Sudah hampir dua bulan setelah Iban merokok di kamar mandi lantai dua. Sudah hampir dua bulan pula Iban tidak terkena teguran dari Sir Robert, selaku guru BK di sini.
Ia mengedarkan pandangan selagi menaki tanggal hingga lantai empat. Meskipun kini lorong dan tanggal terlihat sepi, sebab sekarang adalah waktu jam pelajaran dimulai. Namun, apapun bisa terjadi bukan?
Iban berhenti tepat di depan pintu besi yang sudah ditempeli banyak stiker dan berbagai tulisan dan gambar-gambar aneh tertulis di sini. Konon katanya rooftop ini dahulu menjadi area untuk para senior memakai kuasaannya, tapi itu sudah lama sekali.
Padahal seru, karena Iban udah senior sekarang.
click
dan pintunya terbuka.
Entah keajaiban apa, karena sebelumnya Iban ke sini, pintu ini terkunci. Sepertinya Tuhan berada di sisi orang yang ingin kabur dari tugas presentasi.
Selagi memasuki ruang terbuka itu, panas matahari mulai membakar seluruh tubuh Iban. Dan di saat ini juga Iban menyesali keputusannya.
Namun, terlambat, Ia udah keburu membakar satu batang rokok.
Ya, setidaknya menghabiskan satu batang rokok tidak membuat kulitnya langsung belang di atas sini.
“Jawab anjing! Lu buta? Tuli?!”
Kalimat yang mengandung emosi itu benar-benar berhasil bikin Iban terkejut setengah mati. Masalahnya, Iban baru masuk, tak sampai lima menit, tapi orang itu dengan berani memarahinya.
“Gue ga ngerti dengan maksud lu yang terus-menerus ikut campur masalah gue! Pernah gue ikut campur ke hidup lu? Engga kan? Stop ikut campur masalah orang lain, brengsek.”
Iban celingak-celinguk mencari sumber suara seraya menghempaskan asap rokok yang menutupi pandangannya.
“Brengsek karena lu gue di drop out! BANGSAT!”
Mata Iban berhenti pada dua orang tengah menonton dengan muka sedih bercampur songong di belakang satu orang dengan wajah emosinya yang tertara dan satu orang yang tengah terduduk menundukan kepalanya.
bugh
Damn, tonjokannya ga main-main. Hingga berhasil bikin si korban telentang.
Perlahan dan pasti Iban mendekati mereka, yang otomatis juga bikin aktivitas mereka terhenti. Si korban pun mengubah kembali posisinya menjadi duduk dan ikut membawa pandangannya ke Iban yang perlahan mendekat.
Si Cepu.
Korban itu adalah si Cepu yang selalu aduin Iban ke Sir Robert kalau ia sedang merokok. Dia pun yang bikin Iban punya dua surat peringatan. Parahnya lagi, dia lihat Iban sedang menghisap rokok sekarang.
Apa selanjutnya? Iban yakin sekali kalau besok dirinya yang di drop out.
Setidaknya Ia harus balas dendam sebelum dirinya di drop out.
Iban menghiraukan pandangan mata si Cepu yang sudah berair. Iban bisa baca dari raut muka dia bahwa dia takut di sana,
“Lanjutin aja, gue mau ngerokok bentaran.”
Iban menjauhkan diri dari tempat mereka selagi mendengar kalimat,“Awas lu nanti diaduin sama si bajingan ini ke Sir Robert!”
Pendengeran Iban ga berhenti barang sedetik pun untuk mendengar pembicaraan mereka pun dengan penglihatannya yang tak pernah absen melihat bagaimana mereka benar-benar melukai si Cepu di sana.
“Anjing! tanggung jawab brengsek!” ucap si jagoan itu sambil menjambak rambut si Cepu.
“Owen.” Iban membuka suara dan mendapatkan atensi dari empat orang di sana, “Namanya siapa?”
“Apa?” jawab Owen, “Nama si anjing ini?” Iban mengangguk, “Aja.”
Iban mengangguk memberikan sinyal bahwa jawaban dari Owen sudah Ia terima dengan baik, “Okee, sok lanjut dilanjutin aktivitasnya.”
Entah rasa apa yang ada di diri Iban, tapi yang Iban lakuin adalah langsung tersenyum kemenangan.
Mengetahui nama si Cepu benar-benar bikin rasa penasarannya selama satu bulan setengah ini terbayar.
Aja.
Iban melihat bagaimana pandangan Aja yang sudah pasrah, tak ada rencana untuk melawan.
Good choice.
Sebab kalau melawan malah makin memberat.
Rokok yang Iban hisap sudah terasa pahit, tanpa menunggu ia membuang putung tersebut lalu diinjak. Kemudian Ia menatap bahwasanya aktivitas mereka masih berlanjut, bahkan lebih parah, kini dua orang di belakang Owen ikut menurunkan tangannya.
Iban merogoh ponsel yang tersimpan di saku celana, “Sir, Aja di bully di rooftop.”
Spontanitasnya berhasil membuat para keparat di sana menatap Iban tak percaya, tak lupa dengan sumpah serapah dan satu tonjokan yang berhasil mendarat di pipi gue, sebelum mereka pergi dari area rooftop meninggalkan Iban berduaan dengan Aja.
Sekian detik dari suara pintu besi yang tertutup Iban bisa melihat bagaimana Aja mulai menggerogoh sakunya. Panik dari raut wajahnya mulai terlihat, dadanya mulai naik turun, kepalanya tak berhenti menengok kanan kiri seperti memcari sesuatu.
Iban tahu apa yang dicari dan ia tahu itu ada di mana. Tepat satu meter di depannya, ia melihat inhaler yang sama dengan inhaler yang ia temuin satu bulan setengah lalu.
Iban menatap inhaler itu dalam diam sesekali mencuri pandangan melihat orang bodoh tengah panik mencari inhalernya.
Apa Ia pergi saja dari sini? meninggalkan orang itu dengan suara napasnya yang mulai menganggu. Toh, kalau dia masih hidup hari ini kemungkinan besar dia akan aduin Iban lagi ke Sir Robert yang membuat Ia bernasib sama dengan Owen.
“I...ban..to...long.”
Suaranya balapan dengan suara napasnya. Iban menatap bagaimana orang itu memegangi lehernya.
Kejadian waktu itu terulang lagi. Dengan raut wajah yang sama, dan suara napas yang sama.
Iban membuang napas diakhiri dengan tersenyum kecut sembari menendang inhaler itu hingga berhenti tepat pada sang pemilik.
Aja yang terlihat sangat panik dengan cepat langsung menggunakannya, tak peduli dengan tangannya yang sudah gemetar hebat karena berpikir ajalnya sudah dekat.
Ya, setidaknya Iban tidak jadi pembunuh.