pov: you are brave enough to talk about what you feel
rated: T. mingyu pov. mention of death. flashback. mention of sex. hopeless feeling. hurt comfort.
Gue pernah lupa rasanya gimana rasanya jatuh cinta. Mungkin efek dari jarangnya gue berurusan sama yang namanya naksir-naksiran. Sampai gue SMA, gue baru pernah sekali naksir sama adik kelas yang enggak pernah sekali pun gue ajak ngobrol, bahkan sampai sekarang pas gue udah hampir lupa sama mukanya dia. Sampai adik gue sendiri udah punya pacar, gue masih jadi Mingyu yang enggak peduli dengan masalah hati, sibuk sama PS yang gue mainin hampir setiap pulang sekolah atau ngebantuin bokap rakit ini itu setiap weekend. Terus gue ketemu mendiang mantan pacar gue.
Kalau orang nanya kenapa gue bisa sesayang itu sama dia (walaupun enggak pernah ada yang nanya), mungkin karena gue merasa bahwa dia adalah awakening gue. Dibuat jadi orang yang hampir seratus delapan puluh derajat berbeda, dengan dia itu, gue jadi lebih bisa jadi orang yang lebih peka sama dunia sekitar. Gue, Kim Mingyu, adalah si karakter utama film yang berubah dari larva jadi kupu-kupu cuma karena satu orang manusia. Mungkin nyokap dan bokap gue turut jadi yang paling bahagia waktu itu karena liat anak sulungnya kayak anak-anak lain yang tiap malam minggu, pergi buat nge-date sama pacarnya.
But the world was being too harsh for a man that they decided to take away all of his happiness in the most brutal way possible. Mungkin gue yang jahat, mungkin juga dia terlalu baik buat dunia yang jahat. Sayangnya gue itu diambil lagi sama Tuhan di usianya yang terbilang masih muda banget karena sakit, dan enggak seharusnya gue jadi orang egois yang pengen dia tetap ada di dunia ketika dia ngerasa sakit di sini. Tapi gue bukan orang yang mudah tabah, sering bolos ibadah hanya karena gue males, dan gue memilih untuk kabur sejauh-jauhnya ketimbang menata hati gue pelan-pelan sampai gue merasa lebih baik.
Alasan gue memilih buat kerja di tempat yang jauh dari tempat gue biasa hidup adalah karena gue yang bermusuhan dengan hidup itu sendiri. Tinggal di tempat baru, di tempat yang bahasanya gue pelajari sedikit demi sedikit dengan budaya yang cukup jauh dari yang Indonesia punya, biar gue selalu punya alasan untuk sibuk dan eksplor ini dan itu. Pulang hanya sesekali, lalu balik lagi.
Tapi mungkin, baik setan maupun malaikat di mansion gue juga udah bosen sama gue yang butuh waktu begitu lama untuk berduka, sampai akhirnya gue dikasih kerjaan ke Jakarta dengan waktu yang lebih lama dari biasanya. Satu bulan dan sendirian, tanpa ada rekan mana pun yang nemenin gue. Jadi, gue memanfaatkan temen-temen lama gue yang tinggal di kota itu untuk membantu gue cari tempat tinggal. Bukan karena gue harus hemat, kantor gue akan reimburse semuanya, tapi karena gue enggak mampu buat hidup sendirian di negara yang enggak membuat otak gue sibuk-sibuk amat untuk berpikir mau bicara apa dan mau mendengarkan yang mana.
Lalu gue ketemu Jeon Wonwoo. Jeon Wonwoo yang temennya Dokyeom. Yang kerja di sebuah perusahaan FMCG. Yang sering pulang kerja jalan kaki dan membiarkan mobilnya enggak keluar dari basement selain Sabtu dan Minggu. Yang minum teh setiap malam seperti sebuah ritual. Yang ngingetin gue gimana rasanya jatuh cinta, bahkan ketika hadirnya dari sebuah seks yang enggak direncanakan. Jeon Wonwoo yang sama dengan yang tengah duduk di seberang gue dengan mata tajamnya yang kayak seekor rubah. Mungkin itu juga yang membuat gue (lumayan) bertekuk lutut dengan dia, seperti kitsune yang diagungkan.
“Bukannya… kita emang begitu?”
“Pardon?” Gue langsung mengerutkan dahi. Mungkin enggak fokus juga karena kebanyakan berandai.
“Waktu di mobil waktu itu, bukannya kita sepakat untuk… coba dulu? Kita jalanin pelan-pelan. Lo dengan masalah lo, gue dengan masalah gue. Bukannya kita udah sepakat?”
“Gue mau pulang besok,” ngucapin kata pulang enggak pernah seaneh ini. “I don’t think it’s the very wise of us to leave this... complicated things hanging like what we did right now.”
Gue tau dia gugup, gue pun juga sama. Pengalaman gue enggak banyak, bahkan enggak ada. Enggak ada satu pun orang yang pernah ngasih gue saran soal hal-hal semacam ini.
“Lo maunya gimana, Mingyu?” Tanya Wonwoo lagi, suaranya melembut. “Between us, masalah lo kayaknya lebih berat. Gue enggak mau mendikte lo buat ngelakuin hal yang bakal ngebebanin.”
“Gue perlu tau pandangan lo soal ini juga, kita bisa diskusiin ini.”
“Coba lo jawab duluan, lo mau gimana?”
Gue mau lo, mungkin. Tapi gue pun tau kalau lo berhak dari sekadar mungkin.
“Gue enggak mau nyesel.”
Dia menegakkan posisi duduknya, “nyeselin apa?”
“Nyesel karena ngambil pilihan yang salah.” Jawab gue lagi, enggak mau menatap mata dia. “Gue capek juga.”
Diamnya ruangan justru membuat gue mau gila. Seperti semua beban masa lalu langsung ditumpahkan ke punggung gue. Segala takutnya, sesalnya, marahnya, sedihnya, semuanya. Tapi, saat Wonwoo buka suaranya lagi, rasanya lebih seperti mati.
“Suka sama orang dan punya hubungan itu biasanya cuma antara dua: putus atau nikah. Setelah nikah pun, antara cerai atau—“ dia berhenti di situ dan gue mengangguk tanda gue paham.
Lalu, dia melanjutkan, “jadi, kalau masih lo merasa takut untuk menyesal dan merasa ambil pilihan salah, mungkin, lo memang belum siap untuk punya hubungan lagi, Mingyu.” Wonwoo tersenyum, kecil, namun cukup untuk membuat dada gue ngerasa ngilu.
“Karena menurut gue, seharusnya enggak ada pilihan salah, karena akan ada selalu pilihan lainnya yang bisa kita pilih setelahnya. Selalu ada cara untuk memperbaiki keadaan. Tapi itu gue ya, lo enggak harus setuju.”
Gue lupa kapan terakhir kali gue nangis di depan orang lain. Mungkin pas awal-awal ditinggal dan ketika gue merasa perlu dapet bantuan dari psikolog sebelum akhirnya menyerah dan kabur. Bukan karena gue merasa nangis berarti lemah atau laki-laki enggak boleh nangis, tapi lebih karena gue enggak suka liat gue nangis. Bertolak belakang banget dengan gue ketika lagi waras. Cuma, jatuh cinta itu emang buat orang jadi gila, katanya, dan gue enggak bisa berhenti nundukin kepala dan bersusah payah nahan senggak-sengguk dari mulut gue.
“Maaf….”
Dan itu satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulut gue.
“Kenapa minta maaf?”
Dan itu jawaban yang paling gue benci dari mulut Wonwoo. Salah gue banyak, gue tau, dan gue enggak mau dia pura-pura enggak masalah sama ini semua.
Ketika gue enggak menjawab karena kalut dan enggak tau harus bicara apa, gue bisa ngerasain pelukan di punggung gue, lalu elusan di rambut gue. Pelan, tapi cukup untuk ngatur napas gue sampai lebih teratur.
“Enggak apa-apa, Mingyu. Mungkin waktunya aja yang salah.”
Is that what you thought about us?
“Maybe, if you come back later, everything will be better.”
Is it?
Buru-buru mengucek mata, gue dongakkan kepala dan beraniin diri untuk natap Wonwoo lagi, tapi yang gue temuin itu cuma sedih.
“Lo belum jawab pertanyaannya.”
“Apa?”
“Lo sendiri maunya gimana?”
Dua detik, empat detik, sampai helaan napas keluar dari mulutnya.
“I want you, more than anything.”
Sekali lagi, setan menang atas ego manusia. Dia cium bibir gue dan gue mencium dia balik. Jarinya itu mengelus-elus rahang gue yang belum gue cukur lagi selama beberapa hari. Wonwoo yang selalu punya adiktif dengan zat adiksinya sendiri mendorong gue untuk mengalungkan kedua lengan gue di lehernya, menarik dia untuk mendekat sampai dia duduk di atas pangkuan gue. Kita sama-sama nunjukin emosi lewat tautan yang enggak kunjung berhenti. Pagutan dia, kecupan gue, lenguhan kecil kita yang menyelusup keluar sedikit demi sedikit.
Ketika biasanya yang gue liat setelah ini adalah tatapan penuh nafsunya, untuk sekarang ini, gue cuma liat sedih.
Mungkin enggak salah juga kalau gue bilang, gue udah sayang sama dia, karena cuma dengan ekspresinya itu bikin gue memajukan badan lagi untuk peluk dia dan sembunyi di perpotongan leher dan bahunya.
“Mingyu,”
Jawaban gue tenggelam di dalam kulit Wonwoo, tapi gue yakin dia paham.
“Gue mau jujur.”
Enggak ada lagi yang bisa gue lakuin selain mengelus-elus pinggang dia dan mengangguk sekenanya.
“Liat sini dulu!”
Baru deh, gue narik diri dan natap Wonwoo sebisa yang gue mampu.
“Kenapa, Wonwoo?”
Dan harusnya gue bisa baca dari sedih di matanya tentang apa yang dia harap gue pahami tanpa perlu susah payah jujur kayak sekarang ini. Seharusnya gue menetap lebih lama lagi untuk belajar tentang Wonwoo lebih banyak lagi. Seharusnya gue paham tentang diri gue sendiri lebih baik lagi dan bisa bedain jenis-jenis perasaan dan cinta yang bisa dirasa setiap manusia.
Karena yang keluar dari mulut dia itu adalah kalimat terbaik yang pernah gue denger selama beberapa tahun belakangan dan gue enggak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya.
“I think I love you, and that’s all I want you to know.”
Dan satunya lagi.
“Gue enggak mau gantiin siapa-siapa, I’m not a replacement, but what if your heart can fit much more than what you have imagined?”
Yang itu membuat gue seperti punya rasa optimis, so I love it.
Dan satu lagi.
“And if you are ready, someday, enggak harus jawab sekarang, I want you to be my boyfriend.” Pipinya yang merah dan tatapan matanya yang kikuk. “Would you be my boyfriend, Big Guy?”