cappucinooh

Laravel

Nicholas Khailil was born to be Public Relation.

Satu kalimat mutlak yang ga ada bisa menolaknya. Sudah pernah mencoba berbagai macam sub divisi dari Hubungan Masyarakat ini. Sponsorship?pernah. Liasion Officer? Langganan. Extenal? Sudah juga. Internal? Selalu jadi Master of Ceremony.

Beda dengan gue yang selalu berkutik dengan spreadsheet berisik rundown, tema, dan konsep itu. Khailil selalu berkutik dengan script MC ataupun MOU.

Khailil sangat berbakat dalam menggaet orang tenggelam dalam kharismanya. Gue salah satu korbannya, yang akan selalu tenggelam saat Khailil dengan berdiskusi dengan pihak external mengenai perjanjian dan keuntungan kedua belah pihak.

Bagaimana Khailil selalu mengakhiri percakapannya dengan senyuman walaupun pihak kedua selalu mengeluarkan keberatannya. Bagaimana Khailil selalu menaruh kedua tangannya di depan tubuhnya. Bagaimana Khailil bersalaman dengan pihak kedua ketika sudah setuju mengenai perjanjian.

Seperti sekarang gue terdiam mematung melihat kekasih gue tengah sibuk berdiskusi dengan ketua kampung ini. Lagi-lagi gue tenggelam dalam kelihaiannya.

“Benar sekali, Pak. Untuk perihal konsep acara kita akan coba diskusikan dengan panitia yang lain. Namun karena kunjungan saya kali ini kurang formal dan hanya bersifat menawarkan. Mungkin saya ingin meminta kontak bapak yang bisa panitia saya hubungi agar lebih formal dan bisa berdiskusi lebih lanjut untuk tanggal, waktu, konsep dan keuntungan kedua belah pihak.”

Ugh... memang sekalinya jatuh cinta pada anak humas, tak akan ada jalan keluar.

Bosan mulai melanda gue memutuskan untuk bermain dengan Sasa, Dimas, dan anak-anak yang lainnya.

“Ka Avel kenapa kaka ranknya jelek sekali?” ucap salah satu temannya Dimas, Andika namanya. Memang sengaja gue pinjemin ponsel gue karena anak kecil kalau sudah bertemu orang dewasa ya pasti meminjam hp mereka, alasannya pasti ya untuk main Mobile Legends.

“Eh! Andika kamu tuh kalau udah dipinjemin hp ya terima kasih! Lagian Ka Avel ga ada waktu buat main terus, dia belajar terus. Makanya kamu belajar terus juga biar bisa keren kaya Ka Avel, punya banyak duit abis itu beli hp kamu sendiri.”

Gue tertawa waktu mendengar omelan Dimas, benar-benar seperti Ibu yang tengah memarahi anaknya. Mereka walaupua berada dalam desa yang terlihat sangat kurang dalam segi sumber daya dan infrastruktur. Mereka masih disekolahkan oleh ketua desa ini, walaupun beberapa dari mereka masih harus bekerja di bawah umur.

“Ka Avel masih sering berantem ga sama aa'?”

Pertanyaan yang keluar dari mulut Sasa membuat gue dan Dimas, yang anak paling dekat dengan gue, menatap Sasa kebingungan.

“Eh? Ka Avel sama Ka Khai sering berantem kahh? Sampai tonjok-tonjokan tidak?” Kepolosan bocah yang duduk di tingkat 5 SD ini berhasil mendapat toyoran dari Sasa, yang sudah duduk di kursi 2 SMP.

“Aa' aku ga jahat yaa!” “Aku kan cuma bertanya Sasa! Kamu jangan gebuk kepala aku dong! Kasar banget jadi perempuan, untung aku suka.” “Ewh geliiiiiiiiii.”

Khailil menghampiri selagi gue tertawa melihat Sasa dan Dimas yang tengah berkelahi gemas. Ia menggendong Andika, yang tengah duduk di samping gue, agar sedikit memberi ruang di samping gue.

Khailil memang wajib harus duduk di samping gue biar bisa sentuh gue, katanya sih gitu.

Dan 'katanya' itu benar, buktinya tangannya kini sudah bergerilya di lengan gue.

“Nih mumpung Aa' di sini, kalian tuh jangan berantem terus.” “Iya bener, kalau berantem tonjok-tonjokan ajaa. Kalian kan lelaki.” “Apaaann sih Dimas! kamu berantem mulu ya di sekolah! Sok Jagoan banget.”

Ocehan antara Sasa dan Dimas benar-benar membuat Khailil ikut tertawa. Sungguh bermain bersama anak kecil benar-benar membuat kebahagian gue dan Khailil memuncak.

Gue dan Khailil memang sama-sama suka anak kecil, hal ini juga yang sempat membuat kita berdua dekat dahulu.

“Ga boleh atuh tonjok-tonjokan, Dimas. Nanti kalau luka kan udah ga ganteng lagi.” ucap Khailil dengan suara lembutnya, Ah Khailil memang benar-benar berwibawa ketika tengah berbicara dengan anak kecil.

“Yaudah kalau gitu kenapa berantem terus? buang-buang energi tau Ka kalau berantem ga tonjok-tonjokan.” “Bener, awas aja yaa aku lihat Ka Avel pasang sw galau lagi.”

No...—dan itulah gongnya. Khailil ga tau kalau gue sering pasang status whatsapp galau, Khailil ga tau kalau banyak orang yang tahu hubungan gue dan Khailil sedang tidak baik-baik saja berkat status whatsapp gue.

Karena Khailil, gue sembunyikan.

Laravel

Gue tahu kalau gue bersikap alay banget sekarang, hanya karena tidak mau jalan sekitar 700 meter saja gue udah bisa mengubah atmosfer di dalam mobil ini.

Alasannya gue tidak suka jalan kaki karena di dalam gang kecil itu ada tanjakan yang benar-benar curam, alias memakan banyak tenaga untuk mendakinya.

Salah satu caranya gue untuk menyamankan diri dengan kediaman, yang salah satu dari kita tak ada niat untuk menghancurkan, adalah dengan cara memainkan ponsel.

Ada sekelibat dalam pikiran gue untuk menyalakan live instagram dari akun gue, karena gue sangat-sangat perlu diajak ngomong sekarang. Namun yang ada, lelaki yang sedari tadi sibuk menaruh tangannya di paha gue pasti akan keluar khodamnya.

'I don't like you talk to others while you're here being with me, you know it well, Laravel.'

Seperti itulah yang pasti akan keluar dari mulut Khailil kalau gue menyalakan fitur live instagram ini.

Khailil itu ga suka kemacetan, tapi terpaksa harus melewati ini untuk menjemput sang adik, sasa, yang berada di Rawamangun.

“Fuck off.”

Kalimat pertama yang gue dengar sejak kita berdua memasuki kendaraan roda empat ini.

Gue menatap sekeliling dan benar adanya bahwa kita tengah terjebak karena faktor pulang kerja dan berdasarkan google maps ada perbaikan jalan di depan.

Khailil sekarang sudah seperti bom yang hanya menunggu waktu untuk meledak. Gue yang sedang tidak mood dan jalanan Jakarta Timur yang macetnya benar-benar kurang ajar.

Khailil benar-benar pusing sekarang.

Gue ingin membuka suara menyuruhnya sabar, tapi itu bukan kata bijak yang bisa gue keluarkan sekarang.

“Maaf.” dan yaa, kata maaf lah yang berhasil keluar dari mulut gue.

Khailil menatap gue sangat dalam, Ia tersenyum manis sembari mengeluh lembut pipi gue, “Not your fault, baby.”

Satu hal yang bikin gue sangat nyaman bersama Khailil adalah walaupun gue salah dan gue mengakuinya, dia akan bilang bahwa semuanya bukan salah gue.

Apapun sikap mengesalkan gue, ketika gue meminta maaf, Khailil akan bilang bahwa gue ga salah.

Waktu Bunda-Ayahnya bercerai dan gue lebih milih untuk melakukan tanggung jawab gue sebagai Ambassador dari kampus gue, membuat hubungan kita tidak baik-baik saja selama tiga hari. Sampai di mana gue mengucapkan maaf gue dan respon dia hanya 'Gapapa sayang, emang waktunya ga tepat aja.'

Sedangkan saat dia yang berbuat salah, gue benar-benar sangat membutuhkan maaf dia. Namun dia tak pernah ingin membuat gue berada di sisi yang salah.

Gue membawa tangan Khailil yang sibuk mengelus paha gue untuk gue genggam. Sedikit gue kasih kecupan tiga kali pada tangan kiri Khailil, yang berhasil mendapat atensi si pemilik tangan.

“I love you the most.”

Gue ga bohong waktu gue bilang itu. Gue benar-benar menyayangi Khailil sampai di mana gue memutuskan bahwa Khailil adalah satu-satunya orang yang bisa membuat gue sempurna.

“Aw that's sweet, sweetheart.”

Nicholas Khailil

Pikiran gue kini sangat-sangat bercabang kalau sudah membahas tentang CODE atau Competition and Development Exhibition. Di mulai dari Supervisor yang maunya buru-buru minta dibuat panitia sekarang dan pacar gue yang sangat-sangat membenci organisasi yang gue sayang ini.

Kalau disuruh list prioritas tentu Laravel lah yang menjadi pemegang utama di hidup gue. Namun pertanyaannya, pernah ga gue meninggalkan Avel karena BEM? tentu pernah.

Toh Laravel juga pernah ninggalin gue demi HIMA dan Ambassnya itu.

Dia ga pernah marah kalau gue lebih milih BEM karena kalau dia marah gue akan membawa masalah lalu yang dia lakuin waktu lebih milih Ambassnya daripada gue yang lagi sedih perihal percerain bunda-ayah.

Semenjak kejadian itu, Laravel benar-benar ga akan marah kalau gue tinggal karena urusan BEM.

Apa pernah gue ninggalin BEM untun Laravel? tentu. Hal itu lah yang membuat semua kaka tingkat di BEM membenci Laravel, yang mana itu juga membuat Laravel membenci BEM itu sendiri.

Itulah mengapa gue rada takut untuk menarik Laravel ke event gue sendiri. Dia benar-benar sangat professional, which is hot, tapi tolong lah... pacarnya lagi butuh bantuan.

“Cepetan katanya mau masakin gue.”

Laravel itu sangat suka sama masakan Bunda, Avel jarang memakan masakan rumah, cuma karena Bunda di Bandung dan kita di Jakarta. Jarak ini yang buat gue gila waktu itu.

Dia benar-benar tidak ingin pindah ke Jakarta karena masakan Bunda. Akhirnya gue memutar otak gue untuk membahagiakan Laravel, sesuai visi misi hidup gue.

Gue belajar masak dari Bunda.

Sebelum tahun ajaran di mulai, ada sekitar satu bulan gue untuk belajar dari Bunda cara masak opor, sop, dan masakan lainnya.

“Sabar cantiiik, istirahat dulu gue, habis jualan risol kan. Sini tidur samping gue.”

Danusan risol yang gue bantu cukup memberi banyak impact untuk event sospro ini. Sedikit gue kasih bocoran bahwa gue menggunakan skill buaya gue untuk menggoda banyak pembeli, yang mana hal ini sangat tidak boleh diketahui Laravel.

Bisa berantem lagi yang ada.

Toh, yang beli juga ga akan baper karena hampir semua mahasiswa fasilkom tahu bahwa gue udah punya pemiliknya.

'Khai mah bucin mampus sama Avel.'

Begitulah rumor yang beredar di dunia fasilkom ini. Lagipula rumornya itu benar, sempat gue tipes tiga hari karena berantem dengan Laravel, tonjok-tonjokan dengan ketua HIMA karena Laravel juga pernah, sempat pula gue menyentuh minuman keras untuk pertama kali dan terakhir kalinya, mungkin, karena Laravel.

Semuanya karena Laravel.

“Pintarnya pacarku jualan risolnyaaa.”

Laravel memuji gue setelah dia tidur di pelukan gue. Dia mencubiti pipi gue gemas, tapi sakit. Gue hanya tersenyum manis sewaktu mendengar pujian darinya. Tentu tangan gue ga bisa diam. Lagi-lagi gue bilang kalau gue selalu menyentuh dan mengusap kulit Larevel.

Iya tangan gue kembali mengusap perut Lareval dari balik kaos yang dipakainya.

Gue benar-benar menyukai kulit lembut Laravel, benar-benar senyaman itu untuk diusap.

Berkali-kali gue kecupin pipi gembulnya saat dia tengah menyibukan diri bermain dengan fyp tiktoknya.

“Masakin gue ini dong shrimp garlic gitu.”

Pandangan mata gue yang awalnha fokus pada bulu mata lebat Laravel kini terpaksa harus menonton video masakan yang muncul di ponselnya.

“Yang bener aja sayang, gue cuma les masak satu bulan doang ya, itu juga cuma opor kalau ga sop, ga usah banyak minta.”

“Lu tontonin videonya terus ikutin ajaa, ini bisa kok, tuh di video gampang. Please, aku pengen udang....”

Gue mengambil alih ponsel Laravel agar bisa gue tonton dan resapi tata cara memasak olahan udang yang—astaga bahkan penyebutannya sangat susah.

“Ok but, give me sixty minutes.” “Ngapain?” “Tidur.”

Entah kenapa semakin gue nyaman, semakin berat juga mata gue. Mungkin efek semalam gue tidur hanya dua jam sebab bertugas dan tidur di rumah Esa. Mana bisa gue tidur nyenyak di saat bermalam di rumah teman.

“Sumpah....ngeselin banget.... Masa gue harus nunggu satu jam? perut gue udah kelaparan, Khaiiii.”

Gue sedikit tertawa renyah ketika mendengar eluhan dari mulut manis pacar gue, sungguh senang menggodai pacar gue di tengah kelaparan.

“Iya ini makanya gue elus terus, biar perutnya jadi jinak.” “Lu kata gue hamil tai.”

“Mau gue hamilin?”

Sesuai dugaan gue, tentu gue mendapat jambakan dari Laravel. “Jelek banget mulut lu Nicholas Khailil.”

“Udah ah gue mau tidur. Anyway, di kulkas masih ada chiki yang lu beli tiga hari yang lalu. Makan itu dulu, tapi nanti tunggu gue tidur, baru lu bisa keluar dari pelukan gue. I need you to give me your peace right now.”

Laravel benar-benar berhasil memberikan kedamaian untuk gue, selagi gue menutup mata gue, Laravel tak ada hentinya bermain di rambut gue.

Sangat nyaman hingga gue berhasil tidur tanpa memikirkan apapun.

Namun saking nyamannya, gue terbangun di jam dua pagi.

Which is it's shit.

Laravel.

Saking malasnya gue ngeladenin Khai untuk sekarang, gue memutuskan untuk pura-pura tertidur dengan pakaian gue yang sudah rapih menuju kampus. Emang ide yang cukup gila, tapi gue menutupi semua tubuh gue dengan selimut agar Khailil tidak mau menganggu gue.

Gue ga akan pernah bisa mengunci kamar gue sendiri, karena Khai sendiri punya duplikat kunci kamar gue. Perihal tersebut apa gue marah? tidak sama sekali.

Kita sama-sama sayang hingga di tahap, gue tahu password kamar dia dan dia megang kunci kamar gue.

Seems like we dont have the word privacy. But it is what it is, we are happy and that's enough.

Gue udah capek nangis semalaman mikirin hubungan gue sama Khai. Walaupun gue tahu berantem kita pasti akan baikan cuma ada rasa sedikit letih dalam diri gue.

Setiap bertengkar gue selalu takut untuk tidur, selalu menjatuhkan air mata padahal tahu besoknya Khai akan bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa.

Lalu apa yang gue takutin? tentunya takut akan berpisah. Gue ga akan pernah bisa pisah dari Khailil sampai kapanpun.

Takut.

Kata yang selalu menghatui gue jikalau gue dan Khailil berada di dalam satu masalah. Walaupun jauh di dalam hati gue, gue yakin Khailil juga merasakan hal yang sama.

Gue sangat takut dengan kata putus yang akan salah satu dari kami keluarkan. Gue takut baik Khailil ataupun gue sama-sama sudah capek batin dengan hubungan ini.

Gue setakut itu....

“Ga usah pura-pura tidur gitu dong.”

Khailil dengan kurang ajarnya membuka selimut gue dan langsunh tidur di samping gue. Sesuai dugaan gue, manusia kelebihan hormon ini, kata Yuka, tanpa bersalahnya langsung memeluk pinggang gue, membawa gue bersentuhan dengan tubuh.

“Yaudah bolos aja kali ya, babe?”

Mata gue otomatis terbuka lebar mendengar celetukan dari lelaki besar yang mengukung gue ini.

“Lepas ga?!”

Lagi-lagi gerakan berontak gue tertahan saat kedua tangan gue dikunci oleh satu tangan Khailil. Susah punya pacar yang kuat sampai tenaga satu tangan dia lebih kuat daripada dua tangan gue.

Wajah gue dipaksa untuk menatap wajahnya, ada sekitar lima detik lelaki itu mengobservasi wajah gue dan oh shit I know where we are going.

“Maaf.”

See?

Khailil itu ga pernah suka ngeliat gue nangis ataupun habis nangis. Dia berhasil melihat mata bengkak gue yang udah gue coba tutupin pakai concealer sesuai trik dari tiktok yang gue tonton sebelum gue mandi.

Khailil benar-benar akan sujud minta maaf jika sudah melihat gue nangis atau setelah nangis. Dia setakut itu buat gue ga bahagia bersama dia.

“Gapapa ini kelilipan doang.” gue cuma ngasih alasan yang masuk akal biar bisa diterima baik oleh Khailil.

Namun, gue ga akan jatuh cinta sama orang bodoh yang digituin aja percaya.

“Vel, did I hurt you?”

Pernahkan gue bilang kalau satu air mata gue bisa bikin Khailil tunduk atas perintah gue? Iya ini dia sekarang akan gue tunjukan.

“Khai, kan gue ada kelas yaa dua puluh menit lagi, bisa lepasin gaa?”

Khailil dengan cepat langsung melepaskan semua sentuhannya dari tubuh gue dan langsung segera berdiri.

“Gue yang anter. Nanti makan yang gue beli di kelas aja, risol mayonya gue mohon banget untuk lu makan dua aja, ga lebih, sisanya bisa lu kasih temen lu, atau gue.”

Rasa ingin protes dalam diri gue kembali mencuar, masalahnya yang beli kan gue... pakai uang gue... kok beliau yang ngatur.

“Jangan protes. Let me be your good boyfriend for now.”

Khailil berucap demikian sambil membenarkan baju gue yang udah acak-acakn akibat posisi tidur tadi.

“Besok jahat lagi.” “Ga jahat kalau lu mau jadi PIC EO CODE.”

Gue berhasil mencubit perut dia karena jawaban dia yang bikin gue emosi parah. Katanya mau jadi pacar yang baik, tapi belum ada satu menit udah ga ada baik-baiknya.

“EO EO mulu, gue berangkat sendiri aja, dasar gila.”

Laravel

Sesuai dugaan gue benar adanya, Khailil akan marah ketika dia datang melihat gue tengah meeting bersama yang lain.

Khailil itu ga suka jika ada yang menganggu adegan pacaran gue sama dia, terutama jika kita sedang di ruang tertutup. Karena kalau udah di ruangan yang tertutup dan hanya kita berdua, waktu gue hanya untuknya, begitu juga sebaliknya.

“Sebelumnya gue mau minta maaf ga on cam, karena ada beberapa hal yang sedang terjadi di sini. Jadi, Konsep yang usulin pakai itu SDGs. In fact kita emang udah implement SDG dengan cara kita kunjungin panti asuhan. But what if we make the children juga ikut contribusi dalam global goals ini?”

Gue mematikan mic sebentar untuk berbicara dengan Khai yang sedang otak-atik laptop gue, berusaha membenarkan XAMPP yang gue bilang rusak.

“Habis ini gue mau ngomong sama lu.”

Ga mendapat respon dari Khai gue milih untuk lanjut menjelaskan konsep gue ke meeting yang penuh dengan petinggi BEM ini.

“Contohnya kalau misalkan kita pergi ke desa yang di pesesir pantai, kita bisa coba suruh mereka bikin saringan air which is ini dari implementasi SDG 17, ataupun kalau ke desa yang lain kita bisa buat mereka untuk bikin daur ulang barang yang bisa dijual lagi.”

Gue menjelaskan panjang lebar dengan mata gue yang masih fokus menatap gerak gerik pacar gue yang, astaga gue harus apain ni anak kalau udah marah gini.

“Oh berarti konsep lu ini cuma bisa di implemntasikan kalau udah dapat kepastian dari Liasion Officer?”

Gue kembali menyalakan mic gue setelah supervisor yang bernama Mawar itu selesai bertanya, “Well, sadly yes. Bisa aja kok kita bikin kerajinan gitu ke SD ataupun ke panti asuhan. Walaupun kurang efiesen aja apalag perihal jual menjualnya. Jadi kalau bisa gue mau nyaranin untuk nyari desa terpencil aja, dan kumpulin anak-anak di sana.”

Tombol mic kembali gue pencet, lalu gue tinggalin ponsel gue di atas kasur dan mulai menghampiri Khailil yang berada di bangku belajar gue.

“Ga usah marah kaya anak kecil gitu bisa ga? gue beneran lupa kalau ada rapat. Ini juga rapat organisasi lu. Kalau bisa gue tinggal ya gue tinggal ini.”

Khailil membalikan badannya menghadap ke gue, Ia sedikit mendongakan kepalanya guna melihat gue tepat ke wajah gue.

“Lu pacaran sama gue berapa lama? ga sekali dua kali Vel begini. Kalau lu ada rapat ya bilang, gue ga nyuruh lu buat kabur dari rapat itu, ga ada. Kan gue bilang gue lagi mau sama lu Vel, tapi kalau lu bilang lu ada rapat gue masih bisa nunggu besok.”

Gue tahu Khailil emang lagi sensitif sama gue perihal tawarannya untuk menjadikan gue PIC EO di eventnya itu gue tolak.

“XAMPP lu udah bener, datanya udah gue pindahin sebelum gue uninstall, jadi semua database lu aman. Gue balik, lanjutin rapatnya. Nanti gue call.”

Khailil cabut membawa tas punggungnya yang gue yakin isinya laptop yang berat itu, bahkan Khailil belum sama sekali mengeluarkan laptopnya.

“Khai, If you love me then you'll stay.”

Ucapan gue berhasil membawa kaki Khailil berhenti, Ia memutarbalikan arahnya dan mulai mendekat ke gue.

Ada sedikit rasa senang di diri gue melihat Khailil yang sekarang sudah ada di depan gue. Namun apa yang gue harapkan? Khailil hanya ingin mengecup bibir gue saja dan cabut tanpa satu kata pun.

Khailil melakukan itu agar gue tidak meragukan cinta dia, akan tetapi Khailil tetap ga mau stay di kamar.

Ga bohong rasanya hati gue sangat sakit sekarang. Khailil keluar tanpa tatapan dan ucapan manisnya. Gue ga tau Khailil benar-benar marah atau tidak, tapi yang gue tahu Khailil bohong akan ucapannya untuk telpon gue malam ini.

Laravel

Sesuai dugaan gue benar adanya, Khailil akan marah ketika dia datang melihat gue tengah meeting bersama yang lain.

Khailil itu ga suka jika ada yang menganggu adegan pacaran gue sama dia, terutama jika kita sedang di ruang tertutup. Karena kalau udah di ruangan yang tertutup dan hanya kita berdua, waktu gue hanya untuknya, begitu juga sebaliknya.

“Sebelumnya gue mau minta maaf ga on cam, karena ada beberapa hal yang sedang terjadi di sini. Jadi, Konsep yang usulin pakai itu SDGs. In fact kita emang udah implement SDG dengan cara kita kunjungin panti asuhan. But what if we make the children juga ikut contribusi dalam global goals ini?”

Gue mematikan mic sebentar untuk berbicara dengan Khai yang sedang otak-atik laptop gue, berusaha membenarkan XAMPP yang gue bilang rusak.

“Habis ini gue mau ngomong sama lu.”

Ga mendapat respon dari Khai gue milih untuk lanjut menjelaskan konsep gue ke meeting yang penuh dengan petinggi BEM ini.

“Contohnya kalau misalkan kita pergi ke desa yang di pesesir pantai, kita bisa coba suruh mereka bikin saringan air which is ini dari implementasi SDG 17, ataupun kalau ke desa yang lain kita bisa buat mereka untuk bikin daur ulang barang yang bisa dijual lagi.”

Gue menjelaskan panjang lebar dengan mata gue yang masih fokus menatap gerak gerik pacar gue yang, astaga gue harus apain ni anak kalau udah marah gini.

“Oh berarti konsep lu ini cuma bisa di implemntasikan kalau udah dapat kepastian dari Liasion Officer?”

Gue kembali menyalakan mic gue setelah supervisor yang bernama Mawar itu selesai bertanya, “Well, sadly yes. Bisa aja kok kita bikin kerajinan gitu ke SD ataupun ke panti asuhan. Walaupun kurang efiesen aja apalag perihal jual menjualnya. Jadi kalau bisa gue mau nyaranin untuk nyari desa terpencil aja, dan kumpulin anak-anak di sana.”

Tombol mic kembali gue pencet, lalu gue tinggalin ponsel gue di atas kasur dan mulai menghampiri Khailil yang berada di bangku belajar gue.

“Ga usah marah kaya anak kecil gitu bisa ga? gue beneran lupa kalau ada rapat. Ini juga rapat organisasi lu. Kalau bisa gue tinggal ya gue tinggal ini.”

Khailil membalikan badannya menghadap ke gue, Ia sedikit mendongakan kepalanya guna melihat gue tepat ke wajah gue.

“Lu pacaran sama gue berapa lama? ga sekali dua kali Vel begini. Kalau lu ada rapat ya bilang, gue ga nyuruh lu buat kabur dari rapat itu, ga ada. Kan gue bilang gue lagi mau sama lu Vel, tapi kalau lu bilang lu ada rapat gue masih bisa nunggu besok.”

Gue tahu Khailil emang lagi sensitif sama gue perihal tawarannya untuk menjadikan gue PIC EO di eventnya itu gue tolak.

“XAMPP lu udah bener, datanya udah gue pindahin sebelum gue uninstall, jadi semua database lu aman. Gue balik, lanjutin rapatnya. Nanti gue call.”

Khailil cabut membawa tas punggungnya yang gue yakin isinya laptop yang berat itu, bahkan Khailil belum sama sekali mengeluarkan laptopnya.

“Khai, If you love me then you'll stay.”

Ucapan gue berhasil membawa kaki Khailil berhenti, Ia memutarbalikan arahnya dan mulai mendekat ke gue.

Ada sedikit rasa senang di diri gue melihat Khailil yang sekarang sudah ada di depan gue. Namun apa yang gue harapkan? Khailil hanya ingin mengecup bibir gue saja dan cabut tanpa satu kata pun.

Khailil melakukan itu agar gue tidak meragukan cinta dia, akan tetapi Khailil tetap ga mau stay di kamar.

Ga bohong rasanya hati gue sangat sakit sekarang. Khailil keluar tanpa tatapan dan ucapan manisnya. Gue ga tau Khailil benar-benar marah atau tidak, tapi yang gue tahu Khailil bohong akan ucapannya untuk telpon gue malam ini.

Laravel

Sesuai dugaan gue benar adanya, Khailil akan marah ketika dia datang melihat gue tengah meeting bersama yang lain.

Khailil itu ga suka jika ada yang menganggu adegan pacaran gue sama dia, terutama jika kita sedang di ruang tertutup. Karena kalau udah di ruangan yang tertutup dan hanya kita berdua, waktu gue hanya untuknya, begitu juga sebaliknya.

“Sebelumnya gue mau minta maaf ga on cam, karena ada beberapa hal yang sedang terjadi di sini. Jadi, Konsep yang usulin pakai itu SDGs¹. In fact kita emang udah implement SDG dengan cara kita kunjungin panti asuhan. But what if we make the children juga ikut contribusi dalam global goals ini?”

Gue mematikan mic sebentar untuk berbicara dengan Khai yang sedang otak-atik laptop gue, berusaha membenarkan XAMPP² yang gue bilang rusak.

“Habis ini gue mau ngomong sama lu.”

Ga mendapat respon dari Khai gue milih untuk lanjut menjelaskan konsep gue ke meeting yang penuh dengan petinggi BEM ini.

“Contohnya kalau misalkan kita pergi ke desa yang di pesesir pantai, kita bisa coba suruh mereka bikin saringan air which is ini dari implementasi SDG 17, ataupun kalau ke desa yang lain kita bisa buat mereka untuk bikin daur ulang barang yang bisa dijual lagi.”

Gue menjelaskan panjang lebar dengan mata gue yang masih fokus menatap gerak gerik pacar gue yang, astaga gue harus apain ni anak kalau udah marah gini.

“Oh berarti konsep lu ini cuma bisa di implemntasikan kalau udah dapat kepastian dari Liasion Officer?”

Gue kembali menyalakan mic gue setelah supervisor yang bernama Mawar itu selesai bertanya, “Well, sadly yes. Bisa aja kok kita bikin kerajinan gitu ke SD ataupun ke panti asuhan. Walaupun kurang berimpact. Jadi kalau bisa gue mau nyaranin untuk nyari desa terpencil aja, dan kumpulin anak-anak di sana.”

Tombol mic kembali gue pencet, lalu gue tinggalin ponsel gue di atas kasur dan mulai menghampiri Khailil yang berada di bangku belajar gue.

“Ga usah marah kaya anak kecil gitu bisa ga? gue beneran lupa kalau ada rapat. Ini juga rapat organisasi lu. Kalau bisa gue tinggal ya gue tinggal ini.”

Khailil membalikan badannya menghadap ke gue, Ia sedikit mendongakan kepalanya guna melihat gue tepat ke wajah gue.

“Lu pacaran sama gue berapa lama? ga sekali dua kali Vel begini. Kalau lu ada rapat ya bilang, gue ga nyuruh lu buat kabur dari rapat itu, ga ada.”

Gue tahu Khailil emang lagi sensitif sama gue perihal tawarannya untuk menjadikan gue PIC EO di eventnya itu gue tolak.

“XAMPP lu udah bener, datanya udah gue pindahin sebelum gue uninstall. Gue balik, lanjutin rapatnya. Nanti gue call.”

Khailil cabut membawa tas punggungnya yang gue yakin isinya laptop yang berat itu, bahkan Khailil belum sama sekali mengeluarkan laptopnya.

“Khai, If you love me then you'll stay.”

Ucapan gue berhasil membawa kaki Khailil berhenti, Ia memutarbalikan arahnya dan mulai mendekat ke gue.

Ada sedikit rasa senang di diri gue melihat Khailil yang sekarang sudah ada di depan gue. Namun apa yang gue harapkan? Khailil hanya ingin mengecup bibir gue saja dan cabut tanpa satu kata pun.

Khailil melakukan itu agar gue tidak meragukan cinta dia, akan tetapi Khailil tetap ga mau stay di kamar.

Ga bohong rasanya hati gue sangat sakit sekarang. Khailil keluar tanpa tatapan dan ucapan manisnya. Gue ga tau Khailil benar-benar marah atau tidak, tapi yang gue tahu Khailil bohong akan ucapannya untuk telpon gue malam ini.

Nicholas Khailil.

Let's talk about the love of my live, Lavarel.

Memiliki pasangan selama hampir empat tahun cukup membuat gue sadar bahwa semua orang memang sudah patutnya mempunyai pasangan.

How would they live without their partner?

Karena gue pasti sangat tidak bisa hidup tanpa pasangan. Gue butuh afeksi, gue butuh kata-kata manis, gue butuh kasih sayang.

Dan gue butuh Laravel.

Laravel itu surga dunia gue, semua dari dirinya akan selalu gue dambakan. Laravel itu the light of my life. Sehari tanpa kabarnya benar-benar bisa bikin gue gila.

Rasa sayang gue ke dia benar-benar sebesar itu. Laravel satu-satunya yang bikin gue sama bunda berantem. Laravel satu-satunya yang bikin gue dihina habis-habisan oleh kaka tingkat.

“Cantiknyaaa.”

Gue ga bohong waktu bilang itu, Laravel akan selalu cantik di setiap waktu. Laravel cantik di saat sedang bangun tidur, Laravel cantik di saat rambutnya sepanjang bahu bahkan saat rambut hanya berukuran satu sentimenter.

Laravel itu sempurna dan gue suka kesempurnaan.

“Capek kan? naik motor Cawang Cibitung? biasanya gue yang nyetir juga.”

Kerjaan gue sebagai kekasih Laravel tentu tidak banyak, sebab dia tidak banyak meminta. Menjadi sopirnya adalah sebuah kewajiban, karena akui gue sangat protektif kalau menyangkut dirinya.

Laravel ga suka panas, tapi terpaksa rantau ke Jakarta karena pendidikan.

Kalau Laravel sudah mengeluh yang gue lakuin cuma satu, yaitu merentangkan tangan gue sebagai kode bahwa I'm ready to be hugged.

“Kita check in hotel deket sini aja kali ya?”

Usulan gue berhasil mendapat cubitan panas dari Avel, tentunya gue tertawa kencang ketika melihat dia emosi.

Gue mengencangkan kedua tangan gue yang gue taruh di pinggul belakangnya, berharap agar dekapan kita semakin erat. Sesekali gue mengeluh sensual kulit badannya dari balik kaos yang berhasil mendapat tepasan dari Laravel.

“Jangan mesum dulu untuk sekarang, Nicholas Khailil.”

Gue. mesum.

Itu benar adanya and this is how I show my love for him. Gue maniak sama yang namanya sentuhan apalagi dengan kulit yang lembut dan wangi.

“Babe, lu ga malu pelukan di depan umum gini?”

Gue tanya karena sejujurnya gue melihat banyak orang yang melihat agenda pelukan gue dengan Laravel. Bagaimana tidak, toh posisinya gue masih di SPBU.

“Lu ga sih yang malu? muka gue dari tadi kan di leher lu terus.”

“Well, you're right. tapi gue biasa aja sih, lu kalau mau nyupang gue di sini gue welcome. “

Keasbunan gue ini berhasil mendapatkan tonjokan di perut gue, “Nicholas cabul Khailil, orang gila.”

Nicholas Khailil.

Let's talk about the love of my live, Lavarel.

Memiliki pasangan selama hampir empat tahun cukup membuat gue sadar bahwa semua orang memang sudah patutnya mempunyai pasangan.

How would they live without their partner?

Karena gue pasti sangat tidak bisa hidup tanpa pasangan. Gue butuh afeksi, gue butuh kata-kata manis, gue butuh kasih sayang.

Dan gue butuh Laravel.

Laravel itu surga dunia gue, semua dari dirinya akan selalu gue dambakan. Laravel itu the light of my life. Sehari tanpa kabarnya benar-benar bisa bikin gue gila.

Rasa sayang gue ke dia benar-benar sebesar itu. Laravel satu-satunya yang bikin gue sama bunda berantem. Laravel satu-satunya yang bikin gue dihina habis-habisan oleh kaka tingkat.

“Cantiknyaaa.”

Gue ga bohong waktu bilang itu, Laravel akan selalu cantik di setiap waktu. Laravel cantik di saat sedang bangun tidur, Laravel cantik di saat rambutnya sepanjang bahu bahkan saat rambut hanya berukuran satu sentimenter.

Laravel itu sempurna dan gue suka kesempurnaan.

“Capek kan? naik motor Cawang Cibitung? biasanya gue yang nyetir juga.”

Kerjaan gue sebagai kekasih Laravel tentu tidak banyak, sebab dia tidak banyak meminta. Menjadi sopirnya adalah sebuah kewajiban, karena akui gue sangat protektif kalau menyangkut dirinya.

Laravel ga suka panas, tapi terpaksa rantau ke Jakarta karena pendidikan.

Kalau Laravel sudah mengeluh yang gue lakuin cuma satu, yaitu merentangkan tangan gue sebagai kode bahwa I'm ready to be hugged.

“Kita check in hotel deket sini aja kali ya?”

Usulan gue berhasil mendapat cubitan panas dari Avel, tentunya gue tertawa kencang ketika melihat dia emosi.

Gue mengencangkan kedua tangan gue yang gue taruh di pinggul belakangnya, berharap agar dekapan kita semakin erat. Sesekali gue mengelus sensual kulit badannya dari balik kaos yang berhasil mendapat tepasan dari Laravel.

“Jangan mesum dulu untuk sekarang, Nicholas Khailil.”

Gue. mesum.

Itu benar adanya and this is how I show my love for him. Gue maniak sama yang namanya sentuhan apalagi dengan kulit yang lembut dan wangi.

“Babe, lu ga malu pelukan di depan umum gini?”

Gue tanya karena sejujurnya gue melihat banyak orang yang melihat agenda pelukan gue dengan Laravel. Bagaimana tidak, toh posisinya gue masih di SPBU.

“Lu ga sih yang malu? muka gue dari tadi kan di leher lu terus.”

“Well, you're right. tapi gue biasa aja sih, lu kalau mau nyupang gue di sini gue welcome. “

Keasbunan gue ini berhasil mendapatkan tonjokan di perut gue, “Nicholas cabul Khailil, orang gila.”

Laravel.

First of all, gue ga pernah ikut mengerusi kegiatan BEM ini.

Second of all, gue ga pernah jadi kepanitiaan di luar acara HIMA Sistem Informasi.

“Gue sebagai supervisor dari event ini, beneran minta tolong sama kalian untuk put your best to this event. Even tho ini bukan organisasi kalian, karena gue notice banyak yang dari kalian bukan dari internal BEM. Gue ga mau kalian tinggalin ini hanya karena organisasi kalian. Overall, you guys agreed to join this community.”

“Selain itu gue ga mau juga kerja kalian terhambat karena pacaran. Gue ga mau denger salah satu dari kalian ada yang away karena pacarnya lagi butuh kalian atau karena pacar kalian sakit. Gue yakin banyak dari kalian yang bucin mampus sama pasangan kalian di luar sana but please be professional ataupun untuk kalian yang pacaran di event yang sama gue ga mau ya lihat kalian malah bermesraan di saat yang lain pada kesulitan”

Third of all, Fuck those guys.

Nyindir gue di tengah rapat? Di depan 56 panitia yang langsung menjatuhkan tatapannya ke gue?

Gila ya ni orang.

Ga bisa lihat kah di ruangan ini gue sama Khailil aja duduk kaya orang musuhan, dari waktu gue masuk sini juga ga ada tuh ngomong sama Khailil. Palingan emang waktu masuk doang karena gue berangkat bareng.

“Ada yang mau ditanyain?”

Dengan senang hati gue mengangkat tangan gue tinggi-tinggi, yang berhasil mengambil atensi semua panitia di ruangan ini, termasuk cowo gue yang sedang main clash of clans nya itu.

“Gue mau tanya ini untuk general timeline yang buat siapa ya? EO atau dari PM VPM nyaa? Karena tadi gue lihat kita cuma progress dan pengenalan tanpa dikasih deadline.”

Pertanyaan gue menghasilkan hembusan napas dari orang samping gue, Cornell.

“Tai, gue kira lu mau ngajak ribut Ka Mawar.” bisikan Cornell ke telinga gue cukup membuat gue ketawa.

I was about to, tapi kalau gue lanjutin, yang ada marahan lagi gue sama si Nicholas Khailil itu.

Gue tekanin sekali lagi, gue beneran mau udahin segala hal yang bisa bikin hubungan gue sama Khailil hancur.

“Gimana, Vel? Jadinya untuk general timeline bakal dibuat sama PM VPM, spreadsheetnya udah di floor ke PIC masing-masing.”

Cuma anggukan yang gue keluarin untuk merespon jawaban dari supervisor alias Mawar itu.

“Oke karena udah ga ada yang mau ditanyain kita foto dulu sebelum pulang.”

Seketika kita semua langsung berdiri mengambil posisi yang tepat untuk berfoto di waktu ini juga lah gue dapat melihat pacar gue yang berusaha untuk mendapatkan posisi tepat di samping gue.

“Cornell, gue samping Avel dong.”

Gue bisa denger suara Khailil yang ada di belakang gue agar mendapatkan spot di samping gue, yang sudah ditempati oleh Cornell.

“Ga boleh pacaran di kepanitiaan.”

Tawa yang gue keluarin cukup membuat banyak orang menaruh atensinya, “Shut up baby.” dan di bisikan itu lah yang bisa buat gue diam.

“Oke timer lima detik ya.”

Khailil ga berhasil untuk mengambil posisi di samping gue. Namun Khailil berhasil menarik gue satu langkah ke belakang agar bisa sejajar dengan dirinya.

Tiga, Dua, Satu,

Dan Khailil berhasil menaruh tangannya dipinggang gue yang gue yakin bisa terlihat dengan jelas di hasil foto itu, sebab di depan gue tidak ada yang menghalangi.

Khailil emang gila.