinya tidak menyangka jika pemuda ini akan menjadi pemuda yang akan ia cintai seumur hidupnya.

Asahi mengusap lembut jejak air mata yang masih mengalir di kedua pipi pemuda tampan yang sangat berharga untuknya. Tak peduli dengan air matanya sendiri yang entah sejak kapan mengalir membasahi pipinya.

“Kemarin Dokter Park menghubungiku. Katanya ada donor kornea yang cocok untukku.”

Asahi membulatkan matanya. Tidak percaya apa yang didengarnya. Jantungnya melompat senang. Setelah berbulan-bulan tanpa harapan yang pasti, hari ini Tuhan menunjukkan kuasa-Nya.

Asahi menghambur ke dalam pelukan Jaehyuk. Memeluk pemuda itu erat.

“Lihat, kan? Aku tahu kita bisa melewatinya. Jika aku dengan bodohnya pergi, aku tidak akan mendengar berita bahagia ini bersamamu.”

Jaehyuk tersenyum lembut mendengar perkataan Asahi. Semakin mengeratkan pelukannya. Mendekap tubuh mungil itu.

“Aku mencintaimu, Jaehyuk-ah. Terima kasih untuk tidak pernah menyerah. Terima kasih untuk berani menghadapi hidup sesulit apapun itu. My cute little puppy

“Aku lebih mencintaimu, Sahi-ya. Your puppy Jae loves you.”

Asahi tertawa pelan mendengar Jaehyuk menyebut dirinya anak anjing.

“Ah harus kuakui aku lebih mencintaimu dibanding Chowie meskipun kalian mirip.”

Suara gonggongan Chowie seakan tidak suka mendengar jawaban tuannya.

Keduanya hanya bisa tertawa melihat Chowie yang sekarang mengusak-usak tubuhnya di tengah mereka, berusah ikut masuk ke dalam pelukan kedua pemiliknya.

Jaehyuk masih merengkuh Asahi dalam dekapannya. Tidak berniat melepaskannya. Merasakan kehadiran pemuda manis yang selalu menempati posisi teratas di hatinya.

Langit mulai berubah menjadi gelap. Sunyi tercipta di antara keduanya. Hanya terdengar deburan ombak dan kicauan burung yang pulang ke sarangnya.

Sepasang kekasih itu masih saling mendekap. Tanpa kata-kata terucap, menyalurkan masing-masing perasaannya melalui pelukan hangat penuh ketulusan.

Bagi Jaehyuk, Asahi adalah cahayanya. Meskipun dunianya menjadi gelap, Asahi bagaikan secercah sinar yang membantunya untuk melihat. Menuntunnya untuk kembali menemui seberkas harapan yang ia pikir sudah lenyap dari hidupnya.

At the moment we both smile together

I embrace you one more time Everyday & night

-End.

Title: Take My Name

Pairing: Jaehyuk/Asahi

This story inspired by yesterday's fansign yang membuat jaesahist galau haha. Ini hanya crita yang aku buat dari perspektifku sendiri ketika lihat fansign kemarin. This is only my imagination.

“I want my surname to be attached to your name just like the roots of a tree attached to the ground. Strong and will not be separated”

Suara goresan pensil yang bergesekan dengan kertas terdengar jelas di ruang tengah dorm yang sunyi sore itu. Pemuda asal Jepang dengan surai hitam sedang berkutat dengan dunianya. Sesekali menggigit bibirnya—tampak berpikir—tatkala beberapa goresannya terlihat kurang sesuai. Maniknya melirik jam yang bertengger di dinding. Sejurus kemudian menghela napas panjang.

Dirinya dan kesendirian terkadang bukanlah hal yang baik ketika pikirannya sedang penuh. Menggambar adalah suatu distraksi baginya untuk meredam pikiran-pikiran negatif yang sejak kemarin singgah di otaknya.

“Sahi-ya,” panggil seseorang yang tiba-tiba saja sudah berada di ruang tengah dormnya. Terlalu sibuk dengan dunianya sehingga tidak mendengar pintu dorm yang terbuka.

“Ah Junkyu Hyung. Maaf aku tidak mendengar ada yang membuka pintu. Ada apa, Hyung?,” ucapnya pelan seraya mengulas senyum yang terkesan dipaksakan.

Junkyu memandang Asahi yang hanya bertanya sekilas kemudian kembali sibuk dengan pensil dan kertas putihnya.

'Dia kenapa?' gumam Junkyu dalam hati. Matanya seketika membulat ketika otaknya mulai menyusun kemungkinan ataupun skenario yang mungkin telah terjadi karena kejadian di fansign kemarin.

“Ada apa kemari, Hyung? Yang lain sedang ada jadwal latihan.”

“A-ah begitu ya. Aku ingin bertemu Jaehyuk. Aku kira ia berada di dorm,” jawab Junkyu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Hati Asahi berdenyut mendengar jawaban Junkyu namun secepat kilat berusaha menetralkan ekspresinya. Menunjukkan perasaan bukanlah keahliannya.

“Jaehyuk sedang latihan. Mungkin akan kembali sebentar lagi. Mau menunggu sebentar di sini? Mau kubuatkan sesuatu?” tanya Asahi lagi masih dengan kepala yang tertunduk menatap kertas di depannya. Berusaha menyibukkan dirinya agar tidak harus bertemu tatap dengan lawan bicaranya.

Ia yakin dengan sekali tatap maka pertahanannya akan runtuh. Hatinya akan berdenyut sakit lalu air mata sudah pasti menyeruak keluar dari maniknya.

“Aku akan menunggu di sini saja jika itu tidak masalah bagimu.”

Asahi menghembuskan napasnya kemudian menatap Junkyu dengan senyum tipis terulas di bibirnya.

“Tentu tidak masalah. Sebentar lagi Jaehyuk akan kembali. Latihannya selesai 5 menit lagi,” jawab Asahi sambil melirik jam dinding di ruang tengah.

Junkyu mengangguk pelan kemudian memposisikan dirinya di samping Asahi. Pandangannya tertuju pada hasil gambar pemuda manis itu.

“Kau memang sangat pandai menggambar. Aku iri.”

Asahi terkekeh pelan.

Iri?

Bagaimana bisa seorang Junkyu iri dengannya? Bukankah seharusnya sebaliknya?

“Tidak perlu iri, Hyung. Kau sudah memiliki semuanya. Wajah yang tampan sekaligus cute, proporsi tubuh yang sempurna, suara yang indah, selera humor yang bagus. Mungkin seharusnya sebaliknya, Hyung. Aku yang iri padamu. Kau lebih dari segala sisi dibanding diriku.”

Kening Junkyu berkerut mendengar jawaban Asahi yang terkesan biasa dan datar namun entah mengapa seperti tersirat makna lain di balik kata-katanya. Hatinya semakin mengatakan ada yang tidak beres. Asahi bukanlah orang yang akan berkata secara gamblang mengenai perasaannya apalagi rasa iri. Asahi bukan orang seperti itu.

'Mungkinkah Asahi tahu tentang kejadian kemarin?' gumamnya dalam hati.

Jika Asahi tahu, rasa bersalah melingkupi hati Junkyu dan penjelasan harus segera disampaikan sebelum keadaan semakin rumit.

'Dasar Yoon Jaehyuk bodoh!' rutuknya dalam hati.

Bagaimana bisa pemuda itu mengatakan hal seenaknya tanpa menyadari bahwa Asahi mungkin saja mendengar kata-katanya dan membuat kesalahpahaman.

“Sahi-ya, kau juga tampan, pandai menggambar, dan membuat lagu. Suaramu juga indah, Sahi-ya. Kau punya kelebihanmu juga,” tandas Junkyu dengan senyum manisnya seraya mengacak pelan surai halus Asahi.

Bahu Asahi berjengit ketika mendengar suara pintu dorm terbuka. Jaehyuk melenggang masuk diiringi siulan kecil. Ia meletakkan tas ranselnya, melemparnya sembarang di lantai kemudian terduduk lemas.

“Ya Yoon Jaehyuk! Bagus sekali tidak menyapa Hyungmu!” teriak Junkyu sedikit keras. Ingin rasanya memukul kepala pemuda yang lebih muda satu tahun darinya itu.

Jaehyuk tertawa pelan seraya mendudukkan dirinya.

“Aku sudah melihatmu, Hyung. Aku hanya menggodamu. Kau sedang apa di sini?”

Junkyu berdecak kesal kemudian melempar sebuah bantal sofa ke arahnya. Puas ketika bantal itu tepat mengenai kepala Jaehyuk.

“Ka-kalian ingin berbicara kan? Apa aku harus ke kamar? Aku takut mengganggu kalian,” kata Asahi pelan. Ada rasa sedih yang terasa jelas di sana.

Junkyu menatap sendu Asahi. Hatinya semakin yakin jika tanpa disadari terjadi kesalahpahaman yang harus segera diluruskan. Tampak tak kasat mata namun akan menghancurkan jika dibiarkan terlalu berlarut.

“Tidak perlu, Sahi-ya. Aku akan berbicara dengan Jaehyuk di kamar.”

“Ya Yoon Jaehyuk! Cepat ke dalam kamar aku ingin berbicara!” ucapnya geram seraya berjalan cepat menghampiri Jaehyuk kemudian menarik lengan pemuda itu sedikit kasar.

Jaehyuk yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa pasrah sambil bertanya tanpa suara pada Asahi.

“Dia kenapa?” tanyanya hanya dengan menggerakkan bibirnya.

Asahi mengedikkan bahunya kemudian menggeleng pelan.

Pintu kamar Jaehyuk tertutup. Meninggalkan Asahi yang lagi-lagi ditemani sunyi. Asahi menghela napas panjang. Matanya terasa memanas. Kristal bening itu bisa menyeruak kapan saja.

Asahi menyentuh dadanya yang terasa sakit. Ah, lebih tepatnya hatinya. Betapa merasa dirinya bodoh menganggap Jaehyuk benar-benar menyukainya. Mengira semua perhatian lebih yang didapatnya beralaskan rasa cinta. Namun, hari ini kenyataan pahit seperti menampar keras wajahnya.

'Kau itu memang bukan siapa-siapa. Lalu kenapa harus merasa sakit?' lirihnya dalam hati.

Cairan bening lolos melewati pipi putihnya. Asahi buru-buru mengusapnya.

Untuk apa menangis? Tidak akan merubah apa-apa. Dirinya yang terlalu memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Merasa yang paling istimewa bagi seorang Yoon Jaehyuk.

**

“Ya Junkyu Hyung kenapa harus menarikku seperti ini? Kenapa juga tidak berbicara di luar?” tanya Jaehyuk sedikit kesal sambil mengelus lengan kirinya yang sedikit memerah sekarang.

Junkyu menghela napas kasar.

Gemas.

Tangan kanannya terulur kemudian memukul pelan kepala Jaehyuk. Rintihan pelan terdengar dari bibir Jaehyuk. Tangannya mengelus kepalanya yang baru saja menjadi korban. Sesekali mendengus kesal tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Kau ini tidak peka atau bagaiamana, Jaehyuk-ah? Kau tidak menyadari ada yang aneh dengan Asahi? Dan kenapa kau harus mengatakan hal bodoh seperti kemarin?! Aku benar-benar tidak mengerti!”

Kening Jaehyuk berkerut. Mencoba mengingat apa ada sesuatu yang aneh pada pemuda Jepang itu.

“Sudah kuduga kau ini memang bodoh dan tidak peka,” ucap Junkyu lagi sambil memijit pelipisnya yang terasa sedikit pening.

“Ya Hyung aku tidak bodoh! Aku selalu mendapat juara kelas.”

“Ya ya terserah kau. Kau bersamanya setiap hari tapi kau tidak menyadari ada yang ia pendam. Kukira kalian saling menyukai?” tanya Junkyu menyelidik. Masih tak habis pikir bagaimana bisa Jaehyuk tidak menyadarinya sementara Junkyu yang tidak bersama Asahi setiap hari langsung menyadari ada yang berbeda dengan pemuda manis itu.

“Aku terlalu lelah kemarin, Hyung. Bahkan kami tidak berbicara setelah fansign kemarin. Ia langsung masuk kamarnya. Katanya lelah. Tadi pagi aku harus segera pergi latihan. Bahkan aku tidak melihat wajahnya pagi tadi karena aku terburu-buru pergi. Aku kira dirinya hanya lelah?” jelasnya.

Ada perasaan bersalah dan gagal di hatinya jika Asahi tidak sedang dalam keadaan baik dan dia tidak menyadarinya. Jaehyuk pernah berjanji untuk selalu menjaga pemuda manis itu, membuatnya tersenyum, dan selalu hadir untuk setiap rasa bahagia ataupun sedih yang dialaminya. Dan janji bukanlah hal main-main. Apa yang dijanjikannya bukan hanya kata manis atau ucapan kosong belaka.

“Aku bisa melihat sorot kesedihan di matanya, Jaehyuk-ah. Ada sesuatu yang tidak ia ceritakan padamu. Dan aku rasa, aku tahu akan hal apa yang mengganggunya. Asahi salah paham, Jaehyuk-ah dan belum terlambat untuk menjelaskan padanya.”

“Salah paham?”

“Kau ingat fansign kemarin? Saat salah satu fans menanyakan siapa yang akan kau pilih sebagai kekasihmu? Kau menjawab namaku dan mengatakan Asahi hanya kau anggap sebagai anggota keluargamu. Asahi mendengar itu, Jaehyuk-ah. Ia berada tepat di sebelahmu. Tentu ada kemungkinan ia mendengar semuanya. Hari ini aku ke dormmu untuk membahas ini tapi aku tidak menyangka Asahi sepertinya mendengar semuanya. Tapi kau tahu bagaimana dirinya. Ia bukan orang yang bisa berteriak lantang tentang apa yang ia sesungguhnya rasakan. Hari ini aku berbicara dengannya. Aku memuji hasil gambarnya dan iri dengan kemampuan seninya. Kau tahu dirinya berkata apa? Ia bilang seharusnya dirinya yang iri padaku karena aku lebih dari segala sisi dibanding dirinya. Aku tahu ada yang tidak beres, Jaehyuk-ah. Lebih baik kau mengajaknya bicara. Aku tidak tahan melihat senyumnya yang juga terkesan dipaksakan.”

Jaehyum menghela napasnya kasar kemudian mengacak rambutnya frustasi. Tidak menyangka hanya karena jawaban spontannya justru membuat Asahi memendam luka.

“Aku akan bicara padanya. Terima kasih Hyung sudah memberitahuku. Aku merasa gagal sekarang. Aku selalu mengatakan aku sangat menyukainya tapi lihatlah diriku sekarang? Bahkan aku tidak sadar akan apa yang ia rasakan,” jawab Jaehyuk dengan suara parau.

Hatinya berdenyut.

Sakit.

Perih.

Kesedihan Hamada Asahi juga merupakan luka bagi hati seorang Yoon Jaehyuk.

“Semua akan baik-baik saja, Jaehyuk-ah. Ini hanya salah paham. Kau masih bisa memperbaikinya.”

Junkyu meremas lembut pundak Jaehyuk berusaha menenangkan dongsaengnya.

“Aku kembali ke dormku dulu. Ingat, semua akan baik-baik saja.”

Jaehyuk mengangguk lemas. Tenaganya menguap di udara digantikan rasa perih yang perlahan merayap memenuhi hatinya.

Bukan hanya soal gagal ataupun tidak dapat memenuhi apa yang dijanjikan, melainkan ternyata dirinyalah sumber rasa sakit bagi pemuda Jepang yang amat disayanginya.

Helaan napas berat kembali terdengar dari belah bibir Jaehyuk. Ia mendudukkan dirinya dan menangkupkan wajahnya di antara kedua lututnya.

Dadanya terasa sesak. Seperti ada yang menghimpit.

“Kau tahu? Aku tidak akan membuatmu bersedih. Pukul aku jika aku membuatmu menangis.”

“Aku menyayangimu, Asahi. Kau itu penting bagiku. Tidak hanya penting tapi kau berharga untukku. Kau teman, saudara sekaligus orang paling yang kucintai.”

Kata-kata yang pernah diucapkannya pada pemuda manis itu terngiang-ngiang di kepalanya.

Ia sudah membuat Asahi bersedih jadi Asahi berhak memukulnya. Jaehyuk pantas menerima semua itu.

Jaehyuk mengusap kasar kristal bening yang entah sejak kapan membasahi wajahnya.

Ini bukan waktu yang tepat untuk menangis dan berdiam diri. Tidak ada  yang berubah jika hanya berdiam diri tanpa menjelaskan apa-apa.

Jaehyuk membuka kenop pintu kamarnya. Pandangannya seketika berubah lembut melihat Asahi yang tertidur di ruang tengah dengan kepalanya yang bertumpu pada kedua lengannya yang berada di atas meja.

Jaehyuk menghampirinya perlahan. Matanya melirik sekilas ke arah kertas yang dipenuhi sketsa keduabelas member dengan tulisan 'Treasure' di atasnya. Senyum kecil mengembang di wajahnya. Asahi memang berbakat namun dari gambarnya Jaehyuk tahu betapa Treasure sangat berharga untuk Asahi.

Jaehyuk mengelus surai halus Asahi kemudian mengecup pucuk kepalanya lembut.

“Maafkan aku, Sahi-ya. Maafkan aku membuatmu bersedih,” lirihnya pelan seraya merengkuh lembut pundak kurus Asahi. Tidak ingin membangunkan Asahi yang terlihat lelah.

Asahi menggeliat pelan. Tidurnya terusik tatkala seseorang seperti menyentuhnya. Matanya mengerjap perlahan sebelum akhirnya membuka sempurna.

Yoon Jaehyuk.

Wajah itu yang pertama kali dilihatnya. Jantungnya berdegup kencang ketika wajah tampan itu berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Manik keduanya bertemu. Sepasang manik bening Jaehyuk menatapnya lembut. Ada gundah dan sendu yang tergambar jelas di sana. Asahi tidak mengerti.

“Aku mengganggu tidurmu eum? Maafkan aku,” katanya pelan seraya menyibak beberapa helai rambut yang menutupi dahi Asahi.

Asahi menggeleng lembut. Menampakkan senyum manisnya.

“Apa Junkyu Hyung sudah pulang? Aku tertidur daritadi.”

“Sudah pulang ke dormnya.”

Asahi menegakkan kepalanya. Berusaha menjauh dari pemuda Korea yang amat dicintainya ini sebelum jantungnya keluar dari rongga dadanya.

“Kau mau makan apa? Pasti kau lapar, kan? Aku akan memesan makanan,” ucap Asahi berusaha mencairkan suasana yang entah kenapa menjadi canggung sekarang.

“Bisakah kita bicara?”

Asahi menatap Jaehyuk. Berusaha menyelami apa yang ada di pikiran Jaehyuk.

Terkejut setengah mati ketika Jaehyuk menariknya ke dalam pelukan.

“Maafkan aku, Sahi-ya. Aku pernah berjanji tidak akan membuatmu bersedih. Tapi lihatlah apa yang sudah kulakukan? Aku bahkan tidak menyadarinya. Pukul aku, Sahi-ya. Kau boleh memukulku ketika aku mengingkari ucapanku sendiri.”

Asahi tersenyum sendu kemudian melepaskan pelukan Jaehyuk. Menatap nanar pemuda di hadapannya yang terlihat kacau sekarang.

“Aku bersedih bukan karena dirimu, tapi karena ekspektasiku sendiri juga rasa percaya diriku yang terlalu tinggi. Menganggap diriku yang paling berharga untukmu.”

Jaehyuk menggeleng tidak setuju.

“Bukan begitu. Kau salah paham, Sahi-ya. Kau itu penting bagiku dan nyatanya aku memang mencintaimu. Apa yang kau dengar kemarin, itu hanya jawaban spontanku, Sahi-ya. Tidak mungkin aku mengatakan itu dirimu. Apa yang kita punya bukanlah hal yang bisa bebas aku ungkapkan begitu saja di publik. Belum lagi Manager Hyung mengawasi. Tapi, apa yang kukatakan adalah benar, Sahi-ya. Aku tidak hanya ingin menjadikanmu sebatas kekasih saja, aku ingin kau menjadi anggota keluargaku. Kekasih bisa berganti begitu saja, berakhir di tengah jalan lalu kembali menjadi orang asing. Tapi hubungan yang kita punya lebih dari itu, Sahi-ya. Aku ingin kau memiliki nama margaku di depan namamu. Ikatan yang kuat dan tidak terpisahkan. Aku mencintaimu, Sahi-ya dan aku akan terus mencintaimu sampai diriku layak memanggilmu Yoon Asahi,” jelas Jaehyuk lembut namun penuh kesungguhan.

Asahi merasakan pandangannya berkabut. Terhalang air mata yang siap tumpah kapan saja. Dalam hati merasa bodoh sudah meragukan perasaan Jaehyuk dan hubungan yang mereka miliki.

“Aku tidak tahu bagaimana cara membuatmu benar-benar percaya bahwa ini hanya kesalahpahaman belaka. Tapi, aku masih punya banyak waktu untuk membuktikannya.”

“Aku percaya, Jaehyuk-ah. Seharusnya aku tidak diam dan membiarkan pikiranku kemana-mana. Berasumsi seenaknya tanpa membicarakannya denganmu.”

Jaehyuk mengacak surai halus Asahi. Tangannya terulur menghapus jejak air mata yang mengalir melewati pipi putih itu.

“Aku yang salah karena tidak memikirkan perasaanmu ketika aku menjawab pertanyaan itu. Tapi setidaknya yang kukatakan adalah jujur. Aku ingin menjadikanmu anggota keluargaku, bukan sekedar kekasihku.”

Jaehyuk mendekatkan wajahnya kemudian memagut belah bibir merah Asahi, menciumnya dalam. Menyalurkan semua perasaan dan ketulusannya.

“Sampai saat itu tiba, sampai saat aku bisa menyematkan nama keluargaku di namamu, kita raih mimpi kita di panggung yang sama. Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Hamada Asahi.”

Jaehyuk menggenggam erat tangan Asahi, menautkan jemari keduanya.

“Aku mencintaimu, Yoon Jaehyuk. Kau berharga untukku dan akan selalu begitu.”

Asahi menangkup wajah Jaehyuk. Mengecup kening pemuda tampan itu lembut kemudian memeluknya erat. Menyandarkan kepalanya pada pundak tegap yang menjadi tempatnya bersandar.

Hubungan yang mereka punya bukan hanya hubungan yang berlandaskan rasa suka belaka yang akan menguap dimakan waktu.

Tidak. Lebih dari itu.

Entah kata apa yang cocok untuk mendeskripsikan hubungan yang mereka miliki. Apapun sebutannya bukanlah masalah.

Layaknya akar sebuah pohon yang tertanam dalam di tanah. Ikatan kuat dan tidak terpisahkan. Tak mampu digoyahkan begitu saja.

End.

Title: The Way I Love You

Pairing: Jaehyuk/Asahi

inspired by today's twitter blueroom live (this or that game) Q: Choose one of the two: (A) Falling in love with someone you've known for a long time (B) Fall in love at first sight

Jaehyuk chose B while Asahi chose A

-notes- italic: flashback

Jaehyuk membuka pintu dormnya kasar seraya melenggang begitu saja masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya keras. Meninggalkan tiga pasang mata yang dibuat kebingungan oleh tingkah Jaehyuk yang tidak biasa. Jaehyuk pandai mengontrol emosinya—menahan dirinya agar emosinya tidak meledak-ledak, namun entah apa yang terjad siang hari ini yang membuatnya begitu kesal. Seingat mereka, semua terlihat baik-baik saja ketika mereka melakukan shooting untuk Twitter blueroom.

“Jaehyuk Hyung kenapa?” gumam Junghwan dengan tatapan sedih bercampur bingung.

Asahi menatap nanar pintu yang baru saja dibanting keras. Tidak mengerti sama sekali apa yang mengganggu Jaehyuk sehingga sang empunya kamar masuk begitu saja dengan tatapan kesal dan bantingan pintu yang membuatnya terkejut.

“Aku juga tidak tahu. Dia terlihat baik-baik saja tadi, lalu kenapa sekarang tiba-tiba begini?” ucapnya sendu.

Junghwan merengkuh pundak Asahi berusaha memberikan ketenangan.

“Mungkin Jaehyuk Hyung hanya lelah. Sebentar lagi juga dia akan kembali ceria.”

Asahi mengangguk kecil sambil mengulas senyum paksa. Entah kenapa dirinya merasa ada sesuatu yang dipendam Jaehyuk yang tidak dikatakan kepadanya. Asahi menghela napas panjang. Rasa semangatnya menguap ke udara. Pemuda manis itu melangkahkan kakinya masuk ke kamar, berharap sedikit waktu sendiri juga dapat menjernihkan perasaannya yang kalut.

***

Jaehyuk termenung menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang mengingat kejadian tadi. Pertanyaan itu berputar-putar di otaknya diiringi jawaban Asahi yang menggema memenuhi pikirannya.

Asahi lebih memilih jatuh cinta kepada orang yang sudah dikenalnya lama.

Jawaban itu mengganggunya. Menyadari betapa probabilitas cintanya dibalas oleh seorang Hamada Asahi hampir nihil. Bahkan keduanya belum mengenal cukup lama. Dua tahun. Hanya itu waktu yang selama ini sudah terjalin bersama Asahi.

Diam. Memendam. Berharap menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan perasaannya. Namun, hari ini dirinya menyadari mungkin kesempatan itu tidak akan datang. Haruskah menunggu lebih lama lagi untuk menjadi seseorang yang memiliki eksistensi lebih lama di hidup Asahi?

Jaehyuk tersenyum miris meratapi nasibnya. Bahkan dirinya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pemuda manis kelahiran Jepang itu. Jawaban yang diberikannya tadi bukanlah sembarang jawaban yang asal terucap, melainkan dari apa yang memang terjadi di hidupnya.

Bagaimanapun ia akan selalu kalah, kan? Kerap kali ia membandingkan dirinya Haruto. Pemuda tampan yang jauh lebih muda tiga tahun darinya sangat dekat dengan Asahi. Tidak hanya itu, Asahi mengenalnya lebih lama—berasal dari negara yang sama, berbicara bahasa yang sama, memiliki budaya yang sama. Melihat keduanya begitu dekat dan nyaman satu sama lain mau tidak mau membuatnya berpikir bahwa dirinya sudah kalah.

Haruto lebih sesuai bukan?

Asahi mengenalnya lebih lama.

Tidak pernah sebanding dengan dirinya.

Jaehyuk mengusap air matanya yang entah sejak kapan menyeruak dari sepasang maniknya. Jika seperti ini bentuk cinta yang harus ia rasakan, rasanya lebih baik tidak pernah mengalaminya sama sekali.

Mencintai begitu lama dan dalam, kemudian berakhir dengan kesedihan.

Namun, perasaan adalah hal yang paling sulit untuk dikendalikan bukan? Bahkan di saat kini dilingkupi sunyi—hanya dirinya dan suara isakan halus yang terdengar—pemuda manis itu tetap memenuhi pikirannya. Hari dimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama pada pemuda Jepang itu mengusik ingatannya.

***

Korea, 2018

Kedatangan beberapa trainee dari Jepang menyita perhatian Jaehyuk. Pemuda manis bersurai hitam dengan baju oversizenya yang berdiri di ujung barisan menyita indera penglihatannya. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat ketika mendengar pemuda dengan name tag 'Arthur' itu memperkenalkan diri dengan suara lembutnya. Senyum manis dengan lesung pipit yang menghiasi pipinya membuat hatinya berdesir.

Aneh.

Perasaan asing.

Jatuh cinta pada pandangan pertama? Mungkinkah begitu?

Jaehyuk menggelengkan kepalanya cepat berusaha mengusir pikirannya yang terasa aneh untuk dimengerti. Bagaimana mungkin bisa jatuh cinta pada seseorang secepat ini? Bahkan dirinya tidak mengenal pemuda itu. Mungkin hanya perasaan sesaat karena pemuda itu sangat manis sekaligus tampan?

Pertemuan pertamanya hari itu meninggalkan kesan yang mendalam, namun dirinya tidak menyangka akan bertemu dengan pemuda manis itu lagi pagi ini. Mereka memiliki jadwal kelas dance practice yang sama. Tanpa sadar, kurva sempurna terbentuk di kedua sudut bibirnya tatkala melihat pemuda manis yang lebih mungil darinya itu sedikit kesulitan untuk mengikuti dance routine mereka.

Menggemaskan.

Itu yang ada di pikirannya.

“Kau trainee dari Jepang, kan?” tanyanya setelah latihan berakhir.

Sementara sang lawan bicara menatapnya dengan kening yang berkerut karena pertanyaannya yang tiba-tiba. Satu anggukan kecil menjawab pertanyaannya.

“Namamu Arthur? Aku melihatmu beberapa hari yang lalu ketika kau diperkenalkan sebagai trainee dari Jepang. Namaku Yoon Jaehyuk.”

“Panggil Asahi saja. Arthur nama inggrisku. Lebih baik memanggilku dengan nama Asahi,” katanya pelan sambil mengikat tali sepatunya.

Jaehyuk mengangguk mengerti.

“Mau makan siang bersama kami? Untuk membuatmu terbiasa dengan keadaan di sini,” tanya Jaehyuk dengan nada sedikit ragu. Jujur Jaehyuk tidak berharap banyak bahwa Asahi akan mengiyakan ajakannya.

“Kurasa itu ide bagus,” ucap Asahi singkat.

Jaehyuk tersenyum lebar mendengar jawaban yang di luar dugaannya kemudian menarik lembut lengan Asahi membantu pemuda itu berdiri dari posisi duduknya.

Senyum manis menghiasi bibir tipis Asahi. Manik bening nan polosnya berbinar.

Sungguh Jaehyuk tidak akan melupakan senyum manis itu.

Senyum yang membuat hatinya bergemuruh.

Senyum yang dirinya ingat dan tidak pernah sekalipun pergi dari ingatannya.

***

Jaehyuk mengusap air matanya kasar ketika suara ketukan terdengar.

“Jaehyuk-ah? Aku boleh masuk?”

Bolehkah dirinya tidak bertemu dulu dengan pemuda manis yang menjadi sumber kesedihannya hari ini?

“Masuk saja, Sahi-ya,” jawabnya pelan.

Lagi-lagi ucapannya bertolak belakang dengan keinginan hatinya.

Asahi menampakkan kepalanya di ambang pintu kemudian melangkah perlahan menghampiri Jaehyuk yang kini terduduk di tempat tidurnya.

Asahi menatap Jaehyuk sendu. Ada yang tidak beres dengan teman se-dormnya ini. Asahi bisa melihat jelas jejak air mata yang membekas di pipinya.

“Ada apa ke sini?” tanya Jaehyuk sambil menetralkan degup jantungnya.

“Aku khawatir melihatmu tiba-tiba tidak dalam keadaan baik setelah kita live tadi. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” tanya Asahi sambil memposisikan dirinya di samping Jaehyuk. Masih menatap dalam pemuda di sebelahnya ini, berusaha mencari jawaban di sepasang manik bening itu.

“Ah tidak apa-apa. Hanya lelah saja.”

Asahi menghela napas.

“Kukira kita pernah berjanji untuk tidak saling menutupi jika ada masalah. Dan kau.. selalu mendengar semua ceritaku baik yang menyenangkan atau menyedihkan. Lalu, apakah aku tidak boleh mendengar keluh kesahmu sekali ini saja?”

Jaehyuk tertawa miris.

“Jika aku menceritakannya, apa kau yakin bisa membantuku? Aku rasa kau tidak akan bisa.”

“Mungkin aku tidak bisa membantu apa-apa, tapi setidaknya dengan bercerita, akan meringankan bebanmu.”

“Hm. Begitu, ya?Tapi, aku memang baik-baik saja,” sahut Jaehyuk masih dengan pendiriannya bahwa dirinya 'baik-baik saja'.

Sungguh Jaehyuk ingin tertawa keras sekarang. Asahi membantunya? Bagaimana bisa jika justru dirinyalah yang menjadi penyebab kesedihannya hari ini?

“Bohong. Kenapa harus berbohong? Kau tidak baik-baik saja.”

Jaehyuk mengusap wajahnya kasar. Frustasi. Lelah. Mengapa Asahi harus menanyakan banyak hal?

“Kau mau membantu apa, Sahi-ya?! Kau tahu? Kau tidak akan bisa membantu bahkan menceritakan semuanya padamu juga tidak akan membuat keadaan lebih baik!,” ucap Jaehyuk dengan meninggikan nada bicaranya pertanda rasa frustasi dan emosi menguasai dirinya.

Asahi menatap Jaehyuk tak percaya. Ini pertama kalinya Jaehyuk meninggikan suaranya selama dua tahun lebih mengenalnya. Tanpa disadarinya, air mata lolos begitu saja dari kedua manik indahnya tatkala mendengar Jaehyuk yang terdengar begitu lelah dan frustasi.

Jaehyuk melengos. Merutuki kebodohannya karena tidak bisa mengontrol perasaannya. Emosinya. Merutuki dirinya sendiri membuat sepasang manik indah itu harus mengeluarkan air mata yang sia-sia hanya karena dirinya.

“Maaf sudah membentakmu,” lirih Jaehyuk parau.

Asahi menggeleng pelan.

“Aku yang terlalu ikut campur. Lebih baik, aku pergi. Sebaiknya tidak mengganggumu,” gumamnya dengan suara pelan seraya berdiri untuk melangkah pergi.

Tangan Jaehyuk menahannya—membuatnya sedikit tertarik dan kembali pada posisi duduknya.

“Aku akan mengatakan semuanya.”

Asahi memandang dalam pemuda tampan di sampingnya. Menunggu dengan sabar sampai Jaehyuk siap menceritakannya.

“Aku menyukaimu, Sahi-ya. Maaf, tapi aku menyukaimu. Ani, aku mencintaimu. Maafkan aku. Aku tahu tidak seharusnya aku memiliki perasaan ini, ta-tapi...”

Isakan lirih lolos dari bibir penuh Jaehyuk. Toh, tidak akan terbalas juga kan? Jadi, lebih baik dikatakan saja.

Ucapannya terhenti tatkala Asahi tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan.

“Sshh, shhh... jangan meminta maaf dan jangan menangis lagi. Tidak ada yang salah untuk setiap perasaan cinta yang kau rasakan, Jaehyuk-ah. Nyatanya, aku memiliki perasaan yang sama.”

Jaehyuk membulatkan matanya. Terkejut. Masih berusaha memproses apa yang baru saja ditangkap indera pendengarannya.

Asahi?

Memiliki perasaan yang sama?

Apa ini mimpi belaka?

Jaehyuk melepaskan pelukannya. Menatap Asahi tajam. Mencari kebohongan yang mungkin tersirat di sepasang manik teduh itu.

“K-kau... memiliki perasaan sama? A-aku pikir kita belum mengenal lama? Maksudku.. tadi jawabanmu..,” ucap Jaehyuk terbata-bata. Dirinya pandai berbicara namun entah kemana kemampuannya dalam menyusun kata yang hilang begitu saja sekarang.

Asahi mengerutkan keningnya berusaha mencerna apa yang dikatakan Jaehyuk. Sesaat kemudian menyadari apa yang dimaksud Jaehyuk.

“Jangan bilang ini berhubungan dengan permainan kita tadi? Mengenai jatuh cinta pada pandangan pertama dan jatuh cinta pada orang yang sudah dikenal lama?”

Jaehyuk mengangguk kecil.

“Aku menyukaimu sejak pada pandangan pertama, namun kau lebih memilih jatuh cinta pada orang yang sudah dikenal lama. Jadi kupikir adalah suatu yang tidak mungkin untuk dirimu memiliki perasaan yang sama. Aku bahkan baru berada di hidupmu selama dua tahun lebih.”

Jaehyuk menundukkan kepalanya, menatap jemarinya yang bertaut di atas pahanya.

“Bodoh. Bagaimana bisa kau berasumsi seperti itu, Jaehyuk-ah? Kukira dirimu mengatakan kau salah satu anak pandai di sekolahmu, lantas kenapa berpikir seperti ini?”

Jaehyuk menggigit bibirnya. Benar-benar merasa bodoh sekarang.

“Jaehyuk-ah, dengarkan aku baik-baik. Aku memang tidak jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Tidak juga dalam waktu yang cepat. Tapi, dengan semua perhatian dan perjuanganmu, perasaan itu lama-kelamaan berubah menjadi suatu perasaan yang lebih. Bukan hanya sekedar teman ataupun rekan kerja. Aku memang lebih memilih untuk jatuh cinta pada orang yang aku kenal lama tapi lamanya waktu adalah sesuatu yang relatif, Jaehyuk-ah. Satu tahun bisa menjadi sebentar bagi seseorang namun bisa menjadi waktu yang lama bagi seseorang. Nyatanya, aku sadar, berjuang untuk mendapatkan cinta seseorang selama 2 tahun bukanlah hal mudah ataupun sebentar. Dan kau berhasil melakukannya, Jaehyuk-ah. Kau tidak menyerah ataupun menuntut. Tidak peduli bagaimana cara kita mencintai, tentu perasaan yang ada di antara kita dimulai dengan cara yang berbeda. Namun yang pasti, aku mencintaimu, Yoon Jaehyuk. I love you and that's all that matters.

Jaehyuk benar-benar merasa menjadi manusia paling konyol. Bagaimana bisa dirinya dengan lancang berasumsi hanya karena satu kalimat jawaban dalam sebuah permainan semata.

Jaehyuk memandang lembut pemuda manis yang menatapnya dalam. Sejurus kemudian menariknya ke dalam pelukan hangatnya.

“Maafkan aku karena memiliki pemikiran konyol. Terima kasih, Sahi-ya membuat perjuanganku tidak sia-sia. Benar apa yang kau katakan, kita mencintai dengan cara yang berbeda dan tidak ada pernah cara pasti untuk mencintai. Terima kasih sudah mau belajar untuk mencintaiku, Hamada Asahi.”

Jaehyuk memberi sedikit di jarak di antara keduanya kemudian mengecup singkat kening Asahi. Sedetik kemudian beralih pada bibir merah tipis yang kini dikecupnya lembut.

About love, there's no science to it. It's as natural as the sky.

-End.

Title: Fallen Snow

Pairing: Jaehyuk/Asahi

Inspired by jaehyuk's recent update on treasuremember twitter lol. That heart shape on the snow.

Beberapa mobil SUV hitam berhenti di sisi jalan gedung agensi ternama di Korea. Keduabelas pemuda melangkah keluar dengan wajah sumringah dipenuhi senyum dan rasa semangat. Seorang pemuda tampan yang merupakan salah satu leader memegang trophy yang baru saja diraihnya dari sebuah acara penghargaan musik yang bergengsi.

“Kau tampak bahagia sekali, Hyunsuk Hyung,” ucap salah seorang pemuda tampan berbalut jas hitam yang membingkai pundak tegapnya.

“Tentu aku bahagia. Ini pencapaian besar, Jaehyuk-ah. Ini pencapaian kita,” sahutnya bahagia meski dengan manik yang sedikit berair karena rasa haru yang memenuhi hatinya.

Jaehyuk mengangguk kecil. Senyum bahagia melengkung sempurna—membuat kedua sudut bibirnya terangkat.

“Jaehyukkie,” panggil seseorang dengan suara lembut.

Jaehyuk menoleh ke arah suara yang berasal dari sampingnya. Pandangannya melembut melihat pemuda yang lebih mungil darinya sedang menatapnya sambil mengeratkan coat hitam tebal yang membalut tubuh kurusnya.

“Bisakah kita berjalan lebih cepat? Dingin sekali,” lirihnya lembut dengan bibirnya yang bergetar karena hawa dingin yang menyeruak.

Jaehyuk tersenyum lembut. Andai mereka orang biasa—bukan seorang idola yang selalu menjadi pusat perhatian. Mungkin dirinya akan lebih leluasa merengkuh pemuda manis ini ke dalam pelukannya.

“Ayo kita cepat masuk sebelum kau membeku, Sahi-ya.”

Asahi memberi anggukan singkat kemudian berjalan cepat. Jaehyuk mengikutinya di belakang. Sesekali tersenyum kecil menatap punggung sempit yang sangat ingin direngkuhnya sekarang.

Asahi menggosok-gosok kedua tangannya berusaha memberi rasa hangat pada telapak tangannya yang terasa membeku.

Telapak tangan yang lebih besar darinya menggenggam erat kedua tangannya. Meniupnya perlahan memberikan hawa hangat.

“J-jae, kalau dilihat orang bagaimana?” tanya Asahi gugup. Maniknya bergerak memperhatikan sekelilingnya.

Sepi.

Hanya ada beberapa membernya sedangkan yang lainnya sepertinya sudah terlebih dahulu ke ruang latihan. Ini kebiasaan Treasure tiap kali mereka selesai menghadiri acara award. Mereka akan ke gedung agensi untuk menaruh piala penghargaan lalu akan berkumpul di ruang latihan—sekadar berbicara, berfoto, atau melakukan perayaan kecil dengan memesan beberapa jenis makanan.

“Tidak ada yang melihat, Sahi-ya. Lagipula aku tidak tega melihatmu kedinginan seperti ini. Sudah lebih hangat sekarang?” tanya Jaehyuk dengan pandangan sedikit khawatir. Bagaimana tidak? Tangan di dalam genggamannya sekarang terasa begitu dingin.

Lucu memang.

Musim dingin adalah musim kesukaan Asahi. Butiran salju yang turun dari langit merupakan salah satu momen favorit pemuda Jepang itu. Namun nyatanya, Asahi paling tidak tahan dingin di antara mereka.

“Sudah lebih hangat. Gomawo, Jaehyukkie,” ucapnya dengan senyum lebar. Matanya membentuk bulan sabit.

“Mau keluar sebentar denganku?”

“Kemana?”

“Ke belakang gedung? Seperti yang selalu kita lakukan ketika sebelum debut. Diam-diam bertemu di belakang gedung. Menghabiskan waktu bersama. Aku rindu masa-masa itu,” jawab Jaehyuk. Pandangannya nanar seakan memutar memori indah itu di otaknya.

“Yang lain bagaimana? Mereka pasti menunggu kita.”

“Tidak masalah. Aku akan meminta ijin sebentar pada Hyunsuk Hyung. Aku rasa tak apa jika sebentar. Bagaimana? Kau mau?”

Asahi mengangguk semangat.

Jaehyuk menarik pelan lengan Asahi kemudian menuntunnya ke sisi belakang gedung.

“Wahhhh saljunya tebal sekali. Lihat, Jaehyukkie!” seru Asahi girang sambil melompat kecil. Manik beningnya berbinar melihat hamparan salju di yang menutupi seluruh rumput di depannya.

Jaehyuk terkekeh pelan.

Menggemaskan.

Mereka memang seumuran—hanya terpaut 1 bulan tapi tingkah Asahi bagaikan anak kecil yang masih berusia belasan tahun. Dan Jaehyuk suka akan itu. Asahi yang selalu melompat kegirangan dengan senyum merekah tiap kali menemukan hal yang disukainya. Mungkin terkesan kekanakan tapi Jaehyuk menyukainya. Rasa semangat juga senyum lebar itu menandakan bahwa Asahi bahagia dan tidak ada hal di dunia ini yang lebih penting dibanding melihat salah satu orang yang paling disayanginya bahagia.

“Kenapa melamun?” tanya Asahi bingung seraya menggerakkan tangannya di depan wajah Jaehyuk berusaha membuyarkan lamunannya.

“Ah tidak. Aku hanya sedang berpikir tadi kenapa kau bisa semanis dan semenggemaskan ini.”

Rona merah menghiasi wajah Asahi. Pipinya terasa menghangat di tengah hawa dingin.

“Kau membuatku malu!” katanya seraya memukul pelan lengan Jaehyuk.

Jaehyuk tertawa pelan. Tangannya mengacak surai halus Asahi yang mulai tertutup butiran salju.

“Kenapa harus malu? Itu adalah kenyataan.”

“Diam. Jangan mengatakannya lagi! Jangan membuatku semakin malu!” dengus Asahi sedikit kesal.

Tingkah lucunya justru membuat Jaehyuk semakin tertawa keras.

“Haha kau memang lucu. Aku menyukainya. Tetaplah bahagia seperti ini eum?” ucapnya seraya menangkup pipi Asahi kemudian mencubitnya lembut.

“Jaehyuk juga harus bahagia. Jangan hanya mengatakan diriku untuk bahagia.”

“Kebahagiaanku adalah melihatmu bahagia, Sahi-ya. Jadi kau harus selalu tersenyum seperti sekarang.”

Asahi menatap dalam manik hitam Jaehyuk. Sejurus kemudian menghambur ke dalam pelukan pemuda yang lebih tinggi darinya. Mendekapnya erat.

“Kau dan aku harus sama-sama bahagia. Apapun itu kita hadapi bersama,” kata Asahi pelan seraya membenamkan wajahnya pada dada bidang Jaehyuk. Merasakan kehangatan yang memancar dari sana.

Jaehyuk mengangguk kecil. Tangan kanannya mengelus punggung sempit yang berada dalam rengkuhannya.

“Ayo bermain salju!” ajak Asahi tiba-tiba.

Asahi melepaskan pelukannya—memberi jarak di antara keduanya. Maniknya menatap manik bening Jaehyuk.

“Nanti kau kedinginan lagi seperti tadi. Nanti sakit bagaimana?”

Jaehyuk mengelus pucuk kepala Asahi. Berusaha membersihkan butiran salju yang kini hampir menutupi seluruh kepalanya.

“Aku mohon, Jaehyukkie. Kali ini saja,” ucapnya dengan pandangan memelas.

Ya Tuhan.

Asahi benar-benar tahu kelemahannya. Bagaimana bisa dirinya menolak jika Asahi menatapnya dengan pandangan memohon seperti itu.

Jaehyuk menghela napas panjang. Menolak adalah percuma karena Asahi tidak akan berhenti memohon sampai kata setuju terucap dari bibirnya.

“Tapi jangan terlalu lama ya? 10 menit saja. Dan pakailah ini,” ucapnya seraya meraih kedua tangan Asahi kemudian memakaikan sepasang sarung tangan tebal miliknya.

Asahi mengangguk semangat kemudian membalikkan tubuhnya dan berlari kecil ke tengah hamparan salju.

Tawa menghiasi bibir tipis itu. Sibuk dengan dunianya. Beberapa gumpalan kecil salju berada di tangannya yang terbalut sarung tangan.

Jaehyuk memperhatikannya dari jauh. Sesekali tersenyum melihat pemandangan di depannya. Butiran salju yang turun perlahan dari langit malam, cahaya temaram dari lampu jalan, semilir angin yang berhembus pelan membuat pemandangan di hadapannya beribu kali lebih indah.

Sosok manis itu.

Sumber bahagianya.

Senyum itu. Tawa itu.

Jaehyuk selalu menyukainya. Ingin melihatnya lebih banyak lagi.

“Jaehyukkie! Ayo ke sini! Jangan diam di situ saja!

Jaehyuk tertawa melihat Asahi yang melambaikan tangannya menyuruhnya untuk menghampirinya.

Jaehyuk berjalan pelan. Pandangannya tertuju pada Asahi yang masih menatapnya dengan senyum.

Asahi memperhatikan Jaehyuk yang berjalan ke arahnya.

Tampan.

Kata itu yang pertama terlintas di pikirannya. Ia tahu Jaehyuk selalu tampan tapi di tengah butiran salju yang turun perlahan, dengan cahaya bulan yang menyinari langit malam, membuatnya jauh terlihat lebih tampan.

Asahi menatap Jaehyuk yang berdiri sangat dekat dengannya. Manik keduanya bertemu. Jaehyuk semakin mempersempit jarak di antara keduanya kemudian mengecup singkat kening Asahi.

“Teruslah tersenyum dan tertawa, Sahi-ya. Aku tahu hidup kita tidaklah mudah. Banyak hal yang kita korbankan. Waktu dengan keluarga, waktu bersenang-senang, waktu untuk kuliah, terlebih kebebasan. Mengorbankan semua itu tidaklah mudah. Nyatanya sulit. Nyatanya kau rindu keluargamu yang jauh darimu, nyatanya kita tidak bisa bebas pergi keluar untuk menghabiskan waktu seperti pasangan lainnya, bahkan nyatanya terkadang kita harus berpura-pura di depan kamera. Tapi, selama ada dirimu, selama aku bisa melihat senyummu dan tawamu, aku rasa aku bisa menjalaninya. Jadi, tetaplah bahagia, Sahi-ya,” ucap Jaehyuk lembut.

Asahi menatap Jaehyuk dengan mata berkaca-kaca. Hatinya menghangat meskipun sebersit rasa sedih hadir di sana. Bagaiamana kebebasan bukanlah pilihan bagi keduanya.

“Selama ada Jaehyuk, aku juga bahagia. Karena tanpa kau sadari, kaulah yang selalu membuatku tersenyum dan tertawa. Kau dan leluconmu, rasa perhatianmu, semangatmu setiap kali aku ingin menyerah, dan masih banyak hal lagi yang bahkan tak terhitung lagi. Kau tidak menyadarinya tapi nyatanya kaulah yang membuat senyum ini tidak pernah pudar dan tawa ini tak pernah menghilang.”

Jaehyuk tersenyum lembut. Tangannya terulur menghapus jejak air mata yang entah sejak kapan mengalir begitu saja membasahi pipi putih itu.

“Saranghae, Hi-kun.”

Jaehyuk memeluk Asahi erat. Melingkarkan sepasang lengannya pada pinggang ramping Asahi. Membiarkan kepala Asahi bersandar di pundaknya.

“Nado saranghae, Yoon Jaehyuk,” balasnya lembut namun masih terdengar.

“Kita kembali ke dalam eum? Member lain juga pasti menunggu kita.”

Asahi mengangguk pelan.

Jaehyuk melepaskan pelukannya. Mengacak surai halus Asahi kemudian menarik lengannya. Sesaat tersadar dengan sebuah bentuk tulisan yang terukir di hamparan salju.

“Kau yang menulisnya, Sahi-ya?”

Asahi tersenyum. Menampakkan barisan gigi rapinya.

“Kau memang seperti anak kecil dan aku menyukainya!” ucap Jaehyuk gemas kemudian menarik lembut lengan Asahi—membawanya kembali ke dalam gedung.

Di tengah hamparan salju, tertulis di sana

Asahi

Jaehyuk

Kekanakan memang tapi setidaknya itulah yang mereka harapkan. Bisa tetap mencintai meski di tengah keterbatasan akan kebebasan.

Di tengah butiran salju yang jatuh dari langit malam, dua jiwa lagi-lagi menemukan kebahagiaannya. Berjalan beriringan, saling menjadi sumber kekuatan. Saling menjadi alasan untuk setiap senyum yang terlihat dan tawa yang terdengar.

End.

Title: Astrophile

Pairing: Jaehyuk/Asahi

Song: Written in the Stars by TheOvertunes (this isn't songfic but I wrote this while listen to this song)

“Astrophile (noun): a person who loves the stars and night sky”

•Seoul, 2010•

Kamar dengan dominasi warna biru langit itu terasa sunyi. Lampunya juga dibiarkan padam tatkala sang empunya kamar sedang terlelap dalam tidurnya. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Wajar, jika sang penghuni kamar sudah berada di alam mimpi.

Tidur lelapnya terusik ketika mendengar suara berisik yang berasal dari luar. Keningnya berkerut pertanda tidurnya terganggu. Sepasang kelopak yang semula terpejam kini mengerjap kemudian membuka sempurna. Netra bening namun masih dengan pandangan sayu menatap jendela kamarnya. Suara berisik itu berasal dari sana.

Penghuni kamar yang semula dalam posisi tidur kini sudah berdiri sempurna—berjalan menuju jendela. Sesekali menguap karena kantuk yang masih menguasai. Dalam hati merutuk kesal karena tidurnya terganggu.

Maniknya membulat. Rasa kesal dalam hatinya sirna entah kemana ketika melihat siapa yang mengganggu tidurnya. Sahabatnya sedang berdiri di bawah sana melempar kerikil kecil ke arah jendela kamarnya yang terletak di lantai dua.

“Ya! Jaehyukkie apa yang kau lakukan di sini malam-malam?” tanyanya sambil membuka jendela kamarnya—sedikit menaikkan suaranya—takut menimbulkan kebisingan bagi penghuni rumah yang lain.

“Asahi, kau mau lihat bintang dari atap rumahku, tidak? Malam ini langitnya indah sekali. Banyak bintang bertaburan.”

Mendengar bintang dan langit malam, otomatis senyum terulas di bibir Asahi.

“Tunggu aku di bawah!”

Jaehyuk menggelengkan kepalanya.

“Lompat saja. Nanti Jaehyuk tangkap dari sini. Kau akan membangunkan Appamu jika turun dan membuka pintu.”

Kali ini Asahi yang menggelengkan kepalanya.

“Asahi takut Jaehyukkie. Nanti jatuh bagaimana?” ucapnya ragu. Sorot matanya dihiasi rasa takut.

“Kau percaya padaku, kan? Melompatlah. Kau tidak akan jatuh ataupun terluka.”

Asahi berpikir sebentar. Ragu dan takut. Namun akhirnya memberanikan diri menapakkan kakinya pada pinggiran jendela kemudian melompat.

Hangat.

Pelukan Jaehyuk selalu terasa hangat.

Sepasang lengan yang berukuran lebih besar darinya itu memeluknya erat. Asahi menatap wajah Jaehyuk hanya berjarak lima sentimenter darinya. Pipinya menghangat seketika.

“Lihat, aku menangkapmu dengan sempurna, kan? Percaya padaku. Aku tidak akan membiarkanmu terluka sedikitpun.”

Jaehyuk melepaskan dekapannya seraya menurunkan Asahi dari gendongannya.

Asahi kecewa.

Rasanya ingin merasakan dekapan Jaehyuk lebih lama.

'Kau ini berpikir apa, Asahi,' rutuknya dalam hati.

Kajja! Kita lihat bintang di atap rumahku!” ajak Jaehyuk sambil menggenggam tangan Asahi. Menautkan jari-jari keduanya.

Asahi tersenyum kecil. Semburat merah kembali menghiasi pipinya ketika melihat tangannya yang terlihat sangat pas dalam genggaman Jaehyuk.

Jaehyuk sahabatnya, kan? Atau lebih dari itu?

Apapun itu tidaklah penting. Asalkan Jaehyuk selalu berada di sisinya. Berharap persahabatannya tidak pernah berubah. Boleh, kan berharap seperti itu?

••

Kedua anak laki-laki berusia 10 tahun membaringkan tubuh mereka di lantai berbahan dasar semen. Memandang langit malam bertabur bintang dari ruang terbuka yang berada di atap rumah.

“Indah sekali, Jaehyukkie. Asahi sangat menyukainya,” ucap pemuda manis berkulit putih. Matanya tak lepas sedikitpun dari langit malam yang menaunginya. Mengagumi kelap kelip bintang malam itu.

“Kenapa kau sangat menyukai bintang? Selama kita bersahabat, aku belum pernah mengetahui alasan di balik obsesimu pada langit malam dan bintang.”

Asahi tersenyum kecil. Maniknya memandang Jaehyuk yang berbaring sejajar dengannya.

“Kata Appa, orang yang kita sayangi, ketika meninggal akan menjadi bintang. Kata Appa, jika aku merindukan Okaasan, aku bisa memandang langit malam. Melihat bintang yang bersinar paling terang. Di situlah Okaasan berada. Karena itu, aku sangat menyukainya. Langit malam dan bintang. Mungkin itu hanya cerita yang dibuat-buat untuk mengurangi rasa sedihku dulu, tapi aku tetap mempercayainya dalam hatiku.”

Jaehyuk mengangguk mengerti. Asahi kehilangan Ibunya sewaktu di Jepang saat dirinya masih berusia 4 tahun. Ayahnya yang merupakan kelahiran Korea mengajaknya pindah meninggalkan Jepang untuk kembali ke tanah kelahirannya. Berusaha memulai hidup baru. Jaehyuk ingat Asahi pernah menceritakan hal menyedihkan itu. Jaehyuk jugalah yang selalu menenangkan Asahi setiap kali anak laki-laki blasteran Korea-Jepang itu menangis ketika merindukan Ibunya.

“Kau pasti sangat merindukan Ibumu setiap kali kau mengajakku melihat bintang,” ucap Jaehyuk lagi. Kali ini maniknya terarah pada langit malam.

“Aku selalu merindukan Okaasan. Aku terkadang iri denganmu. Kau memiliki orang tua yang lengkap,” lirihnya sendu.

Jaehyuk menghela napas panjang. Ada rasa perih di hatinya ketika mendengar suara lirih itu.

Jaehyuk menarik Asahi ke dalam pelukannya. Erat. Hangat.

“Kau punya diriku. Eomma-ku juga sangat menyayangimu. Anggap saja dia Ibumu juga. Aku rasa Eomma tidak keberatan dengan hal itu,” ucapnya lembut seraya mengelus surai hitam lembut milik anak laki-laki yang lebih mungil darinya—yang kini membenamkan wajahnya di dadanya.

“Jaehyuk akan selalu berada di samping Asahi, kan?” tanyanya dengan suara parau. Seolah mencari keyakinan bahwa Jaehyuk tidak akan pernah pergi dari hidupnya.

“Aku tidak akan kemana-mana. Asahi itu penting bagiku.”

Asahi melepaskan dirinya dari pelukan hangat yang membuatnya nyaman. Menatap dalam manik bening Jaehyuk. Ketulusan terpancar jelas di sana.

“Aku juga tidak akan pergi dari hidup Jaehyuk. Asahi akan selalu bersama Jaehyuk!” serunya dengan nada semangat.

Jaehyuk terkekeh pelan kemudian mengacak lembut surai halusnya—membuatnya sedikit berantakan.

Asahi sungguh menggemaskan.

Manis.

Asahi itu sahabatnya kan? Lalu kenapa hatinya berdesir aneh sekarang? Perasaan yang tak bisa dirinya deskripsikan.

“Kau tahu? Kita memiliki rasi bintang yang sama,” kata Asahi tiba-tiba sambil kembali memandang langit malam. Senyum terukir di bibir tipisnya. Menampakkan lesung pipit di kedua pipinya.

Pertanyaan Asahi mau tidak mau membuyarkan pikirannya.

“Rasi bintang?”

“Kita memiliki rasi bintang yang sama. Leo.”

“Begitukah? Aku tidak pernah tahu.”

“Ada banyak rasi bintang di jagat raya. Salah satunya rasi bintang Leo. Rasi bintang kau dan diriku.”

Jaehyuk mengangguk kecil. Otaknya menangkap informasi baru yang baru saja didengarnya.

Leo.

Rasi bintang dirinya dan Asahi.

Hening mengisi ruang di antara keduanya. Berkutat dengan pikirannya masing-masing. Menikmati keindahan langit malam penuh gemerlap bintang.

Jaehyuk menggerakkan tangannya. Sejurus kemudian menggenggam tangan yang lebih kecil darinya. Jari-jarinya saling bertaut.

Erat.

Tak ingin melepaskan.

Jaehyuk tidak akan pernah membiarkan 'tautan' hidupnya dengan Asahi terlepas.

Layaknya sebuah konstelasi yang terdiri dari sekelompok bintang yang saling berhubungan membentuk suatu pola.

Selalu bersama.

-☆☆-

•Seoul 2020•

Asahi duduk di sudut kelasnya ketika pemuda tampan dengan tubuh tinggi tegap menghampirinya. Asahi meliriknya sekilas.

“Kau tidak bermain dengan teman-temanmu?” tanya Asahi. Matanya masih berkutat pada buku di tangannya.

“Tidak. Aku ingin menemanimu di sini,” jawab Jaehyuk dengan senyum tersungging di bibirnya.

“JAEHYUK-AH! KE CAFETARIA TIDAK?” teriak salah satu temannya dari ujung kelas.

Jaehyuk menggelengkan kepalanya—memberi isyarat agar teman-temannya pergi tanpa dirinya.

“Kenapa tidak ikut?” tanya Asahi heran.

“Sudah kubilang aku ingin menemanimu.”

Asahi menghela napas kasar kemudian menutup bukunya. Fokusnya terarah sepenuhnya pada pemuda yang duduk di sampingnya.

“Jaehyuk-ah, kau juga berhak menghabiskan waktu dengan teman-teman barumu. Aku tidak apa-apa.”

“Kau selalu berkata seperti itu. Nyatanya aku memang ingin menghabiskan waktu bersamamu. Mereka memang teman-temanku, tapi kau yang terpenting.”

Rona merah menghiasi pipi putihnya mendengar perkataan Jaehyuk.

Berkali-kali Jaehyuk mengatakan Asahi yang terpenting dan berkali-kali itu juga jantungnya berdetak puluhan kali lebih cepat.

Jaehyuk tertawa pelan melihat semburat merah muda yang tergambar jelas di kedua pipi pemuda manis yang semakin hari semakin menyiksa hatinya.

“Kau belum makan siang, kan? Mau ke cafetaria kampus denganku?”

“Kau tahu aku tidak suka keramaian, Jaehyuk-ah.”

“Iya iya aku mengerti. Kau tunggu di sini aku yang akan ke cafetaria untuk membeli makan siang. Seperti biasa, kan?”

Asahi mengangguk semangat dengan senyum manisnya.

Ya Tuhan Yoon Jaehyuk hampir gila melihat senyum manis itu. Senyum manis yang membuat jantungnya berdebar tak karuan.

'Asahi hanya sahabatnya kan?' gumamnya dalam hati.

Bodoh.

Sahabat tidak membuat hatimu tersiksa dan jantungmu berdetak kencang tak karuan. Kecuali jika rasa cinta terlibat di dalamnya.

Sejauh apapun menghindar, Jaehyuk perlahan mengerti perasaan apa yang terus tumbuh di dalam hatinya.

Jaehyuk menghembuskan napasnya. Berusaha menetralkan debaran jantungnya.

“Ah Sahi-ya! Aku lupa memberitahumu. Hari ini aku ada rapat untuk acara seminar jurusan kita. Kau pulang sendiri untuk hari ini saja tidak apa-apa, kan?”

“Aku ini bukan anak bayi, Jaehyuk-ah. Aku punya sepasang kaki untuk berjalan,” dengus Asahi kesal.

Jaehyuk tersenyum lebar. Menampakkan barisan gigi rapinya.

“Kita bertemu di tempat biasa nanti malam, ya. Di atap rumahku melihat bintang. Kesukaanmu.”

Asahi hanya mengangguk kecil. Dalam hati bersorak girang. Menghabiskan waktu dengan Jaehyuk adalah salah satu hal paling menyenangkan dalam hidupnya.

Asahi tidak pandai berkata tapi setiap waktu yang ia habiskan dengan pemuda asli Korea itu selalu berharga.

“Baiklah. Aku akan membeli makanan sekarang. Kau tunggu di sini,” ucap Jaehyuk seraya pergi meninggalkan kelas.

Asahi menatap punggung tegapnya yang menjauh. Perlahan menyentuh dadanya yang berdegup kencang.

Dirinya tidak pandai mengungkapkan sesuatu tapi Asahi mengerti perasaan apa yang merayap perlahan di hatinya. Asahi mengerti desiran dan debaran jantungnya. Bukan hanya karena rasa saling nyaman antar dua orang sahabat.

Tidak.

Lebih dari itu.

Asahi menghela napas panjang. Entah bagaimana mengungkapkannya. Tapi yang jelas perasaan ini menyiksa. Keraguan kerap datang merasuki hatinya. Takut persahabatan yang selama ini terjalin rusak begitu saja hanya karena perasaan cinta.

Asahi menggelengkan kepalanya cepat. Berusaha membuyarkan pikiran yang menari-nari di otaknya. Asahi membuka bukunya lagi. Berharap dengan membaca dapat mengalihkan pikirannya. Berusaha kembali ke dunianya yang tenang.

Jaehyuk dan Asahi bagaikan dua sisi koin. Asahi dengan dunianya yang tenang dan Jaehyuk dengan dunianya yang penuh riuh ramai dan gelak tawa.

Berbeda namun keduanya tidak pernah bisa dilepaskan. Layaknya kutub magnet utara dan selatan—berbeda tapi saling menarik satu sama lain.

-☆☆-

Jaehyuk menunggu dengan gusar. Kakinya melangkah bolak-balik—ke kanan dan ke kiri. Maniknya melihat layar ponselnya. Jam 8 malam. Biasanya Asahi sudah berada di tempat mereka biasa bertemu—di atap rumahnya.

Indra pendengarannya menangkap suara derap langkah kaki.

'Itu pasti Asahi!' katanya dalam hati.

Jaehyuk menarik dalam napasnya kemudian membuangnya perlahan. Tangan kirinya memegang dadanya. Jantungnya berdetak cepat.

“Maaf, aku terlambat. Tadi membantu Appa—..”

Ucapannya terhenti begitu saja tatkala maniknya melihat pemandangan yang terpampang jelas di hadapannya. Dirinya dibuat terpana melihat ruang terbuka di depannya dipenuhi cahaya lampu kecil sekarang. Kedua tangannya menutup mulutnya. Seingatnya kemarin tempat ini tidak dihias dengan lampu-lampu kecil seperti saat ini.

Maniknya menemukan sosok sahabatnya berdiri di tengah sana dengan sebuket mawar merah dalam genggaman. Asahi berusaha memproses apa yang terjadi sekarang dalam pikirannya namun tetap tidak menemukan jawaban.

Asahi melangkahkan kakinya mendekat ke arah pemuda tampan itu.

“A-apa ini, Jaehyuk-ah? Kau yang menyiapkan semua ini? Tapi untuk apa?”

Jaehyuk tersenyum lembut. Matanya menatap tajam manik bening milik Asahi yang kini berdiri dekat dengannya.

“Kau bertanya untuk apa? Untuk semua rasa yang aku pendam selama ini. Untuk semua rasa yang berusaha aku hindari. Aku menyukaimu, Hamada Asahi. Bukan rasa suka atau nyaman antara sahabat. Jelas bukan itu. Aku mencintaimu. Mungkin itu kata yang lebih tepat,” katanya lembut seraya mengulurkan sebuket bunga mawar merah yang terlihat indah.

Asahi menatap Jaehyuk tak percaya. Bukankah tadi di sekolah keduanya masih biasa saja? Seperti dua orang bodoh yang berpura-pura mematikan rasa. Tapi, apa yang terjadi kini?

Asahi menatap buket bunga mawar yang terulur di hadapannya, menerimanya dan menghirup wangi semerbak yang memanjakan indra penciumannya.

“Kau tahu aku tidak pandai berkata apalagi perihal mengungkapkan perasaan. Aku payah dalam hal itu. Tapi, berusaha menghindar juga percuma. Aku bukan terlambat mengerti. Nyatanya aku menyadari sejak kita kanak-kanak dulu. Jantungku selalu berdegup lebih kencang ketika kau berada di dekatku, memelukku atau menggenggam tanganku. Rasa suka itu terus bertumbuh setiap harinya sampai rasanya sangat menyiksa. Aku juga mencintaimu, Yoon Jaehyuk.”

Perasaan lega melingkupi hati Jaehyuk. Lega karena mengungkapkan semua rasa terpendamnya. Lega karena Asahi memiliki perasaan yang sama.

Jaehyuk meraih dagu pemuda manis yang mulai hari ini menjadi kekasih hidupnya. Perlahan semakin mempersempit jarak di antara keduanya kemudian mengecup bibir merah tipis yang terasa manis di bibirnya.

Ciuman pertama mereka.

Lembut tanpa nafsu.

Tautan bibir keduanya terlepas. Jaehyuk menatap dalam manik bening Asahi yang terlihat semakin indah di bawah gemerlap bintang malam ini. Tangannya menggengam jari-jari Asahi. Meremasnya lembut.

“Banyak hal baik dalam hidup namun kau adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi. Eksistensimu di hidupku merupakan bagian terbaik yang Tuhan berikan padaku. Dulu aku pernah berkata aku tidak akan kemana-mana. Selalu berada di sampingmu dan menjadikanmu penting. Setidaknya, malam ini aku membuktikan padamu tidak ada sepatah katapun yang kuingkari kala itu. Katamu kita memiliki rasi bintang yang sama? Rasi bintang tidak akan terbentuk tanpa kumpulan bintang yang saling bertautan. Tidak akan ada keindahan yang tercipta ketika kumpulan bintang itu terpisah. Sama seperti diriku. Hidup Yoon Jaehyuk tidak akan menjadi indah tanpa Hamada Asahi. Ketika kau berada di dalamnya, ketika hati kita bertaut, di situlah semua menjadi sempurna.”

Kata-kata itu begitu indah. Tidak hanya sekedar indah namun tulus tersampaikan. Bukan hanya ucapan manis agar terdengar indah di telinga.

“Kau membuktikannya dengan sangat nyata, Jaehyuk-ah. Bukan hanya ucapan semata melainkan lewat tindakan nyata. Sekalipun kau tak pernah pergi. Bahkan ketika diriku terlalu larut dalam dunia tenangku di kala kau bisa saja melupakanku dan bermain dengan teman-temanmu yang jauh lebih menyenangkan dariku. Tapi kau tidak pernah pergi. Selalu menjadikanku penting. Terima kasih, Jaehyuk-ah. Aku benar-benar mencintaimu.”

Asahi menangkup wajah Jaehyuk kemudian mencium lama bibir penuhnya. Berusaha menyalurkan semua perasaan cinta yang ia punya.

Malam itu, di bawah ratusan atau bahkan jutaan gemerlap bintang, cerita baru digoreskan. Belum tentu berjalan sempurna tanpa rintangan, tapi ketika keduanya tidak saling melepaskan, tidak akan ada yang kehilangan.

-End.

Notes:

Okaasan : mother in Japanese.

Title: New York I'm in Love {SongFic!AU}

Pairing: Jaehyuk/Asahi

Song : Lauv – I like me better

⚠️contain smoking and drinking scene⚠️

•New York, 2019•

Seorang pemuda tampan dengan surai hitam yang sedikit acak-acakan menghisap dalam sebatang rokok yang terselip di belah bibir penuhnya. Dahinya berkerut membaca beberapa kertas naskah yang berada di genggamannya. Sesekali membuang asap nikotin yang berasal dari rokoknya kemudian menghisapnya lagi. Pemuda dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya itu membuang sembarang naskah yang dibacanya ke atas meja kerjanya.

Jengah.

Sudah seharian ia membaca ratusan kertas naskah. Matanya juga berfokus pada deretan nama calon aktor dan aktris yang terpampang di samping mejanya. Menimang-nimang sebentar siapa yang cocok memainkan peran untuk film baru yang akan digarapnya. Otaknya terasa penat sekarang. Ia membuang puntung rokoknya kemudian menyesap kopi hitam yang terasa pahit di lidahnya.

“Jaehyuk-ah,” panggil seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan kerjanya.

“Oh Jihoon Hyung. Apa yang kau lakukan di sini?”

Jihoon hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat pemuda yang 1 tahun lebih muda darinya.

“Kau bisa cepat mati jika terus menerus seperti ini. Rokok dan kopi hitam. Hanya itu makananmu setiap hari.”

Jaehyuk terkekeh pelan.

“Tuntutan pekerjaan. Aku ingin film baruku sukses besar. Kenapa kau belum pulang, Hyung? Apa masih ada naskah yang belum selesai?”

“Kau dan ambisimu, Yoon Jaehyuk. Tapi, jangan sampai ambisimu membunuhmu. Carilah kekasih yang bisa merawatmu. Sebentar lagi aku mau pulang. Kau juga pulanglah. Masih ada hari esok,” ucap Jihoon seraya menepuk pelan pundak Jaehyuk.

“Aku tidak perlu kekasih.”

Jihoon menghela napas panjang.

“Bukan tidak perlu, kau hanya takut untuk memulai kembali. Percaya padaku, mencari kekasih baru tidak semenakutkan itu. Jangan siksa dirimu seperti ini.”

Jaehyuk hanya diam.

“Entahlah. Karirku menjadi fokusku sekarang. Pulanglah, sudah larut malam. Aku akan pulang sebentar lagi.”

“Ingat, Jaehyuk-ah. Tidak ada salahnya mencari kekasih baru. Ini sudah hampir 3 tahun sejak kepergiannya. Aku rasa kau harus melanjutkan hidupmu,” ucapnya seraya menepuk pundak Jaehyuk kemudian melenggang pergi.

Jaehyuk bergeming di tempatnya. Maniknya memandang sebingkai foto seorang pemuda manis bersurai pirang yang sedang memeluknya erat.

Tiga tahun belum cukup menghapus rasa kehilangannya.

Jaehyuk menghela napasnya kasar kemudian melepas kacamatanya. Sejurus kemudian mengambil tasnya kemudian meninggalkan ruang kerjanya yang dibiarkan gelap.

••

Dentuman musik menggema di sebuah klub malam terkenal di Kota New York. Seorang Disc Jockey atau yang biasa disingkat dengan istilah DJ berwajah manis sekaligus tampan dengan kulit putih pucat sedang berkutat dengan turntable di hadapannya juga headphone yang terpasang di kedua telinganya. Ratusan orang melenggak-lenggokan tubuhnya di dance floor. Sesekali sang DJ melempar senyum manis sambil mengangkat tangannya di udara— berusaha menaikkan hype para penikmat malam.

Pemuda tampan dengan jaket kulit hitam menghampiri meja bar dan memesan segelas bir. Sesekali menatap ke arah DJ yang sedang melantunkan musik keras yang membuat pengunjung klub bersorak senang.

“Hm tidak buruk juga permainan musiknya,” gumamnya pelan.

“Dia baru beberapa minggu menjadi DJ di sini. Orang-orang menggilainya karena permainan lagunya,” sambar salah seorang bartender yang rupanya mendengar ucapan pemuda tadi.

Pemuda tampan itu hanya menyunggingkan senyum kecil kemudian kembali menyesap bir di tangannya.

Segelas..Dua gelas..

“Kemampuan minummu hebat juga,” kata seseorang yang kini duduk di sampingnya.

“Ah! Ini bukan apa-apa. Aku masih bisa menghabiskan banyak gelas lagi,” ujarnya seraya menatap gelas kelimanya.

“Aku Hamada Asahi. Kau?” ujarnya santai sambil menjulurkan tangan kanannya.

“Yoon Jaehyuk. Ah kau DJ yang tadi kan? Sudah selesai dengan pekerjaanmu?”

Asahi mengangguk kecil.

“Aku menikmati lagu-lagumu tadi. Kau tidak minum?”

Asahi tersenyum kecil kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

“Aku payah untuk urusan alkohol. Aku tidak mau pulang dalam keadaan mabuk malam ini.”

Jaehyuk terkekeh. Sejurus kemudian merogoh sebungkus rokok dari kantung celananya, mengeluarkan sebatang rokok dari sana dan menyalakannya.

“Merokok tidak bagus untuk kesehatan.”

Tangan Asahi terulur kemudian melepaskan rokok dari belah bibir Jaehyuk lalu membuangnya.

Mata Jaehyuk membelalak tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan pemuda yang baru saja dikenalnya selama beberapa menit. Namun Jaehyuk bergeming, tidak dapat mengatakan apa-apa seolah terhipnotis tatkala senyum manis dengan kedua lesung pipit merekah di bibir ranum lawan bicaranya.

“Ayahku meninggal karena kanker paru-paru. Terlalu banyak merokok ketika muda. Aku harap itu tidak terjadi padamu.”

Jaehyuk mendengus.

“Tapi kau bekerja di klub malam, Asahi. Kau juga menjadi perokok pasif. Sama saja.”

Asahi mengangkat bahunya.

“Tuntutan pekerjaan tapi setidaknya aku tidak menyentuh rokok.”

Lagi, Jaehyuk terkekeh pelan. Bagaimanapun sama saja. Pemuda ini menghirup asap rokok secara tak langsung setiap harinya.

“Kau ada acara setelah ini?” tanya Asahi pelan setengah berbisik.

“Tidak ada. Kenapa?”

“Mau ke apartemenku?”

Manik Jaehyuk membulat. Pemuda ini benar-benar gila, bukan? Baru saja mengenal dirinya namun dengan beraninya mengajaknya ke apartemen.

“Kau berani sekali. Apa kau tidak takut aku ini orang jahat?”

“Kau kira aku bodoh? Kau Yoon Jaehyuk. Sutradara film yang sedang naik daun. Aku penggemar film-film buatanmu. Jalan ceritanya tidak biasa dan sinematografinya bagus.”

Jaehyuk tersentak. Pemuda ini tahu tentang dirinya bahkan ternyata sering menonton hasil karyanya.

“Haha kau sampai bengong begitu. Aku DJ di malam hari tapi aku ini lulusan seni. Aku bekerja di bagian desain untuk poster film. Jadi bagaimana? Mau ke apartemenku? Kau bisa lihat beberapa hasil desain poster filmku. Mungkin saja kau tertarik untuk bekerja sama denganku untuk film-mu berikutnya. Kau pernah dengar mengenai Hi-kun?” tanyanya setelah menjelaskan panjang lebar.

Jaehyuk mengangguk. Tidak mungkin tidak ada yang tahu siapa Hi-kun. Namanya terkenal untuk mendesain beberapa poster film ternama.

“Itu aku. Hamada Asahi. Aku orang Jepang, keluargaku memanggilku Hi-kun.”

Entah sudah berapa kali manik Jaehyuk membulat hari ini. Terkejut dengan kejadian yang dialaminya. Kebetulan? Katanya tidak ada yang benar-benar kebetulan. Jadi apakah yang dialaminya sekarang? Takdir? Bolehkah menganggapnya seperti itu?

“Lihat, kau terkejut lagi. Pasti kau tidak percaya bukan? Ayo ke apartemenku, kau bisa lihat hasil-hasil karyaku.”

Satu kata setuju dari Jaehyuk di malam menjelang pagi itu mengubah segalanya. Dirinya tidak pernah tahu rasa kosong dan kehilangan yang mengendap di hatinya selama 3 tahun akan tergantikan dengan hal-hal baik di luar dugaannya. Merubah hidupnya.

••

To be young and in love in New York City

To not know who I am but still know that I'm good long as you're here with me

Musim dingin berganti menjadi musim semi. Sudah hampir 6 bulan keduanya mengenal satu sama lain. Jaehyuk memandangi wajah manis Asahi yang terlelap di sampingnya—bersandar pada dada bidangnya. Tangannya menyibakkan surai coklat keemasan yang menutup dahi kekasihnya kemudian mengecupnya singkat.

Tidurnya terusik. Kelopaknya mengerjap perlahan. Sedetik kemudian sepasang manik kecoklatan bening nan indah beradu tatap dengan manik hitam miliknya.

“Sudah bangun?”

Asahi mengangguk pelan.

Morning kiss?” ucap Asahi seraya menggodanya.

Jaehyuk mendekatkan wajah keduanya kemudian menautkan bibirnya. Mengecupnya lama. Melumatnya dalam.

My cute naughty boy,” goda Jaehyuk.

Well, you like it tho,” balas Asahi. Tangannya melingkar di pinggang Jaehyuk—membenamkan wajahnya pada dada bidang Jaehyuk. Dekapan Jaehyuk selalu terasa hangat.

“Aku tidak pernah mengira aku bisa merasakan cinta lagi. Aku sengaja pindah dari Boston ke New York tiga tahun yang lalu tanpa pernah menyangka akan jatuh cinta di kota indah ini. Aku tidak pernah menyangka setelah 3 tahun aku terpuruk sendiri setelah kepergian mantan kekasihku, kita dipertemukan untuk bisa merasakan perasaan indah bernama cinta yang jujur sudah ingin aku buang-buang jauh dari hidupku. You changed my whole life, Hamada Asahi.”

Tangan Jaehyuk mengelus lembut surai kecoklatan Asahi. Matanya menerawang mengingat pertemuan keduanya di klub malam enam bulan lalu. Lucu dan terkesan cepat namun harus dirinya akui Asahi merubah sisi hidupnya. Jaehyuk mulai mengurangi konsumsi kopi dan berusaha untuk berhenti merokok.

“Kita memang dipertemukan agar kita bisa membuka hati kita masing-masing. Aku tidak pernah peduli tentang cinta. Aku bahkan tidak peduli jika aku harus hidup sendiri seumur hidupku. Tapi entah apa yang merasukiku malam itu untuk membuka pembicaraan denganmu. Seorang Yoon Jaehyuk, sutradara ternama duduk di sampingku malam itu. Hal yang tidak pernah aku bayangkan. Kau itu seperti magnet, Yoon Jaehyuk.”

Asahi memberi jarak di antara keduanya. Menatap manik hitam Jaehyuk yang selalu memandangnya dengan lembut. Asahi selalu hanyut oleh tatapan itu. Asahi Asahi mengangkat sedikit kepalanya kemudian mencium bibir penuh Jaehyuk. Bibir yang selalu menjadi candu baginya.

I love you so much, Hi-kun. If there's one thing I know for sure, it's that we were meant to be together.”

Asahi terkekeh pelan. Jaehyuk dan kata-kata manisnya. Terkesan seperti hanya rayuan belaka tapi Asahi tahu Jaehyuk tulus mengatakannya.

“Jaehyuk, dengarkan aku. What I have with you right now, I don't want with anyone else.”

Senyum terulas di bibir Jaehyuk. Asahi adalah bahagianya.

••

To be drunk and in love in New York City

Midnight into morning coffee

Burning through the hours talking

Asahi menatap punggung Jaehyuk yang membelakanginya. Pemuda tampan itu sedang menatap ke arah luar jendela. Helaan napas kasar terdengar beberapa kali dari mulutnya.

Asahi mendekat perlahan kemudian meremas pundak Jaehyuk. Ia tahu Jaehyuk akan selalu begini ketika sedang stress.

Are you okay?” tanya Asahi hati-hati. Memposisikan dirinya di sebelah Jaehyuk.

“Aku stress dengan pekerjaanku. Sepertinya atasan di rumah produksi tidak begitu puas dengan hasil kerjaku belakangan,” jawabnya seraya meletakkan kepalanya pada pundak Asahi.

Nyaman.

Setengah dari rasa tertekannya menguap seketika.

“Wine? Aku rasa sedikit minum akan membuatmu lebih rileks.”

Jaehyuk tertawa pelan. Asahi paling tahu dirinya.

“Aku berusaha mengurangi alkohol namun kau yang sekarang menawariku minuman beralkohol.”

“Aku rasa tidak apa untuk kali ini. Kita bisa minum wine bersama. Kau bisa mencurahkan semua isi hatimu. Ketika mabuk, kau akan lebih jujur akan apa yang kau rasakan. Aku tidak ingin kau banyak memendam. Itu kebiasaan burukmu,” dengus Asahi sedikit kesal.

“Kau bahkan menyuruhku mabuk. Ini tidak seperti Asahi yang aku kenal.”

“Jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik, aku rasa tidak apa. Untuk malam ini saja.”

Jaehyuk menatap lembut pemuda yang sangat ia cintai ini. Mengacak surai kecoklatannya.

“Baiklah. Let's have wine night,” ucap Jaehyuk kemudian mengecup singkat kening Asahi. Mengundang senyum yang merekah di bibir tipisnya.

Sebotol wine dan dua gelas Bordeaux menjadi teman keduanya melewati malam.

“Apa yang membuatmu memilih menjadi sutradara?” tanya Asahi sambil memainkan gelas wine di tangannya.

“Hasil sebuah film juga ditentukan oleh sutradaranya. Kau bisa memiliki skenario yang bagus, pemeran terkenal, kru yang hebat, tapi jika sutradara tidak melakukan tugasnya dengan baik, semua itu menjadi sia-sia. Banyak orang yang bisa berubah hidupnya karena sebuah film. Kisah yang menyentuh, pesan moral yang indah. Hal itu bisa merubah hidup seseorang. Jadi, aku mau melakukannya dengan baik.”

Asahi tersenyum memandang Jaehyuk yang begitu semangat ketika menyangkut pekerjaannya. Betapa pemuda asli Korea itu mencintai pekerjaanya.

“Kau dengar, Jaehyuk? Dengar apa yang kau katakan tadi? Kau begitu mencintai profesimu. Kau melakukannya dengan sepenuh hati. Jadi, jangan menyerah eum? Jangan terlalu tertekan. Aku yakin kau bisa melewatinya.”

Hati Jaehyuk menghangat. Asahi selalu tahu bagaimana menenangkan dirinya. Memberinya dukungan dan semangat. Hanya dari satu pertanyaan dan satu jawaban namun mampu membuat Jaehyuk tenang.

“Kau benar-benar luar biasa, Asahi.”

“Hm kenapa?”

Kening Asahi berkerut. Tidak mengerti mengapa Jaehyuk menganggapnya luar biasa.

“Kau tidak menyadarinya tapi hanya dari hal kecil—satu pertanyaan sederhana—tapi mampu membuatku menyadari betapa aku sangat menyukai pekerjaanku. Betapa diriku tidak boleh menyerah begitu saja meski terkadang situasi menjadi sulit. Karena itu, kau luar biasa.”

Manik bening Asahi berkaca-kaca. Kristal bening siap jatuh dari sepasang mata indahnya.

Jaehyuk mendekat kemudian membawa Asahi ke dalam pelukannya. Membiarkan gelas wine miliknya tergeletak begitu saja di lantai.

“Jangan menangis. Kau terlihat semakin menggemaskan jika menangis,” kata Jaehyuk berusaha membuat Asahi tertawa. Mengelus punggung sempit pemuda mungil di dalam dekapannya.

Asahi mencubit lengan Jaehyuk. Kesal tapi mau tak mau ikut tertawa kecil mendengar perkataan Jaehyuk.

“Sudah berhenti menangis. Kau yang bilang kita minum wine bersama sampai mabuk.”

Jaehyuk melepaskan pelukannya kemudian merengkuh pundak kurus Asahi—membawa kepalanya bersandar pada bahunya. Menghirup wangi rambut Asahi yang menjadi favoritnya.

Keduanya menikmati pemandangan lampu kota dari jendela. Sesekali menyesap wine yang berada di genggaman. Senandung lagu jazz classic mengalun memenuhi ruangan.

What a beautiful night.

••

Waktu bergulir cepat. Satu tahun tanpa terasa terlewati. Jaehyuk memandang piala penghargaan yang terpampang di lemari pajangan. Penghargaan sutradara terbaik berhasil diraihnya semalam dalam acara penghargaan untuk insan perfilman yang cukup bergengsi di Amerika. Kerja kerasnya tidak sia-sia.

Sepasang tangan melingkar—memeluknya dari belakang. Asahi menyandarkan kepalanya di punggungnya.

“Kau tahu? Aku bangga padamu. Kerja keras tidak pernah mengkhianati hasil, Jaehyuk. Aku benar-benar bangga padamu.”

Asahi berjinjit sedikit kemudian mengecup singkat pipi Jaehyuk. Jaehyuk membalikkan tubuhnya. Kali ini fokusnya terarah sepenuhnya pada pemuda Jepang yang berdiri di hadapannya.

“Kau benar kerja keras tidak mengkhianati hasil, tapi jika tanpa dirimu, jika tanpa dukungan dan semangat darimu, aku tidak akan berada di titik ini. Kau adalah orang yang tersenyum paling lebar ketika aku berbahagia tapi kau juga yang menangis paling keras ketika aku bersedih. Jika tidak ada Asahi, mungkin Yoon Jaehyuk bisa tetap meraih penghargaan ini tapi menjadi manusia kesepian yang tidak mau membuka hati lagi untuk cinta. Kau membuat hidupku lengkap. Aku sangat mencintaimu, Asahi.”

Asahi merasakan matanya memanas. Dalam hati merutuk mengapa dirinya begitu sentimentil jika sudah mendengar kata-kata Jaehyuk yang menyentuh.

“Kau juga melengkapi hidupku, Jaehyuk. Aku menyukai diriku dan hidupku ketika kau berada di dalamnya. I love you so damn much, Yoon Jaehyuk.”

Jaehyuk menangkup wajah Asahi. Mencium bibir manis itu dalam. Melumatnya hingga keduanya kehabisan napas.

Dua anak manusia saling menemukan. Saling jatuh cinta. New York adalah kota yang besar dan bagaimana goresan takdir bisa mempertemukan keduanya di tengah belasan juta manusia merupakan suatu keajaiban.

Damn, I like me better when I'm with you

I like me better when I'm with you

I knew from the first time, I'd stay for a long time 'cause

I like me better when

I like me better when I'm with you

-end.

Title: If Only

Pairing: Jaehyuk/Asahi

-notes- italic: flashback

Sejauh mana dirimu mau memperjuangkan cinta? Ketika cacian dan hinaan terus menghujam tanpa henti. Melanggar norma katanya. Membuat malu keluarga. Sejauh mana dirimu memiliki keberanian untuk terus bertahan?

Berjalan beriringan lalu bertemu persimpangan. Yang satu ke kanan sedangkan yang lainnya ke kiri. Tautan tangan terlepas—berjalan menjauh meski langkah kaki terasa berat. Lidah kelu mengucap kata perpisahan, tapi takdir bermain kejam.

Berjuang? Tapi lelah.

Melepaskan? Tapi tak rela.

Yang tersisa hanya kata 'seandainya'.

••

Hujan mengguyur deras sore itu. Awan kelabu menaungi langit. Dua anak manusia menekuk lututnya di depan jendela—meratapi butiran air yang tumpah dari langit.

“Apa tidak bisa aku melakukan sesuatu agar kau tidak pergi?” tanya pemuda bersurai hitam dengan mata yang memandang sayu pada pemuda yang duduk berhadapan dengannya.

Hening.

Si lawan bicara masih bergeming—meratapi titik-titik hujan yang menutupi kaca jendela kamarnya.

“Sampai kapan kau akan diam, Sahi-ya?”

Asahi menghela napasnya kasar.

“Kau tahu aku harus pergi. Tidak ada pilihan lain, Jaehyuk-ah,” jawabnya dengan suara parau.

Jaehyuk mempersempit jarak di antara keduanya—menyentuh sisi wajah Asahi memaksa pemuda itu beradu tatap dengannya.

“Kau mau menyerah begitu saja?” tanya Jaehyuk lirih. Tatapannya sendu.

Asahi menatap lama pemuda tampan dengan surai hitam yang menatapnya seperti memohon.

“Sudah berapa lama kita berjuang? Apa kau tidak lelah?”

“Tapi aku mencintaimu. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.”

“Jaehyuk-ah, kau tahu sampai kapanpun hubungan ini akan selalu diisi dengan kata tidak. Tidak mungkin. Tidak disetujui. Mau sampai kapan kau menghabiskan waktumu?”

“Sahi-ya, aku tak peduli harus berjuang berapa lama, asalkan kita bisa terus bersama,” ucap Jaehyuk memelas. Tangannya menggenggam erat tangan Asahi yang lebih mungil darinya.

“Jaehyuk! Sampai kapanpun itu tidak akan mungkin! Kau tahu itu!”

Suara Asahi meninggi. Rasa frustasi terdengar jelas di sana.

“Tapi kita pernah berjanji untuk berjuang bersama, Asahi!”

“Lalu aku harus bagaimana?! Kau kira aku tak sakit melihat Ayah memukulimu kemarin? Kau kira aku tak terluka ketika mendengar Ayahku mencacimu—menghinamu bahwa kau adalah pemuda tak bermoral karena beraninya jatuh cinta pada sesama lelaki?! Hatiku sakit, Jaehyuk-ah,” teriaknya frustasi. Rasa sakit, frustasi dan lelah menjadi satu. Dadanya sesak. Pandangannya menjadi buram tatkala air mata menggenang di kedua pelupuk matanya.

Jaehyuk menarik Asahi yang sudah terisak ke dalam pelukannya—mengelus punggung sempit yang tampak rapuh sekarang.

“Ta-tapi, aku tak bisa kehilanganmu, Sahi-ya. Aku tidak tahu bagaimana cara aku hidup.”

Asahi melingkarkan lengannya pada pinggang Jaehyuk. Memeluknya erat.

“Ayah akan menyakitimu jika kau terus bersamaku. Aku tidak mau melihat itu lagi. Jadi, lepaskan aku, Jaehyuk-ah. Kau berhak bahagia tapi bukan denganku,” isak Asahi sambil meremas kaus yang dikenakan Jaehyuk.

Sakit.

Seperti ada pisau yang merobek hatinya.

Tapi kenyataan berteriak lantang di depannya. Dirinya dan Jaehyuk tidak mungkin bahagia.

Persetan dengan jabatan Ayahnya di pemerintahan. Persetan dengan derajat keluarganya. Persetan dengan norma.

Asahi tidak menginginkan itu semua. Lebih baik menjadi orang biasa dari keluarga sederhana tapi bisa memilih jalan hidupnya dibandingkan dengan derajat tinggi namun menderita.

••

Asahi mengeluarkan barang-barangnya yang luar biasa banyaknya dari koper berukuran besar. Ia baru saja kembali ke Korea setelah 5 tahun menetap di Belanda untuk studinya.

Cih, studi. Nyatanya dirinya hanya dipaksa menghindari sosok itu. Sosok yang masih sangat membekas di otaknya. Sosok yang membuatnya bahagia. Namun, sosok itu juga yang paling dibenci Ayahnya.

Asahi tertawa miris. Lihat dirinya sekarang. Pergi merantau selama 5 tahun lalu kembali ke Korea menjalani hidup sebatang kara. Ayahnya, yang menjadi satu-satunya anggota keluarganya, menghembuskan napas terakhirnya 1 tahun lalu.

Ironis. Saat semuanya pergi, Asahi sendiri. Hidup bagai cangkang kosong. Andai dirinya dulu lebih berani untuk melawan, tidak tunduk pada kenyataan, mungkin Jaehyuk masih di sampingnya. Mungkin senyum dan dekap hangat itu masih miliknya.

Ah, Asahi merindukannya.

Sangat.

Maniknya tertuju pada sebuah bingkai foto di dalam genggamannya. Foto dirinya dan Jaehyuk yang tersenyum lebar. Asahi merindukan pemuda Korea itu.

Setetes kristal bening mengalir dari maniknya. Tangannya mendekap bingkai foto itu di dada.

Rindu.

Perih.

Sakit.

Semua bercampur jadi satu. Membuat sesak rongga dadanya.

••

Asahi merapatkan coat tebal berwarna caramel yang membalut tubuh mungilnya. Tahun ini musim dingin datang sedikit lebih cepat dan dinginnya sampai menusuk tulang.

Asahi menyukainya. Ia sangat suka musim dingin. Ia menyukai ketika butiran salju turun mendarat di telapak tangannya.

Indah.

Asahi berjalan di antara pepohonan yang meranggas digantikan tumpukan salju pada dahannya. Ia teringat Jaehyuk pernah mengajaknya ke tempat ini ketika salju pertama turun.

Indah sekali, Jaehyuk-ah. Lihat salju pertama turun!” seru Asahi girang sambil bertepuk tangan.

“Pulau Nami memang indah ketika salju turun. Aku sengaja mengajakmu ke sini. Kau harus merasakan betapa indahnya pemandangan ini.”

Asahi menatap Jaehyuk lembut kemudian melingkarkan tangannya ada ceruk leher pemuda yang lebih tinggi dirinya. Mendekatkan bibir keduanya seraya mengecupnya singkat.

“Kau harus membawaku ke sini setiap tahunnya ketika salju pertama turun,” kata Asahi.

Jaehyuk memandangi wajah indah nan sempurna yang sangat dekat dengannya. Mengelus pipi putih pucat yang merona sekarang karena dinginnya udara.

“Kapanpun kau mau, aku akan membawamu ke sini.”

Asahi tersenyum miris ketika sepotong kenangan muncul di pikirannya.

Nyatanya dirinya sekarang berjalan sendiri di sini. Tidak ada Jaehyuknya. Dan semua karena dirinya terlalu pengecut. Beribu kata 'andai saja' terus bermain di otaknya—berharap dapat mengulang waktu. Tapi tidak mungkin bukan? Hanya rasa sesal yang tersisa.

Asahi menundukkan kepalnya—buru-buru menghapus air matanya yang tanpa sadar sudah mengalir membasahi pipinya. Ah, rindu sekali. Asahi ingin melihat wajah itu sekali lagi.

“Sahi-ya..benarkah itu kau?”

Asahi terkejut setengah mati. Apa dirinya sedang bermimpi sekarang? Asahi memang ingin bertemu dengan sosok itu tapi apakah mungkin doanya langsung dijawab begitu saja? Suara itu. Suara yang ia sangat rindukan. Suara Jaehyuknya.

Asahi menegakkan kepalanya dan mematung seketika. Pemuda tampan yang selama 5 tahun ini mengisi mimpinya setiap malam berdiri tegap di hadapannya.

“J-jaehyukkie?” panggilnya masih dengan nada tak percaya.

“Iya ini aku, Sahi-ya. Kau sudah kembali ke Korea rupanya,” ucapnya dengan senyum manisnya.

Tanpa aba-aba Asahi menghambur ke dalam pelukan pemuda yang masih dicintainya ini. Mendekapnya erat seakan takut kehilangan lagi.

“Aku rindu padamu, Jaehyuk-ah,” lirihnya pelan.

Jaehyuk mengelus punggungnya singkat.

Aneh.

Pelukan ini tidak sehangat dulu.

Terasa asing.

Bukan yang seperti ini pelukan yang ia rindukan.

Asahi melepas pelukannya seraya menggenggam tangan Jaehyuk kemudian menatap tajam manik bening itu.

“Aku juga merindukanmu, tapi keadaan sudah berbeda, Sahi-ya,” ujarnya.

Asahi menyadari sesuatu. Tangan Jaehyuk yang ia genggam, sebuah cincin melingkar di jari manis pemuda itu.

Kenyataan menghantamnya. Jaehyuknya benar-benar tak tergapai lagi bukan? Jaehyuknya benar-benar pergi.

“Aku sudah menikah, Sahi-ya. Maaf.”

Asahi menggelengkan kepalanya walau matanya terasa panas sekarang.

Ini yang dirinya inginkan bukan? Jaehyuk bahagia meskipun bukan dengan dirinya? Harusnya ia rela bukan ketika mengucapkan kalimat itu 5 tahun lalu? Namun mengapa terasa sakit seperti dicabik seperti ini?

“Siapa orang beruntung itu, Jaehyuk-ah? Siapa yang sudah menggantikanku? A-aku kira kau ke sini k-karena salju pertama-...” ucapnya terbata-bata menahan isakan yang memaksa keluar dari bibirnya.

“Maaf, Sahi-ya. Maaf. Aku hanya berusaha untuk bahagia seperti katamu dulu. Aku berhak bahagia tapi bukan denganmu. Pahit memang tapi aku tahu kau dan aku tidaklah mungkin. Hari ini, aku ke sini untuk mengajaknya melihat salju pertama.”

Hati Asahi mencelos. Bukan dirinya lagi yang ada di hati Jaehyuk. Ia benar-benar sudah terlambat.

“JAE!!” teriak seseorang dari kejauhan membuat Jaehyuk membalikkan tubuhnya.

Jaehyuk tersenyum lembut kemudian menangkap tubuh mungil yang berlari ke arahnya.

“Kenalkan, namanya Taiyou.”

Asahi menatap pemuda manis yang berdiri di depannya. Surainya kecoklatan dengan wajah putih pucat. Berasal dari Jepang sama sepertinya. Bahkan namanya memiliki arti matahari. Asahi seperti melihat gambaran dirinya di pemuda manis ini.

“Kau tunggu di sana sebentar ya. Aku mau berbicara dengan teman lamaku.”

Taiyou mengangguk kecil kemudian mengecup pipi Jaehyuk. Tangannya melambai seakan mengucapkan salam perpisahan pada Asahi.

“Kau tidak pernah berhenti mencintaiku rupanya, Yoon Jaehyuk. Bahkan kau mencari sosok diriku di diri orang lain,” ucapnya miris.

Jaehyuk menatap tajam manik bening yang selalu membuatnya larut.

“Aku hanya bisa mencintaimu. Lalu kau pergi begitu saja di saat seharusnya kita berjuang bersama. Aku tidak bisa memilikimu jadi aku mencari yang lain. Yang hampir serupa denganmu,” jawabnya datar.

Asahi terisak sekarang. Buka ini yang diinginkannya. Bukan kebahagiaan untuk Jaehyuk yang seperti ini yang dirinya mau.

Ini bukan bahagia. Ini hal gila.

“Kau gila, Jaehyuk-ah. Ini bukan bahagia.”

“Tau apa dirimu tentang apa itu bahagia jika dirimu sendiri yang merusaknya?” kata Jaehyuk dengan nada dingin seraya pergi meninggalkan Asahi yang terisak berlutut di tanah.

Satu kalimat namun menjadi pukulan telak bagi Asahi.

Dirinya merusak bahagia Jaehyuk.

Andai dirinya lebih berani.

Andai dirinya mau berjuang.

Andai dirinya bukan pengecut.

Andai dirinya tidak tunduk dan tidak pergi meninggalkan Jaehyuknya.

Penyesalan selalu datang belakangan. Yang tersisa hanya kata 'andai'.

Andai bisa mengubah keputusan.

Andai bisa mengulang waktu.

Andai punya kesempatan untuk memperbaiki.

Andai...

If only. Those must be the two saddest words in the world.

-end-

Title: Color My World

Pairing: Jaehyuk/Asahi

-notes- italic: flashback

Storyline:

“He sees in black and white, Thinks in greys But loves in color”

. . .

Tawa mengejek mengisi ruangan kelas pagi itu. Beberapa siswa laki-laki mengerumuni meja seorang anak laki-laki yang kini menunduk dalam. Beberapa batang krayon warna-warni berserakan di mejanya dengan sebuah kertas gambar di atasnya.

“Kau ini bodoh ya? Mewarnai langit dengan warna merah. Rumput dengan warna jingga,” ejek salah satunya dengan tawa keras.

“Lihat bahkan matahari ia beri warna hijau. Haha apa dia ini tak mengerti warna?” ucap salah seorang lagi sambil mengangkat kertas gambar anak laki-laki yang masih menundukkan kepalanya ke udara—mengundang tawa dari seisi kelas.

Anak laki-laki yang masih berusia kira-kira 8 tahun itu tertunduk tak berani menatap teman sekelasnya yang masih betah mengelilingi mejanya.

Matanya terasa memanas. Ingin rasanya menangis keras tapi ia tidak ingin teman-temannya mengejeknya lebih lagi.

Riuh tawa masih terdengar ketika seorang anak laki-laki sebayanya menarik kertas gambar dari tangan si pengganggu.

“Berhenti. Tidak lucu,” katanya singkat dengan nada dingin.

“Oh oh Yoon Jaehyuk si ketua kelas yang selalu jadi pahlawan kesiangan,” cibirnya.

Anak laki-laki dengan nama Jaehyuk itu hanya diam—tidak menggubris sama sekali ucapan pembuat onar di depannya.

“Jangan pernah ganggu dia lagi. Urus urusanmu sendiri. Hasil gambarnya tak ada urusannya denganmu. Berhenti menjadi seorang penganggu,” ucapnya datar seraya menatap tajam beberapa siswa laki-laki yang sedikit bertubuh lebih besar dibanding dirinya.

Tidak. Jaehyuk tidak takut sama sekali.

Rasa takutnya lenyap jika sudah menyangkut anak laki-laki manis yang ia yakin sudah menangis sekarang meski dengan kepalanya yang tertunduk.

Jaehyuk masih menatap tajam para siswa penganggu yang satu per satu pergi dengan dengusan kesal. Jaehyuk tidak habis pikir. Orang tuanya selalu mengajarkan untuk menyayangi teman-temannya lalu bagaimana bisa anak-anak pengganggu tadi tega mengganggu teman sekelasnya sendiri?

Jaehyuk mengalihkan fokusnya pada anak laki-laki manis yang masih betah menunduk. Pandangannya seketika berubah menjadi lembut.

“Asahi, mereka sudah pergi. Jaehyuk sudah mengusirnya. Jangan menangis lagi, eum?”

Asahi mengangkat kepalanya. Mata dan hidungnya memerah karena menangis daritadi.

Jaehyuk mengelus sayang surai lembutnya. Berusaha menenangkan anak laki-laki manis dengan kulit putih pucat yang selalu ingin ia lindungi.

“Jangan dengarkan mereka, ya. Jaehyuk juga mewarnai langit dengan warna merah dan jingga, kok. Sama seperti punya Asahi ada warna merahnya. Langit itu tak selalu berwarna biru.”

Apa itu merah?

Apa itu jingga bahkan biru?

Asahi tidak tahu.

Jaehyuk masih menatap Asahi yang terdiam. Tangisnya sudah berhenti sekarang. Jaehyuk terkekeh melihat wajah Asahi yang terlihat menggemaskan.

“Asahi tidak perlu takut ya. Kapanpun ada yang mengganggu, Jaehyuk akan selalu melindungi Asahi.”

Asahi memandang Jaehyuk dengan mata bulatnya. Sudut bibirnya terangkat naik. Senyum manis merekah dari bibir tipis merahnya.

Jaehyuknya.

Pahlawannya.

Pelindungnya.

***

Hitam dan putih.

Abu-abu.

Begitulah dunianya.

Dunia Hamada Asahi.

Sejak lahir, hidupnya merupakan sebuah lembaran monokrom. Hitam putih dan abu-abu. Hanya ketiga warna itu yang dirinya tahu.

Apa itu merah?

Apa itu jingga bahkan biru?

Asahi tidak pernah tahu. Teringat akan pelajaran semasa sekolah dasar belasan tahun yang lalu, ketika gurunya mengajarkan tentang pelangi—tentang bagaimana objek langit itu terdiri dari berbagai spektrum warna. Dari merah hingga ungu.

Asahi pernah melihat pelangi dan menuangkannya dalam buku gambarnya. Membentuk setengah lingkaran yang melengkung sempurna di langit. Tapi warna merah hingga ungu, Asahi tidak pernah tahu.

Hanya ada hitam, putih dan abu-abu.

Asahi menangis tersedu—tangannya melingkar sempurna di ceruk leher Jaehyuk yang kini tengah menggendongnya. Bajunya sedikit berantakan dengan noda tanah tercetak jelas di kemeja birunya. Lututnya terluka. Jaehyuk berdiri di ambang pintu dengan wajah khawatir dan panik. Sejurus kemudian melepaskan sepatunya dengan terburu-buru.

“Bibi!!” panggilnya agak keras.

Seorang wanita paruh baya dengan paras cantik berlari tergopoh-gopoh. Rautnya berubah khawatir ketika melihat anak semata wayangnya yang berada di gendongan Jaehyuk menangis kencang dengan lutut yang terluka.

“Astaga apa yang terjadi, Jaehyuk-ah?!” paniknya seraya menghampiri anak laki-laki manisnya.

“Maafkan aku gagal menjaganya,” lirih Jaehyuk sendu.

“Hei jangan begitu, Jaehyuk Sayang. Kita bawa Asahi ke dalam dulu ya lalu kita obati lukanya. Nanti Jaehyuk bisa ceritakan kepada Bibi apa yang terjadi.”

Jaehyuk mengangguk kecil kemudian melepaskan gendongannya—mendudukkan Asahi di sofa ruang keluarga Hamada.

“Ssshh.. sudah jangan menangis terus,” hiburnya sambil mengelus punggung sempit Asahi.

Hatinya sakit melihat Asahi menangis tersedu seperti ini.

Asahi menenggelamkan wajahnya di dada Jaehyuk—membuat kaus yang dikenakan Jaehyuk basah seketika terkena air mata. Asahi meremas kuat kausnya seakan meminta pertolongan dan kekuatan pada sahabat terbaiknya.

“Sssh.. sudah sudah. Jaehyuk sedih melihat Asahi menangis seperti ini. Rasanya Jaehyuk ingin menangis juga.”

“Sakit, Jaehyukkie.”

Jaehyuk memejamkan kedua matanya mendengar suara lirih Asahi. Sakit katanya. Entah sakit karena luka di lututnya atau sakit tak kasat mata yang merayapi hatinya.

Nyonya Hamada kembali dengan sekotak P3K dan sebuah perban.

“Hi-kun, tahan sebentar ya. Kita obati lukanya agar cepat sembuh.”

Asahi melihat Ibunya sekilas—sedetik kemudian kembali meremas lengan baju Jaehyuk ketika rasa perih menjalar di lututnya tatkala kapas dan alkohol menyentuh lukanya.

“Tahan sebentar ya, Asahi. Remas lengan Jaehyuk dengan kuat saja jika tidak tahan dengan sakitnya. Jaehyuk tidak apa-apa,” katanya tulus.

Jaehyuk benar-benar pahlawannya kan? Malaikat pelindungnya.

Manik Nyonya Hamada melembut ketika mendengar kata-kata Jaehyuk. Netranya memandangi anak laki-laki asal Korea yang kini sedang menggenggam erat tangan anak semata wayangnya. Tangannya mengelus surai hitam anaknya berusaha menenangkannya. Bersyukur dalam hatinya Asahi memiliki Jaehyuk. Dirinya berharap kedekatannya keduanya tidak akan berubah.

“Nah sudah selesai. Ibu balut dengan perban dulu.”

Asahi memperhatikan Ibunya yang dengan telaten membalut lukanya. Tangisnya sudah mereda.

Tatapannya beradu dengan Ibunya. Asahi baru sadar raut khawatir dan sedih yang tergambar jelas di wajah Ibunya.

“Hi-kun, mau ceritakan pada Ibu apa yang terjadi?”

Asahi menghela napas. Matanya berair lagi mengingat kejadian buruk yang baru saja menimpanya.

“Mereka terus menggangguku. Mereka berkata Asahi bodoh karena tidak mengenal warna. Katanya Asahi tampak konyol karena mengenakan kaus kaki dengan warna tak senada,” jelasnya dengan nada sendu.

Nyonya Hamada menghela napas kasar. Maniknya berkaca-kaca. Lagi-lagi karena kekurangan anak semata wayangnya.

“Kenapa Asahi berbeda?” lirihnya lagi dengan suara pelan namun terdengar.

“Maafkan Ibu ya tidak menyadari Asahi mengenakan kaus kaki yang berbeda tadi. Jika Ibu sadar, pasti Asahi tidak akan diganggu oleh yang lain.”

Asahi menggeleng cepat. Bukan salah Ibunya. Semua salahnya karena Asahi bodoh. Tidak mengerti warna.

“Bukan salah Ibu. Asahi yang bodoh karena tidak mengenal warna. Kenapa Asahi berbeda?” tanyanya lagi. Lirih. Banyak kesakitan di sana.

Jaehyuk yang memperhatikan pembicaraan keduanya sambil menahan tangisnya. Hatinya berdenyut sakit.

Tidak. Asahi tidak bodoh. Bukan salah Asahi. Mereka saja yang jahat karena terus menghina kekurangan orang lain.

“Asahi bukannya berbeda. Tapi, Asahi itu istimewa,” ucap Jaehyuk tiba-tiba.

Hati Nyonya Hamada menghangat mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Jaehyuk.

“Bagi Jaehyuk, Asahi istimewa. Hanya itu yang perlu Asahi ingat,” katanya lagi dengan tangannya yang merengkuh pundak Asahi.

Achromatopsia. Buta warna total. Langka, hanya menyerang 1 di antara 30,000 bayi di dunia. Dan Asahi salah satunya. Banyak orang mengira Asahi sempurna dengan wajah manisnya, orang tua yang lengkap dengan hidup berkelimpahan. Tampak sempurna di luar namun nyatanya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sulit ketika memiliki kekurangan yang tak kasat mata. Mereka tidak mengerti.

Asahi tidak pernah mengenal warna lain selain hitam, putih dan abu-abu.

Asahi berbeda.

Ah tidak. Asahi istimewa. Begitu kata Jaehyuknya.

Jaehyuk melihat Asahi yang sedang termenung menatap keluar jendela—menatap langit cerah di atas sana. Bibirnya mengerucut tampak serius dengan dunianya.

“Kau sedang memikiran apa?” tanyanya yang seketika membuyarkan lamunan Asahi—membuat lawan bicaranya berjengit. Sedikit kaget rupanya.

“Kau mengangetkanku, Jaehyuk-ah. Tumben kau sudah pulang. Tidak ada kelas tambahan hari ini?”

“Tidak ada. Dosennya tidak datang jadi aku bisa pulang lebih cepat.”

Asahi mengangguk mengerti.

“Kau tidak kuliah hari ini? Biasanya kau ada kuliah siang hari ini.” tanya Jaehyuk yang menyadari Asahi masih berbalut kaus rumahan.

“Tidak ada. Ada pergantian jadwal. Jadi aku harus masuk Sabtu ini. Malas sekali,” keluhnya sambil meregangkan kedua tangannya di udara.

Jaehyuk terkekeh kecil melihat tingkah lucu Asahi, sahabatnya selama bertahun-tahun yang diam-diam ia cintai. Jangan tanyakan sudah berapa kali Jaehyuk memiliki keinginan untuk menyatakannya tapi layaknya pengecut keberaniannya menguap seketika setiap berhadapan dengan Asahi.

Katanya mahasiswa jurusan psikologi, lebih cepat dalam membaca dan memahami perasaan orang lain, tapi jika sudah menyangkut Asahi, ilmu psikologinya tentang perasaan manusia seperti tiada guna. Nyatanya selama bertahun-tahun menghabiskan waktu bersama, bahkan ketika tak ada lagi rasa canggung yang terasa saat keduanya berpelukan, bergandengan atau mengecup kening dan pipi, batas perasaan antara persahabatan dan cinta semakin tak jelas. Tidak terdefinisi bahkan dengan ilmu psikologi sekalipun yang hampir 2 tahun menjadi makanannya setiap hari.

“JAEHYUK! Apa kau mendengar ucapanku tadi? Kau tiba-tiba melamun,” gerutunya kesal merasa terabaikan.

“Ah maaf. Aku sedang berpikir tadi,” katanya gugup merutuki dirinya yang terlihat bodoh sekarang.

“Berpikir apa, sih sampai melamun begitu?” tanya Asahi penasaran seraya mendekat menghampiri Jaehyuk—memandangnya dengan tatapan menyelidik.

“Ah aku hanya memikirkan tugas.”

Bodoh. Alasan yang benar-benar bodoh.

Asahi mencibirnya.

“Memang mahasiswa teladan. Baru juga pulang kuliah sudah memikirkan tugas. Andai aku serajin dirimu ya.”

Jaehyuk hanya tersenyum kecil. Memikiran tugas apanya? Padahal dirinya melamun memikirkan Asahi daritadi.

“Langitnya bagus sekali.”

Jaehyuk menatap keluar jendela. Langit biru cerah dengan awan-awan kecil berarak pelan.

Asahi mengikuti arah pandang Jaehyuk kemudian tersenyum kecut.

“Sebagus apa?” tanyanya dengan tatapan nanar.

Sungguh Jaehyuk ingin memukul kepalanya sekarang ketika menyadari perkataannya tadi membuat wajah Asahi berubah sendu.

Jaehyuk menghela napas kemudian merengkuh pundak kurus Asahi. Mengelus surai hitam itu lembut.

“Langitnya cerah. Awan-awan bergerak perlahan. Burung-burung kecil berterbangan menjelajahi langit. Kau akan merasa tenang ketika menikmatinya. Langitnya berwarna biru muda. Menenangkan seperti warna biru.”

“Andai aku bisa melihat warna birunya. Di pandanganku, hanya ada putih dan hitam. Monokrom,” jawabnya sendu.

Asahi hafal semua kata yang berhubungan dengan warna, bahkan dapat mengatakannya dalam beberapa bahasa. Jepang, Korea dan Inggris. Asahi bisa menyebutkan semua warna dalam ketiga bahasa secara fasih tapi jika ditanya seperti apa rupanya, Asahi tidak pernah dan tidak akan pernah bisa mendeskripsikannya.

Jaehyuk menangkup kedua pipi Asahi—memaksa pemuda manis itu menatapnya.

“Asahi tidak dapat melihat warna biru tapi sekarang Asahi mengerti warna biru seperti apa. Biru memberikan suasana menenangkan. Tidak hanya itu, terkadang biru juga menggambarkan kesedihan.”

Asahi hanyut dalam manik teduh Jaehyuk. Tatapan lembut nan tulus itu membuat hatinya terasa penuh. Rasa sedihnya hilang begitu saja.

Lengkungan manis terulas di bibir tipisnya. Sejurus kemudian mempersempit jarak di antara keduanya, sedikit berjinjit kemudian mengecup kening Jaehyuk.

“Berarti kau berwarna biru karena Jaehyuk selalu menenangkan.”

Jaehyuk tersenyum lembut kemudian mengacak surai sahabat yang selalu ingin dimilikinya. Merengkuhnya dalam sebuah pelukan hangat penuh rasa tulus dan sayang.

“Jaehyuk-ah.”

“Hm?”

“Apa benar aku istimewa? Apa aku masih menjadi istimewa?” tanya Asahi dengan kepala bersandar nyaman pada pundak Jaehyuk. Memeluk erat pemuda tampan dengan tubuh tegap yang selalu menjadi tempatnya berlindung.

“Berapakali pun kau bertanya, jawabannya akan selalu sama, Sahi-ya. Kau selalu dan selamanya istimewa untukku. Banyak yang lukai hatimu hanya karena kekuranganmu tapi aku harap kau menutup telingamu dari semua perkataan menyakitkan itu. Jangan dengarkan mereka. Bagiku, seorang Hamada Asahi istimewa.”

“Bagiku, seorang Yoon Jaehyuk adalah malaikat pelindung.”

“Begitu ya? Kalau begitu aku akan melindungimu seumur hidupku.”

Jaehyuk semakin mengeratkan pelukannya. Selama dirinya ada, Jaehyuk akan selalu menjadi pelindung bagi seorang Asahi. Melindunginya dari apapun yang membuatnya bersedih.

Biru.

Menenangkan sekaligus bisa menjadi kesedihan.

Kata pemuda manis itu, Jaehyuk menenangkan seperti warna biru. Biarkan tetap begitu. Jaehyuk, sumber ketenangan seorang Asahi. Dirinya tidak mau menjadi biru dalam rupa lain. Tidak mau menjadi sumber kesedihan. Asahinya harus bahagia. Dirinya harus membuat Asahi bahagia. Bagaimanapun caranya.

***

Asahi menghentakan kakinya pelan—memainkan dedaunan kering yang berserakan di tanah dengan kakinya. Bibirnya mengerucut sambil sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pipinya digembungkan tatkala kehilangan sabarnya menunggu seseorang yang tak kunjung datang.

10 menit kemudian pemuda tampan berlari tergopoh-gopoh dengan nafas terengah-engah.

“Maafkan aku terlambat. Kelas terakhirku berakhir lebih lama hari ini,” ucapnya sambil mencoba menarik napas dalam.

Mau tak mau Asahi menjadi tak tega melihat Jaehyuk yang kehabisan nafas karena berlari secepat mungkin tadi.

“Lelah ya? Baru saja aku ingin mengeluh tapi aku jadi tidak tega melihatmu yang kehabisan nafas seperti itu. Sini, duduk di sampingku,” kata Asahi dengan senyum manisnya—menepuk pelan tempat di sisi kirinya sebagai isyarat agar Jaehyuk duduk di sana.

Jaehyuk terpana melihat senyuman indah itu. Rasa lelahnya menguap begitu saja kala kedua sudut bibir itu melengkung sempurna.

Manis.

Angin musim gugur meniup pelan surai hitamnya. Membuat tubuhnya menggigil ketika hembusan angin menusuk tulangnya.

“Kau kedinginan? Aku sudah bilang untuk memakai pakaian yang lebih tebal. Nanti kau sakit,” ujar Jaehyuk lembut seraya melepaskan jaket cokelatnya kemudian menyampirkan jaket tebal itu di pundak Asahi.

“Ta-tapi nanti kau kedinginan.”

“Aku tidak apa-apa. Sweaterku cukup tebal. Kau lebih penting.”

Semburat merah muda menjalar di kedua pipi Asahi. Jaehyuk selalu menjadikannya prioritas bahkan terkadang tidak peduli dengan dirinya sendiri. Katanya, Asahi yang paling utama.

“Terima kasih untuk semuanya, Jaehyukkie.”

Jaehyuk menoleh ke arah Asahi. Keningnya berkerut mendengar ucapan terima kasih Asahi terkesan tiba-tiba.

“Untuk semuanya?”

Asahi mengangguk pelan.

“Hm. Untuk semuanya. Untuk selalu melindungiku, menjagaku dan menjadikanku penting. Di saat aku merasa diriku tidak berharga, kau memperlakukanku layaknya hartamu yang paling kau jaga.”

Jaehyuk tersenyum kecil.

“Mungkin ini terdengar seperti kata-kata manis belaka, tapi kau lebih berharga dari harta apapun yang aku punya. Mudah mengucapkannya tapi kupastikan menghabiskan hidupku untuk membuktikannya.”

Asahi menatap Jaehyuk tak percaya. Entah apa yang pernah dilakukannya hingga memiliki Jaehyuk di dalam hidupnya. Pahlawannya sejak kecil hingga sekarang.

“Sahi-ya,” panggil Jaehyuk lembut.

“Hm?”

“Jadilah kekasihku. Aku mencintaimu.”

Singkat, padat dan jelas. Tanpa kata-kata manis ataupun bualan.

Manik Asahi membulat. Pernyataan cinta yang tak terduga yang jujur saja selalu Asahi tunggu kedatangannya. Maniknya berkaca-kaca—terharu menahan hatinya yng bergejolak. Jantungnya seperti mau melompat dari rongga dadanya.

Asahi mempersempit jarak di antara keduanya. Kini wajahnya hanya berjarak 5cm dari lawan bicaranya.

Satu kecupan mendarat di bibir penuh Jaehyuk. Lembut. Tanpa nafsu.

“Aku selalu menunggumu untuk mengatakannya tapi aku tidak menduga sekarang adalah saatnya.”

Asahi melepaskan tautan bibir keduanya. Rona merah tercetak di wajah masing-masing.

The best things in life happen unexpectedly. Kau tidak menduganya tapi ini momen yang ternyat paling kau tunggu,” ucap Jaehyuk kemudian kembali menautkan bibir keduanya. Menciumnya lama.

Keduanya terengah ketika persediaan oksigen menipis—membuatnya terpaksa untuk melepas tautan bibirnya.

Jaehyuk bersumpah ini pemandangan paling indah seumur hidupnya. Asahinya dengan bibir merah merekah, semburat merah di kedua pipi pucatnya, dan mata beningnya yang berbinar.

“Kau indah seperti musim gugur.”

“Seperti musim gugur? Musim gugur seindah apa Jaehyuk-ah?”

Asahi sudah puluhan kali melihat musim gugur tiap tahunnya. Musim ketika daun-daun berguguran. Tapi, Asahi tidak pernah tahu indahnya.

“Daun-daun maple yang berwarna jingga kemerahan gugur satu per satu dari dahannya memenuhi sepanjang jalan. Seperti yang kau lihat sekarang, daun-daun jingga itu jatuh berguguran memenuhi taman ini,” jelasnya.

Asahi memandangi pohon maple yang berada di sekeliling taman. Pohon dengan bentuk tulang daun menjari itu menggugurkan daun-daunnya yang menjadi kering tiap kali musim gugur datang.

Tapi warna jingga, Asahi tidak mengerti seperti apa.

Jaehyuk melihat Asahi yang bergeming—masih menatap daun pohon maple yang berguguran di sekelilingnya. Mata Jaehyuk menjadi sendu seakan bisa menebak apa yang dipikirkan pemuda manis yang baru saja menjadi kekasihnya 15 menit lalu.

“Warna jingga melambangkan kebahagiaan dan kehangatan,” ujar Jaehyuk sambil menggenggam tangan dingin Asahi berusaha merebut fokus pemuda manis ini agar tertuju padanya.

Berhasil.

Fokus Asahi beralih ketika merasakan genggaman tangan Jaehyuk. Kini matanya beradu tatap. Jaehyuk menebak isi pikirannya.

“Kebahagiaan dan kehangatan. Sama seperti yang aku rasakan sekarang. Jingga.”

Asahi tersenyum kemudian meletakkan kepalanya pada pundak lebar Jaehyuk.

Jingga.

Hari ini jingga adalah warnanya. Bahagia dan kehangatan memenuhi relung hatinya.

Jaehyuk adalah jingganya. Sumber bahagia dan kehangatannya.

***

Asahi memandang rintik hujan yang turun membasahi bumi dari jendela kamarnya. Helaan napas berat keluar dari bibir tipisnya. Sesekali pandangannya beralih pada puluhan sketsa yang terhampar di meja tulisnya.

Sketsa tanpa warna.

Entah sejak kapan rasa takut tertanam di hatinya. Cemoohan yang sering didengarnya dulu membuat dirinya tidak pernah menyentuh krayon, cat air, pensil warna atau apapun itu yang berhubungan dengan perlengkapan untuk memberi warna.

Asahi lebih nyaman dengan pensil dan tinta hitamnya. Warna yang ia kenal selama 21 tahun hidupnya.

Asahi meremas ujung kertas sketsanya. Perasaannya tak tergambarkan. Ada rasa sakit di sana. Juga rasa takut dan ragu bercampur menjadi satu memporak-porandakan hatinya.

“Kau ini bodoh ya? Mewarnai langit dengan warna merah. Rumput dengan warna jingga.”

“Kau ini bukan anak kecil lagi tapi memakai kaus kaki senada saja tidak bisa. Konyol.”

“Kau hanya tahu warna hitam dan putih? Membosankan sekali.”

“Apa kau gila memiliki mimpi kuliah jurusan Art and Design? Sadarlah akan posisimu. Mengerti warna saja kau tak bisa. Ini bukan jaman dulu kala ketika warna monokrom mendominasi. Sadarlah, Asahi-ssi.”

Ucapan atau lebih tepatnya ejekan-ejekan yang kerap kali didengarnya dulu terngiang-ngiang di kepalanya. Menari-menari di otaknya dan lagi, menghancurkan hatinya.

Matanya memanas. Cairan bening satu per satu menetes dari sepasang maniknya yang terlihat sendu dan sayu. Tangannya meremas dadanya yang terasa sesak.

Maniknya yang memerah menangkap beberapa tangkai bunga matahari yang tumbuh indah di dalam pot putih yang ia letakkan sudut mejanya. Bunga matahari pemberian Jaehyuk ketika hari ulang tahunnya yang keduapuluh satu. Teringat akan pemuda Korea berwajah tampan dan meneduhkan yang memenuhi hatinya.

“Jangan dengarkan mereka, ya. Jaehyuk juga mewarnai langit dengan warna merah dan jingga, kok. Sama seperti punya Asahi ada warna merahnya. Langit itu tak selalu berwarna biru.”

“Asahi itu istimewa. Bagi Jaehyuk, Asahi istimewa.”

“Kau lebih berharga dari harta apapun yang kupunya.”

“Ini untukmu. Bunga matahari. Bunga matahari memiliki arti semangat dan keceriaan. Sama seperti warnanya yang kuning keemasan, melambangkan rasa ceria dan semangat juga optimis. Bunga ini bahkan sesuai dengan namamu. Asahi berarti sinar matahari. Terima kasih sudah lahir ke dunia, Hamada Asahi. Terima kasih sudah dengan berani menghadapi hidup.”

Satu per satu ucapan Jaehyuk muncul di kepalanya—mengambil alih pikirannya yang semula dipenuhi kesedihan.

Jaehyuknya sumber kekuatan dan keceriaan hidupnya.

Ia butuh Jaehyuknya.

Asahi meraih ponselnya kemudian menekan beberapa nomor di sana—menunggu panggilannya dijawab.

“Hei, tumben menghubungiku malam-malam begini. Kenapa belum tidur?”

“Jaehyuk-ah, apa kau sedang sibuk?”

Lawan bicaranya di seberang sana mengerutkan dahinya. Suara parau yang ditangkap indra pendengarannya menandakan Asahi baru saja menangis.

Hatinya seketika dipenuhi rasa khawatir. Hal apa lagi yang membuat pemuda manis ini menangis?

Jaehyuk melirik tumpukan buku tebal yang harus dibacanya malam ini. Sibuk? Tentu iya, tapi Asahi lebih penting untuknya.

“Ada sesuatu yang menganggumu? Apakah aku harus kesana?” tanya Jaehyuk hati-hati.

“A-aku tahu ini terdengar konyol tapi apakah kau mau membantuku mewarnai beberapa sketsa gambarku?” tanyanya ragu.

Ah, Jaehyuk mengerti. Setelah sekian lama Asahi tidak pernah menyentuh warna, malam ini ia ingin mencobanya. Jaehyuk mengerti semua rasa takut, ragu dan sakit yang dirasakan Asahi.

“Tunggu aku. Aku akan ke sana.”

***

Jaehyuk membuka pintu kamar Asahi perlahan—mendapati pemuda manis itu berdiam di atas kursi yang didudukinya dengan lutut yang ditekuk. Pandangannya nanar menatap barisan cat air di hadapannya.

Jaehyuk mendekatinya perlahan kemudian memeluk ceruk leher Asahi dari belakang.

“Kenapa melamun?”

Diam. Tak ada jawaban.

Jaehyuk mengecup pucuk kepala Asahi ketika ia merasakan satu tetes air mendarat di lengannya. Asahi menangis. Sungguh Jaehyuk paling benci melihat pemandangan ini. Ketika kristal bening mengalir dari kedua manik indah Asahi.

Jaehyuk melepaskan rengkuhannya kemudian menarik salah satu kursi yang berada di kamar itu—memposisikan dirinya di samping Asahi.

“Hei.. Tatap aku sebentar, eum?” pintanya lembut.

Asahi menatapnya. Sesak memenuhi dada Jaehyuk. Ragu, takut dan luka tergambar jelas di manik indah itu.

“Jangan menangis eum? Aku sedih setiap kali melihat kau menangis,” katanya lembut sambil mengusap jejak air mata dari pipi putih Asahi.

“A-aku takut.. Sakitnya masih terasa.”

Jaehyuk menarik pemuda manis itu ke dalam pelukannya. Tangan kanannya mengusap punggung sempit itu lembut.

“Aku tahu, Sahi-ya. Aku mengerti. Semua takutmu, keraguanmu, lukamu, sakitmu. Jangan takut lagi, kau punya diriku. Bersama kita hadapi rasa takutmu, hapus ragumu, sembuhkan luka dan sakitmu. Percaya padaku eum?”

Sebuah anggukan kecil yang berasal dari pemuda di dalam pelukannya membuat senyum kecil terbentuk di wajah Jaehyuk.

“Sudah jangan menangis lagi. Katanya mau kubantu untuk mewarnai sketsamu. Kita warnai bersama.”

Asahi melepaskan dirinya dari pelukan hangat dan nyaman yang sebenarnya masih ingin ia rasakan. Tapi dirinya ingat keinginannya.

Keduanya tenggelam dalam kesibukannya. Jaehyuk membantu Asahi memilih warna sedangkan Asahi dengan cekatan menggerakkan kuasnya.

Indah.

Jaehyuk mengagumi hasil karya tangan Asahi yang kini memiliki warna. Paduan warna merah, jingga, kuning dan biru saling melengkapi satu sama lain.

“Indah sekali hasil lukisanmu, Sahi-ya.”

“Bukan hanya aku tapi kita. Jika tidak ada dirimu, entah warnanya akan menjadi sekacau apa.”

Jaehyuk mengacak surai legam Asahi.

“Iya iya. Hasil karya kita. Ah, indah sekali.”

Jaehyuk berdecak kagum. Lukisan itu benar-benar indah.

“Aku tidak menyangka bisa menyentuh cat air dan kuas. Aku tidak menyangka rasa takutku menguap entah kemana ketika tanganku mulai bergerak di atas kertas.”

Jaehyuk memandangi Asahi yang berdiri di sampingnya. Merengkuh pinggang ramping itu membawanya mendekat ke arahnya.

“Aku bangga padamu. Aku suka tekadmu mengalahkan rasa takutmu. Malam ini, Asahi berwarna merah. Simbol kekuatan dan keberanian, juga melambangkan cinta. Malam ini, warna merah melingkupimu. Aku bisa melihat keberanianmu, kuatmu, juga cintamu pada diri sendiri dan hal yang kau sukai. Aku ingin lihat lebih banyak lagi. Jadi, jalani hidupmu bersamaku. Kita gores lebih banyak warna lagi. Aku mencintaimu, Asahi,” ucap Jaehyuk lembut seraya mendaratkan kecupan di pelipis Asahi—membuat pemuda Jepang itu tersenyum manis.

Lengan Asahi melingkar pada pinggang Jaehyuk. Memeluknya erat. Kepalanya ia letakkan di dada bidang milik Jaehyuk. Merasakan setiap detak jantungnya.

“Aku hanya melihat hitam dan putih. Duniaku kelabu. Tidak pernah berani melangkah selalu berdiri di garis abu-abu. Ragu dan takut menghantuiku. Lalu, kau hadir dan membuatku jatuh cinta pada warna.”

Kening Jaehyuk berkerut. Jatuh cinta pada warna? Apa maksudnya?

“Jatuh cinta pada warna?” tanya Jaehyuk bingung. Berusaha menerka maksud dari ucapan Asahi.

“Hm. Jatuh cinta pada warna. Yoon Jaehyuk adalah warna untuk Hamada Asahi. Biru untuk setiap rasa tenang dan pelukan nyaman yang kau berikan, jingga untuk semua perasaan bahagia dan hangat yang membuat hatiku penuh, kuning untuk setiap optimisme dan semangat yang kau hidupkan kembali di dalamku, dan merah untuk setiap rasa cinta yang kau tunjukkan untukku. You color my world, Yoon Jaehyuk.”

Asahi mengatakan satu per satu kata dengan lembut. Ketulusan dan kejujuran terucap jelas di setiap patah katanya. Manik beningnya menatap dalam manik bening Jaehyuk yang kini berkaca-kaca diikuti dengan kristal bening yang menyeruak kemudian lolos begitu saja.

Hati Jaehyuk terasa hangat. Perasaan bahagia meluap-luap dalam hatinya. Degup jantungnya berdetak lebih cepat.

Jaehyuk menarik dagu Asahi—membawanya mendekat kemudian mengecup dalam bibir manis yang membuatnya gila.

Asahi menangkup wajah Jaehyuk, memperdalam tautan bibirnya. Cairan bening lolos dari matanya.

“Aku sangat teramat mencintaimu, Yoon Jaehyuk. Hampir gila aku dibuatnya.”

Jaehyuk tersenyum kecil di sela-sela ciumannya. Kali ini memberi jarak agar dirinya bisa melihat wajah sempurna Asahi dengan jelas.

“Aku mencintaimu juga, Sahi-ya. Selamanya kau istimewa. Terima kasih sudah mengijinkanku memberi warna di hidupmu. Yoon Jaehyuk adalah warna untuk Hamada Asahi tapi warna tidaklah lengkap tanpa kanvas atau kertas untuk menorehkan warnanya. Karena warna dan kanvas, lukisan indah tercipta. Asahi bagai kanvas putih polos yang siap diberi warna. Kau dan aku saling melengkapi. Kita buat lukisan hidup kita bersama.”

End.

Title: On the Night Like This {SongFic!AU}

Pairing: Jaehyuk/Asahi

Song: On the Night Like This by Mocca

Storyline:

On the night like this

There's so many things I want to tell you

On the night like this

There's so many things I want to show you

Asahi menekan-nekan keyboard yang berada di atas meja. Sesekali maniknya menatap layar komputernya—berkonsentrasi penuh pada rekaman lagu yang sedang dibuatnya. Mulutnya berdecak kesal tatkala beberapa nada kurang sesuai terdengar di telinga—mengacak rambutnya frustasi.

“Sahi-ya, boleh aku masuk?” panggil seseorang yang sangat ia kenal bahkan hanya dari suaranya.

“Masuk saja. Pintunya tidak dikunci.”

Jaehyuk membuka kenop pintu—menampakkan tubuhnya yang berbalut sweater hitam. Langkahnya mendekat ke arah Asahi kemudian mengelus surai legam itu lembut.

“Sedang membuat lagu,eum?” tanya Jaehyuk seraya menatap layar komputer di depannya. Tangannya masih mengelus surai lembut itu.

Asahi mengangguk kecil. Tak bersemangat.

“Kenapa tidak bersemangat?” tanya Jaehyuk lagi yang menyadari perubahan wajah Asahi.

“Aku merasa beberapa nada kurang cocok di telinga. Tapi, tidak tahu mau dibuat seperti apa lagi.”

Jaehyuk tersenyum lembut—masih mengelus sayang surai hitam pemuda manis ini.

“Itu tandanya kau harus istirahat. Kau seharian mengurung diri di kamar untuk membuat lagu. Wajar jika tiba-tiba kau stuck. Istirahat eum?”

Asahi menggeleng lagi. Jaehyuk menghela napasnya. Ia tahu ini bukan hanya soal lagu atau nada yang tidak sesuai.

Jaehyuk mendudukkan dirinya di tempat tidur Asahi-menarik kursi Asahi agar pemuda itu mendekat ke arahnya.

“Ada hal lain yang mengganggumu, kan? Ini bukan hanya soal lagu atau nada yang tidak sesuai. Kau tidak mau istirahat karena membuat lagu menjadi distraksi untukmu.”

“Aku hanya lelah. Jadwal comeback kita yang semakin dekat, ekspektasi penggemar, kadang aku lelah juga takut tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka. Dan satu lagi, aku rindu Ibuku. Dia yang selama ini memberikan semangat.”

Jaehyuk menatap dalam pemuda Jepang yang menundukkan kepalanya.

“Sahi-ya, kita tidak bisa memenuhi semua ekspektasi orang lain. Kau sudah melakukan yang terbaik. Aku tahu semua kerja kerasmu.”

Asahi mengangkat kepalanya—balas menatap Jaehyuk yang masih memandanginya lembut.

“Padahal kau juga lelah tapi masih bisa menghiburku seperti ini,” ucap Asahi lembut. Tangannya menangkup kedua pipi Jaehyuk dan mendekatkan kening keduanya.

“Aku menyayangimu, Asahi. Oleh karena itu, semua hal yang kau rasakan baik itu senang ataupun sedih, itu semua penting untukku. Aku mau selalu hadir.”

Jaehyuk menarik Asahi lembut—membuat pemuda manis itu berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar sempurna di pinggang ramping Asahi. Asahi bergerak nyaman—membenamkan wajahnya di dada bidang Jaehyuk.

Hangat.

Pelukan Jaehyuk selalu hangat dan nyaman.

'Cause when you're around

I feel safe and warm

'Cause when you're around

I can fall in love every day

Jaehyuk memberi sedikit jarak di antara keduanya. Ia menatap wajah Asahi yang terlihat lelah. Mengelus pipi putih itu perlahan.

“Kau mengantuk, eum? Tidurlah.”

Asahi menggeleng lagi.

“Kenapa tidak mau tidur? Matamu sudah sayu begitu.”

“Aku rindu Ibu.”

Pandangan Jaehyuk berubah sendu. Ia tahu pemuda manis ini merindukan rumahnya, terlebih lagi Ibunya.

Di malam pergantian tahun, ketika orang-orang bersorak-sorai menghabiskan waktu dengan keluarganya, Asahi justru harus menahan rindu karena tidak bisa pulang.

“Maaf, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Andai keadaan membaik, kau pasti bisa pulang.”

Asahi memandang manik bening Jaehyuk yang kini menatapnya sedih kemudian mengelus surai tebal Jaehyuk.

“Kenapa minta maaf? Aku rindu rumahku dan keluargaku, tapi aku tidak merasa kesepian karena ada Jaehyuk. Di sampingku dan di sini,” katanya lembut sambil menunjuk dadanya.

Jaehyuk terkekeh kecil. Entah sejak kapan Asahi jadi pandai bermulut manis. Tapi Jaehyuk tahu itu bukan ucapan manis belaka. Ada kejujuran dan ketulusan di sana.

Jaehyuk mengecup kening Asahi lembut kemudian mengeratkan pelukannya lagi.

“Aku akan terus berada di sampingmu dan hatimu jika kau mau. Aku tidak akan pernah pergi jika kau menyuruhku tetap tinggal.”

Asahi tersenyum. Pipinya menghangat. Ia yakin pipinya merona sekarang.

“Aku menyayangimu, Yoon Jaehyuk. Jadi, jangan pernah pergi.”

Jaehyuk tersenyum mendengar perkataan Asahi. Bibirnya mengecup pucuk kepala Asahi—menghirup wangi shampoo dari surai halus itu yang sangat disukainya.

Cahaya lampu kota dari gedung pencakar langit yang terlihat dari jendela kamar membuat suasana malam ini terasa semakin indah.

Beberapa menit setelahnya, percikan kembang api berlomba-lomba melambung di udara. Cahayanya memantul pada kaca jendela.

Asahi melepaskan pelukan Jaehyuk—membalikkan tubuhnya dan menatap suasana malam pergantian tahun dari jendela kamar. Matanya berbinar melihat kembang api yang terlihat indah membumbung di langit malam.

Sepasang tangan melingkari pinggangnya dari belakang. Dagu Jaehyuk bertumpu pada pucuk kepala Asahi. Membuat pemuda manis itu kembali berada dalam dekapannya.

Keduanya menikmati pemadangan malam itu. Kembang api yang bersahutan, lampu LED dari beberapa gedung pencakar langit yang menuliskan “Happy New Year”, dan kelap kelip lampu kota. Mereka tak bisa kemana-mana. Sulit bagi keduanya untuk bisa keluar dengan bebas tapi bagi Jaehyuk hal itu bukan masalah. Asalkan Asahi ada di sampingnya—menghabiskan waktu bersama. Itu sudah lebih dari cukup.

“Happy New Year, Jaehyuk-ah.”

“Happy New Year, Hi-kun. Jangan pernah pergi dariku,” balasnya seraya mencium lembut pipi Asahi. Mengeratkan pelukannya lagi.

In the case like this

There are a thousand good reasons

I want you to stay

End.