LOVESTREAMING
Di sisi ruangan itu, San duduk rapi menghadap layar ponsel yang menyala dan berdiri tegak dengan sanggahan tripod di atas meja. Mulutnya tak berhenti berbicara, sesekali mengalunkan nyanyian dengan suara halusnya yang menyejukkan hati.
Waktu menunjukkan pukul 11.13, sudah terhitung sekitar 20 menit ia melakukan siaran langsung menggunakan aplikasi sosial medianya.
San bosan, setelah jam mengajarnya di sebuah dance academy berakhir, ia memutuskan untuk melakukan siaran langsung dan menyapa para penggemarnya di luaran sana.
Choi San, guru di salah satu dance academy di ibu kota adalah salah satu profesinya. Namun, sebelum itu ia adalah seorang YouTuber dengan konten video dance serta dance tutorial yang menjadi mayoritas juga beberapa cover lagu di channelnya. Sekarang, ia masih menggeluti karir dengan YouTubenya, karena pekerjaan di dunia itu pula San ditawari bekerja sebagai guru dance.
“Iya, biasanya dia paling suka kalau aku nyanyiin lagu ini. katanya, sih, sexy―oh?”
Pandangan San refleks terarah menuju pintu masuk di sudut kanan ketika mendengar bunyi kenop yang turun.
Senyum San mengembang kecil, meski begitu bibirnya kembali melanjutkan ucapannya yang sempat terputus karena kehadiran sosok kecil dengan pakaian serba tebalnya yang berjalan menghampirinya.
Terlihat rengutan sebal pada wajah di balik masker yang menutupi hidung dan mulut sosok yang baru datang itu, sebelum dengan cepat dia berjalan menghampiri San dan berdiri di belakang kursi si Choi, matanya tersorot menuju kamera di depannya.
Selang beberapa detik, kolom komentar mulai ricuh, bergerak brutal ke atas dengan berbagai komentar dalam konteks yang sama.
‘ITU KAK WOOYOUNG KAN?!’
‘WOOYOUNG!!!’
‘KAK WOOYOUNG KANGEN BANGET!!’
‘MUNDUR GUYS JANGAN GENIT PACARNYA DATENG!!’
‘WOOSAN WOOSAN WOOSAN!!’
‘LIAT PAKEANNYA TEBEL BANGET PASTI KAK WOO KEDINGINAN KAN?’
‘KAK SAN PACARNYA PELUK DONG ITU KEDINGINAN!’
Dan beberapa komentar lain yang berdatangan cepat, terlihat amat ricuh sampai membuat San tak dapat menahan tawanya.
“Kamu, kok, gak bales komentar aku?”
Wooyoung bergerak mencondongkan kepalanya mendekat ke sisi kepala San untuk ikut mengisi layar ponsel dengan wajahnya.
“Aku gak lihat komentar kamu, mungkin ketimbun?” Balas San dengan jujur.
Si lelaki bermarga Jung hanya ber-oh ria sebelum hidungnya menangkap aroma sedap yang menyenangkan, indera penciumannya itu ia rapatkan pada helaian merah muda san yang amat halus.
“Kamu tadi pagi keramas, ya?” Tanya Wooyoung.
San mengangguk, sementara Wooyoung mulai kembali menghirup helaian rambut San dengan alis bertaut dan kening mengkerut.
“Geli, tau, Woo.”
“Baunya strawberry, tapi, kok, kaya kenal?”
Si Choi mengangkat kepala untuk menghadapkan wajahnya sejajar dengan wajah sang kasih yang berjarak beberapa senti dari wajahnya.
Dapat Wooyoung pastikan cengiran itu terulas di bibir yang tertutup masker putih milik San. Wooyoung mengerti, lantas mendengus.
“Setau aku, kamu gak suka pakai shampoo wangi buah-buahan walau suka wanginya kalau nyium dari kepalaku?”
Sebelah tangan San terangkat untuk menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sebelum terkekeh canggung.
“Shampoo aku abis, Sayang.”
Reaksi yang sudah San duga kala melihat dua bola mata sang kekasih melebar.
“Aku bilang juga apa? Kemarin harusnya belaja bul―”
San mendekatkan wajahnya, membungkam bibir di balik masker hitam itu dengan bibir di balik masker putihnya. Tidak berniat mendaratkan cium, benar-benar bermaksud membungkam, hanya saja jarak wajah lebih dekat daripada tangan.
“Lagi live, nanti aja marahnya, ya?”
Lelaki Choi mengusap kepala di balik beanie hat hitam sang kekasih.
Perlakuan San pada Wooyoung sebenarnya tak bereaksi semengejutkan itu, tapi tidak untuk penonton yang ada di sana. Ah, bahkan kolom komentar terus bergerak dengan kecepatan brutal kala melihat adegan manis sepasang kekasih yang sudah sangat mereka tahu bagaimana alur jalinan kasih yang tak jarang San ekspos melalui postingan di media sosial.
Semua penggemar San sudah tahu jika San memiliki kekasih, pun tahu siapa orangnya. Ia merasa beruntung memiliki banyak penggemar baik yang mendukung hubungannya, malah menggemari pasangan yang banyak orang sebut dengan nama ‘Woosan’ setiap kali meng-hype pasangan manis itu.
“Hi, Wooyoung. How are you?”
San membacakan salah satu komentar yang tertangkap matanya, ditujukan untuk sang kekasih yang saat ini beringsut semakin mendejatkan wajahnya ke layar ponsel.
“Good~”
Wooyoung membalas dengan nada mendayu sebelum kembali menjauhkan wajahnya dari layar ponsel dan memilih berdiri di belakang San dengan kedua tangan yang memeluk leher sang kasih dari belakang.
Sesekali, Wooyoung memainkan rambut san dengan gemas, sesekali pula ia membalas pertanyaan di kolom komentar yang tertangkap matanya.
“Iya, guys. Tmi, jadi San, tuh, kemarin latihan buat cover dance yang bakal dia upload ke YouTube kalo ngga besok, ya, lusa. Mau aku kasih spoiler, gak?”
San sengaja menyisikan tubuhnya ke samping untuk memberi spot bagi tubuh Wooyoung yang tersorot penuh di kamera.
“Pokoknya, tuh, gerakannya gini. Mmmh~ mmmh~”
San tak dapat menahan gemas melihat bagaimana Wooyoung menggerak-gerakkan tangannya sambil menyenandungkan salah satu lagu yang memang benar San gunakan untuk konten cover dance berikutnya.
Ditarik leher Wooyoung sebelum San menarik turun maskernya untuk menghujami kening Wooyoung dengan kecupan-kecupan penuh rasa gemas.
Wooyoung tak marah, ia justru senang diperlakukan manis seperti itu oleh san, tak ada kata malu dalam diri Wooyoung meski mereka berdua sedang ada dalam siaran langsung di akun sosial media resmi San.
“Sannie..”
“Hm?”
Si manis Jung kembali memeluk leher San sambil menelusupkan wajahnya pada perpotongan leher sang kekasih.
“Di luar dingin banget. I want your arms, warm hugs, and kith. with some cookies and hot chocolate too.”
San balas memeluk Wooyoung, mengusap-usap punggung si manis dengan lembut sesekali menepuk-nepuknya pelan.
“Sebentar lagi, ya?”
Wooyoung melepaskan pelukannya dan mengangguk patuh.
“Aku mau rebahan dulu di pojok ruangan, deh, masih ngantuk sebenernya, hehe.”
San menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum memberikan tas dan jaket tebal miliknya.
“Buat bantalan sama selimut.”
Wooyoung menerimanya dengan senang hati. Wajahnya kembali menghadap layar ponsel San.
“Hai, fansnya San, aku tiduran dulu, ya! Oh iya, buat yang mau keluar aku saranin pakai jaket soalnya hari ini cuaca lagi dingin banget. Terus juga jangan lupa selalu pakai masker, virus di ibu kota makin bau. Udah dulu, sampai jumpa, bye bye!”
Setelah melambaikan tangannya yang tenggelam dalam balutan jaket tebal itu, Wooyoung menyempatkan diri untuk menurunkan maskernya dan mendaratkan satu kecupan di atas kening San sebelum beranjak pergi.
San kembali menghadapkan wajahnya pada kamera ponsel miliknya sambil terkekeh geli melihat kolom komentar yang banjir akan reaksi untuk interaksi San dan Wooyoung juga beberapa ucapan sampai jumpa untuk sang kekasih manisnya.
“Kalian notice muka Wooyoung agak beler, gak, sih, tadi? Haha.”
Ia membenarkan letak maskernya sebelum kembali mengeluarkan suara.
“Anaknya mungkin belum lama bangun. For your information, Wooyoung semalem bergadang ngerjain skripsinya tanpa sepengetahuanku. Emang pinter banget nunggu aku tidur dulu biar gak dimarahin gara-gara bergadang. Aku gak tau dia tidur jam berapa pokoknya pas aku bangun anaknya lagi tidur di depan meja belajar.”
San menolehkan kepalanya ke samping, mengarahkan sorot matanya menuju pojok ruangan di mana Wooyoung berbaring dengan bantalan ransel dan jaket milik San yang menyelimuti tubuhnya.
Si Choi kembali menghadap kamera, telunjuknya terangkat dan ditempelkan di depan bibir.
“Aku bilang juga apa, masih ngantuk, guys. Dia udah tidur aja, cepet banget.”
San beranjak dari duduknya sambil meraih ponsel dari tripod miliknya. Diarahkannya kamera ponsel itu pada Wooyoung yang tengah tertidur pulas.
“Wooyoung kalau lagi tidur lucu, loh. Like a baby. Ah, literally, Wooyoung is a big baby, sih. Aku gak mau nunjukin muka tidurnya nanti kalian naksir.”
Cengiran lebar terulas di balik maskernya kala san kembali menghadapkan kamera ponsel pada wajahnya.
“Di samping tempat kerjaku ada cafe, aku mungkin mau tinggali Wooyoung sebentar dulu soalnya kalian denger, kan, tadi dia pengen cookies sama hot chocolate? Karena Wooyoung gak bisa temenin aku, kalian yang temenin aku, ya.”
San mengambil dompetnya sebelum berjalan menghampiri Wooyoung di pojok ruangan. Tubuhnya ia rendahkan, berlutut di samping tubuh Wooyoung. San menurunkan maskernya lantas tersenyum, tubuhnya bergerak ke depan mengiring kepalanya mendekat pada wajah Wooyoung untuk mendaratkan satu kecupan singkat di atas bibir si manis setelah menurunkan masker hitam itu.
“Jangan bangun dulu, ya, bayi,” bisik San.
Pemandangan itu, tak lepas sorot dari kamera ponsel San yang masih menyalakan siaran langsung pada aplikasi sosial medianya.
Kolom komentar kembali dibanjiri oleh berbagai reaksi yang kebanyakan melontarkan kalimat penuh rasa iri akan San yang menebar kemesraan dengan sengaja.
Wooyoung tak pernah menarik kembali bibirnya yang mengerucut sambil memandangi cairan berwarna cokelat di dalam gelas pada genggaman tangannya.
“Aku perginya beneran gak lama, sumpah. Lagian kamu juga udah aku titipin sama Yunho dan Mingi, gak sendirian, kan? Udah, dong, ngambeknya.”
Si manis Jung tak mengindahkan kalimat yang keluar dari mulut San dan lebih memilih untuk meraih satu keping cookies yang sudah San bukakan bungkusnya untuk ia celupkan pada cokelat hangat miliknya.
San mendengus, kedua tangan yang melingkar pada area pinggang Wooyoung dieratkan membuat tubuh pemuda yang terduduk nyaman di atas pangkuannya itu semakin merapat.
“Coba bilang dulu spesifiknya salahku di mana?”
Wooyoung menatap mata San sambil mengunyah cookiesnya. Belum juga mengeluarkan suara sampai ia menghabiskan satu keping cookies di tangannya.
“Pertama, kamu pergi gak bilang.”
Tanpa Wooyoung sadari, senyum yang amat tipis terulas di bibir san, sang Choi merasa senang akhirnya Wooyoung membuka suara.
“Kedua, kamu titipin aku ke Yunho dan Mingi yang pas aku bangun mereka gak ada bau-bau jagain aku, malah ngebucin dan aku di sini jadi kaya asep obat nyamuk―ngapain ketawa?”
“Eh, iya. Maaf, Sayang.”
San menghentikan tawa kecilnya dan beralih untuk mengelus-elus surai kelam sang kekasih yang sudah melepaskan beanie hatnya beberapa menit yang lalu.
“Yang ketiga apa, hm?”
Si manis Jung menyesap cokelat hangatnya sedikit sebelum kembali meraih sekeping cookies di samping tubuh San.
“Aku gak bilang ada tiga poin,” balasnya kemudian mengapit keping cookies itu dengan kedua mulutnya.
Senyum San semaki melebar, pelukannya pada pinggang sang kekasih dieratkan sebelun wajahnya mendekat untuk menggigit cookies yang sibuk Wooyoung emuti dengan bosan.
Wooyoung refleks berjengit, membulatkan matanya lantas memukul bahu San dengan kesal.
“Ambil sendiri, kan, bisa?!”
Sambil mengunyah cookies yang ia curi setengah bagian dari mulut Wooyoung, San hanya mengedikkan bahunya.
“Abisnya ngegodain banget ngemut-ngemut cookies gitu. Kamu mau aku cium?”
Wooyoung membuang pandang lantas mendecih sarkas, sementara San beralih mengambil cokelat hangat miliknya dan meneguknya.
Raut wajah itu kembali merengut, San terkekeh sambil memandang wajah sang kasih dengan jenaka sebelum menaruh kembali gelas cokelat hangat miliknya.
Ditangkupnya kedua pipi berisi itu untuk kembali dihadapkan pada wajah San.
“Aku ngga lupa perihal my arms, warm hugs, and kith yang kamu minta, kok.”
San mengambil gelas cokelat hangat milik Wooyoung untuk ia taruh di samping gelas miliknya. Selang beberapa detik kemudian San disambar oleh pelukan pada leher jenjangnya dari kedua tangan Wooyoung.
“Kayaknya poin yang ketiga itu ada.”
Setelahnya si Choi mengalunkan tawa melihat Wooyoung yang kembali memajukan bibirnya kini dengan raut merajuk. Direngkuhnya tubuh yang sedikit lebih kecil itu dengan sebelah tangannya sebelum sebelah tangannya yang bebas bergerak menarik tengkuk Wooyoung untuk ia daratkan bibirnya di atas ranum kembar sang kasih.
Wooyoung, sepertinya benar-benar menginginkan afeksi San saat ini, terbukti dengan si manis yang mendahului untuk memangut bibir San.
Menggemaskan, San tak dapat menahan diri untuk menyusul ritme gerak bibir Wooyoung dan menguasai ciuman yang berjalan lembut, sejauh ini.
Tak bertahan cukup lama, ciuman itu dijeda sebentar, San melepas kontak bibir mereka dan beralih menatap wajah sang kekasih.
“Bibir kamu masih dingin.”
Wooyoung mendengus, “Makannya aku minta angetin.”
Astaga, bagaimana bisa lelaki berumur 22 tahun ini masih terlihat menggemaskan bak bayi yang merajuk minta sesuatu pada ibunya?
San sudah tak dapat menahannya, lekas ia peluk erat tubuh kecil itu sementara bibirnya mulai kembali memangut bibir basah Wooyoung.
Kali ini, ciuman diiringin oleh lidah San yang mendahului melesak masuk, menerobos pintu mulut wooyoung.
Hangat, mulut San hangat sekali. Wooyoung tak ingin menghentikannya, ia tak ingin San melepas afeksi senyaman ini darinya. Maka, dipeluknya leher San amat erat sebelum Wooyoung menerima undangan pergumulan lidah sang kasih, memperdalam ciuman mereka.
Mulutnya berangsur direngkuh oleh sensasi hangat, juga tubuh yang sudah sejak tadi merasakan kenyamanan dari kehangatan yang San berikan melalui pelukannya.
Sesekali, ciuman itu terlepas hanya untuk sekedar melontarkan basa-basi tentang sensasi yang dirasakan atau hanya sekadar kekeh geli tak tahu apa yang lucu.
Ditutup dengan pelukan erat San dan kecupan-kecupan sayang yang ia hujamkan pada puncak kepala Wooyoung, juga permukaan wajah sang kasih untuk menggodanya.
Hari itu, mereka habiskan dengan saling memberikan tangan untuk memeluk sampai sore hari menyusul.
FIN ©kithwys, 2021.