LOVESTAGRAM
to: featchani
mandatory read: > sibuk mampus!bf gabut!bf > cemburu > photobooth
Hari normal bagi Seungkwan adalah ketika Kak Jisoo mengirimkan pesan di pagi hari soal reminder apa saja yang perlu dia lakukan hari ini, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata. Otaknya itu kadang kali merambah untuk mencari puing-puing kenangan masa lalu ketika dirinya masih mampu bermalas-malasan dan menggunakan tidur sebagai pengisi waktu luang, bukan justru mencari waktu luang agar dapat tertidur meski hanya sejenak.
Oh, tentu Seungkwan tidak selalu sesibuk itu juga. Dibanding banyak influencer (dengan tanda kutip) yang tersebar di berbagai media sosial, namanya itu jelas belum berada di jajaran paling atas. Namun Seungkwan adalah Seungkwan. Jika dikenal bukan lagi suatu hal yang mengagetkan, maka kenyataan lainnya adalah dengan bangga, Seungkwan juga dapat menyapa balik hampir semua orang yang memanggilnya, menyebutkan nama mereka karena memang dia kenal dan hafal.
Mereka bilang, Seungkwan adalah selebriti media sosial yang paling ramah. Kalau sudah begitu, dia hanya bisa tertawa sambil mengelak, mengatakan bahwa sudah sewajarnya bagi manusia untuk bersosialisasi.
“Gue introvert tau.”
“Masa sih? Lo tes di web gadungan kali?”
Karena sebenarnya, dia itu hanya yang paling mudah untuk merasa tidak enak hatinya. Jika mengatakan tidak bisa jadi membuat orang lain sedih, maka Seungkwan sebisa mungkin menyanggupi permintaan tolong yang kenalannya ajukan.
“For the love of God, Kwan, lo udah megang 1 organisasi, 2 kepanitiaan, dan sekarang terima jadi MC acara jurusan lain?” Tanya Kak Jisoo dengan alis yang beradu. Di tangannya itu hanya ada iPad yang Seungkwan yakini menampilkan Notion berisi jadwal bulanannya. Segelas americano dingin di atas meja menunjukkan bulir-bulir embunnya.
“Abisnya gimana ya, kak? Acaranya Jumat ini banget dan mereka enggak ada MC. Lo inget enggak, kak, waktu gue cerita dipinjemin charger laptop sebelum presentasi sama anak jurusan lain? Itu Project Officer acaranya.”
“Not to mention lo bakal ada photoshoot buat endorse bajunya Mirko the Label. We have booked the studio, by the way, di daerah Alam Sutra.”
“Enggak ada yang lebih deket?”
“We have booked the studio.”
Kalau sudah begitu, Seungkwan hanya bisa mendengus pasrah. Baguette mushroom toasted, atau entah apa namanya, yang baru dia makan setengah tidak lagi tersentuh.
Tentu tidak mungkin bagi dia untuk menyalahkan Kak Jisoo setelah segala jerih payah yang dia lakukan untuk membantunya, menerima segala sifat dan sikapnya terutama. Jadi satu-satunya pilihan Seungkwan adalah mengangguk dan menerima apa pun yang sudah direncanakan.
“Hansol jadi jemput?” Tanya Kak Jisoo setelah beberapa waktu. Tatapannya mengarah ke arah Seungkwan yang langsung melebarkan matanya.
“Emang Sol mau jemput?”
“He didn’t tell you?”
Siapa pula yang akan bersusah payah membuang gengsi untuk meminta jemput ketika malam kemarin, yang ada hanya perdebatan tentang entah apa yang sama sekali tidak penting?
Perbedaan prinsip kecil, sebenarnya. Tetapi di saat tertentu, Seungkwan itu menjadi yang tidak mau kalah dan Hansol juga punya isi kepalanya sendiri. Sewajar-wajarnya sepasang manusia, sewajar-wajarnya pasangan yang sudah memasuki tahun kedua.
“And I guess, he’s here.” Ujar Kak Jisoo, kali ini pandangannya mengarah ke handphone Seungkwan yang bergetar di atas meja dengan nama Hansol pada layarnya.
Menghela napas, Seungkwan langsung mengambil handphonenya untuk dia pandangi selama beberapa detik sebelum dia jawab.
“Babe, kata Kak Jisoo meetingnya udah?”
Lebih seperti dia yang sudah menyerah dengan kenyataan, sebenarnya.
Namun Seungkwan, lebih memilih untuk mengerucutkan bibirnya. “Kenapa?”
“Aku udah di depan.”
“Aku enggak minta jemput.”
“Aku enggak boleh jemput?”
Dan Seungkwan langsung merasa menjadi manusia paling lemah di muka bumi, menyembunyikan sebelah pipinya dengan telapak tangan untuk menyembunyikan hangat.
“Boleh sih….”
“Okay, udah di depan.”
Maka di sana lah dia, melangkahkan kakinya dengan terburu-buru ketika mendapati mobil yang nomor platnya mampu dia ucapkan dengan mata tertutup sudah berada di depan sana, menunggu Seungkwan untuk segera masuk.
“Aku enggak minta jemput.” Ujar Seungkwan ketika dia baru mendudukkan diri dan menutup pintu di sebelahnya.
“Aku mau jemput.”
“Buat apa?”
“Make sure you’re okay?”
Hansol hari ini sama seperti Hansol di hari-hari biasanya, terlepas dari definisi biasa itu sendiri bisa berubah setiap harinya. Jika hari kemarin dia mampu untuk memantaskan diri dengan sweater ungu yang entah dia miliki dari mana, Hansol hari ini tampil dengan kaos hitam yang mungkin sudah Seungkwan lihat puluhan kali.
Dan Seungkwan menyerah dengan perasaannya sendiri, dengan senyum yang ingin mengembang di wajahnya sendiri. Mungkin obrolan soal perbedaan preferensi makanan memang tidak perlu diambil sepusing itu.
Memandangi jalanan di depan sana, Hansol membiarkan Seungkwan untuk menghubungkan bluetooth handphonenya dengan MP3 Player di dalam mobil.
“Playlist apa enaknya, Sol?”
“Yang kemarin kamu puter enak.”
“Itu sih emang kesukaan kamu banget.”
Setelahnya adalah milik berdua.
Menarik bahwa Hansol di sebelahnya ini, yang terkenal dengan kaku dan cueknya, mampu untuk membuat sebuah pagelaran singkat acap kali lampu merah di depan sana menyala. Kadang hanya nyanyian bersama, kadang pula diselingi gerakan yang sesekali membuat Seungkwan mengernyit dan berpikir: dia belajar dari mana?
Kalau sudah ditanya begitu, Hansol hanya tertawa, namun tidak segan untuk mengulanginya lagi.
“Babe, mom kayaknya pengen ketemu kamu.”
Nyanyiannya langsung berhenti, digantikan dengan matanya yang melebar menatap Hansol di sebelahnya.
“Ketemu gimana?”
“Ketemu… ngobrol?” Jawab Hansol, sesekali menengok ke arah Seungkwan yang masih mengerjapkan matanya.
Bukan kali pertama, tentu. Tapi untuk bertemu dengan orang tua, terlebih jika itu orang tua pacarnya sendiri, maka Seungkwan bisa menjadi orang paling kecil di dunia ini. Bukan juga karena orang tua Hansol mengintimidasi, tetapi… entah, dia juga tidak yakin kenapa.
“Enggak bakal ditanya aneh-aneh kan ya, Sol?” Tanya Seungkwan lagi, kali ini dengan dahi yang mengerut.
“Enggak, you know my mom.”
“Terakhir kali, aku diajak diskusi soal martabak keju dan aku bener-bener mati gaya.”
Lagi, Hansol tertawa dan Seungkwan yang dibuat paling merana.
“Don’t worry, kayaknya cuma kangen aja.”
“Mom pengen ketemu kapan?”
“As soon as possible aja, kamu bisanya kapan?”
“Kayaknya enggak bisa minggu ini sampai minggu depan deh, Sol.”
Hansol mengernyit sedikit, “why? Lagi sibuk ya?”
“Iya, aku ada ngisi jadi MC di acara jurusan sebelah juga.”
“What?”
Dan kerutannya semakin kentara.
“Mereka butuh MC dan minta tolong aku, Sol, aku enggak enak nolaknya.”
“Bukannya kamu juga lagi sibuk? Kak Jisoo ngomong kemarin ini.”
“Iya sebenernya, tapi enggak enak aja, Sol… Project Officernya pernah bantuin aku, masa aku enggak ngebantuin dia balik?”
“But did you even think about yourself when you said yes? Bakal kuat apa enggak?”
Bibir Seungkwan langsung mengerucut. Jelas dia memikirkan dirinya sendiri, tetapi tidak pernah di awal dan menyebabkan dirinya sendiri yang selalu mengatakan iya atas segala yang orang lain minta. Menjadikan dia seakan manusia yang paling doyan mengeluh atas pilihan yang dia ambil sendiri.
“It just didn’t sit right with me how you keep forcing yourself to your limit.”
“Aku enggak maksain diri, Sol, aku cuma bantuin….”
“Aku ngerasa kalau bantuin orang juga punya limitnya, kita bukan manusia super yang bisa ngelakuin segalanya.”
Dan Seungkwan tidak lagi mengeluarkan sepatah kata pun, sekadar menunduk dengan bibir yang agak mengerucut. Tangannya itu hanya bisa memainkan soft case handphonenya sebagai usaha untuk membunuh rasa canggung.
Hansol itu bukannya jarang mengomel, cuma frekuensinya bisa dihitung jari mengingat bagaimana sifatnya yang begitu santai. Biasanya, dia hanya akan memberikan saran singkat yang kadang kali dipertimbangkan dan dibantah di saat lainnya. Setelah itu dia hanya akan mengangguk, mungkin hanya ada diskusi kecil yang ringan mengenai perbedaan opini dengan suaranya yang datar itu, selalu tanpa banyak emosi di dalamnya, bahkan di hari kemarin saat Seungkwan yang menjadi pihak yang mematikan telepon terlebih dahulu.
Tetapi hari ini, yang bisa Seungkwan lihat dan dengar adalah keseriusan dalam kalimatnya, bahwa Hansol bukannya sekadar memberi saran, melainkan menasehati.
“You don’t have to always be perfect, you’re a human before you’re a friend.”
Inginnya adalah menurut, Seungkwan yakin betul akan keputusannya untuk mempertimbangkan kata-kata Kak Jisoo dan Hansol mengenai keharusan dia untuk mulai mementingkan diri sendiri ketimbang orang lain. Tetapi manusia itu selalu yang menjadi perencana, yang selalu dibuat menyesal karena terlalu lalai akan segala yang mereka kerjakan. Sampai akhirnya Seungkwan terbangun dengan kondisi yang paling dia benci: meriang.
Rasanya seperti setiap sentuhan yang jarinya berikan kepada tubuhnya sendiri punya tusukan jarum yang mampu menembus kulit yang begitu sensitif. Dia tarik selimutnya untuk semakin menutupi tubuhnya hingga ke leher, mencari kehangatan di dalam sana meski dia bisa merasakan tangan yang dia letakkan di lehernya terasa begitu panas.
“Kak Jisoo, kayaknya gue enggak bisa post kontennya hari ini… kira-kira bisa tolongin enggak ya?”
Dari seberang sana, Seungkwan bisa mendengar suara helaan napas yang Kak Jisoo berikan.
“Sakit ya, Kwan? Sakit apa?”
“Demam aja, udah minum obat sih….”
“Berarti besok enggak bisa shoot buat Madeline Apparel ya?”
“Dipush ke Kamis aja bisa enggak ya, kak? Bareng yang brand satunya itu… Springhouse?”
Kalau boleh jujur, pembicaraan seperti ini hanya akan menjadikan kepalanya lebih berdenyut nyeri. Namun untuk berkomunikasi lewat chat pun hanya akan menyakiti matanya yang terasa lebih perih dari biasanya, jadi dengan mata yang terkatup, Seungkwan berusaha menjaga dirinya untuk tetap mengikuti pembicaraan.
Bahkan di saat-saat seperti ini, dia seperti memaksakan diri. Ketika sambungan terputus, dia langsung kembali menggulung tubuhnya, membiarkan setetes air mata membasahi sarung bantal di bawahnya.
.
.
Seungkwan menyadari bahwa dia telah tertidur lewat ketukan di pintu yang membangunkannya juga kepalanya yang ringan namun agak berputar di saat yang sama. Belum juga dia menjawab, pintu kamarnya itu sudah terbuka sedikit dengan bunda juga Hansol di sana.
Oh, Hansol. Not today.
“Baru bangun, kak?” Tanya bundanya, mengusap rambut Seungkwan pelan.
Yang dipanggil “kak” itu hanya mengangguk, membetulkan posisinya menjadi duduk.
“Masih enggak enak?”
“Udah mendingan, tapi masih, sedikit.”
“Ini Sol bawain kamu kelapa muda.”
Tatapannya langsung mengarah ke Hansol yang hanya berdiri tegak di sebelah bunda dengan mangkuk di kedua tangannya, membuat Seungkwan agak mengerutkan dahi.
“Bunda tinggal ya?”
“Makasih, Bun.” Jawab Hansol setelahnya.
Dan di dalam ruang kamar yang isinya hanya mereka berdua ini, yang mendominasi adalah keheningan kalau saja Hansol tidak menarik kursi dari meja belajar Seungkwan untuk dia duduki di sisi tempat tidur.
“Kamu kecapekan.” Begitu ujarnya, menyodorkan semangkuk kelapa muda ke arah Seungkwan.
Atas nama berbagai alasan yang bisa dia jadikan pembelaan diri, itu terdengar sedikit menjengkelkan. Bukan karena bagaimana Hansol mengatakannya dengan ekspresi paling datar di muka bumi. Bukan pula karena dibanding menyuapi, dia justru membiarkan Seungkwan menghabiskannya sendiri. Namun bagaimana Seungkwan tahu betul akan fakta bahwa dia kelelahan karena terlalu memaksakan diri sebagaimana yang orang-orang ingatkan kepadanya. Rasanya seperti mengecewakan semuanya, terlebih dirinya sendiri.
Menyendokkan daging kelapa ke dalam mulutnya, Seungkwan tidak membalas. Pandangannya terarah pada selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya dengan kosong.
“Udah arrange schedule sama Kak Jisoo?”
“Udah.”
“He’s okay with that?”
“Sol, aku lagi sakit, jangan kebanyakan tanya….”
Alis Hansol langsung beradu, menatapnya bingung.
Jelas bukan sikap yang biasanya Seungkwan berikan kepadanya. Oh, Seungkwan itu yang biasanya justru bersemangat untuk membahas apa pun tentang dirinya. Tetapi hari ini, yang ada hanya wajahnya yang tertekuk dengan Hansol yang –secara langsung meski tidak sepenuhnya menjadi alasan di baliknya.
“I’m just asking though, karena kamu selalu sibuk di situ.”
“Aku tau, tapi please, aku mau istirahat dulu.” Jelas Seungkwan lagi, genggamannya pada sendok di tengan semakin mengerat.
Awalnya, Hansol jelas mengerti dan menurut. Hanya memandangi Seungkwan dan mangkuk kelapa mudanya, sesekali menatap layar handphone di tangan.
Namun sebut saja hari ini adalah hari spesial di mana yang Hansol inginkan adalah Seungkwan untuk juga mengerti dirinya, untuk mengakui lalainya dia hanya untuk menjaga kesehatannya sendiri.
“Kamu sakit gini, berarti enggak jadi megang MC buat acara temen itu?”
Dan jelas, Seungkwan tidak berada di kondisi terbaik untuk itu.
“Enggak tau, belom ngomongin.”
“Harusnya kamu denger yang lain buat istirahat.”
“Mending kamu pulang aja deh, Sol?! Aku lagi enggak mau ngobrol.”
Detik setelahnya, Seungkwan tahu bahwa dia akan menyesali perkataannya sendiri yang lebih terdengar seperti mengusir Hansol ketika sebenarnya, maksudnya jelas bukan begitu. Keadaannya sedang kacau dan segala jenis pertanyaan hanya akan membuatnya semakin pusing, namun dia tidak pula bisa berbohong kalau kehadiran laki-laki itu sangat dia inginkan untuk tetap tinggal.
Tetapi Hansol tetap menjadi Hansol yang berusaha memberi pengertian, yang bangkit dari kursinya, dan menatap Seungkwan dengan tatapan yang sukar untuk dia jelaskan.
“Sorry kalau malah bikin enggak nyaman.”
Dan Hansol benar-benar berjalan pergi, menghilang di balik pintu tanpa tatapan apa pun yang seharusnya sempat mereka bagi. Untuk alasan tertentu, itu meninggalkan emosi entah apa di dalam hatinya, seakan Hansol benar-benar akan meninggalkannya dan seketika, Seungkwan ingin menangis.
Mungkin tidak seharusnya dia terlalu mengusir Hansol, seharusnya dia yang hanya menganggap kalimat-kalimat yang enggan dia dengar sebagai angin lalu sebagaimana biasanya jika bukan Hansol orangnya. Tetapi ada bagian kecil dari dirinya yang berusaha mengelak. Jika dia tidak salah, mengapa harus menyesal? Hansol yang seharusnya lebih memahami di saat-saat seperti ini ketika untuk bergerak saja, Seungkwan butuh tenaga yang lebih, apa lagi berdebat.
Pikiran itu mengacaukannya, bahkan setelah dia terbangun beberapa kali dari tidurnya. Rasanya seperti berdosa, seperti punya salah dan jika tidak segera diselesaikan, maka dia akan tinggal sebatang kara. Mungkin berlebihan, tetapi mungkin juga tidak jika ditinjau dari beratnya dada dia.
Pada pukul 2 pagi, Seungkwan menyerah dan meletakkan handphone di sisi kepalanya.
Hanya butuh beberapa nada sambung hingga di seberang sana, Seungkwan bisa mendengar jelas bagaimana keheningan bercampur dengan suara serak yang agaknya membuat dia bergidik. Ada debaran yang datang tidak pada tempatnya, setidaknya tidak di jam dua pagi ketika dia menjadi satu-satunya yang terjaga di rumah ini.
“Yes, Kwan?”
Ada keraguan yang dia rasakan, genggaman yang dia berikan kepada handphonenya semakin keras.
“Kamu udah tidur ya?”
Hansol menjawabnya dengan gumaman sebelum melanjutkan, “iya.”
“Terus kenapa jawab aku?”
“Karena kamu telepon.”
Itu jawaban yang membingungkan, kalau Seungkwan boleh bilang. Alisnya itu langsung beradu dengan rahang yang dia garuk pelan.
“Kamu kenapa call? Is there something wrong?” Tanya Hansol kemudian, masih dengan suara seraknya. Dari bayangannya, Seungkwan dapat melihat bagaimana laki-laki itu hanya membuka matanya setengah, atau justru tidak sama sekali.
Tetapi, bagaimana caranya menjawab pertanyaan itu?
“Kwan, are you still there?”
“Iya, iya… masih kok….”
“Enggak bisa tidur?”
“Pengen nelepon aja.”
Alasan klasik, bukan kali pertama juga alasan semacam ini dia gunakan acap kali ingin mendengar suara Hansol ketika merasa butuh seseorang, untuk menghiburnya ketika jiwanya itu seakan sedang meredup. Tetapi Hansol akan selalu jadi Hansol yang tidak punya banyak pertanyaan untuk diajukan, membiarkan Seungkwan mengatakan dan melakukan apa pun yang dia mau, mempercayakan segalanya kepada laki-laki itu.
Namun kali ini, dia tidak sedang berada di keadaan yang ingin sekadar mengiyakan. Yang dia ingin adalah menjaga Seungkwan sebisa mungkin agar selalu merasa senang seperti yang dia berhak dapatkan, bukan justru membuatnya terjaga dari tidur yang seharusnya dia dapatkan. Jadi, dia betulkan posisi duduknya, membiarkan kesayangannya itu mendengarkan gesekan sprei dengan kakinya.
“Sol,”
“Mikirin apa?”
“Kok susah ya?”
Dan tidak perlu dijelaskan konteksnya, Hansol sudah mampu untuk mengerti arah pembicaraan ini.
“Aku enggak ngerti-ngerti banget sebenernya, jadi kamu bisa jelasin gimana rasanya.”
“Iya, kayak… awalnya cuma buat seneng-seneng, Sol. Aku enggak pernah ekspektasi bisa jadi kayak sekarang dan awalnya, aku seneng-seneng aja karena bisa kenal banyak orang. Aku seneng tiap orang lain minta tolong karena aku ngerasa punya alasan dan tujuan di dunia ini. Enggak seberat ih sih sebenernya, tapi kamu ngerti kan?”
“Ngerti.”
“Tapi lama-lama, aku jadi takut sama ekspektasi itu. Bukan masalah validasi gitu sih, tapi aku takut enggak bisa jadi orang yang sesuai sama branding yang aku punya, gimana orang liat aku.”
Tidak ada balasan langsung dari seberang sana, jadi Seungkwan menarik napas dan membuangnya sebelum melanjutkan.
“Aku tuh… bukannya ambisius gitu, Sol, aku cuma enggak enak aja. Aku takut kalau aku nolak, nanti mereka malah mikirnya aku sombong karena enggak mau bantu temen.”
“Emangnya kamu ada maksud gitu?”
“Enggak, Sol. Aku… aku pasti bakal bantu sebisa aku, cuma emang kadang kalau lagi sibuk gini berasa capek juga.”
“You don’t have to always please everyone, you know?”
Dan kini menjadi gilirannya untuk tidak memberikan jawaban apa pun, hanya Seungkwan yang mulai meletakkan jarinya di bibir, tanda bahwa ia tengah berpikir.
“Kalau mereka emang temen, harusnya mereka percaya kamu.”
“What if mereka enggak mau percaya dan malah langsung ngecap aku sombong? Atau mereka mikir aku pengennya dibayar gede? Bisa aja–”
“Babe, you’re overthinking,” sergah Hansol, membungkam Seungkwan di seberang sana. “Kamu enggak perlu nurut sama semua orang untuk bikin mereka baik sama kamu. Manusia harusnya baik karena kita emang harus baik ke orang lain.”
Seungkwan tidak menjawab, membiarkan suara gesekan entah apa mengisi keheningan di antara sambungan telepon ini.
“Be yourself, say no when you need to.”
“Tapi susah, Sol….”
“You can always learn. Pelan-pelan, gagal juga enggak masalah.”
Seumur hidupnya, Seungkwan kenal banyak orang dan bercengkrama dengan mereka jelas bukan hal yang jarang untuk dia lakukan. Seungkwan bisa dengan bangga mengatakan bahwa dia punya banyak kenalan di mana-mana, sifat social butterflynya itu yang bahkan mengantarkan dia ke titik ini. Namun Hansol yang satu ini jelas adalah satu dari segelintir orang yang mampu untuk menempatkan diri, berusaha mengertinya, mengizinkannya untuk menjadi manusia apa adanya sebagaimana orang-orang lainnya.
Di matanya, Seungkwan itu hanya Boo Seungkwan yang kebetulan punya pekerjaan yang berkecimpung di media sosial, bukan Seungkwan si seleb Instagram dan TikTok yang dikenal oleh banyak orang di negara ini. Dan Seungkwan suka itu. God, Seungkwan bersyukur akan itu, untuk diizinkan menjadi menjadi dirinya sendiri dan untuk dipahami alasan dari lalainya.
.
.
Beberapa minggu setelahnya menjadi satu dari sekian banyak kesempatan ketika Seungkwan mengajak Hansol untuk terjun dalam dunianya.
Malam itu, yang ada hanya wajah-wajah agak familiar yang tidak pernah Hansol lihat langsung sebelumnya, mungkin satu dua kali lewat post Instagram yang kerap Seungkwan kirimkan untuk dia. Tentu Hansol tidak mengeluh, tidak begitu buruk dia itu untuk berbaur dengan orang baru. Tetapi masalahnya memang bukan di situ, melainkan hilangnya Seungkwan di telan kerumunan.
Katanya, temannya itu menyewa satu area untuk merayakan ulang tahunnya, mengundang berbagai macam orang yang didominasi oleh seleb Instagram dan TikTok dari konten apa pun yang mereka buat. Mungkin itu yang menjadikan jeruk kecilnya (julukan yang Hansol berikan ketika Seungkwan mewarnai rambutnya menjadi jingga) absen dari sisinya saat ini dengan chat yang sama sekali tidak dibalas.
“Untuk agenda selanjutnya… IT’S TIME TO PARTY!”
What the hell is going on?
Meletakkan gelasnya di meja mana pun yang bisa dia temukan, Hansol mulai membelah lautan manusia untuk mencari laki-laki dengan rambut biru terangnya. Agenda mudah yang bisa dilakukan di siang hari, namun tidak ketika penerangan di sini turut menggunakan biru sebagai warna utama dan diikuti oleh warna-warna lainnya yang menyakiti matanya. Oh, dia tidak bersiap untuk acara sejenis ini dan prioritasnya adalah mencari Seungkwan dibanding apa pun.
“Sol!“
Baru juga dia ingin berbalik, Hansol dapat merasakan tarikan di tangannya, menarik untuk ikut dengannya memasuki photobox. Saat itu pula baru dia menyadari bahwa itu dia Seungkwannya, yang menggenggamnya, yang mengajak dia untuk bersembunyi bersama dari hiruk pikuk di luar sana hingga yang ada itu hanya mereka berdua.
“Aku pusing banget di luar, jadi kita di sini dulu sekalian foto kali ya, Sol?”
Dan siapa lah Hansol untuk menolak?
“Boleh.”
Sebab semringahnya adalah tujuannya.
“Oke. Sebentar, aku scan barcode dulu… Framenya mau yang mana, Sol? Yang ini polos banget enggak ya?”
“Yang garis-garis bagus.”
“Ini? Mainstream banget enggak sih?”
“Sebelahnya then.”
Dan netranya itu tidak bisa lepas dari Seungkwan yang masih sibuk dengan pilihan frame yang ada di layar. Bibirnya itu agaknya tertarik sedikit acap kali tangan Seungkwan menopang dagunya untuk berpikir sejenak sebelum kembali menggeser pilihan, mungkin menimbang-nimbang bagaimana frame ini akan membingkai potret mereka di malam ini.
“Yang ini aja deh, Sol. Udah harus cepet-cepet soalnya.”
Hansol hanya mengangguk, melepas lipatan lengannya dan menatap kamera di depan sana yang tau-tau memotret mereka.
“Aku belom siap loh?”
“Cepet banget ya.”
“Kamu sini!”
Kemudian, dia tusukkan jari telunjuknya pada pipi Hansol.
Untuk banyak alasan yang tidak perlu dia sebutkan, Seungkwan tidak menyesali keputusannya untuk menarik Hansol ke dalam sini hanya demi berpose seperti apa pun yang mereka inginkan. Bahwa untuk sejenak, mereka bisa menjadi diri mereka sendiri, yang jatuh cinta dan punya satu sama lain.
Seungkwan kalungkan lengannya pada tubuh Hansol, menyandarkan kepalanya pada bahunya hingga kamera kembali memotret mereka, mengabadikan sebuah pelukan dalam satu lembar foto yang kekal.
“Sayang sama Sol.”
“I love you too, orange.”
Sebagai yang paling banyak bicara dan bercerita ini dan itu, Seungkwan mengaku bahwa apa yang keluar dari mulutnya bahkan tidak mampu untuk menggambarkan segala rasa yang ada di dalam hatinya tentang laki-laki yang masih ada di dalam rengkuhannya ini. Bahwa dibanding banyak jalan pintas yang ditawarkan dunia kepada dia untuk merasa bahagia, Hansol tetap menjadi hal utama yang paling bisa membuat Seungkwan tersenyum setiap harinya. Bahwa jika ditukarkan dengan apa pun itu, seluruh dari dirinya tidak akan rela untuk menyerahkan Hansol dan membiarkan dunia membawa dia untuk pergi menjauh.
Dan Seungkwan merasa penuh, merasa bahwa mungkin bahagia memang bisa saja datang dengan cara yang paling sederhana. Sesederhana melihat seseorang yang kita sayangi dengan mata kepala sendiri, mengetahui bahwa mereka ada di sini dan mereka baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup.
“Fotonya ambil di luar kan?”
Namun Seungkwan justru berjinjit, memberikan kecupan singkat di pipi kanan Hansol sebelum menariknya lagi dengan wajah paling panik sedunia dan berbalik keluar untuk meninggalkan Hansol yang masih mengerutkan dahinya.
Seungkwan yang seringnya malu-malu.
Seungkwan yang gengsinya di hal-hal seperti ini bisa setinggi langit.
Bohong bahwa itu tidak membuat Hansol mendadak merasa menjadi laki-laki paling segala-galanya di dunia, dari yang paling bahagia hingga yang paling penuh cinta. Mungkin pipinya ini agak memerah dan demi apa pun di dunia ini, itu agaknya memalukan kalau saja penyebabnya bukan karena aksi lucu yang dilakukan Seungkwan.
Melangkah keluar dari photobox, netranya langsung bertemu dengan Seungkwan yang buru-buru menunduk, menatap dua lembar foto di tangannya.
“Hasilnya bagus nih.”
“Masa?”
“Iya, lucu deh.”
Baru Hansol ingin mendekat, Seungkwan langsung menyerahkan dua lembar foto itu kepada Hansol, pandangannya dia arahkan ke bawah. Tetapi Hansol tahu tentang telinganya yang memerah, tentang bahasa tubuhnya yang mendadak canggung, justru menunjukkan secara gamblang bahwa ia tengah malu.
“Abis ini pulang aja, yuk? Aku pamit dulu ke yang lain.” Ujar Seungkwan yang langsung berlalu, melebur dalam kerumunan lainnya yang lebih seperti kabur dari Hansol demi menyelamatkan harga dirinya. Dan tentu, dibanding apa pun itu, pemandangan barusan adalah yang paling lucu kejadiannya.
Jam di handphonenya baru menunjukkan pukul setengah sepuluh malam ketika mereka sama-sama mendudukkan diri di dalam mobil dan bersiap untuk kembali mengantar Seungkwan ke rumahnya.
“Kok tumben?”
“Tumben apa?”
“Mau cepet.”
“Capek aja. Tadi social battery aku kayak udah mau abis deh, Sol.”
Dan obrolan kembali mengalir sederas-derasnya, seakan sama sama telah melupakan bahwa beberapa menit lalu, ada mereka yang lebih seperti remaja yang tengah dimabuk cinta dengan pipi mereka yang sama-sama menjadi tomat. Ada Seungkwan yang sibuk membahas teman-temannya dan Hansol yang menimpali sekenanya, kemudian gelak tawa, kemudian mobil itu kembali dipenuhi oleh cinta. Dibuat lupa mereka itu tentang jarak yang sudah mereka tempuh hingga tau-tau, mobilnya sudah berhenti di seberang rumah Seungkwan, posisi biasa untuk Hansol memarkirkan kendaraannya.
“Sol, aku turun yaa.” Ujar Seungkwan sambil melepas seatbelt dari tubuhnya, ada senyum semringah di sana.
“Oke, langsung mandi dan tidur.”
“Kamu juga chat kalau udah sampai rumah.”
Yang itu adalah kebiasaannya.
Dan sewajar-wajarnya mereka yang sedang kasmaran, maka yang paling buruk adalah perasaan untuk harus berpisah, bahkan ketika penyebabnya sekadar hari sudah malam dan mereka sama-sama harus kembali ke rumah masing-masing. Akan selalu ada aksi yang diciptakan untuk mengulur waktu, bahkan hanya dengan tatapan mata yang saling mereka lemparkan tangan sepatah kata pun yang keluar dari mulut masing-masing.
“Pulang yaa.”
Lalu pintu mobil yang terbuka itu alih-alih membebaskannya, justru lebih seperti hal yang disayangkan. Jadi dengan wajah yang setengah malas, Seungkwan menyempatkan dirinya untuk berjalan mundur sedikit sebelum membuka gerbang rumahnya.
Ketika dia pikir harinya berakhir saat tanganya menekan gembok untuk mengunci, maka suara Hansol yang tiba-tiba memanggilnya membuatnya kembali mendongak. Dia bisa lihat Hansol yang berjalan ke arahnya dengan jaket di tangannya.
“Ketinggalan, fotonya juga.”
“Eh, iya ya?”
Tetapi tidak ada pergerakan lainnya di sana, seakan gerbang yang hanya setinggi matanya itu terlampau tinggi bagi Hansol untuk langsung mengangkat tangan dan menyerahkannya kepada Seungkwan. Namun mungkin, memang itu yang mereka tunggu–tunggu sejak tadi, sebuah alasan untuk semakin mengulur waktu dan membiarkan hari memberikan waktu kepada mereka barang sedikit lagi.
“Sol, mau masuk bentar enggak?”
Yang langsung dijawab dengan tawa, “emang boleh?”
“Kan di ruang tamu. Bentar aja, duduk aja.”
Dan Hansol mengiyakan. Dan Seungkwan langsung menjadi yang paling bersemangat, kembali membuka gembok dan membiarkan Hansol untuk ikut masuk. Agaknya seperti kisah-kisah romantic comedy yang suka dia tonton, mengendap layaknya menyelundupkan kekasih mereka ke dalam rumah ketika orang tuanya telah tertidur.
Tetapi sayang, kata comedy dalam romantic comedy itu benar eksistensinya. Baru ketika Seungkwan membuka pintu dengan kunci cadangan yang dia bawa, yang setelahnya dia dengar justru suara dari dalam rumah.
“Loh, ada Hansol?”
Mereka sama-sama membatu di sana.
Bohong kalau Hansol bilang tidak ada perasaan ingin putar balik sekarang juga karena yang paling tidak dia ekspektasikan adalah keberadaan bundanya Seungkwan yang tengah berdiri di dapur sana, menatap dia dengan senyuman lembutnya, sebagaimana milik Seungkwan.
“Malam, tante. Saya–”
“Hansol mau numpang pipis, Bun.”
Dan Hansol langsung mendelik sementara Seungkwan langsung menginjak kakinya pelan.
“Oh, ya udah, langsung aja, Sol. Bunda ke kamar ya. Seungkwan, jangan lupa kunci pintu.”
Masih ada senyum di sana, setidaknya sampai mereka sama-sama bisa mengonfirmasi bahwa bunda sudah masuk ke dalam kamar lewat suara pintu yang tertutup dari lantai atas sana.
“Aku enggak mau pipis.” Ujar Hansol setelahnya.
“Aku bingung alasannya apa, Sol. Masa bilang mau duduk-duduk doang….”
“Ada yang salah?”
Seungkwan mendudukkan dirinya di atas sofa, memandangi Hansol yang ikut menyusulnya untuk duduk di sana.
“Ada, nanti pertanyaannya makin panjang.” Jawab dia kemudian, menyandarkan kepalanya pada lengan Hansol, mencari nyaman di sana.
Beberapa menit yang ada dihabiskan dengan begitu, yang ada hanya suara detik dari jam yang tengah berputar di dinding untuk membunuh hening.
“Sedih deh waktu kamu tiba-tiba pulang kemarin. Enggak sedih banget sih, cuma tetep sedih sedikit.” Seungkwan menjadi yang pertama berujar.
Sebenarnya, hal-hal semacam ini tidak juga begitu penting untuk diutarakan mengingat dia tahu betul bahwa ini tetap salahnya karena menjadi yang paling kepala batu, yang merasa paling kuat dan tidak mau mendengar pendapat orang lain. Tetapi Hansol juga yang selalu bilang bahwa perasaan itu tidak pernah ada yang salah dan Seungkwan perlu belajar untuk memvalidasi perasaannya sendiri, maka dia coba untuk lakukan itu.
“Babe, I’m sorry, okay? Aku beneran khawatir, jadi enggak mikir bener.”
“I know, Sol. Maksudnya tuh… harusnya aku enggak bikin kamu ikutan mikir, apalagi karena masalah yang beneran aku banget, aku yang ngeyel. Maaf ya?”
Pernah ada suatu website di internet yang bisa mendeteksi hewan apa yang cocok dengan wajah kita sebagai manusia. Masih ingat juga Hansol ketika Seungkwan memaksanya untuk mencoba, sedikit merengek karena Hansol menolak untuk diambil gambarnya.
“Katanya aku kayak anjing, Sol.”
“Kamu emang mirip puppy sih, Kwan.”
Tetapi hari ini itu, Seungkwannya lebih seperti tiga beruang kecil dalam We Baby Bears dengan matanya yang berkilauan dan Hansol jelas bukan manusia paling kuat di dunia.
“Aku enggak marah, ngapain minta maaf?”
“Pengen aja, aku merasa bersalah juga tau. Ke kamu, ke Kak Jisoo, ke diri aku sendiri….”
“Kalau gitu, jangan diulang. Coba diskusi sama Kak Jisoo dulu sebelum ambil job, walaupun cuma acara kampus.”
“Iya, Hansol. Janji nih, beneran.” Jawab Seungkwan, mengangkat jari kelingkingnya.
Entah apa pula yang merasukinya, mungkin suasana yang mendukung, namun Hansol justru memajukan diri dan mengecup jari kelingking Seungkwan. Ada senyum yang dia berikan setelahnya sebelum kembali berbicara, “promise sealed.”
Dan itu tidak serta merta membuat mereka langsung kembali ke dunia, justru semakin terlena, terbuai dengan tatapan masing-masing yang seakan saling menarik untuk masuk dan tenggelam. Begitu jauh hingga tersesat.
“Babe,”
Seungkwan hanya mengerjap.
“Can I kiss you?”
Di keadaan yang sesepi ini, wajar bagi Seungkwan untuk langsung merasa khawatir jika detak jantungnya mampu didengar oleh Hansol sebagai satu-satunya orang di ruangan ini selain dirinya, terlebih dengan jarak yang tidak pula pantas disebut sebagai jauh. Besar sekali inginnya untuk menjawab, tetapi mulutnya itu serasa kelu untuk sekadar mengatakan iya atau tidak, untuk memberikan kepastian kepada Hansol yang masih di sana, masih menatapnya dengan kerjapan pelan.
Hingga akhirnya Seungkwan mampu untuk mengangguk. Sekali, dua kali, dan tiga kali. Maka setelahnya, bibirnya itu langsung disapa oleh bibir lainnya untuk menciptakan tautan lembut yang mampu mengirim listrik ke dalam tubuhnya.
Hanya sekadar menempel awalnya, namun ketika Seungkwan mulai memejamkan matanya, dia bisa merasakan Hansol yang semakin meningkatkan apa yang tengah dia lakukan. Tangannya itu tau-tau sudah berada di pipi Seungkwan, mengelusnya pelan dengan ibu jarinya, seakan menenangkan. Lalu remasan yang Seungkwan berikan bajunya sendiri semakin terlepas, digantikan dengan rengkuhan yang dia berikan kepada leher Hansol dan menjadikannya semakin mendekat, semakin dalam ciuman mereka itu.
Tetapi Hansol tidak kasar, justru memperlakukan ciuman ini seakan Seungkwan adalah apa yang harus dijaga betul-betul seakan mudah pecah, namun tetap dapat membuatnya ingin meledak menjadi kepingan dengan cara paling polos yang pernah dia rasa.
Mereka baru melepas pagutannya ketika Seungkwan mundur sedikit yang Hansol tangkap sebagai tanda bahwa mereka perlu berhenti, menghadirkan rona merah pada wajah masing-masing yang mustahil untuk dielak.
“Sol,”
“Babe, I think I should…,” ibu jarinya menunjuk arah pintu. “Go.”
“Tapi aku mau lagi.”
Itu jelas lebih dari sekadar pintu hijau bagi Hansol untuk kembali menubrukkan bibirnya dengan milik Seungkwan, kali ini lebih bersemangat dengan netranya yang juga terpejam untuk menikmati tiap detiknya. Ada lumatan kecil di sana, namun demi apa pun, Seungkwan tetap merasa bahwa ini adalah yang paling innocent bentuknya.
Dan dia tidak peduli lagi akan khawatirnya jika bunda atau ayahnya kembali turun, lalu kembali memeluk Hansol. Tangannya ikut menyentuh rahangnya, memberikan elusan lewat ibu jari untuk merasakan tiap inci kulit di sana. Hansol yang dia banggakan, Hansol yang selalu dia sayang.
Ketika ciumannya kembali lepas, yang ada bukan lagi rasa canggung dan ingin bersembunyi, melainkan senyum dan tawa yang meledak bersama. Mereka itu jatuh cinta dan rasa yang mengendap di dalam hati mereka seakan meronta untuk dikeluarkan, berkoar pada dunia bahwa mereka tengah bahagia dan masing-masing sebagai alasannya.
“Kali ini aku harus pulang beneran.”
“Oke, udah boleh pulang.”
“Enggak bisa kalau kamu masih ngelus-ngelus, babe.”
Seungkwan berikan kecupan di bibirnya, dibarengi dengan senyumnya yang mengembang.
“Sayang banget sama, Sol.”
Alih-alih balas mengecup, Hansol justru memberikan pelukannya dan menenggelamkan diri pada ceruk leher Seungkwan. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang tidak mampu untuk sekadar diajak berkompromi, menciptakan debaran yang tidak kenal ampun.
Kemudian menarik diri, kemudian kecupan pada pucuk hidungnya.
“I love you more than that.”
“Apa dong namanya? Sayang banget banget? Very very love me?”
“Beyond words, Kwan.”
Mulutnya langsung kembali menutup dengan mata yang mengerjap.
Hansol kembali tersenyum, mengelus pipi Seungkwan lagi. “I love you and what I feel… I can’t describe it. It's… beyond words can ever explain.”
Mungkin segala tentang Hansol tidak juga sesederhana itu, mungkin pula kata sederhana itu terlalu sederhana untuk dia. Sebab Hansol jauh lebih itu, Hansolnya adalah segalanya yang mampu menciptakan bahagia dengan cara apa pun itu. Baik hal kecil maupun besar, meriah maupun apa adanya.
“Ya udah, sana pulang.”
“Nanti aku call.”
“Iya, Sol, nanti aku jawab.”
Dan Seungkwan sayang dia untuk itu, untuk segala hal yang ada di dalam dirinya.
FIN