cappucinooh

Sudah hampir dua bulan setelah Iban merokok di kamar mandi lantai dua. Sudah hampir dua bulan pula Iban tidak terkena teguran dari Sir Robert, selaku guru BK di sini.

Ia mengedarkan pandangan selagi menaki tanggal hingga lantai empat. Meskipun kini lorong dan tanggal terlihat sepi, sebab sekarang adalah waktu jam pelajaran dimulai. Namun, apapun bisa terjadi bukan?

Iban berhenti tepat di depan pintu besi yang sudah ditempeli banyak stiker dan berbagai tulisan dan gambar-gambar aneh tertulis di sini. Konon katanya rooftop ini dahulu menjadi area untuk para senior memakai kuasaannya, tapi itu sudah lama sekali.

Padahal seru, karena Iban udah senior sekarang.

click

dan pintunya terbuka.

Entah keajaiban apa, karena sebelumnya Iban ke sini, pintu ini terkunci. Sepertinya Tuhan berada di sisi orang yang ingin kabur dari tugas presentasi.

Selagi memasuki ruang terbuka itu, panas matahari mulai membakar seluruh tubuh Iban. Dan di saat ini juga Iban menyesali keputusannya.

Namun, terlambat, Ia udah keburu membakar satu batang rokok.

Ya, setidaknya menghabiskan satu batang rokok tidak membuat kulitnya langsung belang di atas sini.

“Jawab anjing! Lu buta? Tuli?!”

Kalimat yang mengandung emosi itu benar-benar berhasil bikin Iban terkejut setengah mati. Masalahnya, Iban baru masuk, tak sampai lima menit, tapi orang itu dengan berani memarahinya.

“Gue ga ngerti dengan maksud lu yang terus-menerus ikut campur masalah gue! Pernah gue ikut campur ke hidup lu? Engga kan? Stop ikut campur masalah orang lain, brengsek.”

Iban celingak-celinguk mencari sumber suara seraya menghempaskan asap rokok yang menutupi pandangannya.

“Brengsek karena lu gue di drop out! BANGSAT!”

Mata Iban berhenti pada dua orang tengah menonton dengan muka sedih bercampur songong di belakang satu orang dengan wajah emosinya yang tertara dan satu orang yang tengah terduduk menundukan kepalanya.

bugh

Damn, tonjokannya ga main-main. Hingga berhasil bikin si korban telentang.

Perlahan dan pasti Iban mendekati mereka, yang otomatis juga bikin aktivitas mereka terhenti. Si korban pun mengubah kembali posisinya menjadi duduk dan ikut membawa pandangannya ke Iban yang perlahan mendekat.

Si Cepu.

Korban itu adalah si Cepu yang selalu aduin Iban ke Sir Robert kalau ia sedang merokok. Dia pun yang bikin Iban punya dua surat peringatan. Parahnya lagi, dia lihat Iban sedang menghisap rokok sekarang.

Apa selanjutnya? Iban yakin sekali kalau besok dirinya yang di drop out.

Setidaknya Ia harus balas dendam sebelum dirinya di drop out.

Iban menghiraukan pandangan mata si Cepu yang sudah berair. Iban bisa baca dari raut muka dia bahwa dia takut di sana,

“Lanjutin aja, gue mau ngerokok bentaran.”

Iban menjauhkan diri dari tempat mereka selagi mendengar kalimat,“Awas lu nanti diaduin sama si bajingan ini ke Sir Robert!”

Pendengeran Iban ga berhenti barang sedetik pun untuk mendengar pembicaraan mereka pun dengan penglihatannya yang tak pernah absen melihat bagaimana mereka benar-benar melukai si Cepu di sana.

“Anjing! tanggung jawab brengsek!” ucap si jagoan itu sambil menjambak rambut si Cepu.

“Owen.” Iban membuka suara dan mendapatkan atensi dari empat orang di sana, “Namanya siapa?”

“Apa?” jawab Owen, “Nama si anjing ini?” Iban mengangguk, “Aja.”

Iban mengangguk memberikan sinyal bahwa jawaban dari Owen sudah Ia terima dengan baik, “Okee, sok lanjut dilanjutin aktivitasnya.”

Entah rasa apa yang ada di diri Iban, tapi yang Iban lakuin adalah langsung tersenyum kemenangan.

Mengetahui nama si Cepu benar-benar bikin rasa penasarannya selama satu bulan setengah ini terbayar.

Aja.

Iban melihat bagaimana pandangan Aja yang sudah pasrah, tak ada rencana untuk melawan.

Good choice.

Sebab kalau melawan malah makin memberat.

Rokok yang Iban hisap sudah terasa pahit, tanpa menunggu ia membuang putung tersebut lalu diinjak. Kemudian Ia menatap bahwasanya aktivitas mereka masih berlanjut, bahkan lebih parah, kini dua orang di belakang Owen ikut menurunkan tangannya.

Iban merogoh ponsel yang tersimpan di saku celana, “Sir, Aja di bully di rooftop.”

Spontanitasnya berhasil membuat para keparat di sana menatap Iban tak percaya, tak lupa dengan sumpah serapah dan satu tonjokan yang berhasil mendarat di pipi gue, sebelum mereka pergi dari area rooftop meninggalkan Iban berduaan dengan Aja.

Sekian detik dari suara pintu besi yang tertutup Iban bisa melihat bagaimana Aja mulai menggerogoh sakunya. Panik dari raut wajahnya mulai terlihat, dadanya mulai naik turun, kepalanya tak berhenti menengok kanan kiri seperti memcari sesuatu.

Iban tahu apa yang dicari dan ia tahu itu ada di mana. Tepat satu meter di depannya, ia melihat inhaler yang sama dengan inhaler yang ia temuin satu bulan setengah lalu.

Iban menatap inhaler itu dalam diam sesekali mencuri pandangan melihat orang bodoh tengah panik mencari inhalernya.

Apa Ia pergi saja dari sini? meninggalkan orang itu dengan suara napasnya yang mulai menganggu. Toh, kalau dia masih hidup hari ini kemungkinan besar dia akan aduin Iban lagi ke Sir Robert yang membuat Ia bernasib sama dengan Owen.

“I...ban..to...long.”

Suaranya balapan dengan suara napasnya. Iban menatap bagaimana orang itu memegangi lehernya.

Kejadian waktu itu terulang lagi. Dengan raut wajah yang sama, dan suara napas yang sama.

Iban membuang napas diakhiri dengan tersenyum kecut sembari menendang inhaler itu hingga berhenti tepat pada sang pemilik.

Aja yang terlihat sangat panik dengan cepat langsung menggunakannya, tak peduli dengan tangannya yang sudah gemetar hebat karena berpikir ajalnya sudah dekat.

Ya, setidaknya Iban tidak jadi pembunuh.

Rey tahu perjuangan untuk mendapatkan perguruan tinggi itu ga mudah, banyak sekali materi yang harus ia pelajari. Bukannya hanya itu, sebagai pejuang PTN, Rey mengakui bahwa banyak sekali hal yang harus ia relakan.

Berkiblat dari pacarnya, Samudra, yang rela menghabiskan pulahan juta hanya demi bimbel offline saja. Bahkan, Samudra juga merelakan waktu-waktunya demi sebuah kampus ternama di Jawa Barat.

Dan sekarang giliran dirinya.

Memutuskan untuk gap year tentu tidak mudah bagi seorang Reygal Sabian. Ada sedikit penyelasan dalam dirinya yang sama sekali tidak menyoba daftar di tahun lalu.

Alasannya sebab otaknya sudah terlalu penuh untuk menerima ilmu lebih banyak. Lebih baik mencari pundi pundi uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat mata duitan ini.

Jika bukan karena rasa sayangnya kepada Sang Pacar, seorang Rey juga tak akan pernah menyentuh kertas-kertas berukuran A4 yang sudah dijilid sedemikian rupa dengan banyak sekali soal perhitungan yang tertulis di sana.

Bermacam try out yang sudah ia kerjakan tak menghasilkan skor yang aman, bahkan bisa dibilang jauh dari kata aman.

Tak lupa dengan rasa insecure yang hampir setiap hari ia dapatkan. Buka instagram, banyak teman seangkatannya yang sudah bahagia dengan kehidupan kuliahnya. Buka twitter, banyak sekali orang-orang yang memperlihatkan progress skor try outnya. Buka Whatsapp, ada roomchat Samudra yang menjadi tujuan dia harus bisa masuk kampus berwarna kuning itu. Buka tiktok, banyak konten tips and trik skor UTBK auto 700 tanpa belajar. Mboh.

Depok setelah hujan benar-benar membuat Rey tak selesai menyebut kalimat minta ampun sebab jalan di depannya terlihat sangat penuh, bunyi klakson di mana-mana, bahkan sekedar di lobby saja antrean untuk pick up dan drop out sangat ramai.

Ditambah lagi suasanya hatinya setelah melihat skor try out sebelum ia memutuskan untuk menunggu Samudra di area lobby.

Skornya tidak ada kenaikan, tetap pada kepala lima.

Rasanya ingin menyerah saja, bekerja di sebuah cafe menjadi barista jauh lebih mudah daripada mengerjakan soal-soal yang kurang ajar susahnya.

Namun, fakta bahwa Samudranya menunggu di tempat yang sulit untuk ia tembus. Sunggu membuatnya takut akan hal yang akan terjadi di tahun depan.

Gimana jika gue gagal? Bagaimana jika gue menghancurkan? Bagaimana kalau pada akhirnya gue tetep ga akan bisa untuk mencapai tempatnya?

Banyak sekali kekacauan yang ada dipikirannya.

Bunyi knalpot racing mulai terdengar di kupingnya. Bunyi yang sangat menganggu pikiranya dan membuatnya mengeluh, “Anjing.”

Umpatannya bukan untuk knalpotnya yang terlalu berisik. Namun, karena motor ninja zx25r itu berhenti tepat di depannya dengan pengemudi yang membuka kaca helmnya, “Motor jamet siapa yang lu pakai anjing?” melainkan untuk pacarnya yang datang dengan motor yang berisiknya luar biasa hingga menjadi pusat atensi sekitar.

“Enak aja motor jamet, ini motor keren. Barter bentar sama temen. Motor aku dipakai dari kemarin.”

Rey mendengus, “Trus maksud lu gue dari depok ke tambun diboncengin lu naik motor ini?”

“Ga ada motor lagi yang bisa dipakai sayang. Gapapa yaa?”

“Sampai sana pantat gue kebas anjing. Mana berisik banget tuh knalpot. Tai.”

“Gapapa nanti aku urut pantatnya.”

Rey menoyor kepala Samudra yang masih tertutup helm full face, “Gue yang bawa dah sini ajg, biar pantat lu yang gue urut!”

“Kamu biasa naik beat, sok sok an bawa moge.” ledek Samudra, “Udah cepet naik.”

Perjalanan 50 km dari Depok ke tambun ditemani dengan macetnya ibukota setelah hujan ditambah dengan suara knalpot yang luar biasa ributnya serta pantatnya yang sudah sangat kebas ini benar benar membuat moodnya jatuh ke bawah.

Setelah Samudra memberhentikan motor sialan itu tepat di depan rumahnya, tanpa menunggu apapun Rey langsung berjalan memasuki rumah.

“Are you really going to leave me like this?”

Kalimat yang dikeluarkan Samudra berhasil membuat Rey berhenti. Kemudian Rey kembali mendekat dan mengecup pipi kanan pacarnya, “Thanks, hati-hati pulangnya.” dan kembali menjauh.

Sikap Rey yang sangat pendiam ini sejak tadi membuat Samudra berasumsi kalau suasanya hati pacarnya ini sedang kacau. Belakangan ini yang selalu berhasil membuat pacarnya berubah ini hanya satu, yaitu skor try out.

“Rey? Aku mau ngomong.” ucap Samudra membuat Rey kembali berhenti. “Ga. Aku udah tau kamu mau ngomong apa.” jawab Rey.

“Rey aku serius, you don't have to do this I swear to you, all the things that you're afraid of, it's not gonna happened.”

“All I've done for this last months itu because I really want to be with you so bad, Sam. I want to be somewhere where you are. I want to be in every step in your live. All I want is kalau kamu ke kampus ada aku, kamu pulang juga ada aku. I really want to be with you so bad.” Rey menjeda ucapannya, “Just call me i'm greedy, I'm okay with that. But this is the only way I can show my love for you.”

Pengakuan dari sang pacar membuat Samudra kehilangan kata-katanya. Ia membiarkan udara mengambil alih percakapan mereka selama beberapa detik selagi Samudra memikirkan kalimat selanjutnya.

“Sini dulu deketan, aku mau peluk, I have three classes today. Butuh energi untuk pulang ke depok karena besok kelas pagi.”

Rey luluh, ia kembali mendekat dan langsung mendekap pada tubuh yang selalu memberinya hangat.

“Just, don't forget yourself yaa? Jangan terlalu dipikirin apapun yang akan terjadi nanti ke depannya. Hari H nya masih lama, masih banyak waktu yang bisa kamu lakuin. Hasilnya nanti itu ga bergantung sama nilai try out kamu, jadi jangan terlalu merasa bodoh karena nilai try out yang jelek yaa? Don't force yourself.”

“I love you and I always do. So whatever will be happen, it won't change the fact that I'm yours, Rey.”

“Dan maaf karena aku masuk UI. Ka—”

Rey segera melepaskan pelukan terlebih dahulu saat mendengar kalimat yang sedang dikeluarkan Samudra. Ia memotong ucapan itu karena emang hampir setiap minggu Samudra akan berkata hal yang sama.

“Udah aku bilang bukan salah kamu!”

Samudra terkekeh, Ia kembali menarik tangan Rey untuk kembali mendekap, “Aku belum puas peluknya ih main lepas aja.”

Samudra selalu bisa memperlihatkan rasa sayangnya. Selalu anter-jemput Rey, membalikan barang mewah yang tentu Rey sendiri ga bisa beli, merangkai kata indah kaya tadi, menyempatkan waktu untuk bertemu. Semuanya akan setuju kalau Samudra yang terlalu banyak berjuang dalam hubungan ini.

Kalau Rey? dia jarang sekali berbuat untuk Samudra. Selain melabrak para mata keranjang yang godain Samudra, Ia tidak tahu harus berbuat seperti apa. Sebab pengorbanannya akan selalu kalah dengan kalimat dari Samudra.

“Ga usah aku aja yang nyetir, kamu bobo aja.” “Ga usah aku aja yang bayar.” “Aku aja nanti yang beli titipan kamu.” “Ngapain ke depok? aku aja yang ke bekasi”

Rey selalu kalah kalau urusan mengekspresikan rasa sayang dan satu-satunya yang bisa ia tawarkan adalah, “Sam, jadi pijat pantat aku ga?”

Iban selalu punya pikiran jahat dalam hidup. Kalau semisalnya Ia terkena penyakit kronis, Ia ingin meninggal tanpa berusaha untuk sembuh, karena kedepannya menyusahkan orang lain dan diri sendiri. Bergantungan dengan obat sebagai penunjang hidup itu bukan tujuan Iban dalam hidup. Lebih parah lagi kalau keluarga dengan mati-matian bayar buat kesembuhan, tapi pada akhirnya tetap pada peluang awal, cuma sedikit untuk sembuh. Alias buang-buang duit.

Syukur-syukur kalau aslinya pewaris, lah kalau yang generasi sandwich? yaudah lah.

It ain't easy being wheezy.

Selagi mengekori Sir Robert, suara hati Iban ga berhenti bacain kalimat itu. Pikirannya sibuk mikirin milik siapa inhaler ini, karena Ia yakin pemiliknya adalah akar dari masalahnya selama tiga bulan ini.

Si cepu.

Berbekal “Perasaan tadi waktu gue masuk. Ini ga ada di wastafel” Iban udah yakin sekali untuk menyalahkan Si Cepu untuk segala surat peringatan dan surat pemanggilan dari BK.

Orang asma akan selalu butuh inhalernya.

Si cepu akan, entah kapan, mencari inhalernya.

Namun pastinya, kalau dia ga ingin cepat meninggal, maka pertemuan ini akan secepatnya.

Kecuali, kalau dia udah sekarat sekarang.

“Sir, ada yang mau meninggal.” spontanitas Iban ini berhasil bikin Sir Robert berhenti dan memandangi lelaki yang tengah memegangi dadanya yang naik turun mencari oksigen yang gratis di udara.

Kedua matanya udah berair tanda lelaki itu sudah lama bertahan dengan susahnya bernapas bak manusia biasa.

Sir Robert segera berlari menaiki 4 anak tangga untuk membantu orang itu. Seketika melupakan eksistensi Iban di sini.

Pikirin jahatnya kembali terulang, antara ikut membantu atau menyelamarkan diri dari omelan Sir Robert, yang artinya Ia harus kabur sekarang.

“Iban, give me his inhaler, then help me to take him to the clinic.”

atau tidak bisa kabur sama sekali sama sekali.

Reuni.

Apasih gunanya reuni? di saat dirinya tak merasa nyaman dengan lingkungannya? di saat semua orang memanfaatkannya demi nilai yang sempurna? di saat dirinya yang menahan untuk tidak emosi, sebab ia masih membutuhkan adanya teman?

Walaupun dimanfaatkan, Ashi membutuhkan sosok teman. Teman untuk menemaninya ke kantin, teman untuk mengajaknya untuk berkelompok.

“Ashi, lu kangen masa SMA ga sih?”

Teringat dengan jelas bagaimana senyum hangat itu menjadi sapaan awal di pagi hari. Setiap dirinya memakai setelah putih abu-abu, secara spontan otaknya selalu mempertanyakan romansa apa yang akan terjadi hari ini. Tak hentinya Ashi membayangkan bagaimana Tuhan akan memberikan Ashi kenangan putih abu-abu yang bisa melebihi kenangan yang Ibu ceritakan setiap pagi.

Semoga Ashi dapat pacar hari ini. Siapapun Ashi terima, asalkan bisa bikin masa SMA Ashi jadi indah, Ya Tuhan....

“Ashi, Angkasa udah nungguin.”

Dan jangan Kasa. Amiin.

Sesuai dengan dugaan, begitu Ashi membuka pintu, terpapang dengan jelas bagaimana poster tubuh pria yang sok ganteng itu.

Seragam yang tidak dikancing menampilkan kaos putih dengan tulisan Hard Rock, kalung rantai kecil yang terpasang sempurna di lehernya.

“Selamat pagi, Kesayangan.”

Angkasa Aden Akbar.

Cowo sengak, gila, sok ganteng, ga murah senyum, ga pintar kecuali di bidang matematika, dan cinta mati dengan Ashi.

“Udah berapa kali aku bilang kalau stop panggil aku kesayang! Aku bukan pacar Kasa dan aku juga ga akan sayang Kasa! Tipe aku tuh kaya Ka Iqi, ketua OSIS, keren, rapih, bersih, engga sengak kaya Kasa! “

Ka Iqi, murid paling berprestasi di angkatan kedua di atasnya. Hampir setiap bulan pasti Ka Iqi selalu mendapatkan piala atau sertifikat. Pintar dalam segala bidang, otak dan fisik, keduanya seimbang. Bisa memainkan banyak alat musik, yang memungkinkan Ka Iqi untuk unjuk bakat disetiap ada kesempatan. Susah untuk mendapatkan pria yang mempunyai banyak bakat seperti Ka Iqi.

Ya tuhan, Ashi mau Ka Iqi jadi pacar Ashi. Ashi mau masa SMA Ashi dihabiskan bersama Ka Iqi. Aamiin...

Tubuh Ashi terdorong-dorong yang membuat es cekek di genggamannya tumpah, ingin sekali rasanya ia mencabik wanita berambut ikal itu. Namun, matanya tak berhasil menangkap sosok itu, melainkan banyaknya orang yang mengerumuni ruang BK.

“Gue ga nyangka banget Ka Iqi begitu..” “Trus dia nanti dikeluarin ya dari sekolah?” “Kayanya iyaa, wah kalau engga parah sih, pilih kasih banget.”

Gosipan tiga senior di sampingnya mengalihkan atensinya. Sebuah nama yang terdengar itu dengan kurang ajar membuat hatinya mulai begerumuh.

Ya Tuhan, jangan dulu... Ashi bahkan belum pernah bertukar kata. Ka Iqi bahkan belum tahu nama Ashi. Ka Iqi belum tahu ada sosok Ashi yang selalu bangga dengan Ka Iqi

“Ashii, geseran dulu atuh, ini aku mau pel minuman kamu yang tumpah.”

“Kasaa? Kaa Iqi kenapa? Ka Iqi mau dikeluarin yaa? Kenapa Ka Iqi dikeluarin? Kasa jawab Kasa” Ashi meluapkan rasa emosinya dengan memukul dada Kasa yang berada di depannya.

Harapannya remuk, doanya tak akan mungkin bisa terjadi, masa SMA nya tak akan jadi indah seperti milik Ibu.

“Ketahuan ngerokok di kelas, tolol emang.”

Mulai saat itu, Ashi tersadar, bahwa Ka Iqi yang terlihat agamis, akan terbawa juga pada jahatnya lingkungan.

Dan mulai saat itu, Ashi tak akan berharap lagi, karena ternyata doa dan harapan akan kalah dengan takdir yang terlalu lucu untuknya.

Ashi butuh sandaran, Ashi butuh kesadaran bahwa Ka Iqi hanyalah sesuatu yang tidak mungkin. Namun sayangnya, hanya ada Kasa di sisinya.

“Ashi, jangan peluk aku” “Sebentar, Kasa. Ashi lagi sembunyi, Ashi malu karena lagi nangis.” “Ashi, maaf kurang ajar, tapi detak jantung aku kenceng banget.”

Perihal detak jantung, Kasa selalu berkata bahwa dengan Ashi, hatinya selalu berdekat. Kasa tak henti menyuarakan rasanya kepada Ashi, yang selalu Ashi respon dengan candaan.

Sebab bersama Kasa, bukan rencananya.

“Aku ga suka sama orang yang ngerokok. Kasa, Ashi boleh minta tolong?” Ashi menjeda ucapannya, menunggu respon sandarannya, Dua detik Ashi terjeda sebelum dirinya merasakan satu tangan yang melingkari tubuh belakangnya, “Tolong jangan merokok.”

Ashi hanya ga mau kehilangan salah satu sahabatnya, hanya itu.

Namun, benar kata manusia, janji hanya sekedar ucapan, tak peduli betapa besarnya kita menaruh rasa percaya pada mereka yang dengan gampangnya berucap.

“Shi...”

Ashi menggeleng tak percaya melihat bagaimana Angkasa dengan gampangnya bercanda dengan kedua temannya yang lain, tak mengajak dirinya.

Ashi mencoba untuk tidak percaya bahwa pada akhirnya Ashilah yang tertinggal.

Ketiga temannya dengan mudah menghisap dan mengeluarkan asap dengan secangkir kopi hitam.

Pikirannya terpaksa berputar mencari alasan Affan, Ezer, dan Kasa bermain tanpa mengajak Ashi.

Dan satu-satunya jawaban adalah..

Ashi terlalu kuno untuk mereka.

“Kenapa?” adalah satu-satunya kalimat yang muncul dari mulutnya yang bergetar.

“Eh Ashi, sini Shi join. Tadi si Kasa ngechat ngajak nongkrong, gue kira dia chat lu juga, pantesan aja Kasa chat gue sama Ezer sendiri, ga lewat grup.” jelas Affan yang dihadiahi tempelengan dari Kasa.

Ashi menangkap bagaimana Kasa menabrakan putung itu ke dinding sebelah, kemudian diinjaknya. Kasa mendekat sembari meneguk kopi hitam yang ia bawa.

“Ashi ayo turun, jangan di sini ada yang ngerokok.”

Ashi menangkis sentuhan Kasa yang berusaha untuk menariknya dari rooftop ini. Pada dasarnya, bukan bersifat seperti kekanakan, tapi kakinya untuk berdiri saja tidak lagi mampu menahan beban.

Ia berusaha menatap kedua mata laki-laki yang berada tepat di depannya, “Kenapa?”

Ashi tahu bahwa bersama dirinya, Kasa tak akan bisa merokok. Namun, mengapa Kasa merokok? sejak kapan? Apakah waktu Kasa berjanji Ia sudah mulai merokok?

Ashi takut dengan fakta bahwa dirinya tak bisa lagi ditemani karena dirinya tak pernah suka dengan perokok. Ashi takut dengan fakta bahwa Kasa akan cepat pergi sebab nikotin yang dihisap terus menerus.

“Kasa menghilang tiga minggu, Kasa ga masuk selama tiga minggu, Kasa engga jemput Ashi lagi selama tiga minggu, Kasa engga makan di rumah Ashi lagi selama tia minggu. Selama tiga minggu... Kasa kemana?”

“Menurut Kasa, Kasa keren muncul-muncul hisap rokok gini? menurut Kasa, Kasa keren ga ngasih kabar ke Ashi selama dua minggu? menurut Kasa, Kasa keren ingkarin janji Kasa lima bulan yang lalu?!”

“Kasa? Kasa engga keren begitu. Kasa mau apa? mau Ashi balas cintanya Kasa? Kasa, Ashi harus apa biar Kasa ga menghilang lagi? biar Kasa ga ngerokok lagi?”

“Kasa... Ashi ga mau jauhin Kasa. Iya, Ashi ga suka perokok, tolong Kasa jangan jadi perokok yaa? satu aja ini abis itu jangan yaa?”

Kasa menarik paksa tangan Ashi dan menuntunnya untuk menuruni anak tangga hingga turun satu lantai.

Ashi belum menangis dan ini mungkin saat yang tepat untuk Kasa berbicara.

Sebab kalimat yang sudah tersusun di kepalanya akan langsung hancur jika berhadapan dengan Ashi yang menangis.

“Gue udah ngerokok dari seminggu yang lalu, Shi. Gue suka rokok. Ga peduli betapa lu anggap perokok itu bodoh karena buta sama tulisan di kemasannya. Namun, lu harus tahu faktanya kalau gue ngerokok. Selanjutnya seterah lu mau gimana, lu mau jauhin gue sete—”

“Yaudah, Ashi mau belajar suka sama Kasa!”

Bukan. Bukan ini yang harusnya Kasa dengar. Bukan ini yang harusnya terjadi

kjabsjino nfere

“Ajarin gue ngerokok.”

Kalimat itu terus menerus ia ucapkan selagi menunggu pintu putih di depannya terbuka. Bak mantra yang selalu diucapkan saat sedang merasa kalah, Dafin tak pernah berhenti menghentikan kalimat itu.

Sebab Dafin takut akan pilihannya.

Tak sebanding dengan jaraknya, berjalan ke Jl Avenue No.2 terasa sangat lelah.

Hatinya yang tak ingin. Otaknya yang menyangkal. Mulutnya yang sibuk dengan mantra. Kakinya yang tak ingin melangkah.

Lantas ketika ia mengetuk pintu putih itu, pikirannya kembali dipertanyakan.

Apakah pilihannya benar?

Pilihannya untuk benar-benar merelakan empat bintang yang dulu selalu dielu-elukan.

Empat bintang yang sangat ingin ia capai sejak duduk di bangku dasar.

“Ayah, Dafin mau jadi tentara.”

Senang. Ayah senang dengan cita-cita anaknya. Cita-cita yang sudah bisa menjamin masa depan.

Namun ketika anaknya pernah pingsan akibat terlalu banyak berlatih, apakah Ayah tak pantas khawatir?

“Selain jadi tentara Dafin mau jadi apa?” pertanyaan Ayah membuat Dafin menggeleng cepat.

Dafin hanya ingin menjadi tentara dan bersumpah untuk melakukan apapun demi bintang di bahunya.

Setidaknya hingga satu jam yang lalu.

Sekarang Dafin hanya menatap sekotak rokok yang baru saja ia beli dan satu korek gas di kepalan tangannya.

Dua benda itu sangat pas di genggamannya.

Namun asing.

Dafin menghembuskan napasnya seraya pendengerannya nenangkapnsuata gesekan pintu. Lantas ia menaruh atensinya pada sosok yang membuka pintu itu.

“Ka dafin? nyari bang Deka ya? Bang Deka ga ada, biasanya kalau malam minggu ini dia kan-”

“Boleh gue minjem bahu lu?”

Sialan.

Mantranya hilang.

Bahkan disaat dirinya seperti ini, yang ada di hadapannya adalah sosok yang bikin dirinya tahu apa artinya bintang empat untuknya.

Alkian Dina Aswangga, maaf sebab yang berani mencintaimu tak pantas untuk mendapat gelar jenderal kesukaanmu.