Hyunjin hanya terdiam sembari melihat sang kakak menggendong kakaknya yang lain. Tampak ringan seperti membopong kapas, padahal kalau dipikir-pikir Seo Changbin itu bisa lebih berat dari Hyunjin. But—oh god, look at those thighs!
Hyunjin masih memperhatikan dengan seksama bagaimana Minho sambil tertawa melakukan squat sambil menggendong Changbin, pun kemudian selanjutnya ada si bungsu yang berada di lengan keras sang kakak.
Tanpa sadar Hyunjin menegak ludah, cengkram erat mic yang berada di genggaman. Teman-temannya tertawa sekaligus takjub melihat hal itu, namun Hyunjin disini duduk sembari menyilangkan kakinya diikuti pipi yang memanas, otak sudah membayangkan yang tidak-tidak. Sialan! Mereka masih siaran.
Sebenarnya ia juga mau diangkat seperti itu.
MinChanJin Oneshoot, kinda 18+
“Kak Minho, lain kali kalau habis belajar tuh dimasukin map lagi kertas-kertasnya.”
“Kak Chan juga, kalau habis minum jus nanas kotaknya langsung dibuang ke kotak sampah, jangan didiemin doang di meja makan.”
Kedua lelaki yang hanya terpaut setahun itu cuma balas dengan anggukan. Entah masuk atau memantul lagi ocehan Hyunjin pagi itu yang istimewa dilontarkan untuk mereka.
Si yang keturunan bule masih asik garuk perutnya. Khas sekali orang bangun tidur, sementara lelaki yang satunya yang memiliki paras seperti kucing sibuk usap kelopak matanya yang gatal hingga Hyunjin mau tak mau harus menarik tangannya.
Hyunjin menggeleng kepala kecil, rasanya seperti mengurus dua bayi besar.
Tangannya telaten membagikan sosis yang telah dipanggang dan dua potong roti bakar. Menuangkan jus jeruk ke masing-masing gelas tinggi yang terletak disamping piring sarapan Minho dan Chan.
“Makasih, cantik.”
“Makasih, sayang.”
Baru saja lumer coklat sapa indra perasa Hyunjin, dalam sekian coklat tersebut malah menjadi pahit akibat pergelutan dua manusia tua di hadapannya. Tengah berdebat mengenai nama panngilan.
“apaan lo sayang-sayang?” tanya si pemuda Lee, dengan ekspresi sebal. “perasaan kita sepakat gak manggil yang lain selain cantik.”
“Lee Minho, kita gak pernah bikin perjanjian konyol kayak begitu.”
“Chrispy, perlu gue catet gak yang pertama cetusin itu siapa?”
Hela nafas Hyunjin spontan mengalihkan perhatian mereka. Melihat raut wajah Hyunjin yang sudah masam buat keduanya segera memakan sarapan yang telah dimasak oleh adik cantik mereka.
“kakak-kakak, nanti aku mau pergi ke supermarket. Belanja bulanan buat kita.” ucap yang paling muda, “ada yang mau nitip?”
“pengaman.” Ucap serentak keduanya. Kaget, lantas saling berpandangan dengan tatapan aneh. Hyunjin menutup wajahnya malu. Sial, sial, sial, bisa tidak sih damai sehari saja? Hyunjin ingin membanting meja rasanya.
“ekhem, itu pokoknya.” Cicit Chan, teguk jus dari gelas kemudian. “mau dianterin? yakin pergi sama Felix aja?”
“Iya, kak Chan.”
“Bener, gak bohong kan?”
Gelengan kecil dari Hyunjin menjadi jawaban persetujuan, “engga, kak Minho.”
Minho menyipitkan matanya, “gak sama Jeongin, kan?”
“en- engga, hehehe. Tanya Felix kalo gak percaya.”
Okay, kalau si cantik sudah bawa-bawa sahabat baiknya, berarti tak ada udang dibalik bakwan. Minho sih percaya saja walau instingnya berkata lain. Sementara Chan sepenuhnya percaya kepada adiknya, usapan di rambut tanda hati-hati disampaikan oleh Chan.
“aku pergi ya, nanti jam 4 sore pulang.”
“anak perawan jangan pulang malem-malem!” teriak Minho dari meja dapur. Lambaikan tangan kemudian disambut oleh yang lebih muda.
Minho balik kepada makanan yang masih sisa setengah. Kunyah ogah-ogahan akibat masih mengantuk. Salahin tugas menumpuk yang harus ditulis menggunakan tangan. Ternyata rumor anak teknik tidak tidur itu benar adanya, kenapa Minho bisa kepeleset masuk teknik.
Chan mengecek ponselnya, lirik kepada Minho yang lesu seperti tak bertulang. Tepuk pundak yang lebih muda, “kenapa lo?”
“feeling gue mengatakan kalau Hyunjin berkhianat.”
“drama banget asli.”
“serius, bodoh!” telapak tangan itu ringan sekali melayang ke tulang pelipis Chan.
“ikutin? masa ikutin sih?
Chan menatap Minho lamat, mempertanyakan rencana mereka yang pasti sangat beresiko. Kalau Hyunjin tau, mungkin mereka tidak akan diberi jatah selama dua bulan. Dan Hyunjin akan enggan injakkan kaki ke apartemen dan memilih mengungsikan diri ke kediaman Felix.
Ya.. walaupun ujungnya mereka tetap lancarkan aksi. Menjadi dispatch gadungan. Menguntit berkedok mengawasi.
Ia paham bahwa kasihnya selalu lantangkan kalimat cinta walau di dalam kalbu
Minho menatap ke sebuah rumah sederhana bertingkat dua dengan halaman belakang yang dibuat tak lebar, namun tak kecil pula. Dihias dengan tanaman pot di sisian pagar kayu dan rumput pendek sebagai pemanis.
Senyumnya terbit lebar bak mentari di ufuk. Bergegas panjati pagar kayu yang lebih tinggi beberapa senti dari tubuhnya dengan santai seolah-olah ia telah melakukan hal itu setiap hari. Yah, walaupun memang benar. Kubocorkan sebuah rahasia, Minho memang cukup sering masuk diam-diam ke rumah orang itu.
Tentunya atas sebuah izin. Izin yang tidak tertulis oleh tinta hitam, cuma bermodalkan lisan dan nekat, diselingi canda tawa dan diakhiri kecupan singkat.
Pemuda itu berjalan perlahan, usahakan untuk tidak timbulkan bunyi dari alas kaki yang bergesekan dengan rumput yang lembab. Rumah anjing yang berada tepat di samping pintu halaman belakang tampak tenang, harap-harap anjing kecil itu tetap mengarungi luasnya mimpi.
Minho mengirim pesan singkat dari ponselnya dengan senyum tertahan. Lantas kembali letakkan benda persegi tersebut di saku jaketnya.
Bingkai putih yang ia tunggu beberapa waktu yang lalu terbuka perlahan. Kain yang tutupi kaca bersih melambai keluar, bertepatan dengan sosok cantik berikan senyumnya sembari sampirkan surai ke samping telinga.
Kak Minho, cicitnya bisu. Buru-buru turunkan sebuah kain yang sudah diikat sedemikian rupa membentuk tali. Yang tentunya merupakan ide dari yang lebih tua, memangnya siapa lagi yang punya ide ajaib seperti itu?
Aneh dan unik, hanya mereka yang punya.
Tunggu, Minho balas antusiasme kekasihnya, mulai naiki perlahan tautan kain-kain coklat tersebut hingga tungkainya menginjak kamar si cantik yang terletak di lantai dua.
“aku bawa bunga kesukaan kamu.”
Minho mengeluarkan bunga baby's breath dari saku jaketnya. Beberapa tangkai yang diikat menggunakan karet seadanya dan titik-titik bunga yang sudah rontok akibat bergesekan dengan kain jaket, “tadi aku petik punya tetangga kamu. Ssst, jangan dibilang ya.”
Hwang Hyunjin, lelaki manis itu berikan senyum lagi kepada pemuda yang menggelari status sebagai kekasihnya. Terima dengan sukacita kumpulan tangkai bunga yang jauh dari kata sempurna. Sedikit menorehkan tawa kecil terhadap cerita singkat bagaimana bunga itu didapat.
Di mata Hyunjin tetap indah, selagi Minho yang mempersembahkanya.
“makasih, kak.” Hyunjin peluk erat leher pemuda scorpio tersebut, dibalas hangat dengan usapan lembut di punggung tipis yang lebih muda. “kak Minho gak capek naik ke lantai dua pake kain gini? Aku bisa buka kan pintu depan padahal.”
“hm, kamu mau aku dimakan papa? Terakhir kali aku datang, malah dikasih hadiah pintu.”
Hyunjin terkekeh geli mengingat terakhir kali Minho berkunjung, papanya malah menutup rapat pintu. Menentang habis-habisan pertemuan si pemuda Lee dengan anaknya. Namun hal itu juga yang melahirkan sebuah ide mengenai jalan alternatif Minho untuk bertemu Hyunjin.
Terkadang tak paham dengan jalan pikir orang tua yang melarang anaknya bermadu kasih cuma karena khawatir, padahal Minho dan Hyunjin tak melakukan apa pun.
Kecupan mendarat di rahang Minho, persinggungan antara kulitnya dengan bibir kering sedikit membuatnya memandang penuh tanya kepada Hyunjin.
Penasaran, Hyunjin bertanya, “kenapa?”
“lip balmnya dipakai,” ibu jari sang kekasih lembut menyapu bibir pucatnya, “mau kak Minho pakaikan?”
Semburat kemerahan mewarnai pipi hingga telinga Hyunjin, malu-malu anggukkan kepala dan duduk di pinggiran kasur selagi Minho mengambil tabung kecil yang tersusun apik di sebuah kotak berukuran sedang. Tepat disampingnya, ada sebuah kotak yang dibuat dari rotan, Minho terpaku sebentar sebelum memutar tubuh. Anggap saja tidak ada apa-apa.
Ia berlutut di hadapan Hyunjin, mulai oleskan pelembab bibir kepada sang kekasih. Aroma ceri menyeruak dari benda kecil tersebut, Hyunjin sekali, pikirnya.
Dengan telaten dan hanya butuh beberapa detik. Ulas senyum tanda sudah selesai, Hyunjin kembali kecupi rahang Minho. “udah lembab?”
“udah. Jangan lupa rajin minum air mineral, tetap terhidrasi ya.”
Si rambut tanggung menurut, peluk lagi lelaki favoritnya. Minho merasa ruang geraknya dibatasi, namun hatinya dipenuhi rasa hangat yang tak mampu lagi terbedung.
Ia biarkan Hyunjin sandarkan kepalanya di bahu, dekap bidangnya dada untuk rasakan detak jantung, berikan sentuhan afeksi agar Hyunjin merasa dicintai. Sudah sepantasnya Hyunjin dapatkan itu tanpa syarat.
“ayo dansa, aku pakai gaun tidur baru. Bagus gak?”
Jemarinya menuntun lembut untuk membantunya berdiri, mimik wajahnya malah datar. Hyunjin jadi sukar membacanya.
“jelek.”
“ih, kak Minho!” pukul Hyunjin main-main, “serius!”
“jelek, kata otakku.”
“kalau kata hati kakak?”
Wajahnya berpaling, “cantik.”
“jangan cantik-cantik, nanti banyak yang suka. Aku gak rela ya, dek. Dapetin restu papa tuh susah.”
Hyunjin lagi-lagi tergelak tawa karena penuturan sang kakak. Sambil bawa lengannya untuk digantung pada leher Minho, perlahan rasakan lengan padat yang ikut terkait di pinggang kecilnya, Hyunjin potret lamat-lamat figur wajah Minho. Sempurna dengan tiap pahatan yang saling melengkapi tanpa kurang sedikit pun.
“jadi kakak tuh takut sama papa?”
“engga dong,” Minho memakaikan sebuah tali yang tersambung dengan ponselnya kepada telinga kiri Hyunjin, “gimana pun kamu punya orang tua kamu, sudah semestinya aku izin kalau ingin bawa lari hati anaknya.”
“dari awal kakak bawa sebagian hatiku aja udah merupakan tindak kriminal,” kekehnya, “aku belum kasih izin, tapi kak Minho seenaknya curi!”
“nyenyenye, ssst. Sekarang perhatiin langkahnya, pelan-pelan ya.”
Hyunjin banyak tertawa malam ini. Perutnya seperti digelitik tiap nafas Minho beradu di kulit wajahnya. Saat mereka singgung dahi, saat ujung tulang hidung Minho gesek permukaan hidungnya, saat senyum kecil lelakinya terbit cuma karena Hyunjin yang salah gerakan.
Pinggangnya semakin direngkuh mendekat, dituntun seperti takut akan kehilangan pemilik hatinya. Takut akan ditinggalkan rumah tempat lelahnya beristirahat. Gaun tidur tipis itu memeluk kedua tungkai mereka yang berdansa pada ruang kecil kamar Hyunjin, menari seperti tak ada hari esok.
“Aku cinta kak Minho,” bisiknya, “kalau aku-”
“sayang, omongannya.” Minho menyaut, “aku juga cinta kamu.”
Hyunjin berkaca-kaca, tak mampu ucapkan sebuah kata. Lidahnya kelu dan mendadak ingin menangis akibat rasa cinta yang mengetuk keras hatinya yang lemah.
Dansa itu berakhir dengan Minho yang menemani kekasihnya hingga terlelap. Sebuah diary kecil milik Hyunjin, Minho letakkan rapi di nakas samping tempat tidur. Sebuah buku yang selalu ia simpan rasa penasarannya. Hyunjin bilang buku itu akan menjadi milik Minho suatu hari.
Dari jauh Minho memandang bingkai kaca yang terbuka itu, hela nafas dan putuskan untuk pergi dari sana. Angin dingin malam singgung permukaan kulit, spontan kurva kecil terlukis pada wajah.
Hyunjin itu merupakan orang nomor satu yang akan memuji masakan Minho. Orang pertama yang akan bersemangat untuk membantu walaupun larangan mengudara dari belah bibir yang lebih tua.
Tapi kali ini Hyunjin lagi-lagi menurut. Sibuk tulis cepat diary di hadapan sambil gores tinta penanya untuk fokus menggambar punggung keras Minho yang tengah memasak.
“papa sama mama kemana?”
“mau pergi sebentar katanya, biasa..” Hyunjin tersenyum paksa, “tapi aku bersyukur dititipin kesini, bukan tempat biasa. Hehehe.”
“apakah ini pertanda kalau aku udah telaten ngurusin kamu?” ia menggoda Hyunjin yang menutup wajahnya gemas, “udah siap nerima aku jadi suami kamu, belum?”
“ih, kak Minho! Udah Hyunjin bilang kalau cari pasangan tuh yang bener.”
“lah, kamu salah emangnya?”
“bukan gitu!” Hyunjin mengerucutkan bibir, malas kepada sang kekasih. “gatau, sini pastanya. Adek mauu.”
“mulai nih manjanya muncul.” Minho mengambil sebuah piring kecil kemudian menuangkan pasta alfredo dan sebuah garpu, diberikan kepada Hyunjin. Sekejap sempat pergoki isi dari diary Hyunjin sebelum yang lebih muda singkirkan buku bercover coklat itu dari meja makan.
“cium dulu, kan udah dibikinin pasta.”
mwah, tanpa ragu Hyunjin kecup bibir tipis kesukaannya. Menyalurkan cinta lewat aksi yang rutin ia lakukan, “restoran kakak, lancar?”
“karena masih seminggu, ya.. masih usaha narik pembeli. Tapi pasti akan ramai, tenang saja.”
Hyunjin tersenyum hangat, menyuapi pasta yang berwarna putih tulang itu kepada Minho. Pemuda itu sangat pandai menyembunyikan kesulitannya, selalu sibuk untuk alihkan perhatian Hyunjin dan memastikan Hyunjin hanya mendengar yang baik-baik.
Dan tak ada yang mampu Hyunjin lakukan selain memberinya semangat dan semangat. Minho pun menjadikan sang kekasih sebuah alasan untuk mencapai sebuah target yang telah ia tulis. Ia tak punya siapa-siapa lagi. Hyunjin adalah satu-satunya dan selamanya akan seperti itu.
Minho tak akan berhenti berikan cinta kepada adiknya dan Hyunjin tak akan pernah absen untuk melantangkan perasaan yang sudah menjadi bagian dari nafasnya. Selagi masih ada waktu. Sejoli itu tak akan pernah menyia-nyiakan satu detik pun.
Yang lebih tua menoleh kala merasa angin tipis masuk melalui celah jendela yang terbuka. Sempat membuat atensinya teralih. Baby's Breath yang sengaja ia letakkan pada pot kaca jatuh satu persatu ke lantai.
Ia ulas senyuman pada sudut bibir.
Suara pantofel menarik atensi para manusia yang melewati lorong tersebut. Sebagian memandang takjub kepada pria berpenampilan klimis yang berjalan penuh percaya diri, sebagian lagi memandang bingung karena siapa yang menggunakan pakaian serapi itu ke tempat ini?
Sorot matanya penuh cinta hingga tungkainya berhenti pada sebuah pintu berbahan kayu. Tarik nafas, lantas hembuskan lewat cela bibir. Gugup selimuti sekujur tubuh, tapi Minho sudah sejauh ini, masa mau putar balik?
Saat ia membuka pintu. Hyunjin tengah terduduk di sofa panjang menghadap ke sebuah kaca lebar yang menyajikan pemandangan gedung-gedung tinggi perkotaan.
Rungu si cantik menangkap sebuah bunyi yang tak asing, spontan kepala menoleh. Ia dapati Minho memegang sebuket bunga. Bukan lagi tangkai bunga yang dikareti seadanya yang pernah Minho berikan padanya sepuluh bulan yang lalu. Kali ini cantik, bahkan mengeluarkan wangi yang sangat harum untuk dihidu.
“curi juga?” goda Hyunjin, Minho naikkan satu alisnya kemudian cubit gemas hidung Hyunjin.
“sembarangan, beli dong. Sekarang kan aku punya uang.”
“astaga sombongnya, iya deh yang sekarang sudah menjadi pengusaha yang sukses.”
Hyunjin terima dengan sukacita buket berwarna biru muda tersebut. Rasanya seperti deja vu. Seperti mengingatkannya pada masa-masa indah pada waktu lalu. Ia tak mampu hilangkan senyum dari wajah seiring Minho yang dudukkan diri disampingnya.
Jemari si manis tertutup oleh cardigan rajut pemberian Minho. Sebagian jarinya mengintip dari kain lembut itu, Minho bawa kepada dadanya. Hangatkan jemari Hyunjin menggunakan kedua telapak tangannya, kemudian dicium lamat.
Penuh cinta. Rasa cinta yang lebih indah dibanding bintang yang bergantung di langit malam, hanya mereka yang punya.
“aku mau kasih cincin.”
“hm?”
Ia mengecup bibir Hyunjin, “cincin. Aku mau kasih kamu cincin.”
“kakak serius sama perkataan kakak waktu itu?”
Tentu saja, Minho selalu tepati omongannya. Baik sekecil atau sesingkat apa pun. Ia akan menikahi Hyunjin kalau ia sudah berhasil membangun usahanya sendiri. Sepanjang Minho merintis segalanya, Hyunjin selalu setia temani susah senang. Berikan semangat atau merangkulnya jika ia terjatuh.
Minho serius akan perkataannya bahwa Hyunjin merupakan sebuah rumah. Rumah untuk tempatnya beristirahat walau pun rumah itu akan hilang nantinya.
Minho serius kalau ia akan berikan seluruh nafasnya untuk mencintai Hyunjin. Sang dunia, belahan jiwa, satu-satunya yang mampu jaga hatinya.
Tanpa menunggu persetujuan yang lebih muda, Minho keluarkan cincin dengan sebuah berlian terpampang apik nan indah. Raih jemari lentik Hyunjin guna masukkan bulatan itu. Minho gigit bibir dalamnya saat cincin itu masuk tanpa hambatan hingga pangkal.
Namun ia berusaha tersenyum.
“cantik, kan?”
Hyunjin berkaca-kaca. Cantik, bahkan Hyunjin jauh dari kata cantik sekarang. Tapi rasa syukur tak luput dari hatinya, merapalkan setiap detik bagaimana ia beruntung dipertemukan dengan sosok seunik Lee Minho.
Bukan cinta pertama, namun akan menjadi yang terakhir untuknya. Sebuah kasih yang membantunya untuk merasa hidup diantara jerat putus asa.
Menjadi sebuah uluran tangan yang sukarela menarik Hyunjin dari palung gelap yang membuatnya mati rasa.
Bibirnya yang dingin dan kering dicium penuh penghayatan. Minho lumat dengan pelan dan hati-hati sebelum singgung kening keduanya untuk rasakan nafas masing-masing. Ibu jari usap sisa air liur di bibir Hyunjin, lantas berikan senyuman.
“sekarang kamu milikku, seutuhnya.”
Hyunjin mengangguk kecil tak kuasa menahan sesak di dada. Minho tuntun tubuhnya untuk direngkuh, kembali berdansa untuk merayakan pernikahan kecil-kecilan tersebut. Hanya mereka berdua, sebuket bunga, dua buah cincin, dan angin yang dingin, serta bau asing yang sudah akrab di penciuman.
Tali earphone dipasang masing-masing satu. Keduanya tersenyum manis untuk satu sama lain. Hyunjinnya masih tampak cantik, hangatnya masih sama seperti musim semi pertama saat mereka bertemu. Saat mereka bermadu kasih di bawah sebuah pohon dengan sekotak bento dan susu coklat.
Lagu bertempo lambat berputar dari ponsel Minho. Ia berikan apresiasi kepada yang lebih muda karena mampu mengikuti ketukan yang sudah Minho berulang kali ajarkan. Hyunjinnya tak sekuat dulu, tapi semangatnya tak pernah padam.
“peluk” lirihnya, Minho turuti. “Hyunjin mau ngerasain detak jantung kakak.”
“gimana rasanya?”
“Hyunjin.. seperti hidup kembali.”
Dekapan pada dada bidang Minho semakin erat, ia pun peluk Hyunjin dalam hangatnya tubuh. Seolah Hyunjin akan pergi, seolah kekasihnya akan meninggalkannya sendirian, seolah sudah waktunya tiba untuk ucapkan perpisahan.
Jikalau memang benar kehendaknya tuhan begitu, maka Minho bisa apa? Pun Hyunjin sudah menyuruhnya untuk mencari orang lain, tapi pada dasarnya Minho bebal. Minho masih ingin bawa kisah pahit manis mereka mengarungi masa depan. Jalannya masih sangat jauh, Minho ingin Hyunjin bersamanya sampai kulitnya keriput dan ingatannya tak lagi mampu untuk menampung sesuatu.
Setidaknya ia punya Hyunjin yang menyimpan segala kenangan itu. Bagaimana indahnya benang merah yang lilit kelingking keduanya. Bagaimana cantiknya itu selalu terkekeh hadapi tingkah laku Minho yang terlampau unik, bagaimana si manis selalu usap rambut Minho penuh kasih.
Minho lantangkan lagi. Cintanya, Sang dunia, belahan jiwa, satu-satunya yang mampu jaga hatinya.
Langit tampak cerah sejak terakhir kali ia kesini. Ambil posisi duduk di atas rumput yang baru dipangkas, tak lupa tersenyum lebar sambil pasang earphone di masing-masing telinganya sambil dengarkan sebuah lagu. Lagu yang biasa ia dengar saat berdansa dengan Hyunjin.
Sepanjang jalan membayangkan memori yang ia pernah lakukan bersama Hyunjin sedikit mengobati kerinduan yang sudah tak terbedung. Kegiatan-kegiatan kecil mereka untuk berbagi kehangatan dan kasih sayang selalu berlarian di ingatan Minho.
“adek tau? bento buatanku sekarang jadi best seller. Sebentar lagi ada cabang baru yang bakal dibuka.”
“pasta alfredo-nya juga. Tapi gak kubawa, soalnya ribet. Kamu tau sendiri aku gak suka ribet, hahaha.”
Minho membuka sebuah kotak persegi yang isinya sudah dingin. Menusuk dua kotak susu coklat dan diberikan kepada Hyunjin yang senyumnya selalu akrab di ingatan. Ia lebih dulu menegak habis sekotak susu coklat itu dan membuangnya ke dalam plastik yang ia bawa.
Nasi dingin tersebut masih terasa enak di mulut, matanya menyipit saat beri senyum kepada Hyunjin. “aku minum ya susu coklat kamu.”
Tenggak lagi, suapan demi suapan menciptakan kombinasi rasa yang luar biasa. Biasanya Hyunjin akan memuji dengan semangat, namun kali ini figurnya yang berada di hadapan Minho cuma bisa tersenyum. Tak apa, Minho hargai.
“ini bunga kesukaan kamu, aku ganti ya. Yang kemarin udah layu, rontok juga.”
Ia berbicara kepada foto cantik yang terpajang disana. Tak cukup berbicara sendiri, ia membaca sebuah buku bercover coklat yang selalu menjadi sumber penasarannya. Kemarin ia tak mampu sembunyikan raut bahagia saat Hyunjin menulis bagaimana tampan dan bertalentanya Minho dan bagaimana Hyunjin menggambarkan Minho dari belakang saat lelaki itu sedang memasak untuknya.
“aku baca lagi ya bukunya,” Minho kembali berbicara, entah kepada siapa.
“sebenarnya aku heran kenapa kak Minho selalu sembunyiin rasa dukanya dari aku.” Alis Minho naik satu saat membaca kalimat awal, ia terkekeh kecil. “ya.. karena kamu gak pantes dengerin yang gak bagus. Kamu itu pantasnya denger yang baik aja.”
Ia menggeleng kepala kecil, “padahal aku juga mau susahnya, bukan senengnya aja. Ish! Kak Minho nyebelin, tapi aku lebih khawatir kalau kak Minho gak nyebelin sih.”
“padahal aku gak selemah itu, kak Minho. Seenggaknya kak Minho mau cerita ke Hyunie kalau lagi ngelewatin masa sulit. Katanya kak Minho mau buat Hyunie ngerasa hidup? Hidup kan gak cuma soal senangnya.”
“Hyunie sadar hidup Hyunie.. gak lama.” Minho memelankan nada bicaranya guna menarik nafas, dadanya mendadak sesak.
“tapi itu awalnya sih, sekarang kak Minho udah mulai terbuka ke Hyunie dan Hyunie senengnya bukan main. Seenggaknya kehadiran singkat Hyunie berguna untuk kak Minho.”
“Hyunie punya mimpi yang selalu diucapkan ke bintang. Kalau Hyunie ingin bersama kak Minho untuk waktu yang lebih lama, tapi sepertinya doa Hyunie gak akan terkabul melihat kondisi Hyunie saat ini.”
“Hyunie.. gak bisa memprediksi apakah Hyunie masih bisa berada di sisi kak Minho saat ini. Tapi kalau tidak, aku harap kak Minho punya seseorang yang bisa dijadikan sandaran saat lagi masa sulit. Hyunie gak mau melihat kak Minho kesulitan.”
“apa sih, dek. Kamu tuh bikin nangis aja.” Kekeh Minho, buka halaman selanjutnya tanpa sadar setitik air mata jatuh membasahi celana bahan yang ia pakai.
“kak Minho jangan nangis. Eh tapi gapapa! Namanya juga nangis itu meluapkan rasa. Hyunie aja cengeng, masa kak Minho gak boleh.”
“hehehe, Hyunie jatuh cinta dengan apa pun yang ada di diri kak Minho. Hyunie beruntung punya kak Minho disisi Hyunie, maaf.. kalau Hyunie gak bisa nemenin kak Minho sampai ke garis finish.“
Lagi-lagi Minho terkekeh dan air matanya kembali jatuh. Hyunjin memang enggan melihat tangisan Minho, karena Minho akan menjadi sangat jelek katanya. Tapi disamping itu memang Minho bukan tipikal yang mudah luapkan perasaan.
Namun entah mengapa sekarang rasanya hampa namun di salah satu sisi menyakitkan setelah membaca kalimat lanjutannya. Hati seperti teriris silet kemudian luka tersebut ditekan dengan kuat. Angin sore berhembus membelai kulitnya yang dialiri sungai kecil, sudut bibir ulas senyum.
Minho tak sanggup untuk melanjuti tulisan di buku kecil tersebut. Harusnya ia berbahagia ketika berhadapan dengan Hyunjin, bukan menunjukkan tangis. Hyunjinnya pasti sedih, dan Minho tak ingin adiknya berduka.
“angin ini pasti kamu, kan? Kamu selalu muncul kalau aku sedang mikirin kamu. Gak mungkin cuma kebetulan, dek.”
Sebuah imajinasi kadang mampu mengobati goresan di hati. Seruput lagi sekotak susu coklat hingga tak tersisa, Minho buang pada plastik yang ia bawa. Termenung sambil menatap foto kekasih hatinya yang sangat cantik.
“dari awal kita bertemu di toko roti, sampai kita piknik dan kamu yang beraninya ambil ciuman pertamaku, sampai dimana kita tidur dan bermimpi menggapai bintang, sampai dimana kamu harus hidup dengan obat-obatan, sampai kamu kadang mengeluh sakitnya suntik yang menusuk di punggung, kamu orang yang sangat aku banggakan, dek.”
“aku malu untuk cerita kalau lagi lelah, sementara kamu yang harus menanggung takdir seberat itu selalu semangat. Makanya aku gak pernah ngomong sampai kamu minta.”
“kadang aku bingung tujuan takdir pertemukan kita untuk apa, kalau pada akhirnya kamu pergi dan gak kembali.” Ia menghela nafas, air matanya tak mampu jatuh kembali.
Pada akhirnya begini lah takdir yang diberi oleh sepasang pemuda itu. Takdir yang tak bisa dielak, pun ini lah ujung takdir itu. Meninggalkan atau ditinggalkan dan ternyata raga Hyunjin meninggalkannya lebih dulu. Kini semua hanya menjadi memori untuk dikenang dan harap-harap Minho selalu ingat kenangan pahit manis mereka berdua sampai waktunya tiba ia menyusul Hyunjin.
Benang merah itu telah usai, tapi hati Minho tetap dibawa Hyunjin hingga lelaki itu menyatu dengan tanah. Dengan malas Minho baringkan kepalanya pada keramik yang kelilingi nisan dengan nama Hwang Hyunjin. Tak paham dengan perasaan yang campur aduk.
“tapi aku gak menyesal dipertemukan orang sehebat kamu. Aku sangat bersyukur.” Ucapnya lagi, bersungguh-sungguh.
Kepalanya bangkit mendekat untuk kecup lamat figura hitam yang berada di sana. Dari awal, detik-detik terakhir hingga dimana saatnya sang kekasih hati meninggalkannya seorang diri, janji dimana cinta keduanya akan abadi tak lengkang oleh waktu akan terus tertancap di sanubari Minho.
“Aku mencintaimu, Hyunjin.”
Hingga nafas terakhirku, hingga kita dilahirkan kembali, sayangku, belahan jiwa, rumah tempatku beristirahat, selamanya dan seterusnya akan seperti itu.
Minho akan tetap lantangkan cintanya dalam kalbu.
My only one.
– End
Chanjin, dom/top! Bangchan, sub/bot! Hyunjin, nsfw, anal fingering, non-consent foreplay (kindly dm me kalau ada trigger yang kurang)
Giginya bergemelatuk akibat perbuatan yang lebih tua kepadanya. Rantai yang lilit pergelangan tangan hingga bahu tak juga lepas walau ikatannya tak kencang. Hyunjin mendesah frustasi meronta ingin dilepaskan, tatapannya nyalang seperti hewan yang terjebak dalam perangkap.
“saya cuma kasih kamu ganjaran,” ucap yang lebih tua, “atas pelanggaran yang telah kamu lakukan. Mencoba kabur? Ada perjanjian hitam di atas putih, saya ingatkan kamu.”
“saya wajar lakuin itu,” Hyunjin menggertak, “saya manusia, punya insting untuk kabur dari monster menjijikkan seperti kamu!”
Tak ada sirat ketakutan yang terpancar dari mata setajam pisau tersebut, hanya ada sebuah rasa keberanian yang terbungkus oleh palung dendam. Monolid yang dikaruniai pupil coklat gelap itu seolah-olah mampu untuk hancurkan otak Chris kapan saja. Mencabik-cabik tubuhnya dan diberi kepada anjing liar diluar sana.
Namun apakah Hyunjin tau. Ah, Chris menghela nafas karena Hyunjin tak pernah belajar dari pengalaman. Chris bukan lah orang yang takut akan kematian pun rasa luka. Tidak terhitung netranya menyaksikan kematian dan mental yang terguncang akibat ditinggal orang terdekat.
Hanya satu yang membuat Chris heran, kenapa anak cantik ini sangat sulit diatur. Harus Chris apakan supaya dia tunduk dan patuh, karena sesungguhnya Chris sangat tidak menyukai orang yang tuli akan aturannya.
Ia pandang tubuh Hyunjin yang terbaring di atas tilam, sesap anggurnya yang berada di gelas tinggi. “monster? Ck, hahaha.” kekehan itu bukan pertanda baik atau buruk, Chris hanya merasa lucu akibat statement yang dilontarkan pemuda di hadapannya.
“iya, saya monster. Dan monster ini hanya akan muncul ketika melihat seseorang terang-terangan mengusiknya.”
Dentingan meja marmer yang bersinggungan dengan pantat gelas spontan buat Hyunjin melirik, kembali tatap sang dominan penuh tanya. Chris berdiri, menelanjangi Hyunjin dengan pandangannya tanpa malu dan cekatan buka kemeja yang baluti tubuh.
Jika tawa Chris merupakan pihak tengah, entah diamnya Chris merupakan pertanda baik atau buruk. Tatapan itu, tatapan yang terlukis seperti sosok predator yang siap lahap mangsanya. Dan sangat buruk bahwa Hyunjin yang menjadi mangsan disini.
Untaian rantai makin berisik akibat pergerakan yang lebih muda ketika Chris paksa buka belah kakinya yang Cuma bermodalkan celana pendek. “saya beri tips, kalau kamu ingin kabur dari rumah ini,m sebaiknya kenakan celana Panjang.”
Kain yang tutupi hanya seperempat dari kaki Hyunjin ia tarik dan buang sembarang, hidu aroma alami yang dihasilkan dari kulit yang lebih muda sebelum kecup kecil paha dalam Hyunjin. Gigit, jilat, kecup sembari ia tahan paha sekal yang sengaja ingin menghimpit kepalanya.
Hyunjin mati-matian gerakkan tungkainya untuk menendang yang lebih tua namun tak berbuah hasil, hanya rasa gemetar yang ia dapat. Sebuah sensasi yang membuat saraf di otaknya seketika berhenti bekerja dan pembuluh darahnya memanas.
Perang hebat terjadi dalam dirinya, antara ingin dipuaskan atau berontak melarikan diri. Ia sekali lagi merasa kotor dan tak berdaya, namun sentuhan-sentuhan itu bagai mantra yang buat Hyunjin tunduk.
”anh- mmh, stop it- please”
”stop? What do you mean by stop? Your body say it all, pretty. He don’t wanna stop.”
Beralih dari sesi sentuhan bibir ke kulit, Chris makin turunkan tubuhnya untuk sapa liang kering milik si cantik. Satu tempat yang selalu membuatnya terbayang ketika pertama kali mereka bersetubuh saat Chris membawanya paksa dari Las Vegas. Singgung permukaan yang tak halus hingga Hyunjin loloskan lenguhan kotor.
Kepalanya menggeleng ribut, “Chris! Angh-“
Menulikan telinga, Chris memilih untuk ambil sebuah lube dan oleskan pada jemarinya juga cincin anal yang lebih muda. Sensasi dingin makin-makin buat Hyunjinnya mendesah. Terkekeh geli karena Hyunjin yang terlampau sensitive hanya dengan sebuah sentuhan kecil.
Sebuah jari masuk tanpa aba-aba hingga si cantik tersedak ludahnya sendiri. Respon tubuhnya tak bisa diam saat kakinya semakin dilebarkan. Makin menggelinjang tubuhnya kala titik sensitive berkali-kali dihujam tanpa ampun, hanya menggunakan jari. Sialan Hyunjin! Dimana harga dirimu sebagai lelaki? Yang paling membuatnya sebal adalah pemandangan dimana Chris menyeringai suka terhadap tampilan erotis yang tersaji tepat di depan kedua kelereng jelaga miliknya.
Lain kali ia tak payah untuk paksa Hyunjin lucuti bajunya. Lakukan saja pelanggaran terus menerus, maka Chan dengan senang hati hukum bidadari yang ia temukan di tempat gelap berkelilingkan dosa.
Chris dengan senang hati membuatnya menjadi patuh.
Suara kecipak yang berasal dari peraduan jari dan kulit itu sungguh membuat keduanya gila. Chris yang gila karena harus menahan libido yang sudah di puncak kepala akibat Hyunjin dan Hyunjin yang berusaha tahan desahnya mati-matian walau tak berguna.
Peluh turuni sekujur tubuh yang lebih muda. Tak tahan lagi ingin mengeluarkan semburat putih yang sudah di ujung. Pada akhirnya memohon dengan meruntuhkan segala egonya kepada Chris.
“jadi saya harus begini terus ya untuk beri kamu pelajaran?” Chris makin percepat tempo jarinya untuk tekan rectum Hyunjin, “cantik?”
Tubuhnya menerima dengan senang hati atas kenikmatan yang ditawarkan Chris. Tak munafik, ia menikmati. Yang jadi problemnya adalah kenapa pelaku sumber kenikmatannya adalah orang yang paling ia hina, paling ia benci, dan sosok yang membuat dirinya dendam setengah mati.
Mereka bilang hidup Hyunjin akan baik-baik saja, setidaknya setelah fase berat yang telah lewat akibat orang tuanya yang hilang tanpa kabar. Tapi Hyunjin malah diseret habis ke dalam palung gelap dan ada Chris di dalamnya, seorang monster gila yang tak punya Nurani. Mana kebahagiaan yang dijanjikan? Kebahagiaan yang hadir setelah duka?
“angh!”
Si cantik sampai pada putihnya seiring dengan jari Chris yang memelankan lajunya. Semburan sperma yang mengotori perut Hyunjin sendiri membuat Chris jilati bibirnya. Lenguhan yang tertahan, lepas di akhir. Hyunjin meremat erat rantai yang masih setia lilit tubuhnya. Wajah ia sembunyikan di bantal kemudian mendongak rasakan ujung klimaks yang kuasai tubuh.
Air mata mengalir dari ujung netra, spontan, tanpa isak. Entah karena rasa nikmat permainan yang sangat singkat tadi atau rasa nyeri yang gerogoti hatinya. Meratapi nasib bahwa Hyunjin akan selamanya terjebak di penjara dunia ini untuk membayar dosa orang tuanya dahulu.
Hyunjin masih teguhi dirinya sendiri, gigit bibirnya kuat dengan tubuh yang lemah. Chris tak mengindahkan raut wajah si manis yang kosong, keluarkan jemarinya dan berdiri. Tatap sejenak, kemudian meninggalkan Hyunjin yang memejamkan matanya terlalu lelah karena pelepasan.
Iya. Chris meninggalkannya begitu saja seperti barang yang tak memiliki nilai guna lagi setelah dipakai.
Dibalik pintu master bedroom, Chris terdiam. Untuk langkahkan kakinya menuju ruang makan pun tak sanggup, tidak tau apa yang menjerat kakinya untuk tetap diam dibalik pintu kayu mahoni.
Nafasnya memburu, sentuh telapak tangan ke dada untuk tenangkan diri sendiri. Ia melirik dari sudut mata, ada Hyunjin disana. Pemuda berstatus rendah dan malang akibat dijadikan nilai untuk membayar segala perlakuan orang tuanya. Orang tua biologis yang tega untuk memberinya kepada Chris.
”shit-“
Umpatan itu mungkin terdengar kasar, tapi hanya itu cara yang dapat Chris lakukan untuk luapkan rasa aneh yang membuat sesak dadanya. Deritan dari pintu harap-harap tak menganggu Hyunjin dan tak menghalangi Chris untuk mendekati pemuda yang kelopak matanya masih terpejam.
Jejak air mata terlukis jelas di tulang pipi Hyunjin dan Chris bingung harus bersikap seperti apa. Ia hanya mampu menyentuh ujung rambut Panjang yang lepek akibat keringat, itu pun diliputi rasa ketakutan. Chris bingung.
Ia tak pernah merasakan hal aneh saat berdekatan dengan orang. Sensasi pusing dan mual seperti orang sakit. Chris baru kali ini merasakannya kepada Hyunjin. Lagi-lagi kepada sosok rendah yang ia tampung atas perintah sang ayah.
Ia melepas rantai yang melilit lengan yang lebih muda, hingga tinggalkan bekas kemerahan di kulit susu Hyunjin. Kemudian melapisi tubuh ringkih dalam kain dan dibawa dalam pelukan. Chris berjalan pelan menuju kamar yang ia beri khusus untuk Hyunjin, hanya berjarak tiga pintu dari Master Bedroom. Buka, lantas baringkan Hyunjin di atas tilam.
Keadaan Hyunjin sangat berantakan hingga membuat hatinya mencelos. Letih si manis seolah-olah ikut terasa oleh Chris, apakah barusan Chris bersimpati?
Entahlah. Chris takut salah paham, hatinya sudah lama mati.
Wajahnya diusap gusar. Yang ia bisa lakukan hanyalah membersihkan Hyunjin dengan hati-hati. Mengelap cairan yang mengotori permukaan perut Hyunjin. Setelah itu membersihkan anal Hyunjin dan membuka baju yang lebih muda.
Ia menelpon seseorang, “bin, tolong beli salep untuk Hyunjin. Dan pastikan dia makan sebelum saya pulang malam ini.”
Changbin x Hyunjin. Top/dom! Changbin, Bot/sub! Hyunjin, NSFW (Kotor pokoknya), blowjob, few harsh words. Enjoy and be wise!
Hyunjin termangu, cuma mampu berkedip bingung. Sementara Changbin sibuk hisap lolipop keduanya, yang Hyunjin sengaja berikan agar pria jelaga itu kurangi intensitas merokoknya. Changbin belum mau buka suara, masih pandang lurus hamparan rumput yang memantulkan cahaya bintang tata surya.
“Abin?”
“hm?”
“ngapain kita kesini?” Hyunjin inisiatif layangkan pertanyaan, namun nihil. Changbin masih betah pada diamnya, Hyunjin sedikit sebal.
Setelah keluar dari café tempat Hyunjin bekerja, tiba-tiba saja Changbin sudah duduk di sebuah kursi yang terletak tepat di depan kaca etalase. Hyunjin yang menemukan figur familiar yang mengenakan jaket kulit pemberiannya tentu saja bingung.
Hyunjin tidak meminta Changbin untuk menjemputnya atau mengantarkannya sesuatu. Saat Changbin menyadari kehadiran Hyunjin yang hanya terdiam berusaha mencari indikasi perihal kedatangan Changbin, si pemuda Seo langsung titahkan kekasihnya untuk masuk ke dalam mobil tanpa basa-basi lewat lirikan mata.
Tegukan ludah Hyunjin harusnya sudah cukup menjadi tanda bahwa keadaan yang tengah terjadi diantara mereka berdua tidaklah baik, walaupun Hyunjin belum menemukan celahnya.
Bahkan Changbin mebawa baju Hyunjin di dalam sebuah paper bag. Baju yang beberapa pasang sengaja Changbin simpan di apartemennya sewaktu-waktu Hyunjin datang menginap.
Tanpa beri Hyunjin waktu jeda untuk mengganti pakaian kerja, Changbin menyuruh kekasihnya untuk mengganti baju di mobil. Tapi Hyunjin pun tak merasa keberatan karena hanya ada Changbin, kekasihnya.
Menyebalkan, seperti biasa.
“Abin, mau sampai kapan kamu membisu kayak gitu?”
“sampai kamu berhenti kerja, mungkin.”
Kan..
Hyunjin sudah menebak apa yang akan Changbin bicarakan padanya. Lagi-lagi mengenai Hyunjin, pekerjaan, dan masalah uang. Tiga hal yang topiknya tak pernah luput disaat mereka berselisih.
Hyunjin pun sudah tau ujungnya akan bagaimana, maka dari itu dia memilih untuk kecup pipi tembam sang kekasih yang merengut tak suka. Menarik tangkai putih yang terselip diantara belah bibir si pemuda Seo, lantas singgung bibir tebalnya kepada yang lebih tipis.
Sebuah ciuman dari Hyunjin memang sangat luar biasa. Bak mantra yang sangat digdaya mampu meruntuhkan sebuah tembok keras seorang Seo changbin. Lelaki yang memiliki kepala sekeras batu dan prinsip yang dijunjung tinggi.
Baru sentuhan kecil di bibir, usapan di rahang, kemudian kecupan di leher. Changbin menghela napas kemudian tepat saat Hyunjin menjauhkan tubuhnya.
“selamat kali ini kamu, cantik.”
“cantik selalu selamat kok, soalnya cantik pinter nenangin singa ngamuk.”
Changbin mendengus dan ditanggapi tawa kecil oleh Hyunjin. Lagi kecup pipi yang lebih tua gemas. Menyuruh Changbin untuk mendorong jok mobil untuk sedikit kebelakang agar Hyunjin dapat berpindah duduk ke pangkuannya.
“orangku bilang nenek sihir itu minta uang dari kamu.”
“sayang, itu mamaku.”
“mama tiri.”
“iya, mama tiri. Udah ah marahnya. Mereka masih tanggung jawabku,” bisik Hyunjin, “sampai hutangnya lunas. Tiga puluh persen lagi, sabar ya?”
Mata tajam Changbin memutar malas, tatap tepat di kornea si cantik, kemudian dengan cepat curi kecupan tanpa aba-aba meninggalkan Hyunjin yang kaget.
“pakai uangku, ya?”
Penawaran yang entah untuk berapa kali keluar dari mulut sang kekasih. Hyunjin sendiri paham bahwa Changbin sudah terlahir cukup dari segi materi dan merupakan seseorang yang pintar memanfaatkan kelebihan yang ia terima untuk menghasilkan sesuatu yang berguna.
Namun Hyunjin harus yang keberapa kali menolak? Terkadang jenuh jika Changbin terus-terusan mengungkit hal itu, walau Hyunjin paham bahwa Changbin hanya ingin yang terbaik.
Changbin dan Hyunjin belum terikat status pernikahan, seharusnya Changbin tak merasa bertanggung jawab atas Hyunjin. Si cantik bisa urus dirinya sendiri dan segala problematika internal keluarganya.
Usak kepala Changbin pelan, Hyunjin menjawab. “Abin, sayang. Hyunjin udah berapa kali bilang kalau Hyunjin mau ngelunasin semua hutang itu dengan keringat Hyunjin sendiri?”
“Hyunjin bukannya gak mau pakai uang Abin, tapi uang Abin sebaiknya ditabung. Walaupun Abin udah kaya sih, siapa tau Abin mau ngapa-ngapain di masa depan, jadi gampang.”
“Abin paham kan? Kalau soal tinggal berdua dengan Abin, tunggu sebentar lagi ya. Pasti waktunya dateng kok.”
mwah.
Changbin ditolak lagi, namun di salah satu sisi bangga kepada sang kekasih yang tak pernah absen bekerja keras hampir setiap hari.
Ibarat sebuah pasir di pantai, penolakan yang Changbin terima mungkin tak terhingga. Mungkin Hyunjin sendiri sudah pening dibuat Changbin, tapi kekasihnya itu selalu sabar dan sanggup meladeni Changbin sepenuh hati.
Cantiknya itu, Changbin tidak salah pilih.
“nanti aku kawinin kamu.”
“gak perlu, bin. Tiap hari kalau ada kesempatan kamu juga minta.”
Changbin terbahak dengan suara khasnya mendengar pertanyaan Hyunjin. Tarik punggung kurus Hyunjin agar bersandar pada dadanya. Biarkan Changbin berpelukan dengan Cantiknya sore ini.
“engga, ini serius. Nanti kita nikah ya, tapi aku gamau tinggal disini.”
“aku ikut suami, berhubung calon suamiku banyak maunya.”
Malam ini Hyunjin kembali menginap di tempat kekasihnya, yang tentu saja akibat permintaan Changbin yang tidak bisa diganggu gugat. Hyunjin berharap ia tidak disidang besok atau dua hari berikutnya karena biasanya Changbin akan menahannya untuk pulang ke rumah.
Atau biasanya Changbin sering menyebutnya trial neraka.
Dalam keadaan rambut yang masih setengah kering, Hyunjin berkutat di dapur menggunakan celemek andalan warna pink (yang tentunya milik Changbin). Memasak untuk makan malam mereka berdua yang baru saja pulang.
Hyunjin tampak menikmati perannya sebagai orang yang dapat diandalkan Changbin. Memasak, membersihkan apartemen, merawat tanaman yang Changbin beli, bahkan kalau sempat ia akan mencuci pakaian kekasihnya. Semua itu ia lakukan semata-mata karena ingin saja.
Changbin sudah berkali-kali melarang Hyunjin untuk melakukan aktivitas rumah selain memasak, karena memasak merupakan kegemaran Hyunjin, jadi ia tidak mungkin melarang. Tapi yang lain? Hyunjin seharusnya cukup duduk manis.
Changbin bisa mempekerjakan pembantu, tapi Hyunjin melarang keras. Changbin lebih memilih keluarkan uang banyak untuk mempekerjakan orang dibanding melihat kekasihnya sibuk sana sini keliling ruangan apartemen, tapi Hyunjin tetap saja teguh pendirian.
Akhirnya Changbin biarkan dengan syarat Hyunjin harus menerima apa pun yang Changbin berikan untuknya.
Si cantik masih berurusan dengan telur gulung nori di teflon tanpa sadar si pemuda Seo sudah potret figurnya dari atas kepala hingga ujung kaki.
Mengenakan boxer Changbin? Ide yang sangat buruk, Hwang Hyunjin. Karena celana itu menjadi tampak sangat pendek dan hanya tutupi seperempat paha, hampir saja memperlihatkan pangkal paha yang muda.
Hm, hm, pemadangan yang bagus sampai Changbin takjub dibuatnya. Entah efek pakaian atau memang Hyunjin sendiri yang sudah terlahir jelita.
Lantas Changbin jalankan tungkainya, mengikis jarak antara keduanya kemudian rengkuh pinggang ramping Hyunjin.
Menghidu lehernya, “kamu habis mandi?”
“Loh iya, Abin. Rambut basah gini, gak lihat?” Sambut yang lebih muda, tanpa mengalihkan pandangan.
Gulungan telur nori pun sudah tersaji di piring keramik. Hyunjin menyingkirkan piring tersebut karena ia harus mengurusi bayi besar berotot kecil miliknya.
“Bayi kecilku.”
“Sembarangan bayi. Cantik, walaupun aku lebih pendek dari kamu, dari segi tubuh aku lebih besar dari kamu.” Si pemuda jelaga makin kikis jarak sampai perut datar Hyunjin menempel padanya, “toh aku juga yang bisa bikin kamu enak.”
Changbin tertawa kemudian, Hyunjin menghela napas sambil memutar bola matanya malas.
“Dasar sangean.”
“Kamu juga.”
“Abiiin!”
Nyaris saja Hyunjin tendang pacarnya itu. Ia harus sabar memiliki pacar yang merupakan seorang penggoda ulung! Namun tak dapat dipungkiri kalau tawa Changbin mampu meningkatkan hormon bahagia di dalam dirinya.
Dan terkadang, hormon yang membuatnya horny juga.
Lagian siapa sih yang tidak menganga melihat sosok Changbin? Kekasihnya itu memiliki badan yang bagus akibat olahraga gila-gilaan.
Garis perut samar-samar dan bisep yang berdiameter tidak kecil. Apa pun yang berada di luar dalam Changbin selalu mampu buat Hyunjin berlutut untuk dihantam lebih kuat.
Ia melirik, bahkan Hyunjin masih ingat bagaimana telapak tangannya cengkram lengan tebal Changbin ketika lelaki itu gagahi tubuhnya.
Bagaimana ranum merah muda yang selalu tebar senyum bisikkan kalimat cantik, cantik, cantik. Sebuah panggilan akrab dari Changbin untuk Hyunjin.
Bagaimana netra monolidnya yang selalu memberikan kesan tajam tatap lembut Hyunjin yang meringis.
Changbin, changbin, changbin-
Sialan. Agaknya Hyunjin sebentar lagi gila.
“Cantik?”
“Eh, hm? Kenapa, Bin?”
Changbin mengernyit khawatir, gapai pipi Hyunjin untuk diusap, “kamu oke? Kok ngelamun. Apa yang kamu pikirin?”
“Eh engga, aku-”
“Cantik, kan aku selalu bilang kalau kamu bisa berbagi cerita ke aku, kan? Jangan sembunyi-sembunyi gitu, kamu tau aku gak suka kan?”
Bin, aku ngebayangin disetubuhi kamu.
Hyunjin memejamkan matanya erat sembari gigit bibir dalamnya. Bagaimana ia akan menjelaskan ini, terlalu dimakan gengsi.
“Aku gapapa, Bin. Tadi tuh terlalu fokus ke kamu aja.” Bohongnya, “udah ya, mau makan?”
“Serius? Sebenarnya aku mau izin dulu.”
“Izin apa, sayang?”
“Boleh ngerokok gak?”
jder! Rasanya Hyunjin seperti disambar petir siang bolong ketika mendengar izin Changbin.
Astaga, Hyunjin paham kalau perokok aktif itu sangat sulit untuk sembuh. Namun Changbin memiliki sesak nafas yang untungnya belum mencapai fase parah akibat rokok. Hyunjin mengernyit dan memandang tak suka kepada kekasihnya.
“Abin, aku bukannya mau ngelarang kamu. Tapi kamu lupa kah kata dokter sebulan yang lalu?”
Hela napas, “inget banget, cantik. Tapi aku gak tahan, mau satu aja.”
“Gaboleh.”
“Cantik-”
“Cium aku.” Potongnya, “cium aku sampai kamu lupa keinginan untuk merokok.”
Alis si pemuda jelaga naik satu tanda bingung, ah- salah, tanda meremehkan. Kekasihnya mendadak bilang seperti itu, ada apa gerangan?
Dikukungan Changbin, Hyunjin mengusap leher pemuda yang lebih tua setahun darinya. Layangkan senyum semanis madu sampai-sampai kekasihnya terkekeh geli.
“Yakin gaada maksud lain?”
“Cuma mau kasih kamu pengalihan.”
Salah, Hyunjin sebenarnya sudah panas sedari tadi akibat fantasinya sendiri. Ingin memakan kenikmatan fana yang disuguhkan oleh Changbin saat itu juga.
“Okay.” Kalimat persetujuan mengudara. Detik itu Changbin bawa cantiknya menuju ke kenikmatan duniawi. Mencumbu ranum sang kekasih dengan penuh kehati-hatian juga cinta.
Masih diantara kukungan tubuh kekar Changbin, lelaki itu kemudian sedikit mendorong Changbin hingga punggung yang lebih tua menempel di sisian meja petak keramik hitam, tepat di seberang kompor. Hyunjin kembali layangkan Cumbuan.
“Wow, wow, pelan-pelan cantik. Kenapa terburu-buru gini?”
Namun dibanding menjawab Changbin, Hyunjin malah menunduk malu. Tapi bukan menunduk diam, ia lanjut kecupi leher Changbin. Hanya kecupan ringan namun cukup membuat lambung Changbin berasa diputar.
Biasanya Changbin akan menjadi pihak yang bergerak duluan. Namun malam ini sepertinya Hyunjin tampak dikuasai oleh nafsu.
Lucu, jadi sebenarnya Hyunjin sedari tadi menahan diri dan mengambil kesempatan dengan menawarkan pengalihan kepada Changbin, lagi-lagi perutnya seperti dipenuhi kupu-kupu.
“Ssh, cantik.”
“Hm?”
“Gapapa, kamu masih mau cium?”
Hyunjin mengangguk kecil. Diam-diam ulas senyum tipis sambil membuka kaos hitam yang membalut tubuh sang kekasih.
oh my fucking lord. Detik itu Hyunjin telan ludahnya kasar, bersama dengan fantasinya tadi. Sekarang semua sudah jelas tersaji di depan mata.
Jemari lentiknya sentuh garis samar otot perut Changbin. Tampak putih bersih namun panas ditelapak tangannya yang dingin, raba lagi hingga mencapai dada bidang yang selalu menjadi tempat peristirahatan kepalanya.
Changbin begitu mengundang hasrat Hyunjin. Apakah ini yang Changbin lihat di Hyunjin juga sebelum mereka bersetubuh? Hyunjin tak pernah membayangkan kalau memotret tubuh indah Changbin akan semenyenangkan ini.
“Apa lagi yang mau kamu cium, cantik?”
“Aku mau semua yang ada di kamu, boleh?”
Changbin remat sisian meja, “tentu saja. Lakukan semaumu.”
Kode persetujuan kembali mengudara dan Hyunjin luar biasa senang mendengarnya. Nafsunya yang sudah berada di ujung membuat tubuhnya merinding tiap ujung jari bersinggungan dengan kulit panas Changbin.
Lidahnya jilat bahu Changbin, gigit kecil tepat di samping sebuah tato yang bertuliskan Jutdae. Lelaki berprinsip. Ah, Hyunjin rela desahkan nama lelaki super seksi tersebut.
Belum cukup di bahu, Hyunjin kecup-kecup kecil dada bidang yang lebih tua. Keras dan padat, Hyunjin sekarang paham kenapa Changbin sering kali request ingin dimasakkan dada ayam kukus. Lelaki ini ingin membentuk badan dan berakhir sukses.
Turun lagi hingga posisinya lebih rendah dan tak tergapai dalam pandangan Changbin. Hyunjin jilati garis samar yang sedari tadi menjadi sumber panasnya. Singgung hidung mancungnya guna hidu aroma khas dari sabun mahal yang Changbin beli.
“Abin.” Hyunjin mendongak ke atas, “mau ini.”
Oh, sialan. Celana Changbin menggembung tepat di hadapan Hyunjin. Brengseknya lagi Hyunjin meminta kepadanya layaknya anak kecil yang meminta permen. Polos, dengan mata berbintang-bintang. Lama-lama Changbin frustasi.
“is it okay?”
Sepanjang mereka berpacaran, Hyunjin tak pernah memberikan servis kepada Changbin. Karena yang mereka lakukan biasanya juga menurut Changbin sudah menjadi servis tersendiri untuknya. Pun ia tak ingin memaksa Hyunjin untuk melakukan hal-hal lain seperti blowjob atau handjob. Ia tak menyangka hari itu akan datang.
Hari dimana Hyunjin yang meminta kepada Changbin.
Hyunjin tersenyum tipis tanggapi yang lebih tua. Singgung lagi hidung mancungnya kepada milik Changbin yang sudah menggembung dibalik celana. Sengaja goda, biarkan Changbin lihat sisi Hyunjin yang ini.
“Cantik udah mulai berani ya.”
“Kata siapa aku gak berani, bin?” Timpal si rambut tanggung, “soalnya kamu terus yang mimpin permainan dan ujungnya aku udah kehabisan tenaga.”
Satu-satunya fabrik yang melekat untuk tutupi pinggang kebawah si pemuda jelaga, terjun bebas ke lantai marmer.
Changbin menggeram rendah ketika bibir tebal Hyunjin kecupi kepala penisnya. Cengkram erat sisian meja yang sialnya cuma hal itu yang bisa ia pegang guna salurkan nikmat yang tiada tara.
“Ah, ssh-” sebelum rasakan penisnya terasa hangat dikulum si cantik. Hyunjin lihai memainkan lidahnya di dalam sana diiringi kepala yang maju mundur untuk beri stimulasi.
Hyunjin benar-benar fokus merasakan penis berurat itu sapa lubang mulutnya. Memotret dan menancapkan di ingatan bagaimana rasanya seorang Seo Changbin.
Hitung-hitung membuat yang lebih tua frustasi hanya dengan mulutnya.
Terus saja begitu. Bahkan suara kecipak becek yang bercampur dengan suara Hyunjin sudah memenuhi sudut ruang dengan cahaya tipis tersebut.
maju-
mundur-
maju-
mundur-
Hingga Changbin dongakkan kepalanya merasa nyaris kehilangan akal akibat titik-titik saraf yang dimanjakan oleh Hyunjin.
Brengsek. Changbin rasanya ingin mengumpat ketika Hyunjin seketika lepaskan pangutan dan asik jilati kepala penisnya dari luar mulut. Sembari tatap Changbin yang berpeluh, Hyunjin tersenyum gembira disela aktivitasnya.
Kekasihnya itu tampak seperti pemain pro dalam hal ini, apakah dia menonton dahulu? Atau dia ingat bagaimana ketika Changbin melakukan hal itu kepadanya?
“Binal.”
“Binalnya Changbin, kan? Cuma punya Changbin. mhm“
“Iya.” Changbin selipkan jemarinya diantara rambut lembab si cantik, “Mine”
Kemudian penis itu kembali masuk ke liang yang lebih muda. Kini dengan jemari Changbin yang tarik rambut Hyunjin untuk mendorong batang itu dalam.
Hyunjin sesak, matanya bahkan berair akibat penuh mulutnya. Tapi rasa nikmat yang membuat tubuhnya meremang nyaris membuatnya hilang akal. Ditambah suara berat sang kekasih yang desahkan namanya terus menerus.
Hyunjin-
ah, ssh- sialan, cantik-
Hyunjin basah di bawah, tanpa sentuhan apa pun. Tubuhnya terhentak-hentak kedepan, cuma modal tangan yang pegang paha Changbin untuk tahan bobot tubuhnya. Enak, ini sangat enak.
Sebuah sensasi yang membuat nafsunya dibawa melambung tinggi hanya dengan membiarkan penis Changbin bersarang di mulutnya.
Tetesan liur dari bibir ranum tebal Hyunjin mengalir dari ujung bibir. Ia melenguh tertahan, suaranya tak dapat keluar, namun Changbin semakin menggeram rendah dan mulai lepaskan rambut Hyunjin.
Kini yang lebih muda gerakkan kepalanya lagi, sisakan seperempat batang berurat itu untuk dijilat lihai menggunakan lidahnya. Lagi-lagi mata yang penuh konstelasi bintang itu tatap netra tajam Changbin.
“Hyunjin-” geram Changbin frustasi, “keluarin.”
Hyunjin menurut, menjauh dari penis Changbin hingga tercipta jembatan liur yang masih menempel. Buru-buru yang lebih tua ingin ambil tisu, tapi Hyunjin menahan pergerakan kekasihnya.
“Cantik?”
“Keluar di sini.” Hyunjin menunjuk wajahnya sendiri. Sialan! Hyunjin benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya, terlihat dari senyuman centil lelaki itu. Changbin ragu, namun Hyunjin seenak jidat gapai lagi penisnya yang akan memuntahkan sperma dan mengurutnya dengan cepat.
“Sialan, Hyunjin, shh-”
“Mhm, Seo Changbin-”
Brengsek, binal sialan. Mendesah padahal tidak disentuh. Betapa inginnya Changbin merobek si cantik kemudian menodainya hingga lelaki itu merengek ampun. Skenario kotor malah bermain di otak si lelaki jelaga.
Tiba disaat Hyunjin berhenti menggerakkan telapak tangannya dan penis Changbin mengeluarkan cairan putih di wajah Hyunjin. Sang kekasih tak merasa jijik atau apa pun, malah juluri lidahnya keluar seperti ditetesi air hujan.
Gila. Changbin tak berhenti mengatakan gila dan takjub terhadap kekasihnya yang tampak seperti seorang bintang porno yang pernah Changbin tonton. Wajah yang berhiaskan cairan kental kepemilikannya seperti mampu menaikkan libido seorang Changbin.
“Masih cantik?” Tanya Hyunjin, akhiri sesi mereka dengan kecupan (sekali lagi) di kepala penis Changbin.
“Makin-makin cantik kalau tanpa pakaian terus desahin namaku dengan kuat.”
“Ih, ngomongnya!” Goda Hyunjin.
“Kamu gak akan lolos malam ini, cantik. Ayo mandi.” Seringai yang lebih tua, tanpa basa-basi bawa kekasihnya dalam gendongan kemudian melangkah cepat ke kamar mandi.
“Abin! Turunin Hyunjin!”
Pintu kaca tersebut tertutup, kemudian terdengar suara teriakan centil dari Hyunjin diikuti suara air dari shower.
Makan malam? Bukan, Changbin lebih memilih makan Hyunjin. Lebih nikmat, hahaha.
– end
Seungjin area. Seungmin! dom/top, Hyunjin! Bot/sub, indonesian dirty talk, harsh words, 18+
Banyak orang yang mengatakan bahwa lelaki pendiam menyimpan sejuta kejutan dibaliknya.
Hyunjin skeptis saat mendengarnya dari mulut banyak orang. Namun itu dulu, sebelum sosok lelaki kutu buku berkacamata lemparkan senyum padanya.
Senyum yang masih sama manisnya ketika saat mereka berjumpa di perpustakaan kala itu. Sentuhan yang tak luput dari ingatan disaat mereka pertama kali bercumbu, di perpustakaan juga.
Sepertinya perpustakaan merupakan tempat yang sakral untuk keduanya. Hyunjin mendadak terkekeh geli mengingat hal itu.
“Apa yang kamu ketawain?” Si pemuda virgo tatap dengan sorot bertanya kepada pemuda pirang yang tengah berbaring di pahanya dengan nyaman.
“Em-” Hyunjin meraba dagu Seungmin, “cuma tiba-tiba keinget waktu kita ketemu, di perpustakaan.”
Hyunjin seperti dihipnotis hanya karena perawakan lelaki yang lebih muda beberapa bulan darinya. Tawa Seungmin yang mempertunjukkan rentetan gigi yang rapi.. entahlah, Hyunjin sukaㅡ
Kakinya spontan menyilang saat Seungmin mengusap pipinya lembut, persinggungan kulit yang selalu sukses membuat pipinya panas.
“Tempat pertama kali kita ciuman juga kan, dan er- our first public sex?“
“Sialan.” Hyunjin malu hingga sembunyikan wajahnya di perut Seungmin yang jaraknya cuma beberapa senti.
Seungmin tentu saja menikmati wajah malu Hyunjin. Warna yang memerah dari pipi hingga telinga, ditambah lelaki itu akan merengek seperti anak kecil dan mendadak manja kepadanya.
Yang mana akan Seungmin terima dengan senang hati.
“Kamu itu tampangnya menipu. Bangsat, Kim Seungmin, kamu pakai pelet apa sampai aku gabisa lepas dari kamu?”
“Ngaco. Kamu yang tiba-tiba samperin aku ke rak buku,” tukas si pemilik marga Kim. “Aku tau kalau kamu sengaja jatuhin buku di dekatku, 'kan? Hahaha.”
Dengusan sebal yang tentu saja main-main mengudara di kamar petak dengan hiasan minimalis warna abu. Hyunjin, lagi-lagi kelakuannya di ekspos oleh si pemuda virgo. Dan ia harus menahan malu lagi karena Seungmin yang terlalu pintar membaca rencana Hyunjin.
“Gak heran kamu jadi dokter. Orang pinter gini,” cibir Hyunjin, “tapi aku masih gak nyangka kalau kamu punya sisi yang beda, Kim.”
Seungmin mendekatkan wajahnya ke Hyunjin, hingga Hyunjin harus menanggalkan kacamata yang bertengger pada tulang hidung mancungnya. Sangat dekat hingga hangatnya udara terpa kulit wajah si rambut panjang.
“Misalnya? Mind to tell me.“
“Beda, maksudku dalam artian, ya beda. Aku gak percaya kamu akan semenarik itu.”
“Dalam hal ranjang ya? Hahaha.”
“iiih, Kim! Serius!”
Pipi Hyunjin kembali merah padam ketika Seungmin menyinggung topik itu. Kedua kakinya semakin mengetat karena merasa sesuatu yang aneh menjalar dari bawah sana hingga ke otak.
Ah, jangan-jangan dulu.
“Ehm, salah satunya. Tapi memang overall kamu menarik luar dalam.”
“Mirip testi sebuah produk.”
“Kalau gitu aku kasih kamu bintang lima.”
Keduanya terkekeh geli mendengar percakapan random yang mengisi malam ditemani rintik hujan. Seungmin kembali mengambil start untuk mengecup bibir, melumatnya pelan hingga merasakan sebuah telapak tangan hangat menggantung di lehernya.
Pangutan yang berlangsung beberapa detik, namun memiliki after effect yang kemungkinan akan berlangsung cukup lama. Seungmin berinisiatif untuk lepaskan penyatuan bibir mereka, namun Hyunjin menahan pergerakan leher Seungmin yang menjauh.
Tarik lagi dengan tergesa. Bak obat-obatan yang candu, Hyunjin tak ingin berhenti. Ditambah Seungmin yang mulai mengimbangi permainan Hyunjin yang cukup agresif.
Paha Hyunjin terbalut oleh hotpants menjadi sasaran utama tangan Seungmin, dengan tak tau malunya mengusap kulit tanpa noda hingga sentuh pangkal paha si pemuda pisces.
Hyunjin tersedak disela ciuman ketika merasakan hangat di pangkal pahanya, “ah- Kim,”
“Ya, Hwang?”
Hyunjin tampak frustasi, terlihat bagaimana ia mengigit bibir bawahnya sendiri kuat, “aku horny, tapi aku harus belajar setelah ini.”
“Penismu atau kanvas dan alat lukisku? Bantu aku memilih, emh-“
“Pertanyaan yang aneh, Hwang.” Alis Seungmin naik satu tanda bingung. Tak mampu membaca isi pikiran temannya itu, “tapi, bukan kah kamu harus menyelesaikan sebuah lukisan untuk pameran?”
“Sialan.”
“Kenapa kamu sangat hobi mengumpat, Hwang? Perlu kuapakan mulutmu itu.”
“Sumpal dengan penismu saja, Kim. Aku akan melukis malam ini, tiga hari lagi aku harus mengumpulkan tugasnya.” Tanpa babibu atau pun memusingkan tubuhnya yang sudah menegang akibat hormon, Hyunjin bangkit dari baringnya dan cekatan mengikat rambut menjadi setengah.
Seungmin memakai lagi kacamata yang menganggur di samping kasur, asik pandangi figur cantik temannya dari belakang. Apa-apaan memakai kemeja setipis kertas tanpa balutan kain lagi di dalamnya.
Sampai-sampai Seungmin mampu memotret sempurna lekuk tubuh seorang Hwang Hyunjin. Ia menjilat bibir, mendadak haus.
“Kamu yakin akan melukis malam ini, Hwang?”
Dibalas dengan anggukan, “yeah“
“Kamu yakin bakal fokus?”
Hyunjin bagai patung sekarang, ketika Seungmin lemparkan kalimat yang Hyunjin paham sekali artinya apa. Baru saja kakinya ingin melangkah, namun Hyunjin kembali merangkak ke atas kasur.
Seret lututnya pelan guna dekatkan diri kepada Seungmin, buka celana super pendek yang hanya balut seperempat dari kaki jenjang dan duduk di paha keras empunya, menyamankan diri.
“Persetan dengan tugas, persetan juga denganmu, Kim. Aku gak peduli kalau kamu harus mempelajari buku tebal mahal yang isinya anatomi manusia-”
Mata Hyunjin berkabut, tatap Seungmin memohon seperti sosok anak anjing yang haus akan belaian. Seungmin sukarela usap pinggang ramping Hyunjin dan beri senyuman yang selalu menjadi favorit Hyunjin.
“Katakan apa kemauanmu.”
“Gagahi.” Bisiknya tanpa keraguan, “gagahi aku, hingga kakiku terlalu lemah untuk sekedar berjalan. Sampai suaraku serak karena desahkan nama kamu. Sampai tubuhku penuh dengan tanda cintamu.”
“Wow, Hwang.” Balas Seungmin, hingga tak paham harus berbuat apa. Kacamatanya kembali dibuka, “agresif, sungguh agresif.”
“Aku juga tidak sabar ingin melukis di atas tubuhmu.”
Chan × Hyunjin [Chanjin]
Tags: NSFW, little bit BDSM (i'm quite new at this so please tell me if there's something wrong or something that i don't know), harsh words
“you know i can't leave you, right?”
Lengang tiba-tiba menampar Hyunjin dalam pejamnya. Sontak lelaki itu meraup nafas rakus seolah-olah indra penciumannya tak berfungsi sejak tadi. Padahal nyatanya Hyunjin cuma sempat tertidur, tungguㅡsudah berapa lama?
Ia sungguh pulas hingga kepalanya pusing bukan main. Jantungnya berdegup kencang hingga bisa didengar oleh telinga sendiri. Ia berusaha bergerak, namun baru sadar ruang geraknya dibatasi oleh sesuatu.
Ia kembali gerakkan anggota badan sekuat tenaga. Pelik, kenapa ia merasa tak mampu untuk sekedar tarik lengannya ke depan. Bodohnya Hyunjin belum juga sadar.
“Ada baiknya jangan terlalu banyak bergerak, Hyunjin.” Sayup-sayup suara menginterupsi usahanya, posturnya bersembunyi dibalik bayangan. Hyunjin tak bisa kenali dan mulai risau saat orang itu kembali kikis jarak di antara keduanya.
Secara jarak masih jauh, tapi Hyunjin merasa kalau dia mungkin bisa menghabisi Hyunjin kapan saja. Skenario terburuk sudah rasuki otak Hyunjin beberapa detik yang lalu.
Baru saja Hyunjin ingin layangkan protes, bak adegan di film-film, cahaya yang berasal dari beberapa titik lampu yang di pasang pada ruangan tersebut hidup. Tak terang, cenderung redup, namun cukup membantu netra Hyunjin untuk menangkap sosok yang berperawakan kekar di hadapannya sekarang.
Namun dibandingkan netranya yang menangkap sosok yang akrab di ingatan, Hyunjin merasa gaduh akibat rantai yang melilit di pergelangan tangan dan juga kakinya. Jadi ini yang membatasi pergerakannya tadi?
Ia menatap punggung lelaki itu setajam silet, tak gentar langsung layangkan protes yang sempat ia telan habis.
“Lepasin!”
Tawa kecil mengudara di ruangan berdominasi warna merah tersebut. Siapa lagi pelakunya kalau bukan seseorang yang berdiri tanpa atasan tengah bersandar di salah satu pilar ranjang. Tampak mengejek walau tampangnya tak terlihat.
Nada bicara yang sungguh menyebalkan, buat Hyunjin panas hati.
“Saya akan lepaskan kamu, kalau saya sudah mendapatkan beberapa informasi yang selama ini membuat saya penasaran.”
Caranya berbalik badan sungguh khas, seketika membuat mata Hyunjin bergetar. Cemas, kalut, ribut, kombinasi negatif yang berlari di otaknya timbul kala Chris mengunci Hyunjin lewat pupil mata.
Namun Hyunjin tak gegabah. Ia sadar yang dihadapinya adalah lawan yang kuat. Hahaha, lawan. Bagaimana bisa?
“Pak Chris, tolong lepaskan saya. Apa-apaan ini semua?” Cela Hyunjin, “dan, kenapa saya hanya mengenakan sebuah kemeja? Kemana busana saya yang lain?”
“Pak Chris, kamu sangat lucu, Hyunjin.” Tukas yang lebih tua, berjalan satu demi satu langkah guna dekati yang muda. Tibalah saat dimana Chris berdiri di samping Hyunjin cuma untuk memandang wajah jelita yang tengah menatapnya kebingungan.
“Kamu sangat handal dalam berakting, tidak heran sekolah seni memberikanmu predikat yang bagus sebagai siswa yang lulus dengan nilai memuaskan.”
“Tidak perlu basa-basi, pak Chris. Mungkin kita bisa bicarakan apa yang membuat anda khawatir.”
“Sudahlah, cantik.” Chris menghela napas. Yang mana hal itu malah kelihatan seperti orang congkak di mata Hyunjin, “tidak perlu basa-basi, tunjukkan kepribadian aslimu yang selama ini kamu sembunyikan.”
“Berpura-pura mengajar sebagai guru les privat anak saya? Darimana ide itu datang?”
Senyumnya terukir tipis, “Maksud anda? Saya hanya menjalankan tugas dengan baik untuk mencari uangㅡ”
“Dengan memata-matai saya? Wow, saya cukup kaget loh.”
Hening seketika. Kemudian Chris terkikik untuk yang kedua kali sebelum tuang anggur dari botol kaca yang sengaja ia letakkan di samping tempat tidur. Teguk habis untuk hilangkan dahaga, Chris menoleh lagi ke Hyunjin dengan alis mata naik satu, penuh tanda tanya.
Yang tengah terbaring, Hyunjin, malah terbitkan senyuman. Senyum menyebalkan seperti rubah licik yang berhasil mempermainkan orang lain. Ia mengangguk karena mengagumi firasat Chris yang cukup kuat mengenai dirinya.
“ups, aku ketahuan.”
“Kan, kamu sangat menggemaskan, Hyunjin.”
Aneh jika diperhatikan, keduanya malah tertawa, entah komedi apa yang tengah bermain di otak kompleks keduanya. Yang jelas setelah itu, Chris mengikis jarak kepada Hyunjin lantas singgung kulit jarinya untuk mengelus pipi kenyal yang lebih muda.
Sengaja goda Hyunjin agar lelaki cantik itu jatuh ke dalam pesonanya, walaupun Hyunjin tidak atau belum terbujuk rayu akan kenikmatan fana yang tengah bermain di hadapan.
“Apa yang mantan istriku perintahkan kepadamu?”
“Itu rahasia klien, kamu tidak berhak mengetahuinya,” bisik Hyunjin, “tanya sendiri kalau memang penasaran.”
“Saya sedang bertanya, sayang. Saya bertanya kepada kamu, karena kamu yang punya hubungan kepada dia sekarang.”
“Dia kekasihmu, bukan?”
“Kamu tau privasi?” Cetus si rambut tanggung, “tidak perlu ikut campur mengenai hubunganku.”
“Secara tidak langsung kamu mengakui. Orang mana yang tidur dengan kliennya sendiri, kemudian tidur dengan target yang diperintahkan kliennya.”
“am i wrong, Hyunjin?”
Hyunjin gagu seiring dengan darah yang naik ke otak, panas wajahnya diikuti tangan yang mengepal. Iya, hal itu memang terbukti, dan ia melakukan itu karena sang kekasih yang meminta.
Memintanya menjadi suruhan, secara tidak langsung menyuruhnya masuk ke dalam kandang singa. Sang raja hutan kini tengah mengepung mangsanya, sekali lagi Hyunjin sudah siap dengan skenario buruk yang akan terjadi.
“Sedang menyesali sesuatu yang telah terjadi? Lain kali kamu harus berhati-hati, anak manis.”
Lelaki itu mengusap rambut Hyunjin, menyelipkan helaian yang tutupi wajah jelitanya. Memandang kagum karya tuhan yang tengah terbaring pasrah ditutupi sehelai kain tak berguna.
“Hyunjin, you know i can't leave you, right?“
Nada suara yang terselimuti oleh nafas berat memenuhi gendang telinga Hyunjin di ruangan yang nyaris sepi. Saat mendapati Chris yang mengukungnya, Hyunjin mendadak lalai. Saat mata itu kembali membidik kelerengnya, Hyunjin tanpa sadar turuti gerak jemari Chris yang menyuruhnya membuka belah bibir.
Hyunjinㅡagaknya kembali jatuh kepada lelaki itu.
“Good boy.”
Rungunya tergelitik akibat kalimat yang diucapkan. Namun sialnya efek kalimat yang Chris lontarkan mampu memporak porandakan Hyunjin.
Seperti mantra yang membuat Hyunjin tunduk, layaknya anak anjing yang dilatih oleh majikannya.
Kendati demikian, Chris tak berhenti untuk lebih membuat Hyunjin hilang kewarasan. Daging tak bertulang itu lantas menyapa belah bibir yang terbuka, sembari seret lengan untuk meraba bagian pangkal paha yang terekspos jelas.
Chris lapar akan santapan yang tersaji di hadapannya. Melengkung nikmat sembari terlilit pasrah saat sebuah noktah dikulum hingga menciptakan jembatan saliva, kemudian dikulum lagi hingga yang lebih muda terpaksa gigit bibir bawah hingga memerah.
Chris kembali menunjukan interes saat melihat Hyunjin dengan binalnya berupaya untuk menutup kedua kaki ketika jari-jari licin mengoyak-ngoyak analnya dibawah sana. Heran, dia tak ingin mengeluarkan lenguhan sedikit pun.
“Mendesah saja kalau memang ingin, jangan menyiksa dirimu sendiri, cantik.”
“Diam, brengsek sialan.” Cetus si rambut pirang, “kenapa tak menghukumku dengan hal lain? Gila, kamu gila Chris.”
Cuma-cuma saja Hyunjin. Memang itu niat tersirat Chris, “Saya ingin membuat kamu merasakan kenikmatan,” jemarinya cubit tonjolan di dada Hyunjin hingga yang lebih muda berhasil loloskan sebuah desah, “dan juga sebuah rasa sakit. Bukan kah kamu menyukainya?”
“Kamu suka disakiti kan, Hyunjin?”
“you love the pain, you love the way i fuck you roughly until your body is trembling”
“You still remember the safe words, right?” nafas Hyunjin terasa berat setelah merasakan vibrasi aneh yang mengalir dari dalam tubuhnya, detik berikutnya Chris menyingkir setelah kecup tulang hidung Hyunjin.
Lelaki itu berjalan ke sebuah laci. Gelagatnya membuat Hyunjin curiga langsung, bersamaan dengan perasaan resah danㅡentahlah, semangat? Sialan, Hyunjin mengumpat tak berhenti.
“Jangan terlalu berisik, Hyunjin. Kamu paham kan kalau saya mudah terusik dengan suara?”
“Ide siapa yang menyarankan untuk menggunakan rantai?”
“Tampaknya kamu sangat bersemangat, sayang.” Chris berbalik dan membawa beberapa alat yang entah Hyunjin tak ketahui namanya.
Bangsat.
Jantung Hyunjin terlalu kencang hingga rasanya akan tanggal dari tempatnya. Chris tak peduli akan wajah panik Hyunjin, sibuk lepaskan kait rantai dan menyatukannya. Kedua lengan kencang sang submisif kini berada di hadapan, Chris menarik rantai tersebut hingga Hyunjin terduduk. Cukup kasar hingga sang submisif terperanjat kaget.
“Ahg-”
“am i hurt you?”
Hyunjin alihkan pandangan, tidak sudi menatap yang lebih tua. Tapi dagunya dituntun pelan untuk kembali menatap Chris. Sebuah ciuman tipis menyapa tulang rahang Hyunjin.
Lembut, namun penuh penegasan, Chris membuat Hyunjin memunggunginya, sengaja loloskan kemeja yang bertengger di pundak lantas kecupi bahu halus Hyunjin.
Chris memiliki kriteria dan aturan sendiri dalam bermain. Yang pertama adalah, “rambutmu sangat indah.” Helaian demi helaian dikumpulkan menjadi satu untuk diikat. Karet rambut berwarna hitam sengaja Chris beli untuk Hyunjin yang selama ini disimpan di sebuah laci khusus. Hitam, warna yang Chris suka, juga merupakan tanda kepemilikan.
Kedua, “penutup mata, lagi?”
Akhirnya pun Hyunjin tidak menolak saat netranya ditutup oleh kain. Rantai di kedua pergelangan tangannya dilepas, namun diganti oleh sesuatu yang lebih lembut.
“Handcuff?”
“Hm, sepertinya kamu sangat hapal.” Bisik yang lebih tua, “prepare”
“Emh-”
Punggungnya menghangat akibat menempel pada sebuah kulit. Kaget disaat lehernya dicengkram hingga mendongak. Mulutnya terbuka sedikit, melenguh tipis-tipis tepat disamping Chris. Lagi-lagi ia diberikan stimulasi, seperti jalan yang tak berujung, Chris membuatnya frustasi dibalik gelapnya blindfold.
Chris tak bersuara hingga membuat Hyunjin memikirkan hal yang kemungkinan sedang terjadi, namun secara tiba-tiba putingnya dijepitㅡbiarkan Hyunjin coba deskripsikan,
Aneh rasanya, ada rantai kecil?
“Chris, ahng!”
“Safe words?”
Peluh mulai menetes dari ujung pelipis Hyunjin. Teguk ludah kasar, “go on..” lirihnya.
Izin mengudara, Chris kembali menjepit puting sebelah kiri Hyunjin hingga lagi-lagi Hyunjin memekik disaat lehernya tersangga oleh telapak tangan Chris.
“Anh, ini ngiluㅡsialan.”
“Cukup umpatannya. Now, ass up. atau perlu saya yang lakukan?”
“Do it for me,” ia kulum bibirnya sendiri, “master”
Chris tersenyum senang, kemudian memposisikan Hyunjin lebih rendah dari pinggang. Entah apa yang membuat Hyunjin menurutinya sekarang, yang jelas keberuntungan tengah memihaknya.
Andai saja Hyunjin melakukannya sedari tadi, maka segalanya akan lebih mudah.
Lain di Chris, lain di Hyunjin. Ia sengaja mengikuti permainan yang Chris inginkan. Untuk melihat sejauh apa yang akan dilakukan lelaki itu atau memang murni untuk manjakan nafsuㅡkarena sumpah, demi apa pun Hyunjin ingin dimadu kasih dari ujung kepala hingga kaki.
Lagi, lagi, dan lagi Hyunjin mengumpat dalam sanubari, akibat ketidaksanggupan dirinya untuk menolak pria yang tengah menghukumnya sekarang. Seorang dominan yang selalu sukses membuatnya bertekuk lutut seperti kacung.
Sebuah paddle whip digenggam oleh tangan. Chris melirik benda panjang yang lebih mirip seperti kipas tangan dalam bentuk yang lebih kecil dan tentunya lebih keras. Tarik senyum di ujung dan biarkan Hyunjin merasakan dinginnya permukaan benda tersebut berjalan di atas kulitnya.
Sang dominan seret benda itu dari bahu, seret lagi hingga melewati garis punggung yang lebih muda, untuk kemudian berakhir di kedua bongkahan sintal yang masih tampak bersih.
“Count”
Tarik napas dalam, “ehm, yes, master.”
“Ah, sebentar. Sebelum itu, kamu mungkin butuh ini.”
Vibrator
Bukan, bukan masalah alatnya. Namun penempatan benda ituㅡChris mengikat benda itu di penis Hyunjin dengan sebuah tali pita. Vibrasi yang dihasilkan benda itu sontak membuat Hyunjin mengerutkan badan.
“Saya tidak menyuruh kamu untuk menurunkan pinggang.”
“Chris, aku- ngh”
“Safe words?”
Bodohnya Hyunjin disaat ia paham sekali kalau memiliki tubuh yang sensitif dan merasa tak mungkin bisa menahan getaran yang mampu membuat akal sehatnya hilang, Hyunjin tetap mengizinkan benda itu menempel pada dirinya.
“go on”
Manusia pada dasarnya menyukai tantangan dan Hyunjin merasa di tantang. Rasa ngilu yang bercampur dengan kenikmatan, sebuah kombinasi yang membuat perutnya geli.
Geli hingga penisnya menegang sempurna karena vibrator brengsek.
“A- ah-”
Plak!
“i said, count, Hyunjin. Don't you listen to your master?”
Garis halus mulai terbentuk di dahinya, “one”
Pukul lagi
“t- two, emh-”
Lagi
“please, three-”
Dan lagi, bak tiada ujung
“Four..”
Hyunjin mulai menitikkan air mata dibalik penutup mata. Getaran vibrator membuat kakinya ikut gemetar. Jengkel hatinya tanpa sebab, padahal semua terjadi akibat persetujuannya juga. Pukulan dilayangkan lagi, Hyunjin kembali menghitung dalam lirih ujung lidahnya.
“ah, angh-”
“Can't you just fuck me already?”
“No,” tolak yang lebih tua, “saya tidak berniat untuk sentuh tubuh kamu malam ini.”
“Chris!”
“Count, Hyunjin.”
“Ah, ahn!”
Tanpa aba-aba Chris pukul lagi pipi pantatnya dan Hyunjin tak sempat lagi untuk menghitung. Tanpa jeda, Chris sangat ganas memukulnya, Hyunjin tak bisa fokus antara ingin menangis disaat putihnya sudah diujung atau minta dipukul lebih lanjut.
“Chris, red!“
Spontan pukulan berhenti, detik berikutnya tubuh Hyunjin bergetar akibat putihnya sampai, hingga ia tumbang ke tumpukan selimut disampingnya. Chris gapai langsung remot kontrol tak jauh dari tempat ia berdiri dan mematikan benda itu segera, kemudian dilepas dari Hyunjin.
Ia memandang Hyunjin yang tubuhnya dipenuhi peluh, kedua puting yang memerah akibat dijepit juga bergesekan dengan seprei ranjang. Desah tipis-tipis sisa pelepasan dan kaki yang menyilang guna tutupi kemaluannya.
“Hah.. hah..”
Penutup mata dibuka setelah Chris menganggap semua cukup. Keindahan nyata tengah tersaji di hadapannya saat pipi Hyunjin memerah dan matanya berair akibat menangis. Raga Hyunjin yang terpahat indah tanpa sehelai benang dikecup lembut oleh sang dominan, berusaha menyalurkan rasa sayangnya kepada sang submisif. Dahi, mata, hidung, bibir, pipi, hingga bahu, dada, perut kencang, sampai pada kedua pipi pantat Hyunjin. Terakhir kali Chris mengecup punggung tangan si jelita.
Ekspresi Hyunjin tak berarti, ia hanya memejamkan mata karena tenaga yang terkuras habis. Memilih untuk abaikan tindakan afeksi yang dilakukan oleh Chris.
Setelah melepaskan ikat rambut Hyunjin, Chris melilit si cantik menggunakan sebuah kain kemudian membawanya keluar dari kamar bermain.
“Tolong jangan melakukan sesuatu yang memancing emosiku.”
“Hyunjin, perasaan saya lebih dari sebatas suka.”
Hyunjin terbangun dari lelapnya. Kali ini bangun tanpa rantai yang melilit dan sudah mengenakan celana pendek dan kaus nyaman yang Chris berikan padanya.
Lelapnya tadi akibat tindakan Chris. Memberinya after care setelah permainan yang cukup membuat kulit Hyunjin ngilu. Ia berjinjit keluar dari kamar sambil membawa selimut.
Di ruang tamu, ia menangkap figur Chris yang masih terjaga. Menatap cerahnya layar laptop dengan fokus, tak menyadari eksistensi Hyunjin yang berdiri tak jauh darinya.
Namun yang lebih muda inisiatif mendekatkan diri.
“Masih kerja?”
Chris lirik sosok yang lebih tinggi, “Iya, kenapa kamu bangun?”
“Hanya haus tadi.” Balas Hyunjin.
“Masih.. sakit?”
Hyunjin menepis, “tidak, er-mungkin sedikit.”
Chris mengangguk paham, kemudian menepuk sisi kosong disampingnya. Mentitahkan Hyunjin untuk duduk. Si cantik turuti kemauan Chris, menatap bertanya-tanya.
“Saya sengaja titipkan Danny ke pamannya, saya ingin meminta waktu berdua dengan kamu.”
“Untuk? Aku pikir kelakuanku sudah melewati batas. Seharusnya kamu memecatku sekarang juga.”
“Saya butuh kamu, Hyunjin.” Ucap Chris tanpa ragu. “Saya mau kamu.”
“Chris, hentikan. Itu cuma akan bunuh kamu perlahan.” Balasnya, “membunuh kita berdua. Aku punya kekasih, kamu gak akan dapat cinta dari aku karena aku gak bisa beri itu. Sebatas hubungan badan? Aku yang sakit nanti dan aku menyakiti kekasihku.”
“Kamu tau alasan saya bercerai dengan dia? Karena kami berdua memiliki perbedaan yang cukup kentara.” Lanjut Chris, “namun saya menemukan kecocokan di kamu.”
“Apakah yang dia lakukan kepada kamu adalah hal baik? Saya harap kamu bisa berpikir dengan logis.”
“Saya bisa buat kamu jatuh cinta kepada saya.”
Hyunjin gusar dan tak paham mau lelaki ini apa. Intuisinya mengatakan untuk terima, namun Hyunjin dibuat berpikir kritis sekali lagi agar tak salah mengambil keputusan.
Bukan kah Hyunjin akan terlihat seperti seorang bajingan? Namun bukan kah bercinta dengan Chris sudah membuatnya menjadi bajingan?
Ia bingung, kenapa dirinya harus dihadapkan kepada sesuatu yang memaksanya untuk memilih. Tak ingin menatap Chris, Hyunjin alihkan pandangan. Juga demi meredai kegugupan.
“Aku..”
-End
Kim Seungmin × Hwang Hyunjin [Seungjin]
Tags: Top/dom! Seung, Bot/sub Hyun! [Warning] Mention of cheating
Tiada satu pun yang mampu membuat seorang Kim Seungmin tersenyum sebegitu lebarnya. Hingga deretan gigi rapi itu kering akibat bersinggungan dengan pendingin ruangan. Juga mata membentuk garis disebabkan tulang pipi yang ikut naik.
Sang netra menatap objek yang tengah menari dibawah lampu sorot panggung. Tubuh kurus yang bergerak elok diiringi lagu, ahㅡ definisi keindahan fana tengah menghipnotis fokusnya sekarang.
“Demi tuhan, kamu sangat indah.”
Kalimat itu bagaikan mantra yang semakin membuat Seungmin jatuh lebih dalam. Termakan oleh omongan atau memang dia yang tercipta indah dari awalnya. Yang jelas Seungmin tegaskan kalau lelaki yang tengah menari dibawah lampu sorot itu sangat jelita.
Hwang Hyunjin yang selalu dijuluki angsa putih dari danau permata memang selalu sukses membuat Seungmin makin melantangkan perasaannya walau dalam kalbu.
Ia melirik ke lelaki yang berjarak dua kursi darinya saat Hyunjin telah selesai menari, sosok yang membuatnya seketika dongkol meski senyum lelaki itu terpatri tampan sebagai bentuk dukungan kepada Hyunjin.
Seungmin menghela napas kemudian.
Seungmin terdiam dari jarak sepuluh kaki karena melihat sesuatu yang sudah biasa di hadapannya. Ia bersikap defensif, memilih untuk alihkan pandangan ke beberapa penari yang lalu lalang menyapa orang terdekat mereka.
“Seungmin!”
Dang! Baru saja beberapa detik Seungmin menghitungi sampah konfetti, lengkingan suara yang akrab ditelinga membuyarkan lamunan.
Spontan senyumnya tercipta dengan jelas ketika langkah kaki itu kian mengikis jarak. Hyunjin dengan kulit yang memantulkan cahaya panggung akibat peluh malah membuat Seungmin semakin mengagumi keindahannya.
“Hei, selamat ya.” Kata pemuda itu, sembari berikan sebuket bunga putih yang dibalut kertas berwarna biru muda.
Hyunjin memang payah dalam menyembunyikan sesuatu, termasuk rasa senangnya yang bukan main ketika Seungmin memberinya sebuket bunga baby's breath. Ia berhambur memeluk Seungmin dengan erat. Tak peduli kepada sang kekasih yang tampak ogah-ogahan akan pemandangan di depannya. Seungmin tebak senyum yang dilemparkan lelaki itu cuma formalitas.
“Seungmin yang terbaik!” Cicit Hyunjin, “gimana penampilanku tadi? Aku latihan sangat keras lho. Lututku sampai cedera.”
“Hyunjin gak pernah membuatku kecewa. Kamu selalu jadi yang terbaik,” tutur Seungmin sebagai tanggapan, “Aku bangga padamu.”
Oh iya, lupa. Hyunjin juga merupakan orang yang sangat emosional sehingga Seungmin harus mencubit main-main pipi Hyunjin yang nyaris hilang. Seungmin sering memberikan pujian kepada sahabatnya itu agar Hyunjin sadar betapa bertalentanya dia.
“Makan yang banyak.”
“Aku gak boleh gemuk, Seungmin. Nanti susah gerak.”
“alright, makanlah ketika lapar ya? Sedikit aja.”
Hyunjin mengangguk bagaikan anak kecil, “mau langsung pulang? Jangan terlalu memaksakan diri, Seungmin. Nanti kamu sakit.”
“Gapapa, buktinya aku masih hidup. Kamu mau langsung pulang?”
Senyum canggung Hyunjin langsung ditangkap sempurna oleh Seungmin. Si manis melihat kebelakang dan melambaikan tangan kepada sang kekasih yang masih setia menunggunya tepat beberapa senti dari keduanya berdiri. Seungmin menduga kalau sesuatu sedang tidak baik-baik saja.
Euforia hangat tadi berubah drastis.
“Iya, aku pulang dengan pacarku.” Balasnya, “Seungmin langsung pulang, ya? Jangan kemana-mana. Kabari aku kalau sudah sampai di rumah.”
Seungmin mengangguk pelan. Merasa tak rela saat melihat Hyunjin yang makin berjalan menjauh. Fokusnya tepat kepada lengan kekar yang menggantung di pinggang kecil Hyunjin.
Seungmin tak rela, namun ia bisa apa.
Banyak cara yang biasa Seungmin lakukan jika ia sedang suntuk. Ia memang tipikal yang lebih mementingkan rasa bodo amat, namun hal itu tidak berlaku ketika bersangkutan dengan Hyunjin.
Katakanlah Seungmin dimabuk cinta, tapi memang dari awal dia sudah memendam rasa kepada lelaki manis tersebut. Kalau saja Hyunjin mengerti, kalau saja Hyunjin tidak berpaling, kalau saja Hyunjin tidak menolaknya.
Seungmin sudah menduduki ruang di hati Hyunjin sekarang. Namun apa mau dikata, Hyunjin tak ingin lebih dari sekedar teman. Ia tak ingin kehilangan Seungmin seutuhnya kelak hanya karena cinta yang penuh lika liku.
Sebuah alasan yang tak masuk akal menurut Seungmin. Cinta akan tetap berjalan sebagaimana mestinya kalau tidak diusik oleh ego dan Seungmin bisa kendalikan egonya hanya demi Hyunjin.
Umpatan demi umpatan terucap dalam hatinya seiring dengan kombinasi alunan nada yang diciptakan oleh gitar kian membesar. Seungmin memejamkan mata sembari menikmati suara-suara yang ditimbulkan hingga tanpa sadar ponselnya berdering.
Lewat hingga beberapa menit sejak panggilan ketiga masuk ke ponselnya, Seungmin berhenti cuma untuk sekedar menarik napas. Ia melirik tak sengaja kepada ponsel yang layarnya hidup.
Love: 3 missed calls
“Hyunjin?”
Panik bukan main ketika Seungmin baru sadar bahwa yang menghubunginya adalah Hyunjin. Dan kini otaknya tak luput dari rasa khawatir.
Jari mengetuk tak sabar, secepatnya ingin mendengar suara si manis. Bibir dalamnya digigit kuat sampai pada akhirnya panggilan tersambung.
Hyunjin berusaha menahan isak tangis diseberang sana walaupun Seungmin paham betul kalau Hyunjin bisa runtuh kapan saja. Kakinya bergerak mengambil kunci motor dan langsung pergi meninggalkan rumah.
Hidupnya bukan setahun dua tahun bersama Hyunjin. Seungmin mengenal Hyunjin sudah hampir dua puluh tahun lamanya. Setidaknya Seungmin sangat bersyukur dipertemukan dengan Hyunjin sejak mereka lahir hingga sebesar ini dengan keduanya masih berkomunikasi dengan baik.
Suara parau Hyunjin membuat Seungmin ngilu. Bak teriris oleh pisau kemudian ditetesi cairan asam, pedihnya tak dapat Seungmin sembunyikan. Tiap kalimat yang keluar dari kerongkongan Hyunjin membuatnya semakin menaruh dendam.
Dendam, sedalam palung gelap dibawah air laut.
“Tinggalkan dia, Hyunjin.”
“Engga, Seungminㅡ”
“Mau sampai kapan?” Potong si lelaki bermarga Kim, “mau sampai kapan hati kamu dikorbanin begitu? Jangan terlalu baik kepada orang sebrengsek dia.”
“Seungmin, dia mungkin cuma mau yang terbaik buat aku.” Hyunjin menggeleng pelan, “aku cuma butuh diyakini, iya kan?”
“Gak.” Tolak Seungmin dengan tegas. “Kamu ragu, Hyunjin. Kamu tau faktanya, tapi kamu menolak untuk percaya. Memang doyan ya nyakitin diri sendiri.”
Seungmin resah akan keadaan, namun Hyunjin tak kunjung sadar membuatnya marah. Hyunjin, kenapa sulit sekali menyadarkan bahwa dia sangatlah berharga dibanding berandal brengsek yang berstatus sebagai kekasihnya.
Jalan bersama orang lain hingga beberapa kali Seungmin memergoki. Hyunjin tau, namun dia tetap bertahan. Entah apa alasan yang membuat Hyunjin menambatkan hatinya ke pohon beracun yang mampu membuat dirinya mati perlahan.
“Aku gak bisa, Seungmin. Aku cinta sama diaㅡ”
“Fine, terserah. Aku bukan orang yang menormalisasi perselingkuhan dan sikap yang terlalu mengengkang. Aku ingin kamu mengesampingkan rasa cintamu, Hyunjin.”
Seungmin beralih guna menatap mata berkaca-kaca Hyunjin, “menurut kamu dengan melarang makan malam walaupun sedikit adalah bentuk cinta? Bukan, Hyunjin!”
“Melarang untuk pakai pakaian ini dan itu adalah bentuk cinta? Bukan!”
“Selalu merasa tarian kamu kurang terus, itu bentuk cinta juga? Aku harap kamu punya jawaban.'
“Melarang kamu untuk bertemu denganku sementara dia bebas pergi dengan orang lain. Apa poin yang kamu dapat?”
“Aku mohon, Hyunjin.” Ia tak sanggup untuk menjelaskan apa pun, “jangan mau dibodohi.”
Sunyi mendadak.
Hanya ada deru napas Seungmin yang menjadi penenang Hyunjin saat itu. Ia mengusap rambut Seungmin yang memendek, pikirannya kosong.
Tidak sepenuhnya kosong sebenarnya, ia hanya bingung ingin membalas apa. Setelah apa yang dilontarkan oleh Seungmin, Hyunjin seperti ditampar keras oleh kenyataan yang ada.
Tapi tetapㅡ “Seungmin, kalau begitu kamu sama jahatnya dengan dia. Kamu ingin aku kan?”
Si rambut jelaga menjauhkan diri dari Hyunjin, perlahan tatap mata sang angsa putih dari danau permata. Memang jelita sekali, lagi-lagi Seungmin terjatuh, berbanding terbalik dengan hasrat untuk memiliki yang semakin menggebu-gebu.
“I really want you, Hwang.” Tutur Kim Seungmin, “keep it in your mind.”
“Mungkin aku terlihat seperti iblis yang menghasutmu, tak apa, anggaplah seperti itu. Aku mempunyai ambisi.” Lanjutnya, singgung kulit pipi Hyunjin dan mengusapnya dengan ibu jari hingga sang terkasih merasa terbuai oleh sentuhannya.
Hyunjin merasa jiwanya dikendalikan. Mendadak jatuh ke dalam pesona Seungmin tanpa ia sadariㅡdemi tuhan, dia kemana selama ini.
Bimbang.
Bimbang, ia terjebak di antara dua pilihan. Tatapnya bertemu kepada netra Seungmin, menarik rahang lelaki tersebut mendekat lantas mengecup bibirnya. Bibir kering yang tak memiliki rasa apa pun, namun memberinya sejuta kupu-kupu.
“Seungmin-”
“Please take me,” bisiknya tepat di rungu. Kecup lagi pelipis si pemuda virgo. Hyunjin membawa lengan Seungmin untuk diletakkan pada pinggangnya, sementara Hyunjin mengikis jarak dan duduk di pangkuan Seungmin.
“Take me to your heaven, Kim Seungmin.”
Seungmin terkekeh kecil kemudian menyeringai. “sure,” bisiknya, “with pleasure, Hwang Hyunjin.”
Dasar penggoda ulung. Patut dipertanyakan siapa kah iblis yang sebenarnya.
-End
Tags: NSFW
Singkat cerita setelah pulang syuting kemarin
Cut!
“Kerja bagus semuanya!”
Suara hembusan napas tanda lega mengudara di ruang kotak terbuka tersebut. Senyum tipis tercipta karena jadwal pekerjaan yang akhirnya menemui ujung, mereka saling bertepuk tangan guna mengapresiasi diri sendiri dan rekan mereka.
Begitu juga Chan, ia ikut menghela napas kemudian bersandar pada dinding jacuzzi dibelakangnya. Ia pejamkan mata, berusaha rileks.
tidak, dia tidak bisa rileks kalau tangan Hyunjin masih terus mengusap-usap paha dalamnya dari bawah air
“Hyunjin.. kita belum pulang.”
“Hoho, jadi gara-gara ini hyung tegang?”
“Tegang apanya, aku hanya merinding diusap begitu.”
“Merinding?” Hyunjin lebarkan senyum, “astaga, hyung! Kamu sangat sensitif, aku jadi bersemangat.”
“Omonganmu seperti psikopat yang mendapat mangsa, Hyunjin.” Chan menggapai tangan sang adik yang masih betah usap pahanya, kemudian dibawa melewati permukaan air untuk dikecup, “hangat. Kita sudah hampir satu jam berendam disini.”
“Aku merasa hangat bukan karena airnya, hyung.” Bisik Hyunjin dengan suara pelan, membuat Chan harus menajamkan pendengaran disela staff yang tengah membereskan properti.
“so?”
Yang muda malah makin kikis jarak diantara keduanya, hingga Chan merasakan kulit yang menempel pada bahan dasar celananya, apa lagi kalau bukan kaki Hyunjin yang cuma ditutupi celana super pendek.
Chan tak habis pikir kenapa adiknya yang satu ini sangat suka memakai celana yang mengekspos paha sekal nan mulusnya.
Ah, lupakan. Lagian Chan juga tidak perlu melarang Hyunjin memakai apa pun karena anak itu akan sukarela jika disuruh bertelanjang di hadapan Chan.
Kembali ke pikiran saat ini, tanpa disadari batang hidung Hyunjin sudah menempel di belakang telinga yang lebih tua. Apalagi mau anak ini?
“Aku ulangi, rasa hangatnya bukan dari air, hyung-”
“Tapi karena aku horny, tubuhku jadi hangat.”
Sialan, Chan memejamkan matanya erat. “Hyunjin, berhentilah menggodaku. Ini di tempat umum.”
Berada di dekat Hyunjin memang sangat menguji kesabarannya, diuji double jika mereka berada di tempat umum karena mulut kotor Hyunjin yang tak pernah gagal membuat pipinya panas.
“Ah, lihat couple sexy kita, baru pulang bulan madu. Enak gak?”
“Kami syuting, Changbin. Bukan bermain.”
Changbin toleh kepalanya kepada Chan yang tengah membopong Hyunjin di punggung. Masih setia angkat barbel bergantian di kedua tangan, satu alisnya naik curiga. “Bentar lagi juga main.”
“Main kulit.” Ceplos Minho dari dapur. Lagi-lagi Chan menghela napas karena wajahnya kembali memanas. Bukan, ini bukan masalah anak-anak yang memang sudah biasa mengejeknya, kenyataannya ejekan seperti itu makin membuat Chan tegang karena sudah cukup lama dia menahan hasrat untuk tidak menerjang Hyunjin sedari tadi.
Ketika melihat Felix yang berjalan kearah keduanya, Chan menitikkan air mata bahagia karena anaknya yang soft ini datang menyelamatkan dunia dengan senyumannya.
“Hyung, sudah pulang ternyata. Hyunjin tidur?”
“Iya, sepertinya dia kelelahan.”
“Lelah?” Felix melengok, namun mata Hyunjin malah terbuka dan mengode kepada Felix untuk diam saja. Si cantik yang paham keadaan pun cuma bisa lemparkan senyum.
Maksudnya senyum mencurigakan.
“Yasudah, Hyung. Aku sudah siapkan barang kalian di dalam, jangan lupa kunci pintu.”
“Baiknya adikku, terimakasih ya felix.” Senyum yang paling tua tanpa curiga sedikit pun, lantas berlalu masuk melewati pintu. Hyunjin menoleh sedikit dan mengedipkan sebelah matanya kepada Felix.
Makasih, Felbok! You are my partner in crime, love you!
Traktir gue bahan brownies besok!
amaaan~
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Chan ambil laptopnya dan mulai mengaransemen sesuatu dari benda persegi tersebut. Disampingnya Hyunjin masih terlelap, walau sebenarnya tidak terlelap. Lelaki cantik itu cuma akting.
Suara teriakan yang bersahut sudah menjadi hal lumrah di dorm mereka. Antara rebutan snack atau mereka tengah menonton film hantu disana.
Hyunjin tampak kebingungan akan pekerjaan yang tengah berlangsung. Tapi dibanding bingung akan pekerjaan yang membutuhkan kreativitas tinggi itu, saat ini Hyunjin bingung bagaimana merayu Chan.
Iya, merayu.
“Hyung.”
“Hm, minum?”
“Bukan.”
“Laper?”
Geleng lagi, “bukan.”
“Mimpi buruk?”
“Mau diusap.”
“Usap?” Ia bertanya-tanya, “sini hyung usap.” Telapak tangan yang lebih tua mendarat di surai lembut Hyunjin dan mulai bergerak pelan harap-harap Hyunjin merasa nyaman. Tapi yang lebih muda malah merengut dan rebut segera pergelangan Chan dari kepalanyaㅡ
Diarahakan ke bongkahan sintal yang tertutup (lagi-lagi) celana super pendek.
Hyunjin berusaha mengode kalau dia ingin itu, ah ia frustasi! Tapi Chan malah tersenyum lembut membuatnya merasa bersalah akan pikiran kotornya.
“Hyung~”
“Apa, sayang?”
Bibirnya makin mengerucut, “banyak kerjaan?”
“Tidak sih, hanya perlu melengkapi beberapa bagian. Kenapa?”
“Hyung sudah kunci pintu?”
“Sudah, ada ap-”
cup!
Tak perlu basa basi bagi Hyunjin untuk meraup delima menggoda yang jaraknya hanya beberapa senti.
Menempel selama beberapa detik, kemudian terlepas. Manik mereka bersitatap dalam tanpa sepatah kata yang terlempar dari bibir keduanya.
Hyunjin segera bangkit disaat Chan menarik pinggang rampingnya untuk duduk di paha kerasnya. Satukan lagi kedua belah bibir lebih intim dari sebelumnya, pola yang acak namun tetap beraturan, ciuman panas itu di dominasi oleh Chan sendiri.
Hyunjin memang pada dasarnya bukan seperti tipikal lelaki lain. Anak itu lebih kecil, hanya menang tinggi. Rasa menggebu-gebunya membuat Chan terkekeh geli disela pangutan yang berlangsung.
“Tampaknya kamu sangat bersemangat?”
“Hyung~ aku sudah bilang kalau aku memang bersemangat,” lengannya menggantung di bahu lebar Chan, “tebakanku benar kan? Jangan berpura-pura, hyung. Kamu itu lemah.”
“Hm, coba ulangi.” Bisik Chan.
“Kamu. Itu. Lemah.” Ledek si cantik dengan senyuman remeh.
“Hahaha.”
Tawa ringan menggema di ruangan mereka dan Hyunjin dengan segenap ego dan percaya diri tingkat tinggi makin melebarkan senyumnya. Tawa itu berhenti setelah sekian detik, Chan tersenyum lantas mengusap rambut Hyunjin yang makin memanjang.
“Berbalik, hyung mau mengikat rambutmu.”
Perintah mengudara, Hyunjin lakukan. Ia berbalik dan menyerahkan dua buah ikat rambut berwarna hitam untuk Chan ikat kan di rambutnya. Dengan penuh kehati-hatian mulai menyatukan rambut adiknya menjadi satu.
“Cantiknya,” pujian diterima Hyunjin tepat sebelum rambutnya ditarik ke belakang hingga lehernya terkespos dan menempel di punggung Chan, “cantik dari kepala hingga kaki, mulutnya juga cantik.” Diakhiri dengan kecupan di leher si cantik.
“Enh-”
“Ssstt, jangan bersuara, cantik. let's do this quietly“
“Hyung gila?” Hyunjin merengek disela bisiknya, “gimana? how– gabisa hyung-”
“Terserah.”
Chan melepas rambut Hyunjin dan menjauh darinya. Duduk rileks dengan tarikan satu bibir, meremehi. Merasa kosong, Hyunjin toleh kepalanya sembari gigit bibir.
Christopher sialan, umpatnya. Terlalu pintar untuk tarik ulur dan memimpin dalam sebuah permainan. Tapi hal itu makin membuat Hyunjin panas.
Rasanya ia ingin menungging di wajah tampan itu dan biarkan hidung bangir lelaki itu bergesekan dengan anal merah muda Hyunjin. Fuck, imajinasi kotor Hyunjin makin membuat dirinya pusing, padahal Chan masih setia duduk bersandar di dasbor ranjang.
Lutut Hyunjin seketika loyo, kemampuan untuk membalas perkataan Chan dengan sombong tak kuasa ia lakukan lagi kala netra itu menusuk matanya dengan sangat tajam.
Tanpa titah, tanpa permintaan, Hyunjin meremas kaosnya sendiri. Lantas perlahan membuka celana pendek beserta dalamannya. Dalaman hitam yang pernah Chan belikan untuknya itu terpampang jelas membuat yang lebih tua terkikik geli.
Binal sekali adik manisnya. Meloloskan kejantanan yang sudah menegang sebagai pertunjukkan, jemari lentik tersebut bukan hanya diam melainkan sibuk kumpulkan saliva dari mulut untuk memainkan barangnya disana. Mencari kenikmatan karena Chan masih betah untuk duduk tanpa sentuh kulit Hyunjin.
“Ah, ngh-”
“Sshh- ah!”
“No sound, Hyunjin.” peringat yang lebih tua. Hyunjin pejam dan buka matanya dengan masih terus mengocok kejantanannya yang masih menegang.
Hyunjin bergetar, namun Chan menikmati pemandangan itu. Hyunjin merengek, Chan terkekeh geli. Hyunjin sampai pada putihnya, Chan memuji takjub wajah sang adik yang bak seperti bintang film porno.
Cantik, cantiknya yang sangat kotor. Chan menarik rahangnya dan menjilat saliva yang turun di ujung bibir Hyunjin, kemudian mengecup bibir yang lebih muda. Jemari Hyunjin kotor akan cairannya sendiri, Chan arahkan jemari itu ke rongga mulut Hyunjin.
“Yes. Lick it, baby boy.”
Hyunjin pejamkan matanya untuk rasakan cairannya sendiri, selang beberapa detik jemari tersebut diganti oleh jemari yang lebih berisiㅡmilik lelaki yang lebih tua.
“Hyungㅡ”
“Sayang,” bisiknya, “kemana Hyunjin yang berisik tadi? Kemana semua omongan itu.”
“Hyung, berhentilah menggodaku.”
“Itu lah yang kamu lakukan setiap hari kepadaku, Hyunjin.” Chan masih bersitetap pada senyumannya sedari tadi. Anak rambut hyunjin yang lebih pendek tak terikat jatuh menutupi pandangan si manis, Chan kembali kecup dahi, pipi, hidung, kemudian kembali ke bibir.
Ia tarik Hyunjin mendekat dan dudukkan si manis kembali pada posisi awal. “Jangan bersuara,”
“Hyung~ aku gak bisa kalau gitu”
“Hm, harus bisa, Hyunjin. Atau kamu yang tidak bisa tidur nanti.”
Bibir bawahnya digigit kedalam, Hyunjin memposisikan penis yang lebih tua pada lubangnya. “Ssh-” kalau mereka di kamar hotel, Hyunjin akan bebas berteriak, menangis, meraung, mengumpatㅡkenapa mereka tidak memesan hotel sih.
Setengah, kemudian masuk sempurna. “Ah-” leganya, mata terbuka dan mendapati Chan yang senantiasa mengusap pipi merahnya, “gerak, hyung. Aku lelah.”
“Agh!”
“Ssstt”
“Sialan, rasanya ngh- seperti neraka, ahng-”
“Neraka kenikmatan, bukan?”
“Hyungㅡ ngh”
Kulit beradu kulit seharusnya cukup kuat hingga didengar ke ruang tengah, akibat pergerakan brutal yang dilakukan Chan. Hyunjin tak mendesah, sebagai gantinya ia mencengkram erat rambut belakang lelaki itu dan bernapas berat tepat di indra pendengaran Chan. Sungguh seksi bukan?
Bayangkan suara rengekan kecil penuh akan kenikmatan manjakan telinga Chan. Wah, penatnya langsung hilang seketika. Ditambah bongkahan pantat yang bersinggungan dengan kulitnya menciptakan suara penuh dosa, keduanya cuma bisa berharap tidak ada yang mendengar dari luar.
Jangan sampai, Hyunjin mati-matian tidak buat suara lho.
“Bangsat. Kenapa selalu gue yang ngedenger suara plok-ploknya.” Umpat si pemilik mata tajam, Changbin. Yang tak sengaja lewat saat ingin mengambil minuman dingin.
-end