buddyeyo


Tarisha melihat Favian dari jauh, bersama sang Pacar. Berjalan sembari bergandengan tangan.

“Hadeh ngapain kesini sih? Gak diajak juga,” sungut Kemal kesal.

Berbeda dengan Seno yang hanya diam melihat kakaknya pura-pura bahagia didepan Favian dan kekasihnya.

“Lanjutin aja sih datenya sana, jangan bikin para jomblo PANAS!” usir Kemal.

“Suka-suka gue lah,” balas Favian.

“Yang, gih kenalan,” suruh Favian pada sang Pacar.

Perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Tasya, dan nama panggilannya adalah Aca.

“Pasaran banget mbak nama lo,” timpal Kemal yang langsung dihadiahi sebuah cubitan kecil oleh Favian.

Mereka semua saling memperkenalkan diri, termasuk Gibran. Dan tentu saja Tarisha, tapi sebelum Tarisha mengenalkan diri, Tasya sudah menyelanya terlebih dahulu.

“Lo Tarisha ya? Vian pernah cerita tentang lo, gue gak akan kayak mantan-mantannya Vian kok. Tenang aja,” ucap Tasya ramah.

Keadaan mendadak hening setelah Tasya berkata demikian, tapi Seno hampir meledakkan emosinya jika saja Gibran tidak menahan anak itu.

Seno sudah sering mendengar kata-kata demikian dari mantan pacar Favian, dan itu hanya omong kosong. Semakin lama, para perempuan itu akan membenci kakaknya tanpa sebab. Meski Tarisha mengatakan tidak masalah, tetap saja Seno tidak suka orang lain berbicara omong kosong tentang kakak perempuannya.

Kring Kring

Ponsel Seno berbunyi, ia mengangkat panggilan tersebut. Ternyata itu panggilan dari temannya, ia lupa kalau hari ini ada tugas kerja kelompok.

“Si Kemal lagi sama lo gak? Bawa juga tuh curut satu, enak aja menghindari tugas!!”

“Iya,” sahut Seno seadanya.

Setelah itu Seno langsung mengajak Kemal untuk pergi.

“Ih lo ngapain aktifin hp sih Cen?! Gue udah sengaja matiin hp biar gak ditelpon!”

“Jangan mau temenan ama dia, Cen. Gak ada untungnya, rugi lo temenan ama dia,” celetuk Favian.

Tadinya Kemal ingin membalas ucapan kakaknya itu, ia tidak terima. Tapi Seno sudah menariknya terlebih dahulu.

“Kak Gibran, gue titip Kak Aish. Nanti anterin dia balik ya,” pinta Seno dan langsung disetujui oleh Gibran.

“Nebeng aja nanti sama gue,” ucap Favian.

“Lo anterin cewek lo aja. Gue gak mau kayak yang udah-udah.” balas Seno dingin.


Maya terus berjalan, dengan earphone yang terpasang ditelinganya. Tangan kiri yang membawa tas belanjaannya. Tangan kanannya tidak menganggur begitu saja, tangan kanannya sibuk memutar gagang permen dimulutnya.

Hari ini Maya izin untuk tidak masuk sekolah, karena disekolahnya sedang ada acara yang ia tidak tahu apa itu. Ditambah Maya belum mempunyai teman disekolah barunya itu.

Maya tidak ingin menambah teman, dan bergantung pada mereka nantinya. Jika dipikirkan lagi, Maya jadi ingin kembali ke sekolah lamanya. Gadis ini merindukan tiga sahabatnya.

***

“Maya lo—,”

“Lo tau dari mana alamat rumah ini?” potong Maya cepat.

“Karin,”

Maya menghembuskan nafasnya kasar. Lalu menatap lelaki didepannya a.k.a Haris. Ya, Haris datang. Entah untuk apa.

“Lo baru sembuh?” tanya Haris pelan.

“Uda—”

“LHO MAY? KOK LO UDAH PUNYA TEMEN AJA DISEKOLAH BARU? KALIAN JANJI GAK SEKOLAH YA?!?!” teriak Arziel dari luar rumah.

Maya pasrah, mungkin ini saatnya salah satu temannya mengetahui kalau ia sudah pindah sekolah.

“Arziel?” tanya Haris ketika Arziel sudah memasuki rumah.

Arziel sama terkejutnya melihat keberadaan Haris didalam rumahnya. Padahal setahunya anak itu tidak masuk sekolah hari ini, Haris tidak masuk tanpa keterangan. Itu yang Nilam katakan padanya tadi siang.

“Ini rumah lo?” tanya Haris sembari bangun dari duduknya.

Arziel bingung ingin menjawab apa, tapi akhirnya ia mengangguk saja. Berbohong malah akan menambah masalah.

“Seminggu ini dia gak masuk tanpa surat dan lo bilang sakit. Ternyata dia pindah kerumah lo? Gue dari pagi nunggu dirumah lo May, berharap ada orang yang keluar dari sana. Tapi gak ada, Karin pulang dan ngasih tau alamat ini ke gue,”

“Tapi gue ngga expect kalo ini rumah lo Ziel,”

“Kalian bohongin gue sama yang lain,” sambung Haris dingin.

“Kenapa lo cari gue?” tanya Maya. Ia cukup penasaran dengan ini, karena menurutnya mereka berdua tidak sedekat itu. Ketika latihan juga ia dan Haris tidak banyak mengobrol.

“Lo nanya?” tanya Haris lalu mendekati Maya, dan Maya mengangguk sebagai jawaban.

“Gue khawatir cewek yang gue suka kenapa-kenapa.”


“Sudah semua? Ambil semua barang kamu, jangan sampai ada yang tersisa,” ucap Inggit dari pintu kamar Maya.

Maya memasukkan barang yang tertinggal tersebut kedalam tas sekolahnya. Lalu memakainya kembali.

Inggit kira anaknya itu akan langsung pergi setelah mengambil barangnya yang tertinggal. Tapi ternyata tidak, Maya berdiri didepannya dengan wajah yang terlihat lelah.

“Arsen,” ucap Maya pelan tapi cukup membuat Inggit terkejut.

“Karin anak kandung ibu juga kan? Nama ayahnya Arsen,”

“Tau dari mana kamu? Dia nyamperin kamu?” tanya Inggit dingin.

“Dia bukan cuma nyamperin aku. Tapi nyamperin anaknya juga, selama bertahun-tahun,” sahut Maya tenang.

“Jangan bohongin saya!”

“Kalo aku bohong, kenapa juga aku tau namanya? Kenapa juga ibu kaget denger nama itu?” tanya Maya berani.

“Kamu gak akan pernah bisa ketemu sama Papa kamu!” tukas Inggit.

“Aku lagi gak ngomongin Papa. Aku ngomongin Karin dan ayahnya. Pak Arsen, Pembina Teater. Dan orang yang Karin sukai, namanya Arthur. Adiknya sendiri,” ungkap Maya.

“Aku mau tanya satu hal sebelum pergi,” ucap Maya.

“Sekarang aku tau kalo aku dan Karin beneran kakak beradik meskipun kita beda ayah. Ibu bukan cuma bohongin aku dan Karin, tapi Ayah Bani juga. Tapi kenapa ibu cuma benci sama aku?” tanya Maya pelan, ia takut ibunya ini tersinggung. Tapi ia juga penasaran mengapa perlakuan Inggit padanya berbeda dengan apa yang Inggit beri pada Karin.

“Kamu sendiri tau, Bani gak tau kalo Karin anak kandung saya. Sedangkan kamu, kehadiran kamu bikin kami cerai. Kamu renggut semua kebahagiaan saya!”

“Iya, semuanya emang salah aku. Aku lahir aja udah salah kan dimata ibu,” jawab Maya tenang.

“Kamu memang seharusnya gak pernah ada!” balas Inggit

“Jangan hubungin aku kalo itu tentang Karin. Aku muak sama dia. Aku ngga mau ngorbanin sesuatu lagi buat dia. Ini yang terakhir kalinya, aku ngorbanin orang yang berharga dihidup aku buat sampah kayak Karin,”

“Aku pamit.”


Besoknya.

Haris benar-benar datang kerumah Maya, padahal Maya berniat berangkat lebih pagi dari biasanya. Tapi Haris, lelaki itu datang kerumah Maya pada saat masih tidur.

“Haris gue berangkat sendiri aja, lagian ini masih pagi. Gue mau naik angkot aja,” tolak Maya halus.

“Gue titip motor sampe pulang sekolah,”

“Hah? Ngapain?”

“Gue mau naik angkot,” jawab Haris.

“Jangan aneh-aneh deh, udah ah gue mau berangkat. Lagian lo tau dari mana rumah gue disini?”

“Rumah gue juga disini, blok depan,” sahut Haris tenang.

“Sejak kapan???” tanya Maya sedikit terkejut, pasalnya rumah Maya adalah blok H. Jika rumah Haris adalah blok G, maka setiap hari Maya pasti selalu melewatinya. Apalagi belakangan ini Maya selalu pulang menggunakan angkutan umum, Maya harus berjalan sedikit jauh dari pos depan sampai kerumahnya.

“Sejak lahir,”

“Jangan nipu, kok gue ngga pernah liat,”

“Ngapain juga lo mau liat?”

“Ah udah lah, lo berangkat juga sana,” suruh Maya. Ia takut jika Karin melihat hal ini dan mengadukannya pada Inggit.

“Ya gue titip mot—”

Klek

“Eh? Nyari Karin ya? Sebentar ya Karinnya tante panggil dulu,” ucap Inggit.

“Ngga Tante. Saya cari Maya, saya temennya Maya,” balas Haris.

“Ooh gitu. Mau berangkat bareng? Udah sarapan belum?”

“Ngg—”

“Iya Tante, saya mau jemput Maya,”

Maya melotot kearah Haris sedangkan cowok itu tidak peduli.

“Mau sarapan dulu? Ayo ma—”

“Ngga usah, aku sama Haris udah janji mau sarapan dikantin. Ayo berangkat,” potong Maya cepat. Ia menarik Haris agar menjauh dari Inggit.

Setelah berpamitan akhirnya mereka pun berangkat.


Tara dan Aruna terkekeh geli membalas pesan dari yang lain. Mereka sudah berbaring dikasur yang sama dengan posisi Tara menggunakan lengannya sebagai bantal untuk Aruna. Aruna memegang ponsel miliknya, adik-adiknya terus mengirimi Aruna pesan saat ia baru sampai hotel.

Bukan Tara yang memesan kamar hotel, yahh bisa kalian tebak. Itu pekerjaan Juna, Jeano dan juga Raffa.

“Aruna,”

“Iyaa?”

“Makasih ya sudah mau jadi istri saya,” ucap Tara tulus.

“Terima kasih kembali,”

“Saya masih ngga nyangka. Kita bisa bersama meskipun harus bersama orang lain dulu sebelumnya,” ucap Tara lagi.

Aruna meletakkan ponselnya begitu saja, lalu membenahi posisinya, kini mereka berhadapan.

“Saya boleh tanya satu hal?”

“Banyak juga boleh,” sahut Aruna.

“Sebelum kamu pergi dari rumah, apa saya punya tempat dihati kamu?”

Aruna terdiam sejenak, sebelum pergi? Apa maksud Tara saat Haekal sedang sakit?

“Punya. Bahkan saat kita ketemu lagi setelah sekian lama, perasaan aku ke kamu ternyata masih ada, Mas.”


“Bunda, ini rumahnya siapa?” tanya Jia.

Dari tadi mereka sudah mengelilingi pemakaman dan berhenti dibeberapa makam kerabat. Tara juga mendatangi pusara ibunya.

“Ini makamnya kakek, ayahnya bunda,” jawab Aruna.

“Ayahnya bunda kok ada dua?”

“Iya. Ini rumah ayahnya Papa Hendra,”

“Gimana bunda?” tanya Jia sekali lagi, anak ini tidak mengerti.

“Ayahnya Papa Hendra, ayahnya bunda juga. Kayak Jia, Papa Hendra papanya Jia juga, 'kan?”

“Ohh gitu, berarti ini kakek Jia juga ya?” tanya Jia lagi, Aruna mengangguk sambil tersenyum.

Arah pandangnya kini tertuju pada pusara berlapis keramik yang ada dihadapannya.

“Aku kangen ayah. Kangen banget, tapi ayah udah bahagia kan disana? Ayah pasti udah ketemu ibu, tunggu Runa juga ya, Yah,” ucapnya didalam hati.

Setelah itu Aruna memberitahu Keenan siapa yang mereka kunjungi, sama seperti sebelumnya.

“Na, habis mau ambil baju sekalian?”

“Boleh. Ngelewatin juga kan?”

“Iyaa.”


Aruna menghabiskan makanannya dengan tenang, begitu juga dengan Tara.

Aruna juga tidak lupa memesan makanan untuk Jeano dirumah, belakangan ini anak itu sering menginao dirumah Aruna. Kalau Raffa, jangan ditanya. Bisa tidur selama 10 menit saja rasanya sudah sangat bersyukur.

“Mas,” panggil Aruna setelah menelan suapan terakhirnya.

“Iya, kenapa?”

“Aku mau,” jawab Aruna.

Tara tersentak, lalu menyunggingkan senyumannya.

“Mau apa?” tanya Tara jahil.

“Jadi bundanya Jia,” sahut Aruna pelan.

“Dua minggu lagi mau? Aku harus siapin semuanya buat acara,”

“Mendadak banget???”

“Aku ngga mau ada halangan lagi,”

“Yes—”

“Aku udah urus Yesa,”

“Bukan gitu. Itu lho Yesa lagi jalan sama cowok,” ucap Aruna sambil menunjuk keluar jendela.

Benar ada Yesa disana, berjalan bersama.. Yah siapa lagi kalau bukan Hendra?

“Lho jadi juga mereka? Si Kembar udah setuju punya Mama baru?”

“Mama baru? Gimana? Kok gak ada yang cerita sama aku,” cerca Aruna.

Tara menceritakan tentang chatnya dan Hendra minggu lalu. Tentang ketertarikan Hendra kepada Yesa yang terhalang restu anak kembarnya. Tapi melihat mereka berempat berjalan bersama, membuat Aruna dan Tara yakin bahwa Biru juga Nila mulai menyukai Yesa.

“Aku mau ziarah kemakam ayah, Haekal, Winata, Juan, sama orangtua aku,”

“Ayah?” beo Tara.

“Ayah Kusuma, ayahnya Hendra. Ayahku juga,” jawab Aruna.

“Aku anter ya, memangnya kapan?”

“Hari libur aja, aku mau ajak Keenan ketemu ayah sama abangnya,”

“Aku boleh ajak Jia juga ngga?”

“Boleh, ajak aja. Waktu itu dia bilang pengen kerumah barunya Juan.”


Aruna terkejut ketika sebuah tangan menghalanginya membuka pintu kemudi mobil.

“Saya anter,” ucap laki-laki yang belakangan ini ia hindari, siapa lagi kalau bukan Tara?

“Ngg—”

“Saya yang mau. Ngga usah pikirin Yesa,” potong Tara cepat.

“Say—”

“Duduk disebelah saya Aruna. Saya anterin kamu,”

“Aruna,” panggil Tara lembut karena Aruna belum juga beranjak.

“Iya,” jawab Aruna akhirnya mengalah.

Keenan sudah duduk nyaman di babyseatnya dibelakang Tara.

***

Tara menunggu bersama Keenan yang entah sejak kapan sudah tertidur digendongannya.

“BANGG!!” teriak Raffa yang berjalan menghampirinya, Tara memberi isyarat untuk tidak berisik karena Keenan sedikit terusik oleh teriakan Raffa.

“Hehe siap siaga banget nih duda satu,” canda Raffa.

“Saya bukan duda,” sahut Tara.

“Lah kapan nikah???”

“Nanti. Kan triple wedding sama kamu dan Jeano,”

“Dih jadi? Sama siapa?”

“Menurut kamu sama siapa?” tanya Tara balik.

“Rujuk sama Teh Yesa?”

“Beneran Kak???”

Tara terkejut mendapati Yesa sudah berdiri disampingnya, dan yang lebih membuatnya terkejut adalah, Aruna juga berdiri disamping Yesa.

“Kak? Kamu mau rujuk sama aku?”

“Ngga,” jawab Tara tegas.

“Terus kamu mau nikah sama siapa Kak?” tanya Yesa penasaran.

“Bukan urusan kamu,”

“Aruna, ayo kita pulang,” ajak Tara pada Aruna yang sedari tadi hanya diam menyaksikan.

“Saya send—”

“Kamu lagi sakit,” potong Tara cepat.

“Aku juga sakit kak, kamu ngga mau anterin aku juga?” sahut Yesa.

Tara melirik Yesa tajam.

“Yesa, cukup. Saya ngga mau bikin kamu malu didepan umum,”

“Kalau gitu jawab aku, kamu mau nikah sama siapa?” tanya Yesa tidak peduli.

“Aruna. Cinta pertama saya.”


“Sorry ya kak gue ngerepotin,”

“Kalo gitu lo harus bayar,” ucap Arthur.

“Yah gue miskin kak,”

“Ya jangan pake duit,”

“Ga mau ya gue kalo yang aneh—”

“Jadi pacar gue,”

“Ga mau, duh ini dilantai berapa apartmennya? Liftnya juga ngapain ada perbaikan segala pas gue kesini,”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya? Ya capek kak,”

“Kenapa ngga mau jadi pacar gue?”

“Lo disukain sama Karin, gue males berurusan sama dia,” sahut Maya jujur.

“Kalian kan adik kakak,”

Jujur saat ini Maya ingin sekali mengatakan bahwa ia dan Karin bukanlah saudara kandung. Tapi entah mengapa ada suatu hal yang membuatnya tidak ingin mengatakan itu.

“Gue ngga mau bertengkar karena cowo,”

“Gue becanda kok. Sorry ya,”

“Becanda dibagian mana?”

“Lo harus bayar.”

***

“Sudah sana pulang. Besok kamu tinggal ikut latihan. Arthur besok kamu bimbing anggota baru kamu, sebulan lagi kita mulai persiapan untuk pagelaran,”

“Lho bukannya minggu depan pak?”

“Ngga, saya masih harus selesain naskahnya. Kamu bantu cari sponsor. Pemerannya biar saya yang nentuin nanti,”


“Aruna? Ada apa?” tanya Tara khawatir karena wanita didepannya ini termenung sejak mereka masuk ke restoran ini.

“Bunda sering kesini sama Om Nata, Papa,” jawab Jia.

“Maaf saya bikin kamu sedih,”

“Saya ngga sedih. Justru saya mau bilang makasih karena bikin kenangan itu muncul lagi,”

“Jia tau dari mana Bunda sering kesini?” sambung Aruna.

“Dari Juan, Nda. Waktu itu Jia ajak Juan keliling sama pak supir karena Juan belum dijemput, terus kita lewat sini. Juan kangen pengen kesini lagi, tapi Bunda ngga pulang-pulang,”

Aruna tertegun, saat ia bertengkar dengan Winata dulu dan saat Aruna memutuskan untuk tinggal terpisah dari keluarganya untuk sementara waktu.

Ketika air matanya hampir jatuh, Keenan memekik kencang. Setelah diselidiki, bayi satu ini menangis karena baru saja selesai berjuang mengeluarkan sisa makanan yang.. Yahh, Keenan baru selesai buang air besar.

“Mas maaf kayaknya saya harus ganti pampersnya Keenan dulu,”

“Iya, saya tungguin.” sahut Tara.

***

“Adek, untung Bunda bawa pampers lebih lho. Kalo ngga kamu harus nangis sampai pulang,”

Keenan berceloteh ria seakan-akan menjawab semua ucapan Sang Bunda.

“Udah yu, kita kedepan dan pulang. Besok jumat,”

Aruna menggendong Keenan dan memastikan bahwa tidak ada perlengkapan Keenan yang tertinggal. Setelah itu ia langsung kembali ketempat duduknya. Aruna mendekat secara perlahan karena didepannya kini Tara sedang berdekat dengan wanita yang Aruna kenal.

“Bundaaa,” panggil Jia lalu berlari kearah Aruna kemudian sembunyi dibalik tubuh itu.

“Bunda?” beo Yesa tanpa melihat kearah Aruna.

“Kamu udah nikah lagi Kak?”

“Yesa cukup. Saya ngga mau kamu bikin keributan disini,”

“Jawab aku dulu,”

“Untuk apa? Saya hanya akan jawab kalau itu tentang Jia,” jawab Tara.

“Kalo gitu biar aku tanya sama dia,”

“Lo udah nikah sam— Aruna????”

“Halo Sa,”

“Bukannya lo istrinya Winata?”

Aruna tersenyum tipis, sangat tipis sampai tidak ada yang menyadarinya sama sekali.

“Iya, gue istrinya Winata,” jawab Aruna hangat.

“Terus ngapain lo makan berdua sama Kak Tara?” tanya Yesa sengit.

“Ngga cuma berdua. Ada Jia sama Keenan anak gue, well kita berempat,”

“Lo udah cerai sama Winata?” tanya Yesa lagi.

Aruna menggeleng sebagai jawaban.

“Terus kenapa dia panggil lo Bunda?” lagi-lagi Yesa bertanya.

“Jia temenan ama anak pertama gue, dan anak yang lain manggil gue Bunda juga,” jawab Aruna jujur.

“Gue bakal kasih tau Nata soal ini,”

“Stop Yesa. Saya dan Aruna harus pulang,” potong Tara, kesabarannya sudah hampir habis.

“Kamu harus terima permintaan aku Kak,”

“Permintaan apa?” tanya Aruna spontan.

“Gue mau rujuk,” jawab Yesa.

Aruna melirik kearah Tara yang tak bisa ia tebak perasaannya.

“Ngga bisa,” sahut Aruna.

“Kenapa? Emang lo siapa?”

Aruna membawa Jia kedepan tubuhnya dan menyuruh anak itu untuk menutup telinganya rapat-rapat.

“Lo harus tanya Mas Tara mau atau ngga, bukan maksa kayak gini,”

“Bunda, boleh ngga Jia bawa Keenan sebentar?” tanya Jia, anak itu bertanya masih sambil menutup telinganya.

“Boleh. Bunda minta tolong jagain Keenan sebentar ya,”

Sebenarnya Jia pergi tidak jauh dari Aruna, ia hanya tidak ingin mendengar celotehan Mamanya yang tiba-tiba datang dan mengacaukan acara makan malamnya bersama Tara dan Aruna.

“Saya punya wanita yang saya cintai, Yesa,”

“Siapa? Emangnya kalian bakal nikah? Belum tentu kan?”

“Saya akan menikah sama dia secepatnya, dan Jia sudah setuju,”

“Siapa? Kasih tau aku,”

“Teman,” jawab Tara singkat.

“Si—”

“Yesa stop. Runa ayo kita pulang.”