Jari panjang lelaki itu telisik kalimat demi kalimat yang berada di dalam bukunya. Sibuk dengan dunianya sendiri dan abaikan orang kepercayaan yang senantiasa berdiri di sampingnya tanpa tau rasa letih.
Sesekali ia helakan napasnya. Merasa lelah saat melakukan hobi sangatlah berbeda dibanding merasakan lelah ketika melakukan sesuatu yang tidak disukai. Jarum panjang dari jam kuno hasil lelang di sudut perpustakaan menunjukkan pukul tiga sore. Ia baru sadar kalau kegilaannya dalam membaca buku semakin meningkat hingga tak sadar bahwa waktu berjalan makin cepat.
“Tuan Kim Seungmin, apakah anda butuh sesuatu?” Sela salah satu wanita dengan pakaian khususnya, sopan. Melihat Seungmin yang sepertinya ingin mengakhiri kegiatan rutinnya. Tapi Seungmin hanya beri tanda lewat gerak tangannya ㅡ aku bisa melakukannya sendiri, lantas berbicara lewat sorot mata.
Wanita tersebut merasa tak enak hati tatkala membiarkan Seungmin bergerak untuk meletakkan bukunya semula di rak kayu. Entah merasa takut karena dia dianggap tidak melayani tuannya dengan baik atau karena dia terbiasa melakukan hal apa pun untuk seungmin sedari lelaki itu lahir ke dunia. Mungkin keduanya.
Pergerakan mata Seungmin meminta kepada wanita itu untuk tidak berpikir aneh-aneh. Lagian hanya ada dua pengawal di dalam sini dan Seungmin tidak sebodoh itu untuk memerintahkan sesuatu seperti memecat sang maid. Ia bukan seperti ayahnya yang sedikit gila.
Dibanding memikirkan itu, Seungmin selalu takjub dengan buku-buku yang berjejeran di rak pribadinya. Rela habiskan uang dan menjadi pembelanja impulsif demi puluhan buku untuk dibaca.
Ia bawa jarinya telusur satu demi satu judul buku. Jantunganya memompa kian cepat seiring dengan matanya membaca kalimat yang terukir di badan buku. Kedua ujung bibirnya naik dengan sukacita. Tanpa sadar hanya dengan memandang hal ini ia menjadi senang.
Secinta itu Seungmin kepada buku. Ibaratkan sebuah hubungan, Seungmin akan menjadi lelaki yang posesif.
Belum puas Seungmin bermain angan dengan buku-bukunya. Pintu tinggi berpahat kayu yang tak jauh darinya terbukaㅡdengan sosok lelaki berpenampilan necis namun tidak norak berdiri gagah sambil pandang dirinya tepat di mata.
Tatapan yang mengandung unsur perintah walaupun tak satu kalimat yang meluncur dari lelaki tua tersebut. Seungmin jauhkan tubuhnya dari rak, sembunyikan kedua telapak tangan di masing sisi celananya.
“Ada yang bisa kubantu, ayah?” Sang anak bertanya. kalau tidak ada sesuatu yang penting, lebih baik kamu pergi dari sini, untungnya Seungmin masih punya sopan santun untuk tidak mengutarakan kalimat itu. Ia kubur kalimatnya di dalam otak.
Sementara yang lebih dewasa seolah-olah paham bahwa anak semata wayangnya sedang tidak ingin digangguㅡatau lebih tepatnya tidak suka akan kehadirannya disiniㅡ “Ada sesuatu yang ingin ayah bicarakan.”
Sebaiknya hal penting yang akan mereka bicarakan karena Seungmin bukan tipikal orang yang meladeni pembicaraan tidak berbobot.
“Tidak, terimakasih.”
Yang lebih tua lebarkan senyumnya sambil letakkan cangkir kecil berisi cairan hitam pekat yang sudah dingin. Melirik sang anak yang tolak mentah-mentah tawarannya. Lelaki itu dulu dan sampai sekarang tidak paham bagaimana jalan pikir anak semata wayangnya.
Dibalik wajah yang tenang bak air tak beriak, otak yang dimilikinya tidak sama dengan saudara-saudaranya yang lain. Lebih rumit, kompleks, tidak dapat ditebak, disempurnakan dengan sifat keras kepala. Fantastic!
Harusnya ia juga harus berkaca kepada dirinya sendiri perihal bagaimana sifatnya dulu sebelum berbincang mengenai anaknya yang baru saja menginjak delapan belas tahun. Seungmin dan ayahnya seperti pinang dibelah dua.
“Awalnya ayah melihat kamu tertarik, kenapa menolak?”
Tanpa tatap mata sang ayah, Seungmin menjawab, “Aku tidak berminat untuk melihatnya langsung. Buku sudah menjadi jendela dunia bagiku, itu sudah cukup.”
“Bukan kah lebih bagus kalau dirimu bisa melihat langsung? Maiko dan Geisha. Mereka sangat indah.” Lantun lelaki yang lebih tua, “Ayah hanya ingin dirimu menjelajah dan bukan melulu memandangi tinta hitam yang disulap menjadi kalimat. Walaupun hal tersebut mampu menambah wawasanmu, namun traveling mampu menambah pengalamanmu.”
Kopi ditenggak lagi, “Lagi pun sama-sama menggunakan mata untuk mengeksplor.”
“Juga ini adalah kemauan ibundamu.”
Dentingan yang bertabrakan dengan dinding cangkir seketika berhenti saat mendengar kata ibunda. Satu kata yang akan dan selamanya membuat hatinya spontan nyeri. Seungmin tertawa karena tiba-tiba perutnya seperti digelitiki. Ia tak paham apakah satu kata tersebut memiliki sihir yang membuatnya merasakan sesuatu hanya karena mendengarnya.
ㅡatau karena efek merindukan sosok wanita yang rela menampung Seungmin sebelum melihat dunia yang membuatnya sedikit hilang akal?
Sialnya sang ayah selalu pandai mengambil hatinya, juga tau kelemahan Seungmin. Kelemahan yang selalu Seungmin sembunyikan dan ikat erat-erat dalam diri malah digunakan lelaki itu sebagai senjata untuk menaklukan seungmin.
Manipulatif.
Kekehannya hilang ditelan angin. Seungmin menyesap tehnya. Air berwarna coklat bening yang biasanya terasa manis di lidah, entah kenapa menjadi hambar.
“Fine. Jadwalkan penerbangan.”
Seungmin sudah mengira kalau ia akan dibawa ke negeri yang terkenal akan pohon sakuranya. Walau ia kurang suka dengan dinginnya jepang, tempat ini tidak buruk juga, namun tidak lebih dibanding rumahnya sendiri. Mereka yang diajak pergi tampak sumringah, namun tidak dengan Seungmin.
Seungmin menyesal meskipun tak sepenuhnya-
Ah, bukan. Dibanding menyesal, ia hanya malas kalau saja bukan karena ibundanya yang mencintai sesuatu yang berbau jepang, Seungmin enggan menapak kaki disini.
Kenapa waktu berjalan begitu lama ketika Seungmin menginjakkan kaki di jepang. Melihat orang-orang yang sangat menjunjung tinggi individualisme setidaknya buat Seungmin sedikit lega. Eksistensinya disini tidak akan diperhatikan oleh masyarakat sekitar.
Warna cerah, pepohonan ridang, tempat ini sangat magis bagi Seungmin dan hal itu yang membuatnya sedikit tidak suka. kenangan akan ibundanya menghantui Seungmin terus, terlebih lagi Seungmin sepenuhnya sadar bahwa wanita cantik itu tidak akan berada di sisinya sampai kapan pun. Miris.
Suara berisik kicauan burung memekakkan telinga Seungmin, namun lebih baik dibanding kenyataan pahit hidupnya. Ia membungkuk tanda terimakasih setelah mobil yang menjemput mereka telah pergi. Kemudian ia berbalik. Mata menyipit akibat sinar matahari yang menusuk iris mata, ia halau sedikit dengan jemari tangan.
Seungmin merasa tak asing, “Ryokan.”
Semua barang yang ia butuhkan sudah di sediakan oleh nakai. Staf khusus yang mengatur segala hal di penginapan tradisional ini. Seungmin keheranan kenapa ayahnya mengajak untuk menetap di sebuah tempat tradisional dibanding hotel, tapi seungmin terlalu gengsi untuk bertanya.
Sebuah info yang telah sampai di telinganya adalah, mereka akan pergi ke Okiya malam ini juga. Sebagai bentuk janji sang ayah juga sekalian menghandiri undangan yang Seungmin sebenarnya tak mau dengar dan tau.
Lelaki dengan rambut coklat tuanya berdiri tanpa alas kaki, Menggeser shoji yang bersebrangan dengan taman bunga dan air mancur kecil sebagai penghiasnya. Dilengkapi ornamen khas jepang dan burung-burung yang sedari tadi enggan pergi, Seungmin asik bercengkrama dengan pikirannya sendiri.
Kejutan apalagi yang akan ia dapatkan.
Cahaya matahari ditelan gelapnya malam. Dasi yang ia atur sendiri bentuknya terasa mencekik leher, mau tak mau ia harus menahannya karena sebentar lagi acara inti akan segera dimulai.
“Tersenyumlah, Seungmin. Bahkan dewa yang berada di dalam ruangan ini tidak menyukai wajah masam milikmu.”
Bisikan itu sama sekali tak buat hati Seungmin terusik. Ia tetap bertahan pada wajah datarnya. Duduk diatas Zabuton dengan posisi tak nyamanㅡSeungmin hela napasnya gusar.
Berapa lama lagi?, batinnya tak berhenti menanyakan. Teh tawar yang kental akan sentuhan jepang pun ia minum, saat shoji terbuka, matanya yang semula terpejam pun terbuka.
Ia letakkan lagi cangkir kayu itu. Mata asik pandang dua orang yang masuk dengan penampilan yang terkesan unik. Baik dari segi riasan, tatanan rambut, atau pakaian. Tatapan Seungmin menancap sempurna kepada dua orang yang baru saja masuk.
Jadi seperti ini wujud Maiko dan Geisha, atau apa pun itu
Membungkuk bukan jadi hal tabu di negara ini maupun negara asalnya. Memberi salam merupakan suatu yang wajib dilakukan. Ia pun membungkuk sedikit guna menghormati para seniman tersebut, yang satu diantaranya memiliki senyuman manis walau dilapis bedak putih yang sangat tebal.
Sang penari mulai meliukkan tubuhnya. Sang penari yang entah mengapa berhasil buat Seungmin memusatkan pandangan ke arahnya. Sang penariㅡsialanㅡ yang mampu menundukkan Seungmin lewat sorot matanya.
Jujur sanubarinya membenci hal ini. Dimana ada seseorang yang membuatnya merasa dibawah. Seungmin tidak pantas, posisi mutlaknya adalah selalu berada di atas sesuatu. Namun penari ituㅡ
Siapa dia?
Shamisen sebagai pengiring tarian tak lama kemudian berhenti. Keduanya membungkuk seperti semula tanpa Seungmin sadari, acara sudah berakhir.
Jangan salahkan Seungmin kalau dia mengumpat dalam hati sekarang.
“Yang tadi adalah Maiko. Calon Geisha, sudah aku kira kamu akan menikmati penampilannya.”
Ah, masih sekelas Maiko rupanya ㅡ harusnya Seungmin bisa bedakan jika saja ia tak termakan rayuan obsidian si penari. Seungmin tau banyak hal dari buku yang pernah ia baca, namun otaknya mendadak hening seolah terhipnotis dengan elok tubuh yang mengandung arti sejarah yang kompleks.
Harusnya, Harusnya Seungmin fokus, bukan merenung seperti tadi.
Jantungnya berdegup tak karuan memikirkan hal tadi. Darahnya lari ke otak, turun ke kaki, hangat dan membuatnya tak nyaman.
Cengkrama yang terdengar seperti celotehan asal makin membuat otaknya penuh. Orang tua sibuk akan pemikiran dewasa mereka sambil abaikan Seungmin. Mereka lupa kalau ada seorang minor disini. Seungmin muak dengan keadaan.
Diam-diam lelaki tinggi itu menyelinap keluar dari ruangan. Kepala toleh kesana dan kemari di lorong yang remang. Ia ikuti naluri yang akan membawanya hingga ia sampai di halaman luar, dengan pemandangan yang menyejukkan, hampir sama dengan Ryokan tempat ia menginap.
Pandangan selalu awas seperti diuntit, kakinya melangkah pelan menginjak rerumputan pendek. Kunang-kunang berterbangan di atas pucuk bunga. Lagi-lagi Seungmin menemukan tempat yang sangat Magis dan ia kurang suka hal itu.
“Hidup ini terlalu rumit.” Helanya putus asa. Longgarkan dasi yang masih bertengger di leher. Ambil sikap acuh, Seungmin dudukkan bokongnya. Tak peduli apakah ada papan penanda dilarang duduk disini!, selagi ia tak menemukan maka ia akan berbuat sesuka hati.
Buku kecil yang Seungmin keramatkan selalu menemaninya kemana pun. Bolpoin ia keluarkan dari saku. Buka, lantas menorekan tinta hingga membentuk sebuah kalimat.
Jika saja bunda masih memiliki raga
akan kah perjalanan ini lebih membekas di memori dan hatiku?
jika saja-
“Tulisan yang bagus.”
Jantung Seungmin turun ke kaki hingga bolpen jatuh ke dasar rerumputan. Ia menoleh spontan dengan pikiran aneh yang sudah menggerogotinya. sial, ternyata tidak ada apa pun
Pikiran Seungmin tentang legenda hantu yang sangat ramai diperbincangkan sekilas buat nyalinya ciut. Namun ia bersyukur bawasannya pikiran tak penting itu hanya sebatas angin lalu. Kini ia ambil bolpennya lagi dengan dengusan.
“maaf, kamu kaget ya?”
“Bisa tinggalkan saya sendiri? Terimakasih.” ucapnya, menyelipkan fakta bahwa kalimat yang ia lontarkan bermaksud menyindir orang yang baru saja membuatnya kaget.
Merasa tersindir, ia pun berjongkok, “apakah aku semenganggu itu?” tuduhnya, “aku hanya kasihan melihatmu seperti gelandangan disini, sangat miris.”
“maksud anda?” tanya Seungmin mulai habis kesabaran, “jangan sembarangan dalam berbicara. Apakah anda pemilik okiya ini atau semacamnya? kalimatmu terhadap pengunjung sangat tidak sopan.”
Tapi orang itu hanya menanggapi kalimat seungmin yang terdengar sedikit nyolot atau begitulah ia menyimpulkannya dengan kekehan kecil. Tarik kedua ujung bibir hingga ciptakan senyuman yang sangat manis.
“Aku penari yang tadi.”
“aku tidak mudah tertipu.”
“aku yakin kamu paham betul.” Senyumnya lagi. Senyuman yang sama persis seperti yang Seungmin lihat beberapa waktu yang lalu. Mendadak Seungmin gugup, namun ia tetap mempertahankan wajah datarnya.
“Namaku Hwang Hyunjin jika kamu penasaran,” lanjutnya lagi, dengan sopan. Seolah-olah ia bisa membaca pikiran Seungmin. Oh, tidak- ini gawat. Harusnya Seungmin tidak berbicara seperti itu di awal jika akhirnya dia malah dipertemukan dengan Sang penari.
Orang yang bernama Hyunjin itu suka sekali tertawa, apakah tulang pipinya tidak pegal. Setiap kekehan yang terlantun seperti mengandung sihir yang buat jantung Seungmin berdetak cepat tiap detiknya.
Seungmin seperti orang yang dimabuk cinta dan ia sadar sekali akan hal itu. Dimabuk cintakah atau hanya sekedar kagum, Seungmin tak dapat membedakannya.
“dan aku adalah seorang laki-laki. Jadi aku harap kamu tidak terlalu melambungkan ekspetasi ya.”
“Hah?”
“Iya, aku paham. Tapi ada baiknya kamu tau dari mulutku langsung dibanding orang lain.”
Kenapa dia sangat pede bahwa Seungmin akan menyukainya dalam pandangan pertama?
Namun tak dapat dipungkiri bawha fakta yang barusan terlontar dari mulu Sang penari menampar pipi Seungmin keras sampai ia tak kuasa memberi reaksi. Ditatapnya lelaki, ah- Seungmin belum terbiasa menyebutnya, namun suka tak suka begitulah adanya.
Mungkin bibir yang merekah penuh sukacita milik Hyunjin akan mendadak penuhi pikiran Seungmin sampai ia terlelap.
Sejak hari itu, di umur delapan belas tahun kehidupan Seungmin perlahan berubah. Seungmin merasa pergi ke jepang bukan lagi semata-mata untuk berlibur melainkan ia jadikan sebuah rutinitas yang telah berlangsung selama dua tahun lamanya.
Menginjakkan kaki di jepang, reaksi Seungmin bukanlah seperti dulu. Kini ia menyukai jepang dengan segala keindahan dan keromantisannya. Semua itu berkat Sang penari yang membuat Seungmin perlahan membuka diri.
Terhitung belum lama berkenalan, Seungmin berusaha untuk memprioritaskan Hyunjin hingga lelaki tersebut harus memaksa Seungmin untuk mementingkan kehidupannya di korea terlebih dahulu.
“gak mau having sex lo sama oiran?“
Teh yang rasanya masih akrab di lidah, juga tatanan ruangan yang hanya dirubah sedikit detailnya. Seungmin baru tau kalau mereka juga mempekerjakan PSK di tempat seindah ini. Ah, lagian siapa yang peduli sih? mereka hanya butuh sarang untuk kemaluan mereka yang gatal.
“duluan ya.” Ia pun beranjak dari atas zabuton. Tinggalkan beberapa temannya yang akan melanjutkan kegiatan malam mereka.
Diumur sepantaran Seungmin, banyak pemuda yang gencar-gencarnya mencoba sesuatu. Seperti temannya tadi, mengeluarkan uang yang tak sedikit demi fasilitas yang memanjakan. Yah- Seungmin sendiri tidak masalah, hanya saja itu bukan kesukaannya.
Para staf yang bekerja di Okiya sudah sangat akrab dengan kehadiran Seungmin. Yang mereka tau bahwasannya Seungmin sangat menyukai pertunjukan Maiko. Sempat terbesit rasa heran dengan ia yang maunya selalu Hyunjin sebagai penari. Namun para staf tak ambil pusing karena mereka tidak perlu mecampuri urusan orang lain.
Menunduk tanda hormat, Seungmin balas dengan anggukan kepala. Berhenti tepat di depan shoji yang tidak tertutup rapat. Di otak Seungmin spontan terbesit pertanyaan-
Ada orang?
Grrrt
“a- ah, Seungmin?”
Pintu berlapis kertas yang semula memagari pandangan Seungmin kini telah tersingkir. Sempat sangsi dengan Hyunjin tengah bersama seseorangㅡ lebih tepatnya Seungmin sangsi kepada lelaki yang tengah duduk berdekatan dengan hyunjin, nyaris tanpa jarak
“ayo kita pulang.” ajak Seungmin dan tarik pergelangan tangan Hyunjin menuntut. Hingga kaki Hyunjin tertatih berusaha mengimbangi langkah Seungmin, apakah lelaki itu marah?
Bahkan Hyunjin belum sempat menghapus riasan di wajahnya, namun ia telah berakhir di samping Seungmin. Dan lelaki itu bawa dirinya pergi dari okiya, secara tidak langsung memerintahkan Hyunjin untuk tidak mengikuti latihan malam ini.
“Seungmin?” cicit Hyunjin, sentuh ujung jas licin lelaki yang padangannya terkunci ke depan.
“jangan tanya, Hyunjin. Setidaknya jangan dalam waktu yang dekat.”
“Maaf udah bikin kamu marah.” Giliran Hyunjin yang mengalihkan pandangan kedepan.
Sial, Seungmin mengumpat dalam hati. Ingin marah namun tak kuasa. Bukan kah terlihat sangat kekanakan mengetahui bahwa Seungmin marah karena hal kecil?
Ditambah lagi mereka tidak memiliki status apa pun, makin tidak logis untuk Seungmin yang selalu bergantung kuat pada logika.
Hela napas, Seungmin memilih untuk usap punggung tangan si manis. “Pekerjaan yang berat, ya? Aku akan membawamu pergi sebentar.”
“latihanku?”
“Bolos latihan sekali tak apa, aku tidak tega melihatmu terlalu memaksakan diri.”
Hyunjin mendengus, “lalu kita mau kemana?”
Si rambut coklat lirik sejenak dan ciptakan senyuman tipis, “ke kedai ramen?” Anggukan Hyunjin pun ia simpulkan sebagai sebuah persetujuan.
Tuhan memang punya rencana yang sangat banyak. Seungmin pastikan di ramalan cuaca bahwa malam ini akan sangat terang akibat bulan purnama. Namun disepanjang jalan yang hening, cuma ditemani dengan streetlight yang memanjang di sisi jalan, titik-titik air mulai membasahi bumi hingga titik air tersebut datang dalam jumlah yang banyak.
Seungmin berdecak tak suka, kentara sekali kesalnya. Namun Hyunjin selaku orang yang berada di dekat Seungmin langsung menenangkan pemuda itu.
“Seungmin, kalau kamu mau marah- ingat untuk selalu menghitung sampai lima sebelum kamu benar-benar ingin melampiaskannya.”
Sebuah saran yang sangat baru untuk Seungmin, namun ia tetap melakukannya. Aneh karena ia merasa apa yang keluar dari mulut Hyunjin adalah mutlak dan wajib dilakukan. Tanpa sadar hatinya menghangat hanya karena kehadiran Hyunjin disisinya.
Membatalkan rencana awal, keduanya memutuskan untuk membungkus ramen dan memakannya di ryokan. Seungmin yang memesan sementara Hyunjin disuruh menunggu di mobil dilingkupi rasa bosan. Dasar.
Beberapa waktu berlalu sampai-sampai ramen mereka nyaris dingin. Sepanjang perjalanan diisi dengan gelak tawa dan antusias Hyunjin untuk bercerita bagaimana ia merindukan Seungmin-Nya, bagaimana Hyunjin yang selalu mengadah menatap bintang sambil membayangkan hari dimana ia akan bertemu lelakinya dan bagaimana seungmin yang selalu merapalkan nama Hyunjin disetiap kegiatan membaca bukunya.
Baru kali ini Seungmin merasakan kehangatan yang memeluk sanubarinya. Seperti melihat senyuman dari bibir merah merekah Hyunjin yang belum menghapus gincunya dengan sempurna.
Seungmin mengusap bibir si manis, “ada rencana besok?”
“Geisha senior menyuruhku untuk datang pagi-pagi.”
“hm, untuk?”
Mie tipis ia makan lagi, “mereka ingin mentato tengkuk milikku.” Hyunjin menyingkirkan rambut belekanganya, “aku tidak tau kenapa mereka sangat tiba-tiba.”
“Bukan kah ini pertanda yang bagus, Seungmin?” ucap Hyunjin sarat akan antusiasme. Lagi-lagi Seungmin hanya tanggapi dengan senyum.
“Aku memiliki firasat akan ada hal baik yang menghampirimu.”
“aaaa!”
Hyunjin tak dapat menyembunyikan gurat bahagia dari wajah. Rasanya tubuh ingin dibawa terbang seperti Peter Pan saat sedang menjelajahi Neverland.
Sedikit lagi Hyunjin, langkah menuju kebebasan sudah berada di depanmu.
Seingatnya Semangat Hyunjin semembara api semalam. Ia terkekeh kecil karena melihat sikap Hyunjin yang sangat bertolak belakang sekarang. Dimana lelaki itu menatap nyalang kepada jarum yang tengah berada di tangan Sang Geisha. Tampak sangat menyeramkan hingga buat kepala Hyunjin pening.
“takut.”
Seungmin mengusap punggung Hyunjin guna menenangkannya. Berbisik bahwa itu tidak semenyeramkan seperti yang Hyunjin pikir.
Bohong. Padahal Seungmin sama takutnya.
“Hyunjin-san, koko ni kite.” (Hyunjin, kemari.)
Ketika namanya dipanggil, jantung Hyunjin rasanya ingin keluar. Tepat disaat ia kupas setengah kimono hingga memperlihatkan punggungnya, telapak tangan Hyunjin mendadak gemetar.
Sorot mata berbicara ke Seungmin yang hanya memandangnya dari kejauhan. Meminta kekuatan yang di mata Seungmin malah terlihat sangat menggemaskan. Seungmin pun mengisyaratkanㅡ kamu akan baik-baik saja.
Tato Tsuru yang biasa dilukis saat Maiko akan naik jabatan menjadi Geisha. Dibuat dengan proses yang masih terbilang tradisional hingga menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding metode modern. Hal ini menggambarkan perjalanan seseorang dari awal menjadi Maiko hingga menjadi Geisha yang terbilang tidaklah mudah. Jarum tajam yang menusuk kulit, tiap tusukannya mengandung arti yaitu sebuah perjuangan.
“hiks” namun tampaknya Hyunjin tidak sepenuhnya bisa menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya hingga ia meremas kain kimono yang berada di tangan.
Si rambut coklat seret lutut yang berada di atas tatami untuk mendekat ke Hyunjin. Mengusap keringat dan air mata yang menitik di ujung mata Hyunjin.
“Sakit.”
“Sedikit lagi, sayang.”
“H- hah?” kaget Hyunjin.
“Tidak. Maksudku bertahanlah sebentar lagi.”
Ia mendadak gugup bukan main saat tak sengaja mengucapkan sesuatu yang harusnya tak perlu ia ucapkan. Sialan, Seungmin bergegas memalingkan wajah malu. Semoga Hyunjin tidak berpikiran aneh-aneh kepadanya.
Proses penggambaran tato itu hampir memakan waktu selama dua jam. Ditemani dengan rintihan Hyunjin serta bulir-bulir keringat yang menetes hingga buat rambut panjangnya sedikit lepek.
Dan kini Hyunjin tengah berbaring nyaman di bahu Seungmin sibuk merengek akibat ia yang menahan tangis selama proses pentatoan berlangsung. Sudah menjadi ciri khas Seungmin bahwa ia hanya diam sambil mengusap-ngusap surai legam Si Manis.
“Aku diangkat menjadi Geisha di umur yang sangat muda.”
“Apakah 20 itu termasuk muda?”
Hyunjin mengangguk, “banyak yang menjadi Geisha di umur tiga puluhan mereka, Seungmin.”
“itu tandanya kamu memiliki talenta,” ia tersenyum, “aku bangga padamu.”
Tanpa Seungmin sadari bahwa Hyunjin mencengkram kain kimononya kuat. Sekuat ia menahan rasa sakit yang membuat hatinya mati rasa.
Yang tau dan paham hanya Hyunjin disini
“Menjadi Geisha kelihatan sangat melelahkan. Kadang mendengar kabarmu yang masih latihan hingga pagi membuat aku khawatir. Kamu pernah menyesali hal ini?”
Hyunjin menggumam, “kalau saja aku bisa menyesal. Sayangnya aku harus menghadapinya, Seungmin.”
“apakah ada sesuatu?”
Menggeleng, “tidak, semua baik-baik saja.” kepalanya mendongak, “terimakasih sudah mau menjadi temanku.”
Seungmin membawa Hyunjin duduk berhadapan dengannya. Puas memandangi wajah Hyunjin selama beberapa detik hingga yang ditatap bingung, Seungmin memutar tubuh Hyunjin.
Kimono yang turun dari bahu Hyunjin ditahan oleh Seungmin pada telapaknya. Bibir Seungmin mengecup lembut kulit Hyunjin yang masih memerah buat Hyunjin kaget.
“Hyunjin, kamu mau tunggu aku?”
“maksud Seungmin?” jawabnya atas pertanyaan Seungmin.
“hanya saja,” bubuhkan kecupan manis lagi, “aku berharap kamu bersedia menungguku.”
Kalimat Seungmin membawa Hyunjin terbang pada pikirannya sendiri. Bersamaan dengan sentuhan yang akan membekas di otak, tubuh, dan hatinya. Waktu mendadak berjalan begitu lambat seiring dengan degup jantungnya yang berdetak kencang.
Waktu yang singkat seolah memaksa Hyunjin berpikir hingga buat dahinya pegal. Yang jelas ia sadar kalau perasaanya bukan sekedar halusinasi. Momen yang telah mereka lewati itu nyata, senyata cumbuan Seungmin pada bibirnya sekarang.
Berdoalah, Seungmin. Aku mohon berdoalah untuk kita berdua. Karena aku tidak bisa dan tidak akan mampu melakukannya
“Sajang-nim akan segera tiba sebentar lagi.”
“Bukan kah tidak ada rapat hari ini? untuk apa Pak Seungmin datang ke perusahaan?” dengus sebal perempuan yang berambut pendek sambil rapikan berkas-berkas ke dalam kabinet.
“Ya, tidak apa sih.” sahut wanita berambut panjang dengan poni di dahinya, “tunjukkan kalau kita itu karyawan yang baik, siapa tau gaji kita dinaikin.” tawanya jenaka.
“mau gajimu dinaikin atau Pak seungmin nya sekalian?”
“huft, Pak Seungmin katanya udah punya kekasih. Tinggalnya di jepang. First love dari dia umur delapan belas tahun. Coba deh hitung udah berapa lama, Pak Seungmin aja udah mau dua puluh tujuh”
Yang rambut pendek tertegun kaget, “sudah lama sekali jika dihitung. Tapi pacaran? aku dengar tuan Kim tidak setuju dengan pilihan Seungmin.”
“hm, iyaㅡ eh, Pak Seungmin sudah tiba.”
Kedua perempuan tersebut keluar dari ruang kabinet dan membungkuk hormat kepada Seungmin. Sikap dingin bos mereka itu sudah menjadi santapan sehari-hari. “Berkasnya sudah saya letakkan di meja.”
“Terimakasih.” Seungmin menjawab, lantas pergi dari hadapan dua karyawannya. Ia memang tidak memiliki jadwal di perusahaan kalau bukan karena mengambil hasil laporan.
Ia sampai di ruangannya, mengecek amplop coklat muda yang berisikan beberapa kertas. Lantas pergi setelah urusannya usai.
“Kim Seungmin?”
Semula tatapannya terkunci pada untaian kalimat dari kertas yang ia pegang, saat terdengar namanya dipanggil- Seungmin alihkan pandangannya. “Chris?”
Perbincangan singkat terjadi di lorong kantor, karena menurut keduanya masih banyak yang perlu dibicarakan, berakhirlah di cafe ini sembari meminum teh dan kopi. Chris sumringah karena sudah lama tidak bertemu langsung dengan Seungmin.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Chris, dijawab senyuman tipis oleh yang muda.
“Baik.”
“Astaga, masih dingin seperti dulu.” Canda Chris.
“Hahaha, apakah kita teman sepermainan?”
“Bukan sih, aku pindah ke amerika saat remaja, dan kita hanya bertemu ketika sempat.”
Seungmin minum tehnyaa, “apakah kamu datang untuk membicarakan bisnis keluarga kita?”
“semua sudah ter-handle dengan baik, Seungmin.” jawab yang lebih tua, “aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat. Yah, anggap saja sebagai hadiah atas kerja sama yang kita jalani.”
Angguk sebagai tanda bahwa Seungmin masih mendengarkan Chris, kemudian lelaki itu menyodorkan sebuah foto. Seungmin lihat sekilas sebelum akhirnya tertarik untuk melihat lebih detail.
“Kyoto, Jepang.”
Dahi Seungmin berkerut. Foto beberapa Geisha dengan Chris yang berada di tengah mendadak gerogoti memori Seungmin akan Hyunjin. Manisnya yang tinggal di jepang sana. Namun alih-alih merindu sang pujaan hati, Seungmin lebih penasaran kenapa Chris tiba-tiba mengajaknya.
“Aku sudah memesan semuanya, kita berangkat dua hari lagi.”
Hyunjin spontan membuka matanya ketika jantung serasa ditimpa sesuatu. Bulir-bulir keringat tetesi dahi Hyunjin yang tengah berbaring di futon. Ia bergegas bangun dan menenggak air minum yang tepat berada di sampingnya.
Mimpi buruk, lagi.
Mata terpejam gusar. Bahkan untuk sekedar menutup mata barang sebentar rasanya sangat sulit. Selalu dibayangi masa lalu yang buruk ditiap langkahnya.
Hyunjin butuh ruang untuk menyembuhkan diri dan ia yakin bisa sembuh sendirinya. Namun waktu itu tak kunjung datang hingga Hyunjin dibuat gila rasanya.
Ia baringkan kepala di atas bantal, coba untuk terlelap dengan tenang. Digenggaman senantiasa ada kalung yang Seungmin berikan padanya, agar ia merasa tak sendirian. Dan kini Hyunjin merindukan lelaki itu ditengah heningnya malam.
Seungmin-nya yang sudah tiga tahun tidak berkunjung ke jepang. Tanpa kabar maupun sapaan. Tempatnya berkeluh kesah serta wadah untuk menampung cintanya seolah hilang ditelan bumi. Hyunjin dipinta untuk menunggu tanpa kepastian dan itu sangat membuatnya gundah.
Bokong Hyunjin nyeri bukan main, pinggangnya pegal, dan hatinya sakit. Namun lagi, ia paksakan tidur walau kantuk tak menjemput. Besok malam ia harus melakukan pertunjukan di hadapan orang penting.
“hari ini kamu akan tampil di hadapan keponakan pemilik okiya.”
“benarkah?” tanya Hyunjin memastikan, “yang tinggal diluar negeri itu kan? dia datang lagi rupanya”
“iya. Jadi pastikan penampilanmu maksimal, ya?”
Sentuhan terakhir di bibir merahnya, Hyunjin mengangguk dan berjalan disepanjang lorong dengan anggun. Ditemani dengan wanita yang sudah mengiringinya sejak menjadi Maiko, Hyunjin yakin kalau semua akan berjalan lancar.
-Setidaknya sampai ia tau bahwa lelaki denga jas yang tertata apik dan duduknya yang tegap bak bangsawan diatas zabuton adalah Kim Seungmin.
iya, Kim Seungmin. Lelakinya.
Sepanjang acara Hyunjin tak dapat berkonsentrasi. Bukan hanya karena kehadiran Seungmin yang tiba-tiba, namun juga karena rasa rindu yang menyesakkan dadanya. Hyunjin hampir menangis kalau saja dia tidak ingat sedang tampil di hadapan orang penting.
Lain hal Hyunjin, lain halnya Chris. ia tersenyum sangat sumringah karena pada akhirnya berkesempatan menonton Geisha dari okiya milik keluarganya sendiri.
Juga ia yang merindukan Sang penari yang selalu ia pantau kabarnya dari jauh. Cinta pertamanya yang sangat cantik dan bertalenta.
Seseorang yang tak luruh dari ingatan Chris walaupun belasan tahun telah berlalu. Bercerita mengenai bagaimana ia tau perihal Hyunjin, pada saat Chris berumur tiga belas tahun. Ia berkunjung ke jepang dan menempuh pendidikan disini selama beberapa tahun. Sampai akhirnya sosok anak kecil dengan rambut yang masih panjang sampai sekarang membuat pandangan Chris terkunci.
Lelaki itu awalnya datang dengan dua orang dewasa sampai akhirnya ia ditinggal sendiri dan diurus, dijadikan sebagai Geisha. Setidaknya itu yang ia tau dari cerita keluarganya. Tangan kanan yang selalu diutus Chris untuk memberinya kabar, selalu melaporkan bahwa Seungmin rutin menemui Hyunjin selama beberapa tahun.
Tidak apa, Chris tak marah. Biarpun pada akhirnya Seungmin akan menang, namun ia ingin berbincang dengan cintanya untuk pertama kali. Setelah itu Hyunjin bisa kembali kepada pilihannya karena Hyunjin juga tampak mencintai Seungmin.
Berdiri dibawah hamparan bintang dengan udara jepang yang membelai kulit pipinya buat Chris rindu akan segalanya disini. Mimpi, momen, kejadian penting semuanya hampir terjadi disini.
Hela napas, Chris toleh kepalanyaㅡlangsung disambut oleh Hyunjin yang memandang matsu dalam diamnya. Ia beranikan diri untuk mendekat, “Hyunjin?”
Chris disambut dengan rasa kaget Hyunjin, spontan saja ia mengisyaratkan untuk tidak bereaksi berlebihan. Lantas yang lebih tua duduk disamping Hyunjin.
“mungkin kamu sudah lupa, tapi aku keponakan pemilik okiya ini, dan-” ia tahan sebentar untuk teguk ludah, “aku sudah mengenalmu sejak kamu menginjakkan kaki disini.”
Hyunjin terkekeh. Namun bukan tawa yang mengandung kebahagiaan, melainkan menertawakan keadaan yang menempatkannya dalam posisi sulit.
“jadi kamu tau semua.”
“tau apa, Hyunjin?” tanya Chris mendadak bingung.
Air mata yang lebih muda menitik, bergegas ia hapus hingga bedak yang belum luntur sempurna dari wajahnya ikut luruh. “Bahwa aku dijual, karena memiliki hutang kepada keluargamu.”
maksudnya?
Apa yang berusaha kamu katakan, Hyunjin?
“Mungkin kamu akan anggap aku gila. Tapi aku dijual ke tempat ini dan dilatih menjadi Maiko. Baik, aku tidak masalah jika hanya itu” cicit Hyunjin, tangannya gemetar, “tapi ada yang memperlakukanku sebagai pemuas nafsunya. Itu membuatku stress dan selalu merasa kotor.”
ia usap lagi pipi yang sudah lengket, “aku tidak ingin meminta bantuanmu. Lagipula kita bertemu saat kecil dan baru bertemu saat kita sudah sama-sama dewasa.”
“tapi aku mohon dengan sangat, apabila kamu memiliki koneksi dengan beberapa orang di dalam okiya ini, tolong pecat mentor Geisha milikku dan beri peringatan kepada salah satu seorang danna untuk berhenti mengangguku.”
“Bagaimana aku bisa melunasi hutang keluargaku jika aku terus-terusan dilecehi?” bibirnya bergetar sampai Hyunjin memeluk tubuhnya sendiri. Chris langsung tarik Hyunjin ke dalam pelukannya.
“tidak, ini tidak benar.” gumamnya. dahinya mengkerut larena terlalu sulit menahan gejolak sakit dari rintihan Hyunjin. Lelaki itu, jadi ternyata selama ini menanggung beban yang lebih berat dibanding apa pun.
dan bahkan pihak okiya hingga tangan kanan milik Chris tidak ada yang membocorkan hal ini. Chris marah kepada dirinya sendiri. Membayangkan bagaimana Hyunjin menangis tiap malam meratapi nasibnya.
Chris makin eratkan dekapnya, Hyunjin tangisnya semakin pecah.
Semuanya menjadi jelas malam itu.
“Aku akan membebaskanmu.” bisiknya, “kamu tidak perlu membayar lagi hutang keluargamu.”
“Bercinta denganku, Chris.”
“Apa maksudmu?”
Chris tak paham sepenuhnya maksud dari yang muda. Kalimat yang terlalu rancu. Belum dijelaskan namun Hyunjin malah menyambar bibirnya secara tiba-tiba.
Seungmin berdiri tak jauh dari mereka, menyaksikan dari awal sampai akhir. Niatnya ingin melepas rindu malah dihadiahkan pemandangan yang mampu buat hatinya pecah.
Ia kecewa.
“Kamu pasti sangat paham bahwa Geisha merupakan seniman. Kita menjual seni, bukan tubuh. Hwang Hyunjin, kamu sudah tau akan konsekuensinya.”
Hyunjin menunduk, memilih untuk perhatikan detail kimono yang ia kenakan dibanding menatap Sang Geisha senior. Hyunjin tidak memiliki pembelaan apa pun. Ketika berita itu sampai lewat Chris, Hyunjin segera dipanggil dan dimintai keterangan.
Berakhir Hyunjin membenarkan semua yang ditanyakan. Pangkatnya sebagai Geisha sudah berakhir sampai disini. Hyunjin hormat dalam untuk terakhir kalinya sebelum beranjak pergi dari sana.
Matahari sebentar lagi terbenam, langkah kaki Hyunjin sebentar lagi akan membawanya keluar dari Surga penuh duri ini. Dibawanya beberapa pakaian di pundak, namun seketika langkahnya dihalangi oleh sosok tinggi.
Kim Seungmin.
“Seung- ahk! jangan terlalu kasar!”
Tapi Seungmin menulikan pendengarannya. Hyunjin memeluk lututnya sendiri ketakutan karena Seungmin yang tidak berbicara sepatah kata padanya, namun mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, sebuah keajaiban mereka sampai di Ryokan dengan selamat.
Masih tarik pergelangan tangan Hyunjin, Seungmin membanting shoji dengan kasar. Memerangkap Hyunjin dalam sorot tajam matanya.
Bukan, bukan marah- Sorot mata itu menampilkan kekecewaan yang sangat dalam. Tanpa sepatah kata juga Seungmin langsung berikan cumbu kasar pada bibir Hyunjin. Bibir, pipi, leher, hingga lelaki itu tanggalkan kimono yang membalut tubuh Hyunjin.
Hyunjin entah menangis atau mendesah akrena Seungmin yang melulu hujam titik sensitifnya dengan kecupan, “Se- seung,”
“Aku selalu berusaha menjagamu, Hyunjin. Tidak berani menyentuhmu sampai melewati batas, namun apa yang kamu lakukan?”
“Tidur dengan lelaki lain? dengan Chris?! Seseorang yang masih memiliki hubungan darah denganku.”
“Seungmin! ahk-” Rintihnya makin jadi ketika Seungmin menggigit putingnya dan menjilat penuh nafsu. Nafsu yang diselimuti oleh kemarahan dan emosi.
Seungmin yang mendominasi permainan, tak memberi ampun pada Hyunjin barang sejenak. Membiarkan orang yang entah pernah atau masih mencintainya frustasi dibawah kuasanya.
Dan ia melangsungkan persetubuhan itu selama yang ia bisa. Meluapkan apa yang selama ini ia tahan.
Hyunjin terlelap dalam keadaan tubuh yang dipenuhi tanda cinta atau emosi oleh Seungmin. Pipi sembab karena sepanjang permainan ditemani oleh isak tangis. Seungmin merasa iba, juga terbesit rasa bersalah dalam dirinya.
Akhirnya ia hanya bisa mengecup tato dibelakang tengkuk Hyunjin, lama. Sebelum meninggalkan terkasihnya sendirian di Ryokan.
Bugh!
“Brengsek!”
Chris sudah menduga bahwa hal ini akan tiba. Hari dimana Seungmin akan memberinya luka fisik, atau yang lebih buruk- memutuskan tali kerjasama.
“batalkan projek kita.”
“jangan bersikap seperti anak-anak, Seungmin.”
“harusnya kamu berkaca sekarang, siapa yang bersikap seperti anak-anak?!” teriak Seungmin di hadapan Chris, menahan kepalan tangannya untuk tidak meninju sepupunya lagi.
Alih-alih membalas omongan Seungmin, Chris mengambil sebuah amplop kecil dengan tulisan kanji di sudut kanan atas. “kamu akan menemukan sebuah jawaban disini.”
Kepalan tangan Seungmin melemah saat Chris memberikan sepucuk surat tersebut. disambut dengan sedikit gemetar.
Seungmin takut akan isinya. Takut akan kenyataan yang terlampir di kertas hasil tulis tangan Hyunjin.
“kamu akan tau kenapa aku membantunya.” Chris menghela napas, “Dia masih cinta pertamaku dan aku tidak mau cinta pertamaku selalu hidup dalam kesulitan.”
“ia memilihmu, Seungmin. Selamanya akan selalu kamu yang jadi pemenang. Jadi kuharap kamu memperlakukan dia dengan baik. Bahagiakan dia karena dia hampir tidak mengenal makna bahagia sepanjang hidupnya.
Mata Seungmin membola seketika. Otaknya mendadak sakit saat memori dimana ia menyakiti Hyunjin terputar seperti kaset rusak.
Kim Seungmin, Sayang. Hai.
Bagaimana kabarmu? surat ini aku buat karena takut kita tidak bisa menemukan waktu untuk bertemu dan bercengkrama
Aku rindu dengan pelukan hangatmu. Bagaimana kamu mendekapku di dada bidangmu. Bagaimana kamu selalu menenangkanku
Bolehkah aku sedikit drama? kamu adalah obatku, Seungmin. Hahaha. Semenjak kehadiran kamu, rasanya aku bisa lepas perlahan dari obat yang mampu meredam stressku
Namun semenjak kamu yang tiga tahun gak kembali. Rasanya seperti kembali ke neraka. Banyak sekali orang jahat di dunia ini, sayangnya aku tak cukup kuat untuk melawan mereka.
Tangan Seungmin meremas ujung surat tersebut dengan mata berkaca-kaca.
Jangan sedih, Seugmin. Sekarang mungkin aku tak apa. Maaf karena sudah buat kamu sakit hati dan sampaikan terimakasihku kepada chris karena sudi membantuku untuk keluar dari jurang dalam yang menyiksa
Aku butuh waktu untuk merenung, memperbaiki, dan menyembuhkan diriku sendiri, Seungmin.
Selama aku pergi, aku harap kamu menggunakan waktu untuk mempertimbangkan dua hal: mempertahankan atau melepaskanku, walaupun aku berharap kamu akan memilih yang pertama, hehe
Aku mencintaimu, sayang. Dan akan selalu seperti itu
Aku selalu memandangmu dibawah langit malam, selalu menyelipkan namamu lewat doa, meminta kepada tuhan agar kamu selalu sehat supaya perusahaan yang kamu pegang berjalan dengan lancar
Aku akan kembali, janji. Disaat kita berdua sudah siap untuk bertemu, pasti ada jalan yang akan mempertemukan kita
Aishiteru, Seungminie-san
Seiring surat yang ia baca, ia mampu bayangkan suara lembut Hyunjin di telinganya. Belaian halus jemari Hyunjin disela rambutnya, dan kiniㅡHyunjin tidak mungkin mau menemuinya dalam waktu dekat.
Dibanding sebuah surat pernyataan, ini lebih seperti surat perpisahan secara tidak langsung. Seungmin meremat erat kertas yang sudah lembab akan air mata.
Baiklah, sekarang giliran ia yang harus menunggu.
ㅡSeungmin harap Rumahnyaakan kembali ke dekapan.
– The End