Doyren – Back to You
Renjun melihat ke arah smartwatchnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore hari, kepala kecilnya menoleh ke kanan dan ke kiri guna memastikan bahwa cafe di hadapannya adalah tujuannya.
Setelah yakin bahwa tujuannya tidak salah ia langkahkan kedua kaki jenjangnya untuk masuk ke dalam cafe.
“Selamat datang, apa kakak datang sendiri?” Sapa seorang pelayan wanita dengan ramah.
“Iya, aku sendiri.” Balas Renjun dengan sedikit gugup karna langsung diserbu pertanyaan.
“Silakan pesan makanan terlebih dahulu.” Pelayan itu mempersilakan Renjun menuju arah kasir dan memberikan sebuah menu.
Netra rubah itu meniti tiap deretan huruf di sana, pilihannya jatuh kepada makanan khas Jepang. Nasi kare porsi sedang dengan ebi goreng sebagai tambahan menu dan juga air mineral.
Setelah membayarnya, Renjun di antar menuju sebuah meja yang menurutnya aneh, ada sebuah smartphone di sebelah kirinya selain itu meja satu dengan yang lainnya terpisah oleh dinding tipis.
Entah untuk apa. Tapi layar smarthphone menyala bersamaan dengan suara sapaan pelayan kepada pelanggan yang baru saja datang.
“Apa anda ingin ditemani?”
Kurang lebih begitu isi layarnya membuat Renjun tersenyum remeh lalu menekan kata 'ya' di sana.
Lagipula siapa yang akan datang kalau bukan Yangyang.
Renjun mendengar derap langkah pelayan menuju ke arah mejanya, betapa terkejutnya Renjun saat melihat seorang wira yang sangat ingin dihindarinya saat ini.
Doyoung.
Renjun tersenyum canggung, berbeda dengan Doyoung yang tersenyum begitu lebar.
Doyoung duduk di hadapan Renjun dan kedua netra kelamnya tak lepas dari paras Renjun.
“Kamu diet? Kok sekarang kurusan?” Tanya Doyoung secara langsung, ia melihat pipi tirus Renjun dan netra rubah itu terlihat sedikit menghitam daerah lingkar matanya.
“Ah engga kak, cuma karna sibuk kuliah jadi aku ga teratur makannya.”
“Tidurnya?”
Renjun terdiam, ia bingung harus menjawab apa karena selama beberapa hari terakhir rekor waktu terlama yang dipegangnya hanya 5 jam dalam sehari.
Setelah memberikan kado tak utuhnya, membuat pola hidup Renjun begitu kacau, rasa cemas dan takut yang berlebihan kerap kali menghantuinya.
Beberapa kali Renjun meminum obat tidur tapi tidak bisa terlelap dengan begitu nyenyak, hanya tidur sampai 5 jam saja membuatnya bersyukur.
“Kamu sakit ya?” Pertanyaan dengan nada khawatir tersirat dari bibir Doyoung.
Renjun menggeleng, ia tidak sakit. Tubuhnya baik-baik saja.
“Maaf mengganggu, ini pesanannya ya kak.” Ucap seorang pelayan yang membawa nampan, setelah menyajikan makanan di atas meja, pelayan itu pergi.
Renjun melihat ke arah makanannya dengan tak berselera, nafsu makannya hilang entah ke mana.
“Kamu beneran sakit ya? Mau pulang? Aku anterin.” Doyoung kembali bertanya untuk menyadarkan Renjun yang tengah menatap kosong ke arah meja.
“Ah engga kak, aku ke kamar mandi bentar ya.” Pamit Renjun yang kemudian beranjak ke kamar mandi ia mencoba menghubungi nomor Yangyang beberapa kali untuk meminta penjelasan.
5 kali Renjun menelepon namun, tidak ada jawaban dari Yangyang.
Renjun memilih untuk kembali ke mejanya setelah membasuh muka dan mencoba memantapkan diri dengan sedikit motivasi saat di depan cermin.
Saat kembali, kedua makanan di atas meja itu masih penuh. Doyoung belum menyentuh makanannya sama sekali.
Renjun tersenyum tipis.
“Makan kak, nanti keburu dingin.” Perintah Renjun, ia sendiri juga mulai mencoba untuk menikmati nasi kare dan ebi goreng. Rasanya enak, namun ketika dimakan bersama orang yang tidak tepat membuat perutmu ingin melakukan refluks agar ke luar kembali.
Renjun berhenti disuapan kelimanya, ia tidak bisa memaksa lambungnya. Jika ia melakukannya sudah pasti akan memuntahkan segalanya.
“Padahal aku pesan porsi biasa, tapi rasanya kayak ukuran besar.” Keluh Renjun tanpa sadar membuat kedua ujung bibir Doyoung terbit.
“Mau dibungkus aja?” Doyoung menawarkan diri untuk memanggil pelayan yang langsung disetujui oleh Renjun.
Pelayan datang membungkus makanan sisa milik Renjun, jangan tanya milik Doyoung. Orang itu hanya memesan pancake dan segelas americano.
“Setelah ini mau ke mana?” Tanya Doyoung.
“Aku mau ke toko buku, ada yang harus kubeli.” Renjun merapikan barang bawaannya, ia memasukkan ponsel ke dalam sling bag nya dan beranjak dari tempat duduk.
“Kalau gitu aku temenin ya?” Doyoung ikut beranjak mengikuti Renjun yang jalan ke luar terlebih dahulu.
“Ah itu-” Renjun menggantungkan kalimatnya, ia berfikir bagaimana cara yang halus untuk mengusir Doyoung.
“Kamu ada janji sama orang?” Doyoung mencoba membaca mimik wajah Renjun.
“Mau pergi sama Jaemin ya? Kalian akhir-akhir ini dekat. Pacaran?”
Renjun tersedak liurnya saat mendengar pertanyaan Doyoung yang terakhir.
Bagaimana bisa Renjun berkencan dengan yang lain kalau cuma orang ini yang selalu ada di pikirannya.
Renjun menggelengkan kepalanya dengan cepat membuat Doyoung sedikit bernafas lega.
“Masih belum bisa move on ya?”
Eh. Renjun menoleh dengan cepat ke arah Doyoung.
“Bukan, cuma terlalu sibuk buat pacaran.” Renjun mengelak lalu berjalan mendahului Doyoung menuju sebuah toko buku.
Bunyi bel di pintu masuk berbunyi saat Renjun melangkah ke dalam. Kakinya langsung bergerak menuju peralatan menggambar, ia meraih sebuah buku drawing book, lalu beberapa alat mewarnai dan membawanya menuju meja kasir.
Ia ingin segera mengakhiri pertemuan tak terduga ini dengan Doyoung secepatnya.
Renjun kembali membuka ponselnya, ia akan menghubungi Jaemin untuk minta dijemput namun, dengan cepat Doyoung merebutnya.
“Aku akan mengembalikannya nanti. Ada sebuah tempat yang ingin aku kunjungi.” Doyoung memasukkan ponsel Renjun ke dalam sakunya dan menggenggam jemari tangan si manis lalu mengajaknya berlari.
Renjun mengikuti kecepatan Doyoung, kepalanya menatap ke arah Doyoung, rambut hitam itu diterpa angin, dan senyuman tak pernah luntur dari wajah rupawan Doyoung membuat Renjun kembali jatuh ke dalam pesona Doyoung.
Tanpa Renjun sadari, Doyoung melihat Renjun dari ujung matanya.
Renjun melepas genggaman Doyoung secara paksa, ia membungkuk dan menopang tangannya di atas lutut, nafasnya terengah. Padahal jaraknya tidak lebih dari 500m namun, nafasnya sudah tak beraturan. Salahkan dirinya yang seringkali beralasan saat Jaemin atau Jeno mengajaknya olahraga.
Doyoung berhenti dan berbalik saat genggaman tangan itu dilepas oleh Renjun.
Raut wajah panik tak dapat disembunyikan, ia menatap cemas wajah Renjun yang begitu pucat.
“Kamu beneran sakit ya?” Tanya Doyoung lagi.
Renjun menggeleng lalu mencoba untuk kembali berdiri tegak, tubuhnya sedikit oleng tapi dengan cepat ditangkap oleh Doyoung.
“Ke rumah sakit ya? Renjun pucet banget.” Doyoung menangkup pipi tirus Renjun dan mengusapnya perlahan.
“Engga papa, aku cuma ga pernah olahraga aja.” Setelah kekuatan dan nafasnya kembali normal, Renjun melepaskan pelukan secara tidak langsung yang dilakukan oleh Doyoung.
“Ah ternyata bener, Renjun belum bisa move on ya?”
Saat Renjun akan membantah, Doyoung lebih dulu mendorongnya ke sebuah dinding dan memerangkapnya.
Untung saja saat ini mereka berada di sebuah gang sempit yang jarang dilalui oleh penduduk. Jadi, tidak akan menjadi bahan tontonan.
“Jangan bohong, Ren. Mata kamu itu gabisa bohong.” Lanjut Doyoung membuat Renjun terdiam.
“Tolong tunggu sebentar lagi ya? Aku mau ngelurusin semuanya ke Jungwoo, dia selama ini selalu minta kepastian dan selalu bilang kalo dia tertarik sama aku, tapi aku si brengsek yang manfaatin kesempatan di saat putus asa ditolak sama kamu.” Jelas Doyoung.
“Kak Doyoung jangan terlalu percaya diri, aku udah move on kok. Dan kak Doyoung ga perlu jelasin sampai sedetail ini.” Sanggah Renjun, ia mencoba melepaskan dirinya dari kukungan pria yang lebih besar darinya.
Tapi nihil, kedua pergelangan tangannya malah digenggam semakin erat oleh Doyoung.
“Kak, sakit.” Ringis Renjun.
“Mau sampai kapan kamu bohongin diri sendiri Ren? Mau sampai kapan kamu nyakitin diri kamu sendiri? Renjun, aku lebih suka Renjun yang selalu ngomong apa adanya.” Jelas Doyoung membuat Renjun menunduk lesu.
Doyoung melepas cengkraman di kedua pergelangan tangan Renjun dan sedikit memberi ruang untuknya.
“Aku yang salah kak, jadi aku ga berhak. Kak Jungwoo yang lebih berhak.” Renjun berkata dengan kepala yang masih tertunduk dengan kedua tangannya mengusap pergelangan tangannya secara bergantian.
Doyoung merasa bersalah melihat pergelangan tangan Renjun yang memerah karenanya.
“Renjun, kalaupun Jungwoo yang berhak, aku malah makin nyakitin dia, aku cuma bakal terus-terusan bohong sama dia. Kamu mau dia dapat kebahagiaan palsu sama aku?” Pertanyaan Doyoung mendapat jawaban sebuah gelengan lemah dari Renjun.
“Kalau begitu tunggu sebentar lagi ya?” Ucap Doyoung penuh dengan ketulusan.
Renjun mengangguk yang sedetik kemudian tubuhnya sudah berada di dalam rengkuhan Doyoung.
Renjun mencium aroma maskulin yang sangat dirindukannya selama beberapa tahun belakangan ini dan tanpa sadar kedua kuasanya merengkuh tubuh kokoh itu membuat senyum Doyoung semakin terkembang.