buddyeyo


Tok tok tok

“Ini gue, Maya,”

Pintu terbuka menampilkan Haris dengan wajah juteknya.

“Mana Ziel?”

“Di dalem, masuk,”

Maya menatap Haris ragu, sebenarnya Maya berpikir apa boleh ia masuk ke kamar laki-laki? Tapi sepertinya Arziel membutuhkannya.

“Heh lo kenapa?” tanya Maya saat melihat Arziel yang duduk sambil terus menggaruk tangannya.

“Ga tau, badan gue tiba-tiba gatel dari tadi,” balas Arziel.

“Gatel-gatel bisa bikin mati?” tanya Maya sarkas, Haris hanya diam tidak berminat untuk menjawab.

“Siapa orang bodoh yang bilang gitu?”

“Noh room mate lo,”

“Gue ga tau,” jawab Haris pada akhirnya. Cowok ini merasa ada yang tidak beres pada Arziel, tapi ia tidak bisa banyak membantu. Makanya Haris memutuskan untuk menghubungi Maya.

“Lo makan apaan sih?”

“Ga ada, cuma makan roti dibis doang,” jawab Arziel seadanya.

“Roti bis?” tanya Maya, ingin memastikan.

“Iya,”

“Itukan roti isinya ayam bodoh! Lo alergi ayam!”

“Gue udah ambil yang isi telur sosis kok,” elak Arziel.

“Lo makan punya gue,” sahut Haris.

“Kok lo ga bilang rotinya ketuker?” tanya Maya sedikit kesal, karena sepertinya rasa gatal ditubuh Arziel semakin menjadi.

“Dia udah habisin rotinya duluan,”

“Ck, ceroboh!”

“Aduh gue lagi menderita kalian jangan berantem! Tolongin gue kek,”

“Yaudah ayo kerumah sakit,” ajak Maya.

“Ah ga keren banget lagi jalan-jalan malah kerumah sakit,”

Plak

Maya memukul lengan Arziel lumayan keras.

“Terus lo mau gatel-gatel kayak gini sampe besok, hah?! Cepetan deh, dari pada Bunda yang kesini dan lo diseret pulang,”

“Gendong,” pinta Arziel.

Maya tak segan memukul lengan Arziel sekali lagi, anak ini menyebalkan!

“Cepetan, gue ngga enak lama-lama didalem kamar kalian,”

“Gue ikut,”

Tidak ada yang menjawab, Maya tahu Haris adalah tipe orang tidak ingin ikut campur urusan orang lain, karena menurutnya itu merepotkan.

“Kalo lo pingsan dijalan sodara lo itu ga cukup kuat buat angkat lo.”

Arziel tau Haris bukan tipe orang yang dengan mudah menawarkan bantuan, apalagi secara sukarela seperti ini. Tapi untuk saat ini Arziel tidak ingin ambil pusing, ia hanya ingin rasa gatal ditubuhnya segera hilang.


6 bulan kemudian

“BUNDA, KEENAN BUANG AIR BESAR!” teriak Biru dari ruang bermain.

“Iya sebentar!!!”

Aruna bergegas menutup tutup botol susu yang sudah ia siapkan untuk Keenan, anaknya.

Sudah tiga hari ini Biru menginap dirumah Aruna, membantunya menjaga Keenan. Lagipula sekolahnya sedang libur karena ujian sudah selesai dari minggu lalu.

Nila tidak ikut menginap karena gadis kecil itu tidak menyukai keberadaan Keenan, Nila juga marah pada Biru karena kembarannya itu selalu ingin ada didekat Keenan.

Tapi saat ini dirumah Aruna bukan hanya ada Biru saja, ada Jia juga disini.

Masih ingat ucapan Hendra beberapa bulan lalu tentang orang yang akan menempati rumah kosong didepan rumah Aruna? Ya, orang yang membeli rumah tersebut adalah Tara.

Tara harus berperang dengan dirinya sendiri, apakah keputusannya untuk tinggal didekat Aruna adalah keputusan yang benar? Karena Tara sudah tidak mengajar lagi, waktu luangnya sangat terbatas. Setidaknya jika ia tinggal didekat Aruna, pagi sebelum berangkat kerja, Tara bisa melihat dan memastikan keadaan wanita itu.

“Bunda, kayaknya Keenan belum selesai deh buang air besarnya. Mukanya masih merah,” ucap Biru.

“Aku kan udah bilang dari tadi, kamu sih ngga percaya. Harusnya kamu panggil Tante kalo Keenan udah selesai buang air besarnya,”

“Udah gapapa. Bentar lagi Keenan selesai buang air besarnya,” lerai Aruna.

“Kalian abis ini makan ya? Udah siang loh ini, Keenan juga harus bobo siang,”

“Suapin boleh ngga Nda?” tanya Biru berharap.

Aruna tersenyum tipis, lalu mengangguk singkat.

“Boleh, tapi Bunda boboin Keenan dulu ya,”

Biru bersorak senang, sudah lama Aruna tidak menyuapinya makan. Terakhir kali saat barbeque kecil-kecilan bersama Juan dan Winata kala itu.

Alasan Biru menginap beberapa hari ini juga karena sudah dua bulan tidak bertemu Aruna. Papanya semakin sibuk dan akhir pekannya sering ia gunakan untuk istirahat saja dirumah.

“Nda, kalo makannya dihalaman depan boleh?”

“Boleh. Kalian tunggu disana ya,”

Biru terlebih dulu pergi, sedangkan Jia hanya diam sambil menunduk.

“Jia,” panggil Aruna.

“Liat sini,” suruh Aruna, Jia menurut.

“Jia tunggu didepan juga ya. Nanti Tante suapin,” ucap Aruna lembut.

Wajah Jia yang tadinya muram berubah senang.

***

Setelah berhasil membuat Keenan tidur, Aruna langsung menyiapkan makanan untuk Biru dan Jia.

Saat Aruna sampai dihalaman rumahnya, ternyata sudah ada Tara dan Jeano disana. Mereka berbincang sambil memperhatikan Biru dan Jia yang asyik bermain lego. Jangan tanya itu milik siapa, tentu saja itu milik Juan dulu.

“Lho, kapan pada nyampe?”

“Belum lama Kak,” jawab Jeano.

“Pulang kerja?”

“Biru, Jia ayo makan dulu,” sambung Aruna. Biru dan Jia langsung duduk mendekati Aruna, bersiap menerima suapan nasi yang ditunggu keduanya.

“Jean mah libur. Noh Bang Tara yang mau balik, Jean nebeng aja sekalian. Mau nginep, next proyek dideket sini soalnya,”

“Raffa ngga pernah pulang?”

“Dia lama-lama bisa jadi pasien deh Kak. Paling parah jadi penghuni rumah sakit, hampir dua minggu ngga balik,” jelas Jeano.

“Ditengokin ngga? Kakak ngga tau kalo dia ngga pulang ke apartement. Chat kakak juga jarang dibales,” balas Aruna.

“Belom, paling Juna sih yang suka ngirim makanan ke rumah sakitnya,” jawab Jeano.

“Run, biar saya aja yang suapin Jia,” ucap Tara melihat Aruna sedikit kewalahan menyuapi Biri dan Jia yang bisa dibilang cepat saat mengunyah makanan.

Aruna memberi isyarat pada Tara untuk melihat raut wajah Jia yang berubah murung saat Tara berbicara, Aruna lalu menggeleng peran kearah Tara.

“Eh ngga jadi deh, tangan saya tiba-tiba pegel,” ucap Tara berbohong.

Diam-diam Jia kembali tersenyum, dan Aruna menangkap moment itu.

“Jia pasti kangen Mamanya,” ungkap Aruna didalam hati.

“Bunda, mau minum,”

Aruna memberikan mug kecil berwarna biru, yang memang milik Biru. Dirumah ini ada beberapa barang milik Biru dan Nila yang sengaja mereka berdua tinggalkan, karena sebelum Aruna hamil anak kedua, dikembar sangat sering menginap dirumahnya. Hampir setiap hari.

Jadi bisa dimengerti serindu apa Biru pada Bundanya, yang biasanya tiap hari bisa ia temui sekarang hanya bisa ia temui sebulan sekali. Bahkan jika ini bukan libur semester, bisa dipastikan saat ini Biru sedang berada dirumah bersama Nila dirumah mereka.

“Tante,” panggil Jia.

“Iya Jia? Mau minum?”

Jia menggeleng.

“Mau nambah?”

Lagi-lagi Jia menggeleng. Jeano dan Tara hanya memperhatikan saja.

“Jia boleh panggil Bunda juga ngga?”


Maya mendengar suara mobil ayahnya, perasaan antusias menguasai anak itu saat ini. Ia tidak peduli jika nantinya sang ibu akan marah besar.

“Dek? Udah siap semuanya?” tanya Bani dari balik pintu.

“Udah Yah,”

“Menjauh dari pintu ya, Ayah dobrak pintunya sekarang,”

“Iyaa,” jawab Maya.

BRAK

Maya akui ayahnya ini memang sangat kuat secara fisik, dalam sekali coba Bani berhasil membuka pintu kamar anaknya.

“Ayo kita langsung berangkat. Kamu ngga boleh ketinggalan pesawat,”

Maya menurut, lalu membawa ransel kecilnya. Bani sudah membawa koper Maya terlebih dahulu, dan memasukkannya kedalam bagasi mobil.

Selama perjalanan, sejujurnya Maya memiliki rasa takut jika orangtuanya bertengkar karena dirinya. Karena yang sudah-sudah, selalu begitu.

“Ayah,” panggil Maya.

“Kenapa? Ada yang ketinggalan?”

“Bukan,”

“Terus apa? Takut Ibu marah?”

“Adek gapapa kalo Ibu marah, tapi adek ga mau kalian berantem,”

“Ayah juga maunya gitu. Cuma kalo nanti Ibumu maksa biar kamu ngga ikut, Ayah ngga bisa diem aja. Yah, paling ngga Ayah yang paksa Ibumu buat keluar bandara, tapi semoga aja kita ngga ketemu Inggit biar kamu langsung berangkat aja.”

***

Maya sempat melihat ayahnya yang menarik sang ibu keluar dari bandara. Tapi Inggit tidak sempat mengajak Maya pulang bersamanya, hal yang Maya syukuri tadi.

Tapi kini, Maya menghela nafasnya berat. Bagaimana tidak? Ia duduk bersebelahan dengan Haris, dan didepan Haris adalah Karin. Maya tidak bisa banyak bicara dengan keduanya, tapi ia juga bosan jika hanya berdiam diri. Kursi disebelah Karin kosong, jika ada pun Maya tidak akan mencoba mengobrol dengan orang yang akan menempatinya nanti.

“Haris,” panggil Maya pelan, Haris menoleh tanpa menjawab.

“Lo ngga mau duduk sama Si Karin aja? Dia kan temen ekskul lo,”

“Ngga,”

“Tapikan—”

“Kalo lo ngga mau deket-deket gue, lo aja yang pindah,” suruh Haris kesal. Menurutnya Maya sangat mengganggu, tidurnya terganggu.

“Ribet banget sih lo,” sewot Karin dari depan.

“Gue ngga ngomong sama lo!” sahut Maya tak kalah sewot.

“Lo bisa pindah keujung sana, biar orang lain yang nanti duduk ditengah sini,” usul Haris pada Maya.

Perlahan Maya menoleh ke kursi disebelahnya yang memang kosong, betul juga apa yang diucapkan Haris.

Maya langsung pindah, kemudian menyumpal telinganya dengan headphone yang sudah tersambung dengan mp3. Mp3 tersebut pemberian dari Arziel, sebagai kado ulang tahun Maya tahun lalu.

Tidak lama kemudian seorang laki-laki muncul dan duduk ditengah-tengah Haris dan Maya. Sudah bisa dipastikan bahwa Maya tidak mengenali orang tersebut. Ia juga tak ingin repot-repot menyapa, toh nanti ia akan bergabung bersama teman-temannya yang lain.

Kayaknya mereka temenan deh,” ucap Maya didalam hati, karena orang disebelahnya ini terus mengobrol bersama Haris.

Maya terpaksa membuka matanya karena suara notifikasi dari ponselnya terus berbunyi. Ternyata ada pesan dari Karin.

“Tinggal ngomong aja padahal,” cerocos Maya pelan.

Dipesan itu, Karin memintanya untuk bertukar tempat duduk. Membuat Maya sedikit bingung, padahal belum ada orang yang duduk disebelah Karin. Tapi Maya tidak ingin ambil pusing.

“Gak mau,” balas Maya secara langsung, ia tidak peduli tatapan aneh dari dua orang yang duduk disebelahnya.

Bunyi dari ponselnya muncul lagi.

“Ck, kapan berangkatnya sih ni pesawat?” tuturnya kesal.

Mau tak mau ia harus membuka ponselnya lagi, dan lagi-lagi Karin mengiriminya pesan.

Kali ini Karin memohon dan berjanji tidak akan menganggu Maya saat study tour nanti.

“Gue ngga mau! Lagian lo mana berani ganggu gue kalo ada Anya sama Ziel. Udah duduk manis aja sih, ribet banget!” cerocos Maya kesal.

“Temen lo?” bisik laki-laki yang berada ditengah pada Haris.

“Apa liat-liat?!” sewot Maya karena Haris terus menatapnya aneh.

Keadaan sunyi setelahnya, dan Maya bersyukur karena pesawat akan terbang sebentar lagi. Itu membuat Maya mematikan ponselnya karena tidak ingin diganggu lagi oleh Karin.

***

Ada satu hal yang Maya lupakan. Ia benci jika pesawat mulai lepas landas, dan yang paling penting.. Maya takut ketinggian!

Ia terus meremas tangannya gelisah karena pesawat sedang take off. Bahkan ketika pesawat sudah terbang dengan tenang pun Maya masih merasa gelisah, dan cowok disampingnya menyadari bahwa keadaan Maya tidak baik-baik saja.

“Ris, temen lo takut. Cepet tukeran,” suruhnya.

“Ga,” tolak Haris cepat.

“Ck, cupu,”

“Bodo,”

Setelah mengamati selama beberapa menit, akhirnya laki-laki ini memilih mengalah.

“Nama lo Maya kan? Lo takut tinggi? Ayo tukeran sama gue,”

Maya menoleh, dahinya sedikit berkeringat. Ia langsung mengangguk cepat, lama-lama perutnya terasa mual dan bisa saja ia akan muntah jika tetap duduk di dekat jendela.


Maya sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Lalu mulai menatap tajam ke arah Haris.

“Cih cupu,” cibir Maya pelan.

“Gue bukan orang baik,” sahut Haris dingin membuat Maya sedikit terkejut. Pasalnya ia kira cowok disampingnya ini sedang tidur.

Tapi yang namanya Maya, ia memilih mengacuhkan Haris dan mulai menatap laki-laki yang berbaik hati menawarkan untuk bertukar tempat duduk.

“Apa?” tanya laki-laki itu.

“Kok lo kenal gue?” tanya Maya.

“Lo yang nomornya ngga disave kan sama Haris?”

Ah sial. Maya jadi menyesal bertanya.

“Gue Arthur. Ketua teater,”

“Beneran?” tanya Maya, Arthur mengangguk mantap.

“Gue boleh masuk ekskulnya ngga?”

“Boleh. Nanti tanya Haris aja, dia ada formulirnya,”

Maya langsung menghela nafas, kenapa ia dan Haris jadi harus berhubungan seperti ini.

“Kalo males ga usah masuk,” cibir Haris tajam.

“Gue ngga bilang apa-apa!” balas Maya kesal.

“Gue denger nanti bakal ada acara malem diluar hotel, terus ada uji nyalinya,”

“Gue ngga takut,” jawab Haris dan Maya bersamaan.

“Tapi regunya yang barengan duduk ama lo dipesawat.”


Aruna berada ditempat yang tidak ia kenali, yang ia tahu ini hanyalah tempat yang sangat sejuk. Tanah yang ditumbuhi rerumputan, dan ini sangat luas.

Aruna berjalan kesana kemari, berharap ada orang yang dapat membantu menjelaskan dimana ia sekarang ini. Aruna melihat satu pohon ditengah-tengah padang rumput ini, dan dua orang sangat ia kenali. Yang sangat Aruna rindukan.

Suami serta anaknya. Ya, Winata dan Juan. Mereka berdua memakai baju berwarna putih, berbeda dengan Aruna. Ia mengenakan baju rumah sakit.

“MAS! JUAN!” teriak Aruna.

Juan menengok, tapi tidak ada senyum yang muncul diraut wajah anak itu. Hanya ada raut kebingungan.

“Ayah, Bunda ngapain disini?”

“Sana samperin Bunda. Habis ini kita pergi,” suruh Winata.

Juan berlari menghampiri Sang Ibu, lalu memeluknya.

“Bunda ngga boleh ada disini,” ucapnya.

“Kenapa? Bunda seneng bisa ketemu Babang lagi,”

“Babang juga seneng, tapi kalo Bunda disini adek gak ada yang jagain,” celetuknya.

“Maksudnya apa Mas?” tanya Aruna pada Winata.

“Juan bener, kamu ngga boleh disini. Belum waktunya, ayo kita antar,”

“Anter kemana? Jelasin biar aku ngerti,” pinta Aruna.

“Kamu akan ngerti kalo lewatin cahaya itu,”

“Aku ngga mau,” tolak Aruna cepat.

“Kamu harus kembali sayang. Bayi kita butuh kamu,” ucap Winata.

“Kalo gitu kita ajak dia, kita pergi bareng-bareng,” putus Aruna.

“Bisa. Kamu harus masuk cahaya itu dan buat Keenan diem,”

“Keenan?”

“Namanya Keenan, aku udah siapin nama itu,”

“Oke. Kalo gitu aku bikin dia diem dulu, aku akan kesini lagi,”

“Ayo kita antar,”

Aruna mengangguk, kali ini ia bersedia diantar oleh suami dan anaknya.

“Aruna,” panggil Winata saat Aruna hampir tiba dipusaran cahaya.

“Aku minta maaf karena berlebihan dan ngga bisa jaga kamu dan Keenan. Jangan merasa bersalah ya? Jangan tutup hati kamu untuk orang lain. Selamat tinggal.”


Hendra tidak mengerti kenapa kedatangannya membuat Aruna menangis. Keadaannya terlihat lemah, membuat Hendra merasa bersalah. Hanya ada Hendra diruangan ini, Raffa dan Jeano menunggu diluar bersama Nila dan Biru.

“Kenapa Na? Maaf tadi hp gue ngga aktif,”

“Jangan nangis, nanti capek,” bujuk Hendra lembut.

Perlahan Aruna menghentikan tangisnya, dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, Aruna menjelaskan apa yang membuatnya menangis.

“Nata mau lo terus lanjutin hidup Na,”

Aruna menggeleng pelan, mimpinya tadi membuat rasa sedih dan rasa bersalah dalam dirinya muncul lagi.

“Lo istirahat lagi ya. Beberapa hari lagi kalo lo udah baikan bakal dipindahin ke rawat inap biasa,”

“Tara mana?” tanya Aruna pelan.

“Balik mau jemput anaknya, kenapa?”

“Gue mau minta maaf,”

“Buat apa?”

“Tadi gue nyakar tangannya,”

“Lah dia nemenin lo lahiran?”

“Iya. Gue kira lo udah dateng,” ucap Aruna pelan.

“Paling besok kesini lagi orangnya. Besok aja minta maafnya, sekarang lo istirahat lagi,”

“Iyaa.”


Tara menunggu dengan gelisah, masih terbayang-bayang saat Aruna mengatakan bahwa wanita itu tak sanggup dan menutup matanya ditengah-tengah persalinan.

“Keluarga ibu Aruna?” tanya seorang dokter yang Tara tunggu sejak tadi.

“Say—”

“Bapak suaminya? Mari ikut saya sebentar,” ajak Sang Dokter.

Ah persetan, Tara tidak peduli lagi dengan ucapan dokter. Orang-orang dirumah sakit ini selalu memotong ucapannya ketika ia ingin mengelak. Yang penting sekarang, Tara harus tahu kondisi Aruna.

***

Dokter menjelaskan bahwa Aruna mendapatkan kembali kesadarannya dan berusaha sekuat tenaga untuk melahirkan bayinya. Untungnya si bayi lahir dengan selamat.

Dokter juga mengatakan bahwa kini Aruna sudah baik-baik saja meski sudah kembali tidur dan belum bangun.

Kini Tara menunggu diluar karena Raffa dan Jeano sudah ada didalam, menjenguk Aruna.

“Om, Bunda udah bangun belum?” tanya Biru.

“Om ngga tau. Nanti kalo Om Raffa keluar tanya sama dia ya,”

Biru mengangguk patuh.

“Om ngga boleh sedih. Kata Ayah Nata, Om boleh jaga Bunda,”

“Semuanya boleh jaga Bunda Runa,” koreksi Tara, namun Nila menggeleng.

“Ayah Nata tadi kesini Om. Tadi masuk ke tempat Bunda, tapi sekarang udah pulang. Iya kan Ru?” tanya Nila pada Biru.

“Om, Papa mau kerja diluar kota,” jelas Biru.

Tidak lama kemudian Hendra, muncul, bertepatan dengan keluarnya Raffa dan Jeano dari ruang ICU.


Rumah Aruna sepi saat ini. Hendra, Raffa, Jeano, Juna dan juga Tara tidak pernah menginap lagi. Hanya sesekali mampir untuk melihat keadaan Aruna, apakah semakin membaik atau malah memburuk.

Awalnya mereka tetap ingin menginap, setidaknya sampai Aruna melahirkan dan saat nifasnya selesai. Tapi Aruna menolak dan bersikeras bahwa ia akan baik-baik saja, wanita itu berjanji akan menghubungi salah satu dari mereka jika terjadi apa-apa.

Jika dilihat dari luar, Aruna memang terlihat semakin membaik. Tapi tidak ada yang tahu keadaan hati dan mentalnya. Yah.. Hatinya sudah pasti hancur mengingat sang suami dan anaknya meninggalkan Aruna secara bersamaan.

Saat ini Aruna sedang menyiram tanaman dihalaman rumahnya, ternyata bukanya tetap mekar karena Jeano menyiraminya setiap hari. Raffa yang memberitahu Aruna.

“Aruna..”

Tubuh Aruna sedikit menegang mendengar suara ini, ia sangat hafal suara ini meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu.

“Maafin gue,” mohon Jevan.

“Pergi,” usir Aruna.

“Maafin gue dulu,”

Aruna tersenyum sinis, tapi matanya sudah berkaca-kaca.

“Lebih baik lo gak usah datang, Jev. Gue benci kenyataan bahwa lo rencanain semua ini,”

Sebelumnya, Aruna sudah tau bahwa Jevan merencanakan kecelakaan Winata. Aruna ada disana saat Hendra memukuli orang dihadapannya ini. Hendra, Tara, Raffa, Jeano, bahkan Juna berniat untuk membawa masalah ini kemeja hijau, tapi Aruna menolak.

Ia tau betul Jevan pasti sudah merencanakan dengan sebaik-baiknya. Orang yang sangat berkecukupan seperti Jevan, bisa dengan mudah membuat barang bukti lenyap. Aruna tidak ingin membuang tenaganya. Ia yakin Jevan akan mendapatkan karmanya sendiri.

“Dia mau ceraiin lo, Na,” ucap Jevan.

“Gue lebih baik cerai Jev! Seenggaknya gue masih bisa ketemu anak gue, anak diperut gue bisa ketemu ayah sama kakaknya! Dan lagi, lo gak punya hak apapun buat hilangin nyawa seseorang!” balas Aruna emosi.

“Lo mau masuk penjara atau ngga?” tambahnya.

“Lo tau gue bisa ba—”

“Mau atau engga?” tanya Aruna tajam.

“Na gu—”

“MAU ATAU NGGA JEVAN?!”

“Ngga,” jawab Jevan cepat.

“Kalo gitu jangan pernah muncul lagi dihadapan gue, sedikitpun. Pergi,” usir Aruna.

“Gue mau nikah, Na. Lo mau datang kan?”

“Gue ga sudi,”

“Sebentar aja Na,” mohon Jevan.

“Ngga,”

“Lo tega,”

“Lebih tega mana sama lo?! HAH?!” teriak Aruna marah.

Ia tak habis pikir bagaimana bisa Jevan muncul dihadapannya dengan tidak tahu malu. Ditambah dengan santainya ia menjelaskan tanpa rasa bersalah.

“Na, lo berdarah,” ucap Jevan saat menyadari darah mengalir dikaki Aruna.

Jevan mendekat, “Ayo kerumah sakit,”

“Gue gak butuh lo!” tukas Aruna sambil menepis tangan Jevan dibahunya.

“Lo bisa kenapa-kenapa,” ucap Jevan, masih mencoba membujuk Aruna.

“Ga usah sok peduli sama gue! Pergi!”

Aruna menyentuh perutnya pelan sambil merogoh sakunya, mengambil ponsel dan segera menghubungi Hendra.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif,”

Tidak, siapapun tolong jawab telpon Aruna saat ini. Rasa sakit mulai menyerang perempuan ini, tapi Aruna sama sekali tidak ingin pergi kerumah sakit bersama Jevan.

Raffa tidak mengangkat telpon Aruna, ia tidak bisa menghubungi Juna karena anak itu sedang berada diluar kota.

Yah, orang terakhir yang bisa Aruna hubungi adalah Jeano dan Tara.

“H-halo, Jean kamu dimana?”

“Jean sama Bang Tara mau kerumah kakak, ada apa?”

“Ka-kakak pendarahan, bisa tolong bawa kakak kerumah sakit?”

“Tunggu kak, kita bentar lagi sampe,”

“Iya, makasih,”

Aruna menutup telponnya, lalu berjalan sedikit untuk duduk dikursi.

“Na, sama gue aja. Mereka masih dijalan,” bujuk Jevan lagi.

Aruna memilih mengabaikannya, rasa sakit diperutnya membuat Aruna tak kuasa berbicara lagi.

Sedangkan Jevan, ia masih menunggu disana dan berharap Jeano datang secepat mungkin. Ia tak tega melihat Aruna menahan sakit.

Tidak lama mobil Tara memasuki pekarangan rumah, Jeano membantu Aruna untuk masuk kedalam mobil.

“Jean, huufff Kak Runa boleh minta tolong lagi?” tanya Aruna sambil mengatur nafasnya.

“Apa kak?”

“Ambil tas dimeja samping tv, itu baju-baju yang disiapin Winata buat persalinan,”

“Bentar kak,”

Jeano masuk kedalam rumah dan menemukan tas yang dimaksud Aruna dengan cepat dan kembali kedalam mobil, tidak lupa mengunci pintu rumah Aruna.

Mereka berangkat, meninggalkan Jevan sendirian yang memilih tinggal.

***

Aruna sudah masuk kedalam ruang bersalin, dokter bilang pendarahan tersebut terjadi karena memang sudah waktunya Aruna melahirkan.

“Gue urus administrasinya dulu Bang,” ucap Jeano.

Tara menyerahkan kartu hitam miliknya.

“Pake atm gu—”

“Ini aja. Uangnya lo tabung buat modal nikah,” potong Tara.

“Yaudah. Gue kedepan dulu,” ucap Jeano lalu menerima kartu yang Tara sodorkan.

Jujur Tara gelisah, melihat darah yang mengalir dikaki Aruna tadi membuatnya tambah khawatir.

Pintu terbuka, menampilkan seorang suster.

“Bapak suaminya?”

“Say—”

“Ayo ikut saya kedalam Pak. Istri bapak butuh bapak.”

***

“Aruna, ini saya Tara. Saya disini,” bisik Tara pelan.

“Sakit,” rintih Aruna.

“Kamu kuat,” bisik Tara lagi.

Aruna meraih pergelangan tangan Tara meremasnya kuat. Entah mengapa rasa sakit yang ia rasakan kini sangat berbeda saat ia melahirkan Juan dulu.

“Aku ngga kuat,” rintihnya lagi.

“Kamu bisa,”

Remasan itu berubah jadi sebuah cakaran. Tara menahannya mati-matian, tentu saja ini tidak sebanding dengan sakit yang Aruna rasakan saat ini.

“Dok-dokter, saya ngga kuat,”

“Sedikit lagi Bu, ayo tarik nafas, hembuskan,”

Tapi detik itu juga Aruna kehilangan kesadaran. Ia pingsan ditengah-tengah persalinan. Aruna dibawa keruang ICU, Tara tidak diizinkan masuk dan dipersilahkan untuk menunggu diluar.

“Ya Tuhan, untuk kali aku memohon. Jangan bawa Aruna, saya janji akan jaga dia.”


Tara datang sendirian, ia menitipkan Jia pada Wanda. Yah, pertemuannya dengan Aruna membuat Tara dan kakaknya yang satu bisa bertemu kembali. Bukan hanya dengan Wanda, bahkan dengan Raffa, Jeano, sampai Juna. Mereka berkumpul kembali.

Tara melihat Hendra tertidur di sofa, pria satu itu bahkan tidak mandi sejak dua hari lalu. Ia ragu untuk menghampiri Aruna dikamar Juan, tapi Tara ingat pesan Jeano bahwa wanita itu belum makan sejak tadi pagi.

Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu terlebih dahulu. Tapi suara dari dalam menghentikan niat Tara. Di dalam sana, Aruna berbicara sendiri.

“Win, Jevan jahat banget ya sama kita. Dia bikin kamu pergi, dia bikin Juan pergi juga,”

“Kata Hendra kamu sama Juan mau pergi cari aku ya?”

“Kalo waktu itu aku ngga pergi, apa kamu sama Juan masih disini sama aku?”

“Dulu kamu pernah bilang, berharap bahwa kita bakal bareng-bareng sampai tua. Sampai Juan menikah, sampai kita punya cucu. Tapi Jevan jahat banget ambil kalian dari aku,”

“Kalo gitu aku sama bayi kita mau ikut kamu boleh?”

“Jangan,” ucap Tara dari balik pintu.

“Maaf karena saya kamu sama suami kamu jadi bertengkar hebat. Maaf karena saya memutuskan untuk tetap minta bantuan kamu buat urus perceraian saya,” ujar Tara.

“Tapi saya mohon jangan susul mereka,” sambung Tara.

“Banyak yang sayang sama kamu disini. Raffa, Juna, Hendra, bahkan Jeano ngga pernah sekalipun ninggalin rumah ini sejak pemakaman selesai. Baru hari ini dia pergi. Hendra sudah ngga masuk kerja berhari-hari, dia takut kamu dan kandunganmu kenapa-napa. Biru dan Nila juga terus maksa Hendra lewat telpon untuk ngizinin mereka ketemu kamu, jangan ya Na?”

“Kamu juga harus tanya sama Jevan, atau tuntut dan masukin dia kepenjara karena sudah rencanain kecelakaan Winata,” sambungnya lagi.

“Kamu harus kuat Aruna, dan jangan lupain bayi yang sedang kamu kandung. Sebentar lagi kamu harus melahirkan, saya pengen saat dia lahir nanti, dia sehat dan kamu selamat,”

“Boleh saya masuk?” tanya Tara.

Namun tidak ada balasan dari Aruna, tapi Tara juga tidak puas jika tidak melihat langsung. Ia penasaran apa Aruna sudah memakan makanannya atau belum.

“Saya masuk ya.”


“Hahhhh,”

“Na? Lo udah sadar? Ada yang sakit?” tanya Hendra.

“Gue gapapa, cuma mimpi buruk aja,” jawab Aruna.

“Mimpi apa?”

“Gue mimpi Winata sama Juan pergi ninggalin gue,”

Hendra tertegun, ia juga tidak menyangka sahabatnya ini akan mengalami hal yang sama sepertinya. Kehilangan orang yang mereka cintai.

“Ayo, Winata sama Juan udah nungguin lo,”

“Hen..”

“Iya?”

“Gue ngga mimpi ya?”

***

Proses pemakaman berlangsung dengan lancar. Sepanjang proses, Aruna tak kuasa menahan air matanya. Ia kehilangan dua orang yang paling berharga dihidupnya untuk yang kesekian kalinya. Tanpa salam perpisahan. Yah, kecuali Juan.

“Na, ayo makan dulu,” ajak Hendra.

“Bayi diperut lo juga butuh asupan,” tambahnya.

Aruna hanya diam dengan tatapan kosongnya. Secepat kilat ia kehilangan segalanya.

“Gue taro disini ya makanannya, gue tunggu diluar. Kalo ada apa-apa panggil gue aja,” ucap Hendra. Ia meninggalkan Aruna dikamar Juan dan menutup pintu secara perlahan.

Hendra duduk bersandar dipintu kamar Juan. Hatinya terasa kacau melihat keadaan Aruna saat ini. Ia tau betul sebesar apa rasa cinta yang Aruna miliki untuk Winata dan juga Juan. Tapi Hendra tidak ingin suatu hal buruk terjadi pada Aruna. Sungguh, Aruna satu-satunya keluarga yang ia miliki.

“Bang,” panggil Raffa.

“Kenapa? Mau balik?”

Raffa menggeleng.

“Kak Runa udah mau makan?”

Kini Hendra yang menggeleng.

“Gue coba bujuk boleh?” tanya Raffa meminta izin.

“Coba aja,”

“Oke. Oh iya, didepan ada temen lo yang nyari. Lagi ngobrol sama Jean orangnya,”

“Siapa? Temen kantor gue ngga ada yang tau tentang Aruna,” ucap Hendra bingung.

“Bukan temen kantor lo. Tapi Bang Jevan.”

***

“Una ngga mau ketemu sama lo,” ucap Hendra dingin. Ya, Hendra berbohong. Entah mengapa emosi menguasai Hendra, tapi ia masih menaham untuk tidak melakukan kekerasan terhadap kawan lamanya ini.

“Gue mau minta maaf,” balas Jevan tak kalah dingin.

“Gak perlu. Lo bisa pergi dari sini,”

“Gue butuh maaf dari Aruna, tolong izinin gue,”

“Dia gak akan pernah buka hatinya buat orang lain,” sinis Hendra tajam.

“Gue yang bikin Winata kecelakaan,” balas Jevan enteng.

“Bajingan, maksud lo apa?!” tanya Hendra, emosinya semakin memuncak.

“Gue yang bikin Winata kecelakaan. Tapi gue ngga tau didalam mobil itu ada anak kecil,”

Bugh

“BIKIN WINATA MATI BUKAN BERARTI LO BISA GANTIIN POSISINYA DIA DIHIDUP ARUNA!”

BUGH BUGH

“MASIH PUNYA URAT MALU LO DATANG KESINI ANJING?!”

“LO BUKAN CUMA BUNUH WINATA! TAPI LO JUGA BUNUH ANAK MEREKA!!”

BUGH BUGH BUGH

Jevan sama sekali tidak membalas, ia menerima semua pukulan yang Hendra berikan untuknya. Membiarkan dirinya babak belur sampai pingsan.

Terakhir kali sebelum kesadarannya hilang, ia melihat Tara dan adik-adiknya menghentikan Hendra yang terus menerus memukulinya.


Aruna pergi kerumah sakit saat itu juga, diantar oleh Juna tentunya. Juna tidak membiarkan Aruna menyetir sendirian karena emosinya sedang tidak stabil.

“Hen, suami gue dimana?” tanya Aruna pelan.

”...”

“Hen, Winata dimana?” ulang Aruna.

“Didalem, Na. Baru selesai diperiksa dokter,” sahut Hendra pelan.

Aruna masuk kedalam ruang inap Winata. Yang pertama kali ia lihat adalah sosok suaminya, Winata. Banyak alat bantu yang sudah tidak terpasang lagi ditubuhnya.

“Win,”

“Tuhan, jangan,” mohon Aruna didalam hati.

“Winata, bangun. Aku udah pulang,”

“Winata, bangun. Aku pulang, aku minta maaf,”

“Jangan tinggalin aku,”

“Winata, bangun!”

“Kamu belum lihat anak kamu lahir!”

“Winata bangun!!!”

“WIN JANGAN TINGGALIN AKU!!” pekik Aruna kencang, tangisnya pecah begitu saja saat menyadari suaminya tidak lagi bernafas. Tubuh Winata kaku, dengan perban yang masih melingkar dikepalanya.

Hendra tidak langsung masuk, ia membiarkan Aruna menangis didalam.

“Makasih udah anter Aruna,” ucap Hendra pada Juna yang terdiam mendengar tangisan serta penyesalan Aruna.

“Meninggal ditempat atau baru aja?” tanya Juna pelan.

“Kalian diperjalanan. Keadaannya udah parah dan meninggal beberapa menit setelah gue telpon Runa,” lirih Hendra.

“Sebaiknya lo tenangin Kak Runa sekarang. Ngga baik buat kandungannya.”

***

“Na,” panggil Hendra lembut.

“Aruna,” ulangnya.

“Bundanya Juan,” ucap Hendra lagi. Kali ini Aruna menoleh, matanya sedikit membengkak.

“Dokter bilang Juan udah siuman. Dia mau ketemu sama lo,”

Aruna segera bangkit, menghampiri Hendra.

“Juan juga didalem mobil?” tanya Aruna sendu.

“Iya. Ayo temuin Juan.”

***

“Bun.. Da,”

“Iya sayang. Bunda disini, Bunda jemput Babang,”

“Bu.. Nda,”

“Babang janji harus cepet sembuh ya? Nanti piknik sama Bunda dan adik,”

Juan menggeleng lemah.

“Babang harus ikut Ayah,” ucap Juan lemas dan susah payah. Hati Aruna mencelos mendengarnya.

“Jangan anakku juga, Tuhan,”

“Ngga. Bilang sama Ayah kalo Babang ikut Bunda. Babang udah janji sama Bunda, Babang janji akan ikut Bunda kemanapun Bunda pergi. Babang lupa ya? Gapapa, Bunda ngga marah. Babang disini ya sama Bunda, temenin Bunda sama adik,”

“Ngga Nda. Babang harus temenin Ayah, kasian Ayah sendirian,”

“Nanti Bunda juga sendirian,” ucap Aruna pelan, air matanya kembali mengalir.

Lagi-lagi Juan menggeleng lemah.

“Bunda punya adik, punya Papa Hendra, punya Om Raffa, Biru, Nila. Mereka pasti sayang Bunda. Kalo Ayah ngga Nda, Ayah sendirian. Babang kasian,”

“Ayah yang ajak Babang?”

Juan menggeleng lagi.

“Babang disini aja, jangan tinggalin Bunda juga,”

“Ngga Nda. Babang harus temenin Ayah. Babang bobo dulu ya, Nda,”

“Jangan. Babang disini aja sama Bunda. Bunda udah janji mau jemput Babang. Kita juga janji mau piknik,”

“Maaf Bunda,”

Aruna menggeleng keras ketika Juan mulai menutup matanya, nafas anaknya sedikit tersengal. Hendra memanggil dokter yang tiba saat itu juga.

“Tuhan aku mohon jangan ambil Juan juga. Aku butuh Juan,”

Dokter melakukan tindakan untuk mengembalikan detak jantung Juan. Tapi nihil, Juan sama sekali tidak merespon.

Bunyi nyaring dari EKG yang menampilkan garis lurus membuat Aruna hancur. Dalam sekejap ia kehilangan dua orang yang paling berharga dihidupnya.