230
“Perhatiin kesehatan kamu juga, Run,” ucap Tara memberi nasehat.
“Kantong mata kamu berlipat-lipat tuh,” sambung Tara.
“Pak,” panggil Aruna.
“Iya?”
“Jangan naruh perasaan lebih buat saya. Saya ngga bisa move on,”
“Bisa, kamu yang belum coba,” jawab Tara lembut.
Yah Tara sudah menyangka Aruna akan menyadarinya, karena selama ini Tara terang-terangan menunjukkan rasa sukanya terhadap Aruna.
“Kalo pun bisa, cowoknya bukan bapak,” balas Aruna singkat.
“Jangan panggil saya bapak dong. Tua banget, saya sama Bian juga tuaan Bian,” cerocos Tara tak terima.
Hembusan nafas kasar terdengar oleh Tara, disusul dengan pertanyaan Aruna.
“Maunya dipanggil apa? Kakak?”
“Ngga,”
“Terus?”
“Terserah, asal jangan bapak,”
“Om?”
Tara menoleh cepat, matanya menatap Aruna dengan nyalang.
“Hehehe becanda,” kekeh Aruna.
Aruna berpikir sejenak.
“Mas Tara?”
“Boleh,”
“Yaudah, inget ya Mas Tara. Jangan nyimpen perasaan buat saya,”
“Aruna, saya ngga minta kamu buat bales. Tapi selagi saya bisa coba dan punya kesempatan, akan saya perjuangin,”
“Mas, saya nih trauma sama yang baru ketemu udah ngeklaim suka gini,” ucap Aruna mencoba menggoyahkan keyakinan Tara.
“Pertama kita ngga punya perbedaan. Agama yang kita anut sama, ngga kayak kamu sama Bian kemarin. Kedua, ini bukan pertama kali kita ketemu. Jauh sebelum ini, kita pernah ketemu,” jelas Tara.
“Hah kapan?”
“Waktu masih sd,”
“Udah lama banget, saya mana inget,” dengus Aruna sebal.
“Tata, dulu kamu panggil saya Tata,”
Aruna terdiam, menerawang kejadian yang dimaksud Tara.
“Tata?” beo Aruna.
Mata Aruna membulat ketika ia berhasil mengingatnya. Tangannya menutup mulutnya yang menganga agak lebar.
“ANAKNYA GURU LES PIANO?”
Tara terkekeh pelan melihat reaksi Aruna yang menggemaskan.
“Tapi kok mas masih inget saya?”
“Jodoh kali?”
“Ngga aamiin.”