aurareyys

Di sisi ruangan itu, San duduk rapi menghadap layar ponsel yang menyala dan berdiri tegak dengan sanggahan tripod di atas meja. Mulutnya tak berhenti berbicara, sesekali mengalunkan nyanyian dengan suara halusnya yang menyejukkan hati.

Waktu menunjukkan pukul 11.13, sudah terhitung sekitar 20 menit ia melakukan siaran langsung menggunakan aplikasi sosial medianya.

San bosan, setelah jam mengajarnya di sebuah dance academy berakhir, ia memutuskan untuk melakukan siaran langsung dan menyapa para penggemarnya di luaran sana.

Choi San, guru di salah satu dance academy di ibu kota adalah salah satu profesinya. Namun, sebelum itu ia adalah seorang YouTuber dengan konten video dance serta dance tutorial yang menjadi mayoritas juga beberapa cover lagu di channelnya. Sekarang, ia masih menggeluti karir dengan YouTubenya, karena pekerjaan di dunia itu pula San ditawari bekerja sebagai guru dance.

“Iya, biasanya dia paling suka kalau aku nyanyiin lagu ini. katanya, sih, sexy―oh?”

Pandangan San refleks terarah menuju pintu masuk di sudut kanan ketika mendengar bunyi kenop yang turun.

Senyum San mengembang kecil, meski begitu bibirnya kembali melanjutkan ucapannya yang sempat terputus karena kehadiran sosok kecil dengan pakaian serba tebalnya yang berjalan menghampirinya.

Terlihat rengutan sebal pada wajah di balik masker yang menutupi hidung dan mulut sosok yang baru datang itu, sebelum dengan cepat dia berjalan menghampiri San dan berdiri di belakang kursi si Choi, matanya tersorot menuju kamera di depannya.

Selang beberapa detik, kolom komentar mulai ricuh, bergerak brutal ke atas dengan berbagai komentar dalam konteks yang sama.

‘ITU KAK WOOYOUNG KAN?!’

‘WOOYOUNG!!!’

KAK WOOYOUNG KANGEN BANGET!!’

‘MUNDUR GUYS JANGAN GENIT PACARNYA DATENG!!’

‘WOOSAN WOOSAN WOOSAN!!’

‘LIAT PAKEANNYA TEBEL BANGET PASTI KAK WOO KEDINGINAN KAN?’

‘KAK SAN PACARNYA PELUK DONG ITU KEDINGINAN!’

Dan beberapa komentar lain yang berdatangan cepat, terlihat amat ricuh sampai membuat San tak dapat menahan tawanya.

“Kamu, kok, gak bales komentar aku?”

Wooyoung bergerak mencondongkan kepalanya mendekat ke sisi kepala San untuk ikut mengisi layar ponsel dengan wajahnya.

“Aku gak lihat komentar kamu, mungkin ketimbun?” Balas San dengan jujur.

Si lelaki bermarga Jung hanya ber-oh ria sebelum hidungnya menangkap aroma sedap yang menyenangkan, indera penciumannya itu ia rapatkan pada helaian merah muda san yang amat halus.

“Kamu tadi pagi keramas, ya?” Tanya Wooyoung.

San mengangguk, sementara Wooyoung mulai kembali menghirup helaian rambut San dengan alis bertaut dan kening mengkerut.

“Geli, tau, Woo.”

“Baunya strawberry, tapi, kok, kaya kenal?”

Si Choi mengangkat kepala untuk menghadapkan wajahnya sejajar dengan wajah sang kasih yang berjarak beberapa senti dari wajahnya.

Dapat Wooyoung pastikan cengiran itu terulas di bibir yang tertutup masker putih milik San. Wooyoung mengerti, lantas mendengus.

“Setau aku, kamu gak suka pakai shampoo wangi buah-buahan walau suka wanginya kalau nyium dari kepalaku?”

Sebelah tangan San terangkat untuk menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sebelum terkekeh canggung.

Shampoo aku abis, Sayang.”

Reaksi yang sudah San duga kala melihat dua bola mata sang kekasih melebar.

“Aku bilang juga apa? Kemarin harusnya belaja bul―”

San mendekatkan wajahnya, membungkam bibir di balik masker hitam itu dengan bibir di balik masker putihnya. Tidak berniat mendaratkan cium, benar-benar bermaksud membungkam, hanya saja jarak wajah lebih dekat daripada tangan.

“Lagi live, nanti aja marahnya, ya?”

Lelaki Choi mengusap kepala di balik beanie hat hitam sang kekasih.

Perlakuan San pada Wooyoung sebenarnya tak bereaksi semengejutkan itu, tapi tidak untuk penonton yang ada di sana. Ah, bahkan kolom komentar terus bergerak dengan kecepatan brutal kala melihat adegan manis sepasang kekasih yang sudah sangat mereka tahu bagaimana alur jalinan kasih yang tak jarang San ekspos melalui postingan di media sosial.

Semua penggemar San sudah tahu jika San memiliki kekasih, pun tahu siapa orangnya. Ia merasa beruntung memiliki banyak penggemar baik yang mendukung hubungannya, malah menggemari pasangan yang banyak orang sebut dengan nama ‘Woosan’ setiap kali meng-hype pasangan manis itu.

Hi, Wooyoung. How are you?

San membacakan salah satu komentar yang tertangkap matanya, ditujukan untuk sang kekasih yang saat ini beringsut semakin mendejatkan wajahnya ke layar ponsel.

Good~”

Wooyoung membalas dengan nada mendayu sebelum kembali menjauhkan wajahnya dari layar ponsel dan memilih berdiri di belakang San dengan kedua tangan yang memeluk leher sang kasih dari belakang.

Sesekali, Wooyoung memainkan rambut san dengan gemas, sesekali pula ia membalas pertanyaan di kolom komentar yang tertangkap matanya.

“Iya, guys. Tmi, jadi San, tuh, kemarin latihan buat cover dance yang bakal dia upload ke YouTube kalo ngga besok, ya, lusa. Mau aku kasih spoiler, gak?”

San sengaja menyisikan tubuhnya ke samping untuk memberi spot bagi tubuh Wooyoung yang tersorot penuh di kamera.

“Pokoknya, tuh, gerakannya gini. Mmmh~ mmmh~

San tak dapat menahan gemas melihat bagaimana Wooyoung menggerak-gerakkan tangannya sambil menyenandungkan salah satu lagu yang memang benar San gunakan untuk konten cover dance berikutnya.

Ditarik leher Wooyoung sebelum San menarik turun maskernya untuk menghujami kening Wooyoung dengan kecupan-kecupan penuh rasa gemas.

Wooyoung tak marah, ia justru senang diperlakukan manis seperti itu oleh san, tak ada kata malu dalam diri Wooyoung meski mereka berdua sedang ada dalam siaran langsung di akun sosial media resmi San.

“Sannie..”

“Hm?”

Si manis Jung kembali memeluk leher San sambil menelusupkan wajahnya pada perpotongan leher sang kekasih.

“Di luar dingin banget. I want your arms, warm hugs, and kith. with some cookies and hot chocolate too.

San balas memeluk Wooyoung, mengusap-usap punggung si manis dengan lembut sesekali menepuk-nepuknya pelan.

“Sebentar lagi, ya?”

Wooyoung melepaskan pelukannya dan mengangguk patuh.

“Aku mau rebahan dulu di pojok ruangan, deh, masih ngantuk sebenernya, hehe.”

San menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum memberikan tas dan jaket tebal miliknya.

“Buat bantalan sama selimut.”

Wooyoung menerimanya dengan senang hati. Wajahnya kembali menghadap layar ponsel San.

“Hai, fansnya San, aku tiduran dulu, ya! Oh iya, buat yang mau keluar aku saranin pakai jaket soalnya hari ini cuaca lagi dingin banget. Terus juga jangan lupa selalu pakai masker, virus di ibu kota makin bau. Udah dulu, sampai jumpa, bye bye!”

Setelah melambaikan tangannya yang tenggelam dalam balutan jaket tebal itu, Wooyoung menyempatkan diri untuk menurunkan maskernya dan mendaratkan satu kecupan di atas kening San sebelum beranjak pergi.

San kembali menghadapkan wajahnya pada kamera ponsel miliknya sambil terkekeh geli melihat kolom komentar yang banjir akan reaksi untuk interaksi San dan Wooyoung juga beberapa ucapan sampai jumpa untuk sang kekasih manisnya.

“Kalian notice muka Wooyoung agak beler, gak, sih, tadi? Haha.”

Ia membenarkan letak maskernya sebelum kembali mengeluarkan suara.

“Anaknya mungkin belum lama bangun. For your information, Wooyoung semalem bergadang ngerjain skripsinya tanpa sepengetahuanku. Emang pinter banget nunggu aku tidur dulu biar gak dimarahin gara-gara bergadang. Aku gak tau dia tidur jam berapa pokoknya pas aku bangun anaknya lagi tidur di depan meja belajar.”

San menolehkan kepalanya ke samping, mengarahkan sorot matanya menuju pojok ruangan di mana Wooyoung berbaring dengan bantalan ransel dan jaket milik San yang menyelimuti tubuhnya.

Si Choi kembali menghadap kamera, telunjuknya terangkat dan ditempelkan di depan bibir.

“Aku bilang juga apa, masih ngantuk, guys. Dia udah tidur aja, cepet banget.”

San beranjak dari duduknya sambil meraih ponsel dari tripod miliknya. Diarahkannya kamera ponsel itu pada Wooyoung yang tengah tertidur pulas.

“Wooyoung kalau lagi tidur lucu, loh. Like a baby. Ah, literally, Wooyoung is a big baby, sih. Aku gak mau nunjukin muka tidurnya nanti kalian naksir.”

Cengiran lebar terulas di balik maskernya kala san kembali menghadapkan kamera ponsel pada wajahnya.

“Di samping tempat kerjaku ada cafe, aku mungkin mau tinggali Wooyoung sebentar dulu soalnya kalian denger, kan, tadi dia pengen cookies sama hot chocolate? Karena Wooyoung gak bisa temenin aku, kalian yang temenin aku, ya.”

San mengambil dompetnya sebelum berjalan menghampiri Wooyoung di pojok ruangan. Tubuhnya ia rendahkan, berlutut di samping tubuh Wooyoung. San menurunkan maskernya lantas tersenyum, tubuhnya bergerak ke depan mengiring kepalanya mendekat pada wajah Wooyoung untuk mendaratkan satu kecupan singkat di atas bibir si manis setelah menurunkan masker hitam itu.

“Jangan bangun dulu, ya, bayi,” bisik San.

Pemandangan itu, tak lepas sorot dari kamera ponsel San yang masih menyalakan siaran langsung pada aplikasi sosial medianya.

Kolom komentar kembali dibanjiri oleh berbagai reaksi yang kebanyakan melontarkan kalimat penuh rasa iri akan San yang menebar kemesraan dengan sengaja.


Wooyoung tak pernah menarik kembali bibirnya yang mengerucut sambil memandangi cairan berwarna cokelat di dalam gelas pada genggaman tangannya.

“Aku perginya beneran gak lama, sumpah. Lagian kamu juga udah aku titipin sama Yunho dan Mingi, gak sendirian, kan? Udah, dong, ngambeknya.”

Si manis Jung tak mengindahkan kalimat yang keluar dari mulut San dan lebih memilih untuk meraih satu keping cookies yang sudah San bukakan bungkusnya untuk ia celupkan pada cokelat hangat miliknya.

San mendengus, kedua tangan yang melingkar pada area pinggang Wooyoung dieratkan membuat tubuh pemuda yang terduduk nyaman di atas pangkuannya itu semakin merapat.

“Coba bilang dulu spesifiknya salahku di mana?”

Wooyoung menatap mata San sambil mengunyah cookiesnya. Belum juga mengeluarkan suara sampai ia menghabiskan satu keping cookies di tangannya.

“Pertama, kamu pergi gak bilang.”

Tanpa Wooyoung sadari, senyum yang amat tipis terulas di bibir san, sang Choi merasa senang akhirnya Wooyoung membuka suara.

“Kedua, kamu titipin aku ke Yunho dan Mingi yang pas aku bangun mereka gak ada bau-bau jagain aku, malah ngebucin dan aku di sini jadi kaya asep obat nyamuk―ngapain ketawa?”

“Eh, iya. Maaf, Sayang.”

San menghentikan tawa kecilnya dan beralih untuk mengelus-elus surai kelam sang kekasih yang sudah melepaskan beanie hatnya beberapa menit yang lalu.

“Yang ketiga apa, hm?”

Si manis Jung menyesap cokelat hangatnya sedikit sebelum kembali meraih sekeping cookies di samping tubuh San.

“Aku gak bilang ada tiga poin,” balasnya kemudian mengapit keping cookies itu dengan kedua mulutnya.

Senyum San semaki melebar, pelukannya pada pinggang sang kekasih dieratkan sebelun wajahnya mendekat untuk menggigit cookies yang sibuk Wooyoung emuti dengan bosan.

Wooyoung refleks berjengit, membulatkan matanya lantas memukul bahu San dengan kesal.

“Ambil sendiri, kan, bisa?!”

Sambil mengunyah cookies yang ia curi setengah bagian dari mulut Wooyoung, San hanya mengedikkan bahunya.

“Abisnya ngegodain banget ngemut-ngemut cookies gitu. Kamu mau aku cium?”

Wooyoung membuang pandang lantas mendecih sarkas, sementara San beralih mengambil cokelat hangat miliknya dan meneguknya.

Raut wajah itu kembali merengut, San terkekeh sambil memandang wajah sang kasih dengan jenaka sebelum menaruh kembali gelas cokelat hangat miliknya.

Ditangkupnya kedua pipi berisi itu untuk kembali dihadapkan pada wajah San.

“Aku ngga lupa perihal my arms, warm hugs, and kith yang kamu minta, kok.”

San mengambil gelas cokelat hangat milik Wooyoung untuk ia taruh di samping gelas miliknya. Selang beberapa detik kemudian San disambar oleh pelukan pada leher jenjangnya dari kedua tangan Wooyoung.

“Kayaknya poin yang ketiga itu ada.”

Setelahnya si Choi mengalunkan tawa melihat Wooyoung yang kembali memajukan bibirnya kini dengan raut merajuk. Direngkuhnya tubuh yang sedikit lebih kecil itu dengan sebelah tangannya sebelum sebelah tangannya yang bebas bergerak menarik tengkuk Wooyoung untuk ia daratkan bibirnya di atas ranum kembar sang kasih.

Wooyoung, sepertinya benar-benar menginginkan afeksi San saat ini, terbukti dengan si manis yang mendahului untuk memangut bibir San.

Menggemaskan, San tak dapat menahan diri untuk menyusul ritme gerak bibir Wooyoung dan menguasai ciuman yang berjalan lembut, sejauh ini.

Tak bertahan cukup lama, ciuman itu dijeda sebentar, San melepas kontak bibir mereka dan beralih menatap wajah sang kekasih.

“Bibir kamu masih dingin.”

Wooyoung mendengus, “Makannya aku minta angetin.”

Astaga, bagaimana bisa lelaki berumur 22 tahun ini masih terlihat menggemaskan bak bayi yang merajuk minta sesuatu pada ibunya?

San sudah tak dapat menahannya, lekas ia peluk erat tubuh kecil itu sementara bibirnya mulai kembali memangut bibir basah Wooyoung.

Kali ini, ciuman diiringin oleh lidah San yang mendahului melesak masuk, menerobos pintu mulut wooyoung.

Hangat, mulut San hangat sekali. Wooyoung tak ingin menghentikannya, ia tak ingin San melepas afeksi senyaman ini darinya. Maka, dipeluknya leher San amat erat sebelum Wooyoung menerima undangan pergumulan lidah sang kasih, memperdalam ciuman mereka.

Mulutnya berangsur direngkuh oleh sensasi hangat, juga tubuh yang sudah sejak tadi merasakan kenyamanan dari kehangatan yang San berikan melalui pelukannya.

Sesekali, ciuman itu terlepas hanya untuk sekedar melontarkan basa-basi tentang sensasi yang dirasakan atau hanya sekadar kekeh geli tak tahu apa yang lucu.

Ditutup dengan pelukan erat San dan kecupan-kecupan sayang yang ia hujamkan pada puncak kepala Wooyoung, juga permukaan wajah sang kasih untuk menggodanya.

Hari itu, mereka habiskan dengan saling memberikan tangan untuk memeluk sampai sore hari menyusul.


FIN ©kithwys, 2021.

wooyoung mematung di ambang pintu, kepalanya menatap lurus dua netra sosok tegap yang berdiri tepat di hadapannya.

sial, ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu, dan untuk apa pula san menampakkan diri di hadapannya?

“kita butuh bicara, woo.”

wooyoung memutuskan kontak mata mereka, bola matanya bergulir ke arah lain demi mengalihkan rasa gugup akan sosok si choi dengan sorot penuh intimidasinya.

“gue masih ada kelas.”

si lelaki jung mencoba untuk memberi reaksi yang tenang; menahan gugup. san yang mendengarnya berdecak kesal, terlalu jenuh.

“udah cukup main petak umpetnya.”

diraihnya pergelangan tangan lelaki yang sedikit lebih kecil darinya itu untuk bergegas pergi dari ambang pintu yang menghalangi akses orang-orang untuk keluar; terlalu ragu dan canggung, tekanan atmosfer tak mengenakkan yang terjadi di antara san dan wooyoung bahkan dapat mereka rasakan.

wooyoung meronta, berteriak tanpa malu di sepanjang koridor gedung fakultas tempat wooyoung menimba ilmu, menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana.

sementara san tak mengindahkan segala rontaan wooyoung, genggamannya pada pergelangan tangan itu ia kuatkan, tak begitu memikirkan rasa sakit yang kini wooyoung rasakan, ia akan meminta maaf untuk itu nanti. sekarang, yang ada di pikiran san adalah bagaimana cara menangkap wooyoung yang eksistensinya mulai memudar dari pandangan matanya.

didorongnya tubuh itu ke dalam mobil sebelum san memutari kendaraan beroda empat itu untuk melesat masuk menduduki kursi pengemudi di samping wooyoung.

“udah gue bilang gue ada kelas!”

san tak mendengarkannya, ia lekas menghidupkan mesin mobilnya dan melaju keluar dari area kampus.

kecepatan mobil dinaikkan kala mobil merah mengkilap itu mulai memasuki jalan raya. jalanan sore hari ini sedikit renggang, para pekerja dan pelajar sepertinya pulang lebih cepat, yang artinya bukan masalah bagi san untuk semakin menambah laju kecepatan mobilnya.

hal yang membuat wooyoung semakin muak pada san, lelaki itu benar-benar tak mendengarkan wooyoung sama sekali.

“choi san!”

“buka pintu dan keluar, kalo lo maksa.”

oh, maksud san; buka pintu dan melompat keluar. memang gila.

wooyoung mengerang, menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi lantas memasang sabuk pengaman dengan rasa tak ikhlas.

san melirik wooyoung melalui ekor matanya, wooyoung terlihat sangat kesal dengan wajah memerah sampai merambat ke telinga dan muka yang dibuang pandang dari mata san. si lelaki choi mendecih, sebelum kembali fokus pada jalan raya di depannya.

jujur saja, wooyoung benar-benar membuat san muak dengan menghindarinya selama seminggu ini―atau lebih? entahlah, yang pasti sampai membuat san merasa bosan dan jengah di hitungan ke lima hari wooyoung hilang dari pandangannya setelah malam itu; malam terhebat yang pernah mereka lakukan selama bertahun-tahun bersahabat.

san tak mengerti apa yang wooyoung pikirkan, menghilang di hari setelah mereka bersetubuh dan tak dapat dihubungi. san pikir, wooyoung mungkin masih merasa syok dan butuh waktu untuk sendiri demi menenangkan pikirannya. meski dekat, bagaimana pun hal itu adalah yang pertama untuk mereka, walau jika diingat wooyoung terlihat menikmatinya dan san sudah tak perlu ditanya.

nyatanya, wooyoung menghilang bukan untuk menenangkan dirinya, ia tak ingin san temui. nomor handphone bahkan seluruh sosial media san diblokir oleh sahabatnya itu sampai tak ada akses yang dapat san tempuh untuk mengulik wooyoung, dia bahkan tak pernah membukakan pintu apartemennya untuk san, kadang pula pergi demi menghindari kedatangan san.

“kita mau kemana?”

hening dipecah oleh pertanyaan datar yang terlontar dari mulut wooyoung. lelaki itu masih betah membuang muka ke samping kaca mobil tanpa ingin san tangkap rautnya meski tetap terpantul pada permukaan kaca yang sudah san lapisi dengan kaca film.

“nanti lo tau.”

setelahnya, hening kembali menemani, membiarkan suara mesin mobil menjadi pengisi suasana yang cukup canggung dengan atmosfer emosi yang tak mengenakkan.

hal itu bertahan selama perjalanan mereka yang memakan waktu hampir dua jam lamanya.

hampir dua jam tanpa berbincang, bukan san dan wooyoung sekali. meski begitu, ketimbang rasa tak nyaman, san dan wooyoung justru membiarkan sepi mengalir karena saat ini keduanya benar-benar tak ingin mengeluarkan suara untuk satu sama lain.

beberapa kilometer mobil melaju ke depan, suasana semakin menyepi, sangat sepi hingga mungkin hanya ada mobil san di sana. langit juga mulai menunjukkan jingganya, pertanda petang menuju malam hampir tiba.

mobil san menepi, berhenti di pinggir jalan yang sepi. mata wooyoung menatap hamparan pasir dan air jernih dengan ombak kecil menyisir ke tepian.

pantai.

pilihan yang bagus sekali untuk menyaksikan matahari terbenam hari ini. san sangat tahu wooyoung menyukai pantai dan senja, dua hal itu adalah perpaduan yang sangat indah untuk dinikmati dalam satu waktu pandang.

“kenapa lo menghindar?”

ah, to the point, tipikal seorang choi san yang tak menyukai basa-basi dalam topik serius.

wooyoung menghela napas sambil menyandarkan kepalanya, matanya masih enggan menatap san di sampingnya.

“segampang itu lo blokir semua akses gue ke lo, woo? apa karena malem itu? tapi gue pikir lo suka.”

si lelaki jung mendengus kesal, mengangkat kedua kakinya untuk ia peluk sementara dagunya mulai bertopang di atas lutut. matanya menatap lurus matahari sore yang siap terbenam.

“woo, jawab. lo kena―”

“lo yang kenapa?!”

desakan san terputus oleh suara dengan nada tinggi wooyoung yang terlontar. mata lelaki itu kini dengan berani menatap san penuh kilat amarah dan terlihat memerah, entah sudah sejak kapan wooyoung menahannya, san tak tahu. sahabatnya itu terus membuang muka tanpa memberi san kesempatan untuk melihat pahatan manis yang jujur saja sangat san rindukan.

“pagi itu lo kemana, choi san?!”

san menatap wooyoung dalam diam dengan isi kepala memutar rekam ulang waktu di mana san dan wooyoung terakhir kali bertemu.

sret!

tubuh san tertarik oleh cengraman kuat wooyoung pada kerah hoodie hitam si lelaki choi. sorot mata si jung semakin menyalang, penuh amarah yang sudah sejak lama ditahannya.

“pagi itu gue bangun, gue sendirian, gak ada siapa-siapa, gak ada lo di samping gue, lo ninggalin gue. dan sekarang lo tanya gue kenapa?! otak lo pake anjing!”

wooyoung melepas cengkramamnya, mendorong san dengan kasar hingga si choi hampir menubruk pintu mobil di belakangnya.

“gue tau kita sahabatan, kita gak pernah keberatan buat saling bantu...”

wooyoung kembali memeluk kakinya, wajahnya kini ia tenggelamkan pada permukaan lututnya, helaan napas kembali berhembus.

pagi itu, wooyoung bangun dengan rasa sakit di sekujur tubuh dan perih di area bawahnya, juga rasa sesak yang menyeruak di dalam dada menemukan dirinya tertinggal sendiri di dalam kamar miliknya, tanpa san di sampingnya.

hal yang paling memalukan adalah, wooyoung menangis saat itu. ia sendiri tak mengerti kenapa ia menangis, kenapa ia kesal, kenapa ia merasa kecewa, kala ia tahu san tak ada di sampingnya pagi itu.

wooyoung mencoba abai pada kebingungan yang ia rasakan dan menjalani hari seperti biasa setelah itu.

tapi, rasanya tiap waktu di dalam hidup wooyoung mulai terasa begitu berbeda. ini tentang ingatan di mana ia dan san melakukannya. ciuman menenangkan san di keningnya, pangutan mesra san pada bibirnya, sentuhan tangan san pada tiap lekuk tubuhnya, dan geram serta erangan merdu san sambil menyerukan namanya. semuanya terekam rapi dan selalu terputar tanpa wooyoung dapat kendalikan di dalam kepalanya.

semua tentang san, hidupnya berubah menjadi tentang san yang selalu muncul dalam ingatannya. ingatan itu membuat wooyoung lama kelamaan muak dan rindu di saat yang bersamaan.

saat itu, wooyoung mulai menyadari jika;

“gue suka sama lo, san.”

wooyoung mencengkram kuat celananya, wajahnya semakin menelusup pada permukaan lututnya.

“tapi lo nganggap semua ini kaya main-main.”

si lelaki jung kembali bertopang dagu di atas lututnya, dapat san lihat raut datar yang mulai mengeruh pada pahatan manis itu.

“seharusnya, gue gak terlalu bawa perasaan gue. tapi, san, bukan salah gue kan perasaan ini ada?”

san menyandarkan punggungnya, lantas menunduk dalam, ia mengangguk tak berguna, tanpa wooyoung mau melihat ke arahnya.

“lo tau, san? kadang, perasaan pribadi bisa hancurin persahabatan. setelah lo denger semua ini, apa kita masih bisa disebut sahabat, san?”

“gue.. gak tau, woo.”

“kalau gitu, kita ini apa, san?”

i think, bff?

wooyoung kembali menunduk, menggigit bibir bawahnya dengan kuat, menahan isakan yang hendak meloloskan diri bersama getar tubuh dan air matanya yang mulai mengalir dari kedua pelupuk matanya.

ya, sulit mengembalikan keadaan seperti semula, apalagi ketika cinta tumbuh dalam ruang lingkup dua insan yang bersahabat dekat. wooyoung sudah paham akan resikonya, tak ada yang bisa ia salahkan pula di sini.

“wooyoung.”

sebuah tangan mendarat di atas puncak kepala wooyoung, bergerak untuk mengusapnya dengan lembut. selanjutnya, tubuh itu diraih, direngkuh erat sementara tangan san masih sibuk mengusap kepala wooyoung dengan lembut.

dengan kontak tubuh sedekat ini, dapat san dengar napas tersendat akibat memaksakan diri untuk tak terisak, tubuh bergetar wooyoung membenarkannya.

“hiks..”

dan, isak itu akhirnya keluar, melirih, tetap lirih hingga secara perlahan menjadi tangis yang menggema di dalam mobil san.

persetan dengan harga diri, wooyoung bahkan sudah lebih dulu meruntuhkan harga dirinya dengan pernyataan memalukan tentang perasaannya untuk san.

di dalam mobil itu, hanya diisi oleh suara tangis wooyoung dan san yang setia mendengarkannya tanpa berusaha untuk menenangkan lelaki kecil itu. tepukan lembut pada kepala dan punggung wooyoung adalah opsi yang ia pilih sampai wooyoung meredakan tangisnya.

dirasa tangis wooyoung mulai mereda, san menunduk, senyum kecil terulas di bibir melihat wooyoung yang menyembunyikan wajah di atas pundak san.

“woo, will you be my bff?

demi tuhan, setelah seluruh pernyataan yang dirundung emosi, wooyoung pikir san mengerti tentang perasaannya.

tapi apa ini?

mencoba mengulang semuanya dari awal dan berlaku seolah tak pernah ada apa-apa?

we've been bestfriend forever for fucking sake, san.”

then?

“lo paham, gak―”

yes, then what's the problem with that?

kepalan tangan wooyoung terangkat, kekuatan penuh ia kumpulkan pada kepalan itu hingga uratnya tampak jelas, bersiap menghantamkannya pada wajah si choi menyebalkan di hadapannya.

grep!

sayangnya, san jauh lebih gesit darinya untuk menangkap kepalan tangan yang san yakini bisa saja menghancurkan wajahnya jika benda itu dihantamkan.

diusapnya punggung pada kepalan tangan itu dengan lembut oleh ibu jarinya sebelum san beringsut mengecupnya tak kalah lembut.

wooyoung sama sekali tak mengerti apa yang san lakukan saat ini, apa yang ada di pikirannya saat ini. sial baginya untuk lagi-lagi merasakan desiran hangat hanya karena kecupan di punggung tangan yang membuat kepalannya lama-lama melemah.

we've been best friend forever, so how about you become my bff? i mean, boyfriend forever?”

“huh?”

san menarik tangan wooyoung yang masih ada dalam genggamannya dengan kuat hingga wooyoung tak dapat menahan posisinya untuk tetap berada di tempatnya dan berpindah ke atas pangkuan san.

posisi yang membuatnya gugup setengah mati, apalagi ketika san menangkup kedua pipinya dan menyatukan kening masing-masing. dalam jarak yang amat dekat ini, dua bola mata wooyoung tak dapat berpindah dari tatap dua kelereng jernih di hadapannya.

“setelah malam itu, setiap harinya, selalu wajah lo yang muncul.”

ibu jari san bergerak untuk menghapus jejak air mata yang mengotori permukaan pipi gembil wooyoung.

“gue juga awalnya gak ngerti kenapa. tapi, woo, wajah manis ini beneran bikin gue gak tenang setiap hari.”

raut sejuk san meluruh, sorot matanya berubah sendu.

“dan lo hilang setelah itu. bikin wajah lo makin sering muncul setiap hari, ganggu gue, bikin gue kangen, lagi dan lagi.”

wooyoung dapat merasakan hembusan napas dari helaan yang san keluarkan.

“ya, ini salah gue, seandainya gue bisa nunggu lo sedikit lebih lama buat bangun pagi itu.”

“kenapa lo pergi?” suara wooyoung mengalun lirih, memecah hening di dalam mobil dengan pencahayaan yang makin meremang seiring matahari mulai merendah di ufuk barat, tepat di depan mobil yang terparkir aman di dekat pasir pantai.

“gue takut, lo belum siap nemuin gue pagi itu. mau kaya gimana juga, kita sahabat dekat yang nekat having sex karena awal yang agak konyol. lo pasti kaget. gue.. pengen lo jernihin pikiran lo dulu.”

ibu jari san beringsut mengusap permukaan bibir bawah wooyoung yang kering akibat hawa dingin di sekitarnya.

“tapi gue salah, gue malah bikin lo ngerasa ini cuma main-main. maafin gue.”

“tolol.”

san terkekeh kecil, hidungnya ia usakkan dengan gemas pada ujung hidung wooyoung. ah, ia senang mendengar kata kasar yang sering wooyoung lontarkan untuknya itu.

“ya, gue.”

kedua tangan san beranjak dari pipi wooyoung, turun ke bawah untuk memeluk pinggang wooyoung dengan mesra, menarik tubuh yang sedikit lebih kecil untuk merapat padanya.

so? will you be my bff?

wooyoung menukikkan kedua alisnya, “say it right!

astaga, gemas sekali. wooyoung benar-benar menggemaskan.

would you be my boyfriend forever?

kali ini, wooyoung menunduk. meski hari mulai gelap karena matahari sudah hampir terbenam sepenuhnya, san dapat melihat semburat merah yang tertoreh di pipi si manis dengan jarak sedekat ini.

“apa bakal ngerubah semuanya, san?”

san mengulas senyum yang amat menawan untuk wooyoung lihat mulai saat ini. ya, semua rasa kini mulai berbeda, bahkan dari bagaimana cara san menatapnya selembut itu, semua mulai terasa berbeda.

“gak ada yang berubah.”

satu kecupan ringan mendarat di atas bibir wooyoung tanpa permisi.

“hanya status dan rasa. sisanya, gak ada yang berubah, kita gak perlu ngejalanin semuanya sesuai alur kisah klasik dua orang yang saling jatuh cinta. kita masih bisa ngejalanin semuanya kaya apa yang biasa kita lakuin selama ini.”

awalnya, wooyoung merasa amat takut. namun, sorot mata dari lelaki yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun, tahu baik buruknya bahkan partikel terkecil dari kebiasannya, menunjukkan sebuah keseriusan yang mutlak.

dua tangan wooyoung terangkat untuk membingkai tiap sisi wajah san, memberinya sedikit usapan lembut sebelum senyum manis merekah tipis.

yes, we're boyfriend forever, from now on. oh, you can call it bff, if that sounds easier.

manis. manis. manis.

ada lagi hal yang berubah dalam pandangan san. tidak, lebih tepatnya hal yang baru san sadari.

wooyoung―nya, sangat manis, begitu manis sampai rasanya san tak dapat menahan diri untuk lekas meraup bibir kering di hadapannya, memangut dan melumat bilah ranum kembar itu, membasahinya.

sementara wooyoung, mengulas senyum di balik pangutan yang mulai menjadi favoritnya setelah malam itu. kedua tangannya berpindah untuk memeluk leher jenjang san dengan erat, lantas bibirnya mulai bergerak mengikuti alur cumbuan memabukkan yang tak ingin ia lepas tautannya.

sayangnya, san melepas pangutan itu, untuk menatap wajah memerah wooyoung dengan senyuman manisnya.

i miss you,” ucap si choi―seiring dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kemeja kebesaran wooyoung, mengusap kulit pinggang ramping itu dengan lembut, membuat wooyoung berjengit dan mengerang tanpa sempat menahannya.

“wooyoung..”

usapan lembut yang menimbulkan sengatan mengejutkan itu bahkan menghilangkan fokus wooyoung hingga tak menyadari posisi wajah san yang entah sejak kapan berada di samping kepalanya, menghadapkan bibirnya di hadapan telinga si jung.

i miss you so bad, wooyoung.”

shut the fuck up! do whatever you want!

yes, my pleasure, prince.

wooyoung menengadahkan kepalanya lantas mengerang kuat kala merasakan sebuah rasa sakit yang terasa menusuk di perpotongan lehernya. san, menggigit lehernya, menghisapnya dengan kuat hingga wooyoung tak kuasa menahan erang manis yang san rindukan bersama rematan kuat pada helaian surai halus si lelaki choi.

sebuah bite mark tertinggal dengan ruam merah keunguan yang akan membekas cukup lama di sana.

“s-san?”

“hm?”

wooyoung menenggelamkan wajahnya pada puncak kepala san, kedua tangannya masih dengan setia memeluk erat leher san sambil sesekali mengerang lirih atas kegiatan bibir san di area lehernya serta tangan yang menjamah tubuhnya di balik kemeja itu.

“k-kalau kelepasan di sini.. gimana?”

san tertawa kecil, hembusan napasnya menerpa kulit leher wooyoung. hangat, dan membuat geli.

“suara debur ombak dan matahari terbenam di ufuk barat, isn't it beautiful?

tangan san terangkat, mengusap kepala wooyoung, menyelipkan helaian hitam yang mulai memanjang itu ke belakang telinga si jung.

and what if now that beautiful sight was watching us?

hati wooyoung melunak, tatapannya menyayu, seiring wajah yang mulai mendekat untuk memulai pangutan bersama bibir favoritnya.

san tersenyum senang, kemudian kembali mengambil alih alur ciuman mesra yang wooyoung mulai sementara tangannya mulai bergerak membuka satu persatu kancing kemeja wooyoung, dan melepas kain itu dari tubuhnya.

ya, cukup sampai di sini. tidak perlu terlalu jauh memahami apa yang terjadi setelahnya, biarlah suasana penuh gairah panas itu hanya san dan wooyoung yang menikmatinya. karena jika ada mata lain memandang, mereka hanya akan bernasib seperti matahari yang terbenam tanpa diperhatikan dan suara deburan ombak yang kalah oleh bisingnya erangan di dalam mobil.

semua diabaikan.


FIN ©kithwys, 2021.

Sosok mungil dengan hoodie abu-abu kebesaran itu duduk sendirian dengan pernak-pernik hiasan pohon natal di atas meja yang ia mainkan.

Wajah lesu, bibir maju ke depan, serta dua kaki yang tak pernah berhenti diayunkan pelan, menjadi bukti si manis sedang dilanda rasa bosan.

Siara Vlive telah berakhir, seluruh anggota satu grupnya tengah berpencar entah kemana, mengerjakan urusan yang tak tahu apa itu, pokoknya sibuk, Wooyoung bosan.

“Eh, ada anak kecil.”

Cup!

Wooyoung menengadahkan kepalanya, mendapati wajah Yunho dengan senyum menawan di atas wajahnya. Dua tangan besar itu memeluk erat leher Wooyoung dari belakang setelah mendaratkan satu kecupan lembut di atas kening si manis.

Bukannya senang akan kedatangan sang pria tampan; kekasihnya, Wooyoung malah semakin menekuk wajahnya, membuat Yunho memiringkan kepalanya, bingung.

“Kenapa sama mukamu―aduh! Wuyo!”

Yunho meringis sambil mengusap lengan kirinya yang menjadi sasaran empuk cubitan kecil Wooyoung.

Iya kecil, semakin kecil cubitan, semakin sakit sensasinya.

“Yuyu kemana aja?! Kenapa aku ditinggal sendirian? Kenapa ikut-ikut Jongho sama Yeosang keluar? Aku bosen, tau!”

Masih dengan tangan yang sibuk mengusap bekas cubitan Wooyoung, Yunho mendaratkan dagunya di atas puncuk kepala yang tenggelam balutan kupluk hoodie abu-abu itu.

“Bukannya tadi bareng Kak Hwa di sini?”

Wooyoung mendengus, “Kak Hwa pergi.”

“Kemana?”

Gelengan didapat Yunho, “Gak tau.”

Bibir si manis yang mengerucut mulai melengkung ke bawah, “Tadi aku bilang kalau aku kedinginan, Kak Hwa malah main pergi gitu aja, padahal aku mau dipeluk. Kak Hwa ngga peka banget.”

“Siapa yang kamu bilang ngga peka?”

Dua lelaki satu marga itu menoleh ke arah pintu, mendapati Seonghwa yang datang sambil membawa segelas susu hangat di tangan kanan serta selimut di tangan kirinya.

Ditaruhnya susu hangat itu di atas meja ke hadapan Wooyoung setelah ia sisihkan hiasan pohon natal yang sebenarnya masih sibuk si mungil mainkan kentara masih bosan.

“Kakak abis dari mana?” tanya Yunho sambil menarik satu kursi, menepuknya, mengisyaratkan Seonghwa untuk mendudukinya.

“Ada anak kecil bilang kedinginan. Aku abis dari dapur agensi, bikin susu sama minta selimut ke Manager sekalian,” balas Seonghwa sambil mendudukkan dirinya di atas kursi, di samping Yunho yang saat itu lekas merangkul pundaknya.

Selimut yang dibawa Seonghwa ia sampirkan pada pundak Wooyoung kemudian dililitkan untuk membalut tubuh atas si mungil yang mulai tenggelam dalam balutan kain tebal itu.

Seonghwa menyernyit bingung melihat Wooyoung yang masih menekuk wajah sambil melengkungkan bibirnya ke bawah.

“Kenapa masih cemberut? Itu udah aku bikinin susu, lho?”

Yunho yang melihatnya terkekeh pelan, mengulurkan tangan untuk mengusak pipi Seonghwa.

“Anak kecil mau dipeluk, Kak,” timpalnya sambil merangkul leher Wooyoung dengan sebelah tangannya yang bebas.

Seonghwa mengangkat sebelah aliasnya, beralih menangkup kedua pipi Wooyoung, menelisik wajah suram itu, sebelum tertawa gemas untuk kemudian mengecup kilas bibir si manis.

Si pria Park menggeser kursinya semakin mendekat pada Wooyoung, mengambil susu buatannya di atas meja untuk ia berikan pada sang kasih.

“Ini, minum, biar ngga kedinginan.”

“Wuyo mau peluk!”

“Iya, pegang dulu, ya, Sayang. Ini.”

Seonghwa meraih tangan kecil Wooyoung, menuntun si Jung untuk menggenggam gelasnya. Tenang, itu tak begitu panas, Seonghwa sudah memastikan airnya hangat untuk digenggam.

Sementara Wooyoung hanya menurut, menggenggam gelas berisi susu rasa vanilla itu, menunduk menatap sebal isinya.

“Masih aja gak pek―uwah!”

Wooyoung memegang erat-erat gelas di tangannya, takut isinya tumpah akibat perlakuan tiba-tiba Seonghwa yang mengangkat tubuhnya untuk dipindahkan ke atas pangkuan si pria Park.

Yunho terbahak melihat bagaimana raut terkejut terkesan menggemaskan dari wajah Wooyoung yang kini sedang menahan kesal atas perlakuan si pria Park yang saat ini tengah mendekap erat tubuh mungil itu.

“Udah sana, minum. Jangan cemberut gitu.”

“Kaget, tau!” Protes Wooyoung kemudian beringsut menyandarkan kepalanya pada dada Seonghwa lantas meneguk susunya.

“Yo, sini kakinya.”

Yunho menepuk-nepuk pahanya, Wooyoung lekas menurut untuk mengangkat kedua kakinya dan menopangkannya di atas kedua paha Yunho.

“Kita kaya punya bayi, ya, Yun.”

Celetukan Seonghwa mengundang kekehan kecil Yunho, si pria Jung besar itu lekas meraih tengkuk Seonghwa dengan pelan sebelum ia daratkan satu ciuman singkat diiringi lumatan lembut pada ranum manis yang lebih tua.

Hal itu tertangkap sepasang netra Wooyoung kala kepalanya menengadah untuk menenggak susu hangatnya. Si manis mengedip-ngedipkan kedua matanya lantas beringsut menarik-narik ujung baju Yunho, membuat atensi pria yang kini sibuk mengecupi wajah Seonghwa penuh rasa gemas itu beralih padanya.

“Mau dicium Yuyu juga, boleh?”

Yunho mengangkat kedua aliasnya, wajahnya bergerak mendekat ke hadapan wajah si manis Jung.

“Mau dicium di mana, hm?” Tanya Yunho sambil mengusap noda susu yang tertinggal di atas bibir Wooyoung.

“Di sini! Kith my lips, pwease?

Seonghwa tak dapat menahan diri untuk mengusakkan hidungnya pada pipi Wooyoung dengan gemas. Sementara Yunho sendiri tengah sibuk menahan gejolak besar untuk menerkam makhluk manis di hadapannya itu sekarang juga.

“Sini, Wuyo.”

Wooyoung tersenyum riang kala Yunho menangkup dua pipinya sebelum mengikis jarak untuk mempersatukan dua pasang ranum merah itu dalam tautan lembut. Tidak ada pergerakan berarti, hanya menempel, dan Wooyoung merasa sedikit kecewa. Tak tinggal diam, anak manis itu menekan wajahnya, makin menghimpit kontak bibir mereka sampai Yunho mengerti apa yang si mungil inginkan.

“Aduh! Yuyu!”

Si manis Jung menjauhkan kepalanya dengan tangan yang refleks memukul keras bahu Yunho.

“Kak Hwa, Yuyu gigit bibir aku!”

Wooyoung melapor, menengadahkan kepalanya menatap Seonghwa dengan raut kesal dan mata sedikit berair. Dapat Seonghwa lihat sebuah jejak gigi di bibir bawah Wooyoung, membuktikan gigitan itu cukup keras Yunho berikan sampai membuat mata Wooyoung berair.

Seonghwa beralih menatap tajam Yunho yang kini malah menunjukkan cengiran bodohnya.

“Gemes banget abisnya, Kak.”

Sang pria Park mendengus lantas kembali menatap Wooyoung, mengusap-usap bibir bawah si mungil dengan lembut.

“Sakit?”

Wooyoung mengangguk cepat, “Sakit banget! Huhu, kalau berdarah gimana?”

“Ngga, ngga berdarah, kok. Bibir kamu aman, nanti Yuyu nya aku pukul.”

“Pukul pakai bibir aja gimana, Kak?”

Yunho menaik turunkan alisnya, mengundang pukulan pelan dari Seonghwa untuk bibir si Jung besar.

“Minta maaf sama Wuyo!”

“Iya.. Iya..”

Kedua tangan kekar Yunho mendekat untuk ia lingkarkan pada area leher Wooyoung, dipeluknya tubuh dalam balutan kain-kain tebal itu amat erat.

“Maaf, ya.”

Wooyoung menatap sengit Yunho di depannya, “Nanti-nanti gak mau minta kith sama Yuyu!”

“Emang cukup kalau dikith Kak Hwa aja?”

“Cukup!”

“Tapi Kak Hwa dapet kith aku juga, lho!” goda Yunho sambil menjawil dagu Wooyoung.

“Gak boleh!”

“Boleh, Kak Hwa pacar aku juga.”

“Terus Wuyo bukan pacar Yuyu?”

“Pacar Wuyo ngga mau dikith, Yuyu kith Pacar Hwa aja.”

“Siapa bilang Pacar Wuyo gak mau dikith?!

“Loh? Tadi?”

“Itu, kan, tadi!”

Yunho menggertakkan giginya dan lekas menelusupkan wajahnya pada permukaan dada Wooyoung, mengusakkan wajahnya di sana, tak sanggup dihantam rasa gemas bertubi-tubi dari seorang Jung Wooyoung di hadapannya.

“Kak Hwa tolongin aku, dong, aduh. Aku mau pingsan!”

“Yuyu badan kamu berat banget aku kegencet! Kak Hwa tolongin!”

Seonghwa hanya mampu geleng-geleng kepala melihat kegaduhan dua kekasihnya saat ini. Tak tahu saja Seonghwa lah yang paling merasa berat dengan memangku tubuh Wooyoung ditambah Yunho yang menimpa si kecil di pangkuannya.

“Kalian ini rusuh banget nanti kalau jatuh dari kursi gimana? Yunho, bangun, badan Wuyo kecil, kasian.”

Yunho menurut, lekas beranjak setelah meninggalkan satu kecupan singkat di kening Wooyoung.

“Ung.. Mata aku berat.”

Seonghwa menunduk untuk melihat Wooyoung yang kini tengah mengusak matanya.

“Kamu ngantuk?” tanya Seonghwa sambil mengusap kepala Wooyoung.

“Hm.. Kayaknya.”

“Mau aku panggilin Kak Hongjoong biar kita cepet pulang aja ke dorm?”

Tawaran Yunho lekas dibalas gelengan oleh Wooyoung dengan kedua tangan mungil yang bergegas memeluk leher Yunho, tak ingin pria bermarga sama dengannya itu beranjak pergi.

“Gak usah, Kak Joong pasti lagi ada urusan, aku tidur di sini aja dulu. Kalau mau pulang bangunin, ya.”

Wooyoung hendak beranjak dari pangkuan Seonghwa, sebelum ditahan oleh tangan si pria Park yang masih setia melingkar di area pinggangnya.

“Tidur di sini aja.”

“Aku berat, nanti Kak Hwa pegel―”

Cup!

Satu kecupan singkat dari Seonghwa mendarat di atas rahang Wooyoung.

“Udah, tidur aja. Kamu pasti capek,” ujar Seonghwa sambil membenarkan letak tubuh Wooyoung di atas pangkuannya dengan posisi menyamping. Diraihnya kepala si manis untuk bersandar menelusupkan kepala di perpotongan lehernya.

Yunho membenarkan letak selimut Wooyoung, semakin membalut tubuh kecil itu sebelum kembali mengangkat dua kaki kecil yang sempat menjuntai ke bawah untuk di daratkan di atas pangkuannya.

“Kak Hwa, kalo pegel gantian sama aku, ya?”

Seonghwa mengulas senyum sambil mengangguk, satu kecupan disusul usakan singkat pada puncak kepala Yunho ia berikan. Yunho sendiri beralih merangkul bahu Seonghwa dengan sebelah tangannya, sementara sebelah tangannya yang bebas ia gunakan untuk menepuk-nepuk lembut punggung Wooyoung.

Wooyoung?

Ah, anak itu sudah tertidur lelap di atas pangkuan Seonghwa karena terlalu mengantuknya. Sepertinya susu hangat buatan Seonghwa ditambah elusan lembut tangan sang tertua di kepalanya saat ini menjadi pemicu pendukung atas rasa kantuk pria manis itu.

Berbeda dengan Wooyoung yang sudah tertidur, Yunho dan Seonghwa yang sama sekali tak dirundung kantuk memecah hening dengan obrolan ringan yang tentu saja dialunkan dengan pelan, tak ingin mengganggu tidur si manis.


FIN ©kithwys, 2020.

“peraturannya sederhana. yang masuk duluan, dia yang menang.”

san pikir, ini adalah hari tersialnya sepanjang masa dalam jalinan hubungan asmara yang diekspektasikan berjalan dengan baik sesuai harapan.

putus cinta bukan hal yang baru bagi san, sudah sering ia lalui momen itu bersama beberapa kekasih terdahulunya. tapi, diputuskan tanpa ada rasa ingin dalam lubuk hati san adalah hal yang sulit diterima olehnya.

dia sudah terbiasa memutuskan suatu hubungan jika ia merasa ada hal yang tak perlu lagi dipertahankan dan jenuh dengan keadaan asmaranya yang buruk. ini adalah kali pertama san diputuskan secara langsung tanpa ia sadari apa kesalahan yang membuat kekasih cantiknya memutuskan hubungan mereka.

“aku, main di belakang kamu. aku.. selingkuh.”

dan, jawaban itu sudah cukup untuk membuat san berhenti memberontak dan menolak. ia tidak bisa apa-apa, sudah ia duga ini bukan salahnya.

frustasi kini san rasakan, ia kecewa atas pengkhianatan yang sang kasih lakukan padanya.

“gue kurang apa, sih, woo?”

san tak dapat menahan semuanya, hingga alkohol menjadi pelarian, ditemani sang sahabat setia, jung wooyoung yang menawarkan diri untuk menjadi tempat san menumpahkan keluh kesahnya.

dan san melakukannya, mengeluh banyak hal, sambil sesekali meneguk gelas berisi alkoholnya, menghisap rokok yang terapit di bilah bibirnya, kemudian kembali mengeluh dengan gurat kecewa di wajah yang sudah terlihat memerah.

san bukan seorang pemabuk, pun juga bukan seorang perokok, semuanya sudah pasif dan wooyoung tahu akan hal itu. san tak pernah sekacau ini, kehadiran wooyoung membawa keberuntungan untuk membatasi san melakukannya secara berlebihan. hingga, cukup dengan satu botol wine tandas dan 4 batang rokok habis.

tanpa alkohol dan rokok, san kembali melanjutkan sesi curhatnya, terus membicarakan banyak hal dengan wooyoung yang setia mendengarkan setelah membuatkan dua gelas jus jeruk untuk mereka nikmati sebagai pengganti santapan sesi curahan hati.

lama mereka terlarut dalam curah san dan respon wooyoung yang sangat baik, hal tak terduga terjadi.

berawal dari wooyoung yang tak sengaja menumpahkan jus jeruknya ke atas celana san, panik dirasa sampai wooyoung refleks mengusap spot tumpahan jus itu tanpa menelisik di bagian mana ia menumpahkan jusnya.

selangkangan san.

ia mengusapnya dan san lekas mencengkram pergelangan tangan sahabatnya, sorot tajam ditunjukkan dengan binar penuh intimidasi untuk si lelaki jung.

“lo godain gue?”

wooyoung menukikkan alisnya lantas menggeleng cepat.

“bohong.”

decakan kesal keluar dari mulut wooyoung, “gak usah diperpanjang, gue ambilin celana gue.”

bruk!

tubuh yang hendak beranjak kembali terduduk di atas sofa ketika san menarik pergelangan tangannya, menahannya.

setelahnya, san meminta pertanggung jawaban sambil menuntun tangan wooyoung menuju gundukan yang terlihat mengembung di balik celana jeansnya.

wooyoung tak langsung menolak, pun tak terlihat langsung menyetujui. ia diam memperhatikan san, menelisik wajah yang terlihat serius setelah melontarkan ucapannya.

tak sabar menunggu, san menarik tengkuk wooyoung, menyambar ranum sang sahabat dengan liar. wooyoung sempat memberontak, namun san menahannya. selang beberapa detik setelah mencoba diam untuk merasakan bagaimana san mengecap bibirnya, senyum miring tercetak di bibir wooyoung.

‘boleh juga.’

kemudian wooyoung mulai membalas ciuman itu tak kalah liar.

setelah perdebatan di sela kegiatan panas yang san mulai di ruang tamu, sekarang, di sinilah mereka, di dalam kamar apartemen milik wooyoung, sibuk bercumbu bibir dan bertarung untuk saling mendominasi diri satu sama lain.

san sudah memprediksi hal ini akan terjadi karena baik ia maupun wooyoung memiliki status yang sama, pihak atas, penetrasi.

meski begitu, hal ini berjalan cukup menyenangkan untuk san. woooyung begitu keras, tak mau mengalah, dan san menikmati bagaimana usaha yang wooyoung lakukan untuk mendominasinya, tanpa san menurunkan pertahanan untuk terus melemah.

bruk!

didorongnya tubuh san hingga terlentang ke atas kasur kemudian wooyoung kunci pergerakan tubuhnya.

dua pasang netra saling memandang, dengan wajah memerah dan napas memburu yang saling bertubrukan dalam jarak wajah dekat.

“ashh..”

san menengadahkan kepalanya seiring dengan desah lembut yang mengalun dari bilah bibirnya ketika wooyoung meremat kejantanan di balik celananya.

“nyerah aja, choi san.”

kekehan kecil mengalun dari bibir san setelah mendengar ucapan wooyoung.

“gak semudah itu, wooyoung.”

si lelaki jung mendecih sebal lantas segera menyerang leher putih san yang tersaji nyata di bawahnya. sementara sebelah tangannya mulai merambat ke bawah, membuka kancing serta resleting celana si choi di bawahnnya, sebelum tangannya menelusup ke dalam celana dalam itu, menggeggam kejantanan yang mulai ia keluarkan dari belenggu kain celana dalam.

san mengerang dan mendesah keras ketika tangan itu mulai bergerak di bawah sana, menggoda kejantanan dalam genggamanya dengan gerak maju mundur.

okay, san kalah start, wooyoung sudah selangkah lebih jauh. beberapa tanda merah keunguan sudah tercipta di leher san sementara wooyoung masih terus melakukan handjobnya pada anggota miliknya di bawah sana.

batin san menyahut, wooyoung boleh juga.

meski begitu, san tentu tak mau kalah. wooyoung mungkin sudah selangkah lebih maju. tapi, bukan berarti san tak bisa melakukan selangkah maju yang lebih besar, kan?

“angh!”

kegiatan wooyoung dalam gerak menandai setiap titik di leher san terhenti, lekas ia gulirkan pandangannya ke bawah, ke arah sesuatu yang membuat fokusnya kacau.

tangan san, ada di dalam celananya.

wooyoung bahkan tak menyadari sejak kapan tangan besar itu merambat masuk ke dalam sana, menggenggam kejantanannya, merematnya dengan lembut.

“kenapa berhenti?”

mata wooyoung beralih menatap san di bawahnya. lelaki choi itu tersenyum miring, menatap remeh wooyoung yang terlihat sedikit goyah.

“ayo, lanjutin.”

tangan san yang bebas bergerak menuju tangan wooyoung yang masih menggenggam kejantanannya, menuntun si lelaki jung untuk kembali melakukan kegiatannya dalam pemberian handjob yang san akui cukup menggairahkan.

ah, apa semua kekasih wooyoung pernah merasakan hal yang sama seperti san atas perlakuan lelaki jung di atasnya ini?

“lo bakal nyesel, choi san.”

“buktiin, jung wooyoung.”

wooyoung mendecih, lekas ia sambar bibir san untuk kembali dirangsang dalam ciuman penuh gairah dan nafsu untuk saling menguasai.

tangan wooyoung di bawah sana kembali bergerak, memompa kejantanan san. kali ini san ikut andil dalam perlakuan wooyoung, tangan besar yang masih setia menggenggam tangan wooyoung itu ikut naik turun, menggoda kejantanannya sendiri bersama si lelaki jung.

wooyoung tak mengerti dengan apa yang san lakukan. apa san sudah mengalah dan memilih untuk mengikuti alur permainan wooyoung?

ya, lebih baik seperti itu. pada akhirnya san harus mendapatkan dominasi atas permainan yang dia mulai sejak awal. sudah wooyoung bilang san akan menyesal.

senyum penuh kemenangan di sela pergumulan bibir tercetak ketika wooyoung merasakan basah dan lengket di tangannya, san telah mencapai orgasme pertamanya, dikuatkan dengan erangan san yang mengalun kala lidah mereka sedang berselisih.

“akh!!”

bruk!

san tersenyum penuh kemenangan ketika tubuh di atasnya ambruk menimpa tubuhnya, diiringi jeritan kesakitan nyata yang menggema dalam kamar penuh atmosfer panas.

“bajingan―anghh! choi san!”

tubuh wooyoung kembali ambruk kala mencoba bangkit, ia meringis kesakitan.

“gimana rasanya, wooyoung? it's your first, right?

“s-san―ngah!”

wooyoung menggigit bibir bawahnya, rasa sakit kembali ia rasakan ketika san melesakkan jari ketiga ke dalam holenya.

basah dan licin, san pasti telah melumuri tangannya dengan cairannya sendiri sebelum melesakkan tangannya ke dalam celana wooyoung untuk menerobos hole sempitnya.

sial, wooyoung bahkan tak sadar sejak kapan san memasukkan tangannya ke dalam celana wooyoung setelah pelepasan si lelaki choi itu.

“sempit.”

san tertawa sarkas, sebelah tangannya yang bebas mulai menurunkan celana yang membalut kaki wooyoung dan melepasnya kemudian ia buang ke sembarang arah.

“s-san..”

“hm?”

wooyoung terus meringis, meremat surai hitam san di bawahnya.

“ke-keluarin..”

no.”

san meraih dagu wooyoung untuk menghadapkan wajah dengan warna merah padam itu padanya.

you lose, wooyoung.”

“ini curang―angh!”

san semakin melesakkan jarinya lebih dalam hingga tubuh wooyoung berjengit akan rasa terkejut.

yang masuk duluan, dia yang menang. lo bilang gitu di awal.”

wooyoung menggigit bibir bawahnya lantas membuang muka.

“kenapa lo harus repot-repot godain gue kalau lo sendiri bisa langsung masuk kaya gini.”

si lelaki jung kembali mengerang, refleks memeluk kepala san dengan erat, menelusupkan wajahnya pada permukaan puncak kepala san sambil terus meringis.

kini, giliran san yang berkuasa atas ketiga jarinya yang bersemayam di dalam senggama ketat wooyoung, memaju mundurkan jarinya di dalam sana.

sementara itu wooyoung yang terkulai di atas tubuh san terus mendesah, meringis dan mengerang atas perlakuan jari san.

ada sensasi menyenangkan yang wooyoung rasakan dalam pengalaman atas senggamanya yang diterobos untuk pertama kali. wooyoung tak mengerti apa itu, tapi yang ia sadari, san lebih lihai darinya.

hubungan seksual bukanlah hal yang jarang wooyoung lakukan bersama kekasih kekasihnya terdahulu, ia sudah sering memasuki dan menikmati setiap tubuh yang ia dominasi, karena itulah posisinya sebagai penetrasi.

wooyoung tak tahu jika dipenetrasi terasa senikmat ini. dengan bagaimana jari san semakin pemperdalam dan mempercepat gerakannya hingga sedikit kewarasan wooyoung diambil alih. wooyoung baru pertama kali merasakan kenikmatan tak tertakar kala san menyentuh titik manisnya, membuatnya mendesah keras penuh rasa nikmat yang menimbulkan euphoria tersendiri untuknya.

hingga pada akhirnya, putih wooyoung keluar, mengotori paha dan kaus putih san. ia keluar lebih banyak dari san.

“woo, laki-laki gak boleh narik ucapannya. itu yang selalu lo bilang ke gue, as my best friend.”

wooyoung mendengus kesal setelah mendengar penuturan san. ia menggigit bibir bawahnya, ada rasa ragu dan takut menghantui. namun, ia laki-laki, ia tak boleh menarik ucapannya.

helaan napas berhembus, “gue kalah.”

hingga, dua kata itu terlontar. wooyoung bangkit, kedua tangannya bergerak membuka kaus hitam kebesaran yang melindungi tubuhnya hingga kini tak ada sehelai benangpun yang membalut tubuhnya.

i give all my consent for you.”

san tersenyum puas, lekas ia tarik tubuh itu untuk ia dekap erat sebelum dengan sekali hentak ia balikkan posisi tubuh mereka.

“gue gak tau lo bisa semanis ini, woo.”

si lelaki jung membuang muka dari sorot pandang mata san yang terus menelisik wajahnya dengan senyum menawan.

sial, kenapa laju jantungnya berdetak lebih cepat?

“hey..”

san meraih pipi itu, kembali menghadapkan wajah wooyoung padanya.

“jangan biarin gue lewatin cantik di depan gue.”

wooyoung menukikkan alisnya tak senang, “lo mabuk.”

san menggeleng, “gue ngga. lo sendiri yang batasin gue. lo tau toleransi alkohol gue.” usapan lembut ia berikan pada kepala dengan helaian rambut legam yang berantakan di bawahnya.

“lo lebih banyak tau tentang gue dibanding siapapun. ah, kenapa gue ngga pacaran sama lo aja?”

“lo ngomong apa, sih?”

si choi terkekeh, “ngga. gue masuk, ya?”

wooyoung menelan ludahnya, tangannya lekas terulur untuk mengalung erat pada leher jenjang san. ia menunduk, lantas mengangguk.

ah, manis sekali. san tak berbohong, dan kenapa ia baru menyadarinya setelah bertahun-tahun bersahabat dekat?

apa karena lemahnya wooyoung dalam kuasanya?

ya, mungkin.

“AKHH SAKIT!!”

wooyoung berteriak kesakitan ketika merasakan benda asing menerobos senggamanya, menghentaknya ke dalam. pelukan pada leher san kian mengerat, seiring kuku-kuku jarinya menancap kuat di atas kulit punggung san, menimbulkan bekas goresan kuku yang memerah.

wooyoung berani bersumpah, tubuhnya terasa dibelah dua. terlalu hiperbola akan tetapi rasa sakit ini benar-benar menghancurkannya.

ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat, seiring dengan air mata yang terjun menerobos pelupuk matanya. runtuh sudah harga diri wooyoung ketika isak tangisnya lolos, melirih bersama ringisan penuh rasa sakit tak tertoleransi di hadapan san.

selang beberapa detik, desiran hangat menyeruak dalam tubuh wooyoung, kedua netra yang tertutup erat itu perlahan terbuka kala merasa sebuah benda kenyal mendarat di atas keningnya.

san, mencium keningnya, tak begitu lama sebelum turun menyusuri batang hidung, hingga mendarat di atas bibir tebal yang sedikit membengkak untuk disatukan dalam sebuah kontak. tidak ada pergerakan yang berarti seperti lumatan liar, hanya menempel sebentar untuk kemudian dilepaskan.

mata san bergulir menatap wooyoung sambil mengulas senyum menawan yang menenangkan.

“mau sampai di sini aja, woo? mau selesai?”

wooyoung terdiam, menatap sayu wajah tampan di atasnya.

selesai?

wooyoung tak dapat memaparkan seberapa sakit yang ia rasa dengan pengalaman pertamanya dimasuki seperti saat ini. sungguh, menyakitkan.

tapi.. selesai? sekalipun satu kata itu tak pernah terlintas di kepala wooyoung.

kenapa harus selesai kalau sudah sejauh ini?

wooyoung menggeleng cepat. melihatnya, san mengusap pipi itu dengan ibu jarinya, menghapus air mata yang terus mengalir dari pelupuk mata sang submisif di bawahnya.

“lo nangis, woo.”

“jangan dibahas, move.

san sempat meragu, namun sorot mata basah di bawahnya menunjukkan keseriusan yang mutlak. wooyoung masih terlihat kesakitan, namun di saat yang bersamaan ia terlihat serius dengan ucapannya, tak bisa san tolak.

diraihnya dagu itu untuk san pangut dalam ciuman yang kini diiring dengan alurnya, sementara pinggulnya mulai bergerak perlahan menghentak senggama erat wooyoung di bawah sana.

pengalihan rasa sakit, bukan hanya untuk wooyoung, tetapi juga untuk dirinya yang merasakan sesak pada kejantanannya ketika wooyoung mengapitnya begitu erat.

air mata wooyoung kembali terjun, meski begitu lekas mengalihkannya dengan mengikuti alur cumbuan san pada bibirnya, kedua tangannya semakin meremat surai hitam san dengan erat.

tak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat wooyoung terbiasa hingga ciuman mereka berakhir dengan wooyoung yang meminta untuk lekas mengambil napas dan memilih melepaskan desahan kerasnya.

raut sakit meluruh, wooyoung terlihat mulai menikmatinya, maka san dengan instingnya menaikkan tempo hentakkannya menumbuk prostat wooyoung sedikit lebih cepat.

“s-sannie―ahh!! please!”

slowly?

wooyoung menggeleng keras, meremat otot milik si lelaki choi dengan kuat.

“ha-anghh.. har-der!

“yakin?”

“eung! p-please, s-san!”

san tak mampu menolak, kedua tangannya mulai turun, memegang masing-masing pinggang wooyoung sebelum pinggulnya bergerak lebih cepat menghentak senggama hangat yang mulai melebar di bawah sana.

wooyoung menghentakkan kepalanya ke belakang, menengadah, air matanya terus mengalir, ia tersiksa; dengan rasa sakit yang meluruh nikmat ketika ujung kejantanan itu menyentuh sesuatu di dalam senggamanya, membuat wooyoung mengalunkan erang kenikmatan yang cukup keras dan menggema.

san, tak pernah tahu wooyoung akan terlihat seindah ini di matanya. terkulai lemah dalam belenggu kuasa mutlak tak terelak, memanggil-manggil nama san di sela desah penuh rasa nikmat yang merenggut kewarasannya.

di telinga san, desah wooyoung benar-benar terdengar manis, sangat manis, membuat san ketagihan untuk terus mendengarnya hingga semakin ia hentak prostat itu lebih cepat hanya untuk mendengar jerit nyanyian indah wooyoung di bawahnya.

san menggeram, sakit ia rasakan pada kejantanannya yang semakin mengembung, mungkin sebentar lagi akan sampai pada pelepasannya.

“s-san.. t-touch me!”

si choi mencondongkan tubuhnya, mengecup rahang sang lawan di bawahnya sebelum membalas.

as your wish, prince.

kejantanan wooyoung digenggam oleh san, tangannya bergerak naik turun dengan tempo yang sesuai atas hentakan pinggulnya, membantu wooyoung menjemput klimaksnya.

“s-san―eungh! hiks... san!”

y-yes, together, baby.

setelahnya, wooyoung mengeluarkan putihnya, mengotori tangan dan perut san di atasnya. san menyusul setelah mengeluarkan kejantanannya, sebagian tak sengaja ia keluarkan di dalam senggama wooyoung sementara sebagiannya ia tumpahkan pada area selangkang si manis jung.

bising dalam kegiatan bercinta berakhir dengan dua aliran napas yang memburu dengan dada naik-turun, terengah-engah atas kegiatan terbesar yang pernah mereka lakukan selama bertahun-tahun menjalin hubungan sebagai sahabat dekat.

san bergulir ke samping wooyoung kemudian menarik tubuh yang sedikit lebih kecil darinya itu untuk ia dekap dengan erat.

you're doing great, woo.”

“harusnya.. gue.. y-yang bilang gitu, hahh..”

san terkikik gemas mendengar wooyoung dengan napas memburunya mencoba untuk berbicara.

ia berani bersumpah atas ketidak pekaan dirinya tentang sisi manis wooyoung yang baru pertama kali ia lihat malam ini. rasanya seperti melihat jung wooyoung dalam sikap lembut namun lebih lembut lagi.

“woo?”

“hm?”

wooyoung menelusupkan wajahnya pada dada san, mencari posisi ternyaman dalam dekapan sahabat baiknya itu.

“udah berapa lama sejak lo putus sama yeosang?”

“3 atau 4 bulan yang lalu.. maybe? lupa.”

san mengangguk-anggukkan kepalanya, “udah lupain dan nyoba move on?”

“lupa, sih, udah. kalau orang baru buat jadi rumah baru belum, gak ada yang bikin tertarik.”

“bagus.”

“hah?”

“ngga, ayo tidur.”

si choi menarik kepala wooyoung untuk kembali menelusup ke dadanya ketika si jung mencoba menengadah.

good night, wooyoung.”

satu kecupan lembut dari san mendarat di atas puncak kepala wooyoung.

“hm, good night, san.”

wooyoung membalas seiring kedua tangan kekarnya mulai melingkar di area pinggang san, memeluknya dengan erat.

ada dua hati yang berdesir hangat serta dua ulasan senyum tipis yang terlukis tanpa masing-masing ketahui.

san dan wooyoung.


FIN ©kithwys, 2020.

tidur wooyoung terusik, ia mengerang sebal lantas membuka matanya. padahal, hari ini begitu melelahkan setelah mengakhiri jadwal terakhir yang dikunjungi bersama teman-teman satu grupnya.

tidak ada yang mengganggu sebenarnya, wooyoung tidak bisa tidur nyenyak, ia bahkan baru memejamkan mata sekitar 30 menit dan terbangun. wooyoung mendengus, beranjak dari kasur, tungkainya melangkah pelan, tak ingin mengusik tidur lelap yeosang dan jongho. ditutupnya pintu kamar itu dengan pelan.

mungkin segelas susu hangat akan membantu tidurnya.

ia berjalan menuju dapur, melancarkan niat untuk membuat segelas susu hangat.

kala tungkai hampir sampai menapak di atas lantai dapur, dapat ia lihat dari jarak pandangnya sesosok manusia yang terlihat sibuk berkutat dengan sesuatu.

kening wooyoung menyernyit, ia berjalan cepat menghampirinya sebelum merebut sesuatu yang ada di tangan sang sosok di dapur.

san, terlonjak kaget mendapati kedatangan wooyoung dengan sorot penuh intimidasi setelah merebur sebungkus ramyeon dari tangannya.

“ngapain?” tanya wooyoung dengan nada yang sedikit tak bersahabat.

san mendengus, “mau masak, sini―” lagi, san mendengus ketika wooyoung menyembunyikan ramyeon itu di belakang tubuhnya.

“kamu dari kemarin banyak makan ramyeon, tau, gak?”

si pria choi menggaruk kepalanya, “ya.. tau, tapi aku laper sekarang.”

kedua bahu wooyoung meluruh seiring helaan napas berhembus kecil. ia berbalik, berjalan menuju lemari lantas menaruh kembali ramyeon di tangannya.

“aku masakin,” ucapnya, sambil meperhatikan bahan yang disimpan bersama beberapa ramyeon di dalam lemari dapur.

san menghampirinya, “gak usah, woo. kamu pergi tidur aja.”

“ngga mau, nanti kamu malah makan ramyeon,” balas wooyoung.

“kamu mau dimasakin apa?”

wooyoung kembali bersuara, bertanya pada san, merasa bingung harus memasak apa setelah melihat bahan masakan yang banyak.

“apa aja.”

“kamu sukanya apa?”

“kamu.”

si manis jung menghela napas kasar.

“san..”

senyum miring dengan raut jenaka tercetak pada wajah tampan si pria choi sebelum ia mendekati wooyoung untuk merengkuh pinggang itu, menarik wooyoung hingga punggung si manis menempel di dadanya.

“aku sukanya kamu berarti aku makan kamu aja, ya?”

wooyoung mengedip-ngedipkan matanya, sementara itu san mulai mendekatkan kepalanya, menopangkan dagu di atas pundak wooyoung, menatap wajah sang kekasih dari samping.

“choi san, gak boleh macem-macem!”

pipi san ditangkup oleh kedua tangan wooyoung, menahan si choi untuk semakin mendekatkan wajahnya.

“macem-macem apa? kamu, deh, yang mikir macem-macem.”

“ya, kamu bilangnya mau makan aku!”

“iya makan kamu, tuh, maksudnya gini, amm!

san menggigit pipi berisi wooyoung dengan gemas, membuat sang empu berjengit dan mengaduh. dipukulnya pipi san sedikit keras, sekalian menjauhkan jarak wajah itu darinya.

“jorok banget!” timpal wooyoung dengan intonasi tingginya.

san meringis, sambil memajukan bibirnya ia mengusap-usap pipinya yang sedikit perih akibat pukulan wooyoung.

“sakit tau!”

“salah kamu!”

“ya jangan mukul juga―”

cup!

setelah tangan san ditarik, satu kecupan mendarat di atas pipi yang sempat menjadi sasaran empuk pukulan wooyoung beberapa saat yang lalu.

“udah, gak usah ngambek. seneng, gak, dicium?”

“seneng, tapi mau lagi.”

“terus kapan aku masaknya?”

cengiran lebar terulas dari bibir san, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. melihat hal itu, wooyoung tak mampu menolak diri untuk ikut tersenyum, ia mengulurkan tangannya, mengusak gemas pipi san.

“aku masakin nasi goreng, mau?”

san mengangguk, “apa aja masakan kamu, aku makan,” balasnya.

“kamu dulu pernah bikin aku sakit hati, lho, nahan asinnya masakan aku. mau dimakan terus kalo asin?”

kini, wooyoung sedang berkutat dengan bahan masakan yang akan ia olah untuk menu makan malam san.

“itu udah lama banget waktu kamu masih amatir.” san berjalan ke samping tubuh si manis yang memiliki tinggi sedikit lebih rendah darinya.

“mau dibantu?” tawar san.

wooyoung menggeleng, “tolong ambilin sosis di kulkas sama nasi di rice cooker. jangan banyak-banyak nasinya, porsi biasa kamu makan aja.”

san mengerutkan kening bingung, “kamu gak makan?” tanyanya.

“aku ngga laper.”

“masa kamu yang masak kamu ngga makan?”

wooyoung merotasikan bola matanya dengan malas, “nanti aku nyicip dikit, aku ngga laper. udah sana ambil.”

san berdecak lantas menurut, mengambil beberapa sendok nasi untuk ditaruh ke dalam dalam piring serta mengambil dua buah sosis di dalam kulkas sebelum memberikannya pada wooyoung.

selama sang kekasih memasak, tentu san tak tinggal diam memperhatikan saja. sesekali membantu, walau berujung sedikit mengacaukan wooyoung dengan membuat si manis risih.

pada akhirnya, wooyoung membiarkan san, memilih untuk memanfaatkan sang kekasih sebagai sosok yang dapat ia suruh sesuka hati.

“mau diambilin apalagi?” tanya san, ia memberikan satu buah piring bersih pada wooyoung.

sang pria jung menggeleng cepat sambil mematikan kompor dan menerima piring pemberian san.

“udah selesai. tapi, bisa tolong buatin aku susu, gak, san?”

san menaikkan sebelah alisnya, “tumben ngga kopi?”

“aku ke sini tadinya mau buat susu biar ngantuk.”

si choi hanya ber-oh ria kemudian segera menuruti permintaan wooyoung untuk membuatkan si manis segelas susu hangat.

sepiring nasi goreng disajikan, disusul segelas susu hangat ditaruh ke hadapan wooyoung yang telah duduk manis di depan meja makan sambil menunggu susunya datang.

malam di meja makan diisi dengan suara denting sendok yang beradu dengan piring, obrolan sesekali keluar, membicarakan hal-hal untuk membunuh sepi. beberapa kali terdengar rengekan kesal wooyoung tentang ia yang tak mau mengambil suapan yang san sodorkan, meski begitu san merasa sangat beruntung dengan sikap pemaksanya hingga dapat membuat wooyoung patuh untuk menerima beberapa suapan darinya.

wooyoung sudah mau repot-repot memasakkan makanan untuk san yang payah dan hanya bisa merebus semangkuk ramyeon instan. setidaknya, wooyoung harus menikmati masakannya sendiri meski sedikit karena sungguh, san merasa tak enak hati setelah mendengar niat awal wooyoung ke dapur.

“gelasnya udah, woo?”

ya, tak hanya itu. san juga yang merapikan dapur dan mencuci semua alat masak termasuk piring bekas makannya.

tak mungkin wooyoung, kan?

meski sang kekasih sempat menawarkan dan san langsung menolak tegas.

“bentar.”

wooyoung meneguk sisa susu rasa vanilla dalam gelas di tangannya sampai tandas sebelum beranjak menghampiri san dan memberikannya untuk si choi cuci.

“kamu cocok banget jadi tukang cuci piring, san.”

“jangan ngeledek atau aku cium?”

san menaruh gelas yang sudah ia cuci bersih itu ke tempatnya semula kemudian berbalik untuk menghadapi wooyoung yang ternyata masih berdiri di belakangnya.

si choi terpaku atas sosok wooyoung dalam jarak dekatnya, bola matanya bergulir menatap lurus salah satu anggota pada wajah menawan itu. netra san memicing, beringsut mendekatkan wajah pada paras manis yang kini mulai memasang raut bingung.

“ada ap―”

pinggang yang lebih muda ditarik untuk mempertemukan kontak tubuh depan masing-masing, sementara sepasang ranum lekas menyambar lembut bibir atasnya. wooyoung melenguh geli merasakan sapuan lidah san yang menyapa kulit di atas bibirnya.

kontak bibir itu tak bertahan begitu lama ketika san mulai melepaskannya kemudian mengecap-ngecap rasa yang ada di lidahnya.

“rasa vanilla, manis,” gumam si choi.

wooyoung hampir memekik kencang ketika san mengangkat tubuhnya, mendudukkannya di atas meja makan.

oh, ia tak ingin membuat kegaduhan di jam 11 malam ini dan apa yang san lakukan sebenarnya?!

“kamu kalau abis minum susu, tuh, usap bekasnya. gimana kalau kamu lagi bareng orang lain? mau disosor?”

wooyoung berdecak sambil memukul pelan bahu san.

“ya, mana aku tau ada bekas apa ngga!”

“sedia payung sebelum hujan, sayang.”

si manis menghela napas pelan, “iya nanti aku usap. udah, ah, aku mau tidur.”

sebelum wooyoung sempat menurunkan tubuhnya dari atas meja makan, dua tangan kekar bertumpu di atas meja, memposisikan di tiap sisi paha wooyoung, mengukung si manis yang hendak berlalu dari eksistensinya.

wajah san kembali mendekat, menatap wooyoung dengan bibir mencebik sebal.

“gara-gara susu vanilla kamu, aku jadi mau yang manis-manis.”

dessert?

san mengangguk sambil bergumam meng-iyakan.

“di kulkas ada dessert box, red velvet. makan aja, itu punya aku.”

“gak peka banget.”

“maksud kamu?”

san semakin merapat, mengulurkan tangan untuk meraih tengkuk si manis.

“aku maunya ini.”

setelahnya, dua pasang bibir kembali beradu kontak untuk yang kedua. kali ini tak bertahan sebentar, wooyoung sendiri sudah memperkirakannya. maka, ketika san mulai menggerakkan bibir untuk menikmati bibir wooyoung dengan pangutan lembut, wooyoung membalas dengan maksud andil dalam pemberian afeksi untuk sang kekasih yang tak pernah bosan memanjakannya.

kedua tangan wooyoung bergerak ke atas, meraih leher san, mengalungkannya di sana sementara kedua kakinya yang menjuntai di bawah beringsut melingkar di area pinggang ramping san, memeluknya dengan erat.

senyum tipis san terulas di sela ciuman mereka. ah, wooyoung benar-benar menggemaskan. maka, pelukan hangat pada kulit pinggang wooyoung secara langsung setelah san menelusupkan kedua tangannya ke dalam kaus wooyoung adalah hadiah atas betapa manisnya si jung dalam kuasanya.

wooyoung melenguh kecil, mengerang kesal dalam pangutan yang masih terjalin intens kala san dengan sengaja mengusap pinggangnya, terlalu lembut hingga tubuhnya berjengit dan romanya meremang.

bunyi kecipak menggema, wooyoung melepaskan tautan bibir mereka.

“bisa gak, sih, kalau lagi cium itu tangannya diem aja?” protesnya kesal.

san terkekeh geli, “maaf, abis lembut banget. kaya bayi.”

wooyoung memajukan bibirnya, menatap jengkel sang kasih yang tersenyum cerah tanpa rasa bersalah.

ya, memang bukan masalah besar, tapi itu menggelikan sementara pinggang adalah salah satu area sensitifnya.

“woo, mau lagi.”

mendengar permintaan dengan rengekan kecil yang dibuat-buat, wooyoung merotasikan bola matanya dengan malas sebelum menarik leher san untuk kembali mempertemukan bibir mereka, melanjutkan pergumulan lembut yang sempat terputus.

taraf ciuman ditambah dengan lidah yang ikut mengambil peran untuk saling menggoda, menciptakan bunyi kecipak diiringi lenguhan kecil yang mengisi keheningan malam di dapur.

tak ada hal lebih dari ciuman, meski sesekali san kembali melakukan aksi jahilnya dengan menggoda bagian sensitif pada tubuh atas wooyoung hingga si manis terpaksa harus sesekali pula menjambak rambut hitam si choi menyebalkan.


FIN ©kithwys, 2020.

Musim gugur telah tiba, Yunho, teman satu asrama San, mengajaknya berkunjung ke kampung halaman si lelaki Jeong.

Kata Yunho, banyak spot bagus untuk mengambil gambar di dekat rumahnya. San yang amat mencintai fotografi tak bisa menolak ketika Yunho menceritakan spesifik dari hal-hal menakjubkan yang akan tertangkap bagus dengan kemampuan San dalam mengambil sebuah gambar.

Dan di sinilah San saat ini, di sebuah taman luas dengan begitu banyak pohon sakura dan maple yang tangkainya kian menyepi akan bunga dan daun akibat berguguran ke atas tanah berumput. Dengan sebuah kamera yang menggantung di leher, ia berjalan santai menikmati suasana berangin yang sejuk.

San tersenyum teduh, dalam langkah lambannya di atas jalan setapak penuh bunga sakura, setiap objek ia abadikan, setiap momen ia potret. San tak menyangka akan mendapati tempat seindah ini, langit senja yang mengintip di sela sisa bunga sakura dan daun-daun maple di atas dahan adalah penampakan yang indah. San tak dapat melunturkan senyumnya kala itu.

Tungkai kakinya berbelok, memilih menyimpang dari jalan setapak untuk menginjakkan kaki di atas rerumputan hijau. Kata Yunho, di sini selalu ramai, meski begitu himbauan untuk menjaga lingkungan tetap ditegaskan. Karena San baru menginjakkan kakinya di waktu sore, tempat ini tak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang siap pulang ke rumah. Petugas kebersihan juga telah datang untuk membersihkan daun-daun dan bunga yang gugur di atas rumput.

San tersenyum lantas membungkuk sopan pada sang petugas kebersihan yang terlihat sudah seumuran ayahnya. Ia mengangkat kameranya, memotret sang pria yang sibuk membersihkan area. Ah, San menyukai potret yang bermakna.

Kepalanya menoleh ke kiri, menemukan sepasang keluarga kecil dengan ayah, ibu, dan dua anak perempuan kecil yang sedang tertawa riang atas alur pembicaraan mereka. Lagi, San mengabadikannya ke dalam potret gambar.

Semakin tungkai San melangkah lebih jauh, dapat ia lihat jika taman ini dekat dengan sungai yang mengalirkan air jernih. San mengangkat kameranya kembali, tersenyum gemas melihat ikan-ikan kecil yang berenang di dalam air sungai.

Kaki itu terus mengitari indah yang menyejukkan hati, memilih untuk mendekat pada pepohonan yang berdiri kokoh. Angin berhembus pelan, kembali menebarkan kelopak sakura dan daun maple jingga untuk mengikuti arusnya, hal itu tak San lewatkan dari lensa kameranya, terus memotret tanpa henti.

Ketika diri sedang asik menangkap pemandangan dan jari telunjuk tanpa henti menekan tombol potret sambil tungkai kaki melangkah santai, semua sendi dalam tubuhnya tiba-tiba terhenti, kedua mata si pria Choi mengedip-ngedip sebentar sebelum menurunkan kameranya.

Tepat di hadapannya, sesuatu yang menawan mendesirkan darah yang mengalir di seluruh tubuhnya, membuatnya terpaku tak tahu harus berbuat apa.

Ini, pemandangan yang jauh lebih indah dari semua yang ia temui sore ini.

Tidak semenakjubkan itu, hanya sesosok lelaki mungil yang tertidur pulas dengan posisi tengkurap beralaskan kain putih tipis, senada dengan baju dan celana bahannya. Guguran bunga sakura mengelilinginya, bahkan beberapa mendarat di atas punggungnya. Satu buah daun maple berwarna jingga juga mendarat di atas keningnya. Wajah damai dalam pulasnya tidur itu, dihiasi cahaya senja yang menyorot melalui sela-sela dahan pohon maple di atasnya.

Cantik.

Satu kata sejuta makna yang tak dapat San jelaskan dengan rinci. Akan terlau banyak menghabiskan kertas dan memakan banyak waktu untuk memaparkan cantik di hadapannya.

Sang Maha Sastra tak main-main dalam menciptakan setiap sosok yang hidup di semestanya. Banyak hal indah di dunia yang pernah San lihat, namun baru kali ini ada yang menarik perhatiannya, merebut kesadarannya, hingga San tak dapat menahan diri untuk kembali menaikkan kameranya, memfokuskan lensanya pada sosok tuju yang indah.

Klik!

San berjengit, tubuhnya sedikit memundur, wajahnya menunjukkan raut terkejut.

Mata itu terbuka, menampakkan dua kelereng kembar yang jernih tepat ke arah lensa kameranya.

Harusnya San tahu jika ini sangat tidak sopan, mengambil potret seseorang tanpa izin di saat sang objek sedang tertidur pulas.

San menggaruk tengkuknya dengan wajah canggung, lantas membungkukkan tubuhnya berkali-kali sambil melontarkan kata maaf dengan nada penuh rasa tak enak hati.

Ketika tubuh kecil itu bangkit dan memilih untuk duduk di atas alas kainnya, sang Choi sudah siap hati untuk dimaki, atau dikatai, ia sadar ia tak sopan.

Tapi, ekspektasinya runtuh, sosok itu justru mengulas senyum manis untuk San. Sungguh manis, aliran darah San bahkan kembali berdesir setelah itu.

“Bisa ambilin gambar aku lagi?”

Hal yang di luar dugaan dan San hanya mampu termangu sambil mengedip-ngedipkan matanya.

“Udah lama aku ngga ambil gambar sendiri, boleh minta tolong foto lagi?”

Suara lembut itu kembali mengalun, tentu ditujukan untuk San yang masih berdiri kaku.

Setelah sadar bahwa San tak salah dengar, ia mengangguk pelan lantas kembali mengangkat kameranya, mengarahkan lensa dan fokusnya pada sosok di hadapannya.

Si mungil itu tersenyum manis dengan menunjukkan deretan gigi rapinya sambil memegang setangkai daun maple yang ia ambil dari kepalanya.

Bunyi ‘klik!’ kembali terdengar; beberapa kali. San tak tahu kenapa bisa dirinya kembali berlaku tak sopan dengan mengambil banyak gambar sementara si manis tak meminta itu.

“Boleh lihat?”

San mengangguk pasti, mengahampiri sang manis yang menepuk spot kosong di sampingnya, mengisyaratkan San untuk duduk di sana.

San menyodorkan kameranya, menunjukkan hasil potretnya pada sosok di sampingnya.

Senyum manis kala menatap potretnya sendiri, tentu tak lepas pandang dari netra kembar San.

“Foto yang kamu ambil bagus.. eum..”

“San, Choi San.”

Cengiran gemas kembali menghiasi wajah indah itu dan San tetap tak dapat melepaskan atensi dari betapa indahnya sosok yang seakan meminta San untuk terus memberikan seluruh perhatiannya.

“Ya, San. Foto yang kamu ambil bagus banget.”

San tak dapat menahan senyumnya, senyum bahagia ketika mendapat pujian. Kali ini bukan hanya rasa senang seperti biasa ia mendapat pujian atas potretnya dari orang-orang. Rasa senang ini berbeda.

“Terima kasih..”

“Wooyoung, Jung Wooyoung. Salam kenal, San.”

Si Choi mengangguk. “Kembali kasih. Salam kenal juga, Wooyoung,” ucapnya.

Wooyoung beralih tatap dari potret dirinya dari kamera San pada lekuk wajah sosok sang pemotret di sampingnya.

San salah tingkah, baru sadar pula jarak wajah mereka cukup dekat.

Satu jengkal?

Mungkin. Cukup dekat hingga San dapat melihat setiap detail dari pahatan wajah di sampingnya.

“San? Musim gugur ini dingin, ya?” tanya Wooyoung.

San mengerutkan keningnya, “sedikit. Kenapa, Wooyoung?”

“Pipi San merah.”

Memalukan.

Ia lekas memutus pandang dari wajah Wooyoung, menghindari tatapan dari lelaki manis di sampingnya.

“I-iya, aku gak kuat dingin, Wooyoung,” balasnya gugup.

San memilih untuk menengadahkan kepalanya ke atas, melihat matahari yang semakin merendah di ufuk barat. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore, pantas langit semakin memasuki warna jingga sempurna.

Ah, entah kenapa posisi duduknya bersama Wooyoung bisa pas menghadap ufuk barat. San mengangkat kameranya, kembali memotret senja indah di hadapannya.

“San?”

Si Choi menurunkan kameranya untuk kembali menatap Wooyoung yang kini ikut menengadahkan kepalanya menatap langit sore.

“Marah, gak, kalau sesuatu yang kita punya diambil?”

San menatap Wooyoung tak paham.

“Sakura dan daun maple yang gugur dari dahan, misal.”

“Ah..”

Si pria Choi mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum kembali menengadah menatap langit jingga serta sakura dan daun maple yang beterbangan.

“Kadang, aku ngerasa marah. Tapi, sesuatu yang diambil bukannya selalu ngasih balasan yang lebih baik buat kita?”

Wooyoung memiringkan kepalanya, “maksud San?”

San meluruskan kedua kakinya untuk mengambil posisi yang lebih nyaman.

“Kaya sakura dan daun maple. Mereka mungkin berguguran jatuh, ninggalin pohon yang akhirnya cuma tersisa batang dan ranting. Tapi.. bukannya mereka bisa tumbuh lagi? Tumbuh jadi lebih indah.”

Wooyoung mengulas senyum manis yang cerah, amat cerah. San tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Wooyoung akan tetapi lelaki itu terlihat sangat bahagia.

“Kaya reinkarnasi, ya, San?”

San mengangkat kedua alisnya, ia mengangguk, agak sedikit ragu. “Ya, bisa jadi,” balasnya.

“Makasih, San.”

Kerutan di kening San menunjukkan raut bingungnya.

“Buat?”

Wooyoung memeluk kedua kakinya lantas kembali menengadahkan kepala ke atas langit. Kelopak sakura dan daun maple masih beterbangan dibimbing angin sore, burung-burung bersama kicauan riangnya mulai berbondong untuk pulang ke sarangnya. Lagit sore ini begitu indah untuk sepasang netranya nikmati.

“Hanya mau bilang makasih.”

San tak terlalu memikirkan makna di balik ucapan terima kasih itu, tidak sepenting memandangi pahatan indah wajah Wooyoung dari samping saat ini.

Tanpa sadar sebelah tangan San terulur, mendarat di atas dadanya.

Detaknya, melaju lebih cepat dari biasanya.


Pagi itu sekitar pukul 06.17 San terbangun dari tidur nyenyaknya setelah mengakhiri pelayaran di pulau kapuknya yang indah. Senyum lebar menghiasi wajah tampannya sebelum beranjak dari kasur untuk melangkah keluar dari kamar tamu rumah Yunho yang telah disiapkan untuknya.

Dengan senyuman yang masih terpantri dan ucapan selamat pagi yang ramah, San tunjukkan untuk wanita tua yang masih terlihat cantik dan awet muda saat tak sengaja bertemu di depan pintu kamar.

Itu ibu Yunho.

Setelah bertanya keberadaan Yunho dan mendapat jawaban jika si Jeong masih di kamarnya, San lekas melesat menuju ruang yang sudah ia hafal letaknya.

“Masuk aja, San.”

Sahutan itu San dengar dari dalam kala ketukan pintu kedua hampir ia berikan pada permukaan pintu berwarna putih yang kokoh.

San memutar kenopnya sebelum beranjak masuk ke dalam.

“Loh? Rapi banget?”

Di hadapannya, Yunho benar-benar terlihat rapi―dan wangi―dengan kemeja putih juga celana bahan hitam serta coat besar berwarna senada celana yang membalut tubuhnya.

San berjalan menghampiri sang sahabat, duduk di tepi kasur sambil terus memperhatikan penampilan Yunho yang amat rapi.

“Lo.. mau kencan, ya?”

Yunho terkekeh, tak salah San bertanya akan hal itu, sebuket bunga lily putih yang sudah ditata rapi di atas meja nakas pasti menarik perhatiannya.

“Hari ini pacar gue ulang tahun, San,” seru Yunho.

San menatap sang sahabat dengan jenaka. Melihatnya, Yunho kembali tertawa dan lekas meraih buket bunga di atas nakasnya.

“Lo gak papa gue tinggal? Bentar, kok, gak lama.”

San mendecih, “mana ada ngerayain ultah pacar sebentar?”

“Haha, serius.”

Si Choi hanya mengangguk malas sebelum matanya memutuskan kontak dari penampilan Yunho pada nakas yang kosong setelah si Jeong ambil bunganya.

Tidak, nakas itu tidak begitu kosong, ada sesuatu di sana, sebuah lembar foto seorang lelaki yang dibingkai rapi dengan frame sederhana berwarna hitam.

San memicingkan matanya, menelisik sosok manis dalam potret kertas itu―sebelum kedua matanya membulat sempurna.

Dia.. bukannya dia―

“Ah, ini pacar gue.”

Yunho mengusap foto yang terduduk rapi di atas nakasnya sambil mengulas senyum tipis.

“Jung Wooyoung namanya, San.”

San tak tahu harus memberi reaksi seperti apa, tak tahu harus melontarkan diksi apa, bibirnya bahkan kelu, tubuhnya kian mengkaku.

Jadi, sosok manis penarik perhatian dan perangsang desiran hangat di dalam tubuh San; Wooyoung, adalah kekasih Yunho? Sahabatnya?

San agak tak mengerti, tapi ada sesuatu yang terasa sedikit nyeri, di dadanya.

“Gue berangkat dulu, ya, San?”

San berhasil memberikan reaksi, meski hanya dengan anggukkan kaku dan bibir yang masih kelu hingga tak sanggup melontarkan sesuatu.

“Oh, iya, San.”

Yunho berhenti di ambang pintu, berbalik, mengulas senyum untuk San yang masih duduk di tepi kasur sambil menatapnya.

Senyum Yunho, entah kenapa terlihat begitu ambigu; terkesan sarat akan pilu.

“Wooyoung, dia udah meninggal, 2 tahun yang lalu.”

San benar-benar tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa, ia benar-benar tak tahu. Bahkan ketika Yunho kembali melantunkan pamitnya, San masih terdiam di tepi kasur milik sang sahabat. Cukup lama, sebelum ia berlari menuju kamar tamu yang disinggahinya.

San meraih tas kecil di atas nakas, mengambil kamera yang ia simpan dengan rapi di dalam sana. Jarinya bergerak untuk menghidupkan benda kesayangannya itu sebelum membuka foto-foto yang ia ambil kemarin.

Tubuh San melemas, jatuh terduduk di atas tempat tidurnya, kedua tangannya bergetar, sementara rasa sesak mulai menyeruak membuat napas tercekat.

San telah berulang kali menekan tombol kameranya, berulang kali melihat foto-foto yang ia potret di taman kala ia bertemu Wooyoung.

Namun, nihil, tak ada sosok apapun di dalam potret kameranya selain kain putih yang tergerai bersama guguran bunga sakura.

“Marah, gak, kalau sesuatu yang kita punya diambil?”

Wooyoung bukan miliknya, pun, bukan milik Yunho seutuhnya. Tapi, kenapa gejolak amarah mulai mendidih ketika lelaki manis itu diambil oleh Sang Agung; yang bahkan adalah sosok Sang Pencipta?

San meremat dadanya, bagai ditimpa batu besar, rasa kecewa menamparnya akan kenyataan menyedihkan atas cinta pertamanya.

Ya, ini belum sampai 24 jam setelah pertemuan mereka, telah ia yakini Jung Wooyoung, adalah cinta pertama Choi San.

Ini tidak seperti sakura dan daun maple yang dapat tumbuh kembali. San telah kehilangan, sebelum ia memulai semuanya.


FIN ©kithwys, 2020.

San menghela napas lega setelah memarkirkan mobilnya dengan rapi di garasi rumah. Ia duduk sebentar untuk menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan sebelum beranjak keluar setelah meraih tas kerjanya.

Didorongnya pintu itu untuk segera melesat masuk ke dalam rumah. Aroma masakan menguar, menarik atensi San untuk melangkah mengikuti aroma yang sudah sangat ia hafal dari mana itu berasal.

Ah, suaminya, Jung Wooyoung―uh? Tidak, Choi Wooyoung maksudnya, sedang menata piring-piring berisi lauk yang terlihat masih mengepulkan uap di atas meja.

“San?”

Wooyoung lekas mencuci tangan dan mengeringkannya dengan tisu sebelum beranjak menghampiri San.

“Maaf, aku ngga denger suara mobil kamu, ngga tau kamu udah pulang.”

San tersenyum simpul, menarik tengkuk si manis favoritnya untuk ia kecup kening sang kasih.

“Gak papa, kok,” balasnya. San beralih memandang masakan-masakan Wooyoung yang sudah tersaji di atas meja, sorot mata San menyendu, ia menghela napas; lagi.

“Mau mandi dulu atau makan dulu? Eh, tapi kayaknya makan dulu, deh, ya? Soalnya udah malem juga, kamu pasti udah laper bang―”

“Woo.”

“Iya, San?”

San menarik tubuh itu ke dalam dekapannya, mengelus surai legam Wooyoung dengan lembut.

“Maaf, maaf banget. Tapi.. aku udah makan bareng Kak Hongjoong sehabis rapat tadi.”

Wooyoung terdiam, mengedip-ngedipkan matanya sebelum menengadah menatap sang suami yang sedikit lebih tinggi darinya.

Air wajah Wooyoung berubah, kening itu mengkerut, sementara San mulai menciut. Jujur, tak tega rasanya, tapi San benar-benar lelah dan memang sudah makan sekitar pukul 8 malam tadi.

Sekarang sudah pukul 10 malam, ngomong-ngomong.

“Kamu gak ada bilang sama aku kalau makan di luar?”

Wooyoung, terlihat sedang menahan kekecewaannya lebih dari ini dengan nada bicara yang dibuat senormal mungkin seperti biasa ia berbicara dengan suara lembutnya.

“Aku lupa ngabarin kamu, Woo.”

Wooyoung mengulas senyum tipis. Itu tak terlihat manis, justru terpaksa untuk terlihat manis di hadapan San.

“Segitu sibuknya, ya, Choi San?”

Wajah Wooyoung memang masih terlihat normal, tapi kalimat dengan menyebut marga di awal nama sebagai sosok tuju, San tahu kondisi hati Wooyoung semakin mengkeruh.

“Kamu juga tau, kan, aku sesibuk apa, Woo?”

San berusaha menjernihkan atmosfer dengan raut penuh penyesalannya. Sungguh, bukan sengaja semua ini terjadi.

“Tapi ngga sampai lupa kabarin aku, lho?”

Okay, nada bicara itu sudah sedikit terdengar dingin, Wooyoung mulai menginjak satu anak tangga emosinya.

“Iya, aku salah lupa ngabarin kamu. Aku minta maaf, ya?”

Wooyoung menghembuskan napasnya dengan kasar sebelum melepas pelukan San dan berjalan menuju meja makan.

“Padahal hari ini juga kantorku lagi sibuk-sibuknya.”

Pria manis bermarga asli Jung itu mengambil salah satu piring lantas berjalan menuju pojok dapur.

“Aku sampai rumah sekitar jam 9 dan buru-buru masak sesuatu biar kamu bisa langsung makan pas pulang. Aku juga sama capeknya.”

San membulatkan matanya melihat apa yang Wooyoung lakukan, ia lekas menghampiri suami kecilnya itu, hendak menahannya namun Wooyoung sudah terlanjur membuang semua isi yang ada di dalam piring itu ke dalam tong sampah.

“Wooyoung!”

Yang dipanggil tak mengindahkan seruan tinggi sang suami, ia kembali ke meja makan untuk mengambil piring yang lain.

“Para editor berantem sama pihak di bagian pemasaran. Aku ikut berantem karena capek sama sikap orang-orang pemasaran yang selalu ambil tindakan tanpa minta pendapat para editor.”

“Woo―”

Wooyoung menepis tangan San yang hendak menahannya untuk kembali membuang makanan selanjutnya ke dalam tong sampah.

“Hari ini kantor kacau. Tapi, sebagai suami, aku juga gak bisa lepas tanggung jawab di posisiku dalam rumah tangga saat ini, kan? Aku―”

“Cukup!”

Sret!

Prang!

Wooyoung berjengit, terkejut ketika San menarik tangannya yang hendak membuang makanan ke sekian hingga piring itu terjatuh menghantam lantai dan pecah berkeping-keping.

Si manis menengadahkan kepalanya, hendak mengeluarkan amarah sebelum San mendahuluinya.

“Kamu pikir kamu aja yang kerja?! Kamu pikir kamu aja yang capek?! Jangan merasa semua beban kamu yang tanggung, Jung Wooyoung!”

Ketika ‘Jung’ keluar dari mulut seorang Choi San, maka amarah tinggi tak bisa dielakkan dari segala kemungkinan yang ada.

San marah.

Bruk!

Si Choi mendorong kedua bahu Wooyoung hingga lelaki manis itu memundur.

“Kamu pikir cuma kamu yang pusing?!”

Bruk!

Lagi, San mendorong Wooyoung.

“Kamu pikir para sialan cuma ada di tempat kerja kamu?!”

Bruk!

Wooyoung kembali terdorong ke belakang.

“Aku juga sama! Karyawan yang gak becus, klien yang nyebelin, jadwal yang padat! Kamu pikir enak ada di posisi atas, hah?! Jangan egois Jung Wooyoung! Semua orang punya porsi susah! Jangan merasa kamu yang paling susah di sini!”

Bruk!

Bugh!

“Akh!”

Bodoh.

Choi San dan amarah adalah dua elemen yang sangat merugikan bukan main.

San bisa saja hanya membentak Wooyoung atas rasa kesal yang membelenggu hatinya. Tak harus sampai bersikap kasar dan melukainya.

Lihat apa yang ia lakukan?

Wooyoung terdorong, bahunya menubruk tembok di belakangnya dengn keras hingga sang suami memekik dan menunduk sambil mencengkram bahunya.

“Hiks.”

Hal yang jauh lebih bodoh, San membuat Wooyoung meneteskan air matanya, menahan isaknya dengan menggigit bibir bawahnya, tubuh kecil itu bergetar.

Wajah keruh San meluruh, terganti dengan wajah penuh penyesalan. Ia lekas bergerak untuk menarik tubuh itu ke dalam pelukannya.

“Maaf, maaf, Woo. Ayo pukul aku, pukul aku, Wooyoung―”

“Dad? Pa?”

Kedua pria itu berjengit, tertarik atensinya pada sumber panggilan yang tak jauh jaraknya dari posisi mereka.

Di sana, berdiri dua makhluk mungil dengan wajah kebingungan. Si surai pendek dengan wajah menawan mengedip-ngedipkan matanya sementara si surai panjang dengan wajah cantik itu berdiri di belakang si surai pendek, memeluk lengan sosok kecil berjenis kelamin laki-laki itu.

Choi Haru dan Choi Hana, sepasang anak kembar yang dilahirkan dengan selisih waktu tipis. Putra dan putri dari pernikahan Choi San dan Jung Wooyoung.

Wooyoung lekas melepaskan pelukan San yang mendekapnya erat kemudian menghampiri dua makhluk mungil dengan wajah mirip itu.

“Tuan Pangeran sama Tuan Putrinya Papa kenapa belum tidur, hm?”

Wooyoung berjongkok di hadapan dua mungil yang memiliki umur sekitar 9 tahun itu, mengelus masing-masing surai lembut mereka.

“Tadi kita abis teleponan sama Oma sambil nunggu kalian. Papa kapan pulang? Daddy juga kapan pulang?” Si lelaki mungil bertanya.

San meruntuk dalam hati. Wooyoung sepertinya bahkan belum memeriksa putra dan putri mereka saat pulang bekerja. Dapat ia bayangkan betapa sibuk Wooyoung yang pulang kerja dan segera berkutat bersama alat dapur untuk memasakkannya makan malam.

“Maaf, ya, Sayang?”

Wooyoung mengulas senyum manisnya, “Papa udah pulang dari tadi sama Daddy. Kita abis makan malam bareng. Gak nyamperin kalian dulu, takutnya udah tidur.”

“Papa gak apa-apa? Mata Papa merah.”

Kali ini, sang putri yang bertanya dengan raut cemas, tangan mungilnya bergerak menangkup sebelah pipi sosok yang telah melahirkannya bersama sang kembaran ke dunia.

“Mata Papa tadi kena keringet. Tapi Daddy udah bantu obatin, jadi ngga apa-apa. Iya, kan, Dad?”

Wooyoung menoleh ke belakang untuk menatap San, sementara si Choi hanya mengangguk sambil memaksakan bibir untuk tersenyum. Ia melangkah mendekati dua buah hatinya, menepuk puncak kepala masing-masing makhluk mungil itu.

“Udah jam 10 lebih. Jagoan sama cantiknya Daddy tidur, yuk? Daddy anter ke kamar. Besok sekolah, kan?”

Anak lelaki mungil mengangkat kepalanya lantas mengangguk.

“Papa mau beresin dapur dulu abis itu pergi tidur. Kalau nurut sama Papa dapet apa?”

Dua sosok mungil itu beralih menatap Wooyoung dengan senyum cerahnya. “Kith!” dan berseru secara bersamaan.

Wooyoung terkekeh kecil, mengecup masing-masing bibir mungil itu sebelum mendekap keduanya dan memberikan kuasa pada San untuk mengantarkan dua anak kecil itu menuju kamarnya.

Sebelum Pergi, San sempat melirik Wooyoung terlebih dahulu, sayangnya, sang suami malah membuang pandang dan memilih untuk segera membereskan piring yang terpecah belah di atas lantai.


San di kursi kemudi, sementara mata terus mencuri-curi pandang pada Wooyoung yang duduk di sampingnya dengan arah pandang dituju pada kaca mobil di samping.

Ah, San tak suka suasana hening ini, terlebih ia hanya berdua bersama Wooyoung yang sepertinya masih syok dengan kejadian semalam hingga tak berani menatap dan mengajaknya berbicara.

Harusnya ia membawa Haru dan Hana dalam perjalanan mereka di selasa sore ini, akan tetapi Wooyoung pasti lelah karena baru saja menyelesaikan pekerjaannya, jadi tak mungkin San mampir ke rumah untuk mengajak kedua anaknya ikut dalam perjalanan mereka. Lagi pula, ini hanya perjalanan sepulang kerja ketika pekerjaan San dan Wooyoung selesai lebih cepat dan tanpa sengaja berakhir di jam yang hampir berdekatan.

“Hana mau masak-masak bareng Haru dan Oma. Bilang Daddy juga, ya, Pa.”

Wooyoung membacakan pesan yang dikirimkan Hana melalui ponsel Oma―ibu San―dengan sedikit lantang, agar San tahu bahwa pesan itu juga ditujukkan untuknya. Wooyoung berniat memberi tahu, tapi tak berniat mengajak San bicara.

“Wooyoung, mau makan dulu?”

Pertanyaan dilontarkan oleh San ketika ia memasuki area yang dikenalnya, dan ini cukup dekat dengan beberapa bangunan restoran yang sering ia kunjungi bersama Wooyoung dan dua anak manisnya.

“Kita pulang aja, San. Udah sore.”

San mengangguk meng-iyakan sebelum melesatkan mobilnya, membelah jalanan yang cukup ramai di Selasa sore ini.

Ya, benar, sudah pukul setengah 5 sore lagi pula. Pulang kerja cepat adalah salah satu keberuntungan bagi Wooyoung, suaminya itu pasti ingin menghabiskan waktu sedikit lebih lama bersama Haru dan Hana.

San juga.

Kalau diingatkan kembali, San dan Wooyoung jarang sekali menghabiskan waktu bersama dua anak kembarnya itu. Pekerjaan San sebagai pemimpin perusahaan dan Wooyoung sebagai editor di salah satu perusahaan penerbitan di ibu kota membuat mereka tak memiliki waktu untuk menghabiskan waktu bersama selayaknya keluarga.

Haru dan Hana memang tak masalah akan hal itu, keduanya senang-senang saja terus menghabiskan hari bersama Oma yang rumahnya berdiri kokoh di depan rumah mereka. Hanya saja, sebagai orang tua, ada perasaan tak mengenakkan hati ketika menelantarkan putra putri meski tanpa sengaja.

Si Choi kembali melirik si manis di samping yang kini sudah beralih tatap pada kemacetan kecil di sore hari dengan kendaraan yang maju sedikit demi sedikit di depan mobil mereka.

Ah, San merindukan suara Wooyoung saat berceloteh. Wooyoung yang diam adalah hal menakutkan dari beberapa ketakutannya. Ia tak dapat mendengar rengekan manja, intonasi antusias seperti biasa, serta pout bibir saat si manis berbicara.

San ingin meminta maaf atas kejadian semalam. Namun, diamnya Wooyoung justru membuat San merasa takut.

Katakan ia lemah, Wooyoung adalah kelemahannya hingga sampai saat ini ia masih menyesali perbuatannya.

Grep!

Kepala Wooyoung bergerak menunduk, menatap sebelah tangannya yang semula terkulai di atas paha kini berpindah ke paha sosok lain, digenggam erat oleh jari-jari yang tertaut di sela jari Wooyoung.

Hangat, genggaman San selalu terasa hangat.

Wooyoung tak melepaskannya, tak menolaknya, bahkan membalas genggaman itu meski wajahnya kini masih menunjukkan raut datar yang sama seperti tadi.

Dalam perjalanan sore di tengah kemacetan, sepi masih membelenggu meski kini hangat ikut andil mengusir sebagian atmosfer keruh yang mendominasi.

Mereka terus berdiam diri bersama jari yang saling bertaut hangat sampai kendaraan beroda empat yang San kemudikan itu sampai di halaman depan rumah keduanya.

Wooyoung lekas turun disusul San di belakangnya untuk masuk ke dalam rumah.

Sepi, tak ada penghuni kala keduanya menapakkan kaki di lantai bagian dalam rumah.

Sempat terheran-heran, sebelum―

“Haru! bukan gitu!”

“Terus gimana?”

“Nih, liat Hana, ya! Haru harus ikutin Hana. Tuh lihat, kaya gini.”

“Wah, Hana udah pandai!”

Wooyoung mengikuti arah suara-suara yang terdengar dari halaman di samping rumahnya.

San menyernyitkan dahinya, mengikuti sang suami yang berjalan terlebih dahulu menuju pintu yang menjadi akses menuju halaman di samping rumah mereka.

“Iya, dong! Hana mau pinter masak, Haru!”

“Haru juga mau!”

“Gak boleh! Hana aja yang masak. Hana, kan, perempuan.”

“Terus nanti Haru harus ngapain kalau Hana masak?”

“Haru kerja! Kerja yang kaya Daddy! Pakai baju rapi dan dasi sama jas. Haru pasti bakal ganteng banget kalau gitu, mirip Daddy!”

Baik San dan Wooyoung hanya mampu terpaku di depan pintu menatap dua malaikat kecil mereka yang sedang berkutat dengan adonan di tangan masing-masing.

Keduanya terlihat sibuk memukul-mukul adonan dan menghempas-hempaskannya ke atas meja yang terlihat penuh dengan tepung.

“Hana mau jadi kaya Papa aja. Mau bisa masak-masak biar nanti ada yang bantuin Papa kalau Papa masak di dapur.”

“Nanti Haru kerja bareng sama Daddy, deh! Biar Hana bantu Papa masak di dapur. Oke, ngga?”

“Oke, dong! Haru pokoknya harus dapet uang yang banyak biar nanti Papa ngga usah kerja dan diam di rumah bareng Hana!”

Wooyoung dan San melangkahkan kaki menghampiri Haru dan Hana yang masih asik mengobrol sambil berkutat dengan adonan di tangan masing-masing.

Dua anak kembar itu, mengobrol layaknya remaja yang sedang mempersiapkan masa depan. Baik Wooyoung dan San tak tahu jika kedua malaikat kecil mereka sudah sepandai ini dalam hal berbicara.

Mereka berdua terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga tak sempat memperhatikan perkembangan kedua anak mereka yang sudah semakin meningkat.

“Tapi Hana gak mau diem aja, Haru.”

“Hana mau ngapain?”

“Hana mau buat roti dan dijual! Nanti dapet uang. Hana mau ajak Papa, kalau Papa nolak pokoknya Haru bantu Hana!”

“Oke, Ha―”

Grep!

Obrolan dua anak berusia 9 tahun itu terhenti ketika merasakan sepasang tangan melingkar dari belakang tubuh masing-masing.

Tubuh Haru didekap erat oleh Wooyoung sementara tubuh Hana didekap tak kalah erat oleh San.

Kedua anak manis itu menoleh untuk menatap wajah sang orang tua, sebelum cengiran lebar terulas hampir bersamaan di bibir masing masing.

Dasar, anak kembar.

San dan Wooyoung tak dapat menahan gemas melihat apron kebesaran terpasang di tubuh dua anak kecil itu sementara beberapa bagian wajah termasuk pipi dan dagu dinodai tepung terigu.

“Anak Daddy lagi apa, hm?”

Hana berbalik menghadap San, melompat-lompat kegirangan.

“Mau buat donat madu! Tadi udah diajarin sama Oma!”

Haru yang masih berada dalam dekapan tubuh Wooyoung mengangguk antusias.

“Katanya, Daddy sama Papa dulu suka banget sama donat madu buatan Oma. Kita mau bikinin juga buat kalian,” seru anak laki-laki itu.

“Oh, iya?”

Wooyoung mengecup kening Haru lantas mengalihkan tatap pada meja yang penuh dengan adonan. Wooyoung tersenyum simpul, berantakan, meski begitu, banyak adonan yang sudah berbentuk hampir menyerupai donat. Mungkin itu adonan donat buatan Haru dan Hana yang sudah jadi. Terlalu berantakan untuk disebut adonan donat, namun tak meruntuhkan rasa senang dalam diri Wooyoung saat melihatnya.

“Donatnya masih lama jadi, ya?” San mengintrupsi. “Huh.. Daddy pengen cepet-cepet cobain, tau,” ucapnya dengan intonasi lirih yang dibuat-buat dan bibir yang melengkung ke bawah. Wooyoung terkekeh, khas San ketika sedang berinteraksi bersama putra-putrinya yang selalu penuh dengan semangat.

Haru dan Hana saling berpandangan, kemudian terkikik geli sebelum kembali menatap wajah kedua orang tuanya.

“Sambil nunggu donat, Daddy sama Papa mau ngemil, gak? Pulang sekolah tadi kita beli sesuatu bareng Oma.”

Wooyoung mengusap surai Haru sambil menatap sang putra dengan lembut.

“Boleh, nanti kita ngemil bareng-bareng abis itu Papa bantu bikin donat.”

Haru dan Hana menatap sang Papa dengan mata berbinar.

“Daddy juga harus ikut bikin donat kalau gitu! Gak boleh diem aja!”

San tertawa lantas menyambar pipi tembab Hana untuk ia kecup dengan gemas.

“Iya, dong! Kalau ngga bantu pasti Haru bakal marah-marahin Daddy,” balas si Choi.

“Kalau gitu, Daddy sama Papa madep belakang dulu, jangan lihat ke sini.”

Titahan Hana membuat kening San dan Wooyoung mengkerut bingung. Meski begitu, mereka tetap menurut karena jika dilihat dari raut anak kembar itu, keduanya terlihat sangat bersemangat untuk menunjukkan cemilan yang akan diberikan pada San dan Wooyoung ini.

“Daddy ngga boleh ngintip!”

San mengangguk patuh saat Hana menepuk pelan punggungnya.

Beberapa saat mereka mendengar gusukan atas aktivitas si kembar di belakang mereka.

Setelah menunggu sekitar hampir dua menit, Haru dan Hana menepuk masing-masing punggung San dan Wooyoung.

“Ayo, Daddy sama Papa balik badan!”

Keduanya menurut, lekas membalikkan badan untuk kembali menghadap sang putra dan putri di belakang mereka.

“Tada!”

Baik San maupun Wooyoung, hanya mampu terpaku melihat sesuatu yang ada di hadapan mereka saat ini.

Sebuah kue tart dengan lilin-lilin menyala yang disusun melingkar di bagian atas kue. Di bagian tengah, terdapat dua lilin angka, 1 dan 2 di disanding untuk menciptakan angka 12. Di sisi bagian depan, sebatang cokelat tipis disandarkan, diisi beberapa patah kata yang diukir dengan krim berwarna putih.

‘Selamat Tanggal 17 November!’

Tanggal 17 November, San dan Wooyoung benar-benar lupa akan tanggal penting yang bertepatan dengan hari ini. Angka 12 juga ikut menyadarkan keduanya tentang betapa bodoh mereka hari ini.

17 November 2020, 12 tahun sudah berlalu, dan mereka masih diberi kekuatan untuk terus bertahan dalam ikatan janji suci.

“Selamat ulang tahun pernikahannya Daddy dan Papa!”

Wooyoung menunduk lantas terisak, San yang ada di sampingnya lekas menariknya, mendekap tubuh ringkih itu.

Bodoh, ia tak ingat hari penting ini dan malah sibuk mendiamkan San. Benar kata San, Wooyoung egois, ia tak seharusnya memikirkan dirinya sendiri. Sudah 12 tahun berlalu sejak pernikahan mereka dilaksanakan, dan ia masih saja bertingkah kekanakan.

Haru dan Hana sendiri hanya mampu tersenyum manis melihat sang Papa yang menangis dalam pelukan Daddy mereka.

“Daddy.. Papa.. jangan berantem, ya?”

Wooyoung tak berani menampakkan wajah menyedihkannya di hadapan kedua malaikat kecil yang ia sayangi. Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Haru, Wooyoung semakin menenggelamkan wajahkan pada perpotongan leher San.

Kedua anaknya, pasti mendengar pertengkaran mereka semalam.

“Kata Oma, dulu Papa sering sakit-sakitan waktu Haru dan Hana masih di dalam perut Papa. Kata Oma, dulu Papa hampir mau dipeluk Tuhan waktu Haru dan Hana lahir ke dunia.”

San menatap dua anaknya, lekas ia raih dua tubuh kecil itu untuk ikut ke dalam pelukannya.

“Kata Oma, Daddy selalu direpotin urusan mau Papa waktu Hana sama Haru masih di dalam perut. Kata Oma, Daddy sampai ngga makan berhari-hari waktu Papa ngga bangun-bangun sehabis melahirkan Hana dan Haru.”

“Makasih, ya, Papa, Daddy. Makasih banyak udah jadi satu dan hadirkan Haru Hana. Maaf selama ini ngerepotin Daddy dan Papa.”

Wooyoung melepas pelukannya dari tubuh San, ia menggeleng sebelum beralih mendekap dua tubuh anaknya.

“Daddy sama Papa udahan, ya, marahannya? Haru dan Hana sedih, kalian sudah banyak berjuang.”

Haru meraih tangan San sementara Hana lekas meraih tangan Wooyoung.

“Ayo baikan!”

San dan Wooyoung saling berpandangan, Haru dan Hana menatap mereka dengan binar penuh harap.

“Kata Oma, kalau ada yang lagi berantem harus kita ajak mereka baikan. Tapi, lebih baik diberi waktu berdua aja.”

Hana meraih pergelangan tangan Haru.

“Jadi, Hana sama Haru mau ke rumah Oma dulu. Nanti kasih tau kalau udah baikan, ya! Kita, kan, mau buat donat! Dadah Daddy! Dadah Papa!”

Dua sosok mungil itu berlari cepat meninggalkan sang orang tua yang masih terpaku dalam posisi berlutut.

San menghela napas, memilih untuk duduk bersila di atas rumput halaman yang bersih sebelum menarik Wooyoung untuk ikut mendudukkan dirinya; di atas pangkuan San.

“Aku minta maaf.”

Akhirnya, San mengucapkannya, kata maaf yang rasanya amat sulit diucapkan untuk Wooyoung yang terus mendiaminya hari ini.

“Aku bodoh banget, aku lukain perasaan kamu, aku lukain fisik kamu. Masih sama kaya semalem, ayo, pukul aku, bales aku.”

San menangkup kedua pipi itu, menghapus jejak air mata yang tertinggal dari pelupuk hingga pipi berisi Wooyoung.

Si manis sendiri memilih untuk membuang muka, menunduk, memainkan ujung kaus longgarnya.

“Kamu juga gak akan kaya gitu kalau aku gak mulai.”

San mengulas senyum manis, diusapnya surai sekelam malam itu dengan lembut.

“Kita sama-sama lelah. Biasanya, orang lelah itu sensitif, tapi cenderung nyebelin juga. Dari dulu, kita ini ngga pernah aman kalau ada di mood yang jelek di waktu yang sama.”

Sebelah tangan San beranjak untuk meraih dagu Wooyoung agar si manis menatap ke arahnya.

“Cuma, yang semalam itu aku keterlaluan banget.”

“Aku juga keterlaluan karena nyebelin.”

San terbahak, menarik wajah itu mendekat padanya sebelum ia usakkan hidungnya pada hidung bangir si manis dalam pangkuannya.

“Ya udah, kita berdua salah. Kalau Oma di sini, dia juga pasti bilang gitu,” timpal San.

Wooyoung tersenyum tipis, beringsut melingkarkan kedua tangannya pada leher sang kasih sebelum makin mendekat untuk menyatukan kedua kening mereka.

Netra saling mengunci pandang, hembusan napas hangat saling bertubrukan menerpa wajah masing-masing.

“Selamat ulang tahun, Choi Wooyoung.”

Si pria Jung semakin melebarkan senyum manisnya, senyum yang amat San rindukan seharian ini.

“Selamat ulang tahun juga, Choi san.”

Setelahnya, dua bilah ranum bertemu, saling bertautan, memberikan afeksi dalam pangutan mesra yang memabukkan. Sesekali kekehan mengalun di sela pergumulan bibir, entah apa yang lucu, tak dapat dikaji dan dipaparkan dalam narasi.

Biarkan langit senja iri, biarkan burung-burung menari mengejek sang jingga semesta yang meratapi nasib.

San dan Wooyoung tak peduli, perasaan rindu meledak dan bertepuk dua tangan. Dalam hati, berterima kasih kepada dua malaikat kecil yang dititipkan Tuhan atas hangatnya atmosfer sore hari ini.

“Papa mukanya merah tapi senyum.”

“Senyumnya ngga kelihatan, ketutup bibir Daddy.”

Haru dan Hana sebenarnya tak pergi, mereka mengintip. Kata Haru, sekali-kali apa salahnya melihat? Hana, sih, setuju saja.


Fin ©kithwys, 2020.

san mendesis kesal melihat isi pesan yang masuk dari mingi beberapa menit yang lalu.

mingi your waffle.. kawaii desu ne? haha.

begitu isi yang mingi tulis di dalam pesan untuk san setelah mengirimkan foto seorang jung wooyoung dengan pakaiannya hari ini. astaga, sungguh sial, jung wooyoung dengan rok saja sudah membuat san pusing, apalagi jung wooyoung dengan―

“san!”

oh, God, help.

san tak berani mengangkat kepala, meski begitu ia harus, dan terpaksa menahan napas melihat penampilan wooyoung saan ini.

rok pendek di atas lutut yang terlihat sedikit kekecilan, kemeja putih yang pas di tubuh dengan dasi berbentuk pita berwarna senada dengan roknya. ah, tak lupa pula sepatu putih dan kaus kaki putih setengah betis yang membalut kakinya.

itu belum apa-apa dengan rasa pusing yang menghantam kepala san ketika ia menangkap rambut yang biasanya pendek kini ditutup sebuah wig hitam sebahu. terakhir, san sangat ingin memuji sosok di balik riasan wajah wooyoung.

sungguh manis dan indah.

juga membuat san panas di saat yang bersamaan.

“san? hey?”

wooyoung mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan wajah san yang melamun tanpa menggubris sapaan wooyoung.

san berdecak kesal, menggeram lantas menarik masuk wooyoung ke dalam toilet dan menguncinya.

didorongnya tubuh wooyoung pada permukaan pintu lantas dihimpitnya hingga tubuh depan mereka saling beradu kontak.

san menatap wooyoung dengan tajam sementara si manis jung menunduk malu akan tatapan intens yang seakan mengulitinya.

waffle.

wooyoung menggigit bibir bawahnya, seketika tubuhnya meremang mendengar panggilan yang san serukan dalam moment tertentu.

“y-ya, san?”

san merengkuh pinggang itu, memeluknya dengan erat.

are you teasing me?

wooyoung memberanikan diri mengangkat kepala, menatap san dengan was-was.

“n-no―a-! ahh!”

kedua tangan itu meremat lengan atas san dengan erat ketik merasakan dua tangan besar masuk ke dalam roknya, meremat bongkahan sintalnya.

you're teasing me, waffle.

setelahnya, bibir itu diraup, dirangsang berpadu dalam pergumulan sebagai awal bangkitnya gairah. wooyoung tentu tak menolak, tak akan bisa menolak afeksi memabukkan dari san yang selalu membuatnya candu.

wooyoung memeluk erat leher yang lebih tua, menekannya untuk semakin memperdalam ciuman yang semakin panas akibat rendam lenguh wooyoung sebab tangan san yang berada di bawah sana tak bisa diam, terus menggerayangi area tubuh si jung, lebih banyak bergerilya di area dalam rok pendek wooyoung.

bunyi kecipak menggema dalam hening ketika san melepas tautan bibir, menelusur ke bawah, menciumi leher putih itu, sesekali menjilatnya.

“s-san..”

“hm?”

wooyoung mencengkram surai hitam si choi, menarik perhatian lelaki itu untuk beralih menatapnya.

don't mark there. acara masih berlangsung sampe pergantian hari,” ucap wooyoung dengan raut lemahnya.

san mengangguk, mengecup bibir wooyoung sekilas sebelum melepas satu persatu kancing kemeja wooyoung setelah membuang dasinya ke sembarang arah.

“nah.. waffle. lo tau dari semalem gue ereksi?”

wooyoung mengedip-ngedipkan matanya  lantas menggeleng pelan, membuat san mendengus geli. ditepuknya pantat di balik rok kecil itu.

“lo.. bikin gue ereksi, lo bikin gue main sendiri.”

pardon? emang apa yang gue laku―”

seketika wooyoung diam, menunduk untuk memperhatikan sesuatu di bawah. roknya, roknya yang terlalu pendek, roknya yang membuat wooyoung hati-hati untuk tak membungkuk sembarangan jika tak ingin membuat pantatnya terekspos.

“udah sadar?”

wooyoung mengangkat kepalanya, kembali bertemu dengan pahatan wajah san dalam jarak dekat hingga napas saling bertubruk hangat.

“lo tau gue gak suka main sendiri.”

san meraih sebelah tangan wooyoung, menuntunnya pada kejantanan di balik celana hitam san yang sudah mengembung keras.

do you know what you have to do?

wooyoung mengangguk, tersenyum tipis lantas meremat kejantanan san hingga sang empu mengerang rendah.

kneel down, now.

wooyoung lekas merendah, berlutut, menempatkan wajahnya di hadapan kejantanan san sebelum tangannya bergerak untuk membuka belt yang melingkar di pinggang ramping san, melepas kancing celanya, kemudian menurunkannya beserta celana dalam si choi.

kejantanan besar itu ia genggam, senyum miring terulas sebelum ia jilat benda keras itu dengan mata menatap san di atasnya, menggodanya, membuat san mendesis kesal.

put it in your mouth, waffle!

wooyoung mengangkat sebelah alisnya, “lo gak minta ini jadi blowjob, choi san.”

san mendengus, mengulurkan tangannya untuk mengusap surai panjang itu.

“mau gue hukum?”

“aw, takut!”

“jung―akh!”

san tak sempat mengeluarkan suara ketika kejantanannya dilahap mulut hangat penuh liur wooyoung. di bawah sana si jung tersenyum sebelum kepalanya bergerak untuk menghisap kejantanan milik si choi, memaju-mundurkan kepalanya dengan pelan.

wooyoung harus melakukannya dengan pelan atau ia akan tersedak karena sungguh, mulutnya terasa penuh.

“eumph!”

ya, tadinya akan seperti itu sebelum ia ingat siapa yang berkuasa untuk mendominasinya di sini.

wooyoung mempecepat gerakannya, dibantu san yang mencengkram tiap sisi surai panjangnya, menggerakkan kepala wooyoung.

si jung sendiri tak masalah akan hal itu, meski beberapa kali hampir tersedak.

“ahh, waffle. your mouth―ya, like that.

san menunduk, mengelus surai si manis di bawahnya yang mendongak menatapnya dengan sorot sayu menggoda.

“oh, i-i'm close, waffle.

wooyoung mempercepat gerak hisapannya seiring kejantanan san mengembung pertanda si choi telah dekat pada pelepasannya. wooyoung hendak melepaskan kejantanan san dari dalam mulutnya, sebelah tangan si choi mencengkram surainya, menahannya.

“itu gak sopan, finish your milk, waffle.

san mengusap kepala si manis dengan sebelah tangannya yang lain, sebelum menengadahkan kepalanya kala putih berangsur keluar dari lubang kejantanannya, terdorong masuk ke dalam tenggorokan wooyoung.

ketika di rasa san telah selesai, ia melepas kejantanannya dari dalam mulut wooyoung sebelum menunduk dan menarik dagu si manis.

good boy.

san memangut bibir itu, menikmati rasa cairannya sendiri yang tersisa di dalam mulut kasihnya. tak terlalu lama, sebelum ia beralih untuk mengecup kening si manis.


“a-angh! s-san!”

“be quiet, wooyoung.”

bagaimana bisa?

bagaimana wooyoung sanggup melakukannya sementara san sibuk menjamahnya?

wooyoung menggigit bibir bawahnya, menahan desah untuk tak dilontarkan lebih keras dari ini. sungguh gila, bisa-bisanya wooyoung tak dapat berteriak dengan bebas.

sungguh, wooyoung tak tahan dengan kondisi saat ini. melihat dirinya sendiri di hadapan cermin wastafel dengan keadaan yang begitu berantakan.

kemeja yang melekat di tubuhnya sudah lepas, turun setengah dari tubuh atasnya dan tersangkut sampai siku tangannya. wig yang terpasang rapi di kepalanya bahkan sudah hilang, san terus mendesis kesal hingga membuangnya bersama dengan celana dalam wooyoung ke samping tubuh mereka.

oh, jangan lupakan sebelah kaki wooyoung yang terangkat dan bertopang di atas wastafel. tiga jari san tak pernah menurunkan temponya untuk memporak-porandakan lubang wooyoung di balik roknya, terus dipercepat, sementara sebelah tangannya yang bebas sibuk memainkan puting wooyoung.

sial, san is good at using his finger.

mati-matian wooyoung menopang tubuhnya agar tak terjatuh, meski kakinya kini sudah bergetar hebat dan rasanya ingin ambruk saja.

“s-san.. g-gue―shh.. g-gak bisa―eungh!”

“harus bisa, sayang,” balas si choi, bibirnya kembali bergerak menciumi bahu si manis yang sudah dipenuhi dengan ruam merah keunguan.

“gue gak larang lo bersuara, whatever. but don't be loud, waffle. atau orang-orang di luar bisa denger suara lo. ya?”

wooyoung membuka mulutnya, diiringi desah pelan dan anggukan, wooyoung mengeluarkan sepatah kata.

“i-ya.. shh..”

walau sebenarnya, ini benar-benar sulit untuk wooyoung ketika jari itu masih bersemayam di dalam senggamanya.

mereka tak begitu sering melakukan sebuah kegiatan seperti having sex dan sebagainya tapi san sudah sangat paham bagaimana memperlakukan wooyoung dengan baik atas jarinya yang bermain di dalam lubang hangat itu.

“eumph―ahh!”

see? san easily found wooyoung's sweetspot.

“s-san.. please.. please..

si choi tersenyum miring, rautnya menunjukkan rasa bangga tersendiri melihat bagaimana resahnya wajah wooyoung yang memerah padam pada pantulan kaca di hadapan keduanya.

“hm? what for, waffle?

your cock, in m-my hole―uhh! then.. wreck me.

i might fuck you hard but you still can't make it loud.

i don't care. please, choi san.

dikecupnya pipi si manis sebelum ia iring kaki yang berada di atas wastafel itu untuk turun.

“menungging, sayang.”

wooyoung menurut, mendorong pelan pantatnya ke belakang untuk menempatkan diri dalam posisi yang san pinta.

i love good boy.

“aahh!”

wooyoung terhentak ke depan ketika san melesakkan kejantanannya dengan sekali hentak, permukaan sisi wastafel dirematnya dengan erat. rasa perihnya tapi tak begitu menyakitkan, hanya sedikit terkejut kala san tak memberi aba-aba.

terhitung ini adalah kali ketiga mereka dalam kontak persetubuhan, tak heran jika senggama hangat wooyoung masih terasa ketat.

“s-san.. m-move, please.

tentu san tak akan menolak, pinggulnya mulai bergerak menghentak senggama itu.

suara mereka menggema halus, saling bersahutan, mencoba untuk tak seberisik hantaman kulit yang saling beradu kala san semakin menaikkan temponya.

m-more.. hngh.. please―uhh.. harder, s-san.”

san menyukai wooyoung, sangat sangat menyukainya kala mendengar suara dengan intonasi memohon yang terdengar manis di telinga. dengan wajah frustasi itu, dengan air mata yang mulai mengalir dari pelupuk mata itu.

jung wooyoung yang indah.

dia pandai membuai san tanpa disengaja, tanpa disadari si manis sendiri.

“oh, waffle―ahh! j-jangan diketatin.”

san meremat tiap sisi pinggul wooyoung ketika kejantanannya makin diremat kuat prostat wooyoung yang mengerat.

“e-ngga s-san.. anghh!―eumph!”

san membekap mulut itu dengan tangannya ketika wooyoung berjengit hingga menimbulkan gema dalam tiap penjuru toilet.

waffle..

wooyoung menutup matanya dengan erat lantas menggeleng. ini sungguh sulit.

“dari pada berisik, look at the mirror, hm, coba.”

perlahan, wooyoung membuka matanya yang memburam karena sisa air mata sedikit membendung di pelupuknya.

oh, lagi, wooyoung melihat hal memalukan yang menakjubkan. wajahnya lebih memerah padam dari sebelumnya, juga tersirat akan nafsu, tak lupa pula jejak air mata yang tertinggal di pipinya.

“ahh!”

desah wooyoung kembali keluar ketika san melepas tangannya dari mulut si manis dan kembali menghentaknya.

ini yang wooyoung sebut menakjubkan, dan mungkin san juga merasakan hal yang sama. melihat bagaimana san menghentaknya dengan keras sambil menengadahkan kepala dan menggeram nikmat, juga wooyoung yang seolah lupa cara menutup mulut dan berhenti mengerang dengan wajah merengut dan mata menyayu.

“terus lihat cermin, dan coba buat tenang, ya, waffle?

wooyoung mengangguk patuh sebelum san kembali menghentaknya lebih keras dengan wooyoung yang kembali mengeluarkan erangannya. tak lupa, dua pasang mata terus menatap pada cermin jernih yang mempertontonkan potret dua insan dalam gairah seksual.


san memandangi penampilan wooyoung dari atas sampai ke bawah kemudian tersenyum puas.

lebih baik dari pada yang tadi.

inisiatif yang bagus membawakan wooyoung celana training dan hoodie miliknya walau nampak kebesaran kala membalut tubuh si manis.

“nah, kalau gini, kan, enak dilihat,” ucap san, menangkup dua pipi itu untuk ia kecup hidungnya dengan gemas.

wooyoung merengut, mengerucutkan bibirnya, “yang tadi engga?”

“ngga, bikin sange,” timpal san sambil menarik tubuh itu ke dalam pelukannya.

“itu, sih, lo nya yang sangean.”

“ngga juga.”

san meraih ponsel di dalam saku jaketnya, mengotak-atiknya sebentar sebelum menunjukkan layarnya pada wooyoung.

“tadi mingi ngepap lo ke gue. liat, orang-orang pada liatin lo. anjing, sange ni orang-orang sama pacar gue.”

wooyoung tertawa melihat bagaimana san menggerutu sambil mengerucutkan bibirnya. lekas ia balas pelukan san dengan erat untuk kemudian ia sandarkan kepalanya di atas bahu sang kasih.

“lain kali, pakai baju yang bener. gue ngga larang lo crossdress atau apalah itu namanya. tapi, ya, jangan dipake juga kalo roknya kekecilan.”

san kembali memasukkan ponselnya, lantas beralih untuk mengelus-ngelus kepala yang tenggelam dalam tudung hoodie abu-abu itu.

“yunho optimis yang dapet school uniforms panitia cewe, jadi udah yakin pinjem kostum adeknya yang pernah dipake buat cosplay pas matsuri 3 month ago.”

wooyoung mendengus, memainkan kerah kaus san, “taunya malah gue yang kena. mana ngga ada yang mau tukeran.”

san menopangkan dagunya di atas puncak kepala wooyoung, ia menunduk untuk menatap seragam yang sudah kusut di dalam paper bag di samping kakinya.

“tapi lo gak mungkin pake kostum itu lagi, kan, malem ini? udah kacau banget, soalnya.”

wooyoung menggeleng, “ngga, kok, syukurnya. malem ini semua panitia pake yukata.”

san membulatkan matanya, menarik dagu wooyoung untuk mendongak, sementara si manis hanya terkekeh geli sebelum meninggalkan satu kecupan pada rahang tegas si choi.

yukata cowo, san. lo takut banget, ya, gue pake pakaian cewe lagi?”

san menghembuskan napas lega, “malem hari bakal lebih bahaya kalau pake pakaian haram kaya tadi.”

“iya, bahaya banget buat orang sangean kaya lo.”

“lo mau gue gempur lagi?”

cengiran lebar wooyoung terulas manis bersama deretan giginya yang menyembul rapi.

“jangan, dong. acaranya masih panjang.”

san melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. pukul setengah 7.

“masih ada sisa waktu setengah jam. lo mau gue anter ke stand?”

wooyoung menggeleng pelan, menelusupkan wajahnya pada perpotongan leher san, menghirup sisa parfum yang masih sedikit menguar.

“5 menit sebelum acara aja. gue masih pengen gini.”

san tersenyum lembut kemudian ia kecup puncak kepala itu. dituntunnya wooyoung untuk ikut merendah bersamanya, duduk di atas lantai toilet yang kering sementara si manis ia iring untuk duduk di atas pangkuannya.

“san..”

“hm?”

wooyoung menengadah, lantas menunjuk bibirnya.

kith?”

san menggeram gemas lantas menyambar bibir sedikit membengkak itu dengan lumatan lembut yang langsung dibalas oleh si manis jung.

sisa waktu yang ada, mereka manfaatkan dengan pelukan hangat dan ciuman mesra. tak akan takut ada yang masuk atau mengantri di luar juga, toh, san sudah menempelkan kertas dengan tulisan; ‘sedang dalam perbaikan’, di depan pintu toilet bahkan sebelum wooyoung datang.


FIN ©kithwys, 2020.

setelah siaran vlive berakhir, seluruh anggota grup dengan jumlah delapan orang itu mulai membaur tak lagi saling duduk berdekatan untuk mengerumuni kamera.

hongjoong keluar bersama seonghwa untuk menemui sang manager sementara sisa dari adik-adik kedua tertua itu mulai menyibukkan diri dengan kegiatan penghilang bosan seperti bermain ponsel, mengobrol ringan, dan lain sebagainya.

yunho sendiri kembali merebahkan kepalanya di atas paha wooyoung, terlalu nyaman untuk kembali ditinggalkan oleh kepalanya.

sementara itu, dari arah pintu masuk, san yang baru kembali dari toilet mencebikkan bibirnya melihat pemandangan di tengah ruang yang menurutnya sedikit menyebalkan. lekas ia hampiri mereka untuk kemudian ikut merebahkan kepalanya di atas sebelah paha wooyoung yang kosong.

yunho menoleh, menyernyit sebal ketika san beringsut melingkarkan tangannya di area pinggang wooyoung, mengusak-usakkan hidungnya di atas permukaan rata itu membuat si manis yang menopang dua kepala bayi besarnya terkikik geli.

“ngapain, lo?” tanya yunho sensi.

san menoleh sebentar sebelum kembali menelusupkan wajahnya pada permukaan perut wooyoung.

“emang lo doang yang mau dimanjain?” balas san.

“dih, lo kan udah sering,” seru yunho tak terima.

“ya terus kenapa?” san balas berseru sambil menatap yunho dengan alis menukik.

“udah, heh..”

wooyoung menaruh ponselnya di lantai lantas mengulurkan masing-masing tangannya untuk mengusap lembut dua kepala dengan warna surai yang berbeda itu.

meski terkadang merasa kesal, rasa gemas juga tak luput kala mata memandang interaksi tak akur dua kekasihnya ini.

“uyo, malem ini kamu tidur sama siapa?”

san bertanya sambil mengangkat kepala, rasa gemas akan inginnya mencium pipi yang mulai berisi itu ia tahan melihat bagaimana raut wajah berpikir wooyoung yang lucu.

“di kamarku aja. gak enak kalo di kamar kalian terus,” balasnya.

yunho mendengus, “padahal ngga apa-apa tidur bertiga terus.”

balasan dari yunho mengundang anggukkan antusias san.

“kan enak jongho sama yeosang bisa nunaninu di kam―”

bugh!

sebuah hoodie melayang mengenai wajah san dengan lemparan yang cukup keras.

“gue denger, anjing.”

pelakunya?

siapa lagi kalau bukan yeosang yang sensian dari pojok ruangan.

san cemberut, “uyo, sakit.” ia lantas mengadu pada sang kekasih.

wooyoung menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian beringsut untuk mengusap pipi san dengan lembut.

“woo, mau juga.”

melihatnya, tentu saja membuat yunho cemburu dan merasa tak adil, maka dari itu ia tarik sebelah tangan wooyoung yang bebas untuk ia daratkan di atas pipi berisinya.

“aku beneran kaya punya dua bayi,” ucap wooyoung sambil menguyel kedua pipi itu sebentar sebelum kembali mengusap masing-masingnya.

“tapi, kayaknya malah kita yang selama ini keliatan ngurus bayi,” celetuk yunho. selang beberapa detik, tawa mengalun melihat ranum kembar si manis melengkung ke bawah diiringi raut wajah muram.

yunho beranjak, mengangkat kepalanya untuk mengecup bibir wooyoung, sedikit menggigitnya, tak keras, ia tak setega itu meski kekasihnya ini benar-benar sangat menggemaskan.

“ah! yunho!”

wooyoung memukul bahu yunho sementara sang pelaku hanya terkekeh, kedua tangan terulur untuk mengusak pipi si manis yang lebih kecil.

“gak bisa diem! gue mau tidur!”

san menengadahkan kepalanya, menatap dua jung itu dengan sorot tajam.

yunho merespon dengan raut tak acuh sementara wooyoung membalasnya dengan tatapan melas. dia takut, apalagi tadi san melontarkan kata ‘gue’ yang jarang ditujukan untuknya di setiap obrolan mereka. memang, sih, bisa jadi teguran san dimaksudkan untuk yunho, tapi tetap saja wooyoung merasa tak enak karena sebenarnya keduanya lah yang tak bisa diam.

“hayoloh, san. liat muka woo!”

tatapan tajam san meneduh menangkap raut sang kekasih, diraihnya leher itu oleh kedua tangannya agar menunduk untuk ia pertemukan bibirnya dengan ranum manis di atas.

“bukan ke kamu, maaf, ya?”

raut melas itu kembali mencerah setelah mendapatkan ciuman lembut dari san untuk bibirnya. wooyoung tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi.

“aduh, mama.. pacarku gemes banget, sih!”

yunho memeluk erat leher wooyoung kemudian ia usakkan hidungnya pada permukaan pipi empuk itu penuh rasa gemas.

“tau! punya pacar kenapa gemes banget?!”

san mengubah posisinya menjadi tengkurap, diraihnya pinggang ramping itu dengan sepasang tangan miliknya untuk ia peluk erat sementara hidungnya kembali ia usakkan pada area perut wooyoung.

si manis yang diperlakukan sedemikian rupa dengan rasa geli yang menjalar di area yang dimonopoli masing-masing kekasihnya hanya mampu mengalunkan tawa sesekali menggeliat kegelian.

“haha! aduh! san, yunho―ahaha! geli ih!”

ingin melepaskan keduanya namun tenaganya tak begitu kuat hingga akhirnya membiarkan perlakuan keduanya.

“udah―haha! nanti aku―aduh! nanti aku ngga napsu makan gimana?”

yunho beranjak terlebih dahulu hanya untuk menangkup kedua pipi itu, mengapitnya hingga bibir wooyoung maju ke depan bak paruh bebek.

“mitos!”

setelahnya, ia kembali melanjutkan kegiatannya, kali ini dengan mengusak-usakkan hidungnya pada leher wooyoung.

ruang latihan yang mulai sepi dan menyisakkan ketiganya itu diisi dengan gelak tawa wooyoung juga yunho dan san yang sesekali mengalunkan tawa jenaka.

hingga tak lama setelah itu, wooyoung merasakan sepasang tangan terselip di masing-masing ketiaknya, kemudian―

bruk!

tubuh wooyoung diangkat dengan mudahnya membuat dua kekasihnya yang saat itu sedang menempeli tubuh wooyoung refleks terjatuh dengan san yang berada dalam posisi tengkurap dan yunho yang menimpa tubuh san cukup keras.

“aduh, kepala gue!”

“yunho anjing! berat banget lo!”

kerusuhan sedikit terjadi dengan yunho yang mengusap-usap kepalanya serta san yang mencoba menyingkirkan tubuh besar yunho di atas punggungnya. keduanya sama-sama menggerutu.

“udahan teletubbiesnya, waktunya pulang, triplets.”

seonghwa, pelaku penarikan wooyoung dari dua lelaki dimabuk cinta yang gemas pada si mungil jung.

“kak seonghwa kasar,” kata wooyoung sambil menepuk bahu lelaki tinggi itu. sementara sang tertua hanya mengedikkan bahu tak peduli.

“enek liat bulol.”

san dan yunho yang masih meringis kesakitan itu mulai bangkit lantas menatap seonghwa dengan sebal.

“bulol, bulol, bilang itu sama bang hongjoong!”

setelah berucap demikian, yunho segera menarik tangan wooyoung disusul san yang ikut ditarik tangannya oleh si mungil jung.

“gak ngaca, wlee!”

setelah melontarkan frasa meledek sambil menjulurkan lidahnya, san lekas berlari bersama yunho dan wooyoung sebelum seonghwa mengamuk.

“KURANG AJAR!!”


fin ©woolilboy, 2020.

Dingin, menyelimuti malam kala ini. Angin berhembus beraturan, menarikan dua helai gorden putih yang sengaja disampirkan ke kiri dan kanan permukaan jendela, mempertontonkan pemandangan bulan purnama yang cahayanya masuk menyorot kamar temaram bermodal cahaya lampu di atas nakas.

Lantunan instrumen piano menemani hening malam dan hembusan angin, menggema di setiap sudut ruang yang membaurkan aroma manis.

Jari-jari lentik itu tak pernah berhenti bergerak di atas tuts piano di hadapannya, memainkan sebuah instrumen dengan kertas partitur usang di atas piano.

Clair de Lune, by Claude Debussy.

Judul yang tertera di bagian paling atas kertas partitur tersebut.

Mata indah itu terpejam, menikmati permainannya sendiri, sudah terlalu hafal nada hingga kertas partitur berakhir diabaikan dan terbang tertiup angin yang masuk ke dalam kamar tanpa dipedulikannya.

Grep!

Sepasang kelopak itu kembali terbuka, menampakkan kelereng jernihnya yang terlihat indah akibat purnama yang dengan senang hati meminjamkan cahayanya.

Ranum kembarnya tersenyum, merasakan sepasang tangan besar memeluk lehernya dengan erat tak menyesakkan.

“Asik sekali, hm?” Bisik sang pelaku tepat di hadapan telinga si manis yang masih memainkan pianonya.

Kepala si mungil menengadah, menatap satu-satunya harta langit yang menyerang malam dengan sinarnya.

“Malam ini, bulan terlihat indah, kan, Yunho?”

Sosok di belakangnya, Yunho, ikut menengadah menatap satu-satunya objek di atas langit.

“Ya, cerah dan sangat indah.”

Yunho kembali menunduk, menopangkan dagunya di atas pundak si mungil.

“Tapi, tak seindah Jung Wooyoung.”

Kekehan kecil mengalun dari bibir Wooyoung, tangan kecilnya menghentikan kegiatannya di atas tuts piano, beralih menggenggam tangan Yunho yang masih setia memeluk lehernya.

“Aku tak begitu indah, Yunho.”

Diraihnya sebuah telepon genggam dari dalam saku celana longgarnya. Benda canggih itu ia otak-atik sebentar sebelum bagian pada speaker mulai mengalunkan sebuah instrumen piano yang sama dengan apa yang Wooyoung mainkan beberapa menit yang lalu.

Kepalanya menoleh ke belakang, menghadapkan wajahnya dengan pahatan semi sempurna Yunho yang menawan.

“Hanya indah di matamu,” lanjutnya, sambil membelai pipi berisi pria tampan di belakangnya.

Yunho mengangkat sebelah alisnya. “Kupikir, kau cukup indah untuk dilihat orang-orang? Banyak yang memujamu.”

Pria dengan surai cerahnya itu menyatukan kedua kening untuk semakin mengikis jarak wajah mereka.

“Dan aku adalah yang beruntung memilikimu, mulai hari ini.”

Wooyoung memutar duduknya untuk menatap Yunho, kedua tangannya terulur, menangkup pipi berisi itu lantas membelainya dengan lembut.

“Tak begitu hiperbola kau sebut ini keberuntungan, hm?”

Tangan Yunho turun untuk melingkar pada pinggang ramping si manis, menarik tubuh yang lebih kecil darinya untuk bangkit berdiri merapat dengan tubuh besarnya.

“Tidak, semua orang akan merasa beruntung memiliki Jung Wooyoung.”

Yunho mengelus surai sekelam malam itu dengan lembut, sedikit memainkan helaiannya untuk ia sisir agar lebih rapi.

“Aku mencintaimu, Jung Wooyoung.”

Sorot si manis meneduh, sepasang tangannya mulai terulur untuk melingkar di area leher pria yang sejak hari ini menjadi kasihnya itu.

“Aku juga, aku mencintaimu, Jeong Yunho.”

Tak lama setelahnya, dua pasang ranum saling bertemu, bertaut untuk memulai sebuah ciuman yang lembut.

Yunho berjalan pelan, menuntun Wooyoung dalam dekapannya untuk mendekat pada kasur yang bertempat di samping jendela, mendorong tubuh yang lebih kecil hingga terlentang di atas permukaan empuk dengan seprai putih itu.

Tautan bibir terlepas, sepasang netra bertemu pandang. Yunho tak berbohong jika Wooyoung adalah yang terindah dari seluruh nyawa yang pernah ia temui.

Wajah lugunya yang manis terlihat semakin menawan saat ini dengan pipi bersemu dan bibir yang sedikit basah karena perbuatan Yunho. Sepasang kelereng jernih yang menatapnya itu, telihat begitu membuai, semakin membuai dan menghipnotisnya akibat bulan yang kembali meminjamkan sinarnya.

Tak ingin menunggu lebih lama Yunho kembali memangut ranum kembar itu, kali ini dengan gerakan yang sedikit tergesa, salahkan Wooyoung yang terlalu menggoda.

Sebelah tangan Yunho turun, merambat masuk ke dalam baju hangat Wooyoung untuk kemudian ia elus permukaan kulit si manis yang lembut.

Wooyoung mengerang dalam pangutannya, membongkar fakta jika tubuhnya saat ini cukup sensitif pada sentuhan.

Bunyi kecipak menggema, disusul bibir yang melepaskan tautannya.

“Woo..”

“Hm?”

“Ini terlalu cepat, tapi.. apa kau keberatan jika aku mengajakmu.. um.. making love? Right now?

Medua alis Wooyoung terangkat, sedikit terkejut dengan kalimat yang baru saja Yunho lontarkan.

Apa sebegitu indah seorang Jung Wooyoung hingga Yunho berani mengajaknya melakukan sebuah hal intim dengan maksud tak langsung ingin meng-klaim Jung Wooyoung?

Meski begitu, senyum kembali terpantri di bibir si manis, ia mengangguk pasti.

Sure, tapi―”

Bruk!

Entah dapat kekuatan dari mana Wooyoung dapat membalik posisi mereka hingga ia yang berada di atas Yunho saat ini.

“Biarkan aku yang memulai terlebih dahulu, ya?”

Permintaan Jung Wooyoung, adalah kemustahilan dari tolakan yang mampu Yunho serukan. Maka, ia mengangguk dan membiarkan Wooyoung menautkan ranum mereka, kembali mempertemukan bibir pada ciuman intens yang rasanya semakin menggairahkan.

Apa yang terjadi selanjutnya masih sama, Yunho kembali menelusupkan kedua tangannya untuk membelai kulit Wooyoung secara langsung di dalam baju hangatnya, sementara Wooyoung kini bergerak selangkah lebih maju untuk mulai meraba tubuh besar Yunho, membelainya dari leher sampai ke bawah dan berhenti tepat di area kejantanan yang masih terbungkus celana bahannya.

Yunho mengerang, lantas membalas Wooyoung, meremat pinggang si manis dengan sensual.

Wooyoung melenguh dengan senyum dibalik pergumulan bibir yang semakin liar. Tangannya kembali bergerak, menyusuri area bongkahan sintal miliknya sendiri, mencari saku belakang celananya untuk kemudian meraih sesuatu yang ia simpan di sana.

Wooyoung tersenyum miring.

Srak!

“Uhuk!”

Mata Yunho membulat, terbatuk disertai darah yang ikut terlontar, tanpa sengaja diberikan pada Wooyoung yang masih menautkan bibirnya.

“W-Wooyoung.”

Yunho menatap Wooyoung yang berada di atasnya tak percaya, sementara si manis hanya membalas dengan senyum miringnya sambil menjilat darah Yunho yang diterima permukaan bibirnya.

“Kenapa, Yunho?”

Pria di bawah hendak kembali mengeluarkan suara, tapi―

Kruk!

Rasanya sakit dan perih kian menghantam ketika Wooyoung menekan sebuah pisau lipat yang tertanam di area dadanya.

“A-Apa―ukh.. ya-yang kau l-la-laku-kan?”

Wooyoung mengambil posisi duduk di atas perut Yunho, memiringkan kepalanya sambil menatap wajah ketakutan Yunho dengan raut lugunya.

“Apa yang kulakukan? Hm, apa, ya?”

“ARGHH!”

Yunho menjerit saat Wooyoung menarik pisaunya untuk kembali ia tusukkan benda tajam itu di area ulu hati Yunho.

“Aku hanya bosan.. mungkin?”

Kristal bening yang sudah membendung itu mengalir deras dari pelupuk mata Yunho sebagai bukti sebesar apa sakit yang ia terima dari luka yang Wooyoung berikan tanpa rasa bersalah.

“Malam ini, purnama sangat cerah tanpa bintang.”

Wooyoung menengadahkan kepalanya untuk menatap rembulan di atas langit gelap dengan sorot penuh damba.

“Malam yang sangat indah, kan, Yunho?”

Si manis kembali menunduk, menatap yunho yang mulai kesulitan bernapas akibat beban tubuh Wooyoung yang semakin menekan perutnya juga luka tusukan yang terus merembeskan banyak darah.

“Malam yang indah, untuk kematianmu.”

Srak!

Jeritan keras penuh siksa akan rasa sakit kembali menggema.

Hening, setelahnya.

Tak lagi meringis, menjerit, dan memasang raut kesakitan seperti tadi, napas Yunho berhenti berhembus, pun dengan matanya yang kian menutup. Hidupnya berakhir dengan tusukan ke tiga yang Wooyoung tancapkan tepat di atas dada, di area jantungnya.

“Ung? Sudah mati?”

Bibirnya melebar, membentuk sebuah kurva, tak lama setelah itu tawa nyaring menggema, bersama dengan bulir air mata yang mulai mengalir dari pelupuknya.

Wooyoung berhasil membunuh, lagi. Istimewanya, ia tak pernah merasa sesenang ini.

Tawanya semakin menggema, sementara tangannya terus menghujam tubuh Yunho dengan pisaunya, menusuknya tak ada henti hingga tubuh itu semakin bermandi darah.

Aroma anyir ini, sudah lama tak Wooyoung hirup sejak terakhir kali ia membunuh.

“Berhenti bermain-main dengan mayat, Jung Wooyoung.”

Tawa Wooyoung berhenti, kegiatannya terinterupsi untuk menolehkan kepala pada sosok di sudut ruangan yang sedang berdiri bersedekap dada sambil menatapnya dingin.

Wooyoung mendengus, membuang pisau yang ada di tangannya ke sembarang arah untuk menghampiri sosok itu.

“Itu sangat seru, San!”

San menghela napas, meraih pinggang itu untuk merapatkan tubuh keduanya. Dikecupnya pipi bernoda darah itu dengan lembut.

“Kau terlalu lama.”

Wooyoung mengulas senyum jenaka. “Apa kau cemburu melihat yang tadi?”

San berdecak sebal, menarik turun turtle neck yang melindungi leher Wooyoung, ibu jarinya bergerak mengusap simbol pentagram berwarna hitam yang tersemat di leher sang kasih.

“Tentu saja, kau milikku.”

Wajahnya mendekat ke arah perpotongan leher Wooyoung, menghirup aroma manis bercampur anyir yang menguar dari tubuh si Jung.

Gila, San yang sudah begitu candu akan aroma Wooyoung semakin dibuat terlena sebab bercak darah Yunho yang menodai sebagian tubuh Wooyoung, membuatnya berkali-kali lipat menggoda.

Lucifer.”

Wooyoung mengulurkan kedua tangannya pada leher San, membelai rambut legam itu penuh afeksi.

“Kau tidak perlu cemburu. Aku tidak akan pergi bersama siapapun. Tidak ada yang lebih aku cintai, selain Choi San. Raja Satan yang aku puja.”

Senyum miring terulas di bibir San, kepalanya ia sandarkan di atas pundak Wooyoung sementara hidungnya masih sibuk menikmati aroma sang kasih yang membuai.

“Jadi, kau akan menumbalkannya untukku?”

Wooyoung menolehkan kepalanya ke belakang, menatap tubuh tak bernyawa Yunho yang terkulai di atas kasur bersama darahnya yang tak pernah berhenti mengalir.

Si manis tersenyum bangga. Yunho terlalu bodoh, bahkan untuk menyadari simbol pentagram yang Wooyoung lukiskan dengan besar di bawah kasur, di atas lantai.

“Tentu saja.”

“Apa yang kau inginkan, Wooyoung?”

Wooyoung kembali menatap San yang masih bersandar di atas pundaknya, elusan lembut ia bagikan pada sang Lucifer yang sangat ia cinta.

“Membunuhnya saja sudah cukup untuk menebus apa yang aku inginkan.”

Tangan kecil itu bergerak menuju rahang San, menariknya untuk menengadah menatap wajah manisnya.

“Aku memberikan nyawa secara percuma. Tak ada pertukaran, ini adalah persembahan.”

Air wajah Wooyoung mengkeruh, rautnya mendingin sementara kedua tangannya meremat kemeja hitam yang san kenakan.

“Aku sudah membalaskan dendamku. Lebih membuatku merasa senang jika kau siksa dia di neraka.”

San tersenyum, wajah gelap itu benar-benar hampir mirip dan sepadan dengan para satan pengikutnya. Tidak, Wooyoung bahkan telah menjadi bagian dari satan sebab darah kotor san telah mengalir di dalam tubuhnya.

“Kau tahu aku tak pernah bisa menolak permintaanmu, Wooyoung? Akan kulakukan. Kau ingin melihatnya?”

Wooyoung mengangguk, lantas berbalik untuk kembali menatap pemandangan menyenangkan di sana. Melihat bagaimana api neraka mulai bangkit dari lukisan pentagram di bawah lantai, merambat mendekati kasur untuk membakar ujung kain seprai yang menjuntai ke bawah, hingga perlahan mendekati mayat Yunho dan melahapnya.

Akhirnya, Wooyoung dapat membalaskan dendamnya pada seorang Jeong Yunho, sahabat dekatnya sejak kecil yang berani merebut kebahagiaan yang ia nikmati bersama anggota keluarganya sendiri.

Yunho ditinggalkan kedua orang tuanya sejak kecil. Tidak, kedua orang tua Yunho masih hidup, tapi tak ada satupun dari mereka yang menganggap Yunho ada, mereka tak menginginkan Yunho. Sejak kecil, Yunho diurus oleh orang tua Wooyoung, hingga semakin lama ia diurus, semakin keras ia memonopoli perhatian orang tua Wooyoung.

Wooyoung selalu dimarahi setiap kali berbuat salah, dan Yunho digunakan untuk objek perbandingan. Ia tidak suka dibanding-bandingkan. Wooyoung membenci Yunho, pun kedua orang tuanya,

Yang untungnya sudah sejak lama ia tumbalkan pada sang Lucifer yang ia puja.

Kedua netra Wooyoung berbinar menatap bagaimana tubuh tak bernyawa itu terbakar, ada euphoria tersendiri di dalam hatinya.

Wooyoung puas.

“Apa seru membakar manusia, San?” Tanya Wooyoung.

San mengeratkan rangkulannya pada pinggang Wooyoung, mengusap pinggang ramping itu dengan lembut.

“Aku tidak melakukan apapun. Aku hanya memberikan sesuatu yang mereka titipkan padaku.”

Sebelah tangannya yang bebas bergerak meraih pipi Wooyoung guna menghadapkan pahatan sempurna itu padanya.

“Dosa mereka, sesuatu yang mereka tanam untuk dinikmati.”

Wooyoung menyernyit, “Tidak ada yang terlihat nikmat sama sekali. Itu menyiksa.”

San terkekeh kecil, satu kecupan singkat mendarat di atas bibir sang kasih.

“Manusia terlalu naif, terlalu bersenang-senang dengan dosa dan menyebut timbal baliknya sebagai penyiksaan.” Usapan lembut diberikan pada kepala si manis sebelum San melanjutkan ucapannya. “Dari awal, sebagian manusia diciptakan untuk menjadi bahan bakar api dosanya sendiri.”

Wajah tampan itu merengut tak suka, sambil menatap tubuh Yunho yang semakin habis dimakan apinya.

“Aku membenci manusia.”

Wooyoung menengadah sambil memiringkan kepalanya. “Uh? Tapi aku juga manusia, San.”

“Tidak lagi.”

Tangan San turun membelai pipi sedikit berisi itu, mengusap darah yang mulai mengering. Ah, bercak darah pada beberapa lekuk wajah Wooyoung membuatnya terlihat semakin menawan.

“Manusia memiliki derajat rendah di mata para satan, tapi kau berbeda. Satan menghormatimu, satan memujimu, satan mengelukan dirimu.”

Bruk!

San mendorong tubuh Wooyoung ke atas sofa empuk di samping mereka, mengukung tubuh yang lebih kecil di bawahnya.

“Karena kau, bukan lagi manusia munafik yang menjijikan di mata para satan.”

San mengelus simbol pentagram berwarna hitam yang tercetak di leher wooyoung. Simbol dosa tak terkalahkan dari dosa-dosa yang ditanam manusia selama hidupnya.

Karena―

“Kau pengantinku, Sayang.”

―Jung Wooyoung adalah dosa itu sendiri, semenjak darah san mengalir dalam dirinya, menjadikannya sosok pemilik derajat yang pantas bersanding bersama seorang Choi San, Sang Lucifer yang agung di mata para satan dan pengikutnya. Raja neraka yang dibenci Tuhan dan para Malaikat-Nya.

Jung Wooyoung, sosok manis berwajah lugu itu, adalah pengantin sang Raja Dosa, Choi San.

Malam itu, udara yang seharusnya dingin akan angin malam yang masuk melalui jendela terbuka, menebarkan atmosfer panas membara.

Biarkan Yunho dalam penghapusan eksistensi dari dunia, kini, seluruh atensi hanya berpaku pada satu pasangan yang saling beradu tatap. Mereka kembali menjadi pemeran utama dari semesta hitam yang berkabung dosa.

Jerit suara Wooyoung menggema bersama geraman San yang menghentaknya dengan rasa frustasi akan eratnya prostat wooyoung mengapit kejantanannya. Semakin malam, cumbuan semakin liar, masing-masing tubuh dirundung rasa panas akan birahi serta udara yang terkontaminasi api dari kasur yang terus berkobar melahap prasasti yunho yang hanya tersisa tulang hampir menjadi abu.

Clair de Lune masih terputar menemani indahnya malam yang San lewati bersama Wooyoung dalam selimut gairah.


FIN ©woolilboy, 2020.