moon and universe

all written by Sel

Ketemu

Kalau dipikir-pikir, memang salah Gun yang tidak mengecek dua kali, entah hoodie yang dia terima atau si pemberi hoodie tersebut. Sempat terlintas di kepalanya kalau hoodie itu terlalu besar untuk ukuran Chimon, bahkan ia tahu kalau adiknya tidak menggemari pakaian oversized, tapi ia memilih abai berhubung kelas selanjutnya akan dimulai dalam waktu lima menit sementara sang dosen pengampu merupakan pribadi yang ketat.

Setelah kelas berakhir dan dosen telah melenggangkan tungkainya keluar ruangan, Gun buru-buru merapikan barangnya dan ikut melenggang. Laki-laki itu mengambil langkah lebar agar lebih cepat sampai ke pos satpam. Sejujurnya, ia agak takut kalau-kalau orang yang memberikan hoodie yang tengah ia pakai sekarang menampilkan batang hidungnya. Sehingga tujuannya saat ini ialah cepat-cepat mengganti hoodie yang ia pakai dengan milik Chimon agar ia tidak perlu merasa malu. Berhasil mengambil hoodie hitam milik adiknya, Gun langsung menuju ke toilet sayap kiri dan berganti baju.

Laki-laki itu memutar kembali memori di kepala, sayangnya ia tidak menemukan petunjuk apapun akan pemilik hoodie yang sekarang tengah ia pegang. Bahkan ia tidak menyadari apakah ada orang lain yang tengah menunggu di dalam toilet atau di luar toilet tersebut, benaknya terlampau penuh dengan rasa panik sehingga ia lupa akan keadaan sekitar.

Lima belas menit berlalu, Gun sudah berdiri di depan gedung fakultas, tepatnya di parkiran depan yang biasa dipakai oleh dosen. Tidak biasanya ia meminta Chimon untuk menjemputnya di tempat itu, tapi hari ini merupakan pengecualian, toh hari sudah terlalu sore sehingga ia tidak akan berpapasan dengan dosen dan mahasiswa sebanyak biasanya, toh Chimon hanya akan menjemputnya dan langsung berjalan pulang seperti biasanya.

Kata 'biasanya' terlampau sering digunakan sehingga semesta memilih untuk memberikan kejutan. Gun yang masih sibuk dengan ponselnya tidak sadar kalau seorang laki-laki jangkung bermata sipit perlahan menghampiri tempat ia berdiri. Kehadiran yang tiba-tiba berhasil membuat Gun sadar akan presensinya.

“Hai?”

Alih-alih menjawab, Gun malah mengernyitkan dahinya lantas mengambil satu langkah mundur.

“Sori bikin kaget, gue cuma mau minta balik hoodie gue.” Kata laki-laki jangkung tersebut. Gun melihat lawan bicaranya kini menunjuk hoodie berwarna biru langit yang tengah berada di genggamannya.

Gun masih memproses kalimat yang dilontarkan, ia mengerjapkan matanya berkali-kali lantas keduanya membulat dalam sekejap saat sadar kalau laki-laki dihadapannya adalah pemilik hoodie misterius yang sempat ia pakai tadi.

“Eh, jadi ini punya lo? Aduh sori-sori, nih gue balikin, maaf banget sumpah. Tadi gue kira lo tuh adek gue, aduh maaf tadi hoodie lo gue pinjem soalnya jaket gue basah ketumpahan es teh.” Gun langsung menyerahkan hoodie tersebut pada pemiliknya yang langsung diterima.

“Kalem aja, kebetulan gue juga tadi di kantin jadi lihat jaket lo basah, dan emang niat buat minjemin hoodie gue buat lo” sahut si pemilik hoodie yang kini memberikan senyum simpul.

“O-oooh,” jawab Gun setengah terbata, ia merasa malu sekaligus terharu karena ternyata masih dipertemukan dengan orang baik. “Makasih banyak, ya..” ujar Gun, lagi-lagi tidak tahu bagaimana harus mengucap selain terimakasih.

Tidak ingin menjadi canggung, Gun berharap Chimon datang sekarang juga. Harapan yang langsung diamini semesta saat ekor matanya menangkap mobil abu-abu yang familiar.

“Err, gue duluan ya? Sekali lagi makasih udah dipinjemin hoodie lo.” Ujar Gun lantas ingkah dari tempatnya, masuk ke dalam mobil yang langsung pergi.

ㅡ🌙

ㅡ empat (2/2)

Seungwoo belajar sedikit banyak dari subin. Mungkin karena terlalu lama hidup di dunia (apa makhluk seperti dirinya ini masih dikategorikan hidup, seungwoo juga tidak begitu paham) seungwoo jadi merasa malas untuk mengeksplor hal-hal baru, mempelajari teknologi atau sekecil bahasa yang sedang trend digunakan oleh kebanyakan orang pun dia malas untuk cari tahu. Lain hal dengan subin yang selalu update untuk hal sekecil apapun tentang dunia luar.

Subin menatap seungwoo dari atas sampai bawah lalu kembali ke atas lagi, laki-laki yang lebih muda tidak bisa untuk tidak menghela napasnya, “kenapa? Aneh ya?” tanya seungwoo kebingungan ditatap penuh penghakiman dari adiknya sendiri.

“ya kali kita mau nongkrong di kafe tapi pake jas.” Subin mencibir lantas menarik seungwoo ke kamarnya sendiri. Seungwoo duduk di atas sofa besar sementara subin sudah membuka lemari bajunya untuk mencari pakaian yang cocok dan sekiranya muat dipakai oleh seungwoo.

Pilihannya jatuh pada kaus longgar serta kemeja yang ukurannya sengaja dibeli lebih besar, yang mana kalau dipakai seungwoo terlihat pas. Subin menyerahkan dua potong pakaian tersebut dan menyuruh seungwoo bersiap tanpa kata-kata. Sepuluh menit kemudian seungwoo kembali lagi ke ruang tengah dengan dandanan yang menurut subin cukup pantas.

“kamu serius aku pakai baju kayak gini?” tanya seungwoo menatap ragu tampilannya sendiri membuat subin berdecak kesal mendengarnya, “kak, serius deh ini tuh bukan tahun delapan puluhan lagi.” Subin lantas mengambil dua botol ramuan yang ditinggalkan oleh sejun semalam, memberikan satu pada seungwoo lantas meminum satunya lagi sampai habis.

“wow, beneran rasa delima.” Ujar seungwoo beberapa kali mengecap lidahnya setelah tegukan pertama, lantas dihabiskannya ramuan tersebut sementara subin tidak berkomentar apapun selain memutar bola matanya jengah dengan tingkah kakaknya sendiri.

Tanpa basa-basi, subin menarik tangan seungwoo keluar dari rumah mereka. sejenak seungwoo berpikir kenapa ia tidak dilahirkan sebagai penyihir saja, mengingat dia tidak bisa seenaknya berteleportasi kemanapun. Saat subin menariknya untuk berjalan ke pertengahan blok, seungwoo mengeluarkan banyak desisan kecil tiap ada bagian tubuhnya yang tidak sengaja bersentuhan dengan pejalan kaki lain. Selebihnya, ia tidak mengeluarkan banyak protes dan subin bersyukur akan hal itu.

Seungwoo mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan yang diisi dengan banyaknya meja dan tempat duduk. Kebingungan yang tercetak jelas pada ekspresi wajahnya, membuat subin menahan tawa dengan menggigit bibir bagian bawahnya.

“kak, bisa bersikap normal gak?”

Seungwoo menatap subin bingung, “aku gak normal emang?”

“bukan, maksudnya, biasa aja gak usah lihat-lihat banget.”

“aku cuma lagi analisis interiornya aja kok, bagus deh, simple.” Sahut seungwoo lantas lanjut memandangi beberapa sudut kafe.

Mereka berdua tengah mengantre di depan kasir, menunggu giliran untuk memesan kopi. dapat seungwoo lihat kalau kafe ini tidak hanya menjual kopi tapi juga beberapa makanan manis seperti kue kering dan kue tart. Tepat sebelum giliran mereka, seungwoo mencolek bahu subin untuk menarik perhatiannya, “lh ini kita gapapa beli? Siapa yang mau minum lagian kita kan gak bisa minum kopi?” tanya seungwoo bingung.

“yaudah sih santai, nanti aku kasih sejun juga bisa.” Sahut subin lantas menyuruh seungwoo untuk tidak usah bertanya-tanya lagi berhubung ini sudah giliran mereka pesan.

Subin berhasil memesan dua gelas café latte dingin, mereka langsug mengambil tempat duduk dekat dengan jendela yang memang sudah diincar oleh subin sebelumnya. Seungwoo yang memang baru pertama kali datang ke kafe hanya bisa mengikuti gerak-gerik subin tanpa bertanya lebih lanjut. Setengahnya karena ia tidak begitu ingin tahu setengahnya karena ia malas mendengar celotehan subin yang meledeknya dengan kata boomer.

“kita baru aja pesan kopi yang kita gak bisa minum dan sekarang aku haus banget.” Keluh seungwoo seraya menyandarkan punggungnya.

Subin mengangkat bahunya, “aku kok nggak haus ya.”

“kamu udah minum dua kantung darah sebelum kita berangkat ya, emangnya aku gak tahu.” Sahut seungwoo yang hanya dibalas dengan cengiran oleh subin.

“lagian kamu ngide banget kenapa harus bawa aku ke tempat kayak gini sih? Ini penuh sama manusia semua lho?” seungwoo menghentikan celotehannya saat sadar akan satu hal, lantas ia menggebrak mejanya, “pantesan kamu minum dulu sebelum kita berangkat!” ujar seungwoo berapi-api.

Beruntung kafe sedang ramai sehingga gebrakan meja seungwoo tidak begitu terdengar dengan jelas, subin mengambil gelas kopinya lalu mendekatkan ujung cup ke bibirnya tanpa benar-benar meminum kopi dalam gelas tersebut.

“ya kan mau buktiin kalau kakak tuh sebenarnya jatuh cinta gak sama si byungchan, makanya aku ajak kesini tapi gak nyuruh kakak minum dulu,”

“gimana?”

“ya pasti kakak haus kan? Haus banget apa haus aja?”

Seungwoo mengambil jeda beberapa detik untuk berpikir, “hm, ya haus sih, tapi masih bisa ditahan lah.”

Subin menganggukkan kepalanya berkali-kali, “taringnya?” tanya subin memastikan membuat seungwoo menggelengkan kepalanya pelan.

“tapi apa hubungannya sih sama jatuh cinta??!” tanya seungwoo dengan nada yang sedikit kesal.

Subin memajukan bibirnya, “kalau itu tunggu dulu, biasanya sih agak sorean ya sekitar sepuluh menit lagi deh.” Sahut subin membuat lawan bicaranya kebingungan tapi ia tidak berniat menjelaskan lebih lanjut.

Menyerah, seungwoo kembali mengedarkan pandangan ke sudut kafe. Mencari hal-hal yang belum sempat ia temukan sebelumnya, lalu ia melihat ke luar. Pada jalur pejalan kaki yang sebelumnya ia lewati bersama subin, pada jalan raya yang menampilkan beberapa kendaran lalu lalang, lantas pandangannya jatuh pada toko bunga yang tepat bersebrangan dengan kafe ini.

“loh ada toko bunga? Aku baru tahu?”

Subin mendengus, “kamu keluar juga mana pernah, kak.”

“ya juga sih, tapi tokonya kelihatan masih bersih banget, pasti baru buka.” Kata seungwoo dengan penuh keyakinan.

Matanya masih tertuju pada bangunan di seberang ketika seorang laki-laki membuka pintu toko bunga tersebut. Laki-laki tersebut kemudian menyebrang jalan di atas zebra cross yang tersedia lantas langsung masuk ke dalam kafe dan mengantre di depan kasir.

“kak, tolong mintain gula dong.” Ujar subin menyadarkan seungwoo, membuat laki-laki yang lebih tua akhirnya mengalhkan pandangan pada subin.

“kenapa?”

“minta sirup gula lagi ke kasir, tolong.” Kata subin penuh dengan kesabaran. Sebenarnya seungwoo ingin protes kenapa harus minta gula lagi toh kopinya juga tidak akan diminum, tapi lagi-lagi ditelan olehnya. Ia berjalan menuju kasir tanpa banyak protes.

Seungwoo kembali mengantre di depan kasir, tepat saat ia berdiri di belakang punggung laki-laki yang barusan keluar dari toko bunga, yang secara tidak sadar ia perhatikan sebegitunya, seungwoo dapat mencium bau khas yang familiar, yang belakangan selalu menghantui indra penciumannya.

Buru-buru seungwoo menahan napasnya. Otaknya bekerja dan dengan cepat ia paham kalau laki-laki dihadapannya dengan laki-laki yang sering menyusup ke belakang rumahnya itu adalah orang yang sama. seungwoo menolehkan kepalanya mencari subin dan mendapati adiknya tengah menutup setengah wajahnya, menahan tawa.

Seungwoo mengumpat dalam hati.

Kepalanya bekerja keras bagaimana caranya ia bisa bernapas tanpa mencium aroma tubuh laki-laki dihadapannya. Hal itu juga membuat seungwoo tidak sada kalau antriannya sudah maju. Suara bariton yag berasal dari depan membuyarkan isi kepala seungwoo.

“atas nama byungchan, makasih.”

Seungwoo tanpa sengaja menarik napasnya lagi, terlampau kaget dengan suara laki-laki dihadapannya—byungchan. Perlahan, seungwoo bisa merasa tarinya lama-kelamaan muncul diantara barisan gigi depannya. Tidak tahan menahan napas, seungwoo akhirnya keluar dari barisan. Ia melangkahkan kakinya ke meja tempat subin duduk dan langsung menarik subin untuk keluar dari kafe tersebut.

“muAHAHAHAHAHAHA! Kamu harus lihat wajah panik kamu kak! Hahahahah!” subin langsung tertawa puas saat mereka berdua sudah berjalan cukup jauh dari kafe.

“sengaja ya kamu?”

Subin berdehem untuk menghilangkan rasa geli di perutnya, “iya lah? Kan aku bilang buat buktiin. Mana? Taring kamu keluar kan?” subin menarik seungwoo untuk berhenti, dipegangnya kepala seungwoo seraya dua jarinya menarik pipi seungwoo ke arah yang berlawanan, membuat taring seungwoo muncul di antaranya.

“pfffftt,” subin langsung tertawa memuncratkan sebagian air liur ke wajah seungwoo.

“jorok banget sih bocah” kata seungwoo seraya menjauhkan kepalanya sendiri, “terus apa hubungannya sama jatuh cinta sih? Aku nanya daritadi gak dijawab?” semprot seungwoo masih kesal dengan kejadian tadi.

“kamu tuh lamban banget deh, heran? Otak kamu ikut membeku sama jantung atau gimana sih?”

“sembarangan!”

“coba kamu pikirin, itu satu kafe diisi puluhan manuisa dan kamu cuma ngerasa haus. Tapi pas kamu deketan sama si byungchan taring kamu langsung keluar, tandanya apa kalau bukan jatuh cinta?”

Seungwoo memiringkan kepalanya sedikit, “um? Lust?”

Subin memutar bola matanya, “terserah, aku mau pulang.” Ujarnya lalu melangkah pergi meninggalkan seungwoo yang masih berdiri di tempat.

Berkontemplasi, seungwoo bertanya pada dirinya sendiri. Masa sih?

.

.

Sekali lagi seungwoo berada di kamar subin, memakai baju yang sengaja dipilihkan oleh adiknya. Mereka berdua berdiri berhadapan, seungwoo yang merengut sedikit kesal dengan ide gila subin sementara subin yang masih anteng merapikan pakaian yang dikenakan seungwoo.

“aku gak yakin sama ide kamu”

Subin berdecak, “kamu gak pernah yakin sama ide aku, kak,” kali ini subin menyentuh surai seungwoo, membuat sang empu menghindar. Subin melotot menatap seungwoo, lantas tangannya mengambil kepala seunwgoo untuk mendekat agar ia bisa menata rambut kakaknya. “lagian, aku lebih gak yakin sama ide kamu, eh, bahkan aku yakin kamu gak ada ide sama sekali.” Lanjut subin yang langsung membuat seungwoo cemberut.

“aku tuh gak jatuh cinta sama dia, tahu.” Kata seungwoo, membuat subin mendengus keras-keras.

“udalah kak, udah jelas-jelas kemarin taring kamu keluar pas deketan sama dia.”

“subin, darah dia tuh wangi banget, oke? Kayaknya tuh seger dan manis. Udah gitu dia indah, indah banget apalagi pas dia senyum tuh pipinya bolong—“ seungwoo berhenti berbicara saat ia melihat subin mendekap kedua tangannya di depan dada sambil menatap seungwoo dengan tatapan itu.

“apa?” tanya seungwoo bingung.

“gak,” jawab subin mengangkat bahunya, “nih, jangan lupa minum ramuannya.” Subin lantas beranjak keluar kamar dan diikuti oleh seungwoo di belakangnya.

“aku masih gak nyangka kalau ramuan itu beneran rasa delima.” Kata seungwoo lagi-lagi menyuarakan ketidakyakinannya.

Subin memutar bola matanya malas, paham kalau seungwoo tidak bisa melihatnya ia kemudian menyahut, “dibilangin sejun tuh penyihir bersertifikat, dia udah sekolah ramuan tahu. Besok kita ke rumahnya deh biar kamu lihat sendiri sertifikatnya sejun.”

“ya aku gak percaya aja soalnya tampilannya meragukan,” sahut seungwoo membuat subin membalikkan tubuhnya menatap seungwoo sengit, “rambutnya?” seungwoo mengangkat tangannya sejajar dengan kepalanya dan mengayunkannya.

“yaelah, howl juga rambutnya suka gonta-ganti warna.” Subin lantas kembali berjalan menuju ruang tengah yang disusul oleh seungwoo.

“ya juga sih,” jawab seungwoo setuju dengan pernyataan yang diberi subin, “tapi kan—“

“tapi apa lagi?” potong subin yang sudah mulai jengah dengan tingkah kakaknya yang ajaib,

Seungwoo memajukan bibirnya, “aku harus ngapain pas ketemu dia? Kalau taringku keluar gimana? Kalau nanti dia gak suka aku dan nganggep aku aneh?” tanya seungwoo bertubi-tubi.

Subin hanya menyerahkan botol ramuan pada seungwoo dan membuat sang kakak meneguknya sampai habis, “gak usah mikirin macem-macem, bilang aja mau beli bunga terus kenalan deh, oke?” tegas subin membuat seungwoo menganggukkan kepalanya. Kalau sudah begini, subin jadi terlihat seperti kakak dariapda seungwoo sendiri.

Subin sedikit mendorong punggung seungwoo ke arah pintu depan rumah mereka. seungwoo menolehkan kepalanya pada subin sebentar untuk mencari emotional support yang dibalas dengan anggukan suportif dari subin. Akhirnya, bisik subin. Seungwoo akhirnya keluar dari rumah dan berjalan menemui manusia yang selama ini lebih sering diperhatikan secara diam-diam. Manusia yang menurut informan terpecaya (yaitu subin) bernama choi byungchan.

.

Entah keberanian darimana, seungwoo akhirnya menapakan diri di depan toko bunga yang sebelumnya hanya bisa dilihat dari seberang jalan. Setengah karena ia lelah mendapat ocehan dari subin, setengahnya lagi karena dia benar-benar penasaran dengan sosok manusia yang mendapatkan sebagian besar perhatiannya. Aneh, kalau dipikir-pikir. Bagaimana bisa seungwoo tidak merasa memiliki urgensi untuk minum saat berada di antara puluhan manusia namun ketika ia mencium aroma byungchan, taringnya langsung muncul begitu saja, the power of choi byungchan.

Setelah menghabiskan tiga puluh detik berdiam diri di depan pintu masuk, seungwoo akhirnya mengambil napas dalam-dalam untuk mengurangi gugup yang dirasa. Beruntung tidak ada pelanggan yang mau masuk, sehingga ia tidak perlu merasa malu karna telah mengambil waktu hanya untuk masuk ke dalam toko bunga.

Tepat ketika ia mendorong pintu kaca, inderanya dapat mencium berbagai macam bau. Kebanyakan bunga, tentu saja, tapi fokusnya tertuju pada satu aroma yang khas. Aroma yang kerap menghantui penjuru ruangan di kamarnya. Seungwoo melihat-lihat sekitar. Ada beberapa pot berisikan tanaman bunga yang masih ada tanahnya, di lain sudut, ada puluhan vas berisikan bunga yang sudah ditata rapi dan dipotong pertangkai, siap untuk dibuat buket.

Seungwoo membawa tungkainya melihat-lihat sekitar, mencoba mengabaikan aroma manis yang meminta perhatiannya tapi toh langkahnya tanpa sadar mengikuti asal aroma tersebut. Di sana, di sudut ruangan, ia melihat byungchan tengah menyiram salah satu tanaman di rak yang langsung menghadap jendela besar.

Seungwoo bisa melihat laki-laki yang tingginya hampir sama dengan dirinya menggoyangkan sebelah kakinya seirama dengan senandung yang keluar dari bibirnya, nampak belum sadar akan kehadiran seungwoo meski bel pintu yang dibuka sudah lama berbunyi. Selain itu, yang menjadikan hal ini semakin menarik adalah ketika akhirnya byungchan menoleh ke arahnya, seungwoo langsung menahan napasnya.

Cantik.

Sangat cantik.

“oh, halo!” byungchan menaruh sprayer di tangannya ke atas rak terdekat, di sela-sela pot yang tengah ia sirami tadi. Seungwoo mengangkat sebelah tangannya, sebuah gesture menyapa tanpa harus mengeluarkan kata-kata. Hal yang malah membuat byungchan menyimpulkan senyuman terindah yang pernah seungwoo lihat, senyum yang menunjukkan lesung di kedua pipi sang empu.

“ada yang bisa di bantu?” tanya byungchan setelah kakinya sampai berdiri di dekat seungwoo.

Astaga baunya. Ugh.

“uh, aku mau beli bunga.” Jawab seungwoo yang langsung merutuki dirinya sendiri.

Orang tolol pun paham kalau pergi ke toko bunga ya untuk membeli bunga.

“udah milih mau bunga apa?” tanya lawan bicaranya, nadanya ramah menunjukkan kalau ia sudah berpengalaman dalam melayani kostumer.

Seungwoo mengangguk kaku, “um, lilac?”

“wow,” ujar byungchan yang langsung melangkahkan kakinya menuju rak penuh dengan bunga yang siap dibuat buket. “mau ketemu cinta pertama, ya?” tanya byungchan membuat seungwoo tersedak oleh ludahnya sendiri.

Seungwoo berdehem sebelum akhirnya menjawab, “gimana?”

Byungchan menunjuk bunga lilac yang dipajang, terdapat beberapa macam warna tapi tangannya berhenti dihadapan salah satunya, “bunga lilac ungu menggambarkan cinta pertama.” Jawab byungchan, “kamu mau warna apa?”

Seungwoo terlihat berpikir sebentar, “yang kamu tunjuk aja, kayaknya cocok.” Ujar seungwoo.

Byungchan lantas kembali tersenyum, “tunggu sebentar ya, kamu boleh duduk di sebelah sana sambil nunggu.” Tangan byungchan menunjuk pada kursi yang berjejer di dekat area kasir lantas membuat seungwoo mengamini sarannya.

Yang juga membuat seungwoo bersyukur karena dari tempat duduknya saat ini, ia bisa melihat ke seluruh sudut ruangan toko bunga ini. seungwoo dapat melihat byunchan mondar-mandir menari di atas tungkainya sendiri di antara rak-rak penuh dengan bunga yang bermekaran. Sementara matanya tidak pernah lepas dari sang empu, byungchan sibuk mencari kertas buket dan alat untuk memotong bunga lilac yang dipinta oleh seungwoo sampai akhirnya laki-laki tersebut duduk di depan meja yang dikhususkan untuk membuat buket.

Suara bel pintu masuk berbunyi mengalihkan perhatian byungchan, ia menoleh ke arah pintu dan mengenali laki-laki yang datang.

“chan!! Tumben pagi datengnya?” sapa byungchan seraya mengangkat sebelah tangannya, sementara laki-laki yang dipanggil langsung menghampiri byungchan seperti toko itu adalah miliknya sendiri. Mereka berdua berbicara serius, sepertinya hal tersebut merupakan sesuatu yang privat karena seungwoo bisa merasakan mereka berdua tengah berbisik-bisik sekarang.

Seungwoo mulai merasa tidak nyaman saat ia melihat byungchan tertawa menganggapi perkataan lawan bicaranya. Bibirnya cemberut menunjukkan rasa ketidaksukaannya. Terlebih, ketika puncak kepala byungchan akhirnya diacak-acak dan reaksi yang ditunjukkan oleh byungchan hanya sebatas kekehan kecil, hati seungwoo rasanya lebih panas dari api yang pernah tidak sengaja disulut oleh subin dan hampir membakar dapur rumah mereka.

Chan, laki-laki yang sudah lebih dari sepuluh menit berbincang dengan byungchan melirik ke arah seungwoo, membuat netra mereka bertemu untuk sesaat. Hanya beberapa detik karena seungwoo dapat melihat chan langsung mengalihkan pandangannya kembali ke byungchan yang tengah berbicara.

“lo gak bilang ada pelanggan, jir?” kata chan seraya menepuk lengan byungchan.

“oh iya!!” byungchan membalikkan tubuhnya untuk dapat melihat seungwoo, “maaf ya, aku ada urusan sebentar.” Ujar byungchan yang matanya langsung menangkap milik seungwoo.

Seungwoo menyunggingkan senyum maklum, “gak apa kok, aku santai.” Jawab seungwoo tapi netranya tidak lepas dari laki-laki yang mengambil perhatian byungchan.

“eh, gak deh, gua balik aja, besok gue kesini lagi.”

“emang sempet? Tungguin aja gua mau bungkusin ini bentar.” Sahut byungchan yang tidak rela temannya pergi.

“nggak apa, gue baru ingat kalau ada janji sama Sese.” Chan menepuk kepala byungchan yang langsung ditepis oleh sang empu, “bye anak ayam” sahut chan seraya ingkah sebelum byungchan dapat protes.

Diliputi keheningan setelah ditinggal berdua, seungwoo tidak berkata apapun begitupula byungchan yang sibuk membuat buket. Sedikit canggung memang, apalagi ketika seungwoo akhirnya sadar kalau selama kunjungan Chan tadi, ia menggunakan kekuatannya yang membuat atmosfer di ruangan ini menjadi lebih dingin. Yang omong-omong, baru ia sadari ketika melihat byungchan sesekali mengusap-usap bagian atas lengannya.

Seungwoo menarik napas dalam-dalam, mencoba mengurangi hawa dingin atas ulahnya. Lantas dalam usahanya mengembalikan atmosfer ruangan, ia merasakan pipinya disentuk oleh sesuatu, membuat sang empu menoleh dan mendapati kuncup bunga kini tengah bergerak dan menyentuh ujung hidungnya.

Kaget, seungwoo refleks memundurkan setengah badannya membuat suara gaduh karena ia menabrak beberapa vas kosong yang untungnya tidak jatuh menggelinding. Seungwoo masih memandangi kuncup bunga yang bergerak-gerak sendiri dan berusaha untuk menggapai wajah seungwoo dengan ekspresi bingung luar biasa. Alisnya bertautan dan bibirnya terbuka sedikit, sebuah kombinasi ekspresi yang sukses membuat byungchan tergelak dari tempatnya duduknya.

Seungwoo mengerjapkan matanya berkali-kali saat rungunya mendengar tawa milik byungchan. kepalanya menoleh hanya untuk mendapati byungchan yang tengah tergelak sambil menutupi perut dengan sebelah tangannya, sementara tangan yang satunya sibuk menepuk paha. Badannya bergoyang maju mundur mengikuti tawa yang keluar dari bibirnya.

Melihat byungchan yang tak urung berhenti tertawa, perlahan seungwoo ikut menarik kedua sudut bibirnya. Senyum yang lama kelamaan ikut berubah menjadi tawa. Seungwoo ikut tergelak bersama byungchan meski ia sebenarnya tidak tahu apa yang lucu dari kejadian kuncup bunga yang menciumi pipinya berkali-kali.

Tapi lima detik setelahnya, tawa byungchan berhenti membuat seungwoo melakukan hal yang sama.

“itu gigi kamu…” byungchan membulatkan matanya penasaran, seungwoo buru-buru menutup bibirnya dengan telapak tangannya.

“maaf.” Ujar seungwoo seraya membawa tungkainya pergi menghilang dibalik pintu keluar. satu-satunya kata yang muncul di pikiran seungwoo ditengah-tengah kepalanya yang berteriak abort abort abort.

Seungwoo tidak mampu untuk mendeskripsikan perasaannya.

Hal itu juga yang membuatnya memutuskan untuk mengurung diri di kamarnya berhari-hari setelah kejadian gigi taring yang ter-notice. Yang lagi-lagi membuat subin repot karena ia harus mengantarkan dua kantung darah setiap hari ke kamar seungwoo. Kalau tidak begitu, mungkin seungwoo tidak akan minum sama sekali.

Seungwoo benar-benar bertingkah seperti orang yang baru putus cinta. Selain agenda mengurung dirinya, subin dibuat repot dengan atmosfer rumah yang semakin terasa seram akibat hawa dingin yang dibuat oleh seungwoo. Membuat subin harus memakai jaket ditengah-tengah musim semi yang mulai panas. Bahkan sejun sempat berteriak kedinginan saat ia berkunjung ke rumah tapi subin hanya bisa meringis tanpa memberikan penjelasan apapun.

Jengah.

Subin membuka pintu kamar seungwoo lebar-lebar dalam sekali hentak membuat si pemilik kamar setengah terlonjak.

“buka pintu bisa pelan gak sih? Aku lagi baca buku, tahu!” ujar seungwoo dengan nada yang sewot tanpa repot-repot mengalihkan pandangannya.

“gak, sebelum kamu keluar dari kamar, sekarang.” Kata subin yang sudah melipat kedua tangannya di depan dada.

Seungwoo mengangkat sebelah alisnya, “mau ngapain sih kamu, tanggung ah.” Jawab seungwoo tidak mengindahkan perkataan subin.

Subin mengambil buku dari pangkuan seungwoo dan memegang sebelah tangan seungwoo yang bebas, memaksa kakaknya untuk berdiri dan mengikuti langkah subin untuk keluar dari kamar.

“kamu ngapain sih?” tanya seungwoo yang sudah duduk di sofa ruang tengah. Alih-alih menjawab, subin menyerahkan buku yang sebelumnya tengah dibaca oleh seungwoo. Langkahnya menuju ke dapur dan kembali ke hadapan seungwoo untuk menyerahkan gelas berisi darah dari kantung yang sudah dipindahkan. Subin menaruh gelas tersebut di atas meja kopi di hadapan seungwoo.

“aku mau pergi. Kamu diem di sini soalnya nanti sejun mau datang anterin pesananku.” ujar subin.

“kamu mau kemana?” tanya seungwoo yang akhirnya melihat subin sudah berpakaian rapi.

“ada lah, urusan.” Jawab subin yang tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan seungwoo.

“dah ya, aku cabut, bye.” Sahut subin seraya menghilang dibalik lorong gelap menuju pintu belakang rumah mereka.

Acuh, seungwoo kembali melanjutkan bacaannya sambil sesekali menyeruput minuman yang diberi subin.

.

Waktu bergulir dan seungwoo yang sepenuhnya fokus ke dalam bacaan di tangannya membuat sang empu melupakan tujuan awal kenapa ia bisa duduk di ruang tengah alih-alih kursi besar di kamarnya. Kata demi kata diresapi meski ia sudah membaca ulang buku itu lebih dari dua kali. Terlampau fokus membuat bel rumahnya harus dibunyikan berkali-kali oleh seseorang di balik pintu. Jeda bunyi yang pendek membuat seungwoo akhirnya tersadar dan cepat-cepat berjalan membuka pintu. beruntung ia sempat menilik jendela dan mendapati matahari tengah sepenuhnya turun.

“kenapa mesti pencet bel sih—“ suara seungwoo terpotong ketika ia melihat seseorang dibalik pintu bukanlah orang yang dipikirkan.

“halo, dengan seungwoo?” sapa laki-laki di hadapannya. Laki-laki familiar yang, ouch, hidungnya menangkap aroma khas membuat seungwoo langsung menutupnya.

“ya?” tanya seungwoo dengan suara sengau.

“aku byungchan, pemilik toko bunga yang tempo hari kamu datangi, ingat?” tanya byungchan yang hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh seungwoo.

“kamu lupa bawa bunganya, jadi aku kesini buat anterin.” Byungchan mengulurkan sebelah tangan yang berisi buket bunga lilac.

“oh? makasih?” seungwoo mengambil buket tersebut menggunakan tangan kirinya, sadar kalau hal tersebut tidak sopan, buru-buru seungwoo mengganti tangannya.

Byungchan terkekeh melihat tingkah seungwoo, “kamu belum bayar juga, btw,” sahut byungchan.

“oh oke, sebentar, berapa?” tanya seungwoo yang masih belum bisa memproses situasi yang tengah dihadapi.

“ini aku gak disuruh masuk dulu?” tanya byungchan, membuat seungwoo semakin bingung tapi tetap membukakakn pintunya lebih lebar.

Seungwoo mempersilahkan byungchan untuk duduk di sofa ruang tengah, “kopi atau teh?” tanya seungwoo setelah melihat byungchan duduk di tempatnya tadi.

“teh, kalau ada?” ujar byungchan ragu-ragu. Matanya melirik gelas yang berada di meja kopi, seungwoo yang mengikuti arah pandang byungchan langsung mengambil gelas tersebut dan membawanya ke meja pantry di seberang ruangan.

“kayaknya subin nyetok teh, semoga masa berlakunya belum lewat.” Kata seungwoo yang sibuk memanaskan air di kompor.

Lima belas menit, seungwoo menaruh gelas berisikan teh hangat di meja kopi di hadapan byungchan, yang langsung mengucap terimakasih. Seungwoo kemudian ikut duduk di atas sofa single sisi lain byungchan, “oh iya, bayar.” Ujar seungwoo berniat unutk kembali beranjak tapi langsung ditahan sama byungchan.

“eh gak apa, duduk dulu aja, kok ini tehnya cuma buat aku?” tanya byungchan.

Seungwoo kembali duduk, “aku nggak minum teh” jawabnya.

“aku bau, ya?” tanya byungchan, tiba-tiba.

“eh? Nggak kok? Mana ada!” kata seungwoo cepat-cepat, yang langsung dibalas oleh byungchan, “tapi kamu daritadi nutup setengah wajah kamu” mendengar itu, seungwoo buru-buru menurunkan sebelah tangannya.

Byungchan mengambil cangkir tehnya, ia meniup tehnya pelan, “jadi, kamu itu vampire ya kak?”

“hah? Gak lah, yakali, haha, mana ada vampire.” Jawab seungwoo terbata-bata, ia tidak menyangka byungchan akan sebegini terus terangnya.

“terus kakak, apa dong?” tanya byungchan sesudah menyesap tehnya, ia lantas menaruh kembali cangkir tersebut di atas meja.

Ada hening sebentar sebelum akhirnya seungwoo menjawab, “ya, vampire sih.” Ujarnya menyerah, ia tidak menemukan alibi apapun, karena semuanya percuma toh byungchan sudah melihat taringnya.

“aku mau lihat taringnya lagi, boleh?”

“hah?”

“iya, katanya taringnya keluar kalau kamu deket-deket aku?”

Seungwoo tersedak ludahnya sendiri, kali ini ia batuk-batuk cukup lama sampai akhirnya ia berdeham, “gimana?”

Byungchan menganggukkan kepalanya, “itu, subin….”

“wah,” seungwoo menggelengkan kepalanya pelan, “adek macam apa yang bongkar aib kakaknya gini.”

Byungcahn tersenyum lebar, “jadi bener? Padahal subin gak bilang apa-apa lho.”

“hah?” seungwoo melongo, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “duh, malu.” cicitnya. Tapi tiba-tiba ia menegakkan tubuhnya dan menatap byungchan dengan ekspresi yang serius, “maaf ya kalau kamu nggak nyaman, atau kesannya creepy, sumpah aku juga gak ngerti kenapa kayak gini.” Kata seungwoo panjang lebar.

Reaksi yang dikeluarkan byungchan malah tidak terduga, laki-laki itu malah tergelak melihat ekspresi lucu seungwoo yang tengah merasa bersalah.

“kamu nggak penasaran?” tanya byungchan, tiba-tiba bangkit dan berjalan menghampiri seungwoo.

“penasaran ap—a” seungwoo menahan napasnya saat byungchan berhenti tepat di depannya, meninggalkan jarak yang tidak banyak.

“rasa daraku? Katanya sih manis?” byungchan mengulurkan sebelah tangannya, menaruh pergelangan tangan bagian dalam tepat di depan hidung seungwoo.

Seungwoo mendongak dan netranya bertemu dengan milik byungchan, pandangannya penuh dengan kebingungan tapi juga ingin, ingin mencicipi sekali saja, ingin merasakan rasa segar darah setelah sekian lama ia bergantung pada kantung darah siap minum.

Ragu-ragu, seungwoo mengambil tangan byungchan untuk didekatkan pada bibirnya, sementara ia membuka mulutnya perlahan. Seungwoo dapat merasaakn byungchan menahan napasnya, satu geraksn kecil yang dapat membuatnya sedikit tersadar dan akhirnya memutuskan untuk mengecup pergelangan tangan byungchan, alih-alih menggigitnya.

Byungchan mengangkat kedua alisnya, lantaran seungwoo menarik byungchan untuk duduk di atas pangkuannya.

Sebelah tangan seungwoo memegang pinggang byungchan, yang lain menuntun tangan byungchan untuk ditaruh di pundaknya. “kenapa gak jadi?” tanya byungchan, tampak tidak terganggu dengan posisi mereka berdua saat ini.

“aku takut gak bisa nahan diri, gimana?” seungwoo balik bertanya.

“yaudah, jangan.” Sahut byungchan malah menantang, ia memajukan kepalanya perlahan membuat seungwoo menarik sudut bibirnya ke atas,

“kecepetan, nggak sih?” tanya seungwoo lagi, tapi toh ia juga melakukan hal yang sama.

“ya pelan-pelan, makanya.” Bisik byungchan sebelum akhirnya bibir mereka bertemu. Kecupan yang bertahan beberapa detik sampai akhirnya byungchan memberanikan diri untuk menggerakkan bibirnya yang diikuti oleh seungwoo. Byungchan menggigit bibir bawah seungwoo membuat sang empu melenguh kecil, berhasil, seungwoo membuka sedikit mulutnya untuk byungchan yang akhirnya bisa merasakan taring seungwoo di sela-sela pagutan bibir.

Seungwoo menarik kepalanya saat napasnya habis, ia melihat bibir byungchan yang memerah, “woah,” ujarnya merasa overwhelmed.

“woah?”

“ini beneran nggak sih? Aku mimpi ya?”

Byungchan mencuri kecupan di bibir seungwoo, “kerasa nggak?”

Seungwoo bergeming, byungchan kembali mengecupnya, “kalau sekarang?”

Tidak kunjung mendapat jawaban, byungchan terus-terusan menghujani kecupan di wajah seungwoo. Membuat sang empu terkekeh geli, “kamu tuh… ajaib banget ya..”

“kok aku?”

“nggak tahu” seungwoo mengangkat bahunya, “kayak, kamu yang seindah ini dan kita nggak saling kenal, trus tiba-tiba kamu disini… aku gak percaya aja.”

“percaya, seungwoo.” Byungchan lagi-lagi mendaratkan bibirnya di atas bibir seungwoo, kali ini dikecupnya lama-lama, menyalurkan apa-apa yang dirasa dan membuat seungwoo mengerti tanpa harus menjelaskan. “kamu harus percaya.” Lanjut byungchan setelah menarik kepalanya.

“okay.”

“okay.”

.

.

ㅡ 🌙

ㅡ empat (½)

Dalam semesta ini, seungwoo menjadi salah satu dari sekian makhluk yang dapat melihat bagaimana bumi berevolusi. Perubahan era yang ditandai dengan berkembangnya teknologi serta ilmu pengetahuan membuat seungwoo belajar banyak hal. Ditambah hak istimewa yang ia punya sebagai anggota keluarga terpandang membuat seungwoo mendapatkan akses yang memadai untuk dapat tahu banyak hal.

Selama beberapa abad hidup, seungwoo melihat banyak hal, mengetahui banyak hal, mendapat berbagai macam pengalaman yang ia yakin kalau ia menjadi makhluk immortal seperi manusia pada umumnya ia tidak akan pernah mendapatkan hal tersebut dalam satu kali masa hidupnya. Juga dalam kurun waktu tersebut, seungwoo menjadi paham bahwa manusia adalah makhluk paling mengerikan. Meskipun werewolf dapat mencabik-cabik kulitnya dan memenggal kepalanya, atau penyihir yang dapat memberinya ramuan kematian. Di atas semuanya, seungwoo tetap menganggap manusia begitu mengerikan.

Alasannya sederhana, karena manusia merupakan makhluk mayoritas yang tinggal di bumi. Ditambah dengan akalnya yang dangkal dan cenderung mudah dihasut, membuat seungwoo sebisa mungkin menjauhkan dirinya dari manusia.

Berinteraksi dengan manusia sesedikit mungkin.

Kira-kira begitu prinsipnya, membuat tempat tinggal yang dihuni oleh seungwoo dan subin—adiknya, sengaja ditumbuhi pohon rindang. Sebagian besar bangunannya ditutupi oleh tanaman rambat dan rumput di bagian depan rumah sengaja dibiarkan panjang memenuhi jalan setapak menuju pintu depan rumah.

Dengan lokasi rumah yang tepat berada di ujung blok, sedikit sekali manusia yang berani untuk masuk, bahkan lewat depan rumahnya pun enggan. Seungwoo dengar dari subin, katanya ada rumor yang beredar kalau rumah mereka dibilang rumah hantu yang sukses membuat seungwoo terkekeh puas. Tetapi dalam beberapa waktu sekali, pasti ada saja manusia yang nekat datang dan masuk ke area pelataran rumah. Biasanya itu tukang sampah atau pemulung yang berharap menemukan barang yang dapat dijual. Biasanya juga, seungwoo tidak mengindahkan mereka, benar-benar bertingkah agar rumah itu terlihat seperti rumah tidak berpenghuni.

Maka ketika indranya mencium aroma khas manusia di suatu siang yang terik, seungwoo langsung beranjak dari kursi besarnya. Terlonjak kaget meninggalkan buku ancient greek yang tengah dibaca terjatuh di lantai. Kakinya bergerak lebar-lebar mencari keberadaan subin dan sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara sama sekali. Tepat ketika tubuhnya berbelok ke arah dapur setelah mengitari hampir setengah rumah, seungwoo akhirnya menemukan subin yang tengah menyesap darah dari kantungnya tanpa repot-repot menuangnya ke dalam gelas.

“ada manusia.” Kata seungwoo tanpa basa-basi.

Subin mengerutkan dahinya, “masa?” ia mengendus-endus mencari baunya.

“kamu gak nyium, emang?” tanya seungwoo yang juga ikut mengendus, mencari jejak bau yang baru saja ia cium tadi.

“nggak tuh, kamu tadi nyium dimana?” tanya subin yang lanjut meminum asupan energinya.

Seungwoo mengangkat bahunya, sama-sama bingung karena baunya ikut hilang sekarang. “tadi aku lagi baca di kamarku, sih.”

Subin membulatkan matanya, “berarti dia ke halaman belakang?”

Seungwoo yang menyadari perkataan subin bergegas kembali ke area belakang rumah. Di samping kamarnya ada jendela yang cukup besar, jendela yang selalu ditutupi tirai hitam penghalau masuknya sinar matahari. Seungwoo berdiri beberapa langkah di depan jendela tersebut, diikuti dengan subin di belakangnya.

“masih ada?” tanya subin yang baru sampai membuat seungwoo mengendus lagi.

Kepala seungwoo menggeleng pelan, “udah hilang, apa dia udah pergi ya?” tanya seungwoo yang menolehkan kepalanya, menatap subin penuh tanya. Sementara yang ditatap malah balik mengangkat bahunya, tidak mengerti.

“paling juga tukang sampah lagi.” Kata subin lantas kembali menghilang di lorong yang gelap menuju dapur.

Seungwoo harap juga begitu. Tapi keesokan harinya, saat seungwoo masih membaca ulang koleksi ancient greek miliknya, bau manusia itu datang lagi. Sempat ia terlonjak dari kursinya dan ingin bergegas mencari subin tapi urung mengingat kalimat yang diucapkan oleh adiknya itu kemarin. Ia membiarkan bau tersebut menusuk hidungnya lantas perlahan menghilang beriringan dengan kepergian manusia tersebut. Berharap besok tidak ada manusia yang datang menyusup ke rumahnya lagi.

Rupanya semesta tidak mengamini inginnya.

Seungwoo mengerang pelan, rutinitas membacanya jadi kacau balau karena kehadiran manusia tersebut. Padahal seungwoo hanya ingin membaca ulang koleksi bukunya, tapi sampai sekarang ia masih berhenti di lembar dua ratus delapan puluh lima. Hidungnya selalu menangkap bau manusia di waktu yang sama setiap harinya. Garis bawahi setiap hari karena ternyata manusia itu datang setiap hari dan selalu menyusup ke halaman belakang yang langsung terhubung dengan kamar seungwoo.

Laki-laki dengan kulit putih pucat tersebut menutup bukunya keras-keras, lantas beranjak untuk mencari subin yang ternyata tengah merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah.

“kenapa?” tanya subin tanpa mengalihkan pandangan dari benda pipih berbentuk persegi dalam genggamannya.

Seungwoo mengernyitkan dahinya, “kamu pegang apa?” tanya seungwoo penasaran

“ini namanya ponsel, kemarin sejun kasih tahu kalau sekarang orang-orang pakai ini untuk komunikasi.” Jelas subin panjang lebar.

Seungwoo mendengus, merasa acuh dengan informasi kurang penting yang dikatakan subin. “kamu kenapa jadi suka bergaul sama penyihir itu sih?”

Subin menegakkan tubuhnya tidak terima, ia balas menjawab pertanyaan retoris seungwoo, “ya daripada aku harus bergaul sama orang kuno kayak kamu, eh apa tuh istilahnya, OH, boomer.” Subin berdecih.

“hm gitu ya, jatah kantung darahmu aku potong baru tahu rasa.” Seungwoo ikut duduk di salah satu sofa single dekat subin.

“kamu kenapa sih jadi grumpy kayak gini? Manusianya datang lagi?” tanya subin mengalihkan topik.

Seungwoo menghela napasnya, wajahnya ditekuk seakan-akan ekspresi sebelumnya kurang menunjukkan kalau dia tengah kesal, “udah seminggu dia datang terus, kayaknya sebentar lagi taringku bakal keluar.” Lantas seungwoo menunjukkan deretan gigi depannya, hal yang sukses membuat subin tergelak.

“kamu tuh berlebihan tahu nggak, kak,” kata subin sambil menutup setengah wajahnya, masih tergelak, “lagian kamu bisa pindah ke sini atau ke kamar atas kalau kamu mau.”

Seungwoo memajukan bibirnya, memberi tahu subin kalau ia masih kesal dengan kehadiran manusia tersebut. Tapi diam-diam setuju bahwa subin mengajukan usul yang brilian.

.

Seungwoo tidak begitu ingat bagaimana ia bisa menjadi vampire, tapi yang pasti ia tahu adalah seungwoo digigit oleh vampire lain yang sekarang menjadi orang tuanya, juga orang tua subin. Dalam memorinya, seungwoo ingat saat itu musim dingin dan ia tengah berjalan tak tentu arah, kedinginan lantas kesadarannya hilang sampai akhirnya ia tiba-tiba terbangun dan melihat kedua orang tuanya saat ini. ia kira ia telah mati, tapi ternyata ia cepat belajar kalau ia telah berubah menjadi makhluk lain.

Untuk subin sendiri, seungwoo yang menemukannya tergeletak tak berdaya di dekat hutan tempat tinggalnya dulu. Disekujur tubuhnya banyak luka cabikan yang diduga bekas cakaran atau mungkin gigitan serigala. Seungwoo paham kalau beberapa desa sering mengorbankan anaknya ke hutan supaya desanya tetap aman dan tentram tanpa gangguan, dan mungkin malam itu subin yang menjadi tumbal meskipun subin tentu sudah bukan anak-anak lagi.

Empati seungwoo ternyata masih berfungsi dengan baik meskipun ia berkali-kali membunuh binatang hutan untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Itu juga yang membuat mereka berdua jadi cepat dekat. Seungwoo ingat dengan jelas bagaimana subin selalu bergantung pada seungwoo, mengikuti seungwoo kemanapun dan seungwoo juga tidak bisa bilang tidak jika subin meminta sesuatu, bahkan ia memberikan gelang kesayangannya ketika subin melihat gelang tersebut dengan mata yang berbinar-binar.

Yang tidak seungwoo sangka ialah sikap ternyata bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu. Subin lebih sering membangkang, kalau dalam kamus seungwoo, sementara dalam kamusnya sendiri itu adalah bentuk penasaran. Banyak larangan yang selalu menjadi pertanyaan bagi subin, sementara subin sendiri memiliki karakter yang selalu ingin tahu tentang segala hal serta alasan dibaliknya. Sehingga seungwoo sering dibuat pusing oleh tingkah subin.

Seperti saat tiba-tiba ia menghilang semalaman lalu kembali dengan sebotol carian berwarna biru pekat di genggamannya. Seungwoo yang tengah meminum darah dari gelasnya (seungwoo selalu menuang darah dari kantungnya ke gelas) dapat mengetahui kalau subin tengah merencanakan sesuatu.

“kamu darimana semalaman ilang?” tanya seunwgoo melihat adiknya sudah duduk dihadapannya, mengambil gelas seungwoo untuk disesap.

“aku abis dari tempat sejun,” jawaban subin sukses membuat seungwoo menghela napasnya. “dengar aku dulu, oke?” kata subin mencoba menarik perhatian kakaknya. Seungwoo menganggukan kepalanya, menyuruh subin untuk lanjut berbicara, entah apapun itu.

“oke, jadi kamu tahu kan kalau sejun tuh penyihir, nah dia jago bikin ramuan gitu kan, semalem aku curhat kalau kamu keganggu sama manusia jadi dia saranin buat nyamperin itu manusia dan ngusir dia supaya gak datang lagi.”

“gimana ceritanya, dodol, kan dia datang siang-siang, adanya aku langsung berubah jadi debu.” Sahut seungwoo mengambil kembali gelasnya dari tangan subin.

“ya makanya sejun ngasih ini, ramuan biar kamu gak kebakar pas kena sinar matahari kak!!” subin menyahut dengan penuh semangat. Lain halnya dengan seungwoo yang mendengus malas.

“kamu tahu, ramuan itu rasanya gak enak sama sekali.” Kata seungwoo lantas beranjak dari dapur menuju kamarnya.

“kata sejun ini rasa blueberry kok!!” teriak subin dari belakang membuat seungwoo menyunggingkan seringaiannya, setengah menganggap kalau subin bercanda.

.

Tapi ketika manusia itu datang lagi membuat indra penciumannya semakin lama semakin penuh dengan bau khasnya, seungwoo akhirnya menyerah. Ia mengikuti setengah saran subin untuk mengecek dan menghampiri manusia yang terlampau sering masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, manusia tersebut datang ketika senja menyentuh langit membuat torehan warna jingga menyapu warna biru yang dominan.

Matahari yang sudah hampir turun membuat seungwoo bisa membuka tirai hitam yang menutupi jendela kamarnya. Perlahan ia dapat mengenali sosok manusia tengah duduk di antara rerumputan yang tinggi, terlihat sangat nyaman berada diantaranya. Tangannya mengelus salah satu tanaman di dekatnya dan badannya bergoyang sedikit ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mengalunkan melodi.

Mata seungwoo ikut melotot saat melihat manusia tersebut menoleh ke samping, membuat seungwoo terkejut dengan figur laki-laki yang kelewat indah. Padahal baru lihat dari samping, tapi seungwoo sudah yakin kalau laki-laki yang sudah lebih dari seminggu menyusup ke dalam rumahnya itu cantik. Selain itu, yang membuat seungwoo terkejut lagi ialah ketika halaman belakang rumahnya kini dipenuhi oleh tanaman bunga yang variatif. Entah sejak kapan, seungwoo lupa kapan terakhir kali ia mengecek halaman belakang rumahnya.

Tenggrokannya terasa sangat kering dan seungwoo bisa merasakan kalau kedua taringnya telah sukses menampilkan entitasnya setelah lebih dari setengah abad bersembunyi. Buru-buru ditutupnya tirai hitam tersebut dan dilangkahkan kakinya lebar-lebar menuju dapur.

Seungwoo haus.

Seungwoo kelewat haus sampai-sampai ia harus meneguk dua kantung darah sekaligus. Hal itu membuat subin yang sedari tadi duduk memerhatikan kakaknya mengerutkan dahinya bingung.

“perasaan kamu terakhir kali minum tadi pagi, kok sekarang udah haus lagi?”

Seungwoo menunjuk ke arah kamarnya dengan ibu jari sementara sebelah tangannya masih sibuk memegang gelas. “manusianya datang lagi? Jam segini? Tumben?” tanya subin yang jadi bersemangat.

Seungwoo hanya menganggukkan kepalanya karena ia sibuk membuka kantung ketiganya, ternyata ia masih haus. Hal tersebut membuat subin memajukan bibirnya, ingin protes tapi ingat kalau kantung darah ini juga yang beli kakaknya.

“terus kamu udah lihat orangnya kayak gimana?”

“udfah” jawab seungwoo, lantas menutup bibirnya dengan sebelah tangan karena kaget dengan suaranya sendiri.

Subin membulatkan matanya, ia memajukan tubunya ke arah seungwoo menilik mulut sang kakak yang ditutupi oleh telapak tangan, “taring kamu sampe keluar?” subin meninggikan suaranya di akhir, terdengar sangat terkejut.

“minggirin tangannya, aku mau lihat!” subin berseru seraya tangannya meremas jari-jari seungwoo untuk tidak menutupi mulutnya.

“apfasih kamfu, diem nggak.” Seungwoo berusaha terlihat galak dan suaranya juga diberatkan tapi hal itu jsutru membuat subin tergelak.

“muAHAHAHA! KAK! HAHAHA TARING KAMU! HAHAHA KELUAR!” subin memegang perutnya yang geli, ia memukul meja pantry saking tidak kuatnya dengan fakta taring seungwoo yang keluar.

“bfrisik!” gantian sekarang seungwoo yang memajukan bibirnya, kesal dengan sikap subin yang malah menertawakan kesengsaraan seungwoo. Matanya menatap subin seolah berkata, ‘sana kamu ke belakang, coba taring kamu bakal keluar apa nggak’, lantas seungwoo berjalan kembali ke kamarnya diikuti dengan subin.

Seungwoo menunjuk tirai yang menutupi jendela kamar dengan dagunya, menyuruh subin untuk mengintip tanpa kata-kata yang langsung diamini oleh adiknya. Seungwoo dapat melihat mata subin yang membulat, dapat dipastikan adiknya itu kaget akan kondisi halaman belakang mereka yang kini dipenuhi oleh tanaman bunga. Lebih dari tiga puluh detik subin kembali menutup tirainya dan melihat seungwoo dengan wajah serius, “punyaku gak keluar tuh” lantas adiknya menunjukkan deretan gigi depannya tanpa taring sama sekali.

Subin langsung melenggangkan kakinya keluar dari kamar seungwoo, “cia kakakku akhirnya jatuh cinta.”

“mana ada! Heh!” seungwoo menyusul subin yang sudah menghilang dibalik lorong yang gelap meninggalkan kamarnya yang semakin lama semakin dipenuhi oleh bau manusia yang masih duduk di halaman belakang rumahnya.

.

.

“namanya byungchan, choi byungchan.” sahut subin yang tiba-tiba muncul setelah seharian menghilang. Subin tidak mengindahan tatapan penuh tanya dari seungwoo dan memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah yang berhubungan langsung dengan dapur.

“siapa?” tanya seungwoo yang memutuskan menaruh kantung darah yang mau dibuka sebelumnya.

“manusia yang sering kamu intip itu lho,” subin menjawab seraya melirikkan matanya ke arah seungwoo, seakan berkata jelas-jelas kita sedang membicarakan satu orang.

Seungwoo mengerutkan dahinya, “kamu ngikutin dia seharian ini?” tanyanya yang dibalas oleh anggukan laki-laki yang masih dalam posisi rebahan.

“gila! Kamu gak takut sakit atau apa gitu? Eh? Kamu gak apa-apa, kan?”

“kak please, buat apa aku temanan sama sejun.” Sahut subin ketus, membuat seungwoo mengerjapkan matanya berkali-kali, tanda kalau ia ingin subin menjelaskan leih lanjut. Subin menghela napasnya, “aku minta ramuan ke sejun buat supaya aku bisa keluar siang-siang tanpa harus khawatir bakal kenapa-napa.” Jelas subin.

“oh, si penyihir?”

Subin memutar kedua bola matanya, sedikit jengah dengan kelambanan kakaknya, “iya. Oh! terus kak, aku juga nyuruh dia datang buat anterin ramuan yang sama buat kakak, berhubung kakak gak mau makan yang rasa blueberry kemarin jadi aku minta dia ganti rasanya.”

“loh? Buat apa kan aku gak minta?”

Lagi-lagi subin memutar kedua bola matanya, “ya supaya kakak bisa nyamperin byungchan itu lah? Apalagi?”

“siapa bilang aku mau?”

“duh kak,” subin mengambil napas dalam-dalam, “kamu tuh udah lebih dari seminggu ngintip dia terus dari balik tirai tapi sama sekali gak berani keluar buat nyapa kek, ngajak kenalan kek, protes kek kalau rumahnya udah dimasukin trus ditanemin bunga-bunga yang banyak,”

Subin menghela napas sebentar lalu melanjutkan, “ya bukannya gak suka juga sih, maksudnya, halaman belakang kita jadi lumayan cakep deh banyak bunga-bunga, meskipun begitu tetap kelihatan liar bunganya jadi gak menarik banyak orang, ya tapi seenggaknya kamu melakukan sesatu selain cuma ngintip dari kamarmu doang,

Kamu tuh sadar gak sih, kak?”

Seungwoo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung juga ia harus menjawab apa karena sesungguhnya seungwoo melakukan hal itu secara sadar tidak sadar. Ia merasa seperti tubuhnya bergerak sendiri untuk mengintip kegiatan manusia dari balik jendela kamarnya, meski ia tahu sendiri kalau kegiatan yang dilakukan manusia terpaut itu-itu saja.

Tapi sedetik setelah indranya merasakan bau manusia yang familiar, ia langsung berdiri mengacuhkan apapun yang tengah ia lakukan dan berjalan ke arah jendela kamarnya. Seungwoo mengintip di balik tirai hitam dan menikmati punggung manusia tersebut.

Lagi, perihal taringnya yang selalu keluar tiap ia melihat punggung si manusia membuatnya urung menghampiri meski untuk sekedar menegur.

Suara gedebuk membuat riuh dari arah belakang rumah. Seungwoo membulatkan matanya panik sementara subin mengibaskan sebelah tangannya mmebuat gesture seolah semuanya baik-baik saja.

“subin bantuin dong ini gue jatoh pantat duluan anjir.” terdengar suara laki-laki dari arah datangnya riuh, membuat laki-laki yang dipanggil segera berdiri dari tempatnya dan menghilang dibalik dinding.

Belum sempat mencerna apa yang tengah terjadi, seungwoo sudah dikejutkan oleh kehadiran subin dan laki-laki berambut biru terang di belakangnya. Seungwoo menatap kedua laki-laki dihadapannya secara bergantian sebelum menatap laki-laki berambut biru dengan hati-hati, “siapa?”

Laki-laki tersebut langsung menunjukkan senyum maskulin yang omong-omong manis juga, menunjukkan lesung pipi khasnya, “halo kak, aku sejun temannya subin,” ia menghampiri seungwoo dan mengulurkan sebelah tangannya untuk berjabat.

“si penyihir?” tanya seungwoo setelah menyambut tangan sejun, pertanyaan kelewat polos yang membuat subin menepuk dahinya.

“astaga jadi subin gak pernah ngasih tahu namaku? Kukira kita teman, bro.”

“lo lupa ya kalo kakak gue tuh udah tua banget alias pikun.” Kata subin yang sudah kembali duduk di atas sofa yang sama. subin menepuk ruang di sampingnya membuat sejun ikut duduk bersama subin.

Laki-laki yang dibicarakan hanya mendengus tidak percaya kalau adik satu-satunya telah mencemooh tepat dihadapannya. “oh, sejun mau minum apa, kayaknya kita masih punya teh.” Tawar seungwoo, mumpung ia masih berada di area dapur juga.

“gak usah kak, aku cuma mau ngasih ramuan yang subin pesan, katanya kakak gak suka rasa blueberry yang kemarin jadi aku ganti rasa delima,” jawab sejun panjang lebar sambil mengeluarkan beberapa botol dari dalam tas kecilnya yang kalau dipikir-pikir mana bisa muat tapi toh seungwoo tidak mau ambil pusing mempertanyakan hal itu.

“tada! Warnanya merah kayak darah.” Ujar sejun seraya mengangkat salah satu botol bening yang menunjukkan warna isi cairan didalamnya.

Tangan seungwoo bergerak pelan menunjuk botol di tangan sejun, “itu, beneran rasa delima?”

Sejun menaruh sebelah tangan di depan dadanya, lantas ia mengeluarkan ekspresi sedih luar biasa seakan ucapan seungwoo adalah belati yang telah menorehkan luka di hatinya, “jadi kak seungwoo meragukan kemampuan yang kupunya?”

“eh, enggak, bukan gitu maksudnya,” ada guratan panik yang terpatri di wajah seungwoo, laki-laki itu menatap subin untuk meminta pertolongan tapi adiknya cuma mengangkat bahu tidak peduli.

“udahlah gak usah drama,” subin menurunkan tangan sejun dari depan dadanya. “lagian kak seungwoo tuh gak pernah dengarin omongan aku deh, udah berapa kali aku ngomong coba.” Subin melipat kedua tangannya seraya cemberut.

“kukira kamu cuma ngada-ngada, ternyata kamu beneran temanan sama penyihir.” Jawab seungwoo sebagai upaya pembelaan. Subin menghela napas untuk yang kesekian kalinya, “kamu tuh pemikirannya terlalu kolot tau gak, segala percaya kalau penyihir itu semuanya bohong,”

“eh serius kak? Aku beneran belajar bikin ramuan lho, ada sertifikatnya!” sahut sejun mencoba meyakinkan kak seungwoo.

“oke, oke, aku percaya,” seungwoo mengangkat kedua tangannya, gesture kalau dia menyerah, “serius!” sahutnya membuat huruf v dengan dua jarinya.

Sejun menutup bibir dengan tangannya menahan tawa sementara subin sudah tergelak, “gila, boomer banget lo kak.” Sahut subin telak.

Gantian seungwoo yang cembertu dibilang boomer sekarang, “apa sih, aku nggak boomer.

“ya ya, terserah,” sahut subin, “nih kamu minum satu terus kamu samperin si byungchan.” subin mengambil satu botol ramuan dari atas meja kopi dan langsung melemparnya ke arah seungwoo yang berada di seberang ruangan.

“subsub, kamu serius?” seungwoo menatap botol yang sukses ditangkap olehnya dengan ragu, “maksudnya, kan bukan perihal sinar matahari doang, taringku gimana?” tanya seungwoo dengan nada yang sedikit merajuk membuat subin bergidik geli, sedikit.

“loh? Keluar taringnya kak?” tanya sejun memajukan setengah badannya kedepan, penasaran dengan perkataan seungwoo.

Yang ditanya menganggukan kepalanya pelan, “apa karena jarang ketemu manusia ya? Makanya jadi kayak gini.”

“terus sekarang keluar gak, kak?” tanya sejun membuat seungwoo merasakan barisan depan giginya dengan lidah, “nggak tuh?” jawab seungwoo ragu-ragu.

“serius? Terus pas ada manusia itu, subin taringnya keluar juga nggak?” tanya sejun lagi, membuat yang dibicarakan membuka suaranya, “nggak tuh, dia doang yang kayak gitu.” Subin mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.

“kak, kamu yakin kamu nggak jatuh cinta sama si byungchan byungchan itu?”

“hah,” seungwoo membulatkan matanya, “ya mana mungkin lah? Aku aja belum pernah lihat muka dia dari depan.”

“yang benar?”

“kak seungwoo mana berani nyamperin byungchan orang kerjaannya ngintip dari jendela kamar doang.” Sahut subin.

Sejun menganggukkan kepalanya, “ya bisa aja sih, kak seungwoo jatuh cinta sama punggungnya berarti, hahaha” sejun kelepasan tertawa dan langsung menutup mulutnya dan berdehem kecil ketika ditatap oleh seungwoo.

“lagian, gak subin, gak kamu, kenapa bilangnya aku jatuh cinta sama dia sih?” seungwoo merengut, seakan tidak suka dengan kesimpulan yang diambil oleh dua laki-laki di seberangnya.

“maksudnya, aku juga manusia loh? Tapi taring kakak gak keluar kan?” kata sejun

“karna kamu penyihir, oke, baumu beda,” sahut seungwoo dengan wajah datar, membuat yang ditatap mendengus kecil.

“oke kalau gitu!” ujar subin tiba-tiba seraya menepuk kedua tangannya bersemangat.

“apa?” tanya seungwoo meminta kejelasan akan tingkahnya, “besok kita pergi buat buktiin kalau kak seungwoo jatuh cinta sama dia apa nggak.” Jawab subin seraya tersenyum bangga dengan ide yang belum diutarakan.

.

ㅡ 🌙

ㅡ merawat bukan sarawat tapi hangyul, sebuah agenda tak terduga.

tidak pernah sedetik pun terbayang dalam kepala seungyoun kalau hari ini dia akan berdiri di depan pintu rumah yang sudah terlihat sedikit lapuk dimakan usia. setelah tadi pagi ia bangun dengan puluhan teks pesan berisikan pertanyaan serupa yaitu, dimana? udah bangun? gak kelas? dan yang terakhir, yang paling menarik perhatiannya,

kak yon, kak hangyul sakit trus hari ini aku field trip, minta tolong jagain, boleh? besok sore aku udah pulang lagi kok

lantas, sampailah seungyoun di sini, berdiri dengan sabar menunggu sang pemilik rumah untuk membukakan pintu. tangannya kembali mengetuk pintu kayu tersebut sedikit lebih keras dari sebelumnya, lalu berhenti ketika mendengar suara langkah pergerakan dari dalam.

ayunan pintu dibuka perlahan menampilkan laki-laki lebih muda darinya dengan wajah pucat pasi dan dahi yang ditutupi dengan plester kompres demam.

“loh? kok kesini?” tanya hangyul, bingung melihat kakak tingkatnya di kampus sekaligus tetangga seberang rumah datang tanpa pemberitahuan.

“katanya lo sakit, nih gue bawain bubur.” sahut seungyoun seraya mengangkat tangan sebelah kiri yang memegang plastik berisi bubur ayam pertigaan depan komplek.

bisa seungyoun lihat, hangyul ingin sekali meracau bertanya ini itu, melancarkan protes seperti biasanya tapi urung, mungkin kepalanya terlampau pusing untuk meracau, atau mungkin ia terlalu lemas dan ingin cepat-cepat kembali rebahan di kamarnya.

hangyul mundur sedikit dan membuka pintu rumahnya lebar-lebar mempersilahkan seungyoun masuk tanpa kata-kata. tungkainya berjalan membawanya kembali ke kamar tanpa repot-repot menutup pintu rumahnya kembali, sebuah gestur untuk sepenuhnya memberi kebebasan pada seungyoun. sementara laki-laki yang lebih tua sibuk menutup pintu dan berjalan ke dapur untuk menuangkan bubur ke mangkuk yang letaknya sudah ia hapal di luar kepala.

toh kalau seungyoun berbuat macam-macam, ia punya nomor telepon mama cho, pikir hangyul.

“gyul? makan dulu.” seungyoun menepuk lengan hangyul pelan, padahal belum sepuluh menit hangyul meninggalkannya tapi laki-laki yang lebih muda sudah kembali tertidur.

“ngantuk yon.” sahut hangyul yang malah mengganti posisi tidurnya membelakangi seungyoun.

seungyoun menghela napasnya, mengerti kalau hangyul selalu berubah menjadi anak laki-laki manja dan bebal tiap kali ia sakit. jadi, seungyoun menaruh mangkuk bubur yang dipegangnya ke atas nakas, kemudian bangkit ke sisi lain tempat tidur untuk menarik lengan hangyul sampai si pemilik badan duduk terbangun.

“ayo makan dulu baru lanjut tidur!” kata seungyoun yang langsung mengambil bantal hangyul agar sang empu tidak kembali merebahkan badannya.

“ck ribet ah! mana sini.” hangyul menyerah.

seungyoun benar-benar menemani hangyul sampai laki-laki itu menyuapkan sendok terakhir buburnya. seungyoun juga yang mengambilkan segelas air minum dan juga obat dari persediaan kotak P3K yang ada di rumahnya.

“kok bisa sakit sih gyul?” tanya seungyoun saat hangyul tengah meminum air putih yang diberikan untuk menelan obat yang dibawa seungyoun.

ada jeda sebentar sebelum hangyul akhirnya menjawab, “ya bisa, sistem imunnya lagi jelek.”

“yeh, lo tuh kalo sakit ngeselin dah.” ujar seungyoun lantas mengambil gelas dari tangan hangyul.

hangyul acuh, ia malah kembali merebahkan tubuhnya seraya menarik selimut untuk kembali menutupi setengah badannya. melihat tidak ada tanda-tanda hangyul mengeluarkan jawaban, seungyoun beranjak mengambil mangkuk serta gelas kosong untuk dibawa ke dapur.

“mau kemana?” tanya hangyul yang netranya kembali terbuka melihat seungyoun ingkah.

“ke dapur doang.”

“nggak pulang?” tanya hangyul lagi, bisa seungyoun lihat pipinya memerah, membuat seungyoun mengerutkan dahinya bingung, “nggak, mau disini aja, kayaknya demam lo belom turun.” jawab seungyoun yang langsung menghilang di balik pintu.

lima belas menit kemudian seungyoun kembali ke kamar hangyul dengan plester kompres demam yang baru. ia duduk di pinggir ranjang lalu membuka bungkus plester tersebut. diam-diam hangyul memperhatikan laki-laki yang lebih tua, raut wajahnya terpampang jelas kalau ia punya banyak pertanyaan.

“mau nanya mah, nanya aja kali.” kata seungyoun tiba-tiba, lalu kepalanya mendongak untuk melihat wajah hangyul.

“lo tau gue sakit dari dodo, ya?”

“ya, darimana lagi coba, lo aja gak pernah ngabarin kalo ada apa-apa kayak gini.” tangan seungyoun terulur, ia meraih plester yang menempel di dahi hangyul dan melepasnya perlahan. telapak tangannya ia tempelkan sebentar di atas dahi hangyul untuk mengecek suhu badan laki-laki yang lebih muda.

hangyul hanya bergumam lantas ia memejamkan matanya saat merasakan sentuhan tangan seungyoun. diam-diam, seungyoun tersenyum simpul melihat tingkah laki-laki di hadapannya. kalau sedang sehat, mana bisa hangyul membiarkan seungyoun menyentuhnya seperti ini.

seungyoun menempelkan plester kompres demam yang baru setelah paham kalau suhu tubuh hangyul masih hangat. hangyul sedikit menggeliat merasakan sensasi dingin dari plester tersebut tapi ia kembali tenang setelah seungyoun menepuk puncak kepalanya berkali-kali. gesture yang selalu membuat hangyul tenang, yang lagi-lagi, mana bisa seungyoun lakukan apabila hangyul tengah sehat.

selesai, seungyoun menarik tangannya menjauh saat dilihat hangyul sudah mulai terlelap masuk ke alam mimpi.

“cepet sembuh, bocil.” bisik seungyoun.

perlahan ia bangkit dari tempatnya, berniat untuk ingkah tapi urung saat ia merasakan lengannya ditahan. kepalanya menoleh kebawah dan melihat tangan hangyul menarik ujung lengan kaos yang dikenakan oleh seungyoun.

“sakit? yang mana?” tanya seungyoun melihat hangul lagi-lagi membuka netranya, yang malah dijawab dengan gelengan kepala oleh hangyul.

“di sini aja.” ujar hangyul, pelan, pelan sekali saking pelannya seungyoun kira ia hanya berhalusinasi.

“gimana?”

“jangan kemana-mana, seungyoun.” kata hangyul lagi, kali ini suaranya dinaikkan sedikit.

terlihat menimbang-nimbang, seungyoun menarik sebelah sudut bibirnya, “yaudah geseran.” titah seungyoun yang ajaibnya langsung diamini oleh hangyul.

seungyoun ikut masuk ke dalam selimut dan merebahkan tubuhnya di samping hangyul. sengaja, ia memposisikan tubuhnya untuk menghadap hangyul yang sudah kembali memejamkan matanya. jarinya jatuh di antara surai hitam laki-laki yang lebih muda, merapikan serta mengelusnya pelan. gerakan yang membuat hangyul secara sadar turut merapatkan jarak di antara mereka berdua.

seungyoun menaruh sebelah tangannya di atas pinggang hangyul dan menepuknya pelan, mencoba menghantarkan hangyul untuk kembali terlelap.

“rasanya pengen lo sakit tiap hari biar manjaan terus gini dah, cil.” bisik seungyoun yang dibalas cubitan di perutnya.

“bercanda ih, cepet tidur.” sahut seungyoun setelah mengaduh, lebih pada terkejut karena ternyata hangyul belum juga tidur. tangannya masih setia menepuk pinggang hangyul seraya bersenandung pelan. setelah ia rasa deru napas hangyul mulai teratur, seungyoun ikut memejamkan matanya memutuskan untuk menyusul hangyul ke alam mimpi.

. .

ㅡ 🌙

ㅡ tiga | perihal garis waktu, rumah dan kamu. (2/2)

Tidak butuh waktu yang lama bagi mereka berdua untuk masuk ke dalam sistem masing-masing. Seungwoo sepertinya paham kalau byungchan tidak ingin membuka dirinya, setidaknya itu yang dia tangkap sehingga seungwoo tidak bertanya lebih lanjut ketika byungchan akhirnya mengajukan permintaan untuk menumpang di apartemennya sementara. Ada beberapa perjanjian di antara mereka, tidak terlalu rumit bagi byungchan karena seungwoo hanya meminta untuk jangan menyentuh barang-barang yang di rak dan meja kerja miliknya. Selebihnya, seungwoo membebaskan byungchan untuk melakukan apapun.

Pernah sekali, satu pembicaraan membawa seungwoo akhirnya bertanya tentang siapa dan kenapa byungchan ada disini. Perihal keluarga lantas pekerjaan, berhubung byungchan pada awalnya mengaku kalau dia adalah seorang mahasiswa, yang langsung diketahui ketidakbenarannya oleh seungwoo hari itu juga setelah ia mengutak-atik database (credit pada koneksi dengan admin tata usaha kampus). Sayangnya berakhir dengan amat canggung karena byungchan langsung menahan perkataannya mati-matian dan menggunakan jurus cengiran andalan.

Tidak masalah bagi byungchan, sebenarnya pekerjaannya juga bukan sesuatu yang klandestin. Hanya saja byungchan memiliki tendensi untuk mencari tahu tentang seungwoo terlebih dahulu, mengobservasinya lantas mempertimbangkan dapatkah ia mempercayai seungwoo, percaya kalau seungwoo tidak akan mengeluarkan respon negatif terhadap apa-apa yang akan ia katakan. Lantas setelah sepuluh hari byungchan tinggal di apartemen seungwoo, byungchan pikir tidak ada salahnya memberi tahu seungwoo beberapa hal, dan menurutnya ini saat yang tepat.

Mereka tengah menikmati makan malam yang byungchan kurang paham apa tapi ia tahu itu mie. Dia tidak pernah melihat suengwoo memasak mengingat setiap pulang dari kampus seungwoo selalu membawa makanan siap makan. Dan byungchan tidak berani mengomentari apa yang seungwoo bawa, bukan berarti dia belum mencoba, ia pernah dan berakhir dengan seungwoo menjelaskan makanannya seakan segala yang dikatakannya adalah hal yang normal padahal byungchan sama sekali tidak mengerti sepatah katapun. karenanya, makan tanpa banyak berpikir seru juga toh byungchan tidak perlu khawatir karena seungwoo juga makan makanan yang sama dengannya.

“seungwoo,” panggil byungchan pelan, tepat setelah makanannya habis.

Sementara yang dipanggil hanya menggumam, tanda bahwa ia mendengarkan. “aku gak bisa nyalain kompor,” ujar byungchan membuat seungwoo terkekeh,

“iya, kan kemarin udah aku ajarin, masa lupa lagi?” seungwoo menghentikan suapannya lantas mengambil minum sebelum fokusnya dipusatkan pada satu hal, satu orang.

“aku gak bisa banyak hal, aku juga gak tahu banyak hal.” Byungchan memainkan jari-jarinya.

“gak apa-apa, kita gak harus tahu semuanya, kita gak harus ngerti semua hal.” Seungwoo berujar, sebuah usaha untuk membuat byungchan merasa baik-baik saja dengan kondisinya.

Byungchan menggeleng pelan, “aku gak bisa pakai kompor karena di rumahku, aku biasa naruh wajan dan komporku nyala otomatis. Aku gak bisa masak air, karna di rumahku tinggal tekan saklar air yang keluar langsung panas. Aku gak bisa bikin kopi karna di rumahku sekali tekan aku langsung dapat minuman yang kumau.”

Seungwoo memangku dagunya, terlihat memikirkan perkataan byungchan, “kamu…”

Byungchan menatap wajah seungwoo penuh harap, “..orang kaya, ya?”

“apa?”

“rumah kamu pasti smart house kan?”

Byungchan menepuk dahinya, tapi bibirnya tidak tahan untuk tidak tersenyum. Salah. Ia terkekeh geli mendengar kesimpulan yang diutarakan oleh seungwoo. “kamu benar dosen nggak sih?” tanya byungchan disela tawanya.

“sembarangan! Aku dulu juga mahasiswa terbaik di angkatanku tau!” sahut seungwoo, merasa diremehkan.

“oke, oke, terserah.” byungchan menyerah.

“tapi serius, rumah kamu, jauh ya?” seungwoo belum mau pembicaraan ini selesai.

Byungchan diam, mencari kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan seungwoo, “rumahku itu seungwoo,

Beda garis waktu dengan rumahmu.”

“hah?”

Byungchan kembali tergelak melihat wajah lawan bicaranya, seungwoo, membuka mulutnya bingung serta menampilkan ekspresi yang terheran-heran. Mungkin seungwoo belum mengerti, tapi tidak apa-apa. Setidaknya byungchan sudah memberi tahu pemilik rumah yang ia singgahi.

Sejak konversasi itu, seungwoo jadi lebih berhati-hati dalam menjelaskan sesuatu dan jadi punya pertanyaan favorit yaitu ‘kalau di rumahmu?’. Tidak terhitung berapa kali, byungchan tidak ingat karna saking seringnya, seungwoo selalu mengakhiri kalimat penjelasannya dengan pertanyaan tersebut. Hal ini berujung pada byungchan bercerita panjang lebar sebab seringnya jawaban yang keluar dari bibir byungchan adalah, ‘nggak tahu seungwoo, aku belum pernah, aku biasanya...’

Begitu terus, dalam repitisi entah keberapa, seungwoo akhirnya mengajak byungchan pergi ke supermarket berhubung sudah waktunya belanja bulanan. Untuk pertama kalinya, byungchan naik mobil yang menapak di tanah.

“aku belum pernah naik mobil” kata byungchan mematahkan hening di antara mereka berdua.

“di rumahmu nggak ada mobil?”

“ada, tapi terbang.”

Seungwoo bergumam panjang, “berarti kamu sering terbang ya?”

Byungchan mengangguk pelan, lalu ingat kalau seungwoo fokus menyetir kemudian bergumam, “kamu belum pernah terbang?”

“baru sekali, waktu itu ikut conference.

Ada hening panjang yang diselimuti nyaman, samar-samar suara musik dari radio yang terpasang di mobil seungwoo terdengar. “aku mau gedein volumenya, gimana?” tanya byungchan. lantas seungwoo mengulurkan tangannya, jari panjangnya meraih tombol volume dan memutarnya pelan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

“trims.”

.

Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai dan byungchan punya tugas untuk mendorong troli sementara seungwoo memimpin petualangan supermarket mereka. ada banyak hal yang dipelajari byungchan kali ini seperti bentuk kemasan detergen untuk mencuci baju, beberapa sabun yang fungsinya berbeda, untuk piring, untuk badan, untuk lantai. Terakhir, makanan, ternyata dua ribu sembilan belas punya banyak variasi makanan kemasan. Seungwoo dengan sabar menjelaskan satu persatu barang yang ia masukkan ke dalam troli yang ditanggapi oleh gumaman serta anggukan kepala oleh byungchan. Sesekali byungchan menunjuk satu barang yang dianggap menarik atau aneh sambil mengajukan ‘itu apa?’ lantas seungwoo akan menjawab dengan kalimat panjang penuh penjelasan.

seungwoo masih mengoceh tentang bagaimana penjaga kasir bekerja, melihat wajah kebingungan byungchan ia langsung tahu kalau laki-laki tersebut tidak familiar dengan segala hal yang terjadi di sekitarnya. Mungkin di rumahnya tidak ada supermarket, atau ada tapi tidak seperti ini.

“terus nanti gantian gitu ya kerjanya?” tanya byungchan yang mengekori langkah seungwoo. Kali ini seungwoo yang membawa troli berisi belanjaan mereka ke parkiran menuju mobil.

“iya, ada jadwalnya gitu nanti gantian, kadang suka pas antre bayar juga ada yang ganti shift.”

“trus buat apa dong apa counter kasir banyak-banyak, toh tadi yang buka cuma setengahnya, kayaknya.” Tanya byungchan, sedikit ada nada menghakimi disana.

Seungwoo terkekeh, “kadang repot kan kalau harus ganti shift tapi yang antre lagi banyak, makanya biasanya yang shift selanjutnya buka kasir yang tutup biar antreannya pindah trus yang shift sebelumnya bisa pulang deh,” jelas laki-laki tersebut.

Byungchan memindahkan kantung belanjaan ke dalam mobil seungwoo, kursi penumpang belakang yang sudah dibuka lebih dahulu oleh pemilik mobil. Sementara seungwoo menyalakan mobil sebelum ikut memasukan belanjaan. “banyak resto di sepanjang jalan ya, tapi kok kecil gitu tempatnya..” ujar byungchan saat mobil sudah kembali menyusuri jalan pulang.

“memangnya di rumahmu nggak ada resto?” tanya seungwoo tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

“ada lah, orang juga butuh makan di luar.”

“katamu semuanya serba otomatis,”

“ya bukan berarti kita meninggalkan sifat sosialis kita, pada dasarnya manusia kan makhluk sosial. Meski lebih banyak berinteraksi ke mesin sih.”

“gimana?”

Byungchan menggeleng kepalanya, lupa kalau seungwoo tidak bisa melihat, tapi toh seungwoo tidak begitu memerlukan penjelasan lebih, “ih lucu, tone warna restonya monokrom gitu. Tapi kok tempat duduknya cuma sedikit ya?” byungchan menunjuk salah satu tempat ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah.

Seungwoo melirik yang ditunjuk oleh byungchan, “itu toko kopi, emang konsepnya buat take away aja sih chan. Bangkunya itu biasanya buat pembeli yang nunggu pesanan aja.”

Chan.

Pipi byungchan dirasanya memanas. Aneh sekali, padahal AC di mobil seungwoo berfungsi normal. Ada sesuatu dari cara seungwoo berbicara dan bagaimana ia memanggil namanya, maksudnya, nama panggilannya. Kepalanya mencari realita mengingat bahwa semua kolega memanggilnya sama seperti seungwoo.

“-chan?”

Suara seungwoo kembali menyapa rungunya, membuyarkan isi kepala byungchan. laki-laki yang dipanggil menoleh menyadari kalau lagi-lagi mobil terpaksa berhenti sementara akibat merahnya lampu lalu lintas.

“ya?”

“di rumahmu nggak ada toko kopi, memangnya?”

“nggak, nggak ada,” ada jeda sedikit sebelum byungchan kembali bertanya, “itu…. yang jaga tokonya, manusia?”

“iyalah, siapa lagi emang, setan?”

Byungchan meringis mendengar jawaban sarkas dari seungwoo, setengah ngeri juga membayangkan makhluk astral yang menjaga toko kopinya, “kalau di rumahku, seungwoo,” sahut byungchan seraya kepalanya menoleh ke arah sisi jalan dari jendela mobil, menatap toko-toko yang dilewati, “mungkin sudah pakai mesin.”

“ada kok, vending machine buat kopi.” Balas seungwoo, sepenuhnya tidak mengerti apa yang dimaksud oleh byungchan. padahal mesin yang dimaksud lawan bicaranya ialah robot yang dibentuk sedemikian rupa seperti manusia dan memiliki task yang sederhana yaitu melayani pengunjung toko.

“ngomongin kerjaan orang terus, kalau kamu kerja apa byungchan?” celetuk seungwoo, mengetahui byungchan tidak mengatakan apa-apa lagi.

“aku pegawai biasa aja kok.” Jawab laki-laki yang ditanya, kembali mengalihkan pandangannya dari jalan pada seungwoo yang masih fokus menyetir, byungchan menyadari satu belokan lagi mereka akan sampai pada apartemen seungwoo.

“sekarang kamu gak kerja dong, chan?” tanya seungwoo lagi, membuat byungchan sadar kalau ia belum pernah mengangkat topik tentang pekerjaannya sama sekali, “atau kesini karena kerjaan?” bisa dirasakan usaha seungwoo yang presisten, ingin tahu, tapi byungchan urung menjawab.

Lidahnya kelu, enggan mengeluarkan sepatah kata. Pun saat mereka sampai di parkiran, byungchan buru-buru turun dan membawa kantung belanja membiarkan seungwoo membawa sisanya dan menyusul byungchan untuk membukakan pintu.

.

Seungwoo tidak pernah menyinggung pembicaraan terakhir mereka lagi. Hal itu membuat byungchan setengah bersyukur karena ia tidak perlu menjelaskan apapun. Maksudnya, siapa yang bisa memproses kalau dia datang ke sini untuk menyebarkan virus sehingga populasi di bumi bisa berkurang di masa depan. Terlebih, byungchan secara kebetulan menjadikan seungwoo sebagai perantara virus yang berasal dari dirinya sendiri. Dengan fakta ini, byungchan sangsi seungwoo akan menganggapnya waras.

Di sisi lain, byungchan jadi lebih memerhatikan pekerjaannya. Kembali memikirkan tujuannya bekunjung ke dua ribu sembilan belas yang jelas bukan untuk bermain-main. Malam itu, ia melirik pergelangan tangannya yang terpasang alat. Sebuah alat yang tidak pernah lepas dari pergelangannya, menampilkan lampu LED kecil yang mulai berubah warna menjadi merah, tanda kalau sebentar lagi ia harus kembali ke garis waktunya.

Lantas, keesokan harinya ia bangun lebih pagi dari seungwoo. Membuat sarapan serta kopi panas untuk mengawali hari. Seungwoo baru keluar dari kamarnya tepat saat byungchan selesai menata meja. “sarapan?” tanya byungchan yang dijawab dengan anggukan oleh seungwoo sebelum sang empu hilang dibalik pintu kamar mandi. Lima belas menit setelahnya seungwoo sudah duduk di depan meja makan lengkap dengan kemeja dan tas yang sudah siap dibawa.

“kamu bangun jam berapa?” tanya seungwoo seraya menyuap telur dadar buatan byungchan.

“nggak tahu, pagi pokoknya.” Jawab byungchan yang tidak mengalihkan pandangan dari seungwoo, menatap penuh harap pada laki-laki dihadapannya, menunggu reaksi.

Seungwoo menangkat kedua alisnya bingung, “kenapa?”

“enak, gak?” tanya byungchan langsung tanpa basa-basi.

Ada gumaman panjang sebelum laki-laki yang ditanya akhirnya memberikan jawaban, “bisa dimakan.”

Byungchan berdecih lantas memukul lengan seungwoo, “yang bener!” membuat seungwoo meloloskan tawa disela kunyahannya, “iya enak, byungchan.”

“kamu tuh, kelas pagi setiap hari ya?” tanya byungchan, mengingat bahwa seungwoo selalu berangkat pagi-pagi.

“nggak juga, emang aku biasain datang pagi aja, lumayan buat nyiapin materi.” Jawab seungwoo lalu menyesap kopinya. Laki-laki itu kemudian bangkit mengambil tas, berjalan langsung ke pintu keluar membuat byungchan berdiri dan mengikuti langkahnya.

“seungwoo, sebentar,” panggil byungchan, meminta atensi yang langsung diberi. Byungchan membuka kerah kemeja seungwoo dan membenahi posisi dasi yang terpasang. Dari jarak segini, byungchan dapat mencium aroma cologne yang seungwoo gunakan. Cepat-cepat ia rapikan kerah kemeja dan mundur satu langkah, “kamu gak bawa mobil?” tanya byungchan menunjuk kunci yang masih tergeletak di atas nakas samping televisi.

“aku lebih suka naik bus,” jawab seungwoo lantas memakai sepatunya. “aku berangkat, ya?”

“seungwoo aku boleh minta uang?” sahut byungchan lagi-lagi menahan seungwoo.

“hm?” seungwoo menatap byungchan bingung.

“aku.. mau ke toko kopi, boleh?” tanya byungchan, hati-hati tapi juga penuh harap.

Seungwoo memberikan senyuman, “boleh.” lalu mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, menyerahkannya ke byungchan lantas mengusak surai laki-laki di hadapannya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

.

Padahal rencananya byungchan hanya ingin meminta uang tiga kali. Rencananya ia hanya akan pergi ke toko kopi dan berinteraksi dengan orang sebanyak-banyaknya, atau mungkin ia akan berteman si penjaga toko supaya ia bisa berbicara dan tinggal berlama-lama di toko kopi. Tapi seungwoo sepertinya merasa tidak enak setelah hari dimana ia pertama kalinya ia meminta uang pada seungwoo.

Pikirnya, mungkin byungchan bosan di rumah. Setiap hari melakukan hal yang sama berulang kali, menghabiskan waktu sendirian di ruangan yang sama. jadi tiap sebelum berangkat ke kampus, seungwoo selalu meninggalkan beberapa lembar uang yang cukup untuk membeli dua gelas kopi. Lantas membuat byungchan hampir setiap hari pergi ke toko kopi yang sama.

“kak uchaaan!!” teriak seorang laki-laki dari balik bar area kasir seraya kakinya baru melewati pintu masuk utama.

“subiiin!” byungchan menghampiri bocah yang umurnya lebih muda darinya.

“kok tumben kamu jadi kasir?”

“iya, gantiin si Sese, kak uchan kok sore banget datangnya?”

Byungchan menunjukkan cengirannya, “tadi aku beresin rumah dulu.”

“yang biasa, kak?” tanya subin dibalas dengan anggukan.

“ciaa gimana sama pak dosen?” ujar subin dengan nada menggoda, ia kini tengah pindah ke balik mesin kopi untuk membuatkan pesanan byungchan, sementara bagian kasir di ambil alih oleh pegawai lain.

“eh? Ya gak gimana-gimana? Kamu katanya kenal sama seungwoo tapi kok gak pernah main bareng sih?” byungchan mendudukan tubuhnya di kursi bar, kursi yang selalu ditempati di hari sebelumnya.

“ya gimana orang cuma kenal karena tinggal satu gedung doang, papasan di lift aja jarang.” Jawab subin seraya menaruh gelas di hadapan byungchan. jawaban dari subin tak ayal membuat byungchan terkekeh, mengingat seungwoo memang jarang sekali keluar selain untuk pergi ke kampus. Acara ke supermarket kemarin pun terjadi karena seungwoo yang heboh ingin menunjukkan pada byungchan.

“tapi udah pernah ngobrol kan?” tanya byungchan

“pernah lah kak, makanya bisa tahu nama juga.” Subin memutar bola matanya, jengah dengan pertanyaan tdak berbobot yang diutarakan byungchan.

“besok-besok main ke unit aku deh makanya.”

“kamu udah ngomong ini berkali-kali tau, kak,” subin menghela napasnya dilebih-lebihkan, “lagian, itu unit kak seungwoo!”

“ya tapi aku lebih banyak ngabisin waktu itu unitnya dia, technically aku bisa ngundang kamu juga.”

Subin lagi-lagi memutar matanya, “ya, ya, terserah,”

“nanti malem aku bilang ke seungwoo loh ya? Bener ya?”

Subin tidak sempat menjawab karena ia harus menyiapkan pesanan lainnya, sehingga yang dilakukan byungchan adalah mengambil buku yang dijajakan di atas meja. Membolak-balikkan lamannya, mencari yang bisa membuatnya tidak merasa bosan sementara subin melakukan pekerjaannya.

Kopi yang tandas serta langit yang menggelap membuat byungchan mau tak mau ingkah dari toko kopi. Lambaian tangan dan suara subin mengiringi langkahnya keluar dari toko. Mengambil langkah lebar tapi tetap hati-hati, ia tahu sebentar lagi seungwoo pulang sehingga ia berusaha untuk sampai di rumah lebih dulu dari sang empu.

.

Suara petir yang menggelegar diiringi cahaya kilat yang terlihat dari jendela ruang tengah mengagetkan byungchan yang hendak menuangkan air panas. Terlihat beberapa tetes keluar dari mulut teko akibat lonjakan tubuh yang tiba-tiba. Perlahan ia menuangkan air panas tersebut ke dua cangkir yang berbeda. Suara air hujan yang secara konstan menyentuh kaca jendela apartemen menjadi latar pergerakan byungchan malam ini. matahari sudah lama tertidur sementara hujan tak kunjung pergi. Berkali-kali byungchan melirik pintu masuk, menunggu seungwoo yang biasanya tidak pernah pulang lewat dari jam enam sore.

Payung yang tertata rapi di samping rak sepatu membuat pikiran byungchan kembali mereka ulang, mengingat kalau tadi pagi seungwoo memang tidak mengambil salah satu payung padahal sudah berkali-kali byungchan ingatkan.

“duh, apa ketahan di halte ya?” byungchan bermonolog, menggigiti bibirnya untuk mengurangi rasa khawatir.

Seungwoo hampir tidak pernah menggunakan mobil pribadinya, laki-laki tersebut lebih suka menggunakan transportasi umum. Entah tujuannya untuk apa, padahal kalau dipikir-pikir lebih nyaman dan mudah memakai mobil untuk bolak-balik area kampus.

Cangkir byungchan sudah mulai dingin sementara belum ada tanda-tanda seungwoo pulang. Menyerah, ia bangkit dari duduknya lantas mencari mantel yang bisa ia pakai untuk menjemput seungwoo di halte terdekat, tempat biasanya seungwoo turun sebelum jalan ke daerah apartement.

Belum sempat ia membuka pintu, papan kayu tersebut terbuka menunjukkan laki-laki yang sedari tadi ia tunggu.

“Seungwoo? Astaga kamu basah banget..” ujar byungchan lantas menghampiri laki-laki yang masih bergeming di depan pintu.

“sini tasnya, kamu disitu dulu,” byungchan mengambil tas yang untungnya berbahan kulit, ia ambil beberapa tisu untuk mengelap air yang tersisa, “buka dulu jaket kamu, seungwoo, aku ambilin handuk.” Cepat-cepat ia keluarkan isi tas seungwoo, ditaruhnya di atas meja lantas tungkainya melangkah untuk mengambil handuk.

“agak nunduk sedikit, coba,” ujar byungchan saat ia menyampirkan handuk ke kepala seungwoo, laki-laki dihadapannya menurut. Kepala seungwoo diusak, rambutnya dikeringkan seraya pipinya ditepuk-tepuk pelan menghilangkan bulir-bulir air yang tinggal. Dapat byungchan lihat bibir laki-laki dihadapannya bergetar, membuat byungchan menarik kepalanya sedikit, memerhatikan dengan seksama lantas sadar kalau sekujur tubuh seungwoo gemetaran.

“seungwoo kamu-“ belum sempat menyelesaikan perkataannya, seungwoo serta merta memotong ucapan byuncghan dengan menyandarkan dahinya di pundak sebelah kanan milik byungchan.

“diluar-“ seungwoo mengucap, posisi mereka yang begitu dekat membuat byungchan dapat mendengar deru napas seungwoo, “petir” tepat setelah seungwoo mengatakan hal tersebut, kilat datang disertai suara gemuruh petir yang membuat keduanya sama-sama terlonjak. Seungwoo mengalungkan lengannya ke pinggang byungchan, menghapus jarak yang sudah tipis menjadi tidak ada.

Perlakuan seungwoo yang tiba-tiba membuat byungchan hampir oleng, dituntunnya seungwoo untuk turun sehingga mereka berdua terduduk di lantai. Suara petir yang masih saling bersautan membuat seungwoo membenamkan kepalanya di perpotongan leher byungchan, ia bersembunyi. Disini, byungchan dapat merasakan betapa mengigilnya laki-laki dalam dekapannya. Seungwoo kedinginan tapi ia tidak memerdulikan hal tersebut, seakan fokusnya selalu ditarik pada suara sahutan guntur yang tidak ingin didengar sama sekali.

Byungchan menepuk-nepuk punggung laki-laki itu, “seungwoo?”

“mandi ya?”

“seungwoo nanti kamu masuk angin.”

Byungchan menyampirkan handuk yang sempat dilupakan dan menaruhnya di leher seungwoo, menutup kedua telinga sang empu berharap suara petir tidak bisa menembus rungunya. Berharap dengan cara ini byungchan setidaknya bisa mendapatkan perhatian seungwoo.

Berhasil. Seungwoo menarik kepalanya perlahan dan menatap wajah byungchan bingung.

‘a-yo, ka-mar man-di.’ Byungchan menggerakkan bibirnya pelan-pelan, kepalanya ia gerakan untuk menunjuk pintu kamar mandi yang berada jauh di seberang ruangan. Seungwoo mengedipkan kedua matanya, bingung, tapi toh akhirnya ia bangkit juga mengikuti pergerakan byungchan.

Sesampainya di kamar mandi, byungchan menyuruh seungwoo memegang kedua telinganya sendiri sementara ia menyalakan air untuk menghalau suara petir. Setelahnya, kedua telapak seungwoo dibuka pelan, “kamu mandi dulu, gak kedengaran kan suara petirnya?” kata byungchan yang dijawab dengan anggukan pelan.

“aku ambilin baju bersih,” lantas byungchan menutup pintu kamar mandi dibelakangnya. Dua puluh menit kemudian seungwoo sudah selesai. Tidak berani keluar kamar mandi, seungwoo memanggil nama byungchan membuat yang dipanggil tak ayal menyembulkan kepalanya ke dalam kamar mandi.

Seungwoo sudah berganti baju, tapi keran masih sengaja dinyalakan. Byungchan tersenyum tipis, ia memasangkan earphone di kedua telinga seungwoo lantas menarik laki-laki itu keluar dari kamar mandi sebelum celananya ikut basah kena cipratan air dari keran. Byungchan kemudian menyerahkan ponsel yang terhubung pada earphone, yang seungwoo sadari adalah milkinya sendiri.

Byungchan menarik seungwoo ke kamarnya setelah mematikan keran air di kamar mandi. Rambutnya kembali dikeringkan sampai dirasa cukup, byungchan menyuruh seungwoo naik ke atas kasur tanpa kata-kata. Menyuruhnya untuk merebahkan diri seraya byungchan menarik selimut untuk membungkus setengah badan seungwoo.

Baru juga ia akan beranjak tapi pergelangan tangannya ditahan. Seungwoo menunjukkan ekspresi tanya sementara byungchan menggerakan bibirnya, ‘mi-num’ seraya sebelah tangannya yang bebas memberikan gestur kata yang ia katakan. Kepala seungwoo menggeleng, ia menggeser tubuhnya, menyuruh byungchan ikut merebahkan diri di sampingnya.

Ada sedikit rasa canggung yang byungchan coba usir. Tapi seungwoo sepertinya tidak merasakan apapun melihat ia langsung beringsut masuk ke dalam dekapan byungchan. lagi-lagi, seungwoo bersembunyi. Seperti earphone tersebut tidak cukup menulikan pendengarannya sejenak. Seperti ia butuh perlindungan yang lebih dari sekedar distraksi suara. Seperti dekapan byungchan adalah sesuatu yang selama ini ia cari-cari, yang ia butuhkan.

Keduanya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk masuk ke alam mimpi, salah satunya tidak sadar kalau warna lampu di pergelangan tangannya hampir sepenuhnya berganti.

.

Tidak mempan.

Byungchan gelisah, ia mondar-mandir di dalam kamar seungwoo. Laki-laki itu tanpa sadar mengigiti kuku tangannya, tanda kalau ia tengah khawatir. Byungchan melihat seungwoo yang tengah berbaring di atas kasurnya, sudah lebih dari dua hari seungwoo demam setelah ia pulang basah kuyup kehujanan. Sudah dua kali juga ia memberi seungwoo obat demam yang biasa dikonsumsi tapi seungwoo tidak menunjukkan tanda-tanda membaik.

Rungunya menangkap erangan yang lolos dari bibir seungwoo, membuyarkan lamunan sesaat byungchan dan mendapati seungwoo tengah mendendang selimut yang membalut tubuhnya. Byungchan menghampiri, “kenapa? Gak nyaman ya?” tanya byungchan menyibakan rambut seungwoo yang menutupi dahinya, yang hanya dijawab lenguhan tidak nyaman oleh seungwoo. “aduh, kamu bangun dulu deh, ganti baju” ujar byungchan setelah tahu kalau setengah kaus seungwoo basah karna keringat dingin.

Byungchan sedikit terkesiap melihat seungwoo yang sudah menanggalkan bajunya saat ia membalikan badannya setelah berhasil mengambil kaus ganti. Byungchan melemparkan kaus merah luntur pada seungwoo, membuat laki-laki itu merengut, “aku tuh lagi sakit,” ujarnya sambil cemberut.

“kamu sakit tapi banyak protes, di kompres gak mau, pakai selimut juga ogah-ogahan.” Jawab byungchan sewot, ia benar tidak mengerti padahal suhu tubuh seungwoo tinggi tapi sang empu tidak ingin memakai selimut dengan benar, tidak nyaman, katanya.

“kalau besok kamu masih demam kita ke dokter,” ujar byungchan memberitahu seungwoo yang sudah kembali merebahkan dirinya tanpa repot-repot menarik selimut yang barusan ia tendang.

Semoga besok seungwoo membaik, pikir byungchan.

Yang langsung ditangkis oleh realita karena tengah malam tiba-tiba seungwoo demamnya makin parah diiringi sekujur tubuhnya yang menggigil meski byungchan sudah memberi dua lapis selimut. Ia harus membawa seungwoo ke klinik, pikirnya dimana ada klinik yang buka duapuluh empat jam. Diambilnya ponsel seungwoo lantas ia cari klinik atau rumah sakit apapun yang buka dan jaraknya dekat dari tempat tinggal mereka.

.

Byungchan tidak pernah masuk ke instalasi gawat darurat, suasananya ramai meski jam sudah menunjukkan pukul satu lewat dua puluh pagi. Hampir nekat membawa seungwoo dengan mengendarai mobilnya lantas ia ingat kalau di dua ribu sembilan belas ada yang namanya taksi online, mereka berdua sampai di rumah sakit terdekat lima belas menit kemudian.

Seungwoo yang masih menggigil langsung ditangani oleh dokter yang berjaga, mungkin suster, entahlah byungchan tidak begitu memerhatikan tapi ia diminta menunggu selagi mereka memeriksa seungwoo.

Kukunya digigiti, lagi.

“wali dari han seungwoo?” sebuah suara menyapanya, setengah terlonjak byungchan menjawab “ya?”

“oh, saya mau menginformasikan kondisi pasien—“

Selebihnya tidak begitu didengarkan oleh byungchan tapi hal yang ia mengerti, kalau sakitnya seungwoo sama seperti beberapa pasien yang sudah datang sebelumnya, bahwa seungwoo merupakan pasien ke tigapuluh satu dengan gejala dan keluhan yang sama, bahwa seungwoo belum tentu bisa sembuh.

Byungchan masih tinggal di tempatnya, tidak ada niat beranjak padahal dokter (atau, suster?) yang berbicara dengannya tadi sudah pergi sejak lima belas menit yang lalu. Seungwoo masih terbaring di salah satu kasur, menunggu dipindahkan ke ruangan khusus. Netranya menangkap dua pasien masuk ke ruang instalasi gawat darurat sementara kepalanya melayang-layang sampai akhirnya matanya membulat sempurna.

Oh.

Oh.

Byungchan mengeluarkan ponsel milik seungwoo dari kantung jaket yang dikenakan. Memesan taksi untuk membawanya pulang ke rumah karena ia tahu obat yang tepat untuk menyembuhkan seungwoo. Byungchan membawa tungkainya lari, melebarkan langkahnya panjang-panjang berharap dengan ini dia dapat sampai ke apartemen seungwoo lebih cepat. Tidak sadar walau punya titel penjelajah, ia tidak bisa bermain-main dengan waktu. Tidak sadar walau bagaimanapun, ia tidak bisa mencurangi waktu. Tidak sadar kalau sebenarnya ia kehabisan waktu.

Warna lampu alat di pergelangan tangan sudah sudah berganti sepenuhnya.

Byungchan kembali dengan botol berisi cairan obat dalam genggamannya.

.

.

Mungkin sudah lebih dari dua puluh empat jam sejak byungchan akhirnya ditarik kembali ke rumahnya. Kalau seungwoo, pasti akan bilang begitu. Kepalanya terlampau penuh dengan hal-hal yang kurang relevan, sedikit melenceng dari tujuan misinya tapi jujur, kepada brie, kepada dinding abu-abu kamarnya, byungchan tidak merasa baik sama sekali.

Di pipinya terlihat jejak air mata yang mengering, berkali-kali ia menghapus tapi bulirnya selalu jatuh turun dari mata tiap kali ia ingin berhenti. Byungchan menghela napas sementara netranya masih menatap jendela yang diliputi bulir-bulir air hujan serta awan yang menampilkan kilatan petir yang saling bersahutan.

Seungwoo.

Aneh. Padahal byungchan tidak pernah merasa se-attached ini pada seseorang, apalagi yang baru ditemui. Ditambah kalau byungchan boleh kasar, ia menggunakan laki-laki itu untuk menjalankan tugasnya. Mungkin karena mereka berdua menghabiskan waktu dalam satu atap, meski tidak begitu lama, tapi bersama-sama selama dua puluh empat jam dikali tiga puluh tentu bisa membuatmu merasa se-attached ini kan.

Teleponnya berdering untuk yang kesekain kalinya malam ini tidak pula diindahakan lantas suara wooseok muncul setelahnya.

‘chan, ini wooseok. Gimana badannya udah enakkan?’ ada jeda sebentar yang diambil sebelum laki-laki itu melanjutkan, ‘kalau udah enakan, please hubungin gue secepatnya.’

Byungchan tidak bergeming, satu-satunya makhluk hidup yang bergerak hanyalah brie yang secara konstan mengusak kepalanya di pergelangan kaki byungchan, seakan tahu kalau tuannya sedang tidak baik-baik saja. Lagi-lagi teleponnya berdering, alih-alih mengangkat panggilan, byungchan mengangkat brie ke atas pangkuannya.

‘byungchan ini gue seungyoun. Sori ganggu, gue cuma mau ngabarin kalau misinya berhasil,”

Tidak peduli, byungchan memeluk brie dan memberikan kecupan konstan di puncak kepalanya. Sementara brie sendiri sudah mengeong kewalahan menghadapi afeksi yang diberi byungchan. kamar byungchcan kembali hening sampai suara seungyoun kembali menyapa,

‘hangyul, gak ada, chan, misinya berhasil dan hangyul gak ada.’ Ada isak yang lolos dari seungyoun yang terdengar oleh byungchan membuat sang empu mengernyit heran. Tangannya mengambil alat komunikasi dan langsung menyambungkan panggilan, “gimana, seungyoun?”

.

Adegan byungchan yang meraung-raung saat ditarik kembali dari dua ribu sembilan belas masih kerap terputar di kepalanya sendiri. Yang ada dalam pikiran byungchan saat itu adalah bagaimana caranya ia kembali lagi ke dua ribu sembilan belas karena seungwoo sedang sakit dan butuh obat yang ia genggam supaya bisa sembuh. Tidak mengindahkan suruhan wooseok untuk tenang, byungchan nekat membuat portal lagi tapi tubuhnya menolak. Byungchan terlampau lemah sampai ia kehilangan kesadarannya di tempat. Kejadian itu juga yang menjadi landasan seungyoun menghubunginya. Ingin byungchan tergelak, menuduh kalau seungyoun bercanda tapi nyatanya, laki-laki yang dikenal hanya lewat pembicaraan dengan hangyul tersebut benar-benar datang, utuh berdiri di depan pintu rumahnya.

“gue salah ngitung,” seungyoun memulai pembicaraannya tepat saat byungchan menaruh cangkir kopi untuknya, “kayaknya.”

“kayaknya?” byungchan menatap lawan bicaranya, penuh pertanyaan.

“harusnya nggak gini, ya kan? Harusnya yang terlibat di misi ini nggak kena, tapi.. tapi… kok-“

Byungchan menepuk punggung tangan seungyoun, “Tarik napas,” sahut byungchan menenangkan, “pelan-pelan jelasinnya, oke?”

Seungyoun mengangguk pelan, “kemaren tuh gua ngitung posibilitasnya kecepetan, biasanya gua selalu itung ulang tiga kali dulu, tapi karna deadline-nya mepet jadi gua kasih aja hasil yang ada, maksudnya, nggak gegabah juga, eh sedikit sih, ya intinya harusnya hangyul gak ikut ilang dan gua gatau harus gimana sekarang.” Seungyoun menjatuhkan kepalanya di atas meja, menimbulkan bunyi ‘duk’ yang terlalu kencang.

Byungchan menghela napasnya, kalau dipikir-pikir misi ini memang terlampau diburu-buru. Tapi ia juga tidak tahu harus bagaimana, misi ini saja sudah merubah sebagian besar puzzle yang sudah tersusun rapi. Dan byungchan tidak memiliki cukup keberanian untuk mengutak-atik sejarah dengan mencurangi waktu.

“bantuin gua balik ke dua ribu sembilan belas lagi, mau gak?” tanya byungchan.

Seungyoun mengangkat kepalanya dalam satu gerakan cepat, “ngapain? Gagalin misi lo?”

“gue mau ketemu seseorang.”

“seungwoo?”

“kok lo tahu namanya?”

“lo teriakin nama dia terus kemarin, fyi.”

Byungchan memutar bola matanya, sedikit malu dengan fakta tersebut, “yaudah, gue juga gak bisa ngapa-ngapain youn. Gue gak ngerti, gue cuma penjelajah waktu kan yang tugasnya ngitung itu elo.”

Seungyoun menghela napas panjang, “iya, salah gue.”

“gak gitu youn-“

“gue pengen bisa ngulang waktu deh,” sahut seungyoun tidak mengindahkan perkataan byunchan.

“gue pengen bisa berhentiin waktu,” timpalnya membuat seungyoun menatap byungchan yang wajahnya menunjukan raut nelangsa amat sangat, jelas-jelas kepalanya diliputi elegi.

“oke lah!” ujar seungyoun tiba-tiba, ia menegapkan tubuhnya. paham perkataan byungchan tanpa penjelasan lebih lanjut.

“apa?” tanya byungchan bingung dengan perkataan lawan bicaranya.

“gua bantuin lo balik ke dua ribu sembilan belas, tapi ada syaratnya,” perkataan seungyoun membuat byungchan menelengkan kepalanya, “bawa gue ke dua ribu sembilan belas juga.” lanjut seungyoun.

.

Boleh dikatakan rencana byungchan dan seungyoun sedikit nekat. Menyelinap masuk ke kantornya sendiri setelah semua orang sudah pulang bukan hal yang sulit mengingat mereka masih berstatus karyawan. Siapa yang akan curiga kalau mereka berdua datang seperti biasanya, menyapa sekuriti yang sedang berjaga dengan dalih ‘saya mau ambil barang yang ketinggalan pak’ lantas melenggangkan kaki seperti niat yang ada sejalan dengan perkataannya.

Byungchan masuk ke ruangan khusus tempat ia biasa melakukan misinya terlebih dahulu sementara seungyoun menghilang dibalik ruangannya untuk mengambil obat yang dapat membantu mereka berdua untuk tidak jatuh sakit, juga dapat membantu menyembuhkan seungwoo. Sebenarnya byungchan bisa pergi ke dua ribu sembilan belas dimana saja, tapi seungyoun bersikeras kalau lebih baik ia membuka portal di ruangan yang seperti biasa alih-alih ruangannya sendiri agar sekuriti tidak curiga.

“gua bawa enam, cukup?” tanya seungyoun di detik yang sama ketika ia membuka pintu dengan buru-buru.

“lebih dari cukup, sini cepet.” Seru byungchan tidak sabar, “pegang tangan gue jangan sampe lepas, ngerti?” jelas byungchan penuh penekanan.

Seungyoun mengangguk paham lantas menyesuakian posisinya berdiri di samping byungchan, tangannya mengamit milik yang lain dalam genggaman kuat. “ini legal gak sih?” seungyoun lantas terkekeh, merasa bodoh mempertanyakan hal ini di menit terakhir.

Byungchan ikut tertawa, “yang bener aja lo, no back off ya yon.” Ujar byungchan tapi sedetik kemudian ia melepas tautan tangan mereka, “eh bentar, lo bakal nyesel gak? Youn, gue mau tinggal di sana, lo kalau gak mau ikut juga gak apa.”

Seungyoun menatap manik mata byungchan yang penuh dengan determinasi, ia tahu tujuannya, ia telah menemukan rumahnya dan ia tahu kemana harus pulang. Sementara seungyoun yang baru saja kehilangan seseorang dan tidak bisa berbuat apa-apa dirasa cukup menjadi alasan untuk pergi, “gue udah gak punya rumah disini chan,” lantas ia kembali menautkan tangan mereka. seratus persen yakin dengan tindakannya.

“lo bakal nemuin rumah lo lagi, youn, promise.” dalam hati berharap kalau dengan ini mereka bisa memulai semuanya dari awal.

Seungyoun memberikan senyuman tulus, “promise.”

.

.

.

Pergerakan dalam genggaman tangannya membuat byungchan tak ayal membuka kedua mata perlahan. Oh, ketiduran. Pikir byungchan, baru sadar kalau sedari tadi ia terlelap. Kepalanya diangkat pelan-pelan membuat netranya bertemu dengan sepasang lainnya yang tengah berbaring di atas kasur putih.

“loh? bangun? Udah lama?” tanya byungchan.

Seungwoo, laki-laki yang tengah berbaring berdehem mengumpulkan suaranya sebelum menjawab, “lama, kayaknya.”

Mata seungwoo menatap laki-laki yang tengah terlelap di atas sofa kamar inap, “siapa?” tanyanya menunjuk dengan dagu.

“seungyoun, temanku, dia yang bantuin aku ngerawat kamu kemarin.” Jelas byungchan lantas bangun dari duduknya, berniat untuk mengambil air minum untuk seungwoo tapi tangannya ditahan.

“kamu gak mau minum?” tanya byungchan melihat tangannya digenggam oleh seungwoo yang tengah menggeleng, “nanti aja, sini naik.”

Byungchan membulatkan matanya saat seungwoo menggeser tubuhnya sendiri, membuat spasi di ranjang rumah sakit yang sudah sempit, “seungwoo yang bener aja—“

“berisik, cepet naik aku mau tidur lagi.” Seungwoo menarik lengan byungchan cukup keras, gestur paksaan yang membuat byungchan menuruti pinta seungwoo. Tubuh byungchan sedikit kaku saat seungwoo menaruh sebelah tangannya di pinggang byungchan, menariknya ke dalam dekapan tanpa rasa canggung sedikit pun. Sementara byungchan harus menyesuaikan ritme detak jantungnya terlebih dahulu sebelum akhirnya menyerah dan menyandarkan kepalanya di dada seungwoo.

“kamu kemarin hilang,” suara seungwoo terdengar begitu dekat membuat yang hati byungchan sedikit kewalahan.

“maaf,” byungchan menjawab dengan suara yang tidak lebih besar dari bisikan.

“kemarin aku bukan di ruangan ini,” sahut seungwoo lagi

“itu seungyoun yang urus,” jawab byungchan sekenanya, mengingat bagaimana seungyoun bisa membuat seungwoo dipindahkan ke ruang inap, rumit, bisa dijelaskan nanti kalau seungwoo masih penasaran. Byungchan mendongakkan kepalanya, “do you feel better now?”

“never been this better.” Jawab seungwoo, mengecup puncak kepala byungchan seraya menarik byungchan ke dalam dekapannya, menghapus jarak yang sudah tidak bersisa. Ia bisa merasakan jemari seungwoo bermain-main di belakang surainya, membuat byungchan kembali mengantuk.

“makasih ya, byungchan,” seungwoo kembali berbicara, “aku tahu, aku tahu semuanya,” byungchan mendengar perkataan seungwoo samar-samar seraya membiarkan kesadarannya direnggut oleh kantuk.

Perihal ini bisa dibicarakan nanti, pikirnya, yang penting sekarang ia punya seungwoo, begitu pula sebaliknya. Dan ada garis waktu baru yang membentang untuk mereka berdua lalui. Setidaknya, untuk saat ini byungchan sudah berada di rumahnya.

ㅡ 🌙

ㅡ tiga | perihal garis waktu, rumah dan kamu. (2/2)

Tidak butuh waktu yang lama bagi mereka berdua untuk masuk ke dalam sistem masing-masing. Seungwoo sepertinya paham kalau byungchan tidak ingin membuka dirinya, setidaknya itu yang dia tangkap sehingga seungwoo tidak bertanya lebih lanjut ketika byungchan akhirnya mengajukan permintaan untuk menumpang di apartemennya sementara. Ada beberapa perjanjian di antara mereka, tidak terlalu rumit bagi byungchan karena seungwoo hanya meminta untuk jangan menyentuh barang-barang yang di rak dan meja kerja miliknya. Selebihnya, seungwoo membebaskan byungchan untuk melakukan apapun.

Pernah sekali, satu pembicaraan membawa seungwoo akhirnya bertanya tentang siapa dan kenapa byungchan ada disini. Perihal keluarga lantas pekerjaan, berhubung byungchan pada awalnya mengaku kalau dia adalah seorang mahasiswa, yang langsung diketahui ketidakbenarannya oleh seungwoo hari itu juga setelah ia mengutak-atik database (credit pada koneksi dengan admin tata usaha kampus). Sayangnya berakhir dengan amat canggung karena byungchan langsung menahan perkataannya mati-matian dan menggunakan jurus cengiran andalan.

Tidak masalah bagi byungchan, sebenarnya pekerjaannya juga bukan sesuatu yang klandestin. Hanya saja byungchan memiliki tendensi untuk mencari tahu tentang seungwoo terlebih dahulu, mengobservasinya lantas mempertimbangkan dapatkah ia mempercayai seungwoo, percaya kalau seungwoo tidak akan mengeluarkan respon negatif terhadap apa-apa yang akan ia katakan. Lantas setelah sepuluh hari byungchan tinggal di apartemen seungwoo, byungchan pikir tidak ada salahnya memberi tahu seungwoo beberapa hal, dan menurutnya ini saat yang tepat.

Mereka tengah menikmati makan malam yang byungchan kurang paham apa tapi ia tahu itu mie. Dia tidak pernah melihat suengwoo memasak mengingat setiap pulang dari kampus seungwoo selalu membawa makanan siap makan. Dan byungchan tidak berani mengomentari apa yang seungwoo bawa, bukan berarti dia belum mencoba, ia pernah dan berakhir dengan seungwoo menjelaskan makanannya seakan segala yang dikatakannya adalah hal yang normal padahal byungchan sama sekali tidak mengerti sepatah katapun. karenanya, makan tanpa banyak berpikir seru juga toh byungchan tidak perlu khawatir karena seungwoo juga makan makanan yang sama dengannya.

“seungwoo,” panggil byungchan pelan, tepat setelah makanannya habis.

Sementara yang dipanggil hanya menggumam, tanda bahwa ia mendengarkan. “aku gak bisa nyalain kompor,” ujar byungchan membuat seungwoo terkekeh,

“iya, kan kemarin udah aku ajarin, masa lupa lagi?” seungwoo menghentikan suapannya lantas mengambil minum sebelum fokusnya dipusatkan pada satu hal, satu orang.

“aku gak bisa banyak hal, aku juga gak tahu banyak hal.” Byungchan memainkan jari-jarinya.

“gak apa-apa, kita gak harus tahu semuanya, kita gak harus ngerti semua hal.” Seungwoo berujar, sebuah usaha untuk membuat byungchan merasa baik-baik saja dengan kondisinya.

Byungchan menggeleng pelan, “aku gak bisa pakai kompor karena di rumahku, aku biasa naruh wajan dan komporku nyala otomatis. Aku gak bisa masak air, karna di rumahku tinggal tekan saklar air yang keluar langsung panas. Aku gak bisa bikin kopi karna di rumahku sekali tekan aku langsung dapat minuman yang kumau.”

Seungwoo memangku dagunya, terlihat memikirkan perkataan byungchan, “kamu…”

Byungchan menatap wajah seungwoo penuh harap, “..orang kaya, ya?”

“apa?”

“rumah kamu pasti smart house kan?”

Byungchan menepuk dahinya, tapi bibirnya tidak tahan untuk tidak tersenyum. Salah. Ia terkekeh geli mendengar kesimpulan yang diutarakan oleh seungwoo. “kamu benar dosen nggak sih?” tanya byungchan disela tawanya.

“sembarangan! Aku dulu juga mahasiswa terbaik di angkatanku tau!” sahut seungwoo, merasa diremehkan.

“oke, oke, terserah.” byungchan menyerah.

“tapi serius, rumah kamu, jauh ya?” seungwoo belum mau pembicaraan ini selesai.

Byungchan diam, mencari kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan seungwoo, “rumahku itu seungwoo,

Beda garis waktu dengan rumahmu.”

“hah?”

Byungchan kembali tergelak melihat wajah lawan bicaranya, seungwoo, membuka mulutnya bingung serta menampilkan ekspresi yang terheran-heran. Mungkin seungwoo belum mengerti, tapi tidak apa-apa. Setidaknya byungchan sudah memberi tahu pemilik rumah yang ia singgahi.

Sejak konversasi itu, seungwoo jadi lebih berhati-hati dalam menjelaskan sesuatu dan jadi punya pertanyaan favorit yaitu ‘kalau di rumahmu?’. Tidak terhitung berapa kali, byungchan tidak ingat karna saking seringnya, seungwoo selalu mengakhiri kalimat penjelasannya dengan pertanyaan tersebut. Hal ini berujung pada byungchan bercerita panjang lebar sebab seringnya jawaban yang keluar dari bibir byungchan adalah, ‘nggak tahu seungwoo, aku belum pernah, aku biasanya...’

Begitu terus, dalam repitisi entah keberapa, seungwoo akhirnya mengajak byungchan pergi ke supermarket berhubung sudah waktunya belanja bulanan. Untuk pertama kalinya, byungchan naik mobil yang menapak di tanah.

“aku belum pernah naik mobil” kata byungchan mematahkan hening di antara mereka berdua.

“di rumahmu nggak ada mobil?”

“ada, tapi terbang.”

Seungwoo bergumam panjang, “berarti kamu sering terbang ya?”

Byungchan mengangguk pelan, lalu ingat kalau seungwoo fokus menyetir kemudian bergumam, “kamu belum pernah terbang?”

“baru sekali, waktu itu ikut conference.

Ada hening panjang yang diselimuti nyaman, samar-samar suara musik dari radio yang terpasang di mobil seungwoo terdengar. “aku mau gedein volumenya, gimana?” tanya byungchan. lantas seungwoo mengulurkan tangannya, jari panjangnya meraih tombol volume dan memutarnya pelan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

“trims.”

.

Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai dan byungchan punya tugas untuk mendorong troli sementara seungwoo memimpin petualangan supermarket mereka. ada banyak hal yang dipelajari byungchan kali ini seperti bentuk kemasan detergen untuk mencuci baju, beberapa sabun yang fungsinya berbeda, untuk piring, untuk badan, untuk lantai. Terakhir, makanan, ternyata dua ribu sembilan belas punya banyak variasi makanan kemasan. Seungwoo dengan sabar menjelaskan satu persatu barang yang ia masukkan ke dalam troli yang ditanggapi oleh gumaman serta anggukan kepala oleh byungchan. Sesekali byungchan menunjuk satu barang yang dianggap menarik atau aneh sambil mengajukan ‘itu apa?’ lantas seungwoo akan menjawab dengan kalimat panjang penuh penjelasan.

seungwoo masih mengoceh tentang bagaimana penjaga kasir bekerja, melihat wajah kebingungan byungchan ia langsung tahu kalau laki-laki tersebut tidak familiar dengan segala hal yang terjadi di sekitarnya. Mungkin di rumahnya tidak ada supermarket, atau ada tapi tidak seperti ini.

“terus nanti gantian gitu ya kerjanya?” tanya byungchan yang mengekori langkah seungwoo. Kali ini seungwoo yang membawa troli berisi belanjaan mereka ke parkiran menuju mobil.

“iya, ada jadwalnya gitu nanti gantian, kadang suka pas antre bayar juga ada yang ganti shift.”

“trus buat apa dong apa counter kasir banyak-banyak, toh tadi yang buka cuma setengahnya, kayaknya.” Tanya byungchan, sedikit ada nada menghakimi disana.

Seungwoo terkekeh, “kadang repot kan kalau harus ganti shift tapi yang antre lagi banyak, makanya biasanya yang shift selanjutnya buka kasir yang tutup biar antreannya pindah trus yang shift sebelumnya bisa pulang deh,” jelas laki-laki tersebut.

Byungchan memindahkan kantung belanjaan ke dalam mobil seungwoo, kursi penumpang belakang yang sudah dibuka lebih dahulu oleh pemilik mobil. Sementara seungwoo menyalakan mobil sebelum ikut memasukan belanjaan. “banyak resto di sepanjang jalan ya, tapi kok kecil gitu tempatnya..” ujar byungchan saat mobil sudah kembali menyusuri jalan pulang.

“memangnya di rumahmu nggak ada resto?” tanya seungwoo tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

“ada lah, orang juga butuh makan di luar.”

“katamu semuanya serba otomatis,”

“ya bukan berarti kita meninggalkan sifat sosialis kita, pada dasarnya manusia kan makhluk sosial. Meski lebih banyak berinteraksi ke mesin sih.”

“gimana?”

Byungchan menggeleng kepalanya, lupa kalau seungwoo tidak bisa melihat, tapi toh seungwoo tidak begitu memerlukan penjelasan lebih, “ih lucu, tone warna restonya monokrom gitu. Tapi kok tempat duduknya cuma sedikit ya?” byungchan menunjuk salah satu tempat ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah.

Seungwoo melirik yang ditunjuk oleh byungchan, “itu toko kopi, emang konsepnya buat take away aja sih chan. Bangkunya itu biasanya buat pembeli yang nunggu pesanan aja.”

Chan.

Pipi byungchan dirasanya memanas. Aneh sekali, padahal AC di mobil seungwoo berfungsi normal. Ada sesuatu dari cara seungwoo berbicara dan bagaimana ia memanggil namanya, maksudnya, nama panggilannya. Kepalanya mencari realita mengingat bahwa semua kolega memanggilnya sama seperti seungwoo.

“-chan?”

Suara seungwoo kembali menyapa rungunya, membuyarkan isi kepala byungchan. laki-laki yang dipanggil menoleh menyadari kalau lagi-lagi mobil terpaksa berhenti sementara akibat merahnya lampu lalu lintas.

“ya?”

“di rumahmu nggak ada toko kopi, memangnya?”

“nggak, nggak ada,” ada jeda sedikit sebelum byungchan kembali bertanya, “itu…. yang jaga tokonya, manusia?”

“iyalah, siapa lagi emang, setan?”

Byungchan meringis mendengar jawaban sarkas dari seungwoo, setengah ngeri juga membayangkan makhluk astral yang menjaga toko kopinya, “kalau di rumahku, seungwoo,” sahut byungchan seraya kepalanya menoleh ke arah sisi jalan dari jendela mobil, menatap toko-toko yang dilewati, “mungkin sudah pakai mesin.”

“ada kok, vending machine buat kopi.” Balas seungwoo, sepenuhnya tidak mengerti apa yang dimaksud oleh byungchan. padahal mesin yang dimaksud lawan bicaranya ialah robot yang dibentuk sedemikian rupa seperti manusia dan memiliki task yang sederhana yaitu melayani pengunjung toko.

“ngomongin kerjaan orang terus, kalau kamu kerja apa byungchan?” celetuk seungwoo, mengetahui byungchan tidak mengatakan apa-apa lagi.

“aku pegawai biasa aja kok.” Jawab laki-laki yang ditanya, kembali mengalihkan pandangannya dari jalan pada seungwoo yang masih fokus menyetir, byungchan menyadari satu belokan lagi mereka akan sampai pada apartemen seungwoo.

“sekarang kamu gak kerja dong, chan?” tanya seungwoo lagi, membuat byungchan sadar kalau ia belum pernah mengangkat topik tentang pekerjaannya sama sekali, “atau kesini karena kerjaan?” bisa dirasakan usaha seungwoo yang presisten, ingin tahu, tapi byungchan urung menjawab.

Lidahnya kelu, enggan mengeluarkan sepatah kata. Pun saat mereka sampai di parkiran, byungchan buru-buru turun dan membawa kantung belanja membiarkan seungwoo membawa sisanya dan menyusul byungchan untuk membukakan pintu.

.

Seungwoo tidak pernah menyinggung pembicaraan terakhir mereka lagi. Hal itu membuat byungchan setengah bersyukur karena ia tidak perlu menjelaskan apapun. Maksudnya, siapa yang bisa memproses kalau dia datang ke sini untuk menyebarkan virus sehingga populasi di bumi bisa berkurang di masa depan. Terlebih, byungchan secara kebetulan menjadikan seungwoo sebagai perantara virus yang berasal dari dirinya sendiri. Dengan fakta ini, byungchan sangsi seungwoo akan menganggapnya waras.

Di sisi lain, byungchan jadi lebih memerhatikan pekerjaannya. Kembali memikirkan tujuannya bekunjung ke dua ribu sembilan belas yang jelas bukan untuk bermain-main. Malam itu, ia melirik pergelangan tangannya yang terpasang alat. Sebuah alat yang tidak pernah lepas dari pergelangannya, menampilkan lampu LED kecil yang mulai berubah warna menjadi merah, tanda kalau sebentar lagi ia harus kembali ke garis waktunya.

Lantas, keesokan harinya ia bangun lebih pagi dari seungwoo. Membuat sarapan serta kopi panas untuk mengawali hari. Seungwoo baru keluar dari kamarnya tepat saat byungchan selesai menata meja. “sarapan?” tanya byungchan yang dijawab dengan anggukan oleh seungwoo sebelum sang empu hilang dibalik pintu kamar mandi. Lima belas menit setelahnya seungwoo sudah duduk di depan meja makan lengkap dengan kemeja dan tas yang sudah siap dibawa.

“kamu bangun jam berapa?” tanya seungwoo seraya menyuap telur dadar buatan byungchan.

“nggak tahu, pagi pokoknya.” Jawab byungchan yang tidak mengalihkan pandangan dari seungwoo, menatap penuh harap pada laki-laki dihadapannya, menunggu reaksi.

Seungwoo menangkat kedua alisnya bingung, “kenapa?”

“enak, gak?” tanya byungchan langsung tanpa basa-basi.

Ada gumaman panjang sebelum laki-laki yang ditanya akhirnya memberikan jawaban, “bisa dimakan.”

Byungchan berdecih lantas memukul lengan seungwoo, “yang bener!” membuat seungwoo meloloskan tawa disela kunyahannya, “iya enak, byungchan.”

“kamu tuh, kelas pagi setiap hari ya?” tanya byungchan, mengingat bahwa seungwoo selalu berangkat pagi-pagi.

“nggak juga, emang aku biasain datang pagi aja, lumayan buat nyiapin materi.” Jawab seungwoo lalu menyesap kopinya. Laki-laki itu kemudian bangkit mengambil tas, berjalan langsung ke pintu keluar membuat byungchan berdiri dan mengikuti langkahnya.

“seungwoo, sebentar,” panggil byungchan, meminta atensi yang langsung diberi. Byungchan membuka kerah kemeja seungwoo dan membenahi posisi dasi yang terpasang. Dari jarak segini, byungchan dapat mencium aroma cologne yang seungwoo gunakan. Cepat-cepat ia rapikan kerah kemeja dan mundur satu langkah, “kamu gak bawa mobil?” tanya byungchan menunjuk kunci yang masih tergeletak di atas nakas samping televisi.

“aku lebih suka naik bus,” jawab seungwoo lantas memakai sepatunya. “aku berangkat, ya?”

“seungwoo aku boleh minta uang?” sahut byungchan lagi-lagi menahan seungwoo.

“hm?” seungwoo menatap byungchan bingung.

“aku.. mau ke toko kopi, boleh?” tanya byungchan, hati-hati tapi juga penuh harap.

Seungwoo memberikan senyuman, “boleh.” lalu mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, menyerahkannya ke byungchan lantas mengusak surai laki-laki di hadapannya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

.

Padahal rencananya byungchan hanya ingin meminta uang tiga kali. Rencananya ia hanya akan pergi ke toko kopi dan berinteraksi dengan orang sebanyak-banyaknya, atau mungkin ia akan berteman si penjaga toko supaya ia bisa berbicara dan tinggal berlama-lama di toko kopi. Tapi seungwoo sepertinya merasa tidak enak setelah hari dimana ia pertama kalinya ia meminta uang pada seungwoo.

Pikirnya, mungkin byungchan bosan di rumah. Setiap hari melakukan hal yang sama berulang kali, menghabiskan waktu sendirian di ruangan yang sama. jadi tiap sebelum berangkat ke kampus, seungwoo selalu meninggalkan beberapa lembar uang yang cukup untuk membeli dua gelas kopi. Lantas membuat byungchan hampir setiap hari pergi ke toko kopi yang sama.

“kak uchaaan!!” teriak seorang laki-laki dari balik bar area kasir seraya kakinya baru melewati pintu masuk utama.

“subiiin!” byungchan menghampiri bocah yang umurnya lebih muda darinya.

“kok tumben kamu jadi kasir?”

“iya, gantiin si Sese, kak uchan kok sore banget datangnya?”

Byungchan menunjukkan cengirannya, “tadi aku beresin rumah dulu.”

“yang biasa, kak?” tanya subin dibalas dengan anggukan.

“ciaa gimana sama pak dosen?” ujar subin dengan nada menggoda, ia kini tengah pindah ke balik mesin kopi untuk membuatkan pesanan byungchan, sementara bagian kasir di ambil alih oleh pegawai lain.

“eh? Ya gak gimana-gimana? Kamu katanya kenal sama seungwoo tapi kok gak pernah main bareng sih?” byungchan mendudukan tubuhnya di kursi bar, kursi yang selalu ditempati di hari sebelumnya.

“ya gimana orang cuma kenal karena tinggal satu gedung doang, papasan di lift aja jarang.” Jawab subin seraya menaruh gelas di hadapan byungchan. jawaban dari subin tak ayal membuat byungchan terkekeh, mengingat seungwoo memang jarang sekali keluar selain untuk pergi ke kampus. Acara ke supermarket kemarin pun terjadi karena seungwoo yang heboh ingin menunjukkan pada byungchan.

“tapi udah pernah ngobrol kan?” tanya byungchan

“pernah lah kak, makanya bisa tahu nama juga.” Subin memutar bola matanya, jengah dengan pertanyaan tdak berbobot yang diutarakan byungchan.

“besok-besok main ke unit aku deh makanya.”

“kamu udah ngomong ini berkali-kali tau, kak,” subin menghela napasnya dilebih-lebihkan, “lagian, itu unit kak seungwoo!”

“ya tapi aku lebih banyak ngabisin waktu itu unitnya dia, technically aku bisa ngundang kamu juga.”

Subin lagi-lagi memutar matanya, “ya, ya, terserah,”

“nanti malem aku bilang ke seungwoo loh ya? Bener ya?”

Subin tidak sempat menjawab karena ia harus menyiapkan pesanan lainnya, sehingga yang dilakukan byungchan adalah mengambil buku yang dijajakan di atas meja. Membolak-balikkan lamannya, mencari yang bisa membuatnya tidak merasa bosan sementara subin melakukan pekerjaannya.

Kopi yang tandas serta langit yang menggelap membuat byungchan mau tak mau ingkah dari toko kopi. Lambaian tangan dan suara subin mengiringi langkahnya keluar dari toko. Mengambil langkah lebar tapi tetap hati-hati, ia tahu sebentar lagi seungwoo pulang sehingga ia berusaha untuk sampai di rumah lebih dulu dari sang empu.

.

Suara petir yang menggelegar diiringi cahaya kilat yang terlihat dari jendela ruang tengah mengagetkan byungchan yang hendak menuangkan air panas. Terlihat beberapa tetes keluar dari mulut teko akibat lonjakan tubuh yang tiba-tiba. Perlahan ia menuangkan air panas tersebut ke dua cangkir yang berbeda. Suara air hujan yang secara konstan menyentuh kaca jendela apartemen menjadi latar pergerakan byungchan malam ini. matahari sudah lama tertidur sementara hujan tak kunjung pergi. Berkali-kali byungchan melirik pintu masuk, menunggu seungwoo yang biasanya tidak pernah pulang lewat dari jam enam sore.

Payung yang tertata rapi di samping rak sepatu membuat pikiran byungchan kembali mereka ulang, mengingat kalau tadi pagi seungwoo memang tidak mengambil salah satu payung padahal sudah berkali-kali byungchan ingatkan.

“duh, apa ketahan di halte ya?” byungchan bermonolog, menggigiti bibirnya untuk mengurangi rasa khawatir.

Seungwoo hampir tidak pernah menggunakan mobil pribadinya, laki-laki tersebut lebih suka menggunakan transportasi umum. Entah tujuannya untuk apa, padahal kalau dipikir-pikir lebih nyaman dan mudah memakai mobil untuk bolak-balik area kampus.

Cangkir byungchan sudah mulai dingin sementara belum ada tanda-tanda seungwoo pulang. Menyerah, ia bangkit dari duduknya lantas mencari mantel yang bisa ia pakai untuk menjemput seungwoo di halte terdekat, tempat biasanya seungwoo turun sebelum jalan ke daerah apartement.

Belum sempat ia membuka pintu, papan kayu tersebut terbuka menunjukkan laki-laki yang sedari tadi ia tunggu.

“Seungwoo? Astaga kamu basah banget..” ujar byungchan lantas menghampiri laki-laki yang masih bergeming di depan pintu.

“sini tasnya, kamu disitu dulu,” byungchan mengambil tas yang untungnya berbahan kulit, ia ambil beberapa tisu untuk mengelap air yang tersisa, “buka dulu jaket kamu, seungwoo, aku ambilin handuk.” Cepat-cepat ia keluarkan isi tas seungwoo, ditaruhnya di atas meja lantas tungkainya melangkah untuk mengambil handuk.

“agak nunduk sedikit, coba,” ujar byungchan saat ia menyampirkan handuk ke kepala seungwoo, laki-laki dihadapannya menurut. Kepala seungwoo diusak, rambutnya dikeringkan seraya pipinya ditepuk-tepuk pelan menghilangkan bulir-bulir air yang tinggal. Dapat byungchan lihat bibir laki-laki dihadapannya bergetar, membuat byungchan menarik kepalanya sedikit, memerhatikan dengan seksama lantas sadar kalau sekujur tubuh seungwoo gemetaran.

“seungwoo kamu-“ belum sempat menyelesaikan perkataannya, seungwoo serta merta memotong ucapan byuncghan dengan menyandarkan dahinya di pundak sebelah kanan milik byungchan.

“diluar-“ seungwoo mengucap, posisi mereka yang begitu dekat membuat byungchan dapat mendengar deru napas seungwoo, “petir” tepat setelah seungwoo mengatakan hal tersebut, kilat datang disertai suara gemuruh petir yang membuat keduanya sama-sama terlonjak. Seungwoo mengalungkan lengannya ke pinggang byungchan, menghapus jarak yang sudah tipis menjadi tidak ada.

Perlakuan seungwoo yang tiba-tiba membuat byungchan hampir oleng, dituntunnya seungwoo untuk turun sehingga mereka berdua terduduk di lantai. Suara petir yang masih saling bersautan membuat seungwoo membenamkan kepalanya di perpotongan leher byungchan, ia bersembunyi. Disini, byungchan dapat merasakan betapa mengigilnya laki-laki dalam dekapannya. Seungwoo kedinginan tapi ia tidak memerdulikan hal tersebut, seakan fokusnya selalu ditarik pada suara sahutan guntur yang tidak ingin didengar sama sekali.

Byungchan menepuk-nepuk punggung laki-laki itu, “seungwoo?”

“mandi ya?”

“seungwoo nanti kamu masuk angin.”

Byungchan menyampirkan handuk yang sempat dilupakan dan menaruhnya di leher seungwoo, menutup kedua telinga sang empu berharap suara petir tidak bisa menembus rungunya. Berharap dengan cara ini byungchan setidaknya bisa mendapatkan perhatian seungwoo.

Berhasil. Seungwoo menarik kepalanya perlahan dan menatap wajah byungchan bingung.

‘a-yo, ka-mar man-di.’ Byungchan menggerakkan bibirnya pelan-pelan, kepalanya ia gerakan untuk menunjuk pintu kamar mandi yang berada jauh di seberang ruangan. Seungwoo mengedipkan kedua matanya, bingung, tapi toh akhirnya ia bangkit juga mengikuti pergerakan byungchan.

Sesampainya di kamar mandi, byungchan menyuruh seungwoo memegang kedua telinganya sendiri sementara ia menyalakan air untuk menghalau suara petir. Setelahnya, kedua telapak seungwoo dibuka pelan, “kamu mandi dulu, gak kedengaran kan suara petirnya?” kata byungchan yang dijawab dengan anggukan pelan.

“aku ambilin baju bersih,” lantas byungchan menutup pintu kamar mandi dibelakangnya. Dua puluh menit kemudian seungwoo sudah selesai. Tidak berani keluar kamar mandi, seungwoo memanggil nama byungchan membuat yang dipanggil tak ayal menyembulkan kepalanya ke dalam kamar mandi.

Seungwoo sudah berganti baju, tapi keran masih sengaja dinyalakan. Byungchan tersenyum tipis, ia memasangkan earphone di kedua telinga seungwoo lantas menarik laki-laki itu keluar dari kamar mandi sebelum celananya ikut basah kena cipratan air dari keran. Byungchan kemudian menyerahkan ponsel yang terhubung pada earphone, yang seungwoo sadari adalah milkinya sendiri.

Byungchan menarik seungwoo ke kamarnya setelah mematikan keran air di kamar mandi. Rambutnya kembali dikeringkan sampai dirasa cukup, byungchan menyuruh seungwoo naik ke atas kasur tanpa kata-kata. Menyuruhnya untuk merebahkan diri seraya byungchan menarik selimut untuk membungkus setengah badan seungwoo.

Baru juga ia akan beranjak tapi pergelangan tangannya ditahan. Seungwoo menunjukkan ekspresi tanya sementara byungchan menggerakan bibirnya, ‘mi-num’ seraya sebelah tangannya yang bebas memberikan gestur kata yang ia katakan. Kepala seungwoo menggeleng, ia menggeser tubuhnya, menyuruh byungchan ikut merebahkan diri di sampingnya.

Ada sedikit rasa canggung yang byungchan coba usir. Tapi seungwoo sepertinya tidak merasakan apapun melihat ia langsung beringsut masuk ke dalam dekapan byungchan. lagi-lagi, seungwoo bersembunyi. Seperti earphone tersebut tidak cukup menulikan pendengarannya sejenak. Seperti ia butuh perlindungan yang lebih dari sekedar distraksi suara. Seperti dekapan byungchan adalah sesuatu yang selama ini ia cari-cari, yang ia butuhkan.

Keduanya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk masuk ke alam mimpi, salah satunya tidak sadar kalau warna lampu di pergelangan tangannya hampir sepenuhnya berganti.

.

Tidak mempan.

Byungchan gelisah, ia mondar-mandir di dalam kamar seungwoo. Laki-laki itu tanpa sadar mengigiti kuku tangannya, tanda kalau ia tengah khawatir. Byungchan melihat seungwoo yang tengah berbaring di atas kasurnya, sudah lebih dari dua hari seungwoo demam setelah ia pulang basah kuyup kehujanan. Sudah dua kali juga ia memberi seungwoo obat demam yang biasa dikonsumsi tapi seungwoo tidak menunjukkan tanda-tanda membaik.

Rungunya menangkap erangan yang lolos dari bibir seungwoo, membuyarkan lamunan sesaat byungchan dan mendapati seungwoo tengah mendendang selimut yang membalut tubuhnya. Byungchan menghampiri, “kenapa? Gak nyaman ya?” tanya byungchan menyibakan rambut seungwoo yang menutupi dahinya, yang hanya dijawab lenguhan tidak nyaman oleh seungwoo. “aduh, kamu bangun dulu deh, ganti baju” ujar byungchan setelah tahu kalau setengah kaus seungwoo basah karna keringat dingin.

Byungchan sedikit terkesiap melihat seungwoo yang sudah menanggalkan bajunya saat ia membalikan badannya setelah berhasil mengambil kaus ganti. Byungchan melemparkan kaus merah luntur pada seungwoo, membuat laki-laki itu merengut, “aku tuh lagi sakit,” ujarnya sambil cemberut.

“kamu sakit tapi banyak protes, di kompres gak mau, pakai selimut juga ogah-ogahan.” Jawab byungchan sewot, ia benar tidak mengerti padahal suhu tubuh seungwoo tinggi tapi sang empu tidak ingin memakai selimut dengan benar, tidak nyaman, katanya.

“kalau besok kamu masih demam kita ke dokter,” ujar byungchan memberitahu seungwoo yang sudah kembali merebahkan dirinya tanpa repot-repot menarik selimut yang barusan ia tendang.

Semoga besok seungwoo membaik, pikir byungchan.

Yang langsung ditangkis oleh realita karena tengah malam tiba-tiba seungwoo demamnya makin parah diiringi sekujur tubuhnya yang menggigil meski byungchan sudah memberi dua lapis selimut. Ia harus membawa seungwoo ke klinik, pikirnya dimana ada klinik yang buka duapuluh empat jam. Diambilnya ponsel seungwoo lantas ia cari klinik atau rumah sakit apapun yang buka dan jaraknya dekat dari tempat tinggal mereka.

.

Byungchan tidak pernah masuk ke instalasi gawat darurat, suasananya ramai meski jam sudah menunjukkan pukul satu lewat dua puluh pagi. Hampir nekat membawa seungwoo dengan mengendarai mobilnya lantas ia ingat kalau di dua ribu sembilan belas ada yang namanya taksi online, mereka berdua sampai di rumah sakit terdekat lima belas menit kemudian.

Seungwoo yang masih menggigil langsung ditangani oleh dokter yang berjaga, mungkin suster, entahlah byungchan tidak begitu memerhatikan tapi ia diminta menunggu selagi mereka memeriksa seungwoo.

Kukunya digigiti, lagi.

“wali dari han seungwoo?” sebuah suara menyapanya, setengah terlonjak byungchan menjawab “ya?”

“oh, saya mau menginformasikan kondisi pasien—“

Selebihnya tidak begitu didengarkan oleh byungchan tapi hal yang ia mengerti, kalau sakitnya seungwoo sama seperti beberapa pasien yang sudah datang sebelumnya, bahwa seungwoo merupakan pasien ke tigapuluh satu dengan gejala dan keluhan yang sama, bahwa seungwoo belum tentu bisa sembuh.

Byungchan masih tinggal di tempatnya, tidak ada niat beranjak padahal dokter (atau, suster?) yang berbicara dengannya tadi sudah pergi sejak lima belas menit yang lalu. Seungwoo masih terbaring di salah satu kasur, menunggu dipindahkan ke ruangan khusus. Netranya menangkap dua pasien masuk ke ruang instalasi gawat darurat sementara kepalanya melayang-layang sampai akhirnya matanya membulat sempurna.

Oh.

Oh.

Byungchan mengeluarkan ponsel milik seungwoo dari kantung jaket yang dikenakan. Memesan taksi untuk membawanya pulang ke rumah karena ia tahu obat yang tepat untuk menyembuhkan seungwoo. Byungchan membawa tungkainya lari, melebarkan langkahnya panjang-panjang berharap dengan ini dia dapat sampai ke apartemen seungwoo lebih cepat. Tidak sadar walau punya titel penjelajah, ia tidak bisa bermain-main dengan waktu. Tidak sadar walau bagaimanapun, ia tidak bisa mencurangi waktu. Tidak sadar kalau sebenarnya ia kehabisan waktu.

Warna lampu alat di pergelangan tangan sudah sudah berganti sepenuhnya.

Byungchan kembali dengan botol berisi cairan obat dalam genggamannya.

.

.

Mungkin sudah lebih dari dua puluh empat jam sejak byungchan akhirnya ditarik kembali ke rumahnya. Kalau seungwoo, pasti akan bilang begitu. Kepalanya terlampau penuh dengan hal-hal yang kurang relevan, sedikit melenceng dari tujuan misinya tapi jujur, kepada brie, kepada dinding abu-abu kamarnya, byungchan tidak merasa baik sama sekali.

Di pipinya terlihat jejak air mata yang mengering, berkali-kali ia menghapus tapi bulirnya selalu jatuh turun dari mata tiap kali ia ingin berhenti. Byungchan menghela napas sementara netranya masih menatap jendela yang diliputi bulir-bulir air hujan serta awan yang menampilkan kilatan petir yang saling bersahutan.

Seungwoo.

Aneh. Padahal byungchan tidak pernah merasa se-attached ini pada seseorang, apalagi yang baru ditemui. Ditambah kalau byungchan boleh kasar, ia menggunakan laki-laki itu untuk menjalankan tugasnya. Mungkin karena mereka berdua menghabiskan waktu dalam satu atap, meski tidak begitu lama, tapi bersama-sama selama dua puluh empat jam dikali tiga puluh tentu bisa membuatmu merasa se-attached ini kan.

Teleponnya berdering untuk yang kesekain kalinya malam ini tidak pula diindahakan lantas suara wooseok muncul setelahnya.

‘chan, ini wooseok. Gimana badannya udah enakkan?’ ada jeda sebentar yang diambil sebelum laki-laki itu melanjutkan, ‘kalau udah enakan, please hubungin gue secepatnya.’

Byungchan tidak bergeming, satu-satunya makhluk hidup yang bergerak hanyalah brie yang secara konstan mengusak kepalanya di pergelangan kaki byungchan, seakan tahu kalau tuannya sedang tidak baik-baik saja. Lagi-lagi teleponnya berdering, alih-alih mengangkat panggilan, byungchan mengangkat brie ke atas pangkuannya.

‘byungchan ini gue seungyoun. Sori ganggu, gue cuma mau ngabarin kalau misinya berhasil,”

Tidak peduli, byungchan memeluk brie dan memberikan kecupan konstan di puncak kepalanya. Sementara brie sendiri sudah mengeong kewalahan menghadapi afeksi yang diberi byungchan. kamar byungchcan kembali hening sampai suara seungyoun kembali menyapa,

‘hangyul, gak ada, chan, misinya berhasil dan hangyul gak ada.’ Ada isak yang lolos dari seungyoun yang terdengar oleh byungchan membuat sang empu mengernyit heran. Tangannya mengambil alat komunikasi dan langsung menyambungkan panggilan, “gimana, seungyoun?”

.

Adegan byungchan yang meraung-raung saat ditarik kembali dari dua ribu sembilan belas masih kerap terputar di kepalanya sendiri. Yang ada dalam pikiran byungchan saat itu adalah bagaimana caranya ia kembali lagi ke dua ribu sembilan belas karena seungwoo sedang sakit dan butuh obat yang ia genggam supaya bisa sembuh. Tidak mengindahkan suruhan wooseok untuk tenang, byungchan nekat membuat portal lagi tapi tubuhnya menolak. Byungchan terlampau lemah sampai ia kehilangan kesadarannya di tempat. Kejadian itu juga yang menjadi landasan seungyoun menghubunginya. Ingin byungchan tergelak, menuduh kalau seungyoun bercanda tapi nyatanya, laki-laki yang dikenal hanya lewat pembicaraan dengan hangyul tersebut benar-benar datang, utuh berdiri di depan pintu rumahnya.

“gue salah ngitung,” seungyoun memulai pembicaraannya tepat saat byungchan menaruh cangkir kopi untuknya, “kayaknya.”

“kayaknya?” byungchan menatap lawan bicaranya, penuh pertanyaan.

“harusnya nggak gini, ya kan? Harusnya yang terlibat di misi ini nggak kena, tapi.. tapi… kok-“

Byungchan menepuk punggung tangan seungyoun, “Tarik napas,” sahut byungchan menenangkan, “pelan-pelan jelasinnya, oke?”

Seungyoun mengangguk pelan, “kemaren tuh gua ngitung posibilitasnya kecepetan, biasanya gua selalu itung ulang tiga kali dulu, tapi karna deadline-nya mepet jadi gua kasih aja hasil yang ada, maksudnya, nggak gegabah juga, eh sedikit sih, ya intinya harusnya hangyul gak ikut ilang dan gua gatau harus gimana sekarang.” Seungyoun menjatuhkan kepalanya di atas meja, menimbulkan bunyi ‘duk’ yang terlalu kencang.

Byungchan menghela napasnya, kalau dipikir-pikir misi ini memang terlampau diburu-buru. Tapi ia juga tidak tahu harus bagaimana, misi ini saja sudah merubah sebagian besar puzzle yang sudah tersusun rapi. Dan byungchan tidak memiliki cukup keberanian untuk mengutak-atik sejarah dengan mencurangi waktu.

“bantuin gua balik ke dua ribu sembilan belas lagi, mau gak?” tanya byungchan.

Seungyoun mengangkat kepalanya dalam satu gerakan cepat, “ngapain? Gagalin misi lo?”

“gue mau ketemu seseorang.”

“seungwoo?”

“kok lo tahu namanya?”

“lo teriakin nama dia terus kemarin, fyi.”

Byungchan memutar bola matanya, sedikit malu dengan fakta tersebut, “yaudah, gue juga gak bisa ngapa-ngapain youn. Gue gak ngerti, gue cuma penjelajah waktu kan yang tugasnya ngitung itu elo.”

Seungyoun menghela napas panjang, “iya, salah gue.”

“gak gitu youn-“

“gue pengen bisa ngulang waktu deh,” sahut seungyoun tidak mengindahkan perkataan byunchan.

“gue pengen bisa berhentiin waktu,” timpalnya membuat seungyoun menatap byungchan yang wajahnya menunjukan raut nelangsa amat sangat, jelas-jelas kepalanya diliputi elegi.

“oke lah!” ujar seungyoun tiba-tiba, ia menegapkan tubuhnya. paham perkataan byungchan tanpa penjelasan lebih lanjut.

“apa?” tanya byungchan bingung dengan perkataan lawan bicaranya.

“gua bantuin lo balik ke dua ribu sembilan belas, tapi ada syaratnya,” perkataan seungyoun membuat byungchan menelengkan kepalanya, “bawa gue ke dua ribu sembilan belas juga.” lanjut seungyoun.

.

Boleh dikatakan rencana byungchan dan seungyoun sedikit nekat. Menyelinap masuk ke kantornya sendiri setelah semua orang sudah pulang bukan hal yang sulit mengingat mereka masih berstatus karyawan. Siapa yang akan curiga kalau mereka berdua datang seperti biasanya, menyapa sekuriti yang sedang berjaga dengan dalih ‘saya mau ambil barang yang ketinggalan pak’ lantas melenggangkan kaki seperti niat yang ada sejalan dengan perkataannya.

Byungchan masuk ke ruangan khusus tempat ia biasa melakukan misinya terlebih dahulu sementara seungyoun menghilang dibalik ruangannya untuk mengambil obat yang dapat membantu mereka berdua untuk tidak jatuh sakit, juga dapat membantu menyembuhkan seungwoo. Sebenarnya byungchan bisa pergi ke dua ribu sembilan belas dimana saja, tapi seungyoun bersikeras kalau lebih baik ia membuka portal di ruangan yang seperti biasa alih-alih ruangannya sendiri agar sekuriti tidak curiga.

“gua bawa enam, cukup?” tanya seungyoun di detik yang sama ketika ia membuka pintu dengan buru-buru.

“lebih dari cukup, sini cepet.” Seru byungchan tidak sabar, “pegang tangan gue jangan sampe lepas, ngerti?” jelas byungchan penuh penekanan.

Seungyoun mengangguk paham lantas menyesuakian posisinya berdiri di samping byungchan, tangannya mengamit milik yang lain dalam genggaman kuat. “ini legal gak sih?” seungyoun lantas terkekeh, merasa bodoh mempertanyakan hal ini di menit terakhir.

Byungchan ikut tertawa, “yang bener aja lo, no back off ya yon.” Ujar byungchan tapi sedetik kemudian ia melepas tautan tangan mereka, “eh bentar, lo bakal nyesel gak? Youn, gue mau tinggal di sana, lo kalau gak mau ikut juga gak apa.”

Seungyoun menatap manik mata byungchan yang penuh dengan determinasi, ia tahu tujuannya, ia telah menemukan rumahnya dan ia tahu kemana harus pulang. Sementara seungyoun yang baru saja kehilangan seseorang dan tidak bisa berbuat apa-apa dirasa cukup menjadi alasan untuk pergi, “gue udah gak punya rumah disini chan,” lantas ia kembali menautkan tangan mereka. seratus persen yakin dengan tindakannya.

“lo bakal nemuin rumah lo lagi, youn, promise.” dalam hati berharap kalau dengan ini mereka bisa memulai semuanya dari awal.

Seungyoun memberikan senyuman tulus, “promise.”

.

.

.

Pergerakan dalam genggaman tangannya membuat byungchan tak ayal membuka kedua mata perlahan. Oh, ketiduran. Pikir byungchan, baru sadar kalau sedari tadi ia terlelap. Kepalanya diangkat pelan-pelan membuat netranya bertemu dengan sepasang lainnya yang tengah berbaring di atas kasur putih.

“loh? bangun? Udah lama?” tanya byungchan.

Seungwoo, laki-laki yang tengah berbaring berdehem mengumpulkan suaranya sebelum menjawab, “lama, kayaknya.”

Mata seungwoo menatap laki-laki yang tengah terlelap di atas sofa kamar inap, “siapa?” tanyanya menunjuk dengan dagu.

“seungyoun, temanku, dia yang bantuin aku ngerawat kamu kemarin.” Jelas byungchan lantas bangun dari duduknya, berniat untuk mengambil air minum untuk seungwoo tapi tangannya ditahan.

“kamu gak mau minum?” tanya byungchan melihat tangannya digenggam oleh seungwoo yang tengah menggeleng, “nanti aja, sini naik.”

Byungchan membulatkan matanya saat seungwoo menggeser tubuhnya sendiri, membuat spasi di ranjang rumah sakit yang sudah sempit, “seungwoo yang bener aja—“

“berisik, cepet naik aku mau tidur lagi.” Seungwoo menarik lengan byungchan cukup keras, gestur paksaan yang membuat byungchan menuruti pinta seungwoo. Tubuh byungchan sedikit kaku saat seungwoo menaruh sebelah tangannya di pinggang byungchan, menariknya ke dalam dekapan tanpa rasa canggung sedikit pun. Sementara byungchan harus menyesuaikan ritme detak jantungnya terlebih dahulu sebelum akhirnya menyerah dan menyandarkan kepalanya di dada seungwoo.

“kamu kemarin hilang,” suara seungwoo terdengar begitu dekat membuat yang hati byungchan sedikit kewalahan.

“maaf,” byungchan menjawab dengan suara yang tidak lebih besar dari bisikan.

“kemarin aku bukan di ruangan ini,” sahut seungwoo lagi

“itu seungyoun yang urus,” jawab byungchan sekenanya, mengingat bagaimana seungyoun bisa membuat seungwoo dipindahkan ke ruang inap, rumit, bisa dijelaskan nanti kalau seungwoo masih penasaran. Byungchan mendongakkan kepalanya, “do you feel better now?”

“never been this better.” Jawab seungwoo, mengecup puncak kepala byungchan seraya menarik byungchan ke dalam dekapannya, menghapus jarak yang sudah tidak bersisa. Ia bisa merasakan rambut seungwoo bermain-main di belakang surainya, membuat byungchan kembali mengantuk.

“makasih ya, byungchan,” seungwoo kembali berbicara, “aku tahu, aku tahu semuanya,” byungchan mendengar perkataan seungwoo sama-samar seraya membiarkan kesadarannya direnggut oleh kantuk.

Perihal ini bisa dibicarakan nanti, pikirnya, yang penting sekarang ia punya seungwoo, begitu pula sebaliknya. Dan ada garis waktu baru yang membentang untuk mereka berdua lalui. Setidaknya, untuk saat ini byungchan sudah berada di rumahnya.

ㅡ 🌙

ㅡ tiga | perihal garis waktu, rumah dan kamu. (½)

Derap langkah terdengar menggema seraya seorang laki-laki melaju melalui lobby gedung yang sepi. Ia melemparkan senyum yang menampilkan lesung pipi sedalam samudra pada sekuriti yang menjaga pintu masuk. Cepat-cepat ia melangkah disusul seseorang yang datang dari arah belakang tangga darurat, dilemparkan kunci mobil terbang pada orang tersebut seraya mengutarakan ‘tolong ya, pak’ tanpa suara.

“-dah mah susah dibangunin, gua tuh nelpon lo berapa kali coba byungchan. lo dimana sih sekarang? Katanya udah jalan tapi udah lebih dari lima belas menit-“

Ditekannya tombol lift yang langsung terbuka menampilkan beberapa orang yang langsung keluar dari ruangan dua kali dua, laki-laki tersebut—byungchan, menyimpulkan senyum pada seseorang yang dikenal lantas menekan lantai sepuluh seraya pintu lift tertutup dan langsung melaju.

‘-lo doang sumpah, ini lima menit lagi pimpinan dateng dia udah ke sini dari ruangannya plis bilang kalo lo udah di HQ-“

“napas seok, liat ke belakang lo.” Ujar byungchan pada lawan bicaranya sementara yang disebutkan sontak memutar tubuhnya. Ada helaan napas lega yang lolos dari laki-laki yang lebih kecil, lantas dipukulnya bahu byungchan semena-mena.

“adudududuh!! Sakiiitt!” ada beberapa pasang mata memerhatikan tingkah mereka berdua tapi keduanya acuh.

“lo tuh ya! Susah banget sih disuruh kesini cepet!”

“ya, siapa yang ngadain rapat dadakan gini sih?”

Wooseok kembali menghela napasnya, “lo udah lihat berita belom sih? Jadi headline dimana-mana padahal.”

“gue literally baru bangun dan cabut kesini? Mana sempat?”

“lo gak mandi? Ewwww!” wooseok menjauh dari byungchan dan menutup hidungnya sebagai tindakan eksesif.

“mandi lah gila nih cium! Cepet!” byungchan menempelkan tubuhnya pada wooseok yang langsung mendorong bahunya, percuma, tenaga milik byungchan lebih besar karena lengahnya lelaki yang lebih kecil tersebut.

Detik yang sama, orang-orang yang hadir dalam ruangan langsung berdiri serempak seraya pimpinan memasuki ruang rapat bersama sekertaris dan dua bodyguard di belakangnya. Byungchan menjaga perangainya dan berdiri tegap di samping wooseok yang juga melakukan hal yang sama. Pimpinan Lee, begitu semua orang memanggil, menganggukkan kepalanya ringan lantas duduk di kursi khusus diiringi seluruh anggota rapat.

Byungchan mendapati hangyul duduk di sebelahnya, memberikan cengiran penuh rasa bersalah yang dijawab dengan gelengan kepala oleh byungchan.

Bocah ini datang lebih lambat tapi gue yang dimarahin sama si meong, ujarnya dalam hati.

Proyektor menampilkan angka presentase pertumbuhan penduduk, namun yang paling menarik perhatian byungchan adalah bagaimana angka empat belas triliun dibuat seakan-akan itu adalah hal yang buruk.

Oh, ini yang jadi headline berita hari ini. pikir byungchan setelah mendengar penjelasan seseorang dari divisi research. Ia mendengus pelan, fakta bahwa adanya teknologi regenerasi sel saat ini jelas mengurangi angka kematian, meski pada kenyataannya hanya golongan elitis yang mampu mendapatkan akses teknologi tersebut. Kemudian pembahasan tiba-tiba beralih ke human biologist dan juga sistem imun manusia saat ini. Kalau boleh jujur, byungchan tidak mengerti satu kata pun yang keluar dari orang tinggi berkacamata tersebut. Kepalanya sedikit pening karna langsung bergegas datang ke Head Quarter.

“Divisi Time, silahkan.” Perkataan dari pimpinan Lee menarik byungchan dari dalam kepalanya sendiri.

Wooseok berdiri seraya menghubungkan alat komunikasi yang terpasang di pergelangan tangannya. Layar proyektor berubah menampilkan gambar jam tangan sama persis dengan yang dipakai wooseok namun lebih detail. “kami sudah mengembangkan teknologi time set yang membantu time traveler untuk dapat kembali ke present time di waktu yang telah ditentukan,” ada jeda sebentar, seraya layar berganti wooseok melanjutkan, “sebelum time traveler pergi menjelajah waktu, alat ini disetel untuk time traveler dapat kembali di waktu tertentu agar misi dapat dipertanggungjawabkan entah berhasil ataupun gagal.”

“time traveler yang ditugaskan?” pimpinan lee meminta nama, wooseok sudah tahu hal ini sehingga dengan mantap ia menjawab.

“lee jinhyuk dan choi byungchan.”

.

Ruangan divisi time-ass (julukan yang diberi oleh jinhyuk dan disetujui seluruh anggota kecuali wooseok, meskipun begitu ia tidak bisa berbuat apapun untuk mengubahnya), dibuka lebar menampilkan byungchan yang misuh-misuh. Dibelakangnya ada wooseok dengan muka datar dan hangyul yang mengusap wajahnya lelah.

“gak bilang-bilang dulu, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, trus tiba-tiba nugasin gua buat time traveling nyebar virus tuh gimana sih anjir,” sang empu mendudukan dirinya di sofa tengah milik bersama lantas lanjut misuh, “trus masalahnya apa kalau penduduk bumi udah empat belas triliun, harusnya mereka udah bisa prediksi pas ngeluncurin robot blood cell itu,” laki-laki tesebut menghela napas kasar lantas mengeluh, “kenapa sih government makin lama makin absurd aja.”

“hush! Hati-hati kalo ngomong, lo tuh abdi negara ya.” Sahut jinhyuk yang sedari tadi bersembunyi di balik meja kerjanya.

“dih? Kok lo gak ikut rapat tadi sih bang?” hangyul ikut menghempaskan tubuhnya di atas sofa, di seberang byungchan yang sudah meluruskan kaki seakan ruangan tersebut milik nenek moyangnya.

“kasihan ruangan divisi gak ada yang jagain, takut dibawa orang.” Jawab jinhyuk disertai kekehan khasnya.

“yeee bilang aja males, eh tapi,” byungchan langsung terduduk bangun, “lo tahu kalau kita berdua bakal time travel bareng, hyuk?”

“yea, gue udah dikasih tahu sama orang dalem.” Jinhyuk menunjuk wooseok yang baru kembali dari ruangannya sendiri membawa gelas kosong untuk diisi kopi hitam kesukannya.

Byungchan memutar matanya kesal, “ucoook gue bisa nawar gak sih ini?”

“cak cok cak cok, gue tuh kepala divisi ya, yang sopanan dikit kek masih jam kerja ini.” sahut wooseok sembari menuangkan kopi ke dalam gelasnya.

“lo udah dapat file tentang misi ini? lebih detailnya gimana?” tanya byungchan.

Wooseok menggeleng, “nungguin seungyoun rampungin hitungannya dulu,” byungchan membulatkan matanya sudah siap mengomel lantas dipotong oleh wooseok, “buat estimasi tahun yang harus lo datengin supaya prediksi hitungan populasi yang turun juga pas.”

Helaan napas keluar untuk yang kesekian kalinya, “fine, gue gak bisa nawar apa-apa juga kan.”

Hangyul memberi tatapan apologetic, “ya gimana bang, orang cuma lo sama bang jinhyuk time traveler-nya di sini.” Perkataan yang paling muda disambut gumaman oleh byungchan, ia sudah balik merebahkan tubuhnya dan mata yang terpejam, memutuskan untuk tidur sebentar menggantikan waktu yang sempat diambil akibat dari rapat dadakan tadi.

Wooseok hanya menggelengkan kepalanya lantas berlalu masuk ke dalam ruangannya lagi. Sementara jinhyuk lanjut bermain game di komputernya dan hangyul mengikuti jejak byungchan.

.

Bukan mau wooseok ditarik keluar dari gedung alih-alih makan di kafetaria kantor. Tapi byungchan selalu punya cara untuk membawa sahabatnya bersentuhan dengan cahaya mentari, kali ini ia memaksa wooseok untuk berjalan ke resto india yang baru buka di sekitar kantor. Tempatnya cukup populer, bisa dilihat dari jumlah pengunjung yang datang meski jam makan siang sudah lewat satu jam yang lalu. Netra byungchan menemukan hangyul dan langusng melambaikan tangannya bahagia.

“yaelah sama seungyoun si bocil.” Sahut byungchan saat laki-laki yang duduk di hadapan hangyul turut menoleh.

Wooseok memberikan tatapan penuh makna pada byungchan membuat sang empu menyahut sewot, “apa? Mau makan sama jinhyuk juga?”

“marah-marah mulu apa nggak capek, byungchan?”

Byungchan menggumam lantas mengambil menu dari robot pelayan yang kemudian menunjukkan meja yang akan mereka tempati. Pelayan tersebut kemudian beranjak setelah byungchan dan wooseok menyebutkan pesanan masing-masing, meminta mereka untuk menunggu sebentar seraya makanannya disiapkan.

“dua ribu sembilan belas.”

“sori?”

“lo bakal time travelling ke dua ribu sembilan belas, chan.”

“tiga abad? Gak kurang jauh gap time nya, seok?” sahut byungchan sarkas.

Wooseok mengangkat bahu, “I know, lo harus jaga kesehatan ya, soalnya pas nyampe sana imun lo bakal turun banget, lebih dari biasanya karna gap time yang jauh.”

“ini ada jaminan gua bakal masih hidup gak sih nanti..”

“gue udah minta tim pharmacy naikin dosis obat yang bisa naikin imun lo pas disana. Please gak usah ekstra khawatir gini.”

“emang rencananya kapan sih misi ini dilakuin?”

“sepuluh hari dari sekarang, nanti lo sama jinhyuk mesti gladi dulu, ya nggak time travelling juga sih, Cuma step-stepnya aja.”

“teknisi yang bertugas?”

Wooseok menaikan kedua alisnya, seakan jawaban dari pertanyaan byungchan sudah terpampang jelas, “hangyul?”

“of fucking course”

“language, dear, lagian gue mana boleh megang alat sih.”

“kan jinhyuk yang traveling”

“justru karna jinhyuk yang traveling makanya gak boleh, nanti gue diam-diam nyetel waktunya lebih cepet gimana?”

Byungchan mendengus, “mana ada ya, lo berdua tuh pasangan ter-profesional yang pernah gue temuin.”

“berapa pasangan sih yang lo tahu di kantor ini selain gue jinyuk dan hangyul seungyoun?” sahut wooseok disambut dengan cengiran lebar byungchan.

Percakapan mereka berhenti saat pelayan dengan tampilan yangs sama dengan sebelumnya datang kembali bersama makanan pesanan mereka. entah robot ini sama dengan sebelumnya atau bukan tapi pelayan tersebut lantas pergi setelah ia menuangkan air mineral ke masing-masing gelas. Keduanya menikmati makanan mereka dalam diam sambil sesekali byungchan mengeluarkan celotehan tentang musik dan penyanyi yang bahkan wooseok belum pernah dengar lagunya.

.

Ini bukan kali pertama byungchan melakukan time travelling. Sebagai time traveler, kali pertama ia melakukan time traveling lebih ke arah kecelakan yang juga membuatnya tahu kalau ternyata ia seorang time traveler. Waktu itu byungchan masih duduk di sekolah menengah, sudah lelah belajar full time sampai sore lantas menghadiri kumpul ekstrakulikuler.

Sampai di rumah ia langsung merebahkan diri di lantai tidak mengindahkan kucingnya yang mengeong. Dalam pikirannya, byungchan sudah memberi makan brie, kucing putih dengan corak coklat, namun brie tidak berhenti mengeong. Penasaran, byungchan membuka kedua matanya, menyisir seluruh ruangan dan mendapati brie berada di bagian jendela luar yang kacanya tengah tertutup. Kenapa bisa dia ada di situ, byungchan sampai sekarang belum paham. Ia langsung melonjak untuk membuka kaca jendela tapi brie keburu tergelincir.

Ada dengungan kecil yang mengisi kepalanya sebelum brie kembali hadir di balik kaca jendela. Menapik rasa bingung, byungchan memilih cepat-cepat membuka kaca jendela dan menarik brie masuk ke dalam rumahnya lantas ia menutup kaca jendela dalam sekali hentak.

Tubuhnya gemetar dan brie mengendus-endus lengannya aktif, seakan paham akan kondisi byungchan dan bermaksud menenangkan majikannya.

“brie, yang tadi itu apa?”

Sore itu dihabiskan oleh byungchan dengan mengecek tiap laman pencarian dan membuka satu persatu artikel maupun jurnal tentang penjelajah waktu. Hal itu berujung pada beberapa percobaan kecil yang dalam pembelaannya diperlukan supaya ia bisa tahu bagaimana cara kerja kekuatan barunya itu. Dalam pencariannya juga ia menemukan forum berisi komunitas time traveler di kotanya, byungchan pikir itu menarik sehingga ia memutuskan untuk ikut bergabung. Di forum tersebut ia bertemu jinhyuk yang saat itu menggunakan nama panggilan Wei.

Berdasarkan beberapa percobaan kecil dan juga hasil bacaannya di internet, byungchan paham bahwa yang bisa ia lakukan hanyalah menjelajah waktu, dia bisa saja mencoba mengubah sesuatu tetapi yang ia dapatkan selebihnya akan berubah drastis dan apa-apa yang dialami sebelumnya hanya akan terdapat dalam memorinya.

Ia ingat dengan baik, satu hari temannya datang dengan kaki yang di gips, katanya kemarin ia jatuh dari sepeda karena remnya tidak bekerja dengan baik sehingga byungchan memutuskan untuk kembali ke hari sebelumnya, memberi saran pada temannya untuk ke bengkel sebelum pulang sekolah.

Dan saat byungchan kembali dari penjelajahannya, ia mengetahui bahwa ia belum mengerjakan pekerjaan rumah padahal semalam suntuk ia mengotak-atik rumus aljabar sampai kepalanya mau pecah, setidaknya dalam ingatannya.

Tidak terlalu banyak yang tahu tentang time traveler, begitupula byungchan yang menjadikan hal ini sesuatu yang sekretif. Namun ketika pemerintah mencari seorang penjelajah waktu sebagai salah satu syarat untuk daftar menjadi pegawai negeri, satu forum dibuat heboh oleh hal ini, termasuk byungchan. ia menghubungi wei dan menyuarakan pikirannya tentang hal ini, kemungkinan-kemungkinan terburuk yang langsung ditepis. Tidak ada salahnya mencoba begitu kata wei, sehingga ia memutuskan untuk ikut mendaftarkan diri bersama dengan wei—jinhyuk.

Sampai saat ini, sampai mereka sudah berdiri di posisi yang mereka capai, sampai dimana ia bisa menyebut dirinya sendiri abdi negara karena pada nyatanya pemerintah peduli tentang sejarah sehingga ingin mengganti beberapa kepingan puzzle tanpa merusak susunannya. Dan byungchan ada di dalamnya, ada dalam beberapa misi yang menyebutkan atas nama negara demi kebaikan bersama, ada bersama beberapa orang terpilih yang ikut membantunya di tiap misi yang ditugaskan.

Layaknya misi-misi yang lalu, gladi diperlukan bagi semua orang yang bertugas setidaknya satu kali sebelum menjelajah waktu. Hari ini, di ruang gladi sudah ada hangyul sebagai teknisi dan seungyoun selaku kepala divisi research, tugas utamanya menghitung probabilitas yang dapat terjadi lantas memilih salah satu yang terbaik di antaranya, tapi disini ia hanya diminta untuk mengontrol jalannya misi bersama dengan wooseok selalu kepala divisi time. Byungchan memasuki ruangan yang dihadiahi tatapan menghakimi dari wooseok, “gak telat kan?” tanyanya dengan suara sedikit lebih cempreng dari biasanya.

“yaaa, jinhyuk yang telat.” Sahut wooseok seraya memutar kedua bola matanya.

“yoo, gyul!” byungchan melambaikan tangannya, menyapa junior yang sudah berada di ruang teknisi yang dihalangi kaca lebar, lalu manggut sambil tersenyum manis pada seungyoun yang berdiri di samping hangyul.

“enaknya punya pacar” gugu byungchan, mendengus kecil ketika melihat interaksi hangyul dan seungyoun.

“makanya cari pacar lo”

“gue punya brie???”

“iya iya, kucing yang sudah berevolusi menjadi babi kecil”

Byungchan tergelak, “parah banget seok! Anak gue dikatain babi!”

“lo ngerasa gak sih dia tuh berat banget, parah tuh kucing makan apa aja sih?”

“normal padahal, kayaknya karena kerjaannya goler mulu deh.”

Dering telepon memutuskan pembicaraan sementara wooseok berjalan menjauh seraya mengucap ‘halo’. Byungchan sempat melirik nama dialer yang tidak asing, kepalanya tidak tahan untuk membuat asumsi-asumsi jelek.

“jinhyuk gak bisa ikut.” Wooseok memberi tahu setelah ia selesai dengan pembicaraannya di telepon.

“gladi? Misi?” tanya byungchan, takut-takut.

“both” wooseok meringis, “dia flu, kayaknya karena semalem kehujanan pulang dari tempat gue.”

“yah, solo trip lagi deh gue” keluh byungchan.

“sori, chan.”

“santai lah bilangin jinhyuk istirahat yang bener.”

“gue yang bilang sori, serius, maaf ya.”

“apasih, kayak gue gak pernah solo aja deh.” Byungchan memukul ringan bahu sebelah kanan wooseok, meyakinkan lawan bicaranya kalau ia baik-baik saja menjalankan misi ini sendiri. Tidak masalah sama sekali.

Wooseok melambaikan tangannya, menyuruh seungyoun dan hangyul keluar dari ruang teknisi. “sini, kita mau mulai.”

“loh? bang jinhyuk?”

Wooseok memberikan senyum apologetik, “sakit, gyul.”

“bukannya dijaga kesehatan tuh anak, udah tau lagi tugas.” ujar hangyul

“dah dah, yuk mulai, apa aja yang harus diperhatiin kali ini?” bbyungchan buru-buru memotong, membuat semuanya fokus lagi.

Kali ini seungyoun angkat bicara, “yang paling krusial sih karena gap time nya jauh banget, lo pas sampai sana bakalan drop banget chan, jadi gua bakal bekalin dua botol obat cair yang kayak biasa tapi dosisnya agak naik sedikit.” Laki-laki itu mengeluarkan botol berisi cairan warna ungu semi transparan dari jas labnya, “karena kita gak tahu seberapa parah lo nanti, coba minum satu dulu aja pas sampe, kalo ngerasa kuat lo boleh langsung gerak, kalo masih pusing atau ngerasa gak enak boleh diminum botol keduanya.” Ia menyerahkan botol tersebut pada byungchan yang langsung memerhatikan dengan seksama.

“kalau langsung nenggak dua, gue bisa mati gak?”

Wooseok memukul belakang kepala byungchan, “gak usah ngomong aneh-aneh.”lantas dibalas pelototan marah, “lanjut gyul”

“ini,” hangyul mengeluarkan alat yang lebih mirip jam tangan daripada teknologi canggih yang sudah dijelaskan wooseok kemarin, “nanti gue set tahun yang dituju, rentang waktu lo disana, sama reminder. Yang terpasang di alat lo bakal terus gua monitor di sana,” hangyul menunjuk ruang teknisi dengan ibu jarinya, “cara kerja remindernya ada yang gua ubah karena misi yang lalu, bunyi drawing some attention, jadi gua ganti ke led,” ada jeda sebentar saat hangyul mengutak atik jam tangan tersebut setelah dipasangkan di lengan byungchan, “lednya bakal muncul warna hijau tapi semakin lo deket ke waktu kepulangan lo, dia bakal berubah jadi merah pelan-pelan.” Jelas hangyul panjang.

“gue tuh cuma harus interaksi sama orang aja kan?” tanya byungchan yang masih memerhatikan alat di pergelangan tangannya.

“sebanyak mungkin, kalo perlu lo ke tempat yang banyak orang kayak festival atau pertandingan gitu.” Papar wooseok.

“oh iya, perlu diingat kalau dalam tiga puluh detik lo gak balik di waktu yang udah ditentuin, gue bisa narik lo balik ya, jadi please be decent.” Ujar hangyul mengingatkan.

Byungchan menatap rekan kerjanya satu persatu, “cobain lah yuk? Yakali gladi time travel gak time travel.”

Wooseok hampir tidak memperbolehkan tapi saat meihat wajah hangyul yang bersemangat serta seungyoun yang ikut-ikutan antusias (melihat kekasihnya, tentu saja), ia mengizinkan dengan catatan hanya kembali ke beberapa bulan ke belakang.

.

Lima hari kemudian, byungchan sudah kembali hadir di ruangan yang sama. setelah seminggu kebelakang waktunya lebih banyak dihabiskan dengan work out dan beristirahat untuk perjalanan misi terpanjang dan terjauh yang akan dia hadapi. Sebuah tindakan antisipasi yang diagendakan oleh wooseok, dia tidak mau byungchan sampai jatuh sakit. Kekhawatiran wooseok sampai pada titik dimana ia mengatur menu makanan byungchan, setidaknya saat ia makan bersama di HQ.

Byungchan melirik seungyoun dan sekertaris pimpinan Lee yang duduk tepat di samping hangyul, di ruangan teknisi. Sementara kepalanya masih menghadap wooseok yang serius menyetel alat di pergelangan tangannya. Kali ini byungchan memakan pakaian yang sepertinya sesuai dengan tahun yang akan dituju, entahlah, wooseok yang menyiapkan kemeja flannel warna biru dengan kaus polos putih didalamnya serta celana denim yang pas di kakinya.

“ini obatnya, jangan lupa diminum ya.” Wooseok memberikan dua botol obat cair yang dosisnya sudah disesuaikan.

“satu dulu aja kan, seok?” tanya byungchan, memastikan. Wooseok menganggukkan kepalanya, “tunggu tiga puluh menit sampai setengah jam, kalau masih gak enak atau pusing, minum lagi ya.” Ujar wooseok. Suaranya entah mengapa jadi lembut, nadanya berbeda dari biasanya. Rasa-rasanya lebih seperti ucapan ke teman daripada rekan sejawat.

“iyaa meng, jangan khawatir.” Jawab byungchan lantas memamerkan deretan giginya yang sepaket dengan lesung pipi.

“mang meng mang meng,” wooseok sewot tapi bibirnya tersenyum simpul, “maaf ya harus pergi sendiri, besok marahin jinhyuk aja.” Lanjut laki-laki yang lebih pendek darinya.

Byungchan menahan diri untuk tidak memutar bola matanya, mengingat bahwa disini ada sekertaris pimpinan Lee yang ikut mengontrol misi jadi ia merasa harus menjaga tingkahnya, “harusnya jinhyuk yang minta maaf tahu, bukan elo.” Sahut byungchan.

“ya tapi jinhyuknya lagi sakit gak boleh kesini jadinya gue yang minta maaf” dalih wooseok, “memangnya kita hidup di jaman apa sih ya ada yang namanya teknologi.” Sahut byungchan yang disambut ringisan wooseok.

“I’ll be okay, seok. Serius. Everything will be fine.” Ujar byungchan saat tungkai wooseok menjauh darinya. Setelah ia mengatakan hal itu, byungchan mengangkat tangannya supaya hangyul melihat, sebuah kode kalau ia sudah siap. Hangyul balas mengangkat tangannya, tanda kalau dia juga sudah siap.

Dalam sekejap, semuanya menjadi blur dan byungchan menarik dirinya kembali ke tiga ratus tahun sebelumnya.

.

Dalam bayangan byungchan, dua ribu sembilan belas tidak sesepi ini. bohong kalau kemarin-kemarin ia sama sekali tidak mencari info apapun tentang dua ribu sembilan belas. Laman berita kebanyakan menampilkan sederet momen-momen tidak enak seperti demontrasi yang terjadi di hongkong atau kebakaran hutan amazon.

Yang tidak byungchan kira adalah, kepalanya lantas membawa dirinya ke sebuah plaza luas yang dikelilingi gedung bertingkat tanpa tanaman apapun. Aneh, di tahun ini tanaman berdiri sendiri di atas elemen tanah yang dipijak oleh tungkainya. Sementara di present time-nya, seluruh bangunan diselimuti tanaman karena memang begitu adanya.

‘ah, harus minum obat.’ Pikirnya saat sudah dapat merasakan tubuhnya seutuhnya. Ia menenggak satu botol dan membuang botol kosong ke tempat sampah terdekat, setidaknya, semoga perkiraannya benar.

Tungkainya melangkah, mencari-cari penduduk sekitar. Di tempat seluas ini, byungchan yakin ada banyak manusia, ia hanya tidak tahu dimana mereka berada. Tubuhnya sampai ke sebuah koridor yang lantas disusuri olehnya, oh, ada beberapa orang, akhirnya byungchan bernapas lega. Secara sadar ia mengikuti sekumpulan laki-laki dan perempuan yang usianya sekitar duapuluhan. Mahasiswa, sepertinya, dilihat dari map dan notebook yang dibawa serta tas yang tersampir di tubuh mereka.

Byungchan melirik ruangan yang dilewatinya, melihat ruangan yang ditata seperti semi-hall dan papan warna putih terpasang di depannya. Benar, ruang kelas, sepertinya byungchan sedang berada di sebuah universitas. Sepinya gedung menandakan bahwa ini masih jam kelas, membuat sebuah ide gila terlintas di kepalanya.

Sudah lebih dari tiga puluh menit ia berpetualang mengitari gedung sekitar. Byungchan bisa merasakan peluh di pelipisnya. Tapi netranya masih belum menemukan kelas yang akan dimulai, hanya dua kondisi, entah ruangan tersebut telah kosong atau ruangan tersebut sudah ada dosen yang mengajar. Hampir saja byungchan nekat masuk ke dalam kelas yang sudah kondusif. Namun saat tangannya baru menyentuh handle pintu, suara berat seorang laki-laki menghentikan pergerakannya.

“kalau saya jadi kamu, saya gak akan masuk. Prof kim gak suka kelasnya diganggu oleh mahasiswa terlambat.” Begitu katanya.

Diputarnya tubuh byungchan, gesture normal atas penasaran siapa pemilik suara yang mengintrupsinya. Ia mendapati seorang laki-laki berhidung mancung dengan senyum teduh tapi kerlingan matanya mengintimidasi, “kamu mahasiswa, kan?”

“ah, eh, iya, kamu juga?” tanya byungchan, terang-terangan memerhatikan pakaian yang dikenakan lawan bicaranya. Kemeja dan celana bahan, terlalu rapi untuk mahasiswa. jangan bilang kalau-

“asisten dosen, sayangnya,” shit, umpat byungchan dalam hati.

“oh, maaf, sir.”

“kamu mahasiswa pindahan ya? Kayaknya saya baru lihat kamu disini?” tanyanya lebih lanjut.

“iya, baru hari pertama.” Jawab byungchan sekenanya, tidak sepenuhnya berbohong karena ini memang hari pertama dia di dua ribu sembilan belas.

“kamu harus hati-hati sama penampilanmu.”

“gimana?”

“ya, tampilanmu kayak yang nggak mau kuliah.”

Byungchan melirik kebawah, pakaiannya memang kurang pantas tapi bukannya tidak sopan. Terlebih, ia tadi melihat ada yang berpenampilan sama seperti dia kok.

“eh, saya ngalangin ya, maaf.” Kata byungchan mengabaikan ucapan lawan bicaranya seraya menyingkir. Ingin menyudahi percakapan aneh ini lantas pergi meninggallkan orang asing penuh penghakiman di hadapannya. Tapi semesta tidak setuju, kakinya yang seharusnya stabil tiba-tiba kehilangan keseimbangan membuat sang empu terhuyung.

Blur.

Kepalanya jadi berat akibat pergerakan tiba-tiba. Mungkin kalau tidak ada tangan kokoh yang menahannya, byungchan sudah jatuh tersungkur di lantai. Lantas, semuanya berubah menjadi gelap. si penjelajah waktu kehilangan kesadarannya di depan orang asing, seorang penduduk asli dari dua ribu sembilan belas.

.

.

“maaf ya, maaf, saya gak ada maksud” byungchan merasa beberapa bagian tubuhnya dipegang oleh seseorang yang tidak berhenti meminta maaf

.

Kali ini byungchan mendengar suara yang sama, “sekali lagi maaf, saya janji saya bukan orang jahat” disusul dengan suara pintu ditutup.

.

Pipinya ditepuk-tepuk pelan, “minum obat dulu” lantas mulutnya penuh dengan cairan pait yang ditelan paksa.

.

Dingin, byungchan tahu tubuhnya gemetar tapi matanya enggan terbuka. Tangannya meraba-raba, mencari selimut untuk ditarik menutupi dagu, tapi tidak berhasil sampai ada tangan yang ikut membantu. Penasaran, ia memaksa kelopaknya untuk terbuka tapi matanya belum siap dengan cahaya lampu.

“sshhh, go back to sleep, it’s okay, you’re okay.”

Kalimat terakhir yang byungchan dengar sebelum kesadarannya ditarik perlahan. Dia kembali tidur.

.

Byungchan menggeliat, tidak tahan akan suhu tubuh yang terlampau panas dan pusing yang dirasa. Ia merasa tenggorokannya kering, kepalanya meneriakkan air putih. Akhirnya ia membuka matanya, suhu tubuhnya terlalu panas membuat matanya jadi berair, ia mengerjap berkali-kali. Ia mencoba untuk mengubah posisi tubuhnya menyandar sementara seseorang datang menghampiri ranjang, “mau apa, hm? Udah baikan?” dapat dilihat laki-laki itu adalah orang yang sama dengan yang ditemuinya di depan kelas.

Menggeleng pelan, byungchan menjawab, “air..” Dengan sigap laki-laki itu menyerahkan gelas yang sejak tadi ada di atas nakas. Beberapa teguk gelas tersebut kembali ke tangan laki-laki asing dalam kondisi kosong dan byungchan yang langsung menyamankan posisinya, kembali tidur.

.

.

Kepalanya masih pusing ketika ia akhirnya bisa membuka matanya tanpa paksaan. Dahinya terasa berat, ia mengangkat sebelah tangannya dan mendapati plester menutupi seluruh permukaan dahi. Penurun demam, sepertinya. Lantas ia lepas seraya tangannya yang lain menyangga tubuhnya untuk bangun dari posisi rebah. Bisa dirasakan kepalanya berputar sedikit, tapi masih bisa ditahan.

Akhirnya byungchan bisa sepenuhnya melihat ruangan yang menjadi tempat singgahnya selama ini. Mungkin ini yang dinamakan studio apartment, unit yang didinominasi dengan warna abu-abu dan putih. Ia menilik tubuhnya, tersadar kalau ia bukan memakai pakaian miliknya.

Ah, byungchan baru ingat kalau dia belum meminum satu botol lagi obat yang dibawa. Terlalu fokus mencari kelas membuatnya tidak mengindahkan kondisi tubuhnya sendiri. dan tentu saja seseorang yang membantunya ini tidak tahu kalau botol di celana denimnya itu adalah obat. Tapi kepalanya ingat kalau ia pernah menelan cairan pahit, apa itu obatnya.

Kedua telapak kaki milik byungchan akhirnya menyentuh lantai yang dingin. Matanya menyisir furnitur yang ada dalam ruangan, ada meja makan putih didampingin dua kursi dengan warna senada, lantas dapur yang terlampau rapi, mungkin jarang digunakan oleh pemiliknya. Tungkainya melangkah perlahan membawanya mengelilingi apartement dan mendapati seorang laki-laki tengah tertidur di atas sofa berwarna khaki di ruang tengah, ditemani televisi yang menyala tanpa suara.

Matanya membulat melihat pergerakan kecil laki-laki tersebut lalu terbangun, membuka kelopaknya dan menyadari byungchan tengah beridiri di dekatnya.

“kok bangun? Udah enakan?” tanya laki-laki tersebut.

Byungchan menganggukkan kepalanya, “maaf udah ngerepotin, makasih udah mau urus aku.” ia memajukan bibirnya, merasa tidak enak dengan laki-laki yang sudah merawatnya.

“maaf juga bawa kamu kesini, saya gak nemu kartu identitas kamu,” laki-laki tersebut bangun, lantas berjalan mengambil segelas air. “oh, saya juga belum tahu nama kamu?” tanyanya setelah ia meneguk air putih.

“byungchan, kalau kamu?”

“seungwoo, han seungwoo.”

ㅡ 🌙

ㅡ tiga | perihal garis waktu, rumah dan kamu.

Derap langkah terdengar menggema seraya seorang laki-laki melaju melalui lobby gedung yang sepi. Ia melemparkan senyum yang menampilkan lesung pipi sedalam samudra pada sekuriti yang menjaga pintu masuk. Cepat-cepat ia melangkah disusul seseorang yang datang dari arah belakang tangga darurat, dilemparkan kunci mobil terbang pada orang tersebut seraya mengutarakan ‘tolong ya, pak’ tanpa suara.

“-dah mah susah dibangunin, gua tuh nelpon lo berapa kali coba byungchan. lo dimana sih sekarang? Katanya udah jalan tapi udah lebih dari lima belas menit-“

Ditekannya tombol lift yang langsung terbuka menampilkan beberapa orang yang langsung keluar dari ruangan dua kali dua, laki-laki tersebut—byungchan, menyimpulkan senyum pada seseorang yang dikenal lantas menekan lantai sepuluh seraya pintu lift tertutup dan langsung melaju.

‘-lo doang sumpah, ini lima menit lagi pimpinan dateng dia udah ke sini dari ruangannya plis bilang kalo lo udah di HQ-“

“napas seok, liat ke belakang lo.” Ujar byungchan pada lawan bicaranya sementara yang disebutkan sontak memutar tubuhnya. Ada helaan napas lega yang lolos dari laki-laki yang lebih kecil, lantas dipukulnya bahu byungchan semena-mena.

“adudududuh!! Sakiiitt!” ada beberapa pasang mata memerhatikan tingkah mereka berdua tapi keduanya acuh.

“lo tuh ya! Susah banget sih disuruh kesini cepet!”

“ya, siapa yang ngadain rapat dadakan gini sih?”

Wooseok kembali menghela napasnya, “lo udah lihat berita belom sih? Jadi headline dimana-mana padahal.”

“gue literally baru bangun dan cabut kesini? Mana sempat?”

“lo gak mandi? Ewwww!” wooseok menjauh dari byungchan dan menutup hidungnya sebagai tindakan eksesif.

“mandi lah gila nih cium! Cepet!” byungchan menempelkan tubuhnya pada wooseok yang langsung mendorong bahunya, percuma, tenaga milik byungchan lebih besar karena lengahnya lelaki yang lebih kecil tersebut.

Detik yang sama, orang-orang yang hadir dalam ruangan langsung berdiri serempak seraya pimpinan memasuki ruang rapat bersama sekertaris dan dua bodyguard di belakangnya. Byungchan menjaga perangainya dan berdiri tegap di samping wooseok yang juga melakukan hal yang sama. Pimpinan Lee, begitu semua orang memanggil, menganggukkan kepalanya ringan lantas duduk di kursi khusus diiringi seluruh anggota rapat.

Byungchan mendapati hangyul duduk di sebelahnya, memberikan cengiran penuh rasa bersalah yang dijawab dengan gelengan kepala oleh byungchan.

Bocah ini datang lebih lambat tapi gue yang dimarahin sama si meong, ujarnya dalam hati.

Proyektor menampilkan angka presentase pertumbuhan penduduk, namun yang paling menarik perhatian byungchan adalah bagaimana angka empat belas triliun dibuat seakan-akan itu adalah hal yang buruk.

Oh, ini yang jadi headline berita hari ini. pikir byungchan setelah mendengar penjelasan seseorang dari divisi research. Ia mendengus pelan, fakta bahwa adanya teknologi regenerasi sel saat ini jelas mengurangi angka kematian, meski pada kenyataannya hanya golongan elitis yang mampu mendapatkan akses teknologi tersebut. Kemudian pembahasan tiba-tiba beralih ke human biologist dan juga sistem imun manusia saat ini. Kalau boleh jujur, byungchan tidak mengerti satu kata pun yang keluar dari orang tinggi berkacamata tersebut. Kepalanya sedikit pening karna langsung bergegas datang ke Head Quarter.

“Divisi Time, silahkan.” Perkataan dari pimpinan Lee menarik byungchan dari dalam kepalanya sendiri.

Wooseok berdiri seraya menghubungkan alat komunikasi yang terpasang di pergelangan tangannya. Layar proyektor berubah menampilkan gambar jam tangan sama persis dengan yang dipakai wooseok namun lebih detail. “kami sudah mengembangkan teknologi time set yang membantu time traveler untuk dapat kembali ke present time di waktu yang telah ditentukan,” ada jeda sebentar, seraya layar berganti wooseok melanjutkan, “sebelum time traveler pergi menjelajah waktu, alat ini disetel untuk time traveler dapat kembali di waktu tertentu agar misi dapat dipertanggungjawabkan entah berhasil ataupun gagal.”

“time traveler yang ditugaskan?” pimpinan lee meminta nama, wooseok sudah tahu hal ini sehingga dengan mantap ia menjawab.

“lee jinhyuk dan choi byungchan.”

.

Ruangan divisi time-ass (julukan yang diberi oleh jinhyuk dan disetujui seluruh anggota kecuali wooseok, meskipun begitu ia tidak bisa berbuat apapun untuk mengubahnya), dibuka lebar menampilkan byungchan yang misuh-misuh. Dibelakangnya ada wooseok dengan muka datar dan hangyul yang mengusap wajahnya lelah.

“gak bilang-bilang dulu, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, trus tiba-tiba nugasin gua buat time traveling nyebar virus tuh gimana sih anjir,” sang empu mendudukan dirinya di sofa tengah milik bersama lantas lanjut misuh, “trus masalahnya apa kalau penduduk bumi udah empat belas triliun, harusnya mereka udah bisa prediksi pas ngeluncurin robot blood cell itu,” laki-laki tesebut menghela napas kasar lantas mengeluh, “kenapa sih government makin lama makin absurd aja.”

“hush! Hati-hati kalo ngomong, lo tuh abdi negara ya.” Sahut jinhyuk yang sedari tadi bersembunyi di balik meja kerjanya.

“dih? Kok lo gak ikut rapat tadi sih bang?” hangyul ikut menghempaskan tubuhnya di atas sofa, di seberang byungchan yang sudah meluruskan kaki seakan ruangan tersebut milik nenek moyangnya.

“kasihan ruangan divisi gak ada yang jagain, takut dibawa orang.” Jawab jinhyuk disertai kekehan khasnya.

“yeee bilang aja males, eh tapi,” byungchan langsung terduduk bangun, “lo tahu kalau kita berdua bakal time travel bareng, hyuk?”

“yea, gue udah dikasih tahu sama orang dalem.” Jinhyuk menunjuk wooseok yang baru kembali dari ruangannya sendiri membawa gelas kosong untuk diisi kopi hitam kesukannya.

Byungchan memutar matanya kesal, “ucoook gue bisa nawar gak sih ini?”

“cak cok cak cok, gue tuh kepala divisi ya, yang sopanan dikit kek masih jam kerja ini.” sahut wooseok sembari menuangkan kopi ke dalam gelasnya.

“lo udah dapat file tentang misi ini? lebih detailnya gimana?” tanya byungchan.

Wooseok menggeleng, “nungguin seungyoun rampungin hitungannya dulu,” byungchan membulatkan matanya sudah siap mengomel lantas dipotong oleh wooseok, “buat estimasi tahun yang harus lo datengin supaya prediksi hitungan populasi yang turun juga pas.”

Helaan napas keluar untuk yang kesekian kalinya, “fine, gue gak bisa nawar apa-apa juga kan.”

Hangyul memberi tatapan apologetic, “ya gimana bang, orang cuma lo sama bang jinhyuk time traveler-nya di sini.” Perkataan yang paling muda disambut gumaman oleh byungchan, ia sudah balik merebahkan tubuhnya dan mata yang terpejam, memutuskan untuk tidur sebentar menggantikan waktu yang sempat diambil akibat dari rapat dadakan tadi.

Wooseok hanya menggelengkan kepalanya lantas berlalu masuk ke dalam ruangannya lagi. Sementara jinhyuk lanjut bermain game di komputernya dan hangyul mengikuti jejak byungchan.

.

Bukan mau wooseok ditarik keluar dari gedung alih-alih makan di kafetaria kantor. Tapi byungchan selalu punya cara untuk membawa sahabatnya bersentuhan dengan cahaya mentari, kali ini ia memaksa wooseok untuk berjalan ke resto india yang baru buka di sekitar kantor. Tempatnya cukup populer, bisa dilihat dari jumlah pengunjung yang datang meski jam makan siang sudah lewat satu jam yang lalu. Netra byungchan menemukan hangyul dan langusng melambaikan tangannya bahagia.

“yaelah sama seungyoun si bocil.” Sahut byungchan saat laki-laki yang duduk di hadapan hangyul turut menoleh.

Wooseok memberikan tatapan penuh makna pada byungchan membuat sang empu menyahut sewot, “apa? Mau makan sama jinhyuk juga?”

“marah-marah mulu apa nggak capek, byungchan?”

Byungchan menggumam lantas mengambil menu dari robot pelayan yang kemudian menunjukkan meja yang akan mereka tempati. Pelayan tersebut kemudian beranjak setelah byungchan dan wooseok menyebutkan pesanan masing-masing, meminta mereka untuk menunggu sebentar seraya makanannya disiapkan.

“dua ribu sembilan belas.”

“sori?”

“lo bakal time travelling ke dua ribu sembilan belas, chan.”

“tiga abad? Gak kurang jauh gap time nya, seok?” sahut byungchan sarkas.

Wooseok mengangkat bahu, “I know, lo harus jaga kesehatan ya, soalnya pas nyampe sana imun lo bakal turun banget, lebih dari biasanya karna gap time yang jauh.”

“ini ada jaminan gua bakal masih hidup gak sih nanti..”

“gue udah minta tim pharmacy naikin dosis obat yang bisa naikin imun lo pas disana. Please gak usah ekstra khawatir gini.”

“emang rencananya kapan sih misi ini dilakuin?”

“sepuluh hari dari sekarang, nanti lo sama jinhyuk mesti gladi dulu, ya nggak time travelling juga sih, Cuma step-stepnya aja.”

“teknisi yang bertugas?”

Wooseok menaikan kedua alisnya, seakan jawaban dari pertanyaan byungchan sudah terpampang jelas, “hangyul?”

“of fucking course”

“language, dear, lagian gue mana boleh megang alat sih.”

“kan jinhyuk yang traveling”

“justru karna jinhyuk yang traveling makanya gak boleh, nanti gue diam-diam nyetel waktunya lebih cepet gimana?”

Byungchan mendengus, “mana ada ya, lo berdua tuh pasangan ter-profesional yang pernah gue temuin.”

“berapa pasangan sih yang lo tahu di kantor ini selain gue jinyuk dan hangyul seungyoun?” sahut wooseok disambut dengan cengiran lebar byungchan.

Percakapan mereka berhenti saat pelayan dengan tampilan yangs sama dengan sebelumnya datang kembali bersama makanan pesanan mereka. entah robot ini sama dengan sebelumnya atau bukan tapi pelayan tersebut lantas pergi setelah ia menuangkan air mineral ke masing-masing gelas. Keduanya menikmati makanan mereka dalam diam sambil sesekali byungchan mengeluarkan celotehan tentang musik dan penyanyi yang bahkan wooseok belum pernah dengar lagunya.

.

Ini bukan kali pertama byungchan melakukan time travelling. Sebagai time traveler, kali pertama ia melakukan time traveling lebih ke arah kecelakan yang juga membuatnya tahu kalau ternyata ia seorang time traveler. Waktu itu byungchan masih duduk di sekolah menengah, sudah lelah belajar full time sampai sore lantas menghadiri kumpul ekstrakulikuler.

Sampai di rumah ia langsung merebahkan diri di lantai tidak mengindahkan kucingnya yang mengeong. Dalam pikirannya, byungchan sudah memberi makan brie, kucing putih dengan corak coklat, namun brie tidak berhenti mengeong. Penasaran, byungchan membuka kedua matanya, menyisir seluruh ruangan dan mendapati brie berada di bagian jendela luar yang kacanya tengah tertutup. Kenapa bisa dia ada di situ, byungchan sampai sekarang belum paham. Ia langsung melonjak untuk membuka kaca jendela tapi brie keburu tergelincir.

Ada dengungan kecil yang mengisi kepalanya sebelum brie kembali hadir di balik kaca jendela. Menapik rasa bingung, byungchan memilih cepat-cepat membuka kaca jendela dan menarik brie masuk ke dalam rumahnya lantas ia menutup kaca jendela dalam sekali hentak.

Tubuhnya gemetar dan brie mengendus-endus lengannya aktif, seakan paham akan kondisi byungchan dan bermaksud menenangkan majikannya.

“brie, yang tadi itu apa?”

Sore itu dihabiskan oleh byungchan dengan mengecek tiap laman pencarian dan membuka satu persatu artikel maupun jurnal tentang penjelajah waktu. Hal itu berujung pada beberapa percobaan kecil yang dalam pembelaannya diperlukan supaya ia bisa tahu bagaimana cara kerja kekuatan barunya itu. Dalam pencariannya juga ia menemukan forum berisi komunitas time traveler di kotanya, byungchan pikir itu menarik sehingga ia memutuskan untuk ikut bergabung. Di forum tersebut ia bertemu jinhyuk yang saat itu menggunakan nama panggilan Wei.

Berdasarkan beberapa percobaan kecil dan juga hasil bacaannya di internet, byungchan paham bahwa yang bisa ia lakukan hanyalah menjelajah waktu, dia bisa saja mencoba mengubah sesuatu tetapi yang ia dapatkan selebihnya akan berubah drastis dan apa-apa yang dialami sebelumnya hanya akan terdapat dalam memorinya.

Ia ingat dengan baik, satu hari temannya datang dengan kaki yang di gips, katanya kemarin ia jatuh dari sepeda karena remnya tidak bekerja dengan baik sehingga byungchan memutuskan untuk kembali ke hari sebelumnya, memberi saran pada temannya untuk ke bengkel sebelum pulang sekolah.

Dan saat byungchan kembali dari penjelajahannya, ia mengetahui bahwa ia belum mengerjakan pekerjaan rumah padahal semalam suntuk ia mengotak-atik rumus aljabar sampai kepalanya mau pecah, setidaknya dalam ingatannya.

Tidak terlalu banyak yang tahu tentang time traveler, begitupula byungchan yang menjadikan hal ini sesuatu yang sekretif. Namun ketika pemerintah mencari seorang penjelajah waktu sebagai salah satu syarat untuk daftar menjadi pegawai negeri, satu forum dibuat heboh oleh hal ini, termasuk byungchan. ia menghubungi wei dan menyuarakan pikirannya tentang hal ini, kemungkinan-kemungkinan terburuk yang langsung ditepis. Tidak ada salahnya mencoba begitu kata wei, sehingga ia memutuskan untuk ikut mendaftarkan diri bersama dengan wei—jinhyuk.

Sampai saat ini, sampai mereka sudah berdiri di posisi yang mereka capai, sampai dimana ia bisa menyebut dirinya sendiri abdi negara karena pada nyatanya pemerintah peduli tentang sejarah sehingga ingin mengganti beberapa kepingan puzzle tanpa merusak susunannya. Dan byungchan ada di dalamnya, ada dalam beberapa misi yang menyebutkan atas nama negara demi kebaikan bersama, ada bersama beberapa orang terpilih yang ikut membantunya di tiap misi yang ditugaskan.

Layaknya misi-misi yang lalu, gladi diperlukan bagi semua orang yang bertugas setidaknya satu kali sebelum menjelajah waktu. Hari ini, di ruang gladi sudah ada hangyul sebagai teknisi dan seungyoun selaku kepala divisi research, tugas utamanya menghitung probabilitas yang dapat terjadi lantas memilih salah satu yang terbaik di antaranya, tapi disini ia hanya diminta untuk mengontrol jalannya misi bersama dengan wooseok selalu kepala divisi time. Byungchan memasuki ruangan yang dihadiahi tatapan menghakimi dari wooseok, “gak telat kan?” tanyanya dengan suara sedikit lebih cempreng dari biasanya.

“yaaa, jinhyuk yang telat.” Sahut wooseok seraya memutar kedua bola matanya.

“yoo, gyul!” byungchan melambaikan tangannya, menyapa junior yang sudah berada di ruang teknisi yang dihalangi kaca lebar, lalu manggut sambil tersenyum manis pada seungyoun yang berdiri di samping hangyul.

“enaknya punya pacar” gugu byungchan, mendengus kecil ketika melihat interaksi hangyul dan seungyoun.

“makanya cari pacar lo”

“gue punya brie???”

“iya iya, kucing yang sudah berevolusi menjadi babi kecil”

Byungchan tergelak, “parah banget seok! Anak gue dikatain babi!”

“lo ngerasa gak sih dia tuh berat banget, parah tuh kucing makan apa aja sih?”

“normal padahal, kayaknya karena kerjaannya goler mulu deh.”

Dering telepon memutuskan pembicaraan sementara wooseok berjalan menjauh seraya mengucap ‘halo’. Byungchan sempat melirik nama dialer yang tidak asing, kepalanya tidak tahan untuk membuat asumsi-asumsi jelek.

“jinhyuk gak bisa ikut.” Wooseok memberi tahu setelah ia selesai dengan pembicaraannya di telepon.

“gladi? Misi?” tanya byungchan, takut-takut.

“both” wooseok meringis, “dia flu, kayaknya karena semalem kehujanan pulang dari tempat gue.”

“yah, solo trip lagi deh gue” keluh byungchan.

“sori, chan.”

“santai lah bilangin jinhyuk istirahat yang bener.”

“gue yang bilang sori, serius, maaf ya.”

“apasih, kayak gue gak pernah solo aja deh.” Byungchan memukul ringan bahu sebelah kanan wooseok, meyakinkan lawan bicaranya kalau ia baik-baik saja menjalankan misi ini sendiri. Tidak masalah sama sekali.

Wooseok melambaikan tangannya, menyuruh seungyoun dan hangyul keluar dari ruang teknisi. “sini, kita mau mulai.”

“loh? bang jinhyuk?”

Wooseok memberikan senyum apologetik, “sakit, gyul.”

“bukannya dijaga kesehatan tuh anak, udah tau lagi tugas.” ujar hangyul

“dah dah, yuk mulai, apa aja yang harus diperhatiin kali ini?” bbyungchan buru-buru memotong, membuat semuanya fokus lagi.

Kali ini seungyoun angkat bicara, “yang paling krusial sih karena gap time nya jauh banget, lo pas sampai sana bakalan drop banget chan, jadi gua bakal bekalin dua botol obat cair yang kayak biasa tapi dosisnya agak naik sedikit.” Laki-laki itu mengeluarkan botol berisi cairan warna ungu semi transparan dari jas labnya, “karena kita gak tahu seberapa parah lo nanti, coba minum satu dulu aja pas sampe, kalo ngerasa kuat lo boleh langsung gerak, kalo masih pusing atau ngerasa gak enak boleh diminum botol keduanya.” Ia menyerahkan botol tersebut pada byungchan yang langsung memerhatikan dengan seksama.

“kalau langsung nenggak dua, gue bisa mati gak?”

Wooseok memukul belakang kepala byungchan, “gak usah ngomong aneh-aneh.”lantas dibalas pelototan marah, “lanjut gyul”

“ini,” hangyul mengeluarkan alat yang lebih mirip jam tangan daripada teknologi canggih yang sudah dijelaskan wooseok kemarin, “nanti gue set tahun yang dituju, rentang waktu lo disana, sama reminder. Yang terpasang di alat lo bakal terus gua monitor di sana,” hangyul menunjuk ruang teknisi dengan ibu jarinya, “cara kerja remindernya ada yang gua ubah karena misi yang lalu, bunyi drawing some attention, jadi gua ganti ke led,” ada jeda sebentar saat hangyul mengutak atik jam tangan tersebut setelah dipasangkan di lengan byungchan, “lednya bakal muncul warna hijau tapi semakin lo deket ke waktu kepulangan lo, dia bakal berubah jadi merah pelan-pelan.” Jelas hangyul panjang.

“gue tuh cuma harus interaksi sama orang aja kan?” tanya byungchan yang masih memerhatikan alat di pergelangan tangannya.

“sebanyak mungkin, kalo perlu lo ke tempat yang banyak orang kayak festival atau pertandingan gitu.” Papar wooseok.

“oh iya, perlu diingat kalau dalam tiga puluh detik lo gak balik di waktu yang udah ditentuin, gue bisa narik lo balik ya, jadi please be decent.” Ujar hangyul mengingatkan.

Byungchan menatap rekan kerjanya satu persatu, “cobain lah yuk? Yakali gladi time travel gak time travel.”

Wooseok hampir tidak memperbolehkan tapi saat meihat wajah hangyul yang bersemangat serta seungyoun yang ikut-ikutan antusias (melihat kekasihnya, tentu saja), ia mengizinkan dengan catatan hanya kembali ke beberapa bulan ke belakang.

.

Lima hari kemudian, byungchan sudah kembali hadir di ruangan yang sama. setelah seminggu kebelakang waktunya lebih banyak dihabiskan dengan work out dan beristirahat untuk perjalanan misi terpanjang dan terjauh yang akan dia hadapi. Sebuah tindakan antisipasi yang diagendakan oleh wooseok, dia tidak mau byungchan sampai jatuh sakit. Kekhawatiran wooseok sampai pada titik dimana ia mengatur menu makanan byungchan, setidaknya saat ia makan bersama di HQ.

Byungchan melirik seungyoun dan sekertaris pimpinan Lee yang duduk tepat di samping hangyul, di ruangan teknisi. Sementara kepalanya masih menghadap wooseok yang serius menyetel alat di pergelangan tangannya. Kali ini byungchan memakan pakaian yang sepertinya sesuai dengan tahun yang akan dituju, entahlah, wooseok yang menyiapkan kemeja flannel warna biru dengan kaus polos putih didalamnya serta celana denim yang pas di kakinya.

“ini obatnya, jangan lupa diminum ya.” Wooseok memberikan dua botol obat cair yang dosisnya sudah disesuaikan.

“satu dulu aja kan, seok?” tanya byungchan, memastikan. Wooseok menganggukkan kepalanya, “tunggu tiga puluh menit sampai setengah jam, kalau masih gak enak atau pusing, minum lagi ya.” Ujar wooseok. Suaranya entah mengapa jadi lembut, nadanya berbeda dari biasanya. Rasa-rasanya lebih seperti ucapan ke teman daripada rekan sejawat.

“iyaa meng, jangan khawatir.” Jawab byungchan lantas memamerkan deretan giginya yang sepaket dengan lesung pipi.

“mang meng mang meng,” wooseok sewot tapi bibirnya tersenyum simpul, “maaf ya harus pergi sendiri, besok marahin jinhyuk aja.” Lanjut laki-laki yang lebih pendek darinya.

Byungchan menahan diri untuk tidak memutar bola matanya, mengingat bahwa disini ada sekertaris pimpinan Lee yang ikut mengontrol misi jadi ia merasa harus menjaga tingkahnya, “harusnya jinhyuk yang minta maaf tahu, bukan elo.” Sahut byungchan.

“ya tapi jinhyuknya lagi sakit gak boleh kesini jadinya gue yang minta maaf” dalih wooseok, “memangnya kita hidup di jaman apa sih ya ada yang namanya teknologi.” Sahut byungchan yang disambut ringisan wooseok.

“I’ll be okay, seok. Serius. Everything will be fine.” Ujar byungchan saat tungkai wooseok menjauh darinya. Setelah ia mengatakan hal itu, byungchan mengangkat tangannya supaya hangyul melihat, sebuah kode kalau ia sudah siap. Hangyul balas mengangkat tangannya, tanda kalau dia juga sudah siap.

Dalam sekejap, semuanya menjadi blur dan byungchan menarik dirinya kembali ke tiga ratus tahun sebelumnya.

.

Dalam bayangan byungchan, dua ribu sembilan belas tidak sesepi ini. bohong kalau kemarin-kemarin ia sama sekali tidak mencari info apapun tentang dua ribu sembilan belas. Laman berita kebanyakan menampilkan sederet momen-momen tidak enak seperti demontrasi yang terjadi di hongkong atau kebakaran hutan amazon.

Yang tidak byungchan kira adalah, kepalanya lantas membawa dirinya ke sebuah plaza luas yang dikelilingi gedung bertingkat tanpa tanaman apapun. Aneh, di tahun ini tanaman berdiri sendiri di atas elemen tanah yang dipijak oleh tungkainya. Sementara di present time-nya, seluruh bangunan diselimuti tanaman karena memang begitu adanya.

‘ah, harus minum obat.’ Pikirnya saat sudah dapat merasakan tubuhnya seutuhnya. Ia menenggak satu botol dan membuang botol kosong ke tempat sampah terdekat, setidaknya, semoga perkiraannya benar.

Tungkainya melangkah, mencari-cari penduduk sekitar. Di tempat seluas ini, byungchan yakin ada banyak manusia, ia hanya tidak tahu dimana mereka berada. Tubuhnya sampai ke sebuah koridor yang lantas disusuri olehnya, oh, ada beberapa orang, akhirnya byungchan bernapas lega. Secara sadar ia mengikuti sekumpulan laki-laki dan perempuan yang usianya sekitar duapuluhan. Mahasiswa, sepertinya, dilihat dari map dan notebook yang dibawa serta tas yang tersampir di tubuh mereka.

Byungchan melirik ruangan yang dilewatinya, melihat ruangan yang ditata seperti semi-hall dan papan warna putih terpasang di depannya. Benar, ruang kelas, sepertinya byungchan sedang berada di sebuah universitas. Sepinya gedung menandakan bahwa ini masih jam kelas, membuat sebuah ide gila terlintas di kepalanya.

Sudah lebih dari tiga puluh menit ia berpetualang mengitari gedung sekitar. Byungchan bisa merasakan peluh di pelipisnya. Tapi netranya masih belum menemukan kelas yang akan dimulai, hanya dua kondisi, entah ruangan tersebut telah kosong atau ruangan tersebut sudah ada dosen yang mengajar. Hampir saja byungchan nekat masuk ke dalam kelas yang sudah kondusif. Namun saat tangannya baru menyentuh handle pintu, suara berat seorang laki-laki menghentikan pergerakannya.

“kalau saya jadi kamu, saya gak akan masuk. Prof kim gak suka kelasnya diganggu oleh mahasiswa terlambat.” Begitu katanya.

Diputarnya tubuh byungchan, gesture normal atas penasaran siapa pemilik suara yang mengintrupsinya. Ia mendapati seorang laki-laki berhidung mancung dengan senyum teduh tapi kerlingan matanya mengintimidasi, “kamu mahasiswa, kan?”

“ah, eh, iya, kamu juga?” tanya byungchan, terang-terangan memerhatikan pakaian yang dikenakan lawan bicaranya. Kemeja dan celana bahan, terlalu rapi untuk mahasiswa. jangan bilang kalau-

“asisten dosen, sayangnya,” shit, umpat byungchan dalam hati.

“oh, maaf, sir.”

“kamu mahasiswa pindahan ya? Kayaknya saya baru lihat kamu disini?” tanyanya lebih lanjut.

“iya, baru hari pertama.” Jawab byungchan sekenanya, tidak sepenuhnya berbohong karena ini memang hari pertama dia di dua ribu sembilan belas.

“kamu harus hati-hati sama penampilanmu.”

“gimana?”

“ya, tampilanmu kayak yang nggak mau kuliah.”

Byungchan melirik kebawah, pakaiannya memang kurang pantas tapi bukannya tidak sopan. Terlebih, ia tadi melihat ada yang berpenampilan sama seperti dia kok.

“eh, saya ngalangin ya, maaf.” Kata byungchan mengabaikan ucapan lawan bicaranya seraya menyingkir. Ingin menyudahi percakapan aneh ini lantas pergi meninggallkan orang asing penuh penghakiman di hadapannya. Tapi semesta tidak setuju, kakinya yang seharusnya stabil tiba-tiba kehilangan keseimbangan membuat sang empu terhuyung.

Blur.

Kepalanya jadi berat akibat pergerakan tiba-tiba. Mungkin kalau tidak ada tangan kokoh yang menahannya, byungchan sudah jatuh tersungkur di lantai. Lantas, semuanya berubah menjadi gelap. si penjelajah waktu kehilangan kesadarannya di depan orang asing, seorang penduduk asli dari dua ribu sembilan belas.

.

.

“maaf ya, maaf, saya gak ada maksud” byungchan merasa beberapa bagian tubuhnya dipegang oleh seseorang yang tidak berhenti meminta maaf

.

Kali ini byungchan mendengar suara yang sama, “sekali lagi maaf, saya janji saya bukan orang jahat” disusul dengan suara pintu ditutup.

.

Pipinya ditepuk-tepuk pelan, “minum obat dulu” lantas mulutnya penuh dengan cairan pait yang ditelan paksa.

.

Dingin, byungchan tahu tubuhnya gemetar tapi matanya enggan terbuka. Tangannya meraba-raba, mencari selimut untuk ditarik menutupi dagu, tapi tidak berhasil sampai ada tangan yang ikut membantu. Penasaran, ia memaksa kelopaknya untuk terbuka tapi matanya belum siap dengan cahaya lampu.

“sshhh, go back to sleep, it’s okay, you’re okay.”

Kalimat terakhir yang byungchan dengar sebelum kesadarannya ditarik perlahan. Dia kembali tidur.

.

Byungchan menggeliat, tidak tahan akan suhu tubuh yang terlampau panas dan pusing yang dirasa. Ia merasa tenggorokannya kering, kepalanya meneriakkan air putih. Akhirnya ia membuka matanya, suhu tubuhnya terlalu panas membuat matanya jadi berair, ia mengerjap berkali-kali. Ia mencoba untuk mengubah posisi tubuhnya menyandar sementara seseorang datang menghampiri ranjang, “mau apa, hm? Udah baikan?” dapat dilihat laki-laki itu adalah orang yang sama dengan yang ditemuinya di depan kelas.

Menggeleng pelan, byungchan menjawab, “air..” Dengan sigap laki-laki itu menyerahkan gelas yang sejak tadi ada di atas nakas. Beberapa teguk gelas tersebut kembali ke tangan laki-laki asing dalam kondisi kosong dan byungchan yang langsung menyamankan posisinya, kembali tidur.

.

.

Kepalanya masih pusing ketika ia akhirnya bisa membuka matanya tanpa paksaan. Dahinya terasa berat, ia mengangkat sebelah tangannya dan mendapati plester menutupi seluruh permukaan dahi. Penurun demam, sepertinya. Lantas ia lepas seraya tangannya yang lain menyangga tubuhnya untuk bangun dari posisi rebah. Bisa dirasakan kepalanya berputar sedikit, tapi masih bisa ditahan.

Akhirnya byungchan bisa sepenuhnya melihat ruangan yang menjadi tempat singgahnya selama ini. Mungkin ini yang dinamakan studio apartment, unit yang didinominasi dengan warna abu-abu dan putih. Ia menilik tubuhnya, tersadar kalau ia bukan memakai pakaian miliknya.

Ah, byungchan baru ingat kalau dia belum meminum satu botol lagi obat yang dibawa. Terlalu fokus mencari kelas membuatnya tidak mengindahkan kondisi tubuhnya sendiri. dan tentu saja seseorang yang membantunya ini tidak tahu kalau botol di celana denimnya itu adalah obat. Tapi kepalanya ingat kalau ia pernah menelan cairan pahit, apa itu obatnya.

Kedua telapak kaki milik byungchan akhirnya menyentuh lantai yang dingin. Matanya menyisir furnitur yang ada dalam ruangan, ada meja makan putih didampingin dua kursi dengan warna senada, lantas dapur yang terlampau rapi, mungkin jarang digunakan oleh pemiliknya. Tungkainya melangkah perlahan membawanya mengelilingi apartement dan mendapati seorang laki-laki tengah tertidur di atas sofa berwarna khaki di ruang tengah, ditemani televisi yang menyala tanpa suara.

Matanya membulat melihat pergerakan kecil laki-laki tersebut lalu terbangun, membuka kelopaknya dan menyadari byungchan tengah beridiri di dekatnya.

“kok bangun? Udah enakan?” tanya laki-laki tersebut.

Byungchan menganggukkan kepalanya, “maaf udah ngerepotin, makasih udah mau urus aku.” ia memajukan bibirnya, merasa tidak enak dengan laki-laki yang sudah merawatnya.

“maaf juga bawa kamu kesini, saya gak nemu kartu identitas kamu,” laki-laki tersebut bangun, lantas berjalan mengambil segelas air. “oh, saya juga belum tahu nama kamu?” tanyanya setelah ia meneguk air putih.

“byungchan, kalau kamu?”

“seungwoo, han seungwoo.”

.

Tidak butuh waktu yang lama bagi mereka berdua untuk masuk ke dalam sistem masing-masing. Seungwoo sepertinya paham kalau byungchan tidak ingin membuka dirinya, setidaknya itu yang dia tangkap sehingga seungwoo tidak bertanya lebih lanjut ketika byungchan akhirnya mengajukan permintaan untuk menumpang di apartemennya sementara. Ada beberapa perjanjian di antara mereka, tidak terlalu rumit bagi byungchan karena seungwoo hanya meminta untuk jangan menyentuh barang-barang yang di rak dan meja kerja miliknya. Selebihnya, seungwoo membebaskan byungchan untuk melakukan apapun.

Pernah sekali, satu pembicaraan membawa seungwoo akhirnya bertanya tentang siapa dan kenapa byungchan ada disini. Perihal keluarga lantas pekerjaan, berhubung byungchan pada awalnya mengaku kalau dia adalah seorang mahasiswa, yang langsung diketahui ketidakbenarannya oleh seungwoo hari itu juga setelah ia mengutak-atik database (credit pada koneksi dengan admin tata usaha kampus). Sayangnya berakhir dengan amat canggung karena byungchan langsung menahan perkataannya mati-matian dan menggunakan jurus cengiran andalan.

Tidak masalah bagi byungchan, sebenarnya pekerjaannya juga bukan sesuatu yang klandestin. Hanya saja byungchan memiliki tendensi untuk mencari tahu tentang seungwoo terlebih dahulu, mengobservasinya lantas mempertimbangkan dapatkah ia mempercayai seungwoo, percaya kalau seungwoo tidak akan mengeluarkan respon negatif terhadap apa-apa yang akan ia katakan. Lantas setelah sepuluh hari byungchan tinggal di apartemen seungwoo, byungchan pikir tidak ada salahnya memberi tahu seungwoo beberapa hal, dan menurutnya ini saat yang tepat.

Mereka tengah menikmati makan malam yang byungchan kurang paham apa tapi ia tahu itu mie. Dia tidak pernah melihat suengwoo memasak mengingat setiap pulang dari kampus seungwoo selalu membawa makanan siap makan. Dan byungchan tidak berani mengomentari apa yang seungwoo bawa, bukan berarti dia belum mencoba, ia pernah dan berakhir dengan seungwoo menjelaskan makanannya seakan segala yang dikatakannya adalah hal yang normal padahal byungchan sama sekali tidak mengerti sepatah katapun. karenanya, makan tanpa banyak berpikir seru juga toh byungchan tidak perlu khawatir karena seungwoo juga makan makanan yang sama dengannya.

“seungwoo,” panggil byungchan pelan, tepat setelah makanannya habis.

Sementara yang dipanggil hanya menggumam, tanda bahwa ia mendengarkan. “aku gak bisa nyalain kompor,” ujar byungchan membuat seungwoo terkekeh,

“iya, kan kemarin udah aku ajarin, masa lupa lagi?” seungwoo menghentikan suapannya lantas mengambil minum sebelum fokusnya dipusatkan pada satu hal, satu orang.

“aku gak bisa banyak hal, aku juga gak tahu banyak hal.” Byungchan memainkan jari-jarinya.

“gak apa-apa, kita gak harus tahu semuanya, kita gak harus ngerti semua hal.” Seungwoo berujar, sebuah usaha untuk membuat byungchan merasa baik-baik saja dengan kondisinya.

Byungchan menggeleng pelan, “aku gak bisa pakai kompor karena di rumahku, aku biasa naruh wajan dan komporku nyala otomatis. Aku gak bisa masak air, karna di rumahku tinggal tekan saklar air yang keluar langsung panas. Aku gak bisa bikin kopi karna di rumahku sekali tekan aku langsung dapat minuman yang kumau.”

Seungwoo memangku dagunya, terlihat memikirkan perkataan byungchan, “kamu…”

Byungchan menatap wajah seungwoo penuh harap, “..orang kaya, ya?”

“apa?”

“rumah kamu pasti smart house kan?”

Byungchan menepuk dahinya, tapi bibirnya tidak tahan untuk tidak tersenyum. Salah. Ia terkekeh geli mendengar kesimpulan yang diutarakan oleh seungwoo. “kamu benar dosen nggak sih?” tanya byungchan disela tawanya.

“sembarangan! Aku dulu juga mahasiswa terbaik di angkatanku tau!” sahut seungwoo, merasa diremehkan.

“oke, oke, terserah.” byungchan menyerah.

“tapi serius, rumah kamu, jauh ya?” seungwoo belum mau pembicaraan ini selesai.

Byungchan diam, mencari kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan seungwoo, “rumahku itu seungwoo,

Beda garis waktu dengan rumahmu.”

“hah?”

Byungchan kembali tergelak melihat wajah lawan bicaranya, seungwoo, membuka mulutnya bingung serta menampilkan ekspresi yang terheran-heran. Mungkin seungwoo belum mengerti, tapi tidak apa-apa. Setidaknya byungchan sudah memberi tahu pemilik rumah yang ia singgahi.

Sejak konversasi itu, seungwoo jadi lebih berhati-hati dalam menjelaskan sesuatu dan jadi punya pertanyaan favorit yaitu ‘kalau di rumahmu?’. Tidak terhitung berapa kali, byungchan tidak ingat karna saking seringnya, seungwoo selalu mengakhiri kalimat penjelasannya dengan pertanyaan tersebut. Hal ini berujung pada byungchan bercerita panjang lebar sebab seringnya jawaban yang keluar dari bibir byungchan adalah, ‘nggak tahu seungwoo, aku belum pernah, aku biasanya...’

Begitu terus, dalam repitisi entah keberapa, seungwoo akhirnya mengajak byungchan pergi ke supermarket berhubung sudah waktunya belanja bulanan. Untuk pertama kalinya, byungchan naik mobil yang menapak di tanah.

“aku belum pernah naik mobil” kata byungchan mematahkan hening di antara mereka berdua.

“di rumahmu nggak ada mobil?”

“ada, tapi terbang.”

Seungwoo bergumam panjang, “berarti kamu sering terbang ya?”

Byungchan mengangguk pelan, lalu ingat kalau seungwoo fokus menyetir kemudian bergumam, “kamu belum pernah terbang?”

“baru sekali, waktu itu ikut conference.

Ada hening panjang yang diselimuti nyaman, samar-samar suara musik dari radio yang terpasang di mobil seungwoo terdengar. “aku mau gedein volumenya, gimana?” tanya byungchan. lantas seungwoo mengulurkan tangannya, jari panjangnya meraih tombol volume dan memutarnya pelan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

“trims.”

.

Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai dan byungchan punya tugas untuk mendorong troli sementara seungwoo memimpin petualangan supermarket mereka. ada banyak hal yang dipelajari byungchan kali ini seperti bentuk kemasan detergen untuk mencuci baju, beberapa sabun yang fungsinya berbeda, untuk piring, untuk badan, untuk lantai. Terakhir, makanan, ternyata dua ribu sembilan belas punya banyak variasi makanan kemasan. Seungwoo dengan sabar menjelaskan satu persatu barang yang ia masukkan ke dalam troli yang ditanggapi oleh gumaman serta anggukan kepala oleh byungchan. Sesekali byungchan menunjuk satu barang yang dianggap menarik atau aneh sambil mengajukan ‘itu apa?’ lantas seungwoo akan menjawab dengan kalimat panjang penuh penjelasan.

seungwoo masih mengoceh tentang bagaimana penjaga kasir bekerja, melihat wajah kebingungan byungchan ia langsung tahu kalau laki-laki tersebut tidak familiar dengan segala hal yang terjadi di sekitarnya. Mungkin di rumahnya tidak ada supermarket, atau ada tapi tidak seperti ini.

“terus nanti gantian gitu ya kerjanya?” tanya byungchan yang mengekori langkah seungwoo. Kali ini seungwoo yang membawa troli berisi belanjaan mereka ke parkiran menuju mobil.

“iya, ada jadwalnya gitu nanti gantian, kadang suka pas antre bayar juga ada yang ganti shift.”

“trus buat apa dong apa counter kasir banyak-banyak, toh tadi yang buka cuma setengahnya, kayaknya.” Tanya byungchan, sedikit ada nada menghakimi disana.

Seungwoo terkekeh, “kadang repot kan kalau harus ganti shift tapi yang antre lagi banyak, makanya biasanya yang shift selanjutnya buka kasir yang tutup biar antreannya pindah trus yang shift sebelumnya bisa pulang deh,” jelas laki-laki tersebut.

Byungchan memindahkan kantung belanjaan ke dalam mobil seungwoo, kursi penumpang belakang yang sudah dibuka lebih dahulu oleh pemilik mobil. Sementara seungwoo menyalakan mobil sebelum ikut memasukan belanjaan. “banyak resto di sepanjang jalan ya, tapi kok kecil gitu tempatnya..” ujar byungchan saat mobil sudah kembali menyusuri jalan pulang.

“memangnya di rumahmu nggak ada resto?” tanya seungwoo tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

“ada lah, orang juga butuh makan di luar.”

“katamu semuanya serba otomatis,”

“ya bukan berarti kita meninggalkan sifat sosialis kita, pada dasarnya manusia kan makhluk sosial. Meski lebih banyak berinteraksi ke mesin sih.”

“gimana?”

Byungchan menggeleng kepalanya, lupa kalau seungwoo tidak bisa melihat, tapi toh seungwoo tidak begitu memerlukan penjelasan lebih, “ih lucu, tone warna restonya monokrom gitu. Tapi kok tempat duduknya cuma sedikit ya?” byungchan menunjuk salah satu tempat ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah.

Seungwoo melirik yang ditunjuk oleh byungchan, “itu toko kopi, emang konsepnya buat take away aja sih chan. Bangkunya itu biasanya buat pembeli yang nunggu pesanan aja.”

Chan.

Pipi byungchan dirasanya memanas. Aneh sekali, padahal AC di mobil seungwoo berfungsi normal. Ada sesuatu dari cara seungwoo berbicara dan bagaimana ia memanggil namanya, maksudnya, nama panggilannya. Kepalanya mencari realita mengingat bahwa semua kolega memanggilnya sama seperti seungwoo.

“-chan?”

Suara seungwoo kembali menyapa rungunya, membuyarkan isi kepala byungchan. laki-laki yang dipanggil menoleh menyadari kalau lagi-lagi mobil terpaksa berhenti sementara akibat merahnya lampu lalu lintas.

“ya?”

“di rumahmu nggak ada toko kopi, memangnya?”

“nggak, nggak ada,” ada jeda sedikit sebelum byungchan kembali bertanya, “itu…. yang jaga tokonya, manusia?”

“iyalah, siapa lagi emang, setan?”

Byungchan meringis mendengar jawaban sarkas dari seungwoo, setengah ngeri juga membayangkan makhluk astral yang menjaga toko kopinya, “kalau di rumahku, seungwoo,” sahut byungchan seraya kepalanya menoleh ke arah sisi jalan dari jendela mobil, menatap toko-toko yang dilewati, “mungkin sudah pakai mesin.”

“ada kok, vending machine buat kopi.” Balas seungwoo, sepenuhnya tidak mengerti apa yang dimaksud oleh byungchan. padahal mesin yang dimaksud lawan bicaranya ialah robot yang dibentuk sedemikian rupa seperti manusia dan memiliki task yang sederhana yaitu melayani pengunjung toko.

“ngomongin kerjaan orang terus, kalau kamu kerja apa byungchan?” celetuk seungwoo, mengetahui byungchan tidak mengatakan apa-apa lagi.

“aku pegawai biasa aja kok.” Jawab laki-laki yang ditanya, kembali mengalihkan pandangannya dari jalan pada seungwoo yang masih fokus menyetir, byungchan menyadari satu belokan lagi mereka akan sampai pada apartemen seungwoo.

“sekarang kamu gak kerja dong, chan?” tanya seungwoo lagi, membuat byungchan sadar kalau ia belum pernah mengangkat topik tentang pekerjaannya sama sekali, “atau kesini karena kerjaan?” bisa dirasakan usaha seungwoo yang presisten, ingin tahu, tapi byungchan urung menjawab.

Lidahnya kelu, enggan mengeluarkan sepatah kata. Pun saat mereka sampai di parkiran, byungchan buru-buru turun dan membawa kantung belanja membiarkan seungwoo membawa sisanya dan menyusul byungchan untuk membukakan pintu.

.

Seungwoo tidak pernah menyinggung pembicaraan terakhir mereka lagi. Hal itu membuat byungchan setengah bersyukur karena ia tidak perlu menjelaskan apapun. Maksudnya, siapa yang bisa memproses kalau dia datang ke sini untuk menyebarkan virus sehingga populasi di bumi bisa berkurang di masa depan. Terlebih, byungchan secara kebetulan menjadikan seungwoo sebagai perantara virus yang berasal dari dirinya sendiri. Dengan fakta ini, byungchan sangsi seungwoo akan menganggapnya waras.

Di sisi lain, byungchan jadi lebih memerhatikan pekerjaannya. Kembali memikirkan tujuannya bekunjung ke dua ribu sembilan belas yang jelas bukan untuk bermain-main. Malam itu, ia melirik pergelangan tangannya yang terpasang alat. Sebuah alat yang tidak pernah lepas dari pergelangannya, menampilkan lampu LED kecil yang mulai berubah warna menjadi merah, tanda kalau sebentar lagi ia harus kembali ke garis waktunya.

Lantas, keesokan harinya ia bangun lebih pagi dari seungwoo. Membuat sarapan serta kopi panas untuk mengawali hari. Seungwoo baru keluar dari kamarnya tepat saat byungchan selesai menata meja. “sarapan?” tanya byungchan yang dijawab dengan anggukan oleh seungwoo sebelum sang empu hilang dibalik pintu kamar mandi. Lima belas menit setelahnya seungwoo sudah duduk di depan meja makan lengkap dengan kemeja dan tas yang sudah siap dibawa.

“kamu bangun jam berapa?” tanya seungwoo seraya menyuap telur dadar buatan byungchan.

“nggak tahu, pagi pokoknya.” Jawab byungchan yang tidak mengalihkan pandangan dari seungwoo, menatap penuh harap pada laki-laki dihadapannya, menunggu reaksi.

Seungwoo menangkat kedua alisnya bingung, “kenapa?”

“enak, gak?” tanya byungchan langsung tanpa basa-basi.

Ada gumaman panjang sebelum laki-laki yang ditanya akhirnya memberikan jawaban, “bisa dimakan.”

Byungchan berdecih lantas memukul lengan seungwoo, “yang bener!” membuat seungwoo meloloskan tawa disela kunyahannya, “iya enak, byungchan.”

“kamu tuh, kelas pagi setiap hari ya?” tanya byungchan, mengingat bahwa seungwoo selalu berangkat pagi-pagi.

“nggak juga, emang aku biasain datang pagi aja, lumayan buat nyiapin materi.” Jawab seungwoo lalu menyesap kopinya. Laki-laki itu kemudian bangkit mengambil tas, berjalan langsung ke pintu keluar membuat byungchan berdiri dan mengikuti langkahnya.

“seungwoo, sebentar,” panggil byungchan, meminta atensi yang langsung diberi. Byungchan membuka kerah kemeja seungwoo dan membenahi posisi dasi yang terpasang. Dari jarak segini, byungchan dapat mencium aroma cologne yang seungwoo gunakan. Cepat-cepat ia rapikan kerah kemeja dan mundur satu langkah, “kamu gak bawa mobil?” tanya byungchan menunjuk kunci yang masih tergeletak di atas nakas samping televisi.

“aku lebih suka naik bus,” jawab seungwoo lantas memakai sepatunya. “aku berangkat, ya?”

“seungwoo aku boleh minta uang?” sahut byungchan lagi-lagi menahan seungwoo.

“hm?” seungwoo menatap byungchan bingung.

“aku.. mau ke toko kopi, boleh?” tanya byungchan, hati-hati tapi juga penuh harap.

Seungwoo memberikan senyuman, “boleh.” lalu mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, menyerahkannya ke byungchan lantas mengusak surai laki-laki di hadapannya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

.

Padahal rencananya byungchan hanya ingin meminta uang tiga kali. Rencananya ia hanya akan pergi ke toko kopi dan berinteraksi dengan orang sebanyak-banyaknya, atau mungkin ia akan berteman si penjaga toko supaya ia bisa berbicara dan tinggal berlama-lama di toko kopi. Tapi seungwoo sepertinya merasa tidak enak setelah hari dimana ia pertama kalinya ia meminta uang pada seungwoo.

Pikirnya, mungkin byungchan bosan di rumah. Setiap hari melakukan hal yang sama berulang kali, menghabiskan waktu sendirian di ruangan yang sama. jadi tiap sebelum berangkat ke kampus, seungwoo selalu meninggalkan beberapa lembar uang yang cukup untuk membeli dua gelas kopi. Lantas membuat byungchan hampir setiap hari pergi ke toko kopi yang sama.

“kak uchaaan!!” teriak seorang laki-laki dari balik bar area kasir seraya kakinya baru melewati pintu masuk utama.

“subiiin!” byungchan menghampiri bocah yang umurnya lebih muda darinya.

“kok tumben kamu jadi kasir?”

“iya, gantiin si Sese, kak uchan kok sore banget datangnya?”

Byungchan menunjukkan cengirannya, “tadi aku beresin rumah dulu.”

“yang biasa, kak?” tanya subin dibalas dengan anggukan.

“ciaa gimana sama pak dosen?” ujar subin dengan nada menggoda, ia kini tengah pindah ke balik mesin kopi untuk membuatkan pesanan byungchan, sementara bagian kasir di ambil alih oleh pegawai lain.

“eh? Ya gak gimana-gimana? Kamu katanya kenal sama seungwoo tapi kok gak pernah main bareng sih?” byungchan mendudukan tubuhnya di kursi bar, kursi yang selalu ditempati di hari sebelumnya.

“ya gimana orang cuma kenal karena tinggal satu gedung doang, papasan di lift aja jarang.” Jawab subin seraya menaruh gelas di hadapan byungchan. jawaban dari subin tak ayal membuat byungchan terkekeh, mengingat seungwoo memang jarang sekali keluar selain untuk pergi ke kampus. Acara ke supermarket kemarin pun terjadi karena seungwoo yang heboh ingin menunjukkan pada byungchan.

“tapi udah pernah ngobrol kan?” tanya byungchan

“pernah lah kak, makanya bisa tahu nama juga.” Subin memutar bola matanya, jengah dengan pertanyaan tdak berbobot yang diutarakan byungchan.

“besok-besok main ke unit aku deh makanya.”

“kamu udah ngomong ini berkali-kali tau, kak,” subin menghela napasnya dilebih-lebihkan, “lagian, itu unit kak seungwoo!”

“ya tapi aku lebih banyak ngabisin waktu itu unitnya dia, technically aku bisa ngundang kamu juga.”

Subin lagi-lagi memutar matanya, “ya, ya, terserah,”

“nanti malem aku bilang ke seungwoo loh ya? Bener ya?”

Subin tidak sempat menjawab karena ia harus menyiapkan pesanan lainnya, sehingga yang dilakukan byungchan adalah mengambil buku yang dijajakan di atas meja. Membolak-balikkan lamannya, mencari yang bisa membuatnya tidak merasa bosan sementara subin melakukan pekerjaannya.

Kopi yang tandas serta langit yang menggelap membuat byungchan mau tak mau ingkah dari toko kopi. Lambaian tangan dan suara subin mengiringi langkahnya keluar dari toko. Mengambil langkah lebar tapi tetap hati-hati, ia tahu sebentar lagi seungwoo pulang sehingga ia berusaha untuk sampai di rumah lebih dulu dari sang empu.

.

Suara petir yang menggelegar diiringi cahaya kilat yang terlihat dari jendela ruang tengah mengagetkan byungchan yang hendak menuangkan air panas. Terlihat beberapa tetes keluar dari mulut teko akibat lonjakan tubuh yang tiba-tiba. Perlahan ia menuangkan air panas tersebut ke dua cangkir yang berbeda. Suara air hujan yang secara konstan menyentuh kaca jendela apartemen menjadi latar pergerakan byungchan malam ini. matahari sudah lama tertidur sementara hujan tak kunjung pergi. Berkali-kali byungchan melirik pintu masuk, menunggu seungwoo yang biasanya tidak pernah pulang lewat dari jam enam sore.

Payung yang tertata rapi di samping rak sepatu membuat pikiran byungchan kembali mereka ulang, mengingat kalau tadi pagi seungwoo memang tidak mengambil salah satu payung padahal sudah berkali-kali byungchan ingatkan.

“duh, apa ketahan di halte ya?” byungchan bermonolog, menggigiti bibirnya untuk mengurangi rasa khawatir.

Seungwoo hampir tidak pernah menggunakan mobil pribadinya, laki-laki tersebut lebih suka menggunakan transportasi umum. Entah tujuannya untuk apa, padahal kalau dipikir-pikir lebih nyaman dan mudah memakai mobil untuk bolak-balik area kampus.

Cangkir byungchan sudah mulai dingin sementara belum ada tanda-tanda seungwoo pulang. Menyerah, ia bangkit dari duduknya lantas mencari mantel yang bisa ia pakai untuk menjemput seungwoo di halte terdekat, tempat biasanya seungwoo turun sebelum jalan ke daerah apartement.

Belum sempat ia membuka pintu, papan kayu tersebut terbuka menunjukkan laki-laki yang sedari tadi ia tunggu.

“Seungwoo? Astaga kamu basah banget..” ujar byungchan lantas menghampiri laki-laki yang masih bergeming di depan pintu.

“sini tasnya, kamu disitu dulu,” byungchan mengambil tas yang untungnya berbahan kulit, ia ambil beberapa tisu untuk mengelap air yang tersisa, “buka dulu jaket kamu, seungwoo, aku ambilin handuk.” Cepat-cepat ia keluarkan isi tas seungwoo, ditaruhnya di atas meja lantas tungkainya melangkah untuk mengambil handuk.

“agak nunduk sedikit, coba,” ujar byungchan saat ia menyampirkan handuk ke kepala seungwoo, laki-laki dihadapannya menurut. Kepala seungwoo diusak, rambutnya dikeringkan seraya pipinya ditepuk-tepuk pelan menghilangkan bulir-bulir air yang tinggal. Dapat byungchan lihat bibir laki-laki dihadapannya bergetar, membuat byungchan menarik kepalanya sedikit, memerhatikan dengan seksama lantas sadar kalau sekujur tubuh seungwoo gemetaran.

“seungwoo kamu-“ belum sempat menyelesaikan perkataannya, seungwoo serta merta memotong ucapan byuncghan dengan menyandarkan dahinya di pundak sebelah kanan milik byungchan.

“diluar-“ seungwoo mengucap, posisi mereka yang begitu dekat membuat byungchan dapat mendengar deru napas seungwoo, “petir” tepat setelah seungwoo mengatakan hal tersebut, kilat datang disertai suara gemuruh petir yang membuat keduanya sama-sama terlonjak. Seungwoo mengalungkan lengannya ke pinggang byungchan, menghapus jarak yang sudah tipis menjadi tidak ada.

Perlakuan seungwoo yang tiba-tiba membuat byungchan hampir oleng, dituntunnya seungwoo untuk turun sehingga mereka berdua terduduk di lantai. Suara petir yang masih saling bersautan membuat seungwoo membenamkan kepalanya di perpotongan leher byungchan, ia bersembunyi. Disini, byungchan dapat merasakan betapa mengigilnya laki-laki dalam dekapannya. Seungwoo kedinginan tapi ia tidak memerdulikan hal tersebut, seakan fokusnya selalu ditarik pada suara sahutan guntur yang tidak ingin didengar sama sekali.

Byungchan menepuk-nepuk punggung laki-laki itu, “seungwoo?”

“mandi ya?”

“seungwoo nanti kamu masuk angin.”

Byungchan menyampirkan handuk yang sempat dilupakan dan menaruhnya di leher seungwoo, menutup kedua telinga sang empu berharap suara petir tidak bisa menembus rungunya. Berharap dengan cara ini byungchan setidaknya bisa mendapatkan perhatian seungwoo.

Berhasil. Seungwoo menarik kepalanya perlahan dan menatap wajah byungchan bingung.

‘a-yo, ka-mar man-di.’ Byungchan menggerakkan bibirnya pelan-pelan, kepalanya ia gerakan untuk menunjuk pintu kamar mandi yang berada jauh di seberang ruangan. Seungwoo mengedipkan kedua matanya, bingung, tapi toh akhirnya ia bangkit juga mengikuti pergerakan byungchan.

Sesampainya di kamar mandi, byungchan menyuruh seungwoo memegang kedua telinganya sendiri sementara ia menyalakan air untuk menghalau suara petir. Setelahnya, kedua telapak seungwoo dibuka pelan, “kamu mandi dulu, gak kedengaran kan suara petirnya?” kata byungchan yang dijawab dengan anggukan pelan.

“aku ambilin baju bersih,” lantas byungchan menutup pintu kamar mandi dibelakangnya. Dua puluh menit kemudian seungwoo sudah selesai. Tidak berani keluar kamar mandi, seungwoo memangg

ㅡ dua (3/3)

iii.

Wooseok melihat byungchan yang tengah berbaring di atas kasur jinhyuk dengan eskpresi prihatin. Masalahnya, byungchan hanya berbaring dan menatap langit-langit kamar jinhyuk yang tidak terpasang apapun selain warna putih polos template plafon pada umumnya. Dan byungchan diam, sudah lebih dari tiga puluh menit.

“Chan..” Wooseok memanggil sang empu yang masih menatap kosong langit-langit. Tapi yang dipanggil tidak menyahut, bahkan tidak bergerak sedikit pun.

“Biarin aja seok, dia lagi galau soal kak Seungwoo.” Ucap jinhyuk yang tengah duduk di atas karpet, punggungnya bersandar pada sisi ranjang sementara kedua tangannya sibuk dengan game di ponsel pintarnya.

“Jinhyuk, udahan dulu mainnya, temennya lagi galau juga.”

“Ck, palingan dia baru sadar kalau dia tuh sebenarnya suka sama temen masa kecilnya itu.” Suara jinhyuk saling bersahutan dengan suara yang keluar dari ponsel dalam genggamannya. “Biarin ajalah- AW, SAKIT ANJING APA-APAAN.” Perkataannya terpotong ketika lehernya bertumbukkan dengan sesuatu, membuat ia mengaduh kesakitan sementara ponsel di tangannya sudah terlempar.

“Jinhyuk!” wooseok yang tadinya duduk di kursi belajar milik jinhyuk buru-buru menghampiri kekasihnya yang mengaduh kesakitan.

“Chan, lo kenapa sih? Astaga, astaga Byungchan?!” Wooseok urung memarahi laki-laki yang baru saja menendang pacarnya dengan brutal setelah melihat kondisi Byungchan yang sekarang malah duduk terdiam dengan air mata yang mengalir turun ke pipinya.

“Lah nangis? Kan gua yang di tendang?” Jinhyuk mengikuti pergerakan Wooseok dan duduk di samping Byungchan, menatap keduanya bingung. Tapi tangannya secara otomatis terangkat untuk mengelus pungung laki-laki yang tengah menangis.

“Gapapa, gapapa Chan nangis aja, keluarin semuanya.” Lantas Wooseok menarik bahu Byungchan dan menyandarkan kepala temannya di bahu miliknya. Jinhyuk memandang Wooseok sambil mengucap, ‘dia kenapa?’ tanpa suara, sementara Wooseok membalas pertanyaan kekasihnya itu dengan tatapan sengit, ‘mana aku tahu???’

Tidak ada yang berbicara, Wooseok tetap memeluk Byungchan dan malah mengayunkan tubuh mereka berdua, persis seperti orang tua yang tengah menenangkan anaknya. Dan jinhyuk tetap mengusap punggung byungchan ikut membantu menenangkan.

“Seok,” Byungchan akhirnya bersuara, meminta atensi sang lawan bicara. Wooseok melepaskan pelukan mereka, menatap wajah byungchan yang sudah kacau, mata dan hidungnya memerah serta air mata yang tidak henti-hentinya keluar.

“Gue suka sama kak Seungwoo.” Kata Byungchan, akhirnya menyuarakan hal yang mengganggu pikirannya.

“TUH KAN-“ Lagi-lagi Jinhyuk menghentikan perkataannya setelah diberi tatapan oleh Wooseok, laki-laki itu berdehem, “eh maksud gue, terus, kenapa lo mesti nangis Chan?” lanjut Jinhyuk.

“Ngerti gak sih, gue suka sama kak seungwoo?” byungchan menarik napasnya sebelum melanjutkan apa-apa yang ada dalam kepala, “dia tuh sahabat gue dari kecil, orang yang tahu gue dari jaman gue masih bau matahari, lari-lari ngejar layangan. Orang yang gue anggap sebagai kakak gue, padahal dia sendiri anak bungsu. Orang yang rela ngebonceng gue pulang pas gue abis jatoh kesandung?”

Wooseok menimbang-nimbang sebelum membalas ucapan byungchan, “Jujur gue kurang paham karena gue gak pernah punya teman dari kecil, tapi yang gue ngerti tuh perasaan orang gak ada yang bisa atur, chan.” Wooseok menarik napasnya, berhati-hati agar ucapan yang dikeluarkan tidak menyakiti lawan bicaranya, “mungkin lo bisa suka sama dia karena dari dulu hubungan lo berdua tuh udah lewat dari garis batas teman, lo nya aja yang nggak nyadar.”Ujarnya memberi pandangan netral sebisa mungkin.

“chan, sori nih, tapi kalo kata gue, lo tuh sekarang lagi takut gak sih?” jinhyuk menarik perhatian byungchan yang masih bergeming, menuntut jinhyuk untuk terus mengelaborasi pendapatnya, “istilahnya, lo sama seungwoo tuh udah punya dunia sendiri gitu loh, dunia yang udah lo berdua bangun sejak lo kecil, sengaja ataupun enggak, dan lo takut dengan adanya perasaan yang lo rasain ini bakal ngehancurin apa yang lo berdua punya, ya nggak?”

Yang ditanya malah memajukan bibirnya, perlahan mengangguk lesu. “Ditambah kak seungwoo lagi deket sama seungyoun seungyoun itu, gue makin takut dan insecure parah.”

“Heh, coba jelasin kenapa lo harus ngerasa insecure byungchan ganteng?” wooseok memegang kedua bahu sahabatnya, memaksa byungchan untuk tegap. “Ya, lo sih kemaren gak ketemu langsung sama seungyoun, dia ganteng banget sumpah trus kalo senyum matanya hilang, lucu deh gemesin anaknya.”

“Lo juga ganteng chan!”

“Lo kalo senyum pipinya bolong!”

“Mata lo juga ilang pas senyum gemesin deh!”

“Lo kalo ketawa mukul gua kenceng banget anjir sakit chan!”

“Jinhyuukk!”

Byungchan dibuat tertawa oleh tingkah pasangan merangkap sahabatnya. Terlampau geli, ia sampai memegang perutnya sambil tergelak puas. Masalahnya, sahabat-sahabatnya ini mana pernah memuji byungchan, tapi kali ini, saat ia menceritakan perihal rasa tidak percaya dirinya, mereka berubah menjadi mesin pencetak pujian dan itu sukses membuat byungchan merasa lucu.

“Nah gitu dong ketawa, ganteng.” Ujar jinhyuk, menyunggingkan cengiran khasnya sementara wooseok tidak tahan untuk tidak ikut tertawa.

.

Malam itu jinhyuk memesan dua box pizza dengan topping favorite byungchan, sementara wooeseok membuat byungchan menceritakan beberapa episiode tentang masa kecil dia dan seungwoo, termasuk kejadian byungchan kecil yang masih polos tersandung oleh kakinya sendiri lalu terjatuh, menyebabkan kedua lututnya tergores aspal jalan dan berdarah.

Lalu seungwoo, yang saat itu memang tengah bersama byungchan, sigap menghampiri laki-laki yang lebih muda, mencoba mereda tangisan byungchan. Kejadian tersebut diakhiri dengan seungwoo yang mengambil sepeda ke rumahnya lalu kembali ke tempat byungchan jatuh untuk diantarkan pulang ke rumah yang lebih muda.

Wooseok bilang itu heroik, byungchan dalam hati menyetujui hal tersebut. Sementara jinhyuk lebih fokus mencibir byungchan yang bisa-bisanya dia jatuh tersandung oleh kakinya sendiri.

Jarum jam terus bergerak dan malam mulai larut, mereka sepakat untuk tidur di rumah jinhyuk. Byungchan buru-buru menelpon bunda meminta izin, sementara jinhyuk sibuk mencari piyama yang bisa dikenakan oleh byungchan dan wooseok.

“Eh, bentar-bentar.” Byungchan menyadari sesuatu setelah menyudahi sesi teleponnya, wooseok dan jinhyuk menatap penuh tanya, “ini gue gak lagi cock-blocking kan anjir?? Gue pulang aja deh ya???”

Jinhyuk tergelak di tempatnya sementara wajah wooseok berubah menjadi merah padam, menahan malu. “Selo aja sih, lo tuh ya, kebiasaan nyadarnya telat.” Akhirnya jinhyuk yang menjawab. “Lagian, lo lagi galau gini yakali kita biarin lo sendiri?” lanjutnya. Jinhyuk menghampiri byungchan dan memberikan baju longgar serta celana yang byungchan yakin akan kepanjangan jika dipakai olehnya, “dah ganti baju sana, besok pulang bareng wooseok aja ya, nanti ke kampusnya gue jemput.”

“Emang besok ngapain ke kampus?” tanya byungchan, menerima baju dari jinhyuk.

“Kan besok ada eval, heh, awas aja kalo gak dateng.” Wooseok menyahut dari balik pintu kamar mandi, byungchan mengernyit sejak kapan wooseok sudah masuk ke kamar mandi.

“Oke, oke, yang penting dijemput.” Sahut byungchan seraya mengangkat bahunya.

.

Rencana tidur mereka ditunda ketika byungchan inisiatif menyalakan Netflix. Mereka bertiga binge-watching lima episode You season terbaru dan baru tertidur pulas jam empat subuh. Mama Jinhyuk menjadi the woman in charge untuk membangunkan mereka agar dapat hadir di rapat evaluasi. Byungchan menjadi orang yang bangun paling terakhir, kalau bukan wooseok yang menepuk pipinya dengan cukup keras sepertinya sekarang ia tidak akan duduk manis di bangku penumpang. Setelah pamit dengan mama Jinhyuk, wooseok langsung tancap gas mengantar byungchan pulang.

Byungchan masih setengah mengantuk saat turun dari mobil wooseok, ia melambaikan tangannya pada wooseok yang berada di dalam mobil sebelum mobilnya jalan meninggalkan byungchan yang berdiri di depan rumahnya. Lima detik kemudian ia memutar badannya dan terlonjak kaget melihat seungwoo tengah memperhatikannya, berdiri menyandar ke tembok rumahnya sendiri.

“Kok baru pulang?” sapa yang lebih tua, memulai pembicaraan berhubung byungchan hanya diam di tempat dan tidak ada tanda-tanda untuk langsung masuk ke dalam rumah.

“Iya, semalem abis nginep di rumah jinhyuk.” Jawab byungchan sambil mengusak matanya. Ia masih ngantuk, jelas. Tapi debaran di hatinya seperti tidak mengenal kata itu, terlebih setelah pengakuannya tadi malam, byungchan masih tidak bisa melihat seungwoo seperti biasanya, (ralat, tidak kuat, tidak mampu, mau kabur rasanya tapi kakinya menolak)

“Masih ngantuk? Mau tidur lagi?” tanya seungwoo yang dijawab dengan gelengan, “mau ke kampus, ada rapat eval acara kemarin.” Ujar byungchan yang berniat masuk ke dalam rumah, ingin cepat-cepat pergi, takut kalau seungwoo bisa mendengar isi kepalanya yang berisik.

“Mau dianterin nggak?” tanya seungwoo menahan yang lebih muda, masih ingin mengobrol.

“Eh, nggak usah kak, aku nanti dijemput sama jinhyuk.” Byungchan menggelengkan kepalanya bersamaan dengan kedua tangannya bergerak seirama. Byungchan dapat menyadari perubahan ekspresi seungwoo, senyumannya hilang diganti dengan kerungan di dahi, tapi ia terlampau mengantuk untuk bertanya lebih dan juga ia diburu-buru waktu, “aku masuk duluan ya kak, mau siap-siap, daaaah.” Lanjut byungchan lalu melangkahkan tungkainya melewati carport, tidak mengindahkan dengusan kesal seungwoo atas jawaban yang dilontarkan lelaki yang lebih muda.

. .

Rapat evaluasi selesai lebih cepat dari dugaan byungchan, ketua pelaksana serta senior tidak begitu mempermasalahkan hal-hal yang terjadi diluar rencana, toh secara keseluruhan seminar nasional yang diadakan jurusan byungchan sukses. Dengan agenda yang tiba-tiba berubah, byungchan menarik wooseok dan jinhyuk untuk menghabiskan waktu di kiotaun, café yang sama saat ia tidak sengaja bertemu dengan seungyoun.

Ditemani dua gelas vanilla latte dan satu ice americano, mereka duduk di salah satu bangku area outdoor berhubung matahari tidak terlalu terik dan cuaca yang bagus. Byungchan tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya melihat jinhyuk yang sibuk mengarahkan kamera ponsel ke arah wooseok yang tengah berpose.

“Coba-coba, sekarang pose candid seok.” Jinhyuk berseru, menyuruh wooseok mengganti posenya.

“Foto yang tadi bagus gak? coba sini lihat dulu.” Wooseok mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel dari tangan jinhyuk, “nanti aja lihatnya, sekarang foto dulu.” Sahut jinhyuk seraya menjauhkan tangannya.

Byungchan menghela napas, “mau sampe kapan ini foto-fotonya?”

“Eh, ada byungchan, sejak kapan ada disini?” sahut jinhyuk sambil menurunkan ponselnya. Byungchan mengambil tissue lalu melemparnya asal ke arah jinhyuk. Lantas byungchan menarik sepiring cake yang sedari tadi digunakan sebagai property foto, menyendok satu suap ke dalam mulutnya.

“Yaelah, bentar kek chan.” Ujar wooseok melihat tingkah byungchan.

“Udah lebih dari limabelas menit, pamali kalo makanan dianggurin.” Jawab chan setelah menelan kunyahannya.

“Emang lo aja yang pengen.” Sahut jinhyuk yang hanya dibalas dengan senyuman acuh tak acuh.

“Ngomong-ngomong,” wooseok membuka pembicaraan, “lo udah ketemu lagi sama kak seungwoo, chan?”

Byungchan bergumam mengiyakan, “tadi pagi pas abis lu anterin gue, dia tiba-tiba nongol di depan carport.”

“Terus? Ngobrol?”

“Iya, nanyain abis darimana kok baru pulang pagi-pagi, trus nawarin buat anter ke kampus.”

“Lo tolak?”

“Ya, iyaaa? Gue masih aneh ngelihat dia tau nggak, kayak, gak tau perut gue mules banget, gak bisa mandang dia sama lagi setelah semalem gue bilang the s word.”

“Kan lo bilangnya juga sama kita berdua doang? Bukan sama seungwoo-nya??” sahut jinhyuk keheranan.

Byungchan mengayunkan garpu kecil di depan wajahnya, “sama aja! Rasanya kayak gua udah mengakui perasaan gue, gitulah.” Byungchan mengangkat bahunya, enggan menjelaskan lebih lanjut.

“biasa aja sih, jangan terpaku sama rasa mules dan degdegan lo, deh biar gak canggung.” Jinhyuk memberi saran yang dijawab dengan anggukan berkala oleh byungchan.

“Chan chan, coba lo confess aja ke dia, mau gak?” wooseok, tiba-tiba memberi saran.

Byungchan yang tengah menyeruput kopinya tersedak, ia menjauhkan minumannya sambil terbatuk-batuk, menatap wooseok dengan nyalang. Kalau matanya bisa berbicara, mungkin sekarang tengah berteriak, ‘apa lo bilang? Lo gila ya?!’

“Kalem, euy, kalem.” Jinhyuk menepuk punggung byungchan sembari terkekeh pelan.

“Kalem kalem palelo?!” sungut byungchan setelah batuknya reda.

“Tapi omongan gue gak ada salahnya, coba lo pikirin deh.” Wooseok mengambil jeda dengan meminum kopinya, “Bentar lagi semester baru mulai yang berarti kak seungwoo mesti balik ke kostannya, pun kalo dia gak punya perasaan yang sama dengan lo, lo berdua punya waktu buat mikir dan nyusun ulang semuanya biar nanti pas libur semester depan lo tetap bisa main bareng kayak biasa lagi.” Lanjutnya, mengelaborasi agar byungchan mengerti yang dimaksud.

“Masuk akal,” sahut byuncghan, “tapi pass deh, gue gak berani.” Lantas sedetik kemudian laki-laki itu menambahkan, “Eh, lebih ke gak tahu gimana cara confess-nya sih.” Lanjut laki-laki yang kembali menikmati potongan red velvet kesukannya.

“Yaelah, jinhyuk aja confessnya waktu kita lagi makan di angkringan.”

“Hah serius?” byungchan tergelak, setengah tidak percaya. Sementara yang menjadi objek pembicaraan menggaruk tengkuknya. “Sebenarnya itu gak ada persiapan, saat itu gue yakin kalau gua cuma mau wooseok jadi gua tembak aja, biar gak diembat yang laen.”

“Bahasa luuuuu!” byungchan memukul lengan jinhyuk karena geli mendengar sahabatnya berkata serius.

“Jinhyuk emang mulutnya perlu diikat deh ya.” Sahut wooseok berbanding terbalik dengan wajah yang sudah memerah serta ulasan senyum di bibirnya.

“Intinya, mau gimana pun caranya lo confess, yang penting perasaannya nyampe. Itu ajasih chan.”

Byungchan memangku dagunya dengan sebelah tangan, “duh, gue tetep bingung.”

“Gini deh,” wooseok ikut memangku kepalanya, “lo punya rutin gitu gak sama dia, atau tempat yang sering didatengin, semacam ada sejarahnya?”

“Yang pertama kali muncul di kepala gue itu playground komplek tempat gue jatoh dulu.”

“Nah! Boleh tuh, lo ajak dia kesana jadi gak perlu pakai alasan kan? nanti dia juga gak bakal curiga kalo lo emang mau confess, trus amit-amitnya lo gak berani, last minute bail out juga gak bakal ketahuan.”

Byungchan mengangguk-angguk, dalam diam mengamini ucapan wooseok. “jangan ngangguk-ngangguk doang, dipikirin baik-baik!” sahut jinhyuk seraya mengacak rambut byungchan.

“ISH! Iya, iyaa, nanti gue pikirin lagi.”

.

Matahari sudah beranjak ke ufuk barat ketika akhirnya jinhyuk mengantar byungchan sampai ke depan rumahnya. Wooseok sudah lebih dulu di drop berhubung jarak dari kafe ke rumah wooseok lebih dekat. Sebelum turun dari kursi penumpang, jinhyuk sempat mengacak rambut byungchan dengan intensi jahil. Berhubung sang empu tengah murung, tingkah tersebut merupakan salah satu usaha supaya byungchan tidak terlalu memikirkan perasaannya.

Sukses menepis tangan jinhyuk, byungchan turun dari mobil namun bukannya langsung melaju jinhyuk malah menurunkan kacal mobil. “Semangat ya chaan, inget jangan buru-buru, pikirin dulu aja oke?” “Bawel jinhyuk! Udah sana pulang!” sahut byungchan, tangannya tidak berhenti melambai sampai mobil jinhyuk menghilang di pertigaan.

“Jadi itu yang namanya jinhyuk?”

Byungchan terkesiap mendengar suara dari belakang, refleks memutar tubuhnya menghadap si pemilik suara. Ia menahan napas, matanya membulat saat ingat apa yang jinhyuk bicarakan, “kak seungwoo! Dari kapan ada di situ?”

Tenang, tenang, jangan mules, fokus ke kak seungwoo aja, rapal byungchan dalam hati.

Ada raut jengkel yang terpatri di wajah seungwoo untuk sepersekian detik yang tidak ditangkap oleh byungchan, “kenapa? Takut ganggu kamu berduaan?”

“Hah? Enggak lah, kenapa harus takut coba.” ujar byungchan, tiba-tiba merasa bingung dengan respon dari seungwoo. Ia melihat sepeda di area carport dan seember air yang penuh, menandakan bahwa seungwoo memang sudah dari tadi berada di carport.

“Kamu belum jawab pertanyaan aku, chan.” Seungwoo kembali menarik atensinya.

Byungchan menelengkan kepalanya, “ah, iya, itu tadi jinhyuk nganterin aku pulang kita habis dari kiotaun.”

“Kamu sering ya jalan sama dia?” tanya seungwoo

“Ya lumayan sering sih, kan suka ngerjain tugas bareng juga.” Jawab yang lebih muda.

“Oh, jinhyuk baik ya chan?”

“Baik lah, kalau gak baik ngapain aku temenan sama dia.” Jujur byungchan tidak tahu kemana pembicaraan ini berarah, sehingga ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan dengan jujur.

“Ganteng juga?”

“Hah?” byungchan mengambil jeda sejenak memikirkan jawaban yang pantas, “gatau, gak pernah mikirin.” Jawab byungchan sekenanya. “Eh, kakak masih main sepeda?” tanya byungchan, mengingat sepedanya yang terduduk rapi di halaman belakang.

“Iya, mau main sepeda bareng?”

“Yuk! Udah lama banget gak sepedaan, Tapi besok aja ya kak? Aku capek kalau sekarang.”

“Eh, nanti malam mbak sunhwa dateng.” Seungwoo memberi info pada laki-laki yang lebih muda, “oh ya? Asik makan-makan!” seru byungchan tidak bisa menahan rasa excited yang muncul mendengar kabar dari seungwoo.

“Iya, bilangin ayah sama bunda, kayaknya besok makan malem bareng di rumahku.”

“Siap bos! Aku masuk duluan ya kak! Jangan lama-lama nyuci sepedanya nanti masuk angin.” Ujar byungchan lalu melambaikan tangannya seraya masuk ke dalam rumah.

. .

Seharian byungchan disibukkan dengan agenda membantu bunda. Hari ini sepertinya bunda merasa rindu, seperti ingin selalu berada di dekat byungchan. Bunda tidak membiarkan anak laki-laki semata wayangnya berdiam diri di kamar seperti biasa, selalu ada saja titah yang keluar dari bibir sang ibu. Tidak ingin mengeluh, byungchan mencoba mendalami peran menjadi anak baik satu hari ini dalam artian bahwa ia mengerti kalau bunda hanya ingin menghabiskan banyak waktu bersama dengannya.

Ajakan bersepeda yang diamini seungwoo baru terealisasi ketika laki-laki yang lebih tua datang berkunjung. Byungchan tengah memotong sayuran yang akan dimasak oleh bunda ketika seungwoo muncul di dapur, mengingatkan byungchan tentang janjinya sekaligus meminta izin kepada bunda untuk meminjam byungchan.

“Adek kok gak bilang mau sepedaan sama seungwoo? Yaudah, sana ambil sepedanya di belakang.” Kata bunda, entah mengapa terdengar lebih bersemangat daripada byungchan yang mau pergi.

“Eh, aku aja yang ngeluarin sepedanya, kamu cuci tangan dulu aja chan. Di halaman belakang kan ya, tan?” ujar seungwoo, sekali lagi meminta izin pemilik rumah.

Saat tungkainya melewati pintu depan rumahnya, byungchan melihat seungwoo tengah memeriksa rantai sepeda milik byungchan. “Nih, udah aku kasih oli tadi, yuk jalan?” sapa seungwoo sumringah saat netranya menangkap entitas byungchan.

Byungchan mengambil pegangan stang dari seungwoo, membiarkan yang lebih tua mengambil sepedanya sendiri kemudian di waktu yang sama mereka mengayuh pedal maju. Angin menerpa kulit wajah byungchan, semena-mena mengacak surai hitamnya beriringan dengan laju kayuhan sepeda. Ia melirik seungwoo yang secara konstan menjaga kecepatan supaya tetap berada di sebelah byungchan. tak jauh berbeda, poni hitam milik yang lebih tua juga diacak oleh angin. Wajah pucatnya sedikit merona padahal langit sedang didominasi oleh warna abu-abu.

Keduanya berbelok sinkron saat mencapai pertigaan familiar menuju playground belakang kompleks perumahan. Tempat yang mereka sering kunjungi dulu, ketika mereka berdua masih senang menghabiskan waktu untuk hal-hal mundane. Dulu, ketika kesibukan belum menarik keduanya ke arah yang berlawanan sampai pada titik untuk bertatap muka saja sulit. Dulu, ketika seungwoo belum meninggalkan kota yang menjadi rumahnya. Seungwoo menarik remnya lantas turun dari jok sepeda, diikuti byungchan yang sama-sama memarkir sepedanya di belakang milik seungwoo.

“Kak?” byungchan memanggil seungwoo, bingung melihat yang lebih tua melangkahkan kakinya kea rah ayunan. Iya, ayunan yang itu.

“Sini chan, udah lama banget gak main ayunan disini.” Ajak seungwoo dengan senyum sumringah, seperti anak kecil yang baru saja diberi permen favoritnya.

Yang ada dalam pikiran byungchan saat itu ialah apakah seungwoo dapat membaca pikirannya. Jelas-jelas byungchan tidak pernah menyebutkan tempat ini secara spesifik sebagai tujuan mereka. Tapi, seakan byungchan adalah buku yang terbuka, seungwoo dapat dengan mudah membaca yang lebih muda, begitu saja mengajak byungchan mampir kesini for old time’s sake.

Playground sore itu sepi, entah karena cuaca yang mendung atau karena sedikitnya anak kecil yang tinggal di komplek. Dulu, waktu seungwoo dan byungchan masih duduk di sekolah dasar, tempat ini tidak pernah sepi. Byungchan harus menunggu lima belas menit untuk menaiki ayunan secara bergilir. Perlahan ia mengambil tempat di samping seungwoo yang sudah berayun riang, ekspresinya persis seperti anak sepuluh tahun. Byungchan mau tidak mau ikut tersenyum melihat ekspresi seungwoo.

Tungkainya menekan tanah pijakan, memberi sedikit dorongan agar tubuhnya ikut mengayun meski tidak sekencang seungwoo. Kedua netra byungchan terjatuh pada langit yang semakin lama semakin penuh dengan awan. Sementara angin tidak henti-hentinya berhembus, “sebentar lagi hujan turun,” byungchan menyuarakan pikirannya.

“iya, pulang aja yuk.” Sahut seungwoo, menyudahi tingkah kekanakannya. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, seungwoo sudah berdiri di atas kakinya sendiri, tengah menatap byungchan dengan senyuman yang sedari tadi tidak pernah pergi dari wajahnya. Suara di kepala byungchan berbisik, sekarang saatnya.

Lantas bibir yang lebih muda mengucap pelan, “kak seungwoo,” panggilnya, meminta atensi layaknya apa yang sudah diberi oleh seungwoo belum cukup. “kenapa? Sakit?”

Kepala yang lebih muda bergerak menggeleng, “kak seungwoo, aku-“ ucapannya berhenti seraya pikirannya terdistraksi oleh bulir air yang turun secara bersamaan, “hujan!” seru byungchan.

Keduanya mengambil langkah lebar-lebar, dengan cepat naik ke atas sepeda dan mengayuh pedalnya kencang. Tidak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di teras rumah, menaruh sepeda dengan asal lantas tanpa pamit berteduh ke dalam rumah masing-masing. Pembicaraan yang menggantung diudara terlupakan begitu saja dibasuh air hujan dan ikut mengalir bersamanya. Mengalir lalu hanyut dan hilang, kontras dengan perasaan sang empu yang semakin nyalang.

. .

Makan malam yang dihadiri kedua keluarga terkesan kasual. Byungchan hanya memakai pakaian sehari-harinya pergi ke kampus, dan kedua orang tuanya rapi dengan kemeja couple. Byungchan mati-matian untuk tidak memutar bola matanya, alih-alih tertawa.

Hujan masih setia turun, enggan ingkah meski hari semakin larut. Membuat byungchan mau tak mau berjalan bolak balik menjemput ayah dan bunda karena payung di rumahnya hanya ada satu, dua lagi rusak. Sembari membawa tupperware berisi lauk serta dessert yang dibuat oleh bunda, (juga dibantu byungchan, sedikit) keluarga byungchan disambut dengan hangat oleh mama seungwoo. Byungchan melihat kak sunhwa lalu melambai kecil, sebelum akhirnya dibawa ke dalam pelukan mama seungwoo.

“Jarang main ya kamu, mentang-mentang seungwoo di luar kota.” Sapa mama seungwoo yang hanya dijawab dengan kekehan oleh byungchan. Secara berganti sunhwa menarik tubuh byungchan, “lama gak jumpa, adek!” ditepuknya pundak byungchan berkali-kali penuh afeksi. Lalu ketika byungchan melepaskan pelukan, sudah ada seungwoo berdiri di samping kakaknya, menunggu giliran. “Aku juga mau.” Ujarnya.

“Apasih,” byungchan mendorong bahu kanan seungwoo, mencairkan suasana yang sempat kikuk, lebih pada dirinya sendiri tapi enggan mengaku. Byungchan dapat melihat guratan kecewa sebelum mama seungwoo menariknya untuk duduk di meja makan.

Ini makan malam biasa, bedanya dihadiri dua keluarga. Makan malam rutin yang selalu dilakukan apabila salah satu keluarga memiliki hal yang perlu dirayakan. Dulu, saat seungwoo dipilih menjadi ketua osis, lalu saat byungchan menang lomba madding juara tiga, lalu ketika sunhwa berhasil lulus kuliah tepat waktu. Tidak terhitung berapa canda dan tawa juga berapa kebahagiaan yang dibagi dalam tiap-tiap pertemuan rutin. It became their thing.

Seungwoo sudah larut dalam pembicaraan semi serius dengan ayah sementara byungchan dapat mendengar bundanya bertanya perihal keberadaan papa seungwoo. “Dinas mbak, biasa banget anaknya pulang malah dinas, gak pas gini lho jadwalnya.” Byungchan mendengar jawaban mama seungwoo seraya makanan dituangkan ke piringnya oleh Sunhwa.

“Kak sunhwa, gimana Surabaya?” tanya byuncghan, pada satu-satunya orang yang tidak occupied dalam pembicaraan.

Perempuan yang ditanya tersenyum manis, “panas,” ada jeda sebentar sebelum ia melanjutkan, “kamu kuliahnya gimana? Eh, apa kabar teman kamu yang itu, aduh aku lupa siapa namanya,”

Byungchan mengerutkan keningnya, “yang mana? Emang temanku ada yang pernah ketemu sama kakak?”

“Ada! Yang waktu itu dia ngira salah masuk rumah pas aku lagi main,”

“Oh, wooseok! Ih! Parah! Kakak udah tukeran nomor hp juga, katanya mau konser bareng..” jawab byungchan berapi-api. Sunhwa terkekeh mendengarnya, “iya, aku lupa namanya siapa tahu nggak, masa aku harus cek satu-satu kontak di hp aku.”

“Kan bisa tanya aku kak, ohiya, kemaren ketemu nggak sama wooseok di venue? Dia nonton juga loh..”

“Nah iya! Aku nggak ketemu sama dia, jadi gak enak deh padahal udah janjian-“ perkataan sunhwa terresonansi ketika rungunya turut menangkap suara berat dari samping, meminta perhatiannya, ‘mau garam’ telunjuk seungwoo mengarah ke tempat garam yang jauh dari angkauan laki-laki yang lebih tua.

Byungchan pura-pura tidak merasakan tatapan penuh tanya dari sunhwa, juga perasaan berdebar ketika sebagian jarinya bersentuhan dengan milik seungwoo.

. .

Ada sebuah tensi di udara yang cukup tinggi, tapi tidak tahu apa dan bagaimana harus menjelaskannya.

Setelah makan malam, seungwoo menyeret byungchan untuk masuk ke kamarnya. Hal yang terlampau sering dilakukan sehingga para tetua di rumah tidak melontarkan komentar apapun. Tangannya digenggam seraya tungkainya ikut melangkah mengikuti yang lebih tua. Perasaan aneh itu kerap datang bersamaan dengan sentuhan seungwoo dan byungchan kurang nyaman akan hal itu, maka hal pertama yang dilakukan byungchan saat sudah masuk ke dalam kamar ialah melepas tautan tangan mereka.

Kamar seungwoo interiornya berubah, layoutnya diganti membuat ruangan empat kali lima meter tersebut terasa lebih luas. Beberapa buku yang dulu tertumpuk di satu sudut hilang digantikan dengan susunan rapi dalam rak putih. Ada tambahan nakas di sebelah rak bersama meshboard yang dipenuhi foto-foto milik seungwoo.

“Ada foto aku! Ih ini pas kapan ya?” ujar byungchan menggali memori-memori yang terarsip di kepalanya, “kok kak seungwoo gak bilang-bilang ganti interior? Ke ikea sendiri?”

“Yang lebih dari seminggu ngilang kayak ninja siapa?” seungwoo malah balik bertanya.

Byungchan meringis pada ucapan sarkas seungwoo, “aku sibuk acara seminar kan aku udah bilang.”

Seungwoo mendengus, “padahal aku lagi disini tapi kamunya malah sibuk”

Byungchan memajukan bibirnya, merasa bersalah tapi juga tidak bisa melakukan apa-apa, “yang penting sekarang aku disini.”

Sekali lagi seungwoo mengambil tangan byungchan, “duduk,” katanya lantas dituruti setelah tubuhnya dibawa ke sisi ranjang, “kenapa?” tanya yang lebih muda memperhatikan gelagat aneh seungwoo.

Sekali lagi byungchan melepaskan genggaman tangan seungwoo, membuat yang lebih tua mencebik, “aku kotor banget apa chan?”

“Gimana?” byungchan memutar kepalanya dengan cepat, memandang seungwoo.

“Kamu gak mau tangannya aku pegang, dua kali.” Tukas seungwoo, tanpa basa-basi.

Byungchan gelagapan mencari alasan, “tanganku keringetan, gak enak aja.”

“Tadi juga kamu gak mau peluk aku.” Ini terdengar seperti mencari-cari alasan tapi sungguh, seungwoo masih memikirkan perihal byungchan yang menghindarinya.

“Ih bukan gitu…”

“Terus gimana?” tuntut yang lebih tua, mengunci netra lawan bicaranya, meminta kejujuran dalam jawaban yang akan diutarakan.

Hening mengambil alih, byungchan terlihat bingung menjelaskan dan seungwoo masih belum mau membiarkan pembicaraan ini larut begitu saja. Suara bunda memanggil nama anak semata wayangnya terdengar dari ruang tengah, “adek, mau ikut pulang ngga?” sepertinya semesta berpihak pada byungchan dan ia sedikit bersyukur untuk itu.

“Iyaa!”

“Nggak!”

Byungchan menatap seungwoo yang juga berteriak menjawab pertanyaan bunda, sebuah usaha untuk menahan byungchan pergi. “Sebentar buun!” teriak byungchan lagi, membuat seungwoo balik menatap byungchan kesal.

“Jendela kamar gak akan ku kunci!” sahut yang lebih muda seraya menghilang di balik pintu kamar seungwoo.

.

Setelah apa yang diucapkannya, byungchan tidak kaget melihat seungwoo sudah duduk di pinggir ranjang ketika ia masuk kamar setelah mengganti bajunya dengan piyama. “Udah bersih-bersih?” tanya byungchan berusaha mencarikan suasana. Seungwoo mood-nya masih jelek dan byungchan dapat mengenalinya dalam satu tilik.

Seungwoo mengangguk, “duduk sini.” Ucapnya seraya menepuk ruang kosong di sampingnya. Namun yang lebih muda menggeleng, “aku disini aja.”

“chan,” seungwoo menatap byungchan, bersikeras supaya pindah hanya dengan satu kata penuh penekanan.

“Kamu tuh kenapa sih, kak? Gak biasanya clingy, gini.” Byungchan masih tetap duduk di kursi belajarnya. Enggan menuruti pinta seungwoo.

“Oh jadi aku terlalu clingy? Beda ya sama jinhyuk?” ada nada jengkel yang sangat kentara dalam tiap ucapannya serta penekanan pada satu nama yang tiba-tiba diangkat.

“Apa hubungannya sama jinhyuk, sih? Aku tuh nanya kamu, kak.” Balas byungchan berusaha menjaga suaranya rendah berhubung seluruh penghuni rumah sudah masuk kamarnya masing-masing. Lantas matanya menangkap wajah tertekuk seungwoo akibat perkataan yang lolos dari bibirnya.

“Pertanyaanku juga belum dijawab sama kamu, kalau kamu lupa.” Sahut seungwoo. Matanya gelap, berdilatasi akibat dipenuhi oleh emosi, rahangnya mengeras menahan amarah namun ekspresi yang dikeluarkan benar-benar dijaga supaya tetap netral. Anehnya, tidak membuat byungchan gentar.

“Kenapa sih kamu bisa mikir kayak gitu? Toh emangnya kita sering skinship juga enggak kan?” Byungchan kepalang pusing mencari akal untuk tidak menjawab pertanyaan seungwoo mengakibatkan nada suara yang dikeluarkan lebih kasar dari intensinya. Defensif.

“Karna sebelumnya kamu gak pernah nolak, genggaman tanganku, rangkulanku, bahkan pelukanku pun.” Seungwoo menarik napasnya dalam-dalam, “Fine, kamu punya hak buat nolak tapi aku mau tahu kenapa. Kenapa, byungchan,” ada lirih dalam perkataan seungwoo ketika ia mengucap nama byungchan di akhir.

Byungchan membuka lalu mengatupkan kedua bibirnya, alih-alih menjawab, ia menghela napasnya. Ditapaknya lantai kamar diatas kedua tungkai miliknya, lantas ia mengambil jarak hingga tidak ada lagi ruang di antara mereka berdua. Tanpa aba-aba, tangannya merengkuh seungwoo yang masih duduk di pinggir ranjang, kepalanya terbentur perut rata byungchan. “Tadi kamu minta peluk, kan.” Cicit byungchan, ia berbisik seakan takut seluruh dunia mendengar perkataanya. Alih-alih menjawab, seungwoo melingkarkan tangannya di pinggang yang lebih muda lantas menyandarkan dahinya.

Luruh.

Seluruh tensi yang sedari tadi menyelimuti ruangan ikut turun menyentuh titik paling rendah tepat ketika kedua insan menemukan tempatnya dalam dekapan. Tidak ada lagi amarah dan yang tersisa hanya perasaan bersalah atas satu sama lain.

“Aku marah.” Kata seungwoo, suaranya terredam oleh kain piyama yang dikenakan byungchan namun tidak lagi penuh dengan emosi.

“I know, I know,” sahut yang lebih muda, “aku mau bilang sesuatu, mau mengaku,” lanjutnya sementara mengusak surai hitam seungwoo dengan jari-jarinya yang bergetar. Byungchan menghela napas pelan, berharap bisa mengurangi rasa gugup yang kian mendera.

“Aku baru sadar, kata wooseok mungkin udah lama aku ngerasainnya cuma akunya aja yang bodoh dan gak mau mikirin, mungkin..” byungchan memulai, “mungkin juga karena tiba-tiba ada satu nama yang sering disebut di sela pembicaraan kita, gak tahu kamu sadar atau nggak, tapi aku iya, dan karenanya aku jadi, apa ya? Cemburu?”

Seungwoo mengernyitkan dahinya, menebak-nebak siapa yang dimaksud namun enggan menyela. “Bodoh banget kalau dipikir-pikir, berhubung kamu juga gak ngasih tahu ada hubungan apa kamu sama dia, aku malah berasumsi gak jelas, ujung-ujungnya jadi pengecut dan milih lari daripada dengar jawaban dari kamu,”

Kali ini seungwoo paham, byungchan berbicara tentang seungyoun serta semua cerita-cerita yang disampaikan satu semester ke belakang. “Kupikir, childish juga ya aku masa karna kamu punya teman baru aku jadi ngambek gak jelas, tapi waktu itu, pas kamu bilang ke seungyoun kalau aku sahabat kamu, kok rasanya sedih ya,” seungwoo mengeratkan rengkuhannya memberi aba-aba kalau ia masih mendengarkan.

Ada jeda cukup panjang sebelum akhirnya byungchan mengatakan kalimat terakhir yang menutup pengakuannya, “aku jadi sadar kalau aku gak mau punya titel sahabat kamu doang, aku jadi paham kalau aku, ternyata, suka sama kamu bukan sebagai teman, bukan sebagai sahabat, bukan juga sebagai seseorang yang selalu bisa aku andalkan selain ayah. Aku suka kamu sebagai Han Seungwoo.”

Final.

Byungchan mengakhiri ucapannya tapi seungwoo masih belum mengeluarkan suara apapun, “kak? Kamu tidur?”

Byungchan memekik pelan saat seungwoo dalam sekali sentak merebahkan punggungnya di atas kasur, menyebabkan byungchan ikut berbaring diatasnya. “Kamu curang.” Kata seungwoo, saat netra keduanya sejajar bertemu, “kalau kayak gini kan aku mana bisa marah.”

Byungchan memberikan senyuman, “aneh, aku kira kamu bakal makin marah.”

“Mana bisa,” diusapnya wajah yang lebih muda, jemarinya bergerak pelan dari pelipis berhenti di pipi. “Maaf ya, byungchan,”

“Kenapa tiba-tiba?”

“Aku sama seungyoun temenan doang, kok, dia udah punya pacar lagian.”

“Gimana?” byungchan bingung dimana korelasi permintaan maaf seungwoo serta hubungan seungyoun.

“Lucunya, seungyoun malah ngira kamu pacarku, soalnya tiap kita facetime selalu ada dia, terus katanya senyumku kayak orang tolol.” Byungchan tidak menahan gelakan yang keluar setelah mendengar ucapan seungwoo.

“Kita pacaran, ya chan? Kamu jadi pacarku, aku jadi pacarmu, gimana?” tawar seungwoo, membuat byungchan sendiri kaget dengan apa yang baru saja didengar.

“Hmm, kayaknya titel pacarnya Han Seungwoo gak buruk.” Begitu jawaban yang dilontarkan lelaki yang lebih muda, seakan tawaran tersebut tidak membuat sang empu bahagia sampai-sampai ia merasa pipinya pegal saking lebarnya ia tersenyum.

Seungwoo menyentuh kening byungchan dengan bibirnya, memberikan kecupan ringan yang cukup lambat. Berharap perasaannya dapat tersalur sementara hati byungchan penuh dengan perasaan-perasaan baru yang asing namun familiar karena ini Han Seungwoo. Hatinya berdesir hangat, pelukannya makin erat. Malam itu, ada dua insan yang hatinya saling terikat.

. .

“aku sayang kamu, byungchan.”

ㅡ 🌙

ㅡ dua (2/3)

ii.

Seungwoo dan Byungchan mulai berteman sejak byungchan berumur tujuh tahun dan seungwoo sembilan. Di suatu hari yang biasa, dimana byungchan sedang melakukan rutinitas sore harinya, ia melihat dua mobil besar datang dan berhenti di depan sebelah rumahnya yang sudah lama kosong, disusul dengan mobil sedan berwarna silver yang justru berhenti tepat di depan rumah byungchan, karena tidak ada lahan parkir lain.

Setelah itu, yang byungchan ingat, tahu-tahu bundanya muncul lalu menyambut dua orang dewasa yang keluar dari mobil silver tersebut. Tahu-tahu ada anak laki-laki yang terlihat seumuran dengan byungchan mengintip dari balik punggung wanita dewasa yang tengah berbicara dengan bunda. Tahu-tahu, byungchan dipanggil untuk disuruh berkenalan dengan anak laki-laki itu.

Anak laki-laki ompong yang bingung harus berkata apa selain, “hai namaku Seungwoo,” yang membuat byungchan harus ekstra berbicara supaya Seungwoo dapat mengeluarkan beberapa patah kata. Memang dasar anaknya penuh dengan rasa keingintahuan yang tinggi, byungchan selalu menanyakan banyak hal pada seungwoo, membuat anak laki-laki tersebut menjawab satu-satu pertanyaannya. Tidak jarang seungwoo harus menjelaskan berulang-ulang karena byungchan tidak mudah paham.

Lalu saat seungwoo muncul di sekolahnya, byungchan tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang berseri-seri sambil berteriak, “kak seungwoo!” yang omong-omong, membuat seungwoo sedikit malu karena byungchan memanggilnya tepat ketika pulang sekolah dimana seluruh teman kelasnya baru keluar. Tapi di balik itu, seungwoo langsung menghampiri byungchan yang sudah menunggunya untuk pulang bersama. Seungwoo ingat senyum lebar byungchan ketika ia memperbolehkan anak laki-laki yang lebih muda untuk naik di kursi belakang sepedanya.

Tahun demi tahun berlalu, byungchan dan seungwoo selalu masuk ke sekolah yang sama. bagai dua sejoli yang tidak pernah bisa dipisahkan, bahkan teman-temannya pun sudah paham betul kalau byungchan dan seungwoo seperti satu paket. Meski keduanya memiliki kesibukan masing-masing, seungwoo dengan kegiatan osisnya serta byungchan dengan kegiatan ekstrakulikuler madingnya, namun semua orang di sekolah juga tahu kalau pulang pergi, seungwoo selalu bersama dengan byungchan.

Mungkin hal itu juga yang membuat orang lain enggan mendekati mereka berdua. Maksudnya, dalam urusan cinta percintaan, baik seungwoo maupun byungchan belum pernah yang namanya merasakan pacaran. Bahkan saat duduk di bangku SMA pun, meski banyak perempuan yang antre, seungwoo tidak tertarik menjalin cinta monyet dan lebih memilih untuk fokus kegiatan sekolah. Sementara byungchan, ia masih ingin bebas main seperti anak-anak sehingga memilih untuk tidak memikirkan perihal hati.

Maka ketika salah satu diantara mereka membawa sebuah nama dalam obrolan, keduanya pasti paham sesuatu tengah terjadi. setidaknya, byungchan menyadari selama satu semester kebelakang, seungwoo selalu menyebut satu nama yang sama dalam tiap pesan maupun sesi face time mereka.

“chan kamu ingat seungyoun nggak?” tanya seungwoo, tiba-tiba saat byungchan sedang mengempeskan boneka snoopy milik laki-laki yang lebih tua. Kali ini byungchan yang berkunjung ke kamar seungwoo, uas mata kuliah terakhir baru saja selesai dan dia buru-buru kabur ke kamar laki-laki yang lebih tua dengan tujuan untuk mendinginkan kepalanya.

“Eh? Temen yang suka kakak omongin bukan sih? Yang sering bareng rapat hima sama kakak?” tanya byungchan yang dijawab dengan anggukan mantap.

“dia ternyata tinggal di sini juga tau! Tahu gitu kemaren aku pulang bareng sama dia aja, lumayan ada temen ngobrol.” Seungwoo menambahkan.

Byungchan meringis, bingung harus menjawab apa, “err, kakak dekat banget ya sama dia?” tanya byungchan, akhirnya menyuarakan rasa penasarannya yang menumpuk.

“hmm, baru dekat akhir-akhir ini sih karena ikut kepanitiaan hima, satu divisi sama dia trus ternyata kostan aku sama dia deketan juga, jadi banyak waktu bareng.” Jawab seungwoo mengalihkan pandangannya dari byungchan ke ponsel dalam genggaman.

“oooh gitu yah kak,” hanya itu respon yang bisa dikeluarkan oleh byungchan, alih-alih memperhatikan seungwoo yang sudah sibuk dengan ponselnya, byungchan larut dalam pikirannya sendiri. Kenapa tiap nama seungyoun disebut dalam pembicaraan mereka, byungchan merasa tidak enak hati begini ya. Rasanya seperti ada yang mengganjal, terasa salah, tapi byungchan tidak mengerti apa.

Kak seungwoo pasti lagi chat-an sama seungyoun seungyoun itu deh ya, byungchan yang sudah merebahkan tubuhnya di atas kasur seungwoo bergumam dalam kepalanya.

Nggak tahu ah, capek, tidur disini gak apa kali ya, pikirnya sebelum kesadaran diambil alih oleh kantuk.

.

Dua hari kemudian, byungchan mendapat pesan dari seungwoo, berkata kalau seungyoun mengajaknya bertemu. Byungchan tidak tahu harus balas apa, pesannya berujung tidak dibalas.

.

Malamnya, jendela kamar byungchan kembali diketuk. Byungchan yang sudah siap ingin tidur turun lagi dari kasur untuk mempersilahkan seungwoo masuk. “kakak kenapa?” tanyanya bingung, ini sudah lewat dari jam sepuluh dan seungwoo terlihat baru saja pulang.

“kamu yang kenapa?” seungwoo balik tanya, membuat byungchan mengerutkan dahinya bingung.

“aku kenapa?” byungchan minta penjelasan, jujur dia kurang paham. Tapi tangannya menarik ujung lengan baju seungwoo untuk masuk ke dalam kamar, takut laki-laki yang lebih tua kedinginan akibat angin malam yang bertiup lebih kencang dari biasanya.

“kamu gak balas pesan aku, chan, kenapa?” tanya seungwoo.

“oh, itu, aku lupa, kayaknya kemarin ketiduran trus gak sadar kalau chat kakak kebuka.” Jawab byungchan, sedikit panik, juga diiringi dengan cengiran khasnya. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa ia harus membuat alasan.

Seungwoo menghela napas, sekilas byungchan lihat raut lega di wajahnya bercampur dengan ekspresi lain yang tidak byungchan pahami, namun enggan bertanya lebih lanjut. “kakak abis darimana?” tanya byungchan.

“tadi aku ketemu seungyoun.” Jawab yang lebih tua, byungchan kembali meringis. “dia mau ketemu sama kamu juga katanya, chan, minta dikenalin.” Lanjut seungwoo. “kamu mau nggak?”

“oh? Ya mau-mau aja, memangnya kenapa? Dulu aku juga kenal sama temannya kakak. Siapatuh namanya, Seungsik?” Byungchan setengah mati untuk tidak menjawab dengan nada jengkel. “pulang gih kak, aku ngantuk, kakak juga kelihatan capek tuh, jangan lupa bersih-bersih sebelum tidur, dadaaaah.” Byungchan mendorong seungwoo keluar dari kamarnya lalu mengunci jendela dari dalam. Ia melambaikan tangan pada seungwoo yang masih diam di area balkon, memberikan gesture agar seungwoo cepat masuk ke kamarnya sendiri berhubung angin malam itu sangat dingin.

.

“lo, bego banget, sumpah.” Itu wooseok, ia tengah mengintip dari balik tirai jendela kamar byungchan sementara sang empunya kamar tengah menatap wooseok was-was dari meja belajarnya. Takut kalau wooseok tiba-tiba menyingkap tirai tersebut, menampilkan seseorang yang tengah ia hindari belakangan, menampilkan dirinya ke hadapan orang tersebut.

Byungchan tidak pernah paham jalan pikirannya, hari itu ia bangun dan merasa enggan bertemu dengan seungwoo. Byungchan tiba-tiba seperti mendapat bisikan ‘ah! Aku harus menjauhi teman masa kecilku yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri entah kenapa tapi perasaanku yakin aku harus melakukannya.’

Seakan semesta mendukung rencananya, byungchan daftar menjadi panitia acara seminar nasional di kampusnya. Menyebabkan byungchan lebih sering menghabiskan waktu di luar kamarnya, menyebabkan byungchan pulang hanya sekedar beristirahat lalu paginya ia pergi lagi, menyebabkan intensitas byungchan bertemu seungwoo menipis.

Bohong kalau ia tidak mengalami kesulitan, ada waktu dimana ia tidak sengaja bertemu seungwoo yang baru pulang lari pagi (credit untuk mama yang telah membangunkan seungwoo), kemudian seungwoo seperti biasanya menyapa byungchan lalu mengantar laki-laki yang lebih muda pergi ke kampus. Atau ketika ia pulang dari kampus, terlampau lelah untuk menyadari bahwa tirai jendela kamarnya yang sengaja ia tutup, (iya, byungchan sengaja menutup tirai tersebut untuk mengurangi kunjungan seungwoo) telah dibuka oleh bundanya.

“eh, eh, ada tuh orangnya.” Ucap wooseok, membuat byungchan panik, “tutup bego tirainya!” balasnya seraya melempar boneka teddy bear kecil berwarna putih.

“aduh! Barbar banget sih lo jadi manusia!” sahut wooseok,

“meong ih! Jangan buka-buka tirainya lagi ntar dia lihat gimana?!” byungchan kembali berteriak, tidak begitu kencang karena takut penghuni kamar sebrang mendengar celotehannya. Bukannya menurut, wooseok malah makin membuka tirai tersebut, lalu terpaku sebentar yang kemudian menyunggingkan senyum canggung, tiga detik setelahnya ia menutup tirai lalu berbalik menghadap byungchan.

“lo! Gila!” ujar wooseok sambil menunjuk wajah byungchan yang masih anteng duduk di meja belajar.

“lo yang gila! Udah ah, katanya lo mau minta bantuan motongin name-tag, mana sini!” kata byungchan.

“coba kasih tahu gue lagi kenapa lo jauhin teman masa kecil lo yang gantengnya kebangetan gitu?” tanya wooseok, menunjuk jendela kamar byungchan dengan ibu jarinya, belum ingin memulai apa yang menjadi tujuannya berkunjung ke rumah byungchan.

Yang ditanya menghela napas, “karena, ka seungwoo punya teman baru! Udalah kalo lo gak mau dibantuin mending gue tidur siang!”

“eh jangan ngambek dong, iya iya sekarang kita potongin name tag nya.” Wooseok mengalah, ia membuka ranselnya menampilkan kertas-kertas nametag yang belum dipotong, “gue bawa gunting dua, takutnya lo gak punya.” Kata wooseok, memberikan salah satu gunting yang langsung diterima oleh byungchan.

“tapi ya chan,” wooseok mulai lagi, “apa lo nggak merasa kalo sebenarnya lo cemburu?”

“wooseok!”

“ya kan siapa tahu!”

“kalau cemburu yang lo maksud cemburu lihat dia nempel sama teman barunya mungkin iya,” lirih byungchan.

“kali aja lo gak sadar kalo lo sebenarnya suka sama dia, trus lo cemburu soalnya takut dia jadian sama temen barunya.”

“gak ada! Lagian dia tuh udah kayak kakak gue sendiri, dan dia juga pasti nganggep gue sebagai adik, atau teman masa kecil, atau sahabat, gak mungkin lah!” seru byungchan, sedikit berapi-api, tapi juga menjaga suara yang dikeluarkan tidak lebih besar untuk sampai ke seberang. Begitu kontras dengan ekspresi sedih yang ditampilkan.

Wooseok menghela napasnya, “terserah.”

Dua hari setelahnya, byungchan tidak bisa tidak bertemu dengan seungwoo. Laki-laki yang lebih tua tiba-tiba sudah duduk manis di sofa depan televisi sambil mengunyah kacang dalam toples yang sengaja di taruh di atas meja ruang tengah. Byungchan yang baru bangun, melihat pemandangan tidak biasa di rumahnya merasa aneh, “bunda mana kak?” tanya byungchan mengusak sebelah matanya lantas duduk di samping seungwoo.

“pergi sama ayah dari pagi, kamu sih kebo.” Jawab seungwoo melirik byungchan yang sedang menguap, “masih ngantuk?” tanyanya dijawab dengan anggukan oleh byungchan. Lengan seungwoo meraih kepala byungchan untuk disandarkan ke bahunya. Menurut, byungchan menyamankan posisi bersandarnya. Peduli setan dengan gengsi, bahu seungwoo terasa nyaman.

Ah, byungchan ingat semalam bunda sama ayah menyebutkan tentang rencana mereka hari ini, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh byungchan karena ia ingin tidur seharian. Terlampau sibuk dengan agenda kepanitiaan membuat byungchan rindu bermalas-malasan. Yang tidak disangka oleh byungchan adalah kehadiran seungwoo untuk menemani hari tanpa agendanya.

Tiba-tiba ia merasa malu dengan perlakuannya sendiri hari-hari kemarin. Seungwoo yang sebaik ini, dan byungchan semena-mena menjauh hanya karna asumsinya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, bayangan seungwoo menggantikan posisinya dengan orang lain membuat hatinya tidak enak, terlanjur bersarang di pikirannya dan enggan enyah.

“kak seungwoo kok disini sih?” tanya byungchan, kontras dengan tangannya yang malah memeluk lengan seungwoo

“yaudah aku pergi nih?”

“eh, jangaaan!” byungchan mengeratkan pelukannya.

“tadi pagi ketemu bunda pas lagi mau berangkat, trus aku yang nawarin buat nemenin kamu di rumah.”

“emangnya kakak gak ada acara?”

“acara apaan?”

“apa kek, main sama seungyoun seungyoun itu, mungkin.”

Seungwoo mengulum senyumnya, “nggak ah, udah bosan. Maunya main sama kamu aja, udah lama gak lihat pipi bolongnya.”

Byungchan menahan napas, “lebay banget, orang tetanggaan gini.” Ujarnya diiringi tawa yang dipaksakan.

“kamu,” seungwoo tahu-tahu menjawab, menggantungkan kalimatnya.

“aku kenapa?”

“marah ya sama aku, chan?”

Byungchan menggigit bagian dalam pipinya, berharap degup jantungnya memelan sedikit, jelas-jelas takut kalau seungwoo tahu ia sengaja menghindari laki-laki yang lebih tua, “enggak, tuh.” Jawabnya, berhasil mengendalikan suara yang keluar untuk terdengar se-natural mungkin.

“oh, yaudah.” Jawaban dari seungwoo membuat byungchan menghela napas lega, tidak sadar kalau ia menahannya sedari tadi.

Lantas pembicaraan tersebut menguap layaknya embun yang terpapar sinar matahari pagi, tenggelam digantikan oleh tawa lepas yang tidak diredam, menguar bersamaan dengan perasaan bersalah milik laki-laki yang lebih muda atas sikap kekanakan yang ditunjukkan beberapa hari lalu.

Pandangan bungchan tidak lepas dari televisi yang menayangkan acara Phineas and Ferb. Tidak tahan untuk tidak tertawa pada tiap adegan yang ditayangkan, koreksi, pada tiap kata yang dilontarkan. Sementara seungwoo sibuk mengganggu yang lebih muda, meminta atensinya. Lama kelamaan merasa bosan dengan kegiatan byungchan yang sudah lebih dari dua jam duduk di depan tv.

“chan udah dong, jangan nonton terus.” Seungwoo menusuk-nusuk pipi byungchan, kesal tidak digubris, tangan seungwoo bergerak mencubitnya.

“aduduh! Kenapa sih tangannya gak bisa diam daritadi?” tanya byungchan, yang akhirnya memalingkan wajah dari tv,

“mandi, gih, kita jalan aja yuk,” ujar seungwoo, menarik lengan piyama byungchan yang kembali fokus ke arah televisi.

“mau kemana ih, maleeess,”

“katanya kamu mau ngajak aku ke café yang sering kamu sebut-sebut, apatuh namanya, koitaun? Kiotaun?” bujuk seungwoo, “ayo dooong chan, aku pulang kan sesekali doang, mumpung aku masih disini.” Seungwoo bersikeras membuat byungchan menghela napas. “ngomongnya kayak yang mau pergi kemana ish, yaudah aku mandi, kakak juga siap-siap sana.” Byungchan bangkit dari duduknya, membuat seungwoo menarik kedua sudut bibirnya, menyunggingkan senyum manis pada byungchan.

“siap, my little prince, setengah jam lagi aku samper?” seungwoo ikut bangkit, sedikit menyondongkan tubuhnya pada byungchan seiring pertanyaan yang diutarakan.

“satu jam! Now, shoo shoo!” jawab byungchan setengah mendorong seungwoo untuk berjalan ke pintu depan.

.

“abis ini belok mana, chan?”

“ke kanan kak, trus nanti pelan-pelan dan langsung ambil kiri ya, soalnya deket banget dari persimpangan ini.” sahut byungchan yang masih sibuk dengan ponsel dalam genggamannya, kemudian mendongak ketika dirasa mobil sudah berbelok, “ini kak, yang ini!” ujarnya lagi, jelas-jelas excited, membuat seungwoo tersenyum melihat tingkah laki-laki yang lebih muda.

Pintu mobil ditutup oleh seungwoo sementara byungchan memerhatikan laki-laki yang lebih tua dengan pandangan bingung. Tidak biasanya seungwoo membukakan pintu mobil untuknya, namun rasa itu tidak digubris ketika seungwoo menatap byungchan diiringi senyuman teduh miliknya, “gak ada yang ketinggalan, kan? Yuk?”

“hah? Oh, gaada kok,” lagi-lagi, byungchan dibuat heran oleh tangan seungwoo yang mengamit miliknya seraya tungkainya membawa mereka berdua masuk ke area café.

Byungchan memajukan bibirnya melihat hampir semua kursi diduduki. Mungkin karena hari ini hari sabtu sehingga pengunjung yang datang dua kali lebih banyak dari biasanya. Padahal ini café favoritnya, tempat ia biasa menghabiskan enam jam untuk mengerjakan tugas, sendiri ataupun bersama wooseok. Café yang sudah sering disebut dalam tiap pembicaraannya dengan seungwoo, yang selalu dielu-elukan karena akhirnya ada café yang menyajikan kue red velvet yang cocok di lidah byungchan.

“eh, kayaknya itu teman aku deh,” seungwoo menarik perhatian byungchan yang masih menilik tempat, belum sempat bertanya seungwoo sudah setengah berteriak, “seungyoun!”

Byungchan melihat laki-laki yang mengenakan topi beanie hitam serta hoodie dengan warna senada menoleh ke arah mereka, tersenyum, “seungwoo! Sini join!” matanya membentuk lengkungan lucu serta tangannya tidak berhenti melambai-lambai, memaksa mereka untuk menghampiri.

Byungchan melihat senyum seungyoun makin mengembang, mengetahui mereka sudah dekat, “gak apa nih gua join?” tanya seungwoo saat mereka sudah sampai di meja seungyoun, “gapapa kan, gyul?” seungyoun menyenggol bahu laki-laki di sampingnya, “slow aja, bang, lagi penuh ini kan.” Jawab laki-laki yang dipanggil gyul ramah.

Seungwoo menarik byungchan untuk duduk, “woo, ini…?” tanya seungyoun dengan nada penasaran, dan, oh, byungchan melihat tatapan jahil dari mata seungyoun.

“oh, sori, byungchan ini seungyoun, temen kampus aku, yang ini hangyul, temen aku juga.” Perkataan seungwoo seperti isyarat sehinga seungyoun mengulurkan tangannya pada byungchan yang disambut oleh si empunya.

“byungchan yang..?”

“iya, byungchan sahabat gua dari kecil itu youn.” Seungwoo terlihat panik buru-buru memotong ucapan seungyoun, byungchan ikut menyalami hangyul yang juga mengulurkan tangan tapi fokusnya tetap pada perkataan seungwoo barusan.

Ouch.

Sisa siang hari itu menjadi blur bagi byungchan. Ia paham kalau ia tidak enak hati, kenapanya masih belum jelas. Entah karena ia berakhir menjadi penonton obrolan panjang nan seru antara seungwoo, seungyoun dan hangyul, atau karena perkataan seungwoo yang terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak yang enggan berhenti.

Atau sebenarnya ia tahu, ia yang paling paham apa-apa yang dirasa dan yang bergumul dalam hatinya. Byungchan hanya menyangkal tentang hal itu.

ㅡ 🌙