buddyeyo


“BUNDA!!” teriak Awan saat melihat Aruna berjalan kearahnya.

“Kok bunda pake mobilnya ayah? Ayah udah pulang?”

“Ayah ikut dong,” sahut Aruna.

“AYAH!!”

Winata berlari menghampiri putranya, lalu membawa Awan kedalam gendongannya. Aruna tersenyum senang, keluarga kecilnya sangat sempurna. Aruna melihat Jevan datang menjemput Bintang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Aruna merasa ada yang menatapnya dari arah lain, lalu mencarinya. Tatapan itu berasal dari Jia, teman putranya.

“Jia belum dijemput?” tanya Aruna lembut.

“Ga tau, tante. Papa suka telat,”

“Mau ikut ta—”

“Sama gue aja Na. Gue suka anterin Jia. Lo sama Nata mau ajak Awan jalan kan? Udah sana,”

“Beneran?”

“Iya. Gih sana, tuh Nata sama Awan udah nungguin lo,”

Aruna menatap Jia iba, gadis kecil itu menundukan kepalanya.

“Jia,” panggil Aruna.

“Nanti main kerumah tante lagi ya? Kita makan bareng dirumah, sama ayahnya Awan juga,” sambung sekaligus ajak Aruna.

Jia mengangkat kepalanya, matanya berbinar.

“Boleh nginep juga?” tanya Jia antusias.

“Boleh, tapi harus izin dulu sama Papa kamu ya,”

“Oke tante!”


Benar kata Juna, Jeano lebih dulu sampai kerumah. Disusul Juna, Raffa dan juga Tara.

Setelah semuanya selesai mandi, barulah mereka menyantap makanan yang tersedia. Termasuk Jeano, remaja itu juga ada disana.

Aruna menunggu semuanya selesai makan.

“Piringnya taro aja, nanti kakak yang cuci. Kakak mau ngomong sesuatu dulu sama kalian,”

“Apa nih?” tanya Raffa curiga. Juna dan Jeano hanya mengamati. Sedangkan Tara menunggu reaksi adik-adiknya.

“Besok kakak ngga kerja disini lagi. Ma—”

“Alesannya apa?” potong Raffa.

“Kakak mau fokus kuliah aja. Tugas semester ini makin banyak, praktek juga. Kakak takut ngga bisa bantu ngurus kalian lagi,”

“Kita udah mandiri. Rumah ini juga sertifikatnya atas nama Mama, jadi—”

“Ngga bisa Raffa. Kakak ngga bisa disini lagi, kalian juga udah ada Pak Tara yang siap bantu kalian dua puluh empat jam,”

“Karena Jean?” tanya Raffa dingin dan menusuk.

“Gue diem aja bangsat,” sahut Jeanl tak suka.

“Kakak inget Ekal terus, kakak ngga bisa. Jadi tolong ya?” mohon Aruna.

“Tapi sering-sering main kesini ya kak,” suruh Juna, Aruna mengangguk antusias.

“Jun—”

“Kita punya kehidupan masing-masing Raf, walau ga ada Ekal sama kakak, hidup pasti selalu jalan,”

“Kalo nyesel jangan misuh ke gue!”


Besoknya

Aruna memastikan sekali lagi bahwa barang-barangnya tidak ada yang tertinggal.

Tok tok

“Aruna saya masuk ya,”

“Iya,”

“Udah siap semua?”

“Mau saya anter?”

“Ngga usah mas, saya dijemput Jevan sama Hendra,” tolak Aruna halus.

“Runa,”

“Iya?”

“Kamu beneran ngga mau nerima saya?”

Aruna terdiam sebentar, pertanyaan ini lagi. Ingin rasanya Aruna menjawab ia mau menerima Tara, tapi sesuatu didalam dirinya selalu menahan itu.

“Ngga,” jawab Aruna pelan.

“Yaudah,”

Aruna menatap Tara aneh, hanya itu? Biasanya pria ini akan langsung bicara panjang lebar mengenai isi hatinya.

“Saya biasanya nawarin ini ke Raffa, tapi sekali ini aja nawarin ini buat kamu,”

“Apa?”

“Mau peluk saya?”

“Ngga,” sahut Tara mantap.

“Kenapa?”

“Saya yakin kita berjodoh dan bakal ketemu lagi meski kamu pergi ke tempat terjauh sekalipun.”

***

“Kakak pamit ya,”

“Iya kak, hati-hati,” jawab Juna.

Aruna memberikan senyum manisnya pada Raffa, Raffa membalas dengan sedikit terpaksa. Sedangkan Jeano, remaja satu itu memilih diam dikamarnya. Enggan memberikan salam perpisahan, tak apa. Aruna sudah mengiriminya chat meski tidak mendapat balasan apapun.

“Kak hati-hati,” ucap Raffa.

“Hati-hati Runa,” ujar Tara.

“Iya. Kakak pergi dulu ya, mas saya pamit.”

Setelah mendapat balasan, Aruna menarik kopernya dengan yakin. Aruna bahkan enggan menoleh kebelakang, ia tidak ingin keputusannya berubah kala melihat Raffa ataupun Juna.

Karena saat Aruna keluar dari gerbang rumah ini, Aruna tidak akan pernah kembali lagi kedalamnya, bahkan untuk sekedar mampir. Sama sekali, tidak akan pernah.

End


Seminggu sejak Haekal dikebumikan, keadaan rumah menjadi sangat sunyi. Suasana duka masih menyelimuti orang-orang yang tinggal dirumah ini.

Meski aktivitas berjalan seperti biasa, perasaan tidak rela masih membelenggu orang-orang ini.

Raffa menjadi sangat pendiam, tapi remaja ini akan sangat agresif jika Jeano mulai membentak dan mengucilkan Aruna.

Aruna semakin merasa tidak enak karena hubungan keduanya jadi memburuk hanya karena dirinya. Itu membuat Aruna semakin membulatkan tekadnya untuk berhenti bekerja disana sampai mereka semua selesai ujian. Yah sekitar dua minggu lagi Aruna keluar dari rumah ini, dan tidak akan pernah kembali lagi.

***

“Aruna, ini ada surat buat kamu. Maaf saya baru kasih, saya kelupaan,” ucap Tara sambil memberikan amplop kecil berwarna ungu.

“Dari siapa mas?”

“Haekal. Waktu itu suster nitip ke saya.”


Buat Kak Runa

Halo kak, jangan nangis dulu. Ekal nulis surat ini udah lama, waktu baru masuk rumah sakit. Alias waktu masih lumayan seger, bukan sekaku sekarang. Ekal mau bilang makasih banyak udah mau ngerawat Ekal.

Ngajarin Ekal banyak hal yang ngga bisa Ekal dapetin dari Papa apalagi Mama. Ya meski selama prosesnya Ekal banyak misuh, kakak pasti sabar ngadepin tingkahnya Ekal.

Kak dulu Ekal nyebelin banget ya? Hahaha. Dulu Ekal ngga suka ada kakak dirumah karena takut kakak larang Ekal ini itu. Padahal nyatanya ngga, kakak mempersilahkan kita ngapain aja asal izin dan ngga menyimpang. Ekal tadinya ngga bisa nabung loh kak, Raffa juga, Jean juga, cuma Juna doang. Katanya Juna, dia mau nabung dan kuliah sendiri biar ngga disuruh nerusin perusahaannya Papa. Tadinya Ekal berniat buat gantiin Juna sih, soalnya Juna punya banyak plan buat masa depannya. Kalo Ekal ya ngalir aja, asal ngga bikin pusing hahaha. Tapi Papa nolak Ekal kak, Ekal ga mampu katanya. Emang jahat banget bapak-bapak satu itu. Tapi pas udah deket sama kakak, Ekal pengen kayak kakak. Ekal mulai nyusun plan buat masa depan, ya kayak Juna lah kira-kira.

Tapi ya sadar juga, umur Ekal ga panjang karena ulah Ekal sendiri.

Oh iya kak, Ekal mau jujur nih. Kali ini ngga bohong, Ekal udah berhenti ngerokok semenjak kakak larang Ekal waktu pertama kali. Ga tau kenapa, pengen nurut aja. Tapi ya telat, si kanker udah ada dan lumayan parah ternyata.

Coba kalo kita ketemu lebih awal kak, pasti bareng-barengnya bakal lebih lama lagi.

Ekal titip yang lain ya kak. Ekal tau kakak ngga akan selamanya tinggal dirumah, dan kalo kakak udah ngga tinggal dirumah lagi, sering-sering tengokin Raffa ya kak. Sama Juna juga, Juna gitu-gitu orangnya gampang kesepian kak, hehehe.

Udah dulu ya kak, pegel banget tangan Ekal. Makasih banyak ya kak💜

Dari Ekal, adik kesayangannya Kak Runa:D


“Kak,” ucap Raffa pada Aruna ketika gadis itu baru tiba dirumah sakit.

Mata Raffa sembab, begitu juga Juna.

Aruna mengangguk pelan, kemudian memeluk Raffa. Berharap bisa menyalurkan ketenangan untuk remaja ini.

“Jangan nangis, nanti Ekalnya kesakitan,” bisik Aruna pelan.

Tapi tentu saja tidak semudah itu menghentikan tangis bagi orang yang sedang kehilangan.

Haekal orang yang sangat berharga bagi Raffa setelah ibunya. Meski mereka kerap bertengkar dan beradu pendapat, Raffa tetap menyayangi Haekal, begitupula sebaliknya. Haekal saudara terdekat Raffa, karena kakaknya yang lain selalu sibuk belajar dan belajar. Hanya Haekal yang bersedia bermain dan menemani Raffa, tentunya sampai saat ini. Sampai Haekal masuk kerumah sakit karena penyakitnya yang semakin memburuk.

“Dia janji buat sembuh kak,” isak Raffa.

Jeano sendiri sudah masuk kedalam ruang operasi, menemui Haekal untuk yang terakhir kalinya.

“Iya kakak tau,”

“Raffa harus gimana kak sekarang?”

“Ikhlasin, Ekal ngga suka kita sedih. Kita harus ikhlasin Ekal pelan-pelan,” jawab Aruna.

Raffa melepas pelukannya, mengusap kasar wajahnya.

“Ayo kedalem kak,” ajak Raffa. Aruna terdiam sejenak, apakah air mata yang dari tadi ia tahan tetap akan tertahan dipelupuk matanya atau mengalir deras dipipinya? Aruna sadar ia harus kuat didepan ketiga remaja ini, Aruna tidak boleh menunjukkan rasa sedihnya. Ia meyakinkan diri untuk menjadi sandaran bagi Juna, Jeano dan juga Raffa.

“Ekal dimakamin sama pihak rumah sakit. Kita ngga bawa Ekal kerumah kak. Kita langsung anter Ekal ke makam,” jelas Raffa.

Aruna melirik Juna yang termenung, membuatnya merasa iba.

“Juna,” panggil Aruna pelan.

Tangis Juna kembali pecah, bahunya bergetar hebat.

“Shhh,”

Aruna menepuk-nepuk bahu Juna. Kembali mencoba menyalurkan ketenangan.

“Ju-Juna terlalu sibuk belajar sampe lu-lupa kalo penyakit Ekal separah ini,” ucap Juna dengan susah payah.

“Ekal pasti paham,”

“Ayo masuk kedalem Jun.” ajak Raffa pelan.

***

Raffa menatap sinis Jeano yang kini sedang menangis menghadap tembok.

“Tangisan buaya,” sinis Raffa.

Jeano yang mendengar itu menoleh seketika.

“Yang harusnya lo sinisin tuh dia!” tunjuk Jeano pada Aruna.

“Siapa yang ga pernah dateng kesini setelah sekian lama? Gue? Bukan! Pembantu lo tuh!”

Bugh

“Raffa!”

“Lo aja yang mati anjing! Gantiin Ekal! Cepetan! Lo kangen Mama kan? Kenapa ngga lo aja yang mati hah?!” sentak Raffa tidak terima.

Aruna menghampiri Raffa, berniat membawanya pergi keluar ruangan. Tapi bersamaan dengan itu Jeano juga melayangkan tinjunya ke arah Raffa, tapi sayang malah Aruna yang menerima itu.

Bugh

“KAK!”

“JEANO ANJING!!!”

“Raffa udah, jangan ribut disini!” lerai Juna.

“Raffa udah, kita urusin pemakamannya Ekal dulu,” ucap Aruna pelan. Kepalanya terasa pusing, Tara membantunya duduk disofa.

Sedangkan Juna membawa Jeano keluar ruangan.

***

“Lo mau kehilangan siapa lagi? Mau Kak Runa pergi juga dari rumah? Kebayang ga sesuram apa rumah kalo ga ada dia? Ekal udah ga ada, Papa udah ga bisa diharepin lagi. Gue tau ga baik bergantung sama orang, tapi kita semua udah terbiasa atas kehadiran Kak Runa. Ekal belum kita makamin Je, jangan bikin masalah baru,”

“Maaf,”

“Minta maaf sama Ekal. Jangan sama gue,

“Sama Kak Runa juga, lo kasar banget sama dia.”


Sekitar satu jam Aruna mencari dan terus mencari, Aruna tidak menemukan Jeano dikediaman Wanda. Aruna hampir kehilangan akal, putus asa. Berharap seseorang dirumah sakit menelponnya dan memberitahu bahwa Jeano sudah ada disana. Tapi tidak ada yang menelpon Aruna sampai sekarang.

“Apa mungkin dimakam Mamanya?”

Aruna berbalik arah, melajukan motornya kemakam yang pernah ia datangi sekali.

Untung saja lalu lintas saat ini tidak macet, memudahkan Aruna untuk cepat sampai ketempat tujuannya.

Aruna berjalan secepat mungkin, menyusuri pemakaman yang terbilang lumayan sepi. Hanya beberapa keluarga yang berada disana, mengantar sanak saudaranya ketempat peristirahatan terakhir mereka.

Sampai dimana Aruna mencoba mendekati sosok yang dia kenal, Jeano. Itu punggung Jeano, terlihat sedikit bergetar. Aruna bisa pastikan Jeano sedang menangis.

“Jean,” panggil Aruna pelan.

Jeano menoleh pelan, matanya merah tapi berubah sinis ketika menyadari bahwa itu adalah Aruna.

“Ayo kerumah sakit, Ekal lagi dioperasi. Kita harus kesana,” ajak Aruna hati-hati. Ia tau perasaan Jeano sedang kacau, sama sepertinya.

“Lo aja, gue kesana kalo Ekal udah selesai operasi,”

“Tapi Ekal mi—”

“LO AJA! LO AJA BALIK KESANA, GA USAH AJAK GUE!” teriak Jeano emosi.

“Kamu marah? Nyalahin kakak karena kesehatannya Ekal nurun? Silahkan Jean, silahkan. Tapi sekarang kamu harus ke rumah sakit, kasih doa dan semangat buat adik kamu,” pinta Aruna sekali lagi. Hatinya gelisah, sudah terlalu lama ia tidak kembali ke rumah sakit.

Tapi remaja didepannya ini tidak berniat untuk ikut dengannya, Jeano tetap pada posisinya.

Kring kring

Bunyi telpon dari ponsel Aruna terdengar, panggilan dari Juna.

“Halo Juna?”

“Kakak dimana? Jean udah ketemu?”

“Udah, kakak lagi dimakan. Tapi Jean ngga mau kerumah sakit, maunya kalo Ekal udah selesai operasi,” jawab Aruna.

“Kak, Ekal udah pulang. Ekal udah ngga kesakitan lagi, dia ikut Mama,”

Lemas, Aruna terduduk ditanah. Mendapati keadaan Aruna yang seperti itu, Jeano merebut ponsel Aruna segera.

“Halo? Ekal udah selesai operasinya?”

“LO KEMANA ANJING? KEMBARAN LO SEKARAT LO KEMANA HAH?”

Ini bukan Juna, tapi Raffa.

“Gue dimakam,” jawab Jeano dingin.

“Mau ngapain lo kesana hah? Nyiapin tanah buat Ekal? Iya?”

“Apaan sih, gue dimakam Mama,”

“EKAL PERGI JEANO, DIA IKUT MAMA! PUAS LO?”

“Maksud lo apa?”

“Mati, Ekal mati. Dia udah ngga sama kita lagi. Kita kehilangan dia!”


“Sini peluk,”

Senyum Raffa muncul, sangat manis.

Aruna tidak berhenti mengucapkan kata maaf, gadis itu menyadari bahwa menghindari semuanya adalah kesalahan besar.

“Badan kamu panas, ayo periksa ke dokter,”

“Gausah, Raffa cuma masuk angin,”

“Nanti—”

“Gausah kak, Raffa udah minum obat,” tolak Raffa lagi.

“Beneran?”

“Iya beneran kak.”

***

“Ekal dua hari lagi operasi kak, Raffa takut. Maaf sebelumnya, tapi waktu ortu kakak meninggal itu pas udah dioperasi atau dimeja operasi?”

Keduanya kini berada ditaman, tidak ingin menganggu Haekal beristirahat.

“Mereka ngga mau operasi, dulu juga kakak ngga tinggal sama mereka. Kamu tau Jevan kan? Waktu itu kakak sempet tinggal dirumah dia selama dua minggu, orangtua kakak tiap hari berantem rebutan rokok. Ga masuk akal banget kan? Berantem rebutan rokok doang. Tapi mereka ngga cuma ngerokok aja ternyata, minum juga, narkoba jalan, ancur banget. Kakak akhirnya milih mau ngekost aja, dan coba cari kerja part-time. Tapi Jevan yang tau masalah kakak itu, maksa buat tinggal dirumah dia aja. Hendra juga sih, setelah cek cok akhirnya kakak nurut aja. Orangtuanya Jevan juga seneng banget, katanya pengen ngerasain ngerawat anak perempuan. Kakak cuma bertahan selama dua minggu, karena entah kabar dari mana anak-anak disekolah tau soal kakak yang tinggal dirumah Jevan. Setelah ngomong baik-baik akhirnya Jevan setuju kakak ngekos, tapi dengan syarat dia ikutan ngekos juga. Hendra juga ikut waktu itu. Seneng banget rasanya kayak 'wah gini ya rasanya punya keluarga?'. Tapi ngga lama setelah itu kakak ditelpon sama tetangga,”

Aruna memberi jeda diceritanya, menarik nafas sedalam mungkin. Mencoba tegar karena tidak pernah menceritakan hal ini secara detail pada siapapun, termasuk Jevan dan Hendra.

“Mereka meninggal dirumah. Kakak kira emang karena paru-parunya yang rusak, tapi organ lainnya juga rusak. Rusak banget,” sambung Aruna. Air matanya keluar dari sudut matanya. Tidak, Aruna tidak akan menangis, ia melepas sesak dihatinya selama bertahun-tahun karena selalu memendamnya sendirian.

“Kakak bersyukur banget bisa kuliah, awalnya juga masih dibantu sama orangtuanya Jevan. Dan kakak juga bersyukur banget bisa ambil bagian dikehidupan kamu dan yang lain. Kalian bukan cuma orang yang harus kakak urusin karena itu kerjaan kakak, bukan. Kalian lebih dari itu, tapi emang kakak ngga bisa ekspresiin itu kayak orang-orang,” sambung Aruna lagi.

“Sini Raffa peluk,”

Dengan senang hati Aruna menerima pelukan itu. Senyum Aruna semakin mekar kala mendengar bisikan yang Raffa ucapkan padanya.

“Makasih kakak udah jadi kakak, temen, sahabat, sekaligus mama buat Raffa dan yang lainnya.”


Haekal tersenyum tipis mendapati Aruna tertidur disampingnya. Haekal benar-benar merindukan Aruna.

“K-kak,” panggil Haekal pelan. Haekal menggunakan ventilator untuk membantunya bernafas.

Tak berhasil membuat Aruna terbangun, Haekal mencoba menyentuh kepala Aruna dengan bersusah payah. Tapi caranya ini berhasil mengusik tidur Aruna, gadis itu terbangun.

Rasa bersalah mulai menghinggapi perasaannya, terakhir kali Aruna datang, Haekal masih bisa bernafas tanpa bantuan ventilator seperti sekarang ini. Hal tersebut semakin membuat Aruna merasa bersalah dan membenarkan ucapan Jeano, bahwa ini adalah salahnya.

“Ada yang sakit?”

Haekal menggeleng pelan. Tapi mulutnya bergerak, mengucapkan sesuatu yang sangat pelan. Aruna sampai mendekatkan telinganya ke wajah Haekal.

“Makasih udah dateng, maaf kalo Ekal ngerepotin kakak terus,”

Aruna menggeleng keras, entah kenapa air matanya malah turun dengan deras seperti air terjun.

“Dua hari lagi Ekal operasi, dua minggu lagi Ekal ujikom. Doain Ekal biar bisa ikut ujian ya kak,”

“Ekal bisa ikut ujiannya, nanti kalo udah membaik janjia buat berenti merokok ya? Biar kamu ngga dateng kesini lagi,”

Haekal mengangguk pelan, lalu kembali berbicara.

“Tapi kalo semisal Ekal pergi dimeja operasi, kakak harus janji buat ngga nyalahin diri kakak sendiri ya? Jangan dengerin ucapannya Jean,”

Aruna tidak menolak dan tidak mengiyakan juga, isakannya semakin kencang.

Usai meredakan emosinya, Aruna membenarkan selimut Haekal, menyuruh anak itu untuk kembali beristirahat.

“Kamu istirahat lagi ya, pasti capek kan ngomong kayak tadi?”

Patuh, Haekal menutup matanya lagi. Kembali terlelap dan berharap ini semua hanya mimpi. Jaduh dilubuk hatinya, Haekal ingin kembali kemasa-masa itu, saat dirinya sehat dan bebas bercanda bersama saudaranya yang lain, juga Aruna.


“Aruna saya gapapa,”

“Kenapa Mas lari kearah saya?” tanya Aruna pelan, ia masih shock.

“Kalo saya ngga lari ke arah kamu, saya bisa kehilangan kamu. Dari cara orang itu megang pisau, dia bukan cuma niat mau bikin kamu luka. Niatnya lebih dari itu,”

“Saya ngga mau kehilangan kamu,” sambung Tara pelan.

“Dengan bahayain diri kamu sendiri?”

Tara mengedikkan bahunya meski mengaduh setelahnya. Tara tidak perlu dirawat, lukanya sudah selesai dijahit dan ia diperbolehkan pulang. Pria itu hanya harus rajin mengganti perban dilengannya.

“Abis adik-adik kamu lulus sekolah, saya berenti jadi babysitter mereka,” ucap Aruna tiba-tiba.

“Kenapa? Ngehindarin saya? Saya kan udah bilang kamu ngga usah ngerasa ngga enak sama saya, saya gapa—”

“Gapapa, saya mau fokus kuliah aja,” potong Aruna.

“Kalo gitu langsung nikah aja sama saya gimana?” goda Tara.

“Belum nyatain perasaan aja udah saya tolak duluan, apalagi ngajakin nikah.”


Aruna melihat dari atas, Tara melawan satu persatu maling yang masuk kerumah ini. Entah kenapa mereka bisa memasuki kawasan ini yang bisa dibilang sangat ketat keamanannya.

Aruna mengambil tongkat baseball milik Jeano, tongkat besi yang Aruna pikir bisa sedikit menyakiti para maling-maling ini.

Tara melihat Aruna turun dari sudut matanya, fokusnya terganggu hingga Tara menerima pukulan diperutnya, cukup keras.

“ARUNA NAIK!” teriak Tara.

Para maling itu melihat Aruna, gadis mungil yang membawa dua tongkat besi membuat empat maling ini mundur perlahan.

“BANGUN MAS!”

Tara bangkit dan mulai menyerang sekawanan malingnya lagi, Aruna memukul satu maling menggunakan tongkat itu sampai tidak sadarkan diri. Persetan, yang penting dia dan Tara selamat.

Tiga dari empat sudah berhasil mereka lumpuhkan, Tara berbalik dan melihat satu maling yang masih segar mengeluarkan sebilah pisau kecil dan berlari menghampiri Aruna.

Tara ikut berlari,

“ARUNA AWAS!”

“ARGHH!!”

“MAS TARA!!!”


“Bunda mau ngomong apa?” tanya Awan kebingungan.

Aruna tersenyum tipis, lalu memberikan sebuah kotak kepada Winata yang dari tadi hanya menyimak ocehan anaknya.

Winata membuka kotak tersebut, senyumnya melebar kala menyadari arti dari isinya.

“Surprise!” seru Aruna.

Awan kebingungan melihat ayahnya menangis haru sambil memeluk bundanya.

“Ayah ini kenapa?”

“Adik bakal jadi kakak, bunda hamil lagi,” jawab Aruna.

“Berarti mulai sekarang bunda jangan panggil Awan adik lagi,”

“Adik maunya dipanggil apa sama dede bayi?”

“Mas Awan kalo dedenya perempuan, Kak Awan kalo dedenya laki-laki,” jawab Awan. Aruna hanya menganggukan kepalanya menyetujui.

“Udah ke dokter?”

“Udah, kata dokter usianya baru satu bulan,”

“Makasih ya sayang.” ucap Winata senang.

***

“Kok tadi kamu lama banget mas?” tanya Aruna.

Keduanya sudah berbaring diranjang tidur mereka. Winata memeluk istri yang sangat ia cintai ini, perempuan yang dahulu sulit ia dapatkan hatinya.

“Tadi ayahnya Jia ada dirumah, baru pulang. Dia khawatir sama Jia tapi ngga punya petunjuk apapun buat sekedar nelpon orangtua temennya Jia. Kayaknya sih dia dosen, aku diajak masuk terus ngalir aja,” jelas Winata.

“Ngalir gimana? Kalian berbuat mesum?” selidik Aruna yang dihadiahi sentilan kecil oleh Winata.

“Ngaco! Ini umurku udah kepala tiga anak juga otw dua, masa iya aku belok ditengah jalan,”

“Ya makanya kalo jelasin tuh langsung aja jangan dipotong-potong. Kan aku jadi mikir yang iya-iya,” sahut Aruna malas.

“Iya maaf. Aku lanjut dulu. Dia cerita kalo hubungan rumah tangganya udah diujung tanduk. Ga bisa lagi dipertahanin, istrinya udah bilang mau ngajuin gugatan perceraian. Papanya Jia udah ngga bisa nolak, tapi untuk hak asuh dia pengen hak asuhnya Jia ada di dia karena istrinya ngga sayang Jia. Jadi...”

“Ish kebiasaan deh!”

“Awww, sakit sayang!”

Aruna mencubit perut suaminya gemas, tak sekali dua kali Winata berbuat usil seperti ini.

“Cepetan ihh!”

“Hahaha iya-iya, jadi aku bilang kalo istriku ini kerja di firma hukum dan bisa jadi pengacaranya untuk bantu dia ngurus ini dan itu. Dia setuju dan bilang makasih banget, nanti kalo surat gugatannya udah dikasih kedia baru dia hubungin kamu,”

“Nama ayahnya Jia siapa mas? Biar nanti aku ngga ha he ho kalo dia nelpon,”

“Namanya Tara.”