buddyeyo


“Perhatiin kesehatan kamu juga, Run,” ucap Tara memberi nasehat.

“Kantong mata kamu berlipat-lipat tuh,” sambung Tara.

“Pak,” panggil Aruna.

“Iya?”

“Jangan naruh perasaan lebih buat saya. Saya ngga bisa move on,”

“Bisa, kamu yang belum coba,” jawab Tara lembut.

Yah Tara sudah menyangka Aruna akan menyadarinya, karena selama ini Tara terang-terangan menunjukkan rasa sukanya terhadap Aruna.

“Kalo pun bisa, cowoknya bukan bapak,” balas Aruna singkat.

“Jangan panggil saya bapak dong. Tua banget, saya sama Bian juga tuaan Bian,” cerocos Tara tak terima.

Hembusan nafas kasar terdengar oleh Tara, disusul dengan pertanyaan Aruna.

“Maunya dipanggil apa? Kakak?”

“Ngga,”

“Terus?”

“Terserah, asal jangan bapak,”

“Om?”

Tara menoleh cepat, matanya menatap Aruna dengan nyalang.

“Hehehe becanda,” kekeh Aruna.

Aruna berpikir sejenak.

“Mas Tara?”

“Boleh,”

“Yaudah, inget ya Mas Tara. Jangan nyimpen perasaan buat saya,”

“Aruna, saya ngga minta kamu buat bales. Tapi selagi saya bisa coba dan punya kesempatan, akan saya perjuangin,”

“Mas, saya nih trauma sama yang baru ketemu udah ngeklaim suka gini,” ucap Aruna mencoba menggoyahkan keyakinan Tara.

“Pertama kita ngga punya perbedaan. Agama yang kita anut sama, ngga kayak kamu sama Bian kemarin. Kedua, ini bukan pertama kali kita ketemu. Jauh sebelum ini, kita pernah ketemu,” jelas Tara.

“Hah kapan?”

“Waktu masih sd,”

“Udah lama banget, saya mana inget,” dengus Aruna sebal.

“Tata, dulu kamu panggil saya Tata,”

Aruna terdiam, menerawang kejadian yang dimaksud Tara.

“Tata?” beo Aruna.

Mata Aruna membulat ketika ia berhasil mengingatnya. Tangannya menutup mulutnya yang menganga agak lebar.

“ANAKNYA GURU LES PIANO?”

Tara terkekeh pelan melihat reaksi Aruna yang menggemaskan.

“Tapi kok mas masih inget saya?”

“Jodoh kali?”

“Ngga aamiin.”


“Idih lebay, pacar sakit tuh di doain jangan ditangisin!” omel Haekal meski suaranya serak, tidak seperti biasanya.

Hari ini Haekal dijenguk oleh sang pacar. Masih ingat ketika Haekal mengatakan hubungannya kandas karena sang kekasih selingkuh? Nyatanya itu hanya kesalahpahaman.

Rima adalah nama pacar Haekal. Wajahnya manis dengan rambut hitam sebahu tanpa poni.

“YA ELO GUE BILANGIN BERENTI NYEBAT DEDEL BENER!” omel Rima balik.

Rima tidak memedulikan tatapan aneh dari dua anak remaja dan satu anak kecil yang ada disebrangnya.

Leo dan Aji datang menjenguk Haekal yang sudah satu mingguan ini dirawat dirumah sakit. Sedangkan anak kecil yang satunya adalah Kelvin, keponakan Tara.

“Tenang yang, gue ngga akan ninggalin lo,” ucap Haekal serak.

Rima mendecih sinis, “Cih, indahnya suara setan,”

“Dih kok gitu?? Lo nyumpahin gue cepet mati???” balas Haekal tidak terima.

“Lo ngomong mati-mati lagi gue putusin beneran Kal, sumpah!” sinis Rima tak suka.

“Kak Runa, katanya kalo jodoh itu saling melengkapi. Tapi mereka satu spesies gini kok bisa saling mencintai?” tanya Aji tiba-tiba.

“Itu tandanya ngga jodoh,” sahut Leo singkat.

Baru saja Aruna akan membuka mulutnya, suara menggelegar Rima terdengar seolah mengintruksi Aruna untuk tetap diam.

“HEH!” semprot Rima.

“Marahin yang, mereka suka bedegong ama aing,” kompor Haekal.

“Orang sakit dilarang banyak omong!” hardik Rima pada Haekal, lalu berjalan menghampiri Leo dan Aji.

“Kalian ngga boleh ngomong gitu lagi, ga boleh! Ngerti?”

“Ralat, kalian boleh ngomong gitu kalo Haekal sehat, kalo Haekal udah dirumahnya, paham?” ulang Rima penuh penekanan.

Leo dan Aji yang awalnya bingung akhirnya memilih mengangguk karena aura yang Rima keluarkan membuat keduanya ciut.

“Yaudah kalo gitu Kak Runa sama yang lain keluar dulu ya, kakak titip Haekal sebentar,” ucap Aruna.

Aruna tau Haekal butuh waktu berdua dengan Rima, menenangkan gadis itu agar tidak berlarut dalam kesedihan.

***

“Kak Runa, Mas Tara,” panggil Leo.

“Abang nikahnya diundur jadi dua minggu lagi, nanti surat undangannya nyusul. Leo disuruh Abang bilangin, soalnya dia lagi sibuk ngurus ini itu buat nikahan,” sambung Leo.

“Iya, nanti mas dateng sama Kak Runa,” sahut Tara cepat.

“Yaudah kalo gitu Leo sama Aji pulang dulu, bapak supirnya udah nungguin,”

Setelah kedua remaja itu menghilang dari pandangan Tara, ia langsung menoleh ke arah Aruna, hendak bertanya. Tapi sebelum itu, Tara membawa Kelvin kepelukannya, tadinya balita menggemaskan ini tertidur digendongan Aruna.

“Kamu dateng Run?”

“Hah?”

“Kamu dateng ke acaranya Bian?” ulang Tara.

“Kalo ngga ada halangan saya dateng,”

“Ngga bakal nangis, 'kan disana?” tanya Tara lagi.

“Sedih doang palingan, dari pertama tau juga emang udah mau putus aja. Ngga jodoh pak,” jawab Aruna.

“Yaudah jadi jodoh saya aja mau ngga?” tanya Tara jahil.

Aruna memberikan tatapan tajamnya, Tara yang usil muncul lagi.

“Bercanda Arunaa.”


Haekal menerima pesan dari sang nenek. Sebuah gambar dua anak kecil, perempuan dan laki-laki.

“Ini gambar kakak kandung kamu, nenek ngga tau mereka ada dimana sekarang. Papamu yang sembunyiin mereka. Kalian satu ayah, tapi Papa kalian bilang ke kakak kalian bahwa dia bukan ayahnya. Yang kakakmu percaya, kalian saudara beda ayah. Maafkan nenek karena baru kasih tau kamu sekarang,”

Haekal menghembuskan nafasnya kasar. Rasa pusing mulai menyerangnya, belum lagi Raffa yang masih tidak diketahui keberadaannya.

“Apa aja sih rahasia yang disembunyiin ama Papa?”

“Banyak banget betingkah mudanya.” omel Haekal.

***

Aruna sudah kembali dari sekolah dan kini berada dirumah. Menyiapkan keperluan Haekal untuk dirumah sakit.

Pikiran Aruna berkecamuk. Tadi Tara bercerita bahwa ayahnya yang sudah meninggal juga menderita penyakit yang sama seperti Haekal. Pikiran negatif terus menguasai Aruna dari tadi.

“Kak ayo,” ajak Juna yang muncul dipintu kamar Haekal.

“Iya sebentar.”


Sekitar 30 menit Aruna mengelilingi sekolah ini, tapi tak kunjung menemukan ruang guru jurusan yang Haekal maksud. Lama-lama Aruna kelelahan dan memilih mencari kantin ingin membeli sebotol air mineral untuk menghilangkan rasa hausnya.

Sejujurnya Aruna berpikir, andai tadi ia mengiyakan ajakan Tara, pasti dari tadi urusannya disekolah ini sudah selesai.

“Aruna!” sapa Tara. Baru saja dipikirkan, lelaki ini sudah muncul dihadapan Aruna.

“Surat sakitnya udah dianterin?” tanya Tara.

“Belum pak,”

“Kenapa?”

“Saya ngga tau ruangan yang dibilang Ekal dimana,” jawab Aruna jujur.

“Yaudah ayo saya anter,”

“Tapi saya mau beli minum dulu pak, haus dari tadi keliling ngga nemu-nemu,”

Tara mengizinkan dan menunggu Aruna. Setelahnya mereka berdua berjalan beriringan ke ruang guru jurusan yang dimaksud Haekal.

“Haekal izin berapa lama Na?” tanya Tara, pria itu tidak tahan keheningan melandanya.

Tara gugup karena murid didalam kelas yang sedang belajar menatapnya dan Aruna.

“Duh tahu gini gue lewat bengkel aja dah, ga terlalu banyak yang liatin kayak gini,” sesal Tara didalam hati.

“Sampai dia baikan pak, sebulan? Dua bulan? Saya ngga tau,” jawab Aruna lesu.

Sebulan bahkan dua bulan bukanlah waktu yang sebentar menurut Tara. Dia menghentikan langkahnya dan menoleh pada Aruna disampingnya.

“Sakit apa?”

“Kanker paru-paru.”


Aruna berjalan dilorong rumah sakit, setelah duduk ditaman selama beberapa menit akhirnya Aruna memilih kembali keruang inap Haekal. Ditangannya sudah ada surat keterangan sakit yang ia minta dari dokter.

Aruna akan izin terlebih dahulu pada Haekal, karena ia harus mengantarkan surat ini ke sekolah.

“Aruna!” panggil seseorang yang suaranya cukup ia kenali.

Bukan Abi, tapi orang lain.

“Saya mau panggil dari tadi tapi takut salah orang, untungnya beneran kamu,”

Orang ini adalah Tara. Perban ditangannya sudah hilang, yah keadaannya jauh lebih baik dari kemarin-kemarin.

“Bapak ngapain disini?” Aruna bertanya.

“Saya pindah check up disini, di Mandaya kejauhan. Kamu sendiri ngapain disini?”

“Haekal sakit, saya habis minta surat sakitnya,” jawab Aruna.

“Kalo gitu bareng aja sama saya, saya habis ini mau ke—”

“SAYANG AKU CARIIN LOH DARI TADI!” teriak seorang perempuan dari kejauhan.

Perempuan itu menggendong seorang anak laki-laki yang Aruna perkirakan berusia 4 tahun.

“AYAH!” panggil anak laki-laki tersebut.

Tara melototi perempuan tersebut sedangkan anak laki-laki itu sudah berlari dan memeluk kaki Tara lalu meminta untuk digendong.

“Loh sayang ini siapa?” Tara semakin memelototi perempuan disampingnya ini.

“Saya kakaknya murid Pak Tara, bu. Pak saya duluan ya, Ekal lagi nungguin saya,” pamit Aruna buru-buru.

“Loh bareng saya aja Na,”

“Makasih tapi saya bisa sendiri kok pak, saya pamit duluan. Permisi,”

Setelah Aruna menghilang dari pandangan Tara, pria itu langsung mengomeli wanita disampingnya tersebut.

“Lo sih Wan! Kebiasaan banget!”

Ya perempuan itu adalah Wanda, kakak kandung Tara.

“Dia yang ngejar lo ya?”

“Gue! Gue yang ngejar dia! Ah rese lo! Ayo Vin kita pulang, bunda kamu kita tinggalin!”


Tok tok tok

Suara ketukan dikamar Aruna membuat gadis itu terbangun dari tidurnya. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul 2 dini hari.

Aruna berjalan dan membuka pintu, ada Haekal disana. Wajahnya terlihat pucat, nafasnya terdengar tidak beraturan.

“Ekal numpang tidur disini ya kak,”

Aruna mengangguk, Haekal langsung masuk dan berbaring diranjang milik Aruna.

Rapi dan juga terasa nyaman.

“Ada yang sakit?” Aruna bertanya.

“Pusing kak,” jawab Haekal pelan, nyaris tidak terdengar.

“Pagi kita kerumah sakit ya?”

“Iya.”

Setelah itu Aruna membiarkan Haekal tertidur, Aruna terjaga semalaman. Karena beberapa kali Haekal mengigil juga mengigau.

Pagi harinya Aruna membawa Haekal kerumah sakit tanpa memberitahu yang lain.


“Mas kok ga ada ceweknya sih?” bisik Naya karena dihadapannya laki-laki semua.

“Emang kalo ada mau ngapain? Ga lo ajak kenalan juga,”

“Aduh mas, kalo sendirian gini celingak celinguk doang kayak orang bloon,”

Arka langsung mencari sesuatu didalem tasnya.

Mp3 dan sebuah earphone. Naya tau itu benda kesayangan Arka.

“Dengerin musik disini, easy listening semua,”

Arka inisiatif buat masangin earphone ke telinga Naya.

“Lo udah korek kuping kan?”

Denger itu Naya mukul dada Arka cukup keras.

Bugh

“Ga usah nyebelin deh mas! Udah sono pemanasan!”



“Diem mulu kak, biasanya nyerocos,” kata Arion.

“Capek,” sahut Naya seadanya. Tapi Arion tahu cewek didepannya ini bohong karena ngga ada satu tetes pun keringet yang keluar dari dahi Naya.

“Kemaren sama Ardi ngapain aja?”

“Main time zone di mall,”

“Ngomongin gue?” tanya Arion.

“Iya kan? Soalnya lo jadi canggung gini kak,” ungkap Arion.

Naya ngangguk pelan, ngga bisa bohong.

“Ga usah terbebani kak. Ya gue agak ngarep sih dikit, tapi ngga usah terlalu dipikirin. Karena kayaknya abis ini lo bakal tau siapa aja yang punya perasaan buat lo kak,”

Arion ngambil botol minumnya setelah ngomong gitu.

Arion dan yang lain sejujurnya menantikan hari-hari kayak gini, dari awal ini semua emang rencana mereka.

Mereka semua pengen tau apa Naya bakal peka atau ngga, dan yah ternyata ngga karena Naya tau beberapa diantara mereka ada yang suka sama dia pun dari Andreaw dan Ardi.

“Nikmatin aja kak sampai akhir. Karena kita ngga tau akhirnya lo bakal sama siapa.”


“Kal ayo balik anjir, naik grab mobil aja lo, motor gue yang bawa,”

“Naik motor aja, gue cuma lemes bukan stroke,” sahut Haekal lemas.

“Tapi kalo dimobil lo bisa senderan biar ga pusing,”

“Naik motor aja. Ayo cabut,” ajak Haekal.

Mereka berdua keluar dari ruangan sang dokter. Haekal memaksakan dirinya untuk berjalan lebih cepat.

Rumah sakit ini tidak begitu besar, jadi kemungkinan mereka bertemu Aruna, Jeano dan Juna sangat besar.

***

Aruna berjalan menyusuri bangunan rumah sakit ini. Tara terus menyuruhnya pulang, padahal yang Aruna tau lelaki itu tak memiliki siapapun disini. Yah, itu yang Aruna dengar dari Jeano.

Kring kring

“Halo Jean? Kenapa?”

“Kakak dimana?”

“Dideket lobi,”

Mata Aruna memicing melihat dua remaja laki-laki yang sepertinya Aruna kenali. Terlihat seperti Raffa dan Haekal.

“Tungguin Jean kesana kak,”

“HAEKAL! RAFFA!” panggil Aruna. Kedua remaja tersebut berhenti, menoleh secara bersamaan keasal suara.

Jean dari sisi lain melihat Aruna menghampiri Haekal dan Raffa. Haekal terlihat sangat lemas bahkan Raffa membantunya berjalan.

Sambungan telpon Jeano dan Aruna masih tersambung. Jeano mendengarkan tanpa berminat menghampiri.

“Ekal kenapa?”

“Ekal kena tipes sama diare Kak,” sahut Raffa cepat.

“Jangan bohong,” sinis Aruna.

“Kakak bisa tanya ke resepsionis sekarang juga,”

“Tanya aja,” suruh Haekal pelan.

“Kakak mau denger dari mulut kamu sendiri,” pinta Aruna lirih.

“Tanya sama resepsionisnya kak,” suruh Haekal lagi.

“Oke,”

Aruna berjalan ke arah resepsionis, sedangkan Jeano masih mengamati dari kejauhan.

“Mbak pasien bernama Haekal, saya boleh tau penyakit apa yang dia idap?” tanya Aruna langsung.

“Kanker paru-paru mbak,” ucap sang resepsionis karena Haekal semakin sering mendatangi rumah sakit ini.

Aruna terdiam sejenak, seperti terhempas ke masa lalu saat kedua orangtuanya juga sakit karena penyakit tersebut.

Aruna tidak siap dan tidak ingin hal itu terulang kembali. Aruna harap, penyakit itu tidak merenggut orang-orang yang sangat ia sayangi untuk kedua kalinya.


“Kal ayo balik anjir, naik grab mobil aja lo, motor gue yang bawa,”

“Naik motor aja, gue cuma lemes bukan stroke,” sahut Haekal lemas.

“Tapi kalo dimobil lo bisa senderan biar ga pusing,”

“Naik motor aja. Ayo cabut,” ajak Haekal.

Mereka berdua keluar dari ruangan sang dokter. Haekal memaksakan dirinya untuk berjalan lebih cepat.

Rumah sakit ini tidak begitu besar, jadi kemungkinan mereka bertemu Aruna, Jeano dan Juna sangat besar.

***

Aruna berjalan menyusuri bangunan rumah sakit ini. Tara terus menyuruhnya pulang, padahal yang Aruna tau lelaki itu tak memiliki siapapun disini. Yah, itu yang Aruna dengar dari Jeano.

Kring kring

“Halo Jean? Kenapa?”

“Kakak dimana?”

“Dideket lobi,”

Mata Aruna memicing melihat dua remaja laki-laki yang sepertinya Aruna kenali. Terlihat seperti Raffa dan Haekal.

“Tungguin Jean kesana kak,”

“HAEKAL! RAFFA!” panggil Aruna. Kedua remaja tersebut berhenti, menoleh secara bersamaan keasal suara.

Jean dari sisi lain melihat Aruna menghampiri Haekal dan Raffa. Haekal terlihat sangat lemas bahkan Raffa membantunya berjalan.

Sambungan telpon Jeano dan Aruna masih tersambung. Jeano mendengarkan tanpa berminat menghampiri.

“Ekal kenapa?”

“Ekal kena tipes sama diare Kak,” sahut Raffa cepat.

“Jangan bohong,” sinis Aruna.

“Kakak bisa tanya ke resepsionis sekarang juga,”

“Tanya aja,” suruh Haekal pelan.

“Kakak mau denger dari mulut kamu sendiri,” pinta Aruna lirih.

“Tanya sama resepsionisnya kak,” suruh Haekal lagi.

“Oke,”

Aruna berjalan ke arah resepsionis, sedangkan Jeano masih mengamati dari kejauhan.

“Mbak pasien bernama Haekal, saya boleh tau penyakit apa yang dia idap?” tanya Aruna langsung.

“Kanker paru-paru mbak,” ucap sang resepsionis karena Haekal semakin sering mendatangi rumah sakit ini.

Aruna terdiam sejenak, seperti terhempas ke masa lalu saat kedua orangtuanya juga sakit karena penyakit tersebut.

Aruna tidak siap dan tidak ingin hal itu terulang kembali. Aruna harap, penyakit itu tidak merenggut orang-orang yang sangat ia sayangi untuk kedua kalinya.