cappucinooh

Laravel

“Jadi hari ini kita ngapain nih, kak?” “Pastinya kita akan melakukan kegiatan yang seru dong. Nanti kita ada sesi belajar mengenai perasaan nih, nanti kita juga ada kegiatan fisik seperti curhat ke kaka-kaka yang ganteng dan cantik di sini, lalu kita ada kegiatan bikin kerajinan, dan kegiatan jual barang. Siapa yang ga sabar?”

Sudah satu jam lebih gue menghabiskan waktu di bawah payung gazebo ini membolak-balikan slide ppt. Sebenarnya kalau boleh jujur, ini sangat membosankan. Tugas gue di sini hanya mendengarkan saja dan memberi komentar ataupun saran jika kalimat yang diucapkan oleh kedua MC di depan terasa kurang.

“Inget ini openingnya cuma lima menit. Jangan kelamaan.” Kira-kira seperti itu yang gue ucapin. Sebenarnya kalau boleh jujur, mereka sering menjadi pembawa acara hingga tak ada jeleknya sama sekali. Sehingga gue sangat bosan sekarang, benar kata Khailil bahwa mereka sudah jago.

“Ada yang salah ga, Vel? Nell?” Yuka bertanya ketika kalimat terakhir dalam script selesai dibacakan.

Cornell menangguk yang artinya gue juga menyetujui.

Gue kira ini akan memakan waktu hingga waktu rapat, yaitu sampai jam tujuh malam, tapi jam empat juga sudah selesai. Memang, Yuka dan Khailil benar-benar terlahir menjadi Master of Ceremony.

“Geser ga, sekalian nunggu rapat?”

Emang punya cowo isinya nongkrong mulu ya susah.

Gue, Cornell, Yuka, dan Khailil memutuskan untuk berpindah tempat ke coffee shop dekat kampus. Sedangkan Farrel, sebagai ketua pelaksaan yang baik, memutuskan untuk balik ke ruang sekretariat untuk mempersiapkan rapat dengan partnernya.

Rencanya sih memang nongkrong. Namun, memang jati diri adalah seorang mahasiswa dari fakultas komputer pasti membuka laptopnya.

Oh tidak, hanya Khailil yang membuka laptopnya. Biasa, anak IT dengan tas gede berisi laptop 5 kg itu.

“Freak banget sih lagi nongkrong malah ngerjain project.” ucap Cornell yang tidak relate dengan kegiatan orang main membawa laptop, yang dibuka codingan lagi codingan lagi.

“Malemnya kan mau ngelonin bayi.” ya jelas keasbunan Khailil ini, walaupun sedikit benar, berhasil mentrigger gue untuk menampar bibirnya.

...

Rapat terakhir dari acara Sosial Project sebenarnya tidak spesial banget. Setiap divisi hanya melakukan report seperti bisa dan membuka pertanyaan. Namun, karena gue adalah divisi yang menjadi kunci sebuah acara aka event organizer aka seksi acara, tentu gue, kita, mengambil banyak sekali waktu rapat karena banyak yang harus dijelaskan.

H-2 Sosial Project 2024.

Tentu banyak yang perlu anak EO jelaskan, terkait revised rundown, tempat ngumpul, briefing, ice breaking, setiap agenda, dan memastikan peralatan sudah aman.

“Kita akan mulai di jam 1 siang, tapi di jam 10 kita udah mulai briefing, jadi jangan telat. Di jam 10.30 kita sudah otw menggunakan mobil dan motor yang bisa kalian cek di spreadsheet untuk pembagiannya.”

Ah, untungnya gue cuma ngomong itu doang. Sedikit apresiasi gue tunjukan ke Cornell, Bianca, dan Alika yang selalu siap sedia berbicara, sehingga gue yang menjadi pembicara penutup.

Report setiap divisi telah selesai, kini gilian ketua dan wakil ketua pelaksana untuk berbicara. Mereka hanya mengatakan harapannya kepada kita karena acaranya sudah bentar lagi. Ya, ga salah sih, kalau gue sebagai ketua pelaksaan juga pasti di rapat terakhir ini gue akan meminta panitia untuk tetap semangat, karena biasanya akhiran ini panitia banyak yang demot.

Dan iya, gue sebagai anak acara yang pasti di setiap acara akan selalu kena eval, juga ikut berdoa agar acara ini mendapatkan kelancarannya.

Laravel.

Jakata hari ini sangat panas, itulah alasannya dari sekian banyak baju di lemari, gue memilih memakai kemeja putih dengan bahan yang dibilang tipis ini.

Namun, jangan beburuk sangka, gue tetap membawa jaket untuk gue pakai ketika bermain seluncuran di atas es itu. Berkali-kali gue mendapatkan pujian dari Khailil mengenai pakaian yang gue pakai hari ini.

“You look so freaking hot, Laravel.”

Katanya, hehe.

Jangankan Khailil, Andy, yang menjadi nyamuk di antara kita, pun tak habis-habisnya mengomentari penampilan gue sekarang. Walaupun posisi gue membelakangi Andy, gue masih merasakan tatapannya masih jatuh ke gue.

“Bro, wake up bro. You're looking at my boyfriend.”

“Better than I lihatin lu yang kaga mandi.”

Kalau boleh jujur, gue ga begitu dekat dengan Andy. Cukup sekedar kenal nama, sebagai sepupu Khailil dan member Hima IT yang memegang event dengan objektif yang sama seperti gue, yaitu got talent tapi versi mahasiswa IT.

Untuk sekarang dan selanjutnya, gue yakin kalau akan makin sering ke depannya untuk berhubungan dengan Andy. Mulai dari pembahasan kesamaan event kita hingga kerja sama di CODE.

Andy adalah PIC atau biasa dikenal sebagai koordinator dari hubungan external di event CODE.

“Why you mau sama manusia gembel ini?” “It calls love, stupid.” “I didn't ask you, stupid.”

Aduh, gue pusing dengerin ocehan ga bermutu ini. Alhasil, gue memutuskan untuk memainkan ponsel saja, membiarkan Khailil dan Andy yang tengah berantem tak tahu karena apa.

Dan ternyata gue dapat merasakan bagaimana teman gue mendengarkan secara langsung ketika gue dan Khailil sedang berantem.

Sungguh menganggu.

“Avel, Why you mau jadi PIC EO? you're the one who handled SGT yaa? It will burden you for sure.”

“There was a time when you completely gave yourself to someone. When that person tells you that you are the only one to trust, everything weakens. You won't be able to resist when you see him asking you to get closer. And I could give my life just for him because sometimes all you need is just one person. For Khailil's case, that is me-

and that calls love, Andy.”

Lemparan guling yang jatuh tepat di belakang kepala pemuda berzodiak gemini, tidak berhasil membuat lelaki ini memolehkan wajahnya.

“Iban ih jangan giniin aku...”

Tuh kan, dirinya jadi mellow karena merasa bersalah.

Bukan kemauannya untuk pulang di saat kekasihnya tengah demam tinggi. Tidak, Aja tidak pernah mau meninggalkan pacarnya. Namun, dirinya tak pernah dikasih pilihan oleh kedua orang tuanya jika malam sudah menunjukan pukul sepuluh.

Sempat Aja tidak mau membalas pesan dari sang Buna, tapi apalah daya jika Ibu Iban sudah berkata bahwa pak Tarno, sopirnya, sudah di bawah.

Kalau boleh jujur, dirinya masih ingin menggenggam tangan Iban yang sedang tertidur tenang seperti bayi. Namun, tak pernah mempunyai pilihan.

Lantas pertanyaan, siapa yang harus disalahkan? Aja yang pergi di saat Iban sedang demam tinggi atau Iban yang tidak ingin mengerti situasi?

Tidurnya semalam bahkan tidak bisa nyaman karena tak ada panggilan telepon ataupun hanya selamat tidur.

Aja berusaha mengerti. Ibannya tengah sakit, demam yang paling dibenci. Oleh karena itu, Aja langsung pergi menuju kediaman sang kekasih setelah dirinya terbangun dari tidur.

Ia sudah melakukan banyak cara. Namun apakah ini balasannya? Didiemin? Dianggap tidak ada?

Aja tetap berusaha mengerti, tapi Ia sudah tak bisa menahan lagi.

Suara teriakan tangin mengageti Iban, dirinya langsung mendekap si pacar agar suara tanginnya tak lagi menggegar.

Mati ia kalau Ibu dengar.

“Ngapa lu nangis kocak?”

Iban mati kebingungan, dirinya tak tahu mengapa Aja nangis dengan kencang padahal ia yang habis dipukul.

“Kamu jahat... Aku kalau bisa nginep di sini aku tidur di sini, bareng kamu. tapi aku ga bisa... bunaku udah nyuruh pak tarno untuk jemput aku.”

“Jaa...”

“Diem dulu aku belum selesai ngomong!”

Oke. Iban akan diam, memposisikan dirinya sebagai pendengar yang baik.

“Aku buru-buru ke sini tadi, tapi kamu malah diemin aku. Aku kan selalu bilang kalau aku ga suka didiemin, aku ga suka kalau dianggap ga ada. Tapi kamu selalu lakuin itu, aku sedih...”

Ujaran Aja tak jelas terdengaran sebab hisakannya lebih besar. Namun walaupun begitu, setiap kata yang terlontar dapat membuat Iban merasa bersalah.

Sumpah demi Tuhan, niatnya hanya bercanda. Dirinya tahu bahwa Aja tak mungkin bisa tinggal lebih lama semalam pun tentang Aja yang langsung ke sini di pagi hari.

Namun memang pada dasarnya, Iban selalu senang menggodai pacarnya.

Dalam dekapannya, Iban membawa Aja tertidur di atas lengannya. Usapan pada rambut halus milik Aja tak kunjung berhenti. Iban kini menguatkan dekapannya dengan kaki kirinya yang mengurung badan Aja di dalamnya.

“Tidur yuk? semalam tidurnya sebentar kan?” Aja mengangguk, toh yang dikatakan Iban benar kok, “Maaf, Ja.”

“Iya ga apa-apa, tapi jangan diemin aku lagi ya, Iban?” “Boleh lah, kan gue bercanda.” “BERCANDA ITU KETAWA BUKAN BIKIN NANGIS.” “Lah jokes kita beda berarti.”

Aja mendongak, kedua matanya benar-benar di bawah mata indah milik Iban. Mereka begitu dekat hingga napas panas Iban begitu terasa.

Ah, panas Iban kembali meningkat.

“Iban kamu panas lagi, minum obat dulu ya?” “Mager, gini aja, besok juga sembuh.”

Syarat pertama untuk hidup perkuliahan yang tenang adalah jangan membuat Gemini ngejar-ngejar lu, karena alih-alih bahagia, kalau diikutin seperti ini yang ada lu akan gumoh sendiri.

“Lu bisa stop ngikutin gue ga?”

Javier menggeleng, dirinya tak peduli dengan perintah si manis Aries perkata diikutin olehnya. Toh, yang menantang duluan kan si Yobel.

“Sana ah jauh-jauh, malu diliatin orang.”

Jelas malu lah, Yobel sudah berpakaian serapih mungkin, tapi tiba-tiba di belakangnya ada lelaki yang memakai celana pendek dan hoodi saja. Ia bahkan berani bertaruh kalau Javier sama sekali ga pakai baju dalaman lagi.

Malas untuk bertanya, Yobel sudah dapat menebak alasan Javier tidak lagi menggunakan baju rapih, karena meribatkan.

Yobel tahu bahwa Javier adalah tipe yang bangun lima menit sebelum pelajaran di mulai. Yang isinya dua menit pertama untuk cuci muka dan sikat gigi, satu menit kemudian untuk membeli roti sobek di warung madura terdekat, sisa menitnya untuk di jalan.

Eh, kenapa Yobel bisa tahu?

Ga usah mikir aneh-aneh. Javier terlalu berisik di whatsapp mereka, hingga di mana Yobel merasakan bahwa Ia lah penonton a day in my life milik Javier.

Risih sih di chat terus, tapi gapapa, toh petualangan hari-hari Javier sangat seru. Kadang disuruh beres-beres rumah, kadang disuruh ngomong sama tanaman bundanya, kadang juga ngomongin gimana Javier sayang banget sama Yobel ke bundanya, eh— udah intinya gitu lah.

“Munduran bisa ga? Ga usah sejajar sama gue.”

“Ga bisa

Semerbak wangi citrus kembali menggentangi indeta penciumannya. Yobel meringis, Bukannya gimana-gimana, tapi Yobel sudah tahu siapa pemilik parfume ini, dan apa yang akan pemilik parfume ini lalukan.

Yap.

Javier kembali datang ke meja kantin dengan segelas kopi berukuran besar dengan mulut yang penuh dengan gorengan.

Yobel menatap aneh Javier. Alasannya untuk selalu menghindari Javier kian menambah setiap harinya. Tidak relate dengannya yang selalu menjaga apa yang dia makan dan tidak pernah menyentuh gorengan.

Javier melahap satu plastik gorengan dan mengakhirnya dengan kopi, sungguh kebiasaan makan yang tidak sehat.

Pantesan jelek, makan aja selalu yang ga sehat.

Begitulah pikiran Yobel kali ini.

“Kok ga lanjut makannya bel?” bahkan Javier bertanya dengan makanan yang masih ada di mulutnya.

Ugh.

Gimana bisa Yobel menjatuhkan hatinya pada orang seperti ini?

“Pengen muntah gue karena lihat lu.”

Javier terkekeh, kalimat kejam yang dikeluarkan oleh Yobel tak pernah membuatnya sakit hati. Dibilang jelek, jorok, bodoh, sudah biasa Ia terima dari mulut Javier. Namun, namanya sedang berusaha menarik hati si manis, pasti banyak tantangannya bukan?

Lagipula Yobel terlihat sangat lucu jika sedang emosi.

“Lanjut makan, Bel. Nanti perutnya sakit lagi.” oh ya masih ada Elifal di sampingnya. Yobel terlalu sibuk mengumpat sampai lupa bahwa temannya ini sangat strict dengan jadwal makannya.

“Gapapa, Bel. Kalau ga mau makan mah, tinggi gue gendong ke klinik. Mumpung masih ada kelas habis ini. Jadi gue bisa bolos kelas dan temenin lu di klinik berdua doang sekalian pegangan tangan.”

Wah otaknya beneran sudah kena. Kalau gini lebih baik makan dengan lahap daripada menghabiskan waktu lebih lama dengan lelaki ga jelas ini.

Perihal rindu pacarnya kepadanya memang patut dipertanyaakan, sebab seorang Iban tidak akan mungkin senekat itu untuk berkunjung ke rumah kekasihnya di atas jam sepuluh malam.

Aja tahu bahwa Iban hanya pintar dalam omongan saja, tapi perlakukannya sangat buruk.

Aja meragukan kalimat Iban yang akan menemuinya sebab di pukul 21.50 dirinya masih terjebak di perempatan yang berjarak 3 km dari rumahnya.

Ponselnya tak ada henti bergentar menunjukan notifikasi baik pesan maupun telepon dari kedua orang tua.

Iban? Ia tidak memberi kabar sama sekali. Bahkan untuk sekedar bertanya keberadaannya saja, Iban sama sekali tak penasaran akan dirinya.

Ia pun menghela napasnya.

Masalahnya dengan Iban yang tiba-tiba pergi ke Dieng selama tiga hari tanpa memberitahunya, cukup membuat dirinya merasakan rasa kesal terhadap kekasihnya.

Untuk pertama kalinya dalam hubungan ini, Ia merasakan bahwa dirinya sedang dipermainkan.

Di saat dirinya hanya ingin pergi ke pusat perbelanjaan harus bersama Iban, tapi Iban malah melakukan yang sebaliknya.

Aja tahu bahwa yang ke Dieng hanyalah teman kelasnya Iban, toh Aja juga tidak akan diperbolehkan oleh kedua orang tuanya. Namun apa susahnya jika berkabar terlebih dahulu? Ia tak akan melarang pacarnya untuk pergi bersama teman-temannya.

Ia merasa dibohongi.

“Aja, itu Iban bukan sih?”

Namun, rindu untuk sang pacar pasti akan selalu ada.

Iban benar-benar datang menunggunya pulang.

Kedua matanya tak bisa berbohong, tak bertemu dengan kekasih selama hampir satu minggu benar-benar membuatnya gila. Rasanya Ia ingin segera lompat dari mobil sedan ini dan segera memeluk Iban.

Namun, dirinya kembali tersadar, bahwa...

“Inget Ja, lu harus marah ke dia, seenaknya dia ga pernah ngasih kabar, tapi kalau lu ga ngasih kabar dia malah ngomel”

Iya, Iban yang salah. Yang harusnya senang bertemu bukanlah Aja melainkan Iban.

“Hey.”

Panggilan dari lelaki dengan kaos hitam dan celana pendeknya itu sengaja dihiraukan oleh Aja.

Iban yang salah.

“Mau ngobrol sebentar ga?” “Udah lewat jam 10, aku harus pulang, ga boleh di luar lagi.”

Peraturan tetaplah peraturan. Selagi Aja masih tinggal di rumah bersama kedua orang tuanya, maka Aja harus melakukan peraturan yang dibuat orang tuanya. Setidaknya begitu kata Buna dan Papa.

Iban mengangguk, Ia tahu bahwa kekasihnya tak pernah diperbolehkan keluar rumah lebih dari jam 10, bahkan di malam minggu pun.

“Mau nakal sehari ga ja?” Spontanitas ide buruk ini langsung keluar tanpa ada pikir panjang, yang berhasil mendapatkan tatapan mau dari lelaki mungil yang bahkan tangannya lebih kecil daripada kunci pagar, “Oh ga mau yaa? Okee deh.”

“Tangan lu kecil amat dah Ja, gedean kunci pagernya.”

Aja pun menghentikan aktivitasnya, mendengar hinaan seperti itu? di saat dirinya tengah menahan rasa kesal? dan rindu juga tentunya.

Ia mengharapkan permintaan maaf, Ia mengharapkan sebuah pelukan, Ia mengharapkan sebuah kata-kata romantis yang menyenangkan.

Bukan hinaan bahwa dia itu kecil!

Lantas Aja membuka kepalan tangannya dan Ia hadapkan di depan wajah kekasihnya, “LIHAT TANGAN AKU! INI GEDEEE! MATA KAMU AJA YANG RUSAK BILANG INI KECIL. KAN KAMU SILINDER.”

Aja berteriak, tapi tak terlalu kencang. Dirinya sudah kepalang kesal dengan gemini di hadapannya ini. Rindu yang tadi memuncak kini sudah berganti dengan rasa kesal.

Alih-alih merasa takut, Iban malah tersenyum. Kekasih di depannya sungguh lucu, kecil, gemas, lucu sekali, kecil terus gemas banget.

Iban menautkan jarinya di sela-sela jari tangan Aja yang ada di hadapan mukanya. Ia genggam erat dan menurunkannya ke bawah.

“Pas kok waktu gue gandeng, Ja.”

Aja mematung, sungguh mau sekesal apapun dengan Iban, Ia benar-benar tidak kuat menahan kejahilan Iban.

“Ga usah pegang-pegang tanganku.”

Aja berusaha melepaskan tautan mereka. Ia akan tetap teguh pada pendiriannya bahwa Ia akan tetap kesal pada Iban.

“Mending gue pegang apa gue peluk?”

Tuh kan... Iban selalu jago untuk menjadi orang paling menyebalkan satu negara Indonesia.

“Yaudah pegang aja tangan aku.” “Nah anak pintar.” “Yaudah sekarang mau ngapain?” “Pegang dua tangan boleh?” “Gamau.” “Energi gue belum cukup Ja, kalau cuma satu tangan doang.” “Ih yaudah nih, kamu kaya anak kecil tau ga?! banyak mau!”

Satu menit sudah berlalu semenjak kedua adam itu berhadapan dengan kedua tangannya yang bertautan.

Seperti orang gila, memang. Namun, si pemilik acara tak kunjung mengeluarkan sepatah kata.

“Ini mau ngapain??? kita gandengan tangan gini udah semenit, kaya orang aneh tauuu!!!”

“Tai lah, kayanya gue ga bisa.”

“Ga bi—” kalimatnya terpotong sebab badannya ditarik paksa oleh pemuda di hadapannya. Ia ditarik hingga tubuhnya jatuh ke dalam pelukan kekasihnya, “Iban kan janjinya pegangan tangan aja, ga pelukan.”

“Gue ga bisa ngomong ini selagi hadapan dengan lu.”

“Aneh sekali, emang kamu mau ngomong apa Iban?”

Aja merasakan kedua tangan Iban yang melingkari pinggangnya semakin kencang, tubuhnya dibawa semakin mendekap pada tubuh sang kekasih.

“Gue ngerasa gue jahat banget sama lu. Kalau lu mau tau alasannya gue ga ngabarin lu karena hp gue mati dan ga ngabarin ke Dieng karena itu gue langsung ditarik sama Ipay, bahkan untuk siap-siap packing aja gue ga bisa. Intinya gue salah ga ngabarin lu, ga bilang ke lu kalau mau pergi jauh.”

“Selagi lu pergi ke Bandung tanpa bilang gue, gue ngerasa bahwa gue bukan prioritas lu dan kesal, mungkin lu merasakan hal yang sama. Makanya gue mau bilang bahwa, You are my number one, Ja. Gue sayang lu.”

“Gue minta maaf yaa, sayang?”

Sayang.

Hanya ada dua kondisi di mana Iban akan mengucapkan kata itu. Satu, saat dirinya menginginkan sesuatu dan yang terakhir adalaah saat dirinya meminta maaf.

“Coba on bended knee dulu.”

“Anjing lu.”

Laravel

Valentine Day is ours.

Kalimat itu lah yang selalu gue ucapkan dalam diam sejak gue melihat Khailil dengan kendaraan beroda duanya di parkiran motor fakultas ilmu komputer. Gue ga bisa menyembunyikan bahagia gue saat melihat kekasih gue itu kini sudah merentangkan tangannya, meminta pelukan, untungnya parkiran ini tak begitu ramai, sehingga tak ada rasa malu yang bisa gue rasakan.

“You did well, baby.”

Khailil tahu bahwa hari Rabu adalah hari sial gue, karena kelas database.

Gue sangat benci dengan yang namanya database.

Tubuh gue selalu menyukai bagaimana nyamannya dekapan Khailil. Bagaimana Khailil selalu tahu di mana Ia meletakan kedua tangannya dengan satu tangan yang menepuk-nepuk kepala gue dan satu tangannya lagi sudah nyaman melingkari belakang tubuh gue.

“Babe, do you know how long has he been staring at us?” “Siapa?” “Satpam.”

Dengan spontan gue mendorong tubuh Khailil menjauh. Sungguh rasanya sangat malu karena sudah hampir lima menit Ia mendusel di tengkuk Khailil, dan semua kegiatannya itu dilihat oleh orang?

I hate Khailil for doing this.

“Let's go for our valentine agendas.”

Right, today's valentine.

Sudah tiga kali gue merayakan hari kasih sayang ini bersama Khailil, dan akan seterusnya. Namun yang membuat tahun ini berbeda adalah, kita tidak lagi jalan berdua keluar. We have our private house, apartment Khailil.

Dua tahun bertemu dengan hari Valentine, yang gue lakuin bersama Khailil hanya jalan keluar hingga pukul sebelas malam. Menghabiskan malam sehabis sekolah mengelilingi Kota Bandung yang diakhiri di Alun-Alun Bandung.

Alasannya tentu sudah jelas, we were highschoolers, yang masih tinggal bersama orang tua strict dengan aturan sebelum jam dua belas malam harus sudah sampai rumah.

Pernahkah gue bilang kalau gue dan Khailil, both of us were the top students? We were, untuk membantah orang tua saja sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri.

Namun, sekarang semuanya begitu berbeda. Sesampainya kita di Ibukota ini, Khailil dan gue benar-benar berbeda, bahkan gaya pacaran pun berubah.

“Kebawa arus Jakarta.”

Seperti itulah alasannya setiap gue bertanya mengenai alasan dia selalu memohon untuk tidur dengan sebuah pelukan gue.

Dan iya, I love what we are now, gue suka bagaimana Khailil selalu menyentuh gue, gue suka bagaimana Khailil selalu mencumbu gue.

A solid reason why, I'm still falling in love with him.

Khailil yang dulu pasti sekarang sudah memesan cimol di pinggir jalan bukan bertelanjang dada dan menyeburkan dirinya ke dalam kolam renang sekarang.

Tak ada niatan gue untuk menyeburkan diri gue, karena ingat dengan pembahasan jarak tiga meter di roomchat kita. Jadi gue memutuskan untuk hanya menaruh kaki berendam di kolam ini dengan gue yang duduk di atas sisi yang berlawanan dengan Khailil sekarang.

Gue meneguk satu tegukan vodka langsung dari botolnya, minuman keras yang sudah menjadi stok bulanan manusia di hadapan gue ini.

“Oh my god, you are driving me crazy, Laravel.”

Ucapan Khailil berhasil mendapat atensi gue, dengan jarak kurang lebih tiga meter, gue dapat melihat paras tampan Khailil di malam hari

Khailil menatap gue bak gue adalah satu-satunya objek indah di depannya, tak berkedip, padahal rembulan di belakang gue sedang cantik-cantiknya.

“Ga usah diminum lagi, besok lu kelas, jangan nambah masalah.”

Langgaran ada untun dilanggar, begitulah kata orang-orang nakal. Tak peduli dengan ucapan perintah Khailil, dua tenggukan kembali gue minum.

Bukan karena gue ga tau dengan Khailil, tapi The sexiest part of me is once i got drunk, Khailil said that.

“Do you know how much I love you, Khailil?”

Ah, that part of me is about to show.

“Do you know that I don't us to fight, every time we argued, yang aku pikirin cuma, is it right? is this worth it to stand on our argument? ga ada sekali dua kali aku nangisin kita, setiap kita ada masalah, all i did is crying, I fucking hate you, Nicholas Khailil.”

“You drunk, Laravel.”

Am I? I am, indeed. We both know that I have low tolerance for alcohol.

“I hate you, Khailil. I do.”

Gue tahu bagaimana bentuk dari wajah gue sekarang, mata layu, kedua pipi yang sudah memerah, mulut yang basa akibat alkohol yang gue minum, gue benar-benar terlihat payah sekarang.

Dan gue udah ga peduli lagi, jika dengan keadaan gue seperti ini, Khailil lebih memilih untuk menatap dalam bulan purnama yang sedang indah-indahnya ditambah dengan tebaran bintang-bintang, membuat malam ini memiliki langit gelap yang sangat cantik.

Mata gue sudah tidak fokus, tak dapat melihat sosok Khailil di depan gue, tapi tiba-tiba sesuatu menyentuh paha gue.

Khailil dengan semua tubuhn basahnya menarik gue, tanpa aba-aba, ke dalam kolam ini. Sedangkan gue yang langsung tersadar berhasil mengikat kaki gue pada pinggang Khailil, serta kedua tangan gue yang berhasil melingkari lehernya.

Semua berat tubuh gue, gue serahkan kepada Khailil, dengan kedua tangan Khailil yang berada di pinggul gue.

Ah melihat wajah Khailil dengan jarak lima jari menyadarkan gue bahwa, I have Khailil and that's enough.

My life couldn't be more greater because I already had the greatest man and he is mine.

Nicholas Khailil, his face, his brain, his body, his smell, his touchs, all of them are for me is all I could ask for.

And this is the best life ever.

“So you do hate me.” mendegar tutuan Khailil membuat spontanitas gue untuk menggeleng, it's not true. because I love him so fucking much.

“I love you.” and I said it.

“You should've said that at the first, sweetheart.”

Yes, this is what I'm talking about. Kissing while the moon is watching.

He kiss me gently, too sweet to handle.

I love the way he bite my lips and—Nicholas Khailil is a good kisser.

Oh my god, I'm going insane.

“I love you too, sayang, more than you know.”

he whispered while I am getting goosebumps knowing that he was born to be hot..

Nicholas Khailil

Perihal mengurangi kerenggangan hubungan gue dah Laravel adalah benar adanya.

I'd do anything to make him stay with me.

Sedikit kecewa ketika mendengar opini dari teman-teman gue perihal hubungan gue dan Laravel. Mereka hanya mengatakan bahwa hubungan kita sudah tak sehat lagi, ada juga yang bilang bahwa berpisah adalah salah satu caranya.

Namun, gue selalu menolak.

Menolak fakta setiap pertemuan akan ada perpisahan. Menolak fakta bahwa tahap tertinggi dalam mencinta adalah mengikhlaskan.

Tidak, gue bukan tipe orang yang seperti itu.

If I love him, I would fuck up what they called it fate.

Gue ga tau apa yang akan gue omongin nanti ketika sudah bertemu Laravel. Pikiran gue bercabik-cabik saat petinggi organisasi gue dengan jelas mendeklarasikan akan membuat Laravel bertekuk lutut pada tawaran ini.

Laravel benar-benar orang yang paling gue percaya selama hidup gue, sebab kita sudah kerja bareng sejak menduduki sekolah menengah keatas. Dari satu tim di olimpiade matematika hingga satu tim sebagai tim danusan di acara SMA.

November 2023, that month still haunt me like i'm one and only its prey.

Bulan di mana gue sama Laravel tak ada bertukar kabar selama hampir sebulan adanya, di mana gue dan Laravel sama-sama dirawat karena kecapean. Waktu di mana Laravel di sidang sendirian menghadapi para kaka tingkat pengurus BEM. Di mana gue memberontak ke atasan perihal rumor yang disebabkan.

Sejak saat itu gue sadar bahwa gue ga akan bisa hidup normal tanpa adanya sosok yang selalu membawa kehangatan di hidup gue.

Laravel.

Sejak saat itu juga gue terlalu takut untuk membahas semua masalah kita.

Seperti sekarang, gue melihat Laravel tengah bermain dengan podnya, menunggu gue sendirian di meja paling pojok. Sedangkan gue hanya berdiam diri dan bersembunyi di balik mobil karena takut untuk mendengar omongan yang keluar dari mulutnya.

Banyak rasa kecewa yang gue kubur saat mendengar Laravel selalu menolak tawaran gue, di saat dia lah orang satu-satunya yang gue butuhkan. Serta, mendengar Laravel selalu menjelek-jelekan BEM di depan gue tanpa dia tahu bahwa kalau Laravel tidak ada, BEM adalah tempat gue pulang. Namun, kecewa gue terhadap BEM perihal menjelek-jelekan Laravel tentu menjadi mayoritas di hidup gue.

Gue memberanikan diri gue untuk menghampiri Laravel, dengan bekal pelindung diri yang gue pasang tebal-tebal, karena gue yakin bahwa saat sampai di sana Laravel akan kembali menjelekkan organisasi gue.

“Lu tau ga kenapa gue sebenci itu sama BEM?”

Gue mengangguk, ga ada orang yang ga tau masalah ini. Lagipula, Laravel tak pernah absen untuk menghina BEM di depan gue.

“Lu juga tau kan gue selalu kepikiran apa yang orang lain pikir ke gue?”

Anggukan kedua kembali gue keluarkan, gue tahu semua. Tak ada satupun hal dari Laravel yang tidak gue ketahui.

“Good, jadi tolong jangan lagi ya?”

Hal yang paling gue benci dengan diri gue sendiri adalah gue selalu kalah setiap berhadapan dengan Laravel. Gue selalu mengalah jika mengenai Laravel, gue selalu mengiyakan apa yang Laravel inginkan.

Karena, Laravel bahagia.

“Iyaaaa sayaaang, gue minta maaf yaa? kalau maksa lu terus. I didn't know kalau Bianca yang bakal approach lu, which is sebelumnya gue bilang ke Bianca kalau gue akan bujuk lu terlebih dahulu.”

Laravel tersenyum manis, inilah yang selalu menjadi tujuan dari gue. Membuat Laravel tersenyum dan merasa dicinta.

“Cool, sini duduk sebelah gue, jangan hadap-hadapan. I know you want to hug me so bad.”

Laravel always knows me.

Laravel

“Ini udah fix kita akan conduct di tanggal 2 Maret 2024, yaitu di hari Sabtu. Di rundown gue udah set di mulai di pukul 12 siang, mungkin masih bisa diubah karena ini cuma rundown kasarnya. Selesai di jam 3 sore, dan kita akan mencar ke beberapa titik kemacetan yang udah EO pilih. Di sana kita dan anak-anak menjualkan hasil kreasi yang kita bikin selama acara. Ada yang ingin ditanyakan selagi gue belum geser ke general timeline?”

Gue memindai dari ujung ke ujung ruangan ini menanti ada yang menangkat tanganya. Kesenangan gue langsung sirna saat melihat bang Satria, salah satu supervisor, mengangkat tangannya.

Gue dapat melihat cornell di depan sana yang sedang berkutik dengan presentasi rundownnya kini sudah bergetar.

“Kalian udah tau ada rencana mau bikin apa? gimana kalau barangnya ga habis? dan mereka masih di bawah umur tapi kalian nyuruh mereka jualan di lampu merah gitu?”

Dengan keadaan Cornell, sebagai PIC, yang sendirian di depan sana, sedangkan gue dan Bianca tengah duduk santai di bangku bersama panitia lainnya, membuat banyak dari kita langsung terdiam saat ketua BEM Fasilkom ini mengeluarkan pertanyaannya.

Gue sendiri sudah lupa dengan pertanyaannya karena sangat banyak dan buru-buru itu.

“Mungkin member EO yang lain bisa bantu jawab PIC nya?”

Oh shit.

Kini supervisor yang lainnya, Mawar, ikut mengeluarkan suaranya, atau hanya memanaskan saja? entahlah gue sudah keburu benci melihat Mawar.

Dan semua atensi panitia mengarah ke gue dan Bianca, oh this is crazy. Gue menatap Bianca memberi kode agar dia lah yang menjawab pertanyaan tersebut, tapi apalah dibuat saat Bianca sendiri juga menunggu gue untuk menjawab.

“Untuk rencana bikinnya, kita lagi diskusi dengan LO dan kepala desa untuk tau barang bekas apa yang biasa dibuang oleh masyarakat sekitar sana, nanti ini gue jelasin lebih lanjut waktu gue jelasin tentang timeline dua minggu ke depan. Nah tentunya kita ga akan bikin barang yang sama, mungkin beda-beda. Masalah barangnya ga habis, dari data yang gue dapat adalah ada sekitar 30 anak yang bisa ikut acara kita, yang mana kita hanya jual 30 barang dan di bagi ke 5 titik. Satu titik berarti dijual 6 barang, yang mana satu titik kemungkinan akan diisi oleh 10 panitia. I think menjual 6 barang isn't that hard kalau di jual oleh 10 orang. Dan perihal minor, mereka di sana emang selalu bekerja di titik kemacetan sehabis sekolah. Jadi di sini kita tidak menyuruh, tapi kita membantu hal yang mereka selalu lakukan. Apakah sudah terjawab Bang Satria?”

Gue kembali terduduk saat mendapatkan anggukan dari Bang Satria, seketika semua atensi yang awalnya menumpuk di gue kini sudah perlahan menghilang. Sungguh menghabiskan banyak energi saat berada di lingkungan ini, padahal saat rapat HIMA biasa saja.

Memang sudah sebenci itu gue dengan per-BEM-an ini.

“Oke selanjutnya EO akan menjelaskan timeline yang akan dijelaskan oleh Laravel.”

Baru juga gue menetralkan napas gue kini sudah disuruh maju oleh Cornell. Mengapa bukan Bianca? Karena Bianca yang akan menjelaskan tentang tagline dan gerakannya. Namun perlu gue ingatkan lagi, bahwa ini adalah lingkungan BEM dan gue yang akan berbicara di depan tiga puluh anak BEM di ruangan ini.

Bisa gila gue.

Masalah public speaking tentu masalah mudah untuk gue, dan hal itu lah yang dapat membuat gue lolos dalam seleksi ambassador kampus. Namun public speaking di lingkungan yang gue benci? oh God. Bisa-bisa anxiety gue kambuh di sini.

“Oke, mungkin di minggu kedua Februari ini karena konsep dan venue udah fix, mungkin Logistik dan FnB udah bisa mulai cari-cari barang. Di tanggal 19 LO diharapkan udah dapat data yang gue minta perihal sampah yang ga dibutuhkan di sana. Kalau kita udah dapat data itu, gue minta tolong ke kalian semua, terutama logistik untuk bantuin EO kumpulin sampah-sampah yang ada di sana, kita akan pergi di tanggal 26. Untuk PDD, gue mau minta tolong design ppt harus udah jadi di tanggal 26, begitu juga dengan script MC untuk PR. Di tanggal 28 ada big meeting ketiga, dan tanggal 1 Maret ada dry run untuk MC— MCs, Are you listening?”

Pidato gue yang sangat panjang itu terhenti, dengan penekanan di akhir, saat melihat salah satu MC tengah bermain dengan ponselnya, Nicholas Khailil, gue yakin dengan seluruh nyawa gue manusia itu tengah bermain Mobile Legends.

“Aman gue, Vel.” jawab Yuka, yang mana bukan dia yang gue tuju, tapi makhluk hidup di sebelahnya itu.

Walaupun tanpa volume, gue yakin sekarang saatnya Khailil tengah berhadapan dengan musuh, sebab kedua alisnya kini mengerut dan jari-jarinya tak bisa diam.

“Nicholas Khailil.”

“Oh fuck, dikit lagi maniac—eh iya kenapa sayang?”

Nicholas Khailil

Perihal mengurangi kerenggangan hubungan gue dah Laravel adalah benar adanya.

I'd do anything to make him stay with me.

Sedikit kecewa ketika mendengar opini dari teman-teman gue perihal hubungan gue dan Laravel. Mereka hanya mengatakan bahwa hubungan kita sudah tak sehat lagi, ada juga yang bilang bahwa berpisah adalah salah satu caranya.

Namun, gue selalu menolak.

Menolak fakta setiap pertemuan akan ada perpisahan. Menolak fakta bahwa tahap tertinggi dalam mencinta adalah mengikhlaskan.

Tidak, gue bukan tipe orang yang seperti itu.

If I love him, I would fuck up what they called it fate.

Gue ga tau apa yang akan gue omongin nanti ketika sudah bertemu Laravel. Pikiran gue bercabik-cabik saat petinggi organisasi gue dengan jelas mendeklarasikan akan membuat Laravel bertekuk lutut pada tawaran ini.

Laravel benar-benar orang yang paling gue percaya selama hidup gue, sebab kita sudah kerja bareng sejak menduduki sekolah dasar. Dari satu tim di olimpiade matematika hingga satu tim sebagai tim danusan di acara SMA.

November 2023, that month still haunt me like i'm one and only its prey.

Bulan di mana gue sama Laravel tak ada bertukar kabar selama hampir sebulan adanya, di mana gue dan Laravel sama-sama dirawat karena kecapean. Waktu di mana Laravel di sidang sendirian menghadapi para kaka tingkat pengurus BEM. Di mana gue memberontak ke atasan perihal rumor yang disebabkan.

Sejak saat itu gue sadar bahwa gue ga akan bisa hidup normal tanpa adanya sosok yang selalu membawa kehangatan di hidup gue.

Laravel.

Sejak saat itu juga gue terlalu takut untuk membahas semua masalah kita.

Seperti sekarang, gue melihat Laravel tengah bermain dengan podnya, menunggu gue sendirian di meja paling pojok. Sedangkan gue hanya berdiam diri dan bersembunyi di balik mobil karena takut untuk mendengar omongan yang keluar dari mulutnya.

Banyak rasa kecewa yang gue kubur saat mendengar Laravel selalu menolak tawaran gue, di saat dia lah orang satu-satunya yang gue butuhkan. Serta, mendengar Laravel selalu menjelek-jelekan BEM di depan gue tanpa dia tahu bahwa kalau Laravel tidak ada, BEM adalah tempat gue pulang. Namun, kecewa gue terhadap BEM perihal menjelek-jelekan Laravel tentu menjadi mayoritas di hidup gue.

Gue memberanikan diri gue untuk menghampiri Laravel, dengan bekal pelindung diri yang gue pasang tebal-tebal, karena gue yakin bahwa saat sampai di sana Laravel akan kembali menjelakan organisasi gue.

“Lu tau ga kenapa gue sebenci itu sama BEM?”

Gue mengangguk, ga ada orang yang ga tau masalah ini. Lagipula, Laravel tak pernah absen untuk menghina BEM di depan gue.

“Lu juga tau kan gue selalu kepikiran apa yang orang lain pikir ke gue?”

Anggukan kedua kembali gue keluarkan, gue tahu semua. Tak ada satupun hal dari Laravel yang tidak gue ketahui.

“Good, jadi tolong jangan lagi ya?”

Hal yang paling gue benci dengan diri gue sendiri adalah gue selalu kalah setiap berhadapan dengan Laravel. Gue selalu mengalah jika mengenai Laravel, gue selalu mengiyakan apa yang Laravel inginkan.

Karena, Laravel bahagia.

“Iyaaaa sayaaang, gue minta maaf yaa? kalau maksa lu terus. I didn't know kalau Bianca yang bakal approach lu, which is sebelumnya gue bilang ke Bianca kalau gue akan bujuk lu terlebih dahulu.”

Laravel tersenyum manis, inilah yang selalu menjadi tujuan dari gue. Membuat Laravel tersenyum dan merasa dicinta.

“Cool, sini duduk sebelah gue, jangan hadap-hadapan. I know you want to hug me so bad.”

Laravel always knows me.