moon and universe

all written by Sel

ㅡ dua (1/3)

i.

Byungchan menyadari sesuatu yang berbeda dengan Seungwoo. Han Seungwoo, Seungwoo-nya, teman masa kecil merangkap tetangga sebelah rumah merangkap laki-laki yang paling Byungchan andalkan setelah ayah. Setelah satu setengah tahun pergi merantau ke kota sebelah untuk melanjutkan pendidikannya, Seungwoo kembali seperti seseorang yang berbeda. Bukan berbeda dalam konteks buruk, hanya saja, Byungchan merasa Seungwoo berubah menjadi seseorang yang baru namun familiar.

Di hari kepulangannya, Seungwoo berhasil mengetuk kaca jendela kamar Byungchan yang langsung terlonjak kaget. Sang pemilik kamar baru saja pulang dari kampus, dan saat netra Byungchan menangkap sosok Seungwoo di luar jendela kamarnya, berdiri di area balkon yang juga langsung menghadap ke kamar Seungwoo sendiri, ia buru-buru membuka jendela untuk menyambut Seungwoo.

“Kok pulang? Udah libur? Kapan sampai sini? Mau stay berapa lama?” tanya Byungchan bertubi-tubi sementara yang ditanya hanya tertawa, mengacak rambut Byungchan seraya masuk ke dalam kamar.

“Satu-satu Byungchan.” Jawab Seungwoo yang sudah duduk di atas kasur, tidak menjawab pertanyaan Byungchan sama sekali,

“Ih! Cepat jawab kak!” desak Byungchan yang sudah ikut duduk di samping Seungwoo.

“ganti baju dulu gih, chan, bau matahari.” Ujar Seungwoo dengan nada mengejek, sukses membuat byungchan merengutkan wajahnya.

“kak Seungwoooo!” rengek Byungchan, kesal karena pertanyaannya tidak ada yang dijawab.

Seungwoo tertawa, benar-benar tertawa lepas padahal tidak ada hal yang lucu sama sekali, Byungchan memandangi Seungwoo yang masih tertawa dengan wajah bingung, “apasih?”

“kamu tadi nanya apa aja, Chan?”

“hm? Oh! Kakak kapan sampai? Memangnya sekarang udah libur kuliahnya?”

“tadi siang sampai rumah, iya sekarang udah libur makanya pulang, bocah.” Tangan Seungwoo tidak bisa tidak menggapai puncak kepala Byungchan untuk diusak surainya.

Byungchan menepis lengan Seungwoo, menjauhkannya dari puncak kepalanya, “terus, terus, disini mau sampai kapan?”

“Baru datang kok malah ditanya kapan pergi lagi, orang tuh disambut, dipeluk, disayang-sayang.” Jawab Seungwoo asal.

Byungchan menarik kepalanya, sedikit kaget dengan perkataan Seungwoo yang aneh namun sedetik kemudian berhasil mengontrol keheranannya. Byungchan menampilkan cengirannya, “ututututuu welkam bek kak Seungwoo sayaaang,” ujar Byungchan seraya menarik kedua pipi Seungwoo.

“Chan, sakit ah,” Seungwoo berusaha melepas tangan Byungchan tapi sang empunya tidak mau melepas, akhirnya mereka jatuh terguling ke atas kasur dan Seungwoo mulai balas dendam dengan menggelitik pinggang Byungchan.

“kaak, udah, geliiii.” Teriak Byungchan diselingi tawa di tiap jeda kata, membuat Seungwoo ikut tertawa juga. limaratus tigapuluh detik berlalu sampai keduanya kehabisan napas dan jatuh terduduk di atas karpet.

“besok lari pagi, mau?” tanya Seungwoo menatap Byungchan yang masih mengambil napas, laki-laki itu menyandarkan punggungnya ke kasur.

“memangnya bisa bangun pagi?” balas Byungchan dengan pertanyaan lagi.

“kalau aku bangun pagi maksudnya.” Jawab Seungwoo seraya menunjukkan barisan gigi putihnya.

“jalan aja deh yuk kak, ada film bagus kayaknya. 1917, udah nonton belum?” ajak Byungchan.

“belum kayaknya, yaudah besok siang ya? Kamu udah selesai atau belom sih uasnya?” tanya Seungwoo yang dijawab dengan cengiran dari Byungchan, “hehe masih ada dua lagi, tapi lusa kok! Bisa main besok! gapapa aku udah pinter jadi gak usah belajar.” Jawabnya sebelum Seungwoo bisa protes.

“yeee dasar, oke lah besok aku samper ya. Awas kalo belom mandi pas aku datang.” Byungchan melihat Seungwoo bangkit lalu menuju pintu kamarnya, “loh? Mau kemana? Jendela di sana, heh!” Byungchan setengah berteriak.

“mau ketemu bunda sama ayah dulu, pengumuman kalau anaknya yang cakep udah pulang.” Jawab Seungwoo seraya membuka daun pintu.

“sejak kapan kamu jadi anak ayah sama bunda ya!” Byungchan membalas tapi tidak dihiraukan Seungwoo yang keburu menghilang dibalik pintu.

.

Besoknya, Seungwoo datang ke rumah byungchan lagi. Namun kali ini ia masuk lewat pintu, sekalian minta izin ke bunda kalau mau bawa pergi anaknya. Sementara Byungchan masih bersiap di kamar saat Seungwoo datang sehingga bunda harus memanggil anak itu terlebih dahulu.

Mereka berdua berangkat dengan mobil Seungwoo, seperti yang sudah-sudah, sebagaimana rutinitas mereka sebelum berpisah karena urusan perkuliahan. Seungwoo selalu mengingatkan Byungchan untuk memasang sabuk pengaman sebelum melajukan mobilnya, Seungwoo selalu menyetel radio untuk menemani perjalanan mereka, Seungwoo selalu menggumamkan beberapa lagu yang ia kenal dan tak jarang Byungchan akan ikut bersenandung. Semuanya terasa familiar sampai satu lagu terputar.

“chan, chan, gedein dong volumenya.” Ucap seungwoo yang tidak mengalihkan pandangan dari jalan.

“your current favorite song banget nih kak?” pertanyaan retoris, dan tangan byungchan menjulur untuk memutar tombol volume.

Oh.

Byungchan kenal lagu ini, penyanyi indie yang sedang naik daun. Lagunya memiliki beat yang lumayan pelan sehingga ia tidak bisa tidak memperhatikan liriknya. Terlampau puitis tapi tidak membuatnya bergidik geli, siapapun yang mendengar pasti akan paham kalau lagu ini tentang cinta. Tentang keinginan seseorang untuk diikat.

Agar aku tau kemana, Aku harus pulang.

Byungchan menatap Seungwoo yang ikut bersenandung dan di kepalanya muncul sebuah pertanyaan, dia ini lagi jatuh cinta, ya?

.

Tiga puluh menit dalam perjalanan dan mereka akhirnya sampai di tujuan. Sebuah pusat perbelanjaan tidak jauh dari rumah. Pengunjung tidak terlalu ramai karena nyatanya hari ini bukan akhir pekan. Seungwoo menunggu Byungchan sampai benar-benar sejajar dengan langkahnya sebelum akhirnya bertanya, “mau makan dulu atau nonton dulu?”

“beli tiket dulu deh kak, kalau sesuai jadwal sih ada yang langsung masuk, tapi kalau kursinya gak enak kita ambil jadwal selanjutnya trus makan dulu, gimana?” jawab Byungchan yang sibuk dengan ponselnya.

Seungwoo hanya menggumam alih-alih menjawab, “jalan tuh lihat ke depan kenapa sih chan,” ujar Seungwoo mengambil sebelah tangan Byungchan yang bebas lalu mengamitnya, mengisi sela-sela jemari dengan miliknya.

“iya, aku taro nih hp-nya,” ujar Byungchan.

Jujur bingung, seingat byungchan, ia dan Seungwoo sudah lama sekali tidak bergandeng tangan. Ini jelas bukan pertama kalinya mereka berjalan dengan tangan saling bertaut, mereka berdua sering melakukannya, tapi itu bertahun-tahun yang lalu. Sebelum mereka berdua beranjak ke masa remaja, sebelum ada rasa gengsi yang tumbuh hanya karena takut diledeki oleh teman-teman, yang kalau dipikir-pikir itu merupakan alasan yang sangat konyol.

Tapi seungwoo tidak melepaskan genggamannya. Tidak juga setelah mereka keluar dari teater bioskop, tidak ketika mereka antre makanan, bahkan setelah makan pun, Seungwoo kembali mengamit tangan Byungchan seraya menuntun yang lebih muda untuk kembali ke mobil.

Di perjalanan pulang, Byungchan dapat mendengar gemuruh berisik dari dalam dadanya. Diam-diam ia menyadari kalau ada perasaan asing yang hadir. Perasaan asing yang sulit dijelaskan apa dan kenapa. Serta diam-diam berharap kalau Seungwoo tidak mendengar suara parade dari dadanya.

ㅡ 🌙

ㅡ satu

Byungchan tidak pernah suka adu argumen.

Bukannya ia lemah dalam mengungkapkan kata-kata yang tersusun di kepalanya, hanya saja, byungchan tidak pernah tahan perasaan bersalah setelahnya. beradu argumen sama dengan mengeluarkan segala keluh kesah dan bagi seorang byungchan itu merupakan sebuah kesempatan untuk menumpahkan segala emosi yang ada. lalu kepala byungchan akan mencari diksi terjahat yang dapat dipikirkan, lalu bibir byungchan akan terus bergerak mengucapkan apa-apa yang sesuai dengan isi kepalanya, lalu sebelum ia bisa berhenti, lidahnya secara semena-mena akan menyakiti lawan bicaranya. untuk kemudian pada akhirnya, laki-laki itu akan menyesal.

untuk apa dilakukan kalau pada akhirnya menyesal.

maka byungchan berusaha dengan sangat keras untuk tidak pernah beradu argumen dengan siapapun, terutama kekasihnya. laki-laki dengan senyum paling teduh, laki-laki dengan hidung bak perosotan anak tk, laki-laki yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua darinya, laki-laki bernama han seungwoo.

tapi sepertinya usaha yang dilakukan belum maksimal. kalau sudah, mungkin sekarang ia tidak sendirian dalam flatnya. kalau sudah, mungkin teriakan-teriakan sisa dua malam lalu tidak terngiang-ngiang di kepalanya. kalau sudah, mungkin, mungkin saat ini ia masih bergelung dalam selimut sambil menertawakan wajah khas baru bangun tidur seungwoo lalu sang empunya akan merengut lalu kembali menarik byungchan, mengajaknya terlelap lagi masuk ke alam mimpi. alih-alih, ia tengah duduk di atas sofa yang menghadap langsung ke arah jendela. segelas kopi hitam yang baru saja ia buat ada di tangannya, yang ia minum bukan karena suka melainkan karna harus.

semalaman ia tidak bisa tidur, padahal tubuhnya lelah sekali dipakai lembur. tapi kepalanya tidak mau berhenti memikirkan hal-hal yang kelewat tidak penting. berpusat pada satu permasalahan, kebanyakan tentang kemungkinan-kemungkinan.

sudah dua hari seungwoo memberikannya silent treatment. dua hari ini juga byungchan tidak berani menghubungi, lucu juga kalau dipikir-pikir karena sejujurnya byungchan tidak tahu siapa yang marah disini. namun dua insan ini tidak saling meraih satu sama lain, layaknya perang dingin, siapa yang paling tahan untuk tidak menghubungi adalah pemenangnya.

menyerah.

kepala byungchan sudah lelah memikirkan seungwoo secara konstan. dibalik ini semua, toh rasa sayangnya pada seungwoo lebih besar dari kemarahan sesaat yang ia tumpahkan. buat apa terus memberi makan ego kalau lagi-lagi kewarasannya yang diambil. byungchan membuang sisa kopi hitam ke bak cuci piring, menaruh gelasnya begitu saja lalu mengambil jaket dan bergegas ke luar.

kali ini langit dipenuhi warna abu-abu. byungchan membawa kakinya ke toko roti bakar langganan lalu memesan rasa coklat kacang, kesukaan seungwoo. mengambil salah satu kursi lalu duduk memerhatikan sang penjual sampai akhirnya ia mengambil pesanan dan membayarnya, byungchan baru sadar kalau ia meninggalkan ponsel di flatnya.

buru-buru ia mengucap terimakasih lalu beranjak menuju flatnya. ia mengambil langkah lebar-lebar karena setelah ini ia harus pergi ke tempat seungwoo, sebuah usaha agar roti bakarnya masih hangat saat berpindah tangan. tapi langkah lebarnya terhenti ketika ia melihat laki-laki jangkung berdiri di depan pintu flat sambil membawa kantung plastik hitam di tangan kanannya.

“kak?” byungchan memanggil, ragu-ragu.

laki-laki itu menoleh, lalu tersenyum, “hai?”

byungchan mengerjapkan matanya, “kok disini?” tungkainya melaju.

“kok kamu nggak jawab teleponku?” bukannya menjawab, seungwoo malah kembali bertanya.

“ponselku ketinggalan di dalam, hehe. kakak kenapa disini? aku baru mau pergi ke tempat kakak.”

“aku bawain kamu martabak, keju susu?” jawab seungwoo, tidak ada korelasinya dengan pertanyaan byungchan.

“aku juga!!” ucap byungchan excited, “roti bakar coklat kacang kesukaan kakak!” ia mengulurkan kantung plastik yang dibawa.

selang satu detik sebelum keduanya tertawa, saling menertawakan satu sama lain. “pasti kamu mau nyogok aku kan?” ucap byungchan seraya membuka pintu flatnya, mempersilahkan seungwoo masuk.

“kamu juga, tumben.” seungwoo membuka sepatunya lalu mengekori byungchan masuk ke dapur.

“ih jangan gituuu.” seungwoo terkekeh mendengar rengekannya. byungchan menaruh plastik di atas meja, berjalan memutar untuk mengambil gelas di lemari gantung lalu memasukkan kapsul kopi ke dalam mesinnya.

seungwoo membuka dua bungkus plastik, membiarkan wangi keduanya menguar menampilkan kepulan asap putih yang samar. ia lalu mengambil dua buah garpu lalu duduk di kursi bar bersamaan dengan byungchan yang duduk lalu menyodorkan kopinya.

seungwoo menyodorkan salah satu garpu pada byungchan, “chan aku mau minta-”

“sebelumnya, aku mau ngomong dulu.” potong byungchan, mengambil garpu dari tangan seungwoo. “aku mau minta maaf, gak seharusnya aku ngomong kasar ke kakak, aku tahu kakak lagi capek terus akunya juga udah bete, tapi itu cuma justifikasi aku aja karna emang gak seharusnya aku ngomong gitu. jadi, maaf...” ujarnya, menunduk. byungchan tidak berani menatap netra lawan bicaranya.

seungwoo merunduk, mencari netra byungchan sampai berpapasan dengan miliknya, “hey?” laki-laki itu memberikan senyum teduh, “aku juga minta maaf, okay? salah aku juga udah ngebentak kamu, padahal aku tahu kamu paling gak suka dibentak. maaf ya byungchan..” ujar seungwoo, lalu menepuk-nepuk puncak kepala byungchan.

“kak, mau peluk...” kata laki-laki yang lebih muda, membuat seungwoo membuka tangannya lebar-lebar.

kali ini byungchan tidak lupa menaruh garpu sebelum membawa tubuhnya diantara lengan seungwoo.

“lain kali, luapin aja ya chan, janji aku nanggepinnya gak pakai bentak-bentak lagi deh.” suara seungwoo terdengar samar-samar.

“masa mau berantem lagi?” pekik byungchan, heran.

“kalau gak berantem kemarin, aku gak tahu tuh kalau kamu kesal ditinggal lembur sama aku.”

“ih enggaaa!”

“kamu juga gak bakal tahu kan kalau aku sebal diocehin pas lagi capek?”

byungchan diam, seungwoo ada benarnya juga. mungkin, mungkin adu argumen tidak seburuk itu. ah, dan mungkin juga harus diiringi dengan kepala yang dingin.

ㅡ 🌙