bumwoozle

LOVESTAGRAM

to: featchani

mandatory read: > sibuk mampus!bf gabut!bf > cemburu > photobooth


Hari normal bagi Seungkwan adalah ketika Kak Jisoo mengirimkan pesan di pagi hari soal reminder apa saja yang perlu dia lakukan hari ini, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata. Otaknya itu kadang kali merambah untuk mencari puing-puing kenangan masa lalu ketika dirinya masih mampu bermalas-malasan dan menggunakan tidur sebagai pengisi waktu luang, bukan justru mencari waktu luang agar dapat tertidur meski hanya sejenak.

Oh, tentu Seungkwan tidak selalu sesibuk itu juga. Dibanding banyak influencer (dengan tanda kutip) yang tersebar di berbagai media sosial, namanya itu jelas belum berada di jajaran paling atas. Namun Seungkwan adalah Seungkwan. Jika dikenal bukan lagi suatu hal yang mengagetkan, maka kenyataan lainnya adalah dengan bangga, Seungkwan juga dapat menyapa balik hampir semua orang yang memanggilnya, menyebutkan nama mereka karena memang dia kenal dan hafal.

Mereka bilang, Seungkwan adalah selebriti media sosial yang paling ramah. Kalau sudah begitu, dia hanya bisa tertawa sambil mengelak, mengatakan bahwa sudah sewajarnya bagi manusia untuk bersosialisasi.

“Gue introvert tau.”

“Masa sih? Lo tes di web gadungan kali?”

Karena sebenarnya, dia itu hanya yang paling mudah untuk merasa tidak enak hatinya. Jika mengatakan tidak bisa jadi membuat orang lain sedih, maka Seungkwan sebisa mungkin menyanggupi permintaan tolong yang kenalannya ajukan.

“For the love of God, Kwan, lo udah megang 1 organisasi, 2 kepanitiaan, dan sekarang terima jadi MC acara jurusan lain?” Tanya Kak Jisoo dengan alis yang beradu. Di tangannya itu hanya ada iPad yang Seungkwan yakini menampilkan Notion berisi jadwal bulanannya. Segelas americano dingin di atas meja menunjukkan bulir-bulir embunnya.

“Abisnya gimana ya, kak? Acaranya Jumat ini banget dan mereka enggak ada MC. Lo inget enggak, kak, waktu gue cerita dipinjemin charger laptop sebelum presentasi sama anak jurusan lain? Itu Project Officer acaranya.”

“Not to mention lo bakal ada photoshoot buat endorse bajunya Mirko the Label. We have booked the studio, by the way, di daerah Alam Sutra.”

“Enggak ada yang lebih deket?”

“We have booked the studio.”

Kalau sudah begitu, Seungkwan hanya bisa mendengus pasrah. Baguette mushroom toasted, atau entah apa namanya, yang baru dia makan setengah tidak lagi tersentuh.

Tentu tidak mungkin bagi dia untuk menyalahkan Kak Jisoo setelah segala jerih payah yang dia lakukan untuk membantunya, menerima segala sifat dan sikapnya terutama. Jadi satu-satunya pilihan Seungkwan adalah mengangguk dan menerima apa pun yang sudah direncanakan.

“Hansol jadi jemput?” Tanya Kak Jisoo setelah beberapa waktu. Tatapannya mengarah ke arah Seungkwan yang langsung melebarkan matanya.

“Emang Sol mau jemput?”

“He didn’t tell you?”

Siapa pula yang akan bersusah payah membuang gengsi untuk meminta jemput ketika malam kemarin, yang ada hanya perdebatan tentang entah apa yang sama sekali tidak penting?

Perbedaan prinsip kecil, sebenarnya. Tetapi di saat tertentu, Seungkwan itu menjadi yang tidak mau kalah dan Hansol juga punya isi kepalanya sendiri. Sewajar-wajarnya sepasang manusia, sewajar-wajarnya pasangan yang sudah memasuki tahun kedua.

“And I guess, he’s here.” Ujar Kak Jisoo, kali ini pandangannya mengarah ke handphone Seungkwan yang bergetar di atas meja dengan nama Hansol pada layarnya.

Menghela napas, Seungkwan langsung mengambil handphonenya untuk dia pandangi selama beberapa detik sebelum dia jawab.

“Babe, kata Kak Jisoo meetingnya udah?”

Lebih seperti dia yang sudah menyerah dengan kenyataan, sebenarnya.

Namun Seungkwan, lebih memilih untuk mengerucutkan bibirnya. “Kenapa?”

“Aku udah di depan.”

“Aku enggak minta jemput.”

“Aku enggak boleh jemput?”

Dan Seungkwan langsung merasa menjadi manusia paling lemah di muka bumi, menyembunyikan sebelah pipinya dengan telapak tangan untuk menyembunyikan hangat.

“Boleh sih….”

“Okay, udah di depan.”

Maka di sana lah dia, melangkahkan kakinya dengan terburu-buru ketika mendapati mobil yang nomor platnya mampu dia ucapkan dengan mata tertutup sudah berada di depan sana, menunggu Seungkwan untuk segera masuk.

“Aku enggak minta jemput.” Ujar Seungkwan ketika dia baru mendudukkan diri dan menutup pintu di sebelahnya.

“Aku mau jemput.”

“Buat apa?”

“Make sure you’re okay?”

Hansol hari ini sama seperti Hansol di hari-hari biasanya, terlepas dari definisi biasa itu sendiri bisa berubah setiap harinya. Jika hari kemarin dia mampu untuk memantaskan diri dengan sweater ungu yang entah dia miliki dari mana, Hansol hari ini tampil dengan kaos hitam yang mungkin sudah Seungkwan lihat puluhan kali.

Dan Seungkwan menyerah dengan perasaannya sendiri, dengan senyum yang ingin mengembang di wajahnya sendiri. Mungkin obrolan soal perbedaan preferensi makanan memang tidak perlu diambil sepusing itu.

Memandangi jalanan di depan sana, Hansol membiarkan Seungkwan untuk menghubungkan bluetooth handphonenya dengan MP3 Player di dalam mobil.

“Playlist apa enaknya, Sol?”

“Yang kemarin kamu puter enak.”

“Itu sih emang kesukaan kamu banget.”

Setelahnya adalah milik berdua.

Menarik bahwa Hansol di sebelahnya ini, yang terkenal dengan kaku dan cueknya, mampu untuk membuat sebuah pagelaran singkat acap kali lampu merah di depan sana menyala. Kadang hanya nyanyian bersama, kadang pula diselingi gerakan yang sesekali membuat Seungkwan mengernyit dan berpikir: dia belajar dari mana?

Kalau sudah ditanya begitu, Hansol hanya tertawa, namun tidak segan untuk mengulanginya lagi.

“Babe, mom kayaknya pengen ketemu kamu.”

Nyanyiannya langsung berhenti, digantikan dengan matanya yang melebar menatap Hansol di sebelahnya.

“Ketemu gimana?”

“Ketemu… ngobrol?” Jawab Hansol, sesekali menengok ke arah Seungkwan yang masih mengerjapkan matanya.

Bukan kali pertama, tentu. Tapi untuk bertemu dengan orang tua, terlebih jika itu orang tua pacarnya sendiri, maka Seungkwan bisa menjadi orang paling kecil di dunia ini. Bukan juga karena orang tua Hansol mengintimidasi, tetapi… entah, dia juga tidak yakin kenapa.

“Enggak bakal ditanya aneh-aneh kan ya, Sol?” Tanya Seungkwan lagi, kali ini dengan dahi yang mengerut.

“Enggak, you know my mom.”

“Terakhir kali, aku diajak diskusi soal martabak keju dan aku bener-bener mati gaya.”

Lagi, Hansol tertawa dan Seungkwan yang dibuat paling merana.

“Don’t worry, kayaknya cuma kangen aja.”

“Mom pengen ketemu kapan?”

“As soon as possible aja, kamu bisanya kapan?”

“Kayaknya enggak bisa minggu ini sampai minggu depan deh, Sol.”

Hansol mengernyit sedikit, “why? Lagi sibuk ya?”

“Iya, aku ada ngisi jadi MC di acara jurusan sebelah juga.”

“What?”

Dan kerutannya semakin kentara.

“Mereka butuh MC dan minta tolong aku, Sol, aku enggak enak nolaknya.”

“Bukannya kamu juga lagi sibuk? Kak Jisoo ngomong kemarin ini.”

“Iya sebenernya, tapi enggak enak aja, Sol… Project Officernya pernah bantuin aku, masa aku enggak ngebantuin dia balik?”

“But did you even think about yourself when you said yes? Bakal kuat apa enggak?”

Bibir Seungkwan langsung mengerucut. Jelas dia memikirkan dirinya sendiri, tetapi tidak pernah di awal dan menyebabkan dirinya sendiri yang selalu mengatakan iya atas segala yang orang lain minta. Menjadikan dia seakan manusia yang paling doyan mengeluh atas pilihan yang dia ambil sendiri.

“It just didn’t sit right with me how you keep forcing yourself to your limit.”

“Aku enggak maksain diri, Sol, aku cuma bantuin….”

“Aku ngerasa kalau bantuin orang juga punya limitnya, kita bukan manusia super yang bisa ngelakuin segalanya.”

Dan Seungkwan tidak lagi mengeluarkan sepatah kata pun, sekadar menunduk dengan bibir yang agak mengerucut. Tangannya itu hanya bisa memainkan soft case handphonenya sebagai usaha untuk membunuh rasa canggung.

Hansol itu bukannya jarang mengomel, cuma frekuensinya bisa dihitung jari mengingat bagaimana sifatnya yang begitu santai. Biasanya, dia hanya akan memberikan saran singkat yang kadang kali dipertimbangkan dan dibantah di saat lainnya. Setelah itu dia hanya akan mengangguk, mungkin hanya ada diskusi kecil yang ringan mengenai perbedaan opini dengan suaranya yang datar itu, selalu tanpa banyak emosi di dalamnya, bahkan di hari kemarin saat Seungkwan yang menjadi pihak yang mematikan telepon terlebih dahulu.

Tetapi hari ini, yang bisa Seungkwan lihat dan dengar adalah keseriusan dalam kalimatnya, bahwa Hansol bukannya sekadar memberi saran, melainkan menasehati.

“You don’t have to always be perfect, you’re a human before you’re a friend.”

Inginnya adalah menurut, Seungkwan yakin betul akan keputusannya untuk mempertimbangkan kata-kata Kak Jisoo dan Hansol mengenai keharusan dia untuk mulai mementingkan diri sendiri ketimbang orang lain. Tetapi manusia itu selalu yang menjadi perencana, yang selalu dibuat menyesal karena terlalu lalai akan segala yang mereka kerjakan. Sampai akhirnya Seungkwan terbangun dengan kondisi yang paling dia benci: meriang.

Rasanya seperti setiap sentuhan yang jarinya berikan kepada tubuhnya sendiri punya tusukan jarum yang mampu menembus kulit yang begitu sensitif. Dia tarik selimutnya untuk semakin menutupi tubuhnya hingga ke leher, mencari kehangatan di dalam sana meski dia bisa merasakan tangan yang dia letakkan di lehernya terasa begitu panas.

“Kak Jisoo, kayaknya gue enggak bisa post kontennya hari ini… kira-kira bisa tolongin enggak ya?”

Dari seberang sana, Seungkwan bisa mendengar suara helaan napas yang Kak Jisoo berikan.

“Sakit ya, Kwan? Sakit apa?”

“Demam aja, udah minum obat sih….”

“Berarti besok enggak bisa shoot buat Madeline Apparel ya?”

“Dipush ke Kamis aja bisa enggak ya, kak? Bareng yang brand satunya itu… Springhouse?”

Kalau boleh jujur, pembicaraan seperti ini hanya akan menjadikan kepalanya lebih berdenyut nyeri. Namun untuk berkomunikasi lewat chat pun hanya akan menyakiti matanya yang terasa lebih perih dari biasanya, jadi dengan mata yang terkatup, Seungkwan berusaha menjaga dirinya untuk tetap mengikuti pembicaraan.

Bahkan di saat-saat seperti ini, dia seperti memaksakan diri. Ketika sambungan terputus, dia langsung kembali menggulung tubuhnya, membiarkan setetes air mata membasahi sarung bantal di bawahnya.

.

.

Seungkwan menyadari bahwa dia telah tertidur lewat ketukan di pintu yang membangunkannya juga kepalanya yang ringan namun agak berputar di saat yang sama. Belum juga dia menjawab, pintu kamarnya itu sudah terbuka sedikit dengan bunda juga Hansol di sana.

Oh, Hansol. Not today.

“Baru bangun, kak?” Tanya bundanya, mengusap rambut Seungkwan pelan.

Yang dipanggil “kak” itu hanya mengangguk, membetulkan posisinya menjadi duduk.

“Masih enggak enak?”

“Udah mendingan, tapi masih, sedikit.”

“Ini Sol bawain kamu kelapa muda.”

Tatapannya langsung mengarah ke Hansol yang hanya berdiri tegak di sebelah bunda dengan mangkuk di kedua tangannya, membuat Seungkwan agak mengerutkan dahi.

“Bunda tinggal ya?”

“Makasih, Bun.” Jawab Hansol setelahnya.

Dan di dalam ruang kamar yang isinya hanya mereka berdua ini, yang mendominasi adalah keheningan kalau saja Hansol tidak menarik kursi dari meja belajar Seungkwan untuk dia duduki di sisi tempat tidur.

“Kamu kecapekan.” Begitu ujarnya, menyodorkan semangkuk kelapa muda ke arah Seungkwan.

Atas nama berbagai alasan yang bisa dia jadikan pembelaan diri, itu terdengar sedikit menjengkelkan. Bukan karena bagaimana Hansol mengatakannya dengan ekspresi paling datar di muka bumi. Bukan pula karena dibanding menyuapi, dia justru membiarkan Seungkwan menghabiskannya sendiri. Namun bagaimana Seungkwan tahu betul akan fakta bahwa dia kelelahan karena terlalu memaksakan diri sebagaimana yang orang-orang ingatkan kepadanya. Rasanya seperti mengecewakan semuanya, terlebih dirinya sendiri.

Menyendokkan daging kelapa ke dalam mulutnya, Seungkwan tidak membalas. Pandangannya terarah pada selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya dengan kosong.

“Udah arrange schedule sama Kak Jisoo?”

“Udah.”

“He’s okay with that?”

“Sol, aku lagi sakit, jangan kebanyakan tanya….”

Alis Hansol langsung beradu, menatapnya bingung.

Jelas bukan sikap yang biasanya Seungkwan berikan kepadanya. Oh, Seungkwan itu yang biasanya justru bersemangat untuk membahas apa pun tentang dirinya. Tetapi hari ini, yang ada hanya wajahnya yang tertekuk dengan Hansol yang –secara langsung meski tidak sepenuhnya menjadi alasan di baliknya.

“I’m just asking though, karena kamu selalu sibuk di situ.”

“Aku tau, tapi please, aku mau istirahat dulu.” Jelas Seungkwan lagi, genggamannya pada sendok di tengan semakin mengerat.

Awalnya, Hansol jelas mengerti dan menurut. Hanya memandangi Seungkwan dan mangkuk kelapa mudanya, sesekali menatap layar handphone di tangan.

Namun sebut saja hari ini adalah hari spesial di mana yang Hansol inginkan adalah Seungkwan untuk juga mengerti dirinya, untuk mengakui lalainya dia hanya untuk menjaga kesehatannya sendiri.

“Kamu sakit gini, berarti enggak jadi megang MC buat acara temen itu?”

Dan jelas, Seungkwan tidak berada di kondisi terbaik untuk itu.

“Enggak tau, belom ngomongin.”

“Harusnya kamu denger yang lain buat istirahat.”

“Mending kamu pulang aja deh, Sol?! Aku lagi enggak mau ngobrol.”

Detik setelahnya, Seungkwan tahu bahwa dia akan menyesali perkataannya sendiri yang lebih terdengar seperti mengusir Hansol ketika sebenarnya, maksudnya jelas bukan begitu. Keadaannya sedang kacau dan segala jenis pertanyaan hanya akan membuatnya semakin pusing, namun dia tidak pula bisa berbohong kalau kehadiran laki-laki itu sangat dia inginkan untuk tetap tinggal.

Tetapi Hansol tetap menjadi Hansol yang berusaha memberi pengertian, yang bangkit dari kursinya, dan menatap Seungkwan dengan tatapan yang sukar untuk dia jelaskan.

“Sorry kalau malah bikin enggak nyaman.”

Dan Hansol benar-benar berjalan pergi, menghilang di balik pintu tanpa tatapan apa pun yang seharusnya sempat mereka bagi. Untuk alasan tertentu, itu meninggalkan emosi entah apa di dalam hatinya, seakan Hansol benar-benar akan meninggalkannya dan seketika, Seungkwan ingin menangis.

Mungkin tidak seharusnya dia terlalu mengusir Hansol, seharusnya dia yang hanya menganggap kalimat-kalimat yang enggan dia dengar sebagai angin lalu sebagaimana biasanya jika bukan Hansol orangnya. Tetapi ada bagian kecil dari dirinya yang berusaha mengelak. Jika dia tidak salah, mengapa harus menyesal? Hansol yang seharusnya lebih memahami di saat-saat seperti ini ketika untuk bergerak saja, Seungkwan butuh tenaga yang lebih, apa lagi berdebat.

Pikiran itu mengacaukannya, bahkan setelah dia terbangun beberapa kali dari tidurnya. Rasanya seperti berdosa, seperti punya salah dan jika tidak segera diselesaikan, maka dia akan tinggal sebatang kara. Mungkin berlebihan, tetapi mungkin juga tidak jika ditinjau dari beratnya dada dia.

Pada pukul 2 pagi, Seungkwan menyerah dan meletakkan handphone di sisi kepalanya.

Hanya butuh beberapa nada sambung hingga di seberang sana, Seungkwan bisa mendengar jelas bagaimana keheningan bercampur dengan suara serak yang agaknya membuat dia bergidik. Ada debaran yang datang tidak pada tempatnya, setidaknya tidak di jam dua pagi ketika dia menjadi satu-satunya yang terjaga di rumah ini.

“Yes, Kwan?”

Ada keraguan yang dia rasakan, genggaman yang dia berikan kepada handphonenya semakin keras.

“Kamu udah tidur ya?”

Hansol menjawabnya dengan gumaman sebelum melanjutkan, “iya.”

“Terus kenapa jawab aku?”

“Karena kamu telepon.”

Itu jawaban yang membingungkan, kalau Seungkwan boleh bilang. Alisnya itu langsung beradu dengan rahang yang dia garuk pelan.

“Kamu kenapa call? Is there something wrong?” Tanya Hansol kemudian, masih dengan suara seraknya. Dari bayangannya, Seungkwan dapat melihat bagaimana laki-laki itu hanya membuka matanya setengah, atau justru tidak sama sekali.

Tetapi, bagaimana caranya menjawab pertanyaan itu?

“Kwan, are you still there?”

“Iya, iya… masih kok….”

“Enggak bisa tidur?”

“Pengen nelepon aja.”

Alasan klasik, bukan kali pertama juga alasan semacam ini dia gunakan acap kali ingin mendengar suara Hansol ketika merasa butuh seseorang, untuk menghiburnya ketika jiwanya itu seakan sedang meredup. Tetapi Hansol akan selalu jadi Hansol yang tidak punya banyak pertanyaan untuk diajukan, membiarkan Seungkwan mengatakan dan melakukan apa pun yang dia mau, mempercayakan segalanya kepada laki-laki itu.

Namun kali ini, dia tidak sedang berada di keadaan yang ingin sekadar mengiyakan. Yang dia ingin adalah menjaga Seungkwan sebisa mungkin agar selalu merasa senang seperti yang dia berhak dapatkan, bukan justru membuatnya terjaga dari tidur yang seharusnya dia dapatkan. Jadi, dia betulkan posisi duduknya, membiarkan kesayangannya itu mendengarkan gesekan sprei dengan kakinya.

“Sol,”

“Mikirin apa?”

“Kok susah ya?”

Dan tidak perlu dijelaskan konteksnya, Hansol sudah mampu untuk mengerti arah pembicaraan ini.

“Aku enggak ngerti-ngerti banget sebenernya, jadi kamu bisa jelasin gimana rasanya.”

“Iya, kayak… awalnya cuma buat seneng-seneng, Sol. Aku enggak pernah ekspektasi bisa jadi kayak sekarang dan awalnya, aku seneng-seneng aja karena bisa kenal banyak orang. Aku seneng tiap orang lain minta tolong karena aku ngerasa punya alasan dan tujuan di dunia ini. Enggak seberat ih sih sebenernya, tapi kamu ngerti kan?”

“Ngerti.”

“Tapi lama-lama, aku jadi takut sama ekspektasi itu. Bukan masalah validasi gitu sih, tapi aku takut enggak bisa jadi orang yang sesuai sama branding yang aku punya, gimana orang liat aku.”

Tidak ada balasan langsung dari seberang sana, jadi Seungkwan menarik napas dan membuangnya sebelum melanjutkan.

“Aku tuh… bukannya ambisius gitu, Sol, aku cuma enggak enak aja. Aku takut kalau aku nolak, nanti mereka malah mikirnya aku sombong karena enggak mau bantu temen.”

“Emangnya kamu ada maksud gitu?”

“Enggak, Sol. Aku… aku pasti bakal bantu sebisa aku, cuma emang kadang kalau lagi sibuk gini berasa capek juga.”

“You don’t have to always please everyone, you know?”

Dan kini menjadi gilirannya untuk tidak memberikan jawaban apa pun, hanya Seungkwan yang mulai meletakkan jarinya di bibir, tanda bahwa ia tengah berpikir.

“Kalau mereka emang temen, harusnya mereka percaya kamu.”

“What if mereka enggak mau percaya dan malah langsung ngecap aku sombong? Atau mereka mikir aku pengennya dibayar gede? Bisa aja–”

“Babe, you’re overthinking,” sergah Hansol, membungkam Seungkwan di seberang sana. “Kamu enggak perlu nurut sama semua orang untuk bikin mereka baik sama kamu. Manusia harusnya baik karena kita emang harus baik ke orang lain.”

Seungkwan tidak menjawab, membiarkan suara gesekan entah apa mengisi keheningan di antara sambungan telepon ini.

“Be yourself, say no when you need to.”

“Tapi susah, Sol….”

“You can always learn. Pelan-pelan, gagal juga enggak masalah.”

Seumur hidupnya, Seungkwan kenal banyak orang dan bercengkrama dengan mereka jelas bukan hal yang jarang untuk dia lakukan. Seungkwan bisa dengan bangga mengatakan bahwa dia punya banyak kenalan di mana-mana, sifat social butterflynya itu yang bahkan mengantarkan dia ke titik ini. Namun Hansol yang satu ini jelas adalah satu dari segelintir orang yang mampu untuk menempatkan diri, berusaha mengertinya, mengizinkannya untuk menjadi manusia apa adanya sebagaimana orang-orang lainnya.

Di matanya, Seungkwan itu hanya Boo Seungkwan yang kebetulan punya pekerjaan yang berkecimpung di media sosial, bukan Seungkwan si seleb Instagram dan TikTok yang dikenal oleh banyak orang di negara ini. Dan Seungkwan suka itu. God, Seungkwan bersyukur akan itu, untuk diizinkan menjadi menjadi dirinya sendiri dan untuk dipahami alasan dari lalainya.

.

.

Beberapa minggu setelahnya menjadi satu dari sekian banyak kesempatan ketika Seungkwan mengajak Hansol untuk terjun dalam dunianya.

Malam itu, yang ada hanya wajah-wajah agak familiar yang tidak pernah Hansol lihat langsung sebelumnya, mungkin satu dua kali lewat post Instagram yang kerap Seungkwan kirimkan untuk dia. Tentu Hansol tidak mengeluh, tidak begitu buruk dia itu untuk berbaur dengan orang baru. Tetapi masalahnya memang bukan di situ, melainkan hilangnya Seungkwan di telan kerumunan.

Katanya, temannya itu menyewa satu area untuk merayakan ulang tahunnya, mengundang berbagai macam orang yang didominasi oleh seleb Instagram dan TikTok dari konten apa pun yang mereka buat. Mungkin itu yang menjadikan jeruk kecilnya (julukan yang Hansol berikan ketika Seungkwan mewarnai rambutnya menjadi jingga) absen dari sisinya saat ini dengan chat yang sama sekali tidak dibalas.

“Untuk agenda selanjutnya… IT’S TIME TO PARTY!”

What the hell is going on?

Meletakkan gelasnya di meja mana pun yang bisa dia temukan, Hansol mulai membelah lautan manusia untuk mencari laki-laki dengan rambut biru terangnya. Agenda mudah yang bisa dilakukan di siang hari, namun tidak ketika penerangan di sini turut menggunakan biru sebagai warna utama dan diikuti oleh warna-warna lainnya yang menyakiti matanya. Oh, dia tidak bersiap untuk acara sejenis ini dan prioritasnya adalah mencari Seungkwan dibanding apa pun.

“Sol!“

Baru juga dia ingin berbalik, Hansol dapat merasakan tarikan di tangannya, menarik untuk ikut dengannya memasuki photobox. Saat itu pula baru dia menyadari bahwa itu dia Seungkwannya, yang menggenggamnya, yang mengajak dia untuk bersembunyi bersama dari hiruk pikuk di luar sana hingga yang ada itu hanya mereka berdua.

“Aku pusing banget di luar, jadi kita di sini dulu sekalian foto kali ya, Sol?”

Dan siapa lah Hansol untuk menolak?

“Boleh.”

Sebab semringahnya adalah tujuannya.

“Oke. Sebentar, aku scan barcode dulu… Framenya mau yang mana, Sol? Yang ini polos banget enggak ya?”

“Yang garis-garis bagus.”

“Ini? Mainstream banget enggak sih?”

“Sebelahnya then.”

Dan netranya itu tidak bisa lepas dari Seungkwan yang masih sibuk dengan pilihan frame yang ada di layar. Bibirnya itu agaknya tertarik sedikit acap kali tangan Seungkwan menopang dagunya untuk berpikir sejenak sebelum kembali menggeser pilihan, mungkin menimbang-nimbang bagaimana frame ini akan membingkai potret mereka di malam ini.

“Yang ini aja deh, Sol. Udah harus cepet-cepet soalnya.”

Hansol hanya mengangguk, melepas lipatan lengannya dan menatap kamera di depan sana yang tau-tau memotret mereka.

“Aku belom siap loh?”

“Cepet banget ya.”

“Kamu sini!”

Kemudian, dia tusukkan jari telunjuknya pada pipi Hansol.

Untuk banyak alasan yang tidak perlu dia sebutkan, Seungkwan tidak menyesali keputusannya untuk menarik Hansol ke dalam sini hanya demi berpose seperti apa pun yang mereka inginkan. Bahwa untuk sejenak, mereka bisa menjadi diri mereka sendiri, yang jatuh cinta dan punya satu sama lain.

Seungkwan kalungkan lengannya pada tubuh Hansol, menyandarkan kepalanya pada bahunya hingga kamera kembali memotret mereka, mengabadikan sebuah pelukan dalam satu lembar foto yang kekal.

“Sayang sama Sol.”

“I love you too, orange.”

Sebagai yang paling banyak bicara dan bercerita ini dan itu, Seungkwan mengaku bahwa apa yang keluar dari mulutnya bahkan tidak mampu untuk menggambarkan segala rasa yang ada di dalam hatinya tentang laki-laki yang masih ada di dalam rengkuhannya ini. Bahwa dibanding banyak jalan pintas yang ditawarkan dunia kepada dia untuk merasa bahagia, Hansol tetap menjadi hal utama yang paling bisa membuat Seungkwan tersenyum setiap harinya. Bahwa jika ditukarkan dengan apa pun itu, seluruh dari dirinya tidak akan rela untuk menyerahkan Hansol dan membiarkan dunia membawa dia untuk pergi menjauh.

Dan Seungkwan merasa penuh, merasa bahwa mungkin bahagia memang bisa saja datang dengan cara yang paling sederhana. Sesederhana melihat seseorang yang kita sayangi dengan mata kepala sendiri, mengetahui bahwa mereka ada di sini dan mereka baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup.

“Fotonya ambil di luar kan?”

Namun Seungkwan justru berjinjit, memberikan kecupan singkat di pipi kanan Hansol sebelum menariknya lagi dengan wajah paling panik sedunia dan berbalik keluar untuk meninggalkan Hansol yang masih mengerutkan dahinya.

Seungkwan yang seringnya malu-malu.

Seungkwan yang gengsinya di hal-hal seperti ini bisa setinggi langit.

Bohong bahwa itu tidak membuat Hansol mendadak merasa menjadi laki-laki paling segala-galanya di dunia, dari yang paling bahagia hingga yang paling penuh cinta. Mungkin pipinya ini agak memerah dan demi apa pun di dunia ini, itu agaknya memalukan kalau saja penyebabnya bukan karena aksi lucu yang dilakukan Seungkwan.

Melangkah keluar dari photobox, netranya langsung bertemu dengan Seungkwan yang buru-buru menunduk, menatap dua lembar foto di tangannya.

“Hasilnya bagus nih.”

“Masa?”

“Iya, lucu deh.”

Baru Hansol ingin mendekat, Seungkwan langsung menyerahkan dua lembar foto itu kepada Hansol, pandangannya dia arahkan ke bawah. Tetapi Hansol tahu tentang telinganya yang memerah, tentang bahasa tubuhnya yang mendadak canggung, justru menunjukkan secara gamblang bahwa ia tengah malu.

“Abis ini pulang aja, yuk? Aku pamit dulu ke yang lain.” Ujar Seungkwan yang langsung berlalu, melebur dalam kerumunan lainnya yang lebih seperti kabur dari Hansol demi menyelamatkan harga dirinya. Dan tentu, dibanding apa pun itu, pemandangan barusan adalah yang paling lucu kejadiannya.

Jam di handphonenya baru menunjukkan pukul setengah sepuluh malam ketika mereka sama-sama mendudukkan diri di dalam mobil dan bersiap untuk kembali mengantar Seungkwan ke rumahnya.

“Kok tumben?”

“Tumben apa?”

“Mau cepet.”

“Capek aja. Tadi social battery aku kayak udah mau abis deh, Sol.”

Dan obrolan kembali mengalir sederas-derasnya, seakan sama sama telah melupakan bahwa beberapa menit lalu, ada mereka yang lebih seperti remaja yang tengah dimabuk cinta dengan pipi mereka yang sama-sama menjadi tomat. Ada Seungkwan yang sibuk membahas teman-temannya dan Hansol yang menimpali sekenanya, kemudian gelak tawa, kemudian mobil itu kembali dipenuhi oleh cinta. Dibuat lupa mereka itu tentang jarak yang sudah mereka tempuh hingga tau-tau, mobilnya sudah berhenti di seberang rumah Seungkwan, posisi biasa untuk Hansol memarkirkan kendaraannya.

“Sol, aku turun yaa.” Ujar Seungkwan sambil melepas seatbelt dari tubuhnya, ada senyum semringah di sana.

“Oke, langsung mandi dan tidur.”

“Kamu juga chat kalau udah sampai rumah.”

Yang itu adalah kebiasaannya.

Dan sewajar-wajarnya mereka yang sedang kasmaran, maka yang paling buruk adalah perasaan untuk harus berpisah, bahkan ketika penyebabnya sekadar hari sudah malam dan mereka sama-sama harus kembali ke rumah masing-masing. Akan selalu ada aksi yang diciptakan untuk mengulur waktu, bahkan hanya dengan tatapan mata yang saling mereka lemparkan tangan sepatah kata pun yang keluar dari mulut masing-masing.

“Pulang yaa.”

Lalu pintu mobil yang terbuka itu alih-alih membebaskannya, justru lebih seperti hal yang disayangkan. Jadi dengan wajah yang setengah malas, Seungkwan menyempatkan dirinya untuk berjalan mundur sedikit sebelum membuka gerbang rumahnya.

Ketika dia pikir harinya berakhir saat tanganya menekan gembok untuk mengunci, maka suara Hansol yang tiba-tiba memanggilnya membuatnya kembali mendongak. Dia bisa lihat Hansol yang berjalan ke arahnya dengan jaket di tangannya.

“Ketinggalan, fotonya juga.”

“Eh, iya ya?”

Tetapi tidak ada pergerakan lainnya di sana, seakan gerbang yang hanya setinggi matanya itu terlampau tinggi bagi Hansol untuk langsung mengangkat tangan dan menyerahkannya kepada Seungkwan. Namun mungkin, memang itu yang mereka tunggu–tunggu sejak tadi, sebuah alasan untuk semakin mengulur waktu dan membiarkan hari memberikan waktu kepada mereka barang sedikit lagi.

“Sol, mau masuk bentar enggak?”

Yang langsung dijawab dengan tawa, “emang boleh?”

“Kan di ruang tamu. Bentar aja, duduk aja.”

Dan Hansol mengiyakan. Dan Seungkwan langsung menjadi yang paling bersemangat, kembali membuka gembok dan membiarkan Hansol untuk ikut masuk. Agaknya seperti kisah-kisah romantic comedy yang suka dia tonton, mengendap layaknya menyelundupkan kekasih mereka ke dalam rumah ketika orang tuanya telah tertidur.

Tetapi sayang, kata comedy dalam romantic comedy itu benar eksistensinya. Baru ketika Seungkwan membuka pintu dengan kunci cadangan yang dia bawa, yang setelahnya dia dengar justru suara dari dalam rumah.

“Loh, ada Hansol?”

Mereka sama-sama membatu di sana.

Bohong kalau Hansol bilang tidak ada perasaan ingin putar balik sekarang juga karena yang paling tidak dia ekspektasikan adalah keberadaan bundanya Seungkwan yang tengah berdiri di dapur sana, menatap dia dengan senyuman lembutnya, sebagaimana milik Seungkwan.

“Malam, tante. Saya–”

“Hansol mau numpang pipis, Bun.”

Dan Hansol langsung mendelik sementara Seungkwan langsung menginjak kakinya pelan.

“Oh, ya udah, langsung aja, Sol. Bunda ke kamar ya. Seungkwan, jangan lupa kunci pintu.”

Masih ada senyum di sana, setidaknya sampai mereka sama-sama bisa mengonfirmasi bahwa bunda sudah masuk ke dalam kamar lewat suara pintu yang tertutup dari lantai atas sana.

“Aku enggak mau pipis.” Ujar Hansol setelahnya.

“Aku bingung alasannya apa, Sol. Masa bilang mau duduk-duduk doang….”

“Ada yang salah?”

Seungkwan mendudukkan dirinya di atas sofa, memandangi Hansol yang ikut menyusulnya untuk duduk di sana.

“Ada, nanti pertanyaannya makin panjang.” Jawab dia kemudian, menyandarkan kepalanya pada lengan Hansol, mencari nyaman di sana.

Beberapa menit yang ada dihabiskan dengan begitu, yang ada hanya suara detik dari jam yang tengah berputar di dinding untuk membunuh hening.

“Sedih deh waktu kamu tiba-tiba pulang kemarin. Enggak sedih banget sih, cuma tetep sedih sedikit.” Seungkwan menjadi yang pertama berujar.

Sebenarnya, hal-hal semacam ini tidak juga begitu penting untuk diutarakan mengingat dia tahu betul bahwa ini tetap salahnya karena menjadi yang paling kepala batu, yang merasa paling kuat dan tidak mau mendengar pendapat orang lain. Tetapi Hansol juga yang selalu bilang bahwa perasaan itu tidak pernah ada yang salah dan Seungkwan perlu belajar untuk memvalidasi perasaannya sendiri, maka dia coba untuk lakukan itu.

“Babe, I’m sorry, okay? Aku beneran khawatir, jadi enggak mikir bener.”

“I know, Sol. Maksudnya tuh… harusnya aku enggak bikin kamu ikutan mikir, apalagi karena masalah yang beneran aku banget, aku yang ngeyel. Maaf ya?”

Pernah ada suatu website di internet yang bisa mendeteksi hewan apa yang cocok dengan wajah kita sebagai manusia. Masih ingat juga Hansol ketika Seungkwan memaksanya untuk mencoba, sedikit merengek karena Hansol menolak untuk diambil gambarnya.

“Katanya aku kayak anjing, Sol.”

“Kamu emang mirip puppy sih, Kwan.”

Tetapi hari ini itu, Seungkwannya lebih seperti tiga beruang kecil dalam We Baby Bears dengan matanya yang berkilauan dan Hansol jelas bukan manusia paling kuat di dunia.

“Aku enggak marah, ngapain minta maaf?”

“Pengen aja, aku merasa bersalah juga tau. Ke kamu, ke Kak Jisoo, ke diri aku sendiri….”

“Kalau gitu, jangan diulang. Coba diskusi sama Kak Jisoo dulu sebelum ambil job, walaupun cuma acara kampus.”

“Iya, Hansol. Janji nih, beneran.” Jawab Seungkwan, mengangkat jari kelingkingnya.

Entah apa pula yang merasukinya, mungkin suasana yang mendukung, namun Hansol justru memajukan diri dan mengecup jari kelingking Seungkwan. Ada senyum yang dia berikan setelahnya sebelum kembali berbicara, “promise sealed.”

Dan itu tidak serta merta membuat mereka langsung kembali ke dunia, justru semakin terlena, terbuai dengan tatapan masing-masing yang seakan saling menarik untuk masuk dan tenggelam. Begitu jauh hingga tersesat.

“Babe,”

Seungkwan hanya mengerjap.

“Can I kiss you?”

Di keadaan yang sesepi ini, wajar bagi Seungkwan untuk langsung merasa khawatir jika detak jantungnya mampu didengar oleh Hansol sebagai satu-satunya orang di ruangan ini selain dirinya, terlebih dengan jarak yang tidak pula pantas disebut sebagai jauh. Besar sekali inginnya untuk menjawab, tetapi mulutnya itu serasa kelu untuk sekadar mengatakan iya atau tidak, untuk memberikan kepastian kepada Hansol yang masih di sana, masih menatapnya dengan kerjapan pelan.

Hingga akhirnya Seungkwan mampu untuk mengangguk. Sekali, dua kali, dan tiga kali. Maka setelahnya, bibirnya itu langsung disapa oleh bibir lainnya untuk menciptakan tautan lembut yang mampu mengirim listrik ke dalam tubuhnya.

Hanya sekadar menempel awalnya, namun ketika Seungkwan mulai memejamkan matanya, dia bisa merasakan Hansol yang semakin meningkatkan apa yang tengah dia lakukan. Tangannya itu tau-tau sudah berada di pipi Seungkwan, mengelusnya pelan dengan ibu jarinya, seakan menenangkan. Lalu remasan yang Seungkwan berikan bajunya sendiri semakin terlepas, digantikan dengan rengkuhan yang dia berikan kepada leher Hansol dan menjadikannya semakin mendekat, semakin dalam ciuman mereka itu.

Tetapi Hansol tidak kasar, justru memperlakukan ciuman ini seakan Seungkwan adalah apa yang harus dijaga betul-betul seakan mudah pecah, namun tetap dapat membuatnya ingin meledak menjadi kepingan dengan cara paling polos yang pernah dia rasa.

Mereka baru melepas pagutannya ketika Seungkwan mundur sedikit yang Hansol tangkap sebagai tanda bahwa mereka perlu berhenti, menghadirkan rona merah pada wajah masing-masing yang mustahil untuk dielak.

“Sol,”

“Babe, I think I should…,” ibu jarinya menunjuk arah pintu. “Go.”

“Tapi aku mau lagi.”

Itu jelas lebih dari sekadar pintu hijau bagi Hansol untuk kembali menubrukkan bibirnya dengan milik Seungkwan, kali ini lebih bersemangat dengan netranya yang juga terpejam untuk menikmati tiap detiknya. Ada lumatan kecil di sana, namun demi apa pun, Seungkwan tetap merasa bahwa ini adalah yang paling innocent bentuknya.

Dan dia tidak peduli lagi akan khawatirnya jika bunda atau ayahnya kembali turun, lalu kembali memeluk Hansol. Tangannya ikut menyentuh rahangnya, memberikan elusan lewat ibu jari untuk merasakan tiap inci kulit di sana. Hansol yang dia banggakan, Hansol yang selalu dia sayang.

Ketika ciumannya kembali lepas, yang ada bukan lagi rasa canggung dan ingin bersembunyi, melainkan senyum dan tawa yang meledak bersama. Mereka itu jatuh cinta dan rasa yang mengendap di dalam hati mereka seakan meronta untuk dikeluarkan, berkoar pada dunia bahwa mereka tengah bahagia dan masing-masing sebagai alasannya.

“Kali ini aku harus pulang beneran.”

“Oke, udah boleh pulang.”

“Enggak bisa kalau kamu masih ngelus-ngelus, babe.”

Seungkwan berikan kecupan di bibirnya, dibarengi dengan senyumnya yang mengembang.

“Sayang banget sama, Sol.”

Alih-alih balas mengecup, Hansol justru memberikan pelukannya dan menenggelamkan diri pada ceruk leher Seungkwan. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang tidak mampu untuk sekadar diajak berkompromi, menciptakan debaran yang tidak kenal ampun.

Kemudian menarik diri, kemudian kecupan pada pucuk hidungnya.

“I love you more than that.”

“Apa dong namanya? Sayang banget banget? Very very love me?”

“Beyond words, Kwan.”

Mulutnya langsung kembali menutup dengan mata yang mengerjap.

Hansol kembali tersenyum, mengelus pipi Seungkwan lagi. “I love you and what I feel… I can’t describe it. It's… beyond words can ever explain.”

Mungkin segala tentang Hansol tidak juga sesederhana itu, mungkin pula kata sederhana itu terlalu sederhana untuk dia. Sebab Hansol jauh lebih itu, Hansolnya adalah segalanya yang mampu menciptakan bahagia dengan cara apa pun itu. Baik hal kecil maupun besar, meriah maupun apa adanya.

“Ya udah, sana pulang.”

“Nanti aku call.”

“Iya, Sol, nanti aku jawab.”

Dan Seungkwan sayang dia untuk itu, untuk segala hal yang ada di dalam dirinya.

FIN

Tujuh Belas

time stamp: present. pandemic life.

Waktu itu masih ada lambang OSIS yang dicetak di kantong kemeja putih yang biasa gue dan temen-temen gue pakai di hari senin dan selasa. Belom ada yang namanya asal ambil baju teratas dari dalam lemari atau laci karena waktunya udah mepet banget buat berangkat. Waktu itu juga, satu-satunya celana yang kita punya cuma celana abu-abu, atau dua lah kalau sama celana pramuka. Enggak ada jeans, apa lagi yang sobek-sobek. Wah, bisa dikejar sama satu kesiswaan kali? Gue masih inget mukanya. Masih banyak banget aturan yang perlu kita ikutin, bikin setiap orang (gue rasa lo semua juga) mikir-mikir juga, emangnya buat apaan sih peraturan sebanyak ini?

Setelah gue ngabisin cukup banyak waktu di kuliah, ketemu peraturan yang beda sama yang gue dapet di sekolah, baru gue dikit-dikit sadar maksud dari peraturan-peraturan itu. Walaupun tetep aja enggak ada hubungannya antara sepatu pakai tali dan sepatu slip-on.

Perbedaan yang paling gue rasain emang adanya di kebebasan itu sendiri. Enggak nyangka juga kalau bakal ada saatnya gue ngerasa kangen dikejar-kejar guru karena belum ngumpulin tugas karena udah mau pembagian rapot bayangan. Pas lo kuliah, enggak akan ada yang peduli sama lo selain diri lo sendiri. Kalau lo beruntung, mungkin bakal ada orang tua yang rajin ngingetin untuk jangan ngegampangin dosen, tapi bisa jadi malah lo yang enggak mau cerita ke mereka. Kalau lo lebih beruntung lagi, mungkin juga bakal ada orang yang pedulinya ngelebihin diri lo sendiri. Itu bisa dateng dalam bentuk apa pun kayaknya, bisa pacar, bisa gebetan, bisa juga temen. Walaupun buat yang temen, gue rasa mah enggak akan selamanya dan enggak akan sekuat itu juga. Mereka juga cuma punya diri mereka sendiri.

“Inggu, kamu denger aku enggak, sih?”

“Hah? Sorry, Won, sorry….”

“Mikirin apaa?”

Mikirin apa, hayo?

Mikirin masa lalu, pas masih deket sama kamu.

Keberuntungan gue datengnya agak banyak. Gue sering dan perlu lebih sering bersyukur sih soal ini, karena menurut gue, punya orang tua yang ngedukung gue di bidang pendidikan tuh privilege. Walaupun mereka jauh nih, tetep berasa gimana mereka tetep ada, walaupun eksistensinya, ya, sebatas di dalem handphone yang selalu gue bawa ke mana-mana.

Keberuntungan lainnya dateng dalam bentuk cinta gue yang masih aja kuat sama gue setelah hampir empat tahun. Walaupun ternyata gue enggak LDR-LDR amat, tapi frekuensi ketemunya juga enggak sesering itu karena pandemi tai ini.

Sekarang gue mau lo untuk ngebayangin gue dan Wonwoo yang udah pacaran sejak aud, kelas sebelas. Tahun 2018 gue tandain sebagai tahun kejayaan gue, jamannya masih kinyis-kinyis kayak anak SMP baru pacaran (tapi anak sekolah, tuh, semuanya sama aja). Tahun 2022, detik ini, masih ada dia yang muncul di depan gue lewat Gmeet yang ngehubungin gue dan dia.

“Mingyu, kamu ngantuk ya?”

“Kita udah lama banget, deh, Won.”

Makin ada kerutan di jidat lucunya.

Emang jidat bisa lucu?

Wonwoo pas umur tujuh belas tahun jelas enggak bisa disamain sama Wonwoo di umur sekarang, bakal dua puluh satu di tahun ini. Dulu, mata dia yang paling jernih ketimbang kita-kita, padahal anaknya lebih suka baca ketimbang kita-kita yang lain juga. Sekarang mah, udah ada kacamata yang nutupin mata dia. Tapi karena bening, jadi gue masih tetep bisa matanya yang cakep banget itu. Wonwoo di umur hampir dua puluh satu tahun juga lebih dewasa, konteksnya bisa positif dan negatif. Dia lebih bisa ngontrol emosinya ketimbang dulu-dulu, lebih percaya diri juga, terus ya… lebih pikiran kotor juga. Tapi itu urusan gue doang, lo semua enggak perlu tau.

“Emangnya kenapa kalau udah lama?”

“Ya, enggak apa. Seneng aja. Berarti kan, aku pacar yang baik buat kamu, gitu.”

“Apa hubungannya, sih?”

“Kamu belom kabur.”

Gue bisa denger helaan napas dari seberang, terus bibirnya maju dikit, dan balik muka datar lagi. Kayaknya, balik ngerjain tugas-tugasnya lagi.

“Won, cerita dong.”

Jidatnya mengerut lagi, “cerita apa? Aku kan cerita tiap hari ke kamu. Kamu tuh, yang suka ilang tiba-tiba.”

“Kan ketiduran, yang.”

“Iya-iya. Mau aku cerita apa, Inggu?”

Gue langsung benerin duduk, refleks senyum-senyum sendiri kayak dapet nilai A.

“Cerita apaan ya? Testimoni gitu, Won, selama pacaran sama aku.”

“Kenapa sebutnya testimoni sih?”

“Emangnya kenapa?”

Mukanya itu jadi sedih dikit, gue jadi ikutan bingung.

“Wonwoo, emangnya kenapa?”

“Testimoni di bayangan aku tuh, kayak pendapat setelah nyobain atau ngelakuin sesuatu. Tapi, kita kan belum selesai.”

Itu dia, sayangnya gue. Kalau gue udahin nostalgianya sampai di sini, gue rasa lo semua juga paham dan bisa narik kesimpulan sebagai jawaban dari pertanyaan gue tadi. Him, my Fadil Jaidi, dengan gue sebagai Toko Ci Lenny.

“Maksudnya bukan gitu, Won. Cerita aja, selama sama aku nih gimana? Kok bisa sampai lama banget, gitu.”

“Kamu juga enggak mau udahan sama aku kan?”

“Ya, enggak lah, anjir. Gila kali?”

“Jawaban aku juga itu.”

Laporan gue ini langsung terbengkalai, semoga besok pagi udah keisi sendiri karena malem ini, gue mau fokus ke sayang gue yang tangannya udah dilipet di depan dada itu.

“Gimana tuh, yang? Coba jelasin ke aku.”

“Kamu selalu bikin aku seneng, jadi aku enggak nemu alasan kenapa aku harus ninggalin kamu.”

“Jiah, padahal minggu lalu marah sampai nangis gara-gara enggak dikabarin pas lagi main.”

“Kok malah dibahas lagi, sih? Kamu emang maunya berantem sama aku ya?!”

“Eits, bercanda, bos….”

“Aku tuh… waktu itu takut aja. Takut kamu kenapa-kenapa, takut… macem-macem. Aku enggak punya banyak orang, jadi aku suka protektif sedikit, enggak mau ada yang pergi.” Gitu katanya, kepala dia nunduk sepanjang bicara. “Kalau kamu enggak cerita-cerita, aku suka berasa ditinggal.”

Alasan orang bisa naksir orang lainnya tuh beda-beda, walaupun banyak dari kita yang bakal jawab dengan enggak tau atau cinta enggak butuh alasan sebagaimana pujangga, gue pikir tetep aja apa yang kita lihat di masing-masing orang bakal beda. Gitu juga dengan alasan bertahan. Selain karena gue emang sayang banget sama Wonwoo, gue selalu dibuat seneng karena dia enggak segan-segan buat nunjukin kalau dia butuh gue.

Ini alasan yang egosentris sih, kalau salah sebut bakal disangka gue cuma manfaatin Wonwoo, padahal enggak sama sekali. Tapi sebenernya, banyak dari kita yang tertarik sama orang karena alasan-alasan pemenuh ego juga. Banyak temen gue yang naksir orang yang terkesan misterius, katanya bikin penasaran. Ada juga karena suka sama orang yang dewasa. Bukannya itu juga pemenuhan ego? Ketika orang boleh tertarik sama manusia lain yang keliatan dewasa atau kuat karena merasa aman atau bisa dilindungi, gue pikir enggak ada yang salah dengan makin dibikin nyaman karena ngerasa bisa ngelindungin dan jadi sandaran atas banyak hal. Dijadiin orang kepercayaan, bukannya itu enak banget? Setidaknya buat gue lah ya.

Lagi pula, gue bukan cowok brengsek. Mengeluhnya Wonwoo itu berarti ada yang bikin dia enggak nyaman dan kalau boleh bucin, itu salah satu pantangan gue.

“Won, kalau aja kita depan-depanan, kayaknya aku udah cium kamu.”

“Aku kangen dikit.”

“Kangen aku? Dikit doang?”

“Kangen dicium.”

Nah, liat kan?

“Aku bisa langsung ngambil motor buat nyamperin kamu ini, Won.”

“Aneh banget.”

“Lah, tadi katanya kangen?”

Balik pas dulu SMA, setiap abis diisengin begitu, Wonwoo bakal langsung jadi tomat. Mukanya bakal merah dan langsung jadi salah tingkah, gemes banget. Kadang, dia bakal mukul lengan gue, kadang paha, kadang nonjok dada, kalau jengkel banget sih ditoyor. Kalau gue tetep ketawain dia dan dia makin malu, Si Wonwoo Lucu ini bakal meluk gue dan ngumpetin muka di leher. Enggak selalu sih, kalau lagi apes malah dia bakal ngambek. Tapi apa pun bentuknya, gue selalu suka.

Sekarang sama aja, harusnya. Kalau aja resolusi kamera laptop bisa sebagus mata manusia dan wifi rumah gue ini udah 5G kayak di luar negeri, gue bisa liat pipinya yang mulai merah, gue yakin.

“Aku mau lanjut jawab.”

“Apa lagi? Apa lagi?”

Wonwoo keliatan mikir sedikit, masih tetep lucu banget di mata gue. Emang semua yang dia lakuin itu lucu sih, bisa juga karena gue jatuh cinta aja.

“Sebenernya nyambung sama yang tadi. Karena kamu selalu bikin aku seneng, kamu jadi semacam… comfort place? Walaupun lagi capek-capeknya, aku kadang… suka mikir, kayak, at least I still have you here with me.”

Pacar gue yang lucu banget itu lagi senyum di layar laptop gue, kecil yang dampaknya gede banget.

Setiap gue mulai tai-tai-in tugas yang kurang ajar ini, gue selalu inget masa-masa pas yang gue punya cuma kepercayaan yang makin hari makin tipis dan tangan Wonwoo yang rela gue genggam kenceng-kenceng. Pas itu, jelas sekadar temen enggak bisa lo andalkan, apalagi ajak, untuk ikut sedih atas susah payahnya lo perjuangin “masa depan.” Kecuali kalau dia sama susahnya dengan lo, tapi itu juga mereka juga bakal sedih ke diri mereka sendiri. Dalam kasus gue, gue juga akan ngerasa takut dan sedih tiap liat bokap dan nyokap, ngerasa anak sulung yang mereka banggain ini malah ngecewain. Walaupun sebenernya mereka enggak mikir gitu dan gue juga enggak otomatis jadi beban keluarga.

Tapi pas itu, gue punya Wonwoo yang menurut sisi bucin gue, jauh lebih penting dibanding Wangsit yang enggak tau udah di mana. Semoga udah diloakin karena gue enggak mau liat dia lagi. Mungkin sebanding sama Inten, karena selalu ada waktu pas gue dibikin ngerasa ketinggalan. Tapi mereka sama-sama bisa ngajak gue buat enggak pesimis, buat nyoba terus sampai gue bisa di sini sekarang.

Abis ini, gue harus dapet komisi dari Inten.

“Emangnya aku ngapain, dah? Perasaan kerjaannya ngeluh doang.”

“Ngeluhnya kamu tuh kadang bikin aku tenang tau, Inggu. Aku jadi ngerasa kalau, ya… semua orang juga pusing dan aku ada gunanya sedikit, dengerin kamu ngeluh soal hewan-hewan kamu itu.”

“Gunanya kamu banyak, ah?”

“Ya, kan menurut kamu, Inggu.”

“Menurut bunda juga. Aku yakin temen-temen kamu juga ngerasa kamu berguna. Tapi emang menurut aku sih berguna banyak, enggak dikit. Enggak bisa Won, aku, kalau enggak ada kamu.”

Salah kalimat kayaknya, soalnya abis itu, anak itu langsung ngedipin mata terus. Alias, gue yakin dia nahan nangis.

“Dikit lagi lulus nih.”

“Huum….”

“Abis itu kerja. Susah sih ini, pasti harus kerja keras dulu kita biar bisa idup enak.”

“Iya….”

“Abis itu…,” gue enggak langsung lanjutin kalimatnya, nunggu Wonwoo bereaksi lebih dari sekadar ngegumam atau ngangguk. Mukanya mulai bingung, nunggu gue ngelanjutin kalimat.

Tapi gue juga sama cupunya, bos. Jadi gue cuma senyum, ngangguk beberapa kali, sampai matanya dia langsung ngelebar dan nunduk lagi.

“Mau enggak?”

“Mau apa?”

Masih enggak mau ngeliat ke layar, ternyata.

“Mau... menurut kamu mau apa?”

“Mau gila ngerjain tugas, Inggu!” Muka lucunya langsung cemberut, “jangan nanya aneh-aneh!”

Dan gue langsung yang ketawa paling kenceng di antara kita berdua. Pipinya itu masih kayak tomat kebun, gue rasa.

“Enggak perlu jawab sekarang, sih…. Nanti-”

“Liat nanti.”

Akhirnya, tomatnya ngomong juga. Tangannya itu dia taruh di pipi, mijet-mijet pelan kayak kecapekan ketawa. Tapi kayaknya, kalau sekarang mah karena dia harus nahan ketawa.

“Selama kamu bikin aku seneng, aku pikir-pikir lagi.”

“Kok cuma dipikirin, sih? Jahat banget….”

“Nurut aja, Inggu!”

Beranjak dewasa yang dari tadi gue bahas juga ada dalam bentuk kayak gini. Waktu jaman SMA, isi otak itu paling cuma main-main dan cita-cita untuk hidup enak bergelimang harta. Gue pernah (dan masih) punya mimpi buat bikin vet yang bagus dan ramah buat hewan-hewan yang mungkin bakal tetep enggak suka sama eksistensi gue dan jarum suntikan. Masih punya mimpi buat ngelanjutin Bloom sampai bisa lebih baik lagi pelayanannya, biar makin sukses lagi.

Bulan depan, gue dua puluh satu tahun. Masih bocah sih, tapi gue udah berani buat bahas-bahas soal masa depan yang lebih futuristik lagi. Masalah yang dateng ke gue dalam beberapa waktu ke depan mungkin bakal hadir dalam lirik lagu Akhir Bulan atau Topik Semalam-nya Kunto Aji, bukan lagi soal matematika kayak yang Tulus bilang di Tujuh Belas. Bisa juga enggak, bisa juga itu semua enggak jadi masalah kalau Wonwoo cinta mati sama gue dan kekayaan gue melebihi konglomerat di Indonesia yang rasanya cuma mimpi doang itu.

“Seneng juga akunya, setiap sama kamu.”

“Mingyu, stop bikin-”

“Empat tahun…,” tiba-tiba, gue langsung ngerasa excited mampus. “Bikin sampai empat ratus sekalian, bisa enggak? Jadiin selamanya, selama-lamanya.”

Mungkin itu yang enggak berubah dari gue, baik di umur tujuh belas maupun dua puluh satu. Muda, selamanya jiwa muda.

taylor swift's all too well: the short film adaptation.
angst. gaslighting. break up.

If people asked him how it was, he would clearly say that it was beautiful. Masih ada di ingatannya, begitu jelas, tentang daun yang berubah menjadi kekuningan di hadapan jendela kamar mereka, tentang rebusan daging yang kerap dilupakan hingga airnya terlanjur sat, tentang perjalanan ke sana dan ke mari dengan gelak tawa yang mengisi mobil abu-abu milik dia.

It was beautiful.

Ada jari yang kerap bertaut di antara mereka, tidak peduli apakah ada ribuan mata memandang atau justru dunia milik berdua. Cium yang mereka bagi itu saling menghangatkan, dadanya terasa penuh dengan perasaan merekah yang membuncah.

“Harusnya kamu bawa jaket.”

“Aku maunya kamu.”

“Aku enggak cukup buat hangatin kamu.”

“Setengah bagian juga enggak masalah, sayang.”

It was beautiful.

Dalam setiap okasinya, selalu ada usaha untuk menyisipkan masing-masing ke dalam agendanya. Sebut saja seperti sebuah simbol bahwa ada signifikansi yang saling mereka berikan dalam kehidupan, sesederhana apa pun itu. Mungkin saja hanya warna pakaian untuk digunakan, mungkin saja hanya hari berbelanja bulanan, mungkin saja hanya saran apakah sudah waktunya untuk bercukur di hari ini, bagaimana jika kita telah saling mengenal sejak kecil?

“Kamu bakal jadi suporter tim bolaku yang paling semangat.”

“Pede banget.”

“Nanti buru-buru ngasih minum dan handuk setelah match, pemain lain sampai ngiri. Kasian deh, enggak punya kamu.”

“Memangnya mau bagi-bagiin aku ke mereka?”

“Loh, makanya aku bilang kasian. Soalnya yang bisa dapetin kamu, cuma aku.”

It was beautiful.

Namun terkadang, akan ada hari buruk yang ingin menguasai jiwa-jiwa yang tengah tenang. Mereka memberingsut, hadir, dan mengacak bahagia, juga merenggut sifat-sifat yang dipercaya selalu ada.

Ada bentakan di situ dan meski itu tidak ditujukan untuknya sama sekali, tetap membuat listrik seakan menjalar dari bawah kaki hingga ujung kepala. Sayangnya itu tidak pernah seperti itu, lantas apa yang bisa mengubahnya secepat ini?

“Bad days happen.”

“You shouldn’t have snapped like that.”

“You don’t understand….”

Benar bahwa dia tidak mengerti apa-apa, dunianya berubah saru. Seperti ada kabut yang mencoba untuk menutup pandangnya, agar tersesat, agar tidak tahu-menahu soal apa yang ingin dia raih.

It was beautiful.

At least until the glass starts cracking and he knows best that there will be no glue to fix it well.

Wonwoo bukan orang terbaik ketika berkenaan dengan hal asing, termasuk untuk bersosialisasi dengan orang-orang baru. Meski dia tahu betul bahwa sebisa mungkin mereka-mereka itu mengikutsertakannya dalam setiap bahasan, namun selalu ada inginnya yang lebih ingin bersembunyi.

Dia yakin Mingyu tahu itu. Mereka tidak baru mengenal satu sama lain tiga bulan lalu, ya ampun, entah sudah berapa pula musim yang mereka lewati bersama. Yakin pula dia bahwa selama ini, tidak pernah sekali pun juga sayangnya itu menomorduakan dia untuk hal yang tidak sepenting itu.

Butuh tiga detik mungkin untuk membuat dunianya serasa diruntuhkan, seperti dipaksa untuk berlari lepas di entah mana yang tidak ia kenali. Yang dia ingin itu hanya mencari amannya, memberingsutkan jari-jari dalam genggaman dan mencari hangat. Namun Mingyu menanggalkannya, meletakkan kembali tangannya di atas meja di depan mereka untuk dielus barang satu dua kali sebelum kembali menarik genggam itu menjadi miliknya sendiri lagi. Bukan, bukan Mingyu jika dia seperti itu.

“Kamu marah?”

“Aku enggak marah.”

“Aku tau kamu marah,” ada dengusan setelahnya. “Mereka temen-temen aku, mereka semua kenal kamu.”

“Aku enggak ada masalah sama temen-temen kamu, Mingyu.”

“Terus kenapa kamu marah?”

“Mingyu, kamu bahkan enggak liat aku.”

“Liat gimana? Emang sekarang aku lagi ngapain? Liat siapa lagi kalau bukan kamu?”

“Tadi, Mingyu! Kamu sibuk sendiri sama temen-temen kamu—“

“Ya, mereka temen-temen aku, Wonwoo. Aku udah lama enggak ngumpul sama mereka.”

“You even dropped my hands when I just wanted to grab yours! Aku cuma mau ngerasa aman, aku enggak kenal sama sekali sama mereka!”

“Kapan aku kayak gitu sama kamu? Aku bahkan enggak inget kapan aku kayak gitu sama kamu!”

“Gimana bisa kamu bilang enggak inget?!”

“Gimana caranya kamu nyerang aku pakai hal yang aku bahkan enggak inget, Wonwoo. Aku beneran enggak ngerti kamu ngomongin apa, tangan kamu yang mana, aku cuma ngobrol sama temen-temen aku. Jangan egois lah.”

“Gyu, kamu jelas-jelas kayak gitu tadi! Kamu bahkan enggak liat aku sama sekali! Kenapa kamu malah jadi bikin aku kayak aku orang bego?”

“Aku enggak ada mau bikin kamu kayak orang bego, kamu sendiri yang bikin diri kamu jadi kayak begitu. Aku cuma ngobrol sama temen-temen aku, kamu duduk di situ, terus kenapa jadi seakan aku yang salah? Jangan gila lah.”

“Kamu berubah, tau enggak?”

“Berubah gimana, Wonwoo. Aku selalu begini, kamu tau dari dulu temenku banyak.”

“Aku kamu bahkan enggak peduli sedetik pun sama aku!”

“Kita ngomongin kamu juga tadi, enggak ada yang enggak peduli sama kamu. What kind of bullshit is that? Kamu egois banget, tau enggak?”

“Oh, jadi aku satu-satunya yang salah di sini kalau cuma ngeluh karena pacarku sibuk sendiri dan ngacangin aku?”

“Aku enggak bilang kamu salah. Tuh, kamu sendiri yang bikin seakan kamu jadi pihak yang disakitin sama hal yang bahkan aku enggak tau apa.”

Mingyu itu selalu jadi salah satu yang dia banggakan di hidupnya sebab selalu membangakan Wonwoo pula di hidupnya dia. Dia yang selalu mengutamakan dirinya dibanding yang lain. Dia yang selalu tahu bagaimana caranya menahan diri dan tetap berkepala dingin ketika mereka punya masalah. Wonwoo ingat itu dengan jelas. Di depannya kini bukan Mingyu yang dia kenal.

Semakin keras kutukan yang dia berikan kepada dirinya sendiri saat pertahanannya hancur, membawanya untuk menunduk, dan isakan yang keluar dari mulutnya menandakan bahwa emosinya tengah meluap. Dia bukan yang cengeng, tetapi mungkin, ini memang berlebihan.

“Wonwoo.”

Dia tidak menjawab, tidak punya kuat sebesar itu untuk menjawab. Lalu dia bisa merasakan adanya peluk di bahunya, ciuman di belakang kepalanya.

“Wonwoo, aku enggak maksud marah— aku minta maaf….”

“Kamu enggak pernah gitu.”

“Maaf ya, Won? Hey? Jangan nangis dong….”

Dia membalikkan tubuh di depannya, membawanya ke dalam pelukan yang lebih hangat.

“Won, sayang, aku enggak maksud marah….”

“Gyu—“

“Hey, I love you, okay?”

Semudah itu, mungkin. Semudah itu membuat dia menaruh percayanya lagi. Every problem is long gone, yang ada hanya rona merah yang mengisi pipi masing-masing. Cium yang Mingyu berikan di puncak kepala Wonwoo di suatu malam ketika lampu apartemen yang mereka tempati hanya tinggal remang-remang. Tawa yang hadir ketika Wonwoo bersikeras untuk mengisi teka-teki silang pada koran yang Mingyu beli di suatu pagi.

“Bukannya renang?”

“Enggak nyambung dong, sayang.”

“Kamu aja deh yang jawab?”

“Mending kita ciuman aja, enggak sih?”

It was beautiful.

Sampai-sampai Wonwoo merasa bahwa ini lebih seperti mimpi. Mungkin Mingyu itu tidak nyata, mungkin apa yang di antara mereka itu tidak benar-benar ada. Bagaimana jika ini semua hanya pura-pura?

Maka segalanya hancur begitu saja di suatu malam. Tidak ada lagi Mingyu yang memeluknya erat dan menenangkannya. Tidak ada lagi kata cinta yang keluar dari mulut manisnya. Hanya maaf dan keheningan, hanya menerima sentakan dari Wonwoo yang meledak meminta penjelasan.

Segalanya terlalu cepat, jika dia boleh bilang. Seperti sebuah kejutan yang datang tanpa diminta. Mingyu pernah bilang bahwa dia mencintainya, berjanji untuk menjaganya, menjadikan Wonwoo berjanji untuk melakukan hal yang sama di hatinya. Namun siapa yang tahu bahwa ketika Wonwoo memperlakukan janjinya bagai sebuah sumpah, Mingyu menjadikan janji itu bagai sebuah rahasia. Terlalu lemah, terlalu mudah untuk diingkar. Kejujurannya itu hanya merusak dia, menjadikan malamnya dipenuhi oleh isak tangis dan air mata yang tidak biasa ada.

Wonwoo serasa kehilangan dirinya, hilang di tengah ramai untuk sekali lagi sampai-sampai kalimat “are you okay?” kehilangan sakralnya, sebab lebih terdengar seperti sapaan saking seringnya dia terima. Apa yang terjadi denganmu? Maka jawabnya adalah Mingyu. Itu adalah yang terjadi dengannya.

“It's supposed to be fun.”

Lagi, dia hanya menjawabnya dengan senyum, tahu betul sebab kalimat itu juga mengisi otaknya sejak pagi tadi ketika ia membuka mata. Namun pandangannya tetap di sama, mengarah ke pintu, dan berharap seseorang akan membukanya dan menyelusup masuk.

Ada nama yang dahulu dia sisipkan di dalam doanya hingga akhirnya menghilang, seperti segala ucapan manis yang pernah ada di tengah mereka. Mingyu yang selalu menjadi perebut hati orang-orang di sekelilingnya, ayahnya yang memperlakukan dia seakan Mingyu adalah anaknya juga, teman-temannya yang ikut mengenal Mingyu seperti sudah berkawan sejak lama, tetangga apartemen mereka dulu yang kerap memberikan cookiesnya untuk mereka sebagai rasa terima kasih karena Mingyu yang kerap membantunya.

It was beautiful.

Hingga suatu hari ada paket yang datang di depan rumahnya berisi barang-barang lamanya yang sempat tertinggal di apartemen yang dulu dia tempati dengan Mingyu. Boneka yang mereka menangkan dari sebuah permainan, buku yang pernah dia beli di Big Bad Wolf bersamanya dulu.

Tetapi ada satu barang yang hilang dari sana, sebuah jaket abu-abu tua yang kerap dia gunakan di hari-hari awal mereka. Suatu hari saat Mingyu seperti menculiknya untuk pergi ke McDonald’s di tengah malam yang dingin. Suatu hari saat jalan-jalan impromptu ke luar kota untuk membeli sebuah makanan dan pulang lagi setelahnya. Dia ingat itu, namun tidak pernah juga dia izinkan dirinya untuk sekadar bertanya.

Dia simpan seluruh kenangan itu dengan baik, di suatu sudut di dalam hati, enggan menyentuhnya lagi. Dia biarkan segalanya tenggelam dalam gelap hingga dia lupa dengan sendirinya dan meski itu lebih terdengar seperti sebuah kemustahilan, setidaknya tidak bisa lagi dirinya dihancurkan oleh secercah ingatan tentang dia yang memanfaatkan cerah dalam hidupnya yang dingin.

It was beautiful.

But it was painful as hell too. Jadi, Wonwoo kumpulkan setiap serpih yang ada untuk menciptakan yang baru dari dirinya, membangun hidup yang lebih baik lagi tanpa bayang-bayang Mingyu hingga dia dapat menemukan dirinya yang sebenarnya. Bahkan ketika jiwanya telah kembali berada di puncak, tidak ada lagi keinginan untuk menunggu daun pintu terbuka dan Mingyu menyelinap masuk ke dalamnya. Bahkan ketika suatu hari dia benar-benar ada, tidak ada lagi yang menunggu kedatangannya.

Meet Me Before Sunrise.

“Bercanda enggak sih?“

“Dibilangin, harusnya naik mobil gue aja.”

“Halloween beneran gak sih ini?”

“More like a nightmare sih…”

Sementara teman-temannya masih sibuk dengan mobil Hyunjae yang entah mengapa juga tidak bisa dinyalakan di jam satu pagi ketiga sebelumnya masih baik-baik saja, Mingyu adalah yang perasaannya paling tidak tenang. Pertama, izinnya tidak bulat. Ibunya masih di rumah sakit sekarang, proses pemulihan pasca-operasi yang sebenarnya, hasilnya baik-baik saja (dia bersyukur atas itu). Tetapi tentu itu menjadikan dia seperti anak yang paling tidak tahu diuntung, mengundang kerutan pada dahi ayahnya ketika dia meminta izin meskipun ibunya mengaku baik-baik saja. Kedua, ini masih pandemi. Walaupun teman-temannya mengaku sudah melakukan vaksin, sebagaimana orang-orang lainnya di dalam restoran ini, berikut juga protokol kesehatan yang mereka janjikan. Tetapi, ya ampun, Mingyu yakin kalau tadi itu lebih ramai dari yang seharusnya. Polisi bisa membubarkan acara itu kapan saja. Terakhir, sekarang ini.

Mobil yang rusak jelas di luar rencana. Dia tahu seberapa sering Hyunjae memeriksakan mobilnya, hal-hal semacam ini jelas cuma apes saja. Tetapi serius, di tengah malam seperti ini?

“Ada gak sih bengkel yang masih buka jam segini? Lo ada kenalan enggak? Masa sih harus diderek.”

“Udah enggak lah kalau jam segini.”

“Bentar, gue coba telepon yang biasa dulu.”

Di tengah gaduhnya pikiran, bohong kalau Mingyu bilang, jantungnya tidak serasa jatuh ke perut dengan kehadiran laki-laki yang entah sejak kapan duduk di depan gerbang sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat dia berdiri. Memang, daerah tempat acara halloween tahun ini berada di dekat kawasan tempat tinggal lama. Namun, buat apa juga dia duduk di sana sendirian?

Ketika Mingyu baru saja ingin memalingkan muka, netra mereka justru bertemu.

Ada handphone di genggamannya, juga rokok yang menyala di jarinya. Entah mengapa juga, langkahnya mengantarkannya menuju dia.

“Mogok ya?”

Dari jarak sedekat ini, Mingyu bisa lihat bahwa laki-laki di depannya (sepertinya) sepantaran dengan dia. Kedua, matanya itu tengah menatap dia tajam. Ketiga, dia menapak, itu yang paling penting.

Hidup di tengah orang-orang heboh agaknya tidak menjadikan seorang yang kikuk menjadi lebih cair.

“Iya, padahal tadi nyala-nyala aja.”

“Mau duduk dulu? Temen-temennya juga, mungkin?“

Tatapannya mengarah ke Roseanne, Jiho, dan Gyuri yang masih berdiri di dekat mobil, mereka-mereka yang seharusnya sudah pulang sedari tadi dengan mobil Bambam tetapi bersikeras untuk tetap tinggal.

“Iya, bentar lagi bisa pulang sih, harusnya.”

Think, Mingyu, think.

“Kok sendirian di luar gini?”

Lame, he knows. Tetapi laki-laki itu terlihat tidak masalah dengan pertanyaan basa-basi yang dia lontarkan.

“Nyari udara seger aja,” jawab dia. “Abis dari acara halloween?”

Mingyu langsung mengangguk, “iya. Keliatan banget ya?”

“Temen-temen cewek lo pakai bando kucing dan kelinci. Dan lo… smudge on your lips, jadi vampir?”

Jauh dari perkiraannya, laki-laki di depannya ini menarik. Mingyu tidak pandai menilai orang, namun bagaimana dia mampu memanjangkan obrolan dengan cara seperti itu menyenangkan hatinya. Mungkin juga karena dia kebetulan berparas menarik, entah juga.

“Iya, dipaksa sama yang lain. Katanya gue cocok.”

“They’re right,” ujarnya lagi. “It suits you well.”

Itu sedikit banyak melegakannya hatinya lebih dan lebih lagi.

“Kita belum kenalan, gue Mingyu.” Jelas dia sambil mengeluarkan sebuah kotak dari kantong celananya. Kita semua hidup di zaman di mana perkenalan informal seperti ini dilakukan dengan cara-cara unik selain berjabat tangan. Dia ingat bagaimana perkenalan dia dengan Hyunjae dimulai dari mereka yang saling menyontek ujian sebuah mata kuliah wajib universitas. Dia ingat bagaimana Roseanne bisa menambah teman hanya dengan melakukan gosip bersama dengan meja sebelah. Maka malam ini, dia gunakan cara paling mudah, berbagi korek untuk meniup asap ke udara lepas yang sama.

“Gue Wonwoo.”

“Nice name.”

“Ini lo lagi ngegodain balik ya?”

“Oh, jadi tadi beneran lagi ngegodain gue juga.”

Setelahnya, ada cengiran dan tawa yang keluar dari mulut masing-masing.

“No, seriously. You look good as a vampire, walaupun figur lo mungkin juga akan pas kalau jadi werewolf.”

“Itu pujian?”

“Itu pujian, as long as lo enggak pengen jadiin gue mangsa.”

“Emangnya boleh gigit?”

Ada tawa lagi yang lepas di antara mereka, “gue kepikiran sesuatu, tapi enggak pantes karena kita baru kenal.”

Perkenalan paling menyenangkan yang pernah Mingyu rasakan. Rasanya seperti critical eleven yang terjadi dengan mulusnya, membuatnya menikmati setiap detik yang mereka punya berdua. Sampai-sampai, Mingyu juga tidak sadar jika Hyunjae berakhir dengan menelepon pihak yang bertugas untuk menderek mobilnya seperti baru terkena kasus disita.

“Sebutin aja, Wonwoo. No hard feelings.”

“Serius nih?”

“Iya.”

“Kalimat lo itu kinky banget.”

Pipinya spontan menghangat dan Mingyu kembali menjadi dia yang kikuk. Ya ampun, bahkan Wonwoo berpikir begitu, itu memalukan. Tetapi, tawa yang Wonwoo berikan kepada dia tidak menjadikan dia merasa terbebani akan omongannya sendiri, justru ikut menertawakan diri dengan tatapan yang tidak bisa lepas dari dia.

“Gue enggak ada maksud gitu ya, Wonwoo. Tapi gue ngerti otak lo yang mungkin… ya…”

“Enggak, Gyu. Otak gue bersih and I swear that I have no kinky brain.”

“Lo langsung mikir ke situ. Gue enggak ngomong apa-apa loh, Won?”

“Mingyu, I swear-”

“Gyu! Lo mau ikut Grab atau mobil Bambam?”

Obrolan mereka mungkin langsung terputus dan tatapan Mingyu juga teralihkan, namun butuh satu dua detik hingga ia kembali berpaling ke Wonwoo, seakan memintanya untuk ikut memberikan pendapat. Wonwoo sendiri hanya tersenyum. Sudah tidak ada lagi asap yang mengusik indra pernapasan mereka, sudah sama-sama jatuh ke tanah dan diinjak dengan alas kaki masing-masing.

“Ikut Grab aja gue.”

“Oke, bentar lagi nyampe.”

Sebentar lagi pula obrolannya dengan Wonwoo akan berakhir. Seperti saat-saat terakhir Céline dan Jesse sebelum kereta memisahkan mereka menuju tujuan masing-masing yang sebenarnya. Namun, tidak ada Vienna yang mereka kelilingi, hanya bahasan entah apa yang membuat semangat pagi datang lebih dini.

“So…?”

Akan dia ingat di dalam pikirannya bahwa perayaan halloween tahun ini adalah yang terbaik di hidupnya. Menjadikan dia lupa atas segala yang membuatnya uring-uringan di jam yang telah lalu.

“Seneng bisa ngobrol sama lo, Wonwoo.”

tags: mention of gun as metaphor


Ketika dia kecil dulu, orang dewasa kerap menasihatinya dengan mengatakan bahwa apa yang kamu tanam adalah apa yang kelak kamu tuai. Segala usaha yang sudah kamu lakukan akan terbalas sama besarnya, tidak akan mereka mengkhianati kamu barang sepeser pun. Maka, Mingyu melewati hari-harinya sejak kecil dengan kalimat itu terpatri di dalam benaknya. Menjadi alasan dari berbagai usaha yang ia lakukan di sekolah maupun di lingkungan sosial, mencoba membuktikannya sendiri.

Orang dewasa juga pernah bilang bahwa jika usahamu itu tidak berbalas, bukan berarti sia-sia. Mungkin itu akan membantumu nanti ketika kamu benar-benar butuh, di kesempatan yang lebih baik ketimbang yang kamu ekspektasikan. Oleh karena itu pula, Mingyu berpegang teguh dengan itu hingga hari ini, ketika dengan nekatnya dia mengajak cintanya untuk menjalin hubungan seumur hidup dengan dia.

Setelah negosiasi yang cukup pelik dengan staf berhari-hari sebelumnya, Mingyu berhasil mendapatkan cukup waktu untuk dia melakukan niatnya. Menyanyikan lagu yang tidak sampai tiga menit, namun slot waktu itu pula yang mengampu delapan hingga sembilan tahun dia dibuat jatuh cinta dengan seseorang yang membuatnya berjuang sedikit lebih banyak dari yang dia ekspektasikan di awal-awal saling mengenal.

Namun menyerah tidak ada di dalam kamusnya. Maka, dia sisipkan setiap usahanya dalam setiap hari yang mereka lalui bersama. Entah ketika mereka adalah anggota band yang digandrungi sebagian kelompok masyarakat, atau sekadar Mingyu dan Wonwoo si dua manusia berakal, atau justru mereka yang menipu dunia lewat embel-embel teman dan kata benefit yang tertulis dengan saru.

Delapan tahun itu bukan waktu yang sebentar bagi sebuah hati menahan segala sulitnya untuk mencinta. Dari terbang ke angkasa hingga jatuh tersungkur ke dasar jurang, Mingyu telah merasakan keduanya. Tentu dia tidak protes, mencintai gitaris bandnya adalah salah satu hal yang paling manjur untuk menjadikan dia tersenyum di berbagai kesempatan, terlepas dari banyaknya waktu yang dia habiskan untuk memeluk lututnya sendiri di dalam kamar yang sama dengan yang biasa mereka habiskan untuk saling menyentuh bagian privat satu sama lain.

“Kayaknya ada yang perlu gue urus,” ujar Mingyu setelah Wonwoo melesat keluar dari panggung sesaat setelah dia selesai menyanyikan lagu I Wanna Grow Old with You milik Adam Sandler. Panggung ini adalah kabin pesawat terbang mereka.

Jika boleh jujur, itu membuat jantungnya jatuh ke dasar perut. Degup jantungnya langsung tidak karuan, segala rutukan dengan kata kasar menguasai pikirannya. Mingyu bahkan tidak menggubris panggilan setiap kru yang menanyakan dia dan Wonwoo yang tiba-tiba absen dari atas panggung ketika konser mereka belum juga selesai. Ayo lah, rencana nekatnya terancam dan itu adalah masalah besar.

“Won, kamu mau kemana sih?”

Tapi Wonwoo tidak mengindahkannya, terus berjalan dengan cepat.

“Wonwoo, aku—“

Detik setelahnya adalah Wonwoo yang langsung terduduk di lantai yang mereka pijak, berjongkok untuk memeluk lututnya.

Mingyu langsung menyusulnya, ikut berjongkok di samping dia.

“Hei, Won? Kamu enggak kenapa-kenapa?”

Sayang, jelas itu bukan pertanyaan yang tepat. Setiap kru yang mengekor mereka tentu dapat melihat punggung Wonwoo yang naik dan turun. Jika mereka mendengar lebih teliti lagi, mungkin telinga mereka dapat menangkap isakan yang keluar dari sela-sela lipatan tangan laki-laki di sebelah Mingyu itu.

“Wonwoo, jangan nangis— fuck, aku minta maaf….”

Mengajak seseorang yang (pernah) memiliki isu berkomitmen untuk menikah? Tindakan bar-bar memang. Mingyu mulai menyesali pilihannya.

Selalu ada penyesalan dari kita sebagai manusia sepanjang kita hidup di dunia. Dari jurusan kuliah yang kita pilih, restoran mana yang akan memenuhi kebutuhan makan siang kali ini, hingga warna cat rambut yang kita pilih dengan impulsifnya demi mengejar warna yang entah apa. Mingyu pernah menyesal ketika dia dulu memilih judul skripsinya yang membuat dia kesusahan setengah mati. Ada Wonwoo di sana yang selalu menyemangati dia untuk menyelesaikan setiap bait yang ia ketik dalam laptop abu-abunya. Menemaninya ketika dia butuh atau sekadar ingin.

Namun lihat dia sekarang. Jika Wonwoo adalah alasannya menyesal, dengan siapa lagi dia harus bertahan?

Butuh beberapa menit hingga Wonwoo mengangkat kepalanya, ada mata yang sedikit bengkak dan Mingyu serius ketika berpikir bahwa besar inginnya untuk meninju kepalanya sendiri sekeras yang ia mampu. Membuat laki-laki kesayangannya ini menangis adalah salah satu dari banyaknya hal yang tidak ingin dia lakukan.

“Won, maaf. Aku enggak maksud—“

“Kita bahas ini nanti ya?”

“Iya, enggak usah bahas lagi. Kamu enggak apa-apa kan? Enggak ngerasa—“

“I’m okay, Gyu,” Mingyu bersumpah bahwa dia melihat gemerlapnya mata Wonwoo bersamaan dengan senyum kecil di bibirnya. ”I’ll ask the crew first. Abis itu, kita balik ke panggung, okay?”

Mereka kembali ke panggung dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan.

Mingyu agak menghabiskan banyak waktu untuk melempar pandangannya ke arah Wonwoo di sisi panggung lainnya, berusaha menangkap air muka lelaki itu untuk mencari jalan tikus menuju jawaban yang dia tunggu-tunggu. Namun, dia adalah Jeon Wonwoo. Jeon Wonwoo yang membingungkannya, membuatnya kerap bertanya-tanya di dalam kepalanya sendiri tentang apa yang tengah merajai pikiran Wonwoo selama bertahun-tahun mereka mengenal.

Jika boleh jujur, itu agak membuatnya ingin berteriak di atas panggung saat itu juga, menuntut jawabannya sekarang juga. Memasang tampang pura-pura bahagia ketika jauh di dalam lubuk hati sedang yang ada hanya cemas jelas bukan hal yang enak untuk dilakukan. Tetapi, dia bisa apa?

Ketika konsernya berakhir, maka yang tertinggal hanya debar yang enggan untuk berhenti.

Mereka semua bersukacita di belakang panggung, saling memeluk kru yang tidak kalah bekerja kerasnya dengan mereka. Berterima kasih kepada seluruh staf yang telah membantu konser ini hingga berjalan dengan lancar. Mingyu sendiri berusaha mati-matian untuk menempatkan dirinya tetap di sana, meski lehernya tidak henti-hentinya untuk menengok ke arah Wonwoo bergerak. Namun, Mingyu tidak bisa bohong kalau yang dia lihat itu tidak ada ketakutan, tidak ada keraguan. Hanya pandangan mata yang berbinar dengan senyum sumringah yang dia berikan kepada semua orang di sana.

Agaknya jelas-jelas saja mengapa otak dan hatinya seakan ingin percaya dengan jawaban Wonwoo kelak.

“Jadi gak nanti?”

“Jadiin aja!”

“Fix di rumah g—”

“Ji, gue sama Mingyu enggak ikut ya!”

Barusan itu adalah suara Wonwoo yang langsung membuat dirinya menjadi pusat perhatian dari semua orang di dalam ruangan ini. Dari Seungcheol yang langsung tersenyum, hingga Jihoon yang yang langsung memekik dan bertepuk tangan di sana. Mungkin hanya Mingyu yang satu-satunya merasa hilang arah di sana, mengerutkan dahi tanda kebingungan.

“Udah dijawab sama Wonwoo, Gyu?” Tanya Jun setelahnya.

Tentu Mingyu tidak tahu-menahu, menengok ke arah Wonwoo yang berdiri berseberangan dengannya sedang meneguk air mineral dari botol, mengekspos lehernya. Tidak seperti menit-menit sebelumnya, tidak ada lagi peluh yang menetes di sana. Namun rasa-rasanya, tetap ada tensi tinggi yang ingin membakar dirinya.

“Belom kok,” itu suara Wonwoo. ”I need to talk with him first.”

Itu mengantarkan mereka bukan kepada tempatnya Jihoon sebagaimana yang lainnya, sudah seperti anak yang ketinggalan kereta. Dibanding menyentuh alkohol yang menjadikan otak mereka disetir secara tidak sadar, Wonwoo seakan meminta Mingyu agar sesadar mungkin. Malam itu menjadi salah satu malam paling mendebarkan di dalam hidupnya.

Wonwoo mengajaknya untuk pergi ke dalam studio yang letaknya ada di rumah Mingyu. Menutup pintunya perlahan, namun tidak langsung melepas genggamannya dengan knop pintu.

“Wonwoo,”

“Sebentar dulu.”

Mingyu langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Mengurungkan segala pertanyaan yang mencambuk pikirannya. Dia hanya terduduk di situ, di atas sofa dengan tangan yang mencengkram ujungnya.

Ada seorang filsuf Prancis, namanya Michel Foucault. Dia pernah bilang bahwa pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Hal yang kita ketahui itu boleh jadi memberikan kekuatan untuk menjadi pihak yang seakan lebih superior dibanding pihak lawan, memegang kuasa untuk menyetir dia yang tidak tahu apa-apa. Dalam hal ini, Wonwoo sebagai pemilik jawaban adalah si penguasa dari seluruh hidup Mingyu

Butuh beberapa menit sampai Wonwoo duduk di sebelahnya, bersandar dengan lengannya yang dibiarkan menempel dengan milik Mingyu.

“So…,” dia mulai membuka suara. “You proposed.”

“I’m sorry.”

“Aku enggak bilang kamu salah.”

Hening sekali ruangan hingga telinga mereka bisa mendengar suara dengung yang datangnya entah dari mana.

“That was impulsive.”

“You’re right, kamu nekat.”

“Enggak apa-apa, Won, kalau kamu emang enggak bisa.”

“Can you please let me talk first?”

Suaranya agak mengeras dan Mingyu kembali tidak bergeming.

*“Remember this place?” Ujar Wonwoo, “pertama kali kita ngeseks itu di sini.”

Jelas Mingyu tidak lupa, dia bahkan mengingat semuanya. Bahkan seluruh cium dan sentuh sebelum mereka mencampuri kehidupan seksual masing-masing, Mingyu ingat detailnya.

“So that’s the reason why I brought you here.”

“Buat nostalgia?”

“Buat jadiin tempat ini jadi saksi lagi.”

Udara serasa tercekat di lehernya.

“Won, aku—“

“Let’s do it.”

“Wonw—“

“Let’s grow old with each other.”

Seperti di film-film action yang kerap ia tonton di kala senggang, selalu ada efek slow motion ketika peluru berhasil dibidik ke arah target, menembus badannya. Sekuen itu dibuat menjadi lebih lama dari yang seharusnya untuk memberikan efek dramatis, hingga terkadang penonton ikut dibuat merasakan mencelosnya di dada, bahu, kepala, atau bagian tubuh lainnya.

Dalam kasus ini, Mingyu merasa bahwa dirinya lah target operasi itu dengan pistol semu Wonwoo yang dibidik langsung dari mulutnya.

“Maksudnya apa?” Tanya dia tidak percaya.

Detik setelahnya adalah pipinya itu ditangkup oleh kedua tangan untuk dibawa mendekat, menyentuhkan bibirnya dengan milik Wonwoo hingga mata mereka sama-sama terpejam.

Berbeda dengan Hanahaki Disease yang menghancurkan penderitanya dengan bunga yang mekar di dalam dada akibat cinta yang tidak terbalaskan, Mingyu merasakan buka-buka itu tengah bermekaran sekarang. Ada kupu-kupu yang mengepakkan sayap mereka di seluruh tubuhnya, segala macam petasan yang meledak di kepala. Mungkin Eros menembakkan panah tambahan kepada dia, karena rasa-rasanya, dia bukan lagi sekadar jatuh cinta.

“Babe, are you—“ Kalimatnya tidak pernah diselesaikan akibat kecup lainnya yang Wonwoo bubuhkan di hidungnya.

“It was kinda freaking me out, actually.”

“Terus kenapa diterima, Wonwoo?” Tanya Mingyu lagi, suaranya itu terlewat lembut.

“I don’t— I don’t know? It freaks me out, but it gives me an euphoria I’ve never felt before. I feel like… I’m finally alive, with you.”

“Wonwoo… sayang….”

Mingyu mengingat segala memori dengan Wonwoo di tempat ini lebih dari dia mengingat jumlah lagu yang sudah dia dan Jihoon ciptakan selama delapan tahun berkiprah di dunia ini. Dari mencumbu Wonwoo yang tengah duduk di pangkuannya, sofa ini yang entah sudah berapa kali mereka jadikan alas untuk bercinta. Jika memori selanjutnya adalah Wonwoo yang menerima lamarannya, maka Mingyu bersumpah dia tidak akan membiarkan orang tuanya menjual rumah ini selamanya.

“It doesn’t mean we will… tie the knot dalam waktu dekat kan, Gyu? We can still wait for a bit, right?”

“I will give you all my time, oke?” Tangannya bergerak untuk menggenggam tangan Wonwoo di depannya, ”Fuck, kamu bilang iya aja udah bikin aku seseneng ini.”

“Mingyu—“

“Wait! Aku ada sesuatu buat kamu.”

Tangannya meraih fanny pack yang ada di meja depan, membuka resletingnya dan mengeluarkan sebuah tabung kecil dengan warna merah jambu berbahan bludru. Maka kali ini adalah waktu bagi Wonwoo untuk menjadi pihak yang meledak sekali lagi.

“Mingyu, you don’t have to….”

“Aku mau,” jawab dia dengan senyum lebar di wajahnya. Dia buka tabung itu, menunjukkan cincin dengan tekstur paling cantik yang pernah Wonwoo lihat. Tidak ada yang terlampau mencolok disitu, Mingyu tahu seleranya.

“So, let me ask you once again.” Mingyu tersenyum ketika Wonwoo semakin menggigit bibir bawahnya. “Jeon Wonwoo, will you marry me?”

important tags: please dont read if you can't bear angst, its sesame syrup anyway. mention of desire to die. abusive behavior. panic attack. cursed words.

tags penting: jangan membaca jika kamu tidak kuat dengan angst, lagi pula ini sesame syrup. penyebutan keinginan untuk mati. kebiasaan kasar. serangan panik. kata-kata kasar.


Kalau berkiblat dari musisi lainnya di kancah permusikan negeri, mungkin kita sama-sama bisa menyimpulkan bahwa 8 tahun bukan waktu yang begitu lama, meski seumur jagung juga bukan ungkapan yang tepat. Daze-61 memulai kariernya ketika mereka semua masih sama-sama berstatus mahasiswa, dibayar seadanya ketika tampil di pergelaran konser musik fakultas mereka masing-masing. Jihoon dan Mingyu adalah penggagas dari semua ini, baru mengajak Seokmin dan Jun, kemudian Wonwoo sebagai anggota terakhir.

Latar belakangnya hanya karena mereka sama-sama bosan dan dunia perkuliahan tidak akan semakin mudah jika kita sekadar bersantai-santai di waktu kosong, jadi mereka memanfaatkannya untuk mendekam di ruangan kosong di rumah Mingyu yang kemudian disulap menjadi studio. Mereka masih sama-sama ingat betapa buruknya kualitas musik pertama mereka, seperti direndam di dalam air, kalau Jihoon bilang. Namun mereka itu pemuda-pemuda yang enggan menyerah hingga akhirnya, empat tahun setelah Daze-61 terbentuk, dua tahun setelah mayoritas dari mereka menjadi sarjana, lagu mereka entah mengapa meledak di pasaran.

Masih terpatri di memori masing-masing saat mereka mendengarkan Clap terputar di radio untuk pertama kali. Mungkin teriakan Jun adalah yang paling berkesan, mungkin juga Seokmin yang setengah menangis mengingat masa-masa sulitnya dia ketika melakukan rekaman. Bisa dibilang, itu adalah jembatan emas yang mengantarkan mereka hingga sampai di titik ini dengan 30.000 penonton menjadi saksi dari tur pertama mereka. Menyenangkan sekali untuk bisa bertemu dengan sekian banyak penggemar dari banyaknya provinsi yang negara ini miliki. Bercengkrama kecil sambil memberikan tanda tangan di kertas hingga berbagai benda apapun yang mereka sodorkan di depan mata. Banyaknya foto bersama yang mereka lakukan agaknya mengembalikan kenangan bertahun-tahun lalu ketika mereka sedang menyelesaikan tugas sebagai mahasiswa baru.

“Semuanya udah stand by? Mingyu-Wonwoo udah?”

“Udah dari tadi, buset.”

“InEar aman semua ya? Pas soundcheck juga udah oke?”

“Aman, bang.”

Hari ini itu waktunya mereka untuk menutup tur perdana yang menjadikan mereka seperti menghilang dari rumah selama berminggu-minggu dan kembali selama beberapa hari sebelum berangkat lagi. Venue konsernya juga tidak sebesar konser pertama mereka di Istora Senayan, agak membuat kolom komentar akun resmi Daze-61 dibanjiri oleh kalimat want to buy ketimbang pujian yang biasa mereka dapatkan. Bukan, bukan protes, justru terharu.

Basket Hall Senayan serasa disulap dengan berbagai cahaya yang dipasang di mana-mana, dari merah hingga biru. Berbagai confetti yang dijatuhkan dari atap-atap turut menambah euforia, begitu pula dengan bola-bola raksasa di area festival yang menjadikan penontonnya semakin riuh.

Menyenangkan setiap beberapa penonton disorot dan rupanya ditampilkan di layar raksasa di dekat panggung sana. Beberapa sekadar bernyanyi bersama, beberapa berubah menjadi malu-malu, sebagian justru merangkul temannya dan berpose bersama, sebagian lagi menggunakan kipas elektrik mini mereka layaknya microphone untuk bernyanyi.

“Kakaknya dateng bareng pacarnya? Bukan? Oh, yang di sebelahnya pacar orang lain… maaf ya, mas, mbak. Kakaknya nyari pac— Oh! Udah ada suami! Salam buat suaminya ya, kak! Semoga next time bisa nonton bareng.”

Dibanding konser lainnya, yang kali ini justru lebih intim. Namun, jika ditanya alasannya, tentu jawabannya akan berbeda-beda. Jihoon lebih bebas berguyon, Jun dan Wonwoo sibuk bercerita tentang hari mereka, Seokmin yang semakin rajin berbicara lagi, dan Mingyu yang… punya agenda lain.

Semua orang di balik panggung tentu tahu perihal ini, begitu pula dengan seluruh anggota Daze-61 terkecuali Wonwoo. Letaknya berada di encore dari konser penutup hari ini, sehingga jika ada suatu hal buruk terjadi, setidaknya tidak menghancurkan tatanan konser. Seluruh anggota Daze-61 adalah pemainnya dengan Wonwoo sebagai target operasi.

“Lo bener-bener yakin mau ngelakuin ini?” Begitu pertanyaan Seokmin pagi tadi.

Jika ingin jujur, isi kepala Mingyu itu isinya hanya tanda tanya. Bagaimana kalau dia gagal? Bagaimana kalau Wonwoo tidak siap? Namun saat itu tinggal hitungan jam, membatalkannya sama juga dengan merepotkan seluruh kru yang sudah berusaha menyematkan acara sesakral lamaran di tengah konser bersama ribuan orang. Itu juga hanya akan melukai perasaannya, jerih payahnya, cincin yang ia beli dengan tabungan dan membuatnya berbinar ketika membayangkan Wonwoo mengenakannya. Membatalkannya sama saja kabur dari kesempatan itu.

Tidak ada kata menyerah di dalam kamus hidupnya, tidak terkecuali di hari ini.

“Terima kasih buat semuanya yang udah dateng hari ini. Gue yakin banyak dari kalian yang udah dateng ke Janitra yang sebelumnya. Gue kayak sering liat tuh, mbak yang pakai overall dan kaos biru. Iya, mbak, malah nengok ke belakang.” Ujar Mingyu di akhir acara, diikuti oleh tawa dan riuh penonton. Sengaja dia menjadi anggota terakhir yang mengucapkan terima kasih agar skenario berjalan lancar.

Dia melanjutkan, “gue harap, sepulang dari sini, kalian bisa ngabisin waktu bareng orang-orang yang kalian sayang. Kalau bisa sih selamanya, ya? Atau… kita semua lah ya? Kita-kita kan juga mau.”

Ini dia.

“Jadi di kesempatan yang tipis banget ini, gue sampai nego dulu sama tim demi dapet time slot ini, gue mau ngajak orang yang gue sayang, selain kalian, buat ngabisin waktu bareng gue. Kalau bisa sih selamanya.”

Ada waktu yang Mingyu gunakan untuk menghilang sebentar sebelum suara petikan gitar akustik menggaung di Basket Hall Senayan lewat speaker di segala penjuru ruangan. Ketika dia kembali, maka siapa pun tahu bahwa saat ini, Mingyu yang telah mengudeta posisi Seokmin itu adalah pemeran utamanya.

I wanna make you smile whenever you're sad Carry you around when your arthritis is bad All I wanna do is grow old with you

I'll get your medicine when your tummy aches Build you a fire if the furnace breaks Oh, it could be so nice, growing old with you

Wonwoo menjadi satu-satunya yang mengerutkan dahi di atas panggung, menengok ke arah siapa pun yang bisa ia tangkap untuk menemukan mereka yang tidak tampak bingung sama sekali. Hanya ada dia dan seluruh penonton yang justru berteriak dengan riuhnya, gawainya yang mengarah tepat ke arah dirinya.

I'll miss you Kiss you Give you my coat when you are cold

Need you Feed you Even let you hold the remote control

Butuh beberapa waktu hingga Wonwoo berhasil menarik garisnya, dari seluruh curi-curi pandang yang Mingyu berikan kepada dia saat ini hingga lagu yang dia pilih untuk nyanyikan bersama Seokmin sebagai pengiring.

So let me do the dishes in our kitchen sink Put you to bed when you've had too much to drink Oh, I could be the man who grows old with you I wanna grow old with you

Kim Mingyu sedang melamarnya.

Pernah ada satu cuitan yang beredar di Twitter. Katanya, semakin kita besar, akan semakin banyak selamat tinggal yang kita ucapkan. Entah itu kepada mimpi kecil yang dulu kita ucapkan dengan lantang di depan orang tua dan seisi kelas, pedagang bubur di dekat pasar yang sudah tidak pernah kita lihat sejak menginjak bangku SMA, seluruh bucket list yang kita tulis pada ruang kosong di dalam buku latihan SBMPTN semasa sekolah dulu, hingga kucing liar yang dulu kerap singgah di depan gerbang rumah dan mengeong meminta sedikit pangan yang kita punya.

Ada kalanya, manusia itu tidak begitu mengindahkan apa pun yang ada ketika sedang ada di sekelilingnya. Baru lah kita merasa kehilangan ketika raganya menghilang, absennya eksistensi mereka-mereka itu terasa seperti uap panas dari sup ayam yang terbang ke udara, membaur bersama gas-gas lainnya.

Wonwoo pikir, dia sudah melewati itu. Jauh di tahun 2021 lalu, ketakutannya itu hanya berpusat pada dirinya sendiri. Tentang dia yang baru menyadari bahwa Mingyu juga punya titik lelah, bahwa dunia ini isinya bukan hanya tentang dia. Tiga tahun itu bukan waktu yang cepat, namun tidak ada artinya jika dibandingkan dengan lamanya dia dibelenggu oleh teror semu yang telanjur berkerak di hidupnya. Traumanya belum pernah terpicu lagi sejak di akhir tahun itu, membuatnya merasa bangga dengan dirinya sendiri atas perlawanan yang selama ini dia lakukan.

Tidak ada lagi Wonwoo yang akan berubah kaku setiap Mingyu melakukan kontak dengan dia. Mingyu lebih dari sekadar menerimanya dengan tangan terbuka ketika Wonwoo membentuk langkah kecilnya perlahan. Bergantinya kata ganti subjek yang terjadi di antara mereka itu pernah menjadikan dia manusia paling bahagia di dunia. Mungkin mereka masih sama-sama ingat ketika grand opening cafe and eatery milik Mingyu beberapa bulan lalu, yang terus diboyong ke mana-mana adalah Wonwoo, hanya dia yang menggenggam tangannya dan bertemu dengan banyak sanak saudara. Hari itu, Wonwoo tidak merasa risih sama sekali.

Tapi, sayang, orang-orang dewasa selalu mengajarkan kita untuk tidak sombong dan merasa di puncak dunia setelah memperoleh apa yang kita ingin sampai-sampai lupa menapakkan kaki.

Mingyu tentu tahu bahwa trauma Wonwoo bukan sesuatu yang bisa disembuhkan, itu bahkan bukan sebuah penyakit. Katanya, yang bisa dilakukan itu hanya menjaga dia agar tidak kambuh lagi, tidak menyulutnya agar hilang peluangnya untuk kembali meledak. Namun entah apa yang ada di pikirannya hingga seyakin itu untuk mengajak Wonwoo menjalin hubungan sakral yang jelas akan mengikatnya di seluruh sisi.

Maka setelah Wonwoo melesat untuk pergi dari panggung saat itu juga, Mingyu langsung menarik micnya, mengucap: “Kayaknya ada yang perlu gue urusin,” sebelum mengekor Wonwoo mengarah ke belakang panggung. Dia serahkan gitar yang tadi dia kalungkan di tubuhnya ke arah kru entah siapa, tatapannya itu hanya mengarah ke dia yang berjalan cepat di depannya.

Mingyu knows he fucked up. It has never been a good idea, mungkin memang seharusnya dia mendengarkan pendapat orang lain di atas ego dan idealismenya sendiri.

“Wonwoo, konsernya belum selesai.” Ujar dia sambil berusaha menarik bahu atau tangan Wonwoo untuk menghentikannya. Dia tahu bahwa beberapa kru sudah mengekori mereka, barangkali ingin menuntut kejelasan dari absennya mereka di atas panggung di saat-saat terakhir.

“Kamu nih mau ke mana sih?”

Ketika dia berbalik, Mingyu yakin yang dia lihat adalah kilat penuh amarah di matanya.

“I don't understand what the fuck what were you thinking!”

“Wonwoo, dengerin aku dulu.”

“DON'T YOU DARE LAY YOUR HANDS ON ME AGAIN!” Teriak Wonwoo, menarik tangannya hingga yang Mingyu genggam hanya udara kosong, seakan mengejek.

Di tengkuknya sudah seperti kejatuhan beban berat yang menjadikan lehernya kaku, rasanya dingin dan menusuk. Sementara dadanya kian sesak, kepalanya seperti kapal pecah dalam prosesnya untuk mencerna segalanya. Apa yang harus dia lakukan setelahnya? Kenapa Mingyu melamarnya di depan orang banyak? Apa yang orang-orang pikirkan sekarang? Dia dan Mingyu meninggalkan kerumunan itu tanpa kata terima kasih terakhir, mereka pasti sudah kecewa sekali dengannya, kan?

“Won, maaf, aku enggak—“

“Lo itu enggak mikir ya, Gyu? Are you trying to fucking kill me?!”

“Aku enggak ada mikir kayak begitu, Wonwoo.”

“Then what were you trying to fucking do?! Lo itu baru ngajak gue nikah di atas panggung, di depan semua orang dan handphone mereka yang lagi rekam kita! You didn’t even think how embarrassing, how— terrifying it was, did you?”

Mereka sama-sama bisa menyadari kru yang mulai berdatangan lewat ekor mata. Beberapa berusaha menarik dia dan Mingyu untuk menjauh dengan tampang khawatir dan kagetnya. Kalau boleh jujur, ini justru memperburuk keadaan. Dadanya itu serasa semakin ditekan dengan kencang dan kepalanya semakin berat. Wonwoo merasa bahwa dia bisa pingsan kapan saja.

“Ak— gue kira, kita udah baik-baik aja? Gue tau lo udah baikan, gue bisa ngerasain kalau lo udah nerima gue. Kita udah kayak hubungan orang-orang kan? Terus kenapa lagi?”

“BUT IT DOESN’T MEAN GUE UDAH BISA TERIMA ITU, MINGYU! OH GOD! It’s a freaking wedding! Ikatannya bukan di antara kita aja, don’t you realize?”

“Won, nikahannya juga enggak akan besok!”

“Lo gampang cuma bicara,” sergah Wonwoo lagi. Seperti ada api di matanya yang siap untuk membakar Mingyu jika laki-laki itu masih berani untuk membuka suara. Dia majukan langkahnya, menusuk bahunya dengan telunjuk. “Have you ever punched your own face because you were too scared someone will hurt you harsher than yourself?”

“Fuck, you know I won’t—“

“You don’t even understand a thing about me, Mingyu! Lo enggak ngerti itu, lo enggak mau tau karena yang di otak lo itu cuma lo yang pengen seneng tanpa berpikir kalau kesenangan yang lo tawarkan itu justru yang bikin gue mau mati! I’M DYING AND YOU WON’T FUCKING CARE BECAUSE IT’S JUST ABOUT YOU AND YOUR STUPID CHOICE!”

“BISA ENGGAK DENGER GUE DULU, ANJING?”

Mungkin Wonwoo sudah mau mengalah untuk ikut dengan salah satu kru mereka yang mengajaknya untuk segera kembali ke ruangan jika saja suara Mingyu tadi tidak menyambar dirinya seperti petir yang mengalirkan listrik dari ujung kaki hingga ujung kepala, meninju jantungnya hingga rasa yang tertinggal adalah mencelos dan takut di saat yang sama.

Mingyu itu yang selalu menggadang-gadangkan diri sebagai yang paling peduli dengan Wonwoo, tidak terhitung pula berapa kali jari itu mengetik maupun mulutnya yang mengucap bahwa dia menyayangi Wonwoo dan berjanji untuk menjaganya. Namun, Mingyu itu juga yang baru saja membangkitkan takutnya, trauma yang berusaha ia kubur. Suara bentakan itu, suara teriakan penuh amarah itu.

Tatapannya langsung berubah nanar, dengan susah payah dia menahan gemetar pada tubuhnya dan air mata yang seakan berlomba turun layaknya awan menjadi hujan. Napasnya memburu, remasan tangan yang dia berikan kepada kru semakin menguat.

Butuh entah beberapa detik sampai Mingyu kembali angkat suara.

“Won, gue enggak maksud—“

Namun, Wonwoo bukan manusia paling baik hati di dunia. Dia terbiasa untuk hidup kuat sendirian dan untuk bertahan adalah dengan tidak terlampau ramah-tamah dengan sesama agar hilang kesempatan mereka untuk memanfaatkan dia. Tidak ada Mingyu yang langsung mengambur ke pelukannya dan Wonwoo yang terisak di dalam dekapan layaknya film-film romansa penuh khayalan yang mustahil untuk terjadi itu, tidak akan dia terima juga jikalau laki-laki itu melakukannya.

Jika Mingyu selalu mewanti-wanti Wonwoo untuk berani mengekspresikan emosinya, maka bukan salahnya jika Wonwoo menggunakan tangannya untuk menampar dia yang berlagak peduli. Wonwoo bisa lihat wajah terkejutnya ketika semu merah perlahan muncul di pipinya, tetapi untuk apa dia merasa iba?

Keadaan belakang panggung setelahnya adalah hening, begitu sunyi hingga kru dari beberapa meter jauhnya mungkin saja bisa mendengar suara tamparan yang baru Wonwoo berikan kepada Mingyu di depannya. Dia tidak lagi peduli bagaimana Jun langsung memeluknya dari belakang atau Seungcheol yang langsung membawa Mingyu yang masih tertegun di sana untuk pergi menjauh. Dadanya itu masih naik turun ketika akhirnya dia menunduk hingga bersimpuh, meremas bajunya sendiri. Sekali isakannya lepas, maka malamnya akan dihabiskan dengan air mata saja.

Ini membuatnya gila, menjadikan kepalanya seakan berputar. Dadanya itu semakin sesak dan napasnya kian memberat. Dia pukul ulu hatinya berkali-kali sebagai usaha untuk menghilangkan pedihnya, memaksa dirinya untuk terus bernapas dan tidak kehilangan paru-parunya.

Ketika Wonwoo mendongak, samar-samar dia tangkap keberadaan kru yang ingin membantunya untuk bangkit, begitu pun dengan Jun dan Seokmin yang tangannya tidak pernah lepas dari tubuhnya untuk menguatkan. Tidak ada lagi raga Mingyu yang dapat ia temukan lewat matanya yang berkunang-kunang, sudah menghilang bersamaan dengan mereka-mereka yang membawanya untuk menjauh tadi.

Seperti kenyataannya, seperti jalannya.

Mungkin tidak seharusnya Wonwoo menaruh kepercayaan pada dirinya tentang Mingyu di dalam kisahnya. Bahwa sejauh apapun mereka mencoba, yang ada di depannya adalah tembok beton dengan jeruji yang tidak bisa mereka panjat, apalagi hancurkan. Segala usaha itu hanya untuk memperpanjang waktu bersama, bukan untuk menjadikannya selama-selamanya. Susah seharusnya dia tahu itu, kan?

“Won, lo bisa bangun?”

Ada decakan yang keluar dari mulut Wonwoo ketika dia berusaha bangkit dengan bantuan yang lainnya. Dia tentu masih dapat merasa bahwa ada yang berat di tubuhnya yang masih berkeringat. Mungkin saja itu ketakutan yang kembali menguasai dirinya, Wonwoo berasumsi. Senyum kecutnya menjadi tanda bahwa dia tengah berserah.

Detik itu, dia dapat merasa bahwa delapan tahun yang mereka punya tengah runtuh dengan perlahan. Berubah menjadi debu di udara, menjadi momento mori yang hanya dapat didamba.

Emasnya Kades Bagian 5

Langit jingga di depan sana seakan menghipnotis setiap mata yang memandang, seperti tengah menggoda tiap jiwa untuk tenggelam ke dalamnya. Itu selalu menjadi kesukaan Wonwoo untuk melihat kombinasi dahsyat dari langit dan segala komponen di dalamnya. Jika pagi menjelang, terkadang ia tangkap kejora menjadi bayang-bayang matahari di ujung dunia. Namun pada malam, yang ada hanya hamparan bintang yang megah, begitu terang hingga dia serasa berada di kota lagi.

Tidak ada kota lagi di hidupnya, hanya ada kerbau dan palawija yang baru ditanam. Mingyu yang berbaring di atas pahanya hanya bergerak sesekali, rambutnya mencuat ke sana dan kemari. Jika tidak ada laki-laki ini, mungkin ia tidak akan berada di Desa Sebongri lagi sekarang. Mungkin dia tengah bekerja sebagai karyawan administrasi di salah satu perusahaan swasta atau mengikuti ujian CPNS yang orang tuanya suka katakan. Dia tentu tidak menyesal, tetapi selalu ada andaian yang tertinggal di benak setiap manusia.

“Mas, menurut kamu, suatu hari kita bisa tinggal di kota?”

Tentu pertanyaannya bukan lah pertanyaan terbaik yang patut ditanyakan kepada pimpinan desa yang mencintai wilayahnya lebih dari siapapun. Mingyu langsung bangkit, memandang Wonwoo lamat-lamat.

“Kenapa kamu bertanya begitu? Kamu mau kembali ke kota, Wonwoo?”

“Aku cuma nanya lho, mas….”

Lalu cinta menjadi emosi paling sarap yang pernah dia rasakan. Bagaimana indahnya untuk merasa dicintai oleh dia yang memiliki seluruh hatinya. Cinta memang menjadikan manusia bodoh, terlena akan dunia yang serasa milik berdua. Sentuhan pelan di pipinya ini bukan apa-apa.

“Saya ini bukan lulusan sekolah bagus seperti kamu, Wonwoo, enggak berpendidikan tinggi. Mau kerja apa nanti di kota?”

“Aku bisa bekerja.”

“Saya merasa enggak nyaman kalau kamu bekerja sendirian dan saya hanya di rumah. Saya enggak akan melarang kamu bekerja, tapi kita sudah sepakat kalau yang menjadi kepala keluarga itu saya, sudah seharusnya saya yang utama dalam mencari nafkah untuk keluarga.”

Mingyu tahu Wonwoo kecewa meski jauh di dalam hatinya, ada dia yang juga kecewa dengan pertanyaan yang lebih terdengar seperti harapan itu. Apa desa ini tidak lagi membuat Wonwoonya bahagia?

Ia angkat tangan yang sedari tadi meremas ujung alas gubuk, dicium lah punggung tangannya.

“Nanti kita pikirkan lagi.”

Ketika Mingyu berkata nanti, maka suatu hari, mereka akan benar-benar sampai di sana. Dia akan selalu menebus janjinya, terlebih untuk segala yang berkenaan dengan suaminya yang tengah menatapnya dengan mata yang mulai basah. Sebelum Mingyu menyadarinya, sudah ada Wonwoo yang menutup netranya rapat-rapat dan memajukan wajah untuk menubrukkan bibir mereka. Jika ada anak-anak desa yang lewat, mungkin akan ditertawakan mereka itu.

Masih ada air mata yang tertinggal di pipinya ketika tautannya terlepas, menjadikan suaminya panik dan buru-buru menghapus jejaknya.

“Kalau memikirkannya saja membuat kamu enggak nyaman, kita enggak perlu membahas ini lagi.” Ujar Wonwoo. “Aku akan ikut kemana pun kamu pergi, di mana pun kamu menetap.”

Maka Mingyu menjadi yang paling bersyukur di dunia telah memenangkan dia yang paling emas hatinya. Sekadar kata cinta pun rasa-rasanya seperti sebuah penghinaan, yang dia rasakan itu jelas saja jauh lebih megah lagi. Namun dia bisa apa?

“Saya cinta sekali sama kamu.”

Senyum manisnya berarti dia juga merasakan hal yang sama.

“Aku mau kamu sebutkan satu hal yang ingin kamu minta ke aku, apa pun itu.”

“Apa pun?”

“Jangan merasa enggak enak ya, mas.”

Lima hingga enam detik kemudian, baru lah kedua tangannya kembali digenggam. Meski rasa-rasanya Wonwoo telah tahu apa yang laki-laki itu ingin sebutkan, dia memutuskan untuk memberikan seluruh waktunya hingga maghrib menjelang.

“Kalau kamu merasa kita sudah siap, saya mau kita mulai mempertimbangkan anak. Kamu enggak keberatan kan, Wonwoo?”

Emasnya Kades Bagian 3

Seharusnya Wonwoo sudah menduga ini sejak awal. Sebaik-baiknya desa tempat ia dibesarkan itu, tentu selalu ada omongan tetangga yang kurang enak untuk diterima oleh telinganya. Barangkali juga, ia sebenarnya sudah tahu dan memilih untuk menutup rapat-rapat pendengarannya. Mereka bilang, pendidikannya di kota itu tidak berguna jika tidak bisa mengangon sapi dan menanak nasi. Kota terlalu memanjakannya dengan mesin yang menjadikan tangannya kagok, sekadar mencuci pakaian dengan tangan saja tidak mampu. Wonwoo hanya memberatkan hidup Pak Kades.

Desas-desus seperti itu menyebar dengan cepat ketika usia pernikahan mereka belum menyentuh satu bulan, terima kasih kepada salah satu wanita yang menceritakan kepada semua orang mengenai Pak Kades yang izin buru-buru setelah menerima permintaan urusan KTP karena ingin memasak nasi. Wonwoo pikir, memasak nasi bukan hal pamali untuk dilakukan, Mingyu juga dengan senang hati membantunya yang sedang sibuk menggoreng ikan. Itu akan membantu mereka agar bisa lebih cepat menyantap makanan, bukan kah itu hal yang baik?

Namun di bulan kedua hingga ketiganya, Mingyu mulai berpikir sebaliknya. Di desanya itu sedang riweuh berkat musim panen yang hampir tiba, mendistribusikan hasilnya ke daerah lain tentu menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Tanggung jawab itu berada di tangannya, tidak boleh ada kerugian sedikit pun bagi warganya yang telah susah payah. Menuruti keinginan Wonwoo untuk membantunya mencuci sprei tentu bukan prioritasnya untuk saat ini.

Namun manusia selalu punya setan mereka masing-masing, menghasut pikiran untuk beropini yang tidak-tidak tentang orang lain, yang terdekat sekalipun. Acap kali Mingyu menolak permintaannya untuk membantu, Wonwoo itu selalu menyelesaikannya sendiri semampu yang ia bisa. Tidak ada protes berarti tidak ada masalah. Tetapi Mingyu melihatnya dengan cara yang berbeda, bagaimana dia merasa bahwa Wonwoo terus memintanya menyelesaikan sesuatu seakan anak itu tidak memedulikan pekerjaannya yang juga setinggi gunung.

“Semenjak pulang dari kota, kamu kelihatan egois, tau?”

“Enggak ada urusannya dengan pendidikanku di kota, mas!”

“Tapi kenyataannya begitu, Wonwoo.”

Itu hanya menambah minyak pada api yang tengah berkobar. Rumah tangga berusia tiga bulan milik kepala desa tercinta dan anak emas desa disebut-sebut mulai renggang akibat ulah mereka sendiri. Penduduk mulai berpikir bahwa dua orang hebat tidak bisa disandingkan dalam satu atap, akan selalu ada yang merasa lebih di atas lainnya.

Kemudian mata mereka menangkap setiap gerak-gerik layaknya kamera pengintai. Semakin besar lah beritanya ketika satu dari wanita mengaku melihat Wonwoo tengah berjalan menuju rumahnya yang berjarak barang 7 meter dari rumah dia dan Mingyu. Tak butuh waktu lama hingga kalimat saya melihat Wonwoo berjalan menuju rumah lamanya berubah menjadi mereka telah pisah ranjang di usia pernikahan yang masih seumur jagung. Semua orang seperti memakai kacamata kuda dan enggan melihat cincin yang masih tersemat. Sebagian memuja Mingyu dan menyodorkan anak gadis juga perjaka mereka dengan tidak tahu malu, sebagian lagi berpura-pura masa bodoh dengan Wonwoo yang dianggap tidak bisa apa-apa dan berusaha mengenalkan anak perempuan mereka yang dibanggakan bisa melakukan segala pekerjaan rumah dan bergaul dengan siapa saja. Wanita-wanita sempurna, mereka bilang, seakan lupa pula jika Wonwoo telah menjelajah dunia sedikit lebih jauh dibanding mereka dan telah melihat ragamnya wanita hebat di luar sana yang keahliannya tidak hanya sebatas mengucek baju dan meramu daging.

Ketika Wonwoo tetap menjadi dia yang anggun, Mingyu pun tetap menjadi dia yang ramah dengan semua orang. Begitu bertolak belakang mereka itu, sampai-sampai dunia seakan bilang, Pak Kades telah membuka hatinya untuk orang lain tepat di depan wajah Wonwoo yang mulia. Para gadis semakin bersolek, para jejaka bertambah getol. Yang mereka tidak tahu itu adalah pertemuan rahasia di antara mereka yang tidak akan ujug-ujug diarak keliling kampung untuk dikawinkan karena memang sudah terikat erat. Wonwoo ingin membereskan segalanya dan Mingyu ingin menyampaikan maafnya. Konklusi yang mereka capai di hari ke-12 setelah Wonwoo meminta izin untuk pulang ke rumah orang tuanya untuk menenangkan diri adalah dengan kembali hidup di bawah atap yang sama dengan mencoba untuk saling mengerti satu sama lain.

“Saya bersedia memberikan kamu semuanya, Wonwoo.”

“Tapi aku memang enggak minta apa-apa, mas. Cukup kamu percaya denganku, itu sudah lebih dari cukup.”

Emasnya Kades Bagian 2

Untuk beberapa alasan, Wonwoo menyatakan bahwa hidup di kota setelah menghabiskan seluruh hidup di desa bukan hal yang sesulit itu. Terima kasih kepada dirinya sendiri yang berkemauan kuat. Selalu dia ingat di dalam otaknya segala perkataan dari ibunya, termasuk dia yang harus memiliki teman, namun tidak perlu untuk terlalu dekat. Itu hanya akan menjadikan dia serasa memiliki utang budi di kemudian hari, seakan harus saling membantu ketika terkadang, balasan yang akan didapatkan tidak setimpal. Saran yang terlalu berpikiran negatif, Wonwoo tahu itu, namun ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya. Hidup sebagai perantau dari desa terlalu riskan untuk dibodohi seakan isi kepala mereka tidak sepintar mereka yang sejak kecil sudah dibiasakan dengan teknologi yang lebih maju.

Hingga satu dua tahun pertama hidup di kota, Wonwoo berhasil mempertahankan nilai yang cukup memuaskan. Sesekali membantu teman untuk mengerjakan tugas dan dibayar untuk itu, menjadikannya memiliki uang jajan tambahan untuk membeli roti bakar di dekat kosnya. Orang tuanya selalu menanyakan kabarnya, kadang mencari tahu mengenai kebenaran berita yang terdengar di desa sana, barangkali Wonwoo lebih tahu. Begitu juga dengan Mingyu yang hampir setiap hari menghubunginya lewat pesan singkat, menanyakan kabar dan bercerita mengenai keadaan desa. Katanya, dalam beberapa bulan ini akan diadakan pemilihan kepala desa yang baru dan dia digadang-gadang untuk menjadi calon kepala desa yang baru, terlepas dari usianya yang masih terbilang belia. Wonwoo tentu menjadi yang ikut senang atas berita tersebut.

Namun sayang, dunia tidak melulu berjalan semudah itu bagi dua anak manusia yang tengah memiliki jarak di antara mereka. Dari banyak hal yang Wonwoo ceritakan kepada Mingyu, ada satu hal yang jarang ia ungkit meski sering terjadi, yaitu keberadaan dia yang raganya ada dan menjadikannya terbiasa.

Dia kenal Jeonghan berkat kelompok yang terbentuk akibat berada di kelas yang sama. Menurut Wonwoo, dia baik, sering membantunya ketika kesusahan akan suatu pelajaran dan masalah-masalah lain. Segalanya terasa begitu platonik hingga malam ketika Jeonghan memeluknya di depan rumah kosnya. Jika ditanya mengapa ia tidak mengelak, maka jawabannya adalah ia tidak mampu. Tubuhnya seperti membeku, bahkan untuk sekadar bernapas atau berkedip pun ia lupa.

Jeonghan punya segala yang banyak manusia inginkan, dari teman-teman yang menyenangkan hingga materi yang mencukupi. Ada saatnya ketika ia membutuhkan suatu barang untuk keperluan kuliahnya, laki-laki itu menawarkan diri untuk mengantarnya. Tentu Wonwoo tidak menolak, mengapa ia harus?

“Kamu baik-baik di sana.”

“Iya, aku baik.”

“Di sana banyak yang perhatian sama kamu?”

Pertanyaannya begitu sederhana, hanya perlu menjawab iya atau tidak. Namun dia tidak disebut-sebut sebagai anak emas jikalau hal begitu saja tidak tahu, jelas ia menangkap maksud dari pertanyaan tersirat milik Mingyu. Bisa jadi, itu adalah keputusan salah untuk mengatakan bahwa ia tengah dekat dengan orang lain di kota, untuk menjadikan Mingyu sadar bahwa laki-laki ini merupakan orang yang sama dengan laki-laki yang kerap Wonwoo ceritakan segalanya.

Maka bukan hal yang mengherankan juga bagi Wonwoo untuk menemukan Mingyu di depan pintu kosnya dengan tas ransel dan besek di tangan bersama ibu kos yang Wonwoo yakin, mengantarnya dari gerbang hingga ke sini meski jaraknya tidak ada lima meter. Kemeja biru muda yang bahunya berwarna keabuan itu mungkin sudah merasakan betapa signifikannya hidup di kota seperti ini, barangkali sudah meronta ingin kembali jika saja ia memiliki mulut untuk memohon.

“Kamu kenapa ke sini?”

“Saya sudah bilang kamu kalau saya ingin bertemu kamu.”

Wonwoo hanya tersenyum sedikit, agak merasa tersanjung laki-laki di depannya sampai-sampai meninggalkan desa demi dirinya hanya karena masalah sepele berjudul cinta. Diajak lah dia untuk masuk ke dalam kamarnya yang meski sempat ditolak karena terlalu tertutup dan dapat dirasa-rasa dapat menyebabkan omongan yang kurang enak, Wonwoo meyakinkannya bahwa orang-orang di sini tidak sepeduli itu.

“Jeonghan sering masuk ke dalam kamar kamu juga, Wonwoo?”

“Beberapa kali aja, mas. Aku dan dia lebih sering ngobrol di kampus.”

“Kampus?”

“Di tempat kuliah.”

Mingyu hanya mengangguk sebelum menyodorkan besek yang ia bawa, mengisyaratkan Wonwoo untuk membukanya. Isinya mungkin tidak akan lagi membuat dia berbunga-bunga, bukan barang-barang mewah seperti yang orang kota miliki.

“Ini titipan dari ibu dan yang lain.”

Wonwoo mengucap terima kasih dan Mingyu kembali mengangguk.

Dahulu itu, yang ada bukan keheningan sekaku ini. Tidak ada mereka yang enggan menatap mata satu sama lain karena kesenggangan yang begitu kentara. Mingyu pikir, mungkin tidak seharusnya ia mengikuti saran teman-temannya untuk menyusul Wonwoo ke sini barang satu dua hari, mungkin tetap di desa adalah jalan yang paling baik untuk dia pilih. Siapa dia dibanding si orang kota? Dia lah yang bisa memberikan segala yang Wonwoo berhak di dunia, tidak seperti dia yang kepunyaannya sebatas yang asalnya dari alam. Hingga menit-menit terakhir ia menginjakkan kaki di dalam kamar kos yang sempit itu, Mingyu merasa kecil.

Dia menghabiskan malamnya pada sebuah rumah milik teman lama, kebetulan masih kerap bertukar pesan. Dipandanginya langit-langit gading di atasnya, sesekali menghitung jumlah kotakan plafon sesuai dengan ukuran. Esok pagi, dia sudah harus kembali ke terminal untuk kembali ke desa, mungkin sekaligus meninggalkan Wonwoo dan hatinya yang telanjur anak itu miliki. Dalam kepalanya, yang dia ingin hanya kebahagiaan untuk laki-laki manis yang sudah ia jaga sejak mereka sama-sama kecil, untuk dia yang selalu punya keinginan untuk menjadi besar lewat harapan-harapan kecil yang gemar ia tulis pada kertas kecil tiap mereka duduk-duduk di gubuk sawah ketika sore menjelang. Jika itu untuk kemegahan hidupnya, maka Mingyu bersedia untuk memberikan segalanya yang ia bisa, termasuk untuk melepas cintanya.

Desa Sebongri bukan desa terbelakang, mungkin dapat berubah status menjadi kelurahan kalau saja mata pencaharian mereka berubah dari agraria menjadi jasa. Sudah ada tiang pemancar di sana, sinyal telepon dan televisi bukan suatu hal yang perlu mereka khawatirkan. Jadi, untuk mengetahui adegan-adegan yang kerap terjadi pada sinetron yang sering ibunya tonton bukan hal yang mengherankan bagi Mingyu. Dia bukan pula manusia paling realistis di muka bumi, sesekali membalikkan badan sembari berjalan menuju bus yang akan ia naiki dan membawanya kembali ke wilayah tanpa gedung-gedung tinggi berdinding kaca.

Hal lainnya yang Mingyu percaya adalah tentang bagaimana kebaikan akan selalu dibalas dengan kebaikan. Agamanya bukan yang terbaik di desa, masih ada ustad dan pemuka agama lainnya yang bacaan Qurannya lebih mantap dan merdu untuk didengar. Lagaknya dia juga masih jauh dari kata mengesankan, masih sering membantu anak-anak untuk berbohong pada ibu-ibu mereka dan melakukan transaksi gelap penuh dosa di tengah kegelapan malam demi nafsu yang ingin dipenuhi lewat bluetooth pada ponsel masing-masing.

Tapi Mingyu tahu bahwa dia tidak seburuk itu pula. Membantu sesama adalah yang orang tuanya ajarkan dan menolak imbalan adalah hal yang dia pikir benar untuk dilakukan. Salatnya lima waktu, kadang menjalankan salat duha jika ada waktu. Mungkin kelak di dahinya itu akan muncul lingkaran kehitaman jika ditambah dengan salat malam. Jadi ketika namanya dipanggil dan dia menoleh ke belakang, wajar baginya untuk memiliki keinginan bersujud saat itu juga, mengucap syukur dan berterima kasih kepada dirinya di masa lalu yang terus berusaha menjadi lebih baik.

“Saya kira kamu enggak bakal menyusul.”

Masih ada Wonwoo yang napasnya terengah di depannya, agak membuatnya ingin segera mengeluarkan botol minum dari tas kalau saja anak itu tidak tiba-tiba memegang tangannya. Ada tatap penuh harap di sana, namun mungkin juga, dia hanya lelah.

“Kamu belum pamit.”

“Tapi kan kemarin—”

“Aku juga belum salim ke kamu, mas.”

Rona merah jambu di pipinya seakan menjadi rambu paling terang nan jelas yang pernah Mingyu lihat.

Kalau tidak ada kondektur bus yang sudah memperingatkan para penumpang bahwa bus akan segera berangkat, Wonwoo ingin saja menariknya menuju tempat lain agar mereka bisa duduk sebentar, membahas apa yang kemarin belum sempat dibahas. Sebaliknya, dia hanya berjinjit, mengecup ujung hidung milik Mingyu dengan tahi lalat di sana. Si empu tentu langsung tersentak, sejak kapan bunga kemuningnya menjadi seberani itu? Kota telah mengubahnya menjadi pribadi yang lain.

“Dua tahun lagi aku pulang, bisa juga kurang.” Ujarnya sambil menggenggam tangan Mingyu. “Aku mau kamu bisa menjaga penduduk lain dulu sebelum menjaga aku sepanjang hidupku.”

Emasnya Kades Bagian 1

Dunia itu selalu penuh dengan pilihan yang tidak melulu berwarna hitam dan putih. Ada kalanya dia abu-abu, bahkan hologram seperti tajos yang anak-anak mereka dapatkan ketika membuka ciki seharga dua ribu rupiah dari salah satu warung di desa mereka.

Kenyataan bahwa Jeon Wonwoo menjadi satu-satunya penduduk desa yang berhasil melanjutkan pendidikan ke kota di usia 20 tahun merupakan suatu berita yang jelas membuat geger penduduk. Dia memang selalu digadang menjadi bintang di desa mereka, kerap disebut sebagai kembang desa malah. Sebagai salah satu laki-laki cerdas di desa ini, tentu banyak warga yang terang-terangan menyematkan harapan mereka terhadap Wonwoo yang mereka pikir, dapat membawa kemajuan untuk desa ini. Namun itu satu dua tahun lalu sebelum laki-laki lajang yang paling diincar di Desa Sebongri menyatakan ketertarikannya kepada Wonwoo, memberikan segala perhatiannya di depan penduduk lain hingga dia menjadi bahan perbincangan ibu-ibu sayur di esok paginya. Mereka pikir, masa depannya sudah tidak penting lagi. Ada anak baik-baik yang menyukainya, punya pekerjaan bagus sebagai salah satu perangkat desa, orang tuanya juga memiliki sawah dan tanah yang cukup luas, untuk apa bersusah-susah lagi?

Tapi kita tengah berbicara tentang Jeon Wonwoo yang dibesarkan oleh keluarga yang tata krama dan gengsinya paling elok. Mendapat perhatian dari seluruh desa, bahkan desa seberang, tidak menjadikan seorang manusia kehilangan kebebasan mereka untuk menentukan pilihan, justru membuka peluang agar lebih harum lagi namanya. Terlebih, dia tetap seorang laki-laki dan segala konstruksi sosialnya. Hanya karena seorang perangkat desa yang berumur lima tahun di atasnya menyematkan bunga di telinga, itu tidak sekonyong-konyong menjadikan dia terlena.

Mereka bilang, Jeon Wonwoo memilih keputusan yang salah dengan menyia-nyiakan Kim Mingyu untuk sebuah pendidikan yang tidak akan dia gunakan di desa ini. Namun Mingyu bilang, saya berjanji akan menunggu kamu pulang dan setelah kamu kembali, saya akan menikahi kamu.