buddyeyo


Meski hari sudah lumayan gelap, Aruna tetap memacu motor kesayangannya ke study cafe.

Setelah sampai, Aruna langsung menarik Hendra keluar dari cafe tersebut. Karena ada dua kemungkinan jika Hendra menjelaskannya disana, antara emosi atau menangis. Yang Aruna yakini, akan sedikit berisik dan menganggu pengunjung lain yang sedang belajar.

Aruna dan Hendra berada ditaman, tidak jauh dari study cafe.

“Jingga cerita sama gue Hen,”

“Lo mau gue gimana Na?” tanya Hendra murung.

“Tanpa gue suruh pun lo pasti tau lo harus apa Hen. Tanggung jawab,”

“Gue mau Na. Tapi ayah minta gue buat nikahin Jingga nanti, setelah anaknya lahir,”

“Hen, Jingga cuma tinggal sama kakek neneknya, seenggaknya biarin Jingga tinggal dirumah lo biar—”

“Ayah pasti nolak Na. Dia kecewa sama gue,” sesal Hendra.

“Orangtua mana yang ngga kecewa Hen? Jingga kuliah pake beasiswa, Jingga bisa kehilangan itu kalo sampai dia ambil cuti kuliah buat ngelahirin. Ayah pasti mikirin nasibnya Jingga juga,” ucap Aruna.

“Ayah ngga akan mau Na,”

“Gue lupa nanya Jingga, dia udah berapa bulan?” tanya Aruna.

“Tiga bulan,”

“Ayo pulang. Biar gue yang bantu ngomong ke ayah.”

***

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam, ayah kedatangan anak cantik yang udah jarang main kesini nih,” gurau Ayah Hendra atau biasa dipanggil Pak Kusuma.

“Hehe, maaf yah,” ucap Aruna.

“Iya gapapa. Ada apa Runa kesini? Hendra ngadu apa sama kamu nak?”

“Ini soal Jingga yah,” ucap Aruna pelan.

Kusuma menghembuskan nafasnya kasar. Menatap tajam kearah Hendra yang hanya tertunduk pasrah.

“Ayah ngga pernah ajarin dia jadi laki-laki brengsek kayak sekarang ini nak,”

“Tapi Hendra mau tanggung jawab yah, ayah mau Hendra jadi lebih brengsek dengan kabur gitu aja?”

“Ayah memang pengen punya cucu, tapi tidak secepat ini juga. Rambut ayah masih banyak hitamnya dari pada ubannya,”

Perlahan, Hendra menegakkan kepalanya. Menatap Sang Ayah dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

“Besok ayah kerumah kakek neneknya Jingga. Kamu ikut ya nak?” ajak Kusuma pada Aruna.

“Iya Runa ikut,”

“Tanggal berapa usia kandungan Jingga mencapai empat bulan?” tanya Kusuma pada Hendra.

“Tanggal tujuh bulan depan,”

“Kamu mau pernikahan yang seperti apa?” tanya Kusuma lagi.

“Sederhana yah, undang orang-orang terdekat aja,”

“Kenapa ngga undang banyak orang?” tanya Kusuma bingung.

“Ayah ngga malu?”

Aruna menoyor kepala Hendra gemas.

“Kalo ayah malu, lo udah diusir dari kemarin!”


“Lo mau aja disuruh-suruh Hendra, ga dilebihin lagi tu orang,” celetuk Aruna sambil menyesap minumannya.

Aruna dan Winata sedang berada dikedai ice cream yang lumayan jauh dari kos mereka.

“Sekalian,”

“Ini lo juga malah ga jadi makan nasi, malah makan ice cream,”

“Gapapa, enak juga ice creamnya,” jawab Winata jujur.

Padahal sejujurnya Winata akan mengiyakan ketempat manapun yang Aruna ingin datangi.

“Win,”

“Hmm,”

“Mau bikin rumah tuh enakan dua lantai atau satu lantai tapi yang luas gitu?”

“Luas, terus luasnya yang kesamping. Tapi kalo luas tanahnya sendiri sempit dan kebetulan punya beberapa anak harus yang dua lantai biar bisa bikin beberapa kamar minimalis,”

“Orangtua dikamar bawah, anak-anaknya dikamar atas,” sambung Winata.

“Kalo gue ya Win, misal nanti berkeluarga dan punya anak. Anak gue tidur sama gue sampe dia kelas satu SD, abis itu baru belajar tid..”

Aruna menghentikan ocehannya, perasaan tidak enak tiba-tiba muncul begitu saja.

“Kenapa?”

“Gapapa. Maaf gue banyak omong,”

“Kita lagi santai, ini tempat umum juga. Lo bebas mau bicara sebanyak apapun,” ucap Winata.

“Gue orangnya ngga mudah bergaul. Tapi sama lo kok gampang ya?”

“Mungkin karena sebelumnya kita saling kenal?”

“Iya kali ya,”

Winata tidak menanggapinya lagi, pria itu bingung ingin berbicara apa untuk memulai topik baru.

“Lo punya temen selain Hendra sama Jevan?”

“Ada,”

“Siapa?”

“Lo,”

“Iya sih, tapi maksudnya selain kita bertiga. Yang lainn, temen kelas lo gitu?”

“Mau gue kenalin?” tanya Winata.

“Nggaa, gue nanya aja,” jawab Aruna.

“Gue ngga begitu deket sama mereka, mungkin kalo kata anak jaman sekarang ngga satu frekuensi? Yah semacam itu,”

“Sama dong kalo gitu? Tapi bukan karena ngga satu frekuensi, tapi karena gue temenan sama Hendra dan Jevan,”

“Ternyata sampai kuliah juga masih?” tanya Winata didalam hati.

“Mereka iri sama lo. Cewek pinter temenan sama cowok-cowok pinter juga,” hibur Winata.

“Gue ngg—”

“Kalian pinter. Peringkat kalian selalu beurutan dari dulu,”

“Kok lo tau?”

“Kalian bertiga kemana-mana selalu bareng dan selalu dibicarain sama murid lain,”

Aruna hanya diam mendengarkan. Hatinya sedih mengingat perkataan teman-teman SMA nya dulu.

“Lo tuh ga pantes temenan sama mereka, keluarga lo aja ngga jelas,”

Sangat jahat bukan? Saat SMA, itu kata yang sering Aruna dengar

“Aruna, lebih baik punya temen sedikit tapi semuanya baik. Berteman baik dan ngga ada maksud apapun, dari pada punya banyak temen tapi semuanya palsu.”

***

Aruna menutup gerbang setelah Winata masuk, lalu menghampiri laki-laki itu untuk mengucapkan terima kasih.

Tapi Aruna melihat Winata berbincang dengan seorang gadis cantik, tinggi. Wah, Aruna iri dengan tinggi yang dimiliki gadis itu. Wajah cantik, hidung mancung, rambut panjang, serta kakinya yang panjang.

“Cantik banget,” ucap Aruna didalam hati.

Tanpa sadar kakinya melangkah menghampiri gadis itu.

Aruna masih mengagumi gadis ini sampai tidak mendengar ucapan Winata yang masuk kedalam sambil membawa koper milik gadis dihadapannya ini.

“Hai, gue Aruna,” sapa Aruna lembut.

“Eh hai. Gue Yesa pacarnya Winata,”

degg

“Ohh gitu. Mau gue bantu bawain barang?” tawar Aruna.

“Ga usah, nanti Winata balik lagi kok,”

“Yaudah kalo gitu gue keatas duluan ya Yes,”

“Iyaa,”

Aruna berjalan cepat menuju kamar kosnya. Menaiki tangga dengan perasaan yang sedikit campur aduk.

“Apaan sih kok gue kesel gini?”


Aruna pikir Jevan akan mengatakan sesuatu padanya, tapi sampai saat ini mereka sudah dijalan pulang pun, Jevan tidak menunjukkan tanda-tanda itu.

“Jev, lo mau mampir dulu?”

“Ngga. Gue mau langsung balik aja, ada urusan,” jawab Jevan.

“Yaudah, makasih ya,”

“Besok gue jemput lo, berangkat bareng gue aja,”

“Tapi besok lo ga ada jadwal,” ucap Aruna lalu menoleh kearah Jevan yang menatapnya sendu, membuat Aruna merasa tidak enak.

“Oke. Kalo gitu gue pulang dulu,” balas Aruna pada akhirnya.

“Iya.”

***

Tok tok tok

“Winata,” panggil Aruna.

Tak butuh waktu lama, Winata langsung muncul dan membawa amplop coklat kecil ditangannya.

“Ini,”

“Makasih, kalo gitu gue ke kamar dulu,”

“Oke.”

***

Setelah selesai membersihkan diri, Aruna duduk dikasur kecilnya lalu meraih amplop yang membuatnya penasaran dari tadi.

“Surat apa ya? Perasaan ga punya sahabat pena,” ucap Aruna asal.

Nafas Aruna sedikit tercekat saat melihat siapa pengirim surat ini.

Butuh waktu beberapa menit bagi Aruna meyakinkan dirinya sendiri untuk membaca isinya.

“Kamu ga boleh harapin kakak terus.”


Tok tok tok

“Win,” panggil Aruna.

Aruna memutuskan untuk segera mengembalikan sapu tangan milik Winata, karena benda itu sudah beberapa hari ini ada padanya.

“Winataaaa,” panggil Aruna panjang.

“WINWIN!!” teriak Aruna. Ia rasa Winata tidak bolot seperti Hendra.

“SEBENTAR— LOH UNA?”

Aruna terkejut mendapati Hendra ada dikamar kos milik Winata. Yah, Aruna tidak tau bahwa para lelaki itu sering kali main bersama dikos Winata ini.

“Lo ngapain disini?” tanya Hendra bingung.

“Gue ngekos disini,” jawab Aruna jujur.

“Bagus dong,”

“Apanya?”

“Ngga, btw lo ada perlu apa sama Winata?”

“Mau kasih sapu tangannya, ketinggalan dikos gue kemaren,”

“Abis ngapain???????”

“Ngedate ya kalian?” goda Hendra jahil.

“Apaan sih orang cuma makan doang,”

“Cieee ada yang salting,” goda Hendra lagi.

“Diem ga lo?!”

“Hehehehe, yaudah ayo masuk,” ajak Hendra pada akhirnya.

“Ada Jevan?” tanya Aruna dan diangguki oleh Hendra.

“Yaudah gue titip aja kalo gitu,” ucap Aruna sambil memberikan sapu tangan Winata kepada Hendra.

“Ini kesempatan lo bikin Jevan mundur,” ujar Hendra.

“Maksudnya?”

Hendra menarik Aruna agak jauh dari pintu kos Winata.

“Manfaatin Winata aja,” ucapnya.

Aruna melotot tak percaya, bisa-bisanya Hendra menyarankan hal sesat seperti ini. Yah Hendra memang rajanya berbuat sesat.

“Gila lo? Jangan aneh-aneh deh,”

“Dia juga pasti dengan senang hati kok mau,”

“Iya, tapi guenya ngga mau!” sewot Aruna kesal.

“Terus maunya sama siapa? Tara?”

“Berisik.”


“Maaf ya kakak baru dateng lagi,”

“Maaf kakak ngga bisa jagain Raffa sama Juna,”

“Jean juga,” sambung Aruna.

“Na, ayo pulang. Lo udah dua jam jongkok gini,” ajak Winata lembut.

“Bentar lagi,”

“Lo udah bilang gitu dari tadi. Ayo pulang, nanti lo bisa kesini lagi. Udah gelap juga, Aruna,”

Akhirnya Aruna bangkit lalu pulang bersama Winata.

“Lo sayang banget ya sama dia?” tanya Winata diparkiran.

“Kenapa?”

“Kata nenek gue kalo ada orang yang ngga nangis pas ditinggal selamanya sama orang yang special buat dia, berarti dia sayang banget sama orang itu,” jawab Winata.

“Lo jangan ngomong gitu,” ucap Aruna pelan.

“Kenapa?”

“Gue udah tahan dari tadi,”

“Gue masih belum bisa ikhlasin Ekal,” sambung Aruna pelan.

Air matanya mulai berjatuhan, biasanya ia akan menangis sepulang dari pemakaman.

“Maaf,” ucap Winata pelan.

Aruna duduk ditempat duduk yang disediakan, meredakan tangisnya yang masih belum berhenti.

Winata memilih diam, memberi waktu kepada Aruna untuk menenangkan hati dan pikirannya.

“Maaf gue malah nangis,”

“Gapapa. Ini, minum dulu,” balas Winata, entah kapan laki-laki itu membeli air mineral, Aruna bahkan tidak menyadari kepergiannya.

“Makasih,”

“Namanya Haekal, panggilan sehari-harinya Ekal. Gue kerja dirumahnya, ngurus dia karena Papanya kerja keluar negeri. Ekal punya kembaran, ada tiga. Juna, Jeano, Raffa. Ekal anak yang paling ngga setuju Papanya sewa babysitter. Lo liat nisannya kan? Dia bukan anak kecil, udah anak SMA. Tahun ini mereka bertiga kuliah,”

“Haekal sakit?”

“Iya. Kanker paru-paru, lo ngga ngerokok kan?” tanya Aruna tiba-tiba dan Winata menggleng sebagai jawabannya.

“Mereka pindah? Atau lo nya aja yang pengen berhenti?” lanjut Winata.

“Gue. Dua minggu sebelum operasi, gue terlalu sibuk sama masalah gue sendiri, sampe jarang bahkan ngga pernah dateng kerumah sakit. Gue dateng beberapa hari sebelum operasi. Jean nyalahin gue karena kesehatannya Ekal nurun. Ekal pengen ketemu, tapi gue egois karena masalah gue. Ekal meninggal dimeja operasi, bahkan gue ngga ada disana,” ucap Aruna, gadis itu menghirup udara sebanyak mungkin agar rongga dadanya tidak terasa sesak.

“Lo pergi kemana?”

“Gue cari Jean. Jean ngga ada dirumah sakit waktu itu. Gue ketemu sama Jean dimakam ibunya. Tapi ngga lama Juna nelpon kalo Ekal udah pergi selamanya,” jelas Aruna.

Aruna menahan air matanya lagi, masih sesak jika mengingat hal tersebut.

“Gue kangen mereka. Tapi gue ngga boleh kesana lagi, mungkin aja mereka udah terbiasa ga ada gue,”

“Mau gue anterin kesana? Ga mampir, cuma liat rumahnya aja dari jauh,” tawar Tara.

“Gue takut ketemu mereka,”

“Terus lo mau apa?”

“Mau pulang,”

“Yaudah ayo,”

Mereka berdua bangkit lalu berjalan mendekati sepeda motor milik Tara.

“Aruna,” panggil Tara saat Aruna sedang memakai helm nya.

“Ikhlasin Haekal. Kasian. Kalo sesusah itu, coba pelan-pelan. Dia juga pasti pengen lo lanjutin hidup dan sukses,” sambung Winata.

“Iya, gue akan coba.”


Sore ini Aruna memilih memesan makanan lewat ojol, hari ini ia malas memasak.

Belum lagi ia harus menyiapkan juga mengirim barang dagangannya. Cukup banyak pesanan untuk hari ini.

“Makan apa ya hari ini? Ayam? Sup? Baso? Mi?”

Aruna melihat-lihat menu makan digawainya, matanya menginginkan ini dan itu.

“Geprek deh,” putus Aruna.

“Pesen tiga deh, buat malem juga,”

Setelah memesan Aruna kembali mempacking pesanan-pesanan pelanggannya.

Setelah beberapa saat, Aruna mendapati pintu kamarnya diketuk dari luar. Ia pikir pesanannya sudah datang.

“Iya ma— loh Winata?”

“Aruna?”

“Lo ngapain disini?” tanya mereka bersamaan.

“Gue nge kos disini,” jawab mereka bersamaan lagi.

“Gue mau anterin magic jar. Kata ibu kos kalo minum ambil dibawah aja,”

“Oh yaudah masuk aja,” ajak Aruna.

Winata melihat kamar Aruna yang lumayan berantakan.

“Jualan apa?”

“Baju perempuan,”

“Banyak banget, ayo gue bantu, harus dikirim hari ini?”

“Iya, tapi gapapa kok gu—”

“Packingan gue rapi kok,” potong Winata. Pria itu langsung duduk ditengah-tengah barang dagangan Aruna setelah meletakkan magic jar yang tadi dibawanya.

“Emang lo ga ada tugas?”

“Kalo belum gue ga akan nganterin magic jar kesini,”

Aruna mengangguk paham, lalu ikut duduk dan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.

Tidak banyak percakapan diantara keduanya, Winata fokus begitupun Aruna. Fokus keduanya buyar ketika driver ojek muncul untuk mengantar pesanan Aruna.

“Win, makan dulu,”

“Ga us—”

“Gue beli sebelum lo disini, ayo makan bareng,” ajak Aruna.

Akhirnya mereka makan bersama. Aruna mengumpat saat merasakan rasa pedas yang amat sangat dimulutnya. Di aplikasi, Aruna memesan tingkat kepedasan yang sedang. Bagi Aruna, ini sangat pedas.

“Win, gue toilet dulu ya. Lo lanjut aja,”

Winata keheranan, padahal Aruna tidak terlalu banyak memakan sambal itu. “ah mungkin kurang suka pedes,” pikir Winata.

Kring kring

Winata merogoh ponselnya, tapi ternyata nada dering itu berasal dari ponsel Aruna.

Nomor telepon rumah.

Winata bangkit dan berdiri dipintu kamar mandi.

Tok tok

“Runa, ada yang nelpon lo. Tapi dari nomor ga dikenal,”

“Duh Win jauh-jauh sana, angkat dulu aja. Bilangin nanti gue telpon balik,”

“Oke.”

***

“Halo?”

”...”

“Ini siapa?”

”...”

Winata mengerutkan alisnya, telponnya masih tersambung tapi tidak ada jawaban dari sebrang sana.

“Salah sambung?”

“Siapa Win?

Tut

“Ga tau, ga ngomong,” sahut Winata sambil memberikan ponsel yang ia pegang kepada pemiliknya.

“Makasih,”

Aruna melihat nomor yang menghubunginya tadi, berniat menelponnya kembali.

Panggilan tersambung.

“Halo? Ini siapa?”

Aruna melongo tak percaya, suara ini cukup Aruna rindukan.

*“Salah sambung? Duh cepetan dong gue mau balap,”

“Ah lama, gue matiin ya,”

Tut tut

Mata Aruna mulai berkaca-kaca. Seketika ia ingat, hari ini harusnya Aruna berkunjung kerumah Haekal.

“Kenapa?” tanya Winata.

“Lo pulang aja, gue ada urusan. Makasih udah bantuin gue packing,”

“Sama gue aja,”

“Ga usah—”

“Lo nangis aja, biar gue yang bawa motor. Ayo,” ajak Winata.

“Makasih banyak.”


“Awalnya gue pengen hajar lo waktu tau beberapa temen kelas lo taruhan buat dapetin Una. Gue pikir lo yang maju duluan, salah satunya. Tapi ngga kan?”

“Lo tau ga kita selalu satu sekolah? Dari SD sampe sekarang satu kampus juga,”

Hendra menautkan alisnya, “Masa sih?”

“Kan. Lo aja ga tau, apalagi Aruna,”

“Lo introvert banget?”

“Ngga juga. Gue emang pengen liat temen lo dari jauh aja. Deketnya ama Jevan, minder duluan,” jawab Winata.

“Itu namanya bukan cuma pengen liat dari jauh aja, tapi lo nya pengecut karena ga mau coba,” sindir Hendra.

“Gue ga bisa cerita banyak, tapi gue sama Jevan juga pernah suka sama dia. Tapi—”

“Tau, gue kan satu sekolah sama kalian,” potong Winata cepat.

“Hah kok bisa?”

“Lo nembaknya dikantin, siapapun yang ada dikantin waktu itu pasti tau karena lo nyatain perasaan pake pengeras suara,”

Hendra tersenyum pahit mengingat hal itu, sangat memalukan jika semakin diingat.

“Kalo Jevan? Lo tau dimana Jevan nyatain perasaannya ngga?”

“Ga tau, mungkin diperpus. Waktu itu gue baru mau masuk, kebetulan Aruna mau keluar tapi mukanya muram. Ga lama Jevan lewatin gue, mukanya lebih muram lagi,” jawab Winata jujur.

“Lo udah tau kita berdua ditolak kenapa ga nyoba aja?”

“Gue takut ditolak,” sahut Winata.

“Nat, Jevan mau coba deketin Una lagi. Tapi sampai kapanpun dia ga bakal bisa bareng sama Una. Pendirian Una tegas banget, dia anggap gue sama Jevan sebagai keluarganya yang notabene ga akan pernah dia lirik sama sekali. Una takut kalo ngejalin hubungan spesial bisa bikin persahabatan kita renggang atau bahkan ancur kalo putus. Tapi Jevan tetep mau coba lagi, dia ngerasa punya peluang. Padahal hatinya Una udah ada yang milikin,” jelas Hendra.

“Siapa? Lo?”

“Bukan, kan gue udah bilang. Gue sama Jevan udah di blacklist sama dia. Kita ditaro ditempat lain,”

“Terus siapa?”

“Lo cari tau sendiri sana. Udah dapet kan nomornya? Usaha,” suruh Hendra.

“Gue kasih bocoran deh. Meski hatinya udah ada yang milikin, Una ngga berniat buat bareng-bareng sama cowok itu. Apalagi sama Jevan. Jadi usaha sebaik-baiknya, tapi kalo lo nyakitin dia. Gue maju duluan buat mukulin lo.”


“Ada masalah apa? Kangen Haekal?”

Hendra yang baru datang langsung duduk disebelah Aruna.

“Mau nyender? Sini,” tawar Hendra.

Aruna mendekat, menyenderkan kepalanya dibahu Hendra. Wah, sudah berapa lama mereka tidak sedekat ini? Begitu pikir Aruna.

“Jevan nyoba lagi,”

“Lo ngga mau kasih dia kesempatan?” tanya Hendra yang mengerti ucapan Aruna.

“Lo tau gue ngga akan bisa Hen. Lo juga pernah ada diposisi itu. Kalian itu keluarga gue,”

“Gampang Na buat gue lupain lo. Ya agak susah sih dulu, gue malah mainin cewek jadinya. Tapi ya cuma beberapa minggu doang. Kalo Jevan ngga, Na. Lo cinta pertamanya, susah banget buat lupain cinta pertama. Apalagi kalian temenan sampe sekarang, ketemu terus, saling care satu sama lain. Pasti susah buat dia lupain perasaannya, tapi dia juga ngga rela kalo harus ninggalin pertemanan kita. Bukan Jevan doang, gue juga, lo juga. Iya kan? Lo tau kita berdua pernah suka sama lo, tapi lo milih buat stay. Kita juga gitu Na, bedanya kita nyoba ikhlas relain lo pacaran sama cowok lain,”

“Kalo sekarang, mungkin dia pikir punya peluang buat sama-sama bareng lo. Lebih dari sekedar sahabat,” sambung Hendra.

“Terus gue harus apa?”

“Biarin aja. Itu keputusan dia kan? Lo ga harus mikirin. Atau, lo harus cari pacar,”

“Tapi pacaran sama orang yang beneran lo suka,” lanjut Hendra.

“Mas Tara,” ucap Aruna didalam hati.

“Na, jangan pernah ngerasa ga pantes buat seseorang karena latar belakang keluarga lo. Orang yang beneran sayang sama lo, ga peduli sama hal itu. Yang mereka peduliin ya lo nya,”

“Denger ga?” tanya Hendra memastikan.

“Iya.”


“Jev, Nata tuh orangnya emang pendiem ya?”

“Ngga juga. Kalo sama yang udah deket lumayan aktif kok anaknya, mungkin sama lo baru ketemu kali ini jadi pendiem gitu,” sahut Jevan.

“Yang pertama kenal siapa? Hendra ya?”

“Kita berdua. Waktu itu lagi diperpus, Hendra berisik ngoceh mulu terus diomelin sama Nata. Ganggu dia lagi belajar katanya, jadi sering ketemu abis itu dan kebetulan cocok juga sih,”

“Ya lagi Hendra diperpus ngoceh, tumben banget. Biasanya dia tidur,”

“Abis berantem sama pacarnya,” ucap Jevan.

“Ga heran deh Jev harusnya. Tiap hari kan emang gitu, yang patut diherankan kenapa Hendra sampe rusak gitu moodnya? Dia kan bucin banget sama Jingga,”

“Ga tau, yang kali ini serius banget kayaknya. Sampe galau gitu,”

“Jangan-jangan putus?” tanya Aruna pelan.

“Ga mungkin, lo tau sendiri mereka gimana,” sahut Jevan.

“Iya sih,”

“Na, gue boleh tanya sesuatu ngga?”

“Boleh, tanya aja,”

“Lo sama kakaknya sikembar itu gimana?” tanya Jevan pelan.

Aruna langsung terdiam, itu membuat Aruna kembali mengingat masa-masa itu. Meski singkat, tapi banyak kenangan indah yang Aruna rindukan.

Raffa dan Juna masih sering mengirimi Aruna pesan, meski Aruna tak pernah membalasnya sama sekali. Apalagi Raffa, remaja itu selalu memberitahu kegiatannya pada Aruna lewat chat. Terkadang Juna juga melakukannya. Kecuali Jeano dan Tara.

Tentu saja Aruna juga merindukan kedua orang itu, tapi Aruna sudah terlanjur memilih untuk menjauh dari anggota keluarga Agung. Karena ketika Aruna merindukan mereka, rindu Aruna terhadap Haekal semakin menggebu. Ah, sudah berapa hari Aruna tidak mengunjungi rumah baru adiknya yang satu itu?

“Na, lo gapapa? Sorry,” sesal Jevan.

“Gapapa kok,”

“Gue sama Mas Tara ga ada hubungan apa-apa,” sambung Aruna.

“Kalo gitu gue boleh coba lagi?” tanya Jevan sambil menatap Aruna lembut.

“Nyoba apa?” beo Aruna tak paham.

“Dapetin hati lo, gue mau coba lagi.”


“Lo gimana sih janjinya kan jam tujuh?? Ini masih jam enam,”

“Maaf deh maaf, kalo matahari udah terbit gue takutnya Sasa pengen ikut. Gue nih mau liburan Na, bukan ngemong bocah,” jelas Hendra.

“Ajak aja padahal biar gue ada temennya,”

“Emang gue bukan temen lo?” tanya Hendra tiba-tiba serius.

“Aww,” Hendra mengaduh karena Aruna mencubit pinggangnya.

“Masih pagi ga usah drama,”

“Lo bawa apa aja sih? Berat banget, ga ada Sasa kan didalemnya?”

“Kepo banget?? Kan lo pada yang nyuruh gue bawa koper,” sahut Aruna sambil membantu Hendra menyimpan koper dibagian belakang mobil.

Aruna mengomel pelan dan masuk kedalam mobil.

“Jev, Hendra tuh—”

“ARGHHHH,” teriak Aruna terkejut mendapati seorang pria yang tak dikenalnya duduk disampingnya.

“LO SIAPA?” tanya Aruna, suaranya masih stabil alias dia masih berteriak.

Pria itu menyodorkan tangan kanannya.

“Winata,” ujar pria tersebut.

Aruna tidak langsung menjabat tangan pria yang bernama Winata ini, otaknya mencoba mengingat chat dari Jevan dan Hendra tadi malam.

“Oh ini orang yang dibilang Hendra semalem,” ujarnya dalam hati.

“Aruna,”

“Lebay banget kaget lo Na,”

“Ya lo ga ngomong berangkatnya semobil gini, gue kira kan pake dua mobil,” sahut Aruna kesal.

“Iya juga sih.”

***

Hendra sudah tertidur pulang dikursi depan, padahal ia berjanji untuk menemani Jevan menyetir. Yah, walaupun Jevan bisa menyetir tanpa co-driver, tapi Hendra sangat tidak tepat janji.

“Lo jurusan apa Win?” tanya Aruna, ia bosan karena Hendra tidur. Biasanya orang satu itu akan terus mengusili Aruna sampai ia kesal.

“Teknik sipil, kenapa?”

“Ngga. Disana belajar apa aja? Prakteknya seru?” tanya Aruna lagi, ia tertarik dengan jurusan ini dan sempat ingin bergabung, namun ia cukup menyadari kemampuan berhitungnya sangat pas-pasan.

“SMA-nya dimana?”

“SMK X,” jawab Winata.

Aruna langsung membuka ponselnya, menuniukkan foto Juna, Jeano, Haekal dan Raffa memakai wearpack sekolahnya.

“Kenal mereka ngga?”

Winata menggeleng pelan.

“Lo pasti jarang keluar kelas ya?”

Winata hanya mengangguk.

“Itungan gue mereka famous sih harusnya,”

“Emang kenapa?”

“Ngga, nanya doang.”

***

Sampai ditempat tujuan, Aruna tersenyum senang melihat tempat yang dipesan Hendra.

Sebuah vila yang tidak begitu besar, tapi cukup untuk menampung satu keluarga kecil.

“Nanti kalo udah nikah, gue mau kesini bareng laki gue,” ucap Aruna dalam hati.

“Ngapain? Cepet masuk!” perintah Hendra galak, pria itu masih mengantuk.

“Galak banget sih, gue unfriend juga lama-lama,” cibir Aruna kesal.

“Utututu, maaf adinda. Kanda bercanda,”

“JEV TEMEN LO SINTING!”