Chanthusiast

H word

Chanjin oneshoot

Tags: NSFW 🔞; Masturbation; porn without plot; married couple


Selepas mandi, Chan tak sekali pun menegur Hyunjin yang hanya berjarak beberapa senti darinya. Lebih memilih sibukkan diri dengan laptop juga pekerjaan yang tiada habisnya.

Hyunjin pun sama, tak punya itikad untuk lemparkan kabar atau sekedar sapa. Juga sibuk dengan urusannya sendiri, memilih untuk masuk ke kamar karena Chan akan tidur di ruang kerjanya malam ini.

Semuanya akibat pertengkaran cukup hebat yang diciptakan oleh keduanya sehingga membentuk sebuah tembok raksasa yang menjadi penghalang utama atas komunikasi mereka di malam yang tenang.

Hyunjin terbaring tanpa Chan disisinya dan Hyunjin masih bersikeras untuk tidak mengeluarkan sepatah kata sampai lelaki itu yang menegurnya terang-terangan di depan mata.

Berusaha memejamkan mata, namun tidak berguna. Hyunjin menggigit bibirnya sendiri kemudian berbalik membelakangi guling.

“Sialan.” Umpatnya. Buru-buru Hyunjin mengambil bantal panjang untuk diapit diantara kaki, namun tetap tak mampu menghilangkan rasa geli di selangkangannya.

H word di malam hari sungguh menyiksanya, tepat pula di malam saat mereka tengah bertengkar. Lantas Hyunjin harus apa? Jika ada suaminya disini pasti Hyunjin akan berterus terang dan Chan dengan senang hati memanjakan libidonya.

“Ngh, sebel banget ih..”

Apit lebih kencang diantara dua kaki, Hyunjin tak merasakan puas melainkan makin tersiksa seiring dengan angin pendingin ruangan yang makin membuat kulitnya meremang. Sialan, kalau begini Hyunjin harus mengandalkan apa yang ada.

Sebentar gapapa kali ya, daripada gak bisa tidur. Pikir si manis, walaupun ia sedikit lelah.

Beberapa menit pikirannya berperang di dalam sana, tangan Hyunjin perlahan menurunkan celana pendek yang balut kaki jenjang; bersama dengan dalaman dan dilempar ke sembarang arah.

Angin pendingin ruangan langsung bersinggungan dengan kulit mulusnya, juga penis yang sudah menegak sempurna. Kalau saja ada Chan, pasti mulut lelaki ituㅡ

Ah, sudahlah! Kalian sedang bertengkar, bodoh!

Hyunjin mau marah, karena rongga mulut suaminya yang terus terbayang sedang mengulum kejantanannya yang menegang, seketika Hyunjin ingin menangis seperti anak kecil karena ingin disentuh.

Dengan kesadaran penuh ia sentuh kejantanan miliknya sendiri dan mulai memompa setelah mengurutnya pelan. Gigit ujung piyama yang sudah disingkap sehingga menampilkan gundukan berisi dengan dua noktah indah yang menghias disana, Hyunjin pejamkan matanya merasakan sensasi yang membuat tubuhnya gemetar tak karuan.

“Ah- ahng- ssh”

Tangan kanan itu melakukan pekerjaannya dengan baik dibawah sana, kaki semakin terbuka lebar seperti bayi yang baru lahir. Polos dan panas disaat yang bersamaan. Jemari kaki Hyunjin terlipat kedalam menahan gejolak aneh yang timbul bersamaan dengan gerakan yang makin cepat.

Suara desahannya makin tak bisa ditahan, sama dengan suara yang diciptakan kejantanannya beradu indah di dinding kamar mereka.

“A- angh!”

“Hyunjin, usb ku ketinggalan di kamar ini-”

Holy fucking, she-, Chan masuk ke kamar

-dan menemukan Hyunjin yang setengah telanjang tengah masturbasi menggunakan tangannya sendiri, tepat sedang menikmati putihnya yang keluar membasahi batang kejantanan juga perut kencangnya.

“A- em, usb?” Hyunjin gelagapan, ditambah ekspresi Chan yang seolah-olah mempertanyakan apa yang tengah Hyunjin lakukan di atas kasur sana.

Kegiatan seperti ini bukanlah Hal baru tentunya, namun Chan memang belum pernah melihat suaminya itu bermain sendiri karena mereka selalu ada untuk satu sama lain. Dan sekarang ia melihat Hyunjin yang tampak putus asa berusaha memuaskan libidonya yang meluap-luap.

Cute.

Chan masuk dan segera mengunci pintu. Menyetel lampu menjadi sedikit temaram dan berdiri membelakangi Hyunjin.

Yang lebih muda memilih bungkam saat menyaksikan cintanya tengah membuka piyama dan celana tepat di hadapannya. Sedikit menoleh kepada Hyunjin yang baru saja nikmati pelepasan sambil lemparkan senyum tipis.

Berbalik, Chan berjalan menuju Hyunjin yang masih terbaring lemas dengan badan setengah telanjang. Memposisikan diri diantara kaki Hyunjin yang terbuka lebar dan mengangkat kaki kananya.

cup

Bibir basah tersebut bersentuhan dengan kulit betis yang lebih muda. Naik sedikit untuk kecupi lututnya, belum sampai disanaㅡmasih terus jelajah dengan si benda kenyal hingga sampai ke pangkal paha.

Beralih hingga perut yang kotor, telapak tangannya usap cairan itu hingga mengenai seluruh permukaan perut Hyunjin, sebagian mengenai dadanya. Seolah sengaja membuat Hyunjin semakin kotor akan cairannya sendiri.

Tanpa ucapan, tanpa kalimat, tanpa apa pun. Chan hanya mengandalkan anggota tubuhnya untuk menjamah tubuh indah Hyunjin.

“Emh-”

Spontan lengan kurus Hyunjin tarik tengkuk Chan mendekat agar kepala lelaki itu semakin tenggelam diantara perpotongan lehernya. Biarkan yang lebih tua menghidu aroma tubuh Hyunjin yang bercampur dengan sabun khas vanila. Bibirnya yang semula terkatup perlahan terbuka akibat sentuhan-sentuhan basah yang diterima kulitnya.

“Teriak kalau sakit, ya?”

“a- ah! Emh-”

Chan hampir tidak pernah to the point dalam hal ini. Ia selalu membuat Hyunjin hampir tumbang dalam foreplay buatannya. Namun sekarang ia tak butuh waktu lama untuk memasuki Hyunjin, cenderung cepat walaupun tiap sentuhan Chan mampu menstimulasi tubuh Hyunjin dengan hebatnya.

Saat penyatuan tersebut terjadi, Hyunjin sadar kalau Chan juga mengalami hal serupa dengannya malam ini. Merasa horny namun termakan gengsi. Ia sedikit menyeringai diantara desahan putus-putus yang tercipta.

“Ngh-”

“Anh- ah- ah- Chanh-

“Anmmh- fuck!”

“Hey,” bisik yang lebih tua saat memandang Hyunjin yang wajahnya tampak memerah, “your language.”

“Kenapa masih, anh- bahasa aja dipermasalahin!”

Tubuhnya melengkung nikmat dikala Chan semakin menumbuk titik manisnya di dalam sana. Air liur yang menetes karena pangutan lidah diluar bibir yang saling menekan membuat Hyunjin melenguh lagi dan lagi.

Pipi bokongnya sudah memerah sangking ganasnya tepukan kulit yang lebih tua kepadanya. Chan mengeram dalam diam ketika melihat ekspresi surgawi dari sang suami yang tak berdaya dibawahnya ditambah lagi dengan lubang yang semakin mengetat; manjakan kejantanan kerasnya yang belum berhenti keluar-masuk untuk cari kenikmatan.

Tanpa menanggapi ocehan Hyunjin barusan, Chan lebih fokus untuk mencari pelepasannya. Demi tuhan Hyunjin merupakan sosok yang sangat indah dan seksi, kepalanya pusing dibuat si manis.

“Ah!”

“angh! Mas, Hyunjin mau-”

Kalimat belum selesai, namun ranumnya dibungkam oleh Chan. Ciuman panas yang selalu sukses mengantarkan klimaksnya, Chan tak pernah absen sedikit pun memberikan pangutan jika Hyunjin akan sampai pada puncaknya.

Air mata Hyunjin menetes dari ujung mata ketika putihnya sampai, total yang kedua; kemudian disaat Chan lepaskan tautan bibir mereka; lalu saat merasakan bagian selatannya hangat dan kakinya memeluk pinggang keras sang suami dengan erat.

Hyunjin lenguhkan nama Chan dalam lelah pelepasannya sebelum tarik tengkuk sang kekasih guna kecupi bibirnya lagi, “maaf.”

“Maaf untuk?” Tanya Chan kepada si cantik, dengan sudut bibir tertarik sedikit.

“Egois, gak mau dengerin penjelasan kamu. Em- aku terlalu negatif thinking.” Cicit si manis yang tak mau menatap Chan tepat di netra.

Ia merasa bersalah atas kesalah pahaman yang terjadi. Chan sudah sabar memberikannya sebuah penjelasan, namun Hyunjin lebih mendengarkan kata otaknya dibanding mempertimbangkan perkataan Chan sehingga semuanya berakhir menjadi api.

Ketika Hyunjin tak ingin menatap matanya dan berusaha menahan tangis, disitulah Chan akan mengusap pipi gembil sang suami dan memeluknya erat.

Chan tak ingin memarahi Hyunjin untuk menyadarkannya akan suatu kesalahan. Ia lebih memilih untuk menjelaskan, kemudian biarkan Hyunjin untuk mempertimbangkannya sendiri. Cara itu lebih baik dibandingkan memberikan efek jera.

“Mas juga bakal mempertimbangkan apa yang kamu katakan. Mungkin mas juga salah disini karena kurang peka terhadap keadaan. Mas pikir dia memang ramah, ternyata ada maksud terselubung dibaliknya.”

“Gak tau, Hyunjin gak suka sama sekretaris mas yang itu.”

“Hahaha. Gaboleh gitu, sayang. Gimana pun dia juga nyari nafkah.”

“Hmph!” Si manis kembali peluk erat suaminya di dada, gesekkan hidung bangirnya kepada Chan dengan manja, kemudian tatap wajah sang suami dengan bibir mengerucut.

Imut, Hyunjin tak pernah gagal dalam membuat Chan kegemesan sampai ingin memakan lelaki itu. Makan yang itu tentunya.

“Iya, mas mandiin. Ayo bangun.” Bisik yang lebih tua sambil lemparkan senyum.

“Gendooong”

“Iya-iya, mas gendong juga. Sini.”

Setelah itu Hyunjin dikabarkan masuk angin akibat dua jam berada di dalam kamar mandi.

End

Guard part II


Bodyguard Chan; Son of mafia Hyunjin; including non-consensual actions; NSFW


Tiada hari tanpa sesapan asap dari batang tembakau candu di bibir Hyunjin. Tak peduli sudah sebanyak apa nikotin yang menempel di paru-parunya. Untung saja ia bisa membatasi pemakaian barang yang bahkan tak memberi efek baik ke tubuhnya itu dibanding dulu.

Pun Hyunjin bukanlah manusia yang mempunyai jejak baik-baik di masa lalunya. Sempat hampir menggunakan obat-obat terlarang, kabur dari rumah, sampai nekat meminum minuman keras sampai berakhir di ranjang rumah sakit.

Kebiasaan. Disaat dirinya tengah berdiri seorang diri, tak pernah pikiran baik penuhi otaknya. Selalu negatif hingga membuat pandangan netranya kosong. Sesekali Hyunjin ingin rasakan hawa positif merasuki dirinya tanpa harus melalui terapi yang membuatnya muak.

Hela napas, Hyunjin buang sembarang putung rokok tersebut. Dibawah sana penuh akan orang-orang yang tengah membersihkan halaman dengan terusan kebun yang luas. Biarkan putung yang tersisa setengah tenggelam diantara tumpukan dedaunan.

Naik satu kaki, kemudian tumpu dengan tangannya agar badan bisa dibawa naik ke atas. Hyunjin duduk di pagar yang membatasi balkon dan halaman luar, makin bawa badannya ke ujung untuk melompat dari lantai dua rumah milik sang ayah-

Jika berpikiran Hyunjin telah jatuh saat ini maka segera buang pikiran itu jauh-jauh, karena pada nyatanya badan Hyunjin ditahan menggunakan lengan padat seseorang.

Dipeluk?

Bukan, bukan dipeluk. Memang ditahan ternyata. Hyunjin terkekeh geli.

“Sudah selesai dengan urusanmu?”

“Saya menginformasikan posisi kita saat ini kepada tuan Hwang.” Chan berkata, datar. “Apa yang sedang anda lakukan?”

“Duduk. Mau terjun sih rencananya.”

“Jika anda ingin mati, usahakan mati di tempat yang indah. Jangan berusaha mati konyol di sebuah kastil tua.”

“Fuck, chris” Hyunjin tertawa lagi sambil sandarkan punggungnya di figur keras milik sang pengawal. Sambil usap tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu, “mhm, kita sedang di italia sekarang. Kenapa kamu jadi tambah hot ya? Apa yang udara italia lakuin ke kamu?”

Hyunjin menoleh, agak miringkan kepalanya sambil tersenyum saat Chris menggendong tubuhnya masuk dan menutup pintu berbahan kaca itu dengan hati-hati.

Dudukkan Hyunjin di kasur pun sangat penuh kehati-hatian, seolah-olah Hyunjin adalah sesuatu yang mudah rapuh sehingga butuh perhatian ekstra.

God damn, demi dewa afrodit yang kecantikannya tiada tara. Hyunjin tak mungkin bisa alihkan tatapan dari Chris.

Dari ujung kepala hingga ujung kaki, otak mau pun fisik mampu membuat Hyunjin jatuh cinta makin-makin dalam. Setiap menit dimana ia berkomunikasi dengan Chris, maka sebuah kupu-kupu akan lahir hingga penuhi lambungnya.

“Aku tidak percaya lelaki sepertimu tidak tertarik kepada gender mana pun.”

Tak jauh, hanya berjarak beberapa sentimeter dari tempat Hyunjin. Chris sibuk mengelap beberapa senjata api yang bahkan tak kotor. Sinting, gumam Hyunjin yang ditujukan untuk degup jantungnya yang berdetak tak karuan tiap melihat kain itu bergesekan dengan pistol.

“Kamu membawa senjata sebanyak itu setiap hari?”

“Iya, kurang lebih.”

“Oh, dapet dari mana?”

“Beli. Sebagian diberi oleh seseorang.”

“Pasti orang itu sangat baik, siapa namanya?”

“Tuan Hyunjin, anda cukup banyak tanya ya-”

“Aku bosan.”

Chris letakkan senjata tersebut pada nakas, tatap Hyunjin yang sedari tadi mengoceh tak berhenti dengan menjadikan bosan sebagai alasan.

Apakah sengaja untuk tarik perhatian Chris atau bagaimana? Kenapa lelaki ini sangat haus akan perhatian.

“Lalu carilah kegiatan, tuan. Terjebak di dalam rasa bosan itu merupakan pilihan dan anda bisa menghilangkannya jika anda memang berniat.”

“Tapi aku tipikal orang yang melibatkan seseorang untuk mengusir rasa bosan,” tubuh jangkungnya berdiri, berjalan elok mendekati sang lelaki dengan rahang tajamnya. Berdiri tepat di hadapan pahatan terindah tuhan, Hyunjin terkekeh geli sambil usap pipi Chris.

Sentuhan lembut yang mampu mengalihkan tatapan Chris hingga ia memilih untuk memandang Hyunjin. Yang merasa ditatap masih sukarela menciptakan senyum walau tangannya bergerak nakal sana sini.

Bodohnya Chris biarkan saja Hyunjin lakukan apa yang dia mau. Meraba, mencubit, hingga menjulurkan lidah guna menjamah lehernya. Chris tetap diam dan tak akan menyentuh Hyunjin.

Bukan karena dia tak mau, ia hanya ingin melihat sejauh apa kucing manis ini jilati kulitnya tanpa malu.

“emh-”

“Ah, you moaning. Hihi.” Suara yang terkesan meledek ditangkap tepat oleh telinga Chris ketika Hyunjin mengusap kejantanannya dari luar celana jeans. Sialan, siapa yang akan beritahu kalau titik sensitif Chris juga berada disana walaupun ia sudah lama tidak melakukan hubungan seksual sebelum memutuskan untuk menjadi seorang aseksual.

“Kurasa dirimu bukan tidak tertarik kepada seks, Chris.” Resleting diturunkan perlahan tanpa memutuskan kontak mata dari yang tua, “kamu hanya belum menemukan orang yang tepat yang bisa memanjakan this little Chris

Telapak tangan tersebut masih handal usap gundukan berlapis celana tebal. Si rambut tanggung gigit bibir bawahnya sebelum tersenyum, seolah-olah meminta persetujuan walaupun ia tau Chris tidak akan pernah menjawab iya, maupun tidak.

Tidak ada kalimat yang mempersilahkan atau konsen yang disinyalkan secara gamblang, namun Hyunjin cukup yakin diamnya Chris merupakan sebuah persetujuan.

Bukan kah tidak perlu mengeluarkan suara dan merangkai kalimat untuk menarik seseorang kedalam pesona kita? Hyunjin memang ahli dalam menjerat seseorang.

Maka seperdetik berikutnya, Hyunjin tak lagi berada di hadapan Chris. Jarak beberapa senti yang memisahkan keduanya kini hilang karena Hyunjin memilih untuk berlutut di hadapan selangkangan Chris.

Sialan, Chris tidak sudi melihat Hyunjin. Atau lebih tepatnya menahan mati-matian untuk tidak melihat anak bosnya yang terlampau binal. Wajah cantiknya itu tak pernah membayangi otak Chris, setidaknya sebelum kejadian di jet kemarin.

Apa yang Hyunjin lakukan padanya? Obat apa yang ia suap sehingga Chris tak kuasa menahan fantasinya yang dulunya mampu ia bedung?

Mungkin Hyunjin sendiri yang merupakan narkoba itu, yang buat dirinya candu.

Sekejap saja, ia merasakan penisnya menghangat diikuti dengan rasa basah yang melingkupi. Rambut panjang yang bergesekan dengan permukaan paha dalamnya membuat Chris sedikit risih.

Ia beranikan diri untuk melihat kebawah, dimana Hyunjin dengan cantiknya masukkan penis itu untuk kemudian dikeluarkan lagi, seterusnya begitu. Matanya cantik, semuanya cantik, peluh yang mulai bercucuran di dahinya jugaㅡ

Sialan, semuanya cantik sehingga tanpa sadar Chris menarik rambut Hyunjin agar kejantanannya terdorong lebih dalam oleh yang muda.

“Shh- Hyunjin,”

Kepala Chris pening bukan main dibuat sang anak majikan. Lidah Hyunjin lebih dari cukup untuk manjakan bagian privasinya, namun melihat Hyunjin dengan ekspresi menantang, Chris mengernyit heran.

“how is it feels?” Hyunjin bertanya, lepaskan kejantanan yang lebih tua dari mulutnya, masih tegang dan menggoda di mata yang lebih tua. “Bagaimana servisku, Mr. Christopher?

“service?”

Hyunjin mengangguk, kecup ujung tumpul kejantanan yang masih memerah sebelum angkat tubuhnya bediri. Lutut memerah, namun ia malah mendekatkan diri kepada sang lelaki kemudian kecup belah bibir yang sedikit terbuka.

Lendir yang tercipta setelah Hyunjin lepaskan pangutan bak kode kalau permainan ini akan berjalan lebih jauh. Tersenyum sudah menjadi keahlian Hyunjin disepanjang momen mereka bersama dan kini Hyunjin melakukan itu lagi untuk mengirim sinyal.

“Penismu masih menegang, tuan Chris. Jangan biarkan dia kelaparan menunggu makanannya, kecuali jika kamu memang tega membiarkannya kesakitan.”

“shit, Hwang Hyunjin”

“Sebentar, tuan Chris baru saja mengumpat? Hahaha” kekehnya tak tau malu, “sungguh luar biasaㅡah!”

Kalimat mengolok-ngolok itu spontan terpotong, tergantikan oleh raut wajah kaget Hyunjin yang terpantul jelas di kaca meja rias tempat dimana Chris mengelap senjatanya. Kedua tangan Hyunjin ditahan dibelakang seperti seorang penjahat, ya walaupun dia telah melakukan kejahatan karena menyentuh tubuh sang pengawal.

“Apa?” Hyunjin bertanya, “kamu mau menahanku dan membawaku ke penjara?” Tanya si cerewet dari pantulan cermin, namun wajah Chris yang datar bagaikan aspal selalu sukses menguji emosinya.

Jika Hyunjin mampu dan bisa, ia akan membuat 1001 ekspresi untuk pengawal tak punya hati miliknya itu. Sempat-sempatnya Hyunjin berpikir demikian diantara posisi pantat tinggi menungging terpampang oleh Chris.

Pada dasarnya memang Hyunjin yang tak tau malu, sih.

Hyunjin rebahkan kepalanya karena hampir empat puluh detik Chris memposisikan tubuh mereka seperti iniㅡhampir berontak setidaknya sebelum Hyunjin mendengar suara plastik yang dibuka, juga suara benda berbahan dasar karet.

Kondom?!

“Chris? angh!

Tubuhnya terhentak kedepan secara tiba-tiba. Hyunjin teriak seperti tenggorokannya mau putus saat Chris tanpa basa basi lesakkan kejantanannya ke lubang senggama milik Hyunjin. Diam sebentar disana tanpa mengatakan sesuatu membuat Hyunjin frustasi.

“Chris! Katakan sesuatu!”

Mata Hyunjin berair sebelum kepalanya memandang ke cermin. Chris masih dengan ekspresi datarnya (yang sudah Hyunjin duga) masih menahan kedua pergelangan tangan Hyunjin di belakang sebelum mengeluarkan dan hentak lagi masuk.

“Ah, gilaㅡ sshh

Hyunjin sumpah mabuk kepayang baru dengan dua kali hentakan atau memang tubuhnya yang terlampau sensitif? Ia menggerakkan pinggulnya mengode agar Chris menghujamnya lebih dalam.

Tampak seperti anak kucing yang meminta susu, bedanya Hyunjin memintaㅡ

“Bagaimana rasanya menjadi sosok yang tidak berdaya, Hyunjin?” Bisik Chris di telinganya, sampirkan rambut pirang si cantik ke belakang telinga, “You always tease me, now i will give something that you really want”

“Uh- aku suka menjadi tidak berdaya dibawahmu, engh-”

Masih berkontak mata lewat cermin, tak lama kemudian Chris lepaskan cengkraman yang membuat pergelangan tangan Hyunjin memerah. Kecup bahu Hyunjin yang masih terbalut oleh baju khas seseorang selepas mandi lantas hentakkan lagi penis hingga termakan habis oleh lubang merah mudanya.

Hyunjin menjerit nikmat sampai-sampai pejamkan mata karena Chris tak beri ampun padanya. Kulit bertemu kulit ciptakan suara nyaring yang mampu buat tubuh Hyunjin merinding luar biasa.

“d- deeper, pleaseㅡ Mister, angh!”

Pinggang rampingnya tinggi di udara akibat cengkraman yang Chris lakukan, sedang tubuh masih terhentak sampai dadanya bergesekan kuat dengan meja rias kayu di kastil tua tersebut. Hyunjin sayup-sayup disela desahan yang keluar dari bibirnya melirik ekspresi Chris yang tengah menunganggi bokongnya dibelakang sana.

Hot, dengan peluh berucuran juga gigi yang berderit karena nafsunya sudah berada di puncak, sangat tampan dengan usahanya untuk mencapai putih.

“Faster, mhm- Chris, uh-”

“Ah! Ah! There-


“Tuan Hyunjin, sebaiknya anda mandi dulu.”

Seingat Hyunjin dia tengah berada di alam mimpi, berlarian kesana kemari dengan ibunya yang sudah tenang diatas sana sebelum mendengar Chris memanggilnya dengan lembut sambil mengusap punggung telanjangnya.

Ia mengerjapkan mata, kemudian langsung bertatapan dengan sang pengawal. “Bukan kah terlalu canggung memanggil dengan sebutan anda setelah apa yang telah kita lakukan?”

“Saya akan tetap memanggil anda seperti itu.”

“Terserah, paling bosan sendiri.” Hyunjin mendengus kesal, “kamu sendiri sudah mandi?”

“Saya menunggu anda mandi terlebih dahulu.”

Hyunjin bangun dari tidurnya tanpa niat melindungi tiap inci kulit yang tengah terekspos di pandangan Chris sekarang. Ia tersenyum kecil, merangkak mendekat dan duduk di paha keras sang pengawal.

“Ayo, tunggu apalagi?” Hyunjin mengisyaratkan Chris untuk berdiri, “aku akan bersihkan punggungmu. Setelah ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

Dihadiahi oleh kecupan singkat di pipi Chris. Lelaki itu menurut dan menggendong Hyunjin seperti induk koala yang membawa anaknya.

Diam-diam Chris tersenyum tipis, sebelum eskpresinya kembali datar.

– end

infatuated

Tags: Seungjin, Seungmin top, hyunjin bottom, including 18+ thing

ㅡ Hyunjin menekan kombinasi pintu flat dengan tergesa-gesa. Diluar hujan dan ia tidak membawa payung menyebabkan sebagian tubuh atasnya basah diguyur air.

Hyunjin kedinginan setengah mati, apalagi dia paling tidak tahan dengan dingin. Ujung-ujung jemarinya memutih, tiba saat ia menutup pintu dan melepas sepatu, ada sepatu dengan jenis serupa pula sudah tersusun rapi di rak kecil yang sengaja diletakkan disana.

Rasa dingin di tubuh Hyunjin mendadak menguap entah kemana saat mengetahui Seungmin sudah pulang ke flat mereka.

Iya. Ruangan yang tidak terlalu besar namun nyaman ini dihuni oleh dua anak adam dengan paras yang cukup membuat orang-orang sukarela tutup mulut menggunakan telapak tangan akibat ketampanannya.

Itu tidak lah penting, Hyunjin segera melengok untuk mencari keberadaan Seungmin.

“Seungie?”

“Disini, Hyunjin.”

Tersenyum lebar, Hyunjin ambil langkah lebar guna mendekati teman sekamarnya tersebut. Pemandangan seperti biasa pun ia dapatkan, dimana Seungmin dengan kacamata yang bertengger di hidung bangir juga jari panjang yang sibuk mengetik di keyboard laptop, tak lupa fokusnya yang sangat kuat sehingga Hyunjin harus mengambil beberapa langkah lagi untuk mendapat perhatian Seungmin.

Sialan. Hyunjin selalu mengumpat dalam hati apabila radius jaraknya dengan Seungmin sedekat ini. Hanya berjarak dua jengkal dari kulit masing-masing.

Gugup, “er- udah makan?”

“Belum Hyunjin, kamu mau makan?”

“Boleh deh, ada apa?”

“Sup tadi siang ada kok, aku hangatkan ya? Kamu mandi saja dulu. Air hangat.”

Seungmin langsung membuka kacamatanya dan meletakkan di nakas samping. Padahal maksud Hyunjin bisa nanti-nanti, biarkan Seungmin selesaikan tugasnya dahulu.

Namun melihat wajah Seungmin yang menyambutnya dengan senyum, Hyunjin lagi-lagi telan kalimat yang hampir keluar dari ujung lidah.

Seungmin literally hanya duduk, mengetik, menanyakan makan, tersenyum. Namun Hyunjin seperti butuh napas buatan saat ini. Rongga parunya seperti tertutup oleh kebun bunga.

Jika ada kompetisi membuat jantung orang berdegup kencangㅡmaka Seungmin menempati peringkat teratas.

“Hyun, mau nasi juga?” Tanya Seungmin dari jauh, “pakai ya?”

“Iya, Seungmin!” Seru Hyunjin. Rencana awal yang akan ia lakukan adalah makan dulu sebelum mandi, namun saran Seungmin tidak lah buruk. Ia juga barusan dari luar.

Kadang Hyunjin sering berdelusi bahwa mereka merupakan pasangan yang sudah menikah walaupun kenyataannya mereka hanyalah mahasiswa yang sedang berada di fase stres akibat tugas yang menumpuk.

Tugas yang menumpuk memang membuat beban di kepala, tapi semua itu bisa hilang hanya dengan melihat Seungmin. Hahaha. Kalimat tersebut sudah menjadi motto hidup Hyunjin.

Setelah mengambil handuk, Hyunjin iseng melihat tugas yang tengah Seungmin lakukan. Tersenyum tipis kala melihat wallpaper laptop Seungmin adalah foto mereka berdua saat pergi berlibur ke pulau jeju. Mereka tampak seperti pasangan kekasih, andai saja itu bisa jadi kenyataan.

Hyunjin menghela napas meratapi perasaan yang buat dirinya bimbang. Antara suka dari hati atau hanya nyaman karena Seungmin mempunyai kepribadian yang baik. Antara hanya anggap Seungmin teman sekamar atau ia memang memiliki sesuatu yang lebih terhadap si tampan.

“Halaaah, Seungmin ganteng seleranya pasti bukan gue.” Adalah sebuah mindset yang telah tertancap sempurna di otak Hyunjin.

Menit berikutnya Hyunjin bangkit dari kasur dengan mood yang sedikit anjlok. Saat mengambil handuk yang awalnya berada di permukaan kasur, Hyunjin salah fokus dengan sebuah bungkusan.

Kecil, persegi, mengkilap, keluar tanpa sengaja dari tas milik Seungmin.

Hyunjin pikir itu sebuah minuman kemasan atau tablet vitamin. Pemantulan cahaya membuat permukaan benda itu cukup sulit dikenali oleh matanya. Lantas Hyunjin mengambilnya.

“Kondom?!”


Suhu tubuh Hyunjin sudah kembali normal karena mandi menggunakan air hangat, namun tidak berlaku untuk wajahnya, rasa panas di pipinya tak kunjung mereda.

Ia penasaran apakah Seungmin menangkap basah dirinya tengah bersemu sekarang? Namun jika dilihat, Seungmin yang sangat fokus ke ponselnya membuat Hyunjin sedikit bernapas lega.

Setidaknya Hyunjin masih punya waktu untuk menghilangkan bayang-bayang mengenai alat kontrasepsi yang ia temukan dari tas Seungmin.

Hyunjin mungkin berpikir kalau Seungmin abai, jawabannya salah besar. Dari Hyunjin melangkah keluar kamar mandi, Seungmin sudah menaikkan satu alis karena merasa heran mengenai sikap Hyunjin.

Mulai dari dia yang menghindari kontak mata dengan Seungmin, juga kegugupan yang entah disebabkan oleh apa. Karena Seungmin tidak ingin membuat Hyunjin merasa malu, maka ia memilih diam.

Setidaknya untuk beberapa menit kedepan. Asap sup mengepul tepat dibawah wajah Hyunjin, namun lelaki itu tak kunjung sentuh makanannya. Malah melamun jauh, terbang tinggi ke awang, entah apa yang berada di pikirannya.

“Kalau kamu ingin mengatakan sesuatu katakan saja, Hyunjin.” Akhirnya bibir yang terkatup sejak suapan daging terakhir mulai terbuka, “aku tidak akan marah.”

“Bukan apa-apa kok.” Mendadak Hyunjin gugup hingga dapat mendengar suara jantungnya sendiri. Ditatap Seungmin begitu membuatnya salah tingkah, walaupun mata tajam Seungmin kini tengah berlindung dibalik kacamata, Hyunjin masih bisa menangkap sempurna ekspresi tanda tanya Seungmin.

Ia grogi, demi tuhan.

“Lanjut makan aja, yuk!” Tanpa merasa ada yang mengganjal di antara mereka, Hyunjin membuang topik tadi jauh-jauh.

Ayolah Hyunjin, astaga!

Itu hanya kondom, A fucking condom, bukan obat-obatan terlarang!

Bahkan lo sering denger cerita dari temen-temen lo, kenapa harus kaget?

Gimana kalau Seungmin bakal apa-apain lo?

Jangan berlebihan, tolol! Seungmin gak pernah nyentuh lo kan?!

tapi bagaimana jika-

“Hyunjin?” Panggil Seungmin lagi, kali ini dahi mengerut tanda khawatir karena Hyunjin hanya memandang kuah sup yang sudah mendingin tanpa mengucap sepatah kata.

Seungmin khawatir bawasannya Hyunjin berhalusinasi akibat stres berkepanjangan. Ia hampir menggendong Hyunjin, namun yang Seungmin maksud sudah tersadar dari lamunan setelah Seungmin mengusap bahunya.

“Ah!”

“Hyunjin, kamu kenapa? Tolong tenang.”

“Kamu manggil?”

“Mungkin ada sekitar tiga kali, hyun. Kenapa? Kamu sakit? Ayo kita tidur saja. Kalau ada tugas biar aku bantu sebisanya.”

Seungmin berdiri, Hyunjin duduk. Hyunjin perlu usaha ekstra melihat Seungmin yang dua kali lipat lebih tampan dengan rambut acak-acaknya. Kini keduanya terdiam dengan posisi seperti itu, Hyunjin mendadak canggung.

“Seungmin, kemarin saat kamu gak pulang ke flat, kamu tidur ya?”

tidur?

Astaga, Hwang Hyunjin. Kenapa mulutmu licin sekali?! Kini Seungmin terlihat kurang nyaman atas pertanyaan yang baru keluar dari belah bibirmu!

“Ti- tidak, maaf Seungmin-”

Hyunjin malu untuk sekedar menatap mata Seungmin hingga ia memilih untuk beranjak. Namun, Seungmin mentitahkan Hyunjin untuk kembali duduk lewat gerak tubuhnya. Hyunjin terdiam, kini Seungmin mengintrogasi lebih dekat.

“Kamu berpikiran kayak gitu karena kondom yang ada di tas ku?”

“Er-”

“Berarti benar.” Seungmin terkekeh, usap pelan rambut tanggung Hyunjin. “Itu dikasih sama Minho, katanya hadiah ultah. Padahal udah lewat tiga hari.”

Mampus. Hyunjin meleset jauh.

“Gitu ya, ma- maaf Seungmin.”

Benar-benar rasanya Hyunjin mau menghilang dari bumi. Semua ini akibat otaknya yang terlalu berpikir berlebihan terhadap Seungmin.

Ia yakin Seungmin tak sepolos itu. Seungmin adalah lelaki dewasa yang sudah paham mengenai hal-hal dewasa pula, begitu pun Hyunjin sendiri. Namun entah kenapa Hyunjin terkaget, mungkin karena ia selalu melihat sisi putih Seungmin yang hampir tidak pernah membicarakan hal-hal yang menyangkut kegiatan seksual dan semacamnya.

Hyunjin usap wajahnya, hela napas, lantas tersenyum. Seungmin masih disana, memandang Hyunjin dengan intens tepat di mata.

Sialan, lagi-lagi Hyunjin gugup.

“if we do it, it's not your first time. Right?”

Bola mata Hyunjin membulat. Penuturan Seungmin terlalu tiba-tiba dan pintarnya Hyunjin langsung paham kemana arah pembicaraan ini.

“No, it's not..”

“is it okay if we? No, i mean it's fine if you not allow it.”

Pemuda pisces itu teguk ludahnya kasar. Untuk pertama kali setelah setahun mereka tinggal dibawah satu atap, Seungmin meminta izin kepadanya. Namun ada satu hal yang sedikit mengganjal di benak Hyunjin.

“Seungmin, kamu suka aku?”

Hyunjin mencari jawaban di labirin mata si tampan, dibanding jawabanㅡHyunjin malah mendapatkan tatapan yang teduh.

“you will find it soon”

Infatuated part 1ㅡend


Tags: Mafia AU (Bodyguard Chris and son of mafia Hyunjin); including non-consensual actions; kinda NSFW, be a wise reader. Enjoy!

Chan merasa kalau langkahnya tak kunjung berakhir melewati jalan paving block dengan pepohonan yang tumbuh di sisian jalannya.

Lirik arloji, mungkin sudah sekitar tiga menit ia berjalan menyusuri karena ia hanya bisa mengikuti jalan yang lebarnya hanya lima jajaran orang dewasa.

Sepi, hanya ada burung berterbangan diatas sana. Mobil sengaja ia tinggalkan di pagar raksasa yang dijaga oleh beberapa orang yang berpakaian sama dengannya.

Heran juga disaat profesi yang ia emban sama berbahaya, ia tetap diawasi oleh tangan kanan dari tuan Hwang dari belakang sana. Yang tentunya sudah profesional terlatih.

Mata menyipit kala memandang cahaya matahari yang mengintip dibalik awan. Sebuah keberuntungan karena cuaca yang tidak panas membuatnya tak payah berjalan dibawah terik. Sempat mengumpat dalam hati karena setelah lima menit berjalan barulah ia menemukan gerbang lagi di depan.

“Siapa yang menghubungi anda?”

Normalnya jika seseorang izin memasuki perkarangan rumah seseorang akan ditanya seperti apakah sudah membuat janji temu? atau ingin menemui siapa?

Unik, lumayan. Pengawasan rumah megah ini benar-benar ketat.

Chan membuka kacamata hitamnya, “tuan Hwang Chansung. Penerus ketiga dari keluarga besar Hwangㅡ”

“Mafia yang paling ditakuti di negara ini. Saya Christopher Bahng, nama pendek Chan telah dihubungi oleh tuan Hwang kemarin karena tuan Hwang meminta saya untuk melakukan sesuatu.”

Dua bodyguard yang lebih tinggi beberapa senti dari Chan saling bertukar pandang, mempertimbangkan apakah yang keluar dari belah bibir merah muda itu sebuah fakta atau tidak.

Namun keduanya mundur perlahan ketika mendengar ketukan pantofel yang khas juga suara tawa yang jaraknya tak jauh dari ketiganya.

Hwang Chansung menyambut langsung Chan di depan pagar kediaman rumahnya.

“Chan, bukan?”

“Ah iya, saya tidak salah alamat kan?”

“Tentu saja tidak!” Pria itu tertawa lebar, “kalau ada orang yang tau koordinat rumah ini sudah kupastika peluru menancap di otak mereka.”

“Anda bisa saja.” Chan menanggapi.

Lelucon yang mengerikan bagi siapa saja yang baru mendengarkan untuk pertama kali. Chansung membawa Chan masuk ke dalam rumahnya sambil bercengkrama begitu ramah. Toh, bagaimana pun lelaki ini sudah memiliki keluarga, tidak melulu berpenampilan menyeramkan, bukan?

Ketika pintu dibuka dari dalam, sebuah foto besar yang terpajang di dinding ruang utama langsung menyapa indra penglihatan Chan. Tiga orang yang tersenyum. Sepasang suami istri dan seorang anak lelaki. Pantulan lampu gantung besar yang berada di atasnya menambah kesan magical.

“Bukankah kualitas gambar ini sangat bagus? Aku menyewa fotografer handal untuk mengabadikan ini.”

“Oh ya?”

Chansung mengangguk, “ah, harusnya reaksimu jangan datar seperti itu.” Candanya.

Namun Chan hanya terkekeh kecil akibat tak biasa, “fotonya sangat indah. Saya tebak bingkainya dibandrol dengan harga yang sangat tinggi.”

“Hahaha, tidak perlu berlebihan Chan. Yang membuat foto ini indah bukanlah bingkainya, melainkan dua orang yang tengah tersenyum ituㅡ”

Chansung menunjuk, “mendiang istriku dan anakku, Hwang Hyunjin.”

Masih dengan anggukan tanda menyutujui, seseorang yang sempat dibicarakan oleh Chansung dan Chan muncul dari tangga lantai kedua. Dengan telaten mengikat rambut dan berkedip bingung.

Tentu saja bingung, Chan bertaruh kalau lelaki manis itu tidak pernah melihat orang lain selain rekan kerja sang papa. Mungkin saja Chan merupakan orang pertama yang injakkan kaki di lantai marmer bercorak rumah yang terlampau indah ini.

“Oh?”

“Hyunjin, kemari.” Chansung memanggil anaknya dengan senyuman, “perkenalkan dia Christopher.”

Chan sedikit kaget saat melihat lelaki manis bernama Hyunjin itu lari secepat kilat hingga sudah berdiri di hadapan Chan. Kurus langsing di beberapa bagian, anehnya Chan sempat salah fokus di suatu bagian, sialan.

“Salam kenal, Chris. Aku Hyunjin.” Katanya dengan senyum lebar, menjabat tangan tanpa ragu, tanpa memikirkan seberbahaya apa Chan.

Chan tanggapi dengan lengkungan kecil di bibir, Hyunjin melengos. Dia sombong sekali, untung tampan. Perjabatan singkat itu pun diputus oleh Hyunjin karena Chan memberikan first impression yang kurang memuaskan.

Andaikata ada lima bintang, Hyunjin akan memberikan minus satu.

“Papa sudah bilang kan kalau papa tidak cukup percaya dengan kamu?”

“Astaga papa,” Hyunjin hela napas, “jadi beneran yang papa omongin tadi malam, dan ini?”

“Anu, body lotion?”

“Bodyguard, tuan Hyunjin.”

“Ya, ya, itulah.” Beralih lagi ke sang ayah, “Pa, serius?”

“Sayang, kita udah bicarain ini tadi malam kan?” Chansung mengusap rambut panjang Hyunjin yang dikuncir setengah. Lemparkan senyuman agar sang anak tidak mencoba untuk menolak lagi, Chan hanya diam melihat ayah dan anak itu sempat berdebat kecil.

Ia tidak peduli. Ia hanya menjaga sang anak, mendapatkan uang, kemudian pergi menjalankan pekerjaan berikutnya. Harga yang ditawarkan Chansung bukanlah sedikit, Chan juga bukan orang munafik yang tidak butuh uang.

“Jadi tiga bulan Hyunjin harus terperangkap dengan orang asing?”

“Sebenarnya bukan orang asing juga, pamannya pernah bekerja untuk papa selama hidupnya. Jadi papa cukup percaya.”

“Bagaimana papa bisa percaya dengan orang seperti dia?” Lirikan sinis ditangkap sempurna oleh Chan. Wajahnya cantik sih, namun sayang sedikit judes. Agaknya Chan perlu kesabaran ekstra kedepannya, karena Hyunjin merupakan sumber uangnya nanti.

Lain di Hyunjin. Sulit untuk bangun rasa kepercayaan dalam dirinya setelah ia pernah hampir diculik oleh orang yang mengaku bodyguard. Ah, bullshit! Hyunjin lebih baik jaga diri dengan kemampuan menembak yang sempat ia pelajari.

Apa-apaan bodyguard dengan tampang datar dan tidak ada sangar-sangarnya? Rambut disemir kebelakang namun tidak rapi, ditambah baju semi-formal yang tidak menggunakan dasiㅡ

Hyunjin amati dan hakimi habis-habisan penampilan Chan pagi itu, buat dirinya makin diselubungi rasa tidak percaya.

“Saya paham.” Chan berdehem, “tuan Hwang, saya punya saran kalau anda berkenan mendengarnya.”

“Apa itu?”

“Aku dengar banyak yang menjual gelang untuk mendeteksi keberadaan seseorang. Mungkin anda bisa berikan kepada Hyunjin? Hanya antisipasi.”

“Antisipasi untuk?” Hyunjin menyela, Chan melirik malas.

“Agar papa anda tau kemana anda pergi. Sehingga anda tidak memiliki alasan untuk menjauhi saya tuan Hyunjin yang terhormat.

Sial, nada terakhir terdengar seperti ejekan di telinga Hyunjin. Ditambah Chansung yang menyetujui ide Chan membuat Hyunjin makin badmood.

Tapi, baiklah. Ia akan coba untuk bangun kepercayaan itu lagi walau sulit. Setidaknya ia tidak boleh membuat sang ayah berpikir keras mengenai keselamatannya.


“Maaf, tuan Hyunjin. Saya tidak diperbolehkan masuk.”

“Ish!” Baru bekerja beberapa jam susah sekali diatur pikir Hyunjin, “gapapa, aku kan sudah beri izin. Ayo!”

dum!

cklek!

“Kenapa dikunci?”

“Ssstt, diam aja deh. Hihi.”

Chan hela napasnya tampak berpikir mengenai apa yang akan Hyunjin lakukan sampai mereka berdua harus berada di dalam kamar yang lebih seperti ruangan pameran seni. Posisi tegap berdiri di dekat pintu, sementara Hyunjin asyik melihat ke layar persegi di genggaman.

“Papa bilang apa sebelum pergi?”

“Tuan Hwang?” Tanya Chan, Hyunjin mengangguk. “Tidak ada, Tuan. Beliau hanya mengatakan untuk menjaga anda.”

“Aaah, tidak menantang!”

apanya yang tidak menantang, ayahmu sendiri saja adalah seorang mafia. Chan tak habis pikir.

Ia kira Hyunjin adalah sejenis anak yang berperawakan besar, berotot, dengan wajah datar. Kalau tinggi sih memang, tapi untuk tiga kriteria lainnya tidak ia temukan.

Kalau boleh jujur Chan lebih seperti menjaga anak bayi dibanding anak mafia. Ia penasaran apakah Hwang Chansung pernah melibatkan anaknya dalam dunia gelap dan penuh misteri itu.

Ingin bertanya, tapi semua itu diluar kuasa Chan. Jadi ia akan diam untuk kesekian kalinya.

Hanya butuh sekian menit sampai Hyunjin berdiri hampiri Chan. Kaki jenjangnya melangkah sukacita hingga tubuh tinggi kencang itu kini berdiri tepat di hadapan yang lebih tua, Hyunjin tersenyum.

“Kamu pembunuh bayaran, bukan?”

Senyuman si manis makin lebar bak kejutan. Hm, Chan tak habis pikir darimana lelaki itu bisa menebak pekerjaan lama Chan. Apakah Chansung memberitahunya?

“Itu pekerjaan lama saya.”

“Nice!” Hyunjin bertepuk tangan. Pasti dia sudah gila. “Papaku memang sangat handal dalam memilih sesuatu, lindungi aku dengan baik ya.”

chu!

Satu kecupan mendarat di ujung hidung mancung miliknya. Meskipun begitu wajah datar tetap jadi andalan hingga Hyunjin keheranan sendiri dan putuskan untuk menjauh dari Chan.

Ah, baiklah. Chan paham. Mungkin Hyunjin belum atau tidak tertarik kepada dunia Mafia, namun otak anak itu memang agak gila dan extra, sama seperti ayahnya. Ia jadi penasaran sebenarnya Hyunjin lebih mewariskan sifat sang ayah atau ibu.

Mau contoh yang lain? Sekarang anak manis itu tengah memunggungi Chan sambil melepas satu persatu pakaiannya.

“Panas gak sih? Pengen mandi.”

Jatuhkan bajunya, buka celana pendeknya, lanjut dalaman yang tak sengaja ditangkap oleh netra Chan.

Warna hitam, dengan renda yang entah bertujuan untuk apa.

Lolos juga melewati kaki panjang Hyunjin. Tato bertuliskan baby boy terpampang sangat apik di tulang pinggang yang lebih muda, Hyunjin tertawa keras.

“Astaga! Baru kali ini aku melihat ada orang yang tidak tertarik ke pantat ini.” Kemudian sengaja pula ia pukul pantatnya sendiri.

Tidak habis-habis cobaan, Hyunjin menungging untuk ambil pakaiannya yang sempat dijatuhkan dengan sengaja. Kini sebuah lubang anal ditangkap sempurna oleh dua biji mata Chan.

Ia cabul juga kalau dilihat. Dengan keadaan anak majikan yang telanjang bulat, matanya tak bergerak malah asyik pandangi pahatan tuhan yang sangat indah tengah berlenggak-lenggok di depannya.

Apakah afrodit memberikan sebagian kecantikannya kepada Hwang Hyunjin, sehingga ia menjadi sangat cantik dan menggoda dengan atau tanpa sehelai benang?

Biarkan jariku sentuh kulit bersihmu, bisik setan yang berada di otak Chan yang untung saja tidak akan semudah itu Chan turuti.

“Sebaiknya anda mandi.”

“Iya, iya, ini mau mandi.”

Blam!

Hyunjin sudah masuk kamar mandi, kini Chan bernapas lega.

“Chriiiis! Tolong ambilkan bebek karetku diluar!”


Anak majikan barunya itu sangat penuh kejutan. Kalau Chan boleh jujur lelaki itu beda dari yang lain. Penampilan, sifat, tabiat, keinginan, semua sangat kontras dibanding orang-orang yang pernah Chan jaga.

Hwang Hyunjin, lelaki itu mengeluarkan asap tipis dari belah bibirnya. Kepala didongak ke atas sambil mata pandangi pergerakan asap yang perlahan menghilang.

Juga sebuah boneka anjing berwarna coklat di pelukan. Dipeluk seperti anjing itu akan pergi berkelana jauh darinya.

“Kamu gak mau nanya kita kemana?” Tanya Hyunjin masih fokus melihat beberapa pesawat yang akan lepas landas. Menoleh ke Chris, namun lelaki yang ditanya tetap bungkam membuat Hyunjin menghela napas kasar.

Dibuangnya rokok batangan yang sisa setengah ke tempat sampah tak jauh dari posisinya. Ia mengecap sebelum mengolesi lipbalm ke bibir berisi, tentu saja dengan rasa favorit yaitu strawberry.

“Sesekali kamu harus melembabkan bibirku Chris.” Kekeh Hyunjin, “dengan bibir merah muda milikmu.”

“Maaf menyela, tuan Hyunjin. Berciuman hanya membuat bibir anda semakin kering.”

“Ahh, tidak seru!”

Oh tuhan, tolong. Hyunjin semakin sakit kepala dibuatnya. Chris adalah orang yang paling tidak seru namun disalah satu sisi paling atraktif di mata Hyunjin, bagaimana bisa?

“Sepertinya aku harus memancingmu duluan yaㅡ”

“Tuan Hyunjin, pesawat sudah ready. Mari ikuti saya.”

Omongan Hyunjin terpotong, begitu juga euforia panas yang sengaja ia bangun tadi. Chan mengode kepada orang yang berada di belakang Hyunjin untuk mengikutinya segera. Lagi-lagi Hyunjin mendengus kesal, putar badan seperdetik kemudian tersenyum seperti orang tolol.

Sengaja, agar image nya tidak jelek.

Hyunjin menarik pergelangan Chris selama perjalanan menuju jet pribadi miliknya. Merambat hingga lengan keras milik Chris dan memeluknya erat-erat, Hyunjin iseng melihat wajah datar pengawalnya.

Datar.

Datar seperti jalan tol.

Ah, yaudah. Yang penting Hyunjin bisa menikmati lengan berotot kesukaannya secara gratis.

Chan ditempeli oleh Hyunjin seperti anak layangan yang selalu menempel pada induknya. Hingga dimana mereka sampai dan duduk di dalam jet tersebut, Hyunjin juga tidak mau berjauhan dari Chan.

Hyunjin memilih setia pandangi Chan dengan pakaian jas tanpa dasinya. Sesekali tak segan gigit bibir bawahnya tanda tertarik.

Sumpah demi tuhan Chan tidak tertarik, ia hanya kebingungan kenapa Hyunjin mengatakan “Sepertinya aku harus memancingmu duluan ya.”

Demi neptunus juga, Chan tidak sepolos itu. Murni bingung karena ucapan Hyunjin lebih terdengar seperti godaan anak yang baru puber.

Masa bodoh. Chan tidak ingin terlibat lebih jauh ke manusia cantik di hadapannya.

Setidaknya Chan masih bisa minum jus nanas dengan tenang atau sesekali mengecek ponsel siapa tau ada pesan yang masuk. Atau melamun mengenai anjing manisnya yang tengah dititipkan oleh Changbin dan Felix di Australia sana.

Chan masih bisa lakukan hal banyak di dalam jet sialan ini kalau saja kaki Hyunjin tetap diam ditempat.

Hyunjin tersenyum sangat binal di seberang sana, tepat hanya beberapa sentimeter di depannya. Sialnya lagi selama ini Chan berpikir Hyunjin mengenakan celana dibalik coat mahal keluaran designer ternama itu, ternyata ia salah besar.

“Chris? Kenapa kaget begitu.”

Bukan kah wajah Chan terlihat sama saja setiap saat? Bahkan ketika tubuhnya dilanda rasa sakit pun ia tidak akan menunjukkan ekspresi yang berarti. Hyunjin semakin sok tau.

Kaki jenjang itu masih bermain-main di tulang tibia, gesek dari ujung lutut hingga pergelangan kaki. Kaos kaki selutut yang tengah membalut kaki yang lebih muda mempermudah Hyunjin untuk menggerakkan tungkainya.

“Apa yang anda lakukan?”

“Hm,” Hyunjin mengendik bahu, “aku yakin kamu cukup tau apa yang aku lakukan.”

Puas mengusap disana, Hyunjin makin menaikkan gerakannya hingga mencapai paha dalam Chanㅡlanjut menekan-nekan gundukan dibalik celana bahan lelaki di depannya. Sempat pula tertawa kecil sambil gigit ujung telunjuknya yang terpolesi kuteks bening.

“feels nice?”

Hyunjin masih menekan-nekan penis dibalik kain itu. Dilihatnya wajah Chris masih datar memandangnya. Hyunjin bersyukur sempat menolak tawaran pramugari yang akan menemani pernerbangan pribadinya, kalau tidak Hyunjin tidak akan bisa seleluasa kupu-kupu di lapangan berbunga.

Hasil penolakan itu juga menghasilkan hal baik untuk Hyunjin: bisa mengerjai Chris sepuasnya.

Hyunjin luar biasa binal dengan kekehan centil juga pergerakan tubuh yang mengundang. Tatapan mata tak henti-henti menyerang Chan dan berusaha menarik lelaki itu ke dalam jurang terdalamnya.

Sukses.

Hyunjin memang tak kenal dengan yang namanya kalah. Kata itu tidak pernah dan tidak akan bisa masuk ke dalam kamus kehidupan Hyunjin.

Hyunjin berniat menyudahi sesi menggoda sang pengawal dan langsung menurunkan kakinya. Namun Chan tak memperbolehkan. Ia tahan kaki Hyunjin tepat di paha kerasnya meninggalkan wajah Hyunjin yang pucat pasi.

Tidak. Hyunjin tidak boleh kelihatan panik.

“Kenapa?”

“Apakah anda sengaja?”

“Sengaja untuk?”

“Goda saya.” Chan tersenyum, untuk pertama kalinya Hyunjin melihat senyum super tipis terukir di wajah bersih itu, “kenapa anda lakukan itu?”

“Aku hanya bosan.” Hyunjin membalas, buang pandangannya ke jendela yang dipenuhi awan.

Bosan ya? Kalimat itu membuat Chan tertawa dalam hati. Alasan receh yang hanya digunakan orang ketika sudah kehabisan kata.

Biar pun begitu Chan tak membalas. Biarkan Hyunjin dengan dunianya, menanti berapa lama Hyunjin akan tahan menatap gumpalan putih di luar sana.

Bosan itu bukan alasan, Hyunjin.

Chan mengusap kaki kurus Hyunjin dengan telapak tangan kasarnya. Memijit pelan memberikan stimulasi yang mampu membuat Hyunjin melirik.

Ia masih memberikan pijitan lembut itu, setidaknya sampai Hyunjin menggigit bibir bawahnya sendiri. Lantas perlahan ia turunkan kaus kaki yang tadi sempat baluti kaki Hyunjin dan menyimpannya di meja samping.

Dingin menyapa permukaan kaki telanjang Hyunjin. Sepenuhnya Hyunjin alihkan perhatiannya ke Chris.

Kedua telapak tangannya mencengkram sisian tempat duduk. Chan mengecupi jemari kakinya yang juga terpoles kuteks beningㅡnaik ke pergelangan kaki, jilat kecil kemudian cium, naik hingga tulang kering untuk dicium lagi, betis kencangnya tak lupa dijamah hingga tercipta sebuah mwah basah diantara lagu klasik yang tengah terputar.

Hyunjin dengan mata terpejam, kepala mendongak, bibir lembabnya terbuka akibat sentuhan-sentuhan yang tak ia duga.

Bangsat, harusnya Hyunjin memakai kuteks hitam kalau tau begini.

“Kelakuan anda cukup diluar ekspetasi untuk seukuran anak Mafia, Tuan Hyunjin.” Chan buka suara, “anda sangat unik.”

“Anh-”

Aish! Hyunjin ingin membalas bukan mendesah. Bodoh, bodoh, sekarang giliran dia yang mendengarkan tawa menyebalkan dari sang pengawal pribadi.

Chan turun dari kursinya, berlutut hingga posisi Hyunjin lebih tinggi darinya. Mata tepat tertuju kepada selangkangan, namun ia memilih untuk lanjuti kegiatan yang sempat tertunda.

Kaki Hyunjin dibawa untuk bertumpu di bahunya, sementara Chan kembali mengecupi paha kencang yang tidak terbalut kain. Sudah ia bilang kan kalau Hyunjin tidak mengenakan celana selain dalaman.

Gila.

Binal cantiknya tengah keenakan mendapat kecupan basah yang menodai sang paha. Juga bekas-bekas gigitan kecil sengaja ditinggalkan supaya Hyunjin bisa mengenangnya.

Chan tersenyum, Hyunjin hampir menangis. “feels nice?”

“Akh- emh”

Hyunjin berharap Chris berani mengambil langkah lebih jauh. Membuatnya senang, mungkin. Namun tidak. Setelah membuat Hyunjin yang setengah tegang akibat ulahnya, Chris kembali duduk dan meminum jus nanas yang belum sempat dihabisinya tadi.

“Kok?”

“Ada apa, tuan?”

“i'm wet down there, Chris. Why you stop?”

Chan tersenyum, “it's not my problem.”

Demi galaksi bimasakti, Hyunjin ingin mengamuk frustasi kalau saja mereka tidak sedang di dalam jet sekarang. Bisa-bisanya lelaki buaya itu sempat tersenyum setelah hampir membuat Hyunjin sepenuhnya kacau.

Hyunjin bisa membuat para lelaki tunduk dalam sekali pandang. Membuat mereka mengelu-elukan nama Hyunjin dalam waktu yang singkat. Membuat mereka menyesal setengah mampus jika berani macam-macam dengan Hyunjin.

Namun semua itu tidak berlaku kepada dia. Pria bersurai gelap dengan badan bagus kelahiran negara kangguru.

Ah sialan!

having sex hanya butuh waktu tujuh sampai tiga belas menit, Chris. Tidak sampai tiga puluh menit. Untuk sekedar informasi.”

Chan terkekeh sekali lagi setelah ia berhasil menghabiskan jus nanas kotakan yang ia bawa, kemudian mengelap bibir yang sedikit asam menggunakan tisu.

Beranjak, Chan melangkah guna membuang sampah di tempat sampah terdekat yang mana letaknya berada di samping kursi Hyunjin. Senyum tipis yang sangat mengikat membuat Hyunjin menenggak ludah disaat posisi Chris kini jauh lebih tinggi diatasnya.

“Maaf tuan Hyunjin. Jujur saya tertarik atas tawaran anda.”

“Namun saya tidak menyukai dan tidak memiliki ketertarikan untuk berhubungan badan baik kepada lelaki maupun perempuan.”

Mata Hyunjin sukses membola saat itu juga.

What the actual fuck?

GuardㅡPart 1: end

First Time


Banyak yang berpikir perjodohan adalah hal yang kuno untuk dilakukan. Terlebih lagi sekarang zaman sudah sangat maju dan manusia mulai meninggalkan tradisi yang dirasa tidak terlalu penting.

Namun hal itu tidak berlaku di keluarga Hyunjin. Dengan senyum manis andalan mereka menyambut keluarga Bahng yang datang pagi itu. Terpelongok melihat penampilan kedua orang tua serta anak semata wayang mereka, Hyunjin hampir dicubit pinggang karena bibirnya tak kunjung mengatup.

“Ah, astaga. Chan makin tampan ya sekarang.”

“Biasa saja tante. Oh iya, ini ada sesuatu untuk tante, maaf cuma kecil-kecilan.”

“Eits! Udah banyak ini, haduh kamu ya.”

Dilihat dari raut wajah sih, orang tua Hyunjin sudah sangat tertarik kepada lelaki bernama Bangchan itu. Kalau Hyunjin sendiri? Ia bahkan tak percaya kalau lelaki ini kelak akan menjadi suaminya.

Sialan, Hyunjin belum mau menikah. Tapi itu sebelum Hyunjin memutuskan untuk berkenalan dengan Chan.

Ia takut awalnya, namun berusaha tenang. Jika dilihat-lihat Chan mungkin bisa mengajarkannya sedikit-sedikit mengenai arti pernikahan.

Semoga.


hiks

Di hari pertama setelah Chan dan Hyunjin resmi menjadi sepasang suami, Hyunjin malah menangis sejak awal mereka pindah ke rumah baru.

Tepat dimulai saat mereka menurunkan barang barang dari bagasi mobil dan masih berlanjut hingga mereka memasukkan beberapa kardus ke dalam kamar.

“Hyunjin, mau aku ambilkan sesuatu?”

Geleng.

“Hm, makan coklat?”

Geleng lagi, kali ini dia makin terisak hingga dadanya sesak.

“Perlu.. aku tinggal?”

Gelengnya makin ribut. Hyunjin menarik ujung kemeja Chan dan menatap suami beberapa jamnya tersebut. Tanpa Chan selidik lebih dalam pun ia paham kalau Hyunjin butuh ditemaniㅡdiambilnya tisu kemudian diusap ke air mata Hyunjin yang meleleh, lanjut untuk menggendong Hyunjin untuk bersandar di dasbor ranjang.

Chan menepuk-nepuk pelan bongkahan berisi Hyunjin seperti menenangkan anak kecil, tersenyum kilas karena merasa Hyunjinnya sangat menggemaskan.

Sebuah keajaiban dimana Chan bisa langsung jatuh cinta hanya dengan mendengar deskripsi mengenai Hyunjin. Hyunjin itu manja, Hyunjin itu cengeng, Hyunjin itu kurang bisa ngapa-ngapain alias gak mandiri, plusnya dia cuma pintar.

Chan tetap tertarik juga beruntung memiliki orang tua yang suportif akan keputusannya.

Beberapa menit berlalu, isak tangis Hyunjin perlahan mereda. Chan coba lihat wajah sembab cintanya dan mendapatkan Hyunjin tengah memandang ke arahnya juga.

Usap pelan surainya, “sudah?” Tanya Chan lembut. Hyunjin angguk kepalanya, kemudian menegakkan tubuh yang sedari tadi membungkuk memeluk Chan.

“Emㅡ”

“Hm?”

“Tidak ada,” Hyunjin meringis, alias sebenarnya dia gugup karena posisi yang lebih tinggi dibanding Chan, “makasih, kak.”

“no problem, sweetheart” balas yang lebih tua, “bilang ke kakak kalau kamu butuh sesuatu ya.”

Mengangguk mungkin akan jadi kebiasaan Hyunjin kedepannya karena ia manut saja atas kalimat yang terlontar dari bibir Chan.

Lantas keduanya pun kembali ke posisi semula, melepaskan pelukan dan merapikan baju yang bahkan tak berantakan. Kentara sekali kegugupan di antara keduanya.

Atau lebih tepatnya Chanㅡ “kayaknya kakak perlu ke kamar mandi, Hyun. Kamu bisa keluarin baju ini dari kardus sendiri kan?”

“Bisa kak, nanti kakak kesini lagi kan?”

“Iya,” Chan mendesis, “ada urusan sebentar. Nanti kakak balik.”

Hyunjin menyambut dengan senyuman tipis dengan helai poni yang beberapa kali jatuh ke depan.

Cantik.

Cantik sampai-sampai Chan langsung buru-buru lari ke kamar mandi bawah karena sebuah urusan.

“Padahal kamar kita ada kamar mandi.”


Beres-beres itu ternyata lumayan banyak makan tenaga sampai Hyunjin terheran kenapa ada orang yang hobinya membereskan sesuatu.

Karena sekarang pun ia sampai tak nafsu makan karena rasanya ingin berbaring kemudian tidur. Kalau bukan karena sang suami yang membawakan makanan dari luar, Hyunjin sudah menari di alam mimpi sekarang.

Hyunjin sempat lupa kalau ia sudah menikah. Ia harus makan sebagai bentuk menghargai Chan yang telah repot-repot membeli makanan.

Acara dinner sederhana mereka hanya diselingi topik mengenai kesukaan masing-masing. Bahan pembicaraan yang ringan karena keduanya masih harus mengenal lebih dalam. Dan setelah Hyunjin telusuri, ternyata Chan memiliki selera humor bapak-bapak.

Ya memang ia akan menjadi seorang ayah nantinya, Hyunjin harus terbiasa akan hal itu.

Pukul sembilan malam mereka baru menyelesaikan semuanya. Benar-benar selesai meninggalkan tubuh keduanya yang lepek mandi keringat.

Rambut tanggung Hyunjin juga sampai basah karena beberapa kali menaikkan kardus dari bawah keatas, begitu pun sebaliknya.

Mereka berdua terkekeh canggung di depan pintu kamar mandi sambil menunggu sesuatu yangㅡentahlah

siapa yang mandi duluan?

Mampus. Mereka mana bisa baca pikiran masing-masing. Alias keduanya mati kutu sekarang.

“Anu-”

“Kamu duluan aja hyun,”

Yang disuruh menggeleng, “kakak duluan aja.”

Diam. Kalau begini ceritanya mau sampai kapan mereka akan berdiri di depan kamar mandi dalam keadaan penuh keringat?

Hyunjin gigit bibir bawahnya gugup, “a- ayo mandi bareng.”

Demi kuda terbang, Chan kaget hampir terjungkal mendengar hal itu dari belah bibir Hyunjin. Hyunjin, Hyunjinnya yang baru saja bertemu dua kali kemudian ia nikahi, yang barusan nangis dan masih segan berbicara dengan Chan mengajak mandi bareng?

Coba lihat hidung Chan, apakah ia mimisan sekarang?

Mendadak tenggorokan Chan kering, “are you sure?” tanya Chan memastikan. Karena dia tidak akan memaksa jikalau Hyunjin masih ragu, namun Hyunjin tetap mengangguk setuju walaupun tatapannya tidak berpusat ke pupil mata Chan.

Hyunjin gugup setengah mati, namun ia sudah setengah jalan. Ah, semangat!

Dengan begitu yang lebih tua buka baju yang membalut hingga angin ac menyentuh kulit pucatnya. Begitu pula Hyunjin yang grogi karena ini kali pertamanya bertelanjang badan di depan orang lain.

Aish! Hyunjin selalu lupa kalau dia sudah menikah.

“Sini biar kubantu.”

Malunya luar biasa sampai Chan harus membantu Hyunjin membuka kaos melewati leher yang lebih muda. Total tanpa sehelai benang ditemani pipi yang sudah semerah tomat ceri, Hyunjin bahkan tak berani menatap wajah Chan, namun tak juga berani menatap pinggang kebawah suaminya.

“Ayo.” Hyunjin mengajak suaminya masuk dengan menyeret secara lembut lengan padat milik Chan.

Chan tak mengerti apakah ia harus beryukur atau mengumpat ketika melihat lekukan tubuh Hyunjin yang terlalu indah.

“Kakak mau aku gosokin punggungnya?”

“Eh? Boleh?”

“Tentu boleh.” Balas yang lebih muda. Akalan saja supaya ia tidak gugup karena melihat wajah Chan. Keduanya telanjang bulat dan sesuatu bisa saja terjadi. Hyunjin mau tak mau harus siap.

Punggung Chan begitu keras di telapak tangan Hyunjin. Walaupun ia menggunakan shower puff, rasanya tetap keras menandakan kalau Chan memang gila olahraga.

Oh, hal yang bagus karena Hyunjin suka mempunyai suami yang bertubuh atletis.

“Dek, terimakasih ya.”

“Untuk apa kak?”

“Karena sudah mempercayai kakak untuk jadi suami kamu.”

Senyum Hyunjin terbit sangat cantik. Masih dengan semangat menggosok punggung Chan, ia kemudian memberikan kecupan singkat di leher yang lebih tua.

Chan sedikit kaget.

“Aku yang terimakasih, kak. Terimakasih karena mau nerima aku yang masih perlu banyak belajar.”

Tawa kecilnya terdengar sangat menenangkan di telinga Hyunjin, Chan berbalik badan kemudian, “kita belajar sama-sama, ya?”

Senyum mereka saling melengkapi, ah bukanㅡ eksistensi mereka saling melengkapi.

Benar bukan?

Chan untuk Hyunjin, Hyunjin untuk Chan. Seterusnya akan seperti itu.

Benang merah sudah terikat di masing kelingking, keduanya berjalan di atas takdir yang sama. Sehidup semati, satu cinta saling mengasihi.

“Aku belum bisa jatuh sepenuhnya ke kakak, tapi” senyumnya terbit, “i'll try, i love you, Chan.”

imutnya, “i love you more, Hyunjin.”


Banyak yang berpikir perjodohan adalah hal yang kuno untuk dilakukan. Terlebih lagi sekarang zaman sudah sangat maju dan manusia mulai meninggalkan tradisi yang dirasa tidak terlalu penting.

Namun hal itu tidak berlaku di keluarga Hyunjin. Dengan senyum manis andalan mereka menyambut keluarga Bahng yang datang pagi itu. Terpelongok melihat penampilan kedua orang tua serta anak semata wayang mereka, Hyunjin hampir dicubit pinggangnya karena bibirnya tak mengatup.

“Ah, astaga. Chan makin tampan ya sekarang.”

“Biasa saja tante. Oh iya, ini ada sesuatu untuk tante, maaf cuma kecil-kecilan.”

“Eits! Udah banyak ini, haduh kamu ya.”

Dilihat dari raut wajah sih, orang tua Hyunjin sudah sangat tertarik kepada lelaki bernama Bangchan itu. Kalau Hyunjin sendiri? Ia bahkan tak percaya kalau lelaki ini kelak akan menjadi suaminya.

Sialan, Hyunjin belum mau menikah. Tapi itu sebelum Hyunjin memutuskan untuk berkenalan dengan Chan.

Ia takut awalnya, namun berusaha tenang. Jika dilihat-lihat Chan mungkin bisa mengajarkannya sedikit-sedikit mengenai arti pernikahan.

Semoga.


hiks

Di hari pertama setelah Chan dan Hyunjin resmi menjadi sepasang suami, Hyunjin malah menangis sejak awal mereka pindah ke rumah baru.

Tepat dimulai saat mereka menurunkan barang barang dari bagasi mobil dan masih berlanjut hingga mereka memasukkan beberapa kardus ke dalam kamar.

“Hyunjin, mau aku ambilkan sesuatu?”

Geleng.

“Hm, makan coklat?”

Geleng lagi, kali ini dia makin terisak hingga dadanya sesak.

“Perlu.. aku tinggal?”

Gelengnya makin ribut. Hyunjin menarik ujung kemeja Chan dan menatap suami beberapa jamnya tersebut. Tanpa Chan selidik lebih dalam pun ia paham kalau Hyunjin butuh ditemaniㅡdiambilnya tisu kemudian diusap ke air mata Hyunjin yang meleleh, lanjut untuk menggendong Hyunjin untuk bersandar di dasbor ranjang.

Chan menepuk-nepuk pelan bongkahan berisi Hyunjin seperti menenangkan anak kecil, tersenyum kilas karena merasa Hyunjinnya sangat menggemaskan.

Sebuah keajaiban dimana Chan bisa langsung jatuh cinta hanya dengan mendengar deskripsi mengenai Hyunjin. Hyunjin itu manja, Hyunjin itu cengeng, Hyunjin itu kurang bisa ngapa-ngapain alias gak mandiri, plusnya dia cuma pintar.

Chan tetap tertarik juga beruntung memiliki orang tua yang suportif akan keputusannya.

Beberapa menit berlalu, isak tangis Hyunjin perlahan mereda. Chan coba lihat wajah sembab cintanya dan mendapatkan Hyunjin tengah memandang ke arahnya juga.

Usap pelan surainya, “sudah?” Tanya Chan lembut. Hyunjin angguk kepalanya, kemudian menegakkan tubuh yang sedari tadi membungkuk memeluk Chan.

“Emㅡ”

“Hm?”

“Tidak ada,” Hyunjin meringis, alias sebenarnya dia gugup karena posisi yang lebih tinggi dibanding Chan, “makasih, kak.”

“no problem, sweetheart” balas yang lebih tua, “bilang ke kakak kalau kamu butuh sesuatu ya.”

Mengangguk mungkin akan jadi kebiasaan Hyunjin kedepannya karena ia manut saja atas kalimat yang terlontar dari bibir Chan.

Lantas keduanya pun kembali ke posisi semula, melepaskan pelukan dan merapikan baju yang bahkan tak berantakan. Kentara sekali kegugupan di antara keduanya.

Atau lebih tepatnya Chanㅡ “kayaknya kakak perlu ke kamar mandi, Hyun. Kamu bisa keluarin baju ini dari kardus sendiri kan?”

“Bisa kak, nanti kakak kesini lagi kan?”

“Iya,” Chan mendesis, “ada urusan sebentar. Nanti kakak balik.”

Hyunjin menyambut dengan senyuman tipis dengan helai poni yang beberapa kali jatuh ke depan.

Cantik.

Cantik sampai-sampai Chan langsung buru-buru lari ke kamar mandi bawah karena sebuah urusan.

“Padahal kamar kita ada kamar mandi.”



Tags: 18+, mental illness, harsh words, gun, murderer, detective, investigation


Sudah cukup larut untuk sebagian orang. Semua aktivitas yang dimulai pada pagi hari sudah waktunya berakhir. Namun bagi Chan, malam adalah waktu dimana ia memulai sesuatu. Ibarat kata sang malam merupakan pagi untuknya dan ia memulai harinya dengan menyelidiki sebuah kasus, lagi.

Sesuatu yang bahkan belum menunjukkan titik terang, diperburuk pula dengan situasi yang tengah terjadi. Chan mengerang frustasi hingga tumpukan kertas melayang ke udara.

“Sialan.”

“Hwang Hyunjin sialan.”


Sepatu boots dengan hak setinggi tiga senti itu menginjak tanah dengan elegannya. Berjalan pelan bak model yang tengah berada di atas lantai peraga busana, ia pun menurunkan kacamatanya tatkala melihat gedung tingkat tiga yang berdiri kokoh di depan. Gedung yang ternyata masih betah berdiri. Sepertinya bom yang ia hampir ledakkan kala itu berhasil dijinakkan.

Senyumnya tertarik, letakkan lagi kacamata pada tulang hidung. Bibir tarik senyuman, lanjut kunyah permen karetnya yang tak lagi manis, kemudian ia masuk ke dalam gedung itu, yang ia yakini hanya ada satu orang yang masih terjaga.

Diliriknya seorang petugas keamanan dibalik kaca hitam setebal buku. Dengkuran yang membuat telinganya sakit ditambah lagi wajah menyebalkan dan perut buncit terpampang jelas.

“Cih, bisanya makan gaji buta.”

Hyunjin turunkan lagi kacamatanya dan berjalan mendekati petugas keamanan yang masih mendengkur. “nah, makan ini.” bisiknya terlampau girang. Masukkan sebuah permen karet hambar ke dalam mulut sang penjaga, kemudian ia menusuk leher lelaki tersebut dengan sebuah suntikan yang berisi cairan pembius.

“Tidur yang nyenyak.” satu kecupan melayang lewat bibirnya.

Hyunjin tampak senang dengan apa yang ia lakukan. Jika saja sang penjaga tadi tetap buka mata dan awasi sekitar, mungkin Hyunjin perlu perlawanan ekstra untuk melumpuhkan beruang hutan. Astaga, ia hanyalah seekor ferret kecil nan imut, itulah mengapa ia perlu belajar bela diri.

Langkah kakinya tanpa ragu berjalan mengintari lorong, melihat satu persatu ruangan dengan pintu setengah terbuka. Walaupun ia tau orang yang dicari berada di lantai tiga, ruang tengah, dekat jendela.

Berkali-kali Hyunjin mengeluh akibat lift yang rusak. Dasar pemalas! perihal lift rusak saja mereka enggan perbaiki. Pantas saja kasus yang itu tak juga bisa mereka selesaikan, hahaha- rasanya perut Hyunjin geli.

Setelah melewati anak tangga yang rasanya seperti ratusan, Hyunjin kembali mengumpat dalam hati. “Harusnya gue pakai sneakers aja kesini, gak perlu capek-capek pake boots bangsat!”

Sialan, mana ia juga lupa membawa ikat rambut. Mari kita lihat apakah Chan masih menyimpan barang miliknya termasuk celana dalam renda berwarna hitam milik Hyunjin waktu itu. Disaat mereka iseng bermain di kantor Chan berakhir ketahuan oleh Changbin. Untungnya hanya Changbin.

Bisa-bisa habis mereka kalau ketahuan oleh kepala detektif yaitu kakak Chan sendiri.

Hyunjin lepas kacamatanya saat tubuhnya berdiri dibelakang pintu. Meletakkan benda pemberian Chan saat ulang tahunnya dua tahun yang lalu di meja didekat sana. Berjalan menelisik dan menyentuh barang apa pun yang berada disekitar, termasuk beberapa kertas yang berserakan di lantai kayu yang dingin. Di meja juga ia temukan beberapa kotak jus yang sudah habis, belum lagi di kotak sampah disamping kursi.

Ah.. dia masih belum menyerah mengenai kematian Yeji rupanya. Hyunjin mengangguk paham. Beberapa kertas di tangan pun ia baca sembari duduk di kursi yang biasa Chan duduki. Dingin, tanda lelaki itu sudah pergi lama dari ruangannya.

“Manusia aneh, ketika dia stress malah milih minum jus. Jus nanas pula.” ia geleng kepala tak percaya, lantas tersenyum sendiri. “Ya gapapa sih, hahaha”

Ia membaca kasus yang masih juga belum bisa diselesaikan si brengsek Christopher Bang. Mulai dari rentetan skenario, namun mereka sangat sulit menemukan bukti-bukti untuk kasus yang terbilang sederhana.

Lagi-lagi Hyunjin tersenyum senang. Sandiwaranya selama ini berbuah sangat manis. Banyak keuntungan yang datang kepadanya juga, “apakah dendam milikmu sudah terbalas, kembaranku?”

Hyunjin bermonolog sambil pandang wajah Yeji yang tersenyum, dilingkari merah kemudian diarahkan di sebuah gedung dimana mereka menemukan Yeji yang sudah tidak sadarkan diri. Ia menghela napas, kemudian letakkan tumpukan kertas lusuh itu di meja.

Sepertinya indra pendegaran Hyunjin sudah terlatih mendengarkan langkah sekecil apa pun. Ia mengetuk jari diikuti hitungan yang dibuat otaknya. Berkali-kali jilat bibir bawahnya yang mengering dibawah angin pendingin ruangan.

Saat lampu ruangan sepenuhnya hidup, Hyunjin melirik dari ujung matanya. Sebuah pemandangan yang sudah ia prediksi terjadi, benar kejadian.

Bisa-bisanya Chan berani menarik pelatuk itu tepat di depan wajah Hyunjin. Namun kenapa tidak langsung saja menembak kepala Hyunjin hingga mati sekarang?

“Apa yang buat kamu ragu?”

“Hwang Hyunjin!”

“Ya tembak saja?” Hyunjin menarik ujung pistol tersebut agar menempel tepat ditengah keningnya, “ayo anak manis, tembak saja.”

Namun Chan ragu. Seorang detektif padahal tidak boleh ragu. “Kenapa? mana insting detektifmu?”

“aku jahat, harusnya kamu habisi nyawaku. Christopher-”

“Hwang Hyunjin, kenapa kamu berkhianat?”

Todongan pistol belum turun. Namun Chan beringsut buat jarak antara dirinya dan Hyunjin.

“Apa sayang?” Hyunjin naikkan sebelah alisnya, berlagak sok bingung, “Berkhianat?”

Tawa anggun yang terkesan merendahkan penuhi sudut-sudut ruangan kantor milik Chan. Ia berdiri dari duduknya yang ternyata cukup lama. Berjalan guna hampiri sosok kekasih yang belum terlempar kata putus baik dari dirinya atau pun Chan.

Seorang kekasih yang dulunya milik sang kembaran.

“Aku tidak pernah berkhianat, Chan.” senyum Hyunjin, “memang sudah waktunya saja aku pergi.”

Chan mendecih kemudian. Baik, ia turunkan senjatanya karena Hyunjin terlihat tidak akan melakukan perlawanan apa pun. Tatap lagi kekasihnya yang terus-terusan tersenyum seperti tak ada beban di pundaknya.

“Kenapa kamu tampak bahagia, Hwang?” satu pertanyaan terlontar dari belah bibir Chan, kekehan kecil lolos dari yang lebih muda. “Bahagia karena kasus Yeji tidak tuntas atau karena dirimu merindukanku?”

“Entahlah,” Hyunjin edik bahunya, “keduanya mungkin? Kamu masih simpan celana dalamku gak? i feel so wet just by looking at you.

Si setan kecil itu masih sempat-sempatnya menggoda Chan bahkan disaat urat-urat di kepala Chan sudah timbul akibat emosi yang puncaki tubuh. Bangsat, setan kecil sialan.

“atau jangan-jangan kamu pembunuhnya?” Chan asal menebak. Seperdetik kemudian raut wajah si rambut arang perlahan berubah. Senyum dan tawanya luntur, namun tak menghilangkan paras cantiknya yang selalu terpancar.

Skak. Apakah tebakan Chan benar?

“jadi benar kamu pembunuhnya?”

Mata Hyunjin bergetar dibuatnya. Semakin bergetar disaat Chan memilih untuk kikis jarak yang sebelumnya ia cipta. Pandang mata Hyunjin yang memerah ditusuk kalimatnya.

“Untuk apa aku repot-repot membunuh Yeji dan mengotori tanganku sendiri, sayang?” Hyunjin selalu menyelingi kalimatnya dengan senyuman, “untuk mengejarmu? aku tidak semurah itu untuk mengejar seseorang.”

“Hwang Hyunjin!”

Chan mendorong Hyunjin hingga tubuhnya terbentur di atas meja kayu. Hingga vas bunga hampir mengenai rambut legamnya, sampai telapak tangan sang kekasih hampir mencekik lehernya. Lagi-lagi Hyunjin tertawa menanggapi reaksi spontan sang kekasih.

“Kenapa? apa kamu merasa bersalah?”

“Sayangku, apakah kamu sadar kalau semua ini ulahmu?”

“Apa yang kamu tebar, itu yang kamu tuai.”

Walau punggungnya terasa sakit akibat benturan yang cukup keras, semua itu terbayar dengan dekatnya wajah Chan hingga nafas lelaki itu menyapa permukaan kulit wajahnya. Aroma parfum bercampur keringat malah buat Hyunjin gugup sendiri hingga ia tarik rahang yang lebih tua untuk kecup cerinya.

“Ah, bibirku kering Chan. Can you kiss me? you're a good kisser right?

“Hyunjin, apa maksud kalimatmu yang sebelumnya.”

Halah, pakai tanya. Hyunjin mengerling malas. Dimana Yeji bisa dapatkan lelaki yang lama mencerna seperti Chan? dan bisa-bisanya kembarannya itu menangisi Chan seperti mau mati.

Ya walaupun Chan lebih banyak plusnya dibanding minus. Ia hanya tak habis pikir hingga menyuruh Hyunjin untuk membalaskan dendamnya karena perempuan gila itu sudah tiada di dunia.

“Itu namanya hukum karma, sayang.” Hyunjin mengecup leher yang lebih tua, “jika aku katakan- yang selama ini membunuh Yeji secara tak langsung adalah dirimu, bagaimana?”

“dan anggaplah karena suatu hal, Yeji yang merasa sakit hati ingin melemparkan kehancurannya kepadamu, namun takdirnya digariskan kurang baik.” Bisik Hyunjin, gigit kecil kuping milik Chan sampai nafas berat tergiang di telinganya.

“lalu, ia meminta seseorang untuk melanjutkan apa yang belum ia selesaikan.”

Mendengar penuturan Hyunjin, Chan hanya menanggapi dengan kekehan kecil. “Semakin hari dirimu semakin menarik, Hwang. Jadi pengkhianatanmu dua tahun yang lalu merupakan bagian dari rencanamu?”

“Kalau tim detektif kita tau, apa yang akan terjadi padamu? kamu harus berterimakasih kepadaku karena aku melepaskanmu begitu saja.” Chan balas kecupan milik Hyunjin. Buka coat coklat yang balut tubuh si ramping dan ciumi bahunya yang masih terbalut kemeja.

Anh-, aku sangat berterimakasih karena kamu repot-repot melepaskanku. Padahal aku sangat suka dikejar.” Hyunjin melingkarkan kakinya di pinggang keras Chan yang masih terbalut celana. Ia dibawa ke sofa kemudian, masih dengan Chan yang asik gigit tulang selangka miliknya.

Semua pernyataan Hyunjin malah terdengar seperti lelucon di telinga Chan. Tidak, ia tak percaya satu pun. Ia tak pernah percaya apa yang keluar dari mulut seorang Hwang Hyunjin. Baik apa pun yang akan Hyunjin katakan perihal Yeji, ia tak akan menerima mentah-mentah jika tak ada bukti konkret.

“I miss you, Hyunjin.”

“Kiss me! ah, bibirku kering!”

Malam itu kantor Chan semakin berantakan. Bukan lagi akibat kertas yang berserakan dimana-mana, namun karena ia dan Hyunjin juga.

Chan menuangkan segala kerinduannya yang memenuhi rongga dada pada Hyunjin. Walaupun Hyunjin adalah orang yang dipandang sakit oleh orang lain. Namun hanya Chan yang anggap Hyunjin seperti sesuatu yang unik dan berharga karena sakitnya. Saat itu Chan sadar kalau ia memang dimabuk cinta oleh Hyunjin.

Entah Skizofrenia Hyunjin sudah sembuh atau hanya berkurang, atau bisa saja tengah kambuh hingga ia mengeluarkan celotehan mengenai Yeji. Kembar yang memiliki pikiran luar biasa itu mengidap gangguan yang sama. Yang jelas mungkin tak ada salahnya Chan mencari bukti lagi, setelah Hyunjin berhasil mengacak-ngacak dan menghilangkan bukti yang telah Chan kumpulkan waktu lalu.

Hyunjin dan Yeji, ah- kenapa mereka pandai membuat Chan jatuh hati.

– End


@Chanthusiast_ and Blueishby on wattpad, thank you!

Prompt: kesalahan sekaligus penyesalan terbesar Chris adalah saat ia meninggalkan kekasih hatinya, Hyunjin. Hanya untuk orang lain yang singgah di kehidupannya


Chan ingat betul bagaimana senyuman Hyunjin sepanjang karpet menuju altar membentang. Bagaimana irisnya berkaca-kaca dan gigit bibir bawahnya sendiri guna menahan tangis. Chan ingat betul bagaimana ia yang sukarela naikkan pipinya supaya Hyunjin dapat melihat senyumnya.

Chan ingat betul, saat dimana ia bersandiwara di hadapan puluhan orang mengenai kebahagiaannya. Merasa senang dan tak enak hati disaat bersamaan ketika juru kamera memotret dua pasangan yang baru saja ucapkan janji suci di atas altar, bersumpah sehidup semati.

Masih melekat segar di pikirannya, saat air mata Hyunjin luruh saat mereka bertukar kecupan di atas altar. Bagaimana Hyunjin berbisik lantunkan rasa terimakasih. Bagaimana Hyunjin bersedia tumpahkan hidupnya untuk Chan.

Semua itu seperti memori film yang tak terputus. Selalu berputar di pikiran Chan, mengikat sanubarinya dengan kenangan yang sangat indah, namun menyakitkan.

Ratusan duri yang tertancap sempurna di jiwanya. Ratusan duri yang terbenam akibat ulahnya sendiri. Ratusan duri yang akan membuatnya mati perlahan seorang diri.

“kak?”

Satu panggilan khas sebagai kata ganti namanya menyapa telinga Chan. Panggilan yang sarat akan kelembutan dihadiahi senyuman kecil di akhir, “ada apa, kok ngelamun?”

“Maaf ya kak kalau masakan adek kurang enak, adek masih belajar.” cicit Hyunjin pelan, namun Chan balas dengan usapan gemas di pipi merah yang terkasih.

“Ini sudah lumayan, sayang, Great job

“Serius? asik! Adek bakal lebih sering belajar masak.”

“Jangan lupa juga minta bantuan bibi, hm? Kakak gamau kamu kelelahan.”

“Siap!”

Chan lagi-lagi terkekeh melihat kekasih menggemaskannya. Lantas menghabiskan sup buatan Hyunjin yang sebenarnya keasinan, kemudian lanjut melangkahkan kaki ke parkiran.

Hyunjin peluk dan beri ciuman basah di bibir suaminya, membukakan pintu mobil, kemudian memberikan kiss bye juga lambaian tangan.

“Baby, jangan lupa kontrol ke dokter ya.”

“Kakak gabisa pulang lagi hari ini?” Tanya Hyunjin penuh harap. Jemari tertaut gelisah menunggu jawaban Chan. Tapi disaat senyum Chan muncul, seperti senyuman lelah namun dipaksa, Hyunjin seketika paham.

Chan tidak bisa pulang, lagi.

Hyunjin mengerti. Hyunjin harus menjadi pasangan yang pengertian. Ia sudah sering merepotkan Chan selama dua tahun terakhir, ia tidak ingin menjadi pasangan yang tidak berguna.

Walau hati kecil Hyunjin selalu berbisik akan kekecewaan, beda lagi dengan otak Hyunjin yang sebisa mungkin menghalangi dan membungkam erat-erat supaya sang hati tak lagi mengadu.


Chan sudah paham mengenai resiko yang ia jalani setelah menikah nanti. Walaupun di umur kedua pernikahan mereka belum memiliki anak, dan memang berencana memiliki anak. Tanggung jawab Chan bukanlah orang tua dan adiknya lagi, Namun Hyunjin juga.

Pernikahan yang lahir dari sebuah perjodohan itu tak sepenuh hati Chan terima, namun tak juga ia tolak. Sampai sekarang ia masih bingung mengenai keputusan yang sudah terlanjur dibuat. Mengambang dan tak ada validasi.

Jika dipikir-pikir, setelah menikah pun tidak banyak yang berubah. Hanya saja ia memiliki orang baru yang menjadi bagian dalam sebuah keluarga, bedanya orang tersebut yang akan menemaninya hingga ajal menjemput.

Walau Chan tak yakin bahwa mereka akan tetap berstatus sebagai belahan jiwa sampai di ujung kehidupan mereka.

Chan masih berusaha untuk mencintai Hyunjin. Ia bukan tipikal orang yang mudah jatuh cinta pun yang gampang sekali berikan cinta. Tapi Hyunjin tak begitu buruk menurutnya.

Sebuah rasa kasihan yang muncul, mungkin?

Ditengah pikiran yang tengah menggerogoti otak, sebuah telepon berbunyi. Dering ponsel yang khas, ia mengambilnya, buka untuk lihat siapa yang menghubunginya.

Nomor tak dikenal.

Chan menggeser tombol merah sehingga tampilan layar ponsel kembali ke semula. Dimana ada foto pernikahannya yang sengaja Hyunjin setting. Dua pria yang kelihatan sangat bahagia ketika mengetahui benang merah berada di kelingking mereka.

Ia tersenyum, sebelum nomor tak dikenal menghubunginya lagi.

“Chan?”

Detik itu nyawa Chan seperti melayang hingga ia spontan berdiri. Matanya menyiratkan ketidakpercayaan sampai napas pun terasa berat.

“Tu- tunggu,”

“Chan, hiks.. ini aku”


“Maaf ya kak abin, jadi ngerepotin.”

“Santai aja, Hyun. Lagian gue sekalian pergi ke kantor Chan kok. Ada keperluan”

Hyunjin tersenyum sambil memeluk sebuah map, juga bekal yang berada di pangkuan ia tatap dengan pandangan berbinar. Hyunjin cukup percaya diri dengan masakannya yang ini. Soalnya bibi turut membantunya, jadi semoga Chan suka.

Pasti suaminya kelaparan, pikir Hyunjin begitu.

Kebetulan bertemu dengan Changbin sepulang dari rumah sakit, lelaki yang ia kenal lewat Chan itu tampak santai dengan kemejanya, yang bagusnya mereka ternyata satu tujuan sehingga Hyunjin tak repot menelpon kembali sang supir pribadi.

“kak Changbin habis ngapain di RS?”

“ngambil obatnya bunda, yang kemarin udah habis.” Changbin lirik dari ujung matanya, “kamu barusan kontrol rutin ya?”

Hyunjin mengangguk, makin peluk erat map yang berada di genggaman. Changbin tadinya mau tanya lebih lanjut, namun sepertinya Hyunjin kurang nyaman jika Changbin terus bertanya.

Maka ia tanggapi saja dengan senyuman, kemudian mengajak Hyunjin bercanda untuk mencairkan suasana.


“Tuan Chris keluar sejak satu jam yang lalu.” ucap sang sekretaris yang bekerja di perusahaan milik suaminya. “Bahkan Tuan Chris membatalkan pertemuan hari ini, jadi diundur minggu depan.”

“Serius? dia bukan tipikal orang yang suka ngulur-ngulur waktu deh.” Kata Changbin, sedikit bingung. “jadi pertemuan hari ini dibatalkan?”

Sang sekretaris mengangguk pasti.

Hyunjin menghela napas, mendadak pening saat mengetahui Chan tidak ada di ruangan. Changbin sebagai orang yang paling dekat berusaha membopong tubuh kurus Hyunjin yang terbalut kardigan, “Hyunjin, lo gapapa?”

Ia mengangguk, kemudian mengkokohkan kaki, “aku baik, kak.”

“gue anter pulang, ya? istirahat di rumah. Mungkin Chan ada urusan mendadak, letakin aja bekalnya di atas meja.”

Hyunjin menurut lagi.

Sejujurnya hati terasa seperti di iris, perih. Anggaplah Hyunjin terlalu sensitif, namun jika menyangkut dengan orang yang dia sayang, setiap perlakuan kecil bisa memberikan efek yang besar untuk Hyunjin sendiri.

Sudahlah, tidak ada gunanya mengeluh. Hyunjin semangati dirinya sendiri. Secarik kertas kecil ia tempel di atas kotak bekal berwarna abu-abu, kemudian ia pergi dari sana.

“Eh, Hyun. Itu hp nya Chan gak dibawa?”

Mengernyit, Hyunjin toleh kepalanya, dan benar- itu adalah ponsel Chan yang tertinggal. Segera ia ambil dan simpan dalam saku Kardigan.


“iya, ma. Hyunjin cuma mau bertanya kok.”

“iya mama, hehe. Serius Hyunjin gapapa.”

“Goodnight mama”

Bukan sekali dua kali Chan tak pulang ke rumah. Hyunjin pun terbiasa sendiri sejak beberapa bulan kebelakang, walau sebenarnya ia tak terbiasa. Namun ia tetap paksakan.

Beberapa kertas hasil kontrol tadi pagi lagi-lagi membuat hatinya seperti ditusuk. Hyunjin gigit bibirnya dalam, saat membaca rentetan kalimat yang sama sekali tidak mengandung sesuatu yang positif. Sang dokter yang menanganinya selalu memberikan Hyunjin percikan semangat disaat Hyunjin pun sadar kalau sebenarnya tidak ada harapan.

Untuk apa

Disaat seperti ini Chan tidak pernah ada di sisinya. hanya terhitung tiga kali Chan menemani Hyunjin kontrol sepanjang umur pernikahan mereka. Namun Hyunjin sudah dibutakan cinta sehingga beranggapan bahwa itu baik-baik saja.

Hyunjin telan lima butir obatnya dalam sekali teguk, berharap pikiran negatifnya luruh bersamaan dengan air yang masuk ke dalam tubuh.

Ia pejamkan mata kemudian. Pandangi ponsel milik suaminya yang ia buka sebelum melihat isi dari kertas-kertas yang berada di dalam map. Hyunjin pun tak paham apa motifnya meninggalkan ponsel yang ini di kantor, kemungkinan besar Chan membawa ponsel satunya. Namun saat Hyunjin mendial, ia tidak mengangkat.

Firasatnya tak enak.

Laki-laki penyakitan seperti kamu memangnya bisa apa?

Lain halnya Hyunjin, lain halnya Chan.

Lelaki itu memutuskan untuk tak pulang ke kantor setelah mengetahui eve menghubunginya.

Kekasih yang belum pernah terucap kata putus darinya, cinta pertama yang sempat hilang selama enam tahun, kini kembali kepadanya. Dibawah selimut yang sama, berbagi kehangatan dan peluh, juga kisah kasih yang belum selesai.

Chan memeluk eve erat. Tanpa sehelai benang pun agar eve merasa hangat. Wanitanya juga terisak akibat rasa rindu yang tak dapat lagi dibedung.

“aku tak masalah jadi yang kedua.”

“Eve-”

“Chan, please. aku banyak menderita di masa lalu. Tolong beri aku kesempatan.”

Lagi, Chan bimbang dan tak mengambil keputusan apa pun. Ia hanya mengecup delima milik wanita itu hingga berubah menjadi sebuah ciuman yang dalam.

lima panggilan dari Hyunjin, Chan abaikan.


Hyunjin bangun pagi tanpa semangat untuk melakukan apa pun. Toh, untuk apa ketika Chan tak juga menyambutnya dengan senyuman hangat dan kecupan sayang.

“ah, gak boleh gini Hyunjin.”

Namun tetap saja Hyunjin langgar omongannya walaupun sempat terjadi perang batin. Kepalanya makin pusing, namun dipaksakan berdiri. Setelah merapikan kasur, Hyunjin pun beranjak masuk ke kamar mandi.

Melihat refleksi diri, Hyunjin baru sadar kalau keadaanya makin memburuk dalam waktu cepat. Tulang pipinya makin timbul, kantung matanya makin ketara, pun ruam-ruam yang bermunculan di lengannya.

Hyunjin tampak menyedihkan.

Tak mau buang-buang waktu, Hyunjin olesi ruam-ruam tubuhnya menggunakan foundation hingga berlapis-lapis. Merias wajahnya sedikit supaya tidak terlihat sangat pucat. Kemudian memakai parfum juga pakaian yang cantik.

Mau bagaimana pun, Hyunjin harus tampil indah di mata Chan.

Tes

“Astaga..”


Ia sengaja memakirkan mobil diluar kediaman karena akan segera pergi ke kantor untuk bekerja. Awalnya Chan ragu, namun setelah mempertimbangkan banyak hal ia putuskan untuk masuk lalu temui Hyunjin.

“Hyunjin kemana ya?” Chan bertanya kepada salah satu Housemaid yang tengah bekerja. Wanita itu mengatakan bahwa Hyunjin sedang bermain piano di ruang belajar dekat taman. Setelah berterimakasih, Chan bergegas menghampiri.

Chan sangat paham kalau Hyunjin pandai memainkan piano mengenal lelaki itu dulunya merupakan seorang pianist sebelum keduanya menikah.

Melodi yang lahir dari rentetan tuts yang ditekan selalu menjadi lagu favorit Chan. Sebuah kebetulan juga Hyunjin tengah memainkan lagu kesukaannya. Ia tersenyum sambil sandarkan diri di bingkai pintu.

Jari-jari lentiknya menekan tuts seolah tak ada hari esok. Tubuhnya yang mengikuti irama lagu, seolah jiwanya dibawa menari. Hidung mancung, bibir merah, rambut panjang terurai. Sumpah demi apa pun, Hyunjin cantik luar biasa.

“Chopin, Nocturne Op.9 No 2” Chan bertepuk tangan dari jauh, “permainanmu masih luar biasa, sayang.”

“Terimakasih.” kekeh Hyunjin ketika Chan mengecup bibirnya.

Senyuman Hyunjin perlahan luntur saat dia kembali memandangi piano pemberian Chan pada saat hari ulang tahunnya. Ia sudah memprediksi bahwa Chan akan pulang pagi ini, dan mungkin akan pergi lagi. itulah mengapa Hyunjin mainkan lagu saat pertama kali mereka bertemu di festival musik klasik.

Hari dimana Hyunjin yang masih berusia lima belas tahun jatuh cinta kepada Chan yang memakai tuxedo kebesaran. Chan yang melihatnya dengan kagum saat Hyunjin membawakan lagu Chopin.

Tatapan memuja itu masih ada hingga saat ini, hanya saja saat Hyunjin bermain piano saja. Setelah itu tidak ada. Bahkan Hyunjin ragu apabila janji mereka di atas altar kala itu masih berlaku,

“Chan, kamu gak mau bilang sesuatu ke aku?”

“Bilang apa, Hyunjin?”

Senyuman tipis terbit di bibirnya, “tidak ada. Sebentar lagi kamu akan pergi lagi kan? ponsel kamu ketinggalan, jadi aku bawa pulang.”

“kamu ke kantor?”

Hyunjin bungkam. Kemudian jemarinya mulai memainkan sebuah musik lagi. Kali ini lagu klasik Moonlight Sonata karya Beethoven. Jika Chan cukup pintar, pasti dia akan menangkap maksud Hyunjin memainkan lagu itu di hadapannya.

Tolong temani aku disini

“sayang,”

Aku tidak butuh panggilan sayang, aku cuma butuh dirimu!

“You know that i love you, right?”

sialan!

Chan mengecup pipi Hyunjin lama, kemudian mengusap bahu Hyunjin sebelum pergi dari sana.

Jangan pergi, Chan. Jangan menemuinya..

Hyunjin marah sekaligus kecewa. Ia memainkan pianonya seperti mau mati. Kepalanya semakin pusing, namun Hyunjin tetap mainkan lagu Beethoven disela air mata yang menetes.

-juga darah, yang ikut melukis di atas tuts putih.

Hyunjin gagal menahan Chan. Dunianya runtuh seketika.

Laki-laki penyakitan seperti kamu memangnya bisa apa?

hiks, hentikan!”


Pada pagi itu Hyunjin terbangun dalam pelukan Chan. Rasanya seperti mimpi karena mampu merasakan napas hangat Chan lagi di bahunya.

Saat Hyunjin membuka mata, benar, ada suaminya disana. Bau alkohol juga rokok ikut menempel di tubuh Hyunjin membuatnya mengernyit. Ini cukup aneh.

Mereka tidak pernah berhubungan badan dalam keadaan seperti ini. Selalu bersih dan wangi demi kenyamanan bersama. Namun aroma alkohol ini sedikit membuat Hyunjin mual.

Setelah cukup lama Hyunjin coba untuk ingat. Ternyata malam itu Chan pulang ke rumah memang dalam keadaan yang tidak sadar sepenuhnya. Hyunjin yang sedang duduk di kasur tanpa babibu langsung dicium hingga mereka bercinta tidak seperti biasanya. Chan memperlakukannya sedikit kasar.

Hyunjin menahan tangisannya dengan membungkam mulutnya sendiri. Ia tak suka, ia sakit, ia- tak kuat lagi. Setelah dua minggu Chan hampir tidak pernah meluangkan waktunya kepada Hyunjin, malah ini yang ia beri?

Bahkan untuk menopang dirinya sendiri Hyunjin tak kuat sehingga ia harus berpegangan erat pada dinding.

Detik ini, Hyunjin tak ingin mengharapkan apa-apa lagi.


Total sebulan hubungan mereka merenggang. Bahkan Chan seolah tak peduli lagi mengenai penyakit yang diderita Hyunjin walaupun ia masih berperan sebagai sosok suami.

Hyunjin juga tak pernah mempertanyakan apa-apa. Ia juga tetap menjalankan peran sebagai suami sebagaimana mestinya. Tetap memasakkan sesuatu untuknya, tidur bersamanya, bercerita.

Yang merenggang adalah komunikasi mereka, salah satu aspek yang sangat penting dalam sebuah hubungan.

“Sayang, kamu kenapa?”

“oh? gapapa”

“Kamu kalau ada apa-apa cerita ya.” kata Hyunjin dengan tenang, “siapa tau aku bisa bantu.”

“Gimana kontrol kamu?”

“Aku baik, Chan. Dokter bilang keadaanku semakin membaik.”

Hyunjin tersenyum lagi sambil memakan kentang rebusnya. Chan tak percaya awalnya, fisik Hyunjin jauh dari kata sehat. Bahkan Hyunjin sangat suka memakai riasan beberapa minggu ini.

“Sayang, aku lebih suka wajahmu yang natural.”

“hm?” kunyahan di mulutnya memelan, “ah, okay. Nanti aku hapus riasannya.”

Chan mengangguk balas senyuman Hyunjin. Kemudian langsung masuk ke mobil setelah mendapatkan kecupan selamat tinggal dan kalimat aku mencintaimu dari kekasihnya. Kalimat yang secara tidak langsung membuat harinya menjadi semangat.

.

“Kapan?”

“Bisa sabar sedikit?”

“Ya, tapi kapan!”

“Eve!”

Chan memukul meja di hadapannya. Eve beringsut mundur ketika wajah Chan tampak sangat marah. Di ruangan yang hanya berisikan dua orang, Chan tampak menyeramkan.

“Astaga, maaf”

“C- Chan..”

Dengan cepat yang lebih tua peluk erat wanitanya. Bisikkan maaf karena sudah membentak hingga wanita itu ketakutan. Usap punggungnya lembut, Chan paham kekhawatiran Eve. Namun ia pun tak boleh gegabah dalam mengambil keputusan.

“Aku akan membicarakannya dengan Hyunjin malam ini.”

“Aku hanya tidak suka melihatmu sedih, Chan. Merelakan dia lebih baik. Dia sakit dan penyakitnya tak dapat disembuhkan.”

“Jangan berbicara seperti itu, aku tidak suka.” Bisik Chan lagi, melepas pelukannya kemudian kembali fokus kepada layar petak yang menampilkan pekerjaannya.

Ia melirik Eve yang masih berada di sana, menyuruhnya duduk atau sekalian pergi dari hadapan Chan. Karena ia tak suka didesak.


“Perceraian?”

“iya”

“oh..”

Satu titik air mata menetes dari kedua kelereng Hyunjin. Cepat-cepat ia hapus menggunakan telapak tangan, “kapan diadakan sidangnya?”

“Dua hari dari sekarang.”

Hyunjin mengangguk lagi, lantas meminta kertas yang berada di tangan Chan untuk ia tanda tangani. Chan paham betul apabila Hyunjin mengigit bibir bawahnya, tanda bahwa ia tengah gugup atau tengah menahan tangis.

dan Hyunjin melakukan itu sekarang sampai Chan harus memintanya untuk jangan menggigit bibir.

“Maaf.”

“Iya, gapapa.”

Dengan perasaan sesak juga Chan menyimpan kembali kertas yang sudah Hyunjin tanda tangani, “kenapa, Hyunjin?”

“Tidak apa, Kak. Umurku juga sudah tidak lama lagi.”

“Hyunjin jangan berbicara seperti itu-”

“Kak, semua orang tau faktanya seperti itu.” Senyumnya terbit seolah ia baik-baik saja, “mungkin setelah ini aku akan menghabiskan sisa hidupku di rumah sakit.”

Nyatanya Chan tak berkutik setelah Hyunjin lemparkan senyuman untuk terakhir kali. Malam itu sunyi, sesak, dan begitu menyedihkan. Hyunjin sudah tau kalau mereka tidak akan mampu mempertahankan satu sama lain.

Namun untuk Chan, entah mengapa hatinya ikut sesak. Secuil harapan dalam dirinya mengatakan kepada Hyunjin untuk tidak mentandatangani surat perpisahan itu, namun Hyunjin sudah terlanjur melakukan.

Ia juga ikut sakit dan sedikit kecewa, padahal ia yang memulai semua ini. Hyunjin sudah sangat baik kepadanya, dan ini balasannya?

Chan ingin mengulang waktu, namun ia tak bisa. Bukan, Ia ingin keluar dari ruang dan waktu. Bawa Hyunjin untuk memulai semuanya, namun ia tak bisa..

Jangan maafkan orang seperti aku, Hyunjin

Ketika keduanya sama-sama larut dalam pikiran masing-masing, Chan mendapati Hyunjin yang terhuyung kemudian pingsan dengan darah yang keluar dari lubang hidungnya.

“Hyunjin!”


Air matanya tak berhenti keluar, namun Hyunjin tak terisak. Titik-titik itu keluar secara sukarela ketika mendengar ucapan dokter Johnny yang berada di sampingnya.

“Aplastic Anemia yang diderita Hyunjin sudah sangat parah, saya rasa obat-obatan tidak lagi berefek kepada Hyunjin.”

“Lalu apa dok? apa yang harus saya lakukan?”

Sebaiknya Hyunjin melakukan transplantasi sum sum tulang,” sang dokter menimpali, “lebih cepat lebih baik”

“secepatnya dokter! please

“Mungkin pagi ini operasinya bisa dilaksanakan. Saya harus mempersiapkan beberapa hal dulu.” kemudian dokter Johnny berbalik, “Hyunjin, gapapa?”

Hyunjin menangguk. Ia pasrah jika apa pun terjadi pada dirinya nanti. Setelah menyampaikan beberapa hal, Johnny pergi dari hadapan keduanya.

“Chan, ini.”

secarik kertas Hyunjin berikan. Berada di dalam sebuah amplop berwarna coklat. “Berjanjilah untuk membacanya setelah operasi selesai nanti.”

“kenapa tidak se-”

“aku mohon turuti permintaanku yang ini, ya? sekarang kamu boleh keluar. Aku sedang ingin sendiri.”

“Hyunjin..”

Tidak, Chan tidak boleh egois. ia sudah sangat brengsek, maka jangan berharap apa pun dari Hyunjin.


Chan belum pulang ke rumah. Kedua ponselnya ia matikan supaya tidak ada yang menganggu. Chan menatap Hyunjin yang matanya perlahan menutup akibat obat bius. dan operasi pun dimulai.

Tangannya tak berhenti berdoa semoga operasi di dalam sana lancar. Orang tua Hyunjin tak berhenti memanjatkan doa dan meminta maaf kepada Chan.

“Maafkan Hyunjin?”

“Ibu?” tanya Chan berusaha menenangkan mertuanya, “Ada apa?”

“Hyunjin bercerita di dalam tadi. Ia meminta cerai kepadamu karena merasa sudah sangat merepotimu.”

Maksudnya?, “Hyunjin bilang kalau dia yang meminta cerai?”

“i- iya”

“hah..”

Semua terasa bagai bencana dan kutukan. Otaknya bergemuruh hebat mendengar pernyataan yang terucap dari bibir sang ibu. Hingga akhirnya Chan memberanikan diri untuk membaca surat yang Hyunjin tulis disela operasi.

Sayang

Sepertinya keadaanmu makin membaik, syukurlah

Baru dua bait, Chan membayangkan suara lembut Hyunjin yang berbisik di telinganya.

Disaat kita mengucap janji suci, disaat kita berdua mengucapkan sumpah sehidup semati, disaat kamu yang pandang aku penuh cinta tiap harinya

aku sudah sadar sedari awal perjodohan ini bukan mau kamu. Aku juga sadar kalau kamu terpaksa menerima pernikahan ini. Namun saat kamu memberikan perhatian dan afeksi, aku merasa sepertinya hubungan ini akan tumbuh dengan baik

aku semakin mencintaimu sejak hari dimana aku bertemu kamu di festival musik klasik. Kamu yang tampak sangat antusias dengan lagu klasik, padahal kamu tidak tau judul lagunya

kamu menggemaskan, Chan. Aku menyukaimu. Saat aku tau kita akan dijodohkan, rasanya ada sebercak warna di duniaku yang gelap.

aku seperti memiliki alasan untuk melanjutkan hidupku. Ditengah penyakit yang tidak bisa kusembuhkan

Namun aku merasa berdosa karena kamu masih mencintai cinta pertamamu. Rasanya sakit saat kamu memilih untuk menyerah dalam hubungan kita. Namun jika kembali pada cinta pertamamu bisa membuatmu bahagia, maka lakukan lah

aku sadar kalau aku belum bisa memberikan yang terbaik, bahkan eksistensiku sendiri merepotkanmu. Aku egois ya haha

terimakasih, Chan. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar, aku dan anak kita bahagia pernah memilikimu

Salam sayang, Bahng Hyunjin

Dan sekarang- Dunia Chan yang runtuh berkeping-keping. Ia meremat kertas hasil tulis tangan Hyunjin. Semakin hancur dikala ia baru sadar kalau Hyunjin tengah mengandung anak mereka sekarang.

Penyesalan memang tak pernah datang di awal, kan?

Ia melihat sang mama juga papanya yang terisak duduk di atas kursi, sementara dokter Johnny yang selama ini mengurus Hyunjin tampak menunduk dalam. Pikiran Chan makin kalut-

tolong

aku mohon

“Dokter Johnny?”

“Ah, tuan Chan..”

“a- apa, Hyunjin?”

“Maaf,” Dokter Johnny menunduk dalam, “Kami sudah berusaha semampu kami.”

Chan tersenyum getir. Lututnya tak lagi mampu menopang badannya hingga ia jatuh terduduk di lantai.

Hancur total dirinya, mati akibat duri yang ia tanam sendiri. Kini jiwa Chan sudah habis, menyisakan raga yang menangis. Masih berhutang maaf dan segudang penyesalan,

-dan ia baru sadar setelah ditampar keras oleh realita, bahwa ia ternyata mencintai Hyunjin sangat dalam

-End

Pair: Chanjin (slight Changlix)


Rated, affair, fantasy, slight sex scene, harsh words


“Siren? lo percaya dengan mahluk laut yang bahkan belum diketahui bentuk dan keberadaannya?”


Demi awan oren yang mengapung tinggi di atas kepalanya, bola cahaya yang semakin tenggelam di cakrawala, dan gulungan air ditiup sang angin. Chan sangat mencintai tempat ini. Sambil duduk ditemani papan selancar, ia meneguk minuman kaleng yang sengaja ia tinggalkan di pasir yang tak jauh dari pantai sebelum pergi berselancar.

iris sekelam jelaga pandang lurus ke lukisan ciptaan tuhan yang tidak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. Tersenyum setiap kali semilir angin sapa kulitnya yang sudah bermandikan air garam juga titik-titik pasir.

Chan menyukai pantai, tidak– ia jatuh hati. Rela beri jantungnya demi menyatu dengan deburan ombak.

Pantai memberinya banyak kenangan indah, juga sebagai tempat larinya ketika hidupnya sedang tidak baik-baik saja. Hm, menurut Chan segala sesuatu yang berada disini dapat memahaminya dengan baik, tanpa harus mempertanyakan atau menghakimi.

Senyumnya kembali terbit, toleh ke belakang tepat beberapa meter dari bibir pantai. Ada beberapa temannya yang sibuk huru hara membawa properti yang berada di dalam kotak besar.

Ia tertawa hingga matanya menggaris kala melihat Changbin kewalahan membawa tempat pembakaran yang lebih besar daripada badannya, “Hoi! anak mermet! jangan diem aja disitu, bantuin!”

“Sembarangan lo!” tiba-tiba datang felix dari jauh, dengan memakai mahkota dari daun, “dia dari pagi udah sibuk sendirian pasang tenda, lah lo? masih molor di penginapan”

“Ya kan gue capek habis olahraga!” sungut Changbin, “By the way, lo pake celana gak sih? gak keliatan”

“Gue pake celana ya! Ih, Changbin mesum!”

Chan terbahak melihat drama konyol dua pemuda yang saling gengsi satu sama lain itu. Sebenarnya hanya felix yang gengsi, sementara Changbin sendiri merupakan salah satu dari sekian banyak yang tengah berjuang mendapatkan Felix. Sayangnya belum berhasil.

Gelengan kepala tanda maklum pun didapatkan oleh keduanya sebelum Changbin memutuskan untuk kejar Felix yang langkahnya tak seberapa lebar dibanding Changbin.

Namun dari kejauhan, Chan menangkap sosok figur yang sangat ia kenal. Senyumnya menyusut, namun tatapannya lebih lembut.

Figur yang sangat cantik tengah berjalan kepadanya, dengan kaki jenjang yang dibalut kain motif bunga juga kaos miliknya yang tampak kebesaran di tubuh gadis itu.

“Kenapa gak panggil aku tadi, jadi bisa nonton sunset barengan.”

Namanya, Sana. Minatozaki Sana. Gadis yang beruntung untuk memenangkan Chan yang terkenal sangat menutup hatinya rapat.

“Tapi kamu lagi bantu-bantu,” Chan mengecup dahi manisnya, “sudah makan?”

Sana mengangguk, peluk erat Chan di perut. Lelakinya cuma usap di punggung ketika wanitanya memejamkan mata.

Nyaman dan aman. Itulah sebuah rasa yang memenuhi rongga dadanya setiap kali Sana berada dalam radius yang dekat dengannya. Walau ia yang memiliki peran sebagai pelindung, namun Sana hadir untuk menjaga hatinya dari segala kegelisahan.

dan matahari yang telah terbenam sepenuhnya jadi saksi Chan. Bagaimana ia melantangkan bahwa ia akan tanam perasaannya yang lalu, saat ini, dan berikutnya hanya kepada Sana.


11:00 P.M

Truth or Dare!

“Kenapa gue terus yang kenaaa!” cibir Felix tak tahan. Mereka tertawa terpingkal karena sejak awal permainan, Felix sudah kena hampir lima kali dan sudah menenggak tiga kaleng bir.

Lambungnya penuh, dan rahasia Felix sudah beber kemana-mana akibat pertanyaan aneh-aneh. Tapi Changbin malah asik curi pandang ke Felix yang merasa sebal.

Gemes. Ah, astaga. Apa yang Changbin pikirin sih.

“Cepetan pilih!” sudut Ryujin, “atau gue yang pilihin-”

“Et! Dare deh, malesin kalau rahasia gue harus bocor lagi.”

“Oh..” Ryujin lirik di ujung matanya. Hampir keluar sebuah kalimat, namun Ryujin telan lagi ketika Yeji bisikkan sesuatu di telinganya.

Atmosfir semakin menegangkan dan Seungmin yang mendeteksi bahwa sesuatu akan terjadi pun menarik bahu Yeji yang cekikikan setelah membisikkan sesuatu.

“Ji, apaan?”

“Udah, lihat aja entar” dan perasaan Seungmin makin tidak enak kala kekasihnya mengucapkan hal itu.

Ryunjin kembali ke posisinya. Betulkan letak bandana yang lilit kepala, berdehem kemudian. “Okay, jadi dare nya-”

“Cium Changbin!”

Pffftt, apa?!” Tanya Felix spontan berdiri, “Gak sudi gue nyium dia, dih!”

“Cium aja kali, tempel doang.” Saran dari lelaki yang tengah mainkan game di ponselnya, Minho. “siapa tau dapet 1 miliar.” Tak lama kemudian dipukul oleh pacarnya yang tengah dipangku, Jisung. “Bisa-bisanya lo mikir gitu, Lee minho!”

“Lee Jisung, mau disumpal pakai mulut atau pakai jari?”

“pakai titit!”

“Bangsat, vulgar banget omongan lo!” Teriak Jeongin dari jauh, “Udahlah Ryu, kayaknya gamau si Felixnya juga. Gak ada dare lain?”

“Gak ada dong,” balas Ryujin kehebohan. Setelah lelah mendengar ocehan dari berbagai sisi, ia melihat Changbin yang masih terdiam. Tampak berpikir jauh ke masa depan, seolah sedang memikirkan terobosan baru yang berguna untuk generasi mendatang.

“Changbin, stress banget kayaknya lo.”

“Engga, kambing! Mana ada”

“Pasti lo berharap Felix bakal terima dare nya kan?”

Changbin bergidik kemudian, “Engga lah! Dia mana berani.”

“Heh, boncel! Sembarangan kalo ngomong, siapa yang takut?!”

“Oh, engga? yaudah ayo-” Changbin pun berdiri dari duduknya dan tarik pergelangan tangan Felix mendekat. Namun saat Felix hampir sentuh bibir Changbin, tanpa aba-aba bahunya ditepuk oleh seseorang-

Chris?!

Felix takut, Changbin lebih takut. Buru-buru mereka berdua jaga jarak yang semula berdekatan. “Eh, kak Chan.” Senyum Felix.

Semoga gak lihat, semoga gak lihat, bisa-bisa Felix dibalikin ke orang tuanya dan gak boleh tinggal sama Chan lagi kalau begini.

“Kalian lagi main game ya? Peralatan makanan diluar udah diberesin?” Tanya Chan, tatap satu-satu anak yang berada di ruang tamu, semua mengangguk.

“Udah kak.”

“Maaf ya tadi gak bisa bantu. Kalian lihat Sana? Daritadi kakak gak ketemu.”

“Sebentar” Ryujin menyela, “kak Sana kayaknya pergi pas ditengah bakar-bakar tadi.”

“Oh ya? Hm.. Terimakasih ya Ryu, kakak pergi ya semua. Begadang boleh, tapi jangan minum kebanyakan ya.”

Lantas Chan pergi dari sana. Semua yang berada di ruang tamu serasa dipasok oksigen paksa kala lelaki tersebut akhirnya pergi. Terutama Ryujin yang merasa hampir menjerumuskan Felix yang bernotabene adik sepupu Chan ke suatu masalah.

“Bangsat! Beneran dicium!” Teriak Jeongin dari jauh.

“Sana ke kamar kalian berdua!”


Chan masih telisik tiap sudut ruangan guna mencari kekasihnya. Dipanggil juga tidak ada tanda-tanda Sana menunjukkan diri, Chan seketika bingung.

Tidak mungkin pulang, kan?

Untuk apa? Mereka juga tinggal di kota yang dekat dengan pantai. Pulang dalam keadaan yang sudah larut hanya membuang-buang waktu.

Lalu kemana kekasihnya?

Chan berkacak pinggang ditemani angin malam dan suara ombak yang menabrak. Harusnya malam ini menjadi malam yang sempurna bagi mereka semua, jujur Chan sedikit sebal dengan keadaan.

Ia melirik sebuah cincin yang berada di dalam kain kecil berwarna hitam yang ia bawa di saku celana. Niat hati ingin membawa Sana bermain di bibir pantai kemudian menanyakannya sesuatu yang cukup sakral.

Chan menghela napas gusar, mulai tak tenang. Disaat pikiran yang kalut seperti berdiri di antara badai, mata menangkap pondok yang tak jauh dari penginapan miliknya. Terang, tanda lampu telah dihidupkan dari dalam.

Bukan salah Chan jika ia penasaran sekarang. Seingat Chan tidak ada orang yang menyewa pondok di dekat penginapan belakang ini. Bukan salah Chan juga kalau ia berspekulasi bahwa sang kekasih berada di sana.

Dimakan rasa penasaran yang begitu besar, Chan putuskan untuk berjalan mendekat. Sendal yang menciptakan jejak di hamparan pasir pantai, irama detak jantung bisa ia dengar sendiri lewat telinga akibat kesunyian malam, telapak tangan berkeringat.

Ia belum sadar kalau itu adalah kesalahan yang sangat besar.

Sangat berpengaruh hingga ia tak kuasa menangis lagi- kala menemukan sang terkasih asik mengejar kenikmatan dengan lelaki lain. Tanpa rasa beban di wajahnya, juga kalimat-kalimat cinta yang selalu ia bisikkan di indra pendengaran Chan, kini ia ucapkan juga kepada lelaki yang bahkan Chan tak kenal dengan bebet bobotnya.

Chan tertawa lirih, cincin dibalutan kain jatuh di lantai kayu di serambi pondok. Ia sudah tidak peduli.


Pria malang. Sibuk mengalihkan rasa sakit lewat sebatang tembakau beracun yang bahkan tak ia suka. Untuk pertama kalinya Chan merokok lagi setelah waktu itu iseng mencicipinya bersama Changbin.

Sungguh, ia bahkan tak menyukai rasanya. Namun rasa aneh yang menyentuh lidahnya kini tak sebanding dengan kepala yang pening bukan main.

Chan sibuk mengasihani dirinya walaupun ia tak suka. Tapi ia pun tak kuasa berbohong kepada diri sendiri bahwasannya dia sedang tidak baik-baik saja. Dibawah gumpalan kapas gelap, cahaya bulan purnama yang memantul indah di permukaan air laut, Chan berusaha tarik paksa perasaan yang sudah melekat erat di dadanya.

“Aku paham. Semua terjadi karena ulah takdir. Namun kenapa harus di hari yang seindah ini?”

Jambak rambutnya sendiri, Chan tak percaya kalau ia bisa semenyedihkan ini hanya karena cinta. Ia selalu tulus, meminta agar hubungannya diberkati, berharap sang kekasih melakukan hal yang sama dengannya.

Tidak. Omong kosong! Dia berkhianat.

Tawanya mengalun kembali. Angin yang menusuk pori-pori kulitnya ibarat jarum, namun Chan memilih untuk abaikan luka tak terlihat itu.

Ombak terpecah ketika menubruk bebatuan dibawah sana. Matanya menatap kosong, sama halnya dengan otak yang mendadak tak mampu berpikir. Entah terbawa atau apa, keinginannya untuk terjun sejenak terlintas.

Alunan melodi indah yang sapa pendengarannya. Menarik ulur Chan untuk semakin yakin menenggelamkan dirinya dibawah air dingin nan dalam itu. Membutakan pandangannya hanya dengan suara nyanyian.

Untuk manusia yang rapuh

Berikan setetes air mata, lalu tersenyumlah

yang patah akan tumbuh kembali

Kesedihan akan dibayar dengan kebahagiaan

Ikuti aku ke tempat yang sangat indah, dimana kau tidak akan tau rasa sakit

I will be with you, until your last breath, Love

Gelap dan dingin adalah dua hal yang terakhir Chan rasakan.


Maniknya terbuka lebar, spontan. Mendapati dirinya terbaring di bibir pinggir pantai, dahinya mengerut heran.

Pinggir pantai?

Ia menoleh, lantas menemukan sosok yang memeluk lututnya sendiri. Duduk tepat di samping kepala Chan buat yang tengah bingung makin dilanda rasa bingung hingga kepalanya pusing.

“Sorry,” cepat-cepat ia betulkan posisi, “apakah aku mengenalmu?”

Ia sedikit panik saat melihat sosok dengan rambut panjangnya tak terbalut apa pun. Hanya memeluk dirinya sendiri dengan badan yang basah akan air laut.

Astaga, apa yang terjadi sebenarnya?!

Bahkan Chan sendiri tak mengingat satu pun hal. Bagaimana ia berakhir disini. Dan lelaki ini? setidaknya itu yang Chan simpulkan setelah melihat kelaminnya, hanya diam. Akhirnya Chan putuskan untuk berdiri, “kamu, aku akan mengambilkan kain ke dalam.”

“Tidak.” lengannya menggantung di pergelangan tangan Chan.

“kenapa?”

“Tidak perlu.” cicit lelaki itu, pelan. Tarik mendekat pergelangan tangan Chan, kemudian ia berdiri.

Mata tajamnya seolah menghipnotis lelaki yang memiliki rambut lebih gelap. Menyelam dan mengunci nyawanya. Hingga si rambut pirang kalungkan lengan dengan sukacita di leher Chan, ia masih diam. Sampai bibir menyentuh bibir, mata pun pada akhirnya terpejam.

Chan jatuh lebih dalam dibanding seharusnya. Melanggar prinsipnya untuk tidak mudah membuka hati kepada yang lain. Namun jemarinya remat bokong telanjang lelaki asing yang ia jumpai di pinggir pantai.

“Hyunjin” Bisiknya lembut, kecup pelipis kemudian.

“Hyunjin.” Gumam Chan, cium lagi bibir kesukaannya. Di ambang sadar dan tidak sadar, terperangkap dalam pesona si rambut pirang yang bawa nyawanya terbang ke nirwana.

Namun Chan yakin gejolak aneh di perutnya nyata, senyata bagaimana ia membopong tubuh Hyunjin ke dalam sebuah pondok terbuka dan membaringkan sosok seindah bidadari itu beralaskan kain seadanya.

Cium, gigit, jilat. Hyunjin tarik makin dalam kepala miliknya, Chan makin mabuk kebayang. Lutut menekan di antara selangkangan lelaki itu hingga ia melenguh.

“A- ahn”

Hyunjin menjerit diantara perpotongan leher sang lelaki. Merinding hingga ujung kepala saat tak cukup pemanasan namun Chan melesakkan penisnya masuk. Penetrasi yang menyakitkan kalau saja Hyunjin merupakan manusia seutuhnya.

“ah- ah-”

“Pretty,” pujinya disela-sela, pandang wajah Hyunjin yang pipinya memerah, “Beautiful creature”

Bibir Hyunjin tak berhenti melantangkan desahannya, bagaimana nikmat saat penis tersebut menumbuk titik enak. Mengalungkan lebih erat lengannya sampai mencakar sekuat yang ia bisa.

Lagi, lagi, lagi

Sampai air liur Hyunjin menetes di ujung bibirnya,

Sampai kakinya dibuka makin lebar,

Sampai lehernya kebas akibat mendongak,

Sampai Hyunjin bisikkan sesuatu di kuping lelaki itu, “Berikan jantungmu, maka akan kuberikan kehidupan”

“Aku- akan menuntunmu melewati jalan yang dingin-”

“Untuk manusia yang rapuh, Chan” Hyunjin melirik di matanya yang berkaca-kaca, “Serahkan sebagian jiwa milikmu.”


Jika saja Minho dan Changbin tidak menemukannya. Mungkin Chan sudah dibawa air pasang dan tidak akan kembali. Jika saja keduanya tidak curiga perihal Chan yang tidak pulang ke penginapan, mungkin Chan hanya tinggal nama.

“gue nemuin lo di pinggir pantai”

“Bohong.”

“Gue sama Changbin goblok! lo hampir mati, mana badan udah dingin semua.”

“Gue?” Chan memejamkan matanya erat, berusaha mengingat apa yang terjadi, namun ia tak mengingat apa pun hingga kepalanya sakit. “terakhir kali gue kemana?”

“Nyari Sana.”

Matanya membola sempurna. Iya, dia mencari Sana semalam dan berakhir melihat sesuatu yang membuatnya marah besar. Namun ia merasa ada yang lebih penting dibanding itu.

Ia tak merasakan marah atau pun sedih yang mendalam lagi. Seolah menguap begitu saja tanpa sebab-

Atau mungkin ada sebabnya?

Ada, Chan sangat yakin namun ia tak mampu mengingatnya.

Berusaha mencari petunjuk-petunjuk kecil, ia pun mengajak Minho dan Changbin untuk pergi ke kedai kopi terdekat guna menyegarkan mata dan pikiran.

Bermodalkan pakaian tadi malam dan sebuah kartu, ketiganya meluncur. Tak butuh waktu yang lama langsung duduk dan pesan. Bercengkrama ringan diiringi lagu lawas yang diputar di kedai ini.

Chan mengedarkan pandangan masih sambil berusaha mengingat. Iris mengunci kepada sosok yang rambutnya terikat, tengah melayani tamu-tamu yang datang.

Cantik. senyumnya bersinar sangat terang dibawah cahaya matahari pagi. Wajah kecil dengan bibir yang tampak sangat manis, pahatan yang sungguh indah.

Tanpa basa basi Chan memberanikan diri untuk menyapa, “halo.”

“oh, hai. Ada yang bisa kubantu?” tanya lelaki itu.

“Ah, maaf menganggu. Aku hanya, em- seperti mengenalmu.”

“Benarkah?” tanyanya dengan sumringah, “namaku Hyunjin. Kamu mengenalku?”

Tunggu, “Hyunjin?”

“iya” angguk lelaki itu, “apakah kita saling mengenal?”

Kita tidak saling mengenal, pikir Chan. Namun seluruh tubuh hingga suara lelaki ini mengingatkannya akan sesuatu.

“Untuk manusia yang rapuh, Chan”

“Serahkan sebagian jiwa milikmu.”

Sebuah pikiran konyol menggerogoti otaknya, pasti Chan sudah gila. Namun lain halnya Hyunjin. Ia terdiam walau senyumnya masih terlukis. Pilih untuk tinggalkan lelaki yang menghampirinya beberapa menit yang lalu untuk mengajak bertukar kalimat.

Ia ingat barang sedikit, namun menolak untuk percaya.

ㅡThe End


Happy birthday, Hyunjin! ❣

Big love and hug, Iby


Jari panjang lelaki itu telisik kalimat demi kalimat yang berada di dalam bukunya. Sibuk dengan dunianya sendiri dan abaikan orang kepercayaan yang senantiasa berdiri di sampingnya tanpa tau rasa letih.

Sesekali ia helakan napasnya. Merasa lelah saat melakukan hobi sangatlah berbeda dibanding merasakan lelah ketika melakukan sesuatu yang tidak disukai. Jarum panjang dari jam kuno hasil lelang di sudut perpustakaan menunjukkan pukul tiga sore. Ia baru sadar kalau kegilaannya dalam membaca buku semakin meningkat hingga tak sadar bahwa waktu berjalan makin cepat.

“Tuan Kim Seungmin, apakah anda butuh sesuatu?” Sela salah satu wanita dengan pakaian khususnya, sopan. Melihat Seungmin yang sepertinya ingin mengakhiri kegiatan rutinnya. Tapi Seungmin hanya beri tanda lewat gerak tangannya ㅡ aku bisa melakukannya sendiri, lantas berbicara lewat sorot mata.

Wanita tersebut merasa tak enak hati tatkala membiarkan Seungmin bergerak untuk meletakkan bukunya semula di rak kayu. Entah merasa takut karena dia dianggap tidak melayani tuannya dengan baik atau karena dia terbiasa melakukan hal apa pun untuk seungmin sedari lelaki itu lahir ke dunia. Mungkin keduanya.

Pergerakan mata Seungmin meminta kepada wanita itu untuk tidak berpikir aneh-aneh. Lagian hanya ada dua pengawal di dalam sini dan Seungmin tidak sebodoh itu untuk memerintahkan sesuatu seperti memecat sang maid. Ia bukan seperti ayahnya yang sedikit gila.

Dibanding memikirkan itu, Seungmin selalu takjub dengan buku-buku yang berjejeran di rak pribadinya. Rela habiskan uang dan menjadi pembelanja impulsif demi puluhan buku untuk dibaca.

Ia bawa jarinya telusur satu demi satu judul buku. Jantunganya memompa kian cepat seiring dengan matanya membaca kalimat yang terukir di badan buku. Kedua ujung bibirnya naik dengan sukacita. Tanpa sadar hanya dengan memandang hal ini ia menjadi senang.

Secinta itu Seungmin kepada buku. Ibaratkan sebuah hubungan, Seungmin akan menjadi lelaki yang posesif.

Belum puas Seungmin bermain angan dengan buku-bukunya. Pintu tinggi berpahat kayu yang tak jauh darinya terbukaㅡdengan sosok lelaki berpenampilan necis namun tidak norak berdiri gagah sambil pandang dirinya tepat di mata.

Tatapan yang mengandung unsur perintah walaupun tak satu kalimat yang meluncur dari lelaki tua tersebut. Seungmin jauhkan tubuhnya dari rak, sembunyikan kedua telapak tangan di masing sisi celananya.

“Ada yang bisa kubantu, ayah?” Sang anak bertanya. kalau tidak ada sesuatu yang penting, lebih baik kamu pergi dari sini, untungnya Seungmin masih punya sopan santun untuk tidak mengutarakan kalimat itu. Ia kubur kalimatnya di dalam otak.

Sementara yang lebih dewasa seolah-olah paham bahwa anak semata wayangnya sedang tidak ingin digangguㅡatau lebih tepatnya tidak suka akan kehadirannya disiniㅡ “Ada sesuatu yang ingin ayah bicarakan.”

Sebaiknya hal penting yang akan mereka bicarakan karena Seungmin bukan tipikal orang yang meladeni pembicaraan tidak berbobot.


“Tidak, terimakasih.”

Yang lebih tua lebarkan senyumnya sambil letakkan cangkir kecil berisi cairan hitam pekat yang sudah dingin. Melirik sang anak yang tolak mentah-mentah tawarannya. Lelaki itu dulu dan sampai sekarang tidak paham bagaimana jalan pikir anak semata wayangnya.

Dibalik wajah yang tenang bak air tak beriak, otak yang dimilikinya tidak sama dengan saudara-saudaranya yang lain. Lebih rumit, kompleks, tidak dapat ditebak, disempurnakan dengan sifat keras kepala. Fantastic!

Harusnya ia juga harus berkaca kepada dirinya sendiri perihal bagaimana sifatnya dulu sebelum berbincang mengenai anaknya yang baru saja menginjak delapan belas tahun. Seungmin dan ayahnya seperti pinang dibelah dua.

“Awalnya ayah melihat kamu tertarik, kenapa menolak?”

Tanpa tatap mata sang ayah, Seungmin menjawab, “Aku tidak berminat untuk melihatnya langsung. Buku sudah menjadi jendela dunia bagiku, itu sudah cukup.”

“Bukan kah lebih bagus kalau dirimu bisa melihat langsung? Maiko dan Geisha. Mereka sangat indah.” Lantun lelaki yang lebih tua, “Ayah hanya ingin dirimu menjelajah dan bukan melulu memandangi tinta hitam yang disulap menjadi kalimat. Walaupun hal tersebut mampu menambah wawasanmu, namun traveling mampu menambah pengalamanmu.”

Kopi ditenggak lagi, “Lagi pun sama-sama menggunakan mata untuk mengeksplor.”

“Juga ini adalah kemauan ibundamu.”

Dentingan yang bertabrakan dengan dinding cangkir seketika berhenti saat mendengar kata ibunda. Satu kata yang akan dan selamanya membuat hatinya spontan nyeri. Seungmin tertawa karena tiba-tiba perutnya seperti digelitiki. Ia tak paham apakah satu kata tersebut memiliki sihir yang membuatnya merasakan sesuatu hanya karena mendengarnya.

ㅡatau karena efek merindukan sosok wanita yang rela menampung Seungmin sebelum melihat dunia yang membuatnya sedikit hilang akal?

Sialnya sang ayah selalu pandai mengambil hatinya, juga tau kelemahan Seungmin. Kelemahan yang selalu Seungmin sembunyikan dan ikat erat-erat dalam diri malah digunakan lelaki itu sebagai senjata untuk menaklukan seungmin.

Manipulatif.

Kekehannya hilang ditelan angin. Seungmin menyesap tehnya. Air berwarna coklat bening yang biasanya terasa manis di lidah, entah kenapa menjadi hambar.

“Fine. Jadwalkan penerbangan.”


Seungmin sudah mengira kalau ia akan dibawa ke negeri yang terkenal akan pohon sakuranya. Walau ia kurang suka dengan dinginnya jepang, tempat ini tidak buruk juga, namun tidak lebih dibanding rumahnya sendiri. Mereka yang diajak pergi tampak sumringah, namun tidak dengan Seungmin.

Seungmin menyesal meskipun tak sepenuhnya-

Ah, bukan. Dibanding menyesal, ia hanya malas kalau saja bukan karena ibundanya yang mencintai sesuatu yang berbau jepang, Seungmin enggan menapak kaki disini.

Kenapa waktu berjalan begitu lama ketika Seungmin menginjakkan kaki di jepang. Melihat orang-orang yang sangat menjunjung tinggi individualisme setidaknya buat Seungmin sedikit lega. Eksistensinya disini tidak akan diperhatikan oleh masyarakat sekitar.

Warna cerah, pepohonan ridang, tempat ini sangat magis bagi Seungmin dan hal itu yang membuatnya sedikit tidak suka. kenangan akan ibundanya menghantui Seungmin terus, terlebih lagi Seungmin sepenuhnya sadar bahwa wanita cantik itu tidak akan berada di sisinya sampai kapan pun. Miris.

Suara berisik kicauan burung memekakkan telinga Seungmin, namun lebih baik dibanding kenyataan pahit hidupnya. Ia membungkuk tanda terimakasih setelah mobil yang menjemput mereka telah pergi. Kemudian ia berbalik. Mata menyipit akibat sinar matahari yang menusuk iris mata, ia halau sedikit dengan jemari tangan.

Seungmin merasa tak asing, “Ryokan.”

Semua barang yang ia butuhkan sudah di sediakan oleh nakai. Staf khusus yang mengatur segala hal di penginapan tradisional ini. Seungmin keheranan kenapa ayahnya mengajak untuk menetap di sebuah tempat tradisional dibanding hotel, tapi seungmin terlalu gengsi untuk bertanya.

Sebuah info yang telah sampai di telinganya adalah, mereka akan pergi ke Okiya malam ini juga. Sebagai bentuk janji sang ayah juga sekalian menghandiri undangan yang Seungmin sebenarnya tak mau dengar dan tau.

Lelaki dengan rambut coklat tuanya berdiri tanpa alas kaki, Menggeser shoji yang bersebrangan dengan taman bunga dan air mancur kecil sebagai penghiasnya. Dilengkapi ornamen khas jepang dan burung-burung yang sedari tadi enggan pergi, Seungmin asik bercengkrama dengan pikirannya sendiri.

Kejutan apalagi yang akan ia dapatkan.


Cahaya matahari ditelan gelapnya malam. Dasi yang ia atur sendiri bentuknya terasa mencekik leher, mau tak mau ia harus menahannya karena sebentar lagi acara inti akan segera dimulai.

“Tersenyumlah, Seungmin. Bahkan dewa yang berada di dalam ruangan ini tidak menyukai wajah masam milikmu.”

Bisikan itu sama sekali tak buat hati Seungmin terusik. Ia tetap bertahan pada wajah datarnya. Duduk diatas Zabuton dengan posisi tak nyamanㅡSeungmin hela napasnya gusar.

Berapa lama lagi?, batinnya tak berhenti menanyakan. Teh tawar yang kental akan sentuhan jepang pun ia minum, saat shoji terbuka, matanya yang semula terpejam pun terbuka.

Ia letakkan lagi cangkir kayu itu. Mata asik pandang dua orang yang masuk dengan penampilan yang terkesan unik. Baik dari segi riasan, tatanan rambut, atau pakaian. Tatapan Seungmin menancap sempurna kepada dua orang yang baru saja masuk.

Jadi seperti ini wujud Maiko dan Geisha, atau apa pun itu

Membungkuk bukan jadi hal tabu di negara ini maupun negara asalnya. Memberi salam merupakan suatu yang wajib dilakukan. Ia pun membungkuk sedikit guna menghormati para seniman tersebut, yang satu diantaranya memiliki senyuman manis walau dilapis bedak putih yang sangat tebal.

Sang penari mulai meliukkan tubuhnya. Sang penari yang entah mengapa berhasil buat Seungmin memusatkan pandangan ke arahnya. Sang penariㅡsialanㅡ yang mampu menundukkan Seungmin lewat sorot matanya.

Jujur sanubarinya membenci hal ini. Dimana ada seseorang yang membuatnya merasa dibawah. Seungmin tidak pantas, posisi mutlaknya adalah selalu berada di atas sesuatu. Namun penari ituㅡ

Siapa dia?

Shamisen sebagai pengiring tarian tak lama kemudian berhenti. Keduanya membungkuk seperti semula tanpa Seungmin sadari, acara sudah berakhir.

Jangan salahkan Seungmin kalau dia mengumpat dalam hati sekarang.

“Yang tadi adalah Maiko. Calon Geisha, sudah aku kira kamu akan menikmati penampilannya.”

Ah, masih sekelas Maiko rupanya ㅡ harusnya Seungmin bisa bedakan jika saja ia tak termakan rayuan obsidian si penari. Seungmin tau banyak hal dari buku yang pernah ia baca, namun otaknya mendadak hening seolah terhipnotis dengan elok tubuh yang mengandung arti sejarah yang kompleks.

Harusnya, Harusnya Seungmin fokus, bukan merenung seperti tadi.

Jantungnya berdegup tak karuan memikirkan hal tadi. Darahnya lari ke otak, turun ke kaki, hangat dan membuatnya tak nyaman.

Cengkrama yang terdengar seperti celotehan asal makin membuat otaknya penuh. Orang tua sibuk akan pemikiran dewasa mereka sambil abaikan Seungmin. Mereka lupa kalau ada seorang minor disini. Seungmin muak dengan keadaan.

Diam-diam lelaki tinggi itu menyelinap keluar dari ruangan. Kepala toleh kesana dan kemari di lorong yang remang. Ia ikuti naluri yang akan membawanya hingga ia sampai di halaman luar, dengan pemandangan yang menyejukkan, hampir sama dengan Ryokan tempat ia menginap.

Pandangan selalu awas seperti diuntit, kakinya melangkah pelan menginjak rerumputan pendek. Kunang-kunang berterbangan di atas pucuk bunga. Lagi-lagi Seungmin menemukan tempat yang sangat Magis dan ia kurang suka hal itu.

“Hidup ini terlalu rumit.” Helanya putus asa. Longgarkan dasi yang masih bertengger di leher. Ambil sikap acuh, Seungmin dudukkan bokongnya. Tak peduli apakah ada papan penanda dilarang duduk disini!, selagi ia tak menemukan maka ia akan berbuat sesuka hati.

Buku kecil yang Seungmin keramatkan selalu menemaninya kemana pun. Bolpoin ia keluarkan dari saku. Buka, lantas menorekan tinta hingga membentuk sebuah kalimat.

Jika saja bunda masih memiliki raga

akan kah perjalanan ini lebih membekas di memori dan hatiku?

jika saja-

“Tulisan yang bagus.”

Jantung Seungmin turun ke kaki hingga bolpen jatuh ke dasar rerumputan. Ia menoleh spontan dengan pikiran aneh yang sudah menggerogotinya. sial, ternyata tidak ada apa pun

Pikiran Seungmin tentang legenda hantu yang sangat ramai diperbincangkan sekilas buat nyalinya ciut. Namun ia bersyukur bawasannya pikiran tak penting itu hanya sebatas angin lalu. Kini ia ambil bolpennya lagi dengan dengusan.

“maaf, kamu kaget ya?”

“Bisa tinggalkan saya sendiri? Terimakasih.” ucapnya, menyelipkan fakta bahwa kalimat yang ia lontarkan bermaksud menyindir orang yang baru saja membuatnya kaget.

Merasa tersindir, ia pun berjongkok, “apakah aku semenganggu itu?” tuduhnya, “aku hanya kasihan melihatmu seperti gelandangan disini, sangat miris.”

“maksud anda?” tanya Seungmin mulai habis kesabaran, “jangan sembarangan dalam berbicara. Apakah anda pemilik okiya ini atau semacamnya? kalimatmu terhadap pengunjung sangat tidak sopan.”

Tapi orang itu hanya menanggapi kalimat seungmin yang terdengar sedikit nyolot atau begitulah ia menyimpulkannya dengan kekehan kecil. Tarik kedua ujung bibir hingga ciptakan senyuman yang sangat manis.

“Aku penari yang tadi.”

“aku tidak mudah tertipu.”

“aku yakin kamu paham betul.” Senyumnya lagi. Senyuman yang sama persis seperti yang Seungmin lihat beberapa waktu yang lalu. Mendadak Seungmin gugup, namun ia tetap mempertahankan wajah datarnya.

“Namaku Hwang Hyunjin jika kamu penasaran,” lanjutnya lagi, dengan sopan. Seolah-olah ia bisa membaca pikiran Seungmin. Oh, tidak- ini gawat. Harusnya Seungmin tidak berbicara seperti itu di awal jika akhirnya dia malah dipertemukan dengan Sang penari.

Orang yang bernama Hyunjin itu suka sekali tertawa, apakah tulang pipinya tidak pegal. Setiap kekehan yang terlantun seperti mengandung sihir yang buat jantung Seungmin berdetak cepat tiap detiknya.

Seungmin seperti orang yang dimabuk cinta dan ia sadar sekali akan hal itu. Dimabuk cintakah atau hanya sekedar kagum, Seungmin tak dapat membedakannya.

“dan aku adalah seorang laki-laki. Jadi aku harap kamu tidak terlalu melambungkan ekspetasi ya.”

“Hah?”

“Iya, aku paham. Tapi ada baiknya kamu tau dari mulutku langsung dibanding orang lain.”

Kenapa dia sangat pede bahwa Seungmin akan menyukainya dalam pandangan pertama?

Namun tak dapat dipungkiri bawha fakta yang barusan terlontar dari mulu Sang penari menampar pipi Seungmin keras sampai ia tak kuasa memberi reaksi. Ditatapnya lelaki, ah- Seungmin belum terbiasa menyebutnya, namun suka tak suka begitulah adanya.

Mungkin bibir yang merekah penuh sukacita milik Hyunjin akan mendadak penuhi pikiran Seungmin sampai ia terlelap.


Sejak hari itu, di umur delapan belas tahun kehidupan Seungmin perlahan berubah. Seungmin merasa pergi ke jepang bukan lagi semata-mata untuk berlibur melainkan ia jadikan sebuah rutinitas yang telah berlangsung selama dua tahun lamanya.

Menginjakkan kaki di jepang, reaksi Seungmin bukanlah seperti dulu. Kini ia menyukai jepang dengan segala keindahan dan keromantisannya. Semua itu berkat Sang penari yang membuat Seungmin perlahan membuka diri.

Terhitung belum lama berkenalan, Seungmin berusaha untuk memprioritaskan Hyunjin hingga lelaki tersebut harus memaksa Seungmin untuk mementingkan kehidupannya di korea terlebih dahulu.

“gak mau having sex lo sama oiran?

Teh yang rasanya masih akrab di lidah, juga tatanan ruangan yang hanya dirubah sedikit detailnya. Seungmin baru tau kalau mereka juga mempekerjakan PSK di tempat seindah ini. Ah, lagian siapa yang peduli sih? mereka hanya butuh sarang untuk kemaluan mereka yang gatal.

“duluan ya.” Ia pun beranjak dari atas zabuton. Tinggalkan beberapa temannya yang akan melanjutkan kegiatan malam mereka.

Diumur sepantaran Seungmin, banyak pemuda yang gencar-gencarnya mencoba sesuatu. Seperti temannya tadi, mengeluarkan uang yang tak sedikit demi fasilitas yang memanjakan. Yah- Seungmin sendiri tidak masalah, hanya saja itu bukan kesukaannya.

Para staf yang bekerja di Okiya sudah sangat akrab dengan kehadiran Seungmin. Yang mereka tau bahwasannya Seungmin sangat menyukai pertunjukan Maiko. Sempat terbesit rasa heran dengan ia yang maunya selalu Hyunjin sebagai penari. Namun para staf tak ambil pusing karena mereka tidak perlu mecampuri urusan orang lain.

Menunduk tanda hormat, Seungmin balas dengan anggukan kepala. Berhenti tepat di depan shoji yang tidak tertutup rapat. Di otak Seungmin spontan terbesit pertanyaan-

Ada orang?

Grrrt

“a- ah, Seungmin?”

Pintu berlapis kertas yang semula memagari pandangan Seungmin kini telah tersingkir. Sempat sangsi dengan Hyunjin tengah bersama seseorangㅡ lebih tepatnya Seungmin sangsi kepada lelaki yang tengah duduk berdekatan dengan hyunjin, nyaris tanpa jarak

“ayo kita pulang.” ajak Seungmin dan tarik pergelangan tangan Hyunjin menuntut. Hingga kaki Hyunjin tertatih berusaha mengimbangi langkah Seungmin, apakah lelaki itu marah?

Bahkan Hyunjin belum sempat menghapus riasan di wajahnya, namun ia telah berakhir di samping Seungmin. Dan lelaki itu bawa dirinya pergi dari okiya, secara tidak langsung memerintahkan Hyunjin untuk tidak mengikuti latihan malam ini.

“Seungmin?” cicit Hyunjin, sentuh ujung jas licin lelaki yang padangannya terkunci ke depan.

“jangan tanya, Hyunjin. Setidaknya jangan dalam waktu yang dekat.”

“Maaf udah bikin kamu marah.” Giliran Hyunjin yang mengalihkan pandangan kedepan.

Sial, Seungmin mengumpat dalam hati. Ingin marah namun tak kuasa. Bukan kah terlihat sangat kekanakan mengetahui bahwa Seungmin marah karena hal kecil?

Ditambah lagi mereka tidak memiliki status apa pun, makin tidak logis untuk Seungmin yang selalu bergantung kuat pada logika.

Hela napas, Seungmin memilih untuk usap punggung tangan si manis. “Pekerjaan yang berat, ya? Aku akan membawamu pergi sebentar.”

“latihanku?”

“Bolos latihan sekali tak apa, aku tidak tega melihatmu terlalu memaksakan diri.”

Hyunjin mendengus, “lalu kita mau kemana?”

Si rambut coklat lirik sejenak dan ciptakan senyuman tipis, “ke kedai ramen?” Anggukan Hyunjin pun ia simpulkan sebagai sebuah persetujuan.

Tuhan memang punya rencana yang sangat banyak. Seungmin pastikan di ramalan cuaca bahwa malam ini akan sangat terang akibat bulan purnama. Namun disepanjang jalan yang hening, cuma ditemani dengan streetlight yang memanjang di sisi jalan, titik-titik air mulai membasahi bumi hingga titik air tersebut datang dalam jumlah yang banyak.

Seungmin berdecak tak suka, kentara sekali kesalnya. Namun Hyunjin selaku orang yang berada di dekat Seungmin langsung menenangkan pemuda itu.

“Seungmin, kalau kamu mau marah- ingat untuk selalu menghitung sampai lima sebelum kamu benar-benar ingin melampiaskannya.”

Sebuah saran yang sangat baru untuk Seungmin, namun ia tetap melakukannya. Aneh karena ia merasa apa yang keluar dari mulut Hyunjin adalah mutlak dan wajib dilakukan. Tanpa sadar hatinya menghangat hanya karena kehadiran Hyunjin disisinya.

Membatalkan rencana awal, keduanya memutuskan untuk membungkus ramen dan memakannya di ryokan. Seungmin yang memesan sementara Hyunjin disuruh menunggu di mobil dilingkupi rasa bosan. Dasar.

Beberapa waktu berlalu sampai-sampai ramen mereka nyaris dingin. Sepanjang perjalanan diisi dengan gelak tawa dan antusias Hyunjin untuk bercerita bagaimana ia merindukan Seungmin-Nya, bagaimana Hyunjin yang selalu mengadah menatap bintang sambil membayangkan hari dimana ia akan bertemu lelakinya dan bagaimana seungmin yang selalu merapalkan nama Hyunjin disetiap kegiatan membaca bukunya.

Baru kali ini Seungmin merasakan kehangatan yang memeluk sanubarinya. Seperti melihat senyuman dari bibir merah merekah Hyunjin yang belum menghapus gincunya dengan sempurna.

Seungmin mengusap bibir si manis, “ada rencana besok?”

“Geisha senior menyuruhku untuk datang pagi-pagi.”

“hm, untuk?”

Mie tipis ia makan lagi, “mereka ingin mentato tengkuk milikku.” Hyunjin menyingkirkan rambut belekanganya, “aku tidak tau kenapa mereka sangat tiba-tiba.”

“Bukan kah ini pertanda yang bagus, Seungmin?” ucap Hyunjin sarat akan antusiasme. Lagi-lagi Seungmin hanya tanggapi dengan senyum.

“Aku memiliki firasat akan ada hal baik yang menghampirimu.”

“aaaa!”

Hyunjin tak dapat menyembunyikan gurat bahagia dari wajah. Rasanya tubuh ingin dibawa terbang seperti Peter Pan saat sedang menjelajahi Neverland.

Sedikit lagi Hyunjin, langkah menuju kebebasan sudah berada di depanmu.


Seingatnya Semangat Hyunjin semembara api semalam. Ia terkekeh kecil karena melihat sikap Hyunjin yang sangat bertolak belakang sekarang. Dimana lelaki itu menatap nyalang kepada jarum yang tengah berada di tangan Sang Geisha. Tampak sangat menyeramkan hingga buat kepala Hyunjin pening.

“takut.”

Seungmin mengusap punggung Hyunjin guna menenangkannya. Berbisik bahwa itu tidak semenyeramkan seperti yang Hyunjin pikir.

Bohong. Padahal Seungmin sama takutnya.

“Hyunjin-san, koko ni kite.” (Hyunjin, kemari.)

Ketika namanya dipanggil, jantung Hyunjin rasanya ingin keluar. Tepat disaat ia kupas setengah kimono hingga memperlihatkan punggungnya, telapak tangan Hyunjin mendadak gemetar.

Sorot mata berbicara ke Seungmin yang hanya memandangnya dari kejauhan. Meminta kekuatan yang di mata Seungmin malah terlihat sangat menggemaskan. Seungmin pun mengisyaratkanㅡ kamu akan baik-baik saja.

Tato Tsuru yang biasa dilukis saat Maiko akan naik jabatan menjadi Geisha. Dibuat dengan proses yang masih terbilang tradisional hingga menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding metode modern. Hal ini menggambarkan perjalanan seseorang dari awal menjadi Maiko hingga menjadi Geisha yang terbilang tidaklah mudah. Jarum tajam yang menusuk kulit, tiap tusukannya mengandung arti yaitu sebuah perjuangan.

“hiks” namun tampaknya Hyunjin tidak sepenuhnya bisa menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya hingga ia meremas kain kimono yang berada di tangan.

Si rambut coklat seret lutut yang berada di atas tatami untuk mendekat ke Hyunjin. Mengusap keringat dan air mata yang menitik di ujung mata Hyunjin.

“Sakit.”

“Sedikit lagi, sayang.”

“H- hah?” kaget Hyunjin.

“Tidak. Maksudku bertahanlah sebentar lagi.”

Ia mendadak gugup bukan main saat tak sengaja mengucapkan sesuatu yang harusnya tak perlu ia ucapkan. Sialan, Seungmin bergegas memalingkan wajah malu. Semoga Hyunjin tidak berpikiran aneh-aneh kepadanya.

Proses penggambaran tato itu hampir memakan waktu selama dua jam. Ditemani dengan rintihan Hyunjin serta bulir-bulir keringat yang menetes hingga buat rambut panjangnya sedikit lepek.

Dan kini Hyunjin tengah berbaring nyaman di bahu Seungmin sibuk merengek akibat ia yang menahan tangis selama proses pentatoan berlangsung. Sudah menjadi ciri khas Seungmin bahwa ia hanya diam sambil mengusap-ngusap surai legam Si Manis.

“Aku diangkat menjadi Geisha di umur yang sangat muda.”

“Apakah 20 itu termasuk muda?”

Hyunjin mengangguk, “banyak yang menjadi Geisha di umur tiga puluhan mereka, Seungmin.”

“itu tandanya kamu memiliki talenta,” ia tersenyum, “aku bangga padamu.”

Tanpa Seungmin sadari bahwa Hyunjin mencengkram kain kimononya kuat. Sekuat ia menahan rasa sakit yang membuat hatinya mati rasa.

Yang tau dan paham hanya Hyunjin disini

“Menjadi Geisha kelihatan sangat melelahkan. Kadang mendengar kabarmu yang masih latihan hingga pagi membuat aku khawatir. Kamu pernah menyesali hal ini?”

Hyunjin menggumam, “kalau saja aku bisa menyesal. Sayangnya aku harus menghadapinya, Seungmin.”

“apakah ada sesuatu?”

Menggeleng, “tidak, semua baik-baik saja.” kepalanya mendongak, “terimakasih sudah mau menjadi temanku.”

Seungmin membawa Hyunjin duduk berhadapan dengannya. Puas memandangi wajah Hyunjin selama beberapa detik hingga yang ditatap bingung, Seungmin memutar tubuh Hyunjin.

Kimono yang turun dari bahu Hyunjin ditahan oleh Seungmin pada telapaknya. Bibir Seungmin mengecup lembut kulit Hyunjin yang masih memerah buat Hyunjin kaget.

“Hyunjin, kamu mau tunggu aku?”

“maksud Seungmin?” jawabnya atas pertanyaan Seungmin.

“hanya saja,” bubuhkan kecupan manis lagi, “aku berharap kamu bersedia menungguku.”

Kalimat Seungmin membawa Hyunjin terbang pada pikirannya sendiri. Bersamaan dengan sentuhan yang akan membekas di otak, tubuh, dan hatinya. Waktu mendadak berjalan begitu lambat seiring dengan degup jantungnya yang berdetak kencang.

Waktu yang singkat seolah memaksa Hyunjin berpikir hingga buat dahinya pegal. Yang jelas ia sadar kalau perasaanya bukan sekedar halusinasi. Momen yang telah mereka lewati itu nyata, senyata cumbuan Seungmin pada bibirnya sekarang.

Berdoalah, Seungmin. Aku mohon berdoalah untuk kita berdua. Karena aku tidak bisa dan tidak akan mampu melakukannya


“Sajang-nim akan segera tiba sebentar lagi.”

“Bukan kah tidak ada rapat hari ini? untuk apa Pak Seungmin datang ke perusahaan?” dengus sebal perempuan yang berambut pendek sambil rapikan berkas-berkas ke dalam kabinet.

“Ya, tidak apa sih.” sahut wanita berambut panjang dengan poni di dahinya, “tunjukkan kalau kita itu karyawan yang baik, siapa tau gaji kita dinaikin.” tawanya jenaka.

“mau gajimu dinaikin atau Pak seungmin nya sekalian?”

“huft, Pak Seungmin katanya udah punya kekasih. Tinggalnya di jepang. First love dari dia umur delapan belas tahun. Coba deh hitung udah berapa lama, Pak Seungmin aja udah mau dua puluh tujuh”

Yang rambut pendek tertegun kaget, “sudah lama sekali jika dihitung. Tapi pacaran? aku dengar tuan Kim tidak setuju dengan pilihan Seungmin.”

“hm, iyaㅡ eh, Pak Seungmin sudah tiba.”

Kedua perempuan tersebut keluar dari ruang kabinet dan membungkuk hormat kepada Seungmin. Sikap dingin bos mereka itu sudah menjadi santapan sehari-hari. “Berkasnya sudah saya letakkan di meja.”

“Terimakasih.” Seungmin menjawab, lantas pergi dari hadapan dua karyawannya. Ia memang tidak memiliki jadwal di perusahaan kalau bukan karena mengambil hasil laporan.

Ia sampai di ruangannya, mengecek amplop coklat muda yang berisikan beberapa kertas. Lantas pergi setelah urusannya usai.

“Kim Seungmin?”

Semula tatapannya terkunci pada untaian kalimat dari kertas yang ia pegang, saat terdengar namanya dipanggil- Seungmin alihkan pandangannya. “Chris?”

Perbincangan singkat terjadi di lorong kantor, karena menurut keduanya masih banyak yang perlu dibicarakan, berakhirlah di cafe ini sembari meminum teh dan kopi. Chris sumringah karena sudah lama tidak bertemu langsung dengan Seungmin.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Chris, dijawab senyuman tipis oleh yang muda.

“Baik.”

“Astaga, masih dingin seperti dulu.” Canda Chris.

“Hahaha, apakah kita teman sepermainan?”

“Bukan sih, aku pindah ke amerika saat remaja, dan kita hanya bertemu ketika sempat.”

Seungmin minum tehnyaa, “apakah kamu datang untuk membicarakan bisnis keluarga kita?”

“semua sudah ter-handle dengan baik, Seungmin.” jawab yang lebih tua, “aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat. Yah, anggap saja sebagai hadiah atas kerja sama yang kita jalani.”

Angguk sebagai tanda bahwa Seungmin masih mendengarkan Chris, kemudian lelaki itu menyodorkan sebuah foto. Seungmin lihat sekilas sebelum akhirnya tertarik untuk melihat lebih detail.

Kyoto, Jepang.”

Dahi Seungmin berkerut. Foto beberapa Geisha dengan Chris yang berada di tengah mendadak gerogoti memori Seungmin akan Hyunjin. Manisnya yang tinggal di jepang sana. Namun alih-alih merindu sang pujaan hati, Seungmin lebih penasaran kenapa Chris tiba-tiba mengajaknya.

“Aku sudah memesan semuanya, kita berangkat dua hari lagi.”


Hyunjin spontan membuka matanya ketika jantung serasa ditimpa sesuatu. Bulir-bulir keringat tetesi dahi Hyunjin yang tengah berbaring di futon. Ia bergegas bangun dan menenggak air minum yang tepat berada di sampingnya.

Mimpi buruk, lagi.

Mata terpejam gusar. Bahkan untuk sekedar menutup mata barang sebentar rasanya sangat sulit. Selalu dibayangi masa lalu yang buruk ditiap langkahnya.

Hyunjin butuh ruang untuk menyembuhkan diri dan ia yakin bisa sembuh sendirinya. Namun waktu itu tak kunjung datang hingga Hyunjin dibuat gila rasanya.

Ia baringkan kepala di atas bantal, coba untuk terlelap dengan tenang. Digenggaman senantiasa ada kalung yang Seungmin berikan padanya, agar ia merasa tak sendirian. Dan kini Hyunjin merindukan lelaki itu ditengah heningnya malam.

Seungmin-nya yang sudah tiga tahun tidak berkunjung ke jepang. Tanpa kabar maupun sapaan. Tempatnya berkeluh kesah serta wadah untuk menampung cintanya seolah hilang ditelan bumi. Hyunjin dipinta untuk menunggu tanpa kepastian dan itu sangat membuatnya gundah.

Bokong Hyunjin nyeri bukan main, pinggangnya pegal, dan hatinya sakit. Namun lagi, ia paksakan tidur walau kantuk tak menjemput. Besok malam ia harus melakukan pertunjukan di hadapan orang penting.


“hari ini kamu akan tampil di hadapan keponakan pemilik okiya.”

“benarkah?” tanya Hyunjin memastikan, “yang tinggal diluar negeri itu kan? dia datang lagi rupanya”

“iya. Jadi pastikan penampilanmu maksimal, ya?”

Sentuhan terakhir di bibir merahnya, Hyunjin mengangguk dan berjalan disepanjang lorong dengan anggun. Ditemani dengan wanita yang sudah mengiringinya sejak menjadi Maiko, Hyunjin yakin kalau semua akan berjalan lancar.

-Setidaknya sampai ia tau bahwa lelaki denga jas yang tertata apik dan duduknya yang tegap bak bangsawan diatas zabuton adalah Kim Seungmin.

iya, Kim Seungmin. Lelakinya.

Sepanjang acara Hyunjin tak dapat berkonsentrasi. Bukan hanya karena kehadiran Seungmin yang tiba-tiba, namun juga karena rasa rindu yang menyesakkan dadanya. Hyunjin hampir menangis kalau saja dia tidak ingat sedang tampil di hadapan orang penting.

Lain hal Hyunjin, lain halnya Chris. ia tersenyum sangat sumringah karena pada akhirnya berkesempatan menonton Geisha dari okiya milik keluarganya sendiri.

Juga ia yang merindukan Sang penari yang selalu ia pantau kabarnya dari jauh. Cinta pertamanya yang sangat cantik dan bertalenta.

Seseorang yang tak luruh dari ingatan Chris walaupun belasan tahun telah berlalu. Bercerita mengenai bagaimana ia tau perihal Hyunjin, pada saat Chris berumur tiga belas tahun. Ia berkunjung ke jepang dan menempuh pendidikan disini selama beberapa tahun. Sampai akhirnya sosok anak kecil dengan rambut yang masih panjang sampai sekarang membuat pandangan Chris terkunci.

Lelaki itu awalnya datang dengan dua orang dewasa sampai akhirnya ia ditinggal sendiri dan diurus, dijadikan sebagai Geisha. Setidaknya itu yang ia tau dari cerita keluarganya. Tangan kanan yang selalu diutus Chris untuk memberinya kabar, selalu melaporkan bahwa Seungmin rutin menemui Hyunjin selama beberapa tahun.

Tidak apa, Chris tak marah. Biarpun pada akhirnya Seungmin akan menang, namun ia ingin berbincang dengan cintanya untuk pertama kali. Setelah itu Hyunjin bisa kembali kepada pilihannya karena Hyunjin juga tampak mencintai Seungmin.

Berdiri dibawah hamparan bintang dengan udara jepang yang membelai kulit pipinya buat Chris rindu akan segalanya disini. Mimpi, momen, kejadian penting semuanya hampir terjadi disini.

Hela napas, Chris toleh kepalanyaㅡlangsung disambut oleh Hyunjin yang memandang matsu dalam diamnya. Ia beranikan diri untuk mendekat, “Hyunjin?”

Chris disambut dengan rasa kaget Hyunjin, spontan saja ia mengisyaratkan untuk tidak bereaksi berlebihan. Lantas yang lebih tua duduk disamping Hyunjin.

“mungkin kamu sudah lupa, tapi aku keponakan pemilik okiya ini, dan-” ia tahan sebentar untuk teguk ludah, “aku sudah mengenalmu sejak kamu menginjakkan kaki disini.”

Hyunjin terkekeh. Namun bukan tawa yang mengandung kebahagiaan, melainkan menertawakan keadaan yang menempatkannya dalam posisi sulit.

“jadi kamu tau semua.”

“tau apa, Hyunjin?” tanya Chris mendadak bingung.

Air mata yang lebih muda menitik, bergegas ia hapus hingga bedak yang belum luntur sempurna dari wajahnya ikut luruh. “Bahwa aku dijual, karena memiliki hutang kepada keluargamu.”

maksudnya?

Apa yang berusaha kamu katakan, Hyunjin?

“Mungkin kamu akan anggap aku gila. Tapi aku dijual ke tempat ini dan dilatih menjadi Maiko. Baik, aku tidak masalah jika hanya itu” cicit Hyunjin, tangannya gemetar, “tapi ada yang memperlakukanku sebagai pemuas nafsunya. Itu membuatku stress dan selalu merasa kotor.”

ia usap lagi pipi yang sudah lengket, “aku tidak ingin meminta bantuanmu. Lagipula kita bertemu saat kecil dan baru bertemu saat kita sudah sama-sama dewasa.”

“tapi aku mohon dengan sangat, apabila kamu memiliki koneksi dengan beberapa orang di dalam okiya ini, tolong pecat mentor Geisha milikku dan beri peringatan kepada salah satu seorang danna untuk berhenti mengangguku.”

“Bagaimana aku bisa melunasi hutang keluargaku jika aku terus-terusan dilecehi?” bibirnya bergetar sampai Hyunjin memeluk tubuhnya sendiri. Chris langsung tarik Hyunjin ke dalam pelukannya.

“tidak, ini tidak benar.” gumamnya. dahinya mengkerut larena terlalu sulit menahan gejolak sakit dari rintihan Hyunjin. Lelaki itu, jadi ternyata selama ini menanggung beban yang lebih berat dibanding apa pun.

dan bahkan pihak okiya hingga tangan kanan milik Chris tidak ada yang membocorkan hal ini. Chris marah kepada dirinya sendiri. Membayangkan bagaimana Hyunjin menangis tiap malam meratapi nasibnya.

Chris makin eratkan dekapnya, Hyunjin tangisnya semakin pecah.

Semuanya menjadi jelas malam itu.

“Aku akan membebaskanmu.” bisiknya, “kamu tidak perlu membayar lagi hutang keluargamu.”

“Bercinta denganku, Chris.”

“Apa maksudmu?”

Chris tak paham sepenuhnya maksud dari yang muda. Kalimat yang terlalu rancu. Belum dijelaskan namun Hyunjin malah menyambar bibirnya secara tiba-tiba.

Seungmin berdiri tak jauh dari mereka, menyaksikan dari awal sampai akhir. Niatnya ingin melepas rindu malah dihadiahkan pemandangan yang mampu buat hatinya pecah.

Ia kecewa.


“Kamu pasti sangat paham bahwa Geisha merupakan seniman. Kita menjual seni, bukan tubuh. Hwang Hyunjin, kamu sudah tau akan konsekuensinya.”

Hyunjin menunduk, memilih untuk perhatikan detail kimono yang ia kenakan dibanding menatap Sang Geisha senior. Hyunjin tidak memiliki pembelaan apa pun. Ketika berita itu sampai lewat Chris, Hyunjin segera dipanggil dan dimintai keterangan.

Berakhir Hyunjin membenarkan semua yang ditanyakan. Pangkatnya sebagai Geisha sudah berakhir sampai disini. Hyunjin hormat dalam untuk terakhir kalinya sebelum beranjak pergi dari sana.

Matahari sebentar lagi terbenam, langkah kaki Hyunjin sebentar lagi akan membawanya keluar dari Surga penuh duri ini. Dibawanya beberapa pakaian di pundak, namun seketika langkahnya dihalangi oleh sosok tinggi.

Kim Seungmin.

“Seung- ahk! jangan terlalu kasar!”

Tapi Seungmin menulikan pendengarannya. Hyunjin memeluk lututnya sendiri ketakutan karena Seungmin yang tidak berbicara sepatah kata padanya, namun mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, sebuah keajaiban mereka sampai di Ryokan dengan selamat.

Masih tarik pergelangan tangan Hyunjin, Seungmin membanting shoji dengan kasar. Memerangkap Hyunjin dalam sorot tajam matanya.

Bukan, bukan marah- Sorot mata itu menampilkan kekecewaan yang sangat dalam. Tanpa sepatah kata juga Seungmin langsung berikan cumbu kasar pada bibir Hyunjin. Bibir, pipi, leher, hingga lelaki itu tanggalkan kimono yang membalut tubuh Hyunjin.

Hyunjin entah menangis atau mendesah akrena Seungmin yang melulu hujam titik sensitifnya dengan kecupan, “Se- seung,”

“Aku selalu berusaha menjagamu, Hyunjin. Tidak berani menyentuhmu sampai melewati batas, namun apa yang kamu lakukan?”

“Tidur dengan lelaki lain? dengan Chris?! Seseorang yang masih memiliki hubungan darah denganku.”

“Seungmin! ahk-” Rintihnya makin jadi ketika Seungmin menggigit putingnya dan menjilat penuh nafsu. Nafsu yang diselimuti oleh kemarahan dan emosi.

Seungmin yang mendominasi permainan, tak memberi ampun pada Hyunjin barang sejenak. Membiarkan orang yang entah pernah atau masih mencintainya frustasi dibawah kuasanya.

Dan ia melangsungkan persetubuhan itu selama yang ia bisa. Meluapkan apa yang selama ini ia tahan.

Hyunjin terlelap dalam keadaan tubuh yang dipenuhi tanda cinta atau emosi oleh Seungmin. Pipi sembab karena sepanjang permainan ditemani oleh isak tangis. Seungmin merasa iba, juga terbesit rasa bersalah dalam dirinya.

Akhirnya ia hanya bisa mengecup tato dibelakang tengkuk Hyunjin, lama. Sebelum meninggalkan terkasihnya sendirian di Ryokan.


Bugh!

“Brengsek!”

Chris sudah menduga bahwa hal ini akan tiba. Hari dimana Seungmin akan memberinya luka fisik, atau yang lebih buruk- memutuskan tali kerjasama.

“batalkan projek kita.”

“jangan bersikap seperti anak-anak, Seungmin.”

“harusnya kamu berkaca sekarang, siapa yang bersikap seperti anak-anak?!” teriak Seungmin di hadapan Chris, menahan kepalan tangannya untuk tidak meninju sepupunya lagi.

Alih-alih membalas omongan Seungmin, Chris mengambil sebuah amplop kecil dengan tulisan kanji di sudut kanan atas. “kamu akan menemukan sebuah jawaban disini.”

Kepalan tangan Seungmin melemah saat Chris memberikan sepucuk surat tersebut. disambut dengan sedikit gemetar.

Seungmin takut akan isinya. Takut akan kenyataan yang terlampir di kertas hasil tulis tangan Hyunjin.

“kamu akan tau kenapa aku membantunya.” Chris menghela napas, “Dia masih cinta pertamaku dan aku tidak mau cinta pertamaku selalu hidup dalam kesulitan.”

“ia memilihmu, Seungmin. Selamanya akan selalu kamu yang jadi pemenang. Jadi kuharap kamu memperlakukan dia dengan baik. Bahagiakan dia karena dia hampir tidak mengenal makna bahagia sepanjang hidupnya.

Mata Seungmin membola seketika. Otaknya mendadak sakit saat memori dimana ia menyakiti Hyunjin terputar seperti kaset rusak.

Kim Seungmin, Sayang. Hai.

Bagaimana kabarmu? surat ini aku buat karena takut kita tidak bisa menemukan waktu untuk bertemu dan bercengkrama

Aku rindu dengan pelukan hangatmu. Bagaimana kamu mendekapku di dada bidangmu. Bagaimana kamu selalu menenangkanku

Bolehkah aku sedikit drama? kamu adalah obatku, Seungmin. Hahaha. Semenjak kehadiran kamu, rasanya aku bisa lepas perlahan dari obat yang mampu meredam stressku

Namun semenjak kamu yang tiga tahun gak kembali. Rasanya seperti kembali ke neraka. Banyak sekali orang jahat di dunia ini, sayangnya aku tak cukup kuat untuk melawan mereka.

Tangan Seungmin meremas ujung surat tersebut dengan mata berkaca-kaca.

Jangan sedih, Seugmin. Sekarang mungkin aku tak apa. Maaf karena sudah buat kamu sakit hati dan sampaikan terimakasihku kepada chris karena sudi membantuku untuk keluar dari jurang dalam yang menyiksa

Aku butuh waktu untuk merenung, memperbaiki, dan menyembuhkan diriku sendiri, Seungmin.

Selama aku pergi, aku harap kamu menggunakan waktu untuk mempertimbangkan dua hal: mempertahankan atau melepaskanku, walaupun aku berharap kamu akan memilih yang pertama, hehe

Aku mencintaimu, sayang. Dan akan selalu seperti itu

Aku selalu memandangmu dibawah langit malam, selalu menyelipkan namamu lewat doa, meminta kepada tuhan agar kamu selalu sehat supaya perusahaan yang kamu pegang berjalan dengan lancar

Aku akan kembali, janji. Disaat kita berdua sudah siap untuk bertemu, pasti ada jalan yang akan mempertemukan kita

Aishiteru, Seungminie-san

Seiring surat yang ia baca, ia mampu bayangkan suara lembut Hyunjin di telinganya. Belaian halus jemari Hyunjin disela rambutnya, dan kiniㅡHyunjin tidak mungkin mau menemuinya dalam waktu dekat.

Dibanding sebuah surat pernyataan, ini lebih seperti surat perpisahan secara tidak langsung. Seungmin meremat erat kertas yang sudah lembab akan air mata.

Baiklah, sekarang giliran ia yang harus menunggu.

ㅡSeungmin harap Rumahnyaakan kembali ke dekapan.

– The End