bumwoozle

yule ball 101: way to win you over

hogwarts!au

Dari segala hal yang paling membosankan, pergi ke perpustakaan adalah satu dari sekian banyak hal yang jarang untuk dilakukan Mingyu. Dia lebih memilih untuk mendengarkan orang lain berbicara, meminjam buku untuk dibawa keluar dari tempat itu jikalau sangat perlu. Tapi ayo lah, ada hati yang ringkih di dalam dadanya, menjadikannya bagai anak ayam yang mengikuti induknya kemana pun induknya pergi. Dalam kasus ini, Wonwoo adalah induknya.

“I've told you, Mingyu.” Ujar Wonwoo tadi, sebelum mereka memasuki perpustakaan ini.

Sebenarnya, Mingyu tidak menyesal juga. Setidaknya dia bisa melihat Wonwoo dan bibirnya yang sedikit maju karena terlampau serius dari sini. Melihat matanya yang berbinar di balik kacamata yang ia tengah gunakan. Melihat Wonwoo merasa nyaman dan tenang. But, oh my God, apa dia tidak bisa membawa buku-bukunya ini ke luar perpustakaan saja?

“Won,”

Tidak ada pergerakan.

“Wonwoo, aku agak bosen….” Ucapnya lagi, sambil menusuk-nusukkan telunjuk ke tangan Wonwoo yang empunya gunakan untuk membalik buku. Kepalanya masih ia tempelkan di atas meja, hanya matanya yang berusaha memelas.

Setelahnya, ada helaan napas.

Wonwoo kemudian berdiri, membereskan barang-barangnya dari meja dan memeluk dua hingga tiga buku yang ada di tangannya, berjalan lebih dulu. Maka sebagaimana anak ayam pada umumnya, Mingyu kembali mengekor dengan senyum di wajahnya.

“Kan aku udah bilang, Mingyu. You wont last long in there.”

“Aku mau sama kamu.”

“Tapi, aku mau baca buku.”

Langsung ada bibir yang menekuk ke bawah di wajah Mingyu.

“Kamu serius nolak aku kayak gitu?” Tanya dia sambil menyamakan kecepatan langkah dengan Wonwoo yang bahkan enggan untuk menatapnya. “Wonwoo, jangan marah.”

“Terus sekarang kamu mau apa?”

Mingyu spontan mengernyit, “maksudnya?”

“Ya, kita udah enggak di perpustakaan. Terus, kamu mau apa?”

Mau apa?

He just wanted his attention. Tapi ditinjau dari bagaimana Wonwoonya yang malah marah dengannya, maka semuanya tentu sudah sia-sia. Haruskah mereka kembali ke perpustakaan saja?

“Mingyu, I’m asking you.”

“I just… wanted… want, to be with you.”

Mingyu tau betul itu akan mengundang kerutan pada dahi Wonwoo. Ya Tuhan, dia dalam masalah sekarang. But he tried to be honest, is that even wrong?

Hanya saja, apa pula alibi ingin main? Main apa? Ini bukan muggle world dan segala permainan digitalnya, lagi pula akan mengundang pertanyaan bagi pure blood semacam Wonwoo untuk memahami hal-hal semacam itu.

Wonwoo langsung menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Mingyu yang hampir berbenturan dengan tubuhnya. “Kalau gitu, aku yang tentuin permainannya.”

Bagi si dia yang merasa posisinya sedang di ujung tanduk, menyetujui hal-hal semacam itu bukan hal sulit. Namun saat Wonwoo menyebutkan kata quidditch, dadanya langsung mencelos.

“Aku kan juga mau ngerasain gimana rasanya jadi kamu.”

Kalau sudah begini, Mingyu hanya bisa menghela napas. Dia tidak mugkin bisa membiarkan Wonwoo marah dengannya, tetapi quidditch? Itu bisa membahayakan Wonwoo! Satu-satunya yang tidak ingin Mingyu lakukan adalah membuatnya terluka.

But here they are, di lapangan kosong tempat mereka biasa berlatih. Bukan lapangan utama memang, menggunakan alibi “latihan untuk pemula” sebagai dalih agar Wonwoo berhenti meminta mereka berlatih di lapangan utama. Lagi pula, Mingyu tidak tahu apakah mereka mempunyai izin untuk melakukan itu atau tidak. Dia bukan captain, izinnya itu sangat terbatas, bahkan mungkin Wonwoo sebagai prefect memiliki akses lebih dibandingnya.

“Aku tanya sekali lagi, kamu serius?” Tanya Mingyu ketika mereka sudah sama-sama duduk di atas broomstick masing-masing, ada keraguan di wajahnya.

“Aku enggak sepayah itu, Mingyu.”

“Tapi kamu bisa jatuh!”

“And I want you to catch me.”

Mingyu tidak lagi bisa berkutik, apalagi mencebik, saat Wonwoo sudah melesat terbang ke udara. Ini ide gila, dia bukan pelatih profesional dan tidak punya lisensi apa-apa untuk mengajar sekalipun tujuannya hanya untuk bersenang-senang.

Tapi dari atas sini…, rasa-rasanya mustahil untuk mengatakan bahwa dia tidak merasa terpukau atas apa yang dia lihat sekarang. Langit hari ini cerah, namun tidak sampai membuat matanya menyipit karena teriknya. Itu membantunya untuk memandang Wonwoo yang terbang beberapa meter di depannya, masih memegang ujung sapu terbang dengan erat.

“Tell me once you’re ready!” Teriaknya sedikit.

Wonwoo tentu langsung mengangkat ibu jarinya, memasang tampang paling serius yang agak membuat Mingyu harus menahan senyumnya. Jadi, ia lemparkan bola ditu ke arah dia.

Tapi tentu saja, Wonwoo bukan pemain dan terjun langsung di kali pertamanya tentu tidak akan membuahkan hal yang sempurna. Bola itu justru melesat ke belakang sana, ke arah bangku-bangku yang tidak sedang berpenghuni.

Mingyu tentu tidak menaruh perhatiannya kepada bola itu lagi. Mungkin prefect kebanggaan sekolah itu terkejut, mungkin dia belum sepenuhnya siap. Wonwoo kehilangan keseimbangannya dan satu-satunya insting Mingyu adalah untuk menangkapnya agar tidak bertubrukkan dengan tanah di bawah sana. Dia langsung melesat, memeluk tubuhnya hingga dadanya bersentuhan erat dengan Wonwoo yang sebelah tangannya masih menggenggam broomsticknya erat. Tentu dia juga terkejut meski refleksnya baik dan broomsticknya tentu akan menyelamatkannya, namun pelukan erat di punggungnya itu yang justru memberikan sensasi lain dari terbang di angkasa.

“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Mingyu setelah mereka sama-sama terduduk di atas tanah. Wonwoo bisa menilai dengan matanya sendiri bahwa laki-lakinya itu benar-benar khawatir, alisnya sedikit bertaut hingga muncul kerutan samar di dahinya.

Kemudian, Wonwoo mengangguk. “Can we try again?”

“Ini bahaya, Wonwoo. Kamu hampir jatuh and I’m not professional trainer. I— am afraid I… I will hurt you.”

“Tapi kamu... selalu jago setiap main. Aku juga mau kayak kamu,” ia menggigit bibir bawahnya. “Aku mau sekeren pacarku.”

It left him hanging. Mingyu hanya mengerjap beberapa kali, mengigit inner cheeksnya untuk menahan senyum dari pipinya yang mungkin sudah memerah sekarang. Entah sudah berapa lama sejak ia meminta Wonwoo untuk menjadi pasangannya dalam Yule Ball, namun rasanya akan selalu sama seperti masa-masa awal ketika Mingyu menyadari persaannya. Mingyu dan Wonwoo akan selalu menjadi yang langsung memalingkan wajah ketika seseorang mendapati mereka tengah berpegangan tangan di lorong yang sepi.

“Jadi, gimana?”

“Tapi kamu harus hati-hati.”


”Iya, Mingyu,” tangannya mengelus belakang kepala si Gryffindor. “Sebagai bayarannya, nanti kamu boleh main ke kamarku.”

Mingyu yang awalnya masih ragu itu langsung berubah layaknya bintang-bintang yang ia lihat di kelas astronomi, bersinar dengan terang dengan mata yang berkilau.

“Memangnya bisa?”

“Nanti aku bantu.”

Rasa-rasanya, Mingyu serasa seperti dirinya bertahun-tahun lalu ketika dia dan keluarganya selesai membaca surat penerimaannya di Hogwarts. Dia langsung bangkit, senyum begitu kentara di wajahnya.

“I supposed to teach you how to play Quidditch. First of all, your position was wrong, Wonwoo.”

“Terus aku harus gimana?”

Mingyu menunjuk langit, “let me help you.”


Mungkin ini ide buruk, Wonwoo seharusnya tau itu. Orang seperti Mingyu tidak mungkin padu dengan mereka yang menjadi Ravenclaw sejak sorting hat berada di kepala mereka. Sejak dia menginjakkan kakinya di dalam common room, yang mereka dapatkan adalah tatapan dari orang-orang lain yang tengah berkumpul dengan buku dan segelas susu di tangan mereka. Belum lagi ketika Mingyu hampir menyenggol kursi yang memang terletak di tengah ruangan.

“Kan aku udah bilang, kamu jangan ribut.” Ujarnya sambil mengelus pipi Mingyu di depannya. Matanya kemudian mengintip sisi lain dari kamar dengan ekor mata, mendapati Qian Kun tengah mengernyit ke arahnya sebelum berjalan keluar dari kamar. Ini agak memalukan, mungkin Wonwoo harus meluruskan sesuatu kepadanya nanti.

“Aku selalu begini.”

“Mingyu....”

Tentu, Wonwoo tidak tahu bagaimana hidup Mingyu di muggle world berjalan. Katanya, bukan hal aneh di sana bagi sepasang anak mengungkapkan suka dengan satu sama lain. Katanya, Mingyu pernah menyisipkan bunga di telinga orang lain. Katanya, dia juga pernah berlarian di taman bermain bersama dan mendorong “temannya” saat bermain sebuah wahana bernama ayunan. Itu menjadikan Wonwoo berpikir bahwa dia bukan yang pertama, Mingyu jauh lebih berpengalaman dibanding dirinya dalam hal-hal seperti itu. Jadi, ketika laki-laki itu menubrukkan diri di atasnya dan menjadikan mereka sama-sama berbaring di atas tempat tidur, Wonwoo berusaha menutupi ekspresi terkejutnya.

Ini hal baru untuknya, terlebih di tempat yang cukup umum seperti sekarang ketika siapa pun bisa masuk ke dalam kamar tidur untuk menemukan siswa Gryffindor sedang bergumul dengan siswa Ravenclaw di atas tempat tidur. Mungkin mereka akan langsung dicap tidak benar. Tapi entah kenapa juga, Wonwoo tidak ingin mengambil pusing akan itu. Degup jantungnya mungkin tidak kunjung memelan, namun alih-alih berusaha menenangkannya, Wonwoo justru merasa bersemangat. It makes him excited, dada yang membuncah, dan kepala yang serasa ingin meledak saking berlimpahnya emosi yang ia rasakan.

Di sampingnya itu ada Mingyu yang netranya tidak sepenuhnya terbuka, hanya ada kerjapan pelan yang membuat suasana seakan memelan, seakan di dunia ini hanya ada mereka dan deru jantungnya. Ada kecup yang terus dibubuhkan Mingyu di pipinya.

“What are you doing, Gyu, really?”

“Pipi kamu enak.”

“Aku bukan kue.”

“Tetep enak, Wonwoo.”

“Kamu aneh banget….”

Ciumnya itu terus berlanjut hingga Mingyu sedikit mengangkat diri untuk membetulkan posisi, beralih mengecup dahi Wonwoo yang langsung mengerut.

“What was that for…?”

Forehead kisses selalu meninggalkan kesan hangat di dadanya, menjalar layaknya bara api yang menghangatkan tubuh di musim dingin. Dengan Mingyu yang memberikannya langsung di atas tempat tidur seperti ini menjadikan efeknya jauh lebih gila dibanding yang ia bayangkan.

“Aku tau kamu tau alasannya.”

“Aku enggak tau, aku mau kamu ngomong ke aku.”

Mingyu tidak langsung menjawab, justru terus memberikan kecupnya kembali pada dahi dan pipi Wonwoo. Sesekali geraknya terhenti, membiarkan bibirnya menempel di sana denhan mata yang terpejam. Mingyu juga tau bahwa ini akan membuat Wonwoonya semakin sebal karena dia tidak menjawab pertanyaannya, justru memberikan afeksi yang menjadikannya seperti kepiting rebus.

“Mingyu, sebentar dulu ciumnya.”

“What do you want, Wonwoo?”

“Kenapa kamu cium aku di dahi?”

Mungkin sebenarnya, dia tau jawabannya. Masih pernyataan yang sama dengan malam Yule Ball ketika mereka melarikan diri dari The Great Hall. Masih pertanyaan yang sama dengan ketika bibir mereka bertaut di bawah salju Viaduct yang dingin setelah Mingyu mengajaknya menari di sana.

He…,

“I love you.”

And it feels the same, sama-sama mencekik lehernya dan memberikan hangat di dadanya.

“Aku enggak tau cara ngomongnya. Jadi aku pikir, dengan cium kamu, aku bisa ngasih tau itu.”

Jika tujuannya sebatas menyatakan cinta, maka Mingyu melakukan lebih dari yang ia ingin. Insting mendorongnya untuk mengalungkan tangan pada leher Mingyu, menariknya dalam sebuah ciuman lain, bibir yang saling menempel hingga Mingyu memiringkan kepalanya dan mulai memperdalam ciumnya. Wonwoo menerimanya dengan mata yang terpejam dan tangan yang terus meremas pakaian yang Mingyu kenakan.

Wonwoo tidak mengerti betul tentang cinta, sama sekali tidak mengerti jika saja tidak ada Mingyu di hidupnya. Tetapi lewat setiap gesekan di antara kulit mereka, ia pelajari setiap fragmennya. Wonwoo coba untuk mengerti cara untuk mencinta dan menerima untuk dicinta sebegitu besarnya. Bahkan ketika ciumnya terlepas dengan dada yang sama-sama naik dan turun, tatapan mereka tidak bisa berbohong dengan satu sama lain.

He found love between those stars that spark in his eyes, all the bloom that he felt everytime Mingyu is around him. Maybe, Mingyu is the love himself.

lunch talk.

Dua puluh lima tahun hidup di dunia, bisa dibilang, gue enggak pernah terjebak dalam cinta lokasi. Enggak sekali dua kali gue dengar soal cinta datang karena terbiasa, bahkan jadi korban dari omongan itu. Nyokap dan bokap gue bertemu di negara impian banyak orang, Swiss, karena mereka kebetulan sama-sama bekerja di kedutaan besar Indonesia untuk Swiss. Bokap masuk duluan sebelum akhirnya nyokap menyusul beberapa tahun setelahnya, bertemu berkali-kali di kantor dan di banyak kesempatan lainnya hingga akrab dan saling menyimpan rasa. Klasik, tapi kedua orang yang paling gue hormati itu masih aja menyeruput teh setiap pagi. Biasanya bokap ditemani dengan koran Kompas yang biasa Mang Aceng letakkan di atas kursi teras kami bersama nyokap dan kukis kelapa kesukaannya. Gue? Tentu saja berangkat ke kantor.

Dari beberapa mantan yang pernah menjalin hubungan dengan gue, enggak ada satu orang pun yang berasal dari lingkup yang sama, sedekat-dekatnya mungkin hanya berupa temannya teman. Jadi, saat ada anak baru di kantor, gue enggak ambil pusing seperti anak kantor lainnya yang seakan Hamish Daud atau Dian Sastro tiba-tiba jadi karyawan di kantor ini.

Tapi mungkin gue terlalu cuek dan dewa cinta, si Cupid itu, menjadi jengkel dan menjadikan gue target sasaran untuk menjadi yang terjerembab lebih dalam dibanding anak-anak kantor lainnya. Ketika orang lain udah berlalu, gue baru menengok ke arah Aga yang sekarang bisa gue lihat dengan jelas tanpa harus susah-susah berjinjit karena terhalangi orang-orang.

Analogi aneh, gue tau.

“Lo mau pesen apa, Ria?”

Gue langsung mendongak, memutus pandangan dari buku menu yang enggak sadar gue pandangi sedari tadi. Aga cuma memandang gue dengan tatapan bingung, mungkin mulai merasa aneh dengan situasi di antara kami.

“Oh! Gue…,” setan di otak gue mulai menepuk-nepukkan tangan dengan tempo cepat seperti Chef Renata ketika jam menunjukkan sisa 5 menit lagi untuk platting. “Saya sop daging iga dan lidah, pakai nasi. Minumnya air mineral aja.”

“Saya rawon buntut, minumnya es teh manis aja.”

Dengan perginya pelayan dari meja kami, itu berarti kami jadi berdua lagi.

Sampai di mana kita tadi?

Aga ini asalnya bukan dari divisi gue, salah satu penyebab kenapa gue semakin malas untuk ketemu dengan dia di awal-awal dia menjadi karyawan di kantor. Gue baru bertemu langsung dengan dia beberapa minggu setelahnya, di tengah rapat dengan dia yang ternyata memang menarik, seperti yang orang-orang bilang. Tuturnya baik dan beberapa gerak-gerik yang enggak sengaja mata gue tangkap di akhir rapat mungkin meninggalkan kesan tersendiri. Beberapa minggu kemudian, gue menjadi Arsa yang hari ini teman-teman gue kenal.

“Ria,” sorot matanya keliatan bingung. “Tumben ngajak gue?”

Kalau ditanya seperti itu, kira-kira jawaban apa yang biasanya orang berikan?

Zafran bilang, gue langsung berubah jadi penakut setiap berhubungan dengan Aga. Gue bisa melakukan negosiasi dengan siapa pun yang kantor berikan, tapi tetap jadi anak kecil yang mau meminta sendok aja masih bersembunyi di balik kaki ibunya setiap berdiri di sebelah dia. Aga ini sama sekali enggak mengintimidasi gue, siapa juga yang bisa mengintimidasi gue dibanding gue mengintimidasi mereka? Tapi karena udah bawa hati, segalanya itu langsung luluh lantak.

Termasuk setiap kali dia memanggil gue Ria dibanding Arsa, katanya lebih nyaman memanggil orang dari nama belakangnya, alasan yang enggak bisa gue terima jikalau dia bukan Aga. Insiden gue percaya gosip dan diolok-olok nangis sama Zafran itu hanya satu dari sekian banyak hal yang enggak pernah gue sangka akan terjadi sebelumnya.

Tapi gue akan tetap menjadi gue, individu yang punya kendali penuh atas diri sendiri. Kalau terlanjur didorong begini, gue bakal menjadi yang berpikir dengan cergas dan mengambil keputusan dengan tangkas, biasanya selalu akurat. Termasuk saat membalas pertanyaan Aga tadi.

“I dont think kita pernah…,” tatapan mata gue bergerak dari meja ke wajahnya, “ngobrol yang bener? Selalu ada orang lain.”

“Emang mau ngomongin apa?”

“I want to know you better.”

Gue bukan pengamat ekspresi dan bukan juga lulusan psikologi. Hanya aja, gue tau Aga mau menjawab pernyataan gue ketika handphonenya bergetar. Dia langsung mengambil handphonenya, memberikan isyarat untuk izin terima telepon seperti sewajarnya. Entah menyalahi privasi atau enggak, tapi gue sempat menangkap nama di layarnya.

Langkah kakinya itu bergerak cepat, lebih seperti berlari. Mungkin dia terlihat seperti aktor di film-film, bagaimana ujung matanya bisa menangkap siswa lain yang memandangnya dengan tatapan kaget. Tidak mengherankan, Mingyu sendiri juga kaget dan panik sekarang. Detik ketika sebuah pesan dari salah satu adik kelasnya (yang kebetulan mengikuti ekskul basket dengannya) masuk, dia langsung mengernyit dan berpamitan dengan teman-temannya dari kantin.

Katanya, Wonwoo sedang berkelahi.

Adik kecilnya itu bukan orang payah, masih jelas di memorinya saat mereka kecil dulu ketika orang tua masing-masing mengantar mereka untuk mengikuti latihan bela diri. Bukan yang terbaik memang, tidak juga mendapat sabuk tertinggi, tetapi Wonwoo tau kekuatannya dan apa yang harus dia lakukan di depan lawan. Lagi pula, tidak seharusnya dia berkelahi, terlebih di sekolah seperti ini.

Mingyu baru berhenti saat kerumunan orang menghalangi jalannya. Jadi, dia berusaha meminta celah, menyebut permisi berkali-kali hingga posisinya berada di depan. Ada Jeonghan di sana yang berusaha menahan Wonwoo yang bersungut-sungut, pemandangan langka kalau Mingyu boleh bilang. Lalu juga Byungchan yang tengah menahan... Wooseok.

Mingyu langsung berdecak, musuh bebuyutannya, tentu saja.

“LO YANG DORONG GUE DULUAN!”

“LO YANG NGATAIN GUE ITIK PULANG PETANG!”

“I WAS STATING THE FACT, STOP ACT LIKE YOU ARE A FREAKING PUTRI SOLO!”

Its super chaos, fuck, bahkan guru-guru yang baru berdatangan itu berjalan tergopoh-gopoh demi dua laki-laki yang Mingyu yakin betul mendebatkan hal tidak penting. Apa tadi? Itik pulang petang?

*“Both of you, follow me to the counseling room, NOW!” Ujar salah satu guru di sana, membuat Mingyu meringis. Muka Wonwoo di situ semakin masam, berusaha melepas cengkraman Jeonghan dari tangannya. It won’t be nice, entah akan ada perang apa lagi di dalam ruang konseling nanti.

Tidak ada jawaban dari Wonwoo, tidak peduli berapa kali dia mengirim pesan. Mingyu baru bisa bertemu Wonwoo lagi ketika waktu pulang. Mata mereka itu sempat bertemu sebelum dia justru melengos begitu saja dari Mingyu, meninggalkan kerutan lain di dahinya. Tentu dia punya sopir yang selalu siap mengantar-jemputnya kapan saja dan di mana saja, tapi halo, ada Mingyu di sini? Mungkin perlu juga ditekankan, Mingyu yang dua minggu lalu baru mengajak Wonwoo untuk berpacaran dan diterima olehnya.

Itu sedikit mengusik pikirannya, jika boleh jujur. Wonwoo itu selalu manja dengannya, jadi ketika anak itu tidak kunjung membalas pesannya, jelas saja itu adalah tanda dari hal yang mengkhawatirkan.

“Mingyu?”

Dia langsung tersentak, mengangkat kepalanya untuk menemukan guru lesnya memandangnya dengan bingung.

“Ada yang mengganggu pikiran kamu?”

“I'm sorry, ma'am.”

Kalau gurunya ini melaporkan konsennya yang berlarian ke sana dan ke mari di hari ini kepada orang tuanya, maka habis sudah. Mingyu sighs. That one little guy will be the end of him, kendalinya besar sekali untuk menguasai hidupnya.

Kelas privatnya baru selesai satu jam kemudian dan pada pukul tujuh malam, dia sudah siap dengan jaket yang membalut tubuhnya untuk menghalau angin malam. Jarak kediamannya itu tidak begitu jauh dari rumah Wonwoo, dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki, jadi dia tidak perlu repot-repot mengeluarkan pajeronya dari garasi sekaligus menolak ajakan sopirnya yang ingin mengantarnya ke rumah Wonwoo yang letaknya cuma berada di ujung jalan itu.

“Nanti saya dimarahin sama Ibu.”

“Saya udah bilang kok, tenang aja.”

Orang tua Wonwoo selalu menyambutnya dengan baik, sejauh ingatannya. Bahkan sejak dia belum lancar membaca rangkaian huruf, Mingyu sudah sering muncul di daun pintu rumahnya dengan senyum tiga jari. Terkadang, ada kotak makan di tangannya, sering kali ada bola sepak yang ia peluk. Namun hari ini, dia datang dengan tangan kosong meski senyum yang orang tua Wonwoo tidak pernah berubah. Katanya, Wonwoo bahkan tidak menghabiskan makan malamnya. Katanya juga, mungkin hanya Mingyu yang bisa mengembalikan mood Wonwoo.

Ketika dia mengetuk lalu membuka pintu Wonwoo, netranya spontan menangkap gundukan besar di atas tempat tidur yang tertutup oleh bed cover sepenuhnya.

“Wonwoo, lo enggak sakit kan?”

Tidak ada jawaban.

Dia melangkah, mendekatkan diri dengan tempat tidur bersprei putih itu. Bibirnya tertarik sedikit ketika melihat telinga boneka Rilakkuma yang menyembul dari balik bed cover, telinga boneka yang sama dengan yang pernah dia berikan kepada Wonwoo saat memenangkan claw machine ketika keluarga mereka berlibur ke Jepang bersama, jauh ketika mereka masih di bangku menengah pertama. Tangannya kemudian menyelusup masuk, mengelus pucuk kepala Wonwoo perlahan.

“Wonwoo, hei?”

Satu-satunya respons yang anak itu berikan adalah tubuhnya yang justru semakin menggulung, seakan berusaha menolak segala ancaman yang ada di dunia.

Tapi kan Mingyu bukan ancaman?

“Won, gue enggak akan marahin lo.”

“But you'll give me a fucking long lecture seakan gue anak kecil yang berantem hanya karena mau sok jagoan!”

Pekiknya Wonwoo itu dibarengi dengan dia yang langsung keluar dari tempat persembunyiannya, terduduk dengan ekspresi wajah paling masam. Pacarnya itu langsung tersentak.

“Gue enggak mau ceramahin lo, Wonwoo. Gue cuma mau tau alasan lo ngatain Wooseok.”

“Just say that lo mau bela dia and go!”

“Gue enggak bilang mau bela Wooseok, Wonwoo.”

“Then why are you still here?” Ujarnya sambil mencebik. Pelukan di bantalnya mengerat dengan alis yang beradu.

Kalau ini bukan salah satu hal terlucu yang pernah ada di muka bumi, maka dunia adalah penuh kedustaan. Begitu menurut Mingyu.

Menghabiskan begitu banyak waktu dengan laki-laki ini sepanjang hidupnya sejauh ini tentu membuatnya mengerti Wonwoo lebih dari teman-temannya, lebih dari dirinya sendiri bahkan. Sekalipun Mingyu tau betul Kim Wooseok adalah musuh bebuyutan Wonwoo, adik kecilnya itu tidak pernah begini sebelumnya. Pasti ada hal lain yang mengusik pikirannya.

“Cerita.” Ujarnya sambil menangkup wajah Wonwoo.

Banyaknya keraguan di dalam wajah Wonwoo membuat Mingyu menggerakkan ibu jarinya, mengelus pipi yang dulu suka ia tarik pelan.

“Belom siap cerita?”

“Its not important, cuma nyokap dan bokap berantem over unimportant things.

“Kalau emang enggak penting, lo enggak bakal kayak sekarang.”

Dalam 3 2 1, Wonwoo akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat suara.

“Ya, pokoknya mereka berantem. Gue takut dengernya, so I was crying myself to sleep dan bikin gue jadi bitter banget hari ini. Then Wooseok appeared, and then...,” tangannya mengayun, seperti isyarat tanda selesai. “I know it's my fault and I don't need you to tell me again if I was wrong because I know that already, gue udah punya KTP which means I'm tecnically an adult.”

Ekspektasinya adalah Mingyu akan mendengus dan tetap memberikan nasihat mengenai perkelahiannya seakan di usianya yang hanya berbeda satu tahun dengannya ini, dia telah menjelajahi dunia dengan kakinya sendiri. Tetapi mungkin pikirannya itu sudah terlanjur lelah hingga lupa bahwa Mingyunya adalah manusia terbaik di muka bumi dan selalu berusaha memberikan segala yang ia bisa untuk Wonwoo seorang. Tangannya itu menarik Wonwoo ke dalam peluk, mengelus belakang kepalanya perlahan.

“Lo harusnya bilang gue aja kalau lagi takut, kan gue udah pernah bilang.”

“Gue enggak mau ganggu lo terus, Kinggu.... Gue enggak mau jadi manja terus.”

“Bukan berarti lo jadi nomor duain diri lo sendiri gini dong, Won.”

It takes them almost an hour until Wonwoo feels better, tidak ada lagi tangannya yang mengucek matanya untuk menahan tangisnya. Mingyu can tell if Wonwoo still feels uneasy, mungkin dadanya itu belum begitu lapang dan pikirannya masih semerawut. Jadi, dia bubuhkan kecup di kepalanya, elusan lainnya di bahunya.

God, isn’t it obvious how whipped he is?

“Kinggu.”

Mingyu tidak langsung menjawab, berkutat dengan remote AC di tangannya. Dia naikkan derajatnya agar ruangan itu tidak semakin dingin sepanjang malam. Baru setelahnya, dia menggumam. Ada senyum di wajahnya ketika menoleh.

“You’re staying?”

“Gue barusan mandi dan sekarang gue pakai piyama.”

“I mean— I’ll see you in the morning, ya kan?”

Dia langsung memberingsut ke atas tempat tidur, membawa Wonwoo ke dalam pelukannya. Diberikannya kecup pada kepala Wonwoo sambil mengelusnya pelan.

“Kalau lo bangun pagi, then yes.”

“Kalau gue bangun telat gimana?”

“Kayaknya gue udah pulang.”

Wonwoo langsung menarik diri, memberikan tatapan paling memelas yang dia bisa.

“Kenapa? Kan kita bisa sekolah bareng, Gu.”

“Karena gue enggak ada seragam, Won, gue harus pulang dan ngambil di rumah dulu.”

“I’ll go with you.”

“Emang bisa bangun pagi?” Tanya Mingyu, menyentuh puncak hidung Wonwoo dengan jari telunjuknya.

“Lo bangunin dong, Kinggu. Gue bisa kok kalau bangun pagi. Nanti sarapan di rumah lo aja.”

“Gue enggak bawa mobil, jadi kita ke sana jalan kaki pake piyama.”

“I dont mind.”

“Oke, besok gue bangunin.”

Refleks Wonwoo adalah menggigit bibir bawahnya, membentuk senyum kemudian. Matanya itu menyipit, menunjukkan perasaannya yang jauh lebih membaik sekarang.

“You wanna hear my story, Gu?”

“How is it?”

Maka Wonwoo memulai ceritanya, tentang bagaimana Wooseok berjalan di depannya dengan sangat lamban, seperti siput katannya. Then he just snapped him, tersulut dan kembali menyulut.

“I can still how hurt it was when he grabbed my hair! Fuck, dia jambaknya kenceng banget that I felt dizzy in counseling room.”

It warms Mingyu's heart in the most bucin way possible. He can absolutely feel how his face lits along with every words that come from Wonwoo's mouth. Adik kecilnya yang bukan lagi kecil, namun tetap menjadi Wonwoo yang sama dengan Wonwoo tiga belas tahun lalu yang ingin ia jaga.

Entah sudah berapa lama waktu yang ia habiskan, mungkin juga tubuhnya mengindikasikan hari ini sebagai hari berat, Wonwoo pikir. Tidak ada lagi dia yang berusaha keras untuk tidur, justru otaknya sendiri yang seakan menyuruhnya untuk menyerah dan beristirahat.

Satu hal yang dia tangkap sebelum benar-benar masuk ke alam bawah sadar adalah cium di bibirnya.

surrender.

It was another wonderful night. Ada selang sehari setelah tindak nekat yang mereka lakukan di ruang tunggu festival, Mingyu mengucapkan maafnya. Katanya, tidak seharusnya dia memaksakan sesuatu yang menempatkan mereka di posisi yang begitu riskan, bahkan untuk karier mereka, band mereka. Meski Wonwoo menyergah dan mengatakan bahwa dia juga menginginkannya, tujuan Mingyu belum tercapai kalau hanya sampai di situ. Tentu yang laki-laki itu kejar bukan sekadar permintaan maaf. Oh, ya ampun, dia tentu tau Wonwoo pasti akan memaafkannya. Apa yang dia ingin adalah untuk membayarnya atau dengan kata lain... memberikan kenikmatan yang lebih pantas untuk seorang Jeon Wonwoo.

Jadi, di situlah mereka.

Katanya, hari itu khusus untuk Wonwoo. Mingyu akan memberikan apapun untuk membuat dia menjadi pangeran di ruang itu. Makanan apa pun, gaya apa pun, di mana pun.

“Besok pagi lo tidur aja pokoknya, nanti breakfast gue yang bawain.”

“Gue bisa jalan sendiri ke bawah, oh my God, Mingyu....”

“Breakfast in bed, spesial buat gitaris gue yang udah kerja keras.”

“Kita semua juga kerja keras.”

“Jangan ke mana-mana pokoknya, di sini aja, sama gue.”

Mingyu pikir, itu adalah janji. Pagi itu, setelah dia yakin bahwa Wonwoo telah tenggelam di dalam mimpi setelah lelahnya mereka, ada jari yang menelusuri setiap lekuk dari wajahnya. Mata yang terpejam itu selalu terlihat damai dan bibir yang terkadang sedikit mengerucut tidak pernah gagal menjadikan Mingyu ngilu sedikit. Kalau perasaannya dideskripsikan sekadar dengan kata berdebar, maka itu sama saja merendahkan.

Mingyu bukan penakluk hati manusia. Sebanyak-banyaknya mantan yang dia miliki, itu semua terjalin berkat koneksi pertemanan tertentu yang dapat menghubungkan mereka untuk menjadi dekat. Termasuk Saerom dulu, termasuk Wonwoo. Jadi, jika dia dihadapkan di posisi seperti saat ini, tetaplah bingung otak dan hatinya. Sekadar suka agaknya kurang menggambarkan, sementara cinta lebih terdengar seperti hal serius yang tidak pantas bagi mereka yang kesehariannya hanya bermain. Tapi, Mingyu yakin bahwa dia sayang. Segala ucapan sayang yang pernah keluar dari mulutnya bukan sekadar bualan dan godaan yang suka ia berikan di atas panggung kepada para penggemar. Ini Wonwoo yang sedang kita bicarakan dengan Mingyu, satu-satunya yang bisa menjadikannya jatuh dan bangun acap kali laki-laki itu mengasingkan diri di dalam hutan hujan yang gelap dan dingin.

Pagi ini, Mingyu ikut tersesat. Matanya langsung terbuka ketika tangannya tidak merasakan apapun di sebelahnya selain kain dan selimut. Otaknya langsung menyimpulkan, mungkin Wonwoo sedang ke kamar mandi dan dalam beberapa saat, akan ada suara pintu yang dibuka juga kehadiran Wonwoonya akan kembali. Tapi tidak, bahkan setelah tiga dan lima menit setelahnya ketika Mingyu mengambil kaos dan celana di atas kursi ketika dia seratus persen yakin bahwa tidak seharusnya ada di situ. Dadanya langsung mencelos saat menemukan kamar mandi yang terbuka sedari tadi, tidak ada siapa-siapa di sana. Sekalipun Wonwoo sedang turun untuk mengambil sarapan, kenapa juga dia harus membawa segala barang yang ia bawa?

Seakan ingin menolak, langkah membawanya untuk turun ke restoran mana saja yang bisa ia temukan di hotel ini. Mungkin portal gosip akan memuat berita tentang dia dalam beberapa menit. Mingyu Daze-61 yang sedang luntang-lantung mengitari restoran dengan wajah sedihnya. Orang-orang bisa saja akan berspekulasi mengenai alasan di balik bingungnya, beberapa akan menjadi cenayang dan menebak bahwa dia tengah mencari Wonwoonya. Wonwoo yang hilang, yang tidak ditemukan bahkan setelah dia merasa lelah dan ingin menyerah.

Kembalinya dia ke dalam kamar juga tidak mengandung kejutan apapun. Tidak ada Wonwoo yang tiba-tiba muncul dengan wajah bingungnya dan bertanya mengapa Mingyu menghilang begitu saja, karena dia lah yang menghilang.

Mungkin dia yang berlebihan karena menganggap obrolan itu sebagai janji, sebagai keinginan yang ingin untuk ditepati. Bentuk egois karena Wonwoo sendiri tidak pernah menyebut kata iya. Tapi Mingyu kira, dia sudah memberikan kebebasan terbaik, apa yang dia minta bukan sebuah kekangan. Mingyu kira, Wonwoo sudah semakin menerimanya.

Tapi sayang, ini bukan kali pertama bagi Wonwoo untuk seakan telah menerima ketika dia belum. Wonwoo yang suka mengasingkan diri itu tidak pula pernah meminta Mingyu untuk ikut masuk ke dalam belantaranya, melainkan Mingyu yang menguji kebolehan dan berakhir celaka. Mungkin selama ini, dia berlebihan dan membuat Wonwoo tidak nyaman. Mungkin selama ini, segala perhatiannya memberikan efek yang salah pada Wonwoo. Mungkin selama ini, keinginannya untuk selalu ada salah diterjemahkan sebagai simpul yang mulai mencoba mengerat.

Kalau sudah patah begini, dia bisa apa?

Punggungnya kembali bersinggungan dengan kasur yang ia tiduri, sementara tatapannya beralih ke noda yang mereka tinggalkan di atas kasur yang putih. Satu-satunya tanda bahwa Wonwoo pernah di sini hanya berupa bekas sperma berbentuk abstrak yang tidak akan memberikan dampak apapun bagi perasaan Mingyu saat ini.

Mingyu yang terus berharap lebih dan Wonwoo yang meninggalkannya lagi.

It was another wonderful night.

Dasar manusia keras kepala.

voice note #29

“Halo, Wonwoo. Kalo kamu denger ini, berarti antara kamu lagi iseng atau emang emang kangen. Kayaknya bakal geli dah, gak biasa nih aku kayak gini, haha. Cuma, dengerin aja ya. Sengaja aku rekam VN kedua ini abis kamu tidur, jadi bisa fokus.

“Juni kemaren kita udah setahunan, berarti sekarang udah... 14 bulan pacaran, lebih sih kalo diitung dari PDKT. Setahun itu aku, serius, enggak pernah ngerasa nyesel karena udah main ke kelas kamu dulu, ngeliat kamu di situ lagi serius ngerjain apaan ya waktu itu? Emang rada malu-maluin sih karena chat pertamanya modus banget, tapi kalau enggak gitu, belom tentu nih aku bisa duduk di atas sofa apartemen kamu kayak sekarang nih.

“Kalo aku ada kelakuan yang bikin kamu gak seneng gitu, bilang aja ya, Won. Kayak waktu itu pas aku kesannya kayak cuek banget, kamu bilang aja. Aku juga bakal usahain gitu, walaupun kamu emang gak pernah nyebelin. Biar kita sama-sama belajar aja, biar kita banyak ngobrol juga.

“Kamu tuh… apaan sih bahasanya? Udah jadi salah satu orang penting dalam hidup. Jiah, dangdut banget enggak tuh? Jadi pokoknya tenang aja, jangan kebanyakan takut yaa, Wonwoo sayang. Kalo ada apa-apa, aku pasti bilang ke kamu. Jadi aku pengen kamunya juga gitu, aku usahin bantu. Orang rumah juga pada kenal kamu dan suka kamu, jadi gaperlu gak enak.

“Udah kali ya? Anjing, geli banget dah gua. Pokoknya kita nih harus belajar bener biar pas ketemu lagi entar, udah bisa seneng-seneng lagi. Bakal kangen makan Makaroni Ngehe sama cilung depan sekolah sama kamu. Jangan tidur pagi, Won, jangan kacapekan juga.”

Indikasi hari baik adalah ketika jam nunjukin pukul 6.41 dan penjaga sekolah belum ngunci gerbang. Kalau udah gitu, biasanya gue bakal lari tuh, masang senyum lima jari, dan ngulurin tangan untuk salam sama guru-guru yang masih berjaga di depan.

“Besok jangan telat lagi.”

“Iya, Bu.” Jawab gue untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu kurang dari 7 hari.

Bel jelas sih udah bunyi sejak entah kapan, cuma nih, gue masih bisa liat satu dua siswa yang berkeliaran di kantin sebelum gue naik tangga menuju kelas. Keadaan kelas juga enggak lebih baik, jauh lebih buruk malah, bisa diliat sebabnya dari absennya guru di depan kelas ketika speaker udah ngeluarin bacaan ayat suci dari tadarus harian kayak biasanya. Beberapa juga masih setia banget duduk-duduk di depan kelas, kebanyakan hanya ngobrol dengan suara super keras yang kalau dipikir-pikir, agak memekakkan telinga. Gue gitu kali ya kalau lagi ngobrol sama orang? Beberapa orang juga sibuk ngebut ngerjain tugas.

“Enggak dapet surat telat?” Tanya Chan sesaat setelah gue meletakkan tas di atas meja, mendudukkan diri di atas kursi kayu yang jujur sih, udah agak reot.

“Enggak, masih dibuka kok gerbangnya.”

“Ke kantin dulu tadi?”

“Langsung naik gue.”

“Lah, Si Jiyoon tadi ngechat Jihan, katanya udah kekunci.”

Kan,

hari baik.

Indikasi hari baik kedua adalah saat hari ini bukanlah hari Senin, Rabu, atau Kamis. Senin berarti upacara dan segala atribut yang tentu saja sering gue lupakan dan Rabu-Kamis berarti mata pelajaran matematika. Jumat juga kadang nyebelin kalau udah ada tugas yang enggak bisa diselesain sebelum kelas sebelum kelas dimulai karena di sekolah ini, seluruh siswa harus melakukan tadarus di masjid sekolah setiap hari Jumat.

Hari Selasa berarti sejarah dan kimia favorit gue. Gue juga enggak ngerti betul sih kenapa gue suka dua mata pelajaran yang sebenarnya agak bertolak belakang itu, cuma kadang tuh asik untuk dipelajarin dan enggak ada yang lebih baik dari merasa asik pas lo lagi belajar, ya kan?

Hari Selasa juga berarti hari olahraga.

Kalau lo nanya gue perihal alasan, sebenarnya gue enggak mau jawab. Mungkin karena dengan baju olahraga, gue jadi bebas gulung celana dan lengan baju tanpa perlu takut bakal main kucing-kucingan sama kesiswaan dan guntingnya. Mungkin karena gue juga suka banget sama voli walaupun kita cuma belajar voli tiga minggu dalam satu tahun. Mungkin karena... faktor lain.

Kelas lain misalnya.

Sekolah gue ini selalu menggabungkan dua kelas di jam olahraga, biasanya yang kelasnya bersebelahan, enggak tau juga kenapa. Kalau udah begitu, isi lapangan bakal penuh dengan ributnya siswa dan percakapannya. Gue, sebagai Seungkwan yang sering dijadiin perwakilan kelas untuk kegiatan apapun, selalu jadi orang yang dikambinghitamkan untuk berdiri di paling depan, enggak jarang jadi bulan-bulanan untuk mimpin pemanasan. Males banget enggak sih? Biasanya sih gue bakal nolak dulu, tapi kekuasaan guru di depan gue ini lebih besar dan gue enggak bisa apa-apa selain pasrah.

Sebagaimana biasanya pula, pandangan gue akan selalu terarah ke satu objek yang seakan memiliki radar tersendiri. Hadeh, kenapa ya kita jadi seakan-akan punya kebiasaan buat ngelirik orang yang kita suka? Maksudnya... dulu kita bisa-bisa aja tuh biasa aja, enggak merasa butuh dan geregetan kalau enggak ngeliat orang itu.

Well, namanya Vernon, kelas IPA 6. Lebih familiar dengan nama Bule, nama angkatannya. Gue masih inget satu waktu di mana gue ngobrol enggak penting sama dia untuk pertama kalinya, senormal-normalnya seorang teman.

“Oh, jadi lo beneran orang Amerika?!”

“New York-Batak, tapi iya.”

“Lo pernah nonton Broadway enggak?”

Vernon langsung ngerutin dahi. Gak salah kan gue?

Ada segudang kali ya, hal yang mungkin bisa gue ceritakan kalau udah bahas laki-laki yang satu itu. Tentang makanan yang biasa Vernon pesen di kantin, tentang Vernon dan kemampuan basketnya, tentang Vernon yang enggak akan langsung pulang setelah bel pulang.

Tentang gimana dia yang suka kepergok lagi liatin gue juga, tapi kayaknya itu enggak penting.

Indikasi hari baik adalah ketika gue berhasil melakukan pendekatan dengan Vernon lagi. Hari ini bukan voli, hanya blip test yang nyebelin. Absen di bagain atas hanya bikin gue dapet urutan awal, ngabisin energi untuk selanjutnya berleha-leha sambil ngeliatin teman-teman lainnya lari-lari setengah mati demi nilai olahraga yang enggak seberapa.

“Capek banget deh.... Lo nyerah pas udah keberapa?”

Vernon cuma diem, mengerjap, mungkin maksudnya lagi mikir.

“Delapanan? Sebelum lo, gue udah nyerah.”

“Gue kalau lari-larian gini masih kuat, kalau senam lantai udah males banget.” Jelas gue, bikin eskpresi semales-malesnya. Masih inget banget gimana gue mempermalukan diri karena gagal tiger sprong, kebanyakan takut karena temen SMP gue dulu ada yang sampai terkilir gitu lehernya.

“Tapi waktu itu lo bagus kok, Kwan.”

Nah, kalau udah begini, suka enggak suka nih gue.

Cerita sedihnya, gue selalu hidup sebagai pengagum. Bisa dihitung dengan jari berapa kali seseorang ketauan naksir sama gue, itu pun gue enggak naksir balik dan malah naksir orang lain. Jadi simpelnya, pengalaman gue dalam geer-geeran ini tuh enggak terpercaya dan mengecewakan, jadi mending enggak geer sama sekali.

Tapi ampun deh, Vernon....

Kita berakhir bahas apa aja yang enggak nyambung sama kegiatan hari ini dan sumpah, gue enggak tau apa yang lebih baik dari itu. Dia cerita tentang adiknya yang suka ngajak dia bikin vlog tiba-tiba, gue dan kakak gue yang lagi sibuk sama bisnis kafenya, Vernon dengan kucingnya, gue tentang anjing kecil gue, tentang persiapan cup sekolah kami yang dimulai bulan depan. Rasanya kayak kita punya gelembung transparan sendiri yang misahin kita dan dunia, klise tapi rasanya bikin gila.

“Kenapa nama angkatan lo Jeruk, Kwan?”

“Karena waktu itu gue kepergok lagi bawa jeruk ke sekolah, lalu boom! Nama gue Jeruk.”

Bahkan setelah jam olahraga hampir habis dan semua siswa udah diizinin buat balik, masih ada obrolan di antara gue dan dia. Pas kami jalan ke kantin, gue yang beli Indomie goreng double dan Vernon yang Cuma beli es teh manis. Pas kami naik ke kelas untuk ganti baju ke seragam putih–abu-abu lagi. Pas kami akhirnya berhenti karena harus masuk ke dalam kelas masing-masing. Akhirnya memang cuma nanya apa gue udah guru kimia kita ngasih tugas yang sama dan ngasih tau seragam dia yang belakangnya belum dimasukkin aja sih, tapi ini jelas sebuah perkembangan bagus!

“Jiah, udah deket.”

Gue langsung mendelik ke arah Chan, “jaga volume suara lo.”

“Tapi serius, Kwan. Tumben banget lo berani kali ini?”

Chan bener, seharusnya gue memutus pembicaraan dan kabur dengan muka memerah seperti biasanya.

“Enggak tau sih, tapi enggak aneh kan?”

“Karena gue temen lo, agak aneh sih.” Jawabnya. “Tapi kalau maksud lo gerak-geriknya, ya enggak. Kita semua gitu ke temen, kecuali senyum lo yang kayak siap banget buat nerangin lapangan.”

“Gak se-obvious itu deh?”

“Di mata gue se-obvious itu.”

“Chan, please, jangan bikin gue takut.”

Akhirnya gue mikirin perkataan Chan sampai bel istirahat bunyi, bahkan sampai gue mau pulang. Indikasi hari baik selanjutnya adalah, guru jam terakhir absen dan membuat siswa bisa kabur lebih awal. Beberapa ada yang beneran cabut, nego sama penjaga sekolah bukan lagi hal baru buat mereka, tapi buat tipe-tipe kurang dipercaya sama Pak Supri (nama penjaga sekolahnya) seperti gue dan Chan, kita bakal nunggu sampai ada sinyal hijau dari mereka yang udah berani.

“Kalau misal, misalnya aja nih, Si Bule naksir lo balik, lo bakal nerima gak?”

Gue langsung nengok ke arah Chan. Enggak banyak yang bisa kita liat dari sini, dari raling depan kamar mandi yang bau rokok banget. Cuma bangunan tinggi di seberang sana yang gue masih enggak tau itu gedung untuk kantor apa.

“Mungkin? Enggak tau juga sih, rasanya kayak ngayal banget, Chan.”

“Yee, lo kan juga udah deket sama dia. Enggak mustahil lah.”

“Tetep aja! Lo enggak tau apa kalau adek kelas pada naksir dia?”

“Emang mereka udah deket sama Bule?”

“Enggak bikin kesempatan gue jadi gede. Please, jangan bikin gue—”

“Mampus, balik badan!”

Chan langsung memutar bahu gue untuk berbalik, menemukan orang yang lagi digibahin sedang berdiri sambal megang strap tasnya.

Mungkin mau ke toilet.

Mungkin mau cuci tangan.

Gue lagi enggak jelek kan?

“Gue duluan!” Seru Chan sambal ninggalin gue gitu aja.

Hari baik, hari baik, tapi punya temen enggak baik.

Ada beberapa detik sampai Vernon ngelangkah ke arah gue yang udah mati gaya mampus, meremas handphone gue untuk menyalurkan emosi yang enggak tau juga ini emosi apa.

“Lo… gak pulang?”

Gue menggeleng, “emang udah bisa?”

“Bisa, tadi udah ada yang balik.”

Gue jarang kehilangan bahan konversasi, kayak… otak gue selalu punya ide dan kalimat yang perlu gue bicarain. Kalau juga obrolannya berhenti di situ ya, ada aja gitu loh ide buat nyari topik baru. Cuma liat aja gue sekarang kayak ayam sayur, sepayah itu. Sementara Vernon dan gue akhirnya sama-sama nyender ke raling di depan toilet ini.

“Kenapa lo jadi ngikut gue di sini?”

“Males balik.”

“Biasanya juga ngumpul sama yang lain, Vern.” Ujar gue, sambil ketawa biar less awkward aja.

Tapi dia juga ketawa, ganteng banget.

“Abis ini buru-buru balik?”

“Enggak buru-buru sih, malah nyokap suka pengen gue jalan-jalan aja, padahal gue suka pulang telat juga!” Jelas gue, “Kenapa emang? Mau ngajak jalan?”

“Boleh.”

Sebentar….

SEBENTAR….

“Mau… ngajak ke mana?”

“Film horror ada yang baru lusa, lo suka ga?”

“Gue gak bisa film horror, like… enggak bisa banget.”

“Kan ada gue?”

Sekolah gue ini emang deket banget sama mal, tinggal jalan. Anak-anak lain juga biasa nonton sepulang sekolah, tapi anak-anak lain seharusnya bukan Vernon dan gue. Bisa enggak sih orang ini jangan bikin gue gede rasa? Gue mati-matian ngatur ekspresi, menggigit pipi bagian dalam.

“Lo yang bayarin, ya? Gue enggak ikhlas nonton kayak gituan.”

Vernon hanya mengangkat bahunya, ”sure.”

Udah gila banget enggak sih?

Setelahnya, gue rasa kalian semua enggak perlu tau gimana perasaan gue selama terperangkap di dalam ruangan itu, betapa ancurnya harga diri gue di depan crush. Gue yang kebablasan untuk ngeremes tangan dia dan ngumpet di balik lengannya setiap feeling gue mengatakan kalau setelah ini akan ada jumpscare.

“Lo beneran takut?”

“Lo gak tau gue nahan pipis kayak gimana tadi?”

“Lucu.”

Jam udah nunjukin pukul lima lebih tujuh belas pas kita balik ke GOR tempat motor siswa-siswa diparkir (karena sebenernya kita belum boleh bawa). Gue biasa pulang naik ojek online, tapi hari itu, entah gimana caranya, otak gue mengkhianati gue, mengiyakan ajakan Vernon untuk pulang sama dia.

“Gue minjem helm temen.”

“Temen lo pake apa dong? Gue bisa pulang sendiri kok!”

“Biasa bawa dua dia.” Jawabnya, makein helm hitam itu di kepala gue.

“Kalau warnanya oranye, lo kayak jeruk beneran.”

Only God knows gimana mau meledaknya gue.

Udara Jakarta enggak pernah seenak itu sebelumnya, kayak enggak ada lagi polusi. Sekalipun gue enggak sedikit pun pegangan ke seragamnya walaupun motornya ini agak tinggi, gue nikmatin setiap detik yang gue habiskan sama Vernon. Lo tau enggak sih, kayak… hari ini adalah impian gue selama ini. Hari yang gue pikir enggak akan pernah dateng.

“Makasih Vernon!” Ujar gue saat turun dari motornya dan menyodorkan helm temennya ke dia.

“Langsung ganti baju.”

“Lo pulangnya juga hati-hati!”

“Santai.”

Ada senyum yang Vernon bagi ke gue sebelum Ia melaju dengan motornya, membuat gue perlu menstabilkan diri di depan gerbang rumah.

Indikasi hari baik adalah ketika gue perlu menahan senyum pas masuk ke dalam rumah biar enggak ditanya-tanya sama mama. Indikasi hari baik adalah hari ini.

pesawat

Katanya, manusia itu makhluk sosial, membutuhkan orang lain untuk hidup. Mereka butuh bantuan, butuh sayangnya orang lain. Meskipun mereka mengaku paling mandiri, enggak bisa bohong juga kalau hatinya itu bakal menghangat ketika menemukan mereka yang bikin mereka merasa spesial.

Orang lain mungkin bisa bilang kalau gue adalah salah satu yang mandiri, mungkin mereka liat dari gimana gue menghabiskan banyak waktu di rumah sendirian. Buna yang pergi ke sana dan ke mari, ayah yang... udah pergi ke surga. But there will always be a child soul inside me, gue yang juga ngerasa kalau kadang suka lebay untuk apa-apa pasti Inggu, Inggu, dan Inggu. Gue yang bakal langsung pergi ke Mingyu ketika gue butuh orang untuk mendengarkan cerita gue, capeknya gue, segalanya.

Enggak ada yang bilang kalau Mingyu akan ninggalin gue, tapi siapa yang bisa mengubah cara pikir gue ini yang bikin gue jadi merasa jarak di antara kita itu adalah sebuah penghalang? Gue juga enggak mau begini, gue mau membiarkan kita sama-sama keren di tempat masing-masing.

Gue sedikit berlari pas liat Mingyu dengan kopernya di salah satu kursi bandara, ada semua anggota keluarganya di situ, dia udah bilang sih kemarin. Keluarganya emang bakal ikut ke Jogja buat beberapa hari, untuk mastiin kalau Mingyu enggak akan nyusahin di rumah eyangnya, katanya. Gue enggak tau apa Buna nanti bakal nemenin gue kayak gitu juga atau enggak, tapi seneng rasanya kalau ada orang yang bisa anter dan nemenin ke sana sebelum kita bener-bener pisah.

Mingyu langsung senyum pas gue berhenti di depannya, mengelus kepala gue seperti biasanya. Kayak dia kalau lagi ngelus kepala Lucy, pakai jempol, ke depan lalu ke belakang.

“Tau gitu kan berangkat bareng, aku jemput ke rumah kamu dulu.”

“Yang lain kan juga ikut, Inggu. Mending sekalian bareng mereka aja.”

Gue enggak sadar kalau dari tadi, Mingyu megang jaket, tentu. Dia cuma sampirin jaket itu di badan gue, tersenyum dengan kreasinya.

“Mana lumba-lumbanya?”

Ganti deh gue yang ketawa, ngasih boneka yang dari tadi gue peluk di mobil.

“Namanya Blushie. Aku kayak anak kecil bawa-bawa boneka ke sini.”

“Emang anak kecil.” Jawab Mingyu, mengarahkan moncong Blushie (emang enggak kreatif, i’m sorry) ke muka gue.

“Idih, bucin bener.”

Yang barusan itu suara Seungcheol.

Jadii, gue ke sini bareng temen-temen Mingyu, termasuk Minghao. Kemarin baru dichat kalau mereka mau “pelepasan” juga di bandara, makanya gue ikut mereka. Gue udah pernah bilang belom ya kalau gue seneng Mingyu punya temen kayak mereka? Mereka selalu menganggap gue beneran ada, ikut ngejelasin kalau ada bahasan yang gue enggak paham. Jun juga masih aja mendesak gue untuk ketemu dengan kucingnya sambil bawa Lucy.

“Tapi Lucynya kan sama keluarganya Mingyu....”

“Kan lo udah kenal deket sama keluarganya!”

Tapi gue juga akan jauh, Jun. Percuma.

Kami menghabiskan waktu dengan tangan gue dan Mingyu yang saling bergenggaman. Kita semua mengaku udah sempet makan sebelum pergi ke bandara dan keluarga Mingyu yang juga berkata sama. Masih ada cukup waktu sampai Mingyu harus masuk ke dalam boarding gate, mungkin sekitar sepuluh menit lagi.

Tapi, sayang, sepuluh menit di hari ini tuh sama dengan sepuluh menit yang dulu kita rasain pas ujian matematika dan gue tau itu. Kalau waktu cuma bisa dilihat lewat jam, mungkin gue mau merusak semua jam di tempat ini. Tangan gue mulai basah sekarang dan tempat super besar ini mendadak terasa pengap.

“Eh, Gyu, gak masuk lo?”

Mingyu langsung mengecek jam tangan di pergelangan tangannya, beralih ke orang tuanya yang mulai mengajak untuk siap-siap masuk.

Ini dia, Wonwoo. Ini dia yang lo takutin selama berhari-hari. Takutnya lo dengan cerita-cerita orang tentang LDR yang enggak berhasil.

Enggak usah deh bawa-bawa soal gue dan ayah, beliau udah tenang di sana. Setiap manusia itu juga udah pasti bakal ngerasa... emosi yang negatif kalau kehilangan orang yang berarti buat dia. Di film-film juga begitu, para tokoh akan saling tersenyum atau saling memeluk sebelum mereka berpisah, bahkan ketika hubungan mereka hanya sebatas kolega dalam usaha menghancurkan tokoh antagonis. Gue dan Mingyu bukan sebatas kolega, bukan juga sekadar teman. Harusnya gue punya alasan untuk bela diri kalau ditanya kenapa mata gue mulai panas dan berair.

Duh, Wonwoo... jangan nangis di sini....

“Baik-baik ya di sana.”

“Lo juga ya, Soo.”

Lalu mereka saling memeluk, sama temen-temen lain juga. Ada senyum di wajah Mingyu, cakep kayak biasanya. Dada gue itu makin sesek, berasa mencelos. Kayak ada dorongan untuk kuatin diri, untuk relain aja. Toh gue juga akan pergi, toh kami juga tetep bakal punya jarak.

“Bagong, inget-inget ada Wonwoo!”

“Belajar bener, Gyu, biar bisa jaga Bloom!”

Ketika Mingyu menoleh ke arah gue, di situ gue langsung menunduk dan nutupin mata pakai punggung tangan.

“Jangan nangis, hei....”

Tapi itu justru bikin gue makin meledak, nabrakin kepala gue ke bahunya.

Please, ini malu-maluin banget, gue pasti keliatan jelek banget dan orang tua Mingyu mungkin bakal liat gue kayak orang payah. Tapi Mingyu gue bakal pergi jauh dan jarak gue dan dia enggak bisa ditempuh pakai ojek online lagi. Mingyu enggak bisa jemput gue lagi dan enggak ada lagi foto-foto anjing lucu Bloom. Enggak bakal ada lagi Mingyu yang pasangin helm atau ingetin gue untuk pakai safety belt. Enggak bakal ada Mingyu... Inggu.... Inggu yang selalu nemenin gue....

“Kalau kamunya nangis gini, aku malah gak tega buat pergi, Won.”

“Pergi... aja.... Ini aku c-cuma... sedih... huhuhu, Inggu....”

Gue bisa ngerasain pelukannya yang makin erat bersamaan dengan nangisnya gue yang enggak mau berhenti.

“Inggu, nanti di sana jaga diri, jangan... jangan aneh-aneh.”

“Iya, Wonwoo.”

“Kalau ada apa-apa bilang aku juga.”

“Sayang....”

“Kalau udah landing, bilang aku juga. Sejam doang kan?”

Suara gue itu udah super kecil, harusnya cuma Mingyu yang bisa denger. Terus pas dia lepas pelukannya, gue yakin banget kalau matanya itu juga berair. Tapi, Mingyu itu lebih kuat, dia masih bisa senyum.

“Nanti kalau kamu udah pulang, udah di kamar, buka voice recordernya lagi. Rekamannya anti-kangennya gak cuma satu.”

Huh?

“Kapan kamu—”

Mingyu langsung mencium dahi gue.

“Kamu yang jaga diri, jangan mau kalo diajak aneh-aneh. Minum-minum gapapa sih, cuma jangan kebanyakan, jangan sama orang asing. Apa-apa cerita.”

“Will do.”

“Aku... pergi ya?”

Kalau gue pikir setelah Mingyu dapet kuliah itu hidup bakal lebih menyenangkan, enggak seharusnya dada gue sesek hanya karena denger tiga kata yang pacar gue sebutin barusan. Gue cuma ngangguk, menggigit bibir untuk nahan nangis lagi.

Punggungnya itu makin lama makin jauh dan jauh, bersamaan dengan elusan di bahu gue yang dikasih sama Jeonghan. Gue bakal benci banget sama perpisahan.

Ada beberapa film yang gue tonton dan punya scene semacam ini. Kalau enggak salah, salah satunya Antologi Rasa di mana si perempuan ngejar si laki-laki setelah dia menjauh. Ada Apa dengan Cinta agak beda, cuma konteksnya juga mengejar, jadi mungkin bisa dijadiin contoh juga. Setiap nonton adegan begitu, gue selalu merasa ikut terharu, merasa adegan seperti itu romantis banget walaupun cuma bisa ada di film-film.

Detik itu, gue mutusin buat hidup dengan klise, udah kayak Mingyu bakal pergi ke Marseille dan enggak akan pulang sampai betahun-tahun kemudian dan gue akan berubah jadi Cinta yang diputusin Rangga lewat surat. Lari sedikit untuk ngejar Mingyu yang baru mau masuk ke dalam boarding gate, gue menarik tangannya, lalu sedikit berjinjit untuk mencium Mingyu.

Lagi-lagi, gue mau menangis.

Rasanya emosional banget sampai dada gue rasanya seperti ditonjok berkali-kali. Setiap dorongan yang kepala gue lakukan atau remasan di kaos yang Mingyu pakai itu kayak pelepasan dari seseknya gue sekarang ini. Mingyu melemas dan gue makin memperdalam tautannya.

Ketika ciumannya berhenti, gue mati-matian menahan tangis lagi. Mengigit bibir gue kuat-kuat dan bernapas berat sebelum berani membuka mulut lagi.

“Sumpah ini lebay banget, it feels like you're going to war, but please... i love you....”

Mingyu yang kuat itu malah ketawa, mengecup bibir sebentar.

“I love you too, kecil....”

“Aku enggak kecil!”

“Nangis kayak anak kecil.”

“Ih!” Gue memukul lengannya.

Perpisahan keduanya berakhir dengan agak lebih lucu dibanding yang sebelumnya, dengan ciuman kecil yang agak bikin panik kalau inget-inget kan ada keluarganya yang bisa liat gue? Cuma enggak bisa bohong kalau gue seneng dan lebih tenang.

Minghao ngolok-ngolok gue dengan bilang kalau gue berasa melepas Mingyu yang bakal pergi ke rig tengah samudera tanpa sinyal handphone. Jun sibuk ngingetin gue kalau gue bisa nyusul Mingyu ke Jogja pakai kereta yang gue juga sebenernya tau. Tapi, mereka tetep meluk gue, merangkul gue menuju mobil dan membuat nangisnya gue berhenti.

Enggak apa ya, Wonwoo. Mereka bener, lo bakal tetep punya banyak kesempatan untuk ketemu Mingyu. Empat bulan tuh sebentar dan teknologi udah maju. Ayo, Wonwoo....

Gue bakal kangen Inggu banget, tapi mungkin, emang harus begini dulu.

Ya... kan?

d-2

Jadi, apa momen favorit kamu semasa sekolah?

Beberapa mungkin akan menjawab gimana sekolah mengenalkan mereka ke banyak orang baru, pengalaman baru yang enggak bisa mereka lupakan begitu aja. Mereka akan mengingat Si Biang Onar dengan nama belakang ayahnya, saking seringnya digunakan oleh teman-teman lainnya. Ada memori yang terputar setiap lagu Sheila on 7 diputar di manapun, teringat gitar milik entah siapa yang mengisi atmosfer kosong kelas, menabuh kajon untuk memeriahkan pertunjukan. Sebut lagu siapa aja yang kerap mengiringi siswa-siswa lain yang sibuk dengan buku Wangsit dan The King mereka. Mungkin Naif, Jason Ranti, Sisitipsi, Banda Neira yang sudah terlanjur bubar ketika mereka menyanyikan lagunya, Fourtwnty dan Efek Rumah Kaca layaknya anak senja.

Ada juga yang mengingat bagaimana upacara meluluhlantahkan Senin mereka yang menyebalkan. Topi yang menghilang dari laci meja, dasi yang tertinggal, ikat pinggang yang lupa digunakan. Ada pula yang handphonenya diambil karena mengenakan powerbank di tengah upacara. Mereka yang berdoa kuat-kuat agar sekolah diguyur hujan.

Di sekolah mereka ini, ada larangan untuk menggunakan jaket di dalam sekolah, kecuali sedang sakit. Tapi ketika hujan turun, beberapa memilih untuk jadi Si Rebel. Mereka akan mengenakan jaketnya, sweaternya, bomber varsitynya, hingga jaket hasil thrift yang baru mulai booming di akhir tahun ajaran 2019 di sekolah tersebut. Kalau sudah begitu, yang siswa lakukan adalah menggelar sajadah di belakang kelas dan meminjam mukena untuk dijadikan alas tidur. Beberapa memilih untuk tidur di mejanya. Ada yang tetap mengerjakan Paket III sebagai persiapan untuk menjadi mahasiswa hukum Universitas Indonesia, katanya. Kemudian mereka yang memilih untuk menghabiskan waktu di luar kelas, memandang langit pukul satu siang yang lebih terlihat seperti jam lima sore. Hujannya membasahi taman di tengah bangunan sekolah mereka, lapangan samping sana. Tetesannya itu terkadang seperti sebuah penenang dan dinginnya seperti penyejuk.

Hal lain yang akan mereka sukai tidak lain dan tidak bukan adalah jam kosong di akhir hari, dengan itu, mereka bisa pulang lebih cepat.

Di masa-masa aud, Wonwoo kerap memanfaatkan cabutnya untuk duduk di depan kelas atau kantin, menunggu kelas Mingyu yang keluar dengan waktu normal. Kalau sedang hoki, maka mereka akan pulang cepat bersama, meski lebih sering untuk pulang normal bersama. Kelas IPS itu letaknya di lantai dua sementara IPA di lantai tiga, jadi tidak ada untungnya juga untuk menunggu di dalam atau depan kelas. Mingyu akan turun tangga dengan tas Herschel di salah satu bahunya, seragamnya yang langsung ia keluarkan atau lepas dan memamerkan kaosnya.

Di masa-masa awal ketika mereka belum jadi apa-apa, dada Wonwoo akan berdebar ketika sosok itu sudah muncul dengan rambutnya yang mencuat ke sana dan ke mari, terkadang sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan yang diikat dengan jam di pergelangan tangannya. Setelah itu, Wonwoo akan langsung mengekor ke GOR tempat Mingyu memarkirkan motornya untuk melaju ke entah rumahnya atau apartemen Wonwoo, meski lebih sering ke apartemen Wonwoo, atau sekalian ke kafe yang sedang gandrung dibicarakan. Dia tidak punya PS sebagaimana anak-anak lainnya, jadi mayoritas kegiatan mereka hanya menonton TV atau film, mengerjakan tugas seakan-akan materi yang mereka pelajari itu sama isinya.

“Capek ya?”

Wonwoo menggelengkan kepalanya pada ceruk leher Mingyu. Kalau Buna tau, mungkin aja dia akan dimarahi karena membawa Mingyu ke atas tempat tidur dan memeluknya seperti ini. Tapi, tidak ada Buna hari ini dan Mingyu sudah mendapat izinnya untuk menginap. Hari ini adalah milik mereka, malam ini termasuk di dalamnya.

“Terus kenapa, hm?”

“Lusa kamu udah ke Jogja.”

Sudah seharusnya itu menjelaskan keadaan. Terhitung sampai hari ini, pengumuman Mingyu itu masih bisa dihitung dengan jari dan keesokan setelah pengumuman, dia sudah mulai sibuk untuk ini dan itu. Mahasiswa baru perlu hadir di acara penerimaan di tanggal 3 Agustus, sepuluh hari sejak diterimanya mereka, dan rasanya bukan hal mudah untuk langsung mencari kos di saat-saat seperti itu. Sekalipun Mingyu mengungsi di rumah eyangnya (yang tentu membutuhkan waktu agak lama untuk sampai ke kampus), tentu masih banyak keperluan untuk diurus.

Termasuk urusan hati untuk merelakan Mingyu sementara Wonwoo juga tidak lagi menetap di Jakarta.

“Takut kangen ya kamunya?”

“Menurut kamu aja deh, Gu? Kamu sendiri yang kemarin uring-uringan, enggak bisa lagi kita kayak gini....”

Ada tawa yang mengisi ruangan, kemudian elusan di kepalanya.

“Terus mau gimana dong, Won? Kamu deh ikut aku?”

“Kamu aja yang ikut aku!”

“Jiah, nangis-nangis dulu nih buat masuk yang ini, Won.”

Desakan si leher Mingyu itu semakin keras, maka semakin kencang juga pelukannya hingga ia perlu ikut memiringkan badannya, melepaskan Wonwoo Si Lintah dari lehernya dan mengintip wajahnya yang sedang cemberut. Mengecup bibirnya dengan kaki yang saling tumpang tindih adalah hal paling menggelitik hari ini selain bagaimana mereka berdesakan di dalam kereta tadi.

“Jangan sedih dong, kan tujuannya baik ini.”

“I know, Inggu. Cuma tuh... aku... bakal kangen aja.” Jelas Wonwoo, masih menunduk dan enggan memandang Mingyu di depannya meski jarak mereka dekat sekali.

“Makanya dipuas-puasin hari ini lah. Sampe nanti sebelum berangkat juga gapapa.”

“Enggak bakal ada foto-foto anjing di Bloom, Daniel, Lucy, semuanya....”

“Liat aku dulu sini.”

Tangannya kemudian bergerak untuk meraih dagunya untuk diangkat sedikit, agar dia bisa melihat Wonwoo dan matanya yang sedikit berair.

“Percaya gak sama aku?”

“Percaya, Inggu. Tapi kan masalahnya bukan itu.”

“Percaya sama diri kamu sendiri enggak?”

“Percaya apa dulu...?”

“Percaya semuanya lah, Won. Percaya bisa kuat nahan kangen juga termasuk.”

“Kalau yang itu aku enggak tau. Kayak... aku biasa ditinggal Buna, tapi kalau temen-temen aku atau kamu tuh... gak tau. Aku gak tau bakal gimana, Inggu....”

Ada kecupan lainnya di bibirnya, lalu di pipinya, di pelipisnya, di hidungnya.

“Akunya juga takut gak bisa nahan pengen cium kamu kayak gini.”

“Kamu terbang aja dari Jogja ke Nangor.”

“Beli helikopter dah gue buat nyamper lu.”

Wonwoo yang balik tertawa, mendorong wajah Mingyu dengan tangannya. “Stop cium-cium, engap ih!”

“Lah, besok-besok udah gak ada yang ciumin kamu. Katanya takut kangen?”

Jarinya kemudian beralih untuk menyusuri setiap lekuk wajah Mingyu sementara empunya berdiam diri di sebelahnya, sedikit tersenyum ketika Wonwoo mengelus bibirnya pelan. Kemudian beralih ke rahang, leher, dan tulang selangkanya yang hanya terhalang kaos putih yang Mingyu gunakan.

Oh, Wonwoo yakin dia akan merindukan laki-laki ini sekali. Pipinya yang empuk itu, lengan besarnya, jari nuggetnya, semuanya.

“Won,”

“Hm?”

“Enggak engas kan ya kamunya?”

Ada tamparan pelan di pipi Mingyu setelahnya, wajah Wonwoo yang langsung menekuk.

“Aku tuh lagi sedih-sedih, kamunya malah ngeres.”

“Siapa dah yang gak mikir ke mana-mana kalo dipegangnya kayak kamu tadi?”

“Everyone?! Kamunya aja, Inggu!”

“Idih, kenal semua orang?” Ujar Mingyu diselingi tawa renyahnya.

“Aku pengen nyentuh aja.”

“Tapi serius nih, seru kali kalau bikin sex tape buat kenang-kanangan.”

“We.”

Sentilan di dahinya.

“Never.”

Sentilan lagi.

“Had sex.”

Sentilan terakhir.

Mingyu hanya mengaduh di setiap sentilnya, memegang dahinya yang sedikit memerah setelahnya dengan bibir yang menekuk ke bawah. Justru yang kesusahan untuk menutupi mukanya adalah Wonwoo, pipinya itu mungkin enggak bisa lagi diselamatkan harkat dan martabatnya.

“Jahat banget dah, padahal kan cuma ngasih saran.”

“Saran kamu ngaco!”

“Justru itu, kan keren ngewe pertama kita tuh emosional, beneran making love kayak siap bikin keterunan.”

“Aku enggak bisa hamil.”

“Perumpamaan doang, buset. Sensi banget nih Wonwoo kalo udah bahas jorok, kan kita udah gede. Jangan-jangan aslinya mau nih padahal ya? Malu aja nih—“

“Sebentar! Kayaknya lucu kalau kita beneran bikin rekaman gitu deh, Gu?”

“Hah?” Pekik Mingyu. Dia langsung mendudukkan badannya dan menatap Wonwoo dengan tatapan paling kaget sedunia.

“Kenapa sih?”

“Serius nih?”

“Uh... why not?”

“Akunya enggak punya kondom ini?”

The fuck, ingatkan Wonwoo udah berapa kali dia memukul laki-laki itu dengan tangannya. Mendorongnya untuk kembali telentang di atas tempat tidur, Wonwoo duduk di atas tubuhnya.

“First, aku belum siap, Mingyu. Second, aku bahas rekaman... tape biasa. Kita ngomong di rekamannnya, bukan ngerekam kita lagi jorok-jorok gitu!”

“Yee, ngobrol dong.”

“Ini makanya aku lagi ngomong?!”

“Kalau gitu, jangan duduk di sini dong, Pak.”

Wonwoo langsung turun dari sana, duduk di samping Mingyu yang masih berbaring. Tangannya itu masih bergerilya untuk menyentuh-nyentuh wajah Wonwoo, mengekornya untuk menyentuh tulang selangka Wonwoo meski empunya itu sudah mengambil handphone dan fokus di sana.

“Makan, Won. Tulangnya keliatan banget ini.”

“Makanku banyak, Inggu.”

“Nanti di Nangor makin kurus dah nih, makanan warteg gacukup buat kamu.”

“Inggu, ayo rekaman sekarang aja. Spontan aja ya, biar tulus. Siapa mau duluan?”

Mingyu langsung mendudukkan dirinya lagi, meraih handphonenya untuk kemudian diberikan ke Wonwoo. “Kamu duluan aja, masih nyari inspirasi akunya.”

Wonwoo lebih dari sekadar menerima, membuka aplikasi voice record di handphonenya dan mulai memencet lingkaran merah, tanda mulai merekam.

“Inggu, aku bakal geli banget, jangan ketawa ya!”

“Tergantung lah.”

“Oke, oke. So... pas kamu denger ini, aku rasa, kamu lagi kangen sama aku—“

“Dengerin tiap saat dong aku?”

“Inggu, diem dulu! Dan kalau kamu kangen aku, berarti kita masih... baik-baik aja, kayak yang kita mau. Aku enggak tau masa depan sih, tapi sekarang sih aku seneng bayanginnya. Kamu seneng, aku seneng, kita masih seneng bareng-bareng....”

Matanya mulai terasa panas, bahkan ketika dia belum sampai ke inti bahasan.

“Aku di sini... pasti baik-baik aja. Chat aku kalau mau tau! Jangan takut ganggu, aku pasti bakal bales kamu. Jangan... jangan kebanyakan mikir, jangan kayak dulu lagi yang kalau mau ngobrol, harus aku yang chat duluan.”

“Won, jangan gitu lah.” Begitu kata Mingyu, lalu mendudukkan diri di belakang Wonwoo, memeluknya dari belakang untuk meletakkan kepala di atas bahunya.

“Jangan sedih dong, Wonwoo.”

“Inggu, aku enggak tau nanti gimana, tapi sekarang, bayanginnya aja takut tau. Padahal, masih banyak yang lebih penting buat aku takutin. Tapi, kamu tau kan ya kalau aku sayang kamu? Sampai sekarang juga masih sayang kamu.”

Setelahnya, dia hanya menunduk, memeluk lututnya yang menempel pada dada. Kalau diajak jujur, Wonwoo merasa malu sekarang. Enggak seharusnya dia menangis hanya karena perkara seperti ini, terutama di depan Mingyu, orang yang ada di pikirannya, yang membuatnya kalut seperti sekarang.

“Udah, segini aja. Telepon aku kalau kangen.” Tangannya memencet layar lagi, menghentikan rekamannya.

Ada hening yang melingkupi mereka, hanya ada dengung yang mengisi telinga. Punggung yang naik turun dan elusan di bahu kanannya.

“Jangan terlalu ditakutin dan dipikirin lah, Won..”

“Aku juga maunya gitu, Mingyu.” Ia mengucek matanya beberapa kali, lalu memberikan handphone miliknya. “Sekarang kamu.”

“Bukannya bakal lebih oke kalau rekamnya sendiri-sendiri ya? Biar gak malu.”

“Aku udah nangis di depan kamu, for God's sake, kenapa enggak bilang dari tadi?”

“Sengaja dong, biar liat kamu cengeng.”

“I hate you.”

“Mana ada, aku tau tuh kamu sayang aku.”

“Mending cepet...,” tangannya kembali merebut handphone di tangan Mingyu, memencet lingkaran merah dan mengembalikannya. “Cepet rekam.”

“Enggak mau ah?”

“Mingyu... kan udah janji....”

Maka, langsung ada tawa lagi yang menggaung di ruangan. Wajah yang mencebik itu ditangkup dengan tangan besarnya, jari nugget yang mengelus pipinya. Seratus persen sadar kalau voice note sedang merekam tawanya, Mingyu baru melepas setelah puas melihat bibir pacarnya itu seperti bebek.

“Halo, Wonwoo. Yah, lagi kangen nih ya, berarti? Aku gak mau banyak-banyak sih, cuma mau bilang apaan ya... aku enggak kemana-mana? Jangan ngerasa left out, jangan ngerasa aku sibuk terus gak ada waktu buat kamu. Apa-apa tuh bilang, pacar kamu nih bukan cenayang, mana tau dia kamu maunya apa.”

“Inggu, ih....”

“Ett, jangan nyubit-nyubit! Iya iya, udah nih ya, Wonwoo sayang. Kalo kangen telepon aja. Terus apaan ya? Oh, yang abis ini, kamu harus inget sih.”

Ketika layarnya kembali disentuh, cengiran Mingyu disambut dengan pertanyaan di wajah Wonwoo.

“Harus inget apa? Emang mau apa? Jangan aneh-aneh, Kim Mingyu.”

“Lah, siapa dah yang mau aneh-aneh?”

“Muka kamu tuh enggak bisa dipercaya.”

Senyumannya melunak, melembut, menjadikan kerutan di dahi Wonwoo semakin kentara.

“Enggak mau ngapa-ngapain elah, serius nih.”

“Terus yang enggak bakal aku lupa tuh apa?”

“Tidur bareng aku.”

Wonwoo tentu akan menurut aja, segala tentang Mingyu dan pikirannya yang melalang buana adalah hal yang padu dan tidak perlu dipikirkan lebih lanjut. Jadi, dia langsung mengambil gulingnya, mengucapkan selamat tidur, dan berbaring menatap langit-langit.

Ketika sadarnya semakin menurun, Wonwoo masih sempat merasakan kecupan di dahinya.

Masalah pertama, it feels like he got nothing to wear. Mingyu bisa yakin kalau langit Depok hari ini serasa memiliki 1000 matahari dan menggunakan jas adalah pilihan buruk. Kalau niatnya adalah tampil mengesankan di hari penting Wonwoo, maka keringat akan menggagalkan rencananya. Masalah kedua datang dari bunga yang dia pesan tidak kunjung datang. Salahnya karena meminta bunganya untuk dikirimkan ke rumahnya dulu dibanding langsung ke kampus, tapi Mingyu bisa apa? Kurirnya entah di mana dan Mingyu sudah hampir menjedotkan kepalanya ke tembok.

“Belum berangkat kamu, mas?”

“Belom, bu. Masih nunggu bunga ini.”

“Enggak telat nanti?”

Iya, Bu. Itu masalahnya.

Jam sudah menunjukkan pukul dua dan Wonwoonya sudah mengirimkan pesan lagi, menanyakan keberadaannya.

Sebenarnya bukan sebuah keharusan juga untuk sudah sampai di jam-jam sekarang, mengingat seharusnya Wonwoo masih berada di dalam Balairung bersama mahasiswa lain yang sudah bebas dari dunia kuliah. Masih beberapa jam lagi sampai acaranya selesai dan bebas befoto-foto di seluruh titik di universitas. Cuma, Mingyu juga paham kalau Wonwoonya pasti mengharapkan keberadaannya, bercita-cita untuk berfoto bersama untuk dia pajang di Instagram seperti orang-orang lain. Pacarnya itu pernah bilang dan Mingyu tidak bisa lupa.

“Kamu cuma kaosan gitu ke sana?” Tanya ibunya lagi sambil meraih wadah kecil berisi cookie yang kemarin mereka buat.

“Ya, enggak, Bu. Bawa blazer juga aku.”

“Coba pakai dulu, Ibu mau liat.”

Like an obedient kid he is, Mingyu bangkit dari duduknya dan mengenakan blazer biru tua itu di tubuhnya. Meringis sedikit ketika melihat ekspresi berpikir ibunya yang seakan siap untuk mengkritiknya layaknya juri Asia’s Next Top Model yang sering beliau tonton itu.

“Enggak aneh kan, Bu?”

“Enggak, Ibu mikir aja itu pacar kamu udah wisuda, kamu kalau wisuda gimana ya?”

“Bu, kan waktu itu udah sepakat enggak ngomongin skripsi, lulus, wisuda, gitu-gitu....”

Ibunya semakin menyipitkan mata, “kamu nih, cuma ditanyain gitu aja udah marah.”

“Aku enggak marah, Ibu sayang.”

“Hush, hush. Udah, duduk lagi sampai bunga kamu itu dateng. Beli di mana sih? Tanjung Priok?”

“Iya, di Pluit.”

“Astaghfirullah, Mingyu....”

He knew that he’s screwed, he doesn’t need his mom to make him feel worser.

Pukul 14.27 ketika kurir bunga meneleponnya untuk memberikan bouquet bunga besar dan Mingyu langsung merasa hidup kembali. Dia langsung membawanya ke dalam mobil dan melaju secepat yang ia bisa untuk mengejar waktu.

Tapi tentu saja, Jakarta akan tetap jadi Jakarta yang tidak biasa diajak bekerja sama. Mingyu kehilangan hitungannya soal sudah berapa kali ia mengumpat setiap rentetan mobil berhenti di depannya, menahan emosinya setiap ada pengendara motor yang tidak mau kalah dan hampir menyenggol spion mobilnya. Oh God, when he thought this day can’t get any worse, ada telepon masuk dari si pemilik hari.

Tau rasanya ingin meledak dan berteriak hanya karena merasa panik? Itu dia. Ada keringat di telapak tangannya saat memencet lingkaran hijau di handphonenya, dadanya yang berdegup cepat.

“Halo, Wonwoo?”

“Kamu di mana, Gyu?”

Ya salam.

Ada suara khawatir di sana dan Mingyu agaknya tidak sampai hati kalau harus memberi tau yang sebenarnya. Wonwoo mau bereaksi seperti apa lagi kalau tau dia masih terjebak di Pasar Minggu? The least thing he wants to do adalah membuat laki-lakinya kecewa.

“Masih di... jalan. Maaf....”

“Jalan tuh di mana?”

Wonwoo, come on?

“Ini udah setengah jalan kok, cuma agak macet aja jadi lama.”

“Sebenernya, kamu masih di rumah ya?”

“Enggak, Won! Udah di jalan, beneran. Aku fotoin ya ini? Video call mau enggak? Video call.”

“No, i don’t need that.”

Ada napas yang tercekat di tenggorokannya dan Mingyu kehilangan kemampuan untuk menenangkan pikirannya. Pandangannya menjalar ke mana-mana, seakan tisu di dalam dashboard mobilnya dapat membantunya untuk menemukan solusi. Kalau Wonwoo kehilangan mood baiknya, maka habislah sudah.

“Kak Won, maaf.”

“Kamu di mana, Mingyu? Aku cuma nanya itu.”

Pada akhirnya, Mingyu menyerah. Ada kepasrahan di nada suaranya ketika mengaku mobilnya itu masih terjebak di Pasar Minggu. Jadi, Wonwoo hanya bisa menghela napas.

“Kalau kamu males tuh bilang aja ya, Gyu. Aku enggak maksa kamu untuk dateng.”

“Kak Wonwoo, aku beneran pengen, niat dateng. Tapi ini ada keperluan mendadak tadi, nanti ya aku ceritain?”

“Aku udah mau selesai, terserah kamu aja deh.”

Telepon langsung dimatikan dan Mingyu bersumpah bahwa ia ingin menyingkirkan semua mobil yang ada di depannya saat ini, membuat mobilnya terbang kalau perlu. Oh fuck, bayangkan bagaimana sulitnya mencari parkir nanti? He fucked up, so so fucked up.

Jam menunjukkan pukul setengah empat saat dia mengambil blazer di bawah bouquet bunga yang ia pasangkan safety belt, keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa sampai hampir lupa menekan tombol kunci. Kondisi sekitar Balairung sangat amat ramai, ada banyak pedagang bunga dan berbagai pernik khas wisuda juga di sana.

Tapi, pernah lari-larian menuju kelas di jam 07.59 untuk kelas jam 08.00? Itu yang Mingyu rasakan, kecuali dia tidak bisa berlari untuk menjaga penampilannya dan bunganya, juga banyaknya manusia di sana ikut melarangnya. Lapangan depan gedung rektorat juga dipenuhi oleh lautan manusia dengan toga dan kerabat-kerabat mereka. Menemukan Wonwoo tanpa menelepon rasa-rasanya seperti kemustahilan. Mingyu langsung mengambil handphone dari kantong celana, menelepon sayangnya sambil mengernyit seperti anak yang kehilangan ibunya.

Ada 3 kali nada tunggu sampai telepon akhirnya diangkat.

“Wonwoo, kamu di mana?”

“Udah mau pulang.”

Jantungnya hampir jatuh ke perut.

“Jangan bercanda.”

“Nggu...,” helaan napas lainnya yang Mingyu dengar hari ini. “Di tengah lapangan, kamu cari aja. Mama pakai baju peach, papa dan Bohyuk pakai batik.”

“Jangan ditutup dulu!”

“Aku enggak ada niat tutup telepon.”

“Oke, sebentar.”

Mencari Wonwoo di tengah ramai seperti sekarang ini mungkin akan lebih mudah kalau aja dia melepas toganya dan hanya memakai kalungan (he doesn’t know what is that) berwarna putih khas FIB, seperti orang-orang dengan warnanya masing-masing. Tapi, Mingyu bukan Mingyu kalau tidak bisa menemukan Wonwoonya, memegang handphonenya yang ditempelkan di telinga dengan tampang yang juga bersungut-sungut. Cahaya matahari di atasnya menjadikan dia yang paling bersinar dibanding semua lulusan di universitas ini.

“Tunggu di situ, aku liat kamu.”

“Kamu di mana sih, Nggu?”

Mingyu memutus sambungannya, memasukkan handphonenya ke kantong, dan memeluk bouquet bunganya lebih erat lagi. Ada debaran di dadanya setiap kali mendekat, senyum yang sama-sama merekah ketika pandangan mereka bertemu.

So this is how it feels like to meet the love of your life yang lagi sukses-suksesnya.

Wonwoo memberikan ekspresi sebalnya meski ia tidak bisa menyembunyikan bahagia di matanya. Mingyu yang menempelkan tangan kedua orang tuanya di dahinya bergantian, tangannya yang kemudian mengelus pipi Wonwoo pelan dengan tangan kanannya.

“Kamu lama banget.”

“Bunga kamu nih enggak dateng-dateng.” Jelas Mingyu, menyerahkan bouquet berisi anyelir, mawar, anemone, anggrek, hingga hydrangea yang ada di tangannya. Didominasi oleh warna ungu dan putih, ukurannya besar sekali sampai Wonwoo bisa bersembunyi di baliknya.

“Bunga tuh enggak penting, Nggu....”

“Ya kan terlanjur, Kak. Masa aku tinggal? Entar bunganya kasih tetangga.”

Wonwoo hanya tertawa geli, begitu juga dengan Mingyu, seakan di lapangan ini hanya ada mereka. Tidak ada si anak FEB yang cum laude dengan IPK 3.9. Tidak ada maba dengan jaket almamaternya yang juga baru selesai bernyanyi di dalam Balairung. Tidak ada kating arsitektur yang seharusnya Mingyu sapa juga. Tidak ada orang tua Wonwoo yang memandang mereka dengan senyum masing-masing dan Bohyuk yang sibuk dengan handphonenya.

“Oke, karena kamu udah dateng, kita foto ya!”

Jadi beneran itu yang bikin dia bete nunggu, pikir Mingyu. Dia langsung mengalungkan tangannya ke leher Wonwoo, menatap papa Wonwoo yang sedari tadi mengalungkan kamera di lehernya.

“Fotoin ya om, hehe.”

“Siap lah, sekalian pre-wed.”

“PAPA!”

Nice move, Mingyu langsung terbahak dengan pipi Wonwoo yang berubah merah.

Ada beberapa foto yang mereka ambil, dari seformal-formalnya foto pasangan hingga Mingyu yang mencium pipi Wonwoo dengan matahari yang menyinari mereka. Kalau Mingyu boleh bilang, hasilnya bagus. Mungkin papanya Wonwoo benar, these pictures could pass as their pre-wedding picture, kalau aja waktunya sudah tiba.

“Bentar, aku mau lepas toganya dulu, nanti foto lagi.”

“Dari tadi tuh enggak lepas karena mau foto sama aku?”

“Ya, menurut kamu gimana, Nggu?”

Nggu, bisa-bisanya lo bikin sayang lo itu nunggu panas-panasan gini.

Jadi, untuk menjadikan dirinya sedikit merasa kehilangan dosa, dia membantu Wonwoo untuk melepas toganya, menyerahkannya ke Bohyuk yang meminta. Kedua, ada banyak gaya yang Mingyu (dengan pasrah) lakukan, beberapa sama dengan foto pertama, termasuk (yang ini tidak pasrah) pipi Wonwoo yang dicium olehnya.

“Dasar anak muda jaman sekarang, fotonya udah berani nyosor.”

“Om juga dong cium tante, nanti Mingyu fotoin.”

“Wah, boleh tuh. Berasa muda lagi.”

Setelahnya, Wonwoo sempat menghilang untuk berkumpul bersama teman-teman Prodi Jepangnya, katanya ada persembahan dari adik tingkat dan foto bersama. Papa dan mamanya sudah kembali ke mobil, begitu dengan Bohyuk. Di sana Mingyu menunggu, bersama wajah-wajah tidak dikenal, sedikit bercengkrama dengan anak-anak teknik yang ia tau saja.

Jam 17.54 saat Wonwoo berjalan menghampirinya, memandang Mingyu dengan senyum di wajahnya.

“Aku udah.”

“Aku anter ke mobil kamu ya?”

“Nahh, mereka udah pulang. Aku bilang mau pulang sama kamu.”

Without consent, tapi bukan berarti dia akan protes juga.

Dia kalungkan tangannya di lengan Mingyu, menyeretnya ke entah mana yang Wonwoo juga tidak tau di mana mobilnya berada. Langit Depok sudah berubah ungu dan Mingyu rasa, dunia benar-benar ingin menjadikan hari ini sebagai milik Jeon Wonwoo seorang. Semacam penghargaan bagi dia yang telah bekerja keras selama ini.

“Toganya taruh di jok belakang aja.”

“Siap.”

Masih ada senyum di wajah Wonwoo ketika mobilnya mulai melaju, mulai meracau soal melelahkannya tadi di Balairung.

“Mau langsung pulang atau mau pacaran dulu, kak?”

“Pacaran, kalau kamu mau.”

“Pacaran ke mana ini? Ke Bandung mau?”

“Gila kamu kalau ngajak ke Bandung jam segini, masa baru sampai udah pulang lagi?”

“Nginep lah, banyak hotel di sana.”

Ada tamparan di wajahnya setelahnya.

“Kangen anjir, udah lama kita enggak ngewe.”

“Bukan hal penting, Mingyu.”

“Terus ngapain dong kita? Ke mana nihh, cepet.”

“Aku tuh mau quality time aja, jadi sebenernya terserah kamu mau bawa aku ke mana.”

“Tadi diajak ke Bandung gak mau.”

“Jangan bercanda deh.”

Mobilnya itu mengarah kembali ke Jakarta, langit ungu yang telah berubah membiru. Ada lagu yang terputar dari speaker dan tangan mereka yang bertaut. Kemeja Wonwoo sudah digulung ke batas siku, seakan mengindikasikan bahwa hari memang telah berakhir dan sudah waktunya untuk mulai beristirahat. Dengan Mingyu adalah caranya untuk beristirahat.

Dia menyelesaikan perkuliahannya dengan banyak Mingyu di dalamnya. Tugas Akhirnya tidak punya tempat untuk berterima kasih sebagaimana skripsi orang-orang, tapi rasa terima kasihnya lebih besar dari apapun. Kalau tidak ada laki-laki ini, mungkin tidak ada dorongan lebih untuk menjadi Jeon Wonwoo S.Hum sebagaimana dia sekarang. Tidak ada penyemangat aneh seperti Mingyu yang tiba-tiba membawa Seaweed dan Tori ke rumahnya dan membuat Lemon kebingungan hingga memukul Tori berkali-kali. It was so damn chaotic that day, Pebble hampir menjatuhkan vas bunga ketika bermain dengan Tori.

Sadar atau tidak, tangannya bergerak untuk mengelus pipi Mingyu.

“Kak, mau nasi gila kayak pas kita PDKT gak? Oh, atau mi ayam aja kali ya? Deket Menteng juga kok. Ada satenya juga di situ. Kata Ibu sih enak.”

“Terserah kamu.”

“Ok— Kak! Jangan ke leher, geli! Nabrak nih entar.”

“Kamu hadap depan aja, aku kan cuma ngelus.”

“Ini nih mancing.”

Wonwoo langsung tertawa, menghentikan aksinya. Dia isi heningnya dengan menyanyikan lagu yang terputar lewat sambungan spotify di handphone Mingyu dengan player di mobilnya. Menjadikan mobil itu seperti ruang pribadi, miliknya dan Mingyu seorang.

“Mau mi ayam apa sate?” Tanya Mingyu ketika mobilnya sudah berhenti di dekat gerobak pinggir jalan. Kepalanya itu masih mengarah seakan mengintai penjual di luar sana yang tengah mengipas satenya.

Ketika Mingyu menoleh untuk menagih, yang dia dapatkan itu bukan jawaban, tetapi sebuah cium di bibirnya. Rasanya mengagetkan, tetapi dengan refleks justru membuatnya tenang. Rangkulan di lehernya membawanya untuk merunduk, ikut menekan diri ke arah Wonwoo yang netranya telah terpejam.

Ketika sentuhnya lepas, masih ada tatapan lurus yang terkesan rendah, sedikit gelap meski keadaan mobil tidak kalah gulita.

“Mau apa jadinya, kak? Mau aku?”

Wonwoo mengangguk, menggesekkan hidungnya dengan milik Mingyu. Menyatukan bibir mereka kembali seperti hal termudah yang dapat dilakukan dan tidak ada yang mampu untuk menolak nikmat semacam ini. Ada yang terasa semakin sesak saat tangan kiri Wonwoo mengelus dadanya yang hanya berbalut kaos.

Setidaknya sampai ada ketukan di kaca mobil yang langsung membuat Wonwoo mendorong Mingyu dengan kekuatan penuh, kepalanya itu membentur kaca pintu di belakangnya.

“Jawab masnya dulu, aku mau yamin!”

Ketika Mingyu berbalik, sudah ada muka mas-mas di sana.

Fuck, this is embarrassing. Mingyu spontan menyebut pesanannya dengan cara paling kikuk sedunia dan menutup kembali kacanya dengan wajah datar bercampur paniknya.

“Mas-masnya liat kali ya, Nggu?”

“Pasti liat.”

“Terus kenapa masih aja diketok....”

Ada tawa yang meledak setelahnya hingga wajah mereka sama-sama memerah. Wonwoo langsung menutup wajahnya dengan telapak tangan.

“Aku malu banget, aku gak mau makan di sini lagi.”

“Biarin aja sih masnya liat, siapa tau pulang-pulang jadi kepengen ciuman juga sama istri atau suaminya.”

Ada pukulan di lenganya. “Mas-masnya enggak jorok kayak kamu, Nggu.”

“Emang kenal sama mas-masnya?”

“Kenalnya sama kamu and you're something else.”

Mingyu itu cuma tertawa, lalu menyingkirkan rambut yang menutupi dahi Wonwoo. Ada sedikit senyum di wajahnya.

“Enggak nyangka deh kak, kamu udah wisuda aja. Kemaren masih ngejar deadline bareng aku.”

“Jangan sedih-sedih gini dong.”

“Enggak, cuma kayak... bangga aja. Dulu kayaknya susah-susahan ngerjain TA, sekarang udah selesai.”

Tidak ada balasan dari Wonwoo, hanya ada senyum di sana, seperti menikmati sentuhan pelan Mingyu di dahinya. Begitu saja sampai lagi-lagi ada ketukan lainnya di kaca mobil.

Oh come on, the only thing he wanted to do is spending a bit of time with his love, kenapa susah sekali sih?

Mingyu langsung membuka kaca untuk mengambil dua mangkuk mi ayam dan satu mangkuk penuh keripik, meletakkan semuanya di atas dashboard. Kalau aja Wonwoo tidak sedang mati-matian menahan tawa dengan tangan di depan mulutnya, mungkin Mingyu sudah sebal.

“Mingyu, makasih yaa, udah nemenin aku selama ini.”

“Udah enggak ada yang dianterin pakai helm ungu lagi, kak.”

“Selama aku ngerjain TA kan aku enggak di kosan lagi, Mingyu.... Enggak ada bedanya.”

“Tetep aja, kak. Bakal kangen nih.”

Ada cemberut di wajah Mingyu setelahnya, Wonwoo yang gantian mengelus pipinya.

“Kamunya juga semangat dong, biar tahun depan bisa nyusul aku. I will be the proudest.”

“Doain aja lah biar cepet, takut nih gue, kak.”

“Bisa dong, Nggu. Tugas kamu yang kemarin itu tuh keren banget kok?” Ujar Wonwoo, menyentuh ujung hidung Mingyu dengan telunjuknya. “Makan dulu, nanti kita lanjutin ngobrolnya, ya?”

Karena Wonwoo yang bilang, maka Mingyu akan jadi si budak cinta paling bodoh sedunia dengan menuruti katanya, mengambilkan mangkuk yamin Wonwoo dan memberikannya dengan perlahan. Tidak ada kacamata di wajahnya hari ini, mungkin softlensnya yang menjadikan matanya bersinar atau bisa juga ia hanya sedang meracau, entah. Intinya, serasa ada gravitasi di dalam sana yang menariknya untuk terus menatap.

Kemudian, ada dorongan bagi Mingyu untuk mengecup bibir Wonwoo sekali lagi. Gemerlap dalam matanya yang menariknya bibirnya untuk tersenyum, hatinya untuk tenggelam.

“Tungguin sebentar lagi ya, kak. Percaya sama aku, nanti kita usaha bareng-bareng. Aku pengen berjuang... mau usaha, nabung, buat kita nanti. Boleh ya?”

Masalah pertama, it feels like he got nothing to wear. Mingyu bisa yakin kalau langit Depok hari ini serasa memiliki 1000 matahari dan menggunakan jas adalah pilihan buruk. Kalau niatnya adalah tampil mengesankan di hari penting Wonwoo, maka keringat akan menggagalkan rencananya. Masalah kedua datang dari bunga yang dia pesan tidak kunjung datang. Salahnya karena meminta bunganya untuk dikirimkan ke rumahnya dulu dibanding langsung ke kampus, tapi Mingyu bisa apa? Kurirnya entah di mana dan Mingyu sudah hampir menjedotkan kepalanya ke tembok.

“Belum berangkat kamu, mas?”

“Belom, bu. Masih nunggu bunga ini.”

“Enggak telat nanti?”

Iya, Bu. Itu masalahnya.

Jam sudah menunjukkan pukul dua dan Wonwoonya sudah mengirimkan pesan lagi, menanyakan keberadaannya.

Sebenarnya bukan sebuah keharusan juga untuk sudah sampai di jam-jam sekarang, mengingat seharusnya Wonwoo masih berada di dalam Balairung bersama mahasiswa lain yang sudah bebas dari dunia kuliah. Masih beberapa jam lagi sampai acaranya selesai dan bebas befoto-foto di seluruh titik di universitas. Cuma, Mingyu juga paham kalau Wonwoonya pasti mengharapkan keberadaannya, bercita-cita untuk berfoto bersama untuk dia pajang di Instagram seperti orang-orang lain. Pacarnya itu pernah bilang dan Mingyu tidak bisa lupa.

“Kamu cuma kaosan gitu ke sana?” Tanya ibunya lagi sambil meraih wadah kecil berisi cookie yang kemarin mereka buat.

“Ya, enggak, Bu. Bawa blazer juga aku.”

“Coba pakai dulu, Ibu mau liat.”

Like an obedient kid he is, Mingyu bangkit dari duduknya dan mengenakan blazer biru tua itu di tubuhnya. Meringis sedikit ketika melihat ekspresi berpikir ibunya yang seakan siap untuk mengkritiknya layaknya juri Asia’s Next Top Model yang sering beliau tonton itu.

“Enggak aneh kan, Bu?”

“Enggak, Ibu mikir aja itu pacar kamu udah wisuda, kamu kalau wisuda gimana ya?”

“Bu, kan waktu itu udah sepakat enggak ngomongin skripsi, lulus, wisuda, gitu-gitu....”

Ibunya semakin menyipitkan mata, “kamu nih, cuma ditanyain gitu aja udah marah.”

“Aku enggak marah, Ibu sayang.”

“Hush, hush. Udah, duduk lagi sampai bunga kamu itu dateng. Beli di mana sih? Tanjung Priok?”

“Iya, di Pluit.”

“Astaghfirullah, Mingyu....”

He knew that he’s screwed, he doesn’t need his mom to make him feel worser.

Pukul 14.27 ketika kurir bunga meneleponnya untuk memberikan bouquet bunga besar dan Mingyu langsung merasa hidup kembali. Dia langsung membawanya ke dalam mobil dan melaju secepat yang ia bisa untuk mengejar waktu.

Tapi tentu saja, Jakarta akan tetap jadi Jakarta yang tidak biasa diajak bekerja sama. Mingyu kehilangan hitungannya soal sudah berapa kali ia mengumpat setiap rentetan mobil berhenti di depannya, menahan emosinya setiap ada pengendara motor yang tidak mau kalah dan hampir menyenggol spion mobilnya. Oh God, when he thought this day can’t get any worse, ada telepon masuk dari si pemilik hari.

Tau rasanya ingin meledak dan berteriak hanya karena merasa panik? Itu dia. Ada keringat di telapak tangannya saat memencet lingkaran hijau di handphonenya, dadanya yang berdegup cepat.

“Halo, Wonwoo?”

“Kamu di mana, Gyu?”

Ya salam.

Ada suara khawatir di sana dan Mingyu agaknya tidak sampai hati kalau harus memberi tau yang sebenarnya. Wonwoo mau bereaksi seperti apa lagi kalau tau dia masih terjebak di Pasar Minggu? The least thing he wants to do adalah membuat laki-lakinya kecewa.

“Masih di... jalan. Maaf....”

“Jalan tuh di mana?”

Wonwoo, come on?

“Ini udah setengah jalan kok, cuma agak macet aja jadi lama.”

“Sebenernya, kamu masih di rumah ya?”

“Enggak, Won! Udah di jalan, beneran. Aku fotoin ya ini? Video call mau enggak? Video call.”

“No, i don’t need that.”

Ada napas yang tercekat di tenggorokannya dan Mingyu kehilangan kemampuan untuk menenangkan pikirannya. Pandangannya menjalar ke mana-mana, seakan tisu di dalam dashboard mobilnya dapat membantunya untuk menemukan solusi. Kalau Wonwoo kehilangan mood baiknya, maka habislah sudah.

“Kak Won, maaf.”

“Kamu di mana, Mingyu? Aku cuma nanya itu.”

Pada akhirnya, Mingyu menyerah. Ada kepasrahan di nada suaranya ketika mengaku mobilnya itu masih terjebak di Pasar Minggu. Jadi, Wonwoo hanya bisa menghela napas.

“Kalau kamu males tuh bilang aja ya, Gyu. Aku enggak maksa kamu untuk dateng.”

“Kak Wonwoo, aku beneran pengen, niat dateng. Tapi ini ada keperluan mendadak tadi, nanti ya aku ceritain?”

“Aku udah mau selesai, terserah kamu aja deh.”

Telepon langsung dimatikan dan Mingyu bersumpah bahwa ia ingin menyingkirkan semua mobil yang ada di depannya saat ini, membuat mobilnya terbang kalau perlu. Oh fuck, bayangkan bagaimana sulitnya mencari parkir nanti? He fucked up, so so fucked up.

Jam menunjukkan pukul setengah empat saat dia mengambil blazer di bawah bouquet bunga yang ia pasangkan safety belt, keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa sampai hampir lupa menekan tombol kunci. Kondisi sekitar Balairung sangat amat ramai, ada banyak pedagang bunga dan berbagai pernik khas wisuda juga di sana.

Tapi, pernah lari-larian menuju kelas di jam 07.59 untuk kelas jam 08.00? Itu yang Mingyu rasakan, kecuali dia tidak bisa berlari untuk menjaga penampilannya dan bunganya, juga banyaknya manusia di sana ikut melarangnya. Lapangan depan gedung rektorat juga dipenuhi oleh lautan manusia dengan toga dan kerabat-kerabat mereka. Menemukan Wonwoo tanpa menelepon rasa-rasanya seperti kemustahilan. Mingyu langsung mengambil handphone dari kantong celana, menelepon sayangnya sambil mengernyit seperti anak yang kehilangan ibunya.

Ada 3 kali nada tunggu sampai telepon akhirnya diangkat.

“Wonwoo, kamu di mana?”

“Udah mau pulang.”

Jantungnya hampir jatuh ke perut.

“Jangan bercanda.”

“Nggu...,” helaan napas lainnya yang Mingyu dengar hari ini. “Di tengah lapangan, kamu cari aja. Mama pakai baju peach, papa dan Bohyuk pakai batik.”

“Jangan ditutup dulu!”

“Aku enggak ada niat tutup telepon.”

“Oke, sebentar.”

Mencari Wonwoo di tengah ramai seperti sekarang ini mungkin akan lebih mudah kalau aja dia melepas toganya dan hanya memakai kalungan (he doesn’t know what is that) berwarna putih khas FIB, seperti orang-orang dengan warnanya masing-masing. Tapi, Mingyu bukan Mingyu kalau tidak bisa menemukan Wonwoonya, memegang handphonenya yang ditempelkan di telinga dengan tampang yang juga bersungut-sungut. Cahaya matahari di atasnya menjadikan dia yang paling bersinar dibanding semua lulusan di universitas ini.

“Tunggu di situ, aku liat kamu.”

“Kamu di mana sih, Nggu?”

Mingyu memutus sambungannya, memasukkan handphonenya ke kantong, dan memeluk bouquet bunganya lebih erat lagi. Ada debaran di dadanya setiap kali mendekat, senyum yang sama-sama merekah ketika pandangan mereka bertemu.

So this is how it feels like to meet the love of your life yang lagi sukses-suksesnya.

Wonwoo memberikan ekspresi sebalnya meski ia tidak bisa menyembunyikan bahagia di matanya. Mingyu yang menempelkan tangan kedua orang tuanya di dahinya bergantian, tangannya yang kemudian mengelus pipi Wonwoo pelan dengan tangan kanannya.

“Kamu lama banget.”

“Bunga kamu nih enggak dateng-dateng.” Jelas Mingyu, menyerahkan bouquet berisi anyelir, mawar, anemone, anggrek, hingga hydrangea yang ada di tangannya. Didominasi oleh warna ungu dan putih, ukurannya besar sekali sampai Wonwoo bisa bersembunyi di baliknya.

“Bunga tuh enggak penting, Nggu....”

“Ya kan terlanjur, Kak. Masa aku tinggal? Entar bunganya kasih tetangga.”

Wonwoo hanya tertawa geli, begitu juga dengan Mingyu, seakan di lapangan ini hanya ada mereka. Tidak ada si anak FEB yang cum laude dengan IPK 3.9. Tidak ada maba dengan jaket almamaternya yang juga baru selesai bernyanyi di dalam Balairung. Tidak ada kating arsitektur yang seharusnya Mingyu sapa juga. Tidak ada orang tua Wonwoo yang memandang mereka dengan senyum masing-masing dan Bohyuk yang sibuk dengan handphonenya.

“Oke, karena kamu udah dateng, kita foto ya!”

Jadi beneran itu yang bikin dia bete nunggu, pikir Mingyu. Dia langsung mengalungkan tangannya ke leher Wonwoo, menatap papa Wonwoo yang sedari tadi mengalungkan kamera di lehernya.

“Fotoin ya om, hehe.”

“Siap lah, sekalian pre-wed.”

“PAPA!”

Nice move, Mingyu langsung terbahak dengan pipi Wonwoo yang berubah merah.

Ada beberapa foto yang mereka ambil, dari seformal-formalnya foto pasangan hingga Mingyu yang mencium pipi Wonwoo dengan matahari yang menyinari mereka. Kalau Mingyu boleh bilang, hasilnya bagus. Mungkin papanya Wonwoo benar, these pictures could pass as their pre-wedding picture, kalau aja waktunya sudah tiba.

“Bentar, aku mau lepas toganya dulu, nanti foto lagi.”

“Dari tadi tuh enggak lepas karena mau foto sama aku?”

“Ya, menurut kamu gimana, Nggu?”

Nggu, bisa-bisanya lo bikin sayang lo itu nunggu panas-panasan gini.

Jadi, untuk menjadikan dirinya sedikit merasa kehilangan dosa, dia membantu Wonwoo untuk melepas toganya, menyerahkannya ke Bohyuk yang meminta. Kedua, ada banyak gaya yang Mingyu (dengan pasrah) lakukan, beberapa sama dengan foto pertama, termasuk (yang ini tidak pasrah) pipi Wonwoo yang dicium olehnya.

“Dasar anak muda jaman sekarang, fotonya udah berani nyosor.”

“Om juga dong cium tante, nanti Mingyu fotoin.”

“Wah, boleh tuh. Berasa muda lagi.”

Setelahnya, Wonwoo sempat menghilang untuk berkumpul bersama teman-teman Prodi Jepangnya, katanya ada persembahan dari adik tingkat dan foto bersama. Papa dan mamanya sudah kembali ke mobil, begitu dengan Bohyuk. Di sana Mingyu menunggu, bersama wajah-wajah tidak dikenal, sedikit bercengkrama dengan anak-anak teknik yang ia tau saja.

Jam 17.54 saat Wonwoo berjalan menghampirinya, memandang Mingyu dengan senyum di wajahnya.

“Aku udah.”

“Aku anter ke mobil kamu ya?”

“Nahh, mereka udah pulang. Aku bilang mau pulang sama kamu.”

Without consent, tapi bukan berarti dia akan protes juga.

Dia kalungkan tangannya di lengan Mingyu, menyeretnya ke entah mana yang Wonwoo juga tidak tau di mana mobilnya berada. Langit Depok sudah berubah ungu dan Mingyu rasa, dunia benar-benar ingin menjadikan hari ini sebagai milik Jeon Wonwoo seorang. Semacam penghargaan bagi dia yang telah bekerja keras selama ini.

“Toganya taruh di jok belakang aja.”

“Siap.”

Masih ada senyum di wajah Wonwoo ketika mobilnya mulai melaju, mulai meracau soal melelahkannya tadi di Balairung.

“Mau langsung pulang atau mau pacaran dulu, kak?”

“Pacaran, kalau kamu mau.”

“Pacaran ke mana ini? Ke Bandung mau?”

“Gila kamu kalau ngajak ke Bandung jam segini, masa baru sampai udah pulang lagi?”

“Nginep lah, banyak hotel di sana.”

Ada tamparan di wajahnya setelahnya.

“Kangen anjir, udah lama kita enggak ngewe.”

“Bukan hal penting, Mingyu.”

“Terus ngapain dong kita? Ke mana nihh, cepet.”

“Aku tuh mau quality time aja, jadi sebenernya terserah kamu mau bawa aku ke mana.”

“Tadi diajak ke Bandung gak mau.”

“Jangan bercanda deh.”

Mobilnya itu mengarah kembali ke Jakarta, langit ungu yang telah berubah membiru. Ada lagu yang terputar dari speaker dan tangan mereka yang bertaut. Kemeja Wonwoo sudah digulung ke batas siku, seakan mengindikasikan bahwa hari memang telah berakhir dan sudah waktunya untuk mulai beristirahat. Dengan Mingyu adalah caranya untuk beristirahat.

Dia menyelesaikan perkuliahannya dengan banyak Mingyu di dalamnya. Tugas Akhirnya tidak punya tempat untuk berterima kasih sebagaimana skripsi orang-orang, tapi rasa terima kasihnya lebih besar dari apapun. Kalau tidak ada laki-laki ini, mungkin tidak ada dorongan lebih untuk menjadi Jeon Wonwoo S.Hum sebagaimana dia sekarang. Tidak ada penyemangat aneh seperti Mingyu yang tiba-tiba membawa Seaweed dan Tori ke rumahnya dan membuat Lemon kebingungan hingga memukul Tori berkali-kali. It was so damn chaotic that day, Pebble hampir menjatuhkan vas bunga ketika bermain dengan Tori.

Sadar atau tidak, tangannya bergerak untuk mengelus pipi Mingyu.

“Kak, mau nasi gila kayak pas kita PDKT gak? Oh, atau mi ayam aja kali ya? Deket Menteng juga kok. Ada satenya juga di situ. Kata Ibu sih enak.”

“Terserah kamu.”

“Ok— Kak! Jangan ke leher, geli! Nabrak nih entar.”

“Kamu hadap depan aja, aku kan cuma ngelus.”

“Ini nih mancing.”

Wonwoo langsung tertawa, menghentikan aksinya. Dia isi heningnya dengan menyanyikan lagu yang terputar lewat sambungan spotify di handphone Mingyu dengan player di mobilnya. Menjadikan mobil itu seperti ruang pribadi, miliknya dan Mingyu seorang.

“Mau mi ayam apa sate?” Tanya Mingyu ketika mobilnya sudah berhenti di dekat gerobak pinggir jalan. Kepalanya itu masih mengarah seakan mengintai penjual di luar sana yang tengah mengipas satenya.

Ketika Mingyu menoleh untuk menagih, yang dia dapatkan itu bukan jawaban, tetapi sebuah cium di bibirnya. Rasanya mengagetkan, tetapi dengan refleks justru membuatnya tenang. Rangkulan di lehernya membawanya untuk merunduk, ikut menekan diri ke arah Wonwoo yang netranya telah terpejam.

Ketika sentuhnya lepas, masih ada tatapan lurus yang terkesan rendah, sedikit gelap meski keadaan mobil tidak kalah gulita.

“Mau apa jadinya, kak? Mau aku?”

Wonwoo mengangguk, menggesekkan hidungnya dengan milik Mingyu. Menyatukan bibir mereka kembali seperti hal termudah yang dapat dilakukan dan tidak ada yang mampu untuk menolak nikmat semacam ini. Ada yang terasa semakin sesak saat tangan kiri Wonwoo mengelus dadanya yang hanya berbalut kaos.

Setidaknya sampai ada ketukan di kaca mobil yang langsung membuat Wonwoo mendorong Mingyu dengan kekuatan penuh, kepalanya itu membentur kaca pintu di belakangnya.

“Jawab masnya dulu, aku mau yamin!”

Ketika Mingyu berbalik, sudah ada muka mas-mas di sana.

Fuck, this is embarrassing. Mingyu spontan menyebut pesanannya dengan cara paling kikuk sedunia dan menutup kembali kacanya dengan wajah datar bercampur paniknya.

“Mas-masnya liat kali ya, Nggu?”

“Pasti liat.”

“Terus kenapa masih aja diketok....”

Ada tawa yang meledak setelahnya hingga wajah mereka sama-sama memerah. Wonwoo langsung menutup wajahnya dengan telapak tangan.

“Aku malu banget, aku gak mau makan di sini lagi.”

“Biarin aja sih masnya liat, siapa tau pulang-pulang jadi kepengen ciuman juga sama istri atau suaminya.”

Ada pukulan di lenganya. “Mas-masnya enggak jorok kayak kamu, Nggu.”

“Emang kenal sama mas-masnya?”

“Kenalnya sama kamu and you're something else.”

Mingyu itu cuma tertawa, lalu menyingkirkan rambut yang menutupi dahi Wonwoo. Ada sedikit senyum di wajahnya.

“Enggak nyangka deh kak, kamu udah wisuda aja. Kemaren masih ngejar deadline bareng aku.”

“Jangan sedih-sedih gini dong.”

“Enggak, cuma kayak... bangga aja. Dulu kayaknya susah-susahan ngerjain TA, sekarang udah selesai.”

Tidak ada balasan dari Wonwoo, hanya ada senyum di sana, seperti menikmati sentuhan pelan Mingyu di dahinya. Begitu saja sampai lagi-lagi ada ketukan lainnya di kaca mobil.

Oh come on, the only thing he wanted to do is spending a bit of time with his love, kenapa susah sekali sih?

Mingyu langsung membuka kaca untuk mengambil dua mangkuk mi ayam dan satu mangkuk penuh keripik, meletakkan semuanya di atas dashboard. Kalau aja Wonwoo tidak sedang mati-matian menahan tawa dengan tangan di depan mulutnya, mungkin Mingyu sudah sebal.

“Mingyu, makasih yaa, udah nemenin aku selama ini.”

“Udah enggak ada yang dianterin pakai helm ungu lagi, kak.”

“Selama aku ngerjain TA kan aku enggak di kosan lagi, Mingyu.... Enggak ada bedanya.”

“Tetep aja, kak. Bakal kangen nih.”

Ada cemberut di wajah Mingyu setelahnya, Wonwoo yang gantian mengelus pipinya.

“Kamunya juga semangat dong, biar tahun depan bisa nyusul aku. I will be the proudest.”

“Doain aja lah biar cepet, takut nih gue, kak.”

“Bisa dong, Nggu. Tugas kamu yang kemarin itu tuh keren banget kok?” Ujar Wonwoo, menyentuh ujung hidung Mingyu dengan telunjuknya. “Makan dulu, nanti kita lanjutin ngobrolnya, ya?”

Karena Wonwoo yang bilang, maka Mingyu akan jadi si budak cinta paling bodoh sedunia dengan menuruti katanya, mengambilkan mangkuk yamin Wonwoo dan memberikannya dengan perlahan. Tidak ada kacamata di wajahnya hari ini, mungkin softlensnya yang menjadikan matanya bersinar atau bisa juga ia hanya sedang meracau, entah. Intinya, serasa ada gravitasi di dalam sana yang menariknya untuk terus menatap.

Kemudian, ada dorongan bagi Mingyu untuk mengecup bibir Wonwoo sekali lagi. Gemerlap dalam matanya yang menariknya bibirnya untuk tersenyum, hatinya untuk tenggelam.

“Tungguin sebentar lagi ya, kak. Percaya sama aku, nanti kita usaha bareng-bareng. Aku pengen berjuang... mau usaha, nabung, buat kita nanti. Boleh ya?”