bumwoozle

pov: you are brave enough to talk about what you feel

rated: T. mingyu pov. mention of death. flashback. mention of sex. hopeless feeling. hurt comfort.

Gue pernah lupa rasanya gimana rasanya jatuh cinta. Mungkin efek dari jarangnya gue berurusan sama yang namanya naksir-naksiran. Sampai gue SMA, gue baru pernah sekali naksir sama adik kelas yang enggak pernah sekali pun gue ajak ngobrol, bahkan sampai sekarang pas gue udah hampir lupa sama mukanya dia. Sampai adik gue sendiri udah punya pacar, gue masih jadi Mingyu yang enggak peduli dengan masalah hati, sibuk sama PS yang gue mainin hampir setiap pulang sekolah atau ngebantuin bokap rakit ini itu setiap weekend. Terus gue ketemu mendiang mantan pacar gue.

Kalau orang nanya kenapa gue bisa sesayang itu sama dia (walaupun enggak pernah ada yang nanya), mungkin karena gue merasa bahwa dia adalah awakening gue. Dibuat jadi orang yang hampir seratus delapan puluh derajat berbeda, dengan dia itu, gue jadi lebih bisa jadi orang yang lebih peka sama dunia sekitar. Gue, Kim Mingyu, adalah si karakter utama film yang berubah dari larva jadi kupu-kupu cuma karena satu orang manusia. Mungkin nyokap dan bokap gue turut jadi yang paling bahagia waktu itu karena liat anak sulungnya kayak anak-anak lain yang tiap malam minggu, pergi buat nge-date sama pacarnya.

But the world was being too harsh for a man that they decided to take away all of his happiness in the most brutal way possible. Mungkin gue yang jahat, mungkin juga dia terlalu baik buat dunia yang jahat. Sayangnya gue itu diambil lagi sama Tuhan di usianya yang terbilang masih muda banget karena sakit, dan enggak seharusnya gue jadi orang egois yang pengen dia tetap ada di dunia ketika dia ngerasa sakit di sini. Tapi gue bukan orang yang mudah tabah, sering bolos ibadah hanya karena gue males, dan gue memilih untuk kabur sejauh-jauhnya ketimbang menata hati gue pelan-pelan sampai gue merasa lebih baik.

Alasan gue memilih buat kerja di tempat yang jauh dari tempat gue biasa hidup adalah karena gue yang bermusuhan dengan hidup itu sendiri. Tinggal di tempat baru, di tempat yang bahasanya gue pelajari sedikit demi sedikit dengan budaya yang cukup jauh dari yang Indonesia punya, biar gue selalu punya alasan untuk sibuk dan eksplor ini dan itu. Pulang hanya sesekali, lalu balik lagi.

Tapi mungkin, baik setan maupun malaikat di mansion gue juga udah bosen sama gue yang butuh waktu begitu lama untuk berduka, sampai akhirnya gue dikasih kerjaan ke Jakarta dengan waktu yang lebih lama dari biasanya. Satu bulan dan sendirian, tanpa ada rekan mana pun yang nemenin gue. Jadi, gue memanfaatkan temen-temen lama gue yang tinggal di kota itu untuk membantu gue cari tempat tinggal. Bukan karena gue harus hemat, kantor gue akan reimburse semuanya, tapi karena gue enggak mampu buat hidup sendirian di negara yang enggak membuat otak gue sibuk-sibuk amat untuk berpikir mau bicara apa dan mau mendengarkan yang mana.

Lalu gue ketemu Jeon Wonwoo. Jeon Wonwoo yang temennya Dokyeom. Yang kerja di sebuah perusahaan FMCG. Yang sering pulang kerja jalan kaki dan membiarkan mobilnya enggak keluar dari basement selain Sabtu dan Minggu. Yang minum teh setiap malam seperti sebuah ritual. Yang ngingetin gue gimana rasanya jatuh cinta, bahkan ketika hadirnya dari sebuah seks yang enggak direncanakan. Jeon Wonwoo yang sama dengan yang tengah duduk di seberang gue dengan mata tajamnya yang kayak seekor rubah. Mungkin itu juga yang membuat gue (lumayan) bertekuk lutut dengan dia, seperti kitsune yang diagungkan.

“Bukannya… kita emang begitu?”

“Pardon?” Gue langsung mengerutkan dahi. Mungkin enggak fokus juga karena kebanyakan berandai.

“Waktu di mobil waktu itu, bukannya kita sepakat untuk… coba dulu? Kita jalanin pelan-pelan. Lo dengan masalah lo, gue dengan masalah gue. Bukannya kita udah sepakat?”

“Gue mau pulang besok,” ngucapin kata pulang enggak pernah seaneh ini. “I don’t think it’s the very wise of us to leave this... complicated things hanging like what we did right now.”

Gue tau dia gugup, gue pun juga sama. Pengalaman gue enggak banyak, bahkan enggak ada. Enggak ada satu pun orang yang pernah ngasih gue saran soal hal-hal semacam ini.

“Lo maunya gimana, Mingyu?” Tanya Wonwoo lagi, suaranya melembut. “Between us, masalah lo kayaknya lebih berat. Gue enggak mau mendikte lo buat ngelakuin hal yang bakal ngebebanin.”

“Gue perlu tau pandangan lo soal ini juga, kita bisa diskusiin ini.”

“Coba lo jawab duluan, lo mau gimana?”

Gue mau lo, mungkin. Tapi gue pun tau kalau lo berhak dari sekadar mungkin.

“Gue enggak mau nyesel.”

Dia menegakkan posisi duduknya, “nyeselin apa?”

“Nyesel karena ngambil pilihan yang salah.” Jawab gue lagi, enggak mau menatap mata dia. “Gue capek juga.”

Diamnya ruangan justru membuat gue mau gila. Seperti semua beban masa lalu langsung ditumpahkan ke punggung gue. Segala takutnya, sesalnya, marahnya, sedihnya, semuanya. Tapi, saat Wonwoo buka suaranya lagi, rasanya lebih seperti mati.

“Suka sama orang dan punya hubungan itu biasanya cuma antara dua: putus atau nikah. Setelah nikah pun, antara cerai atau—“ dia berhenti di situ dan gue mengangguk tanda gue paham.

Lalu, dia melanjutkan, “jadi, kalau masih lo merasa takut untuk menyesal dan merasa ambil pilihan salah, mungkin, lo memang belum siap untuk punya hubungan lagi, Mingyu.” Wonwoo tersenyum, kecil, namun cukup untuk membuat dada gue ngerasa ngilu.

“Karena menurut gue, seharusnya enggak ada pilihan salah, karena akan ada selalu pilihan lainnya yang bisa kita pilih setelahnya. Selalu ada cara untuk memperbaiki keadaan. Tapi itu gue ya, lo enggak harus setuju.”

Gue lupa kapan terakhir kali gue nangis di depan orang lain. Mungkin pas awal-awal ditinggal dan ketika gue merasa perlu dapet bantuan dari psikolog sebelum akhirnya menyerah dan kabur. Bukan karena gue merasa nangis berarti lemah atau laki-laki enggak boleh nangis, tapi lebih karena gue enggak suka liat gue nangis. Bertolak belakang banget dengan gue ketika lagi waras. Cuma, jatuh cinta itu emang buat orang jadi gila, katanya, dan gue enggak bisa berhenti nundukin kepala dan bersusah payah nahan senggak-sengguk dari mulut gue.

“Maaf….”

Dan itu satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulut gue.

“Kenapa minta maaf?”

Dan itu jawaban yang paling gue benci dari mulut Wonwoo. Salah gue banyak, gue tau, dan gue enggak mau dia pura-pura enggak masalah sama ini semua.

Ketika gue enggak menjawab karena kalut dan enggak tau harus bicara apa, gue bisa ngerasain pelukan di punggung gue, lalu elusan di rambut gue. Pelan, tapi cukup untuk ngatur napas gue sampai lebih teratur.

“Enggak apa-apa, Mingyu. Mungkin waktunya aja yang salah.”

Is that what you thought about us?

“Maybe, if you come back later, everything will be better.”

Is it?

Buru-buru mengucek mata, gue dongakkan kepala dan beraniin diri untuk natap Wonwoo lagi, tapi yang gue temuin itu cuma sedih.

“Lo belum jawab pertanyaannya.”

“Apa?”

“Lo sendiri maunya gimana?”

Dua detik, empat detik, sampai helaan napas keluar dari mulutnya.

“I want you, more than anything.”

Sekali lagi, setan menang atas ego manusia. Dia cium bibir gue dan gue mencium dia balik. Jarinya itu mengelus-elus rahang gue yang belum gue cukur lagi selama beberapa hari. Wonwoo yang selalu punya adiktif dengan zat adiksinya sendiri mendorong gue untuk mengalungkan kedua lengan gue di lehernya, menarik dia untuk mendekat sampai dia duduk di atas pangkuan gue. Kita sama-sama nunjukin emosi lewat tautan yang enggak kunjung berhenti. Pagutan dia, kecupan gue, lenguhan kecil kita yang menyelusup keluar sedikit demi sedikit.

Ketika biasanya yang gue liat setelah ini adalah tatapan penuh nafsunya, untuk sekarang ini, gue cuma liat sedih.

Mungkin enggak salah juga kalau gue bilang, gue udah sayang sama dia, karena cuma dengan ekspresinya itu bikin gue memajukan badan lagi untuk peluk dia dan sembunyi di perpotongan leher dan bahunya.

“Mingyu,”

Jawaban gue tenggelam di dalam kulit Wonwoo, tapi gue yakin dia paham.

“Gue mau jujur.”

Enggak ada lagi yang bisa gue lakuin selain mengelus-elus pinggang dia dan mengangguk sekenanya.

“Liat sini dulu!”

Baru deh, gue narik diri dan natap Wonwoo sebisa yang gue mampu.

“Kenapa, Wonwoo?”

Dan harusnya gue bisa baca dari sedih di matanya tentang apa yang dia harap gue pahami tanpa perlu susah payah jujur kayak sekarang ini. Seharusnya gue menetap lebih lama lagi untuk belajar tentang Wonwoo lebih banyak lagi. Seharusnya gue paham tentang diri gue sendiri lebih baik lagi dan bisa bedain jenis-jenis perasaan dan cinta yang bisa dirasa setiap manusia.

Karena yang keluar dari mulut dia itu adalah kalimat terbaik yang pernah gue denger selama beberapa tahun belakangan dan gue enggak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya.

“I think I love you, and that’s all I want you to know.”

Dan satunya lagi.

“Gue enggak mau gantiin siapa-siapa, I’m not a replacement, but what if your heart can fit much more than what you have imagined?”

Yang itu membuat gue seperti punya rasa optimis, so I love it.

Dan satu lagi.

“And if you are ready, someday, enggak harus jawab sekarang, I want you to be my boyfriend.” Pipinya yang merah dan tatapan matanya yang kikuk. “Would you be my boyfriend, Big Guy?”

pov: you meet him again

rated: T. hopeless feeling. hurt comfort.

Sejak Mingyu mendudukkan dirinya di kursi penumpang, tidak ada obrolan yang tertukar antara dia dan Wonwoo. Hanya suara klakson dan deru kendaraan yang menyelusup masuk ke dalam mobil. Pemutar radio juga dibiarkan mati, seakan sengaja agar tidak ada basa-basi yang dapat hidup dari sana.

Bagi karyawan pulang kantor, kemacetan menjadi momok menakutkan yang hanya menambah beban berat di atas punggung, membuat tubuh serasa lebih lelah dengan kepala yang mau pecah. Berbanding terbalik dengan mereka-mereka yang kasmaran, yang ingin perjalanan agar semakin panjang dan tidak mau waktu cepat-cepat berakhir. Sementara bagi mereka yang merasa tidak nyaman dengan keadaan, yang dirasa adalah sesak dan kehilangan kemampuan untuk sekadar bergerak bebas. Itu yang Mingyu rasakan sekarang.

Dari terkaannya selama beberapa hari ditinggal untuk berpikir, Mingyu mengambil kesimpulan bahwa Wonwoo merajuk karena dirinya yang tidak mampu untuk menentukan posisi di mana dia ingin berpijak. Di satu sisi, dia seratus persen sadar bahwa panggilan –godaan yang dia layangkan ke Wonwoo punya potensi besar untuk membuat laki-laki itu jadi membawa perasaan. Namun di sini lain, Mingyu juga dengan gamblangnya menyatakan bahwa hatinya bukan hanya untuk Wonwoo seorang, atau mungkin memang belum diperuntukkan untuk Wonwoo. Kacau menjadi satu-satunya kata yang dapat mendeskripsikan keadaan saat ini, entah di dunia, pikiran, sampai hatinya.

“Mau beli sabun cuci di mana?”

Yang tadi itu suara Wonwoo, langsung membuat Mingyu menoleh.

“Gue enggak tau supermarket daerah sini di mana aja.”

Lalu sudah, Wonwoo tidak menjawab apa pun lagi. Lampu lalu lintas yang mendadak berubah merah ketika mereka sudah di barisan terdepan seakan mencemooh mereka dan ketidakmampuan mereka untuk sekadar berkomunikasi.

Tahu-tahu, sudah di Cikini, namun suasananya jadi jauh lebih dingin.

“Tell me something I didn’t know about you.”

Lagi, Mingyu langsung menengok.

“Tentang apa–”

“Anything.”

Dia tegakkan tubuhnya, tatapan matanya kembali mengarah ke depan, ke jalanan.

“Di depan rumah gue, rumah orang tua gue, ada pohon bunga kemuning. Ada dua. Kalau lagi berbunga, tetangga suka keikut nyium baunya. Beberapa kali ngadu kalau wanginya suka bikin takut.”

“Bunga kemuning yang mirip melati?”

“Bener. Yang satu lebih banyak bunganya, tapi enggak setebel punya pohon satunya.”

Dari lirikan matanya, Mingyu bisa melihat kepala Wonwoo yang mengangguk.

“What else?”

“Gue lahir di Banjarmasin. Masuk sekolahnya kecepetan, jadi gue paling bocah di antara temen-temen yang lain.”

“Tapi SMA lo di Bandung?”

“Waktu SMP, keluarga pindah ke Bandung. Tapi pas kuliah, mereka balik ke Semarang lagi, ke rumah pertama sebelum ada gue.”

“So, you used to move from city to city, dan sekarang moving from country to country.”

“Not really moving, tapi iya, gue kayak nomaden.” Jawab Mingyu dengan kekehan di ujung kalimatnya. “Coba gantian, tell me something about Wonwoo I didn’t know.”

Kalau boleh jujur, Mingyu sudah tidak mengenal daerah mana mereka berada.

“It’s not something to brag about, since our families are not that close, actually. Tapi keluarga gue masih saudara sama keluarga pahlawan nasional, and sometimes, I find it… funny, to know world is so small, dan gue masih ada hubungan dengan orang penting yang kita semua udah kenal sejak kecil.”

“Emangnya siapa tuh? Ki Hajar Dewantara?”

“Bukan, bukan beliau. But what makes you think it’s him?”

“Gue cuma inget beliau.”

“God, Mingyu….”

Butuh satu jam lebih sampai akhirnya ada tawa yang dilepaskan di dalam mobil ini, bersamaan dengan mesinnya yang tetap melaju membelah jalan, tidak kunjung berhenti di supermarket mana pun seperti rencana awal.

“Terus apa lagi?”

“Maunya apa?” Tanya Wonwoo balik.

“Something I really don't know and would be dying to know.”

“Kayak… I can’t really hate you even after all the things –all the heartbreaking facts you told me?”

Mobilnya baru berhenti beberapa saat kemudian, di belakang jejeran kendaraan lainnya yang entah berhenti untuk apa. Mungkin di dekat sini ada makanan kaki lima yang digandrungi masyarakat, mungkin juga memang tempat orang parkir saja. Entah apa pula, fokusnya terlanjur terpecah dan diserap oleh Wonwoo.

“Wonwoo,”

“I was disappointed. Lo seperti cuma main-main tanpa mikirin gue gimana, tanpa ada pemahaman dan persetujuan dari gue tentang apa yang boleh dan enggak boleh untuk dilakuin. I don’t mind the sex, really, but when it comes with a train of sweet talk and act of service, interpretasinya bisa berubah. Our hook up can’t be seen merely as sex –a platonic sex. Setidaknya untuk gue, Mingyu, but you didn’t even give me a time to tell you that, did you?”

Yang selama ini absen itu adalah consent.

“But I can’t bring myself to hate you. Yang gue butuh cuma bicara soal ini, beresin salah pahamnya, dan…”

Mulai dari nol lagi, Mingyu harap, itu kalimat selanjutnya.

Suara tukang parkir di luar sana mengisi kekosongan sebelum Mingyu akhirnya membuka suaranya juga.

“Gue beberapa hari ini mikir, dan… I know, it was not a wise thing to do. Gue minta maaf.”

Wonwoo langsung menghela napasnya, “maafnya diterima.”

“Gue berharap kita bisa punya hubungan yang lebih baik sehabis ini.”

“As a friend?”

“As… anything you want.”

“No, you tell me.” Sergah Wonwoo. Dia miringkan tubuhnya menghadap ke arah Mingyu. “I am as free as a bird, lo yang seharusnya kasih gue batasan. Dos and donts, and some regulations if needed.”

Wonwoo benar. Sedari awal, dia lah yang salah karena berlagak layaknya yang tidak punya batas pribadi, yang justru turut menerobos milik orang lain dan tidak mau tahu-menahu.

“Mingyu, misal aja lo minta gue jadi pacar sekali pun, gue enggak akan nyuruh lo turun di sini sebagai bentuk penolakan. Just… tell me.”

“Janji, enggak bakal marah?” Mingyu mengangkat jari kelingkingnya, membuat Wonwoo langsung tertawa lagi sebelum menyambutnya dengan mengaitkan jari kelingkingnya juga.

“Janji.”

pov: you are hearing the truth

rated: T. minor character death. death talk. grieving and mourning. hopeless feeling. confused about feeling. sensitive topic. sad sad sad.

“Kalau enggak makan seafood, berarti lo makan apa aja tuh?”

“Everything, ayam; sapi; kambing, tapi enggak boleh sering-sering karena apparently gue ada kolesterol; dan lagi biasain makan sayur.”

“Enggak bisa makan cumi banget?” Tanya Mingyu lagi. Samar-samar, ada kerutan di dahinya. “Padahal enak banget.”

“Dari kecil tuh, gue enggak pernah akur sama air. Gue pernah ampir tenggelam di kolam renang, jadi sampai sekarang enggak bisa berenang. Water creatures also taste weird, it’s either too slick for my liking or too bland.”

“Pernah pelihara ikan enggak?

“The one yang dijual di depan sekolah waktu kecil itu, pernah. Seminggu kemudian mati. Kadang, gue masih suka sedih kalau inget dia.”

Tatapannya langsung terarah ke arah Mingyu. Laki-laki itu hanya mengangguk, masih dengan nasi di dalam pipinya.

“Death is never easy for everyone.”

“Bahkan ke orang jahat?”

“Mungkin aja ada yang masih nganggap dia orang baik, atau mungkin keluarganya yang tetep harus ngurus surat ini itu. Pemakaman pun harus bayar buat nisan sampai perawatannya, kecuali mau ditelantarin gitu aja.”

Tidak ada suara lagi yang keluar setelahnya selain video Youtube di handphone Wonwoo yang dibiarkan terputar begitu saja dan suara dentingan piring dan sendok garpu.

Meski ekspresi Mingyu seakan tidak berubah, kalau boleh jujur, ini agak membuatnya kurang nyaman. Dibuat khawatir kalau obrolan tentang ini hanya akan membuat dia salah bicara dan berujung memicu konflik. Konfrontasi adalah hal yang yang paling tidak ia inginkan untuk terjadi dengan Mingyu, tidak ketika masih ada tiga minggu ke depan yang perlu mereka habiskan bersama di bawah atap yang sama pula.

“Kenapa, Won? Makanannya kurang enak ya?”

“Ha— enggak. Enak kok.” Wonwoo langsung mendongak, lalu menunduk lagi menatap nasi yang tercerai-berai di atas piringnya.

“Enggak enak ya pembahasannya pas lagi makan gini.”

“Lo… pernah ngerasain enggak?”

Sesaat kemudian, kepalanya terasa dingin. Mungkin tidak seharusnya dia menanyakan hal tersebut pada Mingyu, tidak saat ini ketika mereka hanya… mereka. Apakah mereka sudah sedekat itu untuk berbagi cerita soal hal-hal duka seperti ini?

Genggamannya pada sendok dan garpu menguat, tetapi Mingyu masih dengan ekspresinya yang sama.

“Diceritain Jeonghan ya?” Tanya Mingyu. Ujung bibirnya sedikit naik.

Kalau sudah begini, dia harus apa? Mengelak dan bilang tidak ketika Jeonghan sendiri juga kenal, bahkan lebih dekat, dengan Mingyu dibanding dia?

“I’m sorry, harusnya gue izin dulu.”

“Santai aja, Jeonghan juga ceritanya sebagai temennya, kan?”

“Tetep aja.”

Makanan yang awalnya menarik langsung terasa hambar dan Wonwoo ingin berhenti. Dan untuk alasan yang entah apa, itu membuatnya lebih kecil lagi.

“So… what do you want to know?”

Wonwoo itu belum punya pengalaman soal kehilangan yang seperti ini, jadi pikirannya langsung berlari mencari apa saja untuk dipegang, untuk diucapkan, setidaknya dia punya suara. Tetapi, lidahnya masih seperti diikat dengan dada yang tertahan.

“Wonwoo, are you okay? Mau gue ambilin—“

“Itu… pertanyaan gue.”

Mingyu langsung meletakkan sendok dan garpunya, lalu menarik kursi untuk membetulkan posisi duduknya agar lebih tegap.

“Elaborate, please.”

“Are you okay, Gyu?”

Bibirnya mengerucut, tatapannya mengarah ke meja, tengah berpikir.

“Physically, okay. Gue jadi gampang pegel sih di sini, karena enggak banyak jalan. Tapi enggak apa-apa, bisa diakalin.” Jawab Mingyu sebelum menarik dan membuang napasnya, lalu melanjutkan. “Mentally… kalau lo merujuk ke grieving soal mantan gue, it’s been years. Gue enggak bisa lupa, gue masih banyak nyeselnya, gue… masih suka sedih kalau inget. But life is moving and I’ve been growing, like what he wanted.”

Di waktu kosongnya, seperti hari-hari libur panjang ketika pekerjaan tidak sedang menghantui, Wonwoo sering kali menghabiskan waktunya untuk berselancar di internet. Membaca ini dan itu dari explore Instagramnya yang berisi aneka ragam, dari brand design hingga lowongan kerja, dari lilin hingga kucing. Ada kalanya, dia menemukan tentang reminder yang berkenaan dengan jiwa. Tentang keharusan kita untuk lebih menghargai diri. Tentang kita yang perlu memahami apa yang baik untuk sendiri.

Kita tahu soal Kübler-Ross Model, teori tentang Five Stages of Grief yang kerap kali dibahas di berbagai media. Namun saat itu, yang ada hanya lingkaran hitam di dalam sebuah stoples, menarik perhatiannya untuk melihat, lalu membayangkan, dan coba berempati. Idenya dikembangkan berdasarkan artikel milik Dr. Lois Tonkin (1996) tentang tumbuh bersama duka yang kita rasakan. Bahwa ketika dulu orang-orang selalu berpikir jika perasaan sedih dan duka itu akan hilang bersamaan dengan waktu yang terus berjalan, namun kenyataannya, tidak semuanya merasakan hal yang sama.

Banyak dari manusia yang perlahan bangkit, mencoba untuk kembali berjalan dengan langkah-langkah kecilnya. Namun, ketika dihadapkan pada apa yang mengingatkan mereka tentang apa yang membuat mereka kehilangan, maka perasaannya masih ada di sana. Masih sama-sama membuat berat. Masih sama-sama dibuat berandai jika saja mereka masih ada di dalam genggaman. Itu memunculkan pemahaman jika perasaan duka tidak akan pernah hilang, hanya jiwa kita saja yang beradaptasi dengan dia. Manusia dapat tumbuh menjadi lebih kuat, lebih memahami, tanpa perlu melupakan apa yang pernah membuat dia cinta hingga sedih setengah mati.

Ketika Wonwoo hanya bisa mengetahui tanpa bisa memahami, maka dihadirkan Mingyu sebagai yang pernah merasa, menyulut empati dia. Jadi, saat netra Wonwoo menangkap Mingyu dengan senyum kecilnya di depannya, dadanya kembali sesak. Bukan karena ketakutan, justru karena kekalutan akan kesedihan.

“I’m just learning how I carry my grief with me.” Ujar Mingyu lagi, tatapannya mengarah ke entah mana. “Tapi susah, capek, makanya gue butuh orang buat nemenin.”

“Gue bisa aja punya ada temen sekamar di sini, tapi kalau di Indo enggak bisa.”

“Kalau di Indo suka kebayang, terus jadi kangen, sama takut, nyampur semuanya.”

Wonwoo langsung hilang akal harus bagaimana.

“Tapi gue enggak jadiin lo pengganti dia atau gimana ya, Wonwoo. I just need companionship, and all my unpleasant things I did have no relevance to my grief.”

“Lo enggak pernah ngelakuin hal yang kurang ajar, selama ini.”

“All the flirts I did, I mean,” bibirnya sedikit mencebik. “I’m sorry if it ever makes you uncomfortable.”

“It’s…,” helaan napas Wonwoo terdengar begitu jelas. “Kalau lo ngomong begitu, lo sadar kan kalau ini bisa bikin kita, yang tinggal serumah ini, jadi canggung?”

“Don’t get me wrong, I’m enjoying every second with you, everything we did. Tapi kalau boleh jujur, awalnya gue enggak ekspektasi bakal begini.” Jawab Mingyu, mengelus tengkuknya sebelum melanjutkan. “Karena cuma sebulan, jadi gue kira bakal cuma fling doang, Wonwoo.”

“It’s still a fling.”

“I’m getting too comfortable.” Jawab Mingyu, “I’m not supposed to be this happy around you.”

“Kenapa gitu?” Pertanyaan demi pertanyaan terus dilemparkan, seakan tengah berada di ruangan interogasi tanpa mata lain yang tengah memandang. Ruangan ini hanya milik mereka. “Why did you think it wasn't supposed to happen?”

“Wonwoo, be honest, siapa sih yang mau sama orang yang masih suka inget sama mantannya?”

Rose tinted glasses, segalanya terasa indah di mata orang yang tengah mencinta. Detik itu, Wonwoo merasa bahwa itu adalah senormal-normalnya manusia. Bukankah kita semua pernah merindu atas seseorang yang bahkan tidak sepenting itu lagi di hidup ini? Ada kalanya, yang dirindukan dan menjamur di pikiran hanya kenangannya, segala yang membuat hati terasa hangat tiap kali mengingatnya.

Tetapi, berasumsi adalah hal yang buruk dan Wonwoo juga tidak tahu menahu tentang apa yang Mingyu rasa, seberapa signifikan orang itu di hidupnya dulu, sebesar apa pula cintanya di tahun-tahun yang lalu.

“Do you… still love him?”

Apa pun jawabannya, Wonwoo akan menerimanya, meskipun itu hanya akan menjadikan apartemennya seperti neraka.

“I don’t know.”

“Tapi lo belum move on.”

“I have been trying.”

“And yet you say that you feel… happy, around me, more than how it is supposed to be. And flirting with me. And... giving a false hope.”

Mungkin dia terdengar lebih demanding sekarang, seakan tengah menagih janji yang telah usang. Wonwoo tidak tahu menahu.

“Because I am, I'm happy when I'm with you. Gue bisa ngerasain dua-duanya, seneng-senengnya gue sama lo, nyeselnya kalau inget dia, banyak.” Jawab Mingyu lagi. “Gue enggak tau apa boleh ngerasain semuanya sekaligus, tapi gue enggak bohong, Wonwoo.”

“I’m not supposed to be a replacement, Mingyu, no one deserves to be just a replace—“

“And you are not!”

Suara Mingyu sedikit meninggi, namun bukan membentak. Kepalan tangannya di atas meja itu terus menguat, menjadi tempat pembuangan emosinya.

“Gue— dia enggak bisa digantiin.” Tatapan Mingyu tidak kunjung lepas dari permukaan meja makan, enggan menatap Wonwoo balik. Yang dia tahu adalah suaranya kian bergetar. Tatapannya nanar ketika dia mendongak.

“But I like you just as Wonwoo, nothing else, no one else.”


Lois Tonkin TTC, Cert Counselling (NZ) (1996) Growing around grief—another way of looking at grief and recovery, Bereavement Care, 15:1, 10, DOI: 10.1080/02682629608657376

pov: the second time is not just an accident

rated: M, no minors allowed. pet names. protected sex. impulsively tolol sedikit part two. hopeless feeling, kind of. a bit sad too, actually.

Lampu apartemennya itu sudah menyala ketika Wonwoo membuka pintu. Seperti yang ia duga, tempatnya tinggal ini berubah menjadi jauh lebih pantas ditempati sejak Mingyu datang, dapat dilihat dari absennya alat-alat makan habis pakai di dalam bak cucian piring atau di atas meja makan. Di atas situ hanya ada sisa capcay yang Wonwoo tebak adalah makan malam Mingyu tadi. Wonwoo sendiri bukan orang yang berantakan, namun Mingyu menjadikan apartemen ini lebih rapi lagi ketimbang seharusnya.

Bicara soal Mingyu, lelaki itu tidak berada di ruang tengah sejak kedatangannya, sedikit membuatnya mengernyit mengingat jam di pergelangan tangannya baru menunjukkan pukul setengah delapan lewat sedikit. Di hari-hari sebelumnya, Mingyu akan menghabiskan malamnya di atas sofa ini dengannya, membahas film yang tengah diputar di HBO atau AXN, karakter favorit mereka di Modern Family, atau sekadar sinetron Indonesia apa yang terakhir mereka tonton di televisi. Mengenal satu sama lain dengan cara itu tidak pernah buruk, seakan diajak berkenalan sambil mencari tahu tentang preferensi, tentang pola pikir, hingga bagaimana dia bereaksi atas sesuatu.

Wonwoo mengetuk pintu kamar Mingyu beberapa kali.

“Mingyu, udah tidur?”

Karena kalau dipikir-pikir, mungkin saja perasaan bosan yang sejak tadi Mingyu bicarakan lewat pesan membawa dia ke jam tidur awalnya, dua jam lebih cepat dibanding di Jakarta sini.

Tetapi dalam beberapa detik kemudian, telinganya dapat mendengar barang yang jatuh dari dalam sana, lalu pintu yang kemudian terbuka.

“Kok beneran balik cepet?” Tanya Mingyu, di wajahnya itu ada senyum kecil seperti biasanya.

“You asked me to.”

“I didn’t expect you to comply.”

“Maybe I feel pitiful with my more than just acquaintance who wants to kill his boredom.”

Tangan Wonwoo menarik kursi meja makan, mendudukkan dirinya di atas situ.

“Temen lo ada yang ulang tahun?” Lagi, Mingyu jadi yang melayangkan pertanyaan pertama.

“Nope, cuma ngajak makan biasa aja,” jawabnya kemudian. Tangannya bergerak untuk meraih garpu di tempat penyimpanannya. “Can I have a taste?”

“Sure! Tapi kayaknya udah enggak panas, jadi kayaknya udah kurang enak.”

Dan layaknya hari-hari biasa, obrolan mereka mengalir begitu saja. Wonwoo pun seakan dibuat lupa tentang ini dan itu yang dia rasa selama beberapa minggu belakangan, sejak Mingyu menjadi penghuni tetap di dalam pikirannya ketika bahkan, keberadaan lelaki itu di kehidupannya boleh jadi hanya sementara. Enjoy it while it lasts, they said, dan mungkin Wonwoo tengah melakukannya meski tanpa dia sadari.

“Perusahaan lo kerja ini ada kantor cabang di Jakarta juga atau gimana?” Tangannya masih bergerak untuk menusuk brokoli dan potongan wortel dari piring di depannya, kemudian memasukkannya ke dalam mulut sembari Mingyu menjawab.

“Lebih kayak kerja sama. Perusahaan gue supply barang ke perusahaan di sini, jadi gue ke sini cuma buat ngecek dan discussing some new agreements.”

“So… there is no way you will work here in Jakarta, or Indonesia, kecuali resign?”

“Bener.”

Entah mengapa juga (bohong, Wonwoo sebenarnya tahu mengapa), jawaban itu meninggalkan masam di hati dan mulutnya. Fakta yang sudah dia ketahui sejak awal, sejak Dokyeom baru memberi informasi mengenai eksistensi Mingyu kepadanya, rasa-rasanya menjadi jauh lebih sukar untuk diterima dari hari ke hari. Memang manusia itu punya sifat yang namanya naif, yang pura-pura tidak tahu dan tukang menolak kenyataan, namun tidak pernah terpikirkan di benak Wonwoo jika dia akan sebegininya dengan orang yang baru dia temui satu bulan lalu.

“Is there something bothering you?” Mingyu menumpukan kepalanya dengan tangan. “With the fact I can’t live too long in this city, perhaps?”

“Nothing. It’s just… rare? For me. People come and go, but it’s a shame gue enggak bakal bisa ketemu lo lagi nanti, padahal kita kenalannya relatif baru.”

“Gue di sini-sini aja, ganteng. Kalau lo buka Instagram juga liatnya gue-gue lagi.”

“It will still, somehow, feel different.”

Piring di depannya sudah kosong, hanya ada beberapa potong bunga kol yang patah dan kuah-kuahannya. Tatapan Wonwoo hanya mengarah ke situ, meski pikirannya lebih seperti sedang menetralisir emosi yang menurutnya tidak perlu dia rasakan.

Lalu, Wonwoo bisa merasakan Mingyu yang mengacak rambutnya. Ada kekehan juga yang telinganya tangkap.

“I know you will hate me for saying this, but I will miss you too.”

Matanya spontan mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa kikuk, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah pipinya merona sekarang?

“I… never said that I will miss you.”

“You don’t have to say it out loud for me to figure it out, little one.”

Wonwoo tidak bergeming dari tempatnya duduk, bahkan setelah Mingyu mengangkat piring kotor dari hadapannya dan mencucinya sebelum dia letakkan di rak. Dia hanya duduk di sana, menatap sinar yang mengabur karena tertutup vitrasye. Tanaman palsu yang dia letakkan di atas meja kopinya terlihat begitu kaku di atas sana.

“Your tea.”

Tatapannya spontan mengarah ke gelas kosong yang baru dituangi teh dari teapot transparan miliknya. Dia langsung mendongak, mendapati Mingyu dan ekspresi seriusnya, seakan tengah menuangkan teh untuk kalangan aristokrat sana.

Gestur-gestur seperti ini yang membuat dia dibuat lebih sinting lagi, seperti Mingyu tengah menjaga dirinya yang selama bertahun-tahun hanya punya diri sendiri untuk menjalani hidup sehari-hari. Dia pernah baca di internet soal opini orang-orang yang menyatakan bahwa beberapa dari mereka-mereka yang independen itu bisa jadi akan menjadi yang paling manja jika sudah bertemu orang yang tepat. Mereka-mereka yang biasa hidup sendiri juga tidak akan menolak jika suatu saat, ada orang lain yang ingin membukakan botol minum untuk dia. Mungkin Wonwoo mulai sedikit banyak paham soal itu, mungkin Wonwoo juga mulai merasakan itu.

Tetapi subjeknya di sini adalah Mingyu. Mingyu yang sifatnya temporer. Mingyu yang akan mengisi negara tempatnya tinggal dengan nama yang berbeda dengan kewarganegaraannya. Mingyu yang… hanya lebih dari sekadar kenalan dan mungkin juga menganggap dirinya sebatas itu pula.

Wonwoo ambil gelas di depannya itu, menghabiskannya dalam beberapa kali teguk.

Lalu, dia berdiri.

“Mandi dulu gih, gue cuci—“

Kalimat Mingyu itu tidak pernah selesai, napasnya terlanjur dicuri oleh Wonwoo lewat ciumannya. Ada tangan tangan menarik kaosnya agar dia mendekat, kemudian mata yang terpejam entah karena menikmati atau sekadar malu.

Belum sempat membalas, Wonwoo telah memundurkan tubuhnya lagi.

“Sorry, tiba-tiba….”

“Tiba-tiba apa?”

Dia menghela napasnya, “tiba-tiba pengen ciuman.”

Mingyu langsung terkekeh, taring dan tulang pipinya jadi objek yang paling menarik perhatian Wonwoo yang tengah mengintip.

“Lo sering gitu?”

“Sering… apa?”

“Tiba-tiba pengen ciuman?”

Kali ini, Wonwoo yakin pipinya tengah merona.

“Enggak, sekarang aja tiba-tiba mau.”

“Cuma ke gue jadinya?”

“Iya… mungkin?”

Jawabannya justru membuat dia mendapatkan kecupan lainnya, tepat di bibirnya.

“Mandi dulu, I will wait for you in… whose room?”

“My room.” Wonwoo menjawab spontan.

Bisa dibilang, itu jadi mandi paling mendebarkan yang pernah dia lakukan selama beberapa tahun belakangan ketika hidupnya mulai monoton. Pancuran air di atasnya menjadi saksi ketika dia hanya berdiri di sana dan memegang dadanya yang tengah berpacu, berusaha merasakannya agar membantunya untuk lebih tenang. Buat apa pula dia segugup itu? Memangnya mereka mau apa?

Wonwoo lihat pantulan dirinya di cermin sekali lagi sebelum melesat keluar dari kamar mandi, hanya dengan handuk pinggangnya, lalu membuka pintu kamar dan menemukan Mingyu benar-benar di sana.

“There you are, little naked man.”

Dia letakkan handphonenya di atas nakas kamar Wonwoo sebelum mengubah posisinya menjadi duduk dan menepuk pahanya.

“Emangnya selalu telanjang gini?”

“Kali ini aja.” Jawabnya, mendudukkan diri di pangkuannya. Pahanya mengapit milik Mingyu itu membuat handuknya seakan hanya jadi pemanis yang tidak punya utilitas. Dia bisa lihat pula perubahan ekspresi di wajah Mingyu.

“If people know you can be this filthy, Wonwoo,”

“What will you do?” Netra mereka bertemu, sama-sama menatap atas nama nafsu. “Mingyu, what will you do?”

“I won’t ever let you go, even the slightest.”

Setelahnya itu hanya nafsu. Bibir yang melumat satu sama lain dan sentuhan dari jari di tempat-tempat yang tidak biasa terjamah. Sementara telapak tangan Mingyu bermain di paha Wonwoo, dia biarkan tangan kecil laki-laki itu untuk menyelusup masuk ke balik kaosnya, mengelus-elus kedua putingnya dengan ibu jari.

“You got a pair of sexy big manboobs.”

“And it would make such a perfect pair with your pretty fingers and your mouth, kitty.”

Handuknya jatuh bersamaan dengan dia yang menarik kaos Mingyu agar tanggal dari tubuhnya, mendorong dia untuk tidur telentang di bawahnya. Ia bawa tubuhnya untuk merunduk, memberikan ciuman dan jilatan kecil pada dada Mingyu, pada putingnya khususnya.

Laki-laki di bawahnya itu hanya bisa melenguh, matanya terpejam, meleleh di bawah sentuhnya.

“You are indeed like a cat.”

Tangan Mingyu turut bermain, menusuk-nusukkan jarinya pada lubang Wonwoo. Melebarkan kedua jarinya di dalam sana, keluar dan masuk bersamaan dengan jilatan empunya yang enggan berhenti.

“Mingyu,” panggil dia, kepalanya mendongak dengan tatapan yang memelas.

Dan Mingyu mengelus pipinya dengan sebelah tangannya, “what’s wrong, darling?”

“Can we please take it to the good part now?”

Wonwoo langsung memosisikan dirinya menungging di atas tempat tidur ketika Mingyu mengambil kondom dari lacinya, mendapatkan ciuman lainnya. One true passionate kiss, dan membuat Wonwoo jadi yang paling sakit kepala hanya karena sentuhan saja.

“How am I supposed to leave this city when they have you here?” Jarinya mengelus punggung Wonwoo, menyapu tiap inci kulitnya. “I can live in this moment forever, cupcake.”

Untuk malam itu saja, rasa-rasanya dia dicintai sebenar-benarnya.

on how i keep you from blooming (bahasa indonesia)

demigod!au. aphrodite's son!ww human!mg, but act like aphrodite!ww adonis!mg. blood. major character death. angst with no happy ending.

Dia masih ingat betul ketika ibunya singgah di bumi kala ia masih kecil dulu, mengajaknya untuk menghabiskan waktu di taman cantik di surganya sebagaimana yang saudara-saudaranya lakukan. Pada pengalaman pertamanya, Wonwoo kecil hanya dapat tertegun. Genggamannya pada buku Pangeran Kecil yang akhir-akhir ini gemar ia baca semakin erat. Di otak kecilnya itu, ide mengenai meninggalkan bumi selalu menakutkan. Untuk terbang menuju Olympus dan meninggalkan ayahnya serta rumah sederhana tempatnya hidup. Dan meski ibunya terus meyakinkan dia bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, Wonwoo kecil enggan untuk sepenuhnya menaruh rasa percaya, sebab ayahnya pernah berkata bahwa dia tidak boleh percaya dengan seseorang yang tidak dia kenal.

“Ayah kamu itu orang baik. Ibu mengerti mengapa kamu sayang sekali dengannya.”

“Ayah kan memang ayahku, jadi sudah pastinya aku menyayangi Ayah.” Jawab Wonwoo, kakinya terus berayun. “Lalu, bumi juga sudah cukup cantik untukku.”

Bohong kalau Wonwoo bilang, bumi jauh lebih cantik dibanding tempat ia berdiri sekarang. Ini adalah surga, selayaknya tempat-tempat yang ia kenali lewat buku yang ia baca. Beberapa pohon apel dengan buahnya yang merah ranum seakan menyapanya ketika ia menemukan pohon myrtle dan myrrh dengan bunganya yang aneh. Wonwoo kecil juga mampu mendengar kicauan burung yang sedang bernyanyi, juga danau jernih dengan angsa di atasnya.

Dia juga ingat bagaimana ibunya membawa dia pada pelukan. Rasanya hangat dan penuh seakan dia berusaha untuk mempererat benang mereka sebagai seorang ibu dan anak yang awalnya longgar. Wonwoo kecil mampu merasakan cinta yang ibunya ingin berikan, agaknya menghangatkan hatinya seperti api unggun yang ayahnya suka buat ketika musim dingin telah datang. Mungkin karena ibunya adalah seorang Dewi Cinta, sehingga ia mampu untuk menjadikan Wonwoo merasa dicintai olehnya. Namun mungkin pula, itu karena ibunya memang mencintai dia sebagaimana ibu yang teman-temannya miliki. Wonwoo tidak mengerti, otak kecilnya kala itu belum mampu untuk memikirkan hal sekompleks itu.

Bertentangan dengan persona yang perempuan itu miliki, ibunya suka bercakap-cakap. Dia menceritakan segalanya pada Wonwoo, dari kisah tentang Kerajaan Olympus hingga bagaimana dia jatuh cinta dengan ayah Wonwoo. Itu menjadikan Wonwoo berpikir bahwa mungkin, ibunya tidak seburuk itu. Boleh jadi, perempuan itu hanya menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dengan Wonwoo, sehingga mereka bisa membagi buah pikiran mereka sebagaimana orang dewasa yang kerap Wonwoo temui di sekolahnya.

“Ibu pernah bertemu dengan beberapa manusia yang jahat, mereka itu penghancur dan perlu dijauhi. Tetapi, banyak juga manusia-manusia baik yang pernah ibu temui di bumi, seperti ayah kamu.”

“Ibu mengenal manusia-manusia lain?”

Ibunya lantas tersenyum sebelum mengangguk pelan, “ada banyak, nak. Kamu harus bertemu dengan saudara-saudara kamu, berkenalan dengan yang lainnya.”

Wonwoo kecil mengangguk, lalu turun dari bangkunya untuk mengitari taman cantik milik ibunya itu. Netranya memindai setiap objek yang ia temui, menangkap banyaknya bunga dengan warnanya yang beraneka ragam. Dia belum pernah menemukan warna yang semacam itu di bumi. Mungkin, taman milik ibunya memang tidak buruk.

“Bu, bunga apa yang Ibu sukai?”

Meski umurnya saat itu baru menginjak sepuluh tahun, Wonwoo menyadari bahwa ekspresi ibunya berubah. Ada kesedihan di matanya, kontras dengan senyum yang masih terpatri di wajah cantiknya.

“Napas Ibu bisa menumbuhkan bunga mawar dan ibu jadikan bunga itu sebagai hadiah untuk penduduk bumi,” dia tiup kepalan tangannya dan seketika, mawar putih mekar di telapak tangannya. “Mawar adalah bunga terbaik yang dulu menjadi favorit Ibu.”

“Ibu sudah tidak suka bunga mawar?” Wonwoo kecil bertanya lagi, kepalanya sedikit dimiringkan. “Kalau begitu, sekarang Ibu suka bunga apa?”

“Anemon.”

Masih ada ingatan samar di otaknya tentang harapan ibunya agar cepat atau lambat, Wonwoo bertemu dengan cinta sejatinya. Ia berharap agar Wonwoo menemukan cinta yang turut menjadikannya manusia paling bahagia di dunia, sebagaimana ayah Wonwoo yang membuatnya bahagia. Namun mungkin, otak kecilnya itu masih memutar tentang kisah terakhir yang ibunya ceritakan hingga Dewa berasumsi, bahwa Wonwoo mengharapkan Adonisnya sendiri. Meletakkan Wonwoo pada ujung tombak tanpa lajur lain untuk menyelamatkan diri. Menghantuinya layaknya predator padamangsanya, menunggu saat yang tepat untuk mendorongnya hingga tenggelam dalam palung yang gelap.

Wonwoo adalah anak dari Aphrodite dan ia menemukan Adonisnya sendiri.

Telinganya dapat mendengar geraman dari kejauhan, menakutkan, seakan-akan seseorang tengah membuatnya marah. Mungkin itu suara beruang, mungkin juga babi hutan, atau hewan-hewan liar pemakan daging lainnya yang Artemis jaga, Wonwoo tidak tahu-menahu. Yang dia yakin adalah perasaannya sendiri dan bagaimana bahaya adalah satu-satunya yang muncul di pikiran dan hatinya, menjadikan deru jantungnya begitu cepat seakan ingin meledak.

Wonwoo mempercepat langkahnya, bersamaan dengan kawanan burung yang terbang di atas kepala. Potongan memori mulai berputar di otaknya, seakan berusaha mengingatkannya tentang apa dan siapa yang tengah dia kejar. Mengingatkan dia bahwa di ujung jalan sana, Wonwoo harus menemukan ia yang paling dia sayangi dalam kondisi apa pun, hidup atau mati. Meski kemungkinan itu mendorong rasa takut untuk menjalar di tubuhnya, berusaha menariknya dengan kencang hingga Wonwoo pikir, dia dapat terjun ke dunia bawah tanah dan bertemu dengan Yang Mulia Persephone.

Dan di langkah terakhirnya, Wonwoo menemukan dia di sana.

Dia ingat betul bagaimana Mingyu mencintai bumi ini lebih dari siapa pun, seakan di dalam pembuluh darahnya, mengalir tetesan darah Artemis. Dia juga ingat bagaimana Mingyu hafal dengan semua bunga yang kerap mereka temukan di berbagai tempat yang mereka kunjungi, dari taman hingga hutan, dalam segala warna yang Wonwoo ketahui. Mingyu kerap memberinya satu tangkai hingga buket, tergantung dari sebanyak apa bunga yang dia temukan di alam liar, yang menjadikan dia berpikir: ini mengingatkanku padamu. Bahkan ketika Wonwoo tidak mengerti tentang alasan Mingyu yang gemar membandingkan dia dengan hal-hal cantik, Mingyunya itu juga selalu mengingatkan dia tentang dirinya sendiri, identitas yang hidup di dalam dirinya.

“Aku yakin jika kamu adalah anak kesayangan ibumu. Cantiknya dia terpatri jelas di wajahmu. Terlampau cantik, sampai-sampai merasuk ke hatimu. Membuat kamu menjadi orang tercantik di dunia.”

Namun, Wonwoo tidak pernah bertanya, tidak pernah meminta dia untuk memilih antara bumi dengan dirinya. Dia tidak tahu-menahu jika Mingyu mencintai dia lebih dari seluruh tumbuhan yang hidup disekelilingnya serta berbagai makhluk yang hidup di dalamnya, atau justru sebaliknya. Dan meski Wonwoo sendiri berani untuk memberikan seluruh jiwa dan meminta Mingyu untuk menyimpannya selamanya, mungkin sekadar hati itu tidak cukup. Mungkin, bumi mencintai Mingyu lebih dari dia sampai-sampai mereka ingin merebut laki-laki itu dari Wonwoo sepenuhnya.

Ini bukan pertama kalinya untuk melihat manusia hingga demigod untuk diterkam oleh hewan liar. Dia pernah mengobati salah satu saudaranya yang dikejar oleh banteng, mendapatkan tatapan ngeri dari saudara-saudara lainnya. Darah adalah bagian dari diri setiap manusia, sebuah tetesan yang menciptakan kehidupan, dan Wonwoo tidak menemukan alasan tentang mengapa dia harus takut dengannya. Tetapi manusia dan bahkan demigod-demigod lain sepertinya itu adalah makhluk paling subjektif di muka bumi. Mereka bekerja dengan otak serta hati mereka, memiliki perasaan yang dapat menciptakan bias pada apa yang mereka lakukan. Begitu pula Wonwoo. Begitu pula Wonwoo yang terperanjat ketika menemukan genangan darah pada dan di sekitar Mingyu. Matanya spontan melebar bersamaan dengan napasnya yang memberat, bahkan semakin sulit dibandingkan dengan beberapa menit lalu ketika dia masih berlari kesetanan untuk mencari Mingyu di sini.

“Mingyu…,” ia bergumam seakan tengah berbicara dengan semilir angin. Remasan yang dia berikan pada ujung pakaiannya semakin erat.

Tetapi Mingyu dapat mendengar dia, menyadari keberadaannya ketika ia mengintip hingga netra mereka bertemu. Di mata Wonwoo itu hanya ada kekosongan.

“Wonw— L-lari….”

Namun dia tidak bisa. Dia tidak mau. Oh, andai saja dia memiliki kekuatan besar sebagaimana demigod lainnya, mungkin dia bisa membantu Mingyu melawan babi hutan itu. Dia bisa mengusirnya pergi, memastikan bahwa hewan itu tidak akan pernah kembali. Andai saja Wonwoo memiliki lebih banyak waktu untuk mengatakan kepada Mingyu bahwa dia mencintainya dan dia membutuhkan Mingyu untuk tetap di sisinya.

Tetapi dia tidak bisa. Wonwoo bahkan tidak tahu mengapa dia berada di sini ketika dia sendiri tidak mampu melakukan apa pun selain melihat Mingyu mati di hadapannya.

Wonwoo menggelengkan kepalanya cepat, seakan dengan itu, Mingyu tahu bahwa dia tidak akan meninggalkannya sendirian. Dan meski Wonwoo paham betul jika Mingyu tidak pernah suka untuk dibantu, untuk kali ini saja, Wonwoo tidak peduli.

“Lari….”

“Tidak!”

Dia bisa merasakan air yang mengalir di pipinya bersamaan dengan dadanya yang kian memberat, seakan ribuan pukulan semu tengah meninjunya tanpa ampun. Seberat-beratnya perasaan Wonwoo yang tidak sampai hati untuk melihat Mingyu dikoyak oleh tanduk babi hutan dengan liarnya, hatinya itu jauh lebih tidak bisa lagi jika harus membayangkan hidup tanpa ada Mingyu di dalamnya. Maka, Wonwoo memaksa dirinya untuk melangkah, mendekati Mingyu tanpa tameng apa pun di tangannya, hanya dengan kekuatan lembut sebagaimana Anak Aphrodite lainnya. Namun, ingatan-ingatan di belakang kepalanya terus meneriakan bahwa cinta adalah senjata terkuat di muka bumi, yang mampu mengendalikan emosi setiap jiwa semudah mereka bernapas. Dan mungkin, mereka semua benar, sebab dengan jaraknya yang semakin tipis ini, sang babi hutan mulai menggeram dan melempar tubuh Mingyu ke arah pohon di belakangnya.

“Mingyu!” Dia berteriak, mempercepat langkahnya menuju Mingyu sampai-sampai dia tidak menyadari banyaknya kembang dan ranting yang ia injak. Meninggalkan tetes-tetes darah di kakinya, dedaunan hijau dari pohon yang meranggas, dan kelopak putih yang berubah warna menjadi merah.

Dan Wonwoo berlutut, membawa Mingyu ke dalam pelukannya seakan hidupnya bergantung pada itu.

“Jangan tinggalkan aku.”

“Aku— minta maaf….”

“Jangan! Aku mohon, aku butuh kamu di sini, Mingyu. Di sini, denganku.”

Tangannya bergerak untuk mengelus pipi Mingyu, mengalirkan hangat yang menyebar lewat sentuhan jarinya. Wonwoo ingin Mingyu untuk tetap hidup.

“Kamu hangat.”

Wonwoo berusaha sebisa mungkin untuk membentuk senyum, “salah satu anak Hephaestus pernah berkata bahwa panas adalah sumber kehidupan.”

“Namun… bisakah itu mempertahankan kehidupan?”

“Aku yakin itu,” ada pahit dari pangkal yang merayap menuju ujung lidahnya. “Kita harus mencobanya.”

Wonwoo tidak peduli jika nantinya, dia tidak mampu menghapus noda darah Mingyu dari pakaian putihnya karena itu tidak lagi penting. Dia bawa Mingyu untuk makin mendekat, berhati-hati agar tidak menyentuh luka yang ada di tubuhnya. Genggaman —pelukan Wonwoo cukup erat, kulitnya dapat merasakan napas halus Mingyu.

“Wonwoo,”

“Iya?”

Tubuhnya dia tegakkan sebelum menyelusup masuk dan menenggelamkan diri pada netra Mingyu. Dia kehilangan kilaunya, digantikan dengan tatapan yang sukar untuk Wonwoo deskripsikan. Sedih, pasrah, nyaman, hingga desperasi. Tetapi, yang menjadikan dadanya semakin sesak adalah bagaimana di ujung ajalnya, Mingyu tetap menjadi manusia terindah yang pernah Wonwoo tahu.

“Aku seharusny— menyatakan cintaku dengan cara yang benar, te-tetapi aku tidak punya waktu lagi….”

“Mingyu,”

“Kamu cantik.”

Napas Wonwoo tercekat di tenggorokan.

“Namun, aku mencintaimu lebih… lebih dari itu. Lebih dari wajah cantikmu.”

Dia langsung menarik Mingyu ke dalam ciuman yang begitu lembut, seakan dengan itu, sakit yang tengah ia rasakan dapat hilang hanya dengan satu ciuman cinta sejati. Sentuhan suci antara dua jiwa yang tengah meluapkan emosi yang meraka butuh untuk bagi.

Ketika pagutannya terlepas, jemari Wonwoo mulai bergerak untuk menyingkirkan surai yang menutupi dahi Mingyu.

“Aku juga selalu mencintaimu, dari dulu hingga detik ini.”

Wonwoo menyadari bagaimana napas Mingyu semakin memberat. Namun, manusia itu masih memaksakan dirinya untuk tersenyum, mengangkat tangan, dan berusaha mengelus pipi Wonwoo dengan susah payah.

“Aku… aku akan selalu memilihmu, lagi dan lagi. Di mana pun itu, kapan pun itu.”

Dulu, ketika ia hanya memiliki rumah ayahnya sebagai satu-satunya tempat yang dapat ia sebut sebagai rumah, ada saat di mana tetangga mereka yang telah berumur senja meninggal dunia di dalam pelukan anak mereka dengan cara yang paling damai. Wonwoo ingat bagaimana perasaannya saat itu, manis dan pahit yang ia rasakan, tragis namun begitu cantik di saat yang sama untuk mereka tetap mencari kehangatan pada dekapan anaknya bahkan ketika ingin mengembuskan napas terakhirnya. Hanya saja, tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa suatu hari nanti, dia lah yang akan memberikan satu pelukan terakhir itu kepada seseorang, terlebih lagi seseorang yang paling dia cinta, paling dia sayang.

Mingyu tidak lagi membuka matanya lagi setelah beberapa detik hingga menit kemudian. Tidak ada lagi hangat yang tubuhnya miliki sebagaimana mestinya, digantikan dengan kaku dan dingin yang menyapa kulit Wonwoo dengan cara yang paling membuat hatinya hancur sehancur-hancurnya.

Mingyu tengah di sini bersamanya, namun di saat yang sama, ia telah meninggalkan Wonwoo sebatang kara pada kegelapan hutan yang temaram. Dia biarkan Wonwoo untuk tersesat di dalamnya, berteriak meminta bantuan pada angin yang berembus, dan hancur tanpa siapa pun untuk membantunya bangkit.

Wonwoo tetap di sana hingga matahari menenggelamkan diri, digantikan oleh gemerlap bintang dan rembulan di atasnya. Dan meski sinarnya berusaha memberikan pelukan hangat nan damai, Wonwoo tidak mampu merasakan apa pun selain dinginnya tubuh Mingyu yang masih dalam dekapannya.

Bahkan setelah satu dua anemon merah mulai mekar di tubuh kesayangannya, Wonwoo menolak untuk meninggalkan hutan belantara.

pov: the day is getting closer, and so does both of you.

rated: general. a bit sad. confused about feelings.

If there are lists about the most complicated things in the world, both brain and heart might come on top of the list. Mereka itu yang paling sering menimbulkan konflik atas perdebatan demi empunya mereka yang padahal sama orangnya, seakan tidak mau kalah satu sama lain. Ketika otak merasa benar, maka hati akan merasa bahwa hal tersebut terlalu kaku, bahkan terlalu bengis dan menunjukkan sifat manusia yang seharusnya penuh simpati. Namun di kondisi yang berbeda 180 derajat, otak akan menuduh hati adalah yang paling bodoh perangainya, tidak masuk akal, dan hanya bisa mengacau.

Yang paling muak tentu empunya.

Dua minggu pertama adalah yang terburuk. Wonwoo merasa bahwa hati lebih unggul ketimbang akal dan pikirannya di saat-saat itu, dapat dilihat dari bagaimana moodnya yang lebih berantakan dengan konsentrasi yang lebih cepat buyar hanya karena getar notifikasi, berharap bahwa itu dari seseorang yang dia harapkan. Di saat-saat begitu, otaknya akan mencoba menetralisir, menghardik dirinya sendiri dan berusaha menyadarkan dia bahwa tidak seharusnya Wonwoo terlalu membawa-bawa perasaan secepat ini.

Sejak awal, perjanjian mereka adalah membagi ruang apartemen yang Wonwoo tempati ini. Mingyu itu hanya menumpang, dia terima atas dasar menguntungkan Wonwoo dalam hal meringankan pembayaran cicilan. Mingyu dan segudang kata manisnya itu tidak seharusnya dia pikirkan sebegininya, toh orangnya saja menganggap ini semua tidak lebih dari sekadar pendekatan dengan calon roommatenya sebulan ke depan (dan masih dua minggu lagi).

Tetapi, konversasi yang dilontarkan otak memang selalu terlihat mudah, sementara hati akan jadi yang susah payah untuk mewujudkan segalanya. Beberapa hari sebelum pertemuan pertama mereka sudah berlalu selama dua minggu tepat, Wonwoo meminta username Instagram Mingyu kepada orangnya dan langsung diberikan dengan mudahnya. Siapa pula yang tahu kalau kombinasi huruf itu akan menjadi hal jari-jari Wonwoo hafal lebih dibanding passwordnya sendiri, hingga ia mampu mengetiknya dengan ringan setiap kali dia ingin. Kadang sekadar mengecek jika Mingyu mengunggah Instastory baru yang tidak terlihat di timelinenya, saat-saat lainnya adalah menggulirkan jarinya untuk melihat-lihat highlight dan foto lama. Untuk aksi yang jelas membawa penyakit hati, hal tersebut memperburuk kondisinya.

“Gue tau kalau dia sempet deket sama beberapa orang, tapi enggak tau kalau ada yang sampai pacaran.”

“Emang dulu enggak pernah ngomongin, Dok?”

“Dia enggak pernah cerita hal-hal begituan, Won. Kalau ditanya, kalau enggak salah nih ya, paling cuma ketawa-ketawa aja.”

Hal-hal seperti ini sudah seharusnya membuat Wonwoo mundur dan menghilang di balik tembok. Memang ada kalanya orang-orang misterius ini justru menarik untuk diajak berkenalan, seperti ditantang untuk memecahkan misteri hingga memenangkan hati. Tetapi, ada kalanya pula bahwa misteri itu sudah seharusnya ditutup rapat dan tidak terjamah, setidaknya untuk Wonwoo yang tidak pernah punya keinginan untuk menjadi pahlawan kesiangan dan keyakinan untuk memperbaiki orang lain (jikalau salah satu misterinya adalah hal-hal semacam ini) ketika dia sendiri punya banyak hal untuk dibenahi.

But this is Mingyu we are talking about.

Dua minggu terakhir sebelum kedatangan Mingyu, perasaannya sudah lebih stabil. Mungkin karena sibuknya dia dengan pekerjaan di kantor yang entah mengapa pula, mendadak banyak dengan target-target setinggi langit yang perlu usaha kerasnya. Frekuensi mengobrol dengan Mingyu juga berubah jadi begitu-begitu saja, bahkan sudah hampir seharian penuh mereka tidak bertukar pesan. Pesannya relatif singkat dan hanya tanya-jawab soal hal-hal yang perlu saja, seperti barang-barang apa saja yang sekiranya tidak perlu Mingyu bawa karena sudah Wonwoo miliki.

Won, mau oleh-oleh apa?

Tulis Mingyu di suatu hari. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Wonwoo menerima pesan itu.

I don’t expect anything, so it’s up to you.

Mingyu langsung membalas.

Anything?

Namun, jari-jarinya Wonwoo itu kadang kali masih suka nakal untuk tetap menjaga hubungan mereka sebagaimana hari-hari awalnya.

Maybe I want something, and it’s called You.

Karena jujur saja, ini menyenangkan.

Tetapi manusia punya batasnya masing-masing tentang limit mereka soal hati dan emosi lainnya. Segala tentang preferensi juga termasuk di dalam sini. Kesukaan kita mengenai gaya pendekatan yang baik dan benar. Tempat seperti apa yang seharusnya menjadi destinasi di kencan pertama beserta siapa yang harus membayar. Boundaries apa saja yang tidak bisa diterobos begitu saja ketika hati masih bimbang antara suka dengan orangnya atau dengan situasinya saja.

Itu menjadikan mereka hipokrit di saat-saat tertentu, seakan mereka egois karena sudah semena-mena turut mempermainkan hati orang tetapi enggan untuk diperlakukan sama. Tetapi kalau sudah begitu, yang bisa dilakukan apa lagi selain meminta jeda hingga berhenti?

Masih jam sembilan waktu Indonesia barat ketika Mingyu mengirimkannya pesan. Beberapa menit kemudian, mereka habiskan waktu lewat sambungan telepon.

“Sama siapa minumnya?”

“Sendiri.”

“Baliknya gimana?”

“Deket kok sama mansion.”

Tidak banyak obrolan yang mereka lakukan saat itu, hanya ada suara-suara latar yang memecah hening. Lagi-lagi, waktu berjalan lambat dengan sambungan telepon ini sebagai porosnya.

“Gue enggak punya roommate di sini.”

“Padahal lo lebih suka punya roommate?”

“Mungkin.”

“Kenapa enggak nyari?”

Ada jeda beberapa saat sebelum Mingyu kembali menjawab.

“Gue bisa aja punya ada temen sekamar di sini, tapi kalau di Indo enggak bisa.”

Dahinya langsung dibuat mengerut, “gue boleh tau kenapa?”

“Kalau di Indo suka kebayang, terus jadi kangen, sama takut, nyampur semuanya.”

“Kebayang apa?”

“Ada deh.”

Lalu diam lagi. Meski Wonwoo bisa mendengar suara gesekan antara gelas dengan meja dari seberang sana, dia tidak ingin memulai pembicaraan lagi. Dia gigit bibir bawahnya, bersamaan dengan perasaan tidak nyaman yang sedikit demi sedikit dia rasakan.

“Tapi sekarang gue udah enggak takut-takut banget.”

Hening dan hening.

“Soalnya sekarang ada lo.”

Wonwoo tidak menjawab. Di satu waktu yang sama, otak dan hatinya sama-sama merutuki Mingyu yang berbicara dengan asalnya, meski dia memang tidak tahu menahu soal apa yang Wonwoo rasakan selama beberapa minggu ini. Haruskah dia senang karena merasa eksistensinya dihargai? Atau perlukah dia marah karena Mingyu yang mengucapkan kalimat dengan asalnya seakan dia hampir mampu menggantikan orang yang pernah (atau masih) Mingyu sayang itu?

“Minggu depan ya, jam 4.”

“Iya, Mingyu.”

“Boleh minta jemput enggak, Won?”

“Biar enggak perlu naik kereta bandara?”

“Emang enggak kangen sama gue?”

“Jangan lebay.” Ujar Wonwoo, ada tawa yang menyelinap keluar dari mulutnya.

“Lebay gimana tuh?”

“Baru tiga minggu,” jawab dia lagi. “Besides, gue enggak kangen ke sembarang orang.”

“Berarti cuma gue nih yang kangen?”

Kemudian ada kekehan lagi. Tetapi, Mingyu tidak perlu tahu jika itu bercampur dengan perasaan getir.

“Lo… emang gampang kangen orang kali?”

“Mungkin,”

Satu detik.

Tiga detik.

Lima detik.

“Mingyu—“

“Tapi kalau udah ngomong gini, berarti udah serius.”

Tidak adil rasanya kalau dia harus jadi satu-satunya yang merasa terombang-ambing tanpa tahu bagaimana logika laki-laki itu bekerja. Segala yang awalnya menyenangkan perlahan menjadi momok yang menakutkan, menekan ulu hatinya.

“Gyu, gue mau siap-siap tidur.”

“Wonwoo udah mau tidur?”

“I will talk to you later.”

pov: you trapped yourself in his hotel room

rated: T. kisses and such.

“And?”

“There is no ‘and’, the story ends there.”

“Klimaksnya belum ada, Mingyu.”

“Enggak semua cerita ada klimaksnya, Wonwoo.”

Mingyu baru melepas kaosnya ketika Wonwoo masih ingin mengajukan protes. Langsung mengurungkan niat ketika satu-satunya orang yang telanjang di ruangan itu menatap dia dengan senyum di bibirnya.

“Nanti kapan-kapan gue cerita lagi yang lebih seru.”

“Kenapa enggak sekarang? We still have time, lo juga baru pakai baju.”

“So you have something to look forward to,” jawabnya asal. “Biar nungguin gue balik ke Indo.”

“Lo nginep di apart gue, Mingyu, of course gue tungguin.”

Merangkak di atas kasur kamar hotel, Wonwoo mendekatkan dirinya dengan Mingyu yang berkutat dengan handphone di tangan. Sudah ada sweater dan jeans, merasa kalau pakaian siang (sore) tadi harus ia ganti karena kurang hangat untuk perjalanannya nanti.

“Kalau enggak mau lanjut cerita, cepetan siap-siapnya. Pesawatnya enggak akan nungguin lo, dumbass.”

“Barusan gue transfer ya.”

Wonwoo langsung mengernyitkan dahi.

“Transfer… apa?”

“Sewa kamar apartemen lo, gue fix take.”

“After all the spicy things we did?”

“After the spicy thing.”

Dia masih dalam posisi tengkurapnya ketika Mingyu merunduk dan mengecup bibirnya.

“Emang kamarnya bakal kepakai? Gue curiga kalau lo malah tidur di kamar gue terus.”

“Rent is still rent, Wonwoo, regardless of the room where I sleep.” Jawab Mingyu lagi. Sudah ada koper yang tertutup rapi di sebelahnya, semua barang-barangnya itu sudah di dalam sana. “We need to pay the rent.”

“I need to, Mingyu, not you! Jangan ngaku-ngaku ya.”

“Bener dong, Wonwoo. It will be our home, walaupun masih nanti dan cuma sebulan.”

“Tetep atas nama gue, so it’s— eh, tadi lo sebutnya apa?”

Telepon yang berdering di kamar Mingyu adalah aktor bayarannya, menjadikan Wonwoo semakin mengernyit, terlebih ketika Mingyu hanya menjawabnya dengan senyuman sebelum mengangkat telepon reminder checkout di jam 12 siang ini.

Hari kedua. Hari ini itu baru hari kedua mereka bertemu satu sama lain, tetapi si Mingyu Mingyu ini sudah tidak terhitung berapa kali membuat Wonwoo harus menahan salah tingkahnya sendiri. Dan meskipun interpretasi yang dia miliki belum tentu sama dengan yang Mingyu punya, dalam hal apa pun itu, tetapi tetap sulit untuk berpikir rasional dan memaksakan diri untuk menyanggah semua pikiran yang membuat emosinya bermain-main.

“Yuk, udah harus checkout.”

“Gyu,”

Ketika ia mendongak, sudah ada Mingyu yang memiringkan kepala, menagih lanjutan kalimatnya.

“Lo… beneran enggak punya pacar, kan?”

pov: you got this smexy guy as your roommate

rated: M, no minors allowed. pet names. protected sex. impulsively tolol sedikit.

“Welcome to my house, maaf kalau agak berantakan.”

First impression yang Wonwoo dapat dari laki-laki di depannya itu adalah menarik, dalam segi apa pun. Pertama, rupanya sama dengan apa yang ia lihat di foto, sama-sama seperti model, ditambah dengan tingginya yang beberapa centi lebih tinggi dibanding Wonwoo. Bisa dibilang, itu adalah hal yang paling membuatnya mengernyit, mengingat dia tidak begitu sering menemukan orang dengan tinggi yang melebihi dirinya. Kemudian, tata kramanya bagus, bukan tipe orang yang tidak mengindahkan moral dan semena-mena di tempat orang lain. Faktor terakhir yang menjadi penilaiannya adalah sponge cake yang kini tengah Wonwoo potong.

“Lo tau dari mana kalau gue suka sponge cake pandannya Holland Bakery?”

Mingyu yang tengah duduk di atas sofa ruang tengahnya itu langsung menoleh, membuat kontak mata dengan dia.

“Wild guessing?” Ujarnya sebelum tersenyum lebih lebar lagi. “Bolu favorit gue juga.”

See? Tata kramanya bagus.

Setelah memotong dan meletakkan beberapa di atas piring untuk disuguhkan kepada Mingyu sebagai tamu, Wonwoo ikut mendudukkan dirinya di atas sofa.

Apartemennya ini sama sekali tidak besar, ukuran yang masih layak huni untuk dua hingga tiga orang, meski saat ini dia masih menempatinya seorang diri. Ada dua kamar tidur dengan satu kamar mandi luar, ruang tamu yang hanya mampu memuat satu sofa dan dua tempat duduk kecil yang dia beli di IKEA, juga dapur yang… cukup, setidaknya untuk Wonwoo yang masakannya tidak jauh dari makanan asal cemplung dan asal tumis. Cicilannya juga masih berlanjut hingga beberapa (puluhan) tahun ke depan, salah satu alasan mengapa ia langsung mengajukan kamar kosong di apartemennya ketika Dokyeom bertanya mengenai kos dan apartemen di dekat tempat tinggalnya.

“So… kenapa lo akhirnya milih, mempertimbangkan, apartemen gue dibanding kos atau apartemen lainnya?”

Dia bisa lihat bibir Mingyu yang sedikit mengerucut dan tatapannya yang mengarah ke entah mana untuk beberapa saat sebelum kembali pada ekspresi normalnya lagi. Kedua tangannya itu bertaut dengan satu sama lain di atas kedua paha.

“First, dengan jarak sedeket itu sama kantor gue dan kondisinya, jelas jauh lebih murah dibanding kalau gue sewa sendiri.”

“You’re just like us.”

“Semua manusia mau yang menguntungkan, Wonwoo, dan itu jadi alasan kedua gue. I prefer to have a roommate dan temen gue kenal lo, so I think it's safe. Then why not?”

“Biar bisa ngurus rumahnya bareng-bareng?”

Itu langsung mengundang tawa dari Mingyu, “iya, biar bisa bagi tugas. Gue juga lebih merasa aman kalau punya roommate.”

Dari beberapa pertanyaan yang sudah dia ajukan, Wonwoo bisa mengambil kesimpulan jika Mingyu lebih baik dibanding apa yang dia ekspektasikan. Dokyeom tidak berbohong ketika dia bilang, Mingyu adalah perwujudan dari teman yang banyak orang inginkan. Meski obrolan kecil ini tidak mungkin pula menunjukkan hal-hal yang mungkin dapat mengusiknya atau sifat-sifat yang membuatnya mengernyit sedikit ketika Dokyeom menceritakan beberapa, tetapi sejauh ini, Wonwoo tidak memiliki alasan untuk menolak Mingyu di apartemennya.

Lagi pula, laki-laki ini hanya akan menetap selama satu bulan. Dia akan menghilang lagi sebelum Wonwoo belajar banyak tentang dirinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, terlebih ketika mereka berkenalan lewat mutual friends, bukan sekadar orang asing di internet.

“Lo sendiri gimana? Kenapa mau nampung gue?”

“Karena lo temen Dokyeom.”

“And you decided to be a saint and help a homeless guy?”

“God, if you say it like that–” Dia langsung menempelkan kedua tangannya pada kedua pipi, menahan senyumnya sendiri untuk melebar. “Because I need to pay the installment too and you are going to help me.”

“Lebih masuk akal.”

“Tapi, kalau lo bukan temennya temen gue, I prefer to work my ass off and eat Indomie or chicken nuggets for a week straight than have a roommate.” Jelas Wonwoo lagi.

“Enggak safe juga.”

“And I can’t stand new people in my living space.”

Dahi Mingyu spontan mengernyit.

“Tapi kita baru kenalan juga, Wonwoo.”

“You’re a friend in law, Mingyu, it’s different.”

Hal lainnya yang membuat Wonwoo menjadi semakin yakin adalah karena di pertemuan pertama ini, Mingyu berhasil membuatnya menjadi orang yang paling banyak omong seakan mereka telah berteman selama bertahun-tahun. Mungkin karena gaya bicaranya yang menarik, mungkin pula karena pembawaannya, bisa juga karena dianya saja.

“Tell me about your favorite movie.”

Wonwoo langsung mengernyit meski bibirnya itu menyunggingkan senyum.

“Buat apa?”

“We’re going to be roommates, it’s better if we get to know each other.”

Of course it must be the reason, pertanyaan ringan sebagai perkenalan.

“More like series, but Sherlock and Brooklyn Nine-nine.”

“A fan of Sherlock?”

“Cuma suka, I don’t even read the books.”

“I see….”

“How about you then?” Tanya Wonwoo balik, membetulkan posisi duduknya hingga menghadap ke arah Mingyu sepenuhnya. Dia tumpukan kepalanya pada tangan yang menempel di punggung sofa. “What is your favorite movie?”

“Our Little Sister.”

“Our Little Sister… The Japanese movie one?”

“Iya, yang film Jepang.” Jawabnya, ada senyum yang berbarengan dengan anggukan kepala. Mungkin Wonwoo tidak akan mengatakan ini ke siapa pun, namun senyumnya itu agak menawan.

“Gue pikir, film favorit lo bakal lebih… keras dibanding itu.” Wonwoo terkekeh sebelum melanjutkan, “tapi memang enggak boleh berasumsi, my bad.”

“Emangnya gue lebih cocok suka film apa?”

“James Bond, perhaps?”

“On the contrary, I prefer Notting Hill.”

“You are interesting.”

“I will take that as a compliment, Wonwoo.”

Dan seakan pembahasan mengenai film belum cukup untuk mengenalkan mereka dengan satu sama lain, mereka bawa pembahasannya menjadi lebih luas lagi. Tentang musisi hingga makanan favorit, tentang pendidikan masing-masing, tentang preferensi ini dan itu yang menurut Mingyu, akan membantunya mengenal cara Wonwoo untuk hidup.

“Gue males aja kalau harus nyuci piring, Gyu, jadi biasanya gue tinggal dulu.”

“Justru jadi makin males bukan?”

“Gue sering baru nyuci piring jam dua pagi.”

“No, you’re insane!”

Mereka habiskan makan malam bersama di restoran franchise di dekat apartemen Wonwoo, sekaligus mengenalkan Mingyu dengan daerahnya beserta tempat-tempat andalannya jika membutuhkan sesuatu.

“Tapi di apartemen lo ada Farmer’s Market kan?”

“Iya, ada. Tapi di situ enggak ada odeng Lawson.”

“Adek gue suka ngomongin itu, tapi gue belom pernah coba.”

“Lo harus coba, Mingyu, I swear.”

Daerahnya ini memang cukup ramai, baik dengan penghuni yang menetap maupun restoran-restoran yang digandrungi anak muda dan orang-orang seusianya juga (mungkin). Dan meski tidak segemerlap di Senopati sana, masih ada banyak kendaraan yang berlalu-lalang ketika mereka kembali dari makan malamnya. Seperti sudah kebiasaannya, Wonwoo akan selalu berdiri di kanan jalan, menjadi yang lebih dekat dengan jalan raya. Tidak ada yang pernah protes dengan itu, mungkin tidak juga mengambil pusing tentang posisi jalan kaki yang mereka ambil. Tetapi untuk pertama kalinya sejak entah berapa tahun lamanya, tangannya itu ditarik untuk minggir, dipaksa untuk berjalan di sebelah kiri, seakan ditutupi bayangan.

“Kenapa?” Hanya itu yang bisa ia lontarkan.

Mingyu cuma melirik sekenanya, masih dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam kantong jeans. Tetapi, meski hanya ada penerangan dari restoran-restoran itu dan lampu penerangan di pinggir jalan, Wonwoo bisa melihat adanya senyum kecil di sana. Mungkin lebih seperti seringai, meski lebih terlihat lembut dibanding seduktif.

“Enggak kenapa-kenapa.”

“Enggak pernah ada yang nyuruh gue jalan di sebelah kiri gini, selain nyokap gue.”

Lalu kerutan di dahinya untuk beberapa saat sebelum dia mengangguk.

“Kalau sama gue, jalannya di kiri aja.”

“Emang kenapa?”

“Dunno,” yang kali ini baru terlihat seperti seringaian. “It just feels right.”

Jam di layar handphonenya menunjukkan pukul sembilan malam ketika mereka kembali masuk ke dalam apartemen Wonwoo, terangnya sinar yang berpendar dari gedung-gedung di seberang sana terlihat jelas dari pintu kaca yang menghubungkan ruangan ini dengan balkon.

Dari tempatnya berpijak, Mingyu diizinkan untuk melihat bagaimana Wonwoo bergerak sewajarnya orang yang tinggal sendirian di ruangan yang luasnya tidak lebih dari 70 meter persegi ini. Dia yang sibuk menutup pintu kaca tadi dengan gorden abu-abu yang hampir menyentuh lantai. Dia yang memasukkan air ke pemanas. Dia yang menyeduh teh yang kemudian dia bawa ke atas meja makan.

“Itu teh apa?” Tanya Mingyu kemudian.

“Black Tea biasa, tapi ada campuran rosebud, peach, dan bunganya yang gue lupa apa.”

Mingyu langsung mengangguk, tangannya masih bertumpu pada pahanya dengan tatapan yang tidak lepas dari Wonwoo.

“Nyokap gue juga suka minum teh tiap malem, tapi buat pencernaan.”

“Herbal gitu?”

“Kayaknya, adek gue yang biasa pesenin, karena gue enggak di rumah.”

Semua rentetan obrolan yang mereka lakukan itu membunuh waktu, obrolan paling menyenangkan yang Wonwoo punya selama beberapa waktu belakangan ketika hidupnya hanya berkutat dengan kerja, kerja, dan kerja. Tubuhnya itu sudah mulai lelah dan Wonwoo tahu betul akan fakta itu, jelas sekali ketika dia mendudukkan dirinya di sebelah Mingyu barusan, namun dia tidak ingin untuk mengakhiri malam ini dan mulai melakukan basa basi dengan Mingyu agar laki-laki itu meninggalkan rumahnya. Dia masih ingin malam ini berjalan lebih panjang lagi.

“Wonwoo, udah mau tidur ya?”

Tetapi Mingyu jelas menyadari itu. Mungkin karena sewajar-wajarnya jam orang bertamu adalah tidak menghalangi si pemilik rumah untuk beristirahat. Dan meski rasa-rasanya sedikit tidak mungkin bagi Wonwoo untuk terlelap di jam segini, dia tidak bisa bohong jika dapat merasakan tubuhnya yang meronta ingin segera direbahkan.

Hanya saja, Mingyu…. Haruskah ia meminta laki-laki ini untuk datang lagi besok?

“Kayaknya gue udah harus balik–”

“Can you… please come here again tomorrow?”

Mereka saling tatap, sama-sama mengerjap memandang satu sama lain. Wonwoo dengan segudang keberanian yang baru ia keluarkan secara impulsif dan Mingyu yang… Mingyu. Mungkin dia tengah mencerna, mungkin juga sedang menebak-nebak motif apa yang Wonwoo miliki, dan jika yang benar adalah yang kedua, maka Wonwoo sendiri pun tidak tahu jawabannya.

“I don’t mind, biar waktu pindah, udah enggak begitu kagok.” Jawab Mingyu kemudian, sewajar-wajarnya respons yang bisa Wonwoo pikirkan, kalau saja dia tidak melanjutkan kalimatnya. “But, is that it?”

Wonwoo spontan menggigit bagian dalam pipinya, menahan diri yang mulai sedikit salah tingkah. Tentu saja bukan hanya itu. Bagi seseorang yang membatasi orang untuk masuk ke dalam living spacenya, mengajak kenalan yang baru dia kenal tidak begitu lama jelas bukan hal yang lazim. Atas nama impulsif, atas nama egonya yang merasa ingin. Tetapi, mengapa harus merasa demikian?

“I had a nice time having a conversation with you.” Satu-satunya jawaban paling normal yang muncul di pikiran Wonwoo di saat-saat seperti ini, seformal-formalnya jawaban manusia ketika menjawab rejection letter dari HR setelah gagal melakukan interview.

Tetapi, netranya justru mengkhianati dia. Tatapannya justru mulai mengabsen setiap bagian dari wajah Mingyu, dari mata, hidung, hingga jatuh ke bibir sampai beberapa detik. Wonwoo langsung menggigit bibirnya sendiri.

“Me too, Wonwoo. I’m so glad I got to know you, maybe it’s kind of fate.” Ucapnya, membiarkan tangannya bergerak untuk menyentuh pipi Wonwoo, mengelusnya perlahan. “Thank you for having me, cutie.”

Entah kalimatnya punya power sebesar itu atau lelah tubuhnya menjadikan Wonwoo sinting. Suara Mingyu itu seakan berdesir di tubuhnya, turun hingga membangkitkan emosi, sampai-sampai dia kehilangan kontrolnya untuk sekadar menahan diri untuk memajukan wajah.

Wonwoo bisa merasakan hidung mereka yang bersentuhan, dia bisa merasakan pula napas Mingyu yang menyapu kulitnya. Lalu, ia edarkan pandangannya dari bibir menuju mata, berhadapan dengan dia yang sudah menatap Wonwoo terlebih dahulu. Tidak ada rasa di dalam matanya, menurutnya, dan itu menjadikan dia seribu kali lebih seksi dibanding saat ini, dibanding foto yang dia pajang sebagai identitas kontaknya.

Dan Mingyu tersenyum sebelum menutup jarak di tengah mereka.

Dari beberapa pengalaman yang dia punya, Wonwoo berpendapat bahwa ciuman pertama hanya di antara dua: lembut atau agresif. Yang lembut itu biasanya hanya berupa kecupan-kecupan kecil yang dalam beberapa saat kemudian, baru berkembang menjadi yang lebih bergairah lagi. Sementara yang agresif adalah yang terbutakan nafsu, dibarengi dengan tangan yang menggerayang ke entah mana semau insting mereka.

Wonwoo meletakkan ciuman Mingyu di tengah keduanya. Sentuhannya itu lembut, seakan dia meletakkan hatinya dalam setiap dorongan yang dia berikan pada bibir Wonwoo. Tetapi di saat yang sama, dia bisa merasakan emosi yang mendorong mereka untuk lebih dan lebih lagi, membakar dirinya.

Tidak ada tangan yang bergerak nakal, namun bibirnya tidak pula menunjukkan tabiat anak baik.

Ciumnya itu terus berlanjut, hanya ada beberapa kali jeda untuk mereka mengambil napas sebelum melanjutkannya lagi dan lagi. Sampai-sampai Wonwoo mengangkat tubuhnya untuk dia dudukkan di atas pangkuan Mingyu, tamunya itu lebih dari sekadar menerima dengan tangan terbuka.

“I don’t know if you like to move things so fast, kitty.”

“Kitty?”

“It suits you well.”

Mereka sama-sama memajukan wajah lagi, memagut bibir satu sama lain. Kalau teh yang dia seduh tiap malam itu punya zat adiktifnya sendiri, maka bibir Mingyu di mulutnya ini tidak jauh berbeda. Wonwoo biarkan lidahnya menyapu bibir bawah Mingyu, sebelum memberikan miliknya untuk dilumat lagi oleh Mingyu.

“Yang tadi enggak jadi, besok enggak usah balik kesini,” bibirnya mengerucut sedikit. “But don’t go, coba tidur di sini aja.”

Wonwoo bisa melihat senyum Mingyu yang mengembang, meski tatapan matanya jauh dari kata lembut, justru seperti menggoda.

“Barang-barang gue di kamar hotel, Wonwoo.”

“Besok bisa langsung pulang.”

“Gue juga enggak bawa baju ganti.”

“You can use mine,” ucapnya lagi. “Or… enggak perlu pakai baju, not in a sensual way.”

“Not in a sensual way, really?”

“I don’t know, Mingyu….”

Ciuman lainnya, kali ini sedikit lebih demanding bersamaan dengan Mingyu yang menggendong Wonwoo di pelukannya, membuat dia harus memeluk lehernya erat-erat agar tidak terjatuh.

Tidak terpikirkan oleh dia kalau ajakannya berakhir jadi seperti ini. Meski dia menyadari betul sejak kali pertama bahwa Mingyu semenarik itu, tetapi untuk bercinta di kali pertama pertemuan dengan dia adalah hal gila.

“Yang kanan… kamarnya….”

Ketika Mingyu meletakkan Wonwoo di atas sana, tubuhnya ikut menghambur di atas dia, mencumbunya lagi dan lagi. Tangannya baru bergerak nakal dan menyelusup masuk ke dalam kaos yang Wonwoo kenakan, mengelus kulitnya, menekan-nekan dadanya sebelum mencubit pelan putingnya.

“Gyu… calm down….”

“You teased me first, Wonwoo.”

“Mingyu….”

“We need condom.”

“Con… where—“

Bangkitnya dia dari posisinya tidak membuat Mingyu menghentikan aksinya, masih bersemangat untuk memberi tanda semu pada lehernya.

“Dapet!”

Jari Mingyu langsung mencuri itu dari tangannya.

Nafsu adalah penyihir yang paling sinting, karena dalam beberapa saat setelahnya, yang Wonwoo tahu adalah ibu jari Mingyu mulai bermain di bibir bawahnya, mengelus dan menariknya perlahan, lalu menyelusup masuk. Napasnya spontan memberat dengan mata yang kian gelap.

Celana mereka sama-sama sudah tanggal, Wonwoo bisa merasakan dinginnya AC di kulitnya. Namun di saat yang sama, dia bisa merasakan panas yang membara di dalam tubuhnya, membuat dia kehilangan kendali atas dirinya. Pergelangan tangan Mingyu langsung ia genggam erat, tidak diizinkan untuk lepas, justru digerakkan keluar dan masuk dari mulut Wonwoo. Kemudian tubuhnya jadi sasaran, jadi bulan-bulanan untuk kecup lainnya.

“You are so sexy like this, you know that?”

Oh, kalau pertemuan pertamanya sudah seperti ini, satu bulan nanti akan jadi masa-masa terberat dalam hidupnya.

More Than Love

to: dowajwosos. Reply 2018: Agit universe
pandemic life. fluff. how do i say it, but yea, patah tulang.

Di pertengahan tahun 2019, bisa dibilang, Wonwoo menjadi orang paling bahagia sekaligus paling patah hatinya. Untuk berhasil hidup di dalam mimpi banyak orang, masuk PTN lewat jalur SBMPTN, jelas adalah hal yang perlu dia syukuri dengan amat sangat. Meski pada bulan-bulan setelahnya, kebahagiaan itu langsung gugur dan digantikan oleh pusingnya tugas kuliah dan ospek yang mulai menggunung, bercampur dengan penyebab patah hati utamanya: berpisah dengan banyak orang yang dia sayang.

Buna menjadi orang nomor satu yang paling sering dia pikirkan dan menjadi penyebab dari mati-matiannya dia menahan tangis di malam-malam sendu. Kemudian Mingyu dan teman-teman gengnya yang saat itu selalu dia yakini menjadi orang-orang yang dia punya ketika belum menemukan teman yang klop di jurusannya.

“Kamu jangan sedih-sedih gitu dong, entar jadi pengen nyamper ke Nangor beneran.” Ujar Mingyu di suatu malam ketika mereka memutuskan untuk melakukan video call. Waktu itu, Zoom dan Google Meet belum seeksis itu.

Kemudian tahun 2020 ketika mereka, kita, bahkan satu negeri, dipaksa untuk pulang ke kampung halaman akibat pandemi. Agaknya membuat Wonwoo sedikit merasa bersalah karena pernah asal berdoa mengharapkan kampusnya berbaik hati memberikan hari libur tambahan untuk mahasiswa-mahasiswa mereka. Ya ampun, bukan liburan seperti itu yang dia inginkan!

“Kita enggak jadi LDR lagi tapi.”

“Jadi harus ngeliat kelakukan aneh-aneh kamu lagi deh.”

“Dih? Gitu-gitu, waktu itu ditelepon nangis.”

“Inggu, ih!”

Ketika PPKM masih ketat-ketatnya, frekuensi bertemu mereka juga tidak sesering itu. Katanya takut kalau mereka justru akan menjadi carrier untuk keluarga di rumah. Jadi, Mingyu akan muncul di depan apartemen Wonwoo dengan mobilnya seminggu sekali, sering kali sambil membawa Lucy yang ukurannya sudah lebih besar dibanding pahanya sendiri. Keliling Jakarta seakan bensin bukan masalah besar, seakan ingin membayar waktu-waktu mereka ketika Nangor–Jogja menjadi jarak yang begitu besar untuk mereka.

Biasanya mereka hanya akan drive thru McD atau KFC, menghabiskannya di area parkir sambil bercerita tentang apa saja yang ingin mereka ceritakan. Dari radio yang dinyalakan, ada lagu Rumah ke Rumahnya Hindia sedang terputar.

“Banyak ya mantannya si Hindia.” Ujar Mingyu sambil mencomot salah satu kentang di pangkuan Wonwoo.

“Kayak kamu tuh.”

“Dih, cemburu?”

“Ngapain banget cemburu sama ‘barisan para mantan’ kamu itu. Yang penting kan sekarang sama aku.”

Namun, kembalinya Mingyu juga berarti Wonwoo harus menghadapi segala hal aneh yang laki-laki itu lakukan. Pernah suatu malam ketika Mingyu memintanya untuk segera menjemputnya di lobby apartemen, membawa Lucy di tas punggung transparannya.

“Katanya kangen sama kamu nih dia.”

“Dianya apa kamunya…?”

“Aku sih.”

Lalu ada juga ketika Wonwoo menyaksikan sendiri bagaimana Mingyu dikeluarkan dari Zoom kelasnya sendiri karena tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan dari dosennya. Mengundang ngeri dan panik yang bahkan lebih besar dari Mingyunya sendiri.

“Kamu minta maaf gitu, enggak bisa?”

“Dikicknya buat pertemuan ini doang paling.”

“Kalau dia nandain kamu gimana?”

“Ya, gimana ya? Ngulang kali.”

“Mingyu, amit amit!”

Bentuk aneh-anehnya Mingyu juga datang dalam bentuk mimpi buruk yang tidak pernah Wonwoo harapkan akan terjadi. Yang paling tidak ia inginkan adalah melihat orang yang dia sayang untuk terluka, jadi hatinya itu serasa sehancur-hancurnya untuk melihat Mingyu yang hanya bisa berbaring di tempat tidur dengan gips di kaki kirinya. Kapas dan perban di kedua lututnya juga sama sekali tidak menjadikan keadaan membaik, justru lebih buruk lagi perasaannya.

Ditabrak ketika sedang menyeberang setelah memberi makan kucing liar, katanya, seakan dunia ini punya misi ketidakadilan untuk menghabisi orang baik.

“Maaf ya, enggak bisa dateng pas kamu masih di rumah sakit.” Ucap Wonwoo, matanya itu sedikit lebih berair dari yang seharusnya.

“Kenapa minta maaf coba? Yang penting kan sekarang udah liat.”

“Tapi kamu sakitnya bakal lama….”

Wonwoo langsung menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Punggungnya itu bergerak naik dan turun sedikit.

“Maaf… harus– harusnya aku enggak nangis di depan kamu… enggak mau bikin Inggu makin sedih….”

“Wonwoo, liat sini dulu dong….”

“Enggak mau.”

“Kenapa tuh?”

“Jelek.”

Dan Mingyu langsung tertawa, membawa tangannya untuk mengelus tangan Wonwoo, meremasnya perlahan.

“Mana ada kamu jelek? Liat sini dong, bentar aja.”

Dia tenggelamkan dirinya pada mata Wonwoo yang masih sedikit berair, berusaha menarik perhatiannya, berharap Wonwoo akan menemukan apa yang dia ingin sampaikan hanya lewat tatapan mata.

“Lama-lama jadi manja deh akunya kalau sama kamu, perhatian banget gini.”

“Enggak apa-apa dong kalau kamu manja-manja ke aku, kamu juga selalu gitu ke aku.”

Tetapi, manja-manjanya Mingyu itu jelas jauh berbeda dengan Wonwoo yang bentuk afeksinya lebih manis. Kalau sekarang Wonwoo sudah mampu untuk meminta Mingyu untuk membantunya mengerjakan ini dan itu (mengangkat paket lemari rakitan dari lobby ke kamar misal), menemaninya dalam berbagai okasi (menyervis laptop dan meminta Mingyu yang berbicara dengan teknisi) hingga meminta aksi tertentu (peluk sebagai kegiatan paling intim yang pernah Wonwoo pinta), maka Mingyu akan tetap jadi yang melebarkan kedua tangan tanpa keinginan besar untuk menghambur ke tubuh orang lain.

Wonwoo itu adalah wujud “aku mandiri, tapi kalau sama kamu, aku langsung enggak bisa apa-apa” sementara Mingyu adalah si sulung yang abadi. Meski Wonwoo kerap menanyakan hingga memaksa Mingyu untuk menginginkan sesuatu, laki-laki itu hanya akan menggenggam tangannya, memintanya untuk sekadar berada di sisinya.

“Kamu minta sesuatu yang ribet dong, Mingyu….”

“Kan udah minta tolong ambilin minum sama roti tadi.”

“Itu gampang banget, maksud aku tuh–”

“Emang kalau aku minta tolong buat mandi, kamu beneran mau mandiin aku?”

“Inggu ngeres!”

Jadi, dia hanya melakukan apa yang laki-laki itu ingin, untuk berada di sisi dia, secara fisik maupun sekadar presensi di ruang chat. Mendengar keluhannya, ceritanya, segalanya yang muncul di pikiran Mingyu yang dia bagi dengan Wonwoo..

“Bosen banget, sumpah.”

Siang itu, mama Mingyu sedang belanja bulanan dengan Yuvin dan papanya yang tentunya masih berada di kantor, meninggalkan mereka berdua di rumah ini. Ada Daniel dan Lucy yang sesekali bersandar ke kaki Wonwoo, berusaha mencari perhatian empunya, mencurinya dari Mingyu.

“Cepet sembuh makanya, Inggu.”

“Kalau bisa request fast track mah udah aku lakuin, Won.” Jawab Mingyu, melempar kepalanya ke belakang hingga bertemu dengan punggung sofa. “Kangan anak-anak di Bloom banget.”

“They must be missing you too.”

“Yang bayi husky waktu itu anteng banget deh sama aku. Sayang banget pas hari terakhir di Bloom, akunya malah patah tulang.”

Dan dia paham sepenuhnya bahwa Mingyu tengah mengomel, merasa frustrasi dengan kesialan yang harus ia hadapi. Jadi Wonwoo hanya mendengarkan, sesekali mengelus tangannya, membentuk kotak, lingkaran, hingga bintang dengan jarinya.

Lalu matanya itu menangkap keberadaan spidol di atas meja, tergeletak di sebelah vas bunga kecil yang memancing idenya.

“Inggu sebentar, aku mau iseng.”

Wonwoo raih spidol itu, kemudian memajukan badan, dan mulai mencorat-coret perban yang membalut gips di kakinya. Dia tuliskan namanya sendiri, lalu nama Mingyu, lalu menyatukannya di dalam sebuah hati layaknya surat cinta khas anak SD. Menuliskan harapan ini dan itu, agar Mingyu cepat pulih hingga selalu dilancarkan kuliahnya. Menggambarkan hati kecil-kecil untuk menutupi bagian yang masih kosong, perwujudan cintanya.

“Banyak bener tuh hatinya, cinta banget apa gimana?”

Lalu dia berhenti secara tiba-tiba, menatapnya dengan mata yang sedikit melebar.

“Eh, boleh kan?”

“Boleh cinta sama aku?”

“Bukan itunya, boleh coret-coret kan?”

Mingyu langsung tertawa dibuatnya, “kamu udah nyoret-nyoret, malah baru nanya.”

“Aku baru inget, takutnya kamu enggak mau….”

Kemudian elusan di atas kepala, “bebas, ganteng. Kamu mau ngapain aja juga aku gapapa.”

“Kalau aku balik ke Nangor lagi, emangnya kamu enggak apa-apa juga?”

“Ya, gapapa sih, tapi aku ikut.”

“Kalau kuliah kita masih online, mungkin bisa.” Bibir Wonwoo tertarik ke atas sedikit, membentuk senyum.

Yang perlu dia syukuri di tengah keadaan yang memprihatinkan ini adalah eksistensi Mingyu yang seakan menjadikannya lebih baik. Selalu ada Mingyu yang meyakinkan dia acap kali Wonwoo mulai merasa khawatir, bersedia mendengarkan, dan memberikan saran kecil-kecilan jika diminta. Mingyunya selalu di sana dan Wonwoo merasa bahwa itu adalah segalanya.

Hal lainnya yang membuat hatinya penuh adalah bagaimana masih selalu ada yang membara tiap kali netra mereka bertemu. Masih kencang sekali debar jantungnya, isi hatinya hanya cinta. Kalau kata orang, tahun kedua dan ketiga pacaran akan menjadi tahun-tahun yang mulai berat, Wonwoo berlega hati karena masalah mereka itu tidak semenyeramkan yang suka dia temukan di internet. Meski tidak ada yang pernah tahu bagaimana masa depan akan memperlakukan mereka, namun dia ingin percaya dengan Mingyu, dengan dirinya sendiri, dengan dunia yang tidak akan sejahat itu bagi mereka yang tidak angkuh.

“Wonwoo, kaki aku jangan diteken gini, Wonwoo.”

Pikirannya itu langsung kabur bersamaan dengan dia yang menarik tubuhnya panik.

“Mingyu, sorry!”

Tawa Mingyu langsung pecah. “Mikirin apaan sih lagian? Ngeliatin akunya gitu amat.”

“Gitu amat gimana…?”

“Mau jujur apa bohong?”

“Jujur dong!”

“Kayak… perhatian banget. Penuh cinta gitu lah.”

Jawaban Mingyu sendiri sudah cukup untuk membuat Wonwoo semakin menguatkan kepalan tangannya sambil membuang muka, takut-takut kalau hangat di wajahnya ini benar-benar menunjukkan rona merah. Namun bagaimana telinga Mingyu juga berubah menjadi merah padam justru menjadikan segalanya jadi lebih buruk lagi. Wonwoo tutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menyembunyikan ekspresi wajahnya, keinginannya untuk berteriak.

“Won,”

“Inggu, jangan ngomong sama aku dulu.”

“Kuping kamu merah banget itu, Won.”

“Kamu ngaca aja!” Sergahnya, menarik tangannya dari muka dan menunjukkan ekspresi sebalnya. Bibirnya sedikit cemberut dengan alis yang beradu. “Kamu lebih merah lagi.”

Namun bibir itu justru menjadi bulan-bulanan bagi Mingyu untuk mencapitnya dengan kedua jarinya, menariknya pelan hingga Wonwoo semakin memerah lagi dan sebal di saat yang sama, meski Mingyu yakin itu hanya untuk menutupi malunya dia.

Kalau sudah seterbakar ini, mengapa tidak sekalian dikobarkan saja? Tanpa aba-aba, Mingyu majukan tubuhnya untuk mencuri kecup dari bibir itu. Dia buat wajah mereka sama-sama lebih panas lagi.

“Jangan cemberut dong, ganteng.”

“Jangan… jangan panggil-panggil aku….”

“Lucu banget dah kamu, aku cium lagi ya?”

“Ih!” Tangannya langsung bergerak mendorong bibir Mingyu untuk menjauh dari dekatnya. Tatapannya masih bergerak canggung, bibirnya dia gigit dengan tangan lainnya yang berusaha menutupinya. Mingyu pikir, tidak ada yang lebih menggemaskan dibanding itu. “Jangan… jangan aneh-aneh.”

“Kenapa emang? Malu ya?”

“Menurut kamu aja, kamu kan pasti juga ngerasain.”

Mungkin satu-satunya yang akan Mingyu tolak jika Wonwoo dan siapa pun mau adalah mengambil Wonwoo darinya, memisahkan mereka. Kalau cuma begini saja Mingyu serasa dibuat jatuh dan tenggelam, dia akan melakukan segalanya untuk menjaga bahagianya, memastikan bahwa pelukis di atas perbannya itu selalu ada di sisinya.

“Won,”

“Hmm?”

Mingyu langsung menyandarkan tubuhnya ke arah Wonwoo, menumpukan dirinya pada lengan dan bahu Wonwoo.

“Minjem bentar ya.”

Dan Wonwoo jauh lebih dari sekadar membiarkan. Dia sandarkan kepalanya balik, menyelipkan tangannya di sela-sela jari Mingyu, mencari hangatnya, memenuhi hatinya. Apa tadi kata Mingyu? Jumlah hati di perbannya menunjukkan cintanya? Omong kosong. Seperti bintang di langit yang luas, perasaannya itu jauh lebih besar dari sekadar hamparan hati yang dia bubuhkan di sana.

Televisi yang menyala di depan sana hanya sekadar menjadi pajangan, begitu pula dengan keberadaan Daniel dan Lucy yang mendekat tidak membuat baik Mingyu maupun Wonwoo menarik sandarannya.

Dunia ini isinya hanya mereka.

FIN

love language code: physical touch

1.7k words. minwon. fluff.

Hari normal bagi Wonwoo adalah ketika dia menghabiskan hampir setengah jam hanya untuk stuck di jalan yang sama tanpa adanya pergerakan dari kendaraan umum yang tengah dia naiki. Perempatan tanpa keberadaan lampu lalu lintas yang jelas memang adalah musuh dari semua pengguna jalan dan bisingnya suara klakson sudah di tahap terlalu familiar untuk didengar. Hari normal Wonwoo juga datang berupa tidak adanya tempat duduk untuk sekadar mengistirahatkan tubuh, lebih memilih untuk berdiri di sisi pintu dan bersandar pada palang dan menyibukkan diri dengan gawainya.

Hari ini dia lalui dengan proses yang tidak berbeda, kecuali dengan keberadaan titik-titik air hujan yang membasahi sisi kaca Transjakarta. Mendungnya langit di luar sana agaknya membuat dia merengut di balik masker yang dia gunakan. Kalau hujannya awet dan merata, maka Wonwoo perlu berlari dari ujung jalan menuju kosnya dan punya peluang besar untuk masuk ke dalam kamarnya dengan keadaan basah seperti digerujuk. Kalau hari ini bisa lebih baik, maka langit malam Jakarta akan tetap menjadi langit malam yang kering kerontang tanpa satu pun bintang bersinar di atas sana.

“Tapi kan akhirnya dia baik sama kamu, pas banget hujannya abis kamu sampe.”

“Iya untungnya, tapi kita belum beli makan.”

“Masih ada nugget di kulkas kayaknya, yang.”

Hari normal lainnya adalah dengan memeluk Mingyu sesaat setelah laki-laki itu membukakan pintu dengan senyum lebar. Masih sama-sama mengenakan kemeja kantor, masih sama-sama punya raut lelah di wajahnya.

“Aku udah masak nasi, jadi kamu bagian nunggu aja.”

“Iya, ganteng.”

“Mau mandi duluan juga gapapa.”

“Mingyu, nanti keburu ada yang make dapurnya….”

Ada saat-saat di mana Wonwoo membiarkan pikirannya melalang buana, menebak-nebak apa yang akan terjadi kalau saja dia tidak punya Mingyu, tidak mengenal laki-laki itu seperti sekarang ini. Yang jelas, dia tidak akan tinggal di kos bagus yang tidak akan bisa dia bayar kalau saja tidak melakukan patungan dengan laki-laki itu. Tidak akan ada peluk dan cium yang dia terima setiap berangkat dan pulang kerja. Absennya manusia untuk dipeluk setiap malam mungkin juga menjadi salah satu poin yang paling menyedihkan pula.

Hidup mereka itu juga tidak semampu itu sebenarnya, hanya sekadar cukup. Tidak ada mobil seperti yang rekan-rekan kerja mereka kendarai tiap hari, hanya motor yang Mingyu kendarai setiap harinya dan kendaraan umum untuk Wonwoo pulang tiap sore sudah menjelang. Berita tentang kenaikan BBM itu tentu menjadikan Mingyu mendengus acap kali muncul di televisi dan agaknya membuat mereka sama-sama perlu menghitung ulang pengeluaran agar cukup ini dan itunya.

“Vape kamu tuh biasa dikurangin enggak sih, Gu?”

“Mau dikurangin gimana lagi sih, cil….”

“Apa stop langganan Netflix aja kali ya?”

“Jahat bener sama aku, buset deh.”

Mingyu baru kembali ketika magic jar sudah ke mode warm dengan delapan nugget di piring yang tengah dia pegang.

“Bener kamu, dapurnya dipake. Untung dia cuma goreng sosis doang.”

“Pas kok, nasinya juga baru mateng.”

“Kamu makan duluan aja ya, yang? Aku mandi dulu.” Ujar Mingyu lagi, meletakkan piringnya di atas meja kecil mereka setelah mendapati Wonwoo yang telah menggunakan kaos kebesarannya. Rambutnya masih basah dengan wajah yang seakan bercahaya.

“Aku nunggu aja.”

“Makan duluan aja, Wonwoo.”

“Pengen sambil nyender kayak kemarin.”

Sebagai yang sama-sama dimabuk cinta, Mingyu mengalah dan Wonwoo tetap pada pendiriannya. Menghabiskan waktu dengan bersandar pada kaki sofa sambil berselancar di internet, Wonwoo langsung tersenyum lagi ketika kamar mandi kembali terbuka dengan Mingyu keluar dari sana. Dia lebarkan tangannya, menyambut laki-laki itu untuk ikut dengan dia duduk di atas karpet dengan sepiring nasi dan nugget di hadapannya.

“Mau sekalian disuapin juga?” Tanya Mingyu ketika Wonwoo bergeser untuk duduk di tengah kakinya, ada piring yang dia tumpukan di atas lutut.

“Enggak, aku bisa makan sendiri.”

“Tapi aku jadi susah megang piringnya kalau gini, yang.”

“Tangan kamu ke bawah tangan aku gini, Gu, sebentar….”

Di masa sekarang, hal-hal semacam ini identik dengan sebutan budak cinta. Rela-relanya Mingyu disetir sedemikian rupa, untuk makan dengan posisi paling aneh sedunia demi mewujudkan keinginan sayangnya itu meski akhirnya Wonwoo menyerah, kembali berpindah untuk duduk di sebelah Mingyu.

“Nanti aja nyender ke kamunya, susah.”

“Dibilangin.” Tangannya bergerak, mengelus kepala Wonwoo dan turun menuju pipi. “Kalau nyender doang mah, nanti-nanti juga bisa.”

“Gu, lanjutin drama yang kemarin.”

Hal lucu lainnya adalah Wonwoo dan kontrasnya yang tidak sembarangan dia tunjukkan ke publik. Mingyu masih ingat betul suatu hari itu ketika dia menjemput Wonwoo dari acara farewell party salah satu rekan kerjanya untuk mendapati bagaimana laki-laki itu bersikap di publik. Membuat Mingyu jadi mengingat-ingat masa-masa lalu ketika dulu, Wonwoo juga bersikap sama formalnya kepada dia di hari itu. Wonwoo yang katanya reliable, Wonwoo yang katanya selalu sigap ketika siapa pun membutuhkan bantuan.

“Kok kalau sama aku, kamu enggak gitu sih, yang?”

“Aku suka gitu kalau kamu lagi manja.”

“Tapi tetep enggak pernah sewibawa itu.”

“Terus kamu maunya aku perlakuin kayak gimana, Kim Mingyu?”

Senyumnya di hari itu adalah bencana dan Mingyu serius ketika membuat janji dengan dirinya sendiri bahwa dia tidak akan bermain-main dengan Wonwoo lagi.

“Menurut kamu Big Mousenya siapa?”

“Fix No Park lah, obvious banget.”

“Kenapa enggak Jerry?”

“Karena enggak ada Tomnya?”

“Gu, aku nanya serius.”

Kemudian tawa, lalu kecupan di pipi dan elusan di pahanya. “Ngapain serius-serius amat sih, lagian?”

“Penasaran aja, anak-anak kantor juga pada nonton ini.”

“Hari ini mau nonton sampai episode berapa?”

“Emang kenapa?”

“Pengen ngajak kelon.”

Sedunia tentu tau apa yang akan Wonwoo pilih setelah laki-laki itu buru-buru turun lantai bawah untuk mencuci piring dan sendok agar bisa cepat-cepat berkumpul dengan Mingyu di atas kasur mereka itu. Dan kalau sudah begini, obrolan mereka langsung berubah kembali menjadi yang ringan-ringan, yang klise kalau orang di luar sana bilang. Jenis-jenis pertanyaan yang menurut sebagian kelompok masyarakat, sekadar basa basi yang tidak ada mutunya.

Tetapi baik Wonwoo dan Mingyu menganggap pertanyaan sesederhana menanyakan kabar dan apakah sudah makan sebagai pertanyaan wajib yang sewajarnya untuk ditanyakan di masa-masa sekarang ini ketika terkadang, kita itu dibuat lupa oleh dunia akan diri sendiri. Jadi, selalu mereka sisihkan beberapa menit untuk saling berbagi pengalaman di hari ini, entah ada yang menarik atau tidak, apapun emosinya.

“Hari ini ngapain aja, Gu?”

“Ada yang ulang tahun, terus kita patungan cake mentai gitu karena anaknya demen banget sama salmon mentai.”

“Tapi kamu juga suka kan?”

“Nah itu masalahnya, yang.” Mingyu membetulkan posisinya, semakin memiringkan badan dan mengeratkan pelukannya pada Wonwoo. “Hebohan aku dibanding yang ulang tahun, masa.”

“Karena kamu nambah terus?”

“Betul, abis enak banget.” Dia gesekkan kepalanya pelan dengan kepala Wonwoo. “Kamu gimana, yang? Di kantor lagi ada apa?”

Dia tidak langsung menjawab.

“Enggak ada apa-apa hari ini selain anak magang ketauan pakai tehnya anak IT buat dia. Sebenernya enggak sengaja sih, karena dia ngiranya emang itu buat semuanya.”

“Emang tehnya teh apa?”

“Yang merek Twinnings itu. Aku enggak ngerti teh, tapi tetep enggak sopan aja buat pakai punya orang tanpa izin.”

“Lagian kenapa teh begituan ditaro di pantry kantor deh? Eh, iya kan, ini di pantry kantor?”

Wonwoo mengangguk lagi, “katanya biar gampang kalau minta bikinin. Aku juga enggak ngerti, mending langsung beli jadi aja.”

“Itu sih kamunya aja males, cil.”

“Karena yang aku pengenin masih gampang dicari, jadi mending manfaatin yang udah ada aja, Mingyu. Enggak perlu ribet dan ngeribetin orang.”

“Eh tapi yang, kamu tau enggak, aku lagi pengen apa?”

Wonwoo angkat kepalanya sedikit, menyamakan pandangannya dengan Mingyu yang mencebik. “Mau apa?”

“Ciuman,” jawabnya spontan. “Tapi maunya sambil gigit-gigit dikit.”

Mingyu dan cara penyampaian keinginannya itu sering sekali membuat Wonwoo tertawa. Dibanding dia yang suka sulit menyampaikan apa yang dia inginkan dan berakhir dengan penggunaan kata-kata sulit yang dia temukan dari buku entah apa, Mingyu itu seperti anak kecil yang deskriptif, tidak punya banyak malu untuk menyampaikannya pula. Sesekali membuat Wonwoo merasakan hangat di pipinya karena keberhasilan laki-laki itu untuk menyampaikan apa yang dia ingin dengan cara paling frontal yang bisa Wonwoo bayangkan.

“Yang, boleh enggak?”

Dan Wonwoo memberikan kecup pertamanya di hari itu dengan senyum yang mekar di wajahnya.

“Boleh, Mingyu. Selalu boleh.”

Pernah merasakan bagaimana suatu hal terasa begitu normal untuk dilakukan? Sewajarnya hujan yang membasahi jendela luar kamar mereka. Sewajarnya asap yang mengepul dari nugget dan nasi yang tadi mereka makan. Ada perasaan yang sama ketika mereka membagi ciuman itu dengan mata yang sama-sama terkatup. Lengan Wonwoo yang berpindah untuk mengelus rahang Mingyu, membentuk lingkaran-lingkaran kecil di situ. Hingga laki-laki itu berpindah untuk duduk di pangkuannya, baru Mingyu mengalungkan lengannya pada leher Wonwoo, membawanya mendekat, melumat bibir bawahnya sebelum memberikan gigitan kecil di tiap incinya.

Dan mereka suka itu, mereka terbuai akan itu. Waktu itu adalah fana dan rasa-rasanya, ada keinginan untuk bertaut selama-lamanya. Bahkan setelah mereka memilih berhenti dan beralih untuk memberikan kecupan-kecupan kecil, yang baik Mingyu maupun Wonwoo rasakan adalah sebahagia-bahagianya orang yang tengah dimabuk cinta.

“I love you.” Ujar Mingyu di tengah kecupannya. Tatapannya masih rendah, mengarah tepat ke netra Wonwoo yang turut menatapnya.

“I love you more, Mingyu.”

“Gila deh kamu, sampe bikin aku sebegininya.”

“Kamu juga gitu,” Wonwoo kemudian bergerak maju, memiringkan kepalanya sedikit sembari melumat bibir Mingyu lagi. “Bikin aku gila banget. Aku nih diapain sih sama kamu, Gu?”

Bahkan ketika Wonwoo kembali berbaring di sampingnya dan menjadikan lengannya sebagai bantalan, masih ada banyak cinta yang mereka bagi. Sesekali Mingyu berikan kecup di dahi Wonwoo dengan dia yang memberikan cium di tahi lalat pipinya sebagai balasan. Membahas apa pun yang muncul di pikiran, tidak ada cara yang lebih menyenangkan untuk mendengar dan bertukar perspektif lebih dari ini.

“Letters to Vera masih sedih sih menurut aku.”

“Bagian yang ‘itu’ dari Pale Blue Dot juga masih sedih menurut aku.”

“Itu enggak ada sedih-sedihnya deh, Gu.”

“Sedih banget, yang. Bayangin deh, bumi yang kita pikir gede banget ini padahal cuma kayak titik. Tapi titik itu tempat kita tinggal, rumah kita, tempat kita usaha mati-matian demi ngewujudin cita-cita.”

Kalau tatapan yang Mingyu berikan itu tidak seperti anak anjing yang tengah patah hati, mungkin Wonwoo punya niat untuk menyanggahnya lagi. Justru, dia hanya tersenyum dan tertawa, mengecup bibirnya sekali lagi.

“Iya-iya, sedih.”

“It’s so small but so big.”

“Kayak kamu kalau lagi sedih-sedih kayak sekarang. Physically big, but so small in my eyes, like a puppy.”

Hujan di luar sana itu masih gerimis dan Wonwoo sedikit banyak menikmati itu, bersamaan dengan pelukan yang Mingyu berikan kepada dia untuk berbagi hangat. Diajak untuk melupakan bahwa di hari esok, masih ada pekerjaan yang menanti untuk diselesaikan. Yang penting itu adalah saat ini ketika mereka punya satu sama lain untuk saling menggenggam dan memberikan kecup tiap beberapa menit sekali.

Malam itu, mereka bagi lelahnya dengan berbagai tanya dan harapan, dengan segala tautan yang mereka berikan. Saling mengenal dengan jiwa yang telah mereka hafal lebih dari diri mereka sendiri.

Mereka menikmati itu, mereka selalu menikmati itu.