Title: Entre toi et moi
Pairing: Jaehyuk/Asahi
⚠️Warning: lil bit non explicit mature contents⚠️
⚠️Rating: 16+ just to be save⚠️
-notes- Italic:flashback
_____________________ Entre toi et moi (french) : between you and me _____________________
●●Between you and me, never ending story●●
. . .
•Paris, Summer, June, 2020•
Seorang pemuda bersurai coklat berdiri di balkon apartemennya, menikmati langit cerah kota Paris sore itu. Senyum kecil terukir di bibir merahnya kala melihat kumpulan bunga mawar yang ia biarkan tumbuh menggantung mengisi beranda apartemennya. Tahun ini merupakan tahun ketujuhnya merantau di kota yang dijuluki City of Lights ini. Tidak bosan-bosannya dirinya menikmati pemandangan dari apartemennya ini. Dari sini dirinya bisa melihat Menara Eiffel yang menjulang tinggi, yang akan tampak sangat indah ketika malam hari saat lampu-lampu dari Menara Eiffel menyala.
Aktivitasnya terusik ketika mendengar bel apartemennya berbunyi. Tak biasanya ia kedatangan tamu di waktu seperti ini. Pemuda itu berlari kecil membukakan pintu.
“Bonsoir! Monsieur Hamada Asahi. Ada kiriman untukmu dari Korea Selatan,” kata tukang pos yang berdiri di depan pintunya sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna pastel ke tangannya.
Asahi mengerutkan keningnya. Sudah lama dirinya tidak mengunjungi Korea Selatan. Ia juga tidak memiliki banyak teman di sana.
'Mungkinkah kiriman ini dari orang itu?' tanyanya dalam hati.
Asahi kembali ke dalam setelah mengucapkan terima kasih pada tukang pos tadi. Tangannya memperhatikan amplop pastel di tangannya. Namanya terukir rapi di sana.
Asahi membuka amplop itu perlahan berusaha mengeluarkan isinya. Sebuah undangan pernikahan. Entah kenapa jantungnya berdetak lebih cepat sekarang. Tidak mengerti kenapa ritme jantungnya semakin cepat tatkala melihat undangan pernikahan di tangannya. Asahi berharap ini tidak sesuai dengan pikirannya. Namun, kecewa melandanya saat melihat ukiran nama yang tertera di sana.
Yoon Jaehyuk & Jane Kim
Seketika dadanya terasa sesak. Nafasnya memburu. Matanya memanas. Ia kira 4 tahun cukup untuk memudarkan semuanya namun rasa sakitnya masih sama.
Pemuda Korea Selatan itu akan menikah.
Perih.
Kenangan itu masih membekas sempurna. Tidak pernah hilang sedikitpun.
Asahi buru-buru mengusap air matanya ketika mendengar pintu apartemennya dibuka tiba-tiba. Seorang pemuda kaukasian berpostur tinggi dengan rambut pirang dan mata biru berdiri di sana, melepas sepatu kulitnya dan coat miliknya. Pemuda itu tersenyum manis kemudian mengecup bibir tipis Asahi.
“Good evening, my love. I miss you so badly,” ucapnya setengah berbisik kemudian mengecup kening Asahi.
Asahi tersenyum kecil. Membelai rambut pirang pemuda tinggi di hadapannya. Tangan kirinya yang masih menggenggam undangan pernikahan disembunyikan di belakang.
“I miss you too, Caesar.”
Pemuda bernama Caesar itu menatap wajah Asahi, kekasihnya selama 1 tahun belakangan. Wajah itu terlihat sendu hari ini. Ia tahu sesuatu terjadi sebelum ia datang.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya berusaha mencari kebenaran dari manik Asahi.
“Apa maksudmu? Aku baik-baik saja.”
Caesar masih menatapnya lekat. Memperhatikan Asahi dari atas sampai bawah. Takut melewatkan sesuatu yang bisa menjadi jawaban untuknya. Fokusnya beralih pada tangan kiri Asahi yang tampaknya sengaja disembunyikan oleh pemiliknya.
“Ada apa dengan tangan kirimu?” tanyanya penasaran.
Mata Asahi membulat, tidak siap dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut kekasihnya itu. Asahi hanya diam kaku tanpa bisa berbuat apa-apa ketika Caesar menarik lembut lengan kirinya. Caesar tidak begitu mengerti deretan hangul yang tertera di sana tapi ia kenal sebuah nama yang terukir di sana.
Yoon Jaehyuk.
Caesar tersenyum miris. Jadi karena ini Asahi terlihat menyedihkan. Tatapan sendu dan jangan lupakan jejak air mata yang masih membekas di sana. Lagi-lagi pemuda Korea ini sumbernya. Untuk apa ia mengirim undangan pernikahannya ke sini ketika dirinya bahkan mungkin sudah melupakan seorang Hamada Asahi. Jadi, untuk apa lagi? Jika hanya ingin menambah luka, apa gunanya lagi?
Asahi menunduk dalam. Nyalinya menciut. Tak berani menatap kekasihnya. Caesar mendekatkan dirinya kemudian menarik Asahi ke dalam pelukannya. Mengecup surai coklat lembutnya.
“Do you still love him, Asahi?” bisiknya pelan. Hatinya tak siap mendengar jawaban Asahi.
Asahi memejamkan matanya. Kepalanya masih bersandar di dada bidang pemuda yang jauh lebih tinggi darinya itu.
Haruskah berbohong? Haruskah menutupi? Haruskah dirinya selalu menyakiti pria di hadapannya ini?
“Apakah aku tidak akan pernah punya kesempatan? Apakah sulit mencintaiku sepenuhnya?” tanya Caesar lagi.
“Maaf....”
Hanya satu kata itu yang bisa diucapkan Asahi. Selama satu tahun ini, Asahi sudah lelah menghitung berapa kali kejadian ini selalu terjadi. Pertanyaan yang sama. Luka yang tergambar jelas di manik pria tampan itu.
Caesar.
Asahi mengenalnya satu tahun lalu. Pertemuan di bar malam itu menjadi awal mula kisah keduanya. Ia ingat lelaki itu menyapanya manis. Mereka berbicara semalaman sampai bar tutup. Ia ingat Caesar mengantarnya pulang malam itu. Dari pertemuan pertama mereka, hadirlah pertemuan-pertemuan berikutnya. Keduanya sama-sama menyukai seni. Mereka akan menghabiskan akhir minggu dengan mengunjungi museum-museum di sana.
Ia ingat saat pertama kali Caesar menyatakan cintanya di bawah cahaya lampu Menara Eiffel. Asahi tidak akan lupa betapa romantisnya malam itu. Di saat orang-orang mungkin akan tergila-gila dan merasa bahagia, Asahi justru berperang dalam hatinya. Pernyataan cinta itu justru memberatkannya.
Ketika dirinya berpikir Caesar akan menyerah ketika ia mengatakan tidak bisa menerima pernyataan cintanya, dugaannya salah. Nyatanya Caesar tetap berusaha. Bahkan ketika dirinya mengatakan alasan konyol bahwa ia tidak bisa melupakan cinta pertamanya, pria Perancis itu tetap dengan sabar mengatakan akan menunggunya. Memohon untuk diberi kesempatan.
Bahkan ketika dirinya menyakiti hati pria baik itu berkali-kali, Caesar masih setia di sampingnya. Bahkan sekarang ketika Asahi kembali menyakiti pria bermata biru di hadapannya ini, Caesar masih mau memeluknya. Tidak ada kata-kata marah sama sekali.
“Haruskah aku melepasmu? Semenyiksa itukah harus bersamaku?” tanya Caesar pelan membuat Asahi menatapnya sedih.
“Kau yang paling tersiksa. Aku yang paling menyakitimu. Kau berhak bahagia, tapi bukan denganku. Kau yang paling tahu akan hal itu,” lirih Asahi pelan. Air mata menggenang di pelupuk matanya siap menetes kapan saja.
Caesar menatap Asahi dengan mata birunya. Sudut matanya memerah pertanda ia sedang menahan air matanya sekarang. Pemuda rupawan itu menghela napasnya panjang.
“Jangan menangis. Aku yang memaksa ingin berjuang untuk memenangkan hatimu. Namun, sebesar apapun usahaku, kau tidak akan bisa melupakan laki-laki itu. Kau tidak akan pernah bisa menghapus nama itu. Aku yang memaksa dan membuatmu tersiksa. Maafkan aku membuatmu lelah selama ini. Let's break up. It's better for us,” ucapnya dengan senyum tipis yang terkesan dipaksakan.
Asahi menggeleng pelan kemudian memeluk erat pemuda tampan itu.
“Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf tidak bisa membahagiakanmu selama ini.”
“Kau selalu membuatku bahagia. 1 tahun ini sangat berarti untukku. Now, it is time to let you go.”
Asahi menatap mata indah sebiru laut yang menatapnya lembut. Asahi mempersempit jarak di antara keduanya kemudian mengecup bibir itu lembut.
“Goodbye kiss. Terima kasih untuk semuanya, Caesar. Terima kasih sudah mencintaiku dengan tepat.”
“Please be happy, Hamada Asahi. Jika kau tidak bahagia, aku pastikan akan mengejarmu kembali.”
♤♤♤
•France, Paris, 2013•
At Paris Science et Lettres University...
Pemuda berkulit putih berkebangsaan Jepang berlari kecil sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kurusnya. Ia ada kelas pagi ini dan terlambat bangun. Sebagai mahasiswa jurusan seni dengan tugas yang memaksanya untuk selalu tidur larut setiap harinya kejadian ini bukan yang pertama kali terjadi. Namun, hari ini kelasnya akan mengadakan tes dan jika dirinya terlambat, ia terancam tidak diperbolehkan masuk kelas pagi ini.
Pemuda dengan nama lengkap Hamada Asahi itu mempercepat ritme langkahnya, bibir tipisnya berkali-kali mengucapkan kata permisi dan maaf saat dirinya beberapa kali menabrak kumpulan mahasiswa di hadapannya.
Bruk!
Buku-buku kuliahnya terhampar bebas di lantai tatkala dirinya menabrak seseorang di depannya. Ia benar-benar kehilangan fokus sehingga menabrak mahasiswa lain yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya.
“Maaf, aku terburu-buru,“ucap Asahi lirih.
Asahi mengangkat kepalanya menatap orang yang baru saja ditabraknya. Mahasiswa dengan wajah khas orang Asia. Tubuhnya lebih tinggi darinya. Rambutnya berwarna hitam legam. Kacamata dengan frame tipis membingkai wajahnya dengan sempurna. Pemuda itu tersenyum singkat.
Tampan. Hanya itu yang ada di pikiran Asahi.
“Apa kau tidak apa-apa? Kau terjatuh cukup keras tadi,” tanyanya khawatir sambil memperhatikan Asahi, memastikan tidak ada luka serius di tubuh pemuda yang lebih kecil darinya.
“Aku tidak apa-apa. Maaf menabrakmu tapi aku hampir terlambat. Aku harus segera pergi sekarang,” ucapnya buru-buru sambil mengumpulkan bukunya yang berserakan.
“Namaku Yoon Jaehyuk.”
Pemuda tampan itu memperkenalkan diri sambil membantu membereskan buku-buku milik pemuda manis di depannya.
“Hamada Asahi. Itu namaku. Ah, aku benar-benar harus pergi. Maaf sekali lagi,” ucapnya sambil membungkuk berkali-kali kemudian berlari meninggalkan Jaehyuk yang masih terpana dengan pemuda di depannya.
Hamada Asahi.
Manis sekaligus tampan.
Jaehyuk mengulum senyum melihat punggung Asahi dari kejauhan.
'Hamada Asahi. Dari Jepang rupanya,' katanya dalam hati.
Jaehyuk membetulkan letak kacamatanya kemudian berlalu pergi. Berharap dapat bertemu dengan pemuda manis itu lagi.
Matahari sudah tinggi. Meskipun begitu, angin yang bertiup lembut membuat udara menjadi tidak begitu terasa panas. Jaehyuk sedang berkumpul dengan teman-teman satu jurusannya di taman universitas. Mereka sedang membahas tugas mata kuliah ekonomi bisnis yang akan deadline 1 minggu lagi. Sesekali Jaehyuk berkutat dengan laptopnya mencari beberapa artikel yang relevan untuk melengkapi tugasnya.
“Kau mau ikut dengan kami malam ini, Jae?” tanya salah satu temannya yang asli orang Perancis.
“Sepertinya tidak. Aku malas keluar malam ini. Lain kali saja aku ikut.”
“Ah kau tidak seru!” ejek temannya yang bernama Mashiho. Mashiho berasal dari Jepang namun banyak menghabiskan waktunya di Korea bersama Jaehyuk ketika sekolah menengah. Jadilah Jaehyuk paling dekat dengan dirinya.
“Aku lelah, Mashi. Kau tau sendiri aku begadang semalaman demi belajar untuk tes hari ini. Andai otakku ini sepintar dirimu,” keluh Jaehyuk.
Mashi tertawa kecil.
“Jangan suka merendah. Kau masuk top 10 di jurusan kita.”
Jaehyuk hanya tersenyum menanggapi sahabatnya itu kemudian kembali berkutat dengan laptopnya.
Jaehyuk meregangkan tubuh penatnya. Memijat pelipis dan tengkuknya yang terasa kaku karena terlalu banyak melihat laptop. Jaehyuk melepaskan kacamatanya kemudian mengucek matanya pelan.
Fokusnya tertuju pada satu titik. Tak sadar senyumnya merekah.
Hamada Asahi.
Pemuda manis itu sedang duduk di pinggiran air mancur di tengah taman universitas. Sebuah buku dengan ukuran cukup besar berada di genggamannya. Pensil yang berada di tangannya menari-nari di atas lembaran kertas. Sesekali bibirnya mengerucut ketika sedang berpikir keras.
Jaehyuk tersenyum seperti orang gila sekarang. Kalian percaya akan cinta pada pandangan pertama? Pasti kebanyakan berkata itu adalah hal konyol. Jaehyuk juga beranggapan seperti itu. Namun nyatanya pemuda manis yang baru dikenalnya hari ini seakan menampar anggapannya selama ini. Hal yang dirinya anggap konyol benarlah terasa sekarang. Jaehyuk tidak mengerti bagaimana hatinya berdesir ketika melihat pemuda manis itu. Tidak mengerti akan sensasi yang bergejolak pada dirinya ketika melihat wajah itu. Namun Hamada Asahi bagai sebuah kutub magnet untuk dirinya. Menariknya perlahan tanpa bisa ia cegah.
“Apa yang kau lihat, Jae? Aku sudah memanggilmu berkali-kali tapi kau bengong seperti orang aneh.”
Mashi mengguncang pelan bahu sahabatnya ini. Penasaran dengan apa yang membuat Jaehyuk seperti ini, maniknya mengikuti fokus Jaehyuk.
Ah! Karena laki-laki itu!
“Ya Tuhan Yoon Jaehyuk. Jangan bilang kau menyukainya? Kau bahkan baru bertemu dengannya tadi karena ia tidak sengaja menabrakmu,” tukas Mashi sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya.
“Diam kau. Aku sedang serius. Jangan ganggu konsentrasiku.”
“Terserah kau. Aku dan yang lain ingin makan di cafetaria. Kau ikut tidak?”
Jaehyuk menggelengkan kepalanya.
“Kalian duluan saja. Aku ada urusan lain,” sahutnya sambil mengerlingkan sebelah matanya menatap Mashi.
“Kau benar-benar menyukainya, hm? Baiklah. Aku dan yang lain duluan. Beritahu aku jika kau berhasil.”
Jaehyuk terkekeh pelan.
“Yoon Jaehyuk tidak mengenal kata gagal.”
Mashi memutar bola matanya. Telinganya sakit mendengar ucapan sahabatnya ini.
“Gayamu selangit. Sudah aku mau pergi. Sampai bertemu besok!”
Jaehyuk mengangkat tangannya ke arah teman-temannya yang beranjak pergi.
Maniknya kembali fokus pada pemuda manis yang masih betah dengan pensil dan bukunya. Jaehyuk merapikan laptop dan buku-bukunya yang berserakan kemudian memasukkannya ke dalam tas kulitnya. Kakinya melangkah menghampiri pemuda manis yang sudah membuatnya gila hari ini.
“Hi,” sapanya lembut.
Asahi mengangkat kepalanya. Maniknya bertemu dengan manik bening Jaehyuk.
“Ah, hai. Kau sedang apa di sini?” tanya Asahi dengan dahi sedikit berkerut. Bingung tiba-tiba dihampiri oleh pemuda yang ditabraknya tadi.
“Aku baru saja selesai mengerjakan tugas dengan kelompokku, lalu melihatmu di sini. Kau tidak keberatan, kan jika aku duduk di sini?”
Asahi menggeleng pelan kemudian tersenyum manis. Jaehyuk memposisikan dirinya di sebelah Asahi. Matanya beralih melihat sketsa pemandangan yang masih setengah jadi.
“Kau pandai menggambar rupanya.”
Asahi melihat gambarnya kemudian mengangguk kecil.
“Aku mahasiswa jurusan Art and Design. Jika aku tidak bisa menggambar, aku tidak akan bisa bertahan. Ah, kau mengambil jurusan apa di sini?”
“Ekonomi bisnis. Hmm jika dari namamu, apakah kau berasal dari Jepang?”
Asahi mengangguk kecil.
“Aku lahir di Jepang kemudian kuliah di sini. Sejak sekolah menengah atas, aku tinggal di Korea bersama keluargaku karena urusan pekerjaan Ayahku. Jaehyuk dari Korea kan?”
“Kau menetap di Korea?! Wow kebetulan apa ini. Iya aku dari Korea. 1 tahun lalu aku pindah ke sini untuk kuliah. Aku juga punya sahabat yang berasal dari Jepang sepertimu. Namanya Mashiho. Jika kalian berdua berbicara, aku rasa akan cocok.”
Matanya berbinar. Jarang sekali mahasiswa yang berasal dari Jepang di jurusannya. Pasti menyenangkan jika memiliki teman yang berasal dari 1 negara kelahiran yang sama.
“Wajahmu langsung bersinar seperti itu. Nanti jika ada waktu aku kenalkan, ya. Ah, jujur saja bahasa Perancisku belum terlalu fasih. Apakah tidak apa-apa jika kita berkomunikasi dengan bahasa Korea?”
“Aku tidak masalah. Tapi, maaf jika bahasa Koreaku juga tidak terlalu bagus. Tapi aku rasa itu lebih baik dibanding harus berbicara dengan bahasa Perancisku yang masih jauh dari kata sempurna,” kekehnya pelan.
Jaehyuk ikut tersenyum melihat tawa kecil itu. Jaehyuk baru menyadari lesung pipit yang akan muncul ketika Asahi tersenyum dan tertawa. Manis sekali.
'You will be the death of me, Asahi,' ucapnya dalam hati.
♤♤♤
Jaehyuk tidak begitu mengerti tentang seni. Seni lukis, seni pahat atau apapun itu. Jaehyuk hanya penikmat tapi tidak begitu tahu akan makna di balik karya seni tersebut. Jaehyuk menyukai pergi ke museum atau art exhibition. Menghabiskan waktu di sana memandangi karya-karya luar biasa yang mengundang decak kagum.
Jaehyuk berkeliling di Museum Louvre, salah satu museum terkenal di Perancis yang selalu penuh dengan wisatawan dari berbagai negara. Mashiho sedang sibuk dengan urusan percintaannya sehingga Jaehyuk harus menghabiskan akhir pekannya sendiri. Sudah beberapa kali Jaehyuk ke sini, tapi rasa kagum masih selalu menyelimutinya ketika melihat arsitektur museum ini.
Jaehyuk memandangi beberapa lukisan baru di sana ketika maniknya menangkap sosok familiar yang sedang berdiri memandangi sebuah lukisan abstrak di hadapannya.
“Bukankah itu Asahi?” gumamnya pelan. Kakinya otomatis menghampiri pemuda manis itu.
“Asahi?“panggilnya.
Asahi menoleh. Sedikit terkejut melihat Jaehyuk berada di tempat ini.
“Jae? Aku tidak tahu kau penikmat karya seni. Kebetulan sekali bisa bertemu di sini.”
Jaehyuk paling tidak suka kata kebetulan. Baginya, semua sudah digariskan.
“Aku sering ke sini. Tidak begitu mengerti sih. Tapi aku suka melihat karya-karya luar biasa ini. Kau pasti sudah banyak berkeliling museum ya? Mengingat jiwamu adalah jiwa seni,” katanya sambil tersenyum kecil menatap Asahi.
“Ya begitulah. Aku juga harus mencari inspirasi untuk karya-karyaku juga bukan? Seni itu bagian hidupku. Aku tidak tahu bagaimana aku hidup tanpa esensi itu di dalamnya.”
Jaehyuk mengangguk mengerti.
“Siapa seniman favoritmu?” tanya Jaehyuk lagi.
“Claude Monet. Aku benar-benar cinta akan karya-karyanya. Indah sekali.”
“Hm. Claude Monet ya. Aku paling suka karyanya 'Women with a Parasol'. Bagaimana cintanya pada istrinya tetap melekat melalui lukisan itu meskipun istrinya telah tiada.”
Asahi menatap Jaehyuk tak percaya. Bohong jika Jaehyuk mengatakan tidak begitu mengerti karya seni. Ia tahu lebih banyak dari itu.
“Kau merendah jika mengatakan tidak begitu mengerti karya seni. Kau bahkan tahu tentang Claude Monet dan cintanya pada istrinya yang sering ia tuangkan di lukisannya.”
Jaehyuk terkekeh pelan, menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
“Yang jelas, aku tidak banyak tahu jika dibanding kau. Tapi, kuakui aku sangat suka membaca tentang beberapa karya seni terkenal.”
“You surprised me in so many ways, Yoon Jaehyuk,” ucapnya pelan sambil tersenyum lembut.
Hening.
Keduanya sibuk memandangi lukisan abstrak nan indah di depan mereka.
“Mau pergi bersamaku setelah ini?”
Jaehyuk memberanikan diri untuk bertanya. Kesempatan seperti ini akan jarang datang.
Mata Asahi membulat. Gugup. Tak menyangka Jaehyuk akan mengajaknya pergi.
'Apakah ini semacam kencan?' tanyanya dalam hati. Dapat ia rasakan pipinya sedikit memanas.
Asahi berusaha menetralkan ekspresinya. Tidak ingin Jaehyuk tahu bahwa jantungnya berdetak cepat sekarang.
“Boleh saja. Aku tidak ada rencana kemana-mana setelah dari sini.”
Jaehyuk tersenyum puas. Hatinya melompat senang.
“Ke La Palette bagaimana? Hanya 600 meter dari sini. Kita bisa berjalan kaki.”
“Tidak mungkin menolak. Itu salah satu cafe favoritku. Interiornya yang indah dengan beberapa lukisan terpampang di sana. Kau benar-benar sesuatu, Jae. Seleramu tidak seperti mahasiswa Ekonomi.”
Jaehyuk tertawa pelan mendengar perkataan Asahi.
“Aku tidak pandai menggambar karena itu akan sulit masuk jurusan seni. Mungkin itu salah satu alasan aku terjebak di jurusanku sekarang. Tapi, aku tetap menyukainya. Sebentar lagi museumnya tutup. Mau pergi sekarang?”
Asahi mengangguk setuju. Tubuhnya tersentak kaget ketika Jaehyuk meraih tangannya dan menariknya lembut. Jantungnya berdegup tak beraturan. Pipinya memanas tapi senyum tersungging di bibirnya memperhatikan tanganmya yang berada di genggaman Jaehyuk.
Keduanya berjalan beriringan. Tangannya masih bertautan. Asahi mengulum senyumnya malu sedangkan Jaehyuk tersenyum gemas melihat pipi Asahi yang sedikit merona.
“Aku rasa ini akhir pekan terbaikku,” kata Jaehyuk membuka suara.
“Kenapa begitu?” tanya Asahi bingung.
“Karena menghabiskan waktu denganmu,” balas Jaehyuk sambil menatap Asahi di sampingnya.
Telinga Asahi memerah. Dirinya malu luar biasa mendengar perkataan Jaehyuk. Dengan mudahnya pemuda itu mengucapkan kata-kata itu tanpa tahu efek samping dari perkataannya yang membuat jantung Asahi terasa mau melompat dari rongga dadanya.
“Ah, begitukah?”
Asahi menepuk jidatnya merasa bodoh dengan respons yang baru saja keluar dari bibirnya.
“Eum! Mari lakukan ini setiap akhir pekan!”
Jaehyuk tersenyum lebar menampakkan barisan gigi rapinya. Tatapannya terlihat menggoda Asahi yang pipinya memerah sempurna sekarang.
'Ya Tuhan apakah Jaehyuk baru saja mengajaknya berkencan?!' teriak Asahi dalam hati.
“Jaehyuk-ah, apakah kau baru saja mengajakku berkencan?” tanya Asahi ragu dengan kepala tertunduk. Pipi dan telinganya terasa panas.
Jaehyuk tertawa kecil kemudian mengangguk cepat. Genggamannya semakin erat menautkan jari-jari keduanya.
“Anggap saja begitu. Hari ini dan seterusnya kita berkencan.”
Jantung Asahi berdegup tak beraturan.
“Did you just ask me out, Jae?”
Jaehyuk tertawa manis. Menjawabnya dengan anggukan.
“Let's date from now on.”
Asahi menunduk dalam. Bisa-bisanya pemuda ini dengan mudah mengajaknya berkencan bahkan memintanya menjadi kekasihnya.
“Kau benar-benar mengejutkanku, Yoon Jaehyuk,” jawab Asahi sambil menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Jaehyuk menghentikan langkahnya, membuat Asahi ikut terdiam. Jaehyuk menghadapkan tubuhnya ke arah Asahi kemudian menangkup wajah manis itu. Menatap dalam kedua manik indah yang bersinar diterangi cahaya lampu kota yang berpendar. Jaehyuk bersumpah dalam hati belum pernah melihat manik seindah ini. Jaehyuk seperti larut di dalamnya.
“Selanjutnya, akan lebih banyak kejutan, Hamada Asahi. Aku akan membuatmu bahagia,” ucapnya lembut kemudian meraup bibir merah itu dengan bibirnya. Melumatnya lembut.
“Do you want to be my boyfriend, Hamada Asahi?”
Asahi menatap Jaehyuk. Mencari apakah Jaehyuk sedang berbohong atau bercanda. Tapi, yang ia temukan hanya kesungguhan di sana. Jaehyuk masih menatapnya tajam menunggu jawaban.
Asahi mengangguk pelan kemudian melingkarkan tangannya pada leher Jaehyuk. Mencium bibir penuh itu lembut. Asahi melepaskan tautan bibirnya dan menatap manik Jaehyuk. Tatapan lembut itu menghanyutkannya. Membuatnya terjerumus semakin dalam.
“Kau tahu? Aku tidak pernah percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Aku selalu mengira hal itu konyol. Semesta pasti sedang menertawakanku sekarang karena hal yang kuanggap konyol terjadi padaku. Aku menyukaimu sejak kau menabrakku pagi itu. Setelah hari itu, wajahmu tak pernah pergi dari otakku. Kau membuatku gila, Asahi.”
Jaehyuk menarik pinggang ramping Asahi, membawanya masuk ke dalam pelukannya. Tangannya mengelus surai kecoklatan itu sayang. Mengecup keningnya lembut kemudian membiarkan Asahi membenamkan wajahnya di dada bidangnya.
Langit Paris malam itu benar-benar indah. Ratusan bintang berkelap-kelip di hamparan langit luas. Bulan purnama yang bersinar menambah indah malam itu. Paris memang terkenal sebagai kota paling romantis. Banyak pasangan bermimpi menjalin kisah cinta mereka dimulai dari kota ini. Dari sini, Paris, kisah cinta keduanya dimulai.
♤♤♤
Jaehyuk menatap kekasihnya yang sedang berdiri membelakanginya di balkon apartemen mereka. Seulas senyum terukir di bibirnya melihat makhluk ciptaan Tuhan yang paling indah. Kemeja milik Jaehyuk yang kebesaran membalut sempurna tubuh mungil itu. Jaehyuk menghampirinya perlahan, memeluk pinggang ramping itu dari belakang. Wajahnya ia benamkan di ceruk leher kekasih mungilnya, menghirup dalam wangi yang selalu memabukkan. Dari kejauhan Menara Eiffel menjulang indah. Ribuan cahaya lampu menerangi terlihat menakjubkan dilihat dari sini.
Jaehyuk menatap lekat Asahi. Tanganya bertumpu pada railing balkon di hadapannya, memerangkap tubuh mungil Asahi di antaranya. Asahi membalikkan tubuhnya tiba-tiba. Maniknya memandang dalam wajah tampan pemuda Korea yang menjadi kekasihnya beberapa bulan ini. Jaehyuk meraih leher jenjang Asahi kemudian memberikan kecupan-kecupan kecil di sana. Tidak puas dengan itu, Jaehyuk melumat dalam bibir ranum Asahi. Tangannya menyelusup masuk ke dalam kemeja kebesarannya yang sedikit tersingkap tertiup semilir angin malam. Asahi seperti melayang sekarang. Sentuhan dan lumatan yang diberikan Jaehyuk membuat lututnya lemas. Asahi menutup matanya, menikmati setiap momennya. Sesekali desahan keluar dari bibir manis itu tatkala Jaehyuk semakin agresif melumat bibirnya.
“Nggh...,“lenguh Asahi membuat Jaehyuk tersenyum dengan smirknya menyadari Asahi menikmati perlakuannya.
Jaehyuk membawa tubuh Asahi ke dalam, mendorong lembut tubuh mungil itu membuatnya jatuh terduduk di sofa. Jaehyuk masih sibuk melumat bibir yang sudah membengkak. Sadar Asahi kehabisan napas, Jaehyuk melepaskan tautan bibir mereka.
“Shall we continue this?” tanya Jaehyuk meminta ijin. Ia tidak akan melakukannya jika Asahi belum siap.
“Tonight, I'm all yours, Yoon Jaehyuk,” lirihnya pelan.
Jaehyuk tersenyum lembut kemudian menggendong tubuh kurus Asahi ke dalam kamar. Maniknya tidak terlepas sekalipun dari wajah Asahi yang benar-benar terlihat indah. Asahi adalah candu baginya.
♤♤♤
Sinar mentari menyusup masuk di balik tirai jendela. Jaehyuk memandangi wajah damai Asahi yang masih terlelap bersandar di dada bidangnya. Tangannya mengelus surai coklat itu lembut. Sesekali mengecup pucuk kepala kekasih mungilnya yang manis. Tidak lama Jaehyuk merasakan gerakan dari manusia manis di sampingnya. Perlahan manik indah nan teduh itu membuka, berusaha menyesuaikan pupilnya dengan cahaya terang yang berasal dari tirai-tirai jendela.
“Selamat pagi. Bagaimana tidurmu my little prince?” tanya Jaehyuk dengan nada menggoda. Tersenyum puas ketika melihat wajah Asahi yang bersemu. Asahi mengusak kepalanya di dada bidang Jaehyuk menyembunyikan wajahnya di sana. Malu ketika mengingat aktivitas mereka semalam.
“Kenapa kau sangat manis dan menggemaskan, hm?”
“Diam, Yoon Jaehyuk. Jangan menggodaku terus,” sahutnya sambil menepuk pelan dada Jaehyuk mengundang gelak tawa dari bibir penuh pemuda tampan itu.
“Aigooo kau benar-benar manis seperti anak kucing.”
Asahi mengangkat tubuhnya kemudian membulatkan matanya. Kesal karena Jaehyuk terus menggodanya.
“Aku bukan anak kucing. Jika menurutmu anak kucing manis, kau pacaran saja dengan kucing!” ucapnya sebal.
Jaehyuk hanya bisa tertawa keras melihat Asahi yang beribu-ribu kali jauh lebih menggemaskan ketika sedang merajuk.
“Sudah jangan kesal lagi nanti aku gigit loh.”
Asahi memukul keras lengan Jaehyuk kemudian beranjak dari tempat tidurnya.
“Aku ada kelas siang. Tidak ada waktu bercanda,” dengusnya kesal.
Jaehyuk terkekeh kemudian menarik tubuh Asahi, membuat pemuda manis itu terjatuh ke belakang tepat pada dada Jaehyuk. Jaehyuk melingkarkan lengannya di pinggang ramping itu.
“Kau lucu sekali. Jangan kesal lagi aku hanya menggodamu karena kau terlalu lucu,” ucapnya lembut kemudian mengecup bibir manis itu.
Asahi tersenyum kecil. Membalas kecupan yang berubah jadi lumatan dalam. Asahi melepaskan tautan bibir keduanya.
“Aku benar-benar ada kelas. Aku harus bersiap-siap. Kau tidak ada kelas?”
“Hari ini tidak ada jadwal. Nanti kujemput eum?”
“Tidak perlu. Kau pasti lelah setelah seminggu penuh mengerjakan project kuliahmu. Lebih baik kau beristirahat.”
Jaehyuk menggeleng kecil.
“Aku tidak lelah. Kau itu kekasihku. Aku harus menjagamu. Jadi, aku jemput nanti eum?”
Asahi menghela napas. Percuma melawan Jaehyuk yang terkadang keras kepala.
“Baiklah. Kuliahku akan selesai jam 7 malam.
Jaehyuk mengecup kening Asahi lembut.
“Aku akan sangat merindukanmu.”
Jaehyuk memutar bola matanya malas.
“Aku hanya kuliah, Jae bukan pergi jauh. Dasar tukang rayu!”
Jaehyuk tertawa keras kemudian mengacak surai lembut Asahi.
“Yasudah sana siap-siap nanti terlambat. Aku mau tidur lagi,” katanya sambil bergelung di dalam selimut tebalnya.
“Pemalas!” ejek Asahi menjulurkan lidahnya kemudian beranjak ke kamar mandi.
Jaehyuk hanya tersenyum kecil. Memejamkan matanya dan memeluk gulingnya. Membayangkan Asahi yang manis dan sempurna yang terlihat begitu indah dan memabukkan semalam. Kali pertama mereka melakukannya dan Jaehyuk merasa itu malam terindah dalam hidupnya. Perlahan kantuk menguasainya membawanya ke alam mimpi.
Asahi sudah siap dengan kemeja dan celana jeansnya ketika melihat Jaehyuk yang sudah kembali terlelap. Senyum kecil menghiasi bibir tipisnya. Perlahan melangkahkan kakinya kemudian mengecup lembut kening Jaehyuk.
“Aku beruntung memilikimu,” ucapnya pelan. Maniknya terus memandangi wajah terlelap Jaehyuk yang begitu damai dan tenang. Dalam hati tidak henti bersyukur bisa mengenal dan memiliki Jaehyuk dalam hidupnya.
♤♤♤
Sepasang kekasih dengan tangan saling bertautan dalam genggaman menyusuri Seine River malam itu. Lampu-lampu kecil yang berpendar di sepanjang tepi sungai membuat pemandangan Seine River menjadi lebih indah.
Asahi menggoyang-goyangkan tangan keduanya. Senyum manis merekah di bibir tipisnya. Maniknya menatap langit malam itu. Menghirup dalam udara segar Paris di malam hari. Membiarkan semilir angin meniup kecil surai kecoklatannya. Jaehyuk memperhatikan dengan seksama. Bibirnya mengulum senyum kagum. Setiap hari melihat kekasih manisnya tapi setiap hari juga Jaehyuk mengagumi pemandangan sempurna Hamada Asahi.
“Malam ini langitnya bagus sekali. Lihat banyak bintang,” kata Asahi semangat sambil menunjuk langit yang membentang luas di atas sana.
Jaehyuk ikut menatap langit malam.
“Hm langitnya indah tapi aku lebih suka Asahi,” goda Jaehyuk.
Asahi menepuk lengan Jaehyuk kemudian mengerucutkan bibirnya.
“Bisa tidak, sih, sehari saja kau tidak menggodaku?” tanyanya berpura-pura kesal. Nyatanya wajahnya memanas sekarang. Bibirnya terkulum menahan senyum.
“Kau menyukainya, Asahi. Lihat pipimu sampai merona seperti itu.”
Asahi memukul keras perut rata Jaehyuk.
“Kau sungguh menyebalkan! Aku tidak mau lagi bicara denganmu!” ucap Asahi sambil menghentakkan kakinya berjalan mendahului Jaehyuk.
Sementara Jaehyuk tertawa puas melihat wajah Asahi yang sangat menggemaskan itu. Jaehyuk mempercepat langkah kakinya, menarik tubuh mungil Asahi membuatnya bersandar pada dada bidangnya. Jaehyuk melingkarkan lengannya di leher pemuda manis itu kemudian mencium ceruk leher putih itu lembut.
“Kau lihat Notre Dame Cathedral di seberang sana?” tanya Jaehyuk tiba-tiba.
Asahi mengedarkan pandangannya ke seberang Sungai Seine. Memang katedral terkenal itu tepat berada di seberang sungai ini. Asahi mengangguk kecil.
“Suatu hari nanti, aku akan menikahimu di sana. Kita menyelesaikan kuliah kemudian kembali ke Korea, bertemu dengan kedua orang tuamu kemudian kita akan menikah di sini.”
Jaehyuk mengatakannya dengan mudah namun Asahi tahu ada kesungguhan di sana. Asahi terdiam.
“Kau serius mau menikah denganku?” tanya Asahi kali ini menatap manik Jaehyuk.
“Memangnya kau tidak mau?”
Jaehyuk menatapnya sendu.
Asahi tersenyum kecil kemudian menangkup wajah tampan di hadapannya.
“Jika tiba waktunya nanti, tentu aku mau, Jae. Betapa bodohnya diriku jika menolak orang yang benar-benar mencintaiku.”
“Sampai hari itu datang, kita buat kenangan indah. Kita raih mimpi kita masing-masing. Terus bersamaku, eum?”
Asahi mengangguk cepat kemudian memeluk erat Jaehyuk. Nyaman. Berada di pelukan Jaehyuk sangatlah nyaman. Asahi merasa Jaehyuk adalah pilar hidupnya. Tanpa Jaehyuk, hidupnya akan luluh lantak.
“Mau masuk ke dalamnya?” tanya Jaehyuk ketika ide itu tiba-tiba muncul di otaknya.
“Hm? Memangnya masih buka?”
Jaehyuk menjawabnya dengan senyum kemudian menarik lengan Asahi.
“Ikuti aku saja.”
Asahi terkesima menatap Notre Dame Cathedral di malam hari. Lampu-lampu membuat bangunan megah itu menjadi terlihat lebih indah.
“Aku sering melihatnya dari luar, tapi tidak pernah tahu Notre Dame akan sebagus ini ketika malam hari.”
“Kau akan lebih terkejut ketika melihat interiornya.”
Jaehyuk mengenggam erat tangan Asahi dan membimbingnya masuk.
Mulut Asahi menganga melihat interior Notre Dame Cathedral yang benar-benar menakjubkan. Matanya berbinar mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya
“Indah sekali, Jae.”
Asahi berdecak kagum. Matanya tak berhenti bergerak melihat katedral yang sangat menakjubkan. Pantas saja wisatawan sering ke sini. Ternyata bagian dalamnya seindah ini.
Jaehyuk masih menggenggam erat tangan Asahi, membawanya pelan menuju altar. Jaehyuk memejamkan matanya sementara Asahi memperhatikannya.
“Aku janji akan menikahi Hamada Asahi di katedral ini. Membahagiakannya dan mencintainya sepenuh hati.”
Asahi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Bertemu dengan Jaehyuk adalah anugerah. Bisa mengenalnya bahkan memilikinya adalah hal terindah yang pernah terjadi di hidupnya. Jika keduanya bisa terus bersama selamanya, Asahi tidak akan meminta apa-apa lagi. Semua itu sudah lebih cukup baginya.
♤♤♤
•France, Paris, 2016•
Jaehyuk menatap resah amlop putih di genggamannya. Gemeretak giginya menandakan dirinya sedang berusaha menahan emosi sekarang. Jaehyuk dengan lancang membuka amplop putih itu membaca deretan kalimat di sana. Maniknya membulat. Tangannya meremas ujung kertas putih itu.
Asahi baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk di tangannya. Mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah. Mematung sempurna melihat surat yang sedang dibaca Jaehyuk.
“J-j-jae..,” lirihnya.
Jaehyuk membalikkan badannya. Menatap Asahi tak percaya.
“Apa ini Asahi?! Aku kira kau akan pulang ke Korea bersamaku? Sampai kapan kau akan menyembunyikan hal ini dariku?!” tanyanya frustasi dengan nada sedikit meninggi.
“Dengarkan aku dulu, Jae. Aku mohon,” pinta Asahi dengan nada lirih yang menyayat hati.
Asahi menarik paksa surat itu kemudian meletakannya di meja.
“Kita punya mimpi kita masing-masing, Jae. Aku diterima bekerja di salah satu galeri ternama di sini. Aku bisa meraih mimpiku menjadi seniman terkenal. Kau akan membantu perusahaan Ayahmu di Korea. Kita bisa meraih mimpi kita masing-masing terlebih dahulu kemudian menikah. Di Notre Dame seperti yang kau janjikan. Lalu kita bisa tinggal di sini. Aku bekerja di galeri sedangkan kau mengurus cabang perusahaan Ayahmu di sini.”
“Lalu bagaimana aku hidup tanpamu?! Apa kita harus menjalin hubungan jarak jauh? Satu dua tahun aku sanggup tapi jika kau menerima pekerjaan itu, kau akan selamanya menetap di Paris. Kau tidak akan kembali ke Korea lagi. Kau tidak akan hidup bersamaku di sana. Aku tidak mungkin meninggalkan keluargaku di Korea, Asahi. Lalu aku harus bagaimana?!”
Jaehyuk meremas surai hitam legamnya. Air mata mengalir dari kedua matanya. Matanya menatap Asahi sendu. Pemuda manis itu tampak berantakan. Air mata mengalir deras dari manik indah itu. Hidungnya memerah.
Asahi terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Ia ingat film La La Land yang baru saja ditontonnya di cinema sepekan lalu. Kedua tokohnya berpisah karena mengejar mimpi mereka masing-masing kemudian tidak memiliki akhir bahagia. Akankah kehidupannya begitu juga? Akankah kisahnya berakhir di sini?
“Let's break up, Asahi.”
Singkat.
Namun menghancurkan.
Asahi menatap Jaehyuk nanar. Mudah sekali bagi Jaehyuk mengatakan kalimat menyakitkan itu. Mudah sekali dirinya menghancurkan Asahi. Asahi terduduk lemas di lantai kayu apartemennya. Isakan lolos dari bibirnya.
“Kau egois, Asahi.”
Jaehyuk terduduk bersandar di dinding. Menatap sedih pemuda manis yang terisak tidak jauh darinya.
“Iya, aku egois. Yoon Jaehyuk selalu yang paling benar. Hanya Yoon Jaehyuk yang boleh meraih mimpinya. Asahi tidak boleh menjadi yang Asahi inginkan. Tidak boleh meraih mimpinya. Harus selalu mengikuti bayang-bayang Yoon Jaehyuk,” isaknya.
Secepat Jaehyuk mengatakannya secepat itu pula dirinya menyesal. Merasa jahat karena mengatakan Asahi egois. Nyatanya keduanya memang punya mimpi masing-masing yang harus diperjuangkan dan diraih. Bukan soal egois, tapi memang keduanya teguh pada pendirian masing-masing. Bukan soal tidak cinta, tapi kadang sesuatu yang dipilih akan selalu diikuti pengorbanan setelahnya dan besar kecilnya pengorbanan tidak bisa diukur hanya karena manusia lebih memilih hal yang satu dibanding yang lain. Banyak pertimbangan di dalamnya. Banyak pergumulan di perjalanannya.
“Maafkan aku, Asahi sudah melukaimu. Ini bukan soal egois, tapi memang keinginan kita berdua dan setiap pilihan memang selalu ada pengorbanan yang mengikuti,“katanya lembut menghampiri Asahi berjongkok di depannya dan merengkuh tubuh mungil itu.
Asahi menangis kencang di pelukan Jaehyuk. Dirinya tidak pernah ingin hubungan ini berakhir. Tapi harapan kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Nyatanya, tidaklah semudah itu. Nyatanya semakin seseorang dewasa akan banyak dihadapkan dengan beberapa pilihan. Terkadang sulit namun begitulah hidup. Sebagai manusia, hanya dapat menjalani dan belajar merelakan.
“Terima kasih untuk semuanya, Asahi. Jika memang garis hidup kita dipertemukan lagi, aku akan selalu menemukanmu. Maafkan aku yang dengan mudahnya berjanji lalu ingkar. Memang benar kata pepatah. Don't make promises when you are happy.”
Asahi menggeleng pelan. Tidak ada yang bersalah di antara keduanya.
“Jangan meminta maaf. Kau dan aku tidak bersalah. Hiduplah dengan baik, Yoon Jaehyuk. Jika semesta berpihak pada kita dan memberikan kesempatan lagi, aku juga akan selalu menemukanmu,” ucapnya lembut kemudian mengecup bibir penuh Jaehyuk lama. Menikmati momen terakhir yang mungkin tidak akan terulang lagi.
Their last kiss.
Their last night.
Their last memory.
♤♤♤
•Paris, Autumn, July, 2020•
Asahi duduk terdiam di sofa ruang tengahnya. Acara televisi di depannya tampak tidak menarik. Sudah sebulan setelah putusnya hubungannya dengan Caesar. Asahi menatap undangan pernikahan yang menganggu tidurnya setiap malam sebulan belakangan ini.
Yoon Jaehyuk akan menikah. Pemuda yang amat dan masih dicintainya itu akan menikah. Bukan dengan dirinya. Asahi merasakan matanya kembali memanas. Asahi ingat ketika hubungannya harus berakhir 4 tahun silam. Awalnya Jaehyuk masih mengirimkan surat setiap minggunya dari Korea. Awalnya mereka masih sering bertukar pesan singkat. Awalnya Jaehyuk masih menghubunginya. Mereka akan berbicara tiap malam sampai Asahi jatuh tertidur. Tidak peduli dengan perbedaan waktu yang menghalangi mereka. Namun, itu hanya bertahan 1 tahun. Setelah itu, pesan singkat, surat maupun telepon dari Jaehyuk berhenti. Lalu bisa-bisanya sebulan lalu undangan pernikahan itu sampai di apartemennya.
Jaehyuk benar-benar sudah melupakannya, kan? Tidak ada lagi kesempatan untuk mereka berdua, kan?
Asahi menatap kotak hitam bertuliskan namanya dan Jaehyuk di sudut ruangan yang beberapa hari lalu Asahi keluarkan dari gudang. Asahi masih menyimpannya. Semua kenangannya dengan Jaehyuk. Asahi melangkah gontai kemudian membuka kotak itu perlahan.
Bingkai foto mereka berdua.
Sketsa wajah Jaehyuk.
Tiket menonton.
Tiket taman bermain.
Tiket acara musikal.
Kumpulan mawar yang sudah mengering, yang selalu Jaehyuk berikan setiap anniversary mereka.
Air mata menggenang, siap jatuh kapan saja. Merasa bodoh akan dirinya sendiri mengapa sudah selama ini Asahi tetap tidak bisa melupakan pemuda Korea itu. Merasa bodoh karena nyatanya pemuda Korea itu sudah melupakannya sepenuhnya. Bahkan Jaehyuk tidak mengatakan apa-apa. Hanya undangan itu saja yang menjadi jawaban bagi Asahi bahwa pemuda Korea itu benar-benar sudah menghapusnya dari hidupnya.
Asahi menekuk lututnya, membenamkan wajahnya di antaranya. Menangis tertahan.
Pilu bagi siapapun yang mendengarnya.
Daun-daun di luar jendela berguguran tertiup angin. Asahi memeluk tubuh kurusnya merasakan hawa dingin menusuk tulangnya.
Sunyi.
Sendiri.
Hancur.
Rasanya ingin melihat pemuda Korea itu untuk terakhir kalinya. Merasakan pelukan eratnya. Merasakan bibir penuhnya yang memabukkan. Merasakan sentuhannya. Namun, Asahi bisa apa?
Jaehyuknya sudah melupakannya.
Jaehyuknya sudah bahagia.
Seharusnya, Asahi bahagia juga.
Asahi mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan di apartemennya. Apartemen ini menyimpan banyak kenangan dirinya dengan Jaehyuk. Lantas mengapa tidak pindah saja? Karena Asahi masih berharap suatu hari nanti Jaehyuk muncul di pintu apartemennya dan memeluknya. Karena Asahi masih berharap pemuda itu kembali kepadanya. Berharap garis hidup mereka dipertemukan lagi.
Namun, sekarang terkesan percuma bukan?
Now, it's time to let all the things go, right?
♤♤♤
•Seoul, July, 2020•
Pemuda berusia 26 tahun itu sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen perusahaan yang berserakan di meja ruang kerjanya. Sesekali menaikkan kacamatanya, membaca beberapa perjanjian perusahaan. Matanya terfokus pada laptop di depannya. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard laptopnya. Mengetik beberapa hal penting.
Seorang wanita cantik dengan rambut sebahu melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan secangkir teh yang masih mengepul.
“Hai, Jaehyuk. Aku buatkan teh. Minum dulu.”
Jaehyuk menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Tampak berpikir sebentar. Harusnya ia bahagia kan? Tapi, entah kenapa hatinya terasa kosong. Jane adalah wanita baik dan menyenangkan, tapi entah kenapa hatinya terasa hampa. Perasaan yang dirasakannya terhadap wanita cantik yang berdiri di hadapannya ini terus terasa asing. Jaehyuk setuju menikahinya karena Eommanya memohon padanya, mengingat mereka sudah berpacaran 2 tahun dan usia Jane yang lebih tua 3 tahun darinya.
Jaehyuk tersenyum kecil kemudian menyesap teh hangat itu.
“Jangan terlalu lelah bekerja,” ucap Jane sambil memegang bahu Jaehyuk.
Jaehyuk hanya tersenyum, menggenggam tangan kurus Jane.
“Sebentar lagi selesai.”
Jane tersenyum kemudian mengecup pipi Jaehyuk lembut.
Jaehyuk tak mengerti. Selama 2 tahun mereka saling mengecup, berpegangan tangan, memeluk, namun sampai saat ini masih terasa asing. Hati Jaehyuk berkecamuk. Takut jika keputusannya untuk menikah adalah keputusan yang akan menghancurkan keduanya.
“Kau pulanglah lebih dulu. Ini sudah malam. Maaf aku tak bisa mengantarmu. Deadline-nya besok dan aku harus menyelesaikan semuanya malam ini. Aku akan menyuruh Pak Kim untuk mengantarmu pulang.”
“Tidak apa. Aku mengerti. Aku pulang dulu ya. Jangan lupa 3 hari lagi kita harus fitting baju pernikahan kita.”
Jaehyuk hanya mengangguk kecil kemudian mengecup kening Jane sebelum mengantarnya ke depan.
Jam sudah menunjukkan jam 12 malam. Jaehyuk meregangkan tubuhnya yang terasa penat, melepaskan kacamatanya kemudian beranjak ke kamarnya. Ia butuh tidur sekarang juga.
Jaehyuk menatap langit-langit kamarnya. Memegang dadanya. Sejak hari itu, sejak ia sadar setelah kecelakaan 3 tahun lalu, di malam bersalju di tahun 2017, Jaehyuk merasa ada yang kosong di hidupnya. Seperti ada yang hilang tapi Jaehyuk tidak tahu apa. Lelah menguasai tubuhnya membuat kelopak matanya dipaksa terpejam.
“Kau lihat Notre Dame Cathedral di seberang sana?”
“Suatu hari nanti, aku akan menikahimu di sana. Kita menyelesaikan kuliah kemudian kembali ke Korea, bertemu dengan kedua orang tuamu kemudian kita akan menikah di sini.”
“Kau serius mau menikah denganku?”
Aku janji akan menikahi Hamada Asahi di katedral ini. Membahagiakannya dan mencintainya sepenuh hati.”
Jaehyuk terbangun dengan napas terengah. Mimpi itu datang lagi, tapi tidak pernah seintens ini. Semakin hari, mimpinya terasa semakin jelas.
Menikah?
Hamada Asahi?
Siapa pemuda itu?
Jaehyuk menjanjikan perihal menikah tapi bukan Jane yang berdiri di sana di dalam mimpinya. Bukan Jane yang ia bawa ke dalam katedral itu. Jaehyuk memegangi kepalanya yang terasa sakit seperti ditusuk. Ia memejamkan matanya, berusaha berdiri mengambil obat penahan sakit yang berada di meja nakas kamarnya sebelum pandangannya kabur dan sekitarnya menjadi gelap.
♤♤♤
Jaehyuk membuka matanya. Pemandangan serba putih menyambut penglihatannya. Jaehyuk kenal betul tempat ini. Berbulan-bulan lamanya ia menghabiskan waktu di sini. Suara tangisan di sebelahnya membuatnya terusik. Eommanya menangis sesunggukkan.
“Eomma, jangan menangis. Aku baik-baik saja.”
Ibunya menatapnya terkejut.
“Kau sudah sadar? Kau membuat Ibu takut, Jaehyukkie. Kau pingsan di kamarmu.”
“Kepalaku sakit sekali semalam. Aku ingin mengambil obat tapi kesadaranku lebih dulu hilang.”
“Ibu panggilkan dokter, eum?”
Jaehyuk menggeleng, menahan lengan Ibunya yang baru saja akan beranjak dari duduknya.
“Eomma, siapa Hamada Asahi?”
Mata Ibunya membulat sempurna. Hamada Asahi. Apakah Jaehyuk mengingatnya?
“Aku tanya sekali lagi. Siapa Hamada Asahi? Apa ada yang Eomma sembunyikan dariku selama ini?” tanya Jaehyuk dengan tatapan memohon.
“Kau tunggu di sini. Ibu panggilkan dokter saja ya,” ucap Ibunya terburu-buru.
Jaehyuk mengingatnya? Bagaimana bisa?
10 menit kemudian dokter yang merawatnya memeriksanya. Membetulkan letak kacamatanya kemudian menghela napas panjang. Fokusnya menatap Nyonya Yoon memohon persetujuan.
“Katakan saja yang sesungguhnya,” lirih Nyonya Yoon pelan.
Sudah cukup bukan menutupinya dari anak semata wayangnya ini?
Jaehyuk bingung setengah mati. Sebenarnya ada apa? Apa yang harusnya ia tahu tapi disembunyikan darinya selama ini?
“Jaehyuk-ssi. Kau ingat kecelakaan 3 tahun lalu yang membuatmu dirawat di sini selama berbulan-bulan? Karena kecelakaan itu, kepalamu terluka parah. Pendarahan di otakmu sangat parah sampai kau bisa mati kapan saja. Setelah hari itu, kau melupakan sebagian kejadian di hidupmu. Menurut ilmu Kedokteran, memori itu tidak akan mungkin kembali lagi karena otakmu rusak parah kala itu. Kami tidak pernah memberitahu yang sesungguhnya karena lebih baik bagimu untuk memulai hidup baru. Tak perlu mengingatnya lagi. Tak perlu merasakan sakit lagi. Kami... tidak menyangka jika memori itu perlahan muncul lagi membuatmu sedikit demi sedikit mengingatnya.”
Jaehyuk menatap Ibu dan Doker Lee tidak percaya. Ia merasa dibohongi selama hidupnya. Mengapa harus ditutupi? Atas dasar apa mereka berani menentukan apakah dirinya harus mengingatnya lagi atau melupakan memorinya yang hilang? Mengapa tidak pernah mengatakannya? Karena inikah hatinya selalu terasa kosong? Seperti ada yang hilang tanpa tau bagian apa yang sudah hilang.
“Kalian jahat sekali. Yoon Jaehyuk adalah milik Yoon Jaehyuk. Hidupku.. aku yang berhak menentukannya. Mengapa kalian dengan tega menutupi semuanya? Bertahun-tahun aku merasakan ada yang kosong dari hidupku. Ada yang hilang tanpa ku tau apa yang sesungguhnya hilang. Kalian tega sekali,” ucapnya lirih dengan air mata menggenang. Tenaganya sudah habis untuk berteriak. Tubuhnya terasa lemas.
Nyonya Yoon hanya bisa menangis. Memohon maaf adalah percuma. Ia hanya berusaha meringankan sakit anak kesayangannya tanpa berpikir justru hal ini menyakitinya dengan sangat.
“Apa Jane tahu juga akan hal ini?”
Nyonya Yoon mengangguk pasrah.
Jaehyuk tertawa miris.
“Aku ingin sendiri. Kalian keluarlah.”
Nyonya Yoon berusaha mendekat.
“Jangan mendekat. Maaf, tapi aku tidak bisa berbicara dengan eomma sekarang. Semua terlalu menyakitkan.”
Nyonya Yoon mengangguk mengerti kemudian melangkah keluar masih dengan tangis pilunya. Bagaimana jika seorang Ibu justru menghancurkan hidup anaknya sendiri?
♤♤♤
Sejak kejadian hari itu, Jaehyuk membatalkan pernikahannya. Tidak peduli akan semua persiapan yang sudah dilakukan. Tidak peduli dengan tangisan Jane dan kedua orang tuanya. Jaehyuk tidak peduli. Jika bukan karena kebohongan kedua orang tuanya, semua tidak akan begini. Amarahnya semakin meluap ketika tahu Ibunya mengirim undangan itu kepada Hamada Asahi. Sejak kejadian itu, Jaehyuk tidak pernah meninggalkan kamarnya. Hatinya terasa sakit ketika harus melihat kedua orang tuanya.
Hamada Asahi.
Ingatannya masih samar tapi yang dirinya tahu pemuda itu adalah bagian penting dari hidupnya. Jaehyuk berusaha mengingatnya namun kepalanya akan terasa sangat sakit setelah itu.
“Jaehyuk-ah,” panggil Ibunya dari luar kamar.
“Jika Ibu ke sini untuk memaksaku melangsungkan pernikahan itu, lebih baik kita tidak usah bicara,” jawabnya ketus.
Hati Nyonya Yoon mencelos. Entah bagaimana menebus kesalahannya.
“Tidak seperti itu, Jaehyukkie. Ibu membawa sesuatu untukmu. Benda-benda ini penting bagimu.”
Jaehyuk menghela napas kemudian membuka kasar pintu kamarnya. Mendapati Ibunya yang terlihat mengurus dan mata yang sembab. Bagaimanapun Ibunya adalah yang membesarkannya dan hatinya sakit juga melihat keadaan wanita yang paling ia sayangi itu. Tatapannya seketika melembut.
“Ibu tahu mungkin Ibu harus menghabiskan sisa hidup Ibu untuk menebus kesalahan yang sudah Ibu lakukan. Ibu tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mendapat maaf darimu. Ibu hanya bisa memberi ini. Membantu kau mengingatnya lagi. Setelah kau mengingatnya lagi, temui dia. Hamada Asahi. Ibu punya alamatnya. Tapi, Ibu mohon jangan memaksakan diri. Pelan-pelan saja. Ibu tidak mau kau sakit.”
Jaehyuk menatap Ibunya tak percaya. Pandangannya tertuju pada kotak hitam bertuliskan nama dirinya dan Asahi. Jaehyuk mengambilnya ragu, menatap kotak hitam yang terasa familiar. Jaehyuk membawanya dan meletakkannya di atas tempat tidurnya. Membukanya perlahan.
Secepat ia membuka kotak hitam itu, secepat itu potongan-potongan ingatannya menari-nari di kepalanya. Mendesak untuk naik ke permukaan.
Jaehyuk melihat semua kenangannya dengan Asahi di sana. Foto mereka berdua, kencan pertama mereka, sketsa dirinya dan Asahi, surat cinta yang Asahi tulis ketika anniversary mereka. Sebuah kunci tergeletak di sana yang ia yakini adalah kunci apartemen Asahi.
Kepalanya terasa sedikit sakit tapi jika ingin mengingatnya, Jaehyuk tidak boleh menyerah. Asahi adalah pemuda yang ia cintai sepenuh hati.
Setetes air mata jatuh begitu saja ketika dirinya mengingat potongan kisahnya. Saat dirinya dengan bodohnya mengakhiri hubungan mereka. Jika Jaehyuk tidak pernah mengakhirinya, belum tentu semuanya akan seperti ini. Jaehyuk ingat senyum manis itu, tawanya, manik indahnya, surai kecoklatan halus yang membingkai wajah sempurna itu. Jaehyuk inga