asahiiikun

Title: Entre toi et moi

Pairing: Jaehyuk/Asahi

⚠️Warning: lil bit non explicit mature contents⚠️

⚠️Rating: 16+ just to be save⚠️

-notes- Italic:flashback

_____________________ Entre toi et moi (french) : between you and me _____________________

●●Between you and me, never ending story●●

. . .

•Paris, Summer, June, 2020•

Seorang pemuda bersurai coklat berdiri di balkon apartemennya, menikmati langit cerah kota Paris sore itu. Senyum kecil terukir di bibir merahnya kala melihat kumpulan bunga mawar yang ia biarkan tumbuh menggantung mengisi beranda apartemennya. Tahun ini merupakan tahun ketujuhnya merantau di kota yang dijuluki City of Lights ini. Tidak bosan-bosannya dirinya menikmati pemandangan dari apartemennya ini. Dari sini dirinya bisa melihat Menara Eiffel yang menjulang tinggi, yang akan tampak sangat indah ketika malam hari saat lampu-lampu dari Menara Eiffel menyala.

Aktivitasnya terusik ketika mendengar bel apartemennya berbunyi. Tak biasanya ia kedatangan tamu di waktu seperti ini. Pemuda itu berlari kecil membukakan pintu.

“Bonsoir! Monsieur Hamada Asahi. Ada kiriman untukmu dari Korea Selatan,” kata tukang pos yang berdiri di depan pintunya sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna pastel ke tangannya.

Asahi mengerutkan keningnya. Sudah lama dirinya tidak mengunjungi Korea Selatan. Ia juga tidak memiliki banyak teman di sana.

'Mungkinkah kiriman ini dari orang itu?' tanyanya dalam hati.

Asahi kembali ke dalam setelah mengucapkan terima kasih pada tukang pos tadi. Tangannya memperhatikan amplop pastel di tangannya. Namanya terukir rapi di sana.

Asahi membuka amplop itu perlahan berusaha mengeluarkan isinya. Sebuah undangan pernikahan. Entah kenapa jantungnya berdetak lebih cepat sekarang. Tidak mengerti kenapa ritme jantungnya semakin cepat tatkala melihat undangan pernikahan di tangannya. Asahi berharap ini tidak sesuai dengan pikirannya. Namun, kecewa melandanya saat melihat ukiran nama yang tertera di sana.

Yoon Jaehyuk & Jane Kim

Seketika dadanya terasa sesak. Nafasnya memburu. Matanya memanas. Ia kira 4 tahun cukup untuk memudarkan semuanya namun rasa sakitnya masih sama.

Pemuda Korea Selatan itu akan menikah.

Perih.

Kenangan itu masih membekas sempurna. Tidak pernah hilang sedikitpun.

Asahi buru-buru mengusap air matanya ketika mendengar pintu apartemennya dibuka tiba-tiba. Seorang pemuda kaukasian berpostur tinggi dengan rambut pirang dan mata biru berdiri di sana, melepas sepatu kulitnya dan coat miliknya. Pemuda itu tersenyum manis kemudian mengecup bibir tipis Asahi.

“Good evening, my love. I miss you so badly,” ucapnya setengah berbisik kemudian mengecup kening Asahi.

Asahi tersenyum kecil. Membelai rambut pirang pemuda tinggi di hadapannya. Tangan kirinya yang masih menggenggam undangan pernikahan disembunyikan di belakang.

“I miss you too, Caesar.”

Pemuda bernama Caesar itu menatap wajah Asahi, kekasihnya selama 1 tahun belakangan. Wajah itu terlihat sendu hari ini. Ia tahu sesuatu terjadi sebelum ia datang.

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya berusaha mencari kebenaran dari manik Asahi.

“Apa maksudmu? Aku baik-baik saja.”

Caesar masih menatapnya lekat. Memperhatikan Asahi dari atas sampai bawah. Takut melewatkan sesuatu yang bisa menjadi jawaban untuknya. Fokusnya beralih pada tangan kiri Asahi yang tampaknya sengaja disembunyikan oleh pemiliknya.

“Ada apa dengan tangan kirimu?” tanyanya penasaran.

Mata Asahi membulat, tidak siap dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut kekasihnya itu. Asahi hanya diam kaku tanpa bisa berbuat apa-apa ketika Caesar menarik lembut lengan kirinya. Caesar tidak begitu mengerti deretan hangul yang tertera di sana tapi ia kenal sebuah nama yang terukir di sana.

Yoon Jaehyuk.

Caesar tersenyum miris. Jadi karena ini Asahi terlihat menyedihkan. Tatapan sendu dan jangan lupakan jejak air mata yang masih membekas di sana. Lagi-lagi pemuda Korea ini sumbernya. Untuk apa ia mengirim undangan pernikahannya ke sini ketika dirinya bahkan mungkin sudah melupakan seorang Hamada Asahi. Jadi, untuk apa lagi? Jika hanya ingin menambah luka, apa gunanya lagi?

Asahi menunduk dalam. Nyalinya menciut. Tak berani menatap kekasihnya. Caesar mendekatkan dirinya kemudian menarik Asahi ke dalam pelukannya. Mengecup surai coklat lembutnya.

“Do you still love him, Asahi?” bisiknya pelan. Hatinya tak siap mendengar jawaban Asahi.

Asahi memejamkan matanya. Kepalanya masih bersandar di dada bidang pemuda yang jauh lebih tinggi darinya itu.

Haruskah berbohong? Haruskah menutupi? Haruskah dirinya selalu menyakiti pria di hadapannya ini?

“Apakah aku tidak akan pernah punya kesempatan? Apakah sulit mencintaiku sepenuhnya?” tanya Caesar lagi.

“Maaf....”

Hanya satu kata itu yang bisa diucapkan Asahi. Selama satu tahun ini, Asahi sudah lelah menghitung berapa kali kejadian ini selalu terjadi. Pertanyaan yang sama. Luka yang tergambar jelas di manik pria tampan itu.

Caesar.

Asahi mengenalnya satu tahun lalu. Pertemuan di bar malam itu menjadi awal mula kisah keduanya. Ia ingat lelaki itu menyapanya manis. Mereka berbicara semalaman sampai bar tutup. Ia ingat Caesar mengantarnya pulang malam itu. Dari pertemuan pertama mereka, hadirlah pertemuan-pertemuan berikutnya. Keduanya sama-sama menyukai seni. Mereka akan menghabiskan akhir minggu dengan mengunjungi museum-museum di sana.

Ia ingat saat pertama kali Caesar menyatakan cintanya di bawah cahaya lampu Menara Eiffel. Asahi tidak akan lupa betapa romantisnya malam itu. Di saat orang-orang mungkin akan tergila-gila dan merasa bahagia, Asahi justru berperang dalam hatinya. Pernyataan cinta itu justru memberatkannya.

Ketika dirinya berpikir Caesar akan menyerah ketika ia mengatakan tidak bisa menerima pernyataan cintanya, dugaannya salah. Nyatanya Caesar tetap berusaha. Bahkan ketika dirinya mengatakan alasan konyol bahwa ia tidak bisa melupakan cinta pertamanya, pria Perancis itu tetap dengan sabar mengatakan akan menunggunya. Memohon untuk diberi kesempatan.

Bahkan ketika dirinya menyakiti hati pria baik itu berkali-kali, Caesar masih setia di sampingnya. Bahkan sekarang ketika Asahi kembali menyakiti pria bermata biru di hadapannya ini, Caesar masih mau memeluknya. Tidak ada kata-kata marah sama sekali.

“Haruskah aku melepasmu? Semenyiksa itukah harus bersamaku?” tanya Caesar pelan membuat Asahi menatapnya sedih.

“Kau yang paling tersiksa. Aku yang paling menyakitimu. Kau berhak bahagia, tapi bukan denganku. Kau yang paling tahu akan hal itu,” lirih Asahi pelan. Air mata menggenang di pelupuk matanya siap menetes kapan saja.

Caesar menatap Asahi dengan mata birunya. Sudut matanya memerah pertanda ia sedang menahan air matanya sekarang. Pemuda rupawan itu menghela napasnya panjang.

“Jangan menangis. Aku yang memaksa ingin berjuang untuk memenangkan hatimu. Namun, sebesar apapun usahaku, kau tidak akan bisa melupakan laki-laki itu. Kau tidak akan pernah bisa menghapus nama itu. Aku yang memaksa dan membuatmu tersiksa. Maafkan aku membuatmu lelah selama ini. Let's break up. It's better for us,” ucapnya dengan senyum tipis yang terkesan dipaksakan.

Asahi menggeleng pelan kemudian memeluk erat pemuda tampan itu.

“Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf tidak bisa membahagiakanmu selama ini.”

“Kau selalu membuatku bahagia. 1 tahun ini sangat berarti untukku. Now, it is time to let you go.”

Asahi menatap mata indah sebiru laut yang menatapnya lembut. Asahi mempersempit jarak di antara keduanya kemudian mengecup bibir itu lembut.

“Goodbye kiss. Terima kasih untuk semuanya, Caesar. Terima kasih sudah mencintaiku dengan tepat.”

“Please be happy, Hamada Asahi. Jika kau tidak bahagia, aku pastikan akan mengejarmu kembali.”

♤♤♤

•France, Paris, 2013•

At Paris Science et Lettres University...

Pemuda berkulit putih berkebangsaan Jepang berlari kecil sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kurusnya. Ia ada kelas pagi ini dan terlambat bangun. Sebagai mahasiswa jurusan seni dengan tugas yang memaksanya untuk selalu tidur larut setiap harinya kejadian ini bukan yang pertama kali terjadi. Namun, hari ini kelasnya akan mengadakan tes dan jika dirinya terlambat, ia terancam tidak diperbolehkan masuk kelas pagi ini.

Pemuda dengan nama lengkap Hamada Asahi itu mempercepat ritme langkahnya, bibir tipisnya berkali-kali mengucapkan kata permisi dan maaf saat dirinya beberapa kali menabrak kumpulan mahasiswa di hadapannya.

Bruk!

Buku-buku kuliahnya terhampar bebas di lantai tatkala dirinya menabrak seseorang di depannya. Ia benar-benar kehilangan fokus sehingga menabrak mahasiswa lain yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya.

“Maaf, aku terburu-buru,“ucap Asahi lirih.

Asahi mengangkat kepalanya menatap orang yang baru saja ditabraknya. Mahasiswa dengan wajah khas orang Asia. Tubuhnya lebih tinggi darinya. Rambutnya berwarna hitam legam. Kacamata dengan frame tipis membingkai wajahnya dengan sempurna. Pemuda itu tersenyum singkat.

Tampan. Hanya itu yang ada di pikiran Asahi.

“Apa kau tidak apa-apa? Kau terjatuh cukup keras tadi,” tanyanya khawatir sambil memperhatikan Asahi, memastikan tidak ada luka serius di tubuh pemuda yang lebih kecil darinya.

“Aku tidak apa-apa. Maaf menabrakmu tapi aku hampir terlambat. Aku harus segera pergi sekarang,” ucapnya buru-buru sambil mengumpulkan bukunya yang berserakan.

“Namaku Yoon Jaehyuk.”

Pemuda tampan itu memperkenalkan diri sambil membantu membereskan buku-buku milik pemuda manis di depannya.

“Hamada Asahi. Itu namaku. Ah, aku benar-benar harus pergi. Maaf sekali lagi,” ucapnya sambil membungkuk berkali-kali kemudian berlari meninggalkan Jaehyuk yang masih terpana dengan pemuda di depannya.

Hamada Asahi.

Manis sekaligus tampan.

Jaehyuk mengulum senyum melihat punggung Asahi dari kejauhan.

'Hamada Asahi. Dari Jepang rupanya,' katanya dalam hati.

Jaehyuk membetulkan letak kacamatanya kemudian berlalu pergi. Berharap dapat bertemu dengan pemuda manis itu lagi.

Matahari sudah tinggi. Meskipun begitu, angin yang bertiup lembut membuat udara menjadi tidak begitu terasa panas. Jaehyuk sedang berkumpul dengan teman-teman satu jurusannya di taman universitas. Mereka sedang membahas tugas mata kuliah ekonomi bisnis yang akan deadline 1 minggu lagi. Sesekali Jaehyuk berkutat dengan laptopnya mencari beberapa artikel yang relevan untuk melengkapi tugasnya.

“Kau mau ikut dengan kami malam ini, Jae?” tanya salah satu temannya yang asli orang Perancis.

“Sepertinya tidak. Aku malas keluar malam ini. Lain kali saja aku ikut.”

“Ah kau tidak seru!” ejek temannya yang bernama Mashiho. Mashiho berasal dari Jepang namun banyak menghabiskan waktunya di Korea bersama Jaehyuk ketika sekolah menengah. Jadilah Jaehyuk paling dekat dengan dirinya.

“Aku lelah, Mashi. Kau tau sendiri aku begadang semalaman demi belajar untuk tes hari ini. Andai otakku ini sepintar dirimu,” keluh Jaehyuk.

Mashi tertawa kecil.

“Jangan suka merendah. Kau masuk top 10 di jurusan kita.”

Jaehyuk hanya tersenyum menanggapi sahabatnya itu kemudian kembali berkutat dengan laptopnya.

Jaehyuk meregangkan tubuh penatnya. Memijat pelipis dan tengkuknya yang terasa kaku karena terlalu banyak melihat laptop. Jaehyuk melepaskan kacamatanya kemudian mengucek matanya pelan.

Fokusnya tertuju pada satu titik. Tak sadar senyumnya merekah.

Hamada Asahi.

Pemuda manis itu sedang duduk di pinggiran air mancur di tengah taman universitas. Sebuah buku dengan ukuran cukup besar berada di genggamannya. Pensil yang berada di tangannya menari-nari di atas lembaran kertas. Sesekali bibirnya mengerucut ketika sedang berpikir keras.

Jaehyuk tersenyum seperti orang gila sekarang. Kalian percaya akan cinta pada pandangan pertama? Pasti kebanyakan berkata itu adalah hal konyol. Jaehyuk juga beranggapan seperti itu. Namun nyatanya pemuda manis yang baru dikenalnya hari ini seakan menampar anggapannya selama ini. Hal yang dirinya anggap konyol benarlah terasa sekarang. Jaehyuk tidak mengerti bagaimana hatinya berdesir ketika melihat pemuda manis itu. Tidak mengerti akan sensasi yang bergejolak pada dirinya ketika melihat wajah itu. Namun Hamada Asahi bagai sebuah kutub magnet untuk dirinya. Menariknya perlahan tanpa bisa ia cegah.

“Apa yang kau lihat, Jae? Aku sudah memanggilmu berkali-kali tapi kau bengong seperti orang aneh.”

Mashi mengguncang pelan bahu sahabatnya ini. Penasaran dengan apa yang membuat Jaehyuk seperti ini, maniknya mengikuti fokus Jaehyuk.

Ah! Karena laki-laki itu!

“Ya Tuhan Yoon Jaehyuk. Jangan bilang kau menyukainya? Kau bahkan baru bertemu dengannya tadi karena ia tidak sengaja menabrakmu,” tukas Mashi sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya.

“Diam kau. Aku sedang serius. Jangan ganggu konsentrasiku.”

“Terserah kau. Aku dan yang lain ingin makan di cafetaria. Kau ikut tidak?”

Jaehyuk menggelengkan kepalanya.

“Kalian duluan saja. Aku ada urusan lain,” sahutnya sambil mengerlingkan sebelah matanya menatap Mashi.

“Kau benar-benar menyukainya, hm? Baiklah. Aku dan yang lain duluan. Beritahu aku jika kau berhasil.”

Jaehyuk terkekeh pelan.

“Yoon Jaehyuk tidak mengenal kata gagal.”

Mashi memutar bola matanya. Telinganya sakit mendengar ucapan sahabatnya ini.

“Gayamu selangit. Sudah aku mau pergi. Sampai bertemu besok!”

Jaehyuk mengangkat tangannya ke arah teman-temannya yang beranjak pergi.

Maniknya kembali fokus pada pemuda manis yang masih betah dengan pensil dan bukunya. Jaehyuk merapikan laptop dan buku-bukunya yang berserakan kemudian memasukkannya ke dalam tas kulitnya. Kakinya melangkah menghampiri pemuda manis yang sudah membuatnya gila hari ini.

“Hi,” sapanya lembut.

Asahi mengangkat kepalanya. Maniknya bertemu dengan manik bening Jaehyuk.

“Ah, hai. Kau sedang apa di sini?” tanya Asahi dengan dahi sedikit berkerut. Bingung tiba-tiba dihampiri oleh pemuda yang ditabraknya tadi.

“Aku baru saja selesai mengerjakan tugas dengan kelompokku, lalu melihatmu di sini. Kau tidak keberatan, kan jika aku duduk di sini?”

Asahi menggeleng pelan kemudian tersenyum manis. Jaehyuk memposisikan dirinya di sebelah Asahi. Matanya beralih melihat sketsa pemandangan yang masih setengah jadi.

“Kau pandai menggambar rupanya.”

Asahi melihat gambarnya kemudian mengangguk kecil.

“Aku mahasiswa jurusan Art and Design. Jika aku tidak bisa menggambar, aku tidak akan bisa bertahan. Ah, kau mengambil jurusan apa di sini?”

“Ekonomi bisnis. Hmm jika dari namamu, apakah kau berasal dari Jepang?”

Asahi mengangguk kecil.

“Aku lahir di Jepang kemudian kuliah di sini. Sejak sekolah menengah atas, aku tinggal di Korea bersama keluargaku karena urusan pekerjaan Ayahku. Jaehyuk dari Korea kan?”

“Kau menetap di Korea?! Wow kebetulan apa ini. Iya aku dari Korea. 1 tahun lalu aku pindah ke sini untuk kuliah. Aku juga punya sahabat yang berasal dari Jepang sepertimu. Namanya Mashiho. Jika kalian berdua berbicara, aku rasa akan cocok.”

Matanya berbinar. Jarang sekali mahasiswa yang berasal dari Jepang di jurusannya. Pasti menyenangkan jika memiliki teman yang berasal dari 1 negara kelahiran yang sama.

“Wajahmu langsung bersinar seperti itu. Nanti jika ada waktu aku kenalkan, ya. Ah, jujur saja bahasa Perancisku belum terlalu fasih. Apakah tidak apa-apa jika kita berkomunikasi dengan bahasa Korea?”

“Aku tidak masalah. Tapi, maaf jika bahasa Koreaku juga tidak terlalu bagus. Tapi aku rasa itu lebih baik dibanding harus berbicara dengan bahasa Perancisku yang masih jauh dari kata sempurna,” kekehnya pelan.

Jaehyuk ikut tersenyum melihat tawa kecil itu. Jaehyuk baru menyadari lesung pipit yang akan muncul ketika Asahi tersenyum dan tertawa. Manis sekali.

'You will be the death of me, Asahi,' ucapnya dalam hati.

♤♤♤

Jaehyuk tidak begitu mengerti tentang seni. Seni lukis, seni pahat atau apapun itu. Jaehyuk hanya penikmat tapi tidak begitu tahu akan makna di balik karya seni tersebut. Jaehyuk menyukai pergi ke museum atau art exhibition. Menghabiskan waktu di sana memandangi karya-karya luar biasa yang mengundang decak kagum.

Jaehyuk berkeliling di Museum Louvre, salah satu museum terkenal di Perancis yang selalu penuh dengan wisatawan dari berbagai negara. Mashiho sedang sibuk dengan urusan percintaannya sehingga Jaehyuk harus menghabiskan akhir pekannya sendiri. Sudah beberapa kali Jaehyuk ke sini, tapi rasa kagum masih selalu menyelimutinya ketika melihat arsitektur museum ini.

Jaehyuk memandangi beberapa lukisan baru di sana ketika maniknya menangkap sosok familiar yang sedang berdiri memandangi sebuah lukisan abstrak di hadapannya.

“Bukankah itu Asahi?” gumamnya pelan. Kakinya otomatis menghampiri pemuda manis itu.

“Asahi?“panggilnya.

Asahi menoleh. Sedikit terkejut melihat Jaehyuk berada di tempat ini.

“Jae? Aku tidak tahu kau penikmat karya seni. Kebetulan sekali bisa bertemu di sini.”

Jaehyuk paling tidak suka kata kebetulan. Baginya, semua sudah digariskan.

“Aku sering ke sini. Tidak begitu mengerti sih. Tapi aku suka melihat karya-karya luar biasa ini. Kau pasti sudah banyak berkeliling museum ya? Mengingat jiwamu adalah jiwa seni,” katanya sambil tersenyum kecil menatap Asahi.

“Ya begitulah. Aku juga harus mencari inspirasi untuk karya-karyaku juga bukan? Seni itu bagian hidupku. Aku tidak tahu bagaimana aku hidup tanpa esensi itu di dalamnya.”

Jaehyuk mengangguk mengerti.

“Siapa seniman favoritmu?” tanya Jaehyuk lagi.

“Claude Monet. Aku benar-benar cinta akan karya-karyanya. Indah sekali.”

“Hm. Claude Monet ya. Aku paling suka karyanya 'Women with a Parasol'. Bagaimana cintanya pada istrinya tetap melekat melalui lukisan itu meskipun istrinya telah tiada.”

Asahi menatap Jaehyuk tak percaya. Bohong jika Jaehyuk mengatakan tidak begitu mengerti karya seni. Ia tahu lebih banyak dari itu.

“Kau merendah jika mengatakan tidak begitu mengerti karya seni. Kau bahkan tahu tentang Claude Monet dan cintanya pada istrinya yang sering ia tuangkan di lukisannya.”

Jaehyuk terkekeh pelan, menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.

“Yang jelas, aku tidak banyak tahu jika dibanding kau. Tapi, kuakui aku sangat suka membaca tentang beberapa karya seni terkenal.”

“You surprised me in so many ways, Yoon Jaehyuk,” ucapnya pelan sambil tersenyum lembut.

Hening.

Keduanya sibuk memandangi lukisan abstrak nan indah di depan mereka.

“Mau pergi bersamaku setelah ini?”

Jaehyuk memberanikan diri untuk bertanya. Kesempatan seperti ini akan jarang datang.

Mata Asahi membulat. Gugup. Tak menyangka Jaehyuk akan mengajaknya pergi.

'Apakah ini semacam kencan?' tanyanya dalam hati. Dapat ia rasakan pipinya sedikit memanas.

Asahi berusaha menetralkan ekspresinya. Tidak ingin Jaehyuk tahu bahwa jantungnya berdetak cepat sekarang.

“Boleh saja. Aku tidak ada rencana kemana-mana setelah dari sini.”

Jaehyuk tersenyum puas. Hatinya melompat senang.

“Ke La Palette bagaimana? Hanya 600 meter dari sini. Kita bisa berjalan kaki.”

“Tidak mungkin menolak. Itu salah satu cafe favoritku. Interiornya yang indah dengan beberapa lukisan terpampang di sana. Kau benar-benar sesuatu, Jae. Seleramu tidak seperti mahasiswa Ekonomi.”

Jaehyuk tertawa pelan mendengar perkataan Asahi.

“Aku tidak pandai menggambar karena itu akan sulit masuk jurusan seni. Mungkin itu salah satu alasan aku terjebak di jurusanku sekarang. Tapi, aku tetap menyukainya. Sebentar lagi museumnya tutup. Mau pergi sekarang?”

Asahi mengangguk setuju. Tubuhnya tersentak kaget ketika Jaehyuk meraih tangannya dan menariknya lembut. Jantungnya berdegup tak beraturan. Pipinya memanas tapi senyum tersungging di bibirnya memperhatikan tanganmya yang berada di genggaman Jaehyuk.

Keduanya berjalan beriringan. Tangannya masih bertautan. Asahi mengulum senyumnya malu sedangkan Jaehyuk tersenyum gemas melihat pipi Asahi yang sedikit merona.

“Aku rasa ini akhir pekan terbaikku,” kata Jaehyuk membuka suara.

“Kenapa begitu?” tanya Asahi bingung.

“Karena menghabiskan waktu denganmu,” balas Jaehyuk sambil menatap Asahi di sampingnya.

Telinga Asahi memerah. Dirinya malu luar biasa mendengar perkataan Jaehyuk. Dengan mudahnya pemuda itu mengucapkan kata-kata itu tanpa tahu efek samping dari perkataannya yang membuat jantung Asahi terasa mau melompat dari rongga dadanya.

“Ah, begitukah?”

Asahi menepuk jidatnya merasa bodoh dengan respons yang baru saja keluar dari bibirnya.

“Eum! Mari lakukan ini setiap akhir pekan!”

Jaehyuk tersenyum lebar menampakkan barisan gigi rapinya. Tatapannya terlihat menggoda Asahi yang pipinya memerah sempurna sekarang.

'Ya Tuhan apakah Jaehyuk baru saja mengajaknya berkencan?!' teriak Asahi dalam hati.

“Jaehyuk-ah, apakah kau baru saja mengajakku berkencan?” tanya Asahi ragu dengan kepala tertunduk. Pipi dan telinganya terasa panas.

Jaehyuk tertawa kecil kemudian mengangguk cepat. Genggamannya semakin erat menautkan jari-jari keduanya.

“Anggap saja begitu. Hari ini dan seterusnya kita berkencan.”

Jantung Asahi berdegup tak beraturan.

“Did you just ask me out, Jae?”

Jaehyuk tertawa manis. Menjawabnya dengan anggukan.

“Let's date from now on.”

Asahi menunduk dalam. Bisa-bisanya pemuda ini dengan mudah mengajaknya berkencan bahkan memintanya menjadi kekasihnya.

“Kau benar-benar mengejutkanku, Yoon Jaehyuk,” jawab Asahi sambil menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Jaehyuk menghentikan langkahnya, membuat Asahi ikut terdiam. Jaehyuk menghadapkan tubuhnya ke arah Asahi kemudian menangkup wajah manis itu. Menatap dalam kedua manik indah yang bersinar diterangi cahaya lampu kota yang berpendar. Jaehyuk bersumpah dalam hati belum pernah melihat manik seindah ini. Jaehyuk seperti larut di dalamnya.

“Selanjutnya, akan lebih banyak kejutan, Hamada Asahi. Aku akan membuatmu bahagia,” ucapnya lembut kemudian meraup bibir merah itu dengan bibirnya. Melumatnya lembut.

“Do you want to be my boyfriend, Hamada Asahi?”

Asahi menatap Jaehyuk. Mencari apakah Jaehyuk sedang berbohong atau bercanda. Tapi, yang ia temukan hanya kesungguhan di sana. Jaehyuk masih menatapnya tajam menunggu jawaban.

Asahi mengangguk pelan kemudian melingkarkan tangannya pada leher Jaehyuk. Mencium bibir penuh itu lembut. Asahi melepaskan tautan bibirnya dan menatap manik Jaehyuk. Tatapan lembut itu menghanyutkannya. Membuatnya terjerumus semakin dalam.

“Kau tahu? Aku tidak pernah percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Aku selalu mengira hal itu konyol. Semesta pasti sedang menertawakanku sekarang karena hal yang kuanggap konyol terjadi padaku. Aku menyukaimu sejak kau menabrakku pagi itu. Setelah hari itu, wajahmu tak pernah pergi dari otakku. Kau membuatku gila, Asahi.”

Jaehyuk menarik pinggang ramping Asahi, membawanya masuk ke dalam pelukannya. Tangannya mengelus surai kecoklatan itu sayang. Mengecup keningnya lembut kemudian membiarkan Asahi membenamkan wajahnya di dada bidangnya.

Langit Paris malam itu benar-benar indah. Ratusan bintang berkelap-kelip di hamparan langit luas. Bulan purnama yang bersinar menambah indah malam itu. Paris memang terkenal sebagai kota paling romantis. Banyak pasangan bermimpi menjalin kisah cinta mereka dimulai dari kota ini. Dari sini, Paris, kisah cinta keduanya dimulai.

♤♤♤

Jaehyuk menatap kekasihnya yang sedang berdiri membelakanginya di balkon apartemen mereka. Seulas senyum terukir di bibirnya melihat makhluk ciptaan Tuhan yang paling indah. Kemeja milik Jaehyuk yang kebesaran membalut sempurna tubuh mungil itu. Jaehyuk menghampirinya perlahan, memeluk pinggang ramping itu dari belakang. Wajahnya ia benamkan di ceruk leher kekasih mungilnya, menghirup dalam wangi yang selalu memabukkan. Dari kejauhan Menara Eiffel menjulang indah. Ribuan cahaya lampu menerangi terlihat menakjubkan dilihat dari sini.

Jaehyuk menatap lekat Asahi. Tanganya bertumpu pada railing balkon di hadapannya, memerangkap tubuh mungil Asahi di antaranya. Asahi membalikkan tubuhnya tiba-tiba. Maniknya memandang dalam wajah tampan pemuda Korea yang menjadi kekasihnya beberapa bulan ini. Jaehyuk meraih leher jenjang Asahi kemudian memberikan kecupan-kecupan kecil di sana. Tidak puas dengan itu, Jaehyuk melumat dalam bibir ranum Asahi. Tangannya menyelusup masuk ke dalam kemeja kebesarannya yang sedikit tersingkap tertiup semilir angin malam. Asahi seperti melayang sekarang. Sentuhan dan lumatan yang diberikan Jaehyuk membuat lututnya lemas. Asahi menutup matanya, menikmati setiap momennya. Sesekali desahan keluar dari bibir manis itu tatkala Jaehyuk semakin agresif melumat bibirnya.

“Nggh...,“lenguh Asahi membuat Jaehyuk tersenyum dengan smirknya menyadari Asahi menikmati perlakuannya.

Jaehyuk membawa tubuh Asahi ke dalam, mendorong lembut tubuh mungil itu membuatnya jatuh terduduk di sofa. Jaehyuk masih sibuk melumat bibir yang sudah membengkak. Sadar Asahi kehabisan napas, Jaehyuk melepaskan tautan bibir mereka.

“Shall we continue this?” tanya Jaehyuk meminta ijin. Ia tidak akan melakukannya jika Asahi belum siap.

“Tonight, I'm all yours, Yoon Jaehyuk,” lirihnya pelan.

Jaehyuk tersenyum lembut kemudian menggendong tubuh kurus Asahi ke dalam kamar. Maniknya tidak terlepas sekalipun dari wajah Asahi yang benar-benar terlihat indah. Asahi adalah candu baginya.

♤♤♤

Sinar mentari menyusup masuk di balik tirai jendela. Jaehyuk memandangi wajah damai Asahi yang masih terlelap bersandar di dada bidangnya. Tangannya mengelus surai coklat itu lembut. Sesekali mengecup pucuk kepala kekasih mungilnya yang manis. Tidak lama Jaehyuk merasakan gerakan dari manusia manis di sampingnya. Perlahan manik indah nan teduh itu membuka, berusaha menyesuaikan pupilnya dengan cahaya terang yang berasal dari tirai-tirai jendela.

“Selamat pagi. Bagaimana tidurmu my little prince?” tanya Jaehyuk dengan nada menggoda. Tersenyum puas ketika melihat wajah Asahi yang bersemu. Asahi mengusak kepalanya di dada bidang Jaehyuk menyembunyikan wajahnya di sana. Malu ketika mengingat aktivitas mereka semalam.

“Kenapa kau sangat manis dan menggemaskan, hm?”

“Diam, Yoon Jaehyuk. Jangan menggodaku terus,” sahutnya sambil menepuk pelan dada Jaehyuk mengundang gelak tawa dari bibir penuh pemuda tampan itu.

“Aigooo kau benar-benar manis seperti anak kucing.”

Asahi mengangkat tubuhnya kemudian membulatkan matanya. Kesal karena Jaehyuk terus menggodanya.

“Aku bukan anak kucing. Jika menurutmu anak kucing manis, kau pacaran saja dengan kucing!” ucapnya sebal.

Jaehyuk hanya bisa tertawa keras melihat Asahi yang beribu-ribu kali jauh lebih menggemaskan ketika sedang merajuk.

“Sudah jangan kesal lagi nanti aku gigit loh.”

Asahi memukul keras lengan Jaehyuk kemudian beranjak dari tempat tidurnya.

“Aku ada kelas siang. Tidak ada waktu bercanda,” dengusnya kesal.

Jaehyuk terkekeh kemudian menarik tubuh Asahi, membuat pemuda manis itu terjatuh ke belakang tepat pada dada Jaehyuk. Jaehyuk melingkarkan lengannya di pinggang ramping itu.

“Kau lucu sekali. Jangan kesal lagi aku hanya menggodamu karena kau terlalu lucu,” ucapnya lembut kemudian mengecup bibir manis itu.

Asahi tersenyum kecil. Membalas kecupan yang berubah jadi lumatan dalam. Asahi melepaskan tautan bibir keduanya.

“Aku benar-benar ada kelas. Aku harus bersiap-siap. Kau tidak ada kelas?”

“Hari ini tidak ada jadwal. Nanti kujemput eum?”

“Tidak perlu. Kau pasti lelah setelah seminggu penuh mengerjakan project kuliahmu. Lebih baik kau beristirahat.”

Jaehyuk menggeleng kecil.

“Aku tidak lelah. Kau itu kekasihku. Aku harus menjagamu. Jadi, aku jemput nanti eum?”

Asahi menghela napas. Percuma melawan Jaehyuk yang terkadang keras kepala.

“Baiklah. Kuliahku akan selesai jam 7 malam.

Jaehyuk mengecup kening Asahi lembut.

“Aku akan sangat merindukanmu.”

Jaehyuk memutar bola matanya malas.

“Aku hanya kuliah, Jae bukan pergi jauh. Dasar tukang rayu!”

Jaehyuk tertawa keras kemudian mengacak surai lembut Asahi.

“Yasudah sana siap-siap nanti terlambat. Aku mau tidur lagi,” katanya sambil bergelung di dalam selimut tebalnya.

“Pemalas!” ejek Asahi menjulurkan lidahnya kemudian beranjak ke kamar mandi.

Jaehyuk hanya tersenyum kecil. Memejamkan matanya dan memeluk gulingnya. Membayangkan Asahi yang manis dan sempurna yang terlihat begitu indah dan memabukkan semalam. Kali pertama mereka melakukannya dan Jaehyuk merasa itu malam terindah dalam hidupnya. Perlahan kantuk menguasainya membawanya ke alam mimpi.

Asahi sudah siap dengan kemeja dan celana jeansnya ketika melihat Jaehyuk yang sudah kembali terlelap. Senyum kecil menghiasi bibir tipisnya. Perlahan melangkahkan kakinya kemudian mengecup lembut kening Jaehyuk.

“Aku beruntung memilikimu,” ucapnya pelan. Maniknya terus memandangi wajah terlelap Jaehyuk yang begitu damai dan tenang. Dalam hati tidak henti bersyukur bisa mengenal dan memiliki Jaehyuk dalam hidupnya.

♤♤♤

Sepasang kekasih dengan tangan saling bertautan dalam genggaman menyusuri Seine River malam itu. Lampu-lampu kecil yang berpendar di sepanjang tepi sungai membuat pemandangan Seine River menjadi lebih indah.

Asahi menggoyang-goyangkan tangan keduanya. Senyum manis merekah di bibir tipisnya. Maniknya menatap langit malam itu. Menghirup dalam udara segar Paris di malam hari. Membiarkan semilir angin meniup kecil surai kecoklatannya. Jaehyuk memperhatikan dengan seksama. Bibirnya mengulum senyum kagum. Setiap hari melihat kekasih manisnya tapi setiap hari juga Jaehyuk mengagumi pemandangan sempurna Hamada Asahi.

“Malam ini langitnya bagus sekali. Lihat banyak bintang,” kata Asahi semangat sambil menunjuk langit yang membentang luas di atas sana.

Jaehyuk ikut menatap langit malam.

“Hm langitnya indah tapi aku lebih suka Asahi,” goda Jaehyuk.

Asahi menepuk lengan Jaehyuk kemudian mengerucutkan bibirnya.

“Bisa tidak, sih, sehari saja kau tidak menggodaku?” tanyanya berpura-pura kesal. Nyatanya wajahnya memanas sekarang. Bibirnya terkulum menahan senyum.

“Kau menyukainya, Asahi. Lihat pipimu sampai merona seperti itu.”

Asahi memukul keras perut rata Jaehyuk.

“Kau sungguh menyebalkan! Aku tidak mau lagi bicara denganmu!” ucap Asahi sambil menghentakkan kakinya berjalan mendahului Jaehyuk.

Sementara Jaehyuk tertawa puas melihat wajah Asahi yang sangat menggemaskan itu. Jaehyuk mempercepat langkah kakinya, menarik tubuh mungil Asahi membuatnya bersandar pada dada bidangnya. Jaehyuk melingkarkan lengannya di leher pemuda manis itu kemudian mencium ceruk leher putih itu lembut.

“Kau lihat Notre Dame Cathedral di seberang sana?” tanya Jaehyuk tiba-tiba.

Asahi mengedarkan pandangannya ke seberang Sungai Seine. Memang katedral terkenal itu tepat berada di seberang sungai ini. Asahi mengangguk kecil.

“Suatu hari nanti, aku akan menikahimu di sana. Kita menyelesaikan kuliah kemudian kembali ke Korea, bertemu dengan kedua orang tuamu kemudian kita akan menikah di sini.”

Jaehyuk mengatakannya dengan mudah namun Asahi tahu ada kesungguhan di sana. Asahi terdiam.

“Kau serius mau menikah denganku?” tanya Asahi kali ini menatap manik Jaehyuk.

“Memangnya kau tidak mau?”

Jaehyuk menatapnya sendu.

Asahi tersenyum kecil kemudian menangkup wajah tampan di hadapannya.

“Jika tiba waktunya nanti, tentu aku mau, Jae. Betapa bodohnya diriku jika menolak orang yang benar-benar mencintaiku.”

“Sampai hari itu datang, kita buat kenangan indah. Kita raih mimpi kita masing-masing. Terus bersamaku, eum?”

Asahi mengangguk cepat kemudian memeluk erat Jaehyuk. Nyaman. Berada di pelukan Jaehyuk sangatlah nyaman. Asahi merasa Jaehyuk adalah pilar hidupnya. Tanpa Jaehyuk, hidupnya akan luluh lantak.

“Mau masuk ke dalamnya?” tanya Jaehyuk ketika ide itu tiba-tiba muncul di otaknya.

“Hm? Memangnya masih buka?”

Jaehyuk menjawabnya dengan senyum kemudian menarik lengan Asahi.

“Ikuti aku saja.”

Asahi terkesima menatap Notre Dame Cathedral di malam hari. Lampu-lampu membuat bangunan megah itu menjadi terlihat lebih indah.

“Aku sering melihatnya dari luar, tapi tidak pernah tahu Notre Dame akan sebagus ini ketika malam hari.”

“Kau akan lebih terkejut ketika melihat interiornya.”

Jaehyuk mengenggam erat tangan Asahi dan membimbingnya masuk.

Mulut Asahi menganga melihat interior Notre Dame Cathedral yang benar-benar menakjubkan. Matanya berbinar mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya

“Indah sekali, Jae.”

Asahi berdecak kagum. Matanya tak berhenti bergerak melihat katedral yang sangat menakjubkan. Pantas saja wisatawan sering ke sini. Ternyata bagian dalamnya seindah ini.

Jaehyuk masih menggenggam erat tangan Asahi, membawanya pelan menuju altar. Jaehyuk memejamkan matanya sementara Asahi memperhatikannya.

“Aku janji akan menikahi Hamada Asahi di katedral ini. Membahagiakannya dan mencintainya sepenuh hati.”

Asahi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Bertemu dengan Jaehyuk adalah anugerah. Bisa mengenalnya bahkan memilikinya adalah hal terindah yang pernah terjadi di hidupnya. Jika keduanya bisa terus bersama selamanya, Asahi tidak akan meminta apa-apa lagi. Semua itu sudah lebih cukup baginya.

♤♤♤

•France, Paris, 2016•

Jaehyuk menatap resah amlop putih di genggamannya. Gemeretak giginya menandakan dirinya sedang berusaha menahan emosi sekarang. Jaehyuk dengan lancang membuka amplop putih itu membaca deretan kalimat di sana. Maniknya membulat. Tangannya meremas ujung kertas putih itu.

Asahi baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk di tangannya. Mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah. Mematung sempurna melihat surat yang sedang dibaca Jaehyuk.

“J-j-jae..,” lirihnya.

Jaehyuk membalikkan badannya. Menatap Asahi tak percaya.

“Apa ini Asahi?! Aku kira kau akan pulang ke Korea bersamaku? Sampai kapan kau akan menyembunyikan hal ini dariku?!” tanyanya frustasi dengan nada sedikit meninggi.

“Dengarkan aku dulu, Jae. Aku mohon,” pinta Asahi dengan nada lirih yang menyayat hati.

Asahi menarik paksa surat itu kemudian meletakannya di meja.

“Kita punya mimpi kita masing-masing, Jae. Aku diterima bekerja di salah satu galeri ternama di sini. Aku bisa meraih mimpiku menjadi seniman terkenal. Kau akan membantu perusahaan Ayahmu di Korea. Kita bisa meraih mimpi kita masing-masing terlebih dahulu kemudian menikah. Di Notre Dame seperti yang kau janjikan. Lalu kita bisa tinggal di sini. Aku bekerja di galeri sedangkan kau mengurus cabang perusahaan Ayahmu di sini.”

“Lalu bagaimana aku hidup tanpamu?! Apa kita harus menjalin hubungan jarak jauh? Satu dua tahun aku sanggup tapi jika kau menerima pekerjaan itu, kau akan selamanya menetap di Paris. Kau tidak akan kembali ke Korea lagi. Kau tidak akan hidup bersamaku di sana. Aku tidak mungkin meninggalkan keluargaku di Korea, Asahi. Lalu aku harus bagaimana?!”

Jaehyuk meremas surai hitam legamnya. Air mata mengalir dari kedua matanya. Matanya menatap Asahi sendu. Pemuda manis itu tampak berantakan. Air mata mengalir deras dari manik indah itu. Hidungnya memerah.

Asahi terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Ia ingat film La La Land yang baru saja ditontonnya di cinema sepekan lalu. Kedua tokohnya berpisah karena mengejar mimpi mereka masing-masing kemudian tidak memiliki akhir bahagia. Akankah kehidupannya begitu juga? Akankah kisahnya berakhir di sini?

“Let's break up, Asahi.”

Singkat.

Namun menghancurkan.

Asahi menatap Jaehyuk nanar. Mudah sekali bagi Jaehyuk mengatakan kalimat menyakitkan itu. Mudah sekali dirinya menghancurkan Asahi. Asahi terduduk lemas di lantai kayu apartemennya. Isakan lolos dari bibirnya.

“Kau egois, Asahi.”

Jaehyuk terduduk bersandar di dinding. Menatap sedih pemuda manis yang terisak tidak jauh darinya.

“Iya, aku egois. Yoon Jaehyuk selalu yang paling benar. Hanya Yoon Jaehyuk yang boleh meraih mimpinya. Asahi tidak boleh menjadi yang Asahi inginkan. Tidak boleh meraih mimpinya. Harus selalu mengikuti bayang-bayang Yoon Jaehyuk,” isaknya.

Secepat Jaehyuk mengatakannya secepat itu pula dirinya menyesal. Merasa jahat karena mengatakan Asahi egois. Nyatanya keduanya memang punya mimpi masing-masing yang harus diperjuangkan dan diraih. Bukan soal egois, tapi memang keduanya teguh pada pendirian masing-masing. Bukan soal tidak cinta, tapi kadang sesuatu yang dipilih akan selalu diikuti pengorbanan setelahnya dan besar kecilnya pengorbanan tidak bisa diukur hanya karena manusia lebih memilih hal yang satu dibanding yang lain. Banyak pertimbangan di dalamnya. Banyak pergumulan di perjalanannya.

“Maafkan aku, Asahi sudah melukaimu. Ini bukan soal egois, tapi memang keinginan kita berdua dan setiap pilihan memang selalu ada pengorbanan yang mengikuti,“katanya lembut menghampiri Asahi berjongkok di depannya dan merengkuh tubuh mungil itu.

Asahi menangis kencang di pelukan Jaehyuk. Dirinya tidak pernah ingin hubungan ini berakhir. Tapi harapan kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Nyatanya, tidaklah semudah itu. Nyatanya semakin seseorang dewasa akan banyak dihadapkan dengan beberapa pilihan. Terkadang sulit namun begitulah hidup. Sebagai manusia, hanya dapat menjalani dan belajar merelakan.

“Terima kasih untuk semuanya, Asahi. Jika memang garis hidup kita dipertemukan lagi, aku akan selalu menemukanmu. Maafkan aku yang dengan mudahnya berjanji lalu ingkar. Memang benar kata pepatah. Don't make promises when you are happy.”

Asahi menggeleng pelan. Tidak ada yang bersalah di antara keduanya.

“Jangan meminta maaf. Kau dan aku tidak bersalah. Hiduplah dengan baik, Yoon Jaehyuk. Jika semesta berpihak pada kita dan memberikan kesempatan lagi, aku juga akan selalu menemukanmu,” ucapnya lembut kemudian mengecup bibir penuh Jaehyuk lama. Menikmati momen terakhir yang mungkin tidak akan terulang lagi.

Their last kiss.

Their last night.

Their last memory.

♤♤♤

•Paris, Autumn, July, 2020•

Asahi duduk terdiam di sofa ruang tengahnya. Acara televisi di depannya tampak tidak menarik. Sudah sebulan setelah putusnya hubungannya dengan Caesar. Asahi menatap undangan pernikahan yang menganggu tidurnya setiap malam sebulan belakangan ini.

Yoon Jaehyuk akan menikah. Pemuda yang amat dan masih dicintainya itu akan menikah. Bukan dengan dirinya. Asahi merasakan matanya kembali memanas. Asahi ingat ketika hubungannya harus berakhir 4 tahun silam. Awalnya Jaehyuk masih mengirimkan surat setiap minggunya dari Korea. Awalnya mereka masih sering bertukar pesan singkat. Awalnya Jaehyuk masih menghubunginya. Mereka akan berbicara tiap malam sampai Asahi jatuh tertidur. Tidak peduli dengan perbedaan waktu yang menghalangi mereka. Namun, itu hanya bertahan 1 tahun. Setelah itu, pesan singkat, surat maupun telepon dari Jaehyuk berhenti. Lalu bisa-bisanya sebulan lalu undangan pernikahan itu sampai di apartemennya.

Jaehyuk benar-benar sudah melupakannya, kan? Tidak ada lagi kesempatan untuk mereka berdua, kan?

Asahi menatap kotak hitam bertuliskan namanya dan Jaehyuk di sudut ruangan yang beberapa hari lalu Asahi keluarkan dari gudang. Asahi masih menyimpannya. Semua kenangannya dengan Jaehyuk. Asahi melangkah gontai kemudian membuka kotak itu perlahan.

Bingkai foto mereka berdua.

Sketsa wajah Jaehyuk.

Tiket menonton.

Tiket taman bermain.

Tiket acara musikal.

Kumpulan mawar yang sudah mengering, yang selalu Jaehyuk berikan setiap anniversary mereka.

Air mata menggenang, siap jatuh kapan saja. Merasa bodoh akan dirinya sendiri mengapa sudah selama ini Asahi tetap tidak bisa melupakan pemuda Korea itu. Merasa bodoh karena nyatanya pemuda Korea itu sudah melupakannya sepenuhnya. Bahkan Jaehyuk tidak mengatakan apa-apa. Hanya undangan itu saja yang menjadi jawaban bagi Asahi bahwa pemuda Korea itu benar-benar sudah menghapusnya dari hidupnya.

Asahi menekuk lututnya, membenamkan wajahnya di antaranya. Menangis tertahan.

Pilu bagi siapapun yang mendengarnya.

Daun-daun di luar jendela berguguran tertiup angin. Asahi memeluk tubuh kurusnya merasakan hawa dingin menusuk tulangnya.

Sunyi.

Sendiri.

Hancur.

Rasanya ingin melihat pemuda Korea itu untuk terakhir kalinya. Merasakan pelukan eratnya. Merasakan bibir penuhnya yang memabukkan. Merasakan sentuhannya. Namun, Asahi bisa apa?

Jaehyuknya sudah melupakannya.

Jaehyuknya sudah bahagia.

Seharusnya, Asahi bahagia juga.

Asahi mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan di apartemennya. Apartemen ini menyimpan banyak kenangan dirinya dengan Jaehyuk. Lantas mengapa tidak pindah saja? Karena Asahi masih berharap suatu hari nanti Jaehyuk muncul di pintu apartemennya dan memeluknya. Karena Asahi masih berharap pemuda itu kembali kepadanya. Berharap garis hidup mereka dipertemukan lagi.

Namun, sekarang terkesan percuma bukan?

Now, it's time to let all the things go, right?

♤♤♤

•Seoul, July, 2020•

Pemuda berusia 26 tahun itu sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen perusahaan yang berserakan di meja ruang kerjanya. Sesekali menaikkan kacamatanya, membaca beberapa perjanjian perusahaan. Matanya terfokus pada laptop di depannya. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard laptopnya. Mengetik beberapa hal penting.

Seorang wanita cantik dengan rambut sebahu melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan secangkir teh yang masih mengepul.

“Hai, Jaehyuk. Aku buatkan teh. Minum dulu.”

Jaehyuk menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Tampak berpikir sebentar. Harusnya ia bahagia kan? Tapi, entah kenapa hatinya terasa kosong. Jane adalah wanita baik dan menyenangkan, tapi entah kenapa hatinya terasa hampa. Perasaan yang dirasakannya terhadap wanita cantik yang berdiri di hadapannya ini terus terasa asing. Jaehyuk setuju menikahinya karena Eommanya memohon padanya, mengingat mereka sudah berpacaran 2 tahun dan usia Jane yang lebih tua 3 tahun darinya.

Jaehyuk tersenyum kecil kemudian menyesap teh hangat itu.

“Jangan terlalu lelah bekerja,” ucap Jane sambil memegang bahu Jaehyuk.

Jaehyuk hanya tersenyum, menggenggam tangan kurus Jane.

“Sebentar lagi selesai.”

Jane tersenyum kemudian mengecup pipi Jaehyuk lembut.

Jaehyuk tak mengerti. Selama 2 tahun mereka saling mengecup, berpegangan tangan, memeluk, namun sampai saat ini masih terasa asing. Hati Jaehyuk berkecamuk. Takut jika keputusannya untuk menikah adalah keputusan yang akan menghancurkan keduanya.

“Kau pulanglah lebih dulu. Ini sudah malam. Maaf aku tak bisa mengantarmu. Deadline-nya besok dan aku harus menyelesaikan semuanya malam ini. Aku akan menyuruh Pak Kim untuk mengantarmu pulang.”

“Tidak apa. Aku mengerti. Aku pulang dulu ya. Jangan lupa 3 hari lagi kita harus fitting baju pernikahan kita.”

Jaehyuk hanya mengangguk kecil kemudian mengecup kening Jane sebelum mengantarnya ke depan.

Jam sudah menunjukkan jam 12 malam. Jaehyuk meregangkan tubuhnya yang terasa penat, melepaskan kacamatanya kemudian beranjak ke kamarnya. Ia butuh tidur sekarang juga.

Jaehyuk menatap langit-langit kamarnya. Memegang dadanya. Sejak hari itu, sejak ia sadar setelah kecelakaan 3 tahun lalu, di malam bersalju di tahun 2017, Jaehyuk merasa ada yang kosong di hidupnya. Seperti ada yang hilang tapi Jaehyuk tidak tahu apa. Lelah menguasai tubuhnya membuat kelopak matanya dipaksa terpejam.

“Kau lihat Notre Dame Cathedral di seberang sana?”

“Suatu hari nanti, aku akan menikahimu di sana. Kita menyelesaikan kuliah kemudian kembali ke Korea, bertemu dengan kedua orang tuamu kemudian kita akan menikah di sini.”

“Kau serius mau menikah denganku?”

Aku janji akan menikahi Hamada Asahi di katedral ini. Membahagiakannya dan mencintainya sepenuh hati.”

Jaehyuk terbangun dengan napas terengah. Mimpi itu datang lagi, tapi tidak pernah seintens ini. Semakin hari, mimpinya terasa semakin jelas.

Menikah?

Hamada Asahi?

Siapa pemuda itu?

Jaehyuk menjanjikan perihal menikah tapi bukan Jane yang berdiri di sana di dalam mimpinya. Bukan Jane yang ia bawa ke dalam katedral itu. Jaehyuk memegangi kepalanya yang terasa sakit seperti ditusuk. Ia memejamkan matanya, berusaha berdiri mengambil obat penahan sakit yang berada di meja nakas kamarnya sebelum pandangannya kabur dan sekitarnya menjadi gelap.

♤♤♤

Jaehyuk membuka matanya. Pemandangan serba putih menyambut penglihatannya. Jaehyuk kenal betul tempat ini. Berbulan-bulan lamanya ia menghabiskan waktu di sini. Suara tangisan di sebelahnya membuatnya terusik. Eommanya menangis sesunggukkan.

“Eomma, jangan menangis. Aku baik-baik saja.”

Ibunya menatapnya terkejut.

“Kau sudah sadar? Kau membuat Ibu takut, Jaehyukkie. Kau pingsan di kamarmu.”

“Kepalaku sakit sekali semalam. Aku ingin mengambil obat tapi kesadaranku lebih dulu hilang.”

“Ibu panggilkan dokter, eum?”

Jaehyuk menggeleng, menahan lengan Ibunya yang baru saja akan beranjak dari duduknya.

“Eomma, siapa Hamada Asahi?”

Mata Ibunya membulat sempurna. Hamada Asahi. Apakah Jaehyuk mengingatnya?

“Aku tanya sekali lagi. Siapa Hamada Asahi? Apa ada yang Eomma sembunyikan dariku selama ini?” tanya Jaehyuk dengan tatapan memohon.

“Kau tunggu di sini. Ibu panggilkan dokter saja ya,” ucap Ibunya terburu-buru.

Jaehyuk mengingatnya? Bagaimana bisa?

10 menit kemudian dokter yang merawatnya memeriksanya. Membetulkan letak kacamatanya kemudian menghela napas panjang. Fokusnya menatap Nyonya Yoon memohon persetujuan.

“Katakan saja yang sesungguhnya,” lirih Nyonya Yoon pelan.

Sudah cukup bukan menutupinya dari anak semata wayangnya ini?

Jaehyuk bingung setengah mati. Sebenarnya ada apa? Apa yang harusnya ia tahu tapi disembunyikan darinya selama ini?

“Jaehyuk-ssi. Kau ingat kecelakaan 3 tahun lalu yang membuatmu dirawat di sini selama berbulan-bulan? Karena kecelakaan itu, kepalamu terluka parah. Pendarahan di otakmu sangat parah sampai kau bisa mati kapan saja. Setelah hari itu, kau melupakan sebagian kejadian di hidupmu. Menurut ilmu Kedokteran, memori itu tidak akan mungkin kembali lagi karena otakmu rusak parah kala itu. Kami tidak pernah memberitahu yang sesungguhnya karena lebih baik bagimu untuk memulai hidup baru. Tak perlu mengingatnya lagi. Tak perlu merasakan sakit lagi. Kami... tidak menyangka jika memori itu perlahan muncul lagi membuatmu sedikit demi sedikit mengingatnya.”

Jaehyuk menatap Ibu dan Doker Lee tidak percaya. Ia merasa dibohongi selama hidupnya. Mengapa harus ditutupi? Atas dasar apa mereka berani menentukan apakah dirinya harus mengingatnya lagi atau melupakan memorinya yang hilang? Mengapa tidak pernah mengatakannya? Karena inikah hatinya selalu terasa kosong? Seperti ada yang hilang tanpa tau bagian apa yang sudah hilang.

“Kalian jahat sekali. Yoon Jaehyuk adalah milik Yoon Jaehyuk. Hidupku.. aku yang berhak menentukannya. Mengapa kalian dengan tega menutupi semuanya? Bertahun-tahun aku merasakan ada yang kosong dari hidupku. Ada yang hilang tanpa ku tau apa yang sesungguhnya hilang. Kalian tega sekali,” ucapnya lirih dengan air mata menggenang. Tenaganya sudah habis untuk berteriak. Tubuhnya terasa lemas.

Nyonya Yoon hanya bisa menangis. Memohon maaf adalah percuma. Ia hanya berusaha meringankan sakit anak kesayangannya tanpa berpikir justru hal ini menyakitinya dengan sangat.

“Apa Jane tahu juga akan hal ini?”

Nyonya Yoon mengangguk pasrah.

Jaehyuk tertawa miris.

“Aku ingin sendiri. Kalian keluarlah.”

Nyonya Yoon berusaha mendekat.

“Jangan mendekat. Maaf, tapi aku tidak bisa berbicara dengan eomma sekarang. Semua terlalu menyakitkan.”

Nyonya Yoon mengangguk mengerti kemudian melangkah keluar masih dengan tangis pilunya. Bagaimana jika seorang Ibu justru menghancurkan hidup anaknya sendiri?

♤♤♤

Sejak kejadian hari itu, Jaehyuk membatalkan pernikahannya. Tidak peduli akan semua persiapan yang sudah dilakukan. Tidak peduli dengan tangisan Jane dan kedua orang tuanya. Jaehyuk tidak peduli. Jika bukan karena kebohongan kedua orang tuanya, semua tidak akan begini. Amarahnya semakin meluap ketika tahu Ibunya mengirim undangan itu kepada Hamada Asahi. Sejak kejadian itu, Jaehyuk tidak pernah meninggalkan kamarnya. Hatinya terasa sakit ketika harus melihat kedua orang tuanya.

Hamada Asahi.

Ingatannya masih samar tapi yang dirinya tahu pemuda itu adalah bagian penting dari hidupnya. Jaehyuk berusaha mengingatnya namun kepalanya akan terasa sangat sakit setelah itu.

“Jaehyuk-ah,” panggil Ibunya dari luar kamar.

“Jika Ibu ke sini untuk memaksaku melangsungkan pernikahan itu, lebih baik kita tidak usah bicara,” jawabnya ketus.

Hati Nyonya Yoon mencelos. Entah bagaimana menebus kesalahannya.

“Tidak seperti itu, Jaehyukkie. Ibu membawa sesuatu untukmu. Benda-benda ini penting bagimu.”

Jaehyuk menghela napas kemudian membuka kasar pintu kamarnya. Mendapati Ibunya yang terlihat mengurus dan mata yang sembab. Bagaimanapun Ibunya adalah yang membesarkannya dan hatinya sakit juga melihat keadaan wanita yang paling ia sayangi itu. Tatapannya seketika melembut.

“Ibu tahu mungkin Ibu harus menghabiskan sisa hidup Ibu untuk menebus kesalahan yang sudah Ibu lakukan. Ibu tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mendapat maaf darimu. Ibu hanya bisa memberi ini. Membantu kau mengingatnya lagi. Setelah kau mengingatnya lagi, temui dia. Hamada Asahi. Ibu punya alamatnya. Tapi, Ibu mohon jangan memaksakan diri. Pelan-pelan saja. Ibu tidak mau kau sakit.”

Jaehyuk menatap Ibunya tak percaya. Pandangannya tertuju pada kotak hitam bertuliskan nama dirinya dan Asahi. Jaehyuk mengambilnya ragu, menatap kotak hitam yang terasa familiar. Jaehyuk membawanya dan meletakkannya di atas tempat tidurnya. Membukanya perlahan.

Secepat ia membuka kotak hitam itu, secepat itu potongan-potongan ingatannya menari-nari di kepalanya. Mendesak untuk naik ke permukaan.

Jaehyuk melihat semua kenangannya dengan Asahi di sana. Foto mereka berdua, kencan pertama mereka, sketsa dirinya dan Asahi, surat cinta yang Asahi tulis ketika anniversary mereka. Sebuah kunci tergeletak di sana yang ia yakini adalah kunci apartemen Asahi.

Kepalanya terasa sedikit sakit tapi jika ingin mengingatnya, Jaehyuk tidak boleh menyerah. Asahi adalah pemuda yang ia cintai sepenuh hati.

Setetes air mata jatuh begitu saja ketika dirinya mengingat potongan kisahnya. Saat dirinya dengan bodohnya mengakhiri hubungan mereka. Jika Jaehyuk tidak pernah mengakhirinya, belum tentu semuanya akan seperti ini. Jaehyuk ingat senyum manis itu, tawanya, manik indahnya, surai kecoklatan halus yang membingkai wajah sempurna itu. Jaehyuk inga

Title: Past, Present and Future {SongFic!AU}

Pairing: Jaehyuk/Asahi

Song: The Script – Never Seen Anything Quite Like You

-notes- italic: flashback (~)in italic: the song lyric

_____________________

“And then my soul saw you and it kind of went, “Oh there you are! I've been looking all over for you.”

_____________________

~I think I want you more than want

I know I need you more than need~

•Seoul, 2009•

Hujan deras mengguyur bumi. Kilat dan gemuruh petir bersahut-sahutan di luar memekakkan telinga. Suara pintu yang diketuk keras membuat anak laki-laki bertubuh mungil dengan surai kecoklatan berlari cepat menuju pintu kemudian membukanya kasar.

Maniknya membulat ketika melihat anak laki-laki sebayanya berdiri di ambang pintu rumahnya dengan kepala tertunduk. Baju yang dipakainya sudah basah kuyup.

“J-jaehyukkie...”

Anak laki-laki yang dipanggil Jaehyuk itu mengangkat kepalanya—memperlihatkan wajahnya. Matanya memerah—air mata mengalir deras dari sepasang mata teduhnya yang tersamarkan oleh air hujan yang juga membasahi wajahnya.

“Hi-kun, tolong Jaehyuk,” lirihnya pilu.

Asahi tersentak melihat wajah Jaehyuk. Luka dan lebam memenuhi wajah tampan itu. Sudut bibir dan pelipisnya berdarah. Hati Asahi berdenyut diiringi cairan bening yg mengalir begitu saja dari manik indahnya.

Bukan cuma sekali Asahi melihat pemandangan seperti ini dan berkali-kali pula lah hati Asahi hancur dibuatnya.

“Masuk dulu, Jae. Nanti Jaehyuk sakit berdiri terlalu lama di luar,” ajak Asahi seraya merengkuh pundak Jaehyuk. Rintihan kecil lolos dari bibir Jaehyuk. Asahi melepaskan rengkuhannya tatkala mendengar rintihan pilu itu.

“Ah maaf.. Di bagian sini sakit juga? Nanti kita obati di dalam, ya,” ucap Asahi berusaha tersenyum.

Jaehyuk mengangguk kecil.

“Astaga Jaehyuk-ah! Ayo, sayang masuk. Nanti sakit,” ucap seorang wanita dengan wajah lembut dan menenangkan.

“Hi-kun ambilkan obat ya. Bisa kan? Ibu akan menyiapkan air hangat untuk Jaehyuk.”

Asahi menganggukan kepalanya kemudian berlari cepat ke dalam.

Sepeninggal Asahi, Jaehyuk menghambur ke dalam pelukan wanita itu.

“Sakit sekali, Bibi. Rasanya Jaehyuk ingin tinggal dengan bibi dan Asahi saja biar Jaehyuk tidak bertemu Appa lagi,” isaknya kencang.

Wanita lembut yang merupakan Ibu dari Asahi mengelus punggung anak kecil di pelukannya yang bergetar hebat. Dalam hati merutuki bagaimana seorang Ayah bisa dengan tega menyakiti anaknya sendiri.

Asahi yang baru saja selesai mengambil obat memperhatikan keduanya dari balik tembok. Maniknya berkaca-kaca melihat sahabat yang paling disayanginya terluka dan menangis seperti itu. Sejurus kemudian Asahi berlari kemudian memeluk erat dua orang di sana. Ibu dan Jaehyuknya.

“Jaehyuk punya Asahi. Jaehyuk jangan sedih lagi. Kapanpun Jaehyuk membutuhkanku, Asahi pasti ada untuk Jaehyukkie.”

Ibunya menatap anaknya lembut. Anaknya memang anak yang paling manis dan baik. Ibunya tahu betapa Asahi sangat menyayangi sahabatnya itu.

“Ah! Jaehyuk tinggal bersama kita saja,” katanya tiba-tiba.

“Tidak bisa begitu, Hi-kun. Jaehyuk juga punya keluarga,” jelas Ibunya dengan sabar.

“Tapi Ibu dan Ayah tinggal bersama padahal kalian punya keluarga masing-masing juga. Ada kakek dan nenek.”

Asahi mengerucutkan bibirnya.

Ibunya tertawa pelan seraya mengacak surai halus anaknya.

“Ayah dan Ibu sudah menikah, Sayang, jadi tinggal bersama dan memiliki keluarga lain. Asahi, Ayah dan Ibu.”

“Kalau begitu Asahi dan Jaehyukkie menikah saja! Jadi bisa tinggal bersama. Ya, kan Jaehyukkie?! Jaehyuk mau menikah sama Asahi kan?” tanyanya penuh harap dengan manik bulat nan polos miliknya.

Senyum merekah dari bibir Jaehyuk melihat tingkah manis dan menggemaskan anak laki-laki yang sedikit lebih pendek darinya.

“Tidak semudah itu, Sayang. Menikah hanya untuk orang dewasa dan bukan untuk main-main. Jika sudah besar nanti, Asahi akan mengerti. Jadi, bersabar ya,” jelas Ibunya lagi dengan senyum lembutnya.

“Asahi sabar ya. Jika Jaehyuk dan Asahi sudah dewasa, kita menikah.”

Sementara sang Ibu hanya bisa terkekeh pelan mendengar pembicaraan keduanya.

Tahu apa mengenai pernikahan? Keduanya masih terlalu kecil dan naif bahkan untuk mengerti tentang cinta.

“Sudah dulu, ya. Kasian Jaehyuknya kedinginan. Jaehyuk mandi dulu. Nanti lukanya Bibi bantu obati.”

Asahi menggandeng tangan Jaehyuk—berjalan beriringan.

“Pasti sakit sekali ya, Jaehyukkie,” ringis Asahi melihat luka di sudut bibir Jaehyuk seolah merasakannya juga.

“Tidak sakit lagi selama ada Asahi di sini.

Semburat merah merayap perlahan di kedua pipi Asahi yang terasa menghangat.

“Asahi selalu di sini kapanpun Jaehyuk membutuhkanku!” ucapnya girang sambil melompat kecil.

Tatapan Jaehyuk melembut. Sampai kapanpun, Jaehyuk membutuhkan sahabat mungilnya ini.

♤♤♤

~I want to hold you more than hold

When you stood in front of me~

•Seoul, 2012•

Asahi menangis terisak di sudut kamarnya yang gelap. Tangisannya terdengar memilukan bagi siapapun yang mendengarnya. Dadanya sesak.

“Asahi rindu Ayah dan Ibu,” ucapnya tersengal di sela-sela isakannya.

Tragis.

Asahi baru saja merayakan ulang tahunnya yang ketujuhbelas 3 hari lalu. Riuh tawa dan tepukan tangan meriah masih teringat jelas di pikirannya. Orang tuanya dan Jaehyuk di sana bersamanya. Senyum lebar mewarnai hari itu.

Dunianya hancur berkeping-keping ketika mendengar orang tuanya mengalami kecelakaan semalam. Orang tuanya tidak akan pernah kembali.

Asahi masih terisak keras—bertumpu pada kedua lengannya yang diletakkan di kedua lututnya yang ditekuk—membuat lengan baju hitamnya basah sempurna.

Langkah kaki perlahan mendekat. Pemuda tampan dengan kemeja hitam menghampirinya kemudian berjongkok di hadapannya—membuat posisi keduanya sejajar.

“Sahi-ya,” lirihnya seraya merengkuh pemuda manis yang masih menangis keras di depannya ke dalam pelukan hangatnya. Memeluknya erat.

“Menangislah sepuasmu. Aku di sini. Aku tidak akan kemana-mana.”

Asahi melingkarkan lengannya erat di pinggang Jaehyuk. Membenamkan wajahnya di dada bidangnya. Merasakan kehangatan tubuh pemuda tampan itu yang mampu menenangkannya.

“Dengarkan aku, Sahi-ya. Mulai hari ini aku yang akan menjagamu. Asahi tidak akan pernah sendiri atau merasa kesepian. Yoon Jaehyuk selalu di sini,”

Tangan kanannya mengelus punggung sempit pemuda yang masih terisak di dekapannya. Jaehyuk merasakan kemejanya yang basah karena air mata. Jaehyuk tak peduli. Asahi boleh menangis sepuasnya hari ini tapi Jaehyuk bersumpah dalam hati akan mengembalikan senyum itu. Senyum manis nan lembut yang membuat Jaehyuk tergila-gila.

Jaehyuk mengecup sayangpucuk kepala Asahi. Lengannya masih melingkar sempurna di pinggang ramping Asahi.

Memeluknya.

Erat.

Jaehyuk tidak ingin melepaskannya.

♤♤♤

~I think you know me more than know

And you see me more than see

I could die now more than die

Every time you look at me~

•Seoul, 2018•

Angin musim semi bertiup lembut. Pohon-pohon cherry blossom yang berada di sepanjang jalan merekah sempurna. Asahi tersenyum melihat bunga-bunga kecil berwarna merah muda yang menghiasi sepanjang jalan yang dilewatinya. Sesekali menghirup udara pagi musim semi yang menyegarkan. Wangi bunga musim semi memanjakan indra penciumannya.

Asahi menoleh ke arah pemuda tampan yang berada di sampingnya. Pandangannya terlihat nanar dan bibirnya terkatup kaku. Asahi mengusap punggung tegap Jaehyuk.

“Kau gugup?” tanyanya lembut.

Jaehyuk mengangguk kecil.

“Sudah bertahun-tahun aku tidak bicara ataupun menemuinya, Sahi-ya. Aku kadang teringat rasa sakitnya. Rasanya seperti baru hari kemarin aku mengalaminya.”

Asahi tersenyum lembut kemudian menggenggam tangan Jaehyuk.

“Aku mengerti, Jaehyuk-ah. Sakit yang kau rasakan. Luka yang kau pendam. Rasa sakit hatimu yang masih membekas. Aku tahu itu. Luka fisik akan sembuh tapi luka yang di sini butuh waktu yang lama, bahkan tidak akan sembuh sempurna tapi cobalah untuk berdamai dengan lukanya,” ucap Asahi seraya menunjuk dada Jaehyuk. Ia tahu hati Jaehyuk masih terluka karena perlakuan Appanya dulu.

“Bagaimanapun dia adalah Appamu. Aku hanya ingin melihat hubunganmu dengannya membaik. Orang tua tidak ada yang sempurna. Mereka manusia biasa jadi bisa menyakiti juga,“katanya lagi sambil memberikan senyum manisnya.

Tatapan Jaehyuk melembut—menatap dalam sepasang manik indah itu. Dalam hati bersyukur memiliki pemuda manis ini di dalam hidupnya.

Asahi sangat mengerti dirinya. Bahkan tanpa dirinya membahasakan apapun. Kata Asahi, mata adalah jendela hati. Dan katanya lagi, mata Jaehyuk berbicara. Asahi melihat semua bahkan tanpa Jaehyuk harus menjelaskan panjang lebar.

Jaehyuk menghentikan langkahnya—membuat pemuda manis yang lebih mungil darinya ini ikut menghentikan langkahnya.

“Terima kasih sudah hadir di hidupku, Hamada Asahi,“ucapnya seraya mengecup singkat bibir manisnya.

Asahi itu seperti kompas hidupnya. Tanpanya, Jaehyuk kehilangan arah. Banyak hal yang Asahi ajarkan dalam hidupnya. Bukan hanya tentang cinta dengan segala keindahannya, tapi juga tentang memaafkan dan menerima.

♤♤♤

~Well I've seen you in jeans with no make-up on

And I've stood there in awe as your date for the prom~

•Seoul, 2020•

Jaehyuk berdiri tegap dengan balutan jas yang membuatnya terlihat beribu-ribu kali lebih tampan. Jantungnya berdegup cepat. Masih tidak percaya hari ini akan datang. Memori-memori indahnya dengan pemuda yang amat dicintainya muncul satu per satu di otaknya. Mengingat perjalanan kisah mereka.

Jaehyuk menatap Ayahnya yang tersenyum bangga tidak jauh darinya. Jika hari itu Asahi tidak memaksanya untuk mengunjungi Ayahnya, mungkin sekarang dirinya tidak bisa melihat pria yang rambutnya mulai memutih itu berdiri di hadapannya.

Mata Jaehyuk terasa memanas. Dirinya berusaha menahan air matanya. Tidak lucu kan jika Jaehyuk menangis bahkan sebelum upacara pernikahannya dimulai?

Jaehyuk mengedarkan pandangannya. Senyum dan tawa bahagia menghiasi wajah tamu undangan yang merupakan orang-orang terdekatnya. Jangan tanyakan perasaan Jaehyuk sekarang. Rasanya kata bahagia juga tidak cukup untuk mendeskripsikan perasaannya.

Dentingan piano mengalun lembut. Jaehyuk memusatkan fokusnya pada satu titik. Pandangannya melembut. Cairan bening yang sedari tadi ditahannya lolos juga dari mata beningngnya.

Hamada Asahi.

Berjalan pelan dengan sebuket bunga lily putih di tangannya. Jas putih membalut tubuh mungil itu sempurna. Wajah manis nan teduh itu. Senyum merekah di bibir merahnya menampakkan lesung pipitnya yang dalam.

Jaehyuk merasakan waktu berhenti saat itu juga. Kejadian di depannya seperti sebuah film romantis yang beberapa kali ditontonnya. Pemandangan paling indah seumur hidupnya. Bahkan pemandangan ini berjuta-juta kali lebih indah dibandingkan dengan pemandangan Asahi malam itu. Malam kelulusannya. Di saat Jaehyuk memintanya untuk menjadi prom date-nya dan menyatakan cintanya di tengah-tengah lautan manusia yang sedang berdansa kala itu.

Jaehyuk menatap lembut Asahi yang kini berdiri di hadapannya. Mengagumi ciptaan sempurna milik Tuhan yang dengan baiknya sudah Tuhan berikan padanya. Air mata haru mengalir dari sudut matanya.

Asahi tersenyum manis. Tangan kirinya terulur mengusap air mata yang terus mengalir dari kedua mata Jaehyuk.

“Jangan menangis. Nanti tidak tampan lagi,” candanya.

Jaehyuk tertawa kecil kemudian mengusap jejak air mata yang tersisa di pipinya.

Jaehyuk menggenggam tangan Asahi—membawa pemuda itu mendekat ke arahnya. Ayahnya menghampiri keduanya dengan sepasang cincin di tangannya.

Jaehyuk menghela napas berusaha menetralkan degup jantungnya yang berdetak cepat. Tangannya meraih sebuah cincin di sana menyematkannya pada jari manis Asahi. Asahi tersenyum melihat cincin yang melingkar sempurna di jari manisnya kemudian mengambil cincin yang tersisa di sana seraya menyematkannya pada jari manis Jaehyuk.

Jaehyuk menggenggam erat kedua tangan Asahi, menatap pemuda manis yang terlihat sangat indah hari ini.

“Hari ini, detik ini, kau adalah milikku seutuhnya, Yoon Asahi. Aku akan menjagamu baik dalam susah maupun senang. Sehat maupun sakit. Terima kasih sudah hadir di hidupku. I loved you in the past, loving you now and will always love you in the future. Past, present and future. Aku akan mencintaimu sepanjang hidupku. Until death do us apart. Aku sangat mencintaimu, Yoon Asahi.”

Manik Asahi berkaca-kaca mendengar perkataan Jaehyuk.Menatap sepasang manik teduh Jaehyuk. Ada ketulusan di sana. Ada rasa cinta yang begitu besar di sana. Asahi larut di dalamnya.

“Aku juga mencintaimu, Yoon Jaehyuk. Dari dulu, detik ini hingga nanti. Selamanya.”

Jaehyuk menarik dagu Asahi kemudian mencium bibir itu dalam. Tepukan tamu undangan terdengar riuh.

Perkataan polos dan naif dua anak kecil beberapa tahun silam kini menjadi kenyataan. Tentang mengikat janji setia dan hidup bersama.

Hari ini dan seterusnya, Asahi miliknya seutuhnya.

~I'm blessed as a man to have seen you in white

But I've never seen anything quite like you tonight~

End.

Title: Beautiful You (SongFic!AU)

Pairing: Jaehyuk/Asahi

Song to listen to: Ysabelle Cuevas – I Like You So Much, You'll Know It

-notes- Tanda (~) in italic : the song lyric

_____________________

Storyline:

~I like your eyes, you look away when you pretend not to care

I like the dimples on the corners of the smile that you wear~

Jaehyuk duduk bersila di ruang tengah dorm bersandar pada sofa di belakangnya. Sesekali memijat tengkuknya yang kaku karena terlalu banyak duduk daritadi. Sudah 2 jam dirinya tidak beranjak sama sekali dari posisi duduknya. Jaehyuk memperhatikan pemuda di sebelahnya yang sedang sibuk dengan gambar dan beberapa warna cat air di hadapannya. Sesekali tersenyum menatap wajah serius pemuda manis yang sedari tadi tidak mengeluarkan sama sekali. Jaehyuk memiringkan kepalanya sedikit, berusaha melihat hasil gambar yang hampir rampung itu. Senyum terlukis di bibir penuhnya. Pemuda manis ini memang sangat berbakat jika urusan melukis. Jaehyuk memandangi warna gradasi oranye dan sepasang siluet pria dan wanita di sana. Benar-benar sempurna. Ia tahu poster untuk live performance Orange mereka pasti akan disukai fans.

Jaehyuk mengubah posisinya. Meletakkan kedua lengannya di atas meja kayu di depannya, melipatnya kemudian membiarkan dagunya bertumpu di sana. Diam-diam menatap wajah pemuda manis yang masih sibuk dengan dunianya. Hamada Asahi. Tidak perlu ditanyakan lagi betapa tergila-gilanya Jaehyuk pada pemuda Jepang ini. Sulit sekali memendam perasaan ini selama 2 tahun. Sulit sekali ketika dirinya melihat pemuda manis ini setiap hari dan berusaha untuk tidak mengatakan semuanya. Dirinya tidaklah pandai membaca perasaan Asahi. Lagipula, pemuda Jepang itu tidak pernah menunjukkan tanda pasti bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama.

“Kau menggambarnya dengan sangat sempurna, Sahi-ya,” ucapnya tiba-tiba. Pandangannya terarah pada hasil lukisan yang sebentar lagi selesai. Sesekali maniknya melirik, mencuri pandang untuk menatap wajah indah itu lebih lama.

Asahi hanya tersenyum kecil. Lesung pipit menghiasi kedua pipinya.

Jaehyuk menatap dalam diam. Jaehyuk begitu menyukai sepasang lesung pipit yang muncul ketika senyum merekah di bibir tipisnya. Dalam diam mengagumi keindahan di depannya. Menahan degup jantungnya yang semakin cepat. Tanpa aba-aba tangannya terulur menyentuh pipi kanan Asahi. 

“Kau melukis sampai mengotori pipimu seperti ini,” katanya sambil berusaha mengusap noda cat yang mengotori pipi mulus Asahi.

Asahi mengusap-usap pipinya dengan punggung tangannya. Berusaha menghilangkan noda di wajahnya. Sementara Jaehyuk hanya bisa menghela napasnya kemudian tersenyum tipis. Bahkan wajah Asahi tidak menunjukkan ekspresi yang berarti ketika Jaehyuk menyentuh pipi itu.

“Sudah bersih, kok.”

Asahi menatap Jaehyuk sebentar kemudian larut kembali dalam kesibukannya.

~I like you more, the world may know but don't be scared

'Cause I'm falling deeper, baby be prepared~

Jaehyuk masih bergeming. Tidak bosan memandangi Asahi. Sungguh rasanya Jaehyuk tidak dapat lagi menahan perasaan yang tumbuh subur di dalam hatinya. Semakin hari semakin kuat. Semakin hari semakin menyiksa.

Perlahan kelopaknya tertutup. Kantuk menguasainya. Terlelap dengan bertumpu pada kedua lengannya.

Asahi memandang puas hasil lukisannya kemudian tersenyum kecil. Fokusnya beralih menatap Jaehyuk yang tertidur di sampingnya. Pandangannya melembut. Tangannya terulur mengusap surai hitam Jaehyuk.

Yoon Jaehyuk.

Pemuda ini tidak pernah mengeluh sedikitpun ketika harus menemani Asahi melukis ataupun menulis lagu. Padahal, Asahi akan fokus dengan dunianya dan lebih banyak menghiraukan Jaehyuk. Mendiamkan pemuda itu selama berjam-jam. Namun Jaehyuk dengan senang hati berada di sampingnya, memperhatikannya, memastikan dirinya makan dan minum dengan baik. Jaehyuk begitu baik tapi tidak baik untuk hati seorang Hamada Asahi. Katakanlah dirinya pandai berpura-pura tapi nyatanya jantung itu berdetak lebih cepat tiap kali Jaehyuk menatapnya.

Asahi beranjak dari posisi duduknya, membuka pintu kamarnya kemudian kembali dengan selimut tebal di tangannya. Sebentar lagi musim dingin datang. Jaehyuk akan sakit jika tidur hanya dengan kaus lengan panjang seperti itu. Asahi meletakkannya di pundak Jaehyuk. Matanya menatap lama wajah di hadapannya. Wajah Jaehyuk terlihat polos ketika sedang tertidur seperti ini. Asahi mengelus surai itu sekali lagi kemudian beranjak masuk ke dalam kamarnya. Meregangkan tubuhnya yang terasa pegal.

♤♤♤

~I like your shirt, I like your fingers, love the way that you smell

To be your favorite jacket, just so I could always be near~

Jaehyuk terbangun dari tidurnya. Tangannya mengucek kedua matanya kemudian menegakkan tubuhnya. Sesuatu terjatuh dari bahunya. Tangannya menggenggam selimut yang tidak asing baginya.

''Mungkinkah selimut ini milik Asahi?'' gumamnya pelan. Bibirnya seketika tertarik ke atas. Hatinya terasa hangat. Jaehyuk mendekap selimut tebal itu menghirupnya dalam. Wangi Asahi membekas di sana. Jaehyuk tersenyum lebar seperti orang gila. Tentu ia sudah gila. Gila karena cinta.

Tanpa disadari, Asahi memperhatikan Jaehyuk daritadi dari ambang pintu kamarnya. Mengulum senyum manisnya sambil menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir melihat tingkah Jaehyuk.

“Apakah wangiku seenak itu, Jaehyuk-ah?” tanyanya.

Jaehyuk mematung seketika. Pipi dan telinganya memanas. Ia tahu pipinya sudah semerah tomat sekarang. Bagaimana bisa tiba-tiba Asahi muncul begitu saja dan melihat dirinya seperti ini.

“K-kau bicara apa, Sahi-ya..” jawabnya terbata tak berani memandang Asahi yang masih berdiri di tempatnya.

Asahi melangkahkan kakinya menuju dapur sambil tertawa puas. Jarang sekali dirinya melihat Jaehyuk sampai semalu itu.

“Kau ingin makan sesuatu?” tanya Asahi, memalingkan wajahnya menatap Jaehyuk sambil menyesap segelas kopi hangat yang masih mengepul. Tubuhnya bersandar pada pantry di belakangnya.

“Bagaimana jika kita makan di luar hari ini. Kau mau? Kita makan jjajangmyeon kesukaanmu.”

Mata Asahi seketika berbinar. Kepalanya mengangguk cepat. Jaehyuk benar-benar tahu semua hal yang disukainya. Dari hal kecil sampai hal yang besar sekalipun. Wajar saja jika ia menyukai pemuda tampan ini kan?

“Aku ganti baju dulu, ya. Setelah itu kita langsung pergi,” ucapnya lembut. Langkahnya mendekat ke arah pemuda manis itu kemudian mengacak rambutnya.

Asahi menunduk menatap kopi hitamnya. Lagi-lagi berusaha menahan degup jantungnya yang tidak beraturan. Maniknya memandang punggung Jaehyuk yang berlalu ke dalam kamar. Asahi mengehela napas panjang berusaha menetralkan degup jantungnya.

“Aku sudah siap.”

Asahi menatap Jaehyuk. Coat panjang warna hitam dan scarf abu-abu yang melingkari lehernya membuatnya semakin terlihat tampan. Manik Asahi tidak bergerak. Terlalu fokus dengan pemandangan indah di hadapannya.

“Apakah aku setampan itu sampai kau tak berkedip?” goda Jaehyuk dengan senyum kecilnya.

Seketika Asahi menatap Jaehyuk. Rona merah menghiasi kedua pipinya. Asahi berusaha mengalihkan pandangannya, meletakkan gelas kopinya kemudian mencucinya.

Jaehyuk berteriak dalam hati. Rona merah muda di kedua pipi mulus tanpa cacat itu. Ini kali pertama Jaehyuk melihatnya. Asahi yang lebih banyak diam tidak menunjukkan perasaannya kini salah tingkah di hadapannya. Ingin rasanya Jaehyuk melompat senang dan mengecup pipi itu.

“Ayo pergi sekarang. Tunggu apa lagi,” ajak Asahi cepat berusaha mengalihkan suasana. Sementara Jaehyuk hanya bisa tersenyum kecil. Pemuda manis ini lucu sekali jika sedang malu.

“Tunggu dulu.”

Jaehyuk menahan lengan Asahi kemudian melepas syalnya, melingkarkannya di leher pemuda manis itu.

“Jika kau pergi dengan keadaan seperti ini, kau bisa kedinginan nanti,” katanya masih dengan kedua tangannya sibuk merapikan syal di leher Asahi agar pemuda itu tetap hangat.

Jaehyuk merogoh saku coatnya kemudian mengeluarkan sepasang sarung tangan dari sana. Ia meraih tangan Asahi, memakaikan sepasang sarung tangan hitam.

“Nah sudah selesai. Kau akan merasa hangat. Kau harus mengenakan pakaian yang bisa membuatmu benar-benar hangat eum? Cuaca semakin dingin. Mungkin salju akan turun sebentar lagi. Aku tidak mau kau terkena flu. Mengerti?”

Asahi mengangguk kecil. Matanya menatap kedua tangannya yang terbalut sarung tangan milik Jaehyuk. Bibirnya yang tersenyembunyi di balik syal tebal itu menyunggingkan senyum manisnya. Sesekali menghirup wangi Jaehyuk yang masih membekas di sana. 

Jaehyuk menatap Asahi. Tangannya masih menggenggam erat kedua tangan kurusnya. Pemuda manis itu balas menatapnya. Hening melingkupi keduanya tapi sorot mata keduanya tidak bisa berbohong. Perasaan yang tersimpan dalam perlahan merayap naik ke permukaan. Menunggu untuk diungkapkan.

~I loved you for so long, sometimes it's hard to bear

But after all this time, I hope you wait and see~

♤♤♤

Menjadi seorang idol  tidaklah mudah. Jaehyuk tahu itu. Kebebasan menjadi hal yang sangat langka. Dirinya tidak akan bisa melakukan hal yang semula bebas ia lakukan dulu. Banyak pasang mata yang akan mengawasi. Harus selalu berhati-hati. Seperti sekarang yang terjadi. Bahkan ketika dirinya ingin menggenggam erat tangan pemuda manis di sampingnya ini menjadi hal yang sulit. Jadilah dirinya hanya bisa memandangi sosok sempurna di sebelahnya yang sedang menatap langit. 

Jaehyuk melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Sudah jam 2 pagi. Udara semakin dingin. Suasana Hangang River yang membentang di sampingnya tampak semakin sepi. Di saat orang-orang terlelap dalam tidurnya, justru waktu seperti saat ini lah Jaehyuk bisa sedikit merasakan kebebasan.

“Sudah lama sekali kita tidak pergi bersama seperti ini. Aku rasa terakhir kali saat kita menjadi trainee sebelum kita debut.”

Asahi membuka pembicaraan. 

Jaehyuk mengangguk kecil sambil tersenyum kecil.

“Kau senang?”

“Sangat! Sudah lama aku tidak makan jjajangmyeon kesukaanku. Terima kasih, Jaehyuk-ah sudah mengajakku hari ini,” ucapnya dengan senyum manisnya.

Jaehyuk menatap senyum manis itu. Jaehyuk benar-benar menyukainya. Lesung pipit itu menyempurnakan senyum manisnya.

~Love you every minute, every second

Love you everywhere and any moment~

“Sahi-ya..”

“Hm?”

“Kau pernah menyukai seseorang?“ 

Pertanyaan Jaehyuk yang tiba-tiba membuat Asahi tersentak. Asahi dapat merasakan desiran di hatinya.

“Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”

Jaehyuk menatap dalam Asahi.

“Hanya bertanya saja. Aku rasa selama 2 tahun kita mengenal, belum pernah aku menanyakan hal-hal seperti ini.''

“Tentu aku pernah menyukai seseorang. Rasanya tidak mungkin jika selama 20 tahun aku hidup, tapi tidak pernah menaruh rasa suka pada orang lain. Bagaimana dengan dirimu?”

“Aku pernah menyukai seseorang dan sedang menyukai seseorang. Selama hidupku, aku sudah beberapa kali menyukai seseorang tapi tidak pernah semenyiksa ini,” jawabnya masih menatap lekat Asahi.

Jangan tanyakan degup jantung Asahi sekarang ini. Detaknya tidak normal lagi. Rasanya jantungnya ingin keluar. Tatapan itu. Mengapa Jaehyuk harus menatapnya seperti itu? Mungkinkah dirinya boleh berharap?

“Aku boleh tahu siapa orangnya?”

Jaehyuk tidak melepaskan pandangannya sama sekali.

“Kau sudah tahu, kan?” tanya Jaehyuk. Seulas senyum merekah di bibir penuhnya.

Asahi membatu. Bingung untuk bereaksi. Asahi berdeham kecil. Permainan apa ini? Kenapa harus seperti bermain tebak-tebakan?

“Lantas kenapa menyiksa?” tanya Asahi.

“Ketika kau menyukai seseorang dan terlalu lama kau pendam, itu akan terasa menyiksa di sini,” jawabnya sambil menunjuk dadanya.

Asahi diam. Bibirnya terkatup rapat. Maniknya bertemu dengan mata sendu Jaehyuk.

“Jika terasa sangat menyiksa, maka jangan dipendam lagi,” ucap Asahi sambil merutuki betapa munafik dirinya ketika ia sendiri tidak pernah berani mengatakannya.

“Begitukah menurutmu?”

Asahi mengangguk.

“Aku menyukaimu, Hamada Asahi.”

Asahi memandang Jaehyuk lembut.

“Aku pernah menyukai seseorang. Satu kali terjadi di hidupku. Dan kau adalah orangnya, Yoon Jaehyuk,” kata Asahi pelan.

Jaehyuk menatap Asahi dalam. Hatinya bergemuruh. Jantungnya berdegup cepat.

Asahi memiliki perasaan yang sama? Sungguh Jaehyuk tidak berharap apapun ketika mengungkapkannya tadi. Namun, pemuda manis ini merasakan hal yang sama. Jika hari ini bukan hari terbaik di hidupnya, Jaehyuk tidak tahu lagi harus mendeskripsikannya seperti apa lagi.

Asahi mempersempit jarak di antara keduanya kemudian memeluk erat pemuda di depannya.

“A-Asahi... Bagaimana jika ada yang melihat?” Jaehyuk melihat ke sekelilingnya. Berharap tak ada satupun yang melihat mereka.

“Siapa yang mau melihatnya, Jaehyuk-ah? Ini sudah hampir jam 3 pagi. Seandainya ada yang melihat, aku tidak peduli. Kita hanya berpelukan. Tidak ada yang salah dengan itu.”

Asahi membenamkan wajahnya, menyandarkan kepalanya di dada Jaehyuk.

Perlahan lengan Jaehyuk melingkar pada pinggang ramping itu. Membalas pelukan hangatnya.

Sekali ini saja.

Bebas seutuhnya.

~Always and forever I know I can't quit you

'Cause baby you're the one, I don't know how~

Jaehyuk menengadahkan kepalanya menatap langit. Partikel halus berwarna putih perlahan turun dari atas sana. Jaehyuk membuka telapak tangannya, membiarkan salju mendarat di telapak tangannya yang tertutup sarung tangan. Tersenyum kecil sambil memejamkan matanya.

“First snow,” ujarnya pelan.

~I love you 'til the last of snow disappears

Love you 'til a rainy day becomes clear~

Asahi ikut menatap langit. Matanya berbinar. Senyumnya merekah.

“Kau tahu, Jaehyuk-ah? Aku paling suka musim dingin. Melihat salju pertama turun. Aku sangat menyukainya.”

Jaehyuk menatap Asahi, mengusap pucuk kepalanya berusaha menyingkirkan butiran salju yang mulai menutupi rambutnya.

“Aku juga selalu menyukai musim dingin. Dan salju pertama musim dingin kali ini, terasa lebih indah. Karena kau..,” ucapnya lembut.

Asahi merasakan pipinya menghangat. Rona merah mewarnai pipi putih itu. Jaehyuk tertawa kecil melihat Asahi yang malu-malu di hadapannya.

“Sudah hampir pagi. Udara semakin dingin. Kita pulang ya.”

Jaehyuk meraih tangan Asahi. Menggenggamnya erat. Jaehyuk sudah jatuh terlalu dalam dan dirinya tahu ia tak akan pernah bisa lepas dari pemuda Jepang ini. Perasan ini sudah mengakar di dalam hatinya.

~Never knew a love like this, now I can't let go

I'm in love with you, and now you know~

♤♤♤

~I like the way you try so hard when you play ball with your friends

I like the way you hit the notes, in every song you're shining~

Pagi ini Hyunsuk mengajak semua member untuk berolahraga di luar. Percaya atau tidak berolahraga saat cuaca dingin dapat membuat tubuh bekerja lebih ekstra keras agar hangat. Hal ini dapat meningkatkan produksi endorfin sehingga suasana hati lebih bahagia.

Mashi sudah siap dengan bola basketnya, mengajak beberapa member untuk melakukan 3 on 3. Sementara Hyunsuk mengajak member lainnya untuk bermain sepak bola dengannya. Jaehyuk menatap dari kejauhan. Dirinya lebih memilih duduk di atas rerumputan menemani Junghwan yang tampaknya sedikit malas untuk berolahraga hari ini. Ia pasti kelelahan karena harus belajar sampai larut kemarin.

“Jaehyuk Hyung tidak mau ikut berolahraga?” tanya Junghwan di sampingnya.

Jaehyuk menggeleng.

“Nanti kau sendiri. Tidak enak duduk sendirian di sini,” katanya lembut sambil mengacak rambut Junghwan.

Junghwan tersenyum kemudian meletakkan kepalanya di pundak Jaehyuk. Jaehyuk memang selalu seperti ini. Ia akan selalu memperhatikan dongsaeng dan hyungnya. Junghwan sangat nyaman berada di dekat Hyung kesayangannya ini.

Jaehyuk masih memandangi membernya yang tertawa lepas. Seru dengan permainan mereka. Fokusnya beralih pada pemuda manis dengan surai hitam yang sedang berlarian mengejar bola. Surai halusnya bergoyang lembut tertiup angin musim dingin. Tawanya pecah di udara ketika berhasil mencetak gol.

Indah.

Pandangan mereka bertemu. Asahi menunjukkan senyum manisnya.

Hati Jaehyuk berdesir. Mentari pagi yang menyinari pemuda manis itu membuatnya terlihat semakin menawan. Matanya tidak bisa terlepas dari Asahi.

Asahi berlari kecil menghampirinya dengan napas terengah. Jaehyuk terkekeh kecil kemudian menyodorkan sebotol air mineral.

“Minumlah. Pasti kau lelah.” Jaehyuk berucap dengan senyumnya.

Asahi menegak habis ari mineralnya kemudian memposisikan dirinya di sebelah Jaehyuk. Matanya menatap Junghwan yang tertidur di pundak Jaehyuk. Jaehyuk menoleh sedikit ke arah Junghwan kemudian tersenyum kecil.

“Ia pasti lelah sekali,” kata Jaehyuk.

Asahi mengangguk setuju. Dirinya tahu Junghwan sedang dalam masa ujian dan harus belajar keras di tengah padatnya jadwal mereka.

Asahi mengeluarkan earphonenya kemudian memasangkan bagian kanannya ke telinga Jaehyuk. Tak lama Asahi bersenandung kecil. Menyanyikan setiap lirik lagunya. Jaehyuk tidak begitu mengerti karena liriknya dalam bahasa Jepang namun yang pasti suara Asahi begitu indah terdengar di telinganya. Jaehyuk menatapnya dalam. Pemuda itu sedang memejamkan matanya sambil menghirup napas dalam. Membiarkan udara pagi mengisi paru-parunya.

“Suaramu begitu indah. Jika bisa, aku ingin mendengarnya terus,” ucapnya.

Asahi membuka matanya.

“Kau memang selalu pandai berkata manis.”

Jaehyuk tertawa kecil.

“Tapi nyatanya memang seperti itu. Suaramu indah. Lembut dan menenangkan. Aku sangat menyukainya.”

Asahi tersenyum kecil kemudian menyandarkan kepalanya di pundak kanan Jaehyuk.

“Astaga pundakku pasti akan pegal sekali nanti. Yang kiri dipakai Junghwan. Yang kanan kau jadikan sandaran. Tapi, aku tidak keberatan jika itu untuk orang-orang yang kusayangi.”

Asahi mencubit lengan Jaehyuk.

“Berhenti berkata manis terus seperti itu.”

Jaehyuk hanya tertawa. Tangannya mengelus pucuk kepala Asahi. Jaehyuk menatap sembilan pemuda yang sudah menjadi keluarganya sendiri sedang tertawa bahagia. Hatinya terasa hangat. Hidupnya tidak dapat jauh lebih baik dari ini. Hidupnya sekarang adalah momen terbaiknya. Momen paling berharganya.

Asahi memandangi dan mengagumi wajah Jaehyuk dari sisi kanannya. Tatapannya lembut dan teduhnya. Bibir penuhnya. Senyum manisnya. Dan yang terutama hati baiknya. Sesekali tersenyum kecil merasa beruntung bisa memiliki pemuda tampan seperti ini di hidupnya. Beautiful inside out. Kata itu adalah kata paling sederhana yang bisa menggambarkan pribadi seorang Yoon Jaehyuk.

Jaehyuk yang merasa Asahi sedang fokus menatapnya sengaja membalikkan wajahnya. Membuat mata mereka bertemu. Asahi buru-buru menegakkan kepalanya dan mengalihkan pandangannya.

~I love the little things, like when you're unaware

I catch you steal a glance and smile so perfectly~

“Kenapa harus malu? Kau sungguh menggemaskan.”

Jaehyuk mencubit lembut pipi Asahi. Membuat pemuda asal Jepang itu semakin malu. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Jaehyuk menggelengkan kepalanya pelan.

Benar-benar menggemaskan.

Tangannya terulur berusaha melepaskan tangan Asahi yang masih menutup wajahnya.

“Maafkan aku membuatmu malu seperti ini. Haha kau lucu sekali. Jangan ditutup wajahnya. Aku masih ingin melihat wajah manismu.”

Asahi membulatkan matanya kemudian menepuk keras lengan Jaehyuk.

“Diam kau, Yoon Jaehyuk atau mungkin lebih baik aku bermain lagi,” ancam Asahi sambil berusaha berdiri.

Jaehyuk terkekeh. Tangannya menahan tubuh Asahi.

“Jangan pergi. Kau tidak kasian aku ditinggal tidur begini oleh Junghwan? Tidak ada yang menemaniku bicara,” mohonnya sambil menunjukkan puppy eyes andalannya. Berharap Asahi luluh.

Asahi menghela napas.

“Makanya jangan menggodaku terus.”

“Iya iya. Aku tidak menggodamu lagi. Temani aku di sini, ya.”

Asahi tidak bisa menolak jika Jaehyuk menatapnya seperti itu. Jaehyuk benar-benar tahu kelemahannya.

“Ya baiklah. Kau selalu tahu aku tidak bisa menolakmu jika kau menatapku seperti itu. Kau menyebalkan, Jaehyuk-ah.”

“Begitukah? Tapi kau juga menyukaiku, kan?“godanya lagi.

“Aku benar-benar pergi ya!”

Jaehyuk mengacak rambut Asahi.

“Galak sekali. Iya iya aku diam. Aku janji,” ucapnya sambil tangannya seolah mengunci bibirnya.

Asahi hanya bisa menghembuskan napasnya kemudian memasang earphonenya di telinga kanannya. Menyanyikan setiap bait lagu yang didengarnya.

Jaehyuk memejamkan matanya. Membiarkan alunan suara indah itu masuk ke telinganya. Ia menarik Asahi untuk kembali bersandar di pundaknya.

“Jangan pernah pergi dari hidupku, Sahi-ya,” ucapnya pelan namun masih terdengar.

“Aku tidak akan kemana-mana, Jaehyuk-ah.”

♤♤♤

~Though sometimes when life brings me down

You're the cure my love~

Hujan mengguyur sore ini. Beberapa tumpukan salju di luar mencair terkena derasnya hujan. Jaehyuk duduk termenung di depan jendela kamarnya. Memperhatikan beberapa orang yang berlalu lalang di luar sana. Langkah mereka cepat. Berusaha berteduh dari hujan dan dinginnya udara hari ini.

Jaehyuk menghembuskan napas panjang kemudian membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Sungguh ia tidak memiliki keinginan untuk keluar kamar sama sekali. Moodnya tidak begitu bagus hari ini.

Ketukan terdengar di pintu kamarnya. Tak lama langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya. Sepasanga lengan melingkar di lehernya. Seseorang bersandar di punggungnya.

“Apa kau baik-baik saja, Jaehyuk-ah?” tanya Asahi pelan.

Asahi merasakan tangannya basah. Ia tahu Jaehyuk menangis sekarang. Asahi membalikkan tubuh Jaehyuk berusaha membuat pemuda itu menatapnya kemudian menariknya ke dalam pelukannya. Asahi membiarkan Jaehyuk menangis dalam pelukannya. Tangannya mengusap-usap punggungnya berusaha menenangkannya.

“Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa melakukannya. Aku tahu suaraku tidak sebagus yang lainnya tapi aku tidak tahu jika seburuk ini,” katanya tersendat masih dengan isakannya.

“Kata siapa suara Jaehyuk buruk? Tidak sama sekali. Tenggorokanmu sedang sakit, Jaehyuk-ah. Wajar jika kau tidak bisa bernyanyi dengan maksimal. Bahkan pelatih menyuruhmu untuk beristirahat.”

Asahi tahu terkadang Jaehyuk keras terhadap dirinya sendiri. Padahal pemuda ini sedang tidak dalam keadaan fit tapi bisa-bisanya ia berpikir suaranya buruk.

“Jangan menangis lagi, ne? Kau akan baik-baik saja. Yang terpenting adalah kesehatanmu. Kau selalu cerewet jika aku sakit. Sekarang malah kau yang sakit. Aku khawatir sekali. Istirahat eum? Kumohon?”

Jaehyuk melepaskan pelukan Asahi. Ia mengusap jejak air matanya.

“Maaf membuatmu khawatir, Sahi-ya.”

“Aku tidak khawatir lagi jika Jaehyuk mau istirahat. Aku temani. Bagaimana?”

Jaehyuk mengangguk senang.

Asahi tersenyum kecil kemudian membaringkan tubuh Jaehyuk. Ia melompat ke tempat tidur Jaehyuk kemudian berbaring di sampingnya. Tangannya menarik Jaehyuk ke dalam pelukannya. Mengelus surai tebal Jaehyuk.

“Kau itu berbakat, Jaehyuk-ah. Kau pandai menari dan menyanyi. Don't ever think you're not.”

Jaehyuk tersenyum mendengar perkataan Asahi. Pemuda manis ini selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Seburuk apapun keadaan yang dialaminya, Asahi, sesuai dengan namanya, seperti matahari yang selalu menerangi hidupnya. Menghangatkannya. Memberinya kekuatan.

~In a bad rainy day

You take all the worries away~

♤♤♤

Jaehyuk melihat kalendar di meja tulisnya. Hari ini adalah first anniversary mereka. Jaehyuk sudah menunggu hari ini sejak lama. Tentu Jaehyuk juga sudah menyiapkan semuanya. Ia tahu Asahi bukanlah tipe yang akan memberinya kejutan untuk hari penting seperti ini. Asahi hanya mengucapkannya pagi tadi dengan kecupan di bibir sebagai hadiahnya. Mungkin orang lain akan mempermasalahkannya tapi bagi Jaehyuk, hal itu tak apa. Asahi punya cara lain untuk menunjukkan rasa cintanya pada Jaehyuk. Cinta banyak bentuknya. Tidak melulu tentang hadiah ataupun kejutan.

Asahi memiliki jadwal malam ini. Ia dan beberapa member lainnya harus menghadiri acara radio. Jaehyuk merasa semesta berpihak padanya. Tanpa perlu usaha keras, ia bisa menyiapkan kejutan dengan tenang. Dan tanpa perlu usaha keras juga, Junghwan dan Yedam menurut saja ketika Jaehyuk memohon pada mereka untuk menginap sementara di dorm lain.

Asahi membuka pintu otomatis dorm setelah menekan beberapa digit nomor. Ruang tengah sudah gelap. Tentu saja. Sudah jam setengah 12 malam. Jaehyuk pasti sudah tertidur. Asahi rindu pemuda itu. Ingin rasanya memeluk Jaehyuk dan berbaring di sampingnya semalaman.

Dahinya berkerut menatap polaroid tertempel di beberapa sudut ruangan.

“Ini untuk apa?“gumamnya pelan.

Wajahnya semakin bingung melihat gambar di beberapa polaroid tersebut dengan tulisan di bawahnya.

'Your eyes'

'Your dimples'

'Your lips'

'Your shirt'

'Your fingers'

“Apakah semua ini bagian tubuhku? Diriku? Bagaimana bisa?” ucapnya semakin bingung.

'Your artworks'

'Your laugh'

'Your smiles'

'Your cute cheeks'

Asahi membawa polaroids itu menuju kamarnya. Namun dirinya kembali dikagetkan dengan sebuah polaroid yang tertempel di pintu kamarnya.

Fotonya dengan Jaehyuk.

Ia membaca tulisan di bawahnya.

'Hal yang bisa aku capture dari dirimu tidaklah cukup untuk menyatakan apa yang kucintai dari dirimu. Nyatanya aku menyukai semua tentangmu. Happy first anniversary, Hamada Asahi'

Asahi dapat merasakan matanya memanas. This is so cheesy yet touch his heart deeply. Ia bisa merasakan usaha yang Jaehyuk lakukan untuknya.

Asahi membuka pintu kamarnya dan lagi-lagi terkejut dengan apa yang dilihatnya. Puluhan polaroid dirinya dan Jaehyuk tertata rapi di dinding kamarnya membentuk sebuah hati. Asahi menutup mulutnya. Ia tahu air matanya mengalir sekarang.

Asahi melihat sekelilingnya. Lampu-lampu kecil menghiasi kamar dan tempat tidurnya. Begitu indah.

Pandangannya tertuju pada sepasang  kursi dan sebuah meja di dekat jendela besar yang ia yakin tidak ada di sana tadi ketika ia meninggalkan dormnya. Dua buah gelas dan piring tertata rapi di sana.

Lampu-lampu dari gedung pencakar langit yang menerangi melalui jendela kamarnya menambah indah pemandangan di hadapannya.

“Happy Annivesary, Hamada Asahi.”

Asahi membalikkan tubuhnya cepat. Terkejut melihat Jaehyuk sudah berdiri di belakangnya.

“K-kau.. kau yang menyiapkan semua ini?” tanya Asahi tak percaya. Air mata mengalir dari kedua matanya.

“Aku harap kau menyukainya,” jawab Jaehyuk menatap Asahi lembut.

Asahi melangkah cepat kemudian memeluk erat pemuda di depannya. Melingkarkan kedua lengannya di pinggang Jaehyuk. Tidak ingin melepasnya.

“Karena pekerjaan kita, aku tidak bisa membawamu dengan bebas keluar merayakan hari jadi kita. Aku tidak bisa membawamu ke restoran mewah dan menyiapkan kejutan romantis di sana. Aku tidak bisa membawamu pergi ke tempat-tempat yang kau sukai. Karena pekerjaan kita, jutaan pasang mata selalu mengawasi. Membuat kita harus berpura-pura dan tak bisa bernapas lega. Karena aku tidak bisa memberikan itu semua, maka aku menciptakannya. Semua ini untukmu.”

Asahi menatap Jaehyuk tak percaya. Matanya berkaca-kaca. Tuhan sebaik ini mengirimkan Yoon Jaehyuk untuknya.

Asahi menangkup wajah Jaehyuk kemudian mengecup bibir itu lama. Menyatukan kening mereka. Melingkarkan lengannya pada leher Jaehyuk.

“I love everything about you, Asahi. Surai halusmu yang membuatku ingin selalu menyentuhnya. Dahimu yang berkerut ketika kau sedang serius menggambar dan menulis lagu. Mata indahmu yang selalu ingin kutatap. Hidungmu yang memerah ketika kau kedinginan. Pipimu yang merona ketika kau malu. Senyuman dan tawamu yang membuatku bahagia. Lesung pipitmu yang menambah manis senyummu. Bibirmu yang merekah setiap kali aku mengecupnya. Tanganmu yang ingin selalu kugenggam. Tubuh mungil ini yang ingin selalu kupeluk. Tidak hanya itu. Aku menyukai suara indahmu, lagu-lagumu, karya-karya yang kau tulis, lukisan yang kau buat. Aku menyukai hati baikmu, tingkah lucumu, kata-katamu yang selalu menguatkan dan menenangkanku. Aku bahkan mencintai dirimu ketika kau sedang marah dan tidak mau berbicara padaku. Aku mencintai semuanya. Kelebihan juga kekuranganmu. Bagiku, kau tetap indah. Beautiful in your own way.”

Isakan lolos dari bibir Asahi. Setiap kata yang terucap dari pemuda tampan di depannya ini menyentuh hatinya yang paling dalam.

Jaehyuk mengusap air mata yang masih mengalir dari kedua mata Asahi. Tersenyum kecil melihat pemuda manis di depannya yang masih terisak.

Jaehyuk mengelus punggung sempit itu dengan sayang. Mengecup pucuk kepalanya.

Asahi berusaha menenangkan dirinya. Ia juga ingin membalas ucapan Jaehyuk tapi isakannya tidak mau berhenti. Membuatnya sulit untuk berbicara.

“A-ak.. hiks..A-aku,” katanya tersendat.

“Ssttt... tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku tahu, Sahi-ya. Aku mengerti. Aku mengerti apa yang kau rasa bahkan tanpa perlu kau ungkapkan sekalipun. Ssst... Tenang, ya. Berhenti menangis,” ucapnya lembut masih mengelus punggung Asahi.

Asahi hanya bisa membenamkan wajahnya di dada Jaehyuk. Meremas sweater yang dikenakan Jaehyuk yang ia yakin sudah basah sekarang.

“A-aku juga mencintaimu, Yoon Jaehyuk. Sangat. Happy first anniversary. I am the happiest man right now.”

Jaehyuk menatap Asahi lembut. Senyum mengembang di bibirnya. Ia mendekatkan bibirnya kemudian mencium dalam bibir tipis itu. Manis.

“Beautiful. My beautiful Hamada Asahi. Let's love each other forever.”

~Love you every minute, every second

Love you everywhere and any moment

Always and forever I know I can't quit you

'Cause baby you're the one, I don't know how

In a world devoid of life, you bring color

In your eyes I see the light, my future

Always and forever I know, I can't let you go

I'm in love with you, and now you know~

End

Title: Love Language

Pairing: Jaehyuk/Asahi

-notes- Italic : Flashback

Tanda (') in italic : how Asahi communicate with sign language.

Bold: Asahi's way to communicate through notes

_____________________

Bagi Yoon Jaehyuk, cara Asahi membahasakan cinta adalah sempurna _____________________

Storyline:

Hamada Asahi.

Jaehyuk pertama kali mengenalnya 10 tahun yang lalu. Keluarga Asahi baru saja datang dari Jepang dan memutuskan untuk tinggal di Korea. Memulai titik kehidupan baru katanya.

Jaehyuk ingat betul di memorinya ketika pemuda manis itu berlarian kecil dengan tangan kecilnya memegang sebuah mainan robot berwarna biru. Jaehyuk ingat betul Asahi kecil akan selalu merengek minta dibelikan es krim. Jaehyuk ingat betul Asahi kecil senang sekali melukis. Dari semuanya, yang paling membekas di memori Jaehyuk adalah Asahi kecilnya yang manis kala senja 10 tahun yang lalu, di tengah hamparan padang bunga dandelion. Matahari senja membuat rambutnya berwarna sedikit kecoklatan. Jaehyuk tidak akan pernah lupa senyuman manis itu.

Sunyi.

Setiap pertemuan mereka selalu dibatasi ruang sunyi. Di balik senyum manis itu, di balik wajah indah itu, di balik lekuk sempurna wajahnya, Asahi tidak bersuara.

♤♤♤

10 tahun lalu...

Jaehyuk menatap langit senja sore itu. Hamparan bunga dandelion membentang indah di depannya. Jaehyuk memetik salah satunya kemudian meniupnya pelan, menerbangkan serpihan-serpihan bunga halus. Jaehyuk tersenyum kecil melihat serpihan bunga berterbangan di sekitarnya. Jaehyuk menarik nafasnya dalam. Menghirup udara segar senja itu. Senyum terlukis di bibir penuhnya. Jaehyuk mengambil kamera yang ia kalungkan di lehernya sejak tadi. Ia berusaha mencari fokus kemudian mengambil foto pemandangan di depannya.

Jaehyuk mengarahkan pandangannya ke kanan tatkala melihat anak laki-laki manis dengan kulit pucat sedang melalukan hal yang sama seperti yang ia lakukan. Meniup lembut dandelion di tangan kurusnya. Membuat serpihan bunga itu melayang-layang di udara. Anak laki-laki itu tertawa senang. Kedua tangannya ia bentangkan, menghirup udara segar di sekelilingnya. Matanya terpejam. Semilir angin meniup surai lembutnya. Anak manis itu berputar-putar di tempat masih dengan senyum menghiasi bibir tipisnya. Matanya memandangi langit senja yang membentang di atasnya.

Ia mendudukkan dirinya di hamparan ladang bunga itu kemudian mengeluarkan sebuah buku gambar dari tas ransel yang dibawanya. Tangannya bergerak lincah. Sesekali memiringkan kepalanya untuk melihat hasil gambarnya. Bosan dengan kegiatan yang dilakukannya, anak manis itu mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Maniknya menemukan anak laki-laki sebayanya yang sedang menatapnya dalam. Manik mereka bertemu. Anak laki-laki manis itu memberikan senyumnya.

Mata Jaehyuk membulat. Manis. Senyuman itu sangat manis. Senyuman manis itu membekas sempurna di otak Jaehyuk. Belum pernah ia melihat senyuman semanis itu.

Dengan langkah ragu Jaehyuk menghampiri anak laki-laki itu sementara anak manis itu hanya menatapnya bingung.

“Namaku Yoon Jaehyuk.”

Jaehyuk mengulurkan tangannya. Sosok manis di depannya ini hanya diam. Menatap uluran tangan itu bingung.

“Namamu siapa?” tanya Jaehyuk lembut.

Anak laki-laki itu membuka ransel yang dibawanya, mengeluarkan sebuah notes kecil dan pulpen hitam dari dalamnya. Jari-jari lentiknya bergerak. Menuliskan sesuatu di sana.

Namaku Asahi. Hamada Asahi.

Jaehyuk balas menatapnya bingung.

Aku tidak bisa bicara.

Tulisnya lagi.

Barulah Jaehyuk mengerti. Laki-laki manis dengan nama Hamada Asahi ini tidak bisa berbicara. Jaehyuk tersenyum kecil kemudian mengelus surai hitam halus yang bergerak kecil karena ditiup angin.

“Kau manis sekali.”

Asahi menatapnya kaget dengan mulut sedikit terbuka kemudian menunduk malu. Wajahnya memerah.

Jaehyuk terkekeh kecil melihat pemandangan indah di depannya. Matanya beralih pada buku gambar yang berada di samping Asahi. Jaehyuk melihat goresan indah di sana. Padang bunga dandelion. Jika sudah diberi warna, Jaehyuk yakin hasilnya akan benar-benar luar biasa.

“Asahi suka menggambar?”

Asahi menatap hasil gambarnya, meraih bukunya kemudian menyembunyikannya di depan dadanya. Menunduk malu.

“Kenapa ditutupi? Gambarnya sangat bagus. Jika sudah diberi warna, aku yakin akan lebih bagus lagi.”

Asahi menatap Jaehyuk. Dirinya senang jika ada yang memuji lukisannya. Melukis adalah satu-satunya hal yang membuat Asahi merasa hidup.

Asahi kembali menulis di notes kecilnya.

Aku sangat suka melukis. Aku akan memberinya warna nanti. Mau warnai bersama?

Jaehyuk tersenyum membaca deretan kalimat itu.

“Jaehyuk tidak bisa menggambar. Aku takut merusak karyamu,” katanya.

Asahi tertawa kecil. Tangannya bergerak lagi menuliskan sesuatu.

Nanti aku ajari. Hasilnya tidak akan jelek.

Jaehyuk menatap Asahi dalam kemudian mengangguk.

“Baiklah. Kita warnai bersama.”

Asahi bertepuk tangan kecil sambil melompat senang. Matanya beralih pada kamera yang melingkar di leher di Jaehyuk.

Jaehyuk suka fotografi?

Jaehyuk membaca kalimat yang baru ditulis Asahi kemudian mengangguk kecil.

“Ya, aku suka fotografi. Aku sangat menyukai objek indah kemudian mengambilnya dengan kameraku.”

Jaehyuk mengarahkan fokus kameranya ke arah Asahi kemudian menjepretnya.

Asahi membulatkan matanya kemudian menunduk malu.

Kenapa mengambil gambar orang sembarangan? Itu hal yang tidak baik tau!

Jaehyuk terkekeh melihat barisan tulisan itu.

“Asahi sangat manis. Jaehyuk suka,” ucapnya dengan senyum lembut.

Asahi menepuk lengan Jaehyuk. Mengalihkan wajahnya tidak berani menatap Jaehyuk. Ia yakin pipinya semerah tomat sekarang. Sementara Jaehyuk hanya bisa tertawa dalam hati melihat Asahi yang sangat menggemaskan dengan tingkah malu-malunya itu.

Bunyi gemuruh terdengar. Jaehyuk menatap langit yang kini dipenuhi titik-titik awan kelabu. Akan turun hujan rupanya. Jaehyuk membuka telapak tangannya. Titik-titik air membasahi telapaknya.

“Kita harus segera pulang. Sepertinya akan hujan besar,” ucapnya kemudian menoleh ke arah Asahi.

Otomatis senyum mengembang di bibir Jaehyuk. Bagaimana tidak. Asahi sedang sibuk menengadahkan kepalanya dengan mata terpejam, membiarkan titik air hujan membasahi wajahnya. Jaehyuk menarik lengan Asahi.

“Nanti kau sakit jika kehujanan. Ayo pulang. Aku antar kau pulang.”

Asahi menatap Jaehyuk dengan mata beningnya kemudian mengangguk kecil. Jaehyuk tidak melepaskan genggamannya dari tangan mungil yang terasa sangat pas bertautan dengan tangannya. Menatap Asahi lembut dengan senyum mengembang.

Cinta pertama ternyata benar adanya hm? Tapi bocah 10 tahun tahu apa tentang cinta.

“Asahi, ternyata rumah kita bersebelahan. Lihat! Astaga ternyata kau adalah tetangga baru yang Ibuku ceritakan beberapa hari lalu.”

Asahi tersenyum kecil kemudian menulis beberapa kalimat pada notes kecilnya.

Ibuku juga menceritakan tentang anak laki-laki yang akan menjadi tetangga baruku. Katanya kita seumuran. Ternyata kau orangnya.

Jaehyuk membaca tulisan rapi pada kertas putih itu.

“Mulai sekarang, kita berteman. Kita bisa bermain bersama setiap hari. Selamanya,” ucap Jaehyuk.

Pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Asahi. Asahi mengangguk senang. Mengeratkan genggamannya dan mengayun-ayunkan kedua tangan mereka.

♤♤♤

Jaehyuk menatap pemuda manis yang sedang duduk memunggunginya. Tangan kanannya bergerak lincah di atas kanvas sementara tangan kirinya memegang palet yang dengan berbagai warna cat minyak.

Jaehyuk menghampirinya perlahan kemudian memeluk leher pemuda manis itu dari belakang. Asahi sedikit tersentak kemudian dengan cepat membalikkan badannya.

'Jaehyuk tumben sudah pulang kuliah'

Tangan Asahi bergerak-gerak di udara. Karena ia tidak bisa berbicara, Asahi berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Jaehyuk tersenyum mengacak rambut halus itu.

“Hari ini dosen mata kuliah terakhirku tidak masuk jadi aku bisa pulang lebih awal.”

Demi seorang Hamada Asahi, Jaehyuk belajar bahasa isyarat agar dirinya bisa mengerti apa yang 'dikatakan' Asahi. Awalnya mereka berkomunikasi dengan notes kecil milik Asahi. Tapi, Jaehyuk ingin masuk ke dalam dunia seorang Asahi. Ia ingin merasakannya. Ia ingin mengerti 'bahasa' yang Asahi ungkapkan dengan tangannya.

'Jaehyuk sudah makan?'

Jaehyuk menggeleng pelan.

“Aku ingin makan bersamamu. Lihat! Aku beli tteokbokki kesukaanmu. Kita makan bersama ya.”

Asahi mengangguk semangat. Menangkupkan kedua tangannya dan bertepuk tangan kecil.

Jaehyuk gemas bukan main melihat pemuda di depannya ini. Tangannya terulur mengacak surai legam Asahi.

“Asahi sedang melukis apa?” Jaehyuk menatap kanvas di depannya penasaran.

“Itu diriku?”

Asahi begerak kikuk berusaha menutupi lukisannya. Wajahnya memerah. Malu.

“Kenapa harus malu? Aku senang ketika kau menjadikanku objek lukisanmu. Lukisanmu selalu indah. Aku menyukainya.”

Asahi semakin menunduk malu. Semburat merah menghiasi pipi putihnya. Asahi menepuk pelan lengan Jaehyuk menyuruhnya berhenti untuk memujinya karena ia merasa malu sekarang.

Jaehyuk terkekeh melihat tingkah Asahi. Mengecup pipi mulus itu lembut.

“Kau sangat menggemaskan, Sahi-ya.”

'Diam. Jangan membuatku semakin malu. Jangan sembarangan menciumku!'

Jaehyuk tertawa keras seraya mencubit pipi Asahi. Pemuda manis ini tidak pernah berubah. Selalu manis dan menggemaskan. Dan apa yang dirasakannya masih sama. Senyum dan wajah manis itu tetap menggetarkan hatinya. Membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Asahi berdiri dari posisi duduknya. Meninggalkan Jaehyuk yang masih menertawakannya. Pipinya memanas. Menyebalkan. Jaehyuk sangat suka menggodanya. Tidak tahu apa yang dilakukannya membuat jantung Asahi hampir melompat keluar.

Jaehyuk menghampiri Asahi. Ia tahu Asahi kesal sekarang. Jujur baginya Asahi sangat lucu jika sedang merajuk seperti itu. Tapi, Jaehyuk tidak ingin pemuda manis itu terus-menerus kesal.

“Maafkan aku, eum? Jangan kesal lagi. Kan aku sudah membeli tteokbokki kesukaanmu. Jangan marah, ne? Kita makan sekarang, ya,” bujuknya lembut. Tangannya mengacak surai halus pemuda manis yang mencuri hatinya ini.

Asahi mengangguk semangat. Kekesalannya menguap begitu saja. Jaehyuk menggelengkan kepalanya pelan. Mudah sekali membujuk Asahi.

“Kau seperti anak kecil. Lihat, kau makan sampai berantakan seperti ini,” kata Jaehyuk sambil tertawa seraya membersihkan sisa saus tteokbokki dari sudut bibir Asahi.

Asahi menjulurkan lidahnya tidak peduli kemudian kembali fokus pada makanan di depannya.

Jaehyuk tertawa. Gemas setengah mati. Asahi lucu sekali. Selama 10 tahun melihat tingkahnya yang seperti ini namun Jaehyuk tidak pernah bosan.

“Aku ada tugas akhir untuk mengambil beberapa objek foto. Kau temani aku ya?”

Asahi tampak berpikir sebentar.

'Tidak mau. Kau pergi saja sendiri. Aku sibuk.'

Jaehyuk menatapnya sedih. Tumben sekali Asahi menolaknya. Seketika Asahi tertawa. Tanpa suara. 10 tahun melihatnya tidak membuatnya terbiasa. Hatinya masih berdenyut tatkala melihat Asahi tertawa tanpa suara. Terkadang Jaehyuk membayangkan bagaimana suara Asahi terdengar di telinganya. Jaehyuk membayangkan suaranya yang lembut dan menenangkan. Jaehyuk buru-buru mengusir pikiran itu dari otaknya. Jaehyuk tahu Asahi lebih sedih dibanding dirinya.

“Kau jahat sekali. Tumben sekali menolakku,” kata Jaehyuk dengan wajah cemberut.

'Aku hanya bercanda. Tentu aku akan sangat senang menemanimu. Kau berencana mau kemana?'

Jaehyuk berpikir sebentar.

“Kita ke Gyeongpo beach saja, yuk! Tidak jauh dari Seoul dan pantainya indah.”

Mata Asahi berbinar. Sudah lama dirinya tidak ke pantai. Asahi mengangguk semangat.

'Aku senang sekali. Aku sudah lama tidak ke pantai.'

Jaehyuk tersenyum lembut menatap Asahi. Senyumnya yang merekah cerah menghiasi wajah indahnya. Jaehyuk akan melakukan apapun untuk menjaga senyum indah itu.

♤♤♤

Jaehyuk memandangi Asahi yang sedang tertidur lelap. Seharian melukis nampaknya membuat Asahi lelah juga. Jaehyuk tersenyum kecil melihat wajah tenang Asahi ketika tidur. Tangannya terulur menelusuri setiap lekukan wajah sempurna itu. Tangannya berhenti di bibir merah tipis itu. Sejenak ragu namun memberanikan diri untuk mengecup bibir itu. Manis. Jaehyuk yakin Asahi akan memukulnya jika tahu dirinya baru saja menciumnya.

Jaehyuk mengelus surai lembut Asahi kemudian mengecup kening pemuda manis itu. Jaehyuk mengeluarkan kamera dari tasnya. Diam-diam mengambil gambar Asahi. Sesekali tertawa melihat koleksi foto-foto Asahi yang berada di dalam kameranya.

Jaehyuk sangat mencintai Hamada Asahi. Meski tak pernah terucap, perasaan itu terus tumbuh di dalam hatinya. Mengakar dalam. Jaehyuk bersumpah dalam hatinya akan terus menjaga pemuda manis ini. Jaehyuk tidak peduli apakah Asahi memiliki perasaan yang sama atau tidak. Ia hanya ingin terus menjaganya, melindungi senyumnnya, menciptakan kebahagaiaan untuknya.

Jaehyuk mengedarkan pandangannya sekeliling ruangan. Beberapa hasil lukisan Asahi berjejer di sana. Matanya tertuju pada salah satu lukisan di sana. Lukisan dengan padang dandelion dan langit senja yang menaunginya. Jaehyuk tersenyum tanpa sadar. Tempat pertama kalinya mereka bertemu. Lukisan yang mereka warnai bersama. Jaehyuk menyentuhnya. Sejenak nostalgia memenuhi pikirannya.

Maniknya beralih ke lukisan di sebelahnya. Gambar dirinya sedang tersenyum menatap langit biru. Entah sudah berapa kali Asahi mengatakan ia sangat menyukai lukisan ini. Katanya Jaehyuk benar-benat tampan di lukisannya.

Tatapannya berubah sendu melihat sebuah lukisan yang diletakkan di sudut. Setengah kanvasnya tertutup oleh kanvas lain. Jaehyuk tahu betul mengapa Asahi menaruhnya di sana. Lukisan pemandangan Jepang yang digambar dari atap rumah Asahi dulu. Langitnya berwarna kelabu. Sosok kecil bersiluet hitam berdiri di tengah-tengah derai hujan. Jaehyuk tahu Asahi memiliki kenangan buruk akan Jepang. Jaehyuk ingat betul dirinya hampir menangis ketika Asahi mengatakan siluet hitam itu adalah Hamada Asahi yang kesepian. Sendiri melawan dunia.

“Kenapa lukisan ini terlihat begitu menyedihkan, Sahi-ya?” tanya Jaehyuk saat pertama kali memandang lukisan di depannya.

Asahi berdiri di sebelahnya. Matanya menatap sendu lukisan di depannya.

'Jepang memang negara kelahiranku. Tapi, Jepang juga menyimpan kenangan pahit untukku.'

Jaehyuk merasa bersalah. Tidak seharusnya ia menanyakan hal ini seenaknya. Melihat manik indah itu berubah sendu membuat hatinya berdenyut sakit.

Jaehyuk merengkuh pundak Asahi membawanya mendekat. Jaehyuk tidak pernah bertanya secara detail apa yang sebenarnya terjadi di Jepang. Jaehyuk hanya tahu Asahi mengalami kecelakaan di sana ketika usianya 6 tahun. Kecelakaan yang merenggut suaranya. Kecelakaan yang merusak pita suaranya.

“Maafkan aku. Tidak seharusnya aku menanyakannya.” Jaehyuk menundukkan kepalanya. Ujung kakinya jauh lebih menarik sekarang dibanding pemuda di sebelahnya. Jaehyuk merasa bersalah membuat Asahi mengingat kejadian menyedihkan itu lagi.

Asahi menangkup wajah Jaehyuk, memaksanya untuk menatapnya.

'Tidak perlu meminta maaf. Kau berhak tahu. Kita sudah bersahabat cukup lama namun aku belum pernah menceritakan secara lengkap padamu.'

'Kecelakaan itu begitu parah hingga merusak pita suaraku. Aku benar-benar terpukul ketika tahu diriku tidak akan bisa berbicara lagi. Aku merasa duniaku hancur. Semangat hidupku hilang begitu saja. Menjalani hari sangatlah sulit. Teman-teman yang semula selalu berada di sisiku perlahan meninggalkanku. Mereka tidak lagi bermain denganku, tidak lagi menyapaku, tidak lagi berbicara denganku. Aku hanya akan berdiam diri di kelas sementara melihat yang lain tertawa lepas di sekelilingku. Aku seperti merasa sendiri di tengah dunia. Sunyi di tengah keramaian. It's like me against the world.

Aku mengurung diriku di kamar berhari-hari. Kedua orang tuaku begitu sedih. Akhirnya Ibuku memutuskan akan lebih baik jika aku homeschooling saja. Sepi memang. Tapi setidaknya bukan lagi sepi di tengah riuh keramaian. Sepi tapi menenangkan. Kadang aku iri melihat anak-anak seusiaku bersekolah layaknya orang normal, tertawa bercanda dengan teman sebayanya, bermain bersama menghabiskan hari. Sejak kehilangan suaraku, aku tidak pernah lagi merasakan hal itu. Yang kupunya hanya memori tentangnya yang semakin samar di otakku.'

Jaehyuk dengan sabar memperhatikan setiap gerak tangan Asahi. Jaehyuk dapat melihat air mata siap mengalir dari kedua mata indah itu namun Asahi menahannya. Jaehyuk tahu jika bisa mungkin Asahi ingin berteriak dan menangis terisak. Namun Jaehyuk tahu hanya sunyi yang terdengar.

Jaehyuk menarik Asahi ke dalam pelukan eratnya. Menyalurkan kehangatan yang ia punya.

“Sekarang, kau punya diriku. Kita bisa lakukan hal-hal yang terlewat dari hidupmu. Kita bisa menciptakan kenangan-kenangan manis. Kau tidak lagi sendiri. Tidak perlu lagi merasa sendiri di tengah riuh ramai dunia. Bahkan jika sekelilingmu tidak memberikan hal baik untukmu, sekarang tidak lagi dirimu versus dunia. It's us against the world.”

Jaehyuk mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Mendekap Asahi erat. Jaehyuk ingin Asahi menyadari dirinya tidak lagi sendiri.

Asahi melepaskan dekapan Jaehyuk dan menatapnya lembut. Sorot matanya seolah mengucapkan terima kasih karena sudah menariknya dari kegelapan.

Jaehyuk menghela napas panjang. Agaknya cerita Asahi saat itu masih memberikan rasa sedih untuk hati Jaehyuk. Andai saja Jaehyuk hadir di kehidupan Asahi lebih cepat. Setidaknya pemuda manis itu tidak harus menanggungnya sendirian.

Jaehyuk menatap langit malam dari jendela kamar Asahi. Bulan menghiasi langit malam itu. Jaehyuk menatap Asahi yang masih tertidur pulas. Hatinya terasa hangat. Jaehyuk menghampiri Asahi kemudian mengecup kening itu sekali lagi.

“Goodnight, Hi-kun,” ucapnya lembut.

Jaehyuk merapikan selimut tebal yang menutupi tubuh mungil Asahi agar pemuda itu tetap hangat. Memandang wajah manis itu sekali lagi kemudia memadamkan lampu kamarnya dan beranjak keluar.

♤♤♤

At Gyeongpo beach...

Asahi berlari cepat sambil melebarkan kedua tangannya. Matanya berbinar melihat hamparan pasir dan pantai yang begitu indah di depannya. Hanya ada beberapa orang di sana. Tentu tidak akan ramai mengingat hari ini bukan hari libur.

Ia melepaskan sepatunya membiarkan kakinya merasakhamparan pasir halus yang menjadi pijakannya sekarang. Ia melompat girang dengan tawa menghiasi wajahnya.

Jaehyuk melangkah pelan mengikutinya dari belakang. Tertawa melihat Asahi yang begitu kegirangan seperti anak kecil. Jaehyuk mengarahkan kameranya berusaha menangkap semua momen yang tertangkap netranya. Jaehyuk tidak mau melewatkan tawa bahagia itu. Wajah yang bersinar itu. Senyum yang merekah itu. Jaehyuk menangkap semuanya dengan kameranya.

Asahi menggerakkan tangannya semangat, menyuruh Jaehyuk segera menghampirinya. Jaehyuk berlari kecil. Mempercepat langkahnya.

“Kau senang sekali eum?”

Asahi mengangguk semangat kemudian berlari kecil di tepi pantai. Sesekali menendang pasir di depannya.

'Kejar aku!'

Jaehyuk berlari cepat. Asahi tidak akan menang. Dirinya pelari tercepat di sekolahnya dulu. Beraninya Asahi menantangnya seperti ini.

Jaehyuk mengejar Asahi kemudian menangkap pinggang ramping itu dari belakang. Tubuh mungil itu terangkat dengan tangan Jaehyuk melingkar di pinggangnya. Asahi tertawa lepas. Merasakan semilir angin pantai menerpa wajahnya.

Indah.

Jaehyuk tidak bisa berhenti mengagumi ciptaan Tuhan yang berada di gendongannya sekarang. Bagaimana bisa ada manusia seindah ini? Malaikat tanpa sayap seakan benar adanya.

'Turunkan aku!'

Jaehyuk menggeleng tidak mau. Menggoda pemuda manis ini. Asahi menggelitik perut Jaehyuk mau tidak mau membuat rengkuhannya terlepas. Asahi tertawa puas kemudian berlari cepat meninggalkan Jaehyuk.

“Jangan berlarian terus, Sahi-ya! Nanti kau lelah!” teriaknya.

Asahi menurut. Berusaha mengambil napas. Lelah karena terlalu banyak berlari. Jaehyuk menghamparkan picnic mat yang dibawanya. Mendudukkan dirinya di sana.

“Duduklah,” kata Jaehyuk menepuk tempat di sebelahnya.

Asahi duduk di sana. Matanya menatap lautan luas yang membentang di depannya. Suara deburan ombak yang berlomba-lomba memecah keheningan. Semburat jingga mulai mewarnai langit. Burung camar berterbangan di langit.

“Sahi-ya,” panggil Jaehyuk setelah keheningan menyelimuti keduanya.

Asahi menatap Jaehyuk. Menunggu perkataan Jaehyuk selanjutnya.

“Apakah kau masih sering merasa kesepian sekarang?” tanyanya dengan mata masih menatap ke depan.

'Terkadang. Ketika orang tuaku sibuk bekerja dan kau sibuk kuliah. Jika bisa, aku juga ingin kuliah seperti Jaehyukkie. Punya banyak teman. Tapi, keterbatasan ini menyulitkanku.'

Jaehyuk memejamkan matanya. Menghela napas panjang. Menggenggam tangan Asahi meletakkannya di atas pangkuannya.

“Kau punya aku, Sahi-ya. Aku tidak akan pernah pergi dari sisimu. Kita akan selalu bersama. Aku tidak akan pernah kemana-mana. Maafkan aku yang terkadang sibuk dengan kuliahku sehingga membuatmu kesepian,” kata Jaehyuk lembut seraya menatap dalam mata Asahi yang sedari tadi memandangnya.

Asahi menggelengkan kepalanya.

'Jangan meminta maaf. Aku akan lebih sedih jika kau tidak giat belajar dan tidak bisa meraih mimpimu.'

Pemuda ini sangat peduli akan mimpi-mimpinya. Asahi memang tidak bisa bicara tapi bagi Jaehyuk, Asahi adalah sempurna. Perfectly imperfect. Setiap kata-kata yang Asahi ungkapkan sekalipun hanya dari gerak tangannya jauh lebih berarti dibanding kata-kata yang bisa terucap dengan suara.

Semua orang mengatakan Asahi beruntung memiliki Jaehyuk. Beruntung Jaehyuk mau menjadi temannya. Namun nyatanya, Jaehyuklah yang beruntung memiliki Asahi. Pemuda lembut dan polos dengan hati seperti malaikat ini mau menjadi bagian hidupnya.

“Gomawoyo, Sahi-ya. Aku beruntung memilikimu.”

Asahi tersenyum kecil kemudian menghambur ke dalam pelukan Jaehyuk. Membenamkan wajahnya pada dada bidang Jaehyuk. Jaehyuk merasakan kausnya basah. Melepaskan pelukan itu sebentar.

“Hei kenapa menangis?” tanyanya lembut sambil menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipi Asahi.

'Jaehyuk selalu membuatku merasa bahagia dan berharga. Padahal aku bukan apa-apa.'

Jaehyuk memperhatikan gerak tangan Asahi. Bukan apa-apa katanya? Hamada Asahi adalah segalanya baginya.

“Sahi-ya. Jangan pernah mengatakan kau bukan apa-apa. Bagiku, Asahi adalah segalanya. Asahi adalah dunia Yoon Jaehyuk. A-aku.. mencintaimu, Sahi-ya. Aku tidak berani mengatakannya. Tapi sejak senja itu di tengah hamparan dandelion, aku sudah menyukaimu.”

Jaehyuk mengatakan semuanya. Yang selama ini dipendamnya rapat-rapat. Menatap dalam manik Asahi. Berusaha menyatakan semua perasaan cintanya pada pemuda manis ini.

Asahi menatap Jaehyuk. Matanya membulat karena terkejut mendengar pengakuan Jaehyuk. Jaehyuk mencintainya? Selama 10 tahun? Mencintai dirinya yang kekurangan ini? Asahi bingung setengah mati bagaimana bisa pemuda sesempurna Jaehyuk menyukai dirinya.

'Aku juga mencintaimu. Tapi aku tidak bisa bicara. Kau begitu sempurna sedangkan aku penuh kekurangan. Aku hanya akan menghambat hidupmu. Aku tidak mau membuatmu malu.'

Hati Jaehyuk mencelos. Apakah selama ini Asahi merasa dirinya tidak pantas?

Jaehyuk menautkan jari-jari keduanya.

“Dengarkan aku baik-baik. Bagiku kau adalah sempurna. Lantas mengapa jika kau tidak bisa bicara? Caramu 'berbicara' dengan gerak tanganmu jauh lebih berarti dibanding kata-kata yang mampu diucapkan orang lain. Bagi orang lain, it's just a sign language, tapi bagiku, it's your love language. Bagiku, itulah caramu membahasakan cinta. Meski tanpa suara, tapi terdengar lantang di telingaku. Apapun tentangmu sudah menjadi duniaku. Dari 10 tahun lalu, sekarang dan kuharap selamanya.”

Hati Asahi terasa penuh mendengar satu per satu kata yang Jaehyuk ucapkan. Tidak ada kebohongan atapun kemunafikan. Semuanya tulus disampaikan.

Matanya berkaca-kaca. Perlahan air mata mengalir dari sudut matanya. Jaehyuk menariknya kembali ke dalam dekapan hangatnya.

“Aku paling tidak suka melihat air mata mengalir dari manik indahmu. Jadi, berhenti menangis eum?”

Jaehyuk mengelus surai hitam Asahi dengan sayang, mengecup pucuk kepalanya. Jaehyuk melepaskan pelukannya kemudian menangkup pipi mulus tanpa cacat itu. Mengecup bibir tipis itu singkat.

“Andai aku hadir di kehidupanmu lebih cepat. Lebih dulu dari teman-temanmu yang meninggalkanmu. Andai aku hadir di masa kelammu, menjadi sandaran dan pelindungmu. Kau tidak akan seterluka ini. Karena itu, selama ada aku, tidak ada yang bisa menyakitimu lagi. Kau... selalu sempurna bagiku. Dengan atau tanpa suara.”

Jaehyuk menatap Asahi tajam. Ia ingin Asahi mengerti bahwa dirinya bersungguh-sungguh. Ia ingin Asahi mengerti Yoon Jaehyuk tidak akan pernah pergi dari kehidupannya. Ia ingin Asahi mengerti seorang Yoon Jaehyuk bukan apa-apa tanpa seorang Hamada Asahi.

Asahi menghambur ke dalam pelukan Jaehyuk. Memeluk pemuda yang dicintainya ini erat. Asahi tidak akan pernah melepaskan malaikat pelindungnya.

Matahari senja mulai terbenam di antara garis pantai dan langit. Warna oranye melingkupi langit. Menambah keindahan momen mereka berdua.

“Kau tahu Sahi-ya? I always capture your face and expressions in this camera. Bahkan sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah memotretmu dengan kameraku tanpa sadar you already captured my heart at that time.”

Wajah Asahi merona. Yoon Jaehyuk dan kata-kata manisnya selalu berhasil membuatnya terlarut.

Jaehyuk mengecup pipi yang merona itu. Semburat merah semakin mewarnai pipi putih.

“You look so beautiful. Always.”

Jaehyuk merogoh tas abu-abunya. Mengeluarkan sesuatu dari sana.

“Kau ingat ulang tahunmu bulan lalu? Saat itu aku mengatakan jika kadomu akan kuberikan nanti. Menyusul karena aku harus membuatnya dengan baik. Kau marah padaku saat itu karena kau pikir aku memang lupa saja dan berbohong padamu. Kau harus tahu jika aku mengatakan sesuatu, maka akan kutepati dan memang benar adanya... Ini untukmu,” ucapnya seraya menyerahkan sebuah scrapbook hitam.

Asahi menatap buku hitam di depannya. Bertanya-tanya apa isinya. Menit berikutnya air mata mengalir dari mata indahnya. Di dalam scrapbook itu terisi dengan semua foto Asahi. Mulai dari wajahnya di padang bunga dandelion kala senja itu sampai wajah terlelapnya beberap hari lalu. Jaehyuk mengambil semuanya dengan sempurna. Tak ada cela.

Isakan bahagia lolos dari bibir mungil itu. Asahi melingkarkan tangannya pada leher Jaehyuk, mencium bibir penuh itu terlebih dahulu. Memeluknya erat menyandarkan kepalanya di dada bidang Jaehyuk.

“Kau suka?”

Asahi mengangguk kuat. Semakin mengeratkan pelukannya.

“Jika kau menyukainya, maka jangan menangis. Kau seharusnya tersenyum bahagia.”

Asahi mencubit perut Jaehyuk. Merusak suasana. Tidakkah ia tahu Asahi benar-benar terharu sekarang?

Jaehyuk terkekeh. Tangannya mengelus punggung sempit Jaehyuk berusaha membuar pemuda di pelukannya ini berhenti menangis. Senyum kecil terukir di bibir Asahi. Hanya saja, Jaehyuk tidak dapat melihatnya.

Asahi memejamkan matanya. Menghirup wangi Jaehyuk yang menenangkan. Di dalam pelukannya, Asahi merasa aman. Asahi melepaskan pelukannya kemudian menggerakan tangannya.

'Saranghae, Yoon Jaehyuk.'

Bagi orang lain, gerak tangannya tidak dapat dimengerti. Tapi bagi Asahi itu adalah satu-satunya cara membahasakan cintanya untuk seorang Yoon Jaehyuk.

End.

Title: Little Prince

Pairing: Jaehyuk/Asahi

The story contains mental/Age regression (little space!AU)

-notes- italic: flashback

_____________________

Mental/Age regression (noun): “psychological state in which someone's mindset will go into a previous state for a period of time. They will feel, think, and behave younger, most commonly as a toddler or little kid. It is also a coping mechanism and can be involuntary or voluntary. It can be used to cope with past/current trauma, mental or physical illnesses, general stress, and so on”

_____________________

Storyline:

Suasana dorm sangatlah sepi pagi ini. Yedam dan Junghwan menginap sejak semalam di dorm Jihoon karena sibuk movie marathon dengan Hyungnya yang memiliki hobi menonton film-film baru. Asahi memeriksa ponselnya, membaca pesan dari Yedam bahwa dirinya dan Junghwan masih akan menginap dan tidak kembali ke dorm hari ini.

Asahi mengaduk-aduk serealnya tidak semangat ketika Jaehyuk keluar dari kamarnya dengan rambut setengah basah dan handuk di tangannya. Ia mengusap-usap handuk ke rambutnya, mengeringkan sisa air yang masih melekat di rambutnya sehabis mandi tadi.

“Kau harus ke studio rekaman hari ini?” tanya Jaehyuk seraya duduk di hadapan Asahi, menyadari pemuda manis di depannya ini sedang tidak bersemangat.

Asahi hanya mengangguk seadanya masih sambil mengaduk sereal yang berada di mangkuknya. Tidak ada niatan untuk menyendoknya ke dalam mulutnya.

Jaehyuk menyentuh lengan kurus Asahi, berhasil membuat pemuda manis itu tersentak. Asahi ingin memukul dirinya sendiri. Ia selalu seperti ini jika Jaehyuk menyentuhnya. Ia akan menjadi sangat gugup. Rasanya seperti ada sengatan listrik yang menjalar di sekujur tubuhnya hingga membuatnya langsung bereaksi.

“Kau kenapa? Kenapa hanya diaduk-aduk seperti itu? Dimakan ya. Apa kau tidak suka?”

Asahi membalas tatapan Jaehyuk. Oh no, kenapa Yoon Jaehyuk harus setampan ini. Dengan kaus putih dan rambut yang masih belum kering sepenuhnya membuatnya makin mempesona. Asahi merutuki dirinya sendiri, berusaha membuyarkan pikirannya tadi.

'Dia itu team membermu, Asahi. Teman baikmu sendiri. Bisa-bisanya kau menggilainya,' rutuknya dalam hati, berusaha mengingatkan dirinya sendiri akan hubungan yang mereka punya.

“Asahi... Kenapa diam saja?”

Lamunan Asahi seketika buyar. Merasa bodoh sedari tadi melamun dan larut dalam pikirannya sendiri.

“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya tidak enak makan,” jawabnya singkat. Matanya fokus pada mangkuk sereal di hadapannya.

Jaehyuk tersenyum kecil. Ia tahu betul Asahi sedang gugup sekarang. Bertahun-tahun mengenalnya membuat Jaehyuk sedikit banyak mengerti akan Asahi. Pemuda manis itu selalu tidak bisa makan jika sedang gugup.

Jaehyuk beranjak dari duduknya, melempar asal handuknya ke dal kantung cucian kotor, kemudian berdiri di hadapan Asahi, memutar bahu pemuda manis itu untuk menghadapnya.

“Dengarkan aku, Sahi-ya. Kau harus yakin dengan dirimu, eum? Aku tahu kau gugup karena ini pertama kalinya kau akan mengcompose lagu yang akan dinyanyikan kita semua dan didengar banyak orang, tapi aku tahu kau pasti bisa. Percayalah pada dirimu sendiri, eum?”

Asahi menatap lekat manik bening itu. Sorot lembut dari sepasang manik itu setidaknya memberikan sedikit ketenangan. Ini yang dirinya suka dari seorang Yoon Jaehyuk. Jaehyuk selalu yang paling peka akan keadaan membernya tanpa harus dirinya banyak berkata.

“Gomawo, Jaehyuk-ah,” ucapnya dengan senyum manisnya.

Jaehyuk tersenyum kecil kemudian mengacak surai legam Asahi.

“Sekarang dihabiskan sarapannya, ne? Kau tidak akan bisa fokus jika perutmu kosong. Atau mau kubuatkan yang lain? Yang bisa membuatmu enak makan?”

Asahi menggelengkan kepalanya. Tidak ingin merepotkan. Lagipula, ia harus segera berangkat.

“Tidak perlu. Aku akan habiskan ini lalu segera pergi.”

“Baiklah. Aku juga bersiap ya. Ada latihan dance tambahan hari ini. Mungkin aku akan pulang larut. Asahi, fighting!”

Jaehyuk menyemangati Asahi, berharap pemuda manis ini tidak terlalu gugup. Jaehyuk mengacak surai halus itu kemudian kembali ke dalam kamarnya.

Asahi menunduk dengan senyum terkulum di bibir tipisnya. Sedetik kemudian menepuk-nepuk pipinya berusaha menyadarkan dirinya sendiri.

'Kau tidak pantas. Kau hanya akan menyusahkannya,' lirihnya dalam hati, sadar akan posisi dan kondisinya.

Asahi menghela napas panjang. Ia beranjak dari duduknya kemudian membuang sisa sereal di mangkuknya.

“Aku pergi dulu, Jaehyuk-ah!” pamitnya dengan sedikit menaikkan suara.

Jaehyuk membuka pintu kamarnya, menampakkan kepalanya.

“Ne, sampai bertemu nanti malam,” sahut Jaehyuk dengan senyum manisnya.

Hm.

Tampan.

Bagaimana bisa ada pemuda setampan dan sebaik Yoon Jaehyuk.

Asahi hanya tersenyum tipis kemudian berlalu keluar.

♤♤♤

Asahi berjalan cepat dengan wajah tertunduk. Tangannya menggenggam beberapa lembar partitur lagu yang baru saja direkamnya tadi. Meremas kertas itu pelan. Kakinya melangkah cepat, tidak menyadari Mashiho yang sedang berjalan dari arah berlawanan. Pemuda yang lebih kecil darinya itu terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. Sementara dirinya sudah mendarat sempurna di lantai keras itu. Kertas partiturnya terserak. Asahi mengumpulkan satu per satu masih dengan wajah tertunduk.

“Asahi... kenapa terburu-buru seperti ini?” selidik Mashi merasa ada yang aneh dengan pemuda manis ini. Sulit untuk melihat wajahnya karena Asahi masih menunduk dalam.

Diam. Tidak ada jawaban. Tangan Asahi masih sibuk mengumpulkan kertas partitur yang berserakan di lantai. Maniknya tidak berani menatap Mashiho.

“Kau kenapa, Asahi? Kau baik-baik saja?” tanya Mashiho lagi, berusaha melihat wajahnya.

“A-aku tidak apa-apa. Maaf menabrakmu. A-aku pergi dulu,” jawabnya tergesa kemudian berlari kecil meninggalkan Mashi.

Mashi menatapnya sendu. Selalu saja begitu. Asahi selalu menutup dirinya tiap kali ada masalah. Ia akan berlama-lama memendam dan mengatakan dirinya baik-baik saja. Memiliki 1 kebangsaan dan 1 bahasa tidak membuatnya mudah untuk menerobos dinding pertahanan seorang Hamada Asahi. Nyatanya Asahi lebih suka memendam semuanya sendiri. Mashiho ingat ketika mereka masih menjadi trainee di Jepang. Beberapa trainee di sana mengatakan hal yang tidak mengenakkan tentang Asahi tapi pemuda itu hanya diam tak bereaksi sama sekali. Mashi menghela napasnya. Ia harap Asahi baik-baik saja.

Asahi berusaha menahan air mata yang memaksa mengalir dari matanya. Wajahnya masih tertunduk. Pertahanannya tidak boleh runtuh sekarang. Perkataan di studio rekaman tadi terngiang-ngiang di telinganya.

“Aku rasa bagian ini tidak bagus,” ucap salah satu produser.

“Bagian ini dipotong saja. Hmm, liriknya juga kurang enak didengar,“ucapnya lagi.

“Tidak masalah kan, Asahi-ssi? Jika kita memotong bagian lagunya dan mengubah liriknya?”

Asahi hanya bisa menunduk. Tangannya memainkan ujung kemejanya.

“Ah, kurasa yang bagian ini juga tidak perlu.”

Mata Asahi membulat. Jangan. Jangan bagian yang itu. Itu bagian yang ia tulis semalaman. Itu bagian yang dirinya tulis sambil menghabiskan waktu dengan Jaehyuk di dormnya.

“Itu....bagian favoritku,” lirihnya pelan berharap sang produser tidak memotong bagian kesukaannya itu.

“Tapi bagian ini tidak akan disukai publik. Kita cut saja. Percayalah, kami lebih tahu dibanding dirimu.”

Asahi mengangguk pasrah. Matanya memanas. Air mata mendesak keluar. Asahi kecewa tapi tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa meremas ujung bajunya berusaha menyalurkan kecewa dan rasa sakit di hatinya.

Kerja kerasnya terasa percuma. Apa dirinya yang terlalu percaya diri berharap lagunya akan benar-benar disukai produser agensinya? Jaehyuk mengatakan padanya untuk yakin pada dirinya sendiri. Lantas jika seperti ini, masih bisakah Asahi percaya pada dirinya?

Asahi mengusap cepat lelehan air mata yang mengalir di kedua pipi putihnya. Tidak boleh menangis sekarang. Orang lain bisa melihatnya. Asahi ingin cepat-cepat sampai dorm dan mengunci dirinya di kamar. Tidak peduli perutnya yang berbunyi minta diisi. Asahi hanya ingin tidur di kamarnya.

♤♤♤

Jaehyuk menekan tombol kunci otomatis dormnya. Hm, aneh sekali. Dormnya sudah gelap. Jaehyuk melirik jam tangannya. Jam 10 malam. Ia tahu Yedam dan Junghwan masih menginap di dorm Jihoon Hyung, tapi biasanya Asahi masih duduk di sofa ruang tengah sambil menonton acara televisi. Terkadang pemuda manis itu masih sibuk menggambar dan mewarnainya dengan cat warna. Dahi Jaehyuk berkerut. Benar-benar sepi sekali.

'Apa Asahi sudah tidur?' tanyanya dalam hati.

Jaehyuk meletakkan tasnya di sofa ketika telinganya menangkap suara isakan halus dari arah kamar Asahi. Jaehyuk mengetuk pintu kamar itu pelan.

“Sahi-ya..kau di dalam?”

Jaehyuk kaget setengah mati ketika pintu itu tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok Asahi yang sedang memeluk boneka teddy bear. Asahi langsung menghambur begitu saja ke dalam pelukannya.

“Jaehyuk Hyung! Hi-kun takut daritadi sendirian,” ucapnya dengan bibir cemberut dan pipinya yang digembungkan. Matanya menatap manik bening Jaehyuk. Tatapan polos layaknya anak kecil.

Jaehyuk mematung. Berusaha memproses apa yang terjadi saat ini.

Hyung? Asahi memanggilnya Hyung? Kepalanya tiba-tiba terasa pening. Tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

“Sahi-ya.....,” kata Jaehyuk pelan menatap manik indah Asahi. Berusaha menemukan jawaban di sana.

“Hi-kunnnnnn~ Panggil aku Hi-kun.. Hi-kun takut sendirian. Di luar gelap sekali, Hi-kun takut,” ucapnya lagi dengan mata berkaca-kaca.

Hati Jaehyuk tidak tega melihat manik indahnya berkaca-kaca. Jaehyuk menarik Asahi ke dalam pelukannya berusaha menenangkan bahunya yang sedikit bergetar.

“Hi-kun tidak perlu takut. Jaehyukkie di sini. Hi-kun tidak sendirian lagi. Ini aku nyalakan lampunya ya biar tidak gelap lagi.”

Asahi memandangnya polos kemudian tersenyum lebar, menampakkan lesung pipit manisnya.

“Jaehyuk mau mandi dulu sebentar. Hi-kun tunggu di sini, eum?”

Jaehyuk menarik lembut lengan Asahi kemudian membawanya ke ruang tengah, mendudukkan Asahi di sana. Jaehyuk berlutut di hadapannya, mengelus surai halus itu.

“Hi-kun tunggu di sini dulu sebentar ya. Nanti setelah mandi, kita main bersama, ne?”

“Janji ya tidak lama. Pinky promise?”

Asahi mengacungkan kelingkingnya.

Jaehyuk terkekeh kecil kemudian menautkan kelingkingnya. Mengecup pucuk kepala Asahi.

“10 menit. Jaehyukkie akan kembali dalam waktu 10 menit. Hi-kun jangan nakal ya. Duduk di sini dan jangan kemana-mana.”

Asahi menatap Jaehyuk kemudian mengangguk semangat. Sungguh menggemaskan. Ingin sekali Jaehyuk mencubit pipi yang sedikit merona itu.

Jujur Jaehyuk bingung dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba saja Asahi berubah menjadi seperti anak kecil. Memanggilnya Hyung dan menyuruhnya memanggilnya Hi-kun. Tapi, harus Jaehyuk akui tingkah Asahi yang manja seperti tadi sangatlah menggemaskan.

Jaehyuk mengeringkan rambutnya kemudian menghampiri Asahi yang masih duduk diam di sofa. Boneka teddy bear masih berada di pelukannya. Kepalanya bergoyang ke kanan dan kiri, pertanda dirinya mengantuk. Jaehyuk menyangga kepala Asahi dan meletakkannya di pundaknya.

“Hi-kun mengantuk?”

Asahi mengangguk kecil kemudian menguap dan mengucek matanya perlahan.

“Mau tidur? Nanti Jaehyuk temani.”

Asahi berusaha membuka matanya yang sempat terpejam. Menggelengkan kepalanya cepat.

“Tadi kata Jaehyuk Hyung mau bermain bersama. Kenapa aku disuruh tidur? Hi-kun tidak mau!”

Asahi melipat tangannya di depan dada dengan pipinya yang digembungkan. Membuang mukanya berpura-pura merajuk.

Jaehyuk hanya bisa tertawa kecil melihatnya.

God, he's so cute.

“Tapi Hi-kun sudah mengantuk, loh. Itu matanya sudah sayu begitu. Daritadi Hi-kun juga sudah menguap. Matanya sampai berair begitu.”

“Tapi Hi-kun lapar. Hi-kun belum makan dari siang. Hi-kun tidak tahu cara memasak,” lirihnya sendu.

Jaehyuk menatapnya lembut. Mengusap kepala itu sayang. Jaehyuk memang tidak mengerti apa yang terjadi tapi menjaga Asahi kecil adalah prioritasnya sekarang.

“Hi-kun mau makan apa? Nanti Jaehyuk Hyung akan memasak untuk Hi-kun.”

“Ramdon! Hi-kun mau ramdon. Hi-kun suka ramdon buatan Jaehyuk Hyung.”

“Hyung buatkan ya. Hi-kun tunggu di sini eum?”

Asahi menggeleng cepat, menggelayut manja pada lengan Jaehyuk seperti koala.

“Tidak mau! Hi-kun mau lihat Hyung memasak.”

Jaehyuk terkekeh kecil.

“Iya, iya Hi-kun ikut Hyung ya. Tapi, jangan nakal ya. Hi-kun duduk saja di meja makan, ne? Jaehyukkie tidak mau Hi-kun terluka.”

Asahi mengangguk semangat sambil melompat-lompat senang. Memeluk erat Jaehyuk, membenamkan wajahnya pada ceruk lehernya.

Asahi memperhatikan Jaehyuk dari meja makan. Dagunya bertumpu pada tangannya sementara kakinya bergoyang-goyang kecil. Sesekali tersenyum kecil menatap punggung Jaehyuk yang sedang sibuk dengan bahan-bahan di depannya.

“Jaehyuk Hyung sayang Hi-kun tidak?” tanyanya tiba-tiba membuat panci yang dipegang Jaehyuk hampir terlepas dari genggamannya. Kaget setengah mati mendengar pertanyaan tiba-tiba itu.

Asahi mengerjapkan matanya. Menunggu respons dari yang 'lebih tua'.

“Hyung tidak sayang Hi-kun ya? Hiks.” Asahi mulai menangis. Tangannya menutup kedua matanya.

Jaehyuk jauh lebih panik lagi melihat Asahi menangis. Merutuki dirinya sendiri yang tidak langsung menjawab pertanyaan itu.

Jaehyuk menghampiri Asahi, memposisikan dirinya di sebelah pemuda manis itu. Jaehyuk melepaskan tangan kurus yang menutupi kedua matanya.

“Hi-kun... jangan menangis. Maafkan Jaehyukkie tidak langsung menjawab. Tentu Jaehyuk menyanyangi Hi-kun. Hi-kun adalah hal yang paling berharga untuk Jaehyuk,” jawabnya lembut seraya menghapus jejak air mata di pipi mulus Asahi. Mengusap punggung sempitnya berusaha menenangkannya.

'Bahkan aku mencintaimu, Hamada Asahi. Jika kau tidak sedang dalam keadaan seperti ini, aku akan dengan jelas mengatakannya,' ucapnya dalam hati.

Asahi menghambur ke dalam pelukan Jaehyuk. Memeluknya erat. Membenamkan wajahnya di dada bidang Jaehyuk. Asahi menarik teddy bearnya ikut membawanya ke dalam pelukan.

“Bear mau ikut berpelukan juga,” ucap Asahi dengan wajah menggemaskan.

Sungguh Jaehyuk tidak tahan lagi dengan tingkah menggemaskan Asahi. Rasanya gemas setengah mati.

“Jaehyukkie sayang Asahi dan Bear,” kekehnya seraya menepuk pucuk kepala Asahi.

“Sekarang Hi-kun makan ya? Sudah lapar, kan?” tanya Jaehyuk memegang perut rata Asahi sambil menepuknya pelan.

Asahi menganggukkan kepalanya semangat. Matanya berbinar menatap sepiring ramdon di depannya.

“Mau Jaehyukkie bantu?”

“Hi-kun bisa makan sendiri. Hi-kun sudah besar tahu.”

Jaehyuk tersenyum kecil. Tangannya mengelus surai hitam Asahi. Jaehyuk memandangi Asahi yang sedang menyantap masakannya. Hatinya menghangat melihat betapa Asahi menyukai masakannya. Melihat pemuda manis itu di dalam dunianya sendiri dengan senyum manis yang tidak pernah terlepas dari bibir tipisnya. Betapa Jaehyuk mencintai semua sisi dari seorang Hamada Asahi.

“You are so cute, Hi-kun.”

Asahi tersenyum lebar. Matanya membentuk bulan sabit. Jantung Jaehyuk bergemuruh. Jika harus dalam keadaan seperti ini Jaehyuk bisa melihat senyum lebar itu, Jaehyuk tentu menikmati setiap menitnya.

“Jaehyuk Hyung juga tampan.”

Pipinya memanas sekarang. Kau sudah gila Yoon Jaehyuk. Dirinya banyak mendengar kata tampan dari orang tapi begitu pemuda manis ini yang mengucapkannya, Jaehyuk dibuat gugup seperti ini.

“Hi-kun sudah selesai~,” ucapnya girang membuyarkan pikiran Jaehyuk.

“Ah, sudah selesai rupanya. Sehabis ini Hi-kun sikat gigi kemudian tidur ya. Sudah larut. Hi-kun harus istirahat.”

Seketika mata Asahi membulat. Ketakutan memancar di sana. Sungguh Jaehyuk tidak mengerti kenapa ketakutan harus mengusik binar dari manik indah indah itu.

Jaehyuk mengelus lengan Asahi lembut.

“Jaehyukkie temani Hi-kun tidur eum? Kenapa Hi-kun takut?”

Asahi menatap Jaehyuk dengan mata berkaca-kaca.

“Hi-kun selalu mimpi buruk setiap malam. Hi-kun takut.”

Jaehyuk mengerutkan dahinya. Sulit baginya membedakan realita. Apakah Asahi juga mimpi buruk setiap malam? Atau hanya ketika dirinya menjadi sosok Hi-kun?

“Hi-kun takut.”

Jaehyuk menatap manik polos Asahi. Pandangannya menjadi sendu melihat Asahi ketakutan. Asahi menggigit bibirnya berusaha menahan air matanya.

Jaehyuk menariknya ke dalam pelukan.

“Hi-kun tidak perlu takut lagi. Mulai sekarang dan seterusnya, Jaehyukkie akan selalu menemani Hi-kun tidur. Jangan menangis eum. Jaehyukkie sedih jika melihat Hi-kun menangis.”

Asahi buru-buru mengusap air matanya. Ia tidak mau melihat Jaehyuk sedih.

Jaehyuk memperhatikan wajah sempurna Asahi yang berada di pangkuannya sekarang. Selimut tebal menutupi tubuh mungilnya. Kepalanya bersandar di dadanya. Lengan kanannya memeluk erat pinggang Jaehyuk. Sementara lengan kirinya mendekap erat boneka teddy bearnya.

Jaehyuk tersenyum kecil melihat wajah tenang Asahi. Jaehyuk yang berada di posisi duduk dengan kaki sofa sebagai sandarannya merengkuh tubuh mungil itu. Mengecup sayang pucuk kepala pemuda manis itu.

“Banyak hal yang tidak aku ketahui tentang dirimu, Sahi-ya,” katanya lembut seraya mengelus pipi putih itu.

Jaehyuk memainkan ponselnya. Jika ingin terus mendampingi Asahi, dirinya harus mengetahui dengan jelas apa yang sedang dialaminya sekarang. Maniknya fokus membaca beberapa artikel yang ia temukan. Sesekali menatap Asahi.

Age regression?

Coping mechanism?

Trauma?

Stress?

Jaehyuk menatap sendu wajah yang terlelap itu.

'Apa bagian hidupmu yang tidak kau ceritakan padaku? Apa kesedihanmu yang tidak pernah kau ungkapkan padaku?' lirihnya dalam hati.

Jaehyuk merasakan bajunya ditarik. Pandangannya langsung tertuju pada pemuda yang berada di pelukannya. Peluh membasahi dahi Asahi. Dahinya berkerut dan kepalanya begerak tidak tenang.

“Apakah ia mimpi buruk?” keluhnya dengan suara pelan.

Asahi bergerak tidak tenang. Mimpi ini datang lagi. Memori menyakitkan itu menghantuinya lagi.

“Kau tidak boleh keluar dari ruang latihan sebelum kau sempurnakan dancemu. Kau tidak boleh pulang.”

Suara pelatih tarinya sewaktu menjadi trainee di Jepang dulu menggema di kepalanya.

Asahi duduk terdiam di ruang latihan yang gelap. Semua lampu sudah dimatikan. Asahi menekuk lututnya membenamkan wajahnya di sana. Ia takut tapi untuk meminta tolong saja ia tidak bisa.

“Kenapa kau menghabiskan waktuku hanya untuk memberikan kelas tambahan untukmu?”

“Kenapa kau bodoh sekali?!”

Ucapan pelatihnya membekas di ingatannya. Menyadarkannya betapa tak bergunanya dirinya.

“Kau lihat si Hamada itu? Ia akan dikirim ke Korea untuk bersaing di acara survival di sana. Cih, dia kira dia siapa? Jika bukan karena wajahnya, dia tidak akan bisa jadi trainee di sini.”

Beberapa trainee mengatakan hal buruk tentangnya. Asahi kira dirinya sudah kebal dengan semua kata-kata menyakitkan itu. Tapi, nyatanya luka di hatinya terus melebar. Rasa sakit itu menjalar sampai ke dasar hatinya.

“Katanya dia bisa menulis lagu. Haha tapi apa gunanya jika suara dan dancenya tidak begitu baik.”

Kata-kata itu menghancurkan hatinya. Menulis dan membuat lagu adalah dunianya. Musik adalah hidupnya.

“Tidak usah didengarkan, Asahi-kun. Mereka hanya iri,” ucap Mashiho suatu kali berusaha memberikannya semangat.

Asahi hanya tersenyum tipis. Palsu. Nyatanya, hatinya seperti ditusuk.

“Aku tidak peduli,” jawabnya singkat dengan ekspresi datarnya.

Pembohong besar.

Karena nyatanya kata-kata itu menghancurkan rasa percaya dirinya. Kata-kata itu mematikan karakternya.

Asahi menyadari betapa dirinya tidak pantas. Jika bukan karena wajahnya, ia sungguh tidak layak menjadi seorang idola. Orang sepertinya harus berjuang sendiri. Orang lain tidak akan bisa membantunya. Ia tidak mau membawa yang lainnya terpuruk bersamanya.

Asahi kira hidupnya akan menjadi lebih baik setelah berhasil ke Korea. Namun, kata-kata menyakitkan itu tetap mengikutinya kemanapun ia pergi. Bagai bayangan yang selalu berada tepat di belakangnya. Menghantuinya.

“Kau tampan, Asahi. Dengan wajahmu saja, juri pasti sudah sangat tertarik,” puji salah satu trainee di Korea.

Asahi tertawa kecil dalam hati. Lagi-lagi karena wajahnya.

“Kau tidak akan bisa menjadi penyanyi jika tidak dapat berekspresi. Aku harap kau lebih sering tersenyum,” ucqp Yang sajangnim suatu kali.

Asahi tersenyum miris. Bahkan kini wajahnya pun tak cukup.

Asahi bangun dengan napas terengah. Peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Asahi berusaha mengumpulkan kesadarannya. Maniknya tertuju pada boneka teddy bear di pelukannya.

Shit!

Apakah dirinya baru saja berubah menjadi anak kecil tanpa ia sadari?

Asahi meremas teddy bearnya. Malu akan dirinya sendiri. Seketika dirinya sadar bahwa ia tidak sendiri. Ia berada di pangkuan seseorang sekarang. Asahi menatap Jaehyuk yang juga sedang menatapnya dengan pandangan khawatir. Wajahnya memucat. Tidak bisa membayangkan apa yang sudah dilakukannya selama dirinya sedang terjebak dalam mental kanak-kanaknya.

“Jae-jaehyuk-ah, mianhae,” ucapnya pelan sambil buru-buru berdiri. Melepaskan dirinya dari pelukan Jaehyuk.

“A-aku kembali ke kamar. Kau juga tidurlah.”

Asahi melangkah cepat tanpa melihat Jaehyuk sama sekali. Jaehyuk ikut berdiri dari posisi duduknya kemudian menahan lengan Asahi.

“Sahi-ya, jangan begini,” mohon Jaehyuk dengan suara pelan berharap Asahi tidak lagi lari.

Asahi memejamkan matanya. Cairan bening mengalir dari sudut matanya. Bahunya bergetar berusaha menahan isakannya.

Melihat Asahi tidak melawan, Jaehyuk mendekatkan tubuh Asahi, melingkarkan lengannya di pinggang ramping itu seraya memeluknya dari belakang. Dagunya ia letakkan di pucuk kepala Asahi.

“Aku mohon jangan lari. Jangan lari lagi. Jangan bersembunyi lagi. Aku di sini. Aku mencintaimu,” lirihnya sendu. Air mata menyeruak dari matanya.

“Kau sudah melihat semuanya. Kau masih mencintaiku? Kau gila, Yoon Jaehyuk.”

Asahi menggigit bibirnya. Apa katanya? Yoon Jaehyuk mencintainya? Sungguh Asahi tidak percaya.

“Ne, aku sudah melihat semuanya dan aku tetap mencintaimu. Aku menyukai semua tentangmu. Hi-kun maupun Hamada Asahi, kau adalah pribadi yang sama. Pribadi yang selama ini memberikan kebahagiaan untukku, pribadi yang selalu mendukungku, pribadi yang selalu membantuku. Kau orangnya. Lihat aku, Asahi. Lihat aku dan lihat kesungguhanku. Aku tidak main-main,” jelasnya tegas. Asahi harus tahu bagaimanapun diri Asahi, dirinya akan tetap mencintainya.

Jaehyuk menghela napas panjang. Melepaskan lingkaran tangannya dan beralih ke hadapan Asahi, memaksanya untuk menatap dirinya.

Jaehyuk menangkup wajah Asahi kemudian mengecup bibir tipis itu perlahan. Sementara Asahi membatu. Waktu seakan berhenti. Sekelilingnya seperti bergerak lambat. Asahi tersadar kemudian mendorong pelan tubuh Jaehyuk.

“Aku hanya akan mempemalukanmu. Apa kata orang jika kau memiliki kekasih aneh sepertiku? Berubah menjadi kanak-kanak tanpa bisa kukendalikan.”

Asahi tersenyum miris. Ia ingin Yoon Jaehyuk sadar bahwa mencintainya bukanlah pilihan tepat.

“Dengarkan aku, Sahi-ya. If this is your coping mechanism and this is your only way to feel safe, maka aku harusnya bersyukur. Karena aku bisa menjadi caregivermu. Denganku, kau tidak perlu lagi takut untuk membuka semua sisi kehidupanmu. Kau tahu? Hatiku sakit melihatmu mimpi buruk seperti tadi. Melihatmu memendam kesakitan sendiri. Kau berteriak, tanganmu bergerak-gerak di udara meminta pertolongan dan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Itu jauh membuatku lebih sakit.”

Air mata itu terus mengalir. Hatinya terlalu sesak. Bagaimana bisa dirinya tidak menyadari pemuda yang hidup bersamanya setiap hari, yang selalu dirinya sayangi lebih dari sekedar teman itu menyimpan rasa sakit yang dalam? Perasaan bersalah menghinggapi hatinya.

Asahi menatap dalam Jaehyuk yang menangis di depannya. Hatinya juga sakit sekarang. Mereka sedang sama-sama menyakiti diri mereka sendiri eum?

Asahi menangkup wajah Jaehyuk kemudian mengecup kelopak mata Jaehyuk.

“Jangan menangis lagi, Jaehyukkie. Jangan juga merasa bersalah. Jika aku memendam rasa sakit seperti ini, itu karena aku tidak mau menyusahkanmu dan yang lain. Kejadian-kejadian beberapa tahun lalu selalu membekas di pikiranku. Kejadian hari ini membuatku mengingatnya lagi. Aku takut sekali. Aku merasa tidak berguna. Aku kecewa dan hatiku sakit ketika produser memotong bagian penting dari lagu yang aku tulis. Aku menghabiskan semalaman untuk membuat bagian itu. Aku menulisnya denganmu. Bagian itu penting bagiku,” isaknya pelan.

Jaehyuk mengusap punggung sempit itu. Memeluknya erat.

“Mereka boleh memotong bagian lagumu sesuka hati mereka, tapi mereka tidak bisa mengubah bakat yang kau punya. Mereka boleh ragu akan dirimu tapi aku selalu percaya pada dirimu. Tidak hanya aku, Treasure dan Teume percaya padamu juga, Hamada Asahi. Hi-kun. Siapapun boleh mengatakan hal buruk tentangmu, merendahkanmu, kecilkan mimpimu. Tapi bagiku, Treasure dan juga Teume kau adalah penting dan berharga. Kau berharga untukku. Jadi, ijinkan Yoon Jaehyuk untuk mencintaimu dengan tepat. Ijinkan Yoon Jaehyuk membahagiakanmu.”

Isakan lolos dari bibir tipis itu. Kata-kata tulus itu menyentuh hatinya. Menghangatkan hatinya yang selama ini tertutup.

Jaehyuk tersenyum lembut. Tangannya masih mengelus punggung Asahi. Sesekali memberikan kecupan di pucuk kepala pemuda yang ia cintai sepenuh hati ini.

“Gwaenchana..... Asahi akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja. Apapun dirimu, aku mau melindungi duniamu. Dunia Hamada Asahi dan dunia kecil Hi-kun. You are my little prince dan Jaehyuk adalah ksatria yang tidak akan pernah pergi meninggalkan pangeran kecilnya.”

Jaehyuk mengecup bibir manis itu lama. Memeluk Asahi semakin erat.

Tidak. Jaehyuk tidak akan pernah melepaskan Asahi. Semua sisi Asahi adalah bagian dari dirinya juga. Those stupid people. Mereka boleh menghancurkan Asahi berkali-kali dan sebanyak itu juga Jaehyuk akan membangun kembali kepingan-kepingan yang hancur itu.

End.

Title: 赤い糸 – Akai Ito

Pairing: Jaehyuk/Asahi

This story contains M-PREG

⚠️Trigger warning:Miscarriage⚠️

⚠️ Tiny bit non-explicit mature contents ⚠️

-Note-

italic words : flashback

_____________________

Akai ito (赤い糸) : red string of fate _____________________

Storyline:

Pemuda Jepang dengan nama Hamada Asahi berbaring menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa minggu lalu. Kejadian yang pada akhirnya mengubah hidupnya. Memang ini bukan pertama kalinya, tapi bisa-bisanya semesta bermain dengan hidupnya. Asahi memejamkan matanya, merasakan air mata mengalir dari sudut matanya. Asahi ingat saat pikiran setan di dalam dirinya muncul ke permukaan untuk pertama kalinya.

♤♤♤

Hari itu episode final dari YG Treasure Box, dan kemungkinan besar adalah momen terakhirnya bisa bertemu dengan Yoon Jaehyuk. Trainee asal Korea yang belakangan membuatnya gila dan hilang akal. Semua perlakuan manis pemuda tampan itu membuat Asahi jatuh begitu dalam. Katakanlah Asahi pengecut, tapi dirinya tidak pernah punya nyali untuk mengatakan semuanya. Tapi, ini adalah kesempatan terakhirnya. Setelah ini, dirinya akan benar-benar kembali ke Jepang, tidak akan kembali.

Orang bilang ketika kau memiliki perasaan terhadap seseorang, kau harus berani untuk mengatakannya ketika kesempatan itu datang atau momen itu tidak akan pernah ada lagi. Jadilah Asahi di sini. Berdiri menatap Jaehyuk yang berada di kamar dorm nya. It's now or never.

“A-aku menyukaimu, Jaehyuk-ah,” ucap Asahi singkat. Wajahnya menunduk dalam, tidak berani menatap manik bening Jaehyuk.

Diam. Tak ada satu patah katapun keluar dari mulut Jaehyuk. Matanya menatap tajam pemuda manis di depannya yang masih menunduk.

“Kau tahu aku tidak bisa memberikanmu apa-apa, Sahi-ya,” lirihnya pelan setelah diam cukup lama.

“Kita sama-sama tau kau dan aku adalah sesama laki-laki. Kita masih terlalu muda dan naif untuk mengerti apa itu cinta. Aku... tidak ingin mengecewakan keluargaku. Aku... tidak berani.”

Asahi mengangguk mengerti. Air mata memaksa keluar dari sudut matanya. Asahi mengangkat wajahnya, menatap manik Jaehyuk yang berkaca-kaca.

“Aku tahu itu, Jaehyuk-ah. Aku tidak meminta kita memiliki hubungan lebih. Toh, aku akan pergi juga dan tidak akan bertemu kau lagi. Tapi, jika boleh aku meminta, untuk pertemuan kita yang terakhir ini, bisakah aku tahu perasaanmu selama ini terhadapku?” pinta Asahi penuh harap.

Jaehyuk mendekat ke arah Asahi, mempersempit jarak di antara keduanya.

“Aku...menyukai kehadiranmu, Sahi-ya. Tapi, aku bahkan tidak tahu apakah ini cinta atau bukan. Apakah aku menyukaimu sebagai teman atau lebih. Sungguh aku tidak tahu. Maafkan aku,” ucap Jaehyuk pelan kemudian memeluk Asahi erat.

“This could be our last time together. Hiduplah dengan baik, Asahi. Kejarlah mimpimu. Buat suara dan musik indahmu didengar dunia.”

Asahi menatap Jaehyuk dalam. Air mata mengalir di kedua pipinya.

“Eum.. this could be our last time. Jadi, bolehkah aku meminta 1 permintaan terakhir?”

Jaehyuk menatap Asahi tak mengerti. Sedetik kemudian Asahi mencium bibir Jaehyuk. Melumatnya lama. Jaehyuk yang tersentak kaget menikmati ciuman dalam itu. Merengkuh pinggang ramping Asahi, semakin membawanya mendekat.

“Kau yakin akan ini? No regrets?” bisik Jaehyuk di telinga Asahi.

“No regrets. Because it's you, Yoon Jaehyuk,“lirih Asahi.

Yoon Jaehyuk menjadi laki-laki paling brengsek sedunia ketika terbangun keesokan harinya. Apa yang dilakukan keduanya semalaman masih terngiang jelas di otaknya. Betapa Yoon Jaehyuk merasa menjadi laki-laki paling idiot sedunia. Tak dapat mengatakan cinta, tapi malah justru bercinta. Lantas melakukannya atas dasar apa jika bukan karena cinta? Nafsu-kah? Yoon Jaehyuk gila.

Jaehyuk mengacak rambutnya kasar. Kemudian tersadar Asahi sudah tidak berada di kamarnya. Jaehyuk meraba sisi tempat tidur sebelah kanannya. Masih terasa hangat. Berarti Asahi baru saja pergi.

'Kenapa tidak membangunkan dulu?' tanyanya dalam hati.

Jaehyuk bangkit dari posisi tidurnya, melirik sekilas meja tulisnya. Ada sebuah notes yang ditempel di sana.

-Jaehyuk-ah, aku pergi...hiduplah dengan baik, raih mimpimu dan berbahagialah. Thank you for granting my last wish.-

Asahi

Jaehyuk meremas rambutnya frustasi. Akankah dia menyesal di kemudian hari?

♤♤♤

Pernah dengar benang merah? Red string of fate? Konon antara dua insan manusia, terbentang benang merah di antaranya. Connected and meant to be together by fate. Benang itu bisa saja meregang dan menjadi kusut, tapi tidak pernah terputus. Sungguh Asahi bukanlah orang yang percaya akan hal-hal seperti itu tapi jalan hidupnya membuatnya berpikir bahwa benang merah takdir memang benar adanya.

Bahkan ketika dirinya sudah kembali ke Jepang, ketika dirinya sudah hampir menyerah dengan mimpiny, bisa-bisanya semesta melalui takdir membawanya kembali ke Korea. Agensinya mengatakan akan membentuk satu boygroup lagi dan dia menjadi line up debut terakhir.

Asahi tak habis pikir. Hidup memang selucu itu. Bahkan ketika dirinya berusaha lari dari orang yang paling ia cintai sekaligus orang yang paling tidak ingin ia temui, takdir membawanya kembali ke sini. Berdiri di hadapan pemuda tampan yang mencuri hatinya sejak awal. Yoon Jaehyuk.

Malam terakhirnya di Korea tidak akan pernah Asahi lupakan. Kejadian gila itu masih terasa nyata. Ketika pikiran setan menguasai dirinya.

“Kau kembali,” ucapnya singkat. Matanya tidak pernah lepas dari Asahi.

“Hm.. aku kembali.”

Asahi menghindari tatapan Jaehyuk.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Jaehyuk berusaha mencairkan suasana.

'Buruk! Buruk sekali, Yoon Jaehyuk. Aku tidak bisa tidur setiap malam meratapi kegilaanku. Memutar malam itu berulang-ulang kali sampai aku jadi hilang akal,' umpatnya dalam hati. Tidak akan pernah ia ungkapkan.

“Aku baik,” jawabnya singkat.

Jaehyuk menatap Asahi. Mendekat ke arahnya.

“Aku merindukanmu...setiap hari,” lirih Jaehyuk.

Asahi membulatkan matanya. Rindu katanya?

“Aku merasa bersalah setiap hari,” tambah Jaehyuk lagi.

Hm.

Hanya karena rasa bersalah ternyata.

Asahi merutuki dirinya sendiri yang banyak berandai-andai dan berharap.

“Bisakah kita bicara di kamarku? Di sini.. banyak orang. Nanti ada yang mendengar.”

Asahi hanya menangguk pasrah. Memangnya dia bisa apa? Nyatanya Yoon Jaehyuk adalah kelemahan terbesarnya.

Keduanya memasuki kamar Jaehyuk. Asahi sempat menyapa Hyunsuk dan Haruto yang sedang menonton film di luar kemudian mengikuti Jaehyuk ke kamarnya.

Jaehyuk menutup pintu kamarnya kemudian mendorong tubuh Asahi, memerangkapnya pada tembok di sudut kamarnya. Melumat bibir tipis yang terasa manis.

“Aku tidak bisa melupakan malam itu, Sahi-ya. Hari-hariku dihantui oleh potongan kejadian malam itu. Aku memikirkanmu setiap hari. Kau membuatku gila,” lirih Jaehyuk dengan wajahnya yang hanya berjarak 1 centimeter dari pemuda manis dalam rengkuhannya ini.

Asahi menatap manik Jaehyuk. Lidahnya kelu. Kata-katanya tertahan di bibirnya.

“Aku..merindukanmu. Merindukan rasa malam itu,” bisik Jaehyuk parau.

Asahi tertawa kecil.

“Kau merindukanku? Atau tubuhku? Lantas kita sebut ini apa? Cinta? Atau nafsu belaka? Apakah kau mencintaiku, Yoon Jaehyuk?”

Jaehyuk menjauhkan tubuhnya. Tersadar akan perkataan Asahi. Apakah Jaehyuk mencintai Asahi? Apakah ini semua karena cinta? Atau nafsu belaka?

Asahi menggelengkan kepalanya pelan. Tawa kecil namun parau keluar dari mulutnya. Menertawai dirinya sendiri.

“Kau tidak bisa menjawabnya, eum?” tanya Asahi. Menatap manik Jaehyuk seakan menantangnya.

“A..aku mencintaimu, Sahi-ya.”

Bohong. Ada keraguan di sana. Asahi menangkap ragu di kedua manik itu. Jaehyuk masih bimbang akan perasaannya. Apa yang dirinya harapkan? Mereka masih muda. Bahkan belum pernah mengenal pahit manis cinta.

Asahi tersenyum lembut. Persetan dengan cinta. Cinta bisa tumbuh karena terbiasa, bukan? Jaehyuk bisa mencintainya jika terus bersama dirinya, kan? Tidak perlu harus selalu dimulai dengan cinta. Begitu kan?

Asahi menangkup pipi Jaehyuk. Menarik dagunya dan melumat bibir penuh itu. Tidak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak peduli jika ini hanya atas nafsu. Tidak peduli jika hanya dirinya sendiri yang merasakan cinta pada pemuda tampan ini. Yoon Jaehyuk sudah memabukkannya, hilang akal sehatnya dan kewarasannya.

♤♤♤

Asahi terisak kecil, menutup matanya dengan lengan kanannya. Menutup mulutnya dengan tangan kirinya berusaha menahan isakan lirih. Sekeras apapun menahannya, isakan itu tetap lolos dari bibirnya. Matanya teralih pada benda lurus kecil yang berada di atas mejanya. Meraihnya dan menatapnya nanar.

Testpack.

Dua garis merah terpampang jelas di sana.

Semesta sedang mempermainkannya. Laki-laki dan hamil. Gila bukan? Entah bagaimana malunya orang tuanya jika mereka tahu kondisi anaknya. Betapa malunya Ibunya jika tahu sudah melahirkan anak yang tidak normal. Bukan hanya tentang orientasi seksualnya, tapi kini dirinya hamil? Lelucon apa ini.

Bagian paling klimaksnya adalah makhluk hidup yang sedang tumbuh di dalam dirinya adalah milik dari seorang Yoon Jaehyuk. Rekan kerja yang akan debut bersama nanti sekaligus pemuda yang paling ia cintai tapi tidak berbalas. Sungguh Asahi ingin menertawakan dirinya sendiri. Jika benang merah itu harus membawanya pada keadaan ini, lebih baik ia memotongnya saja.

Asahi meraba perutnya. Di dalamnya ada kehidupan yang sedang berkembang.

'Bagaimana mengatakan ini pada Jaehyuk?' lirihnya dalam hati.

'Bagaimana mengatakan ini pada member lainnya?'

Asahi memejamkan matanya ketika pintu kamarnya diketuk.

“Sahi-ya, makanannya sudah datang. Keluarlah sebentar. Yang lain juga sudah berkumpul di sini. Kau harus makan,” panggil Jihoon berusaha membuat Asahi dari kamarnya. Hampir setengah hari Asahi tidak keluar dari kamarnya. Jujur Jihoon khawatir. Belum lagi beberapa hari ini pemuda yang hany terpaut 1 tahun dengannya itu sering mual dan terlihat lelah.

Asahi menghapus jejak air matanya. Yang lain sudah datang berarti termasuk Jaehyuk. Harus terlihat bahagia bukan? Harus berpura-pura tidak ada apa-apa. Asahi menarik dan menghembuskan nafasnya. Berusaha menenangkan dirinya.

“Ne, aku keluar sebentar lagi, Hyung.”

Asahi merapikan rambut dan bajunya, membuang test pack itu ke tempat sampah dan membuka pintu kamarnya.

Di meja makan dan ruang tengah dormnya berkumpul 11 member lain. Jaehyuk dengan kaus putih dan celana hitamnya membuatnya terlihat sangat tampan.

Manik Jaehyuk terarah padanya, membuatnya gugup seketika. Jaehyuk tersenyum kecil kemudian menghampiri Asahi.

“Kata Jihoon Hyung kau belum makan dari pagi. Kau juga sering mual belakangan ini. Perutmu sakit?“tanyanya lembut seraya meletakkan tangannya pada perut Asahi.

Mata Asahi membulat. Entah kenapa hatinya menghangat. Andai dirinya bisa berkata jujur. Andai ia bisa berteriak dengan lantang bahwa benih kecil milik Jaehyuk dan dirinya tumbuh di sana.

Asahi melepaskan tangan Jaehyuk dari perutnya dan mengelusnya perlahan.

“Hanya sedikit tidak enak badan. Sekarang sudah merasa lebih baik.”

Asahi memberikan senyumnya yang ia harap tidak terlalu terlihat palsu. Jaehyuk menatapnya tajam.

'Ada yang kau sembunyikan tapi aku tidak tau apa,' ucap Jaehyuk dalam hati.

Melihat Asahi di hadapannya dengan senyum palsunya, belum lagi dengan matanya yang memerah dan jejak air mata yang masi belum terhapus sempurna, tentu Jaehyuk tahu apa yang dilakukan Asahi di kamarnya.

Menangis. Hubungan mereka memanglah tidak jelas. Entah apa deskripsi yang tepat untuk menggambarkan hubungan yang ia punya. Cinta? Bahkan Yoon Jaehyuk yang bodoh belum memikirkan perasaannya. Tapi, Jaehyuk cepat membaca situasi. Menghabiskan waktunya dengan Asahi membuatnya lebih mengenal pemuda manis itu. Tapi, hak apa yang dirinya punya untuk mengetahui masalah yang mengganggu pemuda manis ini.

Jaehyuk mengelus surai hitam Asahi.

“Baiklah jika sudah merasa lebih baik. Katakan padaku jika kau sakit, eum? Aku akan temani ke dokter.”

Sungguh Asahi ingin tertawa dalam hati.

'Aku tidak sakit, Jaehyuk-ah. Aku mengandung anakmu. Haruskah aku mengatakan itu padamu?' tawanya dalam hati.

Asahi hanya mengangguk kecil.

“Sekarang makan ya? Aku sengaja memesan sup untukmu. Agar lebih mudah dicerna.”

'Jika kau tidak mencintaiku, kenapa kau harus sepeduli ini?' batin Asahi.

Asahi mengangguk kecil. Membiarkan Jaehyuk menarik pelan tangannya untuk duduk di depan meja makan. Jaehyuk menuang supnya ke dalam mangkuk kemudian memposisikan dirinya di sebelah Asahi.

“Mau aku suapi?” tanyanya lagi.

“Aku bukan anak kecil, Jaehyuk-ah.”

Jaehyuk terkekeh kecil kemudian mengacak rambut Asahi.

“Makanlah. Dihabiskan,ya.”

Asahi hanya tersenyum kecil kemudian mulai menyendok sup itu perlahan ke dalam mulutnya.

“You two look like a married couple. Aigo so cute,” goda Hyunsuk yang memperhatikan keduanya sedari tadi.

Asahi menunduk malu. Wajahnya memerah. Sementara Jaehyuk hanya tertawa kecil.

“Sahi-ya..,” panggilnya tiba-tiba.

“Hm? Kenapa?”

“Mau pergi keluar denganku hari ini? Kita ke Banpo Bridge Park. Kau selalu ingin ke sana tapi tidak pernah sempat.”

Asahi menatap manik Jaehyuk. Jika bukan karena cinta, kenapa  memperlakukan dirinya semanis ini?

Asahi mengangguk semangat. Melihat jembatan air mancur pelangi di malam hari. Itu keinginannya dari dulu tapi karena kesibukannya harus berlatih setiap hari, ia tidak pernah sempat ke sana.

“Aku jemput di dorm ya nanti malam,” ucap Jaehyuk menatap lembut Asahi.

'Jika ini bukan cinta, lalu apa Yoon Jaehyuk? Dasar pengecut!” Jaehyuk dalam hati merutuki dirinya.

♤♤♤

Asahi menatap pantulan dirinya di cermin yang berada di kamarnya. Tangannya ia letakkan di atas perutnya, mengelusnya pelan.

Matanya berubah sendu tatkala mengingat apa yang harus ia hadapi. Jaehyuk, member, dan agensinya. Asahi harus bagaimana? Meninggalkan mimpinya? Keluar dari agensinya? Kembali hidup di Jepang? Jika dirinya orang biasa, mungkin ia akan sangat senang sekarang. Membayangkan wajah calon anaknya. Tapi, dengan keadaan yang sekarang, bahkan anak ini hadir tanpa dasar cinta, bagaimana Asahi bisa bertahan?

“Sahi-ya, kau sudah siap?” tanya Jaehyuk yang berada di luar kamarnya.

“Ah sudah. Aku keluar.”

Asahi menemukan Jaehyuk berdiri di depan kamarnya. Tampan. Kaus putihnya ditambah coat hitamnya yang dipadankan dengan celana jeans gelap. Syal abu-abu melingkar di lehernya. Jaehyuk tampak sempurna.

Jaehyuk tersenyum manis.

“Sudah siap, kan? Kita pergi sekarang, yuk!” Jaehyuk meraih tangan Asahi, menggenggamnya erat.

Asahi tersenyum melihat tangan mungilnya di genggaman Jaehyuk. Andai momen seperti ini bisa ia rasakan setiap hari.

♤♤♤

Jaehyuk tidak melepaskan genggaman tangannya. Ia meremas tangan mungil di dalamnya. Erat. Pemandangan rainbow fountain di kedua sisi jembatan itu menambah manis suasana malam itu.

Jaehyuk menatap Asahi yang sedang tersenyum menatap langit malam. Semilir angin meniup surai halusnya. Membuatnya terlihat semakin manis.

Suasana malam itu tidak terlalu ramai. Beberapa pasangan sedang menikmati waktu bersama. Beberapa anak kecil berlarian kecil di sana, memanggil orang tua mereka agar berjalan lebih cepat.

Asahi tersenyum melihat pemandangan di depannya. Tanpa sadar menyentuh perutnya dengan tangan kirinya.

“Jaehyuk-ah.”

“Hm?”

Asahi memandangi ujung sepatunya. Ragu akan pertanyaan yang ingin dilontarkannya.

“Jaehyuk suka anak kecil tidak?”

Jaehyuk menatap Asahi bingung.

“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”

“Hanya bertanya saja. Lucu saja tadi melihat anak-anak kecil berlarian.”

“Aku suka anak kecil tapi jika disuruh merawatnya sekarang, aku tidak mau. Aku belum siap. Masih banyak mimpi yang ingin aku gapai. Sebentar lagi kita akan debut, Sahi-ya. Aku senang sekali. Melihat tatapan bangga kedua orang tuaku. Aku ingin membahagiakan mereka,” jawabnya semangat, tidak tahu ada hati yang tersayat dengan jawabannya.

Hati Asahi mencelos. Seharusnya dirinya sudah bisa menduganya, kan? Mereka memang masih terlalu muda. Masih punya banyak keinginan dan mimpi.

“Begitu ya,” balas Asahi singkat.

Jaehyuk menatap Asahi bingung.

“Kenapa kau jadi aneh, Sahi-ya?”

Asahi menggelengkan kepalanya.

“Tidak ada apa-apa. Aku kan hanya bertanya. Kita memang masih muda. Di usia seperti ini, memang sudah seharusnya mengejar mimpi kita. Jaehyuk harus semangat ya.”

Jaehyuk tersenyum kecil. Menatap Asahi dalam.

“Sahi-ya..maaf aku baru mengatakan ini. Aku mencintaimu, Hamada Asahi. Aku ingin meraih mimpiku tapi tidak ada artinya jika kau tidak jadi bagian dari mimpiku. Aku mencintaimu. Aku telah menjadi laki-laki bodoh dan brengsek yang tidak pernah mengerti perasaanku sendiri. Aku yang terlalu bodoh dan pengecut. Maafkan aku, Sahi-ya tapi aku sungguh mencintaimu.”

Jaehyuk menatap tajam manik bening Asahi yang berkaca-kaca. Mempersempit jarak mereka dan mencium lembut bibir manis itu.

“Kenapa menangis?” tanya Jaehyuk lembut seraya menghapus air mata Asahi.

“Ini air mata bahagia. Aku menangis karena terlalu bahagia. Aku juga mencintaimu. Dari awal kita bertemu sampai detik ini. Aku sangat mencintaimu.”

Jaehyuk membawa Asahi ke dalam dekapannya. Tidak akan ia lepaskan pemuda manis di dalam pelukannya ini. Jaehyuk harus menebus semua kebodohannya sepanjang hidupnya. Melewatkan Asahi selama ini adalah hal terbodoh yang ia lakukan. Nyatanya cinta itu tumbuh tanpa disadari, hanya seorang Yoon Jaehyuk terlalu buta.

♤♤♤

Asahi membuka kunci dormnya ketika dirinya menemukan Jihoon yang masih duduk di sofa. Pandangannya kosong. Wajahnya tampak berpikir keras.

“Belum tidur, Hyung?” tanya Asahi sambil melepas sepatunya.

“Bagaimana aku bisa tidur jika salah satu memberku sedang mengandung dan tidak berniat memberitahuku sedikitpun?”

To the point. Jihoon bukan tipe orang yang bertele-tele. Jihoon menatap tajam Asahi yang membatu di tempatnya. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap pemuda di depannya.

Jihoon berdiri menghampiri Asahi. Mengangkat wajah pemuda manis itu.  Di tangannya terdapat test pack yang kemarin Asahi buang ke tempat sampah. Asahi merutuki dirinya sendiri. Harusnya ia buang saja ke dalam toilet.

“Aku mau mengembalikan bukumu ketika aku melihat benda ini di tempat sampah kamarmu.”

Asahi diam. Tidak tahu harus menjawab apa.

“Jaehyuk ayahnya, kan? Jawab aku, Hamada Asahi! Apa kau berniat menyembunyikan ini selama 9 bulan dan menghentikan kontrakmu dengan Treasure? Aku mohon jawab aku,” isak Jihoon frustasi.

Air mata menetes dari mata Asahi. Ia menatap Hyungnya dalam.

“Aku..tidak tahu, Hyung. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku bahkan tidak tahu apa yang diriku rasakan ketika aku tahu ada manusia lain yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku ingin bahagia tapi tidak bisa. Bahkan benih ini tumbuh bukan berdasarkan cinta pada awalnya. Lalu aku harus bagaimana? Mengatakan pada Jaehyuk dan menghancurkan mimpinya?! Aku sangat mencintainya, Hyung. Masih banyak mimpi yang ingin ia raih. Aku tidak mau jadi penghalang.”

Asahi menangis terisak sekarang. Tubuhnya merosot ke lantai. Meremas rambutnya frustasi.

Jihoon berjongkok di depan dongsaengnya ini dan memeluknya erat. Mengelus punggung kurus Asahi berusaha menenangkannya. Air mata juga tidak berhenti mengalir dari kedua matanya.

“Lalu bagaimana dengan kau, Sahi-ya? Kau juga masih muda. Kau punya mimpi juga. Sebentar lagi kita akan debut, Sahi-ya. Hari ini agensi mengajakku dan Hyunsuk Hyung untuk bertemu. Kita akan debut dalam waktu 6 bulan, Sahi-ya. Mimpimu tinggal selangkah lagi.”

“Aku tidak apa asalkan jangan mimpi Jaehyuk yang hancur. Aku ingin dia bahagia, Hyung.”

Jihoon menatap Asahi tak percaya. Sebegitu besarnya kah cintanya pada Jaehyuk?

“Kau harus mengatakan ini pada Jaehyuk, Sahi-ya. Ia berhak tahu. Kau tahu? Aku ingin menonjok wajahnya saat ini juga. Beraninya ia melakukannya dan membuatmu seperti ini.”

“Bukan salah Jaehyuk, Hyung. Aku yang terlalu gila karena cinta hingga berani melakukannya. Hyung tahu apa yang lebih ironis? Setelah sekian lama aku berharap ia membalas perasaanku, malam ini ia mengatakannya. Bahwa ia mencintaiku. Tapi, nyalipun aku tidak punya untuk mengatakan yang sebenarnya. Kau harus lihat binar matanya ketika dirinya ingin meraih mimpinya, ingin debut dan membahagiakan keluarganya. Kau harus lihat itu, Hyung. Aku akan menjadi manusia egois jika menghancurkan mimpi yang ia bangun dari kerja kerasnya,” lirih Asahi.

Jihoon menatap iba pemuda manis di depannya. Membiarkan pemuda manis ini membenamkan wajahnya di dada bidangnya.

“Demi Tuhan Hamada Asahi. Kau dan kepala batumu. Kau juga punya mimpimu Asahi. Kau juga berhak bahagia. Aku tahu kau mencintainya tapi tidak begini caranya,” lirihnya sendu.

“Jika kau sangat mencintai seseorang, kebahagiaan orang itu adalah prioritasmu. Terkesan gila tapi itulah adanya.”

Jihoon melepaskan pelukannya. Menatap dalam manik Asahi yang memerah.

“Lalu kau bagaimana? Kau tidak bisa berlatih dengan keadaan seperti ini. Bisa membahayakan.”

Asahi tersenyum lembut. Berusaha menenangkan Jihoon.

“Kau tenang saja, Hyung. Aku bisa menjaga diriku. Aku tahu batasku.”

Jihoon menatap khawatir pemuda manis di hadapannya. Tapi memaksakan kehendaknya bukanlah hal yang tepat untuk menembus kepala batu pemuda yang lebih muda darinya ini. Yang bisa ia lakukan hanya berusaha menjaganya kan?

♤♤♤

Asahi masuk ke ruang latihan dengan langkah lunglai. Perutnya terasa sangat mual hari ini. Belum lagi perutnya terasa sakit sejak semalam. Asahi tidak mengerti dirinya kenapa. Sungguh menyedihkan. Ketika dirinya masih terlalu muda, ditambah mengandung dan merupakan seorang laki-laki, bahkan sangatlah sulit untuk ke dokter karena harus menyembunyikannya dari semua orang. Clueless. Asahi tidak mengerti tubuhnya. Ia hanya berharap manusia kecil di perutnya baik-baik saja.

Jaehyuk melihat Asahi yang baru saja memasuki ruang latihan. Wajahnya pucat dan langkahnya lemas. Jaehyuk menatapnya khawatir kemudian menghampiri Asahi.

“Kau sakit? Wajahmu sangat pucat. Tidak usah latihan ya? Aku akan mengatakan pada pelatih kau sakit.”

Asahi menatapnya. Matanya tak bisa fokus. Perutnya sangat sakit.

“Sakit, Jaehyuk-ah. Ngghh,” rintihnya meremas perutnya. Tubuhnya membungkuk menahan sakit.

Jaehyuk bingung setengah mati. Tidak tahu harus berbuat apa. Jihoon yang baru saja datang segera berlari menghampiri Asahi. Wajahnya panik.

“Asahi! Kau tidak apa-apa?! Apa yang sakit? Perutmu sakit?!”

Jihoon panik bukan main. Refleks menggendong Asahi di punggungnya dan berlari begitu saja. Jaehyuk benar-benar tidak mengerti. Ia berlari mengejar Jihoon, menyisakan beberapa member lainnya yang menatap keduanya bingung, berusaha mencerna situasi.

“HYUNG!JIHOON HYUNG!” panggilnya keras tak peduli dengan beberap staff yang memperhatikan mereka.

Telinga Jihoon seolah tak mendengar. Yang ada di pikirannya hanya Asahi. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan bayinya? Ya Tuhan Jihoon bisa gila sekarang.

Jihoon menoleh ke sampingnya berusaha melihat wajah Asahi yang penuh dengan keringat. Matanya terpejam menahan sakit.

Jaehyuk berlari cepat berusaha menyamakan ritme kakinya dengan Jihoon. Begitu banyak pertanyaan berputar di otaknya. Namun ia hanya diam melihat wajah panik Jihoon dan wajah kesakitan Asahi. Mereka harus segera ke rumah sakit sekarang.

♤♤♤

Jaehyuk terduduk lemas di tangga darurat rumah sakit. Kenyataan yang ia dengar tadi menghancurkan hatinya. Tak ingin dilihat banyak orang, ia berusaha menenangkan dirinya di sini. Air mata menyeruak keluar. Isakan lolos dari bibirnya. Meremas bagian depan dadanya. Sakit.

Jihoon berlari seperti orang kesetanan menuju ruang gawat darurat. Berteriak memanggil dokter untuk menolongnya.

“Tolong dia. Aku mohon tolong dia. Perutnya sakit. Ia sedang hamil..,” lirihnya pelan.

Sementara Jaehyuk membeku di tempatnya. Waktu terasa berhenti. Matanya tak fokus. Berharap pendengarannya salah.

Hamil?

Asahi hamil?

Lelucon hidup apa lagi ini?

Itu anaknya?

Jaehyuk memejamkan matanya. Menghela napas panjang. Mengacak rambutnya frustasi. Menemukan Jihoon yang menatapnya sendu.

Jihoon Hyung tahu?

Lalu kenapa dirinya tidak?

Jihoon mendekatkan dirinya ke arah Jaehyuk. Memeluknya erat.

“Mianhae..seharusnya aku mengatakannya, tapi Asahi...tidak ingin kau tahu.”

Kenapa?

Kenapa Asahi diam?

Kenapa membiarkannya mengetahui ini dalam keadaan seperti ini?

Jaehyuk menatap Asahi yang terbaring lemah di sana. Seorang dokter dan dua orang suster mengerumuni tubuh kurus itu.

Maniknya bertemu dengan manik milik dokter yang sudah cukup tua. Dokter itu memandangnya sendu dan menggelengkan kepalanya.

Jaehyuk mengerti.

Tidak terselamatkan kan?

Air mata mendesak keluar. Tubuhnya merosot. Isakan keluar dari bibirnya. Tidak peduli beberapa orang menatapnya. Biarkan dirinya menjadi Yoon Jaehyuk si orang biasa. Bukan Yoon Jaehyuk yang akan debut menjadi idol. Bukan Yoon Jaehyuk yang berusaha menjaga imagenya.

'Kenapa,Sahi-ya? Kenapa tidak pernah mengatakannya?' lirihnya dalam hati.

Jaehyuk meremas rambutnya. Air matanya tidak mau berhenti. Ia kehilangan anaknya yang bahkan belum sempat melihat dunia. Ia membiarkan Asahinya berjuang sendiri. Ia merasa tidak berguna.

Jaehyuk melangkahkan kakinya menuju kamar rawat Asahi. Menghembuskan nafasnya untuk menenangkan dirinya sebelum membuka kenop pintu.

Jaehyuk menatap Asahi nanar. Pemuda manis itu terduduk dengan lutut ditekuk menatap langit melalui jendela besar yang berada di kamar rawatnya. Jaehyuk bisa melihat air mata mengalir dari kedua matanya.

“Sahi-ya,” panggilnya lirih.

Diam. Tak ada sahutan.

“Pergi, Jaehyuk-ah. Aku tidak mau bertemu siapapun,” jawabnya dingin.

Sungguh hati Jaehyuk sakit mendengar kata-kata Asahi. Jaehyuk tahu betul Asahi membutuhkan dirinya. Kata-kata dingin itu berbanding terbalik dengan bahu kurusnya yang bergetar.

Jaehyuk mendekat ke tempat tidur Asahi, tidak peduli jika Asahi ingin dirinya pergi.

“Maafkan aku, Sahi-ya. Seharusnya aku menjagamu.”

“Pergilah dari sini, Yoon Jaehyuk. Bagaimana kau bisa berbicara dengan seorang pembunuh? Aku membunuh anakku sendiri,” lirihnya. Air mata masih mengalir dari manik indahnya.

Jaehyuk membulatkan matanya. Hatinya perih.

“Hamada Asahi.. lihat aku,” pintanya dengan nada sedikit tegas.

Asahi masih betah memalingkan wajahnya menatap jendela. Tidak mau melihat wajah Jaehyuk.

Jaehyuk menghela napas panjang kemudian menangkup pipi putih Asahi.

“Lihat aku, Sahi-ya. Kenapa kau mengatakan hal itu pada dirimu? Pembunuh apa Asahi? Kau bukan pembunuh. Dan satu lagi. Anak kita. Bukan anakmu saja. Jika kita harus kehilangannya, bukan salahmu, Sahi-ya. Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa. Dokter mengatakan kandunganmu lemah karena kau terlalu muda terlebih kau laki-laki. Kau juga stress dan kelelahan. Sudah takdirnya, Hi-kun. Jika kau tanya siapa yang bersalah, akulah orangnya,Sahi-ya. Aku laki-laki brengsek yang bahkan tidak bisa menolak saat kau ingin kita melakukannya. Aku laki-laki bodoh yang tidak mengerti perasaanku sendiri. Aku laki-laki egois karena hanya memikirkan tentang mimpiku saja. Aku tidak pernah bertanya apa yang kau rasakan. Bahkan ketika aku merasa ada yang aneh dengan dirimu di dorm dan ketika kita pergi ke Banpo Bridge, aku memilih diam dan menganggap semua baik-baik. Aku membawamu ke dalam penderitaan ini, Sahi-ya.”

Jaehyuk menatap manik sendu Asahi. Air matanya tumpah lagi. Jaehyuk ingin menghukum dirinya sendiri membuat pemuda manis dan lembut di depannya ini harus menderita. Fisik dan mental.

Asahi menggelengkan kepalanya pelan.

“Bukan salah Jaehyuk juga. Aku melalukannya karena atas dasar cinta. Karena aku mencintaimu, aku tidak menyesal sedikitpun telah meminta hal gila malam itu. Karena aku mencintaimu, aku rela menunggu sampai dirimu mengerti perasaanmu. Karena aku mencintaimu, aku tidak ingin menjadi penghalang untuk mimpimu. Matamu yang berbinar penuh semangat untuk meraih mimpimu dan membahagiakan orang tuamu. Itu yang terpenting untukku. Karena aku mencintaimu, aku rela kau tidak pernah tahu sama sekali tentang kehamilanku asal kau bisa berdiri bangga di panggung, meraih mimpimu bersama member lainnya.”

Jaehyuk menangis keras. Meremas seprai putih berusaha menyalurkan rasa sakitnya. Asahi melakukannya karena begitu mencintainya, namun ia terlambat menyadarinya karena kebodohannya.

“Jaehyuk-ah.. Rasanya sakit sekali begitu mengetahui aku kehilangan manusia kecil rapuh yang tumbuh di dalam diriku meski hanya sebentar. Aku merasa berdosa karena tidak bisa menjaganya dengan baik. Tapi melihatmu terluka seperti ini juga menyakitkan untukku,” isak Asahi dengan kepala tertunduk.

Jaehyuk berusaha kuat. Ia harus kuat. Sakit fisik yang dirasakan Asahi akan sembuh dengan berjalannya waktu tapi luka emosional butuh waktu tidak sebentar. Tapi berapa lamapun itu, Jaehyuk mau hadir. Mau ada.

“Hi-kun, dengarkan aku. We both messed up. So badly. Tidak ada gunanya bagi kita berdua untuk terus menyesali dan menyalahkan diri kita sendiri. Sekarang yang terpenting, apapun itu kita hadapi bersama ya. Tidak peduli sesulit apapun. Tidak peduli kau butuh waktu untuk sembuh. Aku ingin bersamamu. Banyak waktu sia-sia terlewati begitu saja hanya aku habiskan dengan rasa ragu akan perasaanku sendiri. Aku mencintaimu dan aku rela menghabiskan seumur hidupku hanya untuk mengganti waktu yang sudah kusia-siakan.”

Asahi terisak kencang. Pipi dan hidungnya memerah karena terlalu banyak menangis. Bahunya bergetar halus.

Jaehyuk menariknya ke dalam pelukannya. Mengelus punggung sempit itu dan mengecup pucuk kepala Asahi.

“Sstt..kumohon jangan menangis lagi. Hatiku sakit melihatmu menangis. Sstt... gwaenchana... I am here, Hi-kun. Always.”

Jaehyuk masih terus mengelus punggug sempit itu sampai tangisannya berubah menjadi dengkuran halus. Jaehyuk melepaskan pelukannya dan membaringkan tubuh mungil Asahi. Tangannya terulur mengagumi setiap lekuk wajah sempurna Asahi. Tangannya beralih ke arah perut pemuda manis yang tengah terlelap. Setitik air mata lolos begitu saja. Malaikat kecil nan rapuh used to live and grow there. Hatinya seperti tersayat.

Jaehyuk mendekatkan wajahnya ke arah Asahi. Mengecup bibir pucat itu lembut dan lama. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi dahinya. Menatapnya sayang.

“Kau benar-benar anugerah terindah yang kupunya, Hamada Asahi.”

♤♤♤

Seminggu setelah Asahi keluar dari rumah sakit, seluruh member berkumpul di ruang tengah dorm. Asahi menyembunyikan wajanya di punggung Jaehyuk. Tidak berani menatap member lain. Asahi tidaklah sadar bahwa kesepuluh member lainnya menatapnya lembut dan khawatir.

“Sahi-ya...” Junkyu membuka suara pertama kali.

Asahi masih diam. Tidak berani menampakkan wajahnya. Melihat itu, Junkyu berdiri dan menghampiri Asahi. Berjongkok di hadapannya dan mengelus surai hitam itu sayang.

“Aku mohon lihatlah aku... jangan bersembunyi seperti ini. Kami semua khawatir, Sahi-ya,” lirihnya.

Asahi memberanikan diri menampakkan wajahnya dan mengangkat kepalanya. Tatapannya bertemu dengan Junkyu. Sedetik kemudian, Junkyu menarik Asahi ke dalam pelukannya. Diikuti member yang lainnya. Mereka mengerumuni Asahi, memeluknya erat. Saling berpegangan satu sama lain.

“Asahi harus ingat bahwa kami selalu mendukungmu. We got this. Kita bisa melewatinya. Asahi bisa melewatinya. Asahi tidak salah apa-apa, eum? Kami semua menyayangimu. Dan..kami tidak marah ataupun kecewa. Sekalipun tidak. Yang sudah terjadi, biarlah berlalu. Kami hanya ingin melihat Asahi bangkit dan keluar dari kesedihanmu. Kami mencintaimu,” ucap Junkyu.

Mata Asahi berkaca-kaca. Dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mendukungnya dan selalu ada untuknya. Layaknya keluarga. Jika dulu Asahi ingin memotong benang merah hidupnya jika ia bisa, sekarang Asahi tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa kesebelas membernya. Benang merah takdir juga mempertemukan mereka kembali dan sungguh Asahi sangatlah bersyukur.

Jaehyuk mengecup pelipis Asahi dan mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi Asahi.

“Uljima,“bisiknya tepat di telinga Asahi. Mengusap pundak Asahi menyalurkan ketenangan.

“Gomawoyo untuk selalu bersamaku dan mendukungku,” lirihnya pelan merengkuh satu per satu member yang amat disayanginya.

♤♤♤

Sudah genap sebulan setelah kejadian memilukan itu. Terkadang Jaehyuk tahu bahwa Asahi masih suka menangis. Terkadang mimpi buruk mengusik tidurnya hingga Jaehyuk harus menemani Asahi setiap malam, menunggunya sampai terlelap lalu kembali ke dormnya. Ia bisa dimarahi manager dan agensinya jika mereka tahu Jaehyuk tidur di kamar Asahi.

Setelah kejadian itu diketahui oleh agensi dan membuat debut mereka harus mundur dari rencana awal, agensi selalu memperhatikan Jaehyuk dan Asahi. Mereka harus berhati-hati setiap saat. Jaehyuk lelah tapi dirinya tahu Asahi lebih lelah. Jadi, Jaehyuk tidak mau mengeluh. Yang terpenting adalah membahagiakan dan melindungi Asahi.

Jaehyuk mengetuk pintu kamar Asahi. Tangannya memegang sebuah pot bunga. Primrose. Bunga indah berwarna kuning yang akan mekar saat musim semi.

Asahi membuka pintu kamarnya. Sedikit terkejut melihat Jaehyuk dengan pot bunga di tangannya.

“Itu untuk apa, Jaehyukkie?” tanyanya bingung.

Jaehyuk melangkahkan kakinya masuk ke kamar Asahi dan menutup pintunya perlahan. Menaruh pot bunga kecil itu di atas meja kecil yang berada di depan jendela kamarnya. Membalikkan tubuhnya dan menatap Asahi lembut. Mempersempit jarak di antara mereka dan menggenggam tangan Asahi.

“Primrose. Jika malaikat kecil kita tumbuh dengan baik, seharusnya ia akan lahir di bulan Maret. Di Korea, primrose merupakan salah satu birth flower untuk bulan Maret. Dan kau tahu artinya? Primrose symbolize youth or young love. Dapat juga diartikan sebagai first love. Malaikat kecil kita merupakan bagian penting dari cinta masa muda kita berdua. And we love our angel baby bahkan sebelum kita sempat bertemu dengannya. It's our first love. Bunga ini untuk mengenangnya. Bunga ini akan terus tumbuh dan mekar,” jelasnya lembut. Matanya tidak lepas dari manik indah Asahi.

Asahi menutup mulutnya menahan tangisnya. Memeluk Jaehyuk erat, membenamkan wajahnya di ceruk leher pemuda yang sangat ia cintai.

“Gomawo, Jaehyukkie,” katanya pelan kemudian mencium lembut bibir penuh pemuda tampan di depannya.

Jaehyuk mengelus lembut pipi halus Asahi. Mengecup dahinya dan menghapus jejak air mata di wajah pemuda manis ini.

“Aku sangat mencintaimu. Kau tidak boleh lari dari sisiku. Hidup kita terikat oleh benang merah takdir. Takdir membawamu kembali kepadaku, Hamada Asahi. Seandainya suatu saat kau harus pergi, this red string of fate between us will never be broken. Kau akan selalu kembali. Takdirmu adalah bersamaku.”

Jaehyuk menarik dagu Asahi. Menciumnya lama. Melumat bibir manis itu lembut.

“Eum..takdirku memang selalu bersamamu. Dan aku bahagia akan itu,” balas Asahi lembut,menatap dalam manik Jaehyuk dan melumat bibir penuh itu lagi.

Sejauh apapun berlari, sejauh apapun pergi, sejauh apapun terpisah, seburuk apapun keadaan, this red string of fate tidak akan pernah bisa hancur. This red string of fate will always connect the love between them.

End.

Title: Demons

Pairing: Jaehyuk/Asahi

Song to listen to: Imagine Dragons – Demons

!Trigger warning: This story contains unhealthy relationship like obsession!

Di sini Jeongwoo lompat kelas jadi 1 kelas dengan Jae.

_____________________ “Don't get too close. It's dark inside. It's where my demons hide” _____________________

Storyline:

Jaehyuk mengetuk-ngetukkan pulpen di tangannya ke atas meja kayu di hadapannya. Matanya menatap tajam ke arah siswa baru yang berdiri di depan kelas sekarang. Kulitnya putih pucat. Bibirnya semerah mawar. Rambutnya berwarna hitam legam. Sepasang mata indah nan bening yang meneduhkan membingkai wajah sempurna itu. Jaehyuk menyeringai kecil.

Manis.

“Annyeonghaseyo, namaku Hamada Asahi. Panggil saja Asahi. Aku baru saja pindah dari Jepang. Ayahku berasal dari Korea dan Ibuku dari Jepang. Aku pindah ke sini karena harus mengikuti pekerjaan Ayahku. Salam kenal semua,” ucap Asahi memperkenalkan diri kemudian membungkuk sedikit.

“Baiklah Asahi. Kau bisa duduk di sebelah sana ya.”

Asahi mengangguk kecil kemudian berjalan ke arah meja yang ditunjuk gurunya tadi. Meja di barisan keempat di bagian sisi kiri kelas.

Maniknya menangkap pemuda tampan yang memandangnya tajam. Asahi mengalihkan pandangannya, merasa tidak nyaman ditatap seintens itu.

Park Jeongwoo menatap teman sebangkunya yang usianya terpaut 3 tahun di atasnya. Menatap penuh arti.

“Hyung menyukainya?” tanya Jeongwoo dengan mata menatap lurus ke depan. Tangannya bergerak di atas kertas mencatat materi yang sedang dijelaskan.

Jaehyuk tersenyum kecil kemudian mengedikan bahunya. Mengulum senyum sambil menggigiti ujung pulpennya.

'Hamada Asahi. I'll make you mine,' tekadnya dalam hati.

Asahi memperhatikan pemuda yang sempat menatapnya tajam tadi. Dalam hati bingung kenapa ia harus menatap dirinya seperti itu. Mashiho, teman sebangku Asahi menyenggol sikutnya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Mashiho sambil mengikuti arah pandang siswa baru di sebelahnya ini.

“Ah kau sedang melihat Yoon Jaehyuk hm?”

Asahi berbalik menatap Mashiho.

“Yoon Jaehyuk?”

“Iya. Namanya Yoon Jaehyuk. Ia tidak begitu banyak memiliki teman dekat. Dia agak tertutup tapi dia cukup ramah kurasa. Teman terdekatnya yang duduk di sebelahnya, Park Jeongwoo namanya. Jeongwoo lebih muda 3 tahun darinya tapi karena kejeniusannya ia bisa sekelas dengan kita. Ah, Jaehyuk juga sangat pintar. Selalu ranking paralel setiap tahunnya di bawah posisi Jeongwoo. Aku rasa semua orang di sekolah ini mengaguminya.”

Asahi mengangguk mengerti. Anak teladan rupanya.

“Jangan ditatap terus nanti kau menyukainya. Haha jangan banyak berharap, dia selalu menolak siapapun yang mengutarakan perasaannya.”

Mata Asahi membulat menepuk bahu Mashi.

“Aku tidak menyukainya. Tidak akan.”

“Mulutmu harimaumu, Sahi-ya. Jangan sampai kau menelan ludahmu sendiri,” goda Mashi yang dibalas satu pukulan agak keras di lengannya.

“Aku mau belajar. Jangan mengangguku,” ucap Asahi serius seraya memperhatikan penjelasan gurunya. Sementara Mashi hanya terkekeh kecil.

♤♤♤

Jaehyuk mengarahkan pandangannya ke halte bus yang berada di seberangnya. Pemuda manis itu sedang berdiri di sana. Berteduh dari derasnya hujan yang mengguyur Seoul sore ini. Jaehyuk menatapnya tajam sambil sesekali menyesap banana milk kesukannya. Melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Tangan kirinya mengeluarkan ponsel dari saku celana seragamnya.

“Jeongwoo-yah. Hari ini kita tidak jadi bertemu, ya. Aku ada urusan mendadak,” jelasnya dengan tatapan tetap tertuju pada satu fokus. Hamada Asahi.

“Sudah dulu,ya. Bye.”

Jaehyuk menutup kepala hoodienya kemudian berlari kecil menyebrang jalan. Matanya tak lepas dari Hamada Asahi.

Asahi mengusap-usap kedua tangannya berusaha menyalurkan kehangatan. Kenapa bisa hujan sederas ini? Padahal ramalan cuaca mengatakan hari ini akan cerah. Karena itulah Asahi tidak membawa payungnya.

Tak lama bus yang ditunggunya datang. Asahi buru-buru naik dan memilih tempat duduk paling ujung. Ia memasang earphonenya. Memejamkan matanya sebentar sambil menikmati alunan lagu di telinganya.

Tak lama Jaehyuk ikut menaiki bus tersebut. Wajahnya ia biarkan tertutup hoodie hitamnya. Jaehyuk duduk 3 baris di depan Asahi, melirik Asahi dari ekor matanya. Hm. Baru kali ini Jaehyuk melihat pemuda semanis dan seindah ini. Kulitnya yang sempurna, bibirnya, mata indahnya meskipun terpejam. Jaehyuk dibuat gila olehnya.

Di perhentian ketiga, Asahi berdiri, berjalan melewati Jaehyuk, sama sekali tidak menyadari kehadiran pemuda itu. Jaehyuk mengikutinya dari belakang, berusaha menjaga jaraknya.

Asahi berjalan pelan sambil bersenandung, masih mendengarkan lagu dari earphonenya. Kepalanya menengadah merasakan sisa titik-titik hujan yang membasahi wajah mulusnya. Ia melebarkan kedua tangannya, menghirup dalam wangi hujan yang sangat disukainya.

Sungguh bagi Jaehyuk pemandangan di depannya adalah pemandangan terindah seumur hidupnya. Jaehyuk mengingat masa kecilnya ketika Ayah dan Ibunya masih ada. Hari itu hujan. Jaehyuk ingat Ayah dan Ibunya menggandeng tangan kecilnya, kaki kecilnya bermain dengan genangan air yang tersisa di aspal. Jaehyuk ingat tawa kecilnya hari itu. Jaehyuk ingat tawa Ayah dan Ibunya. Jaehyuk ingat betapa bahagianya ia hari itu. Kebahagiaan terakhirnya. Jaehyuk memejamkan matanya merasakan air mata yang mulai mendesak keluar.

Seketika dirinya sadar tujuannya apa hari ini. Jaehyuk membuka matanya dan menatap tajam Asahi yang sama sekali tidak sadar sedang diikuti. Mata Jaehyuk tidak pernah terlepas dari punggung Asahi.

Asahi menghentikan langkahnya di sebuah rumah yang tidak terlalu besar tapi nyaman dan asri. Catnya berwarna cokelat muda. Berbagai macam bunga bermekaran di halaman depan rumah itu. Jaehyuk memyembunyikan dirinya di balik tembok, menatap Asahi dari jarak aman agar pemuda itu tidak menyadarinya. Jaehyuk menatap Asahi lama sebelum pemuda manis itu masuk ke dalam rumahnya. Jaehyuk menghela napas panjang.

“Jaehyukkie, kau harus mengejar kebahagiaanmu ya. Eomma sama Appa benar-benar ingin kamu bahagia. Apapun bentuknya.”

Jaehyuk teringat perkataan Ibunya. Ia harus mengejar kebahagiaannya. Tapi selama ini Jaehyuk seperti cangkang kosong. Bahagianya berakhir ketika kedua orang tuanya pergi meninggalkannya. Namun, sejak melihat Hamada Asahi, Jaehyuk merasa seperti menemukan bahagianya yang lama hilang. Dan Jaehyuk harus mengejarnya bukan? Ibunya berkata ia harus mengejar kebahagiaannya kan?

Jaehyuk menatap rumah itu sekali lagi sebelum beranjak pergi. Berlari kecil tatkala langit mulai kembali menumpahkan titik-titik air.

'Asahi, aku akan mendapatkanmu. Apapun caranya,' ucapnya dalam hati.

♤♤♤

Asahi membawa beberapa buku di tangannya. Hari ini ia berencana akan ke perpustakaan. Ia senang sekali dengan sekolah barunya. Perpustakaannya sangatlah lengkap. Setiap minggu ia akan ke perpustakaan untuk meminjam buku.

“Ah Asahi-ssi,” sapa petugas perpustakaan yang sudah mengenalnya dengan sangat baik. Padahal belum genap 3 bulan ia bersekolah di sini. Bagaimana tidak,setiap minggu Asahi selalu menghabiskan sorenya di sini. Meminjam buku, membacanya kemudian mengembalikannya di minggu berikutnya.

“Annyeong... Aku mau memgembalikan buku yang kupinjam. Apakah ada buku baru minggu ini?” tanya Asahi dengan matanya melihat ke sekeliling. Pandangannya tertumbuk pada pemuda tampan yang duduk tidak jauh darinya. Yoon Jaehyuk. Apakah dia sering ke sini juga? Lantas mengapa Asahi tidak pernah melihatnya?

“Apa kau mendengar ucapanku, Asahi-ssi? Buku baru berada di rak paling depan di sudut sana.”

Lamunan Asahi buyar seketika lupa bahwa dirinya menanyakan perihal buku baru pada petugas perpustakaan di depannya ini.

“Ah maaf aku melamun. Terima kasih informasinya. Aku ke sana dulu.”

Asahi menggerakkan kakinya. Menatap sebentar meja yang ditempati Jaehyuk. Pemuda itu tampan sekali. Wajahnya sangatlah serius, buku di tangannya menutupi sebagian wajahnya. Kacamata baca yang dipakainya saat ini membuatnya beribu kali lebih tampan.

Dari balik buku, Jaehyuk menyeringai kecil. Ia tahu Asahi memandanginya daritadi.

'Kau tertarik padaku juga eum?' batinnya puas.

Asahi tampak ingin menghampirinya. Mungkin bermaksud untuk menyapa tapi Jaehyuk segera berdiri dan meninggalkan mejanya. Sementara Asahi kebingungan. Yoon Jaehyuk memang tampan dan pintar tapi ia sangatlah misterius. Sudah hampir 3 bulan Asahi berada di 1 kelas yang sama dengan Jaehyuk tapi belum pernah sama sekali Jaehyuk menyapanya atau bahkan tersenyum padanya.

Asahi mengangkat bahunya. Percuma memikirkan hal itu. Asahi tak akan pernah tahu jawabannya. Toh dia tiak pernah berbuat salah pada Jaehyuk jadi seharusnya tidak ada masalah di antara mereka.

♤♤♤

Jaehyuk merasa seperti orang gila 3 bulan belakangan. Setiap hari ia akan selalu mengikuti Asahi pulang. Ini rutinitasnya selama 3 bulan ini. Naik bus yang sama, turun di halte yang sama, dan mengikuti Asahi sampai ke rumahnya.

Namun hari ini berbeda. Asahi tidak langsung pulang ke rumahnya. Jaehyuk mengikutinya dalam diam. Matanya tidak pernah lepas dari sosok di depannya ini. Langkahnya terhenti di sebuah rumah megah. Tak lama seorang pemuda bepostur tinggi keluar dari gerbang rumahnya dan memeluk Asahi.

Jaehyuk mengepalkan kedua tangannya. Beraninya pemuda ini memeluk apa yang seharusnya menjadi miliknya. Jaehyuk menatap pemuda itu nyalang tatkala melihatnya mengacak surai hitam Asahi. Jaehyuk benar-benar tidak tahan. Belum lagi Asahi yang balas memeluk pemuda tinggi itu.

“Sahi Hyung, aku sangat rindu. Kau sombong sekali baru mengunjungiku sekarang.”

“Maafkan aku, Ruto tapi aku sibuk dengan sekolahku beberapa bulan ini jadi baru bisa mengunjungimu,” jawab Asahi dengan senyum manisnya berharap pemuda dengan nama lengkap Watanabe Haruto ini tidak begitu kesal padanya.

“Aku maafkan jika kau mentraktirku sushi kesukaanku.”

“Baiklah aku akan traktir. Mau pergi sekarang?”

Baru saja Haruto ingin menjawab namun dirinya dibuat kaget dengan kedatangan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

“Asahi! Ikut denganku!”

“Ya apa-apaan Yoon Jaehyuk!”

Kejadian berikutnya begitu cepat sampai Asahi tak mampu bereaksi. Jaehyuk menarik tangan Asahi kasar, membawanya pergi. Sekilas Asahi menatap Haruto,berucap tanpa suara 'Dia teman sekelasku. Tenang saja' sambil menunjuk Yoon Jaehyuk yang masih menariknya.

Sementara Haruto mematung di depan rumahnya. Bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik beberapa kalimat di sana.

To: Asahi

Kabari aku jika ia macam-macam denganmu. Akan kupatahkan kaki dan tangannya jika ia melukaimu

Haruto khawatir setengah mati namun Asahi mengatakan pemuda tadi adalah teman sekelasnya. Harusnya tidak akan terjadi apa-apa, kan?

Jaehyuk masih menggenggam erat pergelangan tangan Asahi yang mulai memerah.

“Yoon Jaehyuk lepaskan! Ini sakit!”

Jaehyuk yang menyadari genggamannya terlalu kuat segera melepaksannya. Menatap pergelangan tangan Asahi yang memerah.

“Kau ini kenapa Jaehyuk-ah?! Menarikku sembarangan begitu saja sangatlah tidak sopan. Apa maumu?”

Asahi menatap Jaehyuk tajam. Sungguh dirinya emosi sekali mmelihat perlakuan Jaehyuk tadi.

Jaehyuk balas menatap dalam Asahi. Mempersempit jarak di antara keduanya.

“Kau! Kau milikku, Hamada Asahi. Tidak boleh ada yang menyentuhmu kecuali aku!”

Mata Asahi membulat sempurna. Apa katanya? Miliknya? Apakah Yoon Jaehyuk sudah gila?

“Apa kau sudah gila, Yoon Jaehyuk?! Apa kau sadar akan perkataanmu? Bahkan kau tidak pernah menyapaku saat di sekolah tapi kau bilang aku milikmu? Kau benar-benar gila. Dan.. kenapa kau bisa bertemu denganku?! Apa kau mengikutiku??”

Asahi benar-benar terkejut. Tak habis pikir. Jaehyuk adalah anak teladan di sekolahnya lalu kenapa bisa seperti ini?

“Jawab aku Yoon Jaehyuk, apa kau mengikutiku selama ini?!” Nadanya meninggi pertanda emosi menguasai dirinya. Asahi bukanlah tipe yang mudah naik darah tapi ini benar-benar keterlaluan.

Jaehyuk merasakan emosinya meninggi. Darah berkumpul di kepalanya. Tangannya terkepal menonjok tembok yang berada di belakang Asahi. Darah mengalir dari sela-sela jarinya.

Asahi kaget bukan main. Hatinya mencelos. Jantungnya berdetak kencang. Luapan emosinya menguap begitu saja digantikan air mata yang mulai menggenang. Tubuhnya merosot. Terduduk di aspal kasar yang menjadi tumpuannya. Tangannya menutup wajahnya diiringi isakan yang lolos dari bibirnya.

“Kau ini kenapa Jaehyuk-ah? Kau kenapa? Kenapa melakukan ini?” lirihnya dengan suara parau. Air mata menetes dari manik indahnya.

Jaehyuk terdiam. Menatap darah yang mengalir dari sela-sela jarinya. Kemudian memandang pemuda manis yang terduduk menangis di depannya.

''Ini diriku yang sebenarnya, Hamada Asahi,” jawabnya pelan namun masih terdengar.

Jaehyuk berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan pemuda yang masih terisak di depannya.

“Aku menyukaimu, Asahi. Sangat teramat menyukaimu. Aku tidak peduli kau mau berlari atau kabur sejauh manapun yang kau mau. Aku tetap akan mengejarmu. Kau harus jadi milikku. Dengan cara apapun. Kumohon berhenti menangis sekarang. Ada yang sakit di sini ketika melihat kau menangis seperti ini.” Jaehyuk menunjuk dadanya. Rasanya sakit melihat Asahi menangis.

“Kau benar-benar gila, Jaehyuk-ah. Aku tidak tahu kau segila ini. Dengarkan baik-baik, Jaehyuk-ah. Aku, Hamada Asahi, tidak akan pernah menyukai pemuda gila sepertimu. Kau membuatku takut,” balas Asahi seraya menatap tajam manik Jaehyuk. Tidak peduli wajahnya penuh dengan genangan air mata. Kalau bukan karena Jaehyuk adalah teman sekelasnya rasanya ia ingin menampar wajah Jaehyuk saat ini juga.

Jaehyuk menjambak rambutnya. Frustasi. Asahi tidak akan pernah menyukainya? Asahi takut dengan dirinya? Jaehyuk menarik-narik rambut hitamnya. Berusaha menyalurkan rasa sakit di hatinya. Perlahan, air mata menetes dari sudut matanya.

Asahi.

Kebahagiaannya.

Dan ia harus mendapatkan kebahagiaannya.

Jaehyuk menghapus kasar air matanya. Menarik dagu Asahi untuk menatapnya.

“Kau bisa mengatakan tidak akan menyukaiku, tapi kau juga yang akan mengkhianati ucapanmu. Kau pasti akan menjadi milikku. Aku pastikan itu.” Jaehyuk mengucapkannya dengan perlahan namun dalam. Matanya menatap tajam wajah Asahi. Seringai kecil menghiasi bibir tebalnya.

Jaehyuk berdiri merapikan seragamnya yang berantakan. Menatap Asahi yang masih berjongkok di hadapannya. Isakannya sudah berhenti namun bahunya masih bergetar.

“Sampai bertemu besok, Sahi-ya,” katanya masih dengan seringaian kecil. Baru saja Jaehyuk melangkahkan kakinya, namun tangan kurus Asahi menahannya. Jaehyuk menatap bingung pemuda di depannya.

“Tanganmu.. Obati dulu,” katanya singkat dengan suara pelan. Asahi bangkit dari posisinya kemudian memegang tangan Jaehyuk yang terluka. Darah segar masih mengalir dari sana.

Entah Asahi jadi ikutan tidak waras atau bagaimana bisa-bisanya menahan Jaehyuk hanya untuk mengobati lukanya. Tapi, melihat darah yang terus mengalir itu membuat Asahi jadi tidak tega juga.

Asahi menarik lengan Jaehyuk. Jaehyuk menatap lengannya yang berada di genggaman Asahi. Tersenyum kecil.

Keduanya duduk di bawah pohon maple. Asahi membuka obat dan perban yang dibelinya di apotik. Mengobati buku tangan Jaehyuk. Jaehyuk hanya memperhatikan tidak meringis sama sekali. Fokusnya hanya tertuju pada wajah Asahi yang telaten merawat lukanya.

'Ibu, aku sudah menemukan kebahagiannku. Aku tidak akan membiarkannya pergi,' katanya dalam hati.

“Kenapa kau melalukan ini, hm?” tanya Asahi masih dengan tangan yang sibuk membalut luka Jaehyuk

“Jika dengan ini bisa membuatmu perhatian kepadaku seperti ini, maka aku rela melakukannya setiap hari.”

“Kau sudah gila, Jaehyuk-ah.”

“Hm. Karenamu.”

Asahi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir mengapa ini bisa terjadi padanya. Pemuda yang ia kira murid teladan ternyata bisa seaneh dan segila ini. Dan yang lebih memusingkan adalah dirinyalah penyebab semua kegilaan ini.

♤♤♤

Asahi yang sedari tadi tertunduk karena sibuk menyalin tugas dari bukua Mashiho dibuat kaget ketika Jaehyuk memasuki kelasnya. Dengan wajah datarnya dan pandangan lurus ke depan ia menuju ke mejanya. Tanpa melihat ke arah Asahi sama sekali! Seakan kemarin tidak terjadi apa-apa.

Astaga Yoon Jaehyuk ini benar-benar aneh sekaligus menyebalkan. Asahi memandang dari sudut matanya. Terlihat Jaehyuk sedang tertawa dengan Jeongwoo. Sesekali menepuk bahu Jeongwoo.

Tawa itu.. wajah ramah itu..keduanya tidak nampak sama sekali kemarin.

'Ini diriku yang sebenarnya, Hamada Asahi'

Asahi mengingat perkataan Jaehyuk kemarin. Apakah yang dilihatnya sekarang adalah sandiwara belaka? Hanya satu dari sekian banyak topeng yang dipakai seorang Yoon Jaehyuk?

“Mashi,” panggil Asahi.

“Hm kenapa, Sahi-ya?”

“Selama kau sekelas dengan Jaehyuk, apakah dia pernah melakukan hal aneh?”

Dahi Mashi berkerut. Bingung dengan pertanyaan teman sebangkunya.

“Aneh bagaimana? Seingatku Jaehyuk baik-baik saja. Ia juga kadang suka membantu beberapa acara sekolah. Tidak ada yang aneh. Memang tertutup saja orangnya. Kenapa kau bertanya seperti itu? Apakah ada sesuatu terjadi yang tidak aku ketahui?” tanya Mashi menyelidik. Matanya memicing berusaha mencari kebenaran dari Asahi.

“Ani.. tidak ada apa-apa. Hanya bertanya saja,” jawab Asahi singkat seraya mengalihkan pandangannya, tidak ingin Mashi curiga.

Mashi menatap tajam Asahi. Ia yakin ada yang disembunyikan. Baru saja dirinya akan bertanya lebih lanjut, tapi guru sejarah mereka sudah memasuki ruang kelas.

“Sebentar lagi ujian akhir. Sebelum ujian dimulai, saya akan memberikan kalian tugas akhir. Satu kelompok dua orang, tapi karena kelas ini jumlah siswanya ganjil, maka ada 1 kelompok yang terdiri dari 3 orang. Dan seperti biasa, saya sudah menentukan kelompoknya.”

Asahi terdiam. Kelompok sudah ditentukan. Berarti dia tidak bisa memilih untuk sekelompok dengan Mashi. Dalam hati berdoa agar dirinya jangan sampai sekelompok dengan Yoon Jaehyuk, si pemuda aneh itu.

'Siapapun asalkan jangan Jaehyuk. Siapapun asalkan jangan pemuda gila itu,' doanya berkali-kali dalam hati sambil memperhatikan saat gurunya membacakan satu per satu kkelompok mereka.

“Yoon Jaehyuk, Park Jeongwoo dan Hamada Asahi.”

Demi Tuhan mulut Asahi menganga bagai orang bodoh. Dosa apa yang sudah Asahi lakukan semasa hidupnya hingga Tuhan tidak mendengar doanya. Demi Tuhan Asahi ingin berteriak saat ini juga. Memohon pada gurunya untuk mengganti kelompoknya.

“Tugasnya dikumpulkan 2 minggu lagi.”

Telinganya berdenging. Sungguh dirinya tidak bisa membayangkan harus sekelompok dengan Jaehyuk yang dia anggap gila itu. Rasanya Asahi ingin berlari keluar kelas sekarang juga.

Sementara Jaehyuk mengulum senyum tipis. Bibirnya menyeringai. Jeongwoo yang melihat Jaehyuk tahu betul apa yang ada di pikiran sahabatnya itu. Jeongwoo menatapnya sendu. Berharap semua akan berakhir baik-baik saja. Ia ingin sahabatnya ini bisa bahagia.

♤♤♤

“Hari ini mau kutemani Hyung?” tanya Jeongwoo hati-hati, takut menyinggung perasaan Jaehyuk.

Hari ini adalah hari peringatan kematian kedua orang tua Jaehyuk. Sebagai sahabatnya selama bertahun-tahun membuatnya hafal betul apa yang biasa terjadi di hari kelam ini setiap bulannya. Jaehyuk akan menghubunginya di malam hari karena tidak bisa tidur. Mimpi buruk itu selalu menghantuinya.

“Tidak perlu. Aku bukan anak kecil yang harus ditemani. Aku bisa sendiri,” jawabnya datar.

Jeongwoo hanya bisa menghela napas. Hyung kesayangan sekaligus sahabatnya ini memang keras kepala. Sulit untuk menembus kepala batunya.

“Yasudah. Percuma aku memaksa. Tapi, jika terjadi sesuatu, hubungi aku, ya.”

Jaehyuk mengangguk kecil.

Pandangannya tiba-tiba terfokus kepada pemuda manis yang sedang berjalan dan tertawa dengan teman-temannya. Lesung pipinya terbentuk sempurna di kedua pipinya.

Jeongwoo mengikuti arah pandang Jaehyuk.

“Kau sudah menemukannya, kan, Hyung?”

Jaehyuk mengangguk kecil.

“Aku sudah menemukannya dan tidak akan kulepaskan. Apapun yang terjadi.”

Jeongwoo menghela napas panjang. Menatap sendu Hyung kesayangannya itu.

“Hyung, aku harap kau tidak melakukan hal di luar batas. Cinta dan obsesi adalah suatu hal yang berbeda, Hyung. Aku hanya ingin kau bahagia.”

Jaehyuk hanya diam. Sungguh Jaehyuk tidak lagi peduli dengan batas. Jaehyuk hanya tidak ingin Asahi lari dari hidupnya.

“Kita sekelompok dengannya, Jeongwoo-yah. Setelah bertahun-tahun Tuhan menghukumku, tiba-tiba saja hari ini adalah hari keberuntunganku. Mungkin Tuhan sudah lelah menyiksaku selama ini.”

Jeongwoo memejamkan matanya.

“Tuhan tidak menghukummu, Hyung. Apa yang terjadi memanglah sudah takdir.”

Jeongwoo ingin Hyungnya ini mengerti.

“Cukup, Jeongwoo-yah... aku tidak mau dengar lagi. Lebih baik kau mengajaknya untuk kerja kelompok besok. Di rumahku.”

Jeongwoo menghela napasnya lagi. Percuma berdebat dengan Jaehyuk jika ia sedang seperti ini.

“Hm. Baiklah. Aku akan ajak dia besok.”

Sementara itu fokus Jaehyuk tidak pernah bergeser. Terus memperhatikan Asahi yang sedang berlari mengejar Mashi. Memusatkan seluruh perhatiannya pada ciptaan Tuhan yang begitu indah.

♤♤♤

Jaehyuk melangkahkan kakinya ke dalam sebuah rumah megah yang didominasi warna hitam. Rumahnya berjauh dari pusat kota. Pohon pinus dan cemara berdiri tegak mengelilingi rumah besar itu.

Rumah itu memang tampak aesthetic dari luar namun apa gunanya jika suasana rumah itu terasa sepi dan dingin. Jaehyuk membawa kakinya pada satu ruangan yang berada di lantai paling atas rumahnya. Ruangan ini adalah ruangan favoritnya.

Jaehyuk membuka kunci ruangan itu kemudian masuk ke dalamnya. Ruangan itu dipenuhi karya indahnya. Di sekeliling ruangan itu foto-foto Hamada Asahi terpampang manis menutupi seluruh dinding. Foto-foto dengan berbagai ekspresi. Asahi yang sedang tertawa, Asahi yang sedang tersenyum, Asahi yang sedang membaca buku, Asahi yang sedang berdiri di depan halte menunggu bus. Semua kehidupan Asahi terekam sempurna di ruangan ini.

Katakan Yoon Jaehyuk sudah gila dan lewat batas. Tapi sejak kedatangan Asahi di sekolahnya, diam-diam Jaehyuk mengambil gambarnya. Setiap hari. Setiap kesempatan itu datang. Jaehyuk tertawa kecil, puas dengan hasil karyanya.

Hari ini adalah hari yang paling Jaehyuk benci. Hari peringatan kematian kedua orang tuanya. Hari di mana dirinya kehilangan kebahagiaannya dan mengenal sisi gelapnya. Jika Jaehyuk memiliki mesin waktu, ingin rasanya memperlambat atau mempercepat hari walaupun 1 hari saja. Asalkan hari ini tidak perlu datang lagi.

Jaehyuk membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang berada di ruangan itu. Sejak Asahi datang di hidupny, sejak ruangan ini dipenuhi wajah Asahi, Jaehyuk tidak pernah lagi tidur di kamarnya. Setidaknya di dalam ruangan ini, ia tidak merasa sendiri.

Matanya terpejam. Tubuh lelah dan pikiran kacaunya memaksanya untuk jatuh terlelap. Di hari ini, mimpi itu selalu datang lagi. Ah, tepatnya bukan mimpi melainkan potongan-potongan memori masa kecilnya yang menghantui pikirannya.

Di luar hujan turus deras sekali. Suara petir yang memekakkan telinga bergemuruh. Jaehyuk, anak kecil yang masih berusia 8 tahun meringkuk di kamarnya. Menutup telinganya. Ayah dan Ibunya belum pulang kerja dan pengasuhnya tidak datang hari ini karena sedang sakit.

Jaehyuk memang anak yang pintar dan mandiri. Jadilah ia sendiri di rumah setelah berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa dirinya tidak apa-apa sendirian. Tapi dia tidak menyangka hari ini hujan sederas ini. Sepertinya akan ada badai datang.

Kilat menyambar-nyambar dari luar jendela. Jaehyuk semakin meringkuk di sudut. Ia takut. Wajar untuk anak seusianya takut dengan keadaan hujan deras dan petir di luar sana. Jaehyuk memberanikan diri keluar dari kamarnya. Berjalan setengah merangkak berusaha meraih telepon yang berada di ruang tamunya. Menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepalanya.

1 menit kemudian telepon itu diangkat.

“Appa~~, Appa dan Eomma dimana? Jaehyuk takut. Petirnya kencang sekali. Jaehyuk takut,” lirihnya.

“Jae, sebentar lagi Appa dan Eomma sampai. Jae anak pintar kan? Jae anak pemberani. Sabar sebentar ya, Appa dan Eomma akan segera pulang.”

“Jae takut. Cepatlah pulang.”

Ayahnya berusaha menenangkan walaupun dalam hati tentunya khawatir aja meninggalkan anak semata wayangnya sendirian di rumah dengan keadaan seperti ini.

“Tenanglah, Jae. Jae anak pemberani kan? 15 menit lagi Appa akan sampai.” Ayahnya berusaha menenangkan.

“Eum! Jae pemberani. Jika hanya menunggu 15 menit, Jae bisa,” ucapnya tersenyum meskipun Ayahnya tidak dapat melihat wajahnya.

“Baiklah. Appa tutup teleponnya ya. Jae sabar dan tetap tenang ya. 15 menit lagi Appa sudah berada di rumah. Appa janji.”

Janji 15 menit itu tidak pernah ditepatinya. Nyatanya, orang tuanya tidak pernah sampai di rumah hari itu. Yang Jaehyuk ingat, keesokan paginya beberapa polisi mendatangi rumahnya. Yang Jaehyuk ingat, pengasuhnya datang ke rumahnya sambil menangis.

Mereka bilang orang tuanya kecelakaan dan meninggal dunia. Mereka bilang ia harus tinggal bersama paman dan bibinya mulai sekarang. Mereka bilang akan mengurus pemakamannya sampai selesai. Mereka bilang Jaehyuk akan baik-baik saja tapi mereka tidak pernah bilang bahwa rasanya akan sesakit dan semenghancurkan ini.

Teman-teman di sekolahnya mengatakan dirinya lah penyebab orang tuanya meninggal. Karena dirinya terlalu penakut, orang tuanya sampai harus terburu-buru pulang ke rumah. Benarkah begitu? Jika ya, lantas apakah Jaehyuk menjadi seorang pembunuh?

Kepala dan tubuh Jaehyuk bergerak tidak nyaman. Dahinya berkerut. Isakan lolos dari bibirnya. Meringkuk memeluk tubuhnya.

“Namamu siapa?” tanya Jaehyuk pada anak kecil manis di depannya.

“Namaku Hi-kun. Keluargaku memanggilku begitu. Namamu siapa?”

“Jae. Keluargaku memanggilku dengan nama Jae.”

Sejak Jaehyuk harus tinggal dengan paman dan bibinya, Jaehyuk bertemu dengan anak kecil manis seumuran dengannya yang ternyata tetangga di sebelah rumahnya.

Setiap hari mereka akan bermain bersama. Jaehyuk merasa seperti menemukan warnanya yang lama hilang.

“Gambarku bagus, kan, Hi-kun?” tanya Jaehyuk memamerkan hasil gambarnya.

“Gambar Jae seram. Semuanya warna hitam. Kenapa mewarnainya seperti itu?,” jawabnya polos.

“Hitam memang warna yang cocok untuk Jae. Gelap seperti hidupku.”

Anak kecil manis itu memiringkan kepalanya. Tidak begitu mengerti apa maksud perkataan Jae.

“Hi-kun suka semua warna. Semua warna indah.”

Jaehyuk melihat hasil gambar temannya itu. Penuh warna dan terlihat cerah.

“Kalau begitu, Hi-kun jadi warna untuk hidup Jae yang gelap ya.”

Hi-kun mengangguk semangat.

“Eum! Hi-kun jadi warna untuk Jae supaya hidup Jae tidak dipenuhi warna hitam lagi.”

Jaehyuk menatap Hi-kun lembut. Tanpa tahu jika Hi-kun juga akan meninggalkannya. Hi-kun harus kembali ke Jepang bersama keluarganya. Hi-kun pergi tanpa salam perpisahan sama sekali.

Warna itu redup kembali. Digantikan gelap nan pekat.

Peluh membanjiri sekujur tubuh Jaehyuk. Matanya terbuka dan napasnya terengah-engah. Bahunya bergetar. Jaehyuk berusaha mengumpulkan kekuatannya, menyeret dirinya ke kamar mandi. Membasuh wajahnya. Memperhatikan bayangannya di cermin.

Jaehyuk benci dirinya. Ia benci sisi gelapnya. Ia benci hitam harus menjadi warna hidupnya. Ia benci hidupnya.

Tubuh Jaehyuk merosot. Melipat kedua lutunya, membenamkan wajahnya di sana. Menangis sejadi-jadinya. Lirih dan pilu.

♤♤♤

Asahi menganga melihat rumah yang sangat besar di depannya. Rumah dengan arsitektur indah yang didominasi warna hitam itu membuatnya takjub. Namun sayangnya suasana sekelilingnya membuat rumah ini terkesan dingin. Sama seperti pemilik rumahnya. Yoon Jaehyuk.

Hari ini mereka berencana mengerjakan tugas kelompoknya namun sialnya Park Jeongwoo tidak bisa ikut karena harus merawat Ibunya yang tiba-tiba sakit. Jadilah Asahi hanya berdua dengan Jaehyuk. Jangan tanyakan bagaimana suasana di mobil tadi. Mereka hanya berdiam diri tanpa mengeluarkan satu patah katapun. Matanya lurus menatap jalanan di depannya. Harus Asahi akui ketampanan Jaehyuk semakin bertambah saat sedang menyetir tadi, tapi jika mengingat kejadian beberapa waktu lalu, Asahi masih bergidik ngeri. Tampan tapi aneh.

Jujur Asahi masih sedikit takut dengan Jaehyuk. Kejadian beberapa waktu lalu masih membekas di otaknya.

“Masuklah,” ucap Jaehyuk singkat.

Asahi berdiri kikuk, menautkan kedua tangannya yang berkeringat.

“Kenapa tidak masuk? Ayo masuk!”

Jaehyuk menarik tangan Asahi lembut. Asahi menatap tangannya yang digenggam Jaehyuk. Genggaman ini benar-benar berbeda dibandingkan kejadian menyeramkan hari itu. Genggaman kali ini terasa lembut, berbeda dengan perlakuan kasar Jaehyuk hari itu.

“Kenapa kau tegang seperti itu? Kau masih takut padaku rupanya.”

Asahi jadi tidak enak hati.

“Aku minta maaf ya atas kejadian waktu itu. Aku sudah membuatmu takut.”

“Ah tidak apa-apa. Aku sudah melupakannya.”

Bohong.

Jaehyuk hanya tersenyum kecil.

“Kau mau makan dulu? Sebelum kita mengerjakan tugas kita.”

“Boleh saja.”

Asahi masih memandangi arsitektur rumah milik Yoon Jaehyuk ini. Arsitektur minimalis yang didominasi warna hitam. Asahi tampak berpikir sebentar. Jika ini rumahnya, tak mungkin ia biarkan warna hitam mendominasi seperti ini. Menyeramkan.

“Kau tunggu di sini, ya. Aku buatkan makanan dulu.”

“Hm? Kau bisa memasak?” tanya Asahi, sedikit kagum pada pemuda tampan di depannya ini.

“Apakah kau lihat ada orang lain di rumah ini? Tentu saja aku harus bisa memasak sendiri.”

Hm. Benar juga. Rumahnya begitu sepi. Apa Jaehyuk tidak tinggal dengan orang tuanya?

30 menit kemudian makanan ala Itali terhidang di depannya. Asahi membulatkan matanya. Tak menyangka kemampuan memasak Yoon Jaehyuk sehebat ini.

Baru saja Asahi menyuap pasta di hadapannya, Jaehyuk menyalakan lilin yang berada di meja makan yang cukup besar itu.

Hm? Apa-apaan ini?

“This is our first date, Sahi-ya,” ucapnya pelan sambil menatap Asahi.

Apa? First date katanya?

Asahi membanting garpu di tangannya.

“First date? Kita mau kerja kelompok, Jaehyuk-ah! Apa-apaan dengan first date? Aku tidak pernah bilang mau berkencan denganmu.”

“Yet you came here,” ucap Jaehyuk lagi. Matanya menatap tajam Asahi.

“Apakah kau gila? Aku datang karena kita harus mengerjakan tugas kita. Aku mau pergi. Kau membuatku takut.”

Asahi beranjak dari duduknya tatkala Jaehyuk menahan lengan Asahi.

“Kau tidak boleh kemana-mana. Tempatmu adalah di rumahku. Aku mohon jangan pergi, Sahi-ya,” lirih Jaehyuk penuh harap.

“Lepaskan Yoon Jaehyuk! Apakah kau sadar tindakanmu ini di luar batas?!” Asahi meninggikan suaranya.

Benar-benar frustasi harus terjebak di situasi seperti ini.

“Aku tidak peduli, Sahi-ya. Aku tidak peduli sekalipun ini di luar batas. Kau adalah kebahagiaanku. Aku tidak akan melepaskan kebahagiaanku. Aku sudah menemukannya. Kumohon jangan pergi.”

Jaehyuk mengatakannya dengan air mata yang menyeruak dari pelupuk matanya. Asahi bingung setengah mati melihat Jaehyuk memohon padanya dengan air mata seperti itu.

“Aku mau pulang!” Asahi menatap tajam manik Jaehyuk.

“Sudah kubilang tempatmu di sini!” Nada Jaehyuk meninggi. Berusaha membuat pemuda manis di depannya ini takut.

Asahi berusaha berlari namun secepat kilat Jaehyuk menggendongnya. Menguatkan genggamannya menahan Asahi yanh berontak.

“LEPASKAN AKU YOON JAEHYUK! KUBILANG LEPASKAN!”

Asahi berusaha meraih ponselnya namun ia lupa tadi ia mengeluarkan ponselnya dan menaruhnya di atas meja makan.

Shit! Bagaimana bisa ini terjadi padanya?

“Jangan berontak, Sahi-ya!”

“KAU SUDAH GILA YOON JAEHYUK! KAU DAN TOPENG MUNAFIKMU ITU!”

Jaehyuk hanya diam. Memandang lurus ke depan.

“Aku berusaha memainkan peranku dengan sempurna selama ini. I wanna hide the truth. Tapi kau, di depanmu aku tidak bisa menyembunyikan sisi gelapku. Aku mencintaimu, Hamada Asahi.”

Air mata mengalir dari pelupuk mata indah milik Asahi. Apa katanya? Cinta? This is not love. Cinta tidak mungkin seperti ini.

Jaehyuk menendang pintu di depannya. Melempar tubuh kurus Asahi ke atas tempat tidur kemudian mengunci pintu ruangan itu.

“Lihat Asahi! Lihatlah sekelilingmu. Kau tidak percaya aku mencintaimu, kan? Tapi lihat ruangan ini. Semuanya dipenuhi oleh dirimu. Aku memandanginya setiap hari. Aku tidur di kamar ini setiap hari.”

Manik Asahi membulat sempurna melihat ribuan fotonya di sana. Wajahnya terpampang jelas di sana. Dengan berbagai ekspresi. Asahi menggelengkan kepalanya. Isakan lolos dari bibir tipisnya. Asahi menutup mulutnya berusaha menahan isakannya. Tidak percaya apa yang dilihatnya.

“This ain't love, Yoon Jaehyuk. This is obsession. Kau tidak benar-benar mencintaiku,” lirihnya pelan dengan kepala tertunduk.

Jaehyuk memandangi Asahi yang menangis kencang di hadapannya.

“Aku mohon lepaskan aku Jaehyuk-ah. Aku ingin pulang. Anggap saja hal ini tidak pernah terjadi.”

Jaehyuk menggelengkan kepalanya cepat. Air matanya kembali mmendesak keluar.

“Tidak. Jika aku melepaskan kau, kau akan lari dari hidupku. Kau akan lenyap dari pandanganku. Aku tidak akan pernah melihatmu lagi. Aku tidak bisa. Aku sudah menemukan kebahagiaanku dan aku tak akan membiarkan bahagiaku pergi.”

Jaehyuk menjambak rambut hitam legamnya. Frustasi dengan dirinya. Frustasi dengan Asahi yang tidak mau mengerti.

“Tapi aku tidak bahagia, Jaehyuk-ah. Jika kau mencintaiku, seharusnya kita sama-sama bahagia. Tapi... aku tidak bahagia. Aku takut sekarang. Kau egois, Yoon Jaehyuk.”

Asahi menatap lembut manik Jaehyuk. Berusaha membuatnya mengerti.

“Egois? Aku sudah berusaha menjadi tidsk egois selama 10 tahun. Aku bahkan tidak mengeluh ketika semua hal yang berharga dalam hidupku diambil begitu saja. Aku bahkan tidak berteriak saat kebahagiaanku diambil begitu saja. Lalu kau datang. Aku hanya ingin egois. Sekali ini saja.”

Asahi menatap sendu Jaehyuk. Entah apa yang terjadi di dalam hidup seorang Yoon Jaehyuk sehingga pemuda tampan itu menjadi seperti ini. Yang Asahi yakini hal itu menyakitkan dan membekas dalam di kehidupannya.

“Jaehyuk-ah. Aku bisa jadi temanmu untuk bercerita. Kau bisa meluapkan semua kepedihanmu padaku. Tapi, jangan begini, Jaehyuk-ah. Aku mohon. Aku ingin pulang. Aku janji kita bisa bertemu besok di sekolah. Kita bisa saling bercerita.”

Asahi menatap Jaehyuk penuh harap. Berharap kata-katanya membuka pikiran Jaehyuk.

Jaehyuk tertawa kecil.

“Teman? Haha teman-temanku juga meninggalkanku dulu. Menganggapku sebagai pembunuh. Kau benar-benar tidak mengerti Sahi-ya. Aku tak ingin kau jadi temanku. Aku ingin kau jadi milikku.”

Asahi hanya bisa terisak. Ingin rasanya memukul Jaehyuk tapi tenaganya habis. Asahi berusaha bangkit namun Jaehyuk menahannya. Jaehyuk melangkahkan kakinya menuju pintu ruangan itu.

“Kau milikku, Sahi-ya,” ucapnya pelan sebelum keluar dari ruangan itu. Menguncinya. Membiarkan Asahi yang terisak di dalam.

♤♤♤

Jaehyuk menatap Asahi dari layar CCTV yang sengaja ia letakkan di kamar tidurnya. Menatap gerak gerik pemuda manis itu. Namun yang didapatnya hanya pemandangan Asahi yang menangis, meringkuk di atas tempat tidurnya.

“Aku mohon lepaskan aku. Aku takut.”

Suara Asahi begitu lirih terdengar. Hati Jaehyuk berdenyut melihat pemandangan di layarnya saat ini.

Kali ini Asahi bediri di depan pintu. Menggedor keras pintu itu. Menangis memohon untuk pulang. Asahi meremas rambutnya masih dengan air mata yang terus mengalir.

Jaehyuk berusaha memejamkan matanya tapi tangisan Asahi mengganggunya. Makanan yang ia taruh di atas meja nakasnya juga tidak disentuhnya sama sekali.

Asahi terus-menerus memohon dengan suara lirih. Rasa sakit di hati Jaehyuk semakin menjadi.

Ponselnya terus berdering. Nama Park Jeongwoo tertera di sana. Jaehyuk tidak ada niat untuk menjawabnya. Jaehyuk memejamkan matanya erat. Pikirannya melayang. Memori masa kecilnya muncul begitu saja.

“Kata eomma, Eomma dan Appa saling mencintai. Apa itu cinta, Eomma?” tanya Jaehyuk kecil.

“Cinta itu ketika kau dan orang yang kau sayangi sama-sama bahagia. Cinta tidaklah egois. Jika salah satu di antara kalian menderita dan tidak bahagia, itu bukanlah cinta.”

“Jadi, Eomma dan Appa sama-sama bahagia?”

“Tentu saja. Eomma sangat mencintai Appamu begitupun sebaliknya. Kau harus ingat, Jae. Kau harus membahagiakan pasanganmu kelak. Dengan begitu, kau akan mengerti cinta yang sebenarnya.”

Jaehyuk kecil mengangguk mengerti.

“Tapi aku tidak bahagia, Jaehyuk-ah. Jika kau mencintaiku, seharusnya kita sama-sama bahagia. Tapi... aku tidak bahagia. Aku takut sekarang”

Jaehyuk membuka matanya. Potongan pembicaraan masa kecilnya dengan Ibunya berputar di otaknya diiringi perkataan yang Asahi katakan tadi.

Ini bukanlah cinta.

Karena Asahi tidak bahagia.

Yoon Jaehyuk egois.

Menyeramkan.

Menakutkan.

Jaehyuk mengambil ponselnya kemudian menghubungi Jeongwoo.

“Jemputlah Asahi besok pagi di rumahku. Aku mohon jemput saja. Jangan tanyakan hal apapun atau menceramahiku sekarang. Jemput saja dia besok pagi. Kunci ruangannya kutaruh di depan kamarku.”

Jaehyuk mematikan sambungannya dan melempar ponselnya ke sembarang tempat. Jaehyuk menutup matanya dengan lengannya. Isakan keluar dari bibirnya.

Gelap.

Itu adalah temannya.

Hitam.

Itu warnanya.

Dan seharusnya tetap seperti itu.

Sisi gelap adalah hidupnya.

Dan biarkan tetap seperti itu.

Bahagia.

Bukan miliknya.

♤♤♤

Jeongwoo memeluk Asahi erat. Pemuda mungil itu masih menangis dalam pelukannya. Mereka berada di dalam mobil sekarang. Pagi tadi Jeongwoo menjemputnya membawanya pulang. Namun karena Asahi tidak juga berhenti menangis, Jeongwoo harus menepikan mobilnya.

“Tenanglah, Hyung. Ssst... gwaenchana.”

Asahi masih terisak.

“Maafkan Jaehyuk Hyung, ya. Ia sudah keterlaluan. Aku tidak ingin membelanya tapi sejak kematian kedua orang tuanya dan kepergian sosok manis yang sempat mengembalikan warna dalam hidupnya, Jaehyuk Hyung membiarkan sisi gelapnya menguasai hatinya. Hyung bilang Tuhan menghukumnya karena merenggut semua kebahagiaannya. Kedua orang tuanya, sosok yang membuat hidupnya berwarna, teman-temannya yang menganggap dirinya penyebab orang tuanya meninggal. Semua meninggalkannya.

Bertahun-tahun terus seperti itu sampai kau datang. Dia bilang dia menemukan kebahagiaannya. Dia bilang dia tidak ingin kau pergi dari hidupnya seperti yang sebelumnya terjadi. Dia takut kau lari jika kau tau betapa gelapnya kehidupannya. Aku tahu dia berusaha menahan dirinya. Karena itu juga dia seakan tidak mengenalmu di sekolah. Aku tahu betul ia menyesali setiap dirinya lepas kontrol saat berhadapan denganmu. Tapi sulit baginya karena dia tidak ingin kehilangan lagi. Dia bilang kau sangat mirip dengan sosok yang ia kenal 10 tahun lalu. Anak kecil manis yang mewarnai hidupnya. Yang pergi begitu saja dan mengembalikan gelapnya.”

Asahi mendengarkannya dengan seksama. Semenderita itukah Jaehyuk selama ini?

“Rasanya jika aku bisa, aku ingin sekali bertemu dengan anak manis itu. Bertanya bagaimana cara membuat seorang Yoon Jaehyuk menjadi penuh warna. Tapi aku tidak tahu dengan detail anak manis itu. Yang aku tahu, Hyung selalu menyebutnya dengan Hi-kun.”

Asahi membulatkan matanya.

Hi-kun?

10 tahun lalu?

Ingatan Asahi kembali ke 10 tahun lalu. Mungkinkah Jaehyuk adalah Jae? Jae-nya yang manis dan baik hati. Yang selalu melindunginya, menghabiskan waktu bersamanya. Menggambar bersama, makan es krim bersama. Jae yang begitu disukai dan disayanginya.

Asahi tidak mengerti mengenai hitam dan gelap yang dibicarakan Jae 10 tahun yang lalu. Tapi, Asahi mengerti sekarang. Jae memintanya menjadi warna dalam hidupnya namun Asahi pergi begitu saja tanpa salam perpisahan sekalipun.

Jaehyuk seperti ini juga karena dirinya.

Kenyataan pahit ini mengejutkan bagi Asahi. Di saat dirinya mengatakan Jaehyuk gila, aneh dan egois. Nyatanya dirinyalah satu potong bagian yang menyebabkan gelapnya hidup Jaehyuk.

Air mata mengalir deras. Tak terbendung. Bahunya bergetar.

“Jeongwoo-yah, bisakah kita kembali ke rumah Jaehyuk?”

Jeongwoo menatapnya tak mengerti.

“Aku tahu ini membingungkan tapi aku akan jelaskan semuanya nanti. Sekarang, Jaehyuk butuh diriku. Aku adalah warna yang selama ini kau cari untuk hidup seorang Jaehyuk.”

Jeongwoo tidak begitu mengerti dengan detail tapi Jeongwoo bisa menduga siapa Hamada Asahi sebenarnya.

Asahi adalah Hi-kun. Asahi adalah warna untuk Jaehyuk.

♤♤♤

Asahi berlari ke dalam rumah besar itu. Kakinya berlari cepat menuju kamar Jaehyuk. Ia yakin pemuda tampan itu ada di sana.

Pemandangan yang ia lihat menghancurkan hatinya. Pecahan kaca dimana-mana. Lampu tidur jatuh tergeletak di lantai. Kamarnya benar-benar seperti kapal pecah. Jaehyuk meringkuk di sudut ruangan sambil menangis. Tangan dan kakinya berdarah. Asahi tidak mau membayangkan apa yang dilakukan Jaehyuk. Pecahan kaca yang berserakan dengan noda darah dimana-mana sudah cukup menjawab situasi di hadapannya.

Asahi merengkuh Jaehyuk ke dalam pelukannya. Erat. Tubuh Jaehyuk sempat menegang sedetik kemudian bersandar pada Asahi. Seakan Asahi adalah satu-satunya tumpuan hidupnya.

“Jae, ini Hi-kun. Hi-kun di sini,” lirih Asahi pelan sambil mengelus punggung Jaehyuk.

Jaehyuk menatap Asahi dalam.

“Kau adalah Hi-kun? Hi-kun 10 tahun yang lalu?”

Jaehyuk tidak percaya dengan kenyataan di hadapannya. Jaehyuk menangkup pipi Asahi.

“Iya, Jae. Ini Hi-kun. Maafkan aku dulu pergi tanpa salam perpisahan. Tapi semua terjadi begitu cepat sampai aku tidak bisa mengatakannya padamu. Aku sudah berjanji untuk menjadi warnamu tapi aku pergi meninggalkanmu. Maafkan aku.”

Jaehyuk menggelengkan kepalanya. Alasan itu tidaklah penting baginya. Yang terpenting sumber warna di hidupnya kembali. Hi-kunnya kembali.

Perasaan bahagia itu muncul namun dengan segera redup. Jaehyuk sadar betul siapa dirinya. Ia hanya akan membuat Asahi menderita. Membawa Asahi ke dalam sisi gelapnya. Membawa Asahi untuk menghadapi inner demonsnya. Sisi paling kelam hidupnya.

“Kau penuh warna. Tidak pantas bersanding dengan gelap. Kau terlalu indah untuk masuk ke dalam kehidupanku yang hanya diwarnai hitam. Don't get too close, Hi-kun. Hatiku.. It's really dark inside. It's where my demons hide,” ucap Jaehyuk parau. Matanya sendu.

Asahi menggelengkan kepalanya. Mencium kening Jaehyuk lembut. Menangkup pipinya yang basah oleh air mata.

“We all have dark sides, Jaehyukkie. If you look closely, there is a hell inside of me. It's where your demons can live. Aku tidak akan pernah pergi dari hidupmu. Biarkan aku menjadi warnamu. Kita temukan kebahagiaan kita until we can called it 'love'.”

Asahi mendekatkan wajahnya. Mengecup bibir Jaehyuk. Meletakkan kepala Jaehyuk di dadanya, mengelusnya sayang.

Bahagia. Kata itu bisa jadi bagian dari hidup Yoon Jaehyuknya.

End.

Title: Personal Angel

Pairing: Jaehyuk/Asahi

Storyline:

Jaehyuk menatap Asahi dari sudut matanya. Sesekali tersenyum melihat tingkah Asahi. Hari ini Treasure memiliki jadwal tampil di SBS Inkigayo, untuk mempromosikan comeback Chapter 3 mereka. Jaehyuk memperhatikan Asahi dan Junghwan yang duduk di kursi belakang dari sudut matanya, tertawa kecil melihat Asahi yang berkali-kali memukul kecil lengan Junghwan dan mencubit pipi cute maknae itu. Sesekali menggembungkan pipinya ketika Junghwan menggodanya.

“Kau lucu sekali, Sahi Hyung. Aku yang termuda di sini tapi kau cukup menggemaskan untuk menjadi seoarang maknae.”

“Aku tidak lucu. Aku tampan, Junghwannie,” sahut Asahi sambil menggembungkan pipinya pertanda tidak suka disebut sebagai maknae.

Junghwan tertawa melihat Hyung yang lebih tua 4 tahun darinya ini. Sungguh lucu.

“Jangan tertawa, Junghwan-ah!”

Asahi melebarkan matanya berusaha membungkam tawa Junghwan tapi usahanya sia-sia. Sang maknae masih tertawa puas.

Jaehyuk yang mendengar percakapan keduanya hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Jaehyukkie! Aku tampan kan? Aku tidak menggemaskan tapi aku tampan. Ya kan?” Asahi menarik kerah kemeja Jaehyuk membuat pemuda tampan itu membalikkan tubuhnya.

“Ne, Asahi memang tampan, tapi kau juga manis dan menggemaskan, Sahi-ya. Maaf, tapi kali ini aku setuju dengan Junghwannie,” ucapnya sambil mengacak pelan surai hitam Asahi.

Asahi melepaskan tangan Jaehyuk kemudian melipat kedua tangannya. Menggembungkan pipinya dan membuang mukanya ke arah jendela.

Jaehyuk terkekeh kecil melihat pemuda manis yang sedang merajuk itu. Baginya, Asahi seperti anak kecil. Bukan berarti Asahi tidak dewasa. Hanya saja tingkahnya terkadang seperti anak kecil. Asahi is really cute when Jaehyuk tease him dan Jaehyuk menyukai semua sisi pemuda manis yang berharga untuknya ini.

“Jika kau cemberut seperti itu, kau terlihat seperti anak kecil Sahi-ya.” Jaehyuk mencubit pelan pipi putih Asahi.

'Dan aku selalu ingin melindungimu. I'll be your protector,' katanya dalam hati. Tatapannya melembut kala menatap pemuda manis yang masih merajuk.

“Aku kesal! Aku tidak mau bicara lagi!”

Jaehyuk dan Junghwan hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mereka tahu Asahi tidaklah serius. Dengan hati selembut itu, mana bisa Asahi marah terhadap mereka.

“Jangan kesal lagi, ya. Nanti sepulang kita tampil aku belikan cokelat kesukaanmu, eum? Bagaimana?”

Mata Asahi berbinar kemudian mengangguk semangat. Kekesalannya menguap seketika.

“Aku mau juga, Jaehyukkie Hyung,“mohon Junghwan dengan wajah memelasnya.

Jaehyuk tersenyum kemudian mengacak rambut maknae yang disayanginya.

“Tentu saja kau juga akan dapat cokelatnya, Junghwannie.”

Sisa perjalanan menuju gedung SBS dihabiskan dengan diam. Ketiganya serius mendengarkan earphone mereka masing-masing sambil sesekali bersenandung kecil, menyanyikan part mereka dalam 'MMM'. Jaehyuk tampak menggerakkan tangannya kecil melatih dancenya.

****

In backstage...

Asahi berlari-lari kecil mengejar Jeongwoo yang tidak jauh berada di depannya. Keduanya tertawa lepas. Seru sendiri dengan dunianya. Asahi berusaha menggapai jaket yang dikenakan Jeongwoo saat keseimbangannya hilang dan membuatnya terjatuh.

Bruk!

Bunyi yang cukup keras itu mengagetkan beberapa staff yang berada di sana. Beberapa segera menghambur ke arah Asahi dan membantunya berdiri.

“Ya! Asahi kau tidak apa-apa?! Kenapa berlari-lari seperti itu?! Kau bisa terluka, Sahi-ya,” tegur Hyunsuk dengan nadanya yang tegas namun sorot khawatir terpancar dari sepasang maniknya.

Jeongwoo menghampiri Hyung kesayangannya itu memeriksa tubuh Asahi untuk memastikan tidak ada luka serius di sana.

'Jaehyuk Hyung bisa membunuhku jika Sahi Hyung terluka. Ya Tuhan selamatkan aku,' mohonnya dalam hati.

Jaehyuk yang baru saja menyelesailan make-up nya kaget setengah mati melihat Asahi yang dikerumuni beberapa staff. Dari kejauhan Jaehyuk dapat melihat Asahi berdiri setengah bungkuk, memegangi lengannya. Jaehyuk berjalan cepat. Jantungnya bergemuruh, perasaannya tidak enak. Ia tahu sesuatu terjadi ketika Asahi luput dari pengawasannya.

“Sahi-ya, kau kenapa?” Jaehyuk merangkul pundak Asahi membimbingnya ke sudut ruangan. Sementara Jeongwoo dan Hyunsuk mengekor di belakang.

“Aku tidak apa-apa, Jaehyukkie. Ini salahku. Aku sedang bermain dengan Jeongwoo, berusaha mengejarnya dan terjatuh. Tapi, aku baik-baik saja,” jelas Asahi lembut berusaha menenangkan Jaehyuk. Ia tahu pemuda di depannya ini sedang khawatir setengah mati.

“Ma-maafkan aku, Jaehyuk Hyung.”

Jeongwoo menundukkan kepalanya.

Jaehyuk menghela napas. Menatap Asahi dalam kemudian mengalihkan pandangannya pada Jeongwoo. Senyum lembut menghiasi wajah tampannya, kemudian mengelus surai Jeongwoo.

“Tidak perlu minta maaf, Jeongwoo-yah. Yang penting kalian tidak apa-apa. Hanya saja, lain kali lebih berhati-hati eum? Hyunsuk Hyung juga pasti panik setengah mati melihat Asahi terjatuh tadi,” ucapnya lembut sambil melirik Hyunsuk yang berada di sebelahnya.

“Dan Sahi-ya.. Jangan buat aku khawatir lagi seperti tadi eum? Jika kau terluka, aku harus bagaimana?” Tangannya meraih lengan Asahi, memeriksa dengan seksama lengan putih mulus itu. Ada beberapa luka gores di sana. Sikutnya pun sedikit memerah.

“Ini bukan tidak apa-apa,Sahi-ya. Kau terluka. Kita obati dulu, ya?”

Jaehyuk menatap Asahi yang tertunduk.

“Heiii, aku tidak marah. Aku hanya khawatir.”

Jaehyuk menangkup kedua pipi Asahi berusaha membuat Asahi menatap matanya. Manik Asahi berkaca-kaca. Merasa bersalah sudah membuat khawatir semua orang. Karena kecerobohannya, bisa saja dirinya terluka serius dan membuatnya tidak bisa tampil di panggung.

“Hei, jangan menangis. Aku tidak marah. Hyunsuk Hyung juga tidak marah. Kami hanya khawatir, Sahi-ya.”

Jaehyuk menatap Asahi lembut, membimbingnya menuju kursi yang tersedia di sana. Jeongwoo dan Hyunsuk memutuskan meninggalkan keduanya. Tidak mau mengganggu pembicaraan mereka.

“Aku obati ya? Ini akan sedikit perih.”

Jaehyuk menyentuh pelan beberapa luka gores itu dengan kapas, meniupnya perlahan untuk mengurangi rasa perihnya. Sesekali Asahi meringis pelan.

“Sudah selesai,“ucapnya sambil memakaikan bandaids di luka gores tersebut. Jarinya mengusap pelan sikut Asahi yang memerah dan memijitnya perlahan.

Asahi menatap Jaehyuk dengan wajahnya yang memerah. Melihat Jaehyuk yang begitu telaten merawat lukanya yang bahkan tidak seberapa ini membuat hati sekaligus pipinya menghangat.

“Mianhae, Jaehyuk-ah. Membuatmu panik dan khawatir. Aku hanya bosan dan bermain dengan Jeongwoo.”

Jaehyuk mengacak surai halus Asahi. Asahi memang seumuran dengannya, tapi Asahi butuh seseorang yang menjaganya. He's very playful yet lil bit clumsy. Dan Jaehyuk merasa harus selalu melindungi Asahi. Selagi ia bisa. Kapanpun dan dimanapun.

“Jangan meminta maaf lagi. Yang terpenting, tidak ada luka yang serius. Kau tau? Selagi aku bisa, aku akan selalu melindungimu, Sahi-ya. Menjagamu. Aku tidak pernah ingin kau terluka atau apapun itu. Aku akan berusaha keras untuk membahagiakanmu.”

Semburat merah mewarnai kedua pipi Asahi, menggigit bibirnya berusaha menahan senyumnya.

“Kenapa kau menggemaskan sekali, sih?” Jaehyuk mencubit pipi Asahi gemas. Membuatnya semakin merona.

Jaehyuk mengelus pucuk kepala Asahi lembut. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi dahinya.

“Hi-kun, let me take care of you.”

****

Member Treasure baru saja menyelesaikan penampilan mereka. Keduabelas wajah lelah namun puas memasuki ruang ganti. Beberapa langsung melempar diri mereka di sofa, berusaha mengatur nafas dan mengistirahatkan tubuh lelah mereka.

Jaehyuk berjalan sedikit lunglai. Mendudukkan dirinya kemudian memejamkan matanya. Peluh masih membanjiri pelipisnya. Asahi menghampirinya dan memposisikan dirinya si sebelah Jaehyuk. Sedikit khawatir melihat wajah lelah Jaehyuk. Ia tahu Jaehyuk harus melalukan gerakan yang sulit. Jujur Asahi takut setengah mati melihat punggung Jaehyuk harus menahan beban tubuh Yedam dan Hyunsuk.

“Jaehyukkie sangat lelah ya?”

Jaehyuk membuka matanya, memberikan senyum lembut pada pemuda manis di depannya. Tubuhnya memang lelah saat ini tapi melihat Asahi sedikit memberikan semangat untuknya.

“Lelah tapi aku tidak apa-apa,“katanya lembut sambil menggenggam tangan Asahi.

“Kau mau tidur sebentar? Masih ada waktu sekitar 1 jam sebelum kita harus pergi dari sini. Tidurlah sebentar.”

Asahi mengelus-elus pelan surai hitam Jaehyuk. Tak berapa lama, Jaehyuk meringkuk dan terlelap. Asahi tersenyum kecil memandangi Jaehyuk yang sudah tertidur pulas. Mengagumi wajah tampan dan sempurna itu.

Asahi melihat ke sekelilingnya. Member lainnya juga tampak kelelahan sementara Jeongwoo dan Junghwan sibuk dengan game di handphonenya. Asahi beranjak dari duduknya berusaha mencari kesibukan. Mencari beberapa lembar kertas kemudian mulai menggambar. Asahi menggambar beberapa doodle lucu, sesekali terkekeh kecil melihat hasil karyanya. Bosan dengan kegiatannya, Asahi beranjak keluar dari ruang ganti. Meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Tiba-tiba muncul sebuah ide di otaknya.

Asahi berjalan cepat menuju convenience store yang berada di dalam gedung SBS. Melirik jam tangannya berusaha mengejar waktu. Ia tidak ingin Jaehyuk terbangun dan tidak melihat dirinya. Sudah dipastikan Jaehyuk akan khawatir lagi. Asahi meraba kantung celananya kemudian menepuk dahinya. Ia lupa membawa handphonenya. Asahi mempercepat langkahnya berusaha berlomba dengan waktu.

Sementara di ruang ganti Jaehyuk terbangun dari tidurnya. Meregangkan tubuhnya dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Matanya tertuju kepada beberapa lembar kertas di sebelahnya kemudian tersenyum kecil menampakkan barisan gigi rapinya.

'Sedari tadi Asahi menggambar eoh? Pasti dia bosan sekali,' batinnya.

Jaehyuk melihat ke sekelilingnya berusaha menemukan Asahi tapi pemuda manis itu tidak ada dimana-mana. Jaehyuk berdiri kemudian menghampiri Jeongwoo dan Junghwan yang masih berkutat dengan gamenya.

“Apakah kalian berdua melihat Asahi?”

Junghwan mengangkat kepalanya, menunda gamenya sebentar.

“Bukankah sedari tadi Asahi Hyung bersama dengan Jaehyuk Hyung?” tanyanya bingung.

Seketika Jaehyuk membeku. Asahi kemana? Jaehyuk mengambil handphone dari saku celananya, menekan beberapa nomor, berusaha menghubungi pemuda manis yang lagi-lagi luput dari pandangannya hari ini. Dering ringtone terdengar dari atas meja rias.

Shit! Asahi tidak membawa handphonenya.

Jeongwoo yang menyadari Hyung kesayangannya ini mulai dirasuki rasa panik, segera menghentikan permainannya.

“Hyung, tenanglah sedikit. Mungkin Asahi Hyung hanya keluar sebentar. Kita cari sama-sama ya,” ajaknya.

Manik Jaehyuk tampak tidak fokus. Buku jarinya memutih tatkal menggenggam terlalu erat handphonenya. Rasa khawatir dan sedikit rasa takut merasukinya. Terkesan overprotektif tapi dengan tingkah Asahi dan kecerobohannya menurutnya tidaklah berlebihan jika dirinya sekhawatir ini.

Jaehyuk ingat beberapa hari lalu Asahi melukai lututnya sendiri ketika sedang bercanda dengan Ruto. Belum lagi beberapa minggu lalu Asahi terkena flu karena tidak mengeringkan rambutnya setelah mandi. Hal-hal seperti inilah yang membuat Jaehyuk selalu khawatir dan overprotektif pada pemuda manis itu.

“Aku akan mencarinya. Kau di sini saja Jeongwoo-yah. Seandainya Asahi kembali ke sini ketika aku mencarinya, cepat hubungi aku,ya.”

Dengan cepat Jaehyuk keluar dari ruang ganti saat dirinya menemukan Asahi sedang berlari kecil di koridor. Jaehyuk berjalan cepat menghampiri Asahi, menariknya pelan ke sudut, jauh dari kerumunan orang. Manik mereka bertemu. Jaehyuk menarik Asahi ke dalam pelukannya.

“Kau kemana saja? Aku khawatir sekali,“lirih Jaehyuk.

“Jaehyukkie, maaf.. tadi aku keluar sebentar dan lupa membawa handphoneku,“jelasnya pelan menyadari wajah khawatir Jaehyuk.

Jaehyuk menghela napasnya pelan.

“Demi Tuhan Sahi-ya aku khawatir sekali melihat kau tidak ada di ruang ganti. Kenapa tidak membangunkanku jika memang ingin membeli sesuatu?” tanyanya lembut. Berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidaklah marah.

Marah? Terhadap Asahi? Satu hal yang tidak mungkin bisa Jaehyuk lakukan. Mau berapakali pun Asahi membuatnya khawatir, Jaehyuk tidak akan pernah kesal apalagi marah.

“Kau sangat lelah Jaehyukkie. Aku tidak mau membangunkanmu. Aku bukan anak kecil, Jaehyuk-ah. Aku juga bisa melakukannya sendiri.”

Jaehyuk mempersempit jarak di antara keduanya. Merengkuh tubuh kurus itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggung sempit itu lembut.

“Aku tahu kau bukan anak kecil, Sahi-ya. Aku tahu kau dapat melakukannya sendiri. Tapi, selama aku bisa, aku ingin selalu berada di sampingmu. Aku hanya khawatir. You and your clumsiness. Aku khawatir jika sesuatu terjadi padamu,” lirihnya pelan kemudian mendaratkan kecupan singkat pada dahi Asahi.

Asahi menghela napas panjang, melepaskan pelukan Jaehyuk.

“Aku hanya pergi untuk membeli beberapa makanan kecil untuk member. Dan a-aku.. membelikan cokelat kesukaanmu.”

Asahi mengeluarkan sekotak cokelat kesukaan Jaehyuk dari kantung yang dibawanya.

“Jaehyuk selalu menjagaku, memberikan apapun yang aku butuhkan. Aku.. juga ingin memberimu sesuatu. Kau.. juga harus mengkhawatirkan dirimu sendiri. Melihat kau sangat kelelahan hari ini juga membuatku khawatir, Jaehyukkie,” lirihnya pelan dengan kepala tertunduk dalam.

Jaehyuk tersenyum kecil. Pandangannya melembut. Menarik dagu Asahi, menyejajarkan pandangan mereka.

“Gomawo, Sahi-ya sudah khawatir padaku dan membelikanku cokelat. Aku senang sekali kau membelikanku cokelat kesukaanku. Maafkan aku juga, eum? Membuatmu khawatir. Aku baik-baik saja. Lelah memang but I am okay.”

Jaehyuk meyakinkan Asahi dirinya baik-baik saja. Selelah apapun dirinya, Asahi tetap menjadi prioritasnya.

“Sahi-ya..”

Asahi kembali menatap manik bening Jaehyuk.

“Meskipun aku lelah atau sibuk sekalipun, aku tetap ingin selalu melindungi dan menjagamu. Aku tahu kau bisa menjaga dirimu sendiri. Tapi, ada kalanya bagiku, kau seperti anak kecil. Bukan karena kau tidak dewasa. Nyatanya kau memiliki pemikiran dan cara pandang yang dewasa. Aku menyukainya ketika bisa bertukar pikiran denganmu, menceritakan semua masalahku, mencari solusinya bersama.

It's just your nature, Sahi-ya. Dirimu yang selalu bercanda dengan member, dirimu yang selalu mau ketika diajak bermain oleh maknae line. Dirimu yang selalu bertingkah lucu. Dan aku menyukai semua itu. Hanya saja, sisimu yang seperti itulah yang membuatku selalu ingin menjagamu. Aku harap kau tidak keberatan akan hal itu. Aku harap kau mengerti.”

Jaehyuk menatap Asahi sungguh. Senyum kecil menghiasi bibir tipis Asahi. Tangan mungilnya menangkup pipi Jaehyuk.

“Aku tidak merasa keberatan sama sekali. Aku senang ketika kau selalu menjagaku. Jaehyuk yang selalu berhati baik, yang selalu peduli terhadapku dan lainnya. Ingat fans memberikanmu julukan apa karena hati baikmu? Angel. Apa yang mereka katakan benar adanya. Jaehyuk seperti malaikat. But, they don't know that you are my personal angel dan aku sangat bersyukur memilikimu.”

Asahi mengucapkan setiap kata dengan lembut kemudian memeluk Jaehyuk. Erat. Menautkan tangan keduanya. Ia sangat menyayangi Jaehyuknya. His personal angel.

Jaehyuk melepaskan pelukannya. Menatap manik indah milik Asahi.

“And as your personal angel, aku beruntung dan bahagia sekali ditugaskan menjaga sweet and cute human being like you, Hi-kun. My sweet and cute Hi-kun,” ucapnya lembut kemudian mengecup singkat kening Asahi, membawa pemuda mungil nan manis ini ke dalam pelukan eratnya.

End.

Title: Baby Breath

Pairing: Jaehyuk/Asahi

Storyline:

Seoul, 2012..

Jaehyuk memandangi rumah di seberangnya dari jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Sepertinya rumah bercat krem yang berada tepat di seberang rumahnya akan ada penghuni baru. Sebuah mobil sedan hitam terparkir di depan halaman rumah. Di belakangnya terdapat mobil box yang sepertinya berisi barang-barang mereka.Tak lama sepasang suami istri dan seorang anak laki-laki kira-kira seumuran dengannya turun dari mobil hitam tersebut. Jaehyuk memicingkan matanya berusaha melihat lebih jelas anak laki-laki itu. Kulitnya pucat dengan pipi sedikit merona karena terkena sinar matahari. 

“Jaehyukkie sedang melihat apa?”

Ibunya menghampirinya kemudian mengarahkan pandangannya pada objek yang sedang dilihat anak semata wayangnya ini.

“Kau melihat tetangga baru kita rupanya. Mereka berasal dari Jepang, tapi sudah setahun ini tinggal di Korea lalu memutuskan untuk pindah ke area perumahan ini.”

Jaehyuk menoleh ke arah Ibunya.

“Eomma sudah berkenalan dengan mereka?”

Ibunya mengangguk kecil.

“Tadi Eomma sedang berkebun di luar lalu melihat kedatangan mereka. Jadi Eomma menyapa mereka. Kau tau? Anak laki-lakinya manis sekali. Ia seumuran denganmu. Cobalah untuk mengajaknya berkenalan, ya. Pasti sulit pindah ke lingkungan baru karena tidak mengenal siapa-siapa. Ajaklah ia bermain,” Ibunya mengacak rambut hitam Jaehyuk kemudian meninggalkan kamar Jaehyuk.

“Cepat bantu Eomma menyiapkan meja makan. Sebentar lagi Appa-mu pulang.”

Jaehyuk mengangguk sekilas kemudian kembali mengarahkan pandangannya kembali ke rumah di seberangnya. Menatapnya sebentar kemudian menghampiri Ibunya.

***

Hari berikutnya Jaehyuk melihat anak laki-laki manis itu berjalan sendirian ke sekolah. Dilihat dari seragamnya sepertinya mereka belajar di sekolah yang sama. Ini pasti hari pertamanya. Hm, pasti menyedihkan juga ya harus berpisah dengan teman-teman di sekolahnya yang lama. Jaehyuk berlari kecil, berusaha menyejajarkan langkahnya dengan anak laki-laki itu. 

“Hai..,” sapa Jaehyuk dengan senyum lebarnya.

Sementara yang disapa hanya menatapnya bingung.

“Aku tetangga barumu. Rumahku tepat di seberang rumahmu,” jelas Jaehyuk.

“Namaku Jaehyuk. Yoon Jaehyuk.”

Jaehyuk menyodorkan tangan kanannya. Anak laki-laki manis itu menatapnya kemudian menjawab singkat.

“Hamada Asahi. Itu namaku.”

“Kita bersekolah di sekolah yang sama. Lihat seragam yang kita kenakan sama.”

Anak laki-laki manis itu melihat seragam Jaehyuk kemudian mengangguk kecil.

“Ini hari pertamamu?”

Asahi mengangguk lagi.

'Sepertinya Asahi ini irit bicara. Aku seperti bicara dengan tembok saja,' kata Jaehyuk dalam hati.

“Gugup?”

Asahi menggeleng.

Ya Tuhan daritadi anak ini hanya menggeleng dan mengangguk.

Jaehyuk memutuskan untuk diam. Sepertinya Asahi memang tipe yang bicara seperlunya. Jaehyuk berjalan di sampingnya dalam diam sambil sesekali mencuri pandang ke arah Asahi.

Manis. Lucu. Tapi sayang, pendiam sekali.

“Sahi-ya. Sepulang sekolah mau main ke rumahku? Eommaku akan membuat kue coklat hari ini.”

Asahi menggelengkan kepalanya.

“Aku harus membantu ibuku. Menjaga toko bunga miliknya.”

“Ibumu punya toko bunga? Hm, Asahi menyukai bunga juga kah?”

“Aku suka. Aku senang ketika harus membantu Ibuku karena bisa melihat berbagai jenis bunga. Melihat pengunjung tersenyum manis membayangkan akan memberikan buket bunga kepada orang yang mereka kasihi,” jawab Asahi sambil tersenyum.

Senyum pertama yang dilihat Jaehyuk hari ini. Dan sungguh senyuman itu manis sekali. Apa yang dikatakan Asahi tadi juga kata-kata terpanjangnya hari ini.

“Bunga apa yang paling kau sukai?”

Asahi menoleh ke sampingnya. Melihat wajah Jaehyuk dengan lebih jelas.

“Baby breath. Aku suka bunga baby breath.”

Jaehyuk memiringkan kepalanya. Baby breath? Baru pertama kali ia mendengar nama bunga seperti itu.

***

“Asahi!”

Jaehyuk membuka pintu kaca toko bunga dan mendapati Asahi sedang terduduk sendiri di sana. Di tangannya terdapat segenggam bunga baby breath. Kesukaan Asahi.

Sejak pembicaraan pertamanya dengan Asahi hari itu, Jaehyuk semakin dekat dengan Asahi. Setiap pulang sekolah Jaehyuk akan pergi ke toko bunga milik Ibunya Asahi dan menemani Asahi sampai sore hari. Mereka akan mengerjakan tugas bersama di sana.

Asahi tersenyum kecil melihat Jaehyuk. Setiap hari Asahi akan menunggu kedatangan teman yang baru dikenalnya beberapa bulan ini. Asahi tidak memiliki banyak teman karena Asahi terlalu pendiam. Banyak yang malas berteman dengannya karena Asahi memang tidak banyak bicara.

Tapi Jaehyuk berbeda. Meskipun Asahi tidak banyak bicara, Jaehyuk tidak pernah berhenti bercerita. Jaehyuk akan selalu menemaninya di kelas, mengajaknya ke kantin, dan menemaninya menjaga toko bunga milik Ibunya ini. Jaehyuk tidak pernah pergi dari sisi Asahi. Itulah yang membuat Asahi nyaman. Dekat dengan Jaehyuk benar-benar terasa nyaman dan menenangkan.

“Asahi sudah makan siang?”

Lamunannya buyar mendengar suara lembut Jaehyuk.

“Aku belum makan siang. Aku menunggumu untuk makan bersama. Lihat! Aku beli 2 kotak bento untuk kita.”

Jaehyuk tersenyum lembut, mengacak surai halus Asahi dan mencubit pelan pipi mulus itu.

“Kau ini menggemaskan sekali, ya. Ayo makan bersama. Nanti kau kelaparan.”

Asahi tertunduk malu kemudian memegang pipinya yang tadi dicubit.

'Perasaan apa ini? Apa aku menyukai Yoon Jaehyuk?' tanya Asahi dalam hati. Menggelengkan kepalanya tanpa sadar untuk mengusir pikiran anehnya.

“Kau kenapa? Kenapa tiba-tiba menggelengkan kepala seperti itu?” Jaehyuk menatap bingung.

“Ah. Ti-tidak apa-apa. Mari makan~”

Jaehyuk tersenyum kecil melihat tingkah manis makhluk menggemaskan di sebelahnya ini. Selama bisa, Jaehyuk ingin selalu berada di hidup Asahi. Melindunginya. Menjadi teman baiknya.

“Sahi-ya,kita harus selalu bersama eum? Apapun yang terjadi.”

“Eum! Selalu bersama.Apapun yang terjadi. Pinky promise?”

Asahi mengulurkan kelingking kanannya. Jaehyuk tersenyum kemudian menautkan kelingking kirinya.

Mungkin ini hanya janji kelingking di antara dua anak laki-laki 11 tahun yang belum tau betapa kerasnya hidup. Tapi janji tetaplah janji. Dan janji harus ditepati kan?

Jaehyuk menatap manik indah milik Asahi. Mengelus surai hitam anak laki-laki manis di depannya ini.

“Jaehyukkie...” Asahi memanggilnya lembut. Memainkan ujung kausnya dengan kepala tertunduk. Tangannya mengambil segenggam bunga baby breath yang sangat disukainya itu. Bunga berwarna putih dengan bentuk bunganya yang kecil.

“Ini untuk Jaehyukkie. Aku sangat menyukai bunga ini. Bunga itu punya arti yang spesial untukku. Sesuatu yang kuanggap spesial ingin aku berikan untuk orang yang spesial juga. Orang yang berharga untukku,” kata Asahi pelan sambil menunduk malu. Ini pertama kalinya dirinya memberi bunga kepada orang lain.

“Baby breath. Bunga kesukaanmu. Indah sama seperti dirimu. Warnanya putih murni sama seperti dirimu yang begitu polos. Kau juga spesial untukku. Teman terbaikku. Aku terima ya bunganya. Akan kusimpan dengan baik.”

Jaehyuk mengambil bunga itu dari genggaman Asahi menghirup wanginya sebentar.

Teman? Cukupkah untuk Asahi jika Jaehyuk hanya menjadi temannya? Asahi tidak bisa menghentikan getaran hatinya setiap kali melihat Jaehyuk. Tapi memangnya dia ini siapa? Bahkan mereka hanya bocah 11 tahun yang bahkan belum mengerti apa itu cinta. Yang penting mereka akan selalu bersama, kan? Janji itu.. pasti dipenuhi, kan?

***

9 tahun kemudian...

Hamada Asahi menatap pemuda di depannya yang sedang seru bercerita.  Sesekali menyesap hot chocolatenya yang mulai mendingin. Mereka janji bertemu di cafe setelah kuliah mereka selesai.

Hm.

9 tahun berlalu dan perasaan Asahi semakin menjadi terhadap pemuda di depannya. Mencintai dalam diam memang tidak enak, ya. Asahi ingin mengatakannya tapi entahlah kata-kata itu tidak pernah terucap. Lidahnya kelu tatkala harus mengungkapkan perasaannya.

Bagaimana jika Jaehyuk tidak punya perasaan yang sama? Persahabatannya selama 9 tahun bisa hancur hanya karena dirinya yang tidak mampu menahan diri. Jadilah Asahi diam. Tidak mau menjadi egoism

Jaehyuk selalu memperlakukannya dengan manis. Tapi, Jaehyuk hanya membahasakan hubungan yang mereka punya sebagai sahabat.

'Kau sahabat terbaikku, Sahi-ya'

Asahi ingat perkataan Jaehyuk 2 hari yang lalu. Sahabat terbaik. Jadi, Asahi harus bagaimana ketika orang yang kau cintai hanya menganggapmu sahabat terbaik?

“Sahi-ya! Apakah kau mendengarkan ceritaku daritadi? Kau seperti tidak di sini. Kau kenapa? Tidak enak badan, eum? Mau pulang saja?”

Jaehyuk menyentuh lengan kurus milik Asahi. Seketika lamunan Asahi menguap begitu saja.

“Ah mianhae. Aku mendengarkan semua ceritamu, kok. Jadi, kau akan membuka usaha apa untuk project rencana bisnismu? Harus yang unik. Agar kau dapat nilai yang bagus.”

Asahi menumpu dagunya pada kedua tangannya yang dilipat. Memandang Jaehyuk yang tampak berpikir sekarang.

“Hm, entahlah. Aku harus membicarakannya lagi dengan kelompokku. Sudah ada beberapa ide tapi mungkin harus dibicarakan lagi.”

Jaehyuk mengangkat bahunya sedikit kemudian menegak habis ice americano yang es nya mulai mencair.

“Sahi-ya, ini kenapa?” tanya Jaehyuk melihat memar di lengan Asahi ketika Asahi menggulung lengan sweaternya yang terlalu panjang.

Asahi memusatkan pandangannya ke arah lengannya yang disentuh Jaehyuk saat ini.

“Hm, kenapa, ya? Mungkin aku tidak sadar terbentur saat mengerjakan art projectku semalam,” jawab Asahi sambil tersenyum singkat.

“Kenapa kau ceroboh sih? Diobati ya di rumah nanti. Jangan didiamkan seperti itu.” Jaehyuk mengelus pelan memar tersebut.

Asahi mengangguk kecil. Kembali memperhatikan memar di lengannya. Seingatnya ia tidak terbentur apapun. Asahi mengedikkan bahunya kemudian mengarahkan pandangannya kembali pada Jaehyuk.

Pemuda itu sedang menatap ke arah luar. Memperhatikan beberapa orang yang berlalu lalang di depan kafe. Langit mulai berubah menjadi oranye. Cahaya matahari sore yang menyorot wajah Jaehyuk membuatnya terlihat beribu kali lebih tampan.

Jaehyuk yang merasa ditatap oleh pemuda di depannya ini memusatkan maniknya pada Asahi. Asahi langsung menjadi gugup dan menunduk. Berpura-pura mengaduk hot chocolate di cangkirnya. Jaehyuk tersenyum kecil melihat tingkah Asahi. Lucu.

“Kau ingin pulang, Sahi-ya? Besok kau ada ujian kan? Pulang saja, yuk biar kau bisa belajar.”

Asahi mengangguk kemudian mengambil tas hitamnya. Mengikuti Jaehyuk dari belakang. Memandangi punggung itu. Ingin rasanya memeluk dan bersandar di sana. Tapi, Asahi tidak bisa..

***

Asahi berbaring di kamar bercat putih miliknya. Dari balik jendela kamarnya, rintik hujan turun perlahan membasahi bumi. Padahal ia ada janji dengan Jaehyuk hari ini tapi tiba-tiba saja Jaehyuk harus kerja kelompok dan membatalkan janji mereka.

Asahi menghela napas. Bosan. Untuk mengurangi kebosanannya, Asahi mengambil sketchbook miliknya. Kalian bisa tebak sendiri apa isinya. Dari ratusan halaman di sana, setengahnya adalah sketch wajah Jaehyuk. Asahi tersenyum kecil melihat beberapa sketsa wajah orang yang amat disukainya itu. Jaehyuk ketika sedang tertidur di taman universitas, Jaehyuk yang sedang mengerjakan tugas, Jaehyuk yang sedang tertawa. Asahi tersenyum melihat berbagai ekspresi Jaehyuk yang digambarnya.

Tangannya sibuk bergerak di atas kertas putih. Otaknya berusaha menangkap memori seminggu yang lalu ketika mereka pergi ke cafe bersama. Ketika cahaya matahari sore melingkupi wajah tampan Jaehyuk. Sesekali menghapus guratan yang ia rasa kurang sempurna.

Tes.

Darah.

Mata Asahi membulat melihat tetesan berwarna merah pekat di atas kertas gambarnya. Menyentuh hidungnya.

Merah.

Darah itu berasal dari sana.

'Aku kenapa?' tanyanya dalam hati.

Asahi dengan cepat ke kamar mandi, membasuh sisa darah di hidungnya. Menatap wajah pucatnya di kaca dengan ukuran cukup lebar yang berada di depan wastafelnya. Asahi melirik lengannya yang dipenuhi memar. Pemuda kurus itu membuka sedikit kausnya dan melihat beberapa memar juga menghiasi daerah sekitar pinggang dan tulang iganya. Sudah setiap hari Asahi mengobati memar-memar yang entah darimana asalnya itu tapi tidak menghilang juga. Belakangan ini tubuhnya juga cepat lelah.

Asahi membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Nama Jaehyuk tertera di sana. Senyumnya merekah Buru-buru Asahi menjawab panggilan itu.

“Jaehyukkie!” seru Asahi senang.

“Senang sekali eoh aku menghubungimu? Hehe. Hi-kun, apakah kau sedang sibuk? Bisakah kau menjemputku? Hujan semakin deras dan aku lupa membawa payung.”

Asahi memperhatikan hujan yang semakin deras.

“Berikan alamat cafenya. Aku akan ke sana. Tunggu aku, ya. Jangan menerobos hujan. Nanti sakit. Aku berganti pakaian dulu.”

“Gomawo, Sahi-ya. Jangan lupa pakai baju tebal ya. Udara dingin. Maaf merepotkanmu.”

“Tidak pernah merepotkan sama sekali. Aku siap-siap, ya. Sampai bertemu,” Asahi menjawab dengan senyum kecil walaupun Jaehyuk tidak dapat melihatnya.

Sementara pemuda tampan asli Korea di seberang sana ikut tersenyum juga mendengar jawaban Asahi.

Asahi. 9 tahun mereka bersahabat. Tidak pernah ada hari yang tidak mereka lewati bersama. Asahi penting untuk Jaehyuk. Tidak. Tidak hanya penting. Berharga. Kata itu lebih tepat.

Jaehyuk menyukai semua yang ada pada diri Asahi. Kulit putih pucatnya yang halus seperti bayi, surai legamnya, dimple di kedua pipinya, bibir tipis yang terlihat sangat manis ketika tersenyum, suara lembutnya, wajah malunya, bahagianya, sedihnya. Jaehyuk sudah pernah melihat semuanya.

Jaehyuk selalu mengatakan Asahi adalah sahabat terbaiknya. Well, di hatinya yang paling dalam ia ingin lebih dari itu. Tapi, keadaan tidak semudah itu. Jaehyuk takut merusak persahabatannya. Namun yang pasti keadaannya menjadi anak semata wayang keluarga Yoon membuat bebannya berkali-kali lipat. Apa kata orang tuanya nanti? Jaehyuk tahu orang tuanya akan mendukungnya tapi Jaehyuk berat hati. Sebagai anak tunggal, hanya Jaehyuk harapan kedua orang tuanya untuk mendapatkan penerus.

Jaehyuk menghela napas kasar. Terdiam. Menyesap kopi hitam panas di depannya. Teman sekelompoknya sudah pulang 15 menit yang lalu. Karena Jaehyuk tidak membawa payung dan rumah mereka tidak searah jadilah Jaehyuk harus merepotkan Asahi untuk menjemputnya. Jaehyuk meletakkan kedua tangannya di sisi cangkir berusaha menyalurkan kehangatan dari kopi panasnya saat pemuda yang sangat dikenalnya berlari kecil dari ujung jalan. Senyum menghiasi wajah manis itu. Jaehyuk segera berlari keluar. Tangan kirinya membawa 1 cup hot chocolate kesukaan Asahi.

“Ini minumlah. Untuk menghangatkan tubuhmu. Sini, aku yang pegang saja payungnya.” Jaehyuk mengambil payung dari tangan Asahi. Menaungi mereka berdua sambil tangan kanannya merangkul pundak Asahi. Berusaha membawa pemuda yang lebih pendek darinya itu lebih dekat ke tubuhnya. Ia takut Asahi kedinginan.

“Gomawo sudah menjemputku. Aku merepotkanmu.”

“Sudah dibilang tidak merepotkan. Aku senang bertemu denganmu. Harusnya kan kita pergi bersama hari ini tapi kau tiba-tiba harus mengerjakan tugas kelompokmu,” Asahi menjawab dengan wajah cemberut.

Jaehyuk mengusak rambut halus Asahi sambil tertawa kecil.

“Maafkan aku, ne? Baiklah. Untuk menebus kesalahanku kita pergi beli bibit bunga baby breath ya. Aku sudah menjanjikan hal ini dari seminggu lalu tapi selalu gagal. Kita ke Yangjae Flower market. Lihat bunga di sana dan beli bibit baby breath. Kau mau?”

Mata Asahi berbinar, menganggukan kepalanya dengan semangat sambil melompat kecil.

“Mau!!!! Aku senang sekali. Gomawo, Jaehyukkie!” Asahi bertepuk tangan kecil dan tanpa sadar memeluk leher Jaehyuk. Jaehyuk tersentak sebelum akhirnya melingkarkan tangan kanannya pada pinggang ramping Asahi. Asahi juga kaget dengan relfleknya yang begitu saja memeluk Jaehyuk tapi biarlah seperti ini. Sekali saja.

“Kau semakin kurus, Sahi-ya. Apakah kau makan dengan baik? Kau tidak lupa makan karena tugasmu yang banyak bukan main itu kan?”

“Benarkah? Sepertinya aku makan dengan baik. Kan kau yang selalu mengingatkanku untuk makan. Siapa yang rela datang malam-malam ke rumah hanya untuk mengantarkan makanan karena kau tahu akan terbangun sampai pagi untuk menyelesaikan tugasku? Hanya kau Yoon Jaehyuk.”

Jaehyuk tertawa kecil menampakkan deretan gigi putihnya.

“Jaga kesehatan ya. Kita punya kesibukan masing-masing di perkuliahan. Tapi kau harus menjaga kesehatanmu. Jika ada apa-apa, katakan semuanya padaku,eum?”

Jaehyuk menatap lembut pemuda di sampingnya ini.

Asahi mengangguk kecil.

“Ne.. Jaehyuk juga ya.”

Jaehyuk tersenyum manis kemudian meraih tangan kiri Asahi dan memasukkannya ke dalam kantung coat hitam yang dikenakannya.

“Tanganmu dingin sekali. Biarkan seperti ini agar tetap hangat.”

Asahi tersipu malu. Wajahnya tertunduk dalam.

Apa sebenarnya kata yang tepat menggambarkan hubungannya dengan Yoon Jaehyuk? Friends don't do the things we do, right? More than friends, less than lovers?

***

YangJae Flower Market...

Asahi berlarian kecil ke sana kemari melihat berbagai macam bunga di flower market ini. Memang flower market ini terbesar dan terlengkap di Korea. Berbagai jenis bunga dan bibit ada di sini. Bagi Asahi tempat ini seperti surga.

Jaehyuk yang mengikutinya dari belakang hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Asahi. Menggemaskan sekali.

“Jaehyuk, kemari!” panggil Asahi semangat. Tangannya melambai-lambai menyuruh Jaehyuk untuk menghampirinya.

“Kau ini semangat sekali. Jangan berlarian seperti itu. Nanti jatuh.”

Asahi tidak memperdulikan perkataan Jaehyuk. Matanya terfokus pada ragam bunga warna warni di depannya. Sesekali Asahi menyentuhnya dan menghirup wanginya.

“Indah sekali, Jaehyuk-ah. Lihat mereka cantik sekali. Aku ingin beli semuanya.” Asahi mengagumi bunga-bunga di hadapannya dengan senyum merekah.

“Iya. Indah dan cantik,” jawab Jaehyuk pelan namun maniknya tidak terfokus pada hamparan bunga di depannya melainkan pada satu objek. Hamada Asahi. Indah dan cantik. Sempurna. Sementara yang ditatap tidak menyadarinya sama sekali. Terlalu seru dengan dunianya.

“Jaehyukkie, ayo kita beli bibit bunganya. Nanti kita tanam bersama ya. Kau harus membantuku.”

Jaehyuk mengangguk pasrah. Apapun untuk pemuda manis ini. Jaehyuk akan melakukan apapun asal Asahi senang.

“Kau membeli banyak sekali.”

Jaehyuk hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Asahi sudah membawa satu kantung penuh dengan berbagai jenis bibit bunga.

“Biarin. Aku beli bibit bunga forsythia, aster, carnation, daffodil, gardenia dan tentu saja baby breath. Senang sekali!” Asahi melompat kegirangan.

“Itu mau ditanam semua?”

Jaehyuk bingung Asahi beli bibit sebanyak itu. Apakah dia mau menjadikan rumahnya kebun bunga?

“Iya. Mau ditanam semua. Nanti Jaehyukkie yang membantuku. Ah! Aku juga beli beberapa untuk eommamu. Eommamu suka berkebun juga kan?” Asahi tersenyum manis sekali. Kedua mata itu membentuk bulan sabit.

Jaehyuk mengelus sayang surai hitam Asahi. Malaikat tanpa sayap. Ternyata hal itu benar adanya. Pemuda manis ini indah luar dalam. Tidak hanya wajahnya tapi juga hatinya.

“Gomawo, Sahi-ya. Pasti eommaku senang sekali. Nanti kita tanam bersama ya. Nanti kita juga bisa melihat bakal bunga-bunga ini tumbuh dan bermekaran.”

Asahi mengangguk senang.

“Yuk, pulang. Sebentar lagi hari gelap. Nanti kau dicari orang rumah.”

Jaehyuk menggenggam erat tangan kurus Asahi. Menariknya pelan untuk menyejajarkan langkah mereka.

Mereka berjalan menyusuri jalan kota Seoul yang diterangi lampu-lampu ibukota. Sinar rembulan menerangi wajah Asahi. Membuatnya terlihat semakin manis.

“Sahi-ya. Jangan pernah pergi dari hidupku ya. Apapun yang terjadi.”

Asahi menatap dalam Jaehyuk.

“Aku masih ingat janji kita, Jaehyukkie. Selalu bersama.”

Asahi menunjukkan senyum manisnya. Jaehyuk menarik Asahi ke dalam pelukannya. Meletakkan dagunya di pucuk kepala Asahi, menghirup wangi rambut pemuda manis itu. Membelainya lembut.

“A-aku menyayangimu,“kata-kata itu lolos begitu saja dari mulut Asahi. Asahi mengatupkan bibirnya kala menyadari apa yang baru saja ia katakan.

Diam. Tidak ada jawaban.

Asahi melepaskan pelukan mereka dan menatap Jaehyuk yang melihatnya dengan pandangan terkejut.

“Aku menyayangi Jaehyuk karena kau sahabat terbaikku,” kata Asahi lagi.

Jaehyuk masih diam. Hatinya bergemuruh. Sahabat? Haha Jaehyuk ingin tertawa. Tanpa pikir panjang Jaehyuk menarik dagu Asahi, menarik pinggang ramping Asahi mendekat padanya, mengecup bibir manis itu lama.

Asahi tersentak. Matanya membulat namun perlahan menutup matanya. Menikmati kecupan yang diberikan Jaehyuk. His first kiss.

Jaehyuk melepaskan tautan bibir keduanya. Menatap manik indah Asahi. Pipinya memerah karena malu.

“Sahabat tidak melakukan hal seperti ini, Sahi-ya. Aku tidak peduli lagi dengan pertahananku selama ini. 9 tahun aku menahan diriku. Banyak hal yang aku pertimbangkan. Tapi, malam ini, I let my guards down. Aku... tidak mau menjadi sahabat terbaikmu. Tidak lagi. Aku ingin lebih dari itu. Aku.. mencintaimu. Dan aku mohon katakan jujur kepadaku tentang perasaanmu.” Jaehyuk menatap tajam pemuda di depannya ini. Ia mengatakan semuanya. Jaehyuk tidak peduli dengan statusnya sebagai anak tunggal. Tidak peduli soal penerus atau apapun itu. Ia yakin orang tuanya pasti mengerti dan mendukungnya.

Asahi menghela napas panjang. Membalas tatapan tajam Jaehyuk, dengan cepat menarik kepala Jaehyuk dan mencium dalam bibir Jaehyuk. Melumat bibir tebal itu. Manis. Selama 9 tahun bersama Jaehyuk, ini adalah momen terindah.

“Kau sudah tahu jawabannya,” jawab Asahi pelan sambil melepaskan tautan keduanya.

Jaehyuk tersenyum lebar. Hatinya penuh. Bahagia. Itu yang ia rasakan. Jantungnya berdetak tak karuan. Jaehyuk menangkupkan tangannya di pipi Asahi.

“Aku akan membahagiakanmu.”

Jaehyuk mendekap Asahi ke dalam pelukannya. Sungguh ia tidak akan melepaskan pemuda di dekapannya ini.

Malam ini menjadi saksi kisah mereka berdua. Kisah cinta yang diharapkan akan terus indah.

***

“Chronic myeloid leukemia”

Bagai petir di siang bolong. Tiga kata itu meruntuhkan dunia seorang Hamada Asahi. Ucapan dokter di depannya ini menghancurkan dunia Asahi. Sesak. Waktu terasa berhenti.

Leukemia katanya? Apa-apaan ini? Jadi karena inikah ia sering merasa lelah. Belum lagi memar tidak jelas di sekujur tubuhnya. Beberapa hari yang lalu Asahi mimisan parah. Demam setiap malam. Jaehyuk memaksanya untuk ke dokter tapi karena ia sibuk hari ini, jadilah Asahi harus pergi sendiri.

“Salah satu jenis leukemia yang jarang ditemukan. Penderitanya biasanya tidak menyadari memiliki penyakit ini karena kebanyakan asymptomatic atau tanpa gejala sampai penyakit ini berkembang lebih jauh.”

Air mata mengalir deras dari pelupuk mata Asahi. Apakah ia akan cepat mati? Bagaimana orang tuanya? Bagaimana Jaehyuknya? Bukankah mereka sudah berjanji? Kenapa Asahi yang harus mengingkarinya?

“Waktuku tinggal berapa lama lagi?” tanya Asahi. Singkat dan jelas.

“Asahi-ssi. Aku bukan Tuhan.”

“Ani.. Katakan saja. Dengan keadaanku sekarang, berapa lama waktu yang aku punya?” Asahi meremas kemeja birunya. Berusaha menahan isakannya.

“6 bulan, paling lama 1 tahun. Tapi dengarkan aku. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Masih banyak pengobatan yang bisa kita lalukan. Kita bisa mulai kemoterapi di saat kau siap.”

“Jika aku melakukan itu semua, apakah aku akan sembuh?” tanya Asahi penuh harap.

Dokter dengan name tag Park Yeon Seok itu melepas kacamatanya.

“Asahi-ssi. Satu-satunya treatment yang berpotensial untuk menyembuhkan penyakit ini adalah dengan transplatasi sum-sum tulamg belakang. Namun itupun butuh waktu lama untuk mencari donor yang cocok. Dan masih ada beberapa efek samping lainnya. Jadi, aku harap kau mau mencoba pengobatan yang lain dulu, yang lebih less invasive.”

Asahi memejamkan matanya kemudian menggelengkan kepalanya.

“Aku tidak bisa menjawab sekarang. Aku.. permisi,” ucap Asahi kemudian berdiri dan menundukkan tubuhnya dan berpamitan.

Tubuh Asahi merosot. Tangisannya pecah. Meremas rambutnya frustasi. Ia butuh Jaehyuknya. Tapi apakah ia sanggup melihat wajah sedih Jaehyuknya jika mengatakan segalanya? Jaehyuknya yang baik, yang manis, yang selalu membuatnya tertawa. Asahi tidak pernah membayangkan hal ini terjadi padanya. Asahi harus meninggalkan orang-orang yang disayanginya.

Di sela tangisnya, ponselnya berbunyi. Nama Jaehyuk tertera di sana. Asahi menggigit bibirnya. Kenapa Jaehyuk harus menghubunginya sekarang? Asahi menarik dan membuang napasnya berusaha menenangkan dirinya. Menghapus jejak air mata yang tersisa dan menjawab panggilan pria kesayangannya itu.

“Halo, Jaehyukkie!“sapanya girang.

Pura-pura, hm? Padahal air matanya mendesak untuk keluar.

“Asahi sudah selesai ke dokternya? Mau aku jemput?”

“Sudah selesai. Tidak perlu dijemput, Jaehyukkie. Aku mau ke toko bunga Ibuku sebentar. Kau pulang saja langsung ke rumah. Nanti kita bertemu di tempat biasa, ya.”

Mana bisa Asahi bertemu dengan Jaehyuk dalam keadaan seperti ini. Apa yang harus dikatakannya pada Jaehyuk.

Asahi mencoba menguatkan kakinya untuk berdiri. Memeluk tubuhnya sendiri dengan kepalanya yang tertunduk. Air mata terus mengalir dari mata indahnya. Tidak peduli dengan beberapa orang yang memandang aneh ke arahnya.

Leukemia?

6 bulan paling lama 1 tahun?

Sesingkat itukah? Jika waktumu di dunia sudah digariskan, apa yang akan kau lakukan agar setiap detiknya bermakna?

***

Asahi memandang langit malam melalui jendela besar yang berada di loteng rumahnya. Di rumahnya terdapat ruang yang lumayan besar di bagian paling atas. Di sana terdepat jendela besar dimana langit terlihat jelas di sana. Kala malam datang dan ia sulit tidur, Asahi akan ke tempat ini untuk memandang bintang jika langit cerah.

Ruangan ini penuh dengan lukisan dan sketsa hasil karya tangan Asahi. Setiap sudutnya terdapat kanvas, cat dengan banyak warna dan kertas-kertas bertebaran. Terdapat beberpa figura foto di atas meja kayu tempat biasa Asahi menggambar. Sederetan foto-fotonya dari kecil hingga dewasa berbaris rapi di sana. Fotonya dengan keluarganya, dengan teman-temannya di Jepang, dan dengan Yoon Jaehyuk.

“Hi-kun...,” panggil seseorang lembut.

Asahi berbalik ke arah sumber suara. Menemukan pemuda yang dicintainya berdiri di sana dengan segelas cokelat hangat dan selimut kecil. Ini adalah tempat Jaehyuk dan Asahi biasa menghabiskan waktu bersama jika keduanya malas pergi keluar.

“Jaehyukkie.” Asahi tersenyum lembut. Menerima segelas cokelat hangat dari tangan Jaehyuk.

“Hari ini agak dingin. Pakai selimut ya. Nanti sakit.” Jaehyuk menautkan selimut kecil di pundak Asahi.

'Aku memang sudah sakit, Jaehyukkie dan aku tidak tahu bagaimana mengatakannya padamu,' lirihnya dalam hati.

Asahi tersenyum kecil. Pandangannya kembali terpusat ke langit malam itu.

“Tidak ada bintang sama sekali hari ini,” ucap Asahi pelan sambil menyeruput cokelat hangatnya.

Jaehyuk ikut memandang langit malam itu lalu mengangguk setuju.

“Jaehyukkie.. kapan kita akan menanam semua bibit bunga yang kita beli beberapa waktu lalu?” tanya Asahi melihat ke arah Jaehyuk.

“Hmm.. Belakangan ini aku sedang sibuk dengan project kuliahku. Jika nanti ada waktu, kita langsung tanam ya. Tidak apa-apa kan?” Jaehyuk mengelus surai hitam Asahi.

'Tapi waktu adalah hal yang tidak kupunya, Jaehyukkie' lirih Asahi lagi dalam hati.

Asahi memberikan senyum manisnya.

“Tidak apa-apa, kok. Jika Jaehyuk sudah sempat kita tanam bersama.”

Jaehyuk meletakkan kepala Asahi di pundaknya. Merangkul tubuh kurus pemuda di sebelahnya ini. Asahi memang kurus tapi seingatnya tidak sekurus ini.

“Asahi, kenapa jadi kurus begini? Aku khawatir. Kau sakit? Tidak enak makan? Oh ya aku lupa. Apa kata dokter? Astaga bisa-bisanya aku lupa menanyakan hal yang justru paling penting. Kau tidak mimisan lagi kan hari ini?”

'Kenapa malah ingat? Harusnya lupa saja Jaehyukkie. Aku jadi harus berbohong lagi.' Asahi berteriak dalam hati.

“Aku baik-baik saja. Kata dokter, aku hanya kelelahan. Tapi sudah diberikan obat dan multivitamin,kok. Jangan terlalu khawatir. Aku tidak apa-apa.”

“Bagaimana bisa tidak khawatir? Kau ini kekasihku. Apapun yang terjadi padamu, pasti membuatku khawatir. Baiklah, kalau begitu diminum setiap hari vitaminnya dan makanlah dengan baik,” balas Jaehyuk lembut.

Asahi memeluk pinggang Jaehyuk erat. Membenamkan wajahnya di dada bidang Jaehyuk. Berusaha menahan air matanya yang siap menerobos keluar. Asahi tidak pernah ingin pergi dari sisi Jaehyuk.

“Aku mencintaimu, Yoon Jaehyuk. Aku mencintaimu lebih dulu jauh sebelum kau mencintaiku.”

Jaehyuk tersenyum mendengar ungkapan cinta yang singkat namun hangat.

“Oh benarkah? Haha. Aku lebih mencintaimu, Hamada Asahi.”

Jaehyuk membaringkan tubuhnya di tempat tidur yang cukup besar yang berada di sana. Membawa Asahi ikut berbaring di sebelahnya dan memeluk erat pemuda manisnya. Mengecup kening Asahi lembut dan menatap mata indah itu.

“Kau harus selalu bahagia, Sahi-yaa. Selama ada aku, aku akan membuatmu bahagia.”

Asahi mengecup bibir Jaehyuk singkat.

“Kau juga harus bahagia. Dengan atau tanpa diriku,'' ucapnya lirih. Tangan kanannya menyentuh setiap lekuk wajah Jaehyuk. Matanya. Bulu mata panjangnya. Hidung mancungnya. Bibirnya. Mengagumi ciptaan Tuhan yang sudah terlelap di sampingnya.

“Apa yang harus kulakukan Jaehyukkie? Aku.. tidak bisa menepati janji,“lirihnya. Air mata perlahan menetes dari sudut matanya. Lama kelamaan berubah menjadi isakan kecil. Asahi menggigit bibirnya. Menahan agar isakannya tidak mengganggu Jaehyuk. Melepaskan pelukan Jaehyuk dan memunggunginya.

Tanpa Asahi sadari, Jaehyuk belum benar-benar tertidur dan mendengar perkataan Asahi. Isakan tertahan Asahi juga tak luput dari pendengarannya.

“Sahi-ya.... apa yang kau sembunyikan dariku?” tanyanya tiba-tiba.

Mata Asahi membulat. Kaget setengah mati mendengar pertanyaan Jaehyuk.

“Sahi-ya.. Lihat aku,” lirih Jaehyuk.

Asahi masih diam pada posisinya. Tidak berani melihat wajah Jaehyuk.

“Bukankah seharusnya tidak ada rahasia di antara kita? Bukankah suatu hubungan harusnya demikian? Saling terbuka dan percaya? Apa aku tidak bisa dipercaya? Apa sulit bagi Asahi mengatakan semuanya?“lirih Jaehyuk. Entah kenapa perasaannya tidak enak.

Isakan yang ditahan Asahi pecah juga. Asahi menangis sejadi-jadinya. Memeluk tubuhnya sendiri. Jaehyuk yang mendengarnya ikut menangis juga. Air mata tanpa sadar turun dari kedua matanya.

“Apa Jaehyuk punya salah?”

Asahi membalikkan tubuhnya menghadap Jaehyuk. Menggelengkan kepalanya sambil terisak. Dadanya terasa sesak. Asahi menangkup wajah Jaehyuk.

“Aniya. Jaehyuk tidak salah apa-apa.” Isakan demi isakan keluar membuatnya sulit untuk berbicara.

Jaehyuk menarik Asahi ke dalam pelukannya. Mengusap punggung sempitnya berusaha menenangkannya.

“Ssstt.. tenanglah. Berhentilah menangis. Ssst... Jika sudah tenang baru mulai berbicara, eum?”

Jaehyuk mengelus punggung itu sabar. Menyalurkan kehangatan dan ketenangan. Matanya terpejam. Berusaha mencari kekuatan untuk dirinya sendiri.

“Jaehyuk-ah... Maaf, tapi aku tidak biss menepati janji. Aku harus ingkar.”

“Apa maksudmu?”

Asahi melepas pelukan Jaehyuk dan mendudukkan tubuhnya. Menggulung lengan bajunya sampai batas bahu. Mata Jaehyuk membelalak. Lengan kurus pucat itu dipenuhi memar. Kemudian Asahi mengangkat sedikit bajunya menunjukkan bagian punggungnya. Memar juga menghiasi punggung mulus itu.

“Memar ini... tidak akan pernah sembuh. Meskipun diobati berkali-kali pun memar ini tidak akan pernah hilang. Meskipun diriku tidak terbentur apapun, memar ini akan tetap muncul..,” lirihnya. Tidak berani menatap mata sendu Jaehyuk.

“Kenapa? Kenapa seperti itu?”

Air mata kembali menetes dari pelupuk mata Jaehyuk. Hatinya sakit melihat keadaan Asahi separah ini. Seingatnya, hanya satu memar yang ia lihat di cafe waktu itu dan Asahi mengatakan karena terbentur. Lalu sekarang kenapa?

“Ini bukan memar biasa, Jaehyuk-ah. Chronic myeloid leukemia.”

Hati Jaehyuk mencelos. Leukemia? Asahinya sakit? Pemuda yang teramat dicintainya itu sakit separah ini? Jaehyuk berharap ini mimpi tapi semuanya terasa nyata. Potongan kejadian beberapa waktu ini menari-nari di otak Jaehyuk. Asahi yang semakin kurus, selalu terlihat lelah. Belum lagi Asahi berkali-kali mimisan belakangan ini. Jadi inikah penyebabnya?

”..... 6 bulan atau paling cepat 1 tahun,” lirih Asahi.

Jaehyuk tidak mendengar kata-kata Asahi. Telinganya seperti berdengung. Otaknya tidak bisa memproses semua ini. Yang ia dengar hanya 6 bulan dan 1 tahun. Apa itu waktu yang Asahi punya?

“Waktu adalah satu-satunya hal yang tidak aku punya, Jaehyukkie.”

Cukup. Jaehyuk tidak mau dengar lagi. Dadanya terasa terhimpit. Asahinya. Oh Tuhan tidak. Jangan Asahinya. Kenapa harus Asahinya.

“Inikah yang dikatakan dokter tadi? Saat kau harus ke rumah sakit sendiri karena aku terlalu sibuk? Inikah diagnosanya tadi? Inikah yang kau dengar sendiri tadi? Karena inikah kau tidak mau aku menjemputmu?”

Jaehyuk merasa frustasi. Ia tidak berada di samping Asahi. Asahi mendengar dan menghadapinya sendiri. Dan masih bisanya tadi Asahi menutupi dan tersenyum.

Asahi menekuk lututnya dan menangis kencang. Hanya bisa menjawab semua pertanyaan Jaehyuk dengan anggukan lemah.

“A-aku tidak tahu bagaimana mengatakannya padamu. Sungguh berbohong padamu adalah hal paling menyakitkan bagiku. Tapi... aku tidak tahu harus apa. Duniaku hancur seketika mendengar vonis dokter. Aku ingin hidup lebih lama...”

“Ssst.. cukup. Jangan katakan apa-apa lagi,” ucap Jaehyuk lembut masih dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.

Jaehyuk harus kuat. Asahi boleh bilang dunianya runtuh. Tapi Jaehyuk tidak segan membangunnya kembali meski dari puing-puing sekalipun. Dunia Asahi merupakan dunianya juga.

“Asahi-ya...aku di sini. Semuanya. Aku ingin merasakan semuanya. Bahagiamu, tawamu sampai sakitmu sekalipun. Kita berjanji untuk selalu bersama. Jadi aku tidak akan pernah pergi. Duniamu..duniaku juga. Jika harus runtuh dan hancur, kita bangun lagi. Menciptakan dunia kita sendiri. Jika aku bisa, biar aku saja yang rasakan sakitnya. Aku tidak peduli entah itu 6 bulan,1 tahun atau bahkan 1 hari sekalipun. Selama masih ada waktu, aku tidak mau menjalani hari tanpa dirimu. You are my constant. Hidup boleh berubah. Dirimu boleh berubah. Keadaan fisikmu boleh berubah. Aku tidak peduli. In a world full of unlimited variables, you are my only constant.

Jadi, apapun itu, kita hadapi bersama. Jangan pernah berpikir untuk menyembunyikannya dariku. Apapun itu. Apa yang harus kau jalani? Pengobatan yang memuakkan? Kemoterapi yang menyakitkan? Aku tidak peduli. Aku ingin menjadi seluruh bagian hidupmu. Dari yang paling manis sampai yang paling pahit.”

Asahi semakin terisak mendengar setiap patah kata yang Jaehyuk ucapkan. Asahi tahu Jaehyuk sama hancurnya dengan dirinya. Asahi menghambur ke pelukan Jaehyuk. Mendekap pemuda itu erat.

Jaehyuk memejamkan matanya. Menikmati momen ini dengan Asahi. Kapanpun bisa jadi momen terakhirnya. Jadi mulai sekarang setiap senyum, tawa, tangis, kecupan, pelukan lebih berharga lagi dari sebelumnya.

“A-aku takut...” Asahi berkata pelan.

“Aku juga. Aku juga takut. Karena itu mari buat keberanian kita lebih besar. Bersama.”

***

Setelah kejadian menyedihkan malam itu, Asahi menceritakan semuanya kepada kedua orang tuanya. Tak terhitung berapa kali air mata tumpah ruah dari mata orang tuanya.  Tak terhitung berapa kali hati Asahi tersayat melihat orang tuanya menangis tiada henti. Tapi Asahi bersyukur. Di tengah kesakitan dan kesedihannya, Jaehyuk selalu hadir dalam setiap prosesnya.

Asahi harus cuti dari kuliahnya untuk fokus pada pengobatan. Well, tadinya Jaehyuk juga mau ikut mengambil cuti untuk merawatnya tapi Asahi marah sejadi-jadinya. Ia tidak ingin Jaehyuk mengorbankan kuliahnya. Mimpinya. Bagaimana dengan kedua orang tua Jaehyuk melihat anaknya sampai menyia-nyiakan waktu kuliahnya hanya untuk menjaganya? Asahi tidak akan membiarkan itu terjadi.

Jaehyuk akan ke rumah sakit setelah kuliahnya selesai. Ia akan menemani Asahi sampai dirinya tertidur kemudian kembali ke rumahnya. Tugas-tugas kuliahnya ia kerjakan di kamat rawat Asahi.

“Kau pasti lelah ya, Jaehyukkie. Harus kuliah dan mengurusku.”

Jaehyuk yang sedang berkutat dengan tugas kuliahnya menatap Asahi, kemudian menghampiri pemuda manis yang duduk di tempat tidur. Selang infus tertancap di tangan kirinya.

Jaehyuk mengusap lengan Asahi yang semakin mengurus.

“Kau ini bicara apa, Sahi-ya? Aku tidak apa-apa. Seberapapun lelahnya diriku, masih lebih sakit dirimu,” Jaehyuk meraih tangan kirinya mengusap lembut selang infus yang menancap di sana.

“Pasti sakit kan?” Jaehyuk menatap tangan kurus itu.

“Tidak sakit.”

“Bohong.”

“Tidak sakit, Jaehyuk-ah. Hanya tidsk nyaman karena tidak bisa bergerak bebas.”

Jaehyuk mengangguk dan mengusap pucuk kepala Asahi.

“Bersabarlah. Ingat besok hari Sabtu. Kau boleh pulang ke rumah besok. Apa yang ingin Asahi lakukan?” tanya Jaehyuk dengan tatapan lembutnya.

“Hmm. Menanam bibit bunga. Pasti Jaehyuk lupa,kan? Kau sudah janji akan menanamnya bersamaku tapi sampai sekarang belum kita lakukan. Menyebalkan.” Asahi menggembungkan pipinya.

Menggemaskan eum?

Jaehyuk tersenyum penuh arti.

“Iya baiklah. Besok kita tanam semua bibitnya ya. Biar rumahmu jadi kebun bunga.”

Asahi mengangguk semangat.

“Senang sekali. Tidak sabar besok.”

Jaehyuk terkekeh melihat wajah Asahi.

“Tapi istirahat yang cukup ya hari ini? Ingat kata dokter. Kau harus istirahat dan makan yang bergizi. Dokter Park tadi bicara padaku sebelum aku ke sini. Ia mengatakan respons tubuhmu terhadap obat yang diberikan cukup baik. Kau harus menjaga kesehatanmu agar tubuhmu siap untuk dikemoterapi minggu depan.”

Asahi mendengus. Lelah rasanya telinganya mendengar kata obat dan kemoterapi. Tapi untuk pemuda yang dicintainya dan kedua orang tuanya dirinya harus berjuang kan?

***

Asahi dan Jaehyuk menaikki satu per satu anak tangga ke bagian terbuka di atas rumahnya. Ibunya yang menyukai bunga membuat taman kecil di atas sini. Berbagai macam bunga dibiarkan tumbuh dan dirawat Ibunya sepenuh hati.

Asahi berlari kecil senang bukan main melihat bunga-bunga bermekaran. Jaehyuk mengejarnya cepat kemudian menahan lengan Asahi.

“Jangan berlari eum? Kau masih lemah nanti terjatuh.”

Asahi tertawa kecil kemudian mengangguk. Matanya tertuju pada sederetan pot yang jika ia ingat terakhir kali tidak berada di situ. Beberapa batang dan daun kecil mulai muncul dari deretan pot itu. Di depan masing-masing pot itu terdapat sepotong kertas untuk menamai bibit bunga apa yang sedang tumbuh di situ.

“I-ini....” kata-kata Asahi terhenti. Wajahnya menatap Jaehyuk yang berdiri di sampingnya.

“Itu semua bibit yang kau beli. Aku menanamnya sendiri.”

Mata Asahi berkaca-kaca. Jaehyuk yang menanamnya? Astaga kebaikan apa yang sudah ia lakukan hingga bisa memiliki Jaehyuk di sisinya?

“Hei. Kenapa menangis? Apa aku salah menanamnnya? Tapi berdasarkan buku dan video yang aku lihat harusnya sudah benar,” kata Jaehyuk sembari menatap deretan pot di depannya. Takut kalau ia salah menanam selama ini.

Asahi menghambur ke pelukan Jaehyuk. Memeluk erat pemuda itu.

“Gomawo, Jaehyukkie. Entah apa yang sudah aku berikan padamu sampai kau melakukan semuanya untukku,” lirih Asahi dengan suaranya yang bergetar.

“Hei jangan menangis eum?”

Jaehyuk melepaskan pelukan mereka dan menghapus jejak air mata di pipi pucat Asahi.

“Berhenti menangis,eum? Kau senang kan melihatnya? Aku merawatnya setiap hari agar cepat tumbuh. Ah untuk bibit ini, bibit bunga kesukaanmu, baby breath. Ia akan tumbuh dalam waktu 8-12 minggu. Jika sudah mekar, aku akan membawanya ke rumah sakit. Kita letakkan di kamar rawatmu,ya. Kau suka kan?” Jaehyuk memberikan tatapan lembutnya.

“Senang sekali. Aku sangat senang sampai air mataku tidak mau berhenti mengalir. Terimakasih banyak, Yoon Jaehyuk.”

Apa yang dilakukan Jaehyuk membuat hatinya terasa penuh. Hangat. Jaehyuk yang sudah lelah kuliah dan menjaganya masih sempat untuk menanam semua bibit ini. Terutama bunga kesukaannya. Baby breath.

'Tuhan, aku ingin hidup lebih lama. Aku ingin terus bersama Yoon Jaehyuk. Tidak ingin meninggalkannya,' doanya dalam hati.

“Jika memang kau senang, maka tersenyumlah. Jangan menangis lagi. Aku ingin lihat senyummu.”

Asahi tersenyum lebar. Menampakkan kedua lesung pipitnya.

Manis sekali.

Jaehyuk mendekatkan wajah mereka dan mencium bibir tipis yang selalu memberikan rasa manis untuknya.

“Aku ingin melihat bunga-bunga ini bermekaran bersamamu. Karena itu, berjuanglah. Untuk dirimu sendiri juga untukku. Aku tidak akan pernah pergi dari sisimu.”

Asahi menatap dalam manik Jaehyuk. Kehangatan dan ketulusan memancar dari sana. Satu per satu air mata bahagia kembali menetes dari pelupuk mata indahnya.

“Aku sangat amat mencintaimu, Yoon Jaehyuk.”

“Aku lebih mencintaimu, Hi-kun.”

***

Kemoterapi yang dijalani Asahi membuatnya mual setiap hari. Rambutnya rontok. Tubuhnya mengurus. Wajahnya semakin pucat. Jaehyuk harus menahan tangis setiap kali jarum tebal itu menusuk tubuh Asahi berkali-kali. Rintihan yang keluar dari bibir tipis pucat itu menyayat hati Jaehyuk.

“Sakit, Jaehyukkie,“lirih Asahi. Tangannya mencengkram baju Jaehyuk tatkala jarum itu menusuk kulit pucatnya. Bekas jarum suntikan membuat beberapa bagian lengannya terlihat membiru. Melihat Asahi seperti ini benar-benar menghancurkan Yoon Jaehyuk.

“Sabar eum? Sebentar lagi selesai.”

Jaehyuk hanya bisa mengelus surai hitam Asahi. Mengecup pucuk kepala itu.

“Aku tahu itu sakit tapi tahan sebentar ya,” kata Jaehyuk lagi berusaha menenangkan Asahi.

“Nah sudah selesai. Obatanya akan bereaksi sebentar lagi. Saya tinggal dulu ya,“ucap perawat Kim kemudian meninggalkan keduanya.

“Aku lelah, Jaehyukkie. Sakit sekali.”

Sungguh Jaehyuk ingin menangis sekarang. Jaehyuk tahu Asahi selalu kesakitan setiap harus melakukan kemoterapinya.

“Bertahanlah sedikit lagi, ya. Aku mohon. Ah! Lihat ini. Lihat bunga baby breathmu. Aku mengambil gambarnya setiap hari untuk menunjukkannya padamu. Lihat bunga-bunganya mulai bermekaran.”

Jaehyuk berusaha memberi semangat. Menunjukkan pertumbuhan bunga baby breath yang ditanamnya beberapa bulan lalu  melalui handphonenya.

“Aku merawat dan menyiraminya setiap hari. Jika sudah mekar sempurna, aku akan membawanya kesini.”

Asahi berusaha tersenyum. Tidak mungkin ia membuat Jaehyuk kecewa. Jaehyuk sudah berjuang sekeras itu untuk membahagiakannya. Dirinya harus kuat juga. Tapi entah kenapa rasanya sulit sekali. Asahi tak sanggup menahan sakit ini lagi.

“Kau tahu,Sahi-ya? Menurut beberapa penelitian menunjukkan bahwa baby breath mengandung senyawa yang dapat meningkatkan kekuatan penderita leukemia untuk memerangi pengaruh obat-obatan. Jadi, aku harap jika sudah mekar sempurna, bunga ini juga bisa jadi kekuatan untukmu.”

Asahi ingin menangis sekarang. Jaehyuknya sampai mencari informasi sejauh itu? Jaehyuknya berusaha sekeras itu.

'Kau harus kuat, Sahi-ya,' tekadnya dalam hati.

“Maafkan aku mudah menyerah. Padahal Jaehyuk berusaha sekeras ini.”

“Jangan meminta maaf, Sahi-ya. Aku tahu kau kesakitan tapi aku tidak mengerti karena aku tidak merasakannya. Aku tahu kau lelah tapi aku mohon mari berjuang bersama,“ucapnya lembut kemudian memeluk Asahi erat.

“Jaehyukkie...bisakah berbaring di sampingku dan memelukku sampai aku tertidur?”

Jaehyuk tersenyum lembut melepaskan sepatunya kemudian berbaring di sebelah Asahi. Merapikan rambut Asahi yang menutupi dahinya.

“Tidurlah. Aku akan memelukmu sampai kau terlelap.”

Asahi mendekatkan wajahnya ke dada Jaehyuk. Membenamkannya di sana. Jaehyuk memeluk tubuh yang semakin mengurus itu. Jaehyuk takut sekali jika memeluknya terlalu erat, pria yang dicintainya ini akan remuk.

Jaehyuk menatap lekuk wajah Asahi yang sudah tertidur lelap. Pipinya semakin tirus. Lingkaran matanya menghitam. Bibir yang dulu merona kini menjadi pucat. Jaehyuk mengelus rambut hitam Asahi kemudian melihat telapak tangannya yang dipenuhi beberapa helai rambut. Efek kemoterapi membuat surai hitam indah itu rontok.

Air matanya mendesak keluar. Lama kelamaan mengalir deras membasahi kedua matanya. Jaehyuk menahan isakannya. Ya Tuhan demi apapun seperti ada yang mencabik-cabik hatinya. Asahinya. Hi-kunnya.

“Aku mohon bertahanlah lebih lama,” bisiknya lirih.

Jaehyuk berusaha bangkit perlahan agar Asahi tidak terbangun. Berlari ke kamar mandi. Terduduk di sana menekuk lututnya kemudian menangis sejadi-jadinya.

Demi apapun melihat orang yang kau cintai meregang nyawa di sana benar-benar menyesakkan. Sorot mata itu. Jaehyuk tahu Asahi sudah lelah. Egoiskah ia ingin Asahi terus berjuang? Egoiskah ia melihat Asahi menderita lebih lama hanya karena Jaehyuk ingin mengulur waktu?

Isakan demi isakan keluar dari bibirnya. Meremas dadanya yang terasa sakit dan sesak. Kemana sorot mata indah yang selama ini selalu Jaehyuk rindukan? Jaehyuk tidak pernah melihatnya lagi.

Bruk!

Terdengar bunyi benda terjatuh. Jaehyuk tersentak kemudian buru-buru membuka pintu kamar mandi. Asahi jatuh terduduk di lantai dengan sebelah tangan memegang basin yang disediakan di kamar itu. Memuntahkan semua isi perutnya.

Shit.

Dia benci akan hal ini. Isakan lolos dari mulut Asahi. Tangan lemahnya menggenggam erat basin berusaha menyalurkan rasa sakitnya di sana. Tangisan pilu Asahi semakin keras. Jaehyuk berlari ke arahnya dan menggendong Asahi kembali ke tempat tidurnya. Meraih basin dari tangan Asahi dan menempatkanya di hadapan Asahi. Asahi masih terus memuntahkan isi perutnya dengan kepala terkulai lemah. Bersandar di bahu Jaehyuk.

Jaehyuk sudah berkali-kali melihat pemandangan ini tapi tidak akan pernah terbiasa. Hatinya tetap sakit. Dan air matanya tetap akan mengalir.

“Ssst... gwaenchana. Gwaenchana. Muntahkan saja semua nanti aku bersihkan. Gwaenchana,” Jaehyuk mengatakannya berkali-kali. Mengusap bahu kurus Asahi.

Jaehyuk menengadah berusaha menahan air matanya untuk tidak mengalir. Ia tidak ingin Asahi melihatnya menangis. Ia harus kuat untuk Asahinya.

Selang 15 menit, Asahi berhenti memuntahkan isi perutnya. Matanya  terpejam. Tubuhnya terkulai lemah. Jaehyuk menidurkan Asahi kemudian mengisi air hangat di basin bersih dari kamar mandi. Membersihkan sisa muntahan dari bibir pucatnya dan mengecup kening itu lembut.

“Terima kasih sudah berjuang, Sahi-ya.”

***

“Tidak berhasil, Jaehyuk-ssi. Kemoterapi yang dijalani Asahi tidak memberikan hasil signifikan. Sel kankernya masih berkembang dan mencapai stadium akhir. Satu-satunya cara adalah dengan transplatasi sumsum tulang belakang. Tapi butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan donor yang cocok. Ketidakcocokkan akan menjadi bumerang untuk tubuh Asahi. Resikonya sangat besar.”

Jaehyuk menatap Dokter Park dengan pandangan kosong. Tidak berhasil? Setelah semua penderitaan yang Asahi lalui, tetap tidak berhasil?

“Anda baik-baik saja, Jaehyuk-ssi?“tanya Dokter Park membuyarkan lamunan Jaehyuk.

“Berapa lama waktu yang ia punya?”

“Paling lama 1 bulan.”

Jaehyuk bangkit dari tempat duduknya, membungkukkan tubuhnya sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu. Jaehyuk berjalan dengan tatapan kosong menuju kamar rawat Asahi. Berhenti di depan pintu kamar kemudian menghela napas panjang.

“Hi-kun..“panggilnya lembut.

Asahi sedang memegang pot bunga baby breath yang sudah mekar sempurna. Tersenyum manis melihat bunga putih kecil bermekaran dengan indah. Menghirup dalam wanginya dan menyentuh hamparan bunga-bunga kecil itu dengan tangan kurusnya. Sinar matahari pagi masuk dari sela-sela jendela yang terbuka. Menyinari wajah pucat Asahi.

Jaehyuk menatap Asahi dengan lembut. Indah. Meskipun fisik Asahi banyak berubah tapi Asahi tetap indah.

“Kau suka bunganya?”

Asahi menatap Jaehyuk yang baru memasuki ruang rawatnya.

“Suka sekali! Indah sekali. Kau tau? Setiap bunga memiliki makna. Setiap bunga memiliki arti masing-masing.”

“Begitukah?” Jaehyuk berjalan menghampiri tempat tidur Asahi. Duduk di sana kemudian menggenggam tangan kurus milik Asahi.

“Jaehyuk tahu kenapa aku menyukai baby breath? Aku menyukainya karena makna dari bunga ini.”

“Jaehyuk boleh tahu apa maknanya?” tanyanya sambil mengelus pipi Asahi.

“Cinta abadi. Dan ini bukan hanya cinta tentang sepasang kekasih saja. Tapi cinta yang universal. Cinta antara keluarga dan sahabat. Karena itu, aku menyukainya.”

Jaehyuk menatap dalam manik sayu milik Asahi.

“Ingat saat aku memberikan bunga baby breath untuk Jaehyuk 9 tahun lalu? Itu karena aku mencintaimu. Baik sebagai sahabat maupun sebagai pria yang aku cintai sedari dulu.”

Jaehyuk mendekatkan bibir mereka. Menciumnya lembut. Ciuman lembut itu berubah menjadi lumatan-lumatan dalam.

“Nghh,” desah Asahi.

Asahi meraih tengkuk Jaehyuk memperdalam ciumannya. Jaehyuk menggigit bibir pucat Asahi, meminta Asahi untuk membuka bibirnya. Jaehyuk semakin memperdalam lumatannya. Lidahnya beradu dengan lidah pemuda manis di depannya. Seakan ini adalah ciuman terakhir mereka.

Jaehyuk melepaskan tautan bibir keduanya tatkala Asahi yang sudah menghela napas lelah karena kekurangan oksigen. Semburat merah mewarnai pipi tirus Asahi.

“You look so beautiful, Hi-kun. Dari dulu hingga detik ini.”

Asahi menundukkan wajahnya malu. Pipinya semakin merona merah.

“Sahi-ya..jika kau sudah lelah, kau boleh berhenti sekarang,” ucap Jaehyuk pelan. Hampir tak terdengar.

Asahi menatap tajam manik Jaehyuk. Sepertinya pembicaraan Jaehyuk dengan Dokter Park tidak berakhir baik? Pengobatannya tidak berhasil eoh? Tanpa Jaehyuk bicara apapun Asahi sudah dapat membacanya.

“Aku tidak mau menjadi egois terus-menerus. Menyuruhmu terus berjuang hanya karena aku ingin mengulur waktu agar kau bertahan lebih lama. Jika kau sudah lelah, kau boleh berhenti.”

Asahi menatap mata sendu Jaehyuk. Sungguh Asahi tidak ingin meninggalkan pemuda yang amat dicintainya ini. Tapi apa yang harus Asahi lakukan jika semua perjuangannya tidak membuahkan hasil.

“Aku ingin pulang ke rumah, Jaehyukkie. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersamamu. Membuat kenangan indah bersamamu. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Membangun dunia kita sendiri. Berdua.”

Jaehyuk tersenyum lembut menangkup pipi tirus Asahi.

“Ne. Mari lakukan itu. Lakukan semua hal yang aku dan kau suka. Buat kenangan indah sebanyak-banyaknya. Menciptakan dunia kita sendiri.”

Asahi memeluk erat tubuh Jaehyuk. Menautkan kening mereka.

“Gomawo, Jaehyuk-ah,” lirihnya lembut diiringi setetes air mata yang mengalir dari pelupuk matanya.

***

Jaehyuk membimbing tangan Asahi menuju hamparan ladang bunga baby breath di depannya. Asahi benar-benar terlihat indah hari ini. Sweater putih yang dikenakannya menambah kecantikan ciptaan Tuhan yang sempurna ini.

Asahi menghirup udara segar pagi ini. Semilir angin membawa semerbak wangi bunga kesukaannya. Hamparan bunga baby breath di depannya benar-benar indah. Asahi mendekat kemudian menyentuhnya. Jaehyuk tidak pernah melepaskan genggaman tangannya.

“Aku tidak pernah tahu ada tempat seperti ini, Jaehyukkie.”

“Kau tidak pernah tahu karena memang tempat ini tidak ada sebelumnya.”

Asahi menatap bingung Jaehyuk.

“Kau mengatakan tentang membangun dunia kita sendiri. Karena kemampuanku terbatas, hanya ini dunia yang bisa kuciptakan untukmu.”

Jaehyuk mengelus lembut wajah Asahi. Menatapnya dalam.

Mata Asahi berkabut. Jaehyuk menciptakan ini untuknya? Manik Asahi bertemu dengan manik indah Jaehyuk.

“Gomawo, Jaehyukkie.”

Asahi menangis di pelukannya. Sungguh dirinya tidak ingin pergi meninggalkan Jaehyuk. Tapi Asahi sadar batas tubuhnya. Batas waktunya. Kondisinya memburuk dengan cepat dari hari ke hari dan Asahi tidak sanggup lagi mendengar Jaehyuk yang menangis diam-diam tiap malam di kamar mandi. Asahi mendengar semuanya. Asahi tahu Jaehyuk juga menderita.

“Aku mohon berhenti menangis. Aku ingin lihat senyum manismu. Senyum yang sangat aku sukai.”

Asahi mengusap air matanya kemudian tersenyum manis ke arah Jaehyuk. Jaehyuk ikut tersenyum, menautkan jari mereka.

Jaehyuk membantu Asahi duduk. Mata Asahi tidak pernah lepas dari hamparan baby breath yang mengelilinginya. Asahi meletakkan kepalanya yang terasa lelah di pundak Jaehyuk. Tangan mereka saling bertautan. Sesekali Jaehyuk mengelus lembut jari-jari rapuh itu.

Asahi menutup matanya. Lelah. Semilir angin yang bertiup membuatnya semakin ingin memejamkan matanya.

“Jaehyuk-ah..,“panggilnya lirih.

Jaehyuk menatap Asahi yang bersandar di pundaknya.

“Hm?”

“Aku sangat teramat mencintaimu, Jaehyukkie. Terimakasih sudah mencintaiku dengan tepat dan sempurna.”

Jaehyuk tersenyum kecil.

“Aku lebih lebih sangat teramat mencintaimu, Sahi-ya. My Hi-kun.”

Jaehyuk merengkuh pundak kurus itu. Nafasnya semakin melambat. Bahu yang tadinya naik turun dengan ritme lambat, lama kelamaan tidak ada pergerakan.

Air mata satu per satu menetes dari sudut mata Jaehyuk. Jaehyuk merengkuh tubuh yang semakin dingin itu ke dalam pelukannya. Mengecup singkat bibir pucat itu.

Asahinya pergi.

Untuk selamanya.

***

3 bulan kemudian...

Jaehyuk menatap box berwarna putih yang bertengger manis di meja tulisnya. Kotak ini diberikan oleh Ibunya Asahi 3 bulan lalu, setelah upacara pemakaman Asahi selesai. Di kotak itu tertulis namanya.

Untuk Yoon Jaehyuk.

Jaehyuk tidak pernah membukanya. Lebih tepatnya tidak berani. Ia takut akan sangat merindukan pemuda yang paling dicintainya. Namun hari ini ia mengumpulkan semua keberaniannya. Ia membuka kotak putih itu perlahan. Baru saja ia membukanya, air matanya mendesak untuk keluar.

Di dalammya terdapat ratusan sketsa wajah Jaehyuk dengan berbagai ekspresi. Jaehyuk tidak tahu Asahi suka menjadikannya sebagai objek sketsanya. Jaehyuk mengambil salah satu sketsa yang menarik perhatiannya. Di atas kertas itu terdapat sketsanya dengan pakaian seragamnya sedang berdiri di halaman rumahnya. Jaehyuk melihat tahun dan tanggal yang tertera di sana. Tahun 2012 tanggal 20 Mei. Mata Jaehyuk membulat. Itu hari dimana Jaehyuk pertama kali mengampiri Asahi dan pergi ke sekolah bersama.

Jaehyuk teringat perkataan Asahi di loteng atas rumahnya malam itu.

'Aku mencintaimu, Yoon Jaehyuk. Aku mencintaimu lebih dulu jauh sebelum kau mulai mencintaiku'

Air mata menyeruak. Jadi memang benar adanya. Asahinya mencintainya lebih dulu. Jaehyuk mengusap air matanya kasar. Ani. Jaehyuk tidak boleh menangis. Asahinya pasti ingin melihatnya bahagia.

Jaehyuk mengambil secarik kertas berwarna cokelat muda dari dalam kotak itu. Tulisan Asahi berbaris rapi di atasnya.

Semua baby breath yang kau tanam untukku, itu milikmu. Ragaku memang tidak akan selalu bersamamu, tapi seperti bunga baby breath yang kau tanam dan rawat, melambangkan cinta abadiku padamu. Aku mohon hiduplah dengan baik dan berbahagialah. Dengan atau tanpa aku. Ciptakan dunia impianmu sendiri. Aku selalu mencintaimu

Jaehyuk tersenyum kecil. Meletakkan kertas itu kemudian menyesap cokelat hangat, memandanh ke arah luar jendela. Hujan mengguyur di luar membasahi bumi. Jaehyuk memejamkan matanya. Membayangkan wajah Asahi dalam angannya.

“Aku juga selalu mencintaimu, Hi-kun..” katanya pelan.

End.

Title: Behind Closed Door

Pairing: Jaehyuk/Asahi

_____________________

Behind closed door (phrase) : “If something happens behind  closed doors, it means it is hidden or kept secret from public view”

_____________________

Storyline:

Jaehyuk menatap manager dan beberapa petinggi di agensi tempat Treasure bernaung yang kini berada di depannya menatapnya dengan tajam. Jaehyuk tahu kemana arah pembicaraan ini.

“Yoon Jaehyuk-ssi.”

Salah satu dari mereka membuka pembicaraan. Jaehyuk diam menunggu perkataan selanjutnya.

“Aku tidak masalah dengan hubungan apapun yang kau punya dengan Hamada Asahi. Aku tidak masalah selama hal ini tidak pernah diketahui publik. Jika hal ini sampai bocor ke media dan merusak nama Treasure, kau dan Asahi akan menanggung akibatnya. Jadi aku harap kau harus mengontrol dirimu. Aku tidak mau kau dan Asahi terlihat dekat dan melakukan skinship berlebihan di depan kamera. Sudah cukup kau membuat geger 1 gedung ini karena salah satu stylist memergokimu berciuman dengan Asahi. Jangan harap juga kalian bisa pergi seenaknya berdua. Jangan sampai karena kesalahan kalian berdua, justru menghancurkan karir 10 member lainnya,” ucapnya tegas.

Setiap kata-kata menusuk hati Jaehyuk. Jaehyuk tahu dengan jelas memulai hubungan yang masih dianggap tabu akan menyulitkan mereka meskipun Hyunsuk dan Jihoon Hyung meyakinkan jika semua akan baik-baik saja. Semua karena kesalahannya. Kenapa bisa-bisanya dirinya mencium Asahi di saat masih ada beberapa orang di sana. Meskipun tempat mereka tersembunyi, tapi tetap saja kemungkinan seseorang melihat mereka tetap ada.

Nasi sudah menjadi bubur. Inilah resiko yang harus ditanggung Yoon Jaehyuk. Harus menjaga jarak dengan Asahi di depan kamera? Ini seperti kiamat baginya. Bagaimana bisa? Tapi ini lebih baik dibanding harus berpisah dengan Asahi. Demi apapun Jaehyuk tidak pernah mau melepaskan Asahi.

“Kau mengerti dengan jelas perkataanku, Jaehyuk-ssi?”

Jaehyuk menghela napas kemudian mengangguk.

“Aku mengerti.”

“Good. Kau boleh pergi sekarang.”

Jaehyuk membungkuk kemudian berpamitan. Meninggalkan manajer dan beberapa petinggi di sana yang masih menatapnya tajam.

Jaehyuk menutup pintu kemudian meninju keras tembok di sampingnya. Frustasi. Andai dia tidak melakukan kesalahan konyol hari itu. Karenanya, Asahi juga harus kena imbasnya. Lebih parah lagi, Treasure juga bisa hancur karenanya.

'Shit. Why I am so stupid?' geramnnya dalam hati.

***

Jaehyuk kembali ke ruang latihan mereka. Menghiraukan tatapan member yang melihatnya dengan khawatir. Asahi ingin menghampiri ketika Doyoung menahan lengannya.

“Sekarang bukan waktu yang tepat, Hyung.”

Asahi menghela napas panjang dan menatap sedih Jaehyuk. Ia tahu pasti Jaehyuk ditegur oleh managernya dan orang-orang penting di agensinya. Padahal Asahi juga bersalah kenapa harus Jaehyuk yang menanggung sendiri? Kenapa dirinya tidak dipanggil juga? Kenapa harus Yoon Jaehyuk?

Asahi menunduk lemas. Sesekali mengarahkan pandangannya pada Jaehyuk. Jaehyuk terduduk lemas di sudut ruangan. Kepalanya bersandar dengan mata terpejam. Asahi menggigit bibirnya, menahan tangis. Asahi ingin menghambur ke pelukan Jaehyuk. Menenangkan pemuda yang dicintainya.

Latihan mereka baru saja selesai. Jaehyuk langsung beranjak dari duduknya dan keluar meninggalkan member lainnya. Tidak peduli pada Asahi yang berusaha mendekatinya. Asahi menunduk dalam. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya. Biasanya Jaehyuk akan menunggunya. Kenapa dia pergi begitu saja?

Jeongwoo yang melihat Asahi hampir menangis segera menghampirnya dan merangkul pundak Hyung kesayangannya itu.

“Gwaenchana, Hyung. Jaehyuk Hyung hanya butuh waktu. Nanti dia akan mengatakan semuanya padamu. Aku yakin itu. Jika dia tetap diam, biar aku yang bicara padanya, eum?”

Asahi menatap Jeongwoo lalu memberikan senyum kecilnya.

“Gomawo, Jeongwoo-yah.”

Jeongwoo balas tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Asahi.

“Mau ikut bermain bersamaku dan Ruto?”

Asahi mengangguk kecil. Tentu ini lebih baik bukan dibanding harus berdiam diri memikirkan masalah Jaehyuk dengan dirinya. Ia berharap Jaehyuk segera berbicara padanya.

****

Jaehyuk membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya yang ditekuk. Kamarnya gelap. Tidak ada niatan untuknya menyalakan lampu kamar tidurnya. Kamarnya hanya diterangi pencahayaan dari luar yang berasal dari lampu kota dan gedung-gedung pencakar langit.

“Jaehyuk Hyung.”

Seseorang memanggilnya. Ia tahu suara siapa itu. Jeongwoo.

Sungguh Jaehyuk tidak ingin bertemu siapapun sekarang. Bisakah mereka membiarkan dirinya satu hari saja? Dia butuh untuk berpikir.

“Hyung, jangan seperti ini. Bicaralah padaku. Hyung tahu? Asahi Hyung menangis sampai tertidur ketika aku mengajaknya bermain bersama Ruto.”

Nyut.

Dadanya berdenyut sakit mendengar nama Asahi. Dadanya sesak mengetahui Asahi menangis karenanya.

'Mana janjimu untuk selalu membuatnya tertawa Yoon Jaehyuk?' sesal Jaehyuk dalam hati.

Jaehyuk beranjak malas kemudian membuka pintu untuk Jeongwoo

“Masuklah.”

Jeongwoo tahu betapa kacau Hyungnya ini ketika Jaehyuk menyalakan lampu kamarnya. Rambutnya berantakan. Ia bahkan belum mengganti bajunya yang tadi dipakai untuk latihan. Matanya sayu.

“Hyung.. jangan seperti ini. Jika kau diam seperti ini, kau menyakiti dirimu dan Sahi Hyung.”

Jaehyuk menghela napas panjang.

“Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, Jeongwoo-yah. Karena kebodohanku aku bisa saja menghancurkan Asahi dan kalian semua.”

Jeongwoo memposisikan dirnya di sebelah Jaehyuk. Merangkul pundaknya dan meletakannya kepala Jaehyuk di bahunya. Jeongwoo tahu Jaehyuk butuh tempat bersandar sekarang ini.

“Kau itu Hyung kesayanganku. Jika kau seperti ini, aku juga sedih melihatmu begini. Apa yang dikatakan manager dan yang lain?” Jeongwoo langsung membuka pembicaraan. To the point. Sungguh ia tidak ingin Jaehyuk terus-terusan diam.

“Mereka bilang tidak masalah dengan hubunganku dengan Sahi asalkan tidak pernah diketahui publik. Jika publik sampai tahu, karir kita akan hancur. Dan sebagai akibat dari kebodohanku, aku tidak boleh lagi dekat dengan Asahi di depan kamera. Aku harus menjaga jarak. Tidak ada lagi juga pergi keluar bersama. Bagaimana bisa, Jeongwoo-yah? Siapa yang akan menjaga dan melindunginya?”

Jaehyuk meremas rambutnya frustasi. Sesekali memijit pelipisnya yang terasa berat.

“Hyung, kau punya aku. Kita keluarga bukan? Bear family? Sebagai keluarga harus saling menjaga. Jika kau tidak bisa melakukannya, biar aku yang melakukannya. Aku akan melindungi dan menjaga Sahi Hyung ketika kau tidak bisa melakukannya. Tidak perlu khawatir lagi, Hyung.”

Jeongwoo tersenyum meyakinkan.

“Kau percaya padaku kan? We are family, right? Dan sudah seharusnya keluarga saling percaya. Jadi percayalah padaku.”

Jaehyuk memeluk dongsaeng kesayangannya ini. Adiknya sudah dewasa sekarang. Ani. Jeongwoo selalu dewasa. Hanya karena tingkah konyolnya saja yang membuatnya terlihat kekanakan. Padahal nyatanya, Jeongwoo adalah sosok yang dewasa.

Jaehyuk mengacak rambut Jeongwoo. Bersyukur punya dongsaeng yang bisa dia andalkan kapanpun.

“Ne. We are family. Bear family. Gomawo, Jeongwoo-yah.”

“Mau jemput Sahi Hyung? Ia terus menerus menangis karena memikirkanmu. Kau harus minta maaf padanya dan menjelaskan semuanya.”

Jaehyuk mengangguk. Hatinya perih mendengar Asahi menangis. Asahinya. Hi-kunnya. Orang yang paling dicintainya.

****

Jaehyuk menggendong Asahi di punggungnya. Jaehyuk tidak tega melihat Asahi yang tertidur lelap. Jadilah dia minta Ruto dan Jeongwoo untuk membantunya meletakkan Asahi di punggungnya.

“Jaga Sahi Hyung baik-baik. Jangan buat dia menangis seperti itu lagi,” ucap Ruto pelan namun tegas. Tampak seperti peringatan eoh? Jaehyuk lupa Asahi juga Hyung favorit Ruto.

Jaehyuk berjalan menyusuri lorong dorm mereka. Sesekali menoleh untuk melihat wajah Asahi yang masih terlelap di punggungnya. Manis. Ingin Jaehyuk mengecup bibir tipisnya yang sedikit terbuka itu.

Asahi menggeliat di gendongannya. Matanya mengerjap berusaha mengumpulkan kesadarannya.

“Jaehyukkie?”

Asahi rasanya tidak percaya melihat Jaehyuk saat ini setelah Jaehyuk menghindarinya tadi siang.

“Sudah bangun?” tanya Jaehyuk dengan suara lembutnya.

“Kenapa Jaehyuk bisa di sini?”

“Hm? Tidak senang melihatku?

“Ani. Senang sekali! Aku sedih setengah mati ketika kau menghiraukanku hari ini. Jaehyuk jahat!” Asahi menggembungkan pipinya kesal.

Jaehyuk justru ingin tertawa melihat wajahnya yang menggemaskan. Semakin ingin mencium bibir tipis yang sedang cemberut itu sekarang. Tapi Jaehyuk tidak ingin membuat Asahi semakin kesal.

“Maafkan Jaehyuk yang jahat ini, eum? Jangan menangis lagi. Aku akan menjelaskan semuanya nanti. Tapi tolong jangan menangis lagi. Ruto juga bisa membunuhku jika aku membuatmu menangis lagi.”

Asahi tertawa kecil kemudian mengeratkan kedua lengannya pada leher Jaehyuk. Kepalanya dengan nyaman bersandar pada punggung Jaehyuk.

“Mau berapa kalipun Jaehyuk membuatku kesal dan menangis, aku akan selalu memaafkanmu. Kau sepenting itu bagiku.”

Hati Jaehyuk menghangat mendengar perkaatan tulus Asahi. Entah sudah berapa kali Jaehyuk mengatakan ini dalam hatinya. Asahi orang paling berharga untuknya. Jaehyuk tidak mau menukarnya dengan apapun.

“Gomawo, Sahi-ya. Kau juga sepenting dan seberharga itu untukku. Aku sangat mencintaimu.”

****

Jaehyuk menatap manik indah Asahi yang sedang berbaring di sebelahnya. Asahi menatap dalam Jaehyuk. Sesekali Jaehyuk memainkan surai hitam Asahi dan mengelus pipi mulus itu.

“Maaf.. karena kebodohanku yang tidak bisa menahan dan malah menciummu, membuat kita menjadi seperti ini. Aku harus menjaga jarak denganmu di depan kamera. Aku tidak bisa lagi selalu menjagamu. Tidak bisa lagi pergi bersama. Maafkan aku, Hi-kun. Bahkan aku bisa saja merusak karir kita dan Treasure. Aku merasa bodoh. Aku tidak peduli jika manager dan yang lain memarahiku, tetapi aku tidak yang lain dan terutama kau juga ikut terkena imbasnya.”

Jaehyuk mengatakan semuanya. Asahi tersenyum lembut menghapus air mata yang mulai menggenang di sudut mata Jaehyuk.

“Apa yang terjadi bukan hanya kesalahanmu, Jaehyukkie. Itu kesalahanku juga. Kita berdua ceroboh dan harus menanggung akibatnya sekarang. Kita harus berhati-hati setiap di depan kamera. Tidak bisa lagi pergi keluar berdua. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku bukan anak kecil. Jujur, aku sedih kita harus saling menjaga jarak tapi aku rasa tidaklah mengapa. Ketika kamera tidak menyorot kita, ketika kita jauh dari pandangan publik, kita tetap bisa menghabiskan waktu bersama. Seperti sekarang ini. What matters the most happened behind the closed door. Waktu private kita. Berdua. Aku tidak masalah kita tidak bisa lagi pergi bersama. Menghabiskan waktu bersama Jaehyuk seperti sekarang ini saja aku sudah senang dan bersyukur. Aku tidak meminta lebih.”

Jaehyuk tersenyum lembut. Asahi. Sungguh pemuda di depannya ini seperti malaikat. Bagaimana bisa ia tidak menuntut dan sepengertian ini. Jaehyuk menangkup wajah Asahi mendekatkan bibir mereka dan mengecupnya singkat.

“Aku memang tidak bisa menjagamu terus-menerus sekarang. Aku tidak tahu bagaimana jadinya besok ketika kita harus pergi ke airport. Fans berkerumun di sana berdesak-desakan. Kau bisa saja terluka atau terjatuh. Karena itu aku mohon, turuti permintaanku yang satu ini. Biarkan Jeongwoo menjagamu eum? Kita keluarga. Family takes care of each other, right?”

Overprotective euh? Tapi Asahi tidak tega melihat wajah Jaehyuk sekarang ini. Mata memelas itu. Asahi ingin tertawa sekarang.

“Ne.. family takes care of each other. Jika itu membuatmua tenang, aku tidak masalah.”

Jaehyuk tersenyum lembut kemudian membawa Asahi ke dalam pelukannya. Erat. Jika bisa, Jaehyuk tidak pernah ingin melepaskan pelukan ini.

“Tidurlah. Kita harus bangun pagi besok,” kata Jaehyuk lembut. Dagunya diletakkan di atas kepala Asahi. Menghirup rambut Asahi yang wangi. Jaehyuk selalu rindu wangi ini. Wangi kesukaannya.

****

Incheon Airport..

Pagi ini Treasure harus berangkat ke Jepang. Ini adalah foreign schedule pertama mereka. Fans memenuhi airport. Berdesak-desakan untuk melihat idola mereka. Jaehyuk khawatir setengah mati melihat lautan fans yang berkerumun. Sungguh Jaehyuk merasa senang mendapatkan cinta sebesar ini dari fans mereka tapi Jaehyuk hanya khawati dengan Asahi yang harus menerobos lautan manusia di hadapannya saat ini. Tubuh kurus dan mungil itu.

'Kau percaya padaku kan?'

'We are family right?'

Jaehyuk teringat perkataan Jeongwoo kemarin. Jaehyuk mengedarkan pandangannya, melihat Jeongwoo dan Asahi yang berada beberapa jarak di depannya. Matanya terfokus. Asahi tidak luput dari pandangannya.

Bruk!

Shit!

Asahi terdorong oleh kerumunan dan jatuh.  Seketika beberapa member dan manager langsung menghampiri Asahi dan Jeongwoo. Membantu Asahi berdiri. Jaehyuk ingin berlari namun tangan manager mengentikannya. Jaehyuk frustasi setengah mati sekarang. Asahinya jatuh. Jaehyuk ingin memberontak. Jaehyuk yakin Asahi pasti takut bukan main. Terjatuh di tengah keramaian seperti itu.

'Kau percaya padaku kan?'

Hanya kata-kata ini yang Jaehyuk ulang di dalam pikirannya sekarang. Dalam hati panik setengah mati. Jaehyuk tidak pernah merasa setidak berguna ini. Orang yang kau cintai di depan sana jatuh dan kau tidak bisa berbuat apa-apa. Jaehyuk ingin menangis sekarang.

Jaehyuk berjalan cepat menghampiri Asahi ketika mereka sudah berada di boarding room. Jeongwoo dan Jihoon Hyung berada di sisi kiri dan kanan Asahi berusaha menenangkan Asahi. Bahunya bergetar halus. Asahi pasti ketakutan sekarang.

“Sahi ya, gwaenchana? Ada yang terluka?” Jaehyuk berjongkok di hadapan Asahi. Berusaha menahan dirinya untuk tidak menggengam tangan yang gemetar itu dan memeluk tubuh mungilnya.

“A..aku tidak apa-apa,“jawab Asahi pelan.

Bohong.

Jaehyuk tahu Asahi berbohong. Jaehyuk benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin memeluk Asahi dan menenangkannya tapi tidak bisa.

“Maafkan aku, Hyung karena gagal menjaganya. Merusak kepercayaanmu.” Jeongwoo menunduk dalam.

“Bicara apa kau, Jeongwoo-yah? Jika tidak ada kau, keadaan akan lebih parah. Aku bersyukur kau tidak terluka.”

Jaehyuk tersenyum lembut mengacak rambut Jeongwoo kemudian mengarahkan tatapannya kembali pada Asahi. Khawatir melihat Asahi yang masih terdiam.

Jihoon Hyung berdiri. Menyejajarkan pandangannya dengan Jaehyuk.

“Tenanglah sedikit, Jaehyuk-ah. I will take care of Asahi.”

Jaehyuk menyerah. Panik tidak merubah keadaan. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah percaya pada member lainnya untuk menjaga Asahi.

***

Japan, 1 p.m..

Treasure baru sampai di hotel yang akan mereka tempati selama ada jadwal di Jepang. Setelah menaruh barang-barangnya, Jaehyuk segera menghampiri kamar Asahi dan Jeongwoo. Mengetuk pintu itu pelan kemudian membukanya.

“Aku tinggalkan kalian berdua ya,” kata Jeongwoo kemudian berdiri keluar kamar. Meninggalkan Jaehyuk dan Asahi berdua. Asahi duduk di tempat tidurnya. Menatap Jaehyuk kemudian memberikan senyum manisnya.

“Maaf membuat Jaehyuk khawatir. Aku sungguh tidak apa-apa.”

Bohong. Asahi tidak akan pernah bisa membohongi Jaehyuk. Mata itu penuh ketakutan.

Jaehyuk menghampiri Asahi, menariknya ke dalam pelukannya.

“Kau tidak baik-baik saja. Jangan berbohong. Kau tidak akan bisa membohongiku.”

Tak lama Asahi terisak. Bahunya bergetar pelan. Jari-jarinya meremas kaus hitam yang dikenakan Jaehyuk.

“A—aku takut, Jaehyuk-ah.”

Jaehyuk mengelus punggung Asahi. Berusaha menenangkan pemuda di pelukannya.

“Aku mengerti, Sahi-ya. Kau pasti ketakutan. Terjatuh di tengah kerumunan seperti itu. Kau tidak terluka kan? Aku panik setengah mati melihatmu jatuh. Dan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku sungguh merasa bodoh.”

Asahi menatap mata Jaehyuk. Menghapus air matanya kasar. Asahi tidak suka mendengar perkaatan Jaehyuk.

“Jangan menyalahkan dirimu seperti itu. Aku tidak suka. Ini bukan salahmu. Aku yang tidak bisa menjaga diriku dengan baik.”

Jaehyuk menggeleng tidak setuju.

“Melindungimu adalah tugasku dan aku sudah gagal untuk hal itu.”

“Jaehyuk-ah..aku mohon berhenti menyalahkan dirimu. Kau selalu melindungiku. Bahkan ketika kau tidak mampu, kau sampai harus merepotkan Jeongwoo untuk menjagaku. Aku selalu merasakan perhatianmu. Aku selalu merasakan kau menjagaku. Jadi, aku mohon berhenti menyalahkan dirimu. Aku sedih mendengarnya.”

Jaehyuk melepaskan pelukannya. Asahi menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Iya, baiklah. Aku tidak menyalahkan diriku lagi. Jangan menangis, eum? Aku mohon jangan menangis.”

Jaehyuk mengusap air mata yang memaksa keluar dari sudut mata Asahi.

“Jaehyuk-ah...”

“Hm?”

Jaehyuk menatap lembut Asahi.

“Ayo ke rumahku. Bertemu dengan keluargaku.”

Mata Jaehyuk membulat kaget.

“A—apa? Ke rumahmu?”

“Kau selalu menginginkannya kan? Mengunjungi rumahku ketika aku bisa kembali ke Jepang.”

“Ta—tapi..”

Jaehyuk benar-benar kaget sekarang. Ini terlalu mendadak.

“Tidak ada tapi. Aku yang akan minta ijin ke manager agar ia mengijinkan kau dan aku untuk ke rumahku.”

Asahi menatap Jaehyuk mantap. Tidak ada keraguan di sana. Jaehyuk tersenyum. Percuma melawan Asahi jika ia sudah yakin dengan keputusannya. Jaehyuk tidak akan bisa menolak.

“Ne.. kita minta ijin bersama ya. Apapun itu, aku ingin menghadapinya bersama-sama. Dari hal kecil sampai hal paling besar.”

Asahi mengangguk kecil kemudian memeluk erat Jaehyuk. Asahi tidak akan pernah melepaskan Yoon Jaehyuk. Seberat apapun rintangan di depan. Tidak peduli mereka harus berpura-pura di depan kamera. Itu tidak penting baginya. What matters the most happened behind closed door, right?

End.