buddyeyo


Aruna membawa sekantong bensin eceran yang ia beli tidak jauh dari restoran nasi padang.

Aruna melihat Raffa dan Haekal dipinggir jalan, tampilan keduanya tidak terlalu berantakan tapi terlihat frustasi. Satu-satunya hal yang langsung terpikir diotak Aruna hanyalah “mereka pasti kehabisan bensin,”

Untungnya Aruna melihat mereka terlebih dahulu dan membeli nasi padang sesuai dengan jumlah mereka.

“Ini, isi bensinnya,” suruh Aruna.

Haekal baru akan berucap tapi Aruna langsung memotongnya.

“Kakak ga cari kalian. Tadi abis ambil baju dikontrakannya Bu Wati, mau beli makan terus liat kalian kehabisan bensin,” jelas Aruna.

“Gak usah sok care,” cibir Haekal.

“Yaudah balikin bensinnya, biar kalian dorong aja motor sampe rumah,”

“SIAPA YANG MAU BALIK??” teriak Haekal.

“Kakak. Buruan Juna sama Jeano belum makan,” sahut Aruna acuh.

“Ck tega bener lo,”

“Terus maunya apa?” tanya Aruna lelah.

“Pulang,” sahut Raffa pelan.

“Ya tinggal pulang,”

“Takut disambit Juna,” rengek Raffa.

Aruna menahan tawanya, gemas mendengar rengekan Raffa yang sangat menggemaskan baginya.

“Gausah ketawa!” tukas Haekal.

“Hadeh ni bocah masih aja ya,” ucap Aruna dalam hati.

“Yaudah, sekarang terserah kalian mau pulang atau ngga. Ini ada nasi padang, dimakan. Kalo mau pulang, ya pulang. Minta maaf sama Juna,”

Aruna menaiki motornya, tapi sedikit terdengar percakapan Raffa dan Haekal membuatnya menunggu dan mendengarkan.

“Gue mau balik,”

“Ntar disambit Juna,” sahut Haekal.

“Gue ga mau tidur di mushola lagi! Pegel-pegel! Gue nebeng aja sama dia, pokoknya gue mau balik,” putus Raffa.

“Harga diri lo mau ditaro dimane?? Juna mulutnya licin kayak oli!”

“NGACA!”

“Pokoknya 1 minggu baru pulang!” tegas Haekal.

“Bodo! Lo aja! Gue ga punya harga diri kalo didepan Juna, gue mau pulang!”

“Lo ga setia kembaran! Lo pengkhianat kayak Nono!”

“BODO!”

Raffa meninggalkan Haekal dan menghampiri Aruna.

“Apa?! Ga jadi pulang??” tanya Haekal ketus karena Raffa kembali menghampirinya.

“Nasi padang gue ketinggalan!”


Aruna memasuki rumah pemilik calon bosnya yang luar biasa mewah.

Hatinya senang karena pekerjaannya kali ini hanya mengasuh bayi saja.

Aruna disambut oleh seorang ART dan langsung dibawa untuk menemui Si Pemilik Rumah.

Aruna duduk disofa. Tanpa menunggu lama, orang yang ia yakini adalah pemilik rumah ini pun datang dan duduk dihadapannya.

“Silahkan perkenalkan diri kamu lagi,” suruh lelaki setengah baya dihadapan Aruna.

“Saya Aruna, mahasiswi dikampus X fakultas hukum. Sedang mencari pekerjaan untuk membantu biaya kuliah saya pak,”

“Baik. Sekarang giliran saya, nama saya Agung Kusuma. Sedang mencari bigbabysitter untuk anak-anak saya. Saya harus pergi keluar negri karena urusan pekerjaan, dan agak was-was meninggalkan anak saya sendirian. Tugas kamu hanya menjaga mereka, memastikan mereka mengerjakan tugas, dan menuntun mereka kejalan yang lebih baik. Saya pusing karena mereka tidak mendengarkan kata-kata saya,”

“Kamu bisa pilih kamar mana yang ingin kamu tempati dan gaji akan saya berikan sebesar 4 juta rupiah perbulan. Saya juga akan berikan 1 atm khusus untuk transfer uang jajan anak-anak saya. Mereka biasanya boros, jadi tolong bantu mereka menggunakan uang dengan bijak. Saya juga akan berikan 1 black card jika dalam 1 bulan uang jajan mereka sudah habis kamu bisa pakai itu. Kalo kamu tidak punya kendaraan, kamu bisa pakai salah satu motor saya, kuncinya ada di rak dinding, pilih saja,” sambung Pak Agung.

Aruna sangat bersyukur karena dirinyalah yang melamar disini, bukan orang lain. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dibenak Aruna.

“Kamu bersedia?”

“Bersedia pak,” jawab Aruna yakin.

“Kamu bisa bawa barang-barang kerumah ini besok. Saya berangkat nanti malam,”

“Maaf pak. Ada berapa anak yang harus saya bantu ya pak?” tanya Aruna memberanikan diri.

Karena sedari tadi Agung selalu berkata “anak-anak saya,” atau “mereka,” yang bisa Aruna simpulkan bahwa ia harus membantu lebih dari 1 anak.

“Ada 4,” jawab Agung tenang. Pria setengah baya ini ingin melihat reaksi calon pengasuh anak-anaknya.

Tak bisa dipungkiri raut terkejut Aruna terpampang jelas dihadapan Agung. Tapi kali ini ia tidak ingin kehilangan lagi, Aruna adalah orang ke 5 yang datang. Semoga saja anak ini bisa bertahan mengurus anak-anaknya.

“Tapi mereka sudah bisa mandi sendiri, makan sendiri, mengerjakan tugas sendiri, mereka lumayan mandiri tapi saya tidak mau mereka membuat kekacauan dirumah ini. Jadi saya putuskan untuk mencari bigbabysitter untuk menuntun mereka kearah yang lebih baik,” jelas Pak Agung lagi.

“Bi tolong bawa mereka kesini,” pinta Pak Agung.

Aruna berpikir mungkin anak bosnya itu berumur 8 tahun atau setara dengan kelas 2 SD.

Tapi yang muncul dihadapan Aruna adalah 4 remaja laki-laki yang Maura kira sudah menginjak bangku SMA, bukan lagi anak bayi ataupun anak SD.

“PA SERIUS?! Ini kita bisa loh idup berempat mandiri ga perlu sewa pembantu segala, kan udah ada Bi Wati,”

Aruna tersenyum kecut mendengarkan ucapan anak laki-laki berkulit gelap tersebut.

“She is babysitter. Kak Runa yang bakal bantu kalian dalam urusan sekolah, uang jajan Papa serahin semuanya ke Kak Runa. Papa ga menerima penawaran apalagi penolakan, mulai besok Kak Runa tinggal disini sama kalian. Sekarang kalian kenalan dulu, cepetan. Kak Runa harus pulang buat packing barang-barang,” suruh Agung.

“Ck. Haekal,” ucap remaja berkulit gelap yang paling menentang kedatangan babysitter.

“Jeano,” timpal remaja yang paling tampan diantara mereka.

“Raffa,” kini giliran remaja yang cukup tampan dengan headphone yang menggantung dilehernya.

“Arjuna, panggil Juna aja,” ucap anak yang menurut Aruna paling penurut ditambah dia sangat sopan dan terlihat seperti yang paling normal.


Maura bersemangat menunggu Jeffrey. Sudah lama gadis ini tidak menikmati nikmatnya kafein.

“Dia mesenin yang mana ya?”

Maura meraih ponselnya diatas meja, chat dari Jasmine membuat Maura mengerutkan dahinya heran.

Maura membuka room chat tersebut dan menampilkan foto Anggi disana.

“Maksud dan tujuannya orang ini apaan sih?” tanya Maura.

Tak lama terdengar bunyi bel dari pintu apartmentnya. Maura bergegas menghampiri karena mungkin saja itu Jeffrey.

Tapi setelah Maura membuka pintu apartmentnya, yang muncul bukanlah Jeffrey. Tetapi Theo.

“Hai,” sapa Theo lembut.

Rasa sedih mulai mengepung Maura lagi. Setelah 2 mingguan ini ia benar-benar menghindar dari Theo, kini Theo yang menghampirinya.

“Gue boleh masuk?” tanya Theo, Maura menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Yaudah, disini aja. Gue cuma mau bilang, abis ini jangan sembunyi lagi. Lo bebas mau main dikampus, mau duduk ditaman, belajar diperpus, lo bebas,” ucap Theo.

Tatapan mata Maura terlihat sendu dimata Theo, membuatnya merasa ini langkah yang salah.

Theo sadar seharusnya ia tidak menghampiri Maura seperti ini, tapi ia juga putus asa sampai meminta Jasmine membantunya untuk memancing Jeffrey keluar dari apartement Maura.

“Satu lagi,”

Theo maju satu langkah mendekati Maura.

“Boleh gue peluk? Buat yang terakhir. Karena ketika gue keluar dari gedung ini, gue bener-bener harus paksain diri gue buat nerima semuanya,”

Maura tidak mengiyakan juga tidak menolak, itu membuat Theo nekat mendekat untuk memeluk gadis dihadapannya ini.

Maura tidak membalas karena hatinya semakin hancur dan air matanya perlahan keluar ketika menyadari bahwa Theo juga menangis, tubuh pria itu juga sedikit bergetar.

“Makasih untuk waktu singkat dan kenangannya. Juga sorry karena gue harus lahir sebagai kakak lo.”

Sama-sama menyesakkan bagi keduanya. Didalam hati masing-masing, mereka merutuki takdir yang mengikat mereka sebagai saudara kandung.


Sepanjang jalan Maura lebih banyak diam. Memaksa hatinya untuk menerima kenyataan yang sangat mengejutkan baginya.

“Takdir sebercanda ini sama gue?”

“Kenapa gue ga diizinin buat bahagia?”

“Kenapa harus jadi kakak gue?”

“Kenapa? Kenapa harus Theo?”

Pertanyaan seputar itu terus muncul direlung hatinya.

Lagi. Maura harus mengorbankan perasaannya lagi. Kali ini bukan untuk ayahnya, tapi karena takdir yang mengikat dirinya dan Theo sebagai saudara kandung.

Aliran sungai kecil mulai tercipta kala Maura mengingat kembali kenangan-kenangan singkatnya bersama Theo. Kenangan saat keduanya berpura-pura menjalin kasih, serta kenangan singkat saat mereka berdua benar-benar bersama.

Jeffrey menepikan mobilnya saat menyadari Maura menangis. Ia membawa Maura masuk kedalam dekapannya, membuat tangisan Maura semakin menjadi.

“Berbagi sama gue, Ra. Jangan lo pendem semuanya sendiri,”

“Semuanya jauh lebih berat Jeff. Ini jauh lebih buruk dari ayah dan bunda yang mutusin buat menikah,” jelas Maura dengan susah payah.

Sekitar 5 menit Jeffrey menunggu Maura menenangkan dirinya agar bisa bicara dengan tenang. Jeffrey memberikan sebotol air mineral untuk Maura.

“Waktu kita kepanti kemaren, ibu panti bilang kalo dia lihat Theo ngobrol sama Ayah pas gue lagi makan siang sama anak-anak. Gue ga tau Ayah ada disana dan Theo ngga bilang apa-apa sama gue, habis makan siang dia langsung ngajak balik. Padahal malemnya kita ada rencana ngedate lagi,” jelas Maura.

“Gue ga tahu Ayah cerita sama lo atau ngga. Tapi jauh sebelum kita ketemu, waktu gue masih kecil dan waktu Ibu masih ada, kita sekeluarga sering kepanti buat nemuin satu anak yang namanya Tio. Dia lebih tua dari gue dan diem-diem gue jadiin dia panutan dihidup gue. Tapi Tio sakit dan butuh donor darah. Ibu gue mau bantu, meski Ibu baru sembuh dari sakitnya tapi Ibu tetep mau bantu. Tio selamet, tapi gue harus kehilangan Ibu karena pas operasi Ibu tiba-tiba kehilangan detak jantungnya,” sambung Maura.

“Tio keluar negri buat rampungin pengobatannya, selama itu kita lost contact. Gue cari Tio karena ditubuhnya ngalir darah Ibu. Makanya gue cari Tio kesana kemari. Sampe akhirnya gue ketemu lo, pacaran sama lo, lama-lama gue jadi jarang main kepanti buat nyari info tentang Tio. Dan dilain tempat ayah sama bunda saling jatuh cinta tanpa kita tahu. Gue milih ngalah dan biarin mereka nikah. Tapi gue memutuskan buat tinggal diapartment, karena gue ngga bisa hidup satu atap sama lo. Waktu itu, gue masih punya perasaan sama lo,”

“Semenjak gue tinggal di apartment, gue mulai cari kesibukan dan mulai rutin kepanti lagi. Gue cari Tio lagi sampai waktu itu gue telat kuliah, matkulnya Pak Jaya. Dosen killer yang gue paling ngga mau cari masalah sama beliau, gue nebeng sama Theo. Disitu awal mulanya Jeff,” sambung Maura lagi.

“Ayah sama Theo obrolin apa?” tanya Jeffrey.

“Gue gatau jelasnya mereka ngomongin apa. Tapi Theo bilang kalau sebenernya gue sama dia itu saudara kandung,”

Sebuah kenyataan yang juga cukup membuat Jeffrey mematung sepersekian detik.

“Takdir itu kayak kejutan, Ra. Gue tahu rasanya, karena gue juga pernah ngalamin ini. Gue kalut waktu bunda bilang mau nikah sama ayah, gue khawatir sama hubungan kita. Gue ga mau kita jadi sodara apalagi putus. Tapi keinginan lo malah sebaliknya dari keinginan gue,”

“Berarti ini karma buat gue ya Jeff?” tanya Maura pelan.

“Bukan. Ini namanya takdir. Semoga kali ini lo bisa lebih mudah ngerelain perasaan yang lo punya buat Theo.”


Eno menaruh banyak pertanyaan dikepalanya karena melihat Jeffrey dirumah Maura.

“Ler ini gimana si—”

Pandangan mereka beradu secara tidak sengaja. Eno yang berpaling terlebih dahulu.

“Jangan No jangan,” ucap Eno didalam hati.

“Btw ini tugasnya Yogi sama Zeline sih, mau kita kerjain juga?” tanya Maura.

“Ngga usah, biar mereka aja,” jawab Eno sambil mengontrol detak jantungnya.

“Gue mau tanya,” sambung Eno.

“Jeffrey?” tebak Maura dan dijawab anggukan kelapa oleh Eno.

“Kalian kembar?” tanya Eno dan dibalas dengan gelengan kepala oleh Maura.

“Sodara tiri,” sahut Maura cuek.

“Lo ga pernah suka sama dia?” tanya Eno random tapi wajahnya sangat serius.

“Gue pernah pacaran sama dia, waktu SMA,” sahut Maura membuat Eno terdiam seperkian detik.

“Theo tahu? Terus gimana?”

“Ya ngga gimana-gimana, orang gue udah putus,”

“Gara-gara ini?”

“Bukan. Gue benci orang yang nyalahgunain harta sama kekuasaannya. Harusnya mereka bersyukur dan bantu orang-orang yang kekurangan, bukan ngerendahin apalagi ngancem yang ngga-ngga,” jawab Maura.

“Gara-gara gue?” tanya Eno pelan.

Maura menoleh membuat mata keduanya kembali beradu tatapan.

“Meskipun bukan lo yang diancem, gue tetep ngelakuin hal yang sama, No. Dan siapapun orang yang ngancem, meskipun dia pacar atau keluarga gue sendiri, gue akan tetep tegur mereka.” jawab Maura yakin.

“Lo mau nunggu gue ngga Ra? Tungguin sampe gue ada dititik yang sama kayak keluarga lo.”


“Maaf,”

Berulang kali Maura mengucapkan kata maaf kepada Theo.

Maura merasa bersalah karena tidak mengenali wajah Theo selama ini. Meski baru dekat beberapa minggu ini, Maura tentu saja beberapa kali pernah berpas-pasan dengan Theo secara tidak sengaja.

“Gapapa. Sekarang lo udah inget,”

“Kenapa lo ga bilang dari awal Kak?” tanya Maura pelan.

“Inget ga waktu lo nebeng sama gue waktu itu?” tanya Theo balik.

“Gue kesana bukan karena lagi nyari apart buat ditempatin. Tapi tujuan asli gue kesana buat nemuin lo, Ra. Yang bikin gue lebih kaget lo cewek yang gue ospek, maba yang narik perhatian gue. Makanya waktu lo jelasin gue ngga banyak omong dan langsung jalan,”

“Tapi lo tahu dari mana gue tinggal disana Kak? Jeffrey?” tanya Maura penasaran.

“Dari Eno,”

“Eno? Eno siapa?”

“Eno, masa lo ga tau Eno? Lo kan pemuja pria tampan,” cibir Theo.

“Eno siapa sih? Ga ada yang namanya Eno deh disipil,”

“Eno. Eno Lerian, masa ga kenal???? Calon asdos loh dia,”

“LERI ITU MAH! Gue manggil dia biasanya Leri,”

“Kenapa? Udah keren Eno,”

“Itu panggilan kesayangan Kak. Awalnya dia nolak sih dipanggil itu karena diplesetin mulu sama Bagas. Jadi pler pler gitu, tapi gue bilang sama anak kelas kalo yang boleh manggil dia Leri cuma gue hahaha,” jelas Maura.

“Lo naksir sama dia?” tanya Theo dingin.

“YA NAKSIR LAH! Pinter gitu anaknya, gentleman juga. Kalo kita ga pura-pura pacaran kayaknya gue udah jadian Kak sama Leri,”

“Ya sana jadian,”

“Gue yakin sih Kak kalo gue jodohnya Leri,” ucap Maura.

“Kalo ternyata sama gue??” tanya Theo.

“Ya gapapa. Jodohkan ga ada yang tahu Kak,”

“Beneran?”

“Iya, emang kenapa?”

“Gue suka beneran sama lo, Ara. Dari awal kita ketemu waktu ospek lo. Bahkan waktu kita pertama kali pas lo nemenin ibu yang mau donorin darahnya ke gue,”

“Ara, jadi pacar gue ya? Kalo kata Twice jawabannya cuma yes or yes i will,” sambung Theo dengan cengiran diakhir kalimatnya.

“Ya kalo gitu udah jelas lah??”

“Apa? Nolak?”

“MAUUUUUUUUU!!!!”


“Kak lo ga suka pedes ya?” tanya Maura.

“Ngga, kok tahu?”

“Ya simple sih, lo pesen nasi gorengnya ga pedes,”

“Gue trauma sama makanan pedes,” sahut Theo tiba-tiba.

“Kenapa? Punya riwayat sakit maag, Kak?”

“Ngga. Gue salah makan mie instan,”

“Gimana?” beo Maura.

“Temen gue bikin mi instan 2 mangkok. Gue bilang kalo pedesnya sedeng aja ga usah terlalu pedes, tapi level sedengnya dia di gue tuh level dewa deh kayaknya,” jelas Theo.

“Yee itu mah bukan salah makan mie Kak,” cibir Maura.

“Terus apa?”

“Salah pilih temen itu mah namanya.”

Theo tertawa cukup keras mendengar sahutan Maura yang menurutnya lucu.

Theo menghabiskan waktunya bersama Maura sampai sore diapartmen gadis itu.

Kebanyakan waktu yang mereka lewati digunakan untuk menonton film yang saling mereka berdua rekomendasikan.

“Gue balik ya,”

“Iya. Thanks Kak,”

“Kapan pindahnya?”

“Masih seminggu lagi sih. Gue nawar,”

“Ke Jeffrey?”

“Ya ke Ayah lah, ngapain ke anak itu,” jawab Maura kesal.

“Yaudah,”

“Yaudah apa?”

“Hati-hati,”

“Yaelah kirain apaan,” dengus Maura.

“Mau oleh-oleh?”

“Emang ngurusinnya kemana sih Kak? Jauh banget?”

“Ngga sih. Gue basa-basi doang biar lo sayang sama gue,”

“DUHH APAAN SIH AH UDAH SANA PULANG!!!”


“Mau diem aja? Di chat lo bawel banget sampe manggil gue pake nama doang,” cibir Theo.

Sejak masuk kedalam mobil Theo, Maura tidak berbicara sepatah katapun.

“Huffffff,”

“Hahhhhhh,”

“Tahan Maura tahan,”

“Apa yang ditahan?”

“EMOSI GUE!” pekik Maura kencang. Theo menepikan mobilnya untuk mengantisipasi amukan Maura yang tidak diketahuinya akan seperti apa.

“Ya Tuhan, gue ga tau kenapa tapi rasanya pengen marah! Terutama ke lo Kak!! Kenapa sih lo tuh nyebelin banget padahal kita baru ketemu 2x?? Bikin stres aja! Jeffrey juga ikut-ikutan padahal fokus aja sono sama Si Jasmine! Ngapain mau deket-deketin gue segala?? Orang aneh! Kenapa juga gue suka orang aneh kayak dia?! Ini kalo gue ga nekat nebeng ke lo waktu itu pasti gue lagi di apart dan siap-siap berangkat. ARGHHH MAU GILA RASANYA! Mana orang-orang yang nge dm ditwitter banyak banget ngatain pelakor, pada sotoy banget orang-orang TUH KENAPA SIH?????”

“Emang salah nih gue godain dia. Tapi marahnya lucu,”

“Udah misuhnya?” tanya Theo lembut.

“UDAH!”

“Mau gue peluk biar tenang?” tawar Theo.

“Ga usah macem-macem!”

“Yaudah tenangin diri lo, udah mau nyampe kampus nih. Kalo ngga nanti gue cium,”

“THEOOOOOOO!!!”


“Jeff itu ada temenmu yang ketua BEM itu diluar lagi ngomong sama Bunda,” ucap Burhan.

“Pacar aku Yah,” sahut Maura santai.

Padahal didalam hatinya, gadis itu merutuki kedatangan Theo.

“Hah? Ketua BEM?”

“Yah Maura gini-gini pinter loh masuk sipil. Kak Theonya arsi jadi nanti saling bantu,”

“Paling lo sih yang minta bantuan Theo,” sahut Jeffrey.

“Gue ga ngomong sama lo!” tukas Maura.

“Yaudah ajak sarapan aja,”

“Akwu lwangswung berangkwat ajwa, dwahh,”

“Habisin dulu nak,” suruh Burhan.

“Gapwapwa Yah. Akwu berangkwat ya, Jeff gwue duluan,”

Maura bergegas menghampiri Yani dan Theo yang hampir memasuki rumah.

“Loh nak? Mau langsung berangkat aja? Makanan dimulut kamu ditelen dulu pelan-pelan nanti tersedak,”

“Aku langsung berangkat aja Bun. Kak Theo juga mau mampir ke fotocopyan dulu, iya kan Kak?” tanya Maura. Maura melotot ke arah. Theo agar pria itu mengiyakan.

“I-iya tante. Kita pamit duluan aja,”

“Yasudah. Hati-hati dijalan ya,”

“Iya Tante,”

“Iya Bunda.”


Tok Tok Tok

“Maura? Makan malamnya udah siap nak. Ayo makan,” ajak Yani, ibu tiri Maura.

“Iya Bunda,”

Benar. Dugaan Theo diakun twitter rahasianya adalah benar. Maura dan Jeffrey adalah saudara tiri. Semua dugaan Theo benar adanya.

“Bundamu masak makanan kesukaan kamu nak,”

“Iya, Ayah. Makasih Bun,”

“Jeff kamu ngga jadi menginap?” tanya Burhan, ayah tiri Jeffrey.

“Ngga Yah. Maura nyuruh aku pulang,” sahut Jeffrey santai sedangkan Maura hampir saja tersedak mendengar ucapan santai Jeffrey itu.

Burhan dan Yani terdiam karena yang mereka tahu, anak mereka sama-sama canggung atau mungkin saling tidak menyukai satu sama lain.

“Maura, Ayah mau bicara sama kamu setelah ini,”

“Iya, Ayah.”


Burhan mengajak Maura duduk ditaman belakang rumah. Udaranya terasa dingin membuat Maura merapatkan cardigannya.

“Jeffrey adalah laki-laki yang dulu mau kamu kenalkan ke ayah, betul?” tanya Burhan langsung setelah diam beberapa saat.

“Ayah..” lirih Maura pelan. Tidak terbayangkan oleh Maura bahwa ayahnya akan bertanya tentang hal ini.

“Maaf karena Ayah ngga sadari ini lebih awal ya nak? Ayah dan Yani akan bercerai—”

“Ayah. Aku udah punya pacar. Mungkin Jeffrey pun sama. Ya diawal aku emang masih punya perasaan buat Jeffrey makanya aku mutusin buat tinggal di apartmen karena aku ngga mau perasaan itu terus tumbuh dan jadi boomerang buat aku pada akhirnya. Aku sayang sama Bunda, Jeffrey juga udah nyaman sama Ayah. Jadi jangan ya Yah? Nanti aku ngomong deh sama Bunda,”

Maura menengadahkan kepalanya untuk melihat bintang dilangit. Juga untuk menahan air matanya agar tidak terjatuh. Bibir serta hatinya tidak sinkron satu sama lain. Tapi Maura juga enggan melihat kebahagiaan Burhan hilang begitu saja.

“Maafin Ayah dan Yani ya nak? Karena kami kamu dan Jeffrey harus merelakan perasaan kalian masing-masing,”

“Gapapa Ayah, itu udah lewat. Kita udah punya pasangan masing-masing sekarang,” jawab Maura.

“Siapa? Ayah boleh tahu?”

“Kakak tingkat aku Yah. Temennya Jeffrey juga kok,” sahut Maura ragu.

“Kapan-kapan bawa dia ketemu Ayah ya?”

“Iyaa.”