Rumah Aruna sepi saat ini. Hendra, Raffa, Jeano, Juna dan juga Tara tidak pernah menginap lagi. Hanya sesekali mampir untuk melihat keadaan Aruna, apakah semakin membaik atau malah memburuk.
Awalnya mereka tetap ingin menginap, setidaknya sampai Aruna melahirkan dan saat nifasnya selesai. Tapi Aruna menolak dan bersikeras bahwa ia akan baik-baik saja, wanita itu berjanji akan menghubungi salah satu dari mereka jika terjadi apa-apa.
Jika dilihat dari luar, Aruna memang terlihat semakin membaik. Tapi tidak ada yang tahu keadaan hati dan mentalnya. Yah.. Hatinya sudah pasti hancur mengingat sang suami dan anaknya meninggalkan Aruna secara bersamaan.
Saat ini Aruna sedang menyiram tanaman dihalaman rumahnya, ternyata bukanya tetap mekar karena Jeano menyiraminya setiap hari. Raffa yang memberitahu Aruna.
“Aruna..”
Tubuh Aruna sedikit menegang mendengar suara ini, ia sangat hafal suara ini meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu.
“Maafin gue,” mohon Jevan.
“Pergi,” usir Aruna.
“Maafin gue dulu,”
Aruna tersenyum sinis, tapi matanya sudah berkaca-kaca.
“Lebih baik lo gak usah datang, Jev. Gue benci kenyataan bahwa lo rencanain semua ini,”
Sebelumnya, Aruna sudah tau bahwa Jevan merencanakan kecelakaan Winata. Aruna ada disana saat Hendra memukuli orang dihadapannya ini. Hendra, Tara, Raffa, Jeano, bahkan Juna berniat untuk membawa masalah ini kemeja hijau, tapi Aruna menolak.
Ia tau betul Jevan pasti sudah merencanakan dengan sebaik-baiknya. Orang yang sangat berkecukupan seperti Jevan, bisa dengan mudah membuat barang bukti lenyap. Aruna tidak ingin membuang tenaganya. Ia yakin Jevan akan mendapatkan karmanya sendiri.
“Dia mau ceraiin lo, Na,” ucap Jevan.
“Gue lebih baik cerai Jev! Seenggaknya gue masih bisa ketemu anak gue, anak diperut gue bisa ketemu ayah sama kakaknya! Dan lagi, lo gak punya hak apapun buat hilangin nyawa seseorang!” balas Aruna emosi.
“Lo mau masuk penjara atau ngga?” tambahnya.
“Lo tau gue bisa ba—”
“Mau atau engga?” tanya Aruna tajam.
“Na gu—”
“MAU ATAU NGGA JEVAN?!”
“Ngga,” jawab Jevan cepat.
“Kalo gitu jangan pernah muncul lagi dihadapan gue, sedikitpun. Pergi,” usir Aruna.
“Gue mau nikah, Na. Lo mau datang kan?”
“Gue ga sudi,”
“Sebentar aja Na,” mohon Jevan.
“Ngga,”
“Lo tega,”
“Lebih tega mana sama lo?! HAH?!” teriak Aruna marah.
Ia tak habis pikir bagaimana bisa Jevan muncul dihadapannya dengan tidak tahu malu. Ditambah dengan santainya ia menjelaskan tanpa rasa bersalah.
“Na, lo berdarah,” ucap Jevan saat menyadari darah mengalir dikaki Aruna.
Jevan mendekat, “Ayo kerumah sakit,”
“Gue gak butuh lo!” tukas Aruna sambil menepis tangan Jevan dibahunya.
“Lo bisa kenapa-kenapa,” ucap Jevan, masih mencoba membujuk Aruna.
“Ga usah sok peduli sama gue! Pergi!”
Aruna menyentuh perutnya pelan sambil merogoh sakunya, mengambil ponsel dan segera menghubungi Hendra.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif,”
Tidak, siapapun tolong jawab telpon Aruna saat ini. Rasa sakit mulai menyerang perempuan ini, tapi Aruna sama sekali tidak ingin pergi kerumah sakit bersama Jevan.
Raffa tidak mengangkat telpon Aruna, ia tidak bisa menghubungi Juna karena anak itu sedang berada diluar kota.
Yah, orang terakhir yang bisa Aruna hubungi adalah Jeano dan Tara.
“H-halo, Jean kamu dimana?”
“Jean sama Bang Tara mau kerumah kakak, ada apa?”
“Ka-kakak pendarahan, bisa tolong bawa kakak kerumah sakit?”
“Tunggu kak, kita bentar lagi sampe,”
“Iya, makasih,”
Aruna menutup telponnya, lalu berjalan sedikit untuk duduk dikursi.
“Na, sama gue aja. Mereka masih dijalan,” bujuk Jevan lagi.
Aruna memilih mengabaikannya, rasa sakit diperutnya membuat Aruna tak kuasa berbicara lagi.
Sedangkan Jevan, ia masih menunggu disana dan berharap Jeano datang secepat mungkin. Ia tak tega melihat Aruna menahan sakit.
Tidak lama mobil Tara memasuki pekarangan rumah, Jeano membantu Aruna untuk masuk kedalam mobil.
“Jean, huufff Kak Runa boleh minta tolong lagi?” tanya Aruna sambil mengatur nafasnya.
“Apa kak?”
“Ambil tas dimeja samping tv, itu baju-baju yang disiapin Winata buat persalinan,”
“Bentar kak,”
Jeano masuk kedalam rumah dan menemukan tas yang dimaksud Aruna dengan cepat dan kembali kedalam mobil, tidak lupa mengunci pintu rumah Aruna.
Mereka berangkat, meninggalkan Jevan sendirian yang memilih tinggal.
***
Aruna sudah masuk kedalam ruang bersalin, dokter bilang pendarahan tersebut terjadi karena memang sudah waktunya Aruna melahirkan.
“Gue urus administrasinya dulu Bang,” ucap Jeano.
Tara menyerahkan kartu hitam miliknya.
“Pake atm gu—”
“Ini aja. Uangnya lo tabung buat modal nikah,” potong Tara.
“Yaudah. Gue kedepan dulu,” ucap Jeano lalu menerima kartu yang Tara sodorkan.
Jujur Tara gelisah, melihat darah yang mengalir dikaki Aruna tadi membuatnya tambah khawatir.
Pintu terbuka, menampilkan seorang suster.
“Bapak suaminya?”
“Say—”
“Ayo ikut saya kedalam Pak. Istri bapak butuh bapak.”
***
“Aruna, ini saya Tara. Saya disini,” bisik Tara pelan.
“Sakit,” rintih Aruna.
“Kamu kuat,” bisik Tara lagi.
Aruna meraih pergelangan tangan Tara meremasnya kuat. Entah mengapa rasa sakit yang ia rasakan kini sangat berbeda saat ia melahirkan Juan dulu.
“Aku ngga kuat,” rintihnya lagi.
“Kamu bisa,”
Remasan itu berubah jadi sebuah cakaran. Tara menahannya mati-matian, tentu saja ini tidak sebanding dengan sakit yang Aruna rasakan saat ini.
“Dok-dokter, saya ngga kuat,”
“Sedikit lagi Bu, ayo tarik nafas, hembuskan,”
Tapi detik itu juga Aruna kehilangan kesadaran. Ia pingsan ditengah-tengah persalinan. Aruna dibawa keruang ICU, Tara tidak diizinkan masuk dan dipersilahkan untuk menunggu diluar.
“Ya Tuhan, untuk kali aku memohon. Jangan bawa Aruna, saya janji akan jaga dia.”