yule ball 101: way to win you over
hogwarts!au
Dari segala hal yang paling membosankan, pergi ke perpustakaan adalah satu dari sekian banyak hal yang jarang untuk dilakukan Mingyu. Dia lebih memilih untuk mendengarkan orang lain berbicara, meminjam buku untuk dibawa keluar dari tempat itu jikalau sangat perlu. Tapi ayo lah, ada hati yang ringkih di dalam dadanya, menjadikannya bagai anak ayam yang mengikuti induknya kemana pun induknya pergi. Dalam kasus ini, Wonwoo adalah induknya.
“I've told you, Mingyu.” Ujar Wonwoo tadi, sebelum mereka memasuki perpustakaan ini.
Sebenarnya, Mingyu tidak menyesal juga. Setidaknya dia bisa melihat Wonwoo dan bibirnya yang sedikit maju karena terlampau serius dari sini. Melihat matanya yang berbinar di balik kacamata yang ia tengah gunakan. Melihat Wonwoo merasa nyaman dan tenang. But, oh my God, apa dia tidak bisa membawa buku-bukunya ini ke luar perpustakaan saja?
“Won,”
Tidak ada pergerakan.
“Wonwoo, aku agak bosen….” Ucapnya lagi, sambil menusuk-nusukkan telunjuk ke tangan Wonwoo yang empunya gunakan untuk membalik buku. Kepalanya masih ia tempelkan di atas meja, hanya matanya yang berusaha memelas.
Setelahnya, ada helaan napas.
Wonwoo kemudian berdiri, membereskan barang-barangnya dari meja dan memeluk dua hingga tiga buku yang ada di tangannya, berjalan lebih dulu. Maka sebagaimana anak ayam pada umumnya, Mingyu kembali mengekor dengan senyum di wajahnya.
“Kan aku udah bilang, Mingyu. You wont last long in there.”
“Aku mau sama kamu.”
“Tapi, aku mau baca buku.”
Langsung ada bibir yang menekuk ke bawah di wajah Mingyu.
“Kamu serius nolak aku kayak gitu?” Tanya dia sambil menyamakan kecepatan langkah dengan Wonwoo yang bahkan enggan untuk menatapnya. “Wonwoo, jangan marah.”
“Terus sekarang kamu mau apa?”
Mingyu spontan mengernyit, “maksudnya?”
“Ya, kita udah enggak di perpustakaan. Terus, kamu mau apa?”
Mau apa?
He just wanted his attention. Tapi ditinjau dari bagaimana Wonwoonya yang malah marah dengannya, maka semuanya tentu sudah sia-sia. Haruskah mereka kembali ke perpustakaan saja?
“Mingyu, I’m asking you.”
“I just… wanted… want, to be with you.”
Mingyu tau betul itu akan mengundang kerutan pada dahi Wonwoo. Ya Tuhan, dia dalam masalah sekarang. But he tried to be honest, is that even wrong?
Hanya saja, apa pula alibi ingin main? Main apa? Ini bukan muggle world dan segala permainan digitalnya, lagi pula akan mengundang pertanyaan bagi pure blood semacam Wonwoo untuk memahami hal-hal semacam itu.
Wonwoo langsung menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Mingyu yang hampir berbenturan dengan tubuhnya. “Kalau gitu, aku yang tentuin permainannya.”
Bagi si dia yang merasa posisinya sedang di ujung tanduk, menyetujui hal-hal semacam itu bukan hal sulit. Namun saat Wonwoo menyebutkan kata quidditch, dadanya langsung mencelos.
“Aku kan juga mau ngerasain gimana rasanya jadi kamu.”
Kalau sudah begini, Mingyu hanya bisa menghela napas. Dia tidak mugkin bisa membiarkan Wonwoo marah dengannya, tetapi quidditch? Itu bisa membahayakan Wonwoo! Satu-satunya yang tidak ingin Mingyu lakukan adalah membuatnya terluka.
But here they are, di lapangan kosong tempat mereka biasa berlatih. Bukan lapangan utama memang, menggunakan alibi “latihan untuk pemula” sebagai dalih agar Wonwoo berhenti meminta mereka berlatih di lapangan utama. Lagi pula, Mingyu tidak tahu apakah mereka mempunyai izin untuk melakukan itu atau tidak. Dia bukan captain, izinnya itu sangat terbatas, bahkan mungkin Wonwoo sebagai prefect memiliki akses lebih dibandingnya.
“Aku tanya sekali lagi, kamu serius?” Tanya Mingyu ketika mereka sudah sama-sama duduk di atas broomstick masing-masing, ada keraguan di wajahnya.
“Aku enggak sepayah itu, Mingyu.”
“Tapi kamu bisa jatuh!”
“And I want you to catch me.”
Mingyu tidak lagi bisa berkutik, apalagi mencebik, saat Wonwoo sudah melesat terbang ke udara. Ini ide gila, dia bukan pelatih profesional dan tidak punya lisensi apa-apa untuk mengajar sekalipun tujuannya hanya untuk bersenang-senang.
Tapi dari atas sini…, rasa-rasanya mustahil untuk mengatakan bahwa dia tidak merasa terpukau atas apa yang dia lihat sekarang. Langit hari ini cerah, namun tidak sampai membuat matanya menyipit karena teriknya. Itu membantunya untuk memandang Wonwoo yang terbang beberapa meter di depannya, masih memegang ujung sapu terbang dengan erat.
“Tell me once you’re ready!” Teriaknya sedikit.
Wonwoo tentu langsung mengangkat ibu jarinya, memasang tampang paling serius yang agak membuat Mingyu harus menahan senyumnya. Jadi, ia lemparkan bola ditu ke arah dia.
Tapi tentu saja, Wonwoo bukan pemain dan terjun langsung di kali pertamanya tentu tidak akan membuahkan hal yang sempurna. Bola itu justru melesat ke belakang sana, ke arah bangku-bangku yang tidak sedang berpenghuni.
Mingyu tentu tidak menaruh perhatiannya kepada bola itu lagi. Mungkin prefect kebanggaan sekolah itu terkejut, mungkin dia belum sepenuhnya siap. Wonwoo kehilangan keseimbangannya dan satu-satunya insting Mingyu adalah untuk menangkapnya agar tidak bertubrukkan dengan tanah di bawah sana. Dia langsung melesat, memeluk tubuhnya hingga dadanya bersentuhan erat dengan Wonwoo yang sebelah tangannya masih menggenggam broomsticknya erat. Tentu dia juga terkejut meski refleksnya baik dan broomsticknya tentu akan menyelamatkannya, namun pelukan erat di punggungnya itu yang justru memberikan sensasi lain dari terbang di angkasa.
“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Mingyu setelah mereka sama-sama terduduk di atas tanah. Wonwoo bisa menilai dengan matanya sendiri bahwa laki-lakinya itu benar-benar khawatir, alisnya sedikit bertaut hingga muncul kerutan samar di dahinya.
Kemudian, Wonwoo mengangguk. “Can we try again?”
“Ini bahaya, Wonwoo. Kamu hampir jatuh and I’m not professional trainer. I— am afraid I… I will hurt you.”
“Tapi kamu... selalu jago setiap main. Aku juga mau kayak kamu,” ia menggigit bibir bawahnya. “Aku mau sekeren pacarku.”
It left him hanging. Mingyu hanya mengerjap beberapa kali, mengigit inner cheeksnya untuk menahan senyum dari pipinya yang mungkin sudah memerah sekarang. Entah sudah berapa lama sejak ia meminta Wonwoo untuk menjadi pasangannya dalam Yule Ball, namun rasanya akan selalu sama seperti masa-masa awal ketika Mingyu menyadari persaannya. Mingyu dan Wonwoo akan selalu menjadi yang langsung memalingkan wajah ketika seseorang mendapati mereka tengah berpegangan tangan di lorong yang sepi.
“Jadi, gimana?”
“Tapi kamu harus hati-hati.”
”Iya, Mingyu,” tangannya mengelus belakang kepala si Gryffindor. “Sebagai bayarannya, nanti kamu boleh main ke kamarku.”
Mingyu yang awalnya masih ragu itu langsung berubah layaknya bintang-bintang yang ia lihat di kelas astronomi, bersinar dengan terang dengan mata yang berkilau.
“Memangnya bisa?”
“Nanti aku bantu.”
Rasa-rasanya, Mingyu serasa seperti dirinya bertahun-tahun lalu ketika dia dan keluarganya selesai membaca surat penerimaannya di Hogwarts. Dia langsung bangkit, senyum begitu kentara di wajahnya.
“I supposed to teach you how to play Quidditch. First of all, your position was wrong, Wonwoo.”
“Terus aku harus gimana?”
Mingyu menunjuk langit, “let me help you.”
Mungkin ini ide buruk, Wonwoo seharusnya tau itu. Orang seperti Mingyu tidak mungkin padu dengan mereka yang menjadi Ravenclaw sejak sorting hat berada di kepala mereka. Sejak dia menginjakkan kakinya di dalam common room, yang mereka dapatkan adalah tatapan dari orang-orang lain yang tengah berkumpul dengan buku dan segelas susu di tangan mereka. Belum lagi ketika Mingyu hampir menyenggol kursi yang memang terletak di tengah ruangan.
“Kan aku udah bilang, kamu jangan ribut.” Ujarnya sambil mengelus pipi Mingyu di depannya. Matanya kemudian mengintip sisi lain dari kamar dengan ekor mata, mendapati Qian Kun tengah mengernyit ke arahnya sebelum berjalan keluar dari kamar. Ini agak memalukan, mungkin Wonwoo harus meluruskan sesuatu kepadanya nanti.
“Aku selalu begini.”
“Mingyu....”
Tentu, Wonwoo tidak tahu bagaimana hidup Mingyu di muggle world berjalan. Katanya, bukan hal aneh di sana bagi sepasang anak mengungkapkan suka dengan satu sama lain. Katanya, Mingyu pernah menyisipkan bunga di telinga orang lain. Katanya, dia juga pernah berlarian di taman bermain bersama dan mendorong “temannya” saat bermain sebuah wahana bernama ayunan. Itu menjadikan Wonwoo berpikir bahwa dia bukan yang pertama, Mingyu jauh lebih berpengalaman dibanding dirinya dalam hal-hal seperti itu. Jadi, ketika laki-laki itu menubrukkan diri di atasnya dan menjadikan mereka sama-sama berbaring di atas tempat tidur, Wonwoo berusaha menutupi ekspresi terkejutnya.
Ini hal baru untuknya, terlebih di tempat yang cukup umum seperti sekarang ketika siapa pun bisa masuk ke dalam kamar tidur untuk menemukan siswa Gryffindor sedang bergumul dengan siswa Ravenclaw di atas tempat tidur. Mungkin mereka akan langsung dicap tidak benar. Tapi entah kenapa juga, Wonwoo tidak ingin mengambil pusing akan itu. Degup jantungnya mungkin tidak kunjung memelan, namun alih-alih berusaha menenangkannya, Wonwoo justru merasa bersemangat. It makes him excited, dada yang membuncah, dan kepala yang serasa ingin meledak saking berlimpahnya emosi yang ia rasakan.
Di sampingnya itu ada Mingyu yang netranya tidak sepenuhnya terbuka, hanya ada kerjapan pelan yang membuat suasana seakan memelan, seakan di dunia ini hanya ada mereka dan deru jantungnya. Ada kecup yang terus dibubuhkan Mingyu di pipinya.
“What are you doing, Gyu, really?”
“Pipi kamu enak.”
“Aku bukan kue.”
“Tetep enak, Wonwoo.”
“Kamu aneh banget….”
Ciumnya itu terus berlanjut hingga Mingyu sedikit mengangkat diri untuk membetulkan posisi, beralih mengecup dahi Wonwoo yang langsung mengerut.
“What was that for…?”
Forehead kisses selalu meninggalkan kesan hangat di dadanya, menjalar layaknya bara api yang menghangatkan tubuh di musim dingin. Dengan Mingyu yang memberikannya langsung di atas tempat tidur seperti ini menjadikan efeknya jauh lebih gila dibanding yang ia bayangkan.
“Aku tau kamu tau alasannya.”
“Aku enggak tau, aku mau kamu ngomong ke aku.”
Mingyu tidak langsung menjawab, justru terus memberikan kecupnya kembali pada dahi dan pipi Wonwoo. Sesekali geraknya terhenti, membiarkan bibirnya menempel di sana denhan mata yang terpejam. Mingyu juga tau bahwa ini akan membuat Wonwoonya semakin sebal karena dia tidak menjawab pertanyaannya, justru memberikan afeksi yang menjadikannya seperti kepiting rebus.
“Mingyu, sebentar dulu ciumnya.”
“What do you want, Wonwoo?”
“Kenapa kamu cium aku di dahi?”
Mungkin sebenarnya, dia tau jawabannya. Masih pernyataan yang sama dengan malam Yule Ball ketika mereka melarikan diri dari The Great Hall. Masih pertanyaan yang sama dengan ketika bibir mereka bertaut di bawah salju Viaduct yang dingin setelah Mingyu mengajaknya menari di sana.
He…,
“I love you.”
And it feels the same, sama-sama mencekik lehernya dan memberikan hangat di dadanya.
“Aku enggak tau cara ngomongnya. Jadi aku pikir, dengan cium kamu, aku bisa ngasih tau itu.”
Jika tujuannya sebatas menyatakan cinta, maka Mingyu melakukan lebih dari yang ia ingin. Insting mendorongnya untuk mengalungkan tangan pada leher Mingyu, menariknya dalam sebuah ciuman lain, bibir yang saling menempel hingga Mingyu memiringkan kepalanya dan mulai memperdalam ciumnya. Wonwoo menerimanya dengan mata yang terpejam dan tangan yang terus meremas pakaian yang Mingyu kenakan.
Wonwoo tidak mengerti betul tentang cinta, sama sekali tidak mengerti jika saja tidak ada Mingyu di hidupnya. Tetapi lewat setiap gesekan di antara kulit mereka, ia pelajari setiap fragmennya. Wonwoo coba untuk mengerti cara untuk mencinta dan menerima untuk dicinta sebegitu besarnya. Bahkan ketika ciumnya terlepas dengan dada yang sama-sama naik dan turun, tatapan mereka tidak bisa berbohong dengan satu sama lain.
He found love between those stars that spark in his eyes, all the bloom that he felt everytime Mingyu is around him. Maybe, Mingyu is the love himself.