Selama delapan belas tahun hidupnya di dunia ini, saat ini adalah pertama kalinya Aja merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Berpergian berdua, menertawakan segala hal, dan berpegangan tangan, ah yang satu ini Aja belum merasakannya.
Matanya menangkap banyak sekali pasangan yang tengah tertawa seakan dunia ini milik mereka berdua. Ada yang tengah berpelukan, bahkan ada yang membiarkan pasangannya tidur pulas di pahanya.
Semua terlihat sangat romantis.
Dahulu, Aja hanya dapat melihat hal-hal seperti itu dengan Eyan. Namun tak pernah Ia sangka, sekarang Ia sedang duduk satu tikar dengan lelaki yang kini sedang sibuk menata makanan.
“Iban-iban lihat sini.” Aja mengambil atensi Iban untuk Ia potret di kameranya.
Kemudian, Ia tersenyum melihat hasil foto tersebut. Iban sudah banyak senyum sekarang, walaupun hanya bersamanya. Aja tahu Iban sudah berusaha agar tidak membuat Aja takut.
Senyuman Iban itu manis dengan kedua lesung pipi yang menularkan rasa senang, Aja tidak berbohong, di saat dirinya menatapi hasil fotonya dengan bahagia.
Langit Ibukota kini sangat cerah, warna biru yang sepandan dengan warna tikar, memberikan kesan aesthetic mengelilingi mereka.
Dikelilingi oleh pepohonan dan beberapa gedung pecakar langit tentu mempercantik hutan kota ini, “Cakep ya?” tanya Iban memulai percakapan.
“H-hah?” Aja mengikuti tatapan Iban yang jatuh pada gedung-gedung tinggi di depannya, “Iyaa cakep yaa Iban, aku penasaran yang punya gedung kaya gitu tuh sekaya apa yaa?”
“Bukan gedungnya tapi gue.” “Hah gimana Iban?” “Lu mau sampai kapan liatin foto gue di saat gue ada di samping lu gini?”
Ah, malu...
Bagaimana Ia tidak sadar bahwa Ia sekarang sedang duduk sampingan dengan orang yang sama di dalam kameranya?
“Oh itu hahaha, itu aku bisa jelasin Iban. Jadi di foto ini tuh kamu ada lesung pipi, cuma kalau aku lihat langsung kok ga ada yaa? apa emang kamu jarang senyum makanya aku ga tau yaa?”
Iban menompangkan beratnya pada kedua tangan yang bertumpu kebelakang. Ia fokuskan tatapan pada sosok mungil kini sedang berusaha menutupi gugupnya dengan memakan satu potongan apel.
Iban tersenyum.
“Ih tuh kan ada lesung pipinya beneran. Coba coba senyum lagi, aku mau lihat”
Aja histeris ketika dirinya menangkap Iban yang tengah tersenyum jahil. Lantas Ia pindah posisi agar lebih mendekat dan menipiskan jarak mereka agar Ia dapat melihat lesung pipi Iban dengan jelas.
“Iban ayo senyum lagi.”
Gila.
Ini terlalu dekat. Iban menahan napasnya melihat muka aja yang sedekat ini. Sumpah demi Tuhan, ini jarak paling dekat antara mereka berdua. Kedua mata yang saling menatap dengan tinggi yang sejajar.
Sumpah, Iban bisa gila.
Jantungnya tak bisa berhenti berteriak, tangannya tak bisa berhenti memainkan kukunya, napasnya tak teratur.
Wangi Aja, sangat tercium di indranya.
“Iban ih ayo senyum aku mau lihat.”
Semua tubuhnya seakan disfungsional sekarang, kelima indranya tak bisa digerakan. Bahkan menggerakan bola matanya saja, Iban tidak bisa.
Wajah cantik Aja, sangat memikat.
“Gi-gimana gue bisa senyum kalau jarak kita sedeket ini Ja?”
Sialan. Gugupnya ketahuan.
Aja memundurkan tubuhnya, Ia sendiri pun baru sadar, bahwa mereka benar-benar dekat. Aja dapat mencium parfume Iban, Aja...Tuhan Aja terlihat seperti orang mesum yang hanya fokus pada bibir Iban.
Bukan itu yang Aja maksud...
Aja hanya ingin melihat senyum Iban. Udah itu aja...
Ia memalingkan wajahnya, terlalu malu untuk melihat Iban. Iban pasti berpikir kalau Aja mesum yang ingin menciumnya.
Buna... Aja mau pulang....
“Ja?” “Sebentar ya Iban, pipi aku panas, aku juga masih malu lihat muka kamu. Tolong tunggu sebentar ya Iban, aku minta maafnya nanti boleh? Tunggu pipi aku tidak panas lagi.”
Aja tak tahu bagaimana Iban mati-matian menetralkan napasnya sekarang. Aja juga tidak tahu bagaiamana Iban juga tidak mau Aja melihat muka merah salah tingkahnya ini.
Keduanya sama-sama tidak tahu bahwa jatuh cinta memang sangat merepotkan ini. Menatap wajah saja sudah salah tingkah tak karuan.
“Oke udah Iban” Aja kembali menolehkan kepalanya menghadap Iban, “Iban kamu kenapa tutupin pipi gitu?”
Mendapat pertanyaan dari Aja membuat harga diri Iban rasanya seperti jatuh. Lantas Ia ambil satu botol air mineral dan Ia teguk minum itu dengan kasar.
“Iban pelan-pelan minumnya.”
Iban tak peduli, Ia teguk minum itu hingga habis lalu mengipaskan wajahnya dengan tangan kosong, “Panas ga sih Ja di sini? Mau keliling gaa?”
Iban yang sudah setengah berdiri kini kembali terduduk sebab Aja menariknya, “Sini dulu duduk aku mau kasih penjelasan.”
“Sebenarnya Iban, aku tadi cuma mau lihat senyum kamu doang. Iyaa aku jujur, kamu di foto itu ganteng sekali. Trus waktu kamu punya lesung pipi kamu makin manis di mata aku, kenapa begitu yaa?”
Iban tak merespon, Ia biarkan Aja berbicara yang katanya akan meluruskan kesalahpahamanan ini.
“Aku mau lihat senyum kamu secara langsung gitu. Nah harus deketan biar lebih jelas, tapi kayanya aku kedekatan. Maaf Iban.. Aku ga bermaksud mau buat mesum sama kamu, aku ga mesum ya Iban. Maaf...”
Iban tertawa, “Dongo.” celetuk Iban tak percaya mendengar kalimat klarifikasi seperti itu, “Iya dimaapin.” lanjutnya.
“Yeayy terima kasih Iban. Sekali lagi, aku ga mesum ya Iban, kamu jangan risih sama aku.” Aja bersorak senang, “Ayo kita keliling sekarang Iban.”
Sekarang giliran Iban yang menarik Aja yang sudah berdiri untuk kembali terduduk, “Sekarang dengerin gue. Gue cuma ngomong ini sekali tanpa pengulangan.”
Aja dengan sigap langsung mendudukan dirinya dengan tegap, “Iya Iban apaa? aku dengerin dengan baik.”
“Gue suka sama lo. Ini beneran. Jadi lu bisa percaya sama gue buat taruh hati lu. Ini juga masih pertama buat gue. Kalau misalkan gue kurang ekspresif gue minta maaf. Tolong jangan raguiin rasa gue lagi ya? Ngerti ga cil?”
Aja tersenyum manis, Ia arahkan tanganya ke atas kepala Iban. Kemudian Ia menepuk pelan kepala Iban, “Oke, Iban.” ucapnya sopan sembari pat-pat pria bersurai coklat dihadapannya.
Gila.
Segampang itu? Aja segampang itu menyentuh dirinya di saat dirinya susah payah menahan napas? Aja...
Iban sudah gila rasanya.