16
Aruna membawa sekantong bensin eceran yang ia beli tidak jauh dari restoran nasi padang.
Aruna melihat Raffa dan Haekal dipinggir jalan, tampilan keduanya tidak terlalu berantakan tapi terlihat frustasi. Satu-satunya hal yang langsung terpikir diotak Aruna hanyalah “mereka pasti kehabisan bensin,”
Untungnya Aruna melihat mereka terlebih dahulu dan membeli nasi padang sesuai dengan jumlah mereka.
“Ini, isi bensinnya,” suruh Aruna.
Haekal baru akan berucap tapi Aruna langsung memotongnya.
“Kakak ga cari kalian. Tadi abis ambil baju dikontrakannya Bu Wati, mau beli makan terus liat kalian kehabisan bensin,” jelas Aruna.
“Gak usah sok care,” cibir Haekal.
“Yaudah balikin bensinnya, biar kalian dorong aja motor sampe rumah,”
“SIAPA YANG MAU BALIK??” teriak Haekal.
“Kakak. Buruan Juna sama Jeano belum makan,” sahut Aruna acuh.
“Ck tega bener lo,”
“Terus maunya apa?” tanya Aruna lelah.
“Pulang,” sahut Raffa pelan.
“Ya tinggal pulang,”
“Takut disambit Juna,” rengek Raffa.
Aruna menahan tawanya, gemas mendengar rengekan Raffa yang sangat menggemaskan baginya.
“Gausah ketawa!” tukas Haekal.
“Hadeh ni bocah masih aja ya,” ucap Aruna dalam hati.
“Yaudah, sekarang terserah kalian mau pulang atau ngga. Ini ada nasi padang, dimakan. Kalo mau pulang, ya pulang. Minta maaf sama Juna,”
Aruna menaiki motornya, tapi sedikit terdengar percakapan Raffa dan Haekal membuatnya menunggu dan mendengarkan.
“Gue mau balik,”
“Ntar disambit Juna,” sahut Haekal.
“Gue ga mau tidur di mushola lagi! Pegel-pegel! Gue nebeng aja sama dia, pokoknya gue mau balik,” putus Raffa.
“Harga diri lo mau ditaro dimane?? Juna mulutnya licin kayak oli!”
“NGACA!”
“Pokoknya 1 minggu baru pulang!” tegas Haekal.
“Bodo! Lo aja! Gue ga punya harga diri kalo didepan Juna, gue mau pulang!”
“Lo ga setia kembaran! Lo pengkhianat kayak Nono!”
“BODO!”
Raffa meninggalkan Haekal dan menghampiri Aruna.
“Apa?! Ga jadi pulang??” tanya Haekal ketus karena Raffa kembali menghampirinya.
“Nasi padang gue ketinggalan!”