cappucinooh

Selama delapan belas tahun hidupnya di dunia ini, saat ini adalah pertama kalinya Aja merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Berpergian berdua, menertawakan segala hal, dan berpegangan tangan, ah yang satu ini Aja belum merasakannya.

Matanya menangkap banyak sekali pasangan yang tengah tertawa seakan dunia ini milik mereka berdua. Ada yang tengah berpelukan, bahkan ada yang membiarkan pasangannya tidur pulas di pahanya.

Semua terlihat sangat romantis.

Dahulu, Aja hanya dapat melihat hal-hal seperti itu dengan Eyan. Namun tak pernah Ia sangka, sekarang Ia sedang duduk satu tikar dengan lelaki yang kini sedang sibuk menata makanan.

“Iban-iban lihat sini.” Aja mengambil atensi Iban untuk Ia potret di kameranya.

Kemudian, Ia tersenyum melihat hasil foto tersebut. Iban sudah banyak senyum sekarang, walaupun hanya bersamanya. Aja tahu Iban sudah berusaha agar tidak membuat Aja takut.

Senyuman Iban itu manis dengan kedua lesung pipi yang menularkan rasa senang, Aja tidak berbohong, di saat dirinya menatapi hasil fotonya dengan bahagia.

Langit Ibukota kini sangat cerah, warna biru yang sepandan dengan warna tikar, memberikan kesan aesthetic mengelilingi mereka.

Dikelilingi oleh pepohonan dan beberapa gedung pecakar langit tentu mempercantik hutan kota ini, “Cakep ya?” tanya Iban memulai percakapan.

“H-hah?” Aja mengikuti tatapan Iban yang jatuh pada gedung-gedung tinggi di depannya, “Iyaa cakep yaa Iban, aku penasaran yang punya gedung kaya gitu tuh sekaya apa yaa?”

“Bukan gedungnya tapi gue.” “Hah gimana Iban?” “Lu mau sampai kapan liatin foto gue di saat gue ada di samping lu gini?”

Ah, malu...

Bagaimana Ia tidak sadar bahwa Ia sekarang sedang duduk sampingan dengan orang yang sama di dalam kameranya?

“Oh itu hahaha, itu aku bisa jelasin Iban. Jadi di foto ini tuh kamu ada lesung pipi, cuma kalau aku lihat langsung kok ga ada yaa? apa emang kamu jarang senyum makanya aku ga tau yaa?”

Iban menompangkan beratnya pada kedua tangan yang bertumpu kebelakang. Ia fokuskan tatapan pada sosok mungil kini sedang berusaha menutupi gugupnya dengan memakan satu potongan apel.

Iban tersenyum.

“Ih tuh kan ada lesung pipinya beneran. Coba coba senyum lagi, aku mau lihat”

Aja histeris ketika dirinya menangkap Iban yang tengah tersenyum jahil. Lantas Ia pindah posisi agar lebih mendekat dan menipiskan jarak mereka agar Ia dapat melihat lesung pipi Iban dengan jelas.

“Iban ayo senyum lagi.”

Gila.

Ini terlalu dekat. Iban menahan napasnya melihat muka aja yang sedekat ini. Sumpah demi Tuhan, ini jarak paling dekat antara mereka berdua. Kedua mata yang saling menatap dengan tinggi yang sejajar.

Sumpah, Iban bisa gila.

Jantungnya tak bisa berhenti berteriak, tangannya tak bisa berhenti memainkan kukunya, napasnya tak teratur.

Wangi Aja, sangat tercium di indranya.

“Iban ih ayo senyum aku mau lihat.”

Semua tubuhnya seakan disfungsional sekarang, kelima indranya tak bisa digerakan. Bahkan menggerakan bola matanya saja, Iban tidak bisa.

Wajah cantik Aja, sangat memikat.

“Gi-gimana gue bisa senyum kalau jarak kita sedeket ini Ja?”

Sialan. Gugupnya ketahuan.

Aja memundurkan tubuhnya, Ia sendiri pun baru sadar, bahwa mereka benar-benar dekat. Aja dapat mencium parfume Iban, Aja...Tuhan Aja terlihat seperti orang mesum yang hanya fokus pada bibir Iban.

Bukan itu yang Aja maksud...

Aja hanya ingin melihat senyum Iban. Udah itu aja...

Ia memalingkan wajahnya, terlalu malu untuk melihat Iban. Iban pasti berpikir kalau Aja mesum yang ingin menciumnya.

Buna... Aja mau pulang....

“Ja?” “Sebentar ya Iban, pipi aku panas, aku juga masih malu lihat muka kamu. Tolong tunggu sebentar ya Iban, aku minta maafnya nanti boleh? Tunggu pipi aku tidak panas lagi.”

Aja tak tahu bagaimana Iban mati-matian menetralkan napasnya sekarang. Aja juga tidak tahu bagaiamana Iban juga tidak mau Aja melihat muka merah salah tingkahnya ini.

Keduanya sama-sama tidak tahu bahwa jatuh cinta memang sangat merepotkan ini. Menatap wajah saja sudah salah tingkah tak karuan.

“Oke udah Iban” Aja kembali menolehkan kepalanya menghadap Iban, “Iban kamu kenapa tutupin pipi gitu?”

Mendapat pertanyaan dari Aja membuat harga diri Iban rasanya seperti jatuh. Lantas Ia ambil satu botol air mineral dan Ia teguk minum itu dengan kasar.

“Iban pelan-pelan minumnya.”

Iban tak peduli, Ia teguk minum itu hingga habis lalu mengipaskan wajahnya dengan tangan kosong, “Panas ga sih Ja di sini? Mau keliling gaa?”

Iban yang sudah setengah berdiri kini kembali terduduk sebab Aja menariknya, “Sini dulu duduk aku mau kasih penjelasan.”

“Sebenarnya Iban, aku tadi cuma mau lihat senyum kamu doang. Iyaa aku jujur, kamu di foto itu ganteng sekali. Trus waktu kamu punya lesung pipi kamu makin manis di mata aku, kenapa begitu yaa?”

Iban tak merespon, Ia biarkan Aja berbicara yang katanya akan meluruskan kesalahpahamanan ini.

“Aku mau lihat senyum kamu secara langsung gitu. Nah harus deketan biar lebih jelas, tapi kayanya aku kedekatan. Maaf Iban.. Aku ga bermaksud mau buat mesum sama kamu, aku ga mesum ya Iban. Maaf...”

Iban tertawa, “Dongo.” celetuk Iban tak percaya mendengar kalimat klarifikasi seperti itu, “Iya dimaapin.” lanjutnya.

“Yeayy terima kasih Iban. Sekali lagi, aku ga mesum ya Iban, kamu jangan risih sama aku.” Aja bersorak senang, “Ayo kita keliling sekarang Iban.”

Sekarang giliran Iban yang menarik Aja yang sudah berdiri untuk kembali terduduk, “Sekarang dengerin gue. Gue cuma ngomong ini sekali tanpa pengulangan.”

Aja dengan sigap langsung mendudukan dirinya dengan tegap, “Iya Iban apaa? aku dengerin dengan baik.”

“Gue suka sama lo. Ini beneran. Jadi lu bisa percaya sama gue buat taruh hati lu. Ini juga masih pertama buat gue. Kalau misalkan gue kurang ekspresif gue minta maaf. Tolong jangan raguiin rasa gue lagi ya? Ngerti ga cil?”

Aja tersenyum manis, Ia arahkan tanganya ke atas kepala Iban. Kemudian Ia menepuk pelan kepala Iban, “Oke, Iban.” ucapnya sopan sembari pat-pat pria bersurai coklat dihadapannya.

Gila.

Segampang itu? Aja segampang itu menyentuh dirinya di saat dirinya susah payah menahan napas? Aja...

Iban sudah gila rasanya.

Jantung yang tak ada hentinya sejak semalam sudah hampir bisa membunuhnya. Bagaimana bisa setiap memikirkan balasan Iban yang mengetik kalimat 'pdkt' cukup membuat perutnya terasa aneh.

Ini adalah kedua kalinya Aja merasakan seperti ini. Pertama di saat Galuh sempat menemaninya untuk tidak mengikuti jam pelajaran olahraga, yang mana dia mulai menyukai Galuh. Lalu, sekarang...

Aja sendiri tidak berani untuk langsung menyimpulkan bahwa dirinya sudah menaruh rasa pada Iban.

Sebab rasa bencinya jauh dari itu.

“Penyakitan, dongo, bego, jelek, tuyul, najis.”

Banyak sekali kata yang Iban keluarkan yang cukup bisa menyakiti hati Aja. Ya, Ia harusnya benci sama Iban. Bukan merasakan hal yang sama seperti bersama Galuh.

Galuh lebih baik dari Iban.

Berkali-kali, Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah rasa yang datang sebab tak pernah ada yang mendekatinya. Iya. Bukan menaruh rasa.

“Lama banget lu, ngapain aja sih?”

Kan.... Iban itu selalu Kasar, beda jauh dari Galuh.

“Udah mandi lama-lama, tetap aja sama, kaga ada berubahnya tuh muka.”

Tuh kan... Iban itu ga pernah mau memuji, mengucapkan kata pujian seperti haram keluar dari mulut dia.

“Gue udah nungguin lu sepuluh menit di sini. Gue bakal nagih sepuluh menit gue nanti.”

Tuh... Iban orangnya ga pernah tulus. Apa-apa selalu ditagih, padahal kita sendiri ga pernah minta.

Iban itu jauh dari tipe idealnya yang romantis, humoris, mampan, dan Galuh.

Oleh karena itu, Ia sudah yakin bahwa pdkt ini tidak akan berhasil. Karena matanya masih tertuju pada Galuh.

“Oi jelek.”

Iban selalu mengatainya, Iban tak ada romantisnya.

“Boleh ga sih pelukan di depan rumah lu?”

Tuh kan...

“Apa Iban? Bisa diulangin lagi ga? Aku ga denger. Maaf Iban, jangan marah.”

“Ga usah, nantian aja, dah malas gue.”

Iban itu pemarah, baperan, emosian, semua sifat jelek di dia. Ga ada baiknya dan ga ada sisi yang patut untuk dicinta.

“Naik bego, kita berangkat sekolah sekarang, jangan bikin gue telat.”

Iban itu Kasar, nadanya juga selalu tinggi. Sangat beda jauh dengannya.

“Ga mau naik jugaa? Yaudah gue tinggal aja kalau gitu.”

Satu-satunya hal positif dari Iban. Melakukan apa yang diucapkannya. Alias Iban beneran meninggalkannya.

“Aku akan benci Iban selamanya!!!!!!

Rey tahu perjuangan untuk mendapatkan perguruan tinggi itu ga mudah, banyak sekali materi yang harus ia pelajari. Bukannya hanya itu, sebagai pejuang PTN, Rey mengakui bahwa banyak sekali hal yang harus ia relakan.

Berkiblat dari pacarnya, Samudra, yang rela menghabiskan pulahan juta hanya demi bimbel offline saja. Bahkan, Samudra juga merelakan waktu-waktunya demi sebuah kampus ternama di Jawa Barat.

Dan sekarang giliran dirinya.

Memutuskan untuk gap year tentu tidak mudah bagi seorang Reygal Sabian. Ada sedikit penyelasan dalam dirinya yang sama sekali tidak menyoba daftar di tahun lalu.

Alasannya sebab otaknya sudah terlalu penuh untuk menerima ilmu lebih banyak. Lebih baik mencari pundi pundi uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat mata duitan ini.

Jika bukan karena rasa sayangnya kepada Sang Pacar, seorang Rey juga tak akan pernah menyentuh kertas-kertas berukuran A4 yang sudah dijilid sedemikian rupa dengan banyak sekali soal perhitungan yang tertulis di sana.

Bermacam try out yang sudah ia kerjakan tak menghasilkan skor yang aman, bahkan bisa dibilang jauh dari kata aman.

Tak lupa dengan rasa insecure yang hampir setiap hari ia dapatkan. Buka instagram, banyak teman seangkatannya yang sudah bahagia dengan kehidupan kuliahnya. Buka twitter, banyak sekali orang-orang yang memperlihatkan progress skor try outnya. Buka Whatsapp, ada roomchat Samudra yang menjadi tujuan dia harus bisa masuk kampus berwarna kuning itu. Buka tiktok, banyak konten tips and trik skor UTBK auto 700 tanpa belajar. Mboh.

Depok setelah hujan benar-benar membuat Rey tak selesai menyebut kalimat minta ampun sebab jalan di depannya terlihat sangat penuh, bunyi klakson di mana-mana, bahkan sekedar di lobby saja antrean untuk pick up dan drop out sangat ramai.

Ditambah lagi suasanya hatinya setelah melihat skor try out sebelum ia memutuskan untuk menunggu Samudra di area lobby.

Skornya tidak ada kenaikan, tetap pada kepala lima.

Rasanya ingin menyerah saja, bekerja di sebuah cafe menjadi barista jauh lebih mudah daripada mengerjakan soal-soal yang kurang ajar susahnya.

Namun, fakta bahwa Samudranya menunggu di tempat yang sulit untuk ia tembus. Sunggu membuatnya takut akan hal yang akan terjadi di tahun depan.

Gimana jika gue gagal? Bagaimana jika gue menghancurkan? Bagaimana kalau pada akhirnya gue tetep ga akan bisa untuk mencapai tempatnya?

Banyak sekali kekacauan yang ada dipikirannya.

Bunyi knalpot racing mulai terdengar di kupingnya. Bunyi yang sangat menganggu pikiranya dan membuatnya mengeluh, “Anjing.”

Umpatannya bukan untuk knalpotnya yang terlalu berisik. Namun, karena motor ninja zx25r itu berhenti tepat di depannya dengan pengemudi yang membuka kaca helmnya, “Motor jamet siapa yang lu pakai anjing?” melainkan untuk pacarnya yang datang dengan motor yang berisiknya luar biasa hingga menjadi pusat atensi sekitar.

“Enak aja motor jamet, ini motor keren. Barter bentar sama temen.”

Rey mendengus, “Trus maksud lu gue dari depok ke tambun diboncengin lu naik motor ini?”

“Ga ada motor lagi yang bisa dipakai sayang. Gapapa yaa?”

“Sampai sana pantat gue kebas anjing. Mana berisik banget tuh knalpot. Tai.”

“Gapapa nanti aku urut pantatnya.”

Rey menoyor kepala Samudra yang masih tertutup helm full face, “Gue yang bawa dah sini ajg, biar pantat lu yang gue urut!”

“Kamu biasa naik beat, sok sok an bawa moge.” ledek Samudra, “Udah cepet naik.”

Perjalanan 50 km dari Depok ke tambun ditemani dengan macetnya ibukota setelah hujan ditambah dengan suara knalpot yang luar biasa ributnya serta pantatnya yang sudah sangat kebas ini benar benar membuat moodnya jatuh ke bawah.

Setelah Samudra memberhentikan motor sialan itu tepat di depan rumahnya, tanpa menunggu apapun Rey langsung berjalan memasuki rumah.

“Are you really going to leave me like this?”

Kalimat yang dikeluarkan Samudra berhasil membuat Rey berhenti. Kemudian Rey kembali mendekat dan mengecup pipi kanan pacarnya, “Thanks, hati-hati pulangnya.” dan kembali menjauh.

Sikap Rey yang sangat pendiam ini sejak tadi membuat Samudra berasumsi kalau suasanya hati pacarnya ini sedang kacau. Belakangan ini yang selalu berhasil membuat pacarnya berubah ini hanya satu, yaitu skor try out.

“Rey? Aku mau ngomong.” ucap Samudra membuat Rey kembali berhenti. “Ga. Aku udah tau kamu mau ngomong apa.” jawab Rey.

“Rey aku serius, you don't have to do this I swear to you, all of the things that you fear of, it won't happened.”

“All I've done for this last months itu because I really want to be with you so bad, Sam. I want to be anywhere that you are at. I want to be in every step in your live. All I want is kalau kamu ke kampus ada aku, kamu pulang juga ada aku. I really want to be with you so bad.” Rey menjeda ucapannya, “Just call me i'm greedy, I'm okay with that. But this is the only way I can show my love for you.”

Pengakuan dari sang pacar membuat Samudra kehilangan kata-katanya. Ia membiarkan udara mengambil alih percakapan mereka selama beberapa detik selagi Samudra memikirkan kalimat selanjutnya.

“Sini dulu deketan, aku mau peluk, I have three classes today. Butuh energi untuk pulang ke depok karena besok kelas pagi.”

Rey luluh, ia kembali mendekat dan langsung mendekap pada tubuh yang selalu memberinya hangat.

“Just, don't forget yourself yaa? Jangan terlalu dipikirin apapun yang akan terjadi nanti ke depannya. Hari H nya masih lama, masih banyak waktu yang bisa kamu lakuin. Hasilnya nanti itu ga bergantung sama nilai try out kamu, jadi jangan terlalu merasa bodoh karena nilai try out yang jelek yaa? Don't force yourself.”

“I love you and I always do. So whatever will be happen, it won't change the fact that I'm yours, Rey.”

“Dan maaf karena aku masuk UI. Ka—”

Rey segera melepaskan pelukan terlebih dahulu saat mendengar kalimat yang sedang dikeluarkan Samudra. Ia memotong ucapan itu karena emang hampir setiap minggu Samudra akan berkata hal yang sama.

“Udah aku bilang bukan salah kamu!”

Samudra terkekeh, Ia kembali menarik tangan Rey untuk kembali mendekap, “Aku belum puas peluknya ih main lepas aja.”

Samudra selalu bisa memperlihatkan rasa sayangnya. Selalu anter-jemput Rey, membalikan barang mewah yang tentu Rey sendiri ga bisa beli, merangkai kata indah kaya tadi, menyempatkan waktu untuk bertemu. Semuanya akan setuju kalau Samudra yang terlalu banyak berjuang dalam hubungan ini.

Kalau Rey? dia jarang sekali berbuat untuk Samudra. Selain melabrak para mata keranjang yang godain Samudra, Ia tidak tahu harus berbuat seperti apa. Sebab pengorbanannya akan selalu kalah dengan kalimat dari Samudra.

“Ga usah aku aja yang nyetir, kamu bobo aja.” “Ga usah aku aja yang bayar.” “Aku aja nanti yang beli titipan kamu.” “Ngapain ke depok? aku aja yang ke bekasi”

Rey selalu kalah kalau urusan mengekspresikan rasa sayang dan satu-satunya yang bisa ia tawarkan adalah, “Sam, jadi pijat pantat aku ga?”

“Iban-Iban siniiii” Aja menarik lengan Iban setelah membukakan pintu depan, “Aku tidur baru lima jam tauu karena kamu!”

Iban membiarkan dirinya ditarik oleh tuan rumah tanpa protes. Dirinya sibuk memandangi tubuh Aja dari belakang. Pakaian yang dipilihnya sendiri sangat cocok untuknya. Perpaduan warna biru dan putih yang disandingkan dengan celana coklat serta tas selempang dengan bergambar beruang, sungguh sangat lucu di mata Iban.

Kemudian, Iban didudukan di sebuah sopa yang empuh, sedangkan sang pemilik rumah sedang menngambil kue yang katanya Ia bikin setengah mati, sampai harus tidur hanya lima jam, katanya.

“Happy birthday to you, Happy birthday to you..” Iban menengok ke belakang dan mendapati sesosok manusia kecil mungil yang seluruh mukanya tertutup nampan berisi kue.

Sungguh lucu menurutnya. Hari ini, si kecil itu sangat lucu di mata Iban.

Hanya hari ini.

“Iban ayo make a wish dulu.”

Iban tersenyum lalu menyatukan kedua tangannya, tak lupa dengan memejamkan matanya.

Ya Tuhan semoga ni anak lucunya hari ini aja, besok jadi dongo lagi...

Kemudian, diakhir dengan tiupan dua lilin warna-warni. Iban mengambil alih kue tersebut dan langsung memotongnya dengan garpu yang dibawa Aja.

“Enak ga?” tanya Aja penuh rasa penasaran. Aja belum pernah nyobain kue tersebut. Namun percobaan pertamanya, tidak enak. Maka Ia benar-benar berharap kue percobaan keduanya ini benar-benar enak.

Iban mengangguk sembari memotong kue lagi, “Enak kok.” jawaban Iban menghasilkan wajah tak percaya Aja keluar, “Ga percaya? Mau nyoba gaa?”

Aja mengangguk, lantas Ia berusaha untuk mengambil alih garpu yang dipegang Iban, “Ga usah sini gue suapin.”

“Buka mulut lu dongo.”

Sepertinya Tuhan sangat baik kepada Iban karena telah mengambulkan permintaannya dengan cepat, lantaran Aja tak membuka mulutnya bahkan di saat satu garpu kue sudah berada tepat di depan mulutnya.

“Iban?” “Buka yang gede mulut lu bego, tangan gue capek.” “Aku malu.”

Iban menangkap pipi Aja yang memulai kemerahan, sepertinya orang di depannya ini benar-benar malu, “Bisa ga pipi lu ga usah merah gitu?”

“Ya namanya aku malu.”

Iban menatap Aja tak percaya. Sungguh? di saat seperti ini? Iban tak lagi bisa menahan rasa capek di tangannya, lantas kue yang berada di garpu sejak tadi ia lahap juga, “Yaudah lu nyuap sendiri lah anjing.”

“Ibann kamu marah yaa? yaudah kamu suapin aku deh, aku buka mulut aku gede gede, segede gini” Aja membujuk Iban dengan membuka mulutnya sebesar mungkin.

Iban menonton bagaimana orang di depannya ini membuka mulutnya dengan pipi yang sudah merah padam, “Lu tau ga muka lu gitu mirip siapa?”

Aja segera menutup mulutnya dengan cepat sebab pertanyaan dari Iban, sebab Ia yakin Iban akan mengatakan karakter yang sangat-sangat jelek, “Karakter yang lucu tapi bukan tuyul.” jawab Aja dengan nada jutek, karena Ia sudah siap untuk memarahi Iban jika karakter yang keluar dari mulutnya sangat buruk lupa.

“Bener.”

Aja mengerjap mendengar jawaban dari Iban. “Bisa ga pipi lu ga merah gitu?” tanya Iban.

“Mana aku tau! aku ga bisa kontrol! Lagian kamu iyain! Aku kan bercanda.” kata Aja sambil menutup mukanya dengan bantal sofa yang berada di belakang punggungnya.

“Yaudah gue juga bercanda.”

Celetukan Iban berhasil mendaratkan bantal yang sebelumnya menutupi muka Aja kini menampar kepala Iban dengan keras, “Anjing ya lu!”

“Abisnya kamu ngeselin!”

Iban mengambil bantal tersebut dan mulai mengambil aba-aba untuk melempar kembali bantal tersebut ke pemiliknya dengan sangat keras, “Iban jangan lempar ke aku, nanti aku sesek, inhaler aku di kamar.”

“Emang bisa gitu?” Iban ragu dengan ucapan Aja, tapi mendapat respon anggukan oleh Aja membuat Iban melunak, “Oh yaudah kalau gitu, lanjut makan kue lagi aja.” lanjut Iban sambil menaruh kembali bantal tersebut ke belakang punggungnya.

Iban dan Aja saling gantian untuk memakai garpu agar bisa memakan kue. Aja memang hanya membawa satu garpu dan itu membuat aktivitas mereka memakan waktu lama di sini hanya untuk memakan kue.

“Kalau boleh tau, kamu tadi wish apa, ban?” tanya Aja memecah keheningan.

“Supaya lu dongo terus.” jawab Iban langsung tanpa memikir dua kali apa yang Ia ucapkan, “Hari ini lu lucu, jantung gue jadi deg-degan terus. Mending lu dongo terus, jantung gue aman.”

Iban berusaha mencuri pandangan untuk memeriksa keadaan lelaki di sampingnya kini. Namun ia tidak mau menengok ke arah sana, karena Ia sudah bisa menebak kini pipinya sudah memerah karena mengucapkan hal yang sangat aneh, berbanding terbalik dari yang biasanya Ia ucapkan.

“Iban bisa ga muka kamu ga merah?”

Kan...

Selama dua belas tahun Iban bersekolah, hari ini adalah hari pertama kalinya Ia berendam di klinik, benar-benar berendam di sana alias benar-benar sakit.

“Sakit-sakit! Kamu terakhir ngomong gitu ga taunya ngerokok di kamar mandi, mana ketahuan lagi. Padahal udah saya kasih surat sakit, saya yang kena jadinya.”

Suster yang menjaga klinik bahkan tak percaya saat Iban datang dengan izin numpang untuk tidur.

“Dih ga percayaan banget, yaudah dah numpang tidur aja. Sebentar doang, Sus. Kalau jam istirahat udah selesai bangunin Iban ya sus.”

Sedikit curiga, sebab biasanya Iban datang ke sini waktu jam istirahat selesai. Namun, hari ini Iban terlihat seperti tak menjalani hidup, sungguh aneh seorang Iban tidak semangat jika sudah menyangkut jam pelajaran. Suster yang tak mau ambil pusing pun membiarkan lelaki itu mengambil alih satu dari dua tempat tidur yang kosong.

“Iban? Bangun udah bel masuk.” Tak mendapat respon membuat Suster pun mendekat, “Iban? Ga usah sok ga denger gitu, kamu aja denger pintu kebuka langsung kebangun.”

Suster menggoyangkan badan Iban pelan berharap Iban terbangun dari lelapnya, “Iban bangunn, tuh kan boong, katanya kalau bel masuk mau bangun.” Suster yang sudah menggerakan badan Iban tapi tak mendapat gerakan dari Iban pun mencoba untuk menyentuh tangannya, “Iban kamu demam?”

“Ya Tuhan Iban kamu panas banget.” Suster yang mulai panik pun menepuk pelan kedua pipi Iban agar Iban bisa bangun, “Iban bangun dulu.”

Iban melenguh, “Iban ayo bangun dulu, kamu panas banget. Minum obat dulu iban, kamu udah makan?” Iban menggeleng, “Aduh yaudah sebentar.”

Selanjutnya, suster pergi meninggalkan Iban yang sedang berusaha untuk menyatukan jiwa dan tubuhnya kembali. Iban dapat mendengar suara teriakan suster entah ke siapa, sebab dirinya sudah mengigil dan lemas di sini.

Tak sampai lima menit, wanita yang akrab dipanggil Sus itu kembali dengan membawa selimut, “Tunggu ya, Ban. Sus lagi suruh orang untuk beli makan. Nanti kamu makan terus minum obat. Surat sakit nanti Sus kasih ke kelas kamu.”

Iban yang sudah merasa tak menginjak bumi pun hanya mengangguk saja, dirinya terlalu lemah untuk membuka suara. Dirinya yakin ini hanyalah kecapaian saja atau efek samping ulangan ekonomi tadi pagi, tak perlu lebay sampai menggunakan obat segala.

“Oh Aja udah sampai? masuk aja sini Ja, tolong taruh meja samping kasur saja yaa. Sus mau siapin obatnya dulu.”

Mata Iban melotot, dirinya terduduk dengan cepat. Satu nama yang diucapkan Suster benar-benar membuat segala rasa pusing Iban hilang.

Aja.

“Emang siapa yang sakit Sus?”

Dari balik gorden, Iban bisa mendengar semuanya. Lantas Iban langsung berdiri dan merapihkan kasur serta seragamnya yang berantakan.

“Iban. Kamu kenal ga Ja?”

Gorden terbuka dengan keras, “Sus gimana sih kan Iban udah bilang bangunin Iban waktu jam istirahat selesai.” Iban jalan mendekat sambil menyisir rambutnya, berjalan sekuat tenaga, bahkan mati-matian untuk tidak terlihat lemas “Loh ada lu Ja? ngapain lu di sini sakit kah?”

“Dia yang sakit Sus?” Suster pun mengangguk, “Apaan ornag sakit senga gitu gayanya.”

“Hah gue? gue sakit apa anjir. Kaga elah. Sus bohong nih yaa demen banget boong emang.”

“Heh! siapa yang suhunya 38.5 derajat! siapa yang tadi ngerengek minta selimut! siapa yang tadi bilang lemes, pusing, pengen tidur lagi!”

Iban tertawa mendengar ocehan Sus dengan dua tabung kecil yang berisi obat di tangannya, “Haha apasih Sus, sehat gini kok. Udah ah Sus makasi ya udah nampung Iban tidur, bentaran. Iban balik kelas dulu.”

“Iban! balik ke tempat tidur!”

Iban yang tak peduli dengan omelan Suster pun berjalan santai mendekati pintu keluar. Namun sayang teramat sayang, satu tangan yang memegang es krim kini menghalanginya untuk berjalan maju.

“Kamu sakit beneran, Iban?” tanya Aja yang kini membuka suara setelah mendengar debatan Suster dan Iban.

“Dih budeg lo kaga denger tadi gue bilang a—” ucapannya terputus sebab kini tangan yang tadi menghalanginya sudah berada di dahinya pun dengan es krim yang ia taruh di mulutnya.

“Balik lagi ke tempat tidur.” “Dih ogah.” “Yaudah kalau ga mau cepet mati mah.”

Alis Iban mengerut mendengar kalimat yang diucapkan Aja. Kalimat yang sempat ia lontarkan untuk Aja saat ingin mengembalikan inhaler.

Iban terpaksa mundur saat Aja mendorong badannya untuk kembali berbaring di atas kasur. “Nah gitu kek! makan nih udah aku beliin makan buat kamu. Abis itu minum obat!”

“Ga mau gue.”

Aja menepuk kepala Iban dengan gagang es krim yang sudah kering, “Ga usah protes dasar penyakitan! Udah tau sakit ga mau minum obat! di kata itu penyakit bakal ilang apa dengan sendirinya.”

“Gue ga penyakitan! gue ga kaya lu!” “Yaudah kamu yang paling sehat, makanya makan sama minum obat biar sehat.”

Iban tidak mau untuk merespon lagi, sebab akan semakin panjang jika ia tak menyerah sekarang.

“Aja, kamu ga ada kelas kan?” Aja mengangguk, “Tolong jagain Iban dulu yaa, Sus mau nganterin surat sakit ini ke kelasnya Iban. Trus kalau Iban udah makan suruh dia minum obat.”

“Ok aman Sus. Iban takut kok sama Aja.”

“Siapa yang takut sama lu anjing?” ucap Iban saat Suster telah keluar dari ruangan ini.

“Hehehe, udah-udah makan aja Iban, jangan protes, nanti aku yang takut.”

Iban kembali menyuap bubur ayam ke dalam mulutnya, fokus pada makanannya dan membiarkan hening mengambil alih.

“Iban ternyata kamu bisa sakit ya...” “Ga usah bacot.” “Ok.. maaf.”

Seperti anak kecil, Iban benar-benar merasa terintimidasai saat Aja mengawasinya seperti ini. Maka untuk mencari aman, Ia abiskan bubur ayam itu dan menaruhnya kembali ke platik.

“Okee, sekarang waktunga kita minum obat, yeayyy!” “Sabar napa bego, gue napas dulu.” “Oh ya maaf.”

Iban memainkan ponselnya, mengecek apa ada pesan dari temannya dan ternyata Ipay sempat spamchat dan telpon, tapi berkat fitur dnd maka semuanya tak Iban notice.

“Mana obatnya.” ucap Iban saat dirinya sudah bosan dengan isi ponselnya. Aja yang mendengar itu lantas dengan semangat memberi obat yang sudah diarahkan oleh Suster dan memberi Iban air minum.

“Dah gue mau tidur, lu balik kelas aja sana. Ga usah kaya orang dongo nungguin gue.” Iban memiringkan badannya memunggungi Aja yang tak memberi respon.

Lima menit berlalu, Iban tak kunjung mendengar suara pintu yang tertutup, yang artinya lelaki yang menemaninya belum beranjak juga.

“Lu kenapa belum pergi anjir?” “Males, temen aku pada olahraga semua. Aku kan ga bisa ikut mereka, nanti aku sesek. Jadi aku di sini aja deh nungguin kamu. Soalnya kalau pergi aku ga ada temen”

Iban kembali menduduki badannya saat mendengar jawaban Aja, “Kamu kenapa duduk lagi? katanya mau tidur?”

“Obat tidurnya ga mempan buat gue.” ucap Iban yang mendapat respon anggukan histeris.

“Berarti kamu mau temenin aku kan?” Iban berdehem, “Hehehe terima kasih Iban, aku bakal temenin kamu sampai sembuh kalau gitu.”

Entah sudah berapa kali, keberuntungan kembali berada pada pihak Iban. Lima menit sebelum bel berbunyi, guru sosiologinya sudah keluar dan mengakhiri pelajaran. Oleh karena itu di sini Ia sekarang, di depan kelas MIPA 5 dengan gendongan tas dan menenteng satu helm, milik Galuh.

“IBANNN!” Galuh berteriak dari dalam kelas dan berlari hingga menabrakan tubuhnya dengan tubuh Iban, kemudian Ia peluk Iban sangat erat dan penuh dengan gemetar, “Lu ga tau seberapa gue di kelas mikirin lu doang anjing Iban. Gue ga peduli sama fisika gue, yang gue peduliin lu! Mereka lagi bahas alat rontgen yang gue pikirin cuma tumor di tubuh lu!”

Kegiatan mereka tak luput dari atensi siswa yang satu persatu keluar kelas. Suara yang dikeluarkan Galuh sudah bisa dibilang lebih kencang dibanding suara Iban yang sudah memberontak untuk dilepaskan.

Namun walaupun begitu, Iban membiarkan Galuh melakukan seenaknya, membasahi seragamnya dengan air matanya, serta menahan malu dari tatapan orang lain

Iban tak sempat untuk kembali memberontak, sebab matanya sibuk menyisir siswa siswi yang keluar dari ruang kelas di depannya. Lantas kedua matanya berbinar di saat sosok yang dicarinya telah tertangkap oleh matanya.

“Jaa, nih tangkep.” ucap Iban sambil melempar helm yang sedari tadi ditentengnya.

Galuh yang sedang memeluknya pun membalikan badannya, “Hah, tangkep ap—ANJING IBAN HELM 2 JUTA GUE BRENGSEK?!” cacian Galuh sewaktu matanya menangkap helmnya sudah berpindah sempurna ke tangan Aja.

“Ayo.” ajak Iban langsung meninggalkan tempatnya dan menghiraukan panggilan Galuh.

Namun, yang diharapkannya tak mudah untuk terjadi. Aja masih diam di tempat bersama dengan tiga temannya dan Galuh yang seperti orang bodoh meminta kembali helm yang sedang di peluk Aja.

Iban membuang napasnya kasar, dengan terpaksa Ia kembali memutar arahnya mendekat ke tempat mereka. Tanpa langsung menunggu, Iban menggenggam tangan Aja dan menariknya dari perkumpulan orang-orang yang sedang seperti orang bodoh, tak tahu apa yang sedang terjadi.

“Iban kita mau kemana? aku ada acara, aku ga bisa pergi sama kamu.” Aja membuka suara setelah mereka sampai parkiran motor.

“Yaudah gue anterin.” “Emang kamu tau aku mau kemana?” “Beli kamera kan?” “Ih iya lagi, kamu bilang ga mau ikut karena pakai kereta?!”

Iban membuka jok motornya dan mengambil helmnya. Lalu Ia tukar helmnya ke helm Galuh yang sedang dipeluk Aja, “Ya makanya gue pakai motor. Dah pakai helmnya, mau pergi sekarang kan?.”

“Kenapa ditukar? aku kan mau pakai helmnya Galuh, soalnya ga bau rokok, pasti punya helm kamu baru rokok.”

Iban yang sudah memakai helmnya pun kembali mencopotnya lagi sebab merasa emosi dengan segala kata yang diucapkan oleh orang di depannya ini.

“Eh dongo, gue ngerokok engga di kepala yaa bego! Pakai mulut! Udah lah anjing cepetan napa naik, parkiran nanti rame jadi susah keluar.”

Sudah terhitung dua minggu sejak Aja sering bertemu dengan Iban. Aja menyadari satu hal, di saat Iban sudah mengucapkan kata saktinya, dongo, di sana lah Aja hanya bisa mengangguk dan memberi maaf.

Maka Aja pun memasang helm milik Iban di kepalanya, “Iban?” panggil Aja dengan suara kecil, takut membangunkan beruang marah lagi, “Ih jangan marah duluuu, kenapa sih marah-marah mulu! emang enak apa dimarahin! HAH!” Aja berucap sambil emosi. Kakinya dihentakkan dengan posisi nolak pinggang yang menandakan dia sedang sangat emosi sekarang.

Iban harus tahu bahwa bukan hanya dirinya saja yang bisa emosi, tapi Aja juga, bahkan bisa lebih parah.

“Apa anjing, gue buang napas doang, dongo lu ya.” “Tuh tuh kann.” “Kenapa lagi Ajaaaa?” “Kalau jalan sama aku ga boleh ada kata anjing, dongo, tolol, bego, dan apapun itu.” “Lah bego serah gue lah mulut-mulut gue.”

Aja berusaha membuka kaitan helm yang sudah terpasang sempurna, “Oh yaudah mending aku naik kereta daripada dikatain dongo mulu!”

Iban dengan cepat menyingkirkan kedua tangan Aja yang tengah bergelut dengan besi, “Yaudah engga. Cepet naik, Ajaaa.”

“Janji?” terlampau histeris Aja pun menaikan tangannya dengan posisi jari kelingking di dirikan. Iban menatap bingung tangan yang berada di hadapannya, “Cepet mana jari kamu, ayo kaitin janji kamu.”

“Dih ogah anjir, pengen banget lu pegangan sama gue.”

“TADI KAMU GENGGAM TANGAN AKU DULUAN IBAN JELEK KAYA BABI MONYET KING KONG SEMUANYA!” Aja berteriak sambil memukul helm bagian belakang Iban hingga membuat sang pemilik kepala terkejut, “Aku benci banget sama kamu dasar babi!”

...

Sekarang adalah momen di mana Iban mempertanyakan pada dirinya sendiri. Apa yang Ia dapatkan sampai harus menyetir dari Matraman hingga ke Kebayoran hanya demi seorang laki-laki yang sekarang tersenyum melihat kamera lama yang Iban sendiri tak tahu apa itu masih berfungsi atau tidak.

Sudah empat puluh menit Iban terduduk bersama dengan tukang rujak di sana. Iban yang malas untuk berbaur kini sampai sudah bisa ikut alur pembicaraan para bapak-bapak di dekatnya.

Disaat itu juga Iban menyadari bahwasanya Iban benar-benar sudah mulai menua sekarang.

“Anak muda zaman sekarang mah susah buat suka barang lama kaya gitu.”ucap si penjual Rujak, Iman namanya.

Iban mengangguk setuju sambil mengunyah rujak yang sudah ia beli dua kali,“Ga ada untungnya juga suka barang lama. Dari segi kualitas kamera aja ga bagus, ga HD kalau kata orang zaman sekarang mah.”

Iman menampari, “Stss, justru itu keunikannya. Emang Masnya sendiri ga bosan liat kamera yang hasilnya gitu-gitu aja? Terkadang tuh banyak orang yang pilih kualitas kamera yang berbeda karena sudah banyaknya kamera dengan fungsi yang sama dan kejernihan yang sama.”

Iban mengangguk saja, mengiyakan, walaupun dirinya sangat tidak setuju dengan statement tersebut. Menurutnya globalisasi ada karena suatu alasan, manusia tak seharusnya kembali menyukai barang-barang lama, yang kualitas jauh di bawah barang yang sekarang sudah tersedia di pasaran.

“Ini emang selama ini apa Mang?” Iban bertanya sebab Ia sudah ditahap muak untuk mendengarkan suara kereta api yang terus-terusan melewati depannya.

“Itu dia keliatan lagi bingung mau pilih yang kanan apa kiri. Coba Masnya ke sana, bantu pilihin.” “Dih saya mah mana ngerti begituan. Engga dah, maap-maap aja nih.” “Yaudah kalau begitu, siap-siap aja berteman dengan saya sampai jam tujuh malam.”

Iban bergindik ngeri membayangan ia harus berada dilingkungan super duper berisik ini. Maka dengan cepat ia lahap rujak yang tersisa dan berpamitan pada penjual rujak.

“Masih lama, Ja?” tanya Iban saat kakinya sudah sampai di sebelah kaki Aja. Ia mengikuti Aja yang sedang berjongkok agar komunikasi mereka lebih mudah.

Aja mengangguk, “Iban-iban coba kamu berdiri deh, aku mau foto kamu pakai dua kamera ini boleh ga? Soalnya aku bingung sama di antara dua ini.”

“Ogah.”

Aja berdiri dan menarik tangan Iban agar ikut berdiri, suara mohonan dari mulutnya tak kunjung behenti, “Ga mauu Ajaa, gue lagi jelek.”

“Ga usah narsis! gak akan ada yang suka sama kamu.” “Dih yaudah anjing ga bakal gue bantuin.” “Tuh kan ngomong hewan itu lagi! kan kamu udah janji Ibannn!”

Iban membuang napasnya berat, dengan terpaksa ia mengikuti perintah Aja. Untuk mundur dua berdiri dan langkah, “Satu dua tiga..”

Bunyi suara kamera terdengar. Aja menurunkan kembali kamera tersebut untuk melihat hasilnya.

Satu detik,

Dua detik,

Aja menatap Iban marah, alisnya menyatu, giginya menggertak,“Hah kenapa ada kenapa?” yang tak tahu apa-apa pun kebingungan.

“Senyum Iban! jangan serem-serem mukanyaaa. Kalau bisa muka lucu kamu, muka ganteng kamu, keluarin aja. Kamu ga keren muka sok galak gitu!”

Iban menahan napasnya untuk tidak emosi mendengar ucapan dari orang di depannya, “Ayo satu lagi ya Ibannn, yang bener gayanya!”

“Satu... Dua....”

Iban dengan tidak niatnya pun mulai memajukan bibirnya dan berpose dua jari yang ia taruh bersebalahan dengan pipi kanannya.

Hening.

Dihitungan ketiga pun tak ada suara kamera yang terdengar, melainkan suara tawa dari si penjual kamera yang sedang menahan tawanya, “Tuh kan gue bilang gue ga mau begini!”

Aja menurunkan kamera dari matanya, lalu menyerahkan kamera tersebut pada penjual yang tengah sibuk menahan tawa, “Pak, saya beli yang ini aja yaa.”

“Aja?” panggil Iban “Tadi gue aneh yaa?” Aja menjawab pertanyaan Iban dengan gelengan, “Trus kenapa lu ga ada reaksi gitu?”

Aja mengambil totebag yang diserahkan penjual kamera, “Ayo Iban pulang.”

“Ajaa jawab dulu.” “Ga serem Iban.” “Trus kenapa lu ga ada reaksi gitu? trus kenapa kameranya ga ada bunyinya kaya pas pertama? kenapa juga penjualnya ketawa renyah banget?”

Iban menarik tangan Aja yang sudah lebih dulu jalan di depannya hingga membuat Aja berhenti, “Jawab Aja.”

Kamu lucu aja aku suka.” “Trus kenapa muka lu merah gitu?” “Ya karena aku suka” “Suka gue?”

Aja menjambak rambut Iban hingga membuat sang pemilik rambut teriak kesakitan. Berusaha tidsk peduli dengan atensi orang lain, tapi Aja harus balas dendam karena Iban sudah membuatnya malu setengah mati.

“Siapa suka kamu aneh, dasar babi!”

Warung teteh, menjadi tempat nongkrongnya anak smansa sehabis pulang sekolah, termasuk Iban. Walaupun dari Iban sendiri tidak mempunyai banyak teman, tapi berteman dengan Ipay ikut membuatnya mempunyai banyak teman.

Namun saat Ipay izin sebentar untuk kembali ke sekolah, ada urusan sama pacarnya, Iban kembali menjadi pendiam.

“Eh Ban.” panggilan dari Galuh itu mengambil atensi Iban yang tengah bermain game battleground di ponselnya sembari sembari mengapit satu batang rokok di jarinya.

Iban menghitung teman-temannya Galuh, ada sekitar empat orang yang Ia bawa, lima dengan dirinya. Sesaat matanya menangkap pria yang tengah menunduk bak sedang tidak nyaman, Iban segera membuang rokok yang masih panjang itu dan diinjaknya, “Ipay mana?” lanjut Galuh.

“Biasa pamitan sama cewenya, sebelum balik.” Galuh mengangguk tak semangat, “Ga usah sedih gitu lah bree.” lanjut Iban tertawa tanpa rasa bersalah.

“Tai lu, Ban.” Galuh menuntun teman-temannya untuk duduk, “Eh duduk dulu aja, tuh samping Iban bisa, depan Iban bisa.”

“Lu duduk mana nanti Luh? emang muat?”

“Gampang udah, nanti si Iban juga mau balik kan cuk?” tanya Galuh yang direspon anggukan oleh Iban, “Yaudah duduk dulu aja, gue mau pesenin minum.”

Sepeninggalan Galuh, Iban dan empat orang asing yang ada di sini saling diam-diaman. Tak terkecuali Iban dan Aja, saling menatap saja ogah, apalagi berbicara.

Warung teteh, menjadi tempat nongkrongnya anak sman tujuh sehabis pulang sekolah, termasuk Iban. Walaupun dari Iban sendiri tidak mempunyai banyak teman, tapi berteman dengan Ipay ikut membuatnya mempunyai banyak teman.

Namun saat Ipay izin sebentar untuk kembali ke sekolah, ada urusan sama pacarnya, Iban kembali menjadi pendiam.

“Eh Ban.” panggilan dari Galuh itu mengambil atensi Iban yang tengah bermain game battleground di ponselnya sembari sembari mengapit satu batang rokok di jarinya.

Iban menghitung teman-temannya Galuh, ada sekitar empat orang yang Ia bawa, lima dengan dirinya. Sesaat matanya menangkap pria yang tengah menunduk bak sedang tidak nyaman, Iban segera membuang rokok yang masih panjang itu dan diinjaknya, “Ipay mana?” lanjut Galuh.

“Biasa pamitan sama cewenya, sebelum balik.” Galuh mengangguk tak semangat, “Ga usah sedih gitu lah bree.” lanjut Iban tertawa tanpa rasa bersalah.

“Tai lu, Ban.” Galuh menuntun teman-temannya untuk duduk, “Eh duduk dulu aja, tuh samping Iban bisa, depan Iban bisa.”

“Lu duduk mana nanti Luh? emang muat?”

“Gampang udah, nanti si Iban juga mau balik kan cuk?” tanya Galuh yang direspon anggukan oleh Iban, “Yaudah duduk dulu aja, gue mau pesenin minum.”

Sepeninggalan Galuh, Iban dan empat orang asing yang ada di sini saling diam-diaman. Tak terkecuali Iban dan Aja, saling menatap saja ogah, apalagi berbicara.

Iban menangkap gerak-gerik mencurigan dari empat orang asing di dekatnya, seperti ingin berbicara tapi takut dengan lawan bicara, “Napasi lu pada?” tanya Iban, sudah habis kesabarannya, membuat keempat orang tersebut langsung kicep.

_“Tuh kan, udah aku bilang Iban itu galak.” _ “Ga mau ih, kamu aja yang bilang.” “Ih dari tadi Iban liatinnya kamu, Jaa. Kamu aja yang bilanggg.”

Iban membuang napasnya berat, menimbulkan suara yang lumayan besar hingga menjadi pusat atensi mereka, “Kenapa?? Mau bilang apa?” tanya Iban dengan suara lembut.

Iban yakin sepulang dari sini dirinya akan menyupah serapahi dirinya sendiri sebab mengeluarkan suara lembut yang sangat tidak seperti dirinya.

“Iban kamu punya pacar?” tanya Aja yang mendapat respon kerutan dahi, “Eh bukan gitu maksudnya, maksud aku tuh temen aku ada yang suka kamu.”

“Bilang aja gue galak.” jawab Iban tak memberi rasa ketertarikan pada topik yang dibawa.

“Udah aku udah bilang kamu galak, serem, jahat, suka ngatain orang, egois, tapi dia tetep aja mau suka sama kamu.”

Iban membuang napasnya, sungguh repot masalah percintaan ini, “Yaudah bilang aja gue suka sama orang lain.”

“Siapa?” “Kok lu kepo banget?” “Bu-bukan gitu apasi, temen aku katanya mau ikutin gaya dia biar disukain kamu. Sekalian deh aku tanya tipe ideal kamu kaya gimana?”

Iban menangkap figur Ipay yang sudah mengajaknya untuk pulang dari belakang lawan bicaranya. Iban mengangguk dan mengeluarkan sebatang rokok. Kemudian Ia bakar dan hirup sebanyak mungkin selagi membereskan barangnya.

“Iban aku tanya dan jangan merokok de—”

“Kaya lu.” final Iban sebelum dirinya meninggalkan Warung Teteh sembari membuang asapnya tepat pada wajah Aja.

Meninggalkan Aja yang terbatuk hebat serta godaan dari teman-temannya yang sungguh kurang ajar. Sebab baginya ini mempermalukan dirinya.

Iban menatap aneh, lagi, dua adam yang tengah memberi candaan, entah apa, tapi yang pasti Iban seperti tak diajak di sini. Mereka saling tersenyum dan saling mengirim sinyal lewat pandangan mata, menghiraukan Iban yang sudah pura-pura terbatuk untuk menjadi pusat atensi.

“Kalau gini gue naik lagi lah bajingan.” kata Iban dengan suara yang sengaja Ia kencangkan. Kemudian Ia berdiri bersiap untuk kembali pergi.

Galuh yang melihat Iban yang sudah berdiri pun memutuskan koneksi percakapan lewat mata dengan Aja, “Anjir sini lahh, temenin. Kita ga enak, ini kan rumah lu.”

“Ya lu nya berduaan kaya orang tolol anjing. Gue kaya makhluk halus di sini anjing. Mending gue naik ke atas, tidur gue.” jawab Iban dengan emosi yang memuncak.

“Maaf, Iban.” ucap Aja pelan yang dibalas deheman oleh Iban.

“Ga usah cemburu gitu lah Ban. Gue sama Aja cuma temen doang serius.” canda Galuh enteng.

Iban menangkap raut wajah Aja yang terlihat penuh tanda tanya. Pasalnya kalau dilihat dari pesan mereka sebelumnya, Aja sudah pasti akan bingung setengah mati.

Kalimat yang diucapkan Galuh membuat emosi Iban kembali memuncak, ia mengambil bantal sofa dan melemparnya hingga jatuh tepat di kepala Galuh, “Ga ada yang demen sama lu bajingan.”

Tawa gelak keluar dari mulut Galuh. Ia tak merasa sakit akibat lemparan bantal tadi, tapi malah makin menjadi, “Berarti demennya sama Aja.”

“Ngomong apa anjing si bajingan ini?” lemparan kedua berhasil mendarat lagi di kepala Galuh, “Ga usah didengerin, Ja. Manusia dongo itu.”

“Lah lah lah, kemarin lu kan tanya ke gue tentang dia,” Iban berusaha menghiraukan, “Ja, kata Iban lu cakep.”

Kecuali yang satu itu, sumpah demi Tuhan, Iban akan membunuh Galuh saat ini juga.

“Balik ga lu! Pulang! Hujannya dah berhenti! Anjing ga mau gue temanan sama lu lagi.” ucap Iban panik, ia mendorong Galuh mendekat ke pintu keluar meninggalkan Aja yang menurutnya masih bisa jalan sendiri. Iban mengunci pintunya saat dirinya berhasil membawa Galuh ke luar rumah.

“Iban?”

Iban membalikan badannya, dirinya terkejut melihat masih ada satu makhluk yang tersisi di dalam sana, “Kenapa belum keluar juga dongo? Harusnya lu keluar jugaa!”

Aja menggerakan kedua tangannya yang menenteng dua tas miliknya dan Galuh bertujuan untuk memberitahukan Iban bahwa Ia sedang membereskan barangnya waktu Iban mendorong Galuh keluar, “Iyaa ini mau keluar.”

Bunyi ketukan pintu yang bruntal dari luar tak membuat Aja untuk cepat membuka pintu. Malahan, Aja malah kembali membalikan badan dan menatap Iban yang tengah menatapnya, “Terima kasih udah nampung kita. Nanti ini bajunya aku cuci dulu yaa. Terima kasih Iban.”

“Iya, iya. Yaudah cepet napasih itu orang di depan udah berisik gedar gedor gedar gedor.”

Aja tak bergeming dan tak terganggu dengan suara ketukan ya g keras di belakangnya, “Iban?”

“Apalagi sih? tinggal buka pintu doang anjing terus pulang”

“Terima kasih karena bilang aku cakep.”

Iban mengutuk dirinya karena badannya langsung melemas mendengar ucapan terima kasih untuk hal yang memalukan.

Selanjutnya, Iban tak lagi fokus kapan dan bagaimana dua adam itu keluar. Ia sudah jauh terkubur oleh rasa malu yang sangat-sangat besar.

Napas Iban tercekat melihat dua adam yang benar-benar basah tengah cengengesan di hadapannya.

“Pacar lu?” tanpa basa-basi Iban tanya hal yang bikin hatinya penasaran setengah mati, “Oh gue lupa kenalin ini-”

“Gue tanya, dia pacar lu bukan?” Iban memotong ucapan Galuh dengan sedikit penekanan sebab pandangan Aja menatap Galuh benar-benar menganggunya.

“Ya makanya jangan dipotong, gue belum selesai ngomong. Namanya Aja, temen gue.”_

Iban mengangguk, sedikit bersyukur sebab ia tak akan jadi nyamuk di rumahnya sendiri.

Iban jalan menjauh dari tubuh basah mereka, melemparkan sepasang handuk dan sepasang baju set untuk mereka gunakan.

“Lu mau kemana?”

“Ninggalin orang yang lagi berusaha pdkt.